Top Banner
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konjungtiva merupakan membran mukus yang tipis, lembab dan transparan yang melapisi bagian sklera dan bagian dalam dari kelopak mata. Konjungtiva menjadi lapisan pelindung terluar dari bola mata karena memiliki suplai limfatik yang tebal dan mengandung sel immunokompeten yang melimpah. Mukus dari sel goblet dan sekresi dari kelenjar aksesoris lakrimal menjadi komponen penting pada air mata untuk melindungi mata dari berbagai macam infeksi (Voughan, 2007; Ilyas, 2014). Konjungtiva mengandung saraf-saraf dan banyak pembuluh darah kecil. Pembuluh darah ini biasanya semakin tampak jelas jika membesar saat terjadi peradangan pada mata. Pembuluh-pembuluh darah ini umumnya menjadi rapuh, sehingga dinding nya dapat pecah dengan mudahnya sehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai plak perdarahan merah terang atau gelap pada sklera (Voughan, 2007; Ilyas, 2014). 1
56

Bab i, II, III, IV, V

Feb 06, 2016

Download

Documents

referat mata
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Bab i, II, III, IV, V

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konjungtiva merupakan membran mukus yang tipis, lembab dan

transparan yang melapisi bagian sklera dan bagian dalam dari kelopak

mata. Konjungtiva menjadi lapisan pelindung terluar dari bola mata

karena memiliki suplai limfatik yang tebal dan mengandung sel

immunokompeten yang melimpah. Mukus dari sel goblet dan sekresi

dari kelenjar aksesoris lakrimal menjadi komponen penting pada air

mata untuk melindungi mata dari berbagai macam infeksi (Voughan,

2007; Ilyas, 2014).

Konjungtiva mengandung saraf-saraf dan banyak pembuluh darah

kecil. Pembuluh darah ini biasanya semakin tampak jelas jika

membesar saat terjadi peradangan pada mata. Pembuluh-pembuluh

darah ini umumnya menjadi rapuh, sehingga dinding

nya dapat pecah dengan mudahnya sehingga mengakibatkan terjadinya

perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai

plak perdarahan merah terang atau gelap pada sklera (Voughan, 2007;

Ilyas, 2014).

Struktur konjungtiva yang halus, dengan darah yang sedikit darah

telah dapat menyebar secara difus di jaringan ikat subkonjungtiva dan

menyebabkan eritema difus. Perdarahan berkembang secara akut dan

biasanya menyebabkan kekhawatiran, meskipun sebenarnya tidak

berbahaya. Apabila tidak terdapat kondisi trauma mata, ketajaman visus

umumnya tidak berubah karena perdarahan murni dari ekstraokuler dan

tidak disertai nyeri (Graham, 2009).

Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat

trauma ataupun akibat infeksi. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh

darah konjungtiva atau episklera yang bermuara ke ruang

1

Page 2: Bab i, II, III, IV, V

subkonjungtiva. Pada penelitian epidemiologi, ditemukan 58 kasus

perdarahan subkonjungtiva diantara 6843 pasien yang berkonsultasi. 30

(51,7%) kasus diantaranya mengalami perdarahan subkonjungtiva

akibat trauma dan 28 kasus (48,3%) ditemukan perdarahan

subkonjungtiva spontan. Pada perdarahan subkonjungtiva secara

spontan ditemukan angka sebesar 64,3%, diakibatkan oleh hipertensi.

Sedangkan kondisi lainnya yang jarang terjadi seperti malaria, penyakit

sickle cell dan melahirkan (Kaimbo, 2008).

Perdarahan subkonjungtiva yang menjadi salah satu masalah pada

mata dan mengganggu kosmetik pada mata yang menyebabkan

perlunya perhatian bagi tenaga kesehatan agar dapat memberikan

penanganan awal yang tepat.

B. Rumusan Masalah

Laporan Kasus ini membahas manifetasi klinis, penegakan

diagnosis dan penatalaksaan hematoma subkonjungtiva dengan laserasi

konjungtiva akibat trauma.

C. Tujuan Penulisan Laporan Kasus

Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk menambah ilmu

pengetahuan dan pemahaman mengenai gejala, diagnosis dan

penatalaksanaan hematoma subkonjungtiva.

D. Metodologi Penulisan Laporan Kasus

Penulisan laporan kasus ini disusun berdasarkan tinjauan pustaka

yang merujuk pada berbagai literatur.

E. Manfaat Penulisan Laporan Kasus

Laporan kasus ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan

informasi dan pengetahuan mengenai hematoma subkonjungtiva serta

dapat dijadikan referensi pembelajaran bagi mahasiswa lainnya.

2

Page 3: Bab i, II, III, IV, V

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Mata

Mata adalah sebuah organ yang kompleks yang memiliki lebih dari satu sistem

anatomi yang mendukung fungsi mata itu sendiri. Secara umum ada beberapa

sistem anatomi yang mendukung fungsi organ mata, yaitu (Ilyas, 2014) : 

1. Anatomi kelopak mata

Kelopak mata memiliki peranan proteksi terhadap bola mata dari benda asing

yang menbahayakan mata. Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi

melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk

film air mata di depan kornea. Pada kelopak terdapat bagian-bagian seperti

kelanjar sebasea, kelenjar Moll, kelenjar Zeis dan kelenjar Meibom. Sementara

pergerakan kelopak mata dilakukan oleh M. Levator palpebra yang dipersarafi

oleh N. okulomotor (Ilyas, 2014).

2. Anatomi sistem lakrimal

Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu (Ilyas, 2014) :

Sistem produksi atau glandula lakrimal. Sistem sekresi air mata atau

lakrimal terletak di daerah temporal bola mata.

Sistem ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus

lakrimal, duktus nasolakrimal, meatus inferior.

3. Anatomi konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian

belakang. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini.

Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet.

Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas

tiga bagian, yaitu (Ilyas, 2014):

Konjungitva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar

digerakkan dari tarsus.

3

Page 4: Bab i, II, III, IV, V

Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera

dibawahnya.

Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat

peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi

dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di

bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak..

 4. Anatomi bola mata

Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata

dibagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga

terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus

oleh 3 lapis jaringan, yaitu (Ilyas, 2014):

Sklera, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian

terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan

sinar masuk ke dalam bola mata.

Jaringan uvea, merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uvea

dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah apabila terjadi

perdarahan pada ruda paksa yang disebut perdarahan suprakoroid. Jaringan

uvea terdiri atas iris, badan siliar dan koroid. Badan siliar menghasilkan

cairan bilik mata (akuos humor).

Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam

danmempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapisan

membran neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan pada

saraf optik dan diteruskan ke otak.

5. Rongga orbita

Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang

membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan dasar

orbita yang terutama terdiri atas os. maksila, os. palatinum dan os. zigomatikus.

Secara garis besar anatomi mata dari luar ke dalam terdiri dari : kornea, kamera

okuli anterior, iris, lensa, kamera okuli posterior, korpus vitreus, retina, nervus

optikus (Ilyas, 2014).

