1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Ray Williams sebagai Presiden International Coach Federation (National Post, 4 April 2007) mengungkapkan bahwa business coaching adalah profesi yang memiliki pertumbuhan berada pada urutan kedua tercepat di dunia setelah teknologi informasi. Hal ini didorong oleh banyak kepemimpinan tidak efektif yang telah memberikan kontribusi terhadap permintaan untuk executive coaching. Hal tersebut ditunjukkan dengan fakta bahwa pengeluaran tahunan untuk business coaching di Amerika Serikat telah mencapai satu juta dollar (Harvard Business Review, November 2004). Sementara itu pemakaian business coaching di Inggris telah tersebar luas dan diperoleh data bahwa 88% perusahaan sudah menggunakan coaching di dalam organisasinya (University of Bristol Newsletter 2005). Adapun pertumbuhan organisasi dengan menggunakan coaching telah dilakukan juga oleh Institute Management Australia dimana 70% dari perusahaan yang menjadi anggotanya telah memekerjakan para coach untuk melakukan business coaching (Inside Business Channel 2, Juli 2006). Data yang ada menyatakan bahwa terdapat 40.000 orang di Amerika Serikat yang telah bekerja sebagai business coach atau life coach. Selain itu juga, pasaran dari business coaching senilai 2,4 juta dollar dan kini bertumbuh 18% pertahunnya (Market Data Report 2007). Business Coaching ini berdampak pada percepatan pengembangan karier bagi para eksekutif. de Geus dan Senge (1997) menyatakan bahwa kemampuan eksekutif yang telah menggunakan coaching berkemampuan untuk belajar lebih cepat dan membawa dampak keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Lingkungan organisasi yang berkembang pesat dan didukung
20
Embed
BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/1/D_922011002_BAB I.pdf · kredibilitas tinggi dari karyawan dalam memengaruhi peningkatan perilaku,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Ray Williams sebagai Presiden International Coach
Federation (National Post, 4 April 2007) mengungkapkan bahwa business
coaching adalah profesi yang memiliki pertumbuhan berada pada urutan
kedua tercepat di dunia setelah teknologi informasi. Hal ini didorong oleh
banyak kepemimpinan tidak efektif yang telah memberikan kontribusi
terhadap permintaan untuk executive coaching. Hal tersebut ditunjukkan
dengan fakta bahwa pengeluaran tahunan untuk business coaching di
Amerika Serikat telah mencapai satu juta dollar (Harvard Business Review,
November 2004). Sementara itu pemakaian business coaching di Inggris
telah tersebar luas dan diperoleh data bahwa 88% perusahaan sudah
menggunakan coaching di dalam organisasinya (University of Bristol
Newsletter 2005).
Adapun pertumbuhan organisasi dengan menggunakan coaching
telah dilakukan juga oleh Institute Management Australia dimana 70% dari
perusahaan yang menjadi anggotanya telah memekerjakan para coach untuk
melakukan business coaching (Inside Business Channel 2, Juli 2006). Data
yang ada menyatakan bahwa terdapat 40.000 orang di Amerika Serikat yang
telah bekerja sebagai business coach atau life coach. Selain itu juga, pasaran
dari business coaching senilai 2,4 juta dollar dan kini bertumbuh 18%
pertahunnya (Market Data Report 2007).
Business Coaching ini berdampak pada percepatan pengembangan
karier bagi para eksekutif. de Geus dan Senge (1997) menyatakan bahwa
kemampuan eksekutif yang telah menggunakan coaching berkemampuan
untuk belajar lebih cepat dan membawa dampak keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan. Lingkungan organisasi yang berkembang pesat dan didukung
2
dengan coaching mampu mendorong para eksekutif untuk dapat mengambil
keputusan yang strategis dan mengelola sumber daya organisasi sesuai
tantangan dan kebutuhan organisasi.
Smith dan Sandstrom (1999) menegaskan bahwa coaching adalah alat
strategis untuk meningkatkan fleksibilitas perilaku dan membantu para
eksekutif untuk mengidentifikasi tantangan, merenungkan dan mengambil
tindakan yang tepat untuk kepentingan organisasi. Hal serupa juga
dinyatakan Warrenfeltz (2000) bahwa keberadaan coaching mampu
mendorong organisasi untuk lebih efisien dan efektif dalam pengelolaan
sumber daya manusia.
