BAB III
ASPEK-ASPEK PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERAIRAN TELUK
BENOA BALI
3.1 Aspek Teknik
Analisis teknis dalam kajian Pengembangan Kawasan Perairan Teluk
Benoa, meliputi aspek-aspek:
- Meteorologi,
- Hidrooceanografi,
- Tsunami,
- Geoteknik, dan
- Transportasi.
3.1.1 Meteorologi
Iklim di Provinsi Bali mengalami perubahan setiap enam bulan
dalam setahun. Musim kemarau (Juni sampai dengan September)
dipengaruhi oleh aliran udara (angin) dari Benua Australia,
sedangkan musim hujan (Desember sampai Maret) dipengaruhi oleh
aliran udara (angin) dari Benua Asia dan hembusan angin di atas
permukaan Samudera Pasifik. Sedangkan musim pancaroba (transisi)
antara dua musim tersebut terjadi pada bulan April sampai Mei dan
bulan Oktober sampai November. Dimusim penghujan, angin berhembus
relatif kencang dari arah Barat dan Barat Laut, dimana musim ini
disebut musim Barat. Selama musim kemarau angin relatif kencang
berhembus dari Benua Australia (arah Tenggara), dimana pada umumnya
ditandai dengan musim layang-layang di daratan pulau Bali.Angin
yang berhembus di atas permukaan laut bisa mencapai kecepatan
antara 3040 knot, sedangkan kecepatan rata-rata di darat hanya
sekitar 5-10 knot, sedangkan pada musim pancaroba arah dan
kecepatan angin tidak menentu.Temperatur permukaan air laut di
pantai sekitar 27oC, di daratan dan perbukitan sekitar 25oC dan di
pegunungan sekitar 22oC, yang mana diukur di ketinggian puncak
gunung. Dari data hasil pengamatan Stasiun Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika Wilayah III Ngurah Rai Tuban, Bali
diperoleh fluktuasi temperatur udara bulanan seperti tercantum
dalam Tabel 3.1 berikut ini.
Tabel 3.1. Fluktuasi Temperatur Rata-Rata Udara Bulanan Provinsi
Bali.N0.BulanTemperatur Udara (oC)
1Januari27.7
2Februari27.8
3Maret27.8
4April27.6
5Mei27.3
6Juni26.7
7Juli26.0
8Agustus26.0
9September26.6
10Oktober27.6
11Nopember28.0
12Desember27.9
Rata-rata26.7
Sumber : Sta. BMKG Wilayah III Ngurah Rai Tuban Bali,
1996-2010Kelembaban udara di Provinsi Bali berkisar antara 77%
sampai dengan 81% tergantung dari musim dan letak daratan.Provinsi
Bali mempunyai variasi temperatur musiman tidak melebihi 20C dan
penurunan antara 0,600C sampai dengan 0,700C tiap kenaikan 100 m,
sedangkan rata-rata temperatur bulanan mencapai sekitar 26,50C
dengan RH (kelembaban relatif) minimum harian sering berada di
bawah 80%. Kelembaban maksimum umumnya di atas 90%. Kelembaban
relatif rata-rata tetap tinggi sepanjang tahun yaitu berkisar
85,3%.Kecepatan angin di Provinsi Bali tidak hanya dipengaruhi oleh
keterbukaan lokal daerah setempat tetapi juga dipengaruhi oleh
keterbukaan regional terhadap arah angin yang datang, karena itu
kecepatan angin lebih bervariasi dari satu tempat ketempat lain
dibandingkan dengan parameter iklim yang lain. Kecepatan angin
berkisar antara 34 s/d 87 km/hari dengan rata-rata 53,6 km/hari.
Informasi evaporasi/penguapan di Provinsi Bali tidak banyak
diperoleh. Data penguapan yang ada hanya data tahun 2000, yaitu
berkisar 0,2 s/d 2,3 mm/hari. Berdasarkan Peta Isohyet, besarnya
curah hujan tahunan kawasan pantai di provinsi Bali berkisar kurang
dari 1.500 mm, sedang di daerah pegunungan berkisar 2.500 mm s/d
3.000 mm, sehingga diperoleh rata-rata curah hujan tahunan dengan
Metode Isohyet berkisar 1.602 mm. Pada musim hujan Nopember sampai
dengan April distribusi curah hujan pada pos pengamatan berkisar 7
19 %, sedangkan pada musim kemarau berkisar antara 2 6 % dari
jumlah hujan setahun.Secara umum lokasi studi memiliki iklim tropis
dengan musim kemarau juga sekitar bulan Juni sampai September
dengan hembusan angin dominan dari benua Australia, sedangkan pada
musim hujan sekitar bulan Desember sampai bulan Maret hembusan
angin dari benua Asia dan lautan Pasifik. Peralihan musim
(pancaroba) terjadi dua kali, yaitu sekitar bulan April-Mei dan
Oktober-November.Pada musim hujan angin dominan berhembus dari arah
Barat dan Barat Laut, dimana musim ini disebut musim angin Barat,
sedangkan pada musim kemarau angin dominan berhembus dari arah
Timur dan Tenggara, kecepatan angin dipermukaan laut bisa mencapai
30 knot sampai 40 knot dan rata-rata sekitar 5 sampai 10 knot,
sedangkan pada musim peralihan (pancaroba) arah datangnya hembusan
angin tidak menentu. Arah dan kecepatan angin dari tahun 1991
sampai tahun 2010 yang tercatat di stasiun Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Ngurah Rai Tuban Bali dapat
dilihat pada Tabel 3.2 berikut ini.Tabel 3.2. Kecepatan, Arah dan
Prosentase Angin di Pulau Bali Tahun 1991 -2010.
Sudut Arah Datang Angin Derajat (o)ArahPersentase Kecepatan
Angin (knots)Total (%)
1 - 55 - 1010 - 1515 - 2020 - 25 25
337,50 - 22,50U 0.0548 0.5202 0.4928 0.3285 0.0684 0.0411
1.5058
22,50 - 67,50TL 0.0274 0.3696 0.3970 0.1643 0.0137 0.0137
0.9857
67,50 - 112,50T 0.2601 15.4004 13.2786 3.2717 0.4928 0.0274
32.7310
112,50 - 157,50TG 0.3149 12.9637 12.1150 3.3402 0.3833 0.0137
29.1308
157,50 - 202,50S 0.0274 1.2731 1.4237 0.2738 0.0411 0.0274
3.0665
202,50 - 247,50BD 0.0274 1.4511 0.9309 0.3833 0.1232 0.1095
3.0254
247,50 - 292,50B 0.3149 9.4182 9.0486 3.3812 2.3682 1.5743
26.1054
292,50 - 337,50BL - 0.8624 1.4511 0.5886 0.3970 0.1369
3.4360
Sub Total 1.0269 42.2587 39.1377 11.7316 3.8877 1.9440
99.9866
Calm 0.0134
Total 100.0000
Sumber: Analisis Data Angin BMKG Wilayah III Ngurah Rai Tuban
Bali, 1991-2010.Dari Tabel 3.2 di atas dapat dilihat bahwa arah
datangnya angin dominan di Bali pada umumnya dari arat Timur
(32,731%), Tenggara (29,131%) dan Barat (26,105%). Sedangkan di
Pantai Tanjung Benoa pembangkitan gelombang dipengaruhi oleh angin
yang berhembus dari arah Timur Laut, Timur, dan Tenggara. Jika
didistribusikan ke dalam arah, kecepatan dan prosentase angin yang
berhembus di Provinsi Bali dapat digambarkan dengan mawar angin
(wind rose) seperti Gambar 3.1 berikut ini.
Sumber: Hasil Analisis, 2012
Gambar 3.1 Mawar Angin (Wind Rose) Pulau Bali Tahun 1991
2010.
Kecepatan dan arah angin setiap bulan dari tahun 1991 sampai
dengan tahun 2010 di Pulau Bali dapat dilihat pada Gambar 3.2.
berikut ini.
Sumber: Hasil Analisis, 2012.Gambar 3.2 Mawar Angin Setiap Bulan
di Pulau Bali Tahun 19912010.Data curah hujan diambil dari stasiun
curah hujan terdekat dari lokasi Rencana Pemanfaatan dan
Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa Bali, yaitu stasiun curah
hujan Denpasar, Stasiun Mambal, dan Stasiun Sumerta. Dari data yang
terkumpul diperoleh bulan-bulan basah adalah dari bulan Desember
sampai dengan bulan Februari dengan curah hujan bulanan maksimum
346,81 mm. Curah hujan daerah Stasiun Denpasar, Stasiun Mambal, dan
Stasiun Sumerta dapat dilihat pada Gambar 3.3 berikut ini.
SHAPE \* MERGEFORMAT
Sumber: Hasil Analisis, 2012
Gambar 3.3 Curah Hujan Daerah Untuk Wilayah Denpasar, Mambal,
dan Sumerta.
3.1.2 Hidrooceanografi
Aspek-aspek hidrooceanografi terdiri dari gelombang, batimetri
dan arus Laut di Perairan Teluk Benoa.A. Gelombang
Gelombang laut terjadi oleh adanya energi yang terbentuk di
permukaan air yang disebabkan terjadinya dispersi energi angin oleh
permukaan air dalam daerah pembangkitan gelombang (wave generating
area). Angin yang berhembus di atas permukaan air laut yang semula
tenang akan menyebabkan gangguan pada permukaan air laut tersebut
dan kemudian akan terbentuk gelombang yang merambat ke pantai.
Tinggi dan periode gelombang yang terjadi dipengaruhi oleh
kecepatan angin (U), lama hembus angin (td) dan jarak seret
gelombang (Fetch).Daerah depan (foreland) dari Rencana Pemanfaatan
dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa adalah Perairan
Tanjung Benoa yang berbatasan dengan :
- Arah Timur Laut berbatasan dengan pulau Sulawesi bagian
Selatan
- Arah Timur berbatasan dengan pulau Nusa Penida
- Arah Tenggara berbatasan Samudera Indonesia.
Dengan demikian dalam perhitungan jarak seret (F) angin
diperhitungkan terhadap batasan perairan yang ada.
1. Pengolahan Data Angin
Arah angin dinyatakan dalam bentuk delapan penjuru arah angin
(Utara, Timur Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat dan
Barat Laut). Kecepatan angin disajikan dalam satuan knot, dimana
:
1 knot= 1 mil laut per jam = 0,515 meter per detik
1 mil laut= 6080 kaki (feet)= 1853 meter
Angin mengakibatkan gelombang laut, oleh karena itu data angin
dapat digunakan untuk prediksi tinggi dan arah gelombang di lokasi
studi. Hasil pengukuran angin yang diperlukan antara lain kecepatan
rata-rata, kecepatan maksimum dan arahnya. Data angin dalam studi
ini diperlukan sebagai masukan dalam peramalan gelombang.Untuk
pembangkitan gelombang digunakan data pencatatan angin dari Stasiun
BMKG Ngurah Rai-Tuban, Bali dengan lama pencatatan 20 tahun
(1991-2010). Guna pembangkitan gelombang, terlebih dahulu data
angin harian dikoreksi kemudian dikelompokkan kejadian angin dalam
5 (lima) interval kecepatan (dalam knot) dan 8 (delapan) penjuru
angin, sehingga akan didapatkan prosentase kejadian angin dan arah
dominannya dan disajikan dalam mawar angin (wind rose) seperti yang
telah disajikan pada Gambar 3.1 di atas.
a. Koreksi Elevasi
Untuk pembangkitan gelombang digunakan data kecepatan angin pada
ketinggian 10 meter dari permukaan tanah. Oleh karena data angin
yang tersedia tidak diambil pada ketinggian 10 meter, maka perlu
dikoreksi terlebih dahulu. Persamaan yang digunakan :
dengan :
U10=kecepatan angin pada ketinggian 10 m (m/det)
Uz=kecepatan angin pada ketinggian Z meter (m/det)
Z=ketinggian pengukuran (m).
Data yang terukur di BMKG Ngurah Rai Tuban-Bali diambil pada
ketinggian 3,00 meter dari muka air laut, sehingga data angin yang
tersedia harus dihitung berdasarkan rumus di atas.
b. Koreksi Stabilitas
Jika ada perbedaan temperatur udara-laut (Ts = Ta Ts dimana Ta
adalah temperatur udara dan Ts adalah temperatur air laut, maka
perlu dilakukan koreksi stabilitas dengan RT adalah faktor koreksi
(CERC, 1984).
UT = RT ( U10
dengan:
U = kecepatan angin (m.dt-1)
U10 = kecepatan angin yang diukur pada 10 meter (m.dt-1)
RT = faktor koreksi stabilitas
Nilai RT diperoleh dari grafik dalam gambar 3.4 di bawah
ini.