4

Page 5: Bab i, II, III, IV, V

Gambar 1. Anatomi Mata

B. Fisiologi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran mukus yang transparan yang membentang

di permukaan dalam kelopak mata dan permukaan bola mata sejauh dari limbus. Ini

memiliki suplai limfatik yang tebal dan sel imunokompeten yang berlimpah. Mukus

dari sel goblet dan sekresi dari kelenjar aksesoris lakrimal merupakan komponen

penting pada air mata. Konjungtiva merupakan barier pertahanan dari adanya

infeksi. Aliran limfatik berasal dari nodus preaurikuler dan submandibula, yang

berkoresponden dengan aliran di kelopak mata (Voughan, 2007; Ilyas, 2014).

Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu (Voughan, 2007; Ilyas, 2014):

Konjungtiva palpebra dimulai dari hubungan mukokutaneus pada tepi

kelopak dan bergabung ke lapis tarsal posterior. Konjungtiva palpebralis

melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus.

Ditepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior

(padaforniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera

dan menjadi konjungtiva bulbaris.

Konjungtiva forniks merupakan konjungtiva peralihan konjungtiva

palpebra dan bulbi

Konjungtiva bulbi yang menutupi sklera anterior dan bersambung dengan

epitel kornea pada limbus. Punggungan limbus yang melingkar

5

Page 6: Bab i, II, III, IV, V

membentuk palisade Vogt. Stroma beralih menjadi kapsula Tenon

kecuali pada limbus dimana dua lapisan menyatu. Konjungtiva bulbaris

melekat longgar keseptum orbitale di forniks dan melipat berkali-kali.

Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar

permukaan konjungtiva sekretorik. Lipatan konjungtiva bulbaris tebal,

mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris) terletak di kantus internus.

Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel

superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi

yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa.

Gambar 2. Anatomi Konjungtiva

Pendarahan, Aliran Limfe dan Persarafan Konjungtiva

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis.

Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena

konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring

vaskuler konjungtiva yang banyak sekali (Voughan, 2007)

6

Page 7: Bab i, II, III, IV, V

Pembuluh limfe konjungtiva terusun dalam lapisan superfisial dan lapisan

profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata hingga

membentuk pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima persarafan dari

percabangan pertama nervus V (nervus oftalmikus). Saraf ini hanya relatif sedikit

mempunyai serat nyeri (Voughan, 2007)

 Histologi konjungtiva (Voughan, 2007):

Epitel konjungtiva merupakan jenis yang non-keratinisasi dan tebalnya

sekitar 5 sel. Sel basal kuboid menyusun sel polihedral yang mendatar

sebelum sel tersebut terlepas dari permukaan. Sel goblet terdapat

didalam sel epitelnya. Sel goblet kebanyakan terdapat di inferior dari

nasal dan di konjungtiva forniks, dimana jumlahnya sekitar 5-10%

jumlah sel basal (Ilyas, 2014). Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua

hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal.

Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula, dan di

dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-

selepitel skuamosa. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada

sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen

(Voughan, 2007).

Stroma (substansia propria) terdiri atas jaringan ikat yang

banyak kehilangan pembuluh darah. Stroma konjungtiva dibagi

menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa

(profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di

beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa

sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai

setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjadi alasan

konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan

kemudian menjadi folikuler (Voughan, 2007).

7

Page 8: Bab i, II, III, IV, V

C. Perdarahan Subkonjungtiva

a. Definisi

Perdarahan subkonjungtiva merupakan keadaan pada mata yang

ditandai dengan kemerahan pada konjungtiva yang berbatas tegas

tanpa terdapatnya discharge dan adanya peradangan pada area

rupturnya pembuluh darah. Biasanya daerah yang mengalami

peradangan dan pembuluh darah yang pecah tidak tampak karena

tertutup oleh perdarahan yang ada pada ruang subkonjuntiva.

Perdarahan subkonjungtiva dapat didefinisikan jika didapatkan

adanya perdarahan antara konjungtiva dan episklera dan unsur-

unusr darah ditemukan pada substansia propia konjungtiva saat

terjadi kerusakan pada pembuluh darah subkonjungtiva (Tarlan,

2013).

Gambar 3. Perdarahan Subkonjungtiva

b. Epidemiologi

Pada penelitian epidemiologi, ditemukan 58 kasus perdarahan

subkonjungtiva diantara 6843 pasien yang berkonsultasi. 30

(51,7%) kasus diantaranya mengalami perdarahan subkonjungtiva

akibat trauma dan 28 kasus (48,3%) ditemukan perdarahan

subkonjungtiva spontan. Pada perdarahan subkonjungtiva secara

spontan ditemukan angka sebesar 64,3%, diakibatkan oleh

8

Page 9: Bab i, II, III, IV, V

hipertensi. Sedangkan kondisi lainnya yang jarang terjadi seperti

malaria, penyakit sickle cell dan melahirkan (Kaimbo, 2008).

Insiden perdarahan subkonjungtiva dilaporkan sebanyak 2,9%

pada penelitian yang dilakukan terhadap 8726 pasien. Insiden

perdarahan subkonjungtiva meningkat seiring bertambahnya usia

setelah melewati umur 50 tahun. Angka kejadian perdarahan

subkonjungtiva berhubungan dengan prevalensi keadaan sistemik

seperti hipertensi, diabetes melitus, dan juga hyperlipidemia. Selain

itu penggunaan obat antikoagulan juga menjadi faktor untuk

terjadinya perdarahan (Tarlan, 2013).

Perdarahan subkonjungtiva biasanya lebih sering terlihat pada

daerah inferior dan bagian temporal dari konjungtiva, tetapi

perdarahan subkonjungtiva akibat trauma tergantung pada lokasi

terjadinya jejas (Tarlan, 2013).

c. Manifestasi Klinis

Pada umumnya tidak terdapat gejala simtomatis yang

berhubungan dengan perdarahan subkonjungtiva selain tanda

kemerahan yang terlihat pada bagian konjungtiva. Kemerahan yang

terlihat pada konjungtiva biasanya berwarna merah terang jika

terdapat perdarahan yang minimal, sedangkan jika terdapat

perdarahan yang banyak akan menunjukan warna merah tua.

Perdarahan biasanya tampak meluas pada 24 jam pertama dan

kemudian akan berkurang karena diabsorbsi (Ilyas, 2014; Graham,

2009).

Tanda peradangan pada mata umumnya tidak terlihat, atau

biasanya hanya peradangan minimal akibat ruptur nya pembuluh

mata. Penderita juga pada umumnya tidak merasakan adanya nyeri,

namun awalnya akan terasa rasa mengganjal di mata (Graham,

2009).

9

Page 10: Bab i, II, III, IV, V

d. Patofisiologi

Konjungtiva yang memiliki pembuluh darah yang kecil dan

cukup rapuh. Saat adanya faktor penyebab yang merangsang atau

menyebabkan pembuluh darah pada konjungtiva akan rusak dan

pecah, sehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan pada

subkonjungtiva. Perdarahan subkonjungtiva akan tampak bercak

berwarna merah terang pada lapisan dibawah konjungtiva yang

berbatas tegas. Struktur konjungtiva yang halus, walaupun hanya

terdapat sedikit darah, dapat menyebar secara difus yang biasanya

memiliki intensitas yang sama dan menyembunyikan pembuluh

darah yang rusak tersebut (Graham, 2009).

Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva akan tampak sebagai

perdarahan yang datar, berwarna merah, di bawah konjungtiva dan

dapat menjadi cukup berat sehingga menyebabkan kemotik kantung

darah yang berat dan menonjol pada atas tepi kelopak mata.

Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat

trauma, ataupun akibat peradangan. Perdarahan dapat berasal dari

pembuluh darah konjungtiva atau episklera yang bermuara ke ruang

subkonjungtiva (Graham, 2009).

Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi

menjadi dua yaitu (Voughan, 2007; Ilyas, 2014; Graham, 2009):

1. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan,

Perdarahan subkonjungtiva spontan terjadi secara tiba-tiba

akibat menurunnya fungsi endotel sehingga pembuluh darah

rapuh dan mudah pecah. Keadaan ini dapat disebabkan oleh

umur, hipertensi, arteriosklerosis, konjungtivitis hemoragik,

anemia, pemakaian obat antikoagulan serta batuk rejan.

2. Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatik

Berbagai tipe jejas lokal merupakan penyebab umum

perdarahan subkonjungtiva, mulai dari trauma minor, yang

berasal dari benda asing atau menggosok mata, sampai

10

Page 11: Bab i, II, III, IV, V

trauma berat seperti luka tumpul atau luka tembus yang

mana dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva pada

berbagai tingkatan. Perdarahan subkonjungtiva traumatik,

pada umumnya lebih sering terdapat pada area temporal

dibandingkan area nasal.

e. Etiologi

Beberapa studi penelitian menunjukan bahwa trauma lokal,

hipertensi sistemik, konjungtivitis akut dan diabetes meitus

berperan dan merupakan kondisi yang berhubungan dengan

perdarahan subkonjungtiva. Pada penelitian lainnya didapatkan

bahwa perdarahan subkonjungtiva juga ditemukan banyak pada

penggunaan kontak lens dan pembedahan okuli. Pada penelitian

yang dilakukan oleh Mimura, ditemukan bahwa faktor resiko

perdarahan subkonjungtiva yang disebabkan trauma mata dan akibat

penggunaan kontak lens terjadi pada usia yang lebih muda,

sedangkan sejumlah pasien yang lebih tua lebih sering berhubungan

dengan kelainan vaskular seperti hipertensi sistemik, diabetes,

arteriosclerosis yang menyebabkan pembuluh darah lebih rentan

untuk terjadi ruptur (Tarlan, 2013).

f. Diagnosis

Penegakan diagnosis dilakukan secara klinis melalui anamnesis

mengenai riwayat dan pemeriksaan fisik. Setelah penegakan

diagnosis, maka dapat dilakukan terapi yang lebih lanjut sesuai

dengan etiologinya tersebut. Dalam melakukan anamnesis perlu

dicari tahu adanya riwayat trauma, perdarahan untuk pertama

kalinya atau perdarahan dengan adanya kekambuhan. Perdarahan

untuk pertama kalinya tanpa riwayat trauma dan riwayat penyakit

sistemik dan penggunaan obat antikoagulan, maka dapat dicuri

disebabkan oleh perdarahan subkonjungtiva idiopatik, namun untuk

11

Page 12: Bab i, II, III, IV, V

perdarahan subkonjungtiva berulang, maka perlu dicari tahu

penyebab sistemik yang ada pada pasien (Graham, 2009).

Pemeriksaan fisik dilakukan dengan memberikan obat anastesi

topikal jika pasien merasa kesakitan, sulit membuka mata atau

fotofobia yang biasanya diakibatkan oleh trauma (Graham, 2009).

g. Penatalaksanaan

Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan

pengobatan. Pengobatan dini pada perdarahan subkonjungtiva

adalah dengan dilakukannya kompres dingin. Perdarahan

subkonjungtiva umumnya akan hilang dan akan mulai diabsorbsi

dalam 1-2 minggu tanpa pengobatan (Ilyas, 2014).

Pemberian vasokontriktor dan multivitamin dapat dilakukan

pada perdarahan yang meluas. Perdarahan subkonjungtiva harus

segera dirujuk ke rumah sakit jika ditemukan kondisi sebagai

berikut ini (Graham, 2009):

1. Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan

2. Terdapat gangguan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau

sulit melihat)

3. Terdapat riwayat gangguan perdarahan

4. Riwayat hipertensi

5. Riwayat trauma mata.

h. Komplikasi

Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorbsi oleh tubuh dalam

waktu 1-2 minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius yang

terjadi. Pada perdarahan subkonjungtiva yang sifatnya menetap atau

berulang harus dipikirkan penyebab lainnya (Ilyas, 2014).

12

Page 13: Bab i, II, III, IV, V

i. Prognosis

Secara umum prognosis perdarahan subkonjungtiva adalah baik,

karena dapat diabsorbsi dengan sendirinya oleh tubuh. Namun pada

keadaan tertentu seperti sering mengalami kekambuhan, persistensi

perdarahan, atau disertai dengan gangguan pandangan atau

penurunan visus, maka perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut

(Graham, 2009).

D. Trauma Mata

Struktur bola mata terbentuk cukup baik untuk melindungi mata dari

trauma. Bola mata terletak pada permukaan yang dikelilingi oleh

tulang-tulang yang kuat. Kelopak mata dapat menutup dengan cepat

untuk mengadakan perlindungan dari benda asing, dan mata dapat

mentoleransi tabrakan kecil tanpa kerusakan. Walau demikian, trauma

dapat merusak mata, terkadang sangat parah dimana terjadi kehilangan

penglihatan, dan lebih jauh lagi, mata harus di keluarkan. Kebanyakan

trauma mata adalah ringan, namun karena luka memar yang luas pada

sekeliling struktur, maka dapat terlihat lebih parah dari sebenarnya

(Khurana, 2007; Kuhn, 2012; khaw, 2004).

Seperti bagian tubuh lainnya, mata pun tidak terhindarkan dari

berbagai macam trauma yang mengenainya meskipun telah mendapat

perlindungan dari kelopak mata, batas-batas orbita, hidung dan bantalan

lemak dari belakang (Khurana, 2007; Lang, 2006).

a. Etio-Patogenesis

Adapun definisi yang diutarakan oleh American Ocular Trauma

Society mengenai trauma okuler mekanik adalah sebagai berikut

(Khurana, 2007; Lang, 2006):

1. Closed-globe injury merupakan suatu keadaan dimana dinding

mata (sklera dan kornea) tidak memiliki luka yang sampai

menembus seluruh lapisan-lapisan ini namun tetap menyebabkan

kerusakan intraokuler, termasuk di dalamnya :

13

Page 14: Bab i, II, III, IV, V

- Contusio. Merupakan jenis closed-globe injury yang

disebabkan oleh trauma tumpul. Kerusakan yang timbul dapat

ditemukan pada lokasi benturan atau pada lokasi yang lebih

jauh dari benturan.

- Laserasi lamellar. Merupakan jenis closed-globe injury yang

dicirikan dengan luka yang tidak sepenuhnya menembus

lapisan sklera dan kornea (partial thickness wound) yang

disebabkan oleh benda tajam maupun benda tumpul.

2. Open-globe injury merupakan jenis trauma yang berkaitan dengan

luka yang sampai menembus keseluruhan lapisan dinding dari

sklera, kornea, atau keduanya. Termasuk didalamnya ruptur dan

laserasi dinding bola mata.

