BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ilmu ortodonti telah berkembang pesat berkat pengalaman ortodonti dalam pencapaian hasil yang optimal. Semakin berkembang ortodontik, semakin banyak pula orang yang mencari pertolongan untuk memperbaiki posisi gigi mereka yang tidak teratur. Maloklusi atau ketidakteraturan gigi pada lengkung rahang merupakan masalah bagi beberapa individu karena bisa menyebabkan problem fungsi mulut, gangguan sendi temporomandibula, pengunyahan, penelanan dan bicara. 1 Pada awal konsultasi, setiap dokter gigi diputuskan untuk menjawab pertanyaan mengenai lama perawatan yang dianjurkan, jawaban pertanyaan ini biasanya tergantung pada faktor-faktor lain seperti pengalaman dokter, keterampilan klinis, dan metode manajemen praktik. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu ortodonti telah berkembang pesat berkat pengalaman ortodonti dalam
pencapaian hasil yang optimal. Semakin berkembang ortodontik, semakin banyak pula
orang yang mencari pertolongan untuk memperbaiki posisi gigi mereka yang tidak
teratur. Maloklusi atau ketidakteraturan gigi pada lengkung rahang merupakan masalah
bagi beberapa individu karena bisa menyebabkan problem fungsi mulut, gangguan sendi
temporomandibula, pengunyahan, penelanan dan bicara.1 Pada awal konsultasi, setiap
dokter gigi diputuskan untuk menjawab pertanyaan mengenai lama perawatan yang
dianjurkan, jawaban pertanyaan ini biasanya tergantung pada faktor-faktor lain seperti
pengalaman dokter, keterampilan klinis, dan metode manajemen praktik. Pasien yang
diberikan informasi akurat akan menjadi konsumen yang lebih baik pada pelayanan
gigi, dengan harapan untuk hasil perawatan dan kepuasaan yang lebih besar dengan
perawatan mereka secara keseluruhan. Lembaga ortodontik inggris merekomendasikan
bahwa pasien harus menerima informasi yang cukup tentang perawatan yang dianjurkan,
termasuk perkiraan realistis mengenai skala waktu yang dibutuhkan. Banyak faktor yang
bisa mempengaruhi lama perawatan ortodontik yaitu salah satunya adalah tindakan
ekstraksi gigi.2 Perawatan ortodonti terkadang memerlukan pencabutan gigi untuk
1
merawat susunan gigi yang tidak teratur .pada perawatan ortodonti ada dua alasan untuk
mencabut gigi . pertama: mendapatkan ruangan untuk penyusunan gigi pada kasus gigi
berjejal dengan derajat berat, kedua : untuk menggerakkan gigi pada kasus protrusi
yang memerlukan retraksi.3 Pada kasus pencabutan gigi geligi untuk medapatkan ruang
dibutuhkan waktu untuk penutupun ruang bekas pencabutan tersebut.4
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui hubungan
antara ekstraksi gigi dengan waktu yang diperlukan dalam perawatan ortodonti.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara ekstraksi gigi dengan waktu yang diperlukan
dalam perawatan ortodonti?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan ekstraksi gigi dengan waktu yang diperlukan
dalam perawatan ortodonti.
1.4 Hipotesis
Ada hubungan antara ekstraksi gigi dengan waktu yang diperlukan dalam
perawatan ortodonti.
2
1.5 Manfaat Penelitian
1. Menambah pengetahuan dalam melakukan rencana perawatan.
2. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan informasi dalam perawatan
ortodonti.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Maloklusi
Pengertian Maloklusi adalah penyimpangan letak gigi dan atau malrelasi
lengkung geligi (rahang) diluar rentang kewajaran yang dapat diterima. Maloklusi juga
bisa merupakan variasi biologi sebagaimana variasi biologi yang terjadi pada bagian
tubuh yang lain, tetapi karena variasi letak gigi mudah diamati dan menggangu estetik
sehingga menarik perhatian dan memunculkan keinginan untuk melakukan perawatan.