Gambar 3.4 Faktor koreksi RT, sebagai pengaruh perbedaan
temperatur antara udara dan air laut (Nur Yuwono, 1990)c. Koreksi
Lokasi
Karena data pencatatan angin yang didapat tidak berada di lokasi
pekerjaan kawasan reklamasi maka pembangkitan gelombang digunakan
data pencatatan angin dengan koreksi lokasi (RL). Bila lokasi
anemometer dekat dengan pantai nilai RL=1, namun apabila letaknya
jauh dari pantai, maka data tersebut harus dikoreksi dengan
koefisien RL. Dimana UW adalah kecepatan angin di atas laut dan UL
adalah kecepatan angin di atas daratan (CERC, 1984). Nilai RL
diperoleh dari grafik pada gambar 3.5. di bawah ini.
Gambar 3.5 Faktor koreksi RL. (Nur Yuwono, 1990)Sehingga
kecepatan angin yang telah terkoreksi adalah:
U = RT ( RL ( U10
dengan:
U= kecepatan angin terkoreksi (m.dt-1)
RT= faktor koreksi stabilitas
RL= faktor koreksi lokasi
U10= kecepatan angin pada elevasi 10 m (m.dt-1)
Kecepatan angin yang dipakai dalam menentukan besarnya gelombang
yang terjadi di tengah laut dipakai kecepatan angin terkoreksi
dengan memasukan faktor tegangan angin (wind stress factor) dengan
menggunakan rumus sebagai berikut ini.
UA = 0,71 U 1,23dengan:
U = kecepatan angin terkoreksi (m.dt-1).
Adapun besarnya kecepatan maksimum angin terkoreksi dari tahun
1991 sampai dengan tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut
ini.Tabel 3.3. Kecepatan Angin Terkoreksi (UA) Tahun
1991-2010TahunUmax (knots)Umax (m/dt)UA (m/dt)
1991 20.000 10.280 16.847
1992 19.000 9.766 15.998
1993 27.000 13.878 21.611
1994 22.000 11.308 18.337
1995 25.000 12.850 20.281
1996 21.000 10.794 17.787
1997 23.000 11.822 18.868
1998 23.000 11.822 18.868
1999 26.000 13.364 20.891
2000 15.000 7.710 12.987
2001 17.000 8.738 14.588
2002 18.000 9.252 15.224
2003 14.000 7.196 12.311
2004 16.000 8.224 13.836
2005 18.000 9.252 15.224
2006 23.000 11.822 18.868
2007 18.000 9.252 15.224
2008 20.000 10.280 16.847
2009 29.000 14.906 23.002
2010 21.000 10.794 17.787
Sumber: Hasil Analisis, 2010.2. Pembangkitan Gelombang
Gelombang yang terjadi dibangkitkan oleh energi angin di laut
lepas atau disebut sebagai daerah pembentukan gelombang, sedangkan
kondisi dari terbentuknya gelombang sampai terjadi gelombang yang
teratur yang merambat ke pantai disebut daerah pembangkitan
gelombang (wave generating area) seperti dilukiskan pada Gambar 3.6
berikut ini.
Gambar 3.6 Sketsa Daerah Pembangkitan Gelombang.
Panjang daerah pembentukan gelombang ditentukan fetch yang
terbentuk untuk masing-masing arah mata angin. Untuk lokasi
penelitian panjang fetch diambil dari 3 (tiga) arah, yaitu Timur
Laut, Timur, dan Tenggara seperti tergambar pada Gambar 3.7, 3.8,
dan 3.9 berikut ini.
Gambar 3.7 Gambar Fetch Efektif Tanjung Benoa Arah Timur
Laut.
Gambar 3.8 Gambar Fetch Efektif Tanjung Benoa Arah Timur.
Gambar 3.9 Gambar Fetch Efektif Tanjung Benoa Arah Tenggara.
Dari perhitungan Fetch Efektif diperoleh seperti tercantum dalam
Tabel 3.4, 3.5, dan 3.6 berikut ini.Tabel 3.4. Perhitungan Fetch
Efektif Tanjung Benoa Arah Timur Laut.ArahNo.ai ( o )Jarak Pada
Peta (cm)Cos. ai Jarak Sebenarnya Xi (km)Xi Cos. aiFeff (km)
Timur Laut14200.74339 - - 68.80
23600.80920 - -
33000.86616 - -
42400.91363 - -
5180.450.95111 9.00 8.56
6120.670.97817 13.40 13.11
761.30.99453 26.00 25.86
801.41.00000 28.00 28.00
9-62.50.99453 50.00 49.73
10-122.880.97817 57.60 56.34
11-183.410.95111 68.20 64.87
12-2412.990.91363 259.80 237.36
13-3012.010.86616 240.20 208.05
14-3612.230.80920 244.60 197.93
15-422.680.74339 53.60 39.85
Jumlah13.51238 929.65
Sumber: Hasil Analisis, 2013Tabel 3.5. Perhitungan Fetch Efektif
Tanjung Benoa Arah Timur.
ArahNo.ai ( o )Jarak Pada Peta (cm)Cos. ai Jarak Sebenarnya Xi
(km)Xi Cos. aiFeff (km)
Timur1422.430.74339 48.60 36.13 332.62
2362.870.80920 57.40 46.45
3303.360.86616 67.20 58.21
42413.340.91363 266.80 243.76
51811.80.95111 236.00 224.46
61212.30.97817 246.00 240.63
762.740.99453 54.80 54.50
802.641.00000 52.80 52.80
9-63.110.99453 62.20 61.86
10-123.330.97817 66.60 65.15
11-184.110.95111 82.20 78.18
12-24500.91363 1,000.00 913.63
13-30500.86616 1,000.00 866.16
14-36500.80920 1,000.00 809.20
15-42500.74339 1,000.00 743.39
Jumlah13.51238 4,494.50
Sumber: Hasil Analisis, 2013Tabel 3.6. Perhitungan Fetch Efektif
Tanjung Benoa Arah Tenggara.
ArahNo.ai ( o )Jarak Pada Peta (cm)Cos. ai Jarak Sebenarnya Xi
(km)Xi Cos. aiFeff (km)
Tenggara422.680.74339 53.60 39.85 770.41
363.10.80920 62.00 50.17
303.520.86616 70.40 60.98
244.330.91363 86.60 79.12
18500.95111 1,000.00 951.11
12500.97817 1,000.00 978.17
6500.99453 1,000.00 994.53
0501.00000 1,000.00 1,000.00
-6500.99453 1,000.00 994.53
-12500.97817 1,000.00 978.17
-18500.95111 1,000.00 951.11
-24500.91363 1,000.00 913.63
-30500.86616 1,000.00 866.16
-36500.80920 1,000.00 809.20
-42500.74339 1,000.00 743.39
Jumlah13.51238 10,410.11
Sumber: Hasil Analisis, 20133. Lama Hembus (Duration)
Lama hembus ditentukan berdasarkan lama badai yang terjadi.
Berdasarkan hasil studi model distribusi kecepatan angin pada saat
badai di Indonesia Wilayah Barat (Surya, 2002), Indonesia Wilayah
Tengah (Thambas, 2003) dan Indonesia Wilayah Timur (Hendri Edi,
2004) dapat disimpulkan bahwa:
a. Badai yang terjadi di Indonesia maksimum 8 jam dengan
distribusi kecepatan angin: tiga jam pertama 60% s/d. 70% dari
Umaks, dua jam berikutnya: 100% Umaks, dan tiga jam terakhir 60%
s/d 70% Umaks.
b. Peramalan gelombang dengan distribusi kecepatan tersebut di
atas hasilnya setara dengan peramalan tinggi gelombang dengan Umaks
dengan lama hembus 4 jam s/d. 5 jam.
Dalam penentuan tinggi gelombang signifikan (Hs) dan periode
gelombang signifikan (Ts) didasarkan kepada lama hembus angin (time
duration) selama 4 jam.
4. Gelombang Signifikan
Gelombang laut terjadi karena angin bertiup dari arah tertentu
dan memiliki panjang fetch (daerah pembangkitan gelombang). Tinggi
gelombang di lokasi pekerjaan dianalisis menggunakan metode Deep
Water Wave Forecasting (CERC, 1984) dengan parameter perhitungan
adalah kecepatan angin yang bertiup dan panjang fetchnya.
Berdasarkan kecepatan angin maximum terkoreksi (UA), Jarak seret
efektif (F) dan lama hembus angin (duration = td) dapat ditentukan
tinggi gelombang signifikan (Hs) dan Periode gelombang signifikan
(Ts) berdasarkan Gambar 3.10.
Sumber: CERC,1984.Gambar 3.10 Deep Water Wave Forecasting
CurveDari Gambar 3.10 ditentukan besarnya tinggi gelombang
signifikan (Hs) dan Periode gelombang signifikan (Ts) masing-masing
tahun dari tahun 1991 sampai dengan tahun 2010 seperti tercantum
dalam Tabel 3.7 berikut ini.Tabel 3.7. Tinggi Gelombang dan Periode
Gelombang Signifikan 1991-2010.
TahunUmax (knots)Umax (m/dt))UA (m/dt)ArahFetch LimitedTime
Duration Limited
FeffHs (m)Ts (dt)Hs (m)Ts (dt)
199120.00 10.28 16.847Timur 332.62 4.30 10.60 1.45 5.10
199219.00 9.77 15.998Tenggara 770.41 6.50 13.50 1.65 5.30
199327.00 13.88 21.611Timur 332.62 6.20 11.95 2.30 6.40
199422.00 11.31 18.337Timur332.62 5.50 11.60 1.80 5.65
199525.00 12.85 20.281Timur Laut68.80 3.45 8.20 2.20 5.95
199621.00 10.79 17.787Timur 332.62 5.60 11.80 1.85 5.60
199723.00 11.82 18.868Tenggara 770.41 7.50 13.90 1.90 5.80
199823.00 11.82 18.868Timur 332.62 5.95 12.00 1.85 5.75
199926.00 13.36 20.891Timur 332.62 6.50 12.40 2.25 6.05
200015.00 7.71 12.987Timur 332.62 4.05 10.90 1.20 4.80
200117.00 8.74 14.588Timur 332.62 4.60 11.00 1.40 5.05
200218.00 9.25 15.224Timur Laut68.80 2.60 7.50 1.45 5.20
200314.00 7.20 12.311Timur 332.62 3.95 10.50 1.15 4.70
200416.00 8.22 13.836Timur 332.62 4.20 10.80 1.25 4.80
200518.00 9.25 15.224Timur 332.62 4.70 11.10 1.50 5.20
200623.00 11.82 18.868Tenggara 770.41 7.50 13.95 1.95 5.80
200718.00 9.25 15.224Tenggara 770.41 5.95 12.90 1.50 5.15
200820.00 10.28 16.847Tenggara 770.41 6.50 13.30 1.70 5.40
200929.00 14.91 23.002Tenggara 770.41 9.20 14.90 2.60 6.50
201021.00 10.79 17.787Timur 332.62 5.60 11.80 1.85 5.60
Sumber: Hasil Analisis, 2013Dari Tabel 3.7 terlihat bahwa
kejadian gelombang di Pantai Tanjung Benoa ditentukan berdasarkan
lamanya angin berhembus (time duration limited) dan dapat dilihat
pada Tabel 3.8 berikut ini.Tabel 3.8. Tinggi Gelombang dan Periode
Gelombang Signifikan 1991 2010.TahunHs (m)Ts (m)
19911.455.10
19921.655.30
19932.306.40
19941.805.65
19952.205.95
19961.855.60
19971.905.80
19981.855.75
19992.256.05
20001.204.80
20011.405.05
20021.455.20
20031.154.70
20041.254.80
20051.505.20
20061.955.80
20071.505.15
20081.705.40
20092.606.50
20101.855.60
Sumber: Hasil Analisis, 20135. Gelombang Rencana
Perencanaan dan disain bangunan pantai direncanakan untuk suatu
umur bangunan tertentu dimana bangunan itu diharapkan dapat menahan
segala gaya-gaya yang bekerja, termasuk tinggi gelombang dengan
kala ulang tertentu. Peramalan tinggi gelombang kala ulang pada
pekerjaan ini menggunakan beberapa metode distribusi, yaitu
Fisher-Tippett Type I, Gumbel, Weibull (Triatmodjo, 2008)a.
