SINDROM METABOLIK OLEH : Dr. Dra. Nurhaedar Jafar, Apt, M.Kes PROGRAM STUDI ILMU GIZI FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 1
SINDROM METABOLIK
OLEH :
Dr. Dra. Nurhaedar Jafar, Apt, M.Kes
PROGRAM STUDI ILMU GIZIFAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sindroma Metabolik (SM) merupakan kelainan metabolik kompleks yang
diakibatkan oleh peningkatan obesitas (Wijaya, 2004). Perdebatan tentang definisi
ini terjadi seiring dengan hasil penelitian yang terus berkembang, namun seluruh
kelompok studi tersebut setuju bahwa obesitas, resistensi insulin, dislipidemia dan
hipertensi merupakan komponen utama SM (Khan et al., 2005). Meskipun SM
memiliki berbagai definisi yang berbeda, pada akhirnya memiliki tujuan yang sama,
yaitu mengenali sedini mungkin gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh
ke dalam beberapa komplikasi (Grundy, 2004)
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di tahun 1995 memperlihatkan
bahwa prevalensi Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah sebesar 1,8% dan
hipertensi sebesar 8,2%. Di tahun 2001, prevalensi PJK meningkat menjadi 4,3% dan
hipertensi bertambah menjadi 28% (Depkes, 2003; Khan et al., 2005). Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 di Indonesia menunjukkan peningkatan prevalensi
penyakit jantung 7,2%, hipertensi 31,7%, sedangkan Diabetes Mellitus (DM) 5,7%,
sedenterial 48,2%, obesitas 19,1% dan obes sentral 18,8%. Menurut tipe daerah
tampak lebih tinggi di daerah perkotaan (23,6%) dibandingkan daerah perdesaan
2
(15,7%). Prevalensi SM dapat dipastikan cenderung meningkat oleh karena
meningkatnya obesitas maupun obes sentral.
Penyakit kardiovaskuler (PKV) merupakan penyebab utama mortalitas dan
morbiditas di negara-negara maju. Sebanyak 40% dari kasus kematian disebabkan
oleh penyakit ini dan penjelasan yang paling memungkinkan untuk menerangkan
munculnya epidemik baru (PKV) adalah adanya kondisi yang disebut sebagai SM
(Fattah, 2006)
Data epidemiologi menyebutkan prevalensi SM dunia adalah 20-25%. Hasil
penelitian Framingham Offspring Study menemukan bahwa pada responden berusia
26-82 tahun terdapat 29,4% pria dan 23,1% wanita menderita SM (Ford ES, 2004).
Sedangkan penelitian di Perancis menemukan prevalensi SM sebesar 23% pada pria
dan 21% pada wanita (Cammeron, 2004). Data dari Himpunan Studi Obesitas
Indonesia (HISOBI) menunjukkan prevalensi SM sebesar 13,13% (Fattah, 2006).
SM terkait dengan prevalensi penyakit degeneratif, oleh karena itu maka
faktor sosial ekonomi (sosek) adalah hal yang perlu untuk diperhatikan. Faktor
tersebut berkaitan dengan Hipotesis Barker. Hipotesis ini menyebutkan bahwa anak
yang kekurangan gizi saat lahir atau semasa bayi mempunyai risiko yang tinggi untuk
menderita PJK atau Non-insulin Dependen Diabetes Mellitus pada saat dewasa
(Barker, 1995)
Selama ini faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab sindroma SM
terkait dengan obesitas, antara lain, pola makan, kurang olahraga, kelainan
3
metabolisme, mekanisme neuroendokrin, psikologi, obat-obatan, faktor sosial
ekonomi dan gaya hidup serta faktor genetika (Wijaya, 2004; Grundy, 2004;
Shemiardji, 2004).
Sosek menjadi faktor risiko yang berperanan penting pada perkembangan
kejadian obesitas sebagai prediktor utama kejadian SM. Penelitian Sobal dan
Stunkarrd menguji 144 penelitian yang menghubungkan antara sosial economic status
(SES) dan obesitas pada tahun 1989 menyimpulkan bahwa, di negara maju kelompok
wanita dengan SES rendah memiliki prevalensi obesitas 6 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok wanita dengan SES tinggi (Crawford et al, 2005).
Di negara berkembang seperti Afrika dan Asia, angka kejadian obesitas lebih
sering terdapat di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan artinya
kejadian obesitas lebih sering ditemukan pada golongan sosial ekonomi tinggi (Inou,
2000).
Studi cross sectional pada sebagian besar perkotaan di Brazil menunjukkan
prevalensi SM yang tinggi (25,4%), yang meningkat pada masyarakat dengan usia
lebih tua (khususnya wanita) dan SES rendah. Meskipun prevalensi SM hampir sama
pada kedua jenis kelamin, tetapi frekuensi komponen yang menentukan SM sangat
bervariasi di antara mereka. Secara spesifik, interaksi yang signifikan antara jenis
kelamin dan SES telah ditemukan. Hal tersebut menjelaskan tentang interaksi yang
kompleks antara faktor risiko kependudukan dan biologis (Marquezine, 2007).
4
Peningkatan kesejahteraan masyarakat berdampak terhadap perubahan gaya
hidup (aktifitas rendah, pola makan tinggi energi dan rendah serat). Pola makan
sebagai penyebab utama obesitas. Manusia modern cenderung sibuk dengan berbagai
aktifitas kehidupannya hingga tak sempat lagi mengkonsumsi makanan yang sehat
dan bergizi. Makanan instan menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat yang
terpapar dengan kehidupan modern. Makanan tersebut tidak mengandung komposisi
zat gizi sebagaimana yang dibutuhkan tubuh. Terlebih lagi makanan-makanan instant
sangat miskin serat. Padahal, serat berfungsi untuk memperlambat pencernaan,
mengenyangkan perut dan memperlambat rasa lapar (Hadju, 2003). Diet tinggi serat
telah mendapat perhatian besar dalam beberapa tahun terakhir disebabkan karena
hubungannya dengan peningkatan insiden beberapa gangguan metabolik seperti
hipertensi, diabetes, obesitas, penyakit jantung dan kanker usus. Biasanya intake
energi setiap hari mengandung 30% lemak, akan tetapi tidak boleh lebih dari 10%
dari kalori ini bersumber dari lemak jenuh (hewani). Energi selebihnya seharusnya
didapatkan dari lemak polyunsaturated atau monounsaturated (Adam, 2006).
Hasil Riskesdas tahun 2007 di Indonesia menunjukkan berdasarkan kriteria
WHO prevalensi masyarakat yang kurang mengonsumsi buah sayur sebesar (93,6%)
dan konsumsi buah sayur proporsinya semakin rendah dengan semakin rendahnya
sosial ekonomi.
Data Susenas 2004 menunjukkan penduduk umur 15 tahun ke atas 85%
kurang beraktivitas fisik dan hanya 6% penduduk yang cukup beraktivitas fisik.
5
Penduduk wanita yang kurang beraktivitas fisik 87%, lebih tinggi daripada penduduk
laki-laki. Sedangkan penduduk di perkotaan yang kurang beraktifitas fisik adalah
sebanyak 83%, lebih tinggi daripada penduduk di pedesaan (BPS, 2005). Hasil
Riskesdas tahun 2007 menunjukkan prevalensi kurang aktifitas fisik sebesar 48,2%
dan terdapat kecenderungan prevalensi kurang aktifitas fisik semakin tinggi dengan
meningkatnya status ekonomi.
Faktor psikologi dapat menimbulkan terjadinya obesitas karena adanya
emosional yang tidak stabil (unstabil emotional). Hal tersebut menyebabkan individu
cenderung untuk melakukan pelarian diri (self mechanism defence). Bentuk pelarian
diri bisa berupa mengonsumsi makanan yang mengandung kalori dan kolesterol
tinggi dalam jumlah yang berlebihan (Dariyo, 2004).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian sindroma metabolik dan kriteria sindroma metabolik?