- Ruptur merujuk pada luka pada dinding bola mata dengan

ketebalan penuh sebagai dampak dari trauma tumpul. Luka

yang timbul disebabkan oleh peningkatan tekanan intraokuler

secara tiba-tiba melalui mekanisme trauma inside-out.

- Laserasi merujuk pada luka pada dinding mata dengan

ketebalan penuh yang disebabkan oleh benda tajam. Luka yang

dihasilkan merupakan akibat mekanisme luar ke dalam

(outside-in), termasuk di dalamnya :

o Trauma penetrasi merujuk pada laserasi tunggal dari

dinding mata yang disebabkan oleh benda tajam

o Trauma perforasi merujuk pada dua laserasi pada dinding

mata dengan ketebalan penuh (satu masuk dan satu keluar)

yang disebabkan oleh benda tajam. Dua luka yang terbentuk

harus disebabkan oleh benda yang sama.

o Trauma benda asing intraokuler merupakan suatu trauma

penetrasi ditambah dengan tertinggalnya benda asing

intraokuler

14

Page 15: Bab i, II, III, IV, V

Gambar 4. Alur Diagnosis Trauma Okuli

Berdasarkan mekanisme traumanya, trauma okular terbagi atas (Ilyas,

2014):

1. Trauma tumpul

Trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan benda yang keras atau

lunak, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan keras

(kencang) ataupun lambat. Berdasarkan letak traumanya dapat

menyebabkan (Ilyas, 2014):

- Kelainan kelopak mata: perdarahan palpebra, laserasi palpebra

- Kelainan konjungtiva: hiperemis konjungtiva, edema

konjungtiva, hematoma subkonjungtiva, laserasi konjungtiva,

laserasi sklera

- Kelainan kornea dan sklera: edema kornea, erosi kornea,

- Kelainan uvea: iridoplegi, iridodialisis

- Kelainan lensa: dislokasi lensa, subluksasi, luksasi lensa

anterior, luksasi lensa posterior, katarak traumatik, cincin

Vossius

- Kelainan retina: edema retina, ablasi retina, maupun

perdarahan retina

15

Page 16: Bab i, II, III, IV, V

- Kelainan koroid: ruptur koroid

- Kelainan saraf optik: avulsi papil saraf optik, optik neuropati

traumatik

- Hifema

2. Trauma tembus bola mata

Trauma okuli penetrans dapat disebabkan oleh (Ilyas, 2014):

Trauma oleh benda tajam atau bersudut seperti jarum, kuku,

panah, mur, pulpen, pensil, pecahan kaca, dan lain-lain.

Trauma oleh benda asing yang berkecepatan sangat tinggi

seperti trauma akibat peluru dan benda asing dari besi

3. Trauma akibat benda asing intraokuler

Trauma akibat benda asing intraokuler. Benda asing intraokuler

dibedakan atas (Ilyas, 2014):

a. Berdasarkan sifat fisisnya terbagi atas :

- Benda logam

- Benda non logam

b. Berdasarkan keaktifan (potensi menyebabkan reaksi inflamasi)

terdiri atas:

- Benda inert yang merupakan bahan-bahan yang tidak

menimbulkan reaksi jaringan mata, kalaupun terjadi hanya

reaksi ringan saja dan tidak mengganggu seperti plastik dan

kaca yang tidak terlalu memiliki efek yang berbahaya pada

mata.

- Benda reaktif yang merupakan bahan-bahan yang dapat

menimbulkan reaksi jaringan sehingga mengganggu fungsi

mata, misalnya partikel yang mengandung besi. Besi dapat

mengalami oksidasi sehingga menyebabkan reaksi pada

mata (siderosis). Oleh sebab itu, sangatlah penting untuk

menyingkirkan benda asing ini dengan segera.

16

Page 17: Bab i, II, III, IV, V

4. Trauma fisis

Trauma fisis dapat disebabkan oleh (Pieramici, 2014):

a. Sinar dan tenaga listrik, yang meliputi sinar ultraviolet, sinar

infra merah, sinar rontgen, dan tenaga listrik

b. Luka bakar, luka akibat bahan kimia. Baik yang bersifat asam

ataupun basah, dimana luka akibat bahan kimia basah lebih

berbahaya dibanding bahan kimia asam.

b. Gambaran Klinis

Trauma pada mata yang terjadi dapat mengakibatkan beberapa hal,

yaitu (Ilyas, 2014):

1) Hematoma palpebra

Adanya hematoma pada satu mata merupakan keadaan yang

ringan, tetapi bila terjadi pada kedua mata, hati-hati kemungkinan

adanya fraktur basis kranii.

2) Edema konjungtiva

Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi

kemotik pada setiap kelainannya, demikian pula akibat trauma

tumpul. Bila kelopak terpajan ke dunia luar dan konjungtiva

secara langsung kena angin tanpa dapat mengedip, maka keadaan

ini telah dapat mengakibatkan edema pada konjungtiva.

3) Ruptur kornea

Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata dapat

mengakibatkan edema kornea bahkan ruptur membran Descemet.

Edema kornea akan memberikan keluhan penglihatan kabur dan

terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang

dilihat. Kornea akan terlihat keruh, dengan uji plasido yang

positif. Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan masuknya

serbukan sel radang dan neovaskularisasi ke dalam jaringan

stroma kornea.

17

Page 18: Bab i, II, III, IV, V

Pengobatan yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti Nacl

5 % atau larutan garam hipertonik 2-8 %, glukose 40 % dan

larutan albumin. Bila terdapat peninggian tekanan bola mata

maka diberikan asetazolamida. Pengobatan untuk menghilangkan

rasa sakit dan memperbaiki tajam penglihatan dengan lensa

kontak lembek.

Apabila daerah kornea yang pecah besar dapat terjadi prolapsus

iris, merupakan suatu keadaan yang gawat dan memerlukan

operasi segera.

4) Ruptur membrane descemet

Di tandai dengan adanya garis kekeruhan yang berkelok-kelok

pada kornea, yang sebenarnya adalah lipatan membrane

descement, visus sangat menurun dan kornea sulit menjadi jernih

kembali.

5) Hifema

Hifema adalah adanya darah di dalam kamera anterior. Hifema

atau adanya darah dalam bilik mata depan dapat terjadi karena

trauma tumpul. Bila pasien duduk hifema akan terlihat

mengumpul di bagian bawah bilik mata depan dan hifema dapat

memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Darah dalam cairan

aqueus humor dapat membentuk lapisan yang terlihat. Jenis

trauma ini tidak menyebabkan perforasi bola mata. Perdarahan

dalam kamera okuli anterior, yang berasal dari pembuluh darah

iris atau korpus siliaris, biasanya di sertai edema kornea dan

endapan di bawah kornea. Hal ini merupakan suatu keadaan yang

serius.

Manifestasi klinis hifema adalah penurunan visus yang mendadak

dan berat, mata merah yang terjadi akibat pelebaran pembuluh

darah konjungtiva sebagai reaksi dari trauma pada bola mata,

didapatkan darah di bilik mata depan yang terjadi karena ruptur

pembuluh darah iris, nyeri akibat peningkatan TIO, diplopia

18

Page 19: Bab i, II, III, IV, V

akibat iridodialisis (trauma tumpul dapat menyebabkan

terpisahnya akar iris dari badan siliar), blefarospasme, dan

iridoplegia (dapat terjadi karena robekan pada sphincter iris yang

dapat mengubah bentuk pupil secara permanen). Biasanya pasien

akan mengeluh sakit, di sertai dengan epifora dan bleforospasme.