Perhitungan Kala Ulang Gelombang Metode Fisher-Tippett Type
IAnalisis kala ulang gelombang metode Fisher-Tippett Type I, dengan
bentuk persamaan distribusi:
dengan:
H:tinggi gelombang representatif
H^:tinggi gelombang dengan nilai tertentu
A:parameter skala
B:parameter lokasi
Tabel 3.9. Tinggi Gelombang Kala Ulang Metode Fisher-Tippet Type
IKala UlangHsr + 1.28 sr
(tahun)(m)
21.81
52.24
102.53
252.92
503.20
1003.49
Sumber: Hasil Analisis, 2013b. Perhitungan Kala Ulang Gelombang
Metode GumbelDari analisis kala ulang gelombang menggunakan metode
Gumbel, menggunakan persamaan sebagai berikut sebagai berikut:
dengan:
HT: Tinggi gelombang representatif
: Tinggi gelombang dengan nilai tertentu
(H: Standar Deviasi H (Tabel Yuwono, 1992:II-6)
N(: Standar Deviasi N (Tabel Yuwono, 1992:II-6)
Y: Konstanta menurut periode ulang (Tabel Yuwono, 1992:II-6)
: Rerata nilai YTabel 3.10. Tinggi Gelombang Kala Ulang Metode
GumbelKala UlangHsr
(tahun)(m)
21.70
52.17
102.48
252.87
503.17
1003.45
Sumber: Hasil Analisis, 2013c. Perhitungan Kala Ulang Gelombang
Metode WeibullDistribusi kala ulang gelombang dengan menggunakan
metode Weibull, memakai persamaan dasar sebagai berikut:
dengan:
H: tinggi gelombang representatif
H^: tinggi gelombang dengan nilai tertentu
A: parameter skala
B: parameter lokasi
K: parameter bentuk
Tabel 3.11. Tinggi Gelombang Kala Ulang Metode WeibullKala
UlangHsr + 1.28 sr
(tahun)(m)
21.77
52.25
102.70
253.38
503.95
1004.54
Sumber: Hasil Analisis, 2013Tabel 3.12. Rekapitulasi Tinggi
Gelombang Kala Ulang (m).
Kala Ulang (tahun)Metode
GumbelFisher-Tippet Type IWeibull
HsTsHsTsHsTs
2 1.70 5.38 1.81 5.52 1.77 5.46
5 2.17 5.97 2.24 6.05 2.25 6.06
10 2.48 6.35 2.53 6.42 2.70 6.63
25 2.87 6.84 2.92 6.89 3.38 7.48
50 3.17 7.21 3.20 7.25 3.95 8.18
100 3.45 7.57 3.49 7.61 4.54 8.93
Sumber: Hasil Analisis, 20136. Penentuan Tinggi Gelombang
Rencana
Tinggi gelombang rencana untuk perairan Pantai Tanjung Benoa
yang terletak di sebelah Timur Pulau Bali digunakan hasil analisis
menggunakan Distribusi Gumbel. Arah dominan gelombang datang dari
Timur sampai Tenggara.
7. Tinggi Gelombang di Lokasi Bangunan
Refraksi merupakan peristiwa pembelokan puncak gelombang dan
berusaha sejajar dengan garis kontur dasar laut akibat variasi
dasar laut. Pendangkalan gelombang (shoaling) adalah perubahan
tinggi gelombang akibat perubahan kedalaman laut dimana gelombang
tersebut menjalar. Refraksi dan pendangkalan gelombang akan dapat
menentukan tinggi gelombang di suatu titik dengan kedalaman
tertentu berdasarkan karakteristik gelombang datang. Tinggi
gelombang laut pada lokasi bangunan dapat diberikan dalam
bentuk:
dengan :
Ho:tinggi gelombang laut dalam ekivalen,
Ho:tinggi gelombang laut dalam,
Kr:koefisien refraksi.
Ks:koefisien shoalingSelama penjalaran gelombang menuju pantai
disamping adanya refraksi dan shoaling, juga mengalami refleksi
gelombang dan gelombang pecah. Difraksi gelombang terjadi apabila
tinggi gelombang di suatu titik pada garis puncak gelombang lebih
besar daripada titik di dekatnya, yang menyebabkan perpindahan
energi sepanjang puncak gelombang ke arah tinggi gelombang yang
lebih kecil. Difraksi terjadi apabila suatu deretan gelombang
terhalang oleh rintangan seperti pemecah gelombang atau suatu
daratan pulau. Gelombang yang menjalar dari laut dalam menuju
pantai akan mengalami perubahan bentuk. Di laut dalam bentuk
gelombang adalah sinusoidal, di laut transisi dan dangkal puncak
gelombang menjadi semakin tajam sementara lembah gelombang semakin
landai. Pada suatu kedalaman tertentu puncak gelombang sedemikian
tajam sehingga tidak stabil dan pecah. Setelah pecah gelombang
terus menjalar ke pantai, dan semakin dekat dengan pantai tinggi
gelombang semakin berkurang.
Tinggi gelombang di lokasi bangunan dihitung dengan dua cara
berikut ini:
Analisis refraksi, pendangkalan dan gelombang pecah berdasar
karakteristik gelombang di laut dalam. Gelombang maksimum yang
mungkin terjadi di lokasi bangunan, langkah perhitungan sesuai
dengan rumusan yang tercantum pada gambar 3.11 berikut ini.
Gambar 3.11 Refraksi dan Shoaling pada Perambatan Gelombang.Dari
analisis refraksi dan pendangkalan (shoaling) gelombang diperoleh
ketinggian gelombang di setiap kedalaman seperti tercantum pada
tabel 3.13 berikut ini.Tabel 3.13. Tinggi Gelombang di
Masing-Masing Kedalaman.Gumbel Kala Ulang 25 Tahun
Arah gelombang dari Timur Laut
T =6.8432377dt
a =45o
Ho =2.875m
Lo =73.153m
Co =10.690m/dt
d (m)d/Lod/LLC (m/dt)naKrKsHi (m)
400.54680.481183.14312.1500.507053.4821.0900.9322.919
300.41010.414572.37510.5760.528544.3930.9950.9782.796
200.27340.288069.43710.1470.597142.1590.9770.9392.637
150.20500.229365.4059.5580.662039.2140.9550.9192.524
100.13670.172457.9918.4740.751534.0940.9240.9162.433
50.06830.112144.6236.5210.886425.5520.8850.9622.447
3.004 0.04110.084435.5795.1990.917220.1150.8681.0592.641
Sumber: Hasil Analisis, 2013Gumbel Kala Ulang 25 Tahun
Arah gelombang dari Timur
T = 6.84 dt
a =0o
Ho =2.875m
Lo =73.153m
Co =10.690m/dt
d (m)d/Lod/LLC (m/dt)naKrKsHi (m)
400.54680.481183.14312.1500.50700.0001.0000.9872.836
300.41010.414572.37510.5760.52850.0001.0000.9642.770
200.27340.288069.43710.1470.59710.0001.0000.9272.664
150.20500.229365.4059.5580.66200.0001.0000.9142.627
100.13670.172457.9918.4740.75150.0001.0000.9222.651
50.06830.112144.6236.5210.88640.0001.0000.9992.870
3.0040.04110.084435.5795.1990.91720.0001.0001.1893.418
Sumber: Hasil Analisis, 2013Gumbel Kala Ulang 25 Tahun
Arah gelombang dari Tenggara
T = 6.84 dt
a =135o
Ho =2.875m
Lo =73.153m
Co =10.690m/dt
d (m)d/Lod/LLC (m/dt)naKrKsHi (m)
400.5470.46885.54312.5000.507055.7791.1210.9873.180
300.4100.35684.27012.3140.528554.5441.1040.9643.058
200.2730.25279.27111.5840.597150.0171.0490.9272.794
150.2050.20373.78310.7820.662045.4951.0040.9142.638
100.1370.15564.6419.4460.751538.6700.9520.9222.523
50.0680.10248.8767.1420.886428.1930.8960.9992.571
3.0040.0410.06347.3756.9230.917227.2530.8921.1783.020
Sumber: Hasil Analisis, 20138. Analisis Gelombang Pecah
Kondisi gelombang pecah ditentukan dari kedalaman dasar laut dan
kemiringan gelombang. Gelombang dari laut dalam bergerak menuju
pantai akan bertambah kemiringannya sampai akhirnya tidak stabil
dan pecah pada kedalaman tertentu. Kedalaman tersebut disebut
kedalaman pecah (db). Untuk menganalisis gelombang pecah digunakan
persamaan yang dikemukakan oleh Munk (1949) sbb.:
dengan:
Keterangan:
Hb:tinggi gelombang pecah (m)
Ho:tinggi gelombang di laut dalam tidak terefraksi (m)
Lo:panjang gelombang di laut dalam (m)
db:kedalaman laut saat gelombang pecah (m)
m:Kemiringan
Tinggi Gelombang pecah (Hb) dan kedalaman gelombang pecah (db)
untuk masing-masing kala ulang gelombang dapat dilihat pada Tabel
3.14 berikut ini.Tabel 3.14. Tinggi dan Kedalaman Gelombang
Pecah.Lokasi Pantai Tanjung Benoa (metode Gumbel)KalaTinggi
PeriodeCepat Rambat PanjangKemiringanTinggi.gelKedalaman
NoUlang GelombangGelombangGelombangGelombangDasarPecahGel.
Pecah
(tahun)Ho (m)To (dt)Co (m.dt)Lo (m)mHb (m)db (m)
121.7045.3818.40545.2230.0201.5401.801
252.1735.9669.31955.5980.0201.9402.274
3102.4836.3539.92563.0560.0202.2112.593
4252.8756.84310.69073.1530.0202.5623.004
5503.1657.20711.25781.1270.0202.8283.314
61003.4547.56711.82189.4490.0203.0963.626
Lokasi Pantai Tanjung Benoa (metode Fisher Typpet Type
I)KalaTinggi PeriodeCepat Rambat
PanjangKemiringanTinggi.gelKedalaman
NoUlang GelombangGelombangGelombangGelombangDasarPecahGel.
Pecah
(tahun)Ho (m)To (dt)Co (m.dt)Lo (m)mHb (m)db (m)
121.8155.5188.62047.5680.0201.6331.911
252.2376.0469.44457.0950.0201.9962.339
3102.5346.41710.02564.3310.0202.2572.646
4252.9166.89510.77174.2630.0202.6003.047
5503.2027.25211.32882.1530.0202.8623.353
61003.4867.60811.88490.4060.0203.1273.661
Lokasi Pantai Tanjung Benoa(metode Weibull)NoKalaTinggi
PeriodeCepat Rambat PanjangKemiringanTinggi.gelKedalaman
Ulang GelombangGelombangGelombangGelombangDasarPecahGel.
Pecah
(tahun)Ho (m)To (dt)Co (m.dt)Lo (m)mHb (m)db (m)
121.7695.4628.53246.5970.0201.5951.866
252.2486.0609.46757.3710.0202.0062.351
3102.7036.62910.35468.6350.0202.4072.822
4253.3837.47911.68387.3830.0203.0313.549
5503.9468.18312.782104.5960.0203.5654.170
61004.5448.93013.950124.5780.0204.1524.846
Sumber: Hasil Analisis, 20139. Pasang-Surut
Pengamatan pasang surut dilakukan di Pelabuhan Benoa - Bali.
Pengukuran dilaksanakan selama 45 hari dengan pencatatan elevasi
muka air setiap 1 jam. Pengamatan pasang surut dimaksudkan untuk
mendapatkan konstanta harmonik pasang surut. Kurva pasang surutnya
disajikan dalam Gambar 3.12. di bawah ini.
Gambar 3.12 Pasang Surut Teluk Benoa Bali.
Dari hasil analisis pasang surut tersebut, dapat ditentukan
nilai muka air laut surut (low water level = LWL), muka air laut
rata-rata (mean sea level = MSL), dan muka air laut pasang (high
water level = HWL) yang selanjutnya akan digunakan sebagai acuan
desain secara keseluruhan. Semua elevasi pengukuran yang ada akan
ditarik dari nilai BM yang telah terkoreksi dengan benar
berdasarkan nilai pengamatan pasang surut.
Muka Air Tinggi (HWL) = + 2.700 m
Muka Air Rerata (MSL) = + 1.350 m
Muka Air Surut (LWL) = + 0.000 m
Pengukuran pasang surut di Pelabuhan Benoa Bali memperlihatkan
bahwa tipe pasang surut yang terjadi adalah pasang surut harian
ganda (semi diurnal tide). Periode pasang surut rata-rata adalah 12
jam 24 menit.