Fenomena executive coaching juga didukung hasil riset empiris di
bidang tersebut yang mengalami perkembangan yang pesat (Filipezak, 1998;
Kilburg, 1996; Quick dan Macik-Frey, 2004; Feldman dan Lankau, 2005;
Nieminen et al., 2013). Perkembangan literatur executive coaching di bidang
konsultasi manajemen, pelatihan dan pengembangan, serta konsultasi
psikologi juga mengalami peningkatan (Kampa-Kokesch dan Anderson,
2001). Adapun Joo (2005) menyatakan bahwa riset executive coaching
berelasi dengan mentoring, kesuksesan karir, balikan (feedback) 360 derajat,
serta pelatihan dan pembelajaran. Dalam kerangka konseptualnya, Joo (2005)
menyajikan anteseden dari keberhasilan executive coaching adalah
karakteristik coach, karakteristik coachee dan dukungan organisasi.
Anteseden tersebut mengikuti proses pendekatan, hubungan dan penerimaan
feedback dari coaching sehingga menghasilkan outcome berupa self-
awareness dan pembelajaran. Hasil akhirnya adalah kesuksesan individual
dan organisasi. Riset lain oleh Bono et al. (2009) memberi bukti empiris
bahwa psikologi dalam executive coaching berperan penting dalam
perubahan perilaku manager sebagai sumber daya manusia di organisasi.
Dalam domain pengembangan sumber daya manusia, Feldman dan
Lankau (2005) menggambarkan karakteristik yang membedakan executive
coaching dengan intervensi pengembangan pimpinan yang lain yaitu:
terformalisasi, jangka pendek sampai menengah, hubungan satu demi satu
3
dengan seorang konsultan yang berfokus pada penyediaan pimpinan yang
mau melakukan feedback tentang perilaku kinerja dan peningkatan
efektivitasnya dalam pekerjaan, serta organisasinya. Feedback yang
bersumber dari banyak pihak disebut sebagai multisource feedback (MSF).
Penilaian kinerja karyawan dalam perusahaan biasanya dilakukan
oleh atasan langsung dan/atau tak langsung yang disebut sebagai penilaian
kinerja karyawan single-source feedback. Penilaian seperti ini memiliki
banyak kelemahan dan bias, karena sangat tergantung selera pimpinan
terhadap bawahannya. Oleh karena itu, kini mulai dikembangkan penilaian
kinerja model 360 derajat. Pengembangan manajemen sumber daya manusia
untuk penilaian kinerja karyawan dengan umpan balik 360 derajat telah
dikenal sebagai umpan balik multisumber atau penilaian multisumber.
Umpan balik 360 derajat memiliki berbagai nama: umpan balik dari banyak
penilai (multi-rater feedback), penilaian dari bawah ke atas (upward
appraisal), umpan balik rekan sekerja (co-worker feedback), penilaian multi
perspektif (multiperspective ratings), umpan balik satu lingkaran penuh (full-
circle feedback). Angka 360 menunjukan 360 derajat dalam suatu lingkaran
dengan figur individual di pusat lingkaran.
Penilaian kinerja karyawan yang menggunakan umpan balik 360
derajat dilakukan oleh karyawan sendiri, kelompok “peer”, bawahan dan
atasan. Dalam beberapa kasus umpan balik 360 derajat ini, penilaian kinerja
diri dilakukan dari sumber eksternal seperti pelanggan dan pemasok atau
pemangku kepentingan lainnya. Proses ini melibatkan pihak luar perusahaan
seperti konsumen, klien dan penjual. Proses ini pun memiliki keterlibatan dan
kredibilitas tinggi dari karyawan dalam memengaruhi peningkatan perilaku,
kinerja dan komunikasi. Pola ini memberi karyawan kesempatan untuk
mengetahui bagaimana mereka dinilai orang lain, termasuk untuk melihat
ketrampilan dan perilakunya.
