BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome atau yang lebih kita kenal dengan AIDS merupakan penyakit yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Penyakit AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang dikenal sebagai HIV yang dapat menyebabkan daya tahan tubuh seseorang menurun sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi berat atau keganasan yang menyebabkan kematian. 1 HIV/AIDS merupakan sebuah masalah besar yang sangat mengancam, tidak hanya Indonesia tapi juga seluruh negara di dunia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari penyakit ini. HIV/AIDS tidak hanya menyerang dewasa tapi juga anak-anak. Peningkatan penderita HIV mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan anak-anak dan meruntuhkan kerja 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau yang lebih kita kenal dengan AIDS
merupakan penyakit yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai
akibat infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Penyakit AIDS adalah penyakit
yang disebabkan oleh virus yang dikenal sebagai HIV yang dapat menyebabkan daya
tahan tubuh seseorang menurun sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi berat atau
keganasan yang menyebabkan kematian.1
HIV/AIDS merupakan sebuah masalah besar yang sangat mengancam, tidak
hanya Indonesia tapi juga seluruh negara di dunia. Saat ini tidak ada negara yang
terbebas dari penyakit ini. HIV/AIDS tidak hanya menyerang dewasa tapi juga anak-
anak. Peningkatan penderita HIV mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan anak-anak
dan meruntuhkan kerja keras terhadap kelangsungan hidup anak-anak pada beberapa
negara yang dikenai.2
United Nation Joint Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), salah satu badan
World Health Organization (WHO) yang khusus mengurusi masalah AIDS,
memperkirakan jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di seluruh dunia pada
Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang.1 Sedangkan jumlah anak-anak berusia di
bawah 15 tahun yang menderita HIV adalah sekitar 2 juta (1,9 juta-2,3 juta), 90% dari
mereka berada di Sub Sahara Afrika. Sub Sahara Afrika adalah wilayah yang paling
1
banyak dipengaruhi, diikuti oleh Asia. Pada tahun 2007, diperkirakan terdapat 370.000
anak-anak yang baru terinfeksi, kebanyakan melalui transmisi dari ibu ke anak dengan
kemungkinan setengahnya akan meninggal tanpa intervensi awal. Dari 270.000 anak-
anak yang meninggal pada tahun 2007 sebagian besar diantaranya tidak pernah
terdiagnosis sebagai HIV atau menjalani perawatan HIV.3
Infeksi HIV lebih agresif pada bayi dan anak-anak daripada orang dewasa,
dengan 30% meninggal pada tahun pertama kelahiran dan 50% pada usia 2 tahun tanpa
akses terhadap obat-obat penyelamat, termasuk terapi antiretroviral dan preventif seperti
kotrimoksazol (trimethoprim-sulfamethoxazole).3
Penyebab tersering kematian pada bayi dan anak-anak dengan HIV adalah
infeksi saluran pernapasan, diare dan tuberkulosis yang umumnya disebabkan oleh
beberapa faktor risiko, termasuk infeksi oportunistik dan kurang gizi, dari seluruh kasus,
kematian paling banyak terdapat pada anak-anak dengan berat badan kurang. Status gizi
yang buruk membuat anak-anak lebih rentan terhadap morbiditas dan mortalitas,
meskipun mereka menerima terapi antiretroviral3.
Risiko penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak dapat diturunkan melalui diagnosis
dini dan penatalaksanaan yang adekuat dengan cara pemberian antiretroviral profilaksis
untuk ibu dengan HIV positif selama kehamilan, persalinan dengan operasi caesar atau
dengan pemberian imunisasi rutin dan perbaikan gizi.4
2
1.2. Batasan Masalah
Referat ini membahas mengenai patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan HIV
pada anak.
1.3. Tujuan Penulisan
Mengetahui patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan HIV pada anak.
1.4. Metode Penulisan
Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari
berbagai literatur.
1.5. Manfaat Penulisan
Melalui penulisan referat ini diharapkan akan bermanfaat dalam memberikan
informasi dan pengetahuan tentang patogensis, diagnosis, dan penatalaksanaan HIV
pada anak.