Terdapat bukti bahwa prevalensi maloklusi meningkat, peningkatan ini sebagian
dipercayai sebagai suatu proses evolusi yang diduga akibat meningkatnya variabilitas
gen dalam populasi yang bercampur dalam kelompok ras1 atau bisa juga dikatakan
Maloklusi merupakan keadaan yang menyimpang dari oklusi normal.2
2.2 Etiologi Maloklusi
Kondisi maloklusi lebih banyak diakibatkan oleh faktor genetik yang
mengakibatkan ketidakseimbangan antara ukuran rahang dengan ukuran gigi secara
keselurahan.2 Namun dalam hal ini faktor lokal juga mempengaruhi etiologi dari
maloklusi.1
4
2.2.1. Faktor herediter
Pada populasi primitif yang terisolasi jarang dijumpai maloklusi yang berupa
disproporsi ukuran rahang dan gigi sedangkan relasi rahangnya menunjukan relasi yang
sama. Pada populasi modern lebih sering ditemukan maloklusi daripada populasi
primitif sehingga diduga karena adanya kawin campur menyebabkan peningkatan
prevalensi maloklusi. Cara yang lebih baik untuk mempelajari pengaruh herediter adalah
dengan mempelajari anak kembar monozigot yang hidup pada lingkungan yang sama.
Suatu penelitian menyimpulkan bahwa 40 persen variasi dental dan fasial dipengaruhi
faktor heriditer sedangkan penelitian yang lain menyimpulkan bahwa karakter skeletal
kraniofacial sangat dipengaruhi oleh faktor heriditer sedangkan pengaruh heriditer
terhadap gigi rendah. Pengaruh heriditer dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu 1)
disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi berupa gigi
berdesakan atau maloklusi berupa diastema multipel meskipun yang terakhir ini jarang
dijumpai, 2) disproporsi ukuran, posisi dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang
menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis. Dimensi kraniofacial, ukuran dan
jumlah gigi sangat dipengaruhi faktor genetik sedangkan ukuran dan jumlah gigi sangat
dioengaruhi faktor genetik sedangkan dimensi lengkung geligi dipengaruhi oleh faktor
lokal. Urutan pengaruh genetik pada skelet yang paling tinggi adalah mandibula yang
prognatik, muka yang panjang serta adanya deformitas muka. Menurut Mossey (1999)
berbagai komponen ikut menentukan terjadinya oklusi normal ialah : 1) ukuran maksila
5
dan mandibula termasuk ramus dan korpus 2) faktor yang ikut mempengaruhi relasi
maksila dan mandibula seperti basis kranial dan lingkungan 3) jumlah, ukuran dan
morfologi gigi 4) morfologi dan sifat jaringan lunak (bibir,lidah,dan pipi). Kelainan
pada komponen tersebut serta interaksinya dapat menyebabkan maloklusi. Implikasi
klinis suatu maloklusi yang lebih banyak dipengaruhi faktor heriditer adalah kasus
tersebut mempunyai prognosis yang kurang baik bila dirawat ortodontik, namun
sayangnya sukar untuk dapat menentukan seberapa pengaruh faktor heriditer pada
maloklusi tersebut. Perkembangan pengetahuan genetik molekuler diharapkan mampu
menerangkan penyebab etiologi heriditer dengan lebih cepat.1
a. Etiologi maloklusi kelas 1 Angle
Pola skelet maloklusi kelas 1 biasanya kelas 1 tetapi dapat juga kelas II
atau kelas III ringan. Pola jaringan lunak pada maloklusi kelas 1 umumnya
menguntungkan kecuali pada maloklusi yang disertai proklinasi bimaksiler
(insisivi atas dan bawah proklinasi) yang mungkin merupakan ciri khas ras
tertentu. Kebanyakan maloklusi kelas 1 disebabkan faktor lokal yang dapat
berupa diskrepansi ukuran gigi dan lengkung geligi. Faktor lokal yang dapat
menyebabkan kelainan pada maloklusi kelas II dan kelas III.