2. Bagaimana etiologi dan patofisiologi terjadinya sindroma metabolik ?
3. Bagaimana epidemiologi sindroma metabolik ?
4. Faktor-faktor apa yang berisiko terhadap terjadinya sindroma metabolik?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui pengertian sindrom metabolik dan kriteria sindrom
metabolik
6
2. Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi terjadinya sindrom metabolik
3. Untuk mengetahui epidemiologi sindroma metabolik
4. Untuk mengetahui faktor resiko terjadinya sindroma metabolik
7
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi sindroma metabolik
Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang
berkaitan langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler artherosklerotik.
Faktor risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia atherogenik, peningkatan
tekanan darah, peningkatan kadar glukosa plasma, keadaan prototrombik, dan
proinflamasi (Semiardji, 2004).
Sindrom metabolik (SM) adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan
darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa hiperglikemik.
Ketika kondisi-kondisi tersebut berada pada waktu yang sama pada satu orang, maka
orang tersebut memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit macrovasculer (WHO,
1999). Berbagai organisasi telah memberikan definisi yang berbeda, namun seluruh
kelompok studi setuju bahwa obesitas, resistensi insulin, dislipidemia dan hipertensi
merupakan komponen utama SM. Jadi meskipun SM memiliki definisi yang
berbeda, namun memiliki tujuan yang sama yaitu mengenali sedini mungkin gejala
gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke dalam beberapa komplikasi
(Grundy, 2004).
Sindrom metabolik dikenal dengan berbagai nama. Perhatian medis pertama
yaitu pada tahun 1923, ketika Kylin memaparkan kelompok gout, hipertensi dan
8
hiperglikemia. Yang kemudian sindrom metabolik pertama kali dijelaskan oleh Jean
Vague pada tahun 1940, yang menghubungkan obesitas abdominal dengan
abnormalitas metabolik. Tiga dekade kemudian, yaitu pada tahun 1970 Gerald
Phillips menyatakan bahwa umur, obesitas dan sex hormon dihubungkan dengan
manifestasi klinis, yang sekarang disebut sindrom metabolik dan dihubungkan
dengan penyakit jantung. Akhirnya pada tahun 1988, Gerald Reaven mengajukan
hipertensi, hiperglikemia, intoleransi glukosa, peningkatan trigliserida, dan kolesterol
HDL yang rendah dan dinamakan kumpulan abnormalitas Sindrom-X. Yang akhirnya
pada tahun 1998 the World Health Organization mengajukan nama “metabolic
sindrom” yang didefinisikan dengan adanya 2 atau lebih abnormalitas metabolik
(pada pasien diabetes) atau resistensi insulin dengan 2 atau lebih faktor-faktor
dibawah (Isomaa et al, 2001):
1) Hipertensi dengan perlakuan atau tekanan darah >160 / >90 mmHg
2) Trigliserida 150 mg/dL
3) HDL <35 mg/dL pada laki-laki, atau <40 mg/dL pada perempuan
4) Rasio lingkar pinggang >0.90 pada laki-laki atau >0.85 pada wanita
5) Mikroalbuminuria
Namun kebanyakan menggunakan defenisi yang telah ditetapkan oleh World
Hearth Organization (WHO) and the National Cholesterol Education Program Adult
Treatment Panel III (NCEP ATP III). Organisasi ini menganggap bahwa sindrom
metabolik merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler disamping peningkatan
9
kadar kolesterol low density lipoprotein (LDL). Dislipidemia aterogenik
(protrombotik state), Resistensi insulin, hipertensi, obesitas abdominal dan
peningkatan marker inflamasi dianggap sebagai karakteristik yang menyolok dari
sindrom metabolik (Pitsavos, 2006).
B. Kriteria sindroma metabolik
Hingga saat ini ada 3 definisi SM yang telah diajukan, yaitu definisi World
Health Organization (WHO), NCEP ATP-III dan International Diabetes Federation
(IDF). Ketiga definisi tersebut memiliki komponen utama yang sama dengan
penentuan kriteria yang berbeda. Pada tahun 1988, Alberti dan Zimmet atas nama
WHO menyampaikan definisi SM dengan komponen - komponennya antara lain : (1)
gangguan pengaturan glukosa atau diabetes (2) resistensi insulin (3) hipertensi (4)
dislipidemia dengan trigliserida plasma > 150 mg/dL dan/atau kolesterol high density
lipoprotein (HDL-C) < 35 mg/dL untuk pria; < 39 mg/dL untuk wanita; (5) obesitas
sentral (laki-laki : waistto-hip ratio > 0,90; wanita: waist-to-hip ratio > 0,85) dan/atau
indeks massa tubuh (IMT) > 30 kg/m2; dan (6) mikroalbuminuria (Urea Albumin
Excretion Rate >20 mg/min atau rasio albumin/kreatinin > 30 mg/g). SM dapat
terjadi apabila salah satu dari 2 kriteria pertama dan 2 dari empat kriteria terakhir
terdapat pada individu tersebut, Jadi kriteria WHO 1999 menekankan pada adanya
toleransi glukosa terganggu atau diabetes mellitus, dan atau resitensi insulin yang
disertai sedikitnya 2 faktor risiko lain yaitu hipertensi, dislipidemia, obesitas sentral
dan mikroalbuminaria (Marti, 1998; Adriansjah dan Adam, 2006).
10
Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien SM adalah NCEP-ATP
III, yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati, antara lain:
lingkar perut pria > 102 cm atau wanita > 88 cm; hipertrigliseridemia (kadar serum
trigliserida > 150 mg/dL), kadar HDL-C < 40 mg/dL untuk pria, dan < 50 mg/dL
untuk wanita; tekanan darah > 130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah puasa > 110
mg/dL. Suatu kepastian fenomena klinis yang terjadi yaitu obesitas sentral menjadi
indikator utama terjadinya SM sebagai dasar pertimbangan dikeluarkannya diagnosis
terbaru oleh IDF tahun 2005. Seseorang dikatakan menderita SM bila ada obesitas
sentral (lingkar perut > 90 cm untuk pria Asia dan lingkar perut > 80 cm untuk wanita
Asia) ditambah 2 dari 4 faktor berikut : (1) Trigliserida > 150 mg/dL (1,7 mmol/L)
atau sedang dalam pengobatan untuk hipertrigliseridemia; (2) HDL-C: < 40 mg/dL
(1,03 mmol/L) pada pria dan < 50 mg/dL (1,29 mmol/L) pada wanita atau sedang
dalam pengobatan untuk peningkatan kadar HDL-C; (3) Tekanan darah: sistolik >
130 mmHg atau diastolik > 85 mmHg atau sedang dalam pengobatan hipertensi; (4)
Gula darah puasa (GDP) > 100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau diabetes tipe 2. Hingga saat
ini masih ada kontroversi tentang penggunaan kriteria indikator SM yang terbaru
tersebut (IDF, 2005).
Kriteria diagnosis NCEP- ATP III menggunakan parameter yang lebih mudah
untuk diperiksa dan diterapkan oleh para klinisi sehingga dapat dengan lebih mudah
mendeteksi sindroma metabolik. Yang menjadi masalah adalah dalam penerapan
kriteria diagnosis NCEP-ATP III adalah adanya perbedaan nilai “normal” lingkar
11
pinggang antara berbagai jenis etnis. Oleh karena itu pada tahun 2000 WHO
mengusulkan lingkar pinggang untuk orang Asia ≥ 90 cm pada pria dan wanita ≥ 80
cm sebagai batasan obesitas sentral.
Belum ada kesepakatan kriteria sindroma metabolik secara international,
sehingga ketiga definisi di atas merupakan yang paling sering digunakan. Tabel 1
berikut menggambaran perbedaan ketiga definisi tersebut.