3
BAB 2
TINJAUAN UMUM
2.1 Definisi
AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan
oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk famili
retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.2
2.2 Epidemiologi
WHO memperkirakan lebih dari 39 juta orang di seluruh dunia terinfeksi HIV di
penghujung tahun 2004, termasuk 2,2 juta anak-anak dibawah umur 15 tahun. Lebih
dari 90% penderita HIV tinggal di negara berkembang. Daerah sub sahara afrika
menyumbang angka pertumbuhan tercepat dengan hampir 90% dari total penderita HIV
pada anak. India dan Thailand menyumbang epidemi terbanyak di kawasan asia
tenggara. Depkes pada tahun 2006 memperkirakan terdapat 169.000 – 216.000 ODHA
di Indonesia dengan rate kumulatif kasus AIDS Nasional sampai dengan 30 Juni 2007
adalah 4,27 per 100.000 penduduk (revisi berdasarkan data BPS 2005, jumlah penduduk
Indonesia 227.132.350 jiwa). Penderita HIV/AIDS di sumatera barat secara case rate
berjumlah 2,88 (jumlah kasus/jumlah penduduk). 5,6
2.3 Etiologi dan faktor Risiko
2.3.1 Etiologi
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama human
immunodeficiency virus ini adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili
lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal 2 serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2.
4
HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) mengenai
spektrum penyakit yang menimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1 sebagai
penyebab AIDS yang tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T cell-
lymphotrophic virus type-3 (HTLV-III), lymphadenopathy associated virus (LAV) dan
AIDS associated virus.4 HIV-1 dan HIV -2 memiliki struktur yang hampir sama. HIV-1
mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai gen vpx, sedangkan HIV-2 mempunyai gen
vpx tetapi tidak mempunyai gen vpu. Gen vpu berfungsi untuk membantu pelepasan
virus sedangkan gen vpx berfungsi untuk meningkatkan infektifitas (daya tularnya).7
2.3.1.1 Struktur HIV
HIV mempunyai inti berbentuk silindris dan eksentrik, mengandung genom
RNA diploid dan enzim reverse transcriptase (RT), protease serta integrase. Reverse
transcriptase digunakan RNA template untuk memproduksi hybrid DNA. Antigen
kapsid (p24) adalah core antigen virus HIV yang merupakan petanda terdini adanya
infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari-minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis
antibodi terhadap HIV-1. Antigen ini menutupi komponen nukleoid, sehingga
membentuk struktur nukleokapsid. Antigen Antigen P17 merupakan bagian dalam
sampul HIV. Pada bagian permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas molekul
glikoprotein (gp120) dengan bagian transmembran gp41. Antigen gp120 ini yang
mengikat reseptor sel CD4 pada sel T dan makrofag.8
5
Gambar 1. Struktur HIV9
2.3.1.2 Siklus hidup
Siklus hidup dibagi menjadi 2 fase :
1. Fase pertama
Dimulai dari melekatnya HIV pada sel host melalui interaksi antara molekul
gp120 dengan molekul CD4 dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5)
(imunologi dasar). Kemudian diikuti dengan fusi membran sel HIV dengan
membran sel host. Di dalam sel host terjadilah transkripsi DNA HIV dari RNA
HIV oleh enzim RT. DNA HIV yang terbentuk kemudian berinteraksi dengan
DNA sel host dengan bantuan enzim integrase. DNA yang terintegrasi disebut
provirus.8
2. Fase kedua
Transkrip DNA HIV yang telah terintegrasi menjadi RNA genom HIV dan
mRNA kemudian ditransport kedalam sitoplasma untuk ditranslasi menjadi
protein virus dengan bantuan enzim protease. Genom RNA dan protein yang
terbentuk di rakit pada permukaan membrane sel host. Terjadilah partikel HIV
6
melalui proses budding dengan membran sel host sebagai bagian lipid sampul
HIV.8
Gambar 2. Daur hidup HIV9
2.3.2 Faktor Risiko1
1. Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual
2. Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti
3. Bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat intravena
4. Bayi atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah berulang
5. Bayi atau anak yang terpapar dengan alat suntik yang tidak steril
6. Anak remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan.
7
Risiko transmisi vertikal bergantung pada beberapa faktor.10
1. Usia kehamilan. Transmisi vertical jarang terjadi pada waktu ibu hamil muda,
karena plasenta merupakan barier yang dapat melindungi janin dari infeksi pada
ibu. Transmisi terbesar terjadi pada waktu hamil tua dan waktu persalinan.