10. Gelombang di Teluk Benoa
Ketinggian gelombang di Perairan Teluk Benoa lebih kecil
dibandingkan dengan gelombang yang terjadi di luar lokasi Teluk
Benoa, karena gelombang yang terjadi di Teluk Benoa akibat dari
proses difraksi gelombang yang terjadi di Tanjung Benoa. Dengan
anggapan bahwa Tanjung Benoa dan pulau Serangan merupakan rintangan
yang melindungi wilayah Teluk Benoa dari serangan gelombang yang
datang ke Pantai Tanjung Benoa, dimana tinggi gelombang yang
terjadi di belakang rintangan tergantung dari jarak titik yang
ditinjau terhadap ujung rintangan (mulut pelabuhan pada alur
pelayaran), sudut antara rintangan dan garis yang menghubungkan
titik tersebut dengan ujung rintangan, dan sudut antara arah
penjalaran gelombang dan rintangan. Adapun tinggi maksimum
gelombang yang terjadi di Kawasan Perairan Teluk Benoa pada
masing-masing jarak dari Tanjung Benoa dapat dilihat pada Tabel
3.15 berikut ini.Tabel 3.15. Tinggi Gelombang di Perairan Teluk
Benoa.
rr/LpKD HA (m)
700.00 11.1278 0.5277 1.3940
900.00 14.3072 0.5214 1.3772
1,100.00 17.4866 0.5150 1.3604
1,300.00 20.6660 0.5087 1.3436
1,500.00 23.8454 0.5023 1.3269
1,700.00 27.0248 0.4960 1.3101
1,900.00 30.2042 0.4896 1.2933
2,100.00 33.3835 0.4832 1.2765
2,300.00 36.5629 0.4769 1.2597
2,500.00 39.7423 0.4705 1.2429
2,700.00 42.9217 0.4642 1.2261
2,900.00 46.1011 0.4578 1.2093
3,100.00 49.2805 0.4514 1.1925
3,300.00 52.4598 0.4451 1.1757
3,500.00 55.6392 0.4387 1.1589
3,700.00 58.8186 0.4324 1.1421
3,900.00 61.9980 0.4260 1.1253
4,100.00 65.1774 0.4196 1.1085
4,300.00 68.3568 0.4133 1.0917
Sumber: Hasil Analisis, 2013
11. Elevasi Minimal Lahan Reklamasi
Berdasarkan kejadian gelombang di Perairan Teluk Benoa dapat
ditentukan persyaratan minimal untuk ketinggian lahan yang ada di
lokasi rencana reklamasi, sehingga lahan yang ada tentunya tidak
terlimpasi (overtopping) oleh adanya limpasan gelombang.Beberapa
proses alam yang terjadi dalam waktu yang bersamaan membentuk
variasi muka air laut dengan periode panjang. Proses alam tersebut
meliputi tsunami, gelombang badai (storm surge), kenaikan muka air
laut karena gelombang (wave set-up), kenaikan muka air laut akibat
perubahan suhu global (sea level rise), dan pasang surut. Dari
hasil perhitungan diperoleh ketinggian elevasi muka air laut di
Perairan Teluk Benoa seperti terlihat pada Tabel 3.16 berikut
ini.Tabel 3.16. Elevasi Minimal Mercu Bangunan dari LWL di Teluk
Benoa-Bali.
Jarak dari Tanjung Benoa (m)Tinggi Gelombang (m)Irribarent
Number (Ir) RevetmentIrribarent Number (Ir) PantaiRun-up Revetment
(m)Run-up Pantai (m)Wave Set-up (m)Storm Surge (m)Elevasi Mercu
Bangunan dari LWL
7001.3940 2.5217 0.1009 1.7554 0.0703 0.3892 0.2482 5.0928
900 1.3772 2.5217 0.1009 1.7343 0.0695 0.3892 0.2482 5.0716
1100 1.3604 2.5217 0.1009 1.7131 0.0686 0.3892 0.2482 5.0505
1300 1.3436 2.5217 0.1009 1.6920 0.0678 0.3892 0.2482 5.0293
1500 1.3269 2.5217 0.1009 1.6708 0.0669 0.3892 0.2482 5.0082
1700 1.3101 2.5217 0.1009 1.6497 0.0661 0.3892 0.2482 4.9870
1900 1.2933 2.5217 0.1009 1.6285 0.0652 0.3892 0.2482 4.9659
2100 1.2765 2.5217 0.1009 1.6074 0.0644 0.3892 0.2482 4.9447
2300 1.2597 2.5217 0.1009 1.5862 0.0635 0.3892 0.2482 4.9236
2500 1.2429 2.5217 0.1009 1.5651 0.0627 0.3892 0.2482 4.9024
2700 1.2261 2.5217 0.1009 1.5439 0.0618 0.3892 0.2482 4.8813
2900 1.2093 2.5217 0.1009 1.5228 0.0610 0.3892 0.2482 4.8601
3100 1.1925 2.5217 0.1009 1.5016 0.0601 0.3892 0.2482 4.8390
3300 1.1757 2.5217 0.1009 1.4805 0.0593 0.3892 0.2482 4.8178
3500 1.1589 2.5217 0.1009 1.4593 0.0584 0.3892 0.2482 4.7967
3700 1.1421 2.5217 0.1009 1.4382 0.0576 0.3892 0.2482 4.7755
3900 1.1253 2.5217 0.1009 1.4170 0.0568 0.3892 0.2482 4.7544
4100 1.1085 2.5217 0.1009 1.3959 0.0559 0.3892 0.2482 4.7332
4300 1.0917 2.5217 0.1009 1.3747 0.0551 0.3892 0.2482 4.7121
Sumber: Hasil Analisis, 2013B. Batimetri
Kedalaman laut yang sering disebut dengan batimetri (bathymetri)
sangat berpengaruh terhadap perencanaan dan pelaksanaan reklamasi,
kapal-kapal yang akan membawa bahan urugan memerlukan kedalaman air
yang sama dengan sarat (draft) kapal ditambah suatu kedalaman
tambahan.Dari peta batimetri Perairan Teluk Benoa dan kawasan
sekitarnya yang ada terlihat kedalaman perairan cukup memenuhi
persyaratan kedalaman perairan, kedalaman alur masuk kapal sekitar
sembilan meter dari muka air surut kurang lebih berjarak 300 meter
dari ujung Tanjung Benoa dan Pulau Serangan dengan lebar alur lebih
dari 300 meter.Kedalaman perairan yang rencananya direklamasi
sekitar 0,00 sampai -1,00 dari muka air surut (low water
level,LWL), sedangkan di tengah-tengahnya ada alur alami dengan
kedalaman antara -3,00 sampai dengan -5,00 dari LWL.Konfigurasi
kontur perairan (bathymetri) di kawasan Perairan Teluk Benoa Bali
terutama di wilayah yang akan direklamasi sangat datar berkisar 1%
sampai 2% pada pesisir pantai yang landai, sedangkan pada kawasan
Tanjung Benoa Bali sangat dalam dan curam dengan jarak 60 meter
dari tebing pantai kedalaman sudah mencapai 80 meter di bawah muka
air laut terendah, konfigurasi kontur perairan ini disebabkan
bentukan daratan berupa pegunungan dari pembekuan lelehan lava yang
membeku.
C. Arus Laut di Perairan Teluk Benoa
Arus laut yang terjadi di Perairan Teluk Benoa disebabkan adanya
fluktuasi muka air laut antara kawasan perairan Teluk Benoa dan
lepas pantai Tanjung Benoa (Selat Lombok dan Samudera Hindia)
karena adanya pasang surut, arus ini menyebabkan terjadi kecepatan
aliran air laut yang keluar masuk lewat celah sempit dari alur
pelayaran yang berada diantara Tanjung Benoa dan Pulau
Serangan.
Alat pengukur arus laut yang dipakai adalah Sontex Argonaut ADV
(Acoustic Doppler Velocimeter) yang diletakkan pada dasar perairan,
sehingga dapat diketahui kecepatan arus pada setiap kedalaman.
Survei arus laut dilaksanakan dua hari sebelum dan sesudah bulan
purnama, yaitu pada tanggal 28 September 2012 sampai dengan tanggal
9 Oktober 2012 dengan tanggal 30 September 2012 merupakan bulan
purnama. Lokasi penempatan alat ditempatkan tepat di tengah alur
pelayaran tempat keluar masuknya kapal di perairan Teluk Benoa,
yaitu pada posisi 8o4504,21 LS dan 115o1313,92 BT. Untuk lebih
jelasnya penempatan posisi alat tersebut dapat dilihat pada Gambar
3.13 berikut ini.
SHAPE \* MERGEFORMAT
Gambar 3.13 Alat Pengukur Arus Laut dan Lokasi Pengukuran di
Teluk Benoa.
Kecepatan arus yang terukur adalah pada kedalaman 0,2 D; 0,4D;
0,6D; dan 0,8D dengan arah arus masuk dominan antara Barat dengan
Barat Laut (WNW) dan arus keluar dominan antara Timur dengan
Tenggara (ESE) sesuai dengan arah bentangan alur masuk ke perairan
Teluk Benoa. Untuk lebih jelasnya arah dan besaran kecepatan arus
yang terjadi pada alur masuk perairan Teluk Benoa dapat dilihat
pada Gambar 3.14. di bawah ini.
Gambar 3.14 Arah dan Kecepatan Arus Pasang Surut di Teluk
Benoa.
Dari Gambar 3.14 terlihat bahwa kecepatan maksimum arus keluar
masuk Kawasan Perairan Teluk Benoa terjadi pada saat air laut akan
mulai pasang maupun pada saat akan mulai surut. Kecepatan arus
maksimum yang tercatat pada saat survei adalah sebesar 152 cm/dt
(1,52 m/dt) dengan arah keluar dari Kawasan Perairan Teluk Benoa.
Hal ini menandakan bahwa kecepatan masa air yang keluar pada saat
air laut surut sangat besar apabila dibandingkan dengan kecepatan
masa air masuk Kawasan Perairan Teluk Benoa.
Debit atau volume air laut yang keluar masuk ke Perairan Teluk
Benoa tergantung kepada luasan wilayah perairan dan elevasi muka
air laut pada saat proses tersebut, semakin luas wilayah yang
tergenang dan semakin besar beda muka air saat pasang surut, maka
kecepatan aliran arus air laut di kawasan tersebut semakin besar.
Kecepatan arus laut masuk dan keluar Kawasan Perairan Teluk Benoa
ini mempengaruhi proses erosi, abrasi maupun sedimentasi yang
terjadi di sekitar lokasi tersebut.
Pada saat air laut pasang massa air laut akan menggenangi
kawasan tersebut dan akibat adanya gelombang terjadi penggelontoran
sedimen baik yang melayang (suspended load) seperti lumpur maupun
yang bergerak didasar (bed load) seperti pasir, dengan kecepatan
arus air laut tertentu akan membawa sedimen (pasir dan lumpur)
keluar dari kawasan teluk pada saat air mulai surut. Proses ini
menyebabkan terjadinya erosi dan abrasi pada kawasan tersebut
seperti mengecilnya Pulau Pudut, bertambah dalamnya alur pasang
surut di Kawasan Perairan Teluk Benoa, matinya mangrove karena
terjadinya proses bertambah dalamnya kawasan tersebut.
Dengan adanya reklamasi di Kawasan Perairan Teluk Benoa akan
mengurangi tampungan air laut yang masuk ke kawasan tersebut,
sehingga dengan rentang waktu yang sama pada saat surut akan
mengurangi kecepatan arus air laut yang keluar dari kawasan
tersebut pada saat surut. Proses ini diharapkan akan mengurangi
terjadinya erosi, abrasi dan bertambahnya kedalaman alur pasang
surut, sehingga terjadinya sedimentasi yang memicu tumbuhnya
mangrove serta pengikisan tebing pantai sepanjang kawasan. Proses
ini dapat dijelaskan melalui sketsa seperti tercantum pada Gambar
3.15 dan Gambar 3.16 berikut ini.
Gambar. 3.15 Mekanisme Arus Pasang Surut di Perairan Teluk
Benoa.
Gambar 3.16 Mekanisme Arus Pasut Setelah Reklamasi.D. Analisa
Pemodelan Gelombang
Setelah dilakukan kajian dan analisa terhadap data hasil survei
dan investigasi, maka dilakukan pemodelan gelombang menggunakan
program software NEMOS (Nearshore Evolution Modelling System).
NEMOS adalah sebuah sistem operasi simulasi untuk perubahan garis
pantai dalam merespon kondisi gelombang, bangunan pantai dan
kegiatan teknik lainnya (seperti pengisian pasir/beach fill). NEMOS
adalah bagian dari CEDAS (Coastal Engineering Design Analysis
System). CEDAS adalah kumpulan dari beberapa program perangkat
lunak untuk menganalisa data gelombang, perubahan garis pantai,
desain bangunan pantai, dan lain-lainya yang berhubungan dengan
ilmu pantai. Hasil analisa pemodelan berupa kondisi eksisting
pantai keluaran software yang hasilnya disesuaikan terlebih dahulu
dengan fenomena yang sebenarnya terjadi dengan membandingkan secara
teliti terhadap kondisi yang sebenarnya di lapangan dengan bantuan
foto satelit dari tahun ke tahun.
Dalam melakukan pemodelan gelombang, digunakan perangkat lunak
(software) yaitu STWAVE. STWAVE adalah salah satu program yang
tergabung di dalam NEMOS (Nearshore Evolution Modelling System).
NEMOS adalah sebuah sistem operasi simulasi untuk perubahan garis
pantai dalam merespon kondisi gelombang, bangunan pantai dan
kegiatan teknik lainnya (seperti pengisian pasir/beach fill). NEMOS
adalah bagian dari CEDAS (Coastal Engineering Design Analysis
System). CEDAS adalah kumpulan dari beberapa program perangkat
lunak untuk menganalisa data gelombang, perubahan garis pantai,
desain bangunan pantai, dan lain-lainya yang berhubungan dengan
ilmu pantai. Melalui piranti lunak NEMOS (Nearshore Evolution
Modelling System) diharapkan dapat diketahui parameter gelombang
dan arahnya.