Tabel 1. Kriteria diagnosis Sindrom metabolik menurut WHO (World Health Organization), NCEP-ATP III dan IDF
KomponenKriteria diagnosis WHO:Resistensi insulin plus :
Criteria diagnosis ATP III : 3 komponen
di bawah iniIDF
Obesitas abdominal/ sentral
Waist to hip ratio :Laki-laki : > 0,9Wanita : > 0,85 atauIMB >30 Kg/m
Lingkar perut :Laki-laki: 102 cm Wanita : >88 cm
Lingkar perut :Laki-laki: ≥90 cm Wanita : ≥80 cm
Hiper-trigliseridemia
≥150 mg/dl (≥ 1,7 mmol/L) ≥ 150 mg/dl (≥1,7 mmol/L)
≥ 150 mg/dl
Hipertensi TD ≥ 140/90 mmHg atau riwayat terapi anti hipertensif
TD ≥ 130/85 mmHg atau riwayat terapi anti hipertensif
TD sistolik ≥ 130 mmHgTD diastolik ≥ 85 mmHg
Kadar glukosa darah tinggi
Toleransi glukosa terganggu, glukosa puasa terganggu,resistensi insulin atau DM
≥ 110 mg/dl GDP ≥ 100mg/dl
Mikro-albuminuri Rasio albumin urin dan kreatinin 30 mg/g atau laju eksresi albumin 20 mcg/menit
C. Etiologi dan patofisiologi sindroma metabolik
1. Etiologi.
12
Etiologi Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu
hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari Sindrom Metabolik adalah
resistensi insulin (Shahab, 2007).
Menurut pendapat Tenebaum (2003) penyebab sindrom metabolik
adalah :
a. Gangguan fungsi sel β dan hipersekresi insulin untuk mengkompensasi
resistensi insulin. Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler
(Mis.komplikasi jantung)
b. Kerusakan berat sel β menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin,
sehingga menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi
mikrovaskuler (Mis: nephropathy diabetica) (Anggraeni, 2007).
Hipotesis lain juga menyatakan bahwa penyebab primer SM adalah
resistensi insulin (RI). RI berkorelasi dengan timbunan lemak visceral yang dapat
ditentukan dengan mengukur lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hubungan
antara RI dan PKV diduga dimediasi oleh terjadinya stress oksidatif yang
menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskuler dan
pembentukan atheroma. Hipotesis lain karena perubahan hormonal yang
mendasari terjadinya obesitas sentral. Suatu studi membuktikan bahwa individu
yang mengalami kadar kortisol dalam serum (yang disebabkan oleh stress
kronik) mengalami obes sentral, RI dan dislipidemia. Para peneliti juga
mendapatkan bahwa ketidakseimbangan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal
13
yang terjadi akibat stress akan menyebabkan terbentuknya hubungan antara
gangguan psikososial dan infark miokard.
Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan tingginya
akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak visceral
(Tjokroprawiro, 2006). Salah satu karakteristik obesitas abdominal/lemak
visceral adalah terjadinya pembesaran sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak
tersebut akan mensekresi produk-produk metabolik diantaranya sitokin
proinflamasi, prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen. Produk-
produk dari sel lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma
bertanggung jawab terhadap berbagai penyakit metabolik seperti diabetes,
penyakit jantung, hiperlipidemia, gout, dan hipertensi (Semiardji, 2004; Widjaya
et al., 2004).
2. Patofisiologi.
Obesitas merupakan komponen utama kejadian SM, namun mekanisme
yang jelas belum diketahui secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan
meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan produksi Reactive Oxygen
Species (ROS) meningkat baik di sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya
ROS di dalam sel adipose dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi
oksidasi (redoks) terganggu, sehingga enzim antioksidan menurun di dalam
sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres
oksidatif menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan merupakan awal
14
patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan aterosklerosis (Furukawa, et al,
2004).
Stres oksidatif sering dikaitkan dengan berbagai patofisiologi penyakit
antara lain diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Pada pasien diabetes melitus tipe 2,
biasanya terjadi peningkatan stress oksidatif, terutama akibat hiperglikemia.
Stress oksidatif dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya disfungsi
endotel-angiopati diabetic, dan pusat dari semua angiopati diabetik adalah
hiperglikemia yang menginduksi stress oksidatif melalui 3 jalur, yaitu;
peningkatan jalur poliol, peningkatan auto-oksidasi glukosa dan peningkatan
protein glikosilat (Majalah Farmacia, 2007).
Pada keadaan diabetes, stres oksidatif menghambat pengambilan glukosa
di sel otot dan sel lemak serta menurunkan sekresi insulin oleh sel-β pankreas.
Stres oksidatif secara langsung mempengaruhi dinding vaskular sehingga
berperan penting pada patofisiologi terjadinya diabetes tipe 2 dan aterosklerosis
(Ceriello, 2004). Dari beberapa penelitian diketahui bahwa akumulasi lemak
pada obesitas dapat menginduksi keadaan stress oksidatif yang disertai dengan
peningkatan ekspresi Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphatase
(NADPH) oksidase dan penurunan ekspresi enzim antioksidan (Sartika, 2006)
15
ROS
ObesityROS
Antioxidative Enzymes
NADPH Oxidase
Oxidative Stress to remote tissues
Dysregulation of adipocytokines
Oxidative Stress in WAT
Adiponectin
Pal-1, TNF-α, MCP-1
METABOLIC SINDROMEInsulin Resistace Diabetes Atherosclerosis
Gambar 1. Peningkatan produksi reactive oxidative stress (ROS) pada lemak yang terakumulasi dan menyebabkan keadaan sindroma metabolik (Furukawa, 2004).
Pada kultur sel adiposa, peningkatan kadar asam lemak meningkatkan stres
oksidatif melalui aktivasi NADPH oksidase sehingga menyebabkan disregulasi
sitokin proinflamasi IL-6 dan MCP-1. Akumulasi peningkatan stres oksidatif pada sel
adiposa dapat menyebabkan disregulasi adipokin dan keadaan SM. Furukawa dkk
(2004) menunjukkan bahwa kadar adiponektin berhubungan terbalik dengan stres
oksidatif secara sistemik.
16
Peningkatan asam uratPeningkatan kolesterol LDLPeningkatan Trygliserida Penurunan kolesterol HDL Peningkatan lipogenesisPeningkatan tekanan darahIntoleransi glukosa
Patofisiologi SM masih menjadi kontroversi, namun hipotesis yang paling
banyak diterima adalah resistensi insulin. Gambar 2 menunjukkan etiologi
patofisiologi dari resistensi insulin dan sindroma metabolik (Mahan, 2003).
Gambar 2. Etiologi patofisiologi resistensi insulin dan sindroma metabolik
D. Epidemiologi Sindroma Metabolik
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama mortalitas dan
morbiditas di Negara-negara maju, 40 % dari kasus kematian disebabkan oleh
penyakit ini. The International diabetes Federation meyakini bahwa SM merupakan
pemicu munculnya tandem pandemik global antara DM tipe 2 dan penyakit
kardiovaskuler. Secara global insiden SM meningkat dengan cepat. Data
epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi SM Di dunia adalah 20-25 % (Fattah,
2006).
17
Pengaruh genetik Resistensi Insulin
Hyperinsulinemia
Pengaruh lingkungan Defisiensi zat-zat gizi Intake kalori yang berlebihan Aktivitas fisik rendah
Aterosklerosis Gout Diabetes Obesitas Hipertensi
Prevalensi sindrom metabolik sangat bervariasi oleh karena beberapa hal
antara lain ketidakseragaman kriteria yang digunakan, perbedaan etnis/ras, umur dan
jenis kelamin. Walaupun demikian prevalensi SM cenderung meningkat oleh karena
meningkatnya prevalensi obesitas maupun obesitas sentral (Adriansyah & Adam,
2006).
Di Amerika, diperkirakan 61% (110 juta) orang dewasa mengalami
overweight dan obesitas (National Center for Health Statistics). Data dari survey
populasi nasional yang didemonstrasikan sejak tahun 1960 diperoleh bahwa
prevalensi overweight (BMI 25-29,9 kg/m2) meningkat sedikit yaitu dari 30,5%
menjadi 34%, dimana prevalensi obesitas (BMI 30 kg/m2) meningkat 2 kali yaitu
dari 12.8% menjadi 27%. Prevalensi obesitas meningkat secara progresif pada umur
20-50 tahun. Namun mengalami penurunan pada umur 60 tahun (National Center for
Health Statistics; Flegal et al,1998).
Studi epidemiologi di Cina terhadap 2776 orang dewasa yang berumur 20-94
tahun diperoleh prevalensi overweight dan obesitas adalah 29,5% dan 4,3% yang
sebagian besar adalah wanita. Lebih dari sepertiga responden memiliki kadar lipid
yang abnormal, TGT sebesar 10,8% dan 9,8% dari responden mengalami diabetes
tipe 2. Hipertensi 58,4%, dan sekitar 21% dan 29,3% memiliki kolesterol total dan
kadar trigliserida yang tinggi. Prevalensi SM ditemukan sebesar 10,2% (Jia et al,
2002).