2. Beban virus di dalam darah
3. Kondisi kesehatan ibu. Stadium dan progresifitas penyakit ibu, ada tidaknya
komplikasi, kebiasaan merokok, penggunaan obat-obat terlarang dan defisiensi
vitamin A.
4. Faktor yang berhubungan dengan persalinan; seperti masa kehamilan, lamanya
ketuban pecah, dan cara penanganan bayi baru lahir.
5. Pemberian profilaksis obat antiretroviral.
6. Pemberian ASI.
2.4 Patogenesis
2.4.1 Cara Penularan HIV Terjadi Melalui Tiga Jalur Transmisi Utama:1
1. Transmisi vertikal dari ibu ke janin
Transmisi terjadi melalui plasenta (intrauterine) atau intrapartum yaitu pada
waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau sekret genetalia yang mengandung
HIV. Transmisi ini terjadi pada 20-50% kasus. Risiko tertular HIV melalui
ASI adalah 11-29%. Penularan dapat terjadi pada trimester ketiga, tetapi
pemajanan selama persalinan dan kelahiran merupakan faktor utama yang
membedakan antara persalinan pervaginam dan operasi sesar .
8
2. Transmisi langsung ke peredaran darah melalui transfusi atau jarum suntik
3. Transmisi melalui mukosa genital
2.4.2. Pengaruh HIV Terhadap Sistem Imun
HIV memasuki sel melalui molekul CD4 pada permukaan sel seperti sel limfosit
T, sel makrofag, monosit, dan dendrit. Pada infeksi HIV terjadi imunosupresi yang
disebabkan oleh menurunnya jumlah dan terganggunya fungsi sel T CD4. Proses ini
tidak hanya disebabkan oleh efek sitopatik langsung, tetapi juga oleh efek sitopatik tidak
langsung yang dinamakan patogenesis imun 1. Selain efek langsung dan tak langsung
juga ada peranan sel sitotoksik CD8 dalam infeksi HIV, yaitu sel CD8 akan mengikat
sel yang terinfeksi oleh virus HIV dan mengeluarkan perforin yang menyebabkan
kematian sel. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV didalam limfosit CD4.7
2.4.1.1 Efek Sitopatik langsung
1. Proses replikasi virus dalam sel T CD4 , menyebabkan :
a. Peningkatan permeabilitas membran sel T CD4, sehingga ion dan air masuk
kedalam sel dan mengakibatkan lisis sel.
b. Menghambat sintesis protein sel host sehingga mengakibatkan kematian sel
T CD4.1
2. Penimbunan DNA virus yang tidak terintegrasi ke genom host memberikan efek
toksik pada sel T CD4 yang terinfeksi dan menganggu fungsi normal sel host
sehingga sel T CD4 menjadi mati.1
3. Interaksi molekul gp120 HIV dengan molekul CD4 intrasel.1
4. Hambatan maturasi sel prekursor T CD4
9
HIV dapat menginfeksi sel prekursor T CD4 didalam timus sehingga sel tersebut
tidak berkembang menjadi matur. Akibatnya jumlah sel T CD4 perifer
menurun.1
2.4.1.2. Efek sitopatik tidak langsung
Beberapa hipotesis mengenai efek sitopatik tidak langsung dalam hal penurunan
jumlah dan fungsi sel T CD4 yang di akibatkan HIV antara lain:1
1. Pembentukan sel sinsitia
Terjadi karena sel T CD4 yang terinfeksi HIV memproduksi protein virus
gp120 dan mengekspresikannya di permukaan membrannya. Molekul gp120
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap sel T CD4 yang belum terinfeksi
sehingga akan mengikat sel T CD4 yang belum terinfeksi dan melebur
menjadi satu dengan 2 inti.
2. Apoptosis sel T reaktif
Molekul gp120 yang dibentuk oleh sel T CD4 yang terinfeksi dapat berikatan
dengan molekul CD4 yang normal.dan oleh kompleks gp120-anti120
membuat sel yang normal menjadi apoptosis. Disamping itu, molekul ini
juga dapat menyebabkan refrakter terhadap semua stimulasi, sehingga fungsi
sel T CD4 berkurang.
3. Destruksi autoimun yang diinduksi HIV
Sel T CD4 normal yang sudah berikatan dengan molekul gp120 selain
mengalami apoptosis juga akan mengalami lisis melalaui proses antibody
dependent cellular cytotoxicity (ADCC) dan fiksasi komplemen.
