ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN KONSUMEN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi Oleh: Rushadi Jatmiko NIM : 118114131 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
Embed
ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN … · KONSUMEN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA beserta perangkat yang diperlukan bila ada. Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN
KONSUMEN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Rushadi Jatmiko
NIM : 118114131
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN
KONSUMEN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Rushadi Jatmiko
NIM : 118114131
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pengesahan Skripsi Berjudul
ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN
LAMPIRAN 7. Foto Buah Melon .................................................................. 96
LAMPIRAN 8. Kerusakan Lahan Buah Melon Wedomartani, Sleman
Akibat Penyakit Antraknosa ................................................. 96
LAMPIRAN 9. Foto Lahan Sampel Perlakuan .............................................. 97
LAMPIRAN 10. COA Amistar ........................................................................ 99
LAMPIRAN 11. COA Standar Azoxystrobin ................................................. 100
LAMPIRAN 12. Langkah Preparasi Sampel Buah Melon ............................. 101
LAMPIRAN 13. Contoh Data Penimbangan Sampel ..................................... 104
LAMPIRAN 14. Kurva Baku Azoxystrobin ................................................... 105
LAMPIRAN 15. Contoh Perhitungan Penetapan Kadar ................................ 106
LAMPIRAN 16. Contoh Perhitungan, Laju Disipasi, DT50 dan PHI ............. 107
xix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN 17. Contoh Perhitungan Signifikansi Data dengan Uji T .......... 108
LAMPIRAN 18. Label Penggunaan Formulasi Azoxystrobin Syngenta ........ 111
LAMPIRAN 19. Label Penggunaan Bibit Melon Action 434® ..................... 112
LAMPIRAN 20. Determinasi Tanaman Melon Sampel oleh
Fakultas Farmasi, UGM ...................................................... 113
xx
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
INTISARI
Pengendalian penyakit antraknosa pada buah melon sering menggunakan fungisida terutama dengan bahan aktif azoxystrobin. Senyawa azoxystrobin mempunyai sifat yang membahayakan mamalia, antara lain karsinogenik dan genotoksik. Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data paparan residu fungisida azoxystrobin sebagai dasar penetapan kadar aman penggunaan fungisida azoxystrobin pada buah melon di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menentukan pre harvest interval (PHI) pada aplikasi maksimal 3 x 1 ml/L dengan volume tinggi. PHI ditetapkan melalui laju disipasi dan DT50.
Tiga lahan model perlakuan terpilih dengan perbedaan geografik, cara tanam dan tekstur tanah di Siliran Kulon Progo, Wedomartani Sleman, dan Panggungharjo Bantul. Sampel diambil pada hari -1, 0, 1, 3, 5, 7, dan 14 setelah aplikasi terakhir. Sampel dipreparasi dengan metode modifikasi QuEChERS dan dideterminasi menggunakan GC ECD.
Hasil penelitian ini kadar residu fungisida azoxystrobin pada lahan penelitian Bantul dan Kulonprogo di kulit lebih besar daripada di daging buah dengan hasil signifikansi uji T thitung > ttabel dengan α 0,05 berturut-turut adalah thit 5,83 > ttabel 1,86 dan thit 4,68 > ttabel 1,81. Kondisi geografis lahan percobaan tidak berpengaruh terhadap laju disipasi residu azoxystrobin dengan hasil tidak signifikan pada uji ANOVA dengan α 0,05 > pvalue 0,03. Kadar residu azoxystrobin di dalam buah melon dapat dikatakan aman dengan kisaran PHI pada hari ke 7 yang didapatkan pada aplikasi sesuai label di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan kadar di lahan Siliran, Kulon Progo sebesar 0,010 mg/kg, lahan Wedomartani, Sleman sebesar 0,008 mg/kg dan lahan Panggungharjo Bantul sebesar 0,008 mg/kg karena berada dibawah kadar positif list 0,01 mg/kg.
Kata kunci : Cucumis melo L., azoxystrobin, laju disipasi, pre harvest interval, GC ECD
xxi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT
The restraint of anthracnose in melon often uses fungicide especially azoxystrobin as the active substance. Azoxystrobin has characteristics that can harm mammals, i.e carcinogenic and genotoxic. This research has aimed to collect explanation data about azoxystrobin fungicide residual as basic determining of safety level in using azoxystrobin fungicide in melon in Special Region of Yogyakarta by determining the