18
Penelitian San Antonio Hearth (1979-1982) menemukan prevalensi sindrom
metabolik 15,8 % dari 1.125 orang Mexico-Amerika dan kulit putih yang berusia
antara 25-64 tahun yang sedikitnya ditemukan dengan dua faktor risiko dan 4,8 %
dengan tiga faktor risiko dengan menggunakan kriteria WHO. Hasil penelitian
Framingham Offspring Study menemukan prevalensi pada pria sebesar 29,4 % dari
1.144 pria dan 23,1% wanita berusia antara 26-82 tahun (Adriansjah dan Adam,
2006). Demikian juga penelitian terhadap urban Brazil ditemukan prevalensi SM
lebih tinggi pada pria muda dibanding wanita. Namun seiring dengan pertambahan
umur, prevalensinya meningkat pada wanita (Marquezine et al, 2008). Prevalensi
Sindrom metabolik berdasarkan NCEP pada survey NHANES III berdasarkan umur
dapat dilihat pada gambar 12 yang menunjukkan prevalensi SM dengan
menggunakan kriteria NCEP berdasarkan umur. Ini terlihat bahwa prevalensi SM di
United State yaitu sebesar 23-24%. Sedangkan berdasarkan ras/etnik prevalensinya
dapat dilihat pada gambar 13.
19
Gambar 12. Prevalensi sindrom metabolik: NHANES III berdasarkan umur (Ford et al, 2002).
Gambar diatas diperoleh dari NHANES survey yang dikumpulkan dari tahun
1988-1992. Prevalensi SM tertinggi ditemukan pada Hispanic women. WHO juga
memperkirakan sindroma metabolik banyak ditemukan pada banyak kelompok
etnis tertentu termasuk beberapa etnis di Asia Pasifik, seperti India, Cina, Aborigin,
Polinesia dan Micronesia. Penelitian WHO Monica oleh Marques-Vidal, dkk. di
Perancis menemukan prevalensi pada pria (23%) dan terbanyak ditemukan pada
kelompok usia antara 55-64 tahun, yaitu pria 34% dan wanita 21%.
20
0%
10%
20%
30%
40%
50%
20-70+ ≥70
Gambar 13. Prevalensi sindrom metabolik berdasarkan NCEP: NHANES III berdasarkan jenis kelamin dan ras/etnis (Ford et al, 2002).
Di Asia prevalensi SM bervariasi di tiap Negara berturut-turut adalah 13,3%
di China, Taiwan (15, 1%), Palestina dan Oman Masing-masing 17%, Vietnam
(18,5%), Hongkong (22%), India (25,8%), Korea (28%), iran (30%) (IDF, 2006).
Hasil penelitian Park et al (2004) terhadap orang dewasa Korea Selatan diperoleh
bahwa prevalensi SM meningkat sesuai dengan perkembangan umur dimana pada
perempuan prevalensinya meningkat pada umur 50 tahun. Menopause merupakan
faktor yang berkontribusi pada peningkatan ini. Pada tabel 4 dapat dilihat beberapa
prevalensi sindrom metabolik yang menggunakan kriteria WHO (WHO, 1999).
21
White
African American
Mexican American
other
0%
10%
20%
30%
40%
Tabel 4. Prevalensi sindroma metabolik menggunakan kriteria WHO
NegaraKelompok Umur (Th)
Prevalensi (%)Pria Wanita
India 20-75 36,4 46,5Iran >20 24,0 42,0Mexico 20-69 Total 26,6Skotlandia 45-64 26,2 -Turki >31 27,0 38,6Australia >24 19,5 17,2Maunitius >24 10,6 14,7Perancis 30-64 10,0 7,0Amerika Serikat (Amerika asli)
45-49 43,6 56,7
Amerika Serikat (Filipina Amerika)
50-69 - 34,5
Amerika serikat (Ford, dkk)
>19 24,2 23,5
Amerika Serikat (meigs, dkk)
30-79 26,9 21,4
Amerika Serikat (Non-hispanic)
30-79 24,7 21,3
Amerika serikat (Meksiko-Amerika)
30-79 29,0 32,8
Sedangkan dengan menggunakan kriteria NCEP ATP III distribusinya dapat
dilihat pada tabel 5 berikut (Adriansjah dan Adam, 2006; Ford, 2002). Di Indonesia,
prevalensi SM terus meningkat seiring dengan perubahan pola dan taraf hidup. Data
dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) menunjukkan prevalensi SM
sebesar 13,13% (Fattah, 2006). Penelitian di Makassar yang melibatkan 330 orang
pria berusia antara 30-65 tahun dan menggunakan kriteria NCEP ATP III dengan
ukuran lingkar pinggang yang disesuaikan untuk orang Asia (menurut klasifikasi
22
usulan WHO untuk orang dewasa, yaitu ≥ 90 cm untuk pria dan ≥ 80 cm untuk
wanita) ditemukan prevalensi sebesar 33,9 %. Prevalensi lebih tinggi yaitu sebesar
62,0 %, ditemukan pada subyek dengan obesitas sentral. (Adriansjah dan Adam,
2006; Ford, 2002).
Tabel 5. Prevalensi sindroma metabolik menggunakan kriteria NCEP ATP III
NegaraKelompok Umur
(Th)Prevalensi (%)Pria Wanita
Australia >35 25,2 16,7Inggris (Balkau, dkk) 40-65 >44,8 >33,9Inggris (Balkau, dkk) 40-75 >12,6 >13,3Perancis (Balkau, dkk) 30-65 >23,5 >9,6Perancis (Marques-Vidal, dkk) 35-64 23,0 12,0Belanda 20-60 >19,2 >7,6Mauritius >24 20,9 17,6Amerika serikat (Ford, dkk) 40-74 41,3 32,7Amerika Serikat (meigs, dkk) 30-79 30,3 18,1Amerika Serikat (Non-hispanic) 30-79 24,7 17,2Amerika serikat (Meksiko-Amerika)
30-79 32,0 28,3
Fenotip obesitas pada beberapa kelompok etnis di negara sedang
berkembang menunjukkan perbedaan daripada yang terlihat pada orang kaukasian
putih pada negara maju. Beberapa investigasi juga menunjukkan bahwa orang
Asia memiliki lemak tubuh yang lebih banyak utamanya di Asia Selatan
dibandingkan dengan orang kaukasian putih pada level BMI yang sama (Dudeja,
2001; Deurenberg, 2000; Yajnik, 2002).
23
Raji et al menunjukkan bahwa pada nilai BMI yang sama, migran Asian
Indians memiliki lemak abdominal total dan intraabdominal yang lebih besar
secara signifikan dibanding orang Kaukasian putih di United States. Asian Indians
memiliki glucose disposal rates lebih rendah selama the hyperinsulinemic
euglycemic clamp, higher procoagulant tendency, dan dyslipidemia dibanding
dengan Caucasian putih (Chandalia, 1999; Raji et al, 2001). Penting dicatat
bahwa Asian Indians memiliki kadar hepatic triglycerida yang lebih tinggi, yang
dihubungkan dengan kadar insulin yang tinggi dan adiponektin yang rendah
daripada Caucasian Putih.
Selain itu kebanyakan negara-negara berkembang di Asia, Amerika Latin
dan Afrika Northern dan Timur Tengah umumnya terjadi perubahan diet
termasuk peningkatan konsumsi lemak, utamanya lemak dari hewani dan gula
serta intake sereal dan serat yang rendah. Hal yang penting bahwa kebanyakan
orang-orang yang SES rendah dan tinggal di negara sedang berkembang pada
awalnya kurus. Namun ketika bermigrasi dari rural area ke kota metropolitan,
mereka dengan cepat memperoleh faktor risiko dihubungkan dengan urbanisasi
meskipun sisa pada SES yang sama pada habitat sebelumnya. Khususnya mereka
mulai merokok, mengkonsumai alkohol dan pola konsumsi yang tidak seimbang
serta memiliki sedentary job (Misra et al, 2001; Misra and Khurana, 2008).