4. Perubahan produksi sitokin sehingga menginduksi hambatan maturasi
10
a. Adanya gangguan produksi sitokin oleh sel makrofag dan monosit akan
menghambat maturasi sel prekursor T CD4.
b. Disregulasi produksi sitokin pada infeksi HIV mengakibatkan aktivasi sel
T CD4 cenderung ke arah aktivasi sel Th2, yaitu aktivasi imunitas
humoral (sel B). Terjadi aktivasi sel B poliklonal sehingga kadar
immunoglobulin serum meningkat, yang dapat meningkatkan pula
produksi autoantibodi dengan akibat timbulnya penyakit autoimun.
2.4.3 Perjalanan Klinis HIV
2.4.3.1. Fase infeksi akut
Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus bertindak sebagai antigen precenting
cell (APC) menangkap virus yang kemudian bermigrasi ke kelenjar limfoid dan
mempresentasikannya ke sel limfosit CD4 sehingga merangsangnya. Sel dendrit
mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel
dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Sel dendrit dapat
menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.11
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam
jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan
viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi
virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau
T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran
infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen
11
virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang
menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.11
2.4.3.2 Fase laten klinis (clinical laten period)
Pada fase ini kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan
destruksi sel. Sistem imun masih kompeten untuk mengatasi infeksi mikroba
oportunistik dan belum tampak gejala klinik infeksi HIV. Pada fase ini jumlah virus
rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV, tetapi penghancuran sel
T CD4+ di jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlahnya dalam sirkulasi terus
berkurang.11
2.4.3.3 Fase kronik progresif
Fase ini rentan terhadap infeksi lain dan respon imun terhadap infeksi tersebut
akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Penyakit HIV berjalan
terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS yaitu dimana terjadi destruksi seluruh
jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan
viremia HIV meningkat drastis. Pada penderita AIDS mudah mendapat infeksi
oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati
HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).11
2.5 Diagnosis
Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang terpajan pada masa perinatal dan pada
anak kecil sangat sulit karena antibodi maternal terhadap HIV yang didapat secara pasif
12
mungkin masih ada pada darah anak sampai pada umur 18 bulan. Tantangan diagnostik
bertambah meningkat bila anak sedang menyusu atau pernah menyusu. Meskipun
infeksi HIV tidak dapat disingkirkan sampai 18 bulan pada beberapa anak, sebagian
besar anak akan kehilangan antibodi HIV pada umur 9-18 bulan.4 Alur diagnosis HIV
pada anak < 18 bulan dan masih mendapat ASI dapat dilihat lampiran 1. Sedangkan alur
dignosis HIV pada anak < 18 bulan dengan ibu HIV positif dan hasil uji virologi negatif
dapat di lihat di lampiran 2. Untuk anak > 18 bulan bagan diagnosis HIV dapat dilihat di
lampiran 4.
2.5.1 Test HIV
Tes HIV secara sukarela dan bebas dari paksaan, dan persetujuan harus diperoleh
sebelum melakukan tes HIV. Semua tes diagnostik HIV harus rahasia, diikuti dengan
konseling, dan dilakukan hanya dengan informed consent, mencakup telah
diinformasikan dan sukarela.4
Pada anak, hal ini berarti persetujuan orang tua atau pengasuh anak. Pada anak
yang lebih tua, biasanya tidak diperlukan persetujuan orang tua untuk tes atau
pengobatan. Akan tetapi untuk remaja lebih baik jika mendapat dukungan orang tua dan
mungkin persetujuan akan diperlukan secara hukum. Menerima atau menolak tes HIV
tidak boleh mengakibatkan konsekuensi yang merugikan terhadap kualitas perawatan
yang diberikan. 4
2.5.1.1 Tes antibodi (Ab) HIV ELISA atau rapid test4
Tes cepat makin tersedia dan aman, efektif, sensitif dan dapat dipercaya untuk
mendiagnosis infeksi HIV pada anak mulai umur 18 bulan. Untuk anak berumur < 18
13
bulan tes cepat antibodi HIV merupakan cara yang sensitif, dapat dipercaya untuk
mendeteksi bayi yang terpajan HIV dan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak
yang tidak mendatpatkan ASI.