Penglihatan pasien akan sangat menurun. Bila pasien duduk

hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan,

dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan.

Kadang – kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis

6) Iridoplegia

Iridoplegia adalah adanya kelumpuhan pada otot pupil sehingga

terjadi midriasis. Pasien akan sukar melihat dekat karena

gangguan akomodasi, silau akibat gangguan pengaturan

masuknya sinar pada pupil, Pupil terlihat tidak sama besar dan

bentuk pupil dapat menjadi ireguler. Pupil ini tidak bereaksi

terhadap sinar. Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung

beberaapa hari sampai beberapa minggu. Pada pasien dengan

iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk mencegah terjadi

kelelahan sfingter dan pemberian roboransia.

7) Iridodialisis

Iridodialisis adalah iris yang pada suatu tempat lepas dari

pangkalnya, pupil menjadi tidak bulat dan di sebut dangan

pseudopupil. Pasien akan melihat ganda dengan satu matanya.

Pada iridodialisis akan terlihat pupil lonjong.

8) Subluksasio lensa – Luksasio lensa

Subluksasi Lensa adalah lensa yang berpindah tempat akibat

putusnya sebagian zonula zinn ataupun dapat terjadi spontan

karena trauma atau zonula zinn yang rapuh (sindrom Marphan).

Luksasi Lensa Anterior yaitu bila seluruh zonula zinn di sekitar

ekuator putus akibat trauma sehingga lensa masuk ke dalam bilik

mata depan. Luksasi Lensa Posterior yaitu bila seluruh zonula

19

Page 20: Bab i, II, III, IV, V

zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma sehingga lensa jatuh

ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus

posterior fundus okuli.

9) Glaukoma

Trauma dapat mengakibatkan kelainan jaringan dan susunan

jaringan di dalam mata yang dapat menganggu pengaliran aquous

humor sehingga menimbulkan glaucoma sekunder. Jenis kelainan

yang dapat menimbulkan glaucoma adalah kontusi sudut yang

sebabkan oleh karena robekan trabekulum pada sudut kamera

okuli anterior.

10) Ruptura sclera

Ruptur sklera ditandai oleh adanya khemosis konjungtiva, hifema

total, bilik depan yang dalam, tekanan bola mata yang sangat

rendah, dan pergerakan bola mata terhambat terutama ke arah

tempat ruptur. Ruptur sklera dapat terjadi karena trauma langsung

mengenai sklera sampai perforasi, namun dapat pula terjadi pada

trauma tak langsung. Perlu adanya tindakan operatif segera.

11) Ruptur retina

Menyebabkan timbulnya ablasio retina sehingga menyebabkan

kebutaan. Harus di lakukan operasi. Penderita ablatio retina akan

mengeluh penglihatan nya kabur secara mendadak. Pada awalnya

sebelum terjadi ablatio retina seseorang akan merasakan

penglihatannya seperti ada kotoran, ada bintik bintik hitam atau

bayang bayang hitam seperti garis garis pada lapangan

penglihatannya (floaters) dan dapat juga disertai adanya sensasi

kilatan kilatan cahaya (fotopsi) selanjutnya secara cepat

penglihatan seperti tertutup tirai dan bahkan gelap sama sekali.

20

Page 21: Bab i, II, III, IV, V

c. Diagnosis

Anamnesis

Berdasarkan anamnesis harus dicari informasi penting tentang

penyebab traumanya. Anamnesis yang detail dan akurat sangat

penting (Khurana, 2007; Lang, 2006; Bord, 2008; Egton, 2014)

Waktu terjadinya trauma

Apa yang pasien lakukan saat itu

Tipe trauma :

Trauma fisik, kimia, panas; trauma tajam atau tumpul; kecepatan

hantaman / tumbukan; Sifat dan ukuran objek; Kemungkinan

adanya benda asing (pada permukaan atau menembus)

Apakah memakai kacamata

Trauma lain sebelumnya dan terapi apa saja yang sudah

didapatkan

Riwayat gangguan penglihatan dan masalah mata lain

sebelumnya

Gejala yang dirasakan saat ini nyeri, penurunan penglihatan,

diplopia, flashes / floater, sensasi benda asing.

Riwayat medis sebelumnya, imunisasi tetanus, pengobatan yang

sedang dijalani, dan alergi

Sehubungan dengan pekerjaan: Pekerjaan yang memakai palu dan

pahat hampir selalu menunjukkan adanya benda asing intraokular.

Pekerjaan yang memotong dan memakai gerinda menunjukkan

adanya benda asing di kornea. Pekerjaan seperti pengelasan dan

memotong dengan menggunakan bara api menunjukkan

kemungkinan adanya keratokonjungtivitis ultraviolet.

Pemeriksaan Oftalmologi

Pemeriksaan fisik dimulai dengan pengukuran dan pencatatan

ketajaman penglihatan. Bila gangguan penglihatannya parah,

diperiksa proyeksi cahaya, diskriminasi dua titik, dan adanya defek

pupil aferen. Periksa motilitas mata dan sensasi kulit periorbita dan

21

Page 22: Bab i, II, III, IV, V

lakukan palpasi untuk mencari defek pada bagian tepi tulang orbita.

Pada pemeriksaan bedside, adanya enoftalmus dapat ditentukan

dengan melihat profil kornea dari atas alis. Bila tidak tersedia

slitlamp di ruang gawat darurat, senter, kaca pembesar atau

oftalmoskop yang dipasang pada +10 dapat digunakan untuk

memeriksa adanya cedera di permukaan tarsal palpebra dan segmen

anterior (Giordan, 2010).

Permukaan kornea diperiksa untuk mencari adanya benda asing,

luka, dan abrasi. Inspeksi konjungtiva bulbaris dilakukan untuk

mencari adanya perdarahan, benda asing, atau laserasi. Kedalaman

dan kejernihan bilik mata depan dicatat. Ukuran dan bentuk pupil,

serta reaksi pupil terhadap cahaya harus dibandingkan dengan mata

yang lain untuk memastikan apakah terdapat defek pupil aferan di

mata yang cedera. Mata yang lembek, visus senilai lambaian tangan

(atau lebih buruk), defek pupil aferen, atau perdarahan vitreus

mengisyaratkan adanya ruptur bola mata. Bila bola mata tidak rusak,

palpebra, konjungtiva palpebralis dan forniks dapat diperiksa secara

lebih teliti, termasik inpeksi dengan eversi palpebra superior.

Oftalmoskop direk dan indirek digunakan untuk mengamati lensa,

vitreus, diskus optikus, dan retina. Dokumentasi dengan foto

bermanfaat untuk kepentingan medikolegal pada semua kasus

trauma eksternal. Pada semua kasus trauma mata, mata yang tampak

tidak cedera juga harus diperiksa dengan teliti (Giordan, 2010).