Survey WHO (2002-2003) terhadap 212,021 orang dewasa dari 51 negara,
kebanyakan negara sedang berkembang yaitu sekitar 155 laki-laki dan 20%
24
perempuan berisiko mengalami penyakit kronis akibat kurang beraktivitas
(Guthold et al, 2008). Prevalensi aktivitas fisik lebih sedikit dibanding jumlah
yang direkomendasikan, tinggi pada negara sedang berkembang yaitu dengan
range 17 hingga 91% (Misra and Khurana, 2008).
D. FAKTOR RISIKO SINDROMA METABOLIK
Faktor risiko untuk Sindrom Metabolik adalah hal-hal dalam kehidupan yang
dihubungkan dengan perkembangan penyakit secara dini. Ada berbagai macam faktor
risiko SM, antara lain adalah gaya hidup (pola makan, konsumsi alkohol, rokok, dan
aktivitas fisik), sosial ekonomi dan genetik serta stres.
1. Gaya hidup
Meningkatnya obesitas yang merupakan komponen utama SM tak lepas
dari berubahnya gaya hidup, seperti life sedentarian, pola konsumsi yang tidak
seimbang, Studi yang dilakukan oleh Research Triangle institute International,
dan dibiayai oleh CDC's Division of Nutrition and Physical Activity
menggunakan latar belakang data dari survei nasional di Amerika yang dilakukan
1980 dan 1990 ternyata menunjukkan hubungan prevalensi obesitas/berat badan
lebih dan jumlah jam yang dipakai anak-anak untuk nonton TV (Arief, 2008).
Merebaknya restoran fast food turut menyumbang peningkatan berbagai
penyakit. Fast food jarang menyajikan makanan berserat. Menu yang tersaji
cenderung banyak mengandung garam, lemak dan kolesterol. Konsumsi lemak
Indonesia meningkat (10,4% dari total konsumsi energi pertahun dan 18,7% tahun
25
1990)(Badan pusat statistik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh
penduduk (99%) umur 15 tahun ke atas kurang mengkonsumsi sayur dan buah.
Lebih banyak penduduk kurang beraktivitas (84,9%) dibanding yang tidak
beraktivitas (9,1%) (Susenas 2004).
Hasil penelitian Esmaillzadeh (2006) di Tehran Iran diperoleh bahwa
konsumsi sayur yang tinggi dihubungkan dengan rendahnya risiko kejadian
sindrom metabolik. Tidak ada hubungan signifikan antara konsumsi buah dengan
rendahnya kadar kolesterol HDL. Studi cross sectional lain pada dewasa muda
menunjukkan bahwa seseorang dengan sindrom metabolik secara signifikan
memiliki konsumsi sayur dan buah yang rendah dibanding yang tidak memiliki
risiko metabolik.
Konsumsi tinggi serat menjadi perhatian saat ini, dihubungkan dengan
penurunan insiden beberapa kelainan metabolik seperti hipertensi, diabetes,
obesitas dan juga penyakit jantung dan kanker kolon (Pitsavos, 2006). Konsumsi
gula dengan pemanis yang rendah energi atau karbohidrat kompleks
direkomendasikan dalam mengurangi intake energi dan menurunkan berat badan
(Vermunt et al, 2003).
Tubuh membutuhkan serat. Dalam saluran pencernaan, serat larut
mengikat asam empedu (produk akhir kolesterol) dan kemudian dikeluarkan
bersama tinja . dengan demikian makin tinggi konsumsi serat larut (tidak dicerna,
namun dikeluarkan bersama feses), akan semakin banyak asam empedu dan
26
lemak yang dikeluarkan oleh tubuh. Dalam hal ini serat membantu mengurangi
kadar kolesterol dalam darah. Serat larut air menurunkan kadar kolesterol darah
hingga 5% atau lebih. Serat larut yang terdapat dalam buah-buahan, sayuran, biji-
bijian (gandum), dan kacang-kacangan. Pektin (serat larut air dari buah) dapat
menurunkan kadar kolesterol LDL (suyono, 2001).
Banyak studi menyebutkan bahwa pentingnya konsumsi sayur dan buah
terhadap berbagai penyakit kronis. Konsumsi sayur dan buah dapat mengurangi
risiko sindrom metabolik melalui kombinasi dari antioksidan, serat, potassium,
magnesium dan photochemical lainnya. Konsumsi sayur dan buah dihubungkan
dengan penurunan risiko penyakit jantung koroner. Konsumsi sayur dan buah
menurunkan risiko penyakit jantung melalui penurunan konsentrasi CRP yang
merupakan marker inflamasi. Dalam penelitian ini pula ditunjukkan bahwa
konsumsi dari DASH (Dietary Approaches to Stop Hipertension) diet antara lain
diet kaya sayur dan buah, memiliki efek yang menguntungkan pada kejadian
sindrom metabolik (Ezmaillzadeh et al, 2006). Esposito et al menunjukkan
bahwa Mediterranien diet yang kaya buah dan sayur, menurunkan marker
inflamasi dan disfungsi endotel. Konsumsi ≥ 5 porsi sayur dan buah sehari
direkomendasikan untuk mengurangi risiko penyakit kronis (Esmaillzadeh et al,
2006 ;Esposito et al, 2004).
Sayur dan buah adalah sumber dari berbagai nutrient seperti vitamin,
mineral, serat dan berbagai jenis biological active. Biological active Ini dikenal
27
dengan fitokimia yang termasuk sebagai antioksidan, menurunkan agregasi
platelet dan metabolisme kolesterol serta menurunkan tekanan darah (Lipoeto,
2002).
Suatu studi epidemiologi mengevaluasi hubungan antara aktivitas fisik
dan prevalensi sindrom metabolik yaitu ATTICA Study. Hasilnya menunjukkan
bahwa aktivitas fisik waktu senggang ringan hingga sedang (mengeluarkan < 7
kcal/min ) dihubungkan dengan prevalensi SM pada 3042 laki-laki dan wanita
dari populasi umumnya. The Center for Diseases Control and Prevention and
America College of Sport Medicine merekomendasikan aktivitas fisik dengan
intensitas sedang sedikitnya 30 menit. Kadar aktivitas ini dapat ditoleransi oleh
dewasa muda maupun yang tua (Pitsavos, 2006).
Aktivitas fisik juga memberikan efek yang menguntungkan terhadap
tekanan darah. Pada dasarnya, saat ini sudah diterima bahwa exercise pada level
moderate dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan pada pasien dengan
hipertensi esensial ringan hingga sedang. Aktivitas fisik juga memberikan efek
yang signifikan terhadap kadar lipid darah. The Pawtucket Hearth Study grup
melaporkan bahwa aktivitas fisik berhubungan signifikan dengan peningkatan
kadar HDL kolesterol (Pitsavos,2006).
Dalam hubungannya dengan tekanan darah, penelitian yang dilakukan
oleh Paffenbarger di Amerika Serikat terhadap kelompok mahasiswa
menemukan bahwa insiden hipertensi 20 hingga 40% lebih rendah pada mereka
28
yang melakukan aktivitas olahraga sedikitnya 5 jam per minggu daripada mereka
yang kurang aktif (Hayens et al.,2003).
Gaya hidup merokok juga berpengaruh terhadap meningkatnya penyakit
kronis. Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research Program Prevalence Study
menunjukkan bahwa mereka yang merokok 20 batang atau lebih perhari
mengalami penurunan HDL sekitar 11% untuk laki-laki dan 14 % untuk
perempuan, dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok (Soeharto, 2004).
Berdasarkan penelitian kohort Dede Kusmana selama 13 tahun di Jakarta,
prevalensi perokok pada tahun 1988 pada pria Indonesia cukup tinggi yaitu 65,6
% dan 8,9 % pada wanita, disamping yang sudah dikeluarkan sebesar 15.3 % dan
0.7 % secara berturut-turut. Kebiasaan merokok dimulai pada usia 8 tahun dan
yang paling tertua 50 tahun. Jumlah rokok yang dikonsumsi mulai dari 1-9
batang sampai lebih dari 36 batang perhari. Rokok kretek merupakan pilihan
pertama dibandingkan dengan jenis rokok lainnya. Risiko kejadian penyakit
kardiovaskuler secara signifikan 3 kali lebih besar pada orang yang merokok
dibandingkan dengan orang yang tidak merokok, dan juga 3 kali lebih besar pada
orang yang merokok kretek (Kusmana, 2007).