Dari studi yang dilakukan Walker and Smither (1999) selama lima
tahun menyatakan bahwa antara satu hingga dua tahun pertama tidak adanya
4
perbaikan signifikan dalam hal peningkatan kinerja, karena masing– masing
masih bersikap subyektif. Namun setelah proses berlangsung selama tiga
tahun maka mulai tampak ada peningkatan kinerja. Selain itu studi yang
dilakukan Reilly et al. (1996) menunjukkan adanya peningkatan kinerja di
bidang administrasi pada tahun-tahun pertama dan berlangsung terus setelah
dua tahun berikutnya. Menurut (Maylett dan Riboldi, 2007) model 360
derajat ini dapat digunakan untuk memprediksi kinerja karyawan yang
sifatnya berkesinambungan, sehingga MSF memiliki keunggulan
dibandingkan dengan single-source feedback.
Penelitian di bidang MSF berkembang sangat pesat pada beberapa
dekade terakhir yaitu dalam hal pengembangan, penilaian dan pengambilan
keputusan personil (Antonioni, 1996; Brutus dan Derayeh, 2002; Burtus et
al., 2006; Hedge et al., 2001; Waldman et al., 1998). Dalam konteks
perkembangan pemimpin, proses MSF yang pertama mencakup
pengumpulan nilai oleh pemimpin supervisor, rekan sejawat, laporan
langsung, dan diri sendiri, dan kedua, berbagi hasil dengan pemimpin untuk
memfasilitasi pembelajaran dan kemajuan (Dalessio, 1998). Riset empiris
menunjukkan bahwa pengaruh MSF terhadap efektivitas pemimpin masih
inkonklusif atau masih sulit diinterpretasikan (Hezlett, 2008; McCharty dan
Garavan, 2006), namun perubahan yang dilakukan oleh pemimpin setelah
menerima MSF adalah positif, meski nilai perubahannya masih kecil karena
hanya beberapa pemimpin memiliki kesadaran untuk berubah setelah
menerima feedback.
Hal- hal yang berpotensi menjadi penyebab tidak optimalnya MSF
dalam meningkatkan perubahan perilaku pemimpin adalah desain riset, masih
adanya kelemahan dalam hal instrumen MSF, salah langkah dalam
implementasinya, dan faktor substantif dalam pengembangan model teoritis.
Nieminen et al. (2013) menggunakan executive coaching sebagai komplemen
dari tujuan MSF dengan membantu pemimpin untuk mengembangkan tujuan
dan mengikuti aksi pengembangan yang tepat. Hasil riset Nieminen et al.
5
(2013) menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara MSF terhadap
efektivitas manajer sebagai pimpinan. Multisource feedback dengan feedback
workshop memiliki nilai lebih kecil dibanding feedback workshop yang
dikombinasi dengan executive coaching. Namun demikian, riset Nieminen et
al. (2013) belum mempertimbangkan tipe kepemimpinan dalam executive
coaching seperti yang diulas oleh Hezlett (2008). Nieminen et al. (2013)
memberikan bukti empiris yang sama bahwa executive coaching dengan
MSF dalam workshop meningkatkan kinerja individual coachee. Dalam
penelitian Kochanowski et al. (2010) diketahui bahwa hasilnya konsisten
dengan hasil dari studi kuasi-eksperimental oleh Smither et al. (2003). Efek
dari intervensi umpan balik memiliki pengaruh terhadap taktik pengaruh
proaktif. Masey (2010) menjelaskan bahwa taktik pengaruh proaktif adalah
upaya oleh seorang manajer pemasaran kepada agen untuk melakukan
kepatuhan atau kerja sama dalam mencapai target dan keefektifan manajer
ditentukan sebagian oleh tingkat pengaruh informal mereka di dalam
organisasi. Taktik pengaruh proaktif yang biasa dilakukan manajer
pemasaran di Indonesia yaitu taktik pengaruh proaktif yang meliputi rational
persuasion, inspirational appeal, collaboration, dan consultation. Dampak
dari intervensi umpan balik hanya ditemukan untuk collaboration dan
consultation.
Dalam percobaan lapangan oleh Seifert dan Yukl (2005) dan Seifert
et al. (2003) diketahui tidak adanya efek signifikan yang ditemukan untuk
persuasi rasional dan taktik ini juga tidak terpengaruh oleh sebuah intervensi
umpan balik dalam dua percobaan di lapangan sebelumnya. Persuasi rasional
adalah taktik pengaruh proaktif yang paling sering digunakan para manajer
(Yukl, 2009), dan mungkin kurang rentan terhadap perubahan daripada taktik
yang lain. Sedangkan hasil untuk inspirasional juga tidak memiliki
signifikansi. Sayangnya, kemampuan generalisasi pada kesimpulan
penelitian–penelitian tersebut (Nieminen et al., 2013; Kochanowski et al.,
2010) masih terbatas karena tipe kepemimpinan coach yang terlibat executive
coaching belum diteliti.