Data input untuk keakuratan software ini antara lain;
Peta kontur kondisi topografi dan batimetri perairan.
Data gradasi butiran pasir (Sieve Analysis).
Data garis pantai eksisting (HWL, MSL dan LWL).
Data bangunan pantai (Groyne, Jetty, Breakwater, Revetment, dan
seawall).
Data gelombang datang (dari Hindcasting).
Faktor kalibrasi (perubahan garis pantai di waktu yang
sama).
Hasil input peta batimetri dari Perairan Selatan Pulau Bali
dapat dilihat pada gambar 3.16a. berikut ini.
Gambar 3.16a Peta Batimetri Perairan Selatan Pulau Bali Keluaran
software NEMOS.
Hasil simulasi pemodelan untuk mengetahui besar dan arah
gelombang yang terjadi di Perairan Selatan Bali dari arah Timur
dengan menggunakan software NEMOS dapat dilihat pada gambar 3.16b
berikut ini.
Gambar 3.16b Arah dan Besarnya Gelombang di Pantai Selatan Pulau
Bali dari Arah Timur.
Dari gambar 3.16b terlihat bahwa apabila gelombang maksimum di
laut dalam datang merambat ke pantai dari arah Timur, maka
gelombang di Pantai Selatan Pulau Bali bagian Timur (Padang Galak,
Sanur, Tanjung Benoa dan Sawangan) besarnya berkisar antara 0,50 m
sampai dengan 1,00 meter, sedangkan pada sisi baratnya tidak lebih
dari 0,50 meter dan pada Perairan Teluk Benoa tidak lebih dari 0,25
meter.
Kecilnya pengaruh angin timur terhadap kejadian gelombang di
Perairan Teluk Benoa akibat adanya perlindungan terhadap datangnya
gelombang, yaitu Pulau Nusa Penida, Lembongan, dan Ceningan serta
letaknya di dalam teluk dengan mulut yang yang sempit (alur
pelayaran pelabuhan Benoa).
Hasil simulasi pemodelan untuk mengetahui besar arah gelombang
yang terjadi di Perairan Selatan Bali dari arah Tenggara dengan
menggunakan software NEMOS dapat dilihat pada gambar 3.16c berikut
ini.
Gambar 3.16c Arah dan Besarnya Gelombang di Pantai Selatan Pulau
Bali dari Arah Tenggara.
Dari gambar 3.16c terlihat bahwa gelombang maksimum di laut
dalam merambat ke pantai dari arah Tenggara, maka gelombang yang
terjadi di Pantai Selatan Pulau Bali Bagian Timur (Padang Galak,
Sanur, Tanjung Benoa, Sawangan dan sekitarnya) besarnya berkisar
antara 0,50 m sampai dengan 1,30 meter, sedangkan pada sisi
baratnya tidak lebih dari 0,30 meter dan pada Perairan Teluk Benoa
tidak lebih dari 0,20 meter.
Kecilnya pengaruh angin tenggara terhadap kejadian gelombang di
Perairan Teluk Benoa karena kecepatan angin dari arah tenggara
tidak begitu besar dibandingkan dengan angin dari arah timur,
meskipun bersifat gelombang swell dengan fetch yang besar.
Disamping itu pada beberapa wilayah seperti Tanjung Benoa, Sanur
Mertasari gelombangnya lebih kecil akibat adanya perlindungan
terhadap datangnya gelombang, yaitu Pulau Nusa Penida, Lembongan,
dan Ceningan serta letaknya di dalam teluk dengan mulut yang yang
sempit (alur pelayaran pelabuhan Benoa).
Hasil pemodelan untuk mengetahui besar dan arah gelombang yang
terjadi di Perairan Selatan Bali dari arah Barat Daya dengan
menggunakan software NEMOS dapat dilihat pada gambar 3.16d berikut
ini.
Gambar 3.16d Arah dan Besarnya Gelombang di Pantai Selatan Pulau
Bali dari Arah Barat Daya.
Dari gambar 3.16d terlihat bahwa gelombang maksimum di laut
dalam merambat ke pantai dari arah Barat Daya, maka gelombang yang
terjadi di Pantai Selatan Pulau Bali Bagian Timur (Padang Galak,
Sanur, Tanjung Benoa, Sawangan dan sekitarnya) besarnya maksimum
0,35 meter, sedangkan pada sisi baratnya berkisar antara1,00 meter
sampai dengan 1,50 meter dan pada Perairan Teluk Benoa tidak lebih
dari 0,20 meter.
Kecilnya pengaruh angin barat daya terhadap kejadian gelombang
di Perairan Teluk Benoa karena kecepatan angin dari arah tenggara
tidak begitu besar dibandingkan dengan angin dari arah timur,
meskipun bersifat gelombang swell dengan fetch yang besar.
Disamping itu letak Perairan Teluk Benoa berada pada posisi yang
terlindung dari arah datangnya gelombang, serta letaknya di dalam
teluk dengan mulut yang yang sempit (alur pelayaran pelabuhan
Benoa). Dengan demikian maka tinjauan arah dan datangnya gelombang
pada perairan Tanjung Benoa dan sekitarnya hanya akan ditinjau pada
elombang yang datang dari arah Timur dan Tenggara.
Dengan rencana adanya pula penyangga di Perairan Teluk Benoa
yang tergambarkan dalam peta batimetri dari kawasan tersebut
berdasarkan input dari software NEMOS dapat dilihat pada gambar
3.16e berikut ini.
Gambar 3.16e Peta Batimetri Perairan Selatan Pulau Bali Dengan
Pulau Penyangga Keluaran Software NEMOS.
Hasil simulasi pemodelan untuk mengetahui besar dan arah
gelombang yang terjadi di Perairan Selatan Bali dari arah Timur
dengan menggunakan software NEMOS dapat dilihat pada gambar 3.16f
berikut ini.
Gambar 3.16f Arah dan Tinggi Gelombang Sekitar Perairan Tanjung
Benoa Dengan Pulau Penyangga di Teluk Benoa Gelombang Dari
Timur.
Dari gambar 3.16f terlihat bahwa apabila gelombang maksimum di
laut dalam datang merambat ke pantai dari arah Timur, dengan adanya
pulau penyangga di Perairan Teluk Benoa gelombang di Perairan Teluk
Benoa dan sekitarnya (Padang Galak, Sanur, Tanjung Benoa dan
Sawangan) besarnya berkisar antara 0,50 m sampai dengan 0,85 meter,
sedangkan pada Perairan Teluk Benoa tidak lebih dari 0,20
meter.
Hasil simulasi pemodelan untuk mengetahui besar arah gelombang
yang terjadi di Perairan Selatan Bali dari arah Tenggara dengan
menggunakan software NEMOS dapat dilihat pada gambar 3.16g berikut
ini.
Gambar 3.16g Arah dan Tinggi Gelombang Sekitar Perairan Tanjung
Benoa Dengan Pulau Penyangga di Teluk Benoa Gelombang Dari
Tenggara.
Dari gambar 3.16g terlihat bahwa apabila gelombang maksimum di
laut dalam datang merambat ke pantai dari arah Tenggara, dengan
adanya pulau penyangga di Perairan Teluk Benoa gelombang di
Perairan Teluk Benoa dan sekitarnya (Padang Galak, Sanur, Tanjung
Benoa dan Sawangan) besarnya berkisar antara 0,50 m sampai dengan
0,85 meter, sedangkan pada sisi baratnya tidak lebih dari 0,50
meter dan pada Perairan Teluk Benoa tidak lebih dari 0,20
meter.
Arah dan besarnya gelombang yang terjadi di Perairan Tanjung
Benoa dan sekitarnya tidak terlihat berubah sebelum dan sesudah
adanya pulau penyangga di Perairan Teluk Benoa, akibat perambatan
gelombang dari Timur maupun dari Tenggara. Hal ini dapat dikatakan
bahwa mekanisme angkutan sedimen pantai baik yang sejajar pantai
(longshore sediment transport) maupun tegak lurus pantai (on-off
shore sediment transport) tidak berubah secara signifikan. E.
Hidrodinamika Perairan Teluk Benoa Sebelum dan Sesudah Rencana
Reklamasi
Faktor utama yang membatasi kegiatan reklamasi adalah kedalaman
air, kebutuhan untuk mempertahankan alur-alur air, adanya kegiatan
pelabuhan seperti adanya jalur lalu lintas laut, dan implikasi
lingkungan. Efek dari reklamasi yang direncanakan harus
mempertimbangkan kondisi hidraulis perairan. Studi rencana
reklamasi mencakup aspek hidrolik, gelombang, arus dan transportasi
sedimen dan dampak lingkungan untuk memastikan bahwa tidak ada efek
yang tidak dapat diterima sehubungan dengan
kemungkinan-kemungkinan:
1. Perubahan hidrodinamika yang diakibatkan perubahan pola arus
dan gelombang pada pelaksanaan reklamasi, sehingga dapat
mengakibatkan turbiditas perairan. Arus akibat pasang surut
biasanya bergerak naik turun (osilasi) dan tidak uniform, tapi
dalam skala besar dalam ruang dan waktu. 2. Peningkatan sedimentasi
dan polusi akibat material suspensi yang terbawa ke arah laut
selama kegiatan reklamasi.3. Perubahan transportasi sedimen yang
terjadi karena terganggunya littoral transport yang mengakibatkan
adanya erosi di salah satu sisi dan sedimentasi di sisi lain.
Kegiatan reklamasi akan menyebabkan terjadinya perubahan
keseimbangan transpor sedimen di pantai.
4. Perubahan tata air di kawasan daratan yang diakibatkan adanya
reklamasi, maka gangguan yang terjadi dapat berupa bertambah
panjangnya lintasan pematusan air atau penurunan gradien hidraulik
aliran air yang ada yang dapat menurunkan kapasitas drainase yang
ada sehingga menimbulkan potensi banjir.
Untuk mengetahui kondisi hidrodinamika di Perairan Teluk Benoa
sebelum dan sesudah adanya kegiatan reklamasi, pada kajian ini
dilakukan dengan pendekatan pemodelan numerik. Pemodelan dilakukan
terbatas untuk Kawasan Perairan Teluk Benoa dimana direncanakan
adanya reklamasi didasarkan atas basic design yang ada. Kajian
lebih mendalam akan diperlukan setelah adanya Detail Engineering
Design (DED). a. Dasar Teori
Pemodelan numerik untuk tinjauan perairan laut dan pesisir telah
berkembang secara pesat dalam beberapa dekade belakangan ini. Telah
banyak model yang dikembangkan oleh berbagai institusi, seperti
Princeton Ocean Model (POM) oleh Blumberg and Mellor (1969),
Regional Ocean Model siystem (ROMS) yang dikembangkan oleh Song dan
Haidvogel (1994), Finite Volume Coastal Ocean Model (FVCOM) yang
dikembangkan oleh Chen dkk (2006), serta masih banyak model yang
lainnya.
Pada studi di Perairan Teluk Benoa ini, digunakan FVCOM untuk
mengetahui pola arus pasung surut. FVCOM merupakan model perairan
laut 3-dimensi dengan sistem grid yang tidak terstruktur
(unstructured triangular grid) sehingga dapat memberikan hasil yang
lebih baik untuk kondisi garis pantai yang sangat kompleks. Pada
model di gunakan persamaan 3-dimensi untuk persamaan momentum,
kontinyuitas, suhu, salinitas dan densitas (Chen et al. 2006). Pada
studi ini, untuk viskositas eddi vertikal dan difusi termal
vertikal digunakan Mellor-Yamada level 2.5 (MY-2.5) turbulence
closure model yang telah dimodifikasi (Mellor dan Yamada, 1982),
dan untuk koefisien difusi horisontal ditentukan dengan metode
parametarisasi eddi Smagorinsky (Chen et al., 2003). FVCOM terdiri
dari mode external dan internal yang dihitung secara
terpisah.Persamaan pembangun model eksternal direpresentasikan pada
persamaan 1-3, yang masing-masing merupakan persamaan kontinyuitas
dan momentum.
(1)
(2)
(3)dimana x, y dan merupakan komponen vektor arah Timur, Utara,
dan Vertikal axis pada koordinat sigma; u, v, dan adalah vektor
kecepatan pada arah x, y,dan ; D adalah total kedalaman yang
merupakan penjumlahan dari kedalaman rata-rata H dan elevasi
permukaan ; merupakan densitas total; f adalah parameter koriolis;
g merupakan percepatan gravitasi; Km adalah koefisien viskositas
eddy vertikal; Fx dan Fy merepresentasikan momentum horisontal. b.