Pemeriksaan Penunjang

Slit-lamp dan gonioskopi. Tanda yang dapat ditemukan melalui

pemeriksaan ini yang mengindikasikan adanya benda asing

intraokuler adalah: perdarahan subkonjungtiva, jaringan parut

kornea, lubang pada iris, dan gambaran opak pada lensa. Dengan

medium yang jernih, seringkali benda asing intraokuler dapat

terlihat dengan oftalmoskopi pada corpus vitreous atau bahkan

22

Page 23: Bab i, II, III, IV, V

pada retina. Benda asing yang terletak pada bilik mata depan

dapat terlihat melalui gonioskopi (Khurana, 2007; Iqbal, 2010)

X-ray orbita. Foto polos orbita antero-posterior dan lateral sangat

diperlukan untuk menentukan lokasi benda asing intraokuler

disebabkan sebagian besar benda yang menembus bola mata akan

memberikan gambaran radiopak (Khaw, 2004; Bord 2008).

Lokalisasi benda asing intraokuler perlu dilakukan untuk

melakukan penatalaksanaan berupa penyingkiran benda asing

secara tepat, pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa (Khurana,

2007; Lang, 2006):

- Lokalisasi radiografi menggunakan metode cincin limbus

merupakan metode yang sederhana, dimana cincin metalik

dari diameter kornea diikat ke limbus dan foto X-ray pun

dilakukan dengan posisi antero-posterior dan lateral, dimana

pada posisi lateral, penderita diminta untuk melihat lurus, ke

atas, dan ke bawah. Posisi benda asing diperkirakan melalui

hubungannya dengan cincin metalik pada posisi yang

berbeda.

- Lokalisasi ultrasonografi. Penggunaan ultrasonografi

merupakan prosedur non-invasif yang mampu mendeteksi

benda berdensitas radiopak dan non-radiopak (Khurana,

2007; Bord, 2008).

CT-Scan. CT-Scan potongan aksial dan koronal saat ini

merupakan metode terbaik untuk mendeteksi benda asing

intraokuler dengan menyediakan gambaran potong lintang yang

lebih unggul dalam sensitivitas dan spesifisitas dibanding foto

polos dan ultrasonografi (Khurana, 2007; Sawyer, 2009)

Tes Seidel. Tes Seidel yang positif dapat membantu mendeteksi

adanya kebocoran aqueous atau vitreous. Strip fluorescein

dibasahi dengan larutan fisiologis. Konsentrat fluorescein

berwarna jingga gelap, tetapi jika terkena dengan aqueous, maka

23

Page 24: Bab i, II, III, IV, V

dibawah sinar biru akan berubah warna menjadi hijau terang

(Pramanik, 2008).

d. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan trauma mata bergantung pada beratnya trauma

ataupun jenis trauma itu sendiri. Namun demikian ada empat tujuan

utama dalam mengatasi kasus trauma okular adalah (Ilyas, 2014;

Riordan, 2010):

1. Memperbaiki penglihatan.

2. Mencegah terjadinya infeksi.

3. Mempertahankan arsitektur mata.

4. Mencegah sekuele jangka panjang.

Setiap pasien trauma mata dengan penetrasi seharusnya

mendapatkan pengobatan antitetanus toksoid untuk mencegah

terjadinya infeksi tetanus dikemudian hari. Apabila jelas tampak

ruptur bola mata, maka manipulasi lebih lanjut harus dihindari

sampai pasien mendapat anastesi umum. Sebelum pembedahan

jangan diberi obat siklopegik ataupun antibiotik topikal karena

kemungkinan toksisitas pada jaringan intraokular yang terpajan.

Berikan antibiotik sistemik spektrum luas dan upayakan memakai

pelindung mata (Ilyas, 2014; Riordan, 2010):.

Jika terdapat benda asing, mata dapat ditutup untuk menghindari

gesekan dengan kelopak mata. Benda asing yang telah diidentifikasi

dan diketahui lokasinya harus dikeluarkan. Antibiotik sistemik dan

topikal dapat diberikan sebelum dilakukan tindakan operasi. Untuk

mengeluarkan benda asing terlebih dahulu diberikan anestesi topikal

kemudian dikeluarkan dengan menggunakan jarum yang berbentuk

kait dibawah penyinaran slit lamp. Penggunaan aplikator dengan

ujung ditutupi kapas sedapat mungkin dihindari, karena dapat

merusak epitel dalam area yang cukup luas, dan bahkan sering benda

asingnya belum dikeluarkan (Ilyas, 2014; Riordan, 2010):.

24

Page 25: Bab i, II, III, IV, V

Penanganan pada pasien hifema diantaranya :

1) Terapi Farmakologi

Pemberian analgesik berguna untuk mengurangi nyeri pada

pasien dengan hifema. Beberapa obat topikal direkomendasikan

pada pasien dengan hifema traumatik seperti pemberian miotik

untuk meningkatkan area permukaan dari iris untuk

meningkatkan penyerapan hifema.

2) Pembedahan

Intervensi pembedahan di indikasikan berdasarkan indikasi

berikut:

a) Empat hari setelah terjadinya hifema total

b) Tampak mikroskopik korneal blood staining

c) Hifema total dengan tekanan intraokuler 50 mm Hg

e. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin juga bisa terjadi setelah trauma okuli

non perforans (Ilyas, 2014; Riordan, 2010):

1. Infeksi

Trauma pada mata dapat merusak jaringan okuli dan dapat

terjadi dalam beberapa jam hingga dalam beberapa minggu

tergantung pada jenis mikroorganisme yang menjadi agen

infeksius.

2. Katarak Traumatik

Katarak pada mata dapat terjadi akibat trauma baik trauma

perforasi ataupun trauma tumpul. Pada trauma tumpul akan

terlihat katarak subkapsular anterior ataupun posterior.

Konstusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dapat

pula dalam bentuk katarak tercetak (imprinting) yang disebut

cincin Vossius. Trauma tembus akan menimbulkan katarak

yang lebih cepat, perforasi kecil akan menutup dengan cepat

25

Page 26: Bab i, II, III, IV, V

akibat proliferasi epitel sehingga bentuk kekeruhan terbatas

kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan

terbentuknya katarak dengan cepat disertai dengan

terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata depan

3. Simpatik Oftalmia

Kondisi pada mata dimana pada mata yang semula sehat

(sympathetic eye), terjadi suatu peradangan pada jaringan

uvea setelah cedera penetrasi pada salah satu mata (exciting

eye ) oleh karena trauma atau pembedahan.

f. Prognosis

Pada luka minor, mata sembuh dengan baik dan jarang terjadi

sekuele jangka panjang. Trauma orbita juga dapat menyebabkan

masalah kosmetik dan okulomotor. Namun pada trauma tembus mata

sering kali dikaitkan dengan kerusakan penglihatan berat dan

mungkin membutuhkan pembedahan. Retensi jangka panjang dari

benda asing berupa besi dapat merusak fungsi retina dengan

menghasilkan radikal bebas (Kuhn, 2012; Pieramici, 2005).

Trauma kimia pada mata dapat menyebabkan gangguan

penglihatan berat jangka panjang dan rasa tidak enak pada mata.

Trauma tumpul dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan yang

tidak dapat diterapi jika terjadi lubang retina pada fovea. Dalam

jangka panjang dapat timbul glaukoma sekunder pada mata beberapa

tahun setelah cedera awal jika jalinan trabekula mengalami

kerusakan (Kuhn, 2012; Lang, 2006; Pieremici, 2005).