6
Tipe kepemimpinan memegang peranan penting dalam suatu
organisasi. Perbedaan tipe perilaku pemimpin akan menyebabkan dampak
feedback pun menjadi berbeda (Kochanowski et al., 2010). Hubungan antara
perilaku dan keterampilan kepemimpinan berdampak positif terhadap
efektivitas organisasi. Hal ini terkait erat dengan nilai-nilai, norma -norma
perilaku, dan praktik kerja (Denison dan Mishra, 1995; Denison et al., 2003).
Penggunaan feedback terhadap perubahan perilaku dengan mempertimbang-
kan tipe kepemimpinan berpotensi meningkatkan kinerja individual dan
dampak selanjutnya dapat meningkatkan kinerja organisasi.
Tipe kepemimpinan yang efektif dan sering diteliti secara mendalam
yaitu tipe kepemimpinan transformasional. Tipe Kepemimpinan
transformasional merupakan kemampuan seorang pemimpin dalam bekerja
dengan dan atau melalui orang lain untuk mentransformasikan secara optimal
sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai
dengan target capaian yang telah ditetapkan. Sumber daya organisasi yang
dimaksud yaitu sumber daya manusia seperti pimpinan, staf, bawahan, tenaga
ahli, dan lain-lain. Berkaitan dengan tipe kepemimpinan transformasional ini,
Leithwood et al. (1999) mengemukakan bahwa kepemimpinan transfor-
masional menggiring sumber daya manusia yang dipimpin ke arah
tumbuhnya sensitivitas pembinaan dan pengembangan organisasi,
pengembangam visi secara bersama, pendistribusian kewenangan
kepemimpinan, dan membangun kultur organisasi yang menjadi keharusan
dalam skema restrukturisasi organisasi. Cheung dan Wong (2010) dalam
penelitiannya menemukan bahwa adanya hubungan positif antara tipe
kepemimpinan transformasional dan kreativitas karyawan yang hasilnya
berupa konsisten dengan temuan penelitian Shin dan Zhou (2003). Mereka
berpendapat bahwa para pemimpin peduli terhadap kebutuhan karyawan dan
keinginan berhubungan dengan kegiatan sosial yang pada akhirnya
memengaruhi kekuatan ide generasi. Kepemimpinan transformasional
diprediksikan mampu mendorong terciptanya efektifitas organisasi. Tipe
kepemimpinan transformasional menggambarkan adanya tingkat kemampuan
7
pemimpin untuk mengubah mentalitas dan perilaku pengikut menjadi lebih
baik.
Kepemimpinan transformasional memiliki makna dan orientasi masa
depan (future oriented) diantaranya kebutuhan menanamkan budaya inovasi
dan kreatifitas dalam meningkatkan meningkatkan mutu dan eksistensi
pengembangan organisasi ke depan. Hal ini penting karena kondisi
persaingan yang dihadapi organisasi masa kini menuntut terciptanya
organisasi yang berkualitas, produktif, serta profesional dalam menapaki
masa depan dengan segala tantangan yang ada. Kepemimpinan
transformasional menurut Avilio dan Bernard M. Bass (2005) memiliki
karakteristik yang membedakan dengan tipe kepemimpinan yang lainnya
seperti charisma yaitu memberikan visi dan misi yang masuk akal,
menimbulkan kebanggaan, menimbulkan rasa hormat dan percaya.
Karakteristik lainnya adalah inspiration yang merupakan cara
mengomunikasikan harapan yang tinggi, menggunakan simbol untuk
memfokuskan upaya, mengekspresikan tujuan penting dengan cara yang
sederhana. Selanjutnya karakteristik lainnya yaitu intellectual stimulation,
yaitu bagaimana meningkatkan intelegensi, rasionalitas, dan pemecahan
masalah secara teliti. Terakhir adalah karakter individualized consideration
yaitu memberikan perhatian pribadi, melakukan pelatihan dan konsultasi
kepada setiap bawahan secara individual. Tipe kepemimpinan semacam ini
akan mampu membawa kesadaran pengikut (followers) dengan
memunculkan ide–ide produktif, hubungan yang sinergikal,
kebertanggungjawaban, kepedulian edukasional, cita-cita bersama, dan nilai–
nilai moral.