Grid, time step, dan kondisi batasModel eksisting dirancang dengan
resolusi grid homogen sebesar 150 meter, dengan total jumlah elemen
sebanyak 2439, dan jumlah node sebanyak 1341 (Gambar 3.17). Model
layout 1, dengan luas reklamasi rencana 467 Hektar dirancang dengan
elemen 2056 dan node sejumlah 1152 (Gambar 18a), sedangkan model
layout 2, dengan luas reklamasi rencana 652 Ha dirancang dengan
elemen sejumlah 3260 dan node sejumlah 1892 (Gambar 18b). Gambar
3.18c menunjukkan layout 3, dengan luas reklamasi rencana 599,4 Ha.
Resolusi grid untuk layout 1 dipakai 150 meter, kecuali pada alur
antara Pulau Reklamasi dan Tanjung Benoa dipakai 100 meter. Untuk
model layout 2 resolusi grid diambil 100 meter, sedangkan untuk
resolusi grid layout 3 dipakai 50-75 meter untuk mengakomodir
kompleksitas alur-alur yang terbentuk dari rencana pulau
reklamasi.Pada batas terbuka, arus laut dibangkitkan oleh empat
komponen pasang surut utama di Teluk Benoa, yaitu M2, S2
(Semidiurnal) dan O1, K1 (diurnal). Pada model juga diterapkan
perlakuan daerah basah dan kering (wet/dry treatment). Data pasang
surut yang dipergunakan diperoleh dari pengamatan pasang surut yang
dibahas pada bab sebelumnya. Direncanakan disekeliling pulau
reklamasi dibuatkan alur selebar sekitar 200 meter dengan
diperdalam sekitar 3 meter dari dasar laut semula. Gambar 16h, 16i,
16j dan 16k memperlihatkan grid kondisi eksisting dan layout 1,2, 3
dan 4.
Gambar 3.17 Penetapan Grid Kondisi Eksisting.
Gambar 3.18a Penetapan Grid Kondisi Pulau Reklamasi Layout 1
Gambar 3.18b Penetapan grid kondisi pulau reklamasi layout 2
Gambar 3.18c Penetapan Grid Kondisi Pulau Reklamasi Layout 3
c. Kondisi aliran sebelum adanya pulau reklamasi
Menggunakan model numerik dengan kondisi-kondisi batas seperti
dijelaskan di atas, disimulasikan aliran residu yang dihasilkan
dari kondisi pasang surut yang terjadi di Teluk Benoa. Aliran yang
terjadi di Teluk Benoa umumnya aliran akibat pasang surut, dimana
aliran masuk teluk terjadi pada saat pasang (flood tide current)
dan aliran yang keluar teluk terjadi pada saat surut (ebb tide
current). Contoh aliran pada saat pasang dan surut diperlihatkan
pada Gambar 3.19 dan Gambar 3.20. Kondisi yang diperlihatkan pada
gambar tersebut adalah kondisi aliran rata-rata pada saat tiga jam
pasang surut. Kecepatan aliran hasil simulasi menunjukkan terjadi
konsentrasi arus pada alur masuk Teluk Benoa, dimana kecepatan
maksimum pada saat pasang mencapai sekitar 0,90 m/detik. Kecepatan
aliran pada saat surut sedikit lebih besar dibandingkan saat
pasang, mencapai 0,95 m/detik. Secara umum, sebaran arus baik pada
saat pasang maupun pada saat surut menunjukkan konsentrasi
kecepatan aliran pada alur-alur yang lebih dalam dan mengecil pada
sisi-sisi garis pantai.
Gambar 3.19 Pola Aliran Pada Saat Pasang Selama 3 jam
Pasang-surut Kondisi Eksisting.
Gambar 3.20 Pola Aliran Pada Saat Surut selama 3 jam
Pasang-surut Kondisi Eksistingd. Kondisi aliran setelah adanya
pulau reklamasi layout 1
Dari hasil simulasi setelah adanya pulau reklamasi layout 1
terlihat secara umum pola pergerakan arus sama dengan sebelum
adanya pulau reklamasi, yaitu pada saat pasang massa air memasuki
teluk, sedangkan pada saat surut terjadi sebaliknya. Di beberapa
lokasi terlihat pola arus yang berubah, sesuai dengan layout yang
ada. Pada saat pasang (Gambar 3.21), konsentrasi kecepatan arus
masih tetap terjadi pada alur masuk Teluk Benoa, dimana terjadi
penurunan kecepatan aliran (sekitar 11%) dari kondisi eksisting di
lokasi tersebut. Perubahan kecepatan ini diperkirakan disebabkan
terjadinya pengurangan area perairan setelah direklamasi, yang juga
akan memperkecil area perairan di kawasan teluk. Perubahan pola
arus terjadi di sisi barat, dimana terlihat timbulnya arus eddy
(arus putar) dalam skala kecil. Hal ini terjadi disebabkan pengaruh
dorongan arus yang terhalang oleh topografi pulau, sehingga
terbentuk suatu pusaran massa air. Sebaran kecepatan aliran setelah
memasuki kawasan teluk mengikuti pola aliran sesuai alur yang ada,
dimana kecepatan arus mengecil secara merata dengan variasi
kecepatan antara 0,04 m/dt 0,34 m/dt.Pada saat surut, terjadi pola
pergerakan arus ke arah sebaliknya dari kondisi pasang (Gambar
3.22). Konsentrasi kecepatan arus masih tetap terjadi di alur masuk
teluk dengan kecepatan bervariasi antara 0,85 m/dt 1,35 m/dt,
dimana kecepatan arus sebelum adanya reklamasi berkisar 0,95 m/dt.
Terjadinya peningkatan kecepatan arus saat surut setelah reklamasi
dibandingkan sebelum reklamasi diperkirakan disebabkan oleh
terjadinya perubahan gradient elevasi muka air, dimana pada saat
pasang, kawasan perairan teluk akan lebih cepat penuh dan
menimbulkan peninggian muka air pada kawasan teluk dibandingkan
perairan luar teluk. Hal ini disebabkan kawasan perairan teluk
Benoa merupakan kawasan semi tertutup (semi enclosed bay), yang
mempunyai area terbatas sebagai alur keluar masuk aliran.Sebaran
kecepatan arus saat surut disisi dalam kawasan teluk bervariasi
dari 0,1 m/dt 0,85 m/dt. Terjadi peningkatan kecepatan arus saat
surut setelah adanya pulau reklamasi dibandingkan sebelum
direklamasi, terutama pada alur antara pulau reklamasi dan Tanjung
Benoa, dimana arus mencapai kecepatan sekitar 0,85 m/dt. Kecepatan
arus sebelum reklamasi pada lokasi yang sama berkisar 0,5 0,7 m/dt.
Diperkirakan dengan peningkatan kecepatan arus ini akan terjadi
erosi di sisi barat Tanjung Benoa, dimana material pantai saat ini
merupakan material lepas.Tabel 3.16a memperlihatkan perbandingan
kecepatan arus pada beberapa lokasi di dalam Kawasan Perairan Teluk
Benoa sebelum dan sesudah adanya pulau reklamasi layout 1.
Tabel 3.16a. Kondisi Arus Sebelum dan Sesudah Reklamasi Layout
1
DisainEksistingLayout 1
LokasiPasang (m/dt)Surut (m/dt)Pasang (m/dt)Surut (m/dt)
Perairan luar (Timur Tj.
Benoa)0,20-0,550,30-0,700,20-0,500,35-0,85
Alur masuk0,900,950,801,35
Alur Barat0,28-0,410,30-0,700,34-0,500,35-0,85
Sisi Barat0,02-0,150,10-0,300,04-0,340,10-0,35
Sisi Selatan0,02-0,150,10-0,500,04-0,190,10-0,35
Sisi Timur0,02-0,150,10-0,700,04-0,190,10-0,85
Gambar 3.21 Pola Aliran Masuk Pada saat pasang selama 3 jam
pasang-surut layout 1
Gambar 3.22 Pola Aliran Keluar pada saat surut selama 3 jam
pasang-surut layout 1e. Kondisi aliran setelah adanya pulau
reklamasi layout 2
Pola pergerakan arus apabila direncanakan adanya pulau reklamasi
layout 2 menunjukkan pola sebaran arus mengikuti alur-alur yang
terbentuk diantara pulau reklamasi. Gambar 3.23 menunjukkan pola
sebaran arus saat terjadi pasang yang memasuki kawasan teluk Benoa.
Konsentrasi kecepatan aliran masih tetap terjadi disepanjang alur
masuk kawasan teluk, dengan kecepatan bervariasi antara 0,17 m/dt
0,40 m/dt. Sebaran arus yang memasuki area teluk mengikuti
alur-alur yang terbentuk diantara pulau-pulau mempunyai kecepatan
bervariasi antara 0,1 m/dt 0,24 m/dt. Pada saat surut, terjadi pola
pergerakan arus ke arah sebaliknya dari kondisi pasang (Gambar
3.24). Konsentrasi kecepatan arus bergeser ke arah Barat (alur
Barat), dengan kecepatan maksimum berkisar 0,81 m/dt sampai 1,01
m/dt, sedangkan pada alur masuk, kecepatan aliran menurun menjadi
sekitar 0,61 m/dt sampai 0,81 m/dt. Penurunan kecepatan ini dapat
berdampak terjadinya sedimentasi pada alur masuk pelabuhan Benoa,
yang dapat mengganggu aktivitas pelabuhan. Besarnya sedimentasi
yang terjadi pada kawasan teluk dibahas pada bagian
berikutnya.Sebaran kecepatan arus saat surut di sisi dalam kawasan
teluk bervariasi dari 0,01 m/dt 0,8 m/dt. Terjadi peningkatan
maupun penurunan kecepatan arus saat surut setelah adanya pulau
reklamasi di beberapa titik dibandingkan sebelum direklamasi.
Penurunan kecepatan aliran terjadi pada sisi Barat dan Selatan.
Kecepatan aliran pada sisi yang sama sebelum reklamasi sekitar 0,10
m/dt sedangkan setelah reklamasi menjadi sekitar 0,01 m/dt. Hal ini
dapat menimbulkan terjadinya sedimentasi pada sisi tersebut dan
juga penurunan kualitas air akibat berkurangnya gaya flushing, yang
pada gilirannya dapat berpengaruh terhadap ekosistem
perairan.Peningkatan kecepatan aliran terjadi pada sisi Timur, pada
alur yang terbentuk antara pulau reklamasi dan Tanjung Benoa,
dimana arus mencapai kecepatan sekitar 0,85 m/dt. Kecepatan arus
sebelum reklamasi pada lokasi yang sama berkisar 0,5 0,7 m/dt.
Peningkatan kecepatan arus ini diperkirakan akan dapat menyebabkan
terjadinya erosi pada pinggir pantai Tanjung Benoa akibat
amplifikasi kecepatan yang menggerus material pantai.Tabel 3.16b
memperlihatkan perbandingan kecepatan arus pada beberapa lokasi di
dalam kawasan perairan teluk Benoa sebelum dan sesudah adanya pulau
reklamasi layout 1 dan 2.
Gambar 3.23 Pola aliran Masuk pada saat pasang selama 3 jam
pasang-surut layout 2
Gambar 3.24 Pola aliran Keluar pada saat surut selama 3 jam
pasang-surut layout 2
Tabel 3.16b. Kondisi Arus Sebelum dan Sesudah Reklamasi layout 1
dan 2
DisainEksistingLayout 1Layout 2
LokasiPasang (m/dt)Surut (m/dt)Pasang (m/dt)Surut (m/dt)Pasang
(m/dt)Surut (m/dt)
Perairan luar (Timur Tj.
Benoa)0,20-0,550,30-0,700,20-0,500,35-0,850,10-0,400,20-0,80
Alur masuk0,90 (maks)0,95 (maks)0,80 (maks)1,35 (maks)0,40
(maks)0,81 (maks)
Alur
Barat0,28-0,410,30-0,700,34-0,500,35-0,850,24-0,400,40-0,85
Sisi
Barat0,02-0,150,10-0,300,04-0,340,10-0,350,03-0,240,01-0,21
Sisi
Selatan0,02-0,150,10-0,500,04-0,190,10-0,350,03-0,240,01-0,41
Sisi
Timur0,02-0,150,10-0,700,04-0,190,10-0,850,04-0,240,21-0,85
f. Kondisi Aliran Setelah Adanya Pulau Reklamasi layout 3
Pola pergerakan arus apabila direncanakan adanya pulau reklamasi
layout 3 menunjukkan pola sebaran arus mengikuti alur-alur yang
terbentuk diantara pulau reklamasi. Sebaran arus menjadi lebih
kompleks sesuai dengan alur-alur yang terbentuk dari pulau baru.
Gambar 3.24a menunjukkan pola sebaran arus saat terjadi pasang yang
memasuki kawasan teluk Benoa. Konsentrasi kecepatan aliran masih
tetap terjadi disepanjang alur masuk kawasan teluk, dengan
kecepatan bervariasi antara 0,20 m/dt 0,70 m/dt.