26

Page 27: Bab i, II, III, IV, V

BAB III

PENYAJIAN KASUS

A. ANAMNESIS

Identitas Nama : Tn. AKJenis kelamin : Laki-laki Umur : 18 tahunAlamat : Jalan Baru Pekerjaan : PelajarAgama : IslamTanggal masuk : 7 Febuari 2015

Anamnesa dan pemeriksaan fisik dilaksanakan tanggal 7 Febuari 2015

Keluhan utama

Mata kanan merah dan kabur

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan keluhan merah dan kabur pada mata kanan

setelah sehari sebelumnya setelah dipatok oleh burung. Pasien mengaku

dipatok oleh burung saat bermain dengan burung pada mata kanannya

sehingga matanya tersebut berdarah. Pasien kemudian mencuci matanya

tersebut menggunakan air. 1 jam setelah kejadian, pasien langsung

dibawa ke IGD untuk mendapatkan pengobatan. Pasien juga mengaku

sakit saat mata berkedip dan terasa ada benda yang mengganjal pada

mata kanan. Pasien juga merasa mata kanan sering keluar air setelah

kejadian tersebut.

Riwayat penyakit dahulu

- Riwayat trauma pada mata 1 hari sebelum berobat ke poli

- Riwayat alergi disangkal.

- Riwayat darah tinggi dan gula darah disangkal.

- Riwayat gangguan pembekuan darah,

27

Page 28: Bab i, II, III, IV, V

Riwayat penyakit keluarga

Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama disangkal. Riwayat gula

darah, alergi dan trauma di sangkal.

Riwayat pengobatan dahulu

Pasien berobat ke IGD RSAA untuk mendapatkan pertolongan pertama.

B. PEMERIKSAAN FISIK

Kondisi umum : Baik

Kesadaran : Kompos mentis, GCS : E4M6V5

Tanda-tanda vital

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 89 kali/menit

Nafas : 21 kali/menit

Suhu : 36,7 C

Kepala : Normosephalia

Thoraks : Cor : tidak ada kelainan

Paru : tidak ada kelainan

Abdomen : -

Ekstremitas :-

28

Page 29: Bab i, II, III, IV, V

C. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI:

a. Visus:

OD : 6/9

OS : 6/6

b. Pemeriksaan Luar/palpasi

OD OS

Gambar 5. Mata Kanan pasien saat 1 hari setelah trauma dan 1 minggu

setelah trauma

29

Page 30: Bab i, II, III, IV, V

PEMERIKSAAN OD OSSupercilia Tidak ada Kelainan Tidak ada kelainanPalpebra Pergerakan (+), Ptosis (-),

blefarospasme (-), Edema (-), hematom (-)

Pergerakan (+), ptosis (-), blefarospasme (-), Edema (-), hematom (-)

Posisi Bola Mata Ortho Ortho Mekanisme muskular Gerak bola mata ke segala

arah baikGerak bola mata ke segala arah baik

Konjungtiva Heperemis (+), anemis (-), sekret (-), injeksi (+), benda asing (-), pertumbuhan fibrovaskular (-), Laserasi (+)

Heperemis(-), anemis(-), sekret purulen (-), injeksi (-), benda asing (-), pertumbuhan fibrovaskular (-), Laserasi (-).

Sclera Tidak ada Kelaianan Tidak ada kelainanKornea Jernih, edema (-), infiltrat

(-)Jernih, edema (-), infiltrat (-),

Bilik Mata Depan dalam, normal Dalam, normalIris Warna iris : coklat, sinekia

posterior (-)Warna iris: coklat, sinekia posterior (-),

Pupil Pupil iregular, reflek cahaya (+), reflek cahaya tak langsung (+)

pupil bulat, reflek cahaya (+), reflek cahaya tak langsung (+)

Lensa Jernih Jernih Reflek fundus (+) (+)

c. Pergerakan bola mata

30

Page 31: Bab i, II, III, IV, V

d. Palpasi dan tekanan Intraokuler

OD : Normal

OS : Normal

e. Tes Lapang Pandang Konfrontasi 1 dan 2 :

OD : Sama dengan pemeriksa

OS : Sama dengan pemeriksa

D. RESUME

Pasien Tn. AK berumur 18 tahun datang dengan keluhan merah

dan kabur pada mata kanan setelah sehari sebelumnya setelah dipatok

oleh burung. Pasien mengaku dipatok oleh burung saat bermain dengan

burung pada mata kanannya sehingga matanya tersebut berdarah.

Pasien kemudian mencuci matanya tersebut menggunakan air. 1 jam

setelah kejadian, pasien langsung dibawa ke IGD untuk mendapatkan

pengobatan. Pasien juga mengaku sakit saat mata berkedip dan terasa

ada benda yang mengganjal pada mata kanan. Pasien juga merasa mata

kanan sering keluar air setelah kejadian tersebut. Riwayat gangguan

pembekuan darah, alergi, hipertensi dan diabetes melitus disangkal.

Pada pemeriksaan oftamologis didapatkan adanya laserasi

konjungtiva pada lokasi temporal okuli dextra, injeksi konjungtiva,

kornea jernih, dan adanya perdarahan subkonjungtiva pada daerah

temporal okuli dextra. Pemeriksaan visus OD 6/9, OS 6/6. Pergerakan

otot bola mata baik, palpasi tekanan intra okuler normal.

E. DIAGNOSIS KERJA

OD : Trauma Tajam dengan Komplikasi Hematoma Subkonjungtiva

dengan laserasi konjungtiva

F. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

-

31

Page 32: Bab i, II, III, IV, V

G. TATALAKSANA

a. Non medikamentosa

- Istirahatkan mata kanan

- Kompres dingin

b. Medikamentosa

- Ciprofloxacin 2 x 500 mg

- Natrium diclofenac 2 x 1 tab

- Ranitidin 2 x 150 mg

- Tria Xitrol 4 x 2 gtt ED OD

H. EDUKASI

Menjelaskan kepada pasien mengenai kemungkinan terjadi infeksi karena

adanya robekan kecil pada konjungtiva yang mungkin terjadi jika tidak

diobati dengan baik.

Menjelaskan kepada pasien untuk kontrol teratur bila obat habis dan

terdapat keluhan memburuk.

Menjelaskan terapi yang diberikan saat ini.

Menjelaskan kepada pasien untuk tidak menggosok mata kanan, menjaga

dari paparan debu dan kotoran. Jika keluar rumah disarankan untuk

memakai kacamata ataupun ditutup.

I. PROGNOSIS

- Ad vitam : bonam

- Ad functionam : bonam

- Ad sanactionam : bonam

32

Page 33: Bab i, II, III, IV, V

BAB IV

PEMBAHASAN KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis pada pasien Tn. AK didapatkan keluhan

merah dan kabur pada mata kanan setelah sehari sebelumnya setelah dipatok

oleh burung. Pasien mengaku dipatok oleh burung saat bermain dengan

burung pada mata kanannya sehingga matanya tersebut berdarah. Pasien

kemudian mencuci matanya tersebut menggunakan air. 1 jam setelah

kejadian, pasien langsung dibawa ke IGD untuk mendapatkan pengobatan.