Yang terpenting dari rokok adalah jumlah batang rokok yang dihisap,
bukan lamanya waktu seseorang telah merokok (Soeharto, 2004). Orang yang
merokok > 20 batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat efek dua
faktor utama risiko (hipertensi dan hiperkolesterol) (Anwar, 2004).
29
Hasil penelitian Neunteufl et al (2002) menunjukkan bahwa nikotin
meyebabkan disfungsi endotel akut pada perokok jangka panjang. 1 mg nikotin
menyebabkan disfungsi endotel di arteri brachial pada perokok kronis. Merokok
sigaret menyebabkan konstriksi immediate arteri koroner epicardial dan
peningkatan resistensi vessel tone di arteri koroner meskipun kebutuhan oksigen
miokardial meningkat. Mekanisme merokok menyebabkan disfungsi endotel
terungkap. Stress oksidatif memediasi efek yang kurang baik dari rokok yang
mengandung banyak radikal bebas seperti radikal superoxide anion dan hidroksil
yang menurunkan NO (nitrit oksida) yang dilepaskan dari endotelium. Nikotin
menyebabkan disfungsi endotel dengan peningkatan oksidatif stress.
Studi eksperimental yang baru juga menunjukkan bahwa merokok dapat
merusak kerja insulin secara akut, pada subjek baik yang sehat maupun pada
pasien Non-insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) (Targher, 1999).
Weight gain umumnya terjadi pada orang yang berhenti merokok dan
paling tidak sebagian dimediasi oleh nikotin. Weight gain dari 1-2 kg pada
beberapa minggu pertama biasanya diikuti dengan penambahan 2-3 kg weight
gain dalam 4-6 bulan. Rata-rata weight gain yakni 4-5 kg, namun bisa saja lebih
besar dari itu.
Hubungan antara merokok dan obesitas belum sepenuhnya dipahami. Di
satu sisi nikotin meningkatkan energi expenditure (EE) dan mengurangi nafsu
makan, yang dapat menjelaskan mengapa perokok cenderung mengalami
30
penurunan berat badan dibanding yang tidak merokok dan mengapa berhenti
merokok sering diikuti dengan kenaikan berat badan. Kepercayan populer
diantara perokok dan bukan perokok bahwa merokok merupakan salah satu cara
untuk mengontrol berat badan. Di sisi lain, penelitian mengindikasikan bahwa
perokok berat (merokok dalam jumlah yang lebih banyak) memiliki berat badan
yang lebih tinggi dibanding perokok ringan, dan terdapat pengelompokan
merokok, obesitas dan status ekonomi rendah, hanya pada negara maju. Akhirnya
terdapat peningkatan bukti bahwa merokok berefek tehadap distribusi lemak
tubuh yang berhubungan dengan obesitas sentral dan resistensi insulin (Chiolero,
2008).
Merokok berefek terhadap berat badan dapat menyebabkan kurangnya
berat badan akibat meningkatnya metabolic rate, penurunan efisiensi metabolik
atau penurunan absorpsi kalori (mengurangi nafsu makan), yang semuanya
berhubungan dengan penggunaan tembakau. Efek metabolik merokok dapat
menjelaskan rendahnya berat badan yang ditemukan pada perokok. Merokok satu
batang menyebabkan 3% peningkatan EE dalam waktu 30 menit (Dallosso,
1984), merokok 4 batang rokok yang mengandung 0,8mg nikotin meningkatkan
EE 3,3% dalam 3 jam. Pada perokok reguler yang metabolismenya diperoleh dari
metabolic ward, merokok 24 batang dalam sehari meningkatkan total EE dari
2230 sampai 2445 Kcal/hari dan stimulasi aktivitas sistem nervous simpatetic
terlibat. Efek merokok terhadap EE pada obesitas masih lemah. Ini juga
31
tergantung pada aktivitas fisik dan olahraga. Pada perokok berisiko tinggi
mengalami hipertiroidisme dibanding bukan perokok sehingga dapat
meningkatkan metabolic rate (Asvold et al, 2007)
Aktivitas fisik dapat meningkatkan metabolic rate sehingga dapat
membantu mengontrol berat badan namun, perokok cenderung untuk kurang
beraktivitas dibanding yang tidak merokok. (Klesges et al, 1990 dalam Chiolero,
2008).
Gambar 20. Hubungan antara merokok, resistensi insulin dan akumulasi lemak viseral dengan sindrom metabolik dan resistensi insulin. Hubungan antara merokok dan akumulasi lemak viseral dapat dijelaskan oleh masuknya aktivitas fisik yang rendah dan makanan tidak sehat yang sering ditemuai pada perokok sebagai pengganggu.
2. Genetik
Faktor keturunan mempengaruhi obesitas dan hal ini dihubungkan dengan
fenotip. Pada akhir tahun 2002, lebih dari 300 gene, penanda dan kromosom telah
32
dihubungkan dengan fenotip obesitas. Penelitian tentang gen ini telah
mengidentifikasi 68 Quantitative Trait Loci (QTLs) manusia dan 168 QTLs dari
hewan percobaan untuk obesitas.
Beberapa penelitian yang berhubungan dengan gen obesitas menunjukkan
bahwa terdapat beberapa gen yang dapat mempengaruhi kejadian obesitas. Gen the
beta-3 adrenergic receptor (ADBR3) adalah gen yang paling banyak di uji dan telah
menunjukkan hubungan dengan terjadinya obesitas. Gen-gen lain yang juga telah
diteliti dalam lima model penelitian berbeda yang dapat mempengaruhi obesitas
adalah gen LEPR, gen ADBR2, gen LEP,gen UCP2, Gen UCP3, gen GNB3, gen
LDLR, TNFRSFI B, POMC, APOB,APOD dsb (Bray, 2006).
Besarnya pengaruh genetik bervariasi dari 5 – 70%. Pada beberapa orang
faktor genetik merupakan penentu utama, sedangkan pada orang lain faktor
lingkungan merupakan penentu utama, namun tanpa asupan berlebihan obesitas tidak
timbul, jadi peranan lingkungan memfasilitasi ekspresi berbagai gen obesitas
(Garrow, 1988). Hasil penelitian Mayers menunjukkan bahwa kemungkinan seorang
anak obesitas 40% bila salah seorang dari orangtuanya obesitas dan sebesar 80% jika
kedua orang tuanya obesitas serta 7% jika kedua orangtuanya tidak obesitas (Siregar,
2006).
3. Sosial ekonomi
Umumnya prevalensi obesitas lebih tinggi pada wanita dan orang dengan
sosial ekonomi rendah (Jordan et al, 2008). Di negara-negara maju seperti Amerika
33
dan Australia, obesitas lebih banyak ditemukan pada mereka dengan sosial ekonomi
rendah, yaitu sekitar 6-12 kali lebih banyak dibanding mereka dengan sosial ekonomi
tinggi. Penelitian Sobal dan Stunkarrd menguji 144 penelitian yang menghubungkan
antara sosial economic status (SES) dan obesitas pada tahun 1989 menyimpulkan
bahwa, di negara maju kelompok wanita dengan SES rendah memiliki prevalensi
obesitas 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok wanita dengan SES tinggi
(Crawford et al, 2005).
Di negara berkembang seperti Afrika dan Asia, angka kejadian obesitas lebih
sering terdapat di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan artinya
kejadian obesitas lebih sering ditemukan pada golongan sosial ekonomi tinggi.
Prevalensi Obesitas di Afrika Utara sama tinggi dengan kejadian di Amerika Serikat
dan Mesir, 70% wanita da 48% pria mengalami overweight dan obesitas. Penelitian
efek obesitas terhadap penyakit kronik yang didiagnosis dokter pada studi empiris di
Afrika Utara dan Senegal ditemukan bahwa responden di Afrika Utara lebih
berpendidikan dan mempunyai akses yang lebih baik terhadap penyimpanan air
daripada di Senegal dengan GDP perkapita di Afrika Utara lebih besar 6,6 kali
dibandingkan di Senegal. Rata-rata BMI di Afrika Utara adalah 27,3 dan di Senegal
22,9, dimana prevalensi obesitas di Afrika Utara sebanyak 27,8% dan di Senegal
hanya 6,5% (Misra, 2001).