Sebaran arus yang memasuki area teluk mengikuti alur-alur yang
terbentuk diantara pulau-pulau mempunyai kecepatan bervariasi
antara 0,1 m/dt 0,85 m/dt. Konsentrasi kecepatan saat pasang di
area teluk terjadi pada alur-alur pulau baru yang terbentuk akibat
reklamasi, yang merupakan fenomena normal dari terjadinya
penyempitan penampang aliran.
Gambar 3.24a Pola Aliran Masuk Pada Saat Pasang Selama 3 jam
Pasang-surut layout 3
Pada saat surut, terjadi pola pergerakan arus ke arah sebaliknya
dari kondisi pasang (Gambar 3.24b). Di dalam kawasan teluk,
kecepatan bervariasi dari 0,10 m/dt sampai 1,0 m/dt, dengan
konsentrasi kecepatan arus saat surut ini terjadi pada alur pulau
baru dan Tanjung Benoa. Kecepatan arus pada alur masuk saat surut
mencapai 0,80 m/dt, sedangkan kecepatan arus di luar kawasan teluk
tidak mengalami perubahan signifikan dibandingkan sebelum adanya
reklamasi.Terjadi peningkatan maupun penurunan kecepatan arus saat
surut setelah adanya pulau reklamasi di beberapa titik dibandingkan
sebelum direklamasi. Penurunan kecepatan aliran terjadi pada sisi
Barat dan Selatan. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya sedimentasi
pada sisi tersebut dan juga penurunan kualitas air akibat
berkurangnya gaya flushing, yang pada gilirannya dapat berpengaruh
terhadap ekosistem perairan. Rencana layout 3 menyebabkan kecepatan
arus arus pada alur barat lebih besar dari alur masuk kawasan
teluk. Hal ini dapat berakibat terjadinya sedimentasi pada alur
masuk pelabuhan, dimana pada saat surut, arus dari sisi barat, yang
membawa material suspensi, mengalami penurunan kecepatan pada alur
masuk yang menyebabkan terjadinya proses pengendapan material
sepanjang alur masuk. Peningkatan kecepatan aliran juga terjadi
pada sisi Timur, pada alur yang terbentuk antara pulau reklamasi
dan Tanjung Benoa, dimana arus mencapai kecepatan sekitar 0,95
m/dt. Kecepatan arus sebelum reklamasi pada lokasi yang sama
berkisar 0,5 0,7 m/dt. Hal ini diperkirakan akan dapat menyebabkan
terjadinya erosi pada pinggir pantai Tanjung Benoa akibat
amplifikasi kecepatan yang terjadi yang pada akhirnya menambah
sedimentasi pada alur masuk.
Tabel 3.16c memperlihatkan perbandingan kecepatan arus pada
beberapa lokasi di dalam Kawasan Perairan Teluk Benoa sebelum dan
sesudah adanya pulau reklamasi layout 1, 2 dan 3.
Gambar 3.24b Pola aliran Keluar pada saat surut selama 3 jam
pasang-surut layout 3
Tabel 3.16c Kondisi arus sebelum dan sesudah reklamasi layout 1,
2 dan 3
DisainEksistingLayout 1Layout 2Layout 3
LokasiPasang (m/dt)Surut (m/dt)Pasang (m/dt)Surut (m/dt)Pasang
(m/dt)Surut (m/dt)Pasang (m/dt)Surut (m/dt)
Perairan luar (Timur Tj.
Benoa)0,20-0,550,30-0,700,20-0,500,35-0,850,10-0,400,20-0,800,20-0,600,20-0,70
Alur masuk0,90 (maks)0,95 (maks)0,80 (maks)1,35 (maks)0,40
(maks)0,81 (maks)0,70 (maks)0,80 (maks)
Alur
Barat0,28-0,410,30-0,700,34-0,500,35-0,850,24-0,400,40-0,850,40-0,850,20-1,0
Sisi
Barat0,02-0,150,10-0,300,04-0,340,10-0,350,03-0,240,01-0,210,01-0,300,05-0,35
Sisi
Selatan0,02-0,150,10-0,500,04-0,190,10-0,350,03-0,240,01-0,410,01-0,300,01-0,20
Sisi
Timur0,02-0,150,10-0,700,04-0,190,10-0,850,04-0,240,21-0,850,15-0,850,20-0,95
g. Perubahan elevasi muka air
Adanya pulau hasil reklamasi di kawasan teluk Benoa, yang
merupakan kawasan semi tertutup (semi enclosed bay) diperkirakan
akan menyebabkan terjadinya kenaikan elevasi muka air di kawasan
tersebut yang disebabkan terjadinya pengurangan kawasan perairan
dan terbatasnya debit keluar masuk aliran pasang-surut dari dan
keluar kawasan teluk.
Dalam pemodelan ini diasumsikan bahwa dibatas tertutup (batas
perairan dan daratan) dianggap sebagai dinding (wall). Hasil
pemodelan (Gambar 3.24c) menunjukkan setelah adanya pulau reklamasi
layout 1, air di dalam teluk akan lebih cepat penuh di bandingkan
dengan sebelum reklamasi. Pada saat sebelum reklamasi dibutuhkan
waktu kira-kira 3 jam untuk mencapai kondisi pasang rata-rata dari
elevasi air normal, sedangkan setelah reklamasi elevasi muka air
tinggi sudah tercapai dalam waktu kurang lebih 2 jam, sedangkan
beda elevasi muka air sebelum dan sesudah adanya reklamasi mencapai
5-7 cm. Hal ini menunjukkan bahwa debit aliran masuk ke kawasan
teluk mengalami penurunan sekitar 30% dari sebelum adanya
reklamasi. Dengan mengacu kepemodelan layout 1, untuk layout 2 dan
3 diperkirakan akan terjadi permasalahan yang sama.
Dari kondisi ini, perlu diperhatikan pengaruhnya terhadap
ekosistem mangrove, yang akan menerima kondisi penggenangan lebih
lama, dan kemungkinan terjadinya luapan pada area di sisi barat
teluk Benoa pada saat air pasang. Selain itu, kawasan teluk Benoa
merupakan muara dari beberapa sungai besar seperti tukad Mati dan
tukad Badung, dengan kandungan sedimen yang relative besar.
Kemungkinan terjadinya efek pembendungan di muara sungai, terutama
pada saat pasang dapat menyebabkan terjadinya luapan air sungai
pada area-area rendah dan pendangkalan muara sungai.
Pande (2012) melalukan studi tentang pengendalian banjir Tukad
Mati mendapatkan bahwa dengan debit banjir periode ulang dua
tahunan, di beberapa ruas sungai tersebut, pada bagian hulu dan
hilir akan terjadi kenaikan elevasi muka air sungai yang
bervariasi. Pada bagian hilir sungai terjadi kenaikan muka
air/limpasan sekitar 41 cm (Gambar 3.24d). Dengan kondisi yang
demikian, adanya reklamasi diperkirakan akan menambah ketinggian
limpasan dibagian hilir sungai, terlebih apabila kejadian banjir di
sungai bersamaan dengan adanya pasang naik di perairan teluk, yang
akan menimbulkan effek pembendungan di muara sungai.
Gambar 3.24c Perbandingan Elevasi Muka Air Pasang Surut sebelum
dan sesudah adanya pulau reklamasi layout 1
Gambar 3.24d Profil Muka Air Maksimum Dengan Banjir Q2 th di
Tukad Mati Hulu dan Hilir (Pande, 2012)h. Perubahan intensitas
siltasi
Ketika bentukan pulau baru terbentuk dan selama kegiatan
reklamasi, diperkirakan akan terjadi sedimentasi di dalam teluk.
Sumber utama siltasi adalah dari material timbunan dan juga sumber
alami dari luar. Siltasi tahunan di rencana reklamasi dihitung
berdasarkan rumus yang direkomendasikan oleh Hydrological Criterion
of Seaport Engineering of China (Liu and Zang, 1993) dalam
bentuk:
Dimana p intensitas siltasi tahunan (m/th); kecepatan endap
sedimen (m/dt); s adalah konsentrasi rata-rata sedimen (kg/m3); t
adalah waktu (dt); d adalah kepadatan sedimen kering (kg/m3); V1
dan V2 adalah kecepatan rata-rata sebelum dan sesudah reklamasi
(m/dt); adalah sudut antara arus dan alur; k1=0.35 dan k2=0.13
adalah konstanta siltasi arah transversal dan longitudinal.
Berdasarkan data lapangan, parameter yang dipergunakan dalam
perhitungan ditentukan sebagai berikut:
Konsentrasi rata-rata sedimen pada saat pertengahan pasang dan
surut masing-masing 0.024 kg/m3 and 0.028kg/m3; Kecepatan endap
sedimen adalah 0,0004 m/dt
Kepadatan kering sedimen kg/m3 Diameter sedimen d50=0,014mm
Dari hasil perhitungan, untuk kondisi layout 1diperoleh siltasi
tahunan pada alur masuk/alur pelayaran pelabuhan Benoa (disekitar
dermaga perikanan) sebesar 9,6 cm/th, disisi barat pelabuhan Benoa
dan sekitar area mangrove di bagian barat teluk sebesar 7,2 cm/th
dan area sisi timur pelabuhan (dermaga timur) sebesar 10,15 cm/th.
Untuk kondisi layout 2 pada lokasi yang sama, besarnya siltasi
tahunan masing-masing sekitar 10,2 cm/th, 8,05 cm/th dan 11,4
cm/th, sedangkan untuk layout 3, pada lokasi yang sama, besarnya
siltasi tahunan masing-masing sekitar 10,1 cm/th, 7,95 cm/th dan
11,3 cm/th. Tabel 3.16d memperlihatkan besaran siltasi lebih rinci
yang terjadi pada beberapa area di kawasan teluk.
Tabel 3.16d Besaran Siltasi di Kawasan Perairan Teluk
BenoaLokasiRate sedimentasi (cm/th)
Layout 1Layout 2Layout 3
Alur pelayaran9,610,211,1
Sisi barat7,28,057,95
Sisi selatan5,36,75,8
Sisi timur pel. Benoa10,1511,412,3
Pola sedimentasi ini diperkirakan terkait dengan perubahan pola
limpasan sebelum dan sesudah adanya reklamasi. Sebagian sedimentasi
diperkirakan akan terbawa keluar kawasan teluk untuk selanjutnya
terdistribusi di Luar Teluk Benoa. Dari kondisi ini, perlu
diperhatikan pengaruhnya terhadap ekosistem mangrove dan alur
pelayaran pelabuhan Benoa, yang akan mengalami pendangkalan
rata-rata sekitar 10 cm/th. Dengan rencana penegembangan Pelabuhan
Benoa sebagai turn around cruise port, dimana akan masuk
kapal-kapal dengan ukuran dan tonnage yang besar, akan diperlukan
adanya kegiatan pengerukan yang rutin untuk menjaga alur pelayaran
mencapai kedalaman yang diinginkan.i. Kesimpulan dari aspek
hidrodinamika
1. Terjadi penurunan kecepatan arus pada alur masuk menuju
kawasan perairan teluk saat pasang setelah adanya pulau reklamasi,
berkisar 11% - 60%. Penurunan kecepatan arus pada saat pasang yang
memasuki kawasan perairan teluk disebabkan perubahan area terbuka
yang menjadi lebih kecil dari semula. Pada saat surut, terjadi
peningkatan kecepatan arus pada alur keluar kawasan perairan teluk
setelah adanya reklamasi, berkisar 42%.
2. Dibeberapa lokasi di dalam kawasan teluk terjadi peningkatan
maupun penurunan kecepatan arus saat pasang maupun surut setelah
adanya pulau reklamasi di beberapa titik dibandingkan sebelum
direklamasi. Pola arus mengalami beberapa perubahan kecepatan,
seperti di selatan Pelabuhan Benoa (antara Pelabuhan Benoa dan
pulau reklamasi) serta alur-alur yang terbentuk antara pulau
reklamasi dengan dengan Tanjung Benoa. Peningkatan kecepatan arus
laut di lokasi-lokasi dimaksud menjadi lebih cepat setelah adanya
pulau reklamasi, dengan kenaikan berkisar dari 20-40% dari semula.
Hal ini akan dapat menyebabkan terjadinya erosi pada area-area
tersebut. Penurunan kecepatan aliran terjadi pada sisi Barat dan
Selatan serta di sisi Timur pelabuhan Benoa. Hal ini dapat
menimbulkan terjadinya sedimentasi pada sisi tersebut dan juga
penurunan kualitas air akibat berkurangnya gaya flushing, yang pada
gilirannya dapat berpengaruh terhadap ekosistem perairan serta
operasional pelabuhan Benoa
3. Terjadi kenaikan elevasi muka air di kawasan perairan teluk
Benoa sesudah adanya reklamasi kurang lebih mencapai 7 cm. Dari
kondisi ini, perlu diperhatikan pengaruhnya terhadap ekosistem
mangrove, yang akan menerima kondisi penggenangan lebih lama, dan
kemungkinan terjadinya luapan pada area di sisi barat teluk Benoa
pada saat air pasang. Selain itu, kawasan teluk Benoa merupakan
muara dari beberapa sungai besar seperti tukad Mati dan tukad
Badung, dengan kandungan sedimen yang relative besar. Kemungkinan
terjadinya efek pembendungan di muara sungai, terutama pada saat
pasang dapat menyebabkan terjadinya luapan air sungai pada
area-area rendah dan pendangkalan muara sungai.