Diagnosis HIV dilaksanakan dengan merujuk pada pedoman nasional yang berlaku di
Indonesia yaitu dengan strategi III tes HIV yang menggunakan 3 jenis tes yang berbeda
dengan urutan tertentu sesuai yang direkomendasikan dalam pedoman atau dengan
pemeriksaan virus (metode PCR).
Tes cepat HIV dapat digunakan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak
dengan malnutrisi atau keadaan klinis berat lainnya di daerah dengan prevalensi tinggi
HIV. Untuk anak berumur < 18 bulan, semua tes antibodi HIV yang positif harus
dipastikan dengan tes virologis sesegera mungkin. Jika hal ini tidak tersedia ulangi tes
antibodi pada umur 18 bulan.
2.5.1.2 Tes virologis
Tes virologis untuk RNA atau DNA yang spesifik HIV merupakan metode yang
paling dipercaya untuk mendiagnosis infeksi HIV pada anak berumur < 18 bulan sampel
darah harus dikirim ke laboratorium khusus yang dapat melakukan tes ini (dirujuk ke RS
daerah yang menjadi untuk program perawatan, dukungan dan pengobatan HIV-PDP).
Jika anak pernah mendapatkan pencegahan dengan zidovudine (ZDV) selama atau
sesudah persalinan, tes virologis tidak dianjurkan sampai 4-8 minggu setelah lahir,
karena ZDV mempengaruhi tingkat kepercayaan tes. Satu tes virologis yang positif pada
4-8 minggu sudah cukup untuk membuat diagnosis infeksi pada bayi muda. Jika bayi
14
muda masih mendapat ASI dan tes virologis RNA negatif, perlu diulang 6 minggu
setelah anak benar-benar disapih untuk memastikan bahwa anak tidak terinfeksi HIV.4
2.5.2 Stadium HIV pada anak
2.5.2.1 Kriteria Klinis
WHO telah membuat sistem tahapan klinis untuk anak yang menderita HIV, yaitu: 4,10
Stadium Klinis 1
1. Tanpa gejala (asimtomatis)
2. Limfadenopati generalisata persisten
Stadium Klinis 2
1. Hepatosplenomegaly persisten tanpa alasani.
2. Erupsi papular pruritis
3. Infeksi virus kutil yang luas
4. Moluskum kontagiosum yang luas
5. Infeksi jamur di kuku
6. Ulkus mulut yang berulang
7. Pembesaran parotid persisten tanpa alasan
15
8. Eritema lineal gingival (LGE)
9. Herpes zoster
10. Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (ototis media, otore,
sinusitis, atau tonsilitis)
Stadium Klinis 3
1. Malanutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan terapi baku
2. Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari atau lebih)
3. Demam terus-menerus tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-
menerus, lebih dari 1 bulan)
4. Kandidiasis oral terus-menerus (setelah usia 6-8 minggu)
5. Oral hairy leukoplakia (OHL)
6. Gingivitis atau periodonitis nekrotising berulkus yang akut
7. Tuberkulosis pada kelenjar getah bening
8. Tuberkulosis paru
9. Pneumonia bakteri yang parah dan berulang
10. Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala
16
11. Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk brokiektasis
12. Anemia (<8g/dl), neutropenia (<500/mm3) atau trombositopenia (<50.000/mm3)
Stadium Klinis 4
1. Gagal tumbuh yang berat atau malanutrisi berat tanpa alasan dan tidak
menanggapi terapi yang baku.
2. Pneumonia Pneumosistis (PCP)
3. Infeksi bakteri yang parah dan berulang (mis. empiema, piomisotis, infeksi
tulang atau sendi, atau meningitis, tetapi tidak termasuk pneumonia)
4. Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial atau kutaneous lebih dari 1 bulan atau
viskeral pada tempat apa pun)
5. Tuberkulosis di luar paru
6. Sarkoma Kaposi
7. Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru)
8. Toksoplasmosis sistem saraf pusat (setelah usia 1 bulan)
9. Ensefalopati HIV
10. Infeksi sitomegalovirus: retinitis atau infeksi CMV yang mempengaruhi organ
lain, yang mulai pada usia lebih dari 1 bulan)
17
11. Kriptokokosis di luar paru (termasuk meningitis)
12. Mikosis diseminata endemis (histoplasmosis luar paru, kokidiomikosis)