Pasien juga mengaku sakit saat mata berkedip dan terasa ada benda yang

mengganjal pada mata kanan. Pasien juga merasa mata kanan sering keluar

air setelah kejadian tersebut.

Pada pemeriksaan oftamologis didapatkan adanya laserasi konjungtiva

pada lokasi temporal okuli dextra, injeksi konjungtiva, kornea jernih, dan

adanya perdarahan subkonjungtiva pada daerah temporal okuli dextra.

Pemeriksaan visus OD 6/9, OS 6/6. Pergerakan otot bola mata baik, palpasi

tekanan intra okuler normal. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan

oftalmologis dapat ditarik suatu diagnosis bahwa pasien mengalami Trauma

tajam dengan komplikasi hematoma subkonjungtiva dengan laserasi

konjungtiva pada mata kanan.

Trauma yang terjadi merupakan trauma yang mengakibatkan kerobekan

pada konjungtiva. Mata merah pada pasien berasal dari perdarahan

subkonjungtiva, karena pada lapisan konjungtiva dan sklera terdapat ruang

potensial yang dapat menampung darah saat terjadinya pembuluh darah

ruptur. Darah yang sedikit telah dapat memberikan kemerahan yang yang

difus pada subkonjungtiva karena ruang tersebut tipis.

Pasien mengeluhan mata sering berair karena adanya laserasi pada

konjungtiva yang mengakibatkan peradangan, dimana pada konjungtiva

juga terdapat banyak sel goblet yang akan mensekresi mukus. Selain itu

adanya laserasi konjungtiva juga akan menyebabkan pasien merasa

33

Page 34: Bab i, II, III, IV, V

mengganjal pada mata sehingga akan merangsang refleks berkedip yang

akan menyebabkan lebih banyak air mata yang disekresi.

Pada pasien dianjurkan terapi nonmedikamentosa berupa istirahatkan

mata kanan untuk menghindari terjadinya infeksi karena adanya perlukaan

pada konjungtiva serta kompres dingin untuk merangsang vasokonstriksi

supaya mengurangi perdarahan jika perdarahan aktif. Terapi medikamentosa

yang diberikan berupa ciprofloxacin 500 mg, obat tetes mata Tria Xitrol,

natrium diklofenak dan ranitidin. Pemberian ciprofloxacin diberikan untuk

mencegah infeksi yang dapat terjadi karena adanya laserasi pada

konjungtiva. Ciprofloxacin merupakan antibiotik spektrum luas dari

golongan fluorokuinolon. Spektrum aktivitasnya mencakup bakteri gram

positif dan gram negatif, memiliki tingkat penetrasi jaringan yang baik, dan

dapat ditoleransi tubuh dengan baik. Bekerja dengan cara menghambat

replikasi DNA bakteri. Mata pasien masih hiperemis dan terasa nyeri yang

disebabkan proses inflamasi, sehingga pasien diberikan antiiflamasi

nonsteroid berupa natrium diklofenac dan obat tetes mata Tria Xitrol yang

merupakan kombinasi dari dexamethasone micronized, neomycin sulfate

dan polymyxin B sulfate. Untuk mengatasi efek samping dari ciprofloxacin

dan natrium diclofenak, pasien juga diberikan ranitidin sebagai

gastroprotektor.

Pada pasien tidak diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang

karena kelainan mata yang diakibatkan oleh trauma tersebut dapat dinilai

dengan baik melalui inspeksi tanpa pemeriksaan penunjang. Pasien di

edukasi pengenai perawatan untuk menghindari infeksi dan mengontrolkan

kembali ke poli untuk observasi lebih lanjut.

34

Page 35: Bab i, II, III, IV, V

BAB V

KESIMPULAN

Trauma pada mata dapat menimbulkan berbagai manifestasi klinis

berupa darah dibilik mata depan (hifema), perdarahan subkonjungtiva,

laserasi palpebra, laserasi konjungtiva dan lain-lain. Trauma mata yang

tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan komplikasi berupa infeksi.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftamologi yang telah

dilakukan kepada pasien, pasien di diagnosa trauma tajam dengan

komplikasi hematoma subkonjungtiva dan laserasi konjungtiva.

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien berupa terapi non

medikamentosa dan medikamentosa. Terapi tersebut bertujuan untuk

mengurangi rasa sakit pada pasien, mengurangi reaksi peradangan,

mencegah terjadinya infeksi, dan mencegah terjadinya iritasi mukosa

lambung.

35

Page 36: Bab i, II, III, IV, V

Daftar Pustaka

Bord SP, Linden J. Trauma to The Globe and Orbit in Emergency Medicine Clinics of North America. Boston: Elsevier Saunder. 2008

Eye Trauma. Egton Medical Information Systems Limited. 2014

Graham R. K., 2009, Subkonjungtival Hemorhage 1st Edition, Medscape’s Continually Updated Clinical Reference. Diakses tanggal 12 Febuari 2015, dari http://emedicine.medscape.com/article/1192122-overview.

Iqbal M. Retained Intraocular Foreign Body, Case Report. Pak J Ophtalmology. 2010; 26(3): 158-160.

Ilyas, H. Sidarta dan Sri Rahayu Yulianti, Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima, Jakarta: FKUI; 2014.

Kaimbo D., Kaimbo Wa., 2009, Epidemiology of Traumatic and Spontaneous Subconjungtival hemorrhages in Congo, Congo, Bull Soc Belge Opthalmol, 2009;(311):31-6. Diakses pada tanggal 12 Febuari 2015 dari http://pubmed.com/Epidemiology-of-Traumatic-and-Spontaneous-Subconjunctival-Hemorrhages-in-Congo/943iure .

Khaw PT, Shah P, Elkington AR. ABC of Eyes 4th Ed. London: BMJ Books. 2004.p 29-33.

Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology 4th Ed. New Delhi: New Age

International (P). 2007; p401-15.

Kuhn F. Intraocular Foreign Body. Available at www.emedicine.medscape.com. [cited on] May 12th 2012.

Lang GK. Ophtalmology, A Pocket Textbook Atlas 2nd Ed. Stuttgart: Thieme.2006.

Pieramici DJ. Open-Globe Injuries Are Rarely Hopeless : Managing the open globe calls for creativity and flexibility of surgical approach tailored to the specific case. Review of Ophthalmology [Internet]. 15 June 2005. Available from: http://www.reviewofophthalmology.com/content/d/retinal_insider/i/1315/c/25307/.

36

Page 37: Bab i, II, III, IV, V

Pramanik S. Assessment and Management of Ocular Trauma. Ophthalmology & Visual Sciences [Internet]. 28 January 2008. Available from: http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/tutorials/trauma.htm.

Sawyer MNA. Ultrasound Imaging of Penetrating Ocular Trauma.The Journal of Emergency Medicine. 2009:36(2); 181-2.

Tarlan B., dan Kiratli H., 2013, Subconjungtival Hemorrhage: Risk Factors and Potensial Indicators, Clin Ophthalmol. 2013; 7:1163-1170. Diakses pada tanggal 15 Febuari 2015, dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3702240/

Vaughan D, 2007, Oftalmologi umum, Edisi ke-17, Jakarta: WidyaMedika.

37