b. Etiologi maloklusi kelas II :
1. kelas II divisi 1 Angle
6
Pada maloklusi kelas II divisi I sering didapatkan letak mandibula yang
lebih posterior daripada maloklusi kelas 1 atau maksila yang lebih anterior
sedangkan madibula normal. Kadang-kadang didapatkan ramus mandibula
yang lebih sempit dan panjang total mandibula juga berkurang. Terdapat
korelasi yang tinggi antara pasien dengan keluarga langsungnya sehingga
beberapa peneliti menyimpulkan bahwa pewarisan maloklusi kelas II divisi I
dari faktor poligenik. Selain faktor genetik maloklusi kelas II divisi I juga
disebabkan faktor lingkungan. Jaringan lunak, misalnya bibir yang tidak
kompeten dapat mempengaruhi posisi insisivus atas karena hilagnya
keseimbangan yang dihasilkan oleh bibir dan lidah sehingga insisivus atas
protrusi. Kebiasaan menghisap jari dapat menghasilkan maloklusi kelas II
divisi I meskipun relasi rahang atas dan bawah kelas I sehingga ada yag
menyebut maloklusi ini sebagai maloklusi kelas II divis I tipe dental. Pada
maloklusi kelas II divisi I insisivus atas dalam keadaan proklinasi sehingga
jarak gigit menjadi besar. Adanya diskrepansi skeletal dalam jurusan sagital
juga dapat menyebabkan jarak gigit yang besar. Dengan adanya jarak gigit
yang besar biasanya tidak terdapat stop bagi insisivus bawah sehingga terjadi
supra erupsi insisivus bawah dengan akibat terjadi gigitan dalam dan kurva
spee menjadi positif. Posisi bibir iku berperan pada maloklusi kelas II divisi
I. Pada bibir yang tidak kompeten pasien berusaha mendapatkan anterior oral
7
seal dengan cara muskulus sirkum oral berkontraksi dengan mengajukan
mandibula sehingga bibir atas dan bawah dapat berkontak pada saat isitrahat,
lidah berkontak dengan bibir bawah atau kombinasi keadaan-keadaan ini.
Bila mandibula diajukan kelainan relasi skeletal nampak tidak terlalu parah
tetapi bila bibir bawah terletak dipalatal inisisivus atas dapat berakibat
retroklinasi insisivus bawah dan proklinasi insisivus atas sehingga jarak gigit
menjadi lebih besar.
2. Kelas II divisi 2 Angle
Maloklusi ini merupakan hasil interaksi faktor-fakto yang mempengaruhi
skelet dan jaringan lunak. Penelitian pada anak kembar monozigot
menunjukan bahwa maloklusi kelas II divisi 2 dipengaruhi oleh faktor
herediter autosomal yang dominan tetapi yang bersifat poligenik. Pola skelet
pada maloklusi kelas II divisi 2 biasanya kelas II ringan atau kelas 1 dan
meskipun sangat jarang bisa juga pola skelet kelas III ringan. Tinggi muka
yang berkurang disertai relasi skelet kelas II sering menyebabkan tidak
adanya stop antara insisivus bawah dengan insisivus atas sehingga insisivus
bawah bererupsi melebihi normal sehingga terjadi gigitan dalam. Pengaruh
bibir bawah sagat besar terutama bila didapatkan high lower lip line (bibir
bawah menutupi lebih dari sepertiga panjang mahkota insisivus) yang
menyebabkan posisi insisivus atas retroklinasi (lapatki dkk, Mitchell, 2007)
8
bila panjang mahkota insisivus laterla pendek maka gigi ini dapat terletak
normal sedangkan insisivus sentral retroklinasi dan bila panjang inisisivus
lateral normal gigi ini bisa juga terletak retroklinasi. Bisa juga didapatkan
retroklinasi insisivus atas maupun bawah bila bibir sangat aktif. Kadang –
kadang didapatkan letak gigi berdesakan dan insisivus lateral yang rotasi
mesiolabial disebabkan tekanan bibir pada insisivus sentral.