Aplikasi tipe kepemimpinan transformasional pada banyak organisasi
sangat ideal. Melalui tipe kepemimpinan seperti itu, segala potensi organisasi
dapat ditransformasikan menjadi aktual dalam kerangka mencapai tujuan
lembaga. Melihat kesejatian tipe kepemimpinan transformasional ini, setiap
pemimpin harus menjadi basis pemimpin dalam melakukan transformasi
8
tugas kesehariaannya. Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya
mengubah budaya organisasi. Gundersen et al. (2012) dalam risetnya
menemukan bahwa tipe kepemimpinan transformasional di lingkungan kerja
yang dinamis memberikan dampak kinerja yang efektif bagi karyawan dan
efektifitas bagi organisasi.
Cunningham dan Cordeiro (2006) dalam hal kepemimpinan
mendasarkan pada tipe kepemimpinan transformasional menyebutkan empat
hal penting yang perlu mendapat perhatian pemimpin untuk mewujudkan
tujuan kinerja organisasi secara efektif yaitu: (1) Membuat visi yang ideal,
menarik dan dapat dicapai, pemimpin perlu mengkaji data dan informasi
organisasi yang tersedia serta memelajari kebutuhan lingkungan internal dan
trend perkembangan lingkungan eksternal; (2) Merumuskan visi untuk
mendapatkan visi yang benar-benar ideal. Pemimpin mengkaji kembali
kekuatan dan kelemahan internal organisasi serta memprediksi kemungkinan
masa depan yang ideal yang bisa dicapai dalam kurun waktu antara 5 – 10
tahun; (3) Mengomunikasikan visi yang pada dasarnya adalah konsep impian
masa depan yang penuh makna bahkan misteri. Oleh karena itu visi harus
disebarluaskan kepada pihak-pihak yang bekepentingan dalam organisasi.
Hal ini dimaksudkan supaya pesan-pesan inti yang terkandung didalamnya
dapat dipahami dan dirasakan sebagai kebutuhan bersama, serta menjadi
simbol kebanggaan dalam menggerakkan roda organisasi; (4) Deployment
dapat diartikan sebagai bentuk upaya menerjemahkan dan menyebarluaskan
visi ke dalam realita dengan cara membangun budaya kerja yang kondusif.
Deployment dalam konteks ini juga dapat berarti mencegah kecenderungan
penyebaran perkembangan kearah yang tidak diinginkan. Tipe kepemimpinan
tersebut banyak diimplemtasikan dalam kepemimpinan yang berkaitan
dengan edukasi dan admistratif, dan memiliki ciri–ciri yang dimiliki
kepemimpinan transformasionl.
Implementasi tipe kepemimpinan transformasional dalam organisasi
memang perlu diterapkan seperti dalam jabatan kepala cabang, kepala
9
penjualan, kepala bengkel ataupun kepala departemen dan yang lain-lain.
Model kepemimpinan ini memang perlu diterapkan sebagai salah satu solusi
krisis kepemimpinan, terutama dalam bidang yang mengarah kepada tujuan
masa depan yang lebih baik. Adapun alasan–alasan mengapa pentingnya
penerapan model kepemimpinan transformasional bagi suatu organisasi
yaitu: (1) secara signifikan meningkatkan kinerja organisasi, (2) secara positif
dihubungkan dengan orientasi pemasaran jangka panjang dan kepuasan
pelanggan, (3) membangkitkan komitmen yang lebih tinggi para anggotanya
terhadap organisasi, (4) meningkatkan kepercayaan pekerja dalam
manajemen dan perilaku keseharian organisasi, (5) meningkatkan kepuasan
pekerja melalui pekerjaan dan pemimpin, serta (6) mengurangi stress para
pekerja dan meningkatkan kesejahteraan.
Sedangkan menurut Bycio et al. (1995) kepemimpinan transaksional
adalah tipe kepemimpinan dengan pemimpin yang perhatiannya berfokus
pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang
melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada
kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan
penghargaan. Burns (1978) memaparkan bahwa kepemimpinan transaksional
merupakan hubungan antara pemimpin dengan bawahan didasarkan pada