Fernald (2007), dalam penelitiannya menyatakan terdapat hubungan antara
BMI, status sosio-ekonomi dan konsumsi air minuman ringan di negara sedang
34
berkembang. Untuk negara maju, tingginya obesitas berhubungan secara terbalik
dengan status sosio-ekonomi, terutama untuk wanita tetapi tidak bagi laki-laki atau
anak. Namun bagi negara sedang berkembang tidak demikian terdapat hubungan
positif antara status sosio-ekonomi dengan obesitas bagi kedua gender.
Seiring dengan meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat, jumlah
penderita kegemukan (overweight) dan obesitas cenderung meningkat. Di Indonesia,
masalah kesehatan yang diakibatkan oleh gizi lebih ini mulai muncul pada awal tahun
1990-an. Peningkatan pendapatan masyarakat pada kelompok sosial ekonomi
tertentu, terutama di perkotaan, menyebabkan adanya perubahan pola makan dan pola
aktifitas yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita kegemukan dan
obesitas (Almatsier, 2004).
Dalam penelitian tentang obesitas pada daerah kumuh di India diketahui
bahwa masyarakat pedesaan ini bermigrasi ke kota metropolitan dengan harapan
dapat mengubah gaya hidupnya. Di daerah perkotaan akhirnya mereka bermukim di
daerah kumuh dan bekerja serabutan (Misra, 2001). Hal ini menyebabkan perubahan
pada pola makan, terpaparnya stress, dan menurunnya akivitas fisik, meningkatnya
kegiatan merokok dan konsumsi alkohol, dimana gaya hidup tersebut menjadi faktor
resiko terjadinya obesitas. Bagaimanapun juga, di negara-negara berkembang,
kelangkaan dan kekurangan pangan masih menjadi masalah, namun kecenderungan
akan kejadian penyakit tidak menular pada masyarakat miskin perlu menjadi
perhatian. Pada penelitian Sawaya di Brazil melaporkan kejadian obesitas sebesar
35
6,4% pada anak laki-laki dan 8,7% pada anak perempuan dari 2411 subyek yang
bermukim di kota-kota pondok. Terdapat 30% prevalensi kurang gizi, dan 78-90%
anak stunting, namun secara bersamaan diketahui bahwa prevalensi overweight dan
obesitas cukup tinggi yakni masing-masing 16,7% dan 14,1% (Florencio, et al, 2003).
Yang menjadi penyebab tinggi prevalensi obesitas pada populasi SES rendah
adalah perubahan gaya hidup dan pola makan desa menjadi lebih modern yang tinggi
akan lemak dan rendah serat. Mereka yang biasanya bekerja menjadi petani dengan
tingkat aktivitas yang tinggi telah berubah menjadi pedagang kaki lima dengn
aktivitas fisik yang rendah. Faktor lain yang mempengaruhi yakni adalah aktivitas
hypothalamus pituitary adrenocortical, faktor psikososial, dan reaksi fisiologis tubuh,
serta faktor genetik (Crawford, 2005).
Prevalensi Obesitas cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat
sosial ekonomi rendah baik di Amerika Serikat dan di negara lainya. Hubungan
terbalik antara sosioeconomics status (SES) dan kejadian overweight pada orang
dewasa dan anak-anak, dicontohkan pada Studi Minnesota heart. Orang-orang
dengan sosial ekonomi tinggi lebih perduli dengan kontrol berat badan mereka,
termasuk dengan exercise dan cenderung makan makanan rendah lemak. Pada studi
National Heart, lung and blood institute growth and health menunjukkan bahwa SES
dan overweight diasosiasikan dengan suku kaukasian anak usia 9-dan 10 tahun serta
ibunya, tetapi tidak pada anak Amerika dan Afrika. Wanita Afrika Amerika dari
36
segala usia lebih banyak mengalami obesitas dibandingkan wanita suku kaukasian
(Crawford, 2005).
Sebuah studi mengenai hubungan antara tingkat pendidikan dan hipertensi
pada wanita di Kabupaten Sukoharjo (Rebecca, 2008) diperoleh berdasarkan hasil
analisis, dapat disimpulkan antara lain bahwa tingkat pendidikan berhubungan
signifikan dengan hipertensi pada wanita di Kabupaten Sukoharjo. Wanita
berpendidikan SMP/SMU mempunyai risiko seperlima lebih kecil untuk mengalami
hipertensi dibandingkan dengan yang berpendidikan SD/Tidak Sekolah (OR = 0,21;
CI 95 % = 0,45 – 0,99). Wanita berpendidikan PT mempunyai risiko sepersepuluh
kali lebih kecil untuk mengalami hipertensi dibandingkan dengan yang
berpendidikan SD/tidak sekolah (OR = 0,10; CI 95 % = 0,02 – 0,59) (Rebecca, 2008).
Hasil penelitian juga menemukan bahwa pendidikan rendah (<12 tahun)
berhubungan dengan SM pada wanita, (OR 1,77; 95 % Cl, 1,39-2,24) dan kurang
pada laki-laki dibanding pendidikan tinggi (>12 tahun). (Louks et al, 2006), hal yang
sama juga ditemukan pada penelitian Santos (2008) yang menemukan bahwa sindrom
metabolik secara signifikan lebih sering pada wanita (24,9 vs 17,4 p<0,001). Peluang
wanita meningkat siring dengan penambahan usia, kelas sosial yang kurang baik yang
digambarkan dengan pekerjaan dan penurunan tingkat pendidikan.
Hubungan antara SES dan faktor risiko CVD sangat kuat dan konsisten
terhadap pendidikan, menunjukkan risiko tinggi diabetes dan obesitas yang
dihubungkan dengan rendahnya tingkat pendidikan. Studi Jatson et al melaporkan
37
hasil yang sama, menunjukkan bahwa kadar glukosa darah berbanding terbalik
dengan tingkat pendidikan (Stelmach et al, 2004).
Jenis pekerjaan dihubungkan dengan kejadian obesitas. Hasil penelitian
Arambepola (2006) menemukan bahwa obesitas abdominal 33% lebih banyak pada
laki-laki yang memiliki pekerjaan sedentarian (profesional, manager, tata usaha) dan
hanya 6% pada mereka yang memiliki pekerjaan aktif yang tinggi (petani, nelayan,
tukang kayu).
38
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Sindrom metabolik (SM) adalah kondisi dimana seseorang memiliki
tekanan darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa
hiperglikemik. Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien SM
adalah NCEP-ATP III, yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria
yang disepakati, antara lain: lingkar perut pria > 102 cm atau wanita > 88
cm; hipertrigliseridemia (kadar serum trigliserida > 150 mg/dL), kadar
HDL-C < 40 mg/dL untuk pria, dan < 50 mg/dL untuk wanita; tekanan
darah > 130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah puasa > 110 mg/dL.
2. Etiologi Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu
hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari Sindrom Metabolik
adalah resistensi insulin Patofisiologi SM masih menjadi kontroversi,
namun hipotesis yang paling banyak diterima adalah resistensi insulin.
Obesitas merupakan komponen utama kejadian SM, namun mekanisme
yang jelas belum diketahui secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan
meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan produksi Reactive
Oxygen Species (ROS) meningkat baik di sirkulasi maupun di sel adiposa.
Meningkatnya ROS di dalam sel adipose dapat menyebabkan
39
keseimbangan reaksi reduksi oksidasi (redoks) terganggu, sehingga enzim
antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan stres
oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan disregulasi jaringan
adiposa dan merupakan awal patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan
aterosklerosis.
3. Prevalensi SM Di dunia adalah 20-25 %. Prevalensi sindrom metabolik
sangat bervariasi oleh karena beberapa hal antara lain ketidakseragaman
kriteria yang digunakan, perbedaan etnis/ras, umur dan jenis kelamin.