c. Etiologi maloklus Kelas III Angle
Contoh paling jelas dan terkenal adanya pengaruh faktor genetik adalah prognati
mandibula yang didapatkan pada dinasti Hasburg dikerajaan Austria yang
diturunkan dari generasi ke generasi dengan cara autosomal dominan. Maloklusi
kelas III dapat terjadi karena faktor skelet, yaitu maksila yang kurang tumbuh
sedangkan mandibula normal atau maksila normal dan mandibula yang tumbuh
berlebihan atau kombinasi kedua keadaan tersebut. Selain itu juga dipengaruhi
oleh panjang basis kranial serta sudut yang terbentuk antara basis kranial
posterior dan anterior. Kadang-kadang fossa glenoidal yang terletak anterior
menyebabkan mandibula terletak lebih anterior. Jaringan lunak tidak begitu
memainkan peranan dalam terjadinya maloklusi kelas III kecuali adanya tendens
tekanan dari bibir dan lidah yang mengompensasi relasi skelet kelas III sehingga
terjadi retroklinasi insisivus bawah dan proklinasi insisivus atas. Faktor genetik
lebih mempengaruhi skelet ( misalnya, pada sindrom muka panjang yang
9
menyebabkan adanya gigitan terbuka ) sedangkan faktor lingkungan lebih
mempengaruhi letak gigi dalam lengkung geligi. Lengkung geligi atas yang
sempit menyebabkan terjadinya gigi berdesakan dan lengkung geligi bawah yang
lebar menyebabkan letak gigi yang normal atau bahkan kadang-kadang terdapat
diastema.
2.2.2. Faktor lokal
a. Gigi sulung tanggal prematur
Gigi sulung yang tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi
permanen. Semakin muda umur pasien pada saat terjadi tanggal prematur
gigi sulung semakin besar akibatnya pada gigi permanen. Insisivus sentral
dan lateral sulung yang taggal prematur tidak begitu berdampak tetapi
kaninus sulung akan menyebabkan adanya pergeseran garis median. Perlu
diusahakan agar kaninus sulung tidak tidak tanggal prematur. Sebagian
peneliti mengatakan bahwa bila terjadi tanggal prematur kaninus sulung
karena resobsi insisivus lateral atau karena karies disarankan dilakukan
balancing ekstraction, yaitu pencabutan kaninus sulung kontralateral agar
tidak terjadi pergeseran garis median dan kemudian dipasang space
mentainer. Molar pertama sulung yang tanggal prematur juga dapat
menyebabkan pergeseran garis median. Perlu tidaknya dilakukan balancing
ekstraction harus dilakukan terlebih dahulu. Molar kedua sulung terutama
10
rahang bawah merupakan gigi sulung yang paling sering tanggal prematur
karena karies, kemudian gigi molar permanen bergeser kearah diastema
sehingga tempat untuk premolar kedua berkurang dan premolar kedua
tumbuh sesuai letak benihnya. Gigi molar kedua sulung yang tanggal
prematur juga dapat menyebabkan asimetri lengkung geligi, gigi berdesakan
serta kemungkinan terjadi supra erupsi gigi antagonis. Bila kolar kedua
sulung tanggal prematur banyaknya pergeseran molar pertama permanen ke
mesial dipengaruhi oleh tinggi tonjil gigi (bila tonjol gigi tinggi pergeseran
makin sedikit) dan waktu tanggal gigi tersebut (pergeseran paling banyak bila
molar kedua sulung tanggal sebelum molar permanen erupsi).
b. Persistensi gigi
Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained decidous teeth berarti
gigi sulung yang sudah melewati waktunya tanggal tetapi tidak tanggal. Perlu
diingat bahwa waktu tanggal gigi sulung sangat bervariasi. Keadaan yang
jelas menunjukan persistensi gigi sulung adalah apabila gigi permanen
pengganti telah erupsi tetapi gigi sulungnya tidak tanggal. Bila diduga terjadi
persistensi gigi sulung tetapi gigi sulungnya tidak ada dirongga mulut, perlu
diketahui anamnesis pasien, dengan melakukan wawancara medis kepada
orang tua pasien apakah dahulu pernah terdapat gigi yang bertumpuk diregio
tersebut.
11
c. Trauma
Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen.
Bila terjadi trauma pada saat mahkota gigi permanen sedang terbentuk dapat
terjadi gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila mahkota gigi gigi
permanen telah terbentuk dapat terjadi dilaserasi, yaitu akar gigi yang
mengalami distorsi bentuk (biasanya bengkok). Gigi yang mengalami
dilaserasi biasanya tidak dapat mencapai oklusi yang normal bahkan kalau
parah tidak dapat dirawat ortodontik dan tidak ada pilihan lain kecuali
dicabut. Kalau ada dugaan terjadi trauma pada saat pembentukan gigi
permanen perlu diketahui anamnesis apakah pernah terjadi trauma disekitar
mulut untuk lebih memperkuat dugaan adanya trauma. Trauma pada salah
satu sisi muka pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan asimetri muka.
d. Pengaruh jaringan lunak
Tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah memberi pengaruh yang besar
terhadap letak gigi. Meskipun tekanan dari otot-otot ini jauh lebih kecil
daripada tekanan otot pengunyah tetapi berlangsung lebih lama. Menurut
penelitian tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat mengubah letak
gigi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa bibir, pipi dan lidah yang
menempel terus pada gigi hampir selama 24 jam dapat sangat mempengaruhi
letak gigi. Tekanan dari lidah, misalnya karena letak lidah pada posisi istrahat
12
tidak benar atau karena adanya makroglosi dapat mengubah keseimbangan
tekanan lidah dengan bibir dan pipi sehingga insisivus bergerak ke labial.
Dengan demikian patut dipertanyakan apakah tekanan lidah dapat
mempengaruhi letak insisivus karena meskipun tekanannya cukup besar yang
dapat menggerakkan gigi tetapi berlagsung dalam waktu yang singkat. Bibir
yang telah dioperasi pada pasien celah bibir dan langit-langit kadang-kadang
mengandung jaringan parut yang selain tekanannya yang besar oleh karena
bibir pada keadaan tertentu menjadi pendek sehingga memberi tekanan yang
lebih besar dengan akibat insisivus tertekan ke palatal.
e. Kebiasaan buruk
Suatu kebasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi cukup
tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan maloklusi.
Kebiasaan mengisap jari atau benda-benda lain dalam waktu yang
berkepanjangan dapat menyebabkan maloklusi. Dari ketiga faktor ini yang
paling berpengaruh adalah durasi atau lama kebiasaan berlangsung.
Kebiasaan mengisap jari pada fase geligi sulung tidak mempunyai dampak
pada gigi permanen bila kebiasaa tersebut telah berhenti sebelum gigi
permanen erupsi. Bila kebiasaan ini terus berlanjut sampai gigi permanenn
erupsi akan terdapat maloklusi dengan tanda-tanda berupa insisivus atas
proklinasi dan terdapat diastema, gigitan terbuka, lengkung atas sempit serta
13
retroklinasi inisisvus bawah. Maloklusi yang terjadi ditentukan oleh jari
mana yang diisap dan bagaimana pasien meletakkan jarinya pada waktu
mengisap. Kebiasaan mengisap bibir bawah dapat menyebabkan proklinasi
insisivus atas disertai jarak gigit yang bertambah da retroklinasi insisivus
bawah. Kebiasaan mendorong lidah sebetulnya bukan merupakan kebiasaan
tetapi lebih berupa adaptasi terhadap adanya gigitan terbuka misalnya karena
mengisap jari. Dorongan lidah pada saat menelan tidak lebih beda daripada
yang tidak mendorongkan lidahnya sehingga kurang tepat untuk mengatakan
bahwa gigitan terbuka anterior terjadi karena adanya dorongan lidah pada
saat menelan. Kebiasaan menggigit kuku juga dapat menyebabkan maloklusi
tetapi biasanya dampaknya hanya pada satu gigi.
f. Faktor iatrogenik
Pengertian kata iatrogenik adalah berasal dari suatu tindakan profesional.
Perawatan ortodontik mempunyai kemungkinan terjadinya kelainan
iatrogenik. Misalnya, pada saat menggerakkan kaninus ke distal dengan
peranti lepasan tetapi karena kesalahan desain atau dapat juga saat
menempatkan pegas tidak benar sehingga yag terjadi gerakan gigi kedistal
dan palatal. Contoh lain adalah pemakaian kekuatan yang besar untuk
menggerakkan gigi dapat menyebabkan resobsi akar gigi yang digerakkan,
resobsi yang berlebihan pada tulang alveolar selain kematian pulpa gigi.
14
Kelainan jaringan periodontal dapat juga disebabkan adanya perawatan
ortodontik, misalnya gerakkan bibir kearah labial/bukal yang berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya dehiscence dan fenestrasi.1
2.3 Klasifikasi Maloklusi Menurut Angel
a. Kelas 1 : maloklusi dengan molar pertama permanen bawah setengah lebar tonjol
mesial terhadap molar pertama permanen atas. Relasi lengkung gigi semacam ini
biasa disebut juga dengan istilah netroklusi. Kelainan yang menyertai dapat
berupa gigi berdesakan, proklinasi, gigitan terbuka anterior dan lain-lain.
b. Kelas II : maloklusi angle kelas II adalah hasil kelainan skeletal dan
dentoalveolar yaitu malrelasi antara maksila dan mandibula.7 lengkung bawah
minimal setengah lebar tonjol lebih posterior dari relasi yang normal terhadap
lengkung geligi atas dilihat pada relasi molar. Relasi seperti ini biasa juga disebut
distoklusi.maloklusi kelas II dibagi menjadi dua divisi menurut inklinasi
insisivus atas :
Divisi 1 : insisivus atas proklinasi atau meskipun insisivus atas
inklinasinya normal tetapi terdapat jarak gigit dan tumpang gigit yang
bertambah.
Divisi 2: insisivus sentral atas retroklinasi. Kadang-kadang insisivus
lateral proklinasi, miring ke mesial atau rotasi mesiolabial. Jarak gigit
15
biasanya dalam batas normal tetapi kadang-kadang sedikit bertambah.
Tumpang gigit bertambah. Dapat juga keempat insisivus atas retroklinasi
dan kaninus terletak dibukal.
c. Kelas III : lengkung bwah setidak-tidaknya satu lebar tonjol lebih ke mesial
daripada lengkung geligi atas bila dilihat dari relai molar pertama permanen.
Relasi lengkung geligi semacam ini biasa disebut juga mesioklusi. Relasi anterior
menunjukan adanya gigitan terbalik. 1
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh foster dan day (1974) menemukan
bahwa penderita maloklusi klas 1 sebesar 44%, klas 2 divisi 1 sebesar 27%,
kals 2 divisi 2 sebesar 18%, klas 2 (tak pasti) 7%, klas 3 (sejati) 3 %, dan klas 3
(postural) sebesar 0,3%.2 Menurut winoto (1989) kasus maloklusi klas 1 sebesar 80
% yang terjadi di Indonesia.
2.4 Tujuan Perawatan Ortodontik
Tujuan perawatan ortodontik adalah :
a. Kesehatan gigi dan mulut
b. Estetik muka dan geligi
c. Fungsi kunyah dan bicara yang baik
d. Stabilitas hasil perawatan
16
Sebagian besar integral dari upaya mencapai kesehatan secara menyeluruhmakan
perawatan ortodontik harus dapat mengoreksi maloklusi dan meningkatkan kesehatan
gigi dan mulut. Kebanyakan pasien memerlukan perawatan orotodontik harus dapat
mengoreksi maloklusi dan meningkatkan kesehatan gigi dan mulut. Kebanyakan pasien
memerlukan perawatan orotodontik untuk memperbaiki estetik muka dan geligi yang
bisa diperoleh bila gigi-gigi terletak teratur dalam lengkung geligi yang menjadikan
muka pasien menyenangkan. Susunan geligi yang teratur dalam lengkung geligi tetapi
bila insisivus atas maupun bawah dalam keadaan proklinasi menyebabkan muka yang
tidak menyenangkan. Dengan adanya gigi-gigi yang terletak baik dalam lengkung dan
juga hubungannya dengan lengkung geligi antagonis memberikan fungsi yang lebih baik
daripada gigi yang tidak teratur. Hasil perawatan ortodontik harus menjamin bahwa
letak gigi-gigi sesudah perawatan ortodontik akan stabil dan tidak cenderung terjadi
relaps. Hal ini dapat dicapai dengan menempatkan gigi-gigi sesuai dengan ketentuan dan
mempunyai hubungan yang baik dengan gigi antogonisnya. 1
2.5 Indikasi Ekstraksi atau Non Ekstraksi Pada Perawatan Ortodonti
Penyedian tempat untuk koreksi letak gigi gigi yang berdesakan dapat diperoleh dari