4. Layout 1, 2 dan 3 dari rencana reklamasi menimbulkan beberapa
dampak di dalam kawasan perairan teluk dengan besaran yang
berbeda-beda. Perubahan tersebut seperti perubahan kecepatan arus,
elevasi muka air dan siltasi, yang kesemuanya dapat menyebabkan
proses erosi/sedimentasi yang dipercepat, efek genangan (flooding),
penurunan fungsi flushing, yang pada gilirannya dapat mengganggu
habitat mangrove, ekosistem perairan, penurunan kualitas air dan
aktivitas pelabuhan serta aktivitas lain disekitarnya.
5. Penguatan garis pantai dengan revetment sepanjang area dimana
terjadi erosi dan pengerukan (dredging) secara continue pada
area-area dimana terjadi sedimentasi diperkirakan dapat menjadi
alternative solusi. Kajian mitigasi lebih detail perlu dilakukan
untuk menangani permasalahan-permasalahan tersebut.
6. Untuk mengetahui lebih mendalam permasalahan yang terjadi,
kajian yang didukung pemodelan laboratorium perlu dilakukan.
3.1.3 Tsunami
Tsunami adalah gelombang yang terjadi karena gempa bumi atau
letusan gunung api di laut. Gempa bumi adalah getaran yang terjadi
permukaan bumi. Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak
Bumi (lempeng Bumi). Bumi kita walaupun padat, selalu bergerak, dan
gempa bumi terjadi apabila tekanan yang terjadi karena pergerakan
itu sudah terlalu besar untuk dapat ditahan. Ada 2 (dua) jenis
gempa, yaitu:
- gempa bumi tektonik, dan
- gempa gunung berapi.
Gempa bumi tektonik disebabkan oleh perlepasan tenaga yang
terjadi karena pergeseran lempengan plat tektonik seperti layaknya
gelang karet ditarik dan dilepaskan dengan tiba-tiba. Tenaga yang
dihasilkan oleh tekanan antara batuan dikenal sebagai kecacatan
tektonik. Gempa bumi gunung berapi terjadi berdekatan dengan gunung
berapi dan mempunyai bentuk keretakan memanjang yang sama dengan
gempa bumi tektonik.
Gempa bumi gunung berapi disebabkan oleh pergerakan magma ke
atas dalam dapur magma gunung berapi, dimana geseran pada
batu-batuan dalam lempengan kerak bumi menghasilkan gempa bumi.
Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang
dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang
bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya
mencapai pada keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan
lagi oleh pinggiran lempengan, sehingga pada saat itu lah gempa
bumi akan terjadi.Berdasarkan Peta Seismotektonik Regional
Indonesia, secara umum wilayah Bali terletak pada jalur kegempaan
dengan zona seismisitas tinggi. Kegempaan terekam pada magnitut 7,3
pada kedalaman 300 km terletak pada episenter sebelah timur laut
Kota Denpasar. Sumber gempa masing-masing pada kedalaman 80, 40 dan
30 km dengan magnitut 6,7; 6,2 dan 6,0. Sedangkan untuk perhitungan
bangunan tahan gempa, daerah ini masuk zona percepatan gempa (g)
antara 0,8-1,2. Daerah dengan seismisitas tinggi ini memungkinkan
terjadinya gempa yang mengakibatkan gelombang tsunami (Subandono,
2000). Berdasarkan karakteristik kegempaan dan tektonik serta
ditunjang dengan karakteristik data geofisika yang ada, maka Daerah
Bali dan sekitarnya dapat dibagi atas dua zona generator pembangkit
gempa, yaitu zona benturan lempeng (subduksi) Indo-Australia di
selatan Bali dan patahan aktif di utara Bali (Gambar 3.25).
Sumber: Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wil. III Denpasar
(2007)Gambar 3.25 Peta Penyebab Kerawanan Gempa Bumi Daerah
Bali.
Berdasarkan hubungan antara aktivitas kegempaan, tsunami, dan
karakteristik seismotektonik berdasarkan Latief, et al.(2000) dalam
Subandono dan Budiman (2006) membagi Indonesia ke dalam enam zona
seismotektonik seperti terlihat pada Gambar 3.26. Bali termasuk
Zona B yang merupakan bagian dari Busur Sunda bagian timur.
Sumber: Latief, et al., 2000 dalam Subandono dan Budiman,
2006.Gambar 3.26 Pembagian Zona Seismotektonik di Indonesia
Pengaruh tektonik utama untuk Pulau Bali didominasi oleh adanya
tumbukan lempeng Samudera Hindia-Australia dan busur Sunda yang
membentang dari Selat Sunda di barat sampai Pulau Romang (Alor) di
timur. Tumbukan ini menyebabkan timbulnya pusat-pusat gempa di zona
subduksi Jawa yang dimulai dari Selat Sunda di bagian barat dan
berakhir di Pulau Banda di bagian timur serta gempa pada patahan
busur belakang (back arc thrust). Gempa subduksi lempeng di bawah
Pulau Bali umumnya terdapat pada kedalaman 100 km sampai 200
km.
Hampir seluruh gempa bumi terasa dan merusak di Pulau Bali dan
sekitarnya dibangkitkan oleh generator gempa patahan baik di utara
Bali, mengingat gempanya sangat dangkal dan energi yang terbebaskan
ke permukaan Bumi sangat besar karena tidak banyak mengalami
penyerapan oleh lapisan batuan di atasnya. Salah satu contoh data
sejarah gempa dangkal dan merusak di Bali akibat aktivitas patahan
di utara Bali, adalah gempa bumi Gejer Bali tahun 1815 yang
mengakibatkan 15.000 orang tewas.
Indonesia terletak pada daerah rawan tsunami di Kawasan Asia
Pasifik, dimana termasuk di dalamnya wilayah Bali mempunyai tingkat
kerawanan yang tinggi. Wilayah pesisir rawan tsunami dan tahun
kejadian tsunami di Indonesia dari tahun 1960-2006 disajikan pada
Gambar 3.27. Dalam kurun 1960-2006 setidak-tidaknya terjadi sekitar
20 tsunami di Indonesia yang telah menewaskan ratusan ribu orang
dan menghancurkan ribuan tempat tinggal. Kejadian bencana tsunami
yang sangat memilukan dan terparah dalam sejarah peradaban manusia
adalah Tsunami di Nanggro Aceh Darusalam dan Sumatera Utara.
Beberapa kejadian tsunami relatif berdekatan dengan wilayah Bali
seperti di Lombok, Sumbawa, Alor, Flores, dan Banyuwangi. Tsunami
di Indonesia ditimbulkan oleh fenomena geofisik seperti gempa bumi,
erupsi vulkanik di dasar laut, dan longsoran. Di Indonesia tsunami
lebih dominan ditimbulkan oleh gempa bumi, yaitu sekitar 90% dari
total tsunami yang pernah terjadi.
Indonesia, dan juga Pulau Bali merupakan suatu kawasan yang
terletak pada daerah pertemuan tiga lempeng (triple junction plate
convergence) yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Samudera Pasifik dan
Lempeng India-Australia yang masing-masing bergerak ke barat dan ke
utara relatif terhadap Eurasia. Dengan demikian Indonesia dan Bali
khususnya merupakan daerah yang secara tektonik sangat labil dan
termasuk salah satu pinggiran benua yang sangat aktif di muka Bumi.
Akibatnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai
tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat
tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986 dan Subandono,
2000). Gempa-gempa tersebut sebagian berpusat di dasar Samudera
Hindia, dan beberapa dapat memicu terjadinya gelombang laut besar
yang disebut tsunami.
Gelombang tsunami yang terjadi karena gempa bumi atau letusan
gunung api di laut adalah termasuk jenis gelombang di laut dangkal
(shallowwater wave) dengan ketinggian bervariasi dari 0,50 m sampai
30 m dan dengan periode beberapa menit sampai sekitar satu jam.
Berbeda dengan gelombang angin yang hanya menggerakkan air laut
bagian atas saja, tetapi pada tsunami seluruh kolom air dari
permukaan sampai dasar bergerak dalam segala arah.
Tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh
gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah
seismik aktif lainnya. Selama kurun waktu 1960-2006 terdapat 108
kejadian tsunami dimana 90% disebabkan oleh gempa tektonik, 9%
disebabkan oleh letusan gunung api dan 1% disebabkan oleh
longsoran. Data tsunami di Indonesia juga menunjukkan bahwa
gempa-gempa pembangkit tsunami mempunyai magtitudo berkisar 5,6-7,0
Skala Richter (M) dengan kedalaman hiposenter berkisar 13-95 km
dengan kedalaman rata-rata berkisar 60 km.
Sumber: Subandono dan Budiman, 2006Gambar 3.27 Lokasi pesisir
rawan bencana dan tahun kejadian tsunami di Indonesia dari tahun
1960-2006.Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di selatan Bali
merupakan kawasan yang paling rawan bencana tsunami di Bali. Selain
karena faktor geografis dan geologi yang berhadapan langsung dengan
Samudera Hindia, dimana membujur Busur Sunda dan adanya pertemuan
lempeng Eurasia dan lempeng Hindia-Australia, juga karena faktor
kepadatan penduduk dan aktivitas ekonomi yang padat. Beberapa
faktor lain kerawanan tsunami di kawasan ini diantaranya:
(1) Pembangkit tsunami adalah gempa-gempa yang berpusat di laut
dan data menunjukkan bahwa mayoritas gempa bumi di Bali berpusat di
laut.
(2) Pembangkit tsunami adalah gempa patahan vertikal. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa laut di sekitar Bali kaya akan patahan
vertikal.
(3) Berdasarkan sejarah, Bali pernah terjadi tiga kali tsunami
kecil (2-3 m) akibat gempa Sumbawa (1977 dan 1979) dan gempa
Banyuwangi (1994). Bali berada diantara kedua daerah tersebut.
Tingkat kerawanan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi
Bali terhadap bencana tsunami semakin meningkat karena kawasan ini
merupakan pantai yang berbentuk corong atau teluk. Menurut
Subandono (2003), teluk-teluk merupakan tempat yang paling
potensial terjadi tsunami, karena tempat-tempat ini topografi garis
pantai cenderung menyempit sehingga mengakibatkan akumulasi dan
terkonsentrasinya energi gelombang tsunami. Kalau di tengah lautan
tinggi gelombang tsunami paling besar sekitar 5 m, pada saat
mencapai pantai tinggi gelombang dapat mencapai puluhan meter.
Karena terjadi penumpukan massa air, maka pada saat mencapai pantai
tsunami akan merayap masuk daratan jauh dari garis pantai.
Tinggi tsunami dapat mencapai harga maksimum di pantai yang
berbentuk corong ataupun teluk. Sebagai contoh, bencana tsunami di
Pulau Flores tahun 1992 efek rayapannya sampai juga di Tanjung
Benoa yang ditandainya dengan meningkatnya tinggi air pasang di
atas normal. Bencana tsunami akibat gempa bumi di Jawa Timur tahun
1994 menimbulkan rayapan (run-up) tsunami dengan tinggi gelombang
yang cukup tinggi yaitu maksimum 19,1 m dan berdampak di sepanjang
pantai-pantai di Selat Bali dan Selat Badung (Subandono, 2003).
Kerawanan kawasan pesisir Bali terhadap bencana tsunami juga
dapat dianalisis dari pergerakan subduksi antara lempeng
Hindia-Australia dan lempeng Eurasia dalam periode waktu 1977-2006.
Tahun 1977, bencana tsunami terjadi di NTB dan Sumbawa, tahun 1982
terjadi di Larantuka (NTT), tahun 1989 terjadi di Alor (NTT), tahun
1992 terjadi di Flores (NTT), tahun 1994 terjadi di Banyuwangi,
tahun 2004 terjadi di NAD dan Sumut, tahun 2005 terjadi di Nias dan
tahun 2006 terjadi di Tasikmalaya, Ciamis, Cilacap, Kebumen dan
Yogyakarta. Berdasarkan hal tersebut, Bengkulu, Sumatera Barat, dan
Bali Selatan merupakan kawasan yang berada diantara lokasi-lokasi
tsunami sehingga dinilai mempunyai kerawanan tinggi.
Berdasarkan identifikasi potensi bencana alam di Provinsi Bali,
secara geografis daerah pesisir selatan Bali yang berhadapan
langsung dengan laut lepas Samudera Hindia termasuk memiliki
tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana angin kencang. Secara
spesifik, daerah pesisir yang