Walaupun demikian prevalensi SM cenderung meningkat oleh karena
meningkatnya prevalensi obesitas maupun obesitas sentral. penelitian
terhadap urban Brazil ditemukan prevalensi SM lebih tinggi pada pria
muda dibanding wanita. Namun seiring dengan pertambahan umur,
prevalensinya meningkat pada wanita.
Faktor resiko SM meliputi gaya hidup (pola makan, merokok, aktivitas
fisik), genetic, social ekonomi.
B. Saran
40
DAFTAR PUSTAKA
Adrianjah, H dan Adam, J., 2006. Sindroma Metabolik:Pengertian, Epidemiologi, dan Criteria Diagnosis. Informasi laboratorium prodia No.4/2006.
Almatsier, S., 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Angraeni, D., 2007. Mewaspadai Adanya Sindrom Metabolic. (Online). (http://labcito.co.id., diakses 24 Desember 2008]
Anwar, T., 2004. Faktor risiko penyakit jantung koroner. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. (online) (http://library.usu.ac.id/download/fk/gizi-bahri10.pdf , Diakses 1 Januari 2009)
Arambepola, C. et al, 2007. Gender Differential of Abdominal Obesity Among the Adults in the District of Colombo, Sri Langka. Preventive Medicine 44 (2007) 129-134. (online, www.sciencedirect.com Diakses 18 Desember 2006)
Arief, I. 2008. mencegah obesitas dengan mengurangi waktu nonton tv. artikel.(online) (www.pjnhk.go.id./view/808/31, diakses 1 Januari 2009)
BPS. 2005. Laporan Hasil Susenas 2004
Bray, GE., Ryan, DH. 2006. Overweight and The Methabolic Sindrome: from Bench to Bedside. Springer Science.
Ceriello A, Motz E. Is Oxidative Stress the Pathogenic Mechanism Underlying Insulin Resistance, Diabetes and CVD?, Arterioscler Thromb Vac Bio 2004 ; 24 : 816-823.l
Gu D, Reynolds K, Wu X, Chen J, Duan X, Reynolds RF, Whelton PK, He J, 2005. Prevalence of The Metabolic Syndrome and Overweight Among Adults in China. Lancet 365:1398–1405
Hadju, V., 2003. Bahan Bacaan Mata Kuliah Dietetik Masyarakat. Makassar. Jurusan Gizi FKM Unhas.
41
Hayens, B., et al, 2003. Buku Pintar Menaklukkan Hipertensi. Jakarta: Ladangpustaka & Intimedia.
IDF. 2005. The IDF Concencus Worldwide Definition of the Metabolic Syndrome.(online) (www.idf.org, diakses 20 Januari, 2009)
Inoue, S. Zimmet P. Caterson I. 2000. The Asia Pasific Perspective: Redefining Obesity and Its Treatment. Health Communication. Australia.
Isomaa B et al. Cardiovascular morbidity and mortality associated with the metabolic syndrome. Diabetes Care. 2001;24:683-689.
Jia, WP. KS Xiang, L. Chen, JX Lu, YM. Wu. Epidemiological Study on Obesity and Its Comorbidities in Urban Chinese Older than 20 Years of Age in Shanghai China. Obesity Reviews, 2002 ; 3:157–165
Khan R, Buse J, Ferrannini E, Stern M. The metabolic Syndrome: Time for a Critical Appraisal: Join Statement from the American Diabetes Association and the European Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care 2005; 28: 2289-2304
Kaplan, N.M. Smoking and hypertension. 2009 (online) (www.patient/autor/content.do?topickey=hiperten5360 diakses 6 November 2009).
Kim, B.J et al. Association of Smoking status, Weight Changes, and incident Metabolic syndrome in Men : A 3-Year Follow-Up Study. Diabetes care, 2007 (32:7)
Kim, D.M. et al. National Prevalence of Obesity: Prevalence of Obesity in Korea. Obesity Review (2005) 6, 117-121.
Kusmana, D., 2007. Rokok & kesehatan jantung. (online) (http://www.kardiologi-ui.com/newsread.php?id=312 , diakses 29 Desember 2008)
Lipoeto, N., 2002. Consumption of Minangkabau Traditional Food and Cardiovascular Disease in west sumatra, indonesia. Monash university
Majalah Farmacia, 2007. Stress Oksidatif, Faktor Penting Penyulit Vascular. (online)( www.combiphar.com/ahp, diakses 2 Januari, 2009)
42
Marquezine G., F, Oliveira CM, Pereira AC, Krieger JE, Mill JG, 2008 Metabolic Syndrome Determinants in An Urban Population from Brazil: Social Class and Gender-Specific Interaction. Int J Cardiol 129:259–265
Misra, A., et al., 2001. High Prevalence of Diabetes, Obesity and Dyslipiddaemia in Urban Slum Population in Northern India. International Journal of Obesity. Nov.2001.Vol 25, No.11:1722-1729.
Misra, A. and Khurana, L., 2008. Obesity and the metabolik syndrome in developing countries. J Clin Endocrinol Metab, November 2008, 93(11):S9–S30. (online) ( http://jcem.endojournals.org, diakses 14 April 2009).
Misra A, Sharma R, Pandey RM, Khanna N., 2001. Adverse Profile of Dietary Nutrients, Anthropometry and Lipids in Urban Slum Dwellers of Northern India. Eur J Clin Nutr 55:727–734.
NHLBI. 1998. Clinical Guidelines on the Identification, Evaluation, and Treatment of Overweight and Obesity in Adults: The Evidence Report. (Online), (www.nhlbi.nih.gov/guidelines/obesity/ob_gdlns.htm, diakses Desember 2008)
Pitsavos, C. et al, 2006. Diet, Exercise and Metabolic Syndrome. The Review of Diabetic Studies: DOI 10. 1900?RDS.2006.3.118 (online), (www. The-RDS.org, dikases 10 Desember 2008)
Raji A, Seely EW, Arky RA, Simonson DC, 2001. Body Fat Distribution and Insulin Resistance in Healthy Asian Indians and Caucasians. J Clin Endocrinol Metab 86:5366–5371
Sartika, Cyntia R. 2006. Penanda Inflamasi, Stress Oksidatif dan Disfungsi Endotel pada Sindroma Metabolik. Forum Diagnosticum. Prodia Diagnostics Educational Services. No. 2.
Shahab, A. 2007. Sindrom Metabolik. Media informasi Ilmu Kesehatan dan Kedokteran. (online), (http:/ alwia.com, diakses 24 Januari 2009)
Soeharto, I. , 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung. Jakarta: Gramedia..
43
Stelmach et al. How income and education contribute to risk factors for cardiovaskuler diseases in elderly in a former communist country. Public Health (2004) 118, 439-449.
Stibich, M., 2007. Age and High Blood Pressure. (online), (www.Medical Review Board about.com, diakses 3 November, 2009)
Stocker R, Keaney JF. Role of Oxidative Modification in Atheroclerosis, Physiol Rev, 2004 ; 84 : 1381-1478.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB Bogor.
Suyono, A, 2001. Serat Benteng Terhadap Aneka Penyakit. (online), (http://www.suyono.wordpress.com, diakses 29 September 2008)
Targher, G., dkk., 1999. Cigarette Smoking and Insulin Resistance in Patients with Noninsulin-Dependent Diabetes Mellitus. Journal of clinical Endocrinology and metabolism. (online), (www.jcem.endojournals.org, diakses 22 Februari 2009)
Tjokroprawiro A. 2006. New Approach in The Treatment of T2DM and Metabolic Syndrome. The Indonesian Journal of Internal Medicine. 38:160-166.
Vermunt et al. Effects of Sugar Intake on Body Weight: A Review. Obesity Reviews (2003) 4, 91–99
Wamala, S.P. et al. Determinat of Obesity in relation to socioeconomic status among middle aged Swedish women. Preventive Medicine Vol 26 Issue 5, September 1997, page 734-744
WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva.
Widjaya A, et al, 2004. Obesitas dan Sindrom Metabolik. Forum Diagnosticum. 4:1-16
Yajnik, 2002. The lifecycle Effects of Nutrition and Body Size on Adult Adiposity, Diabetes and Cardiovascular Disease. Obes Rev 3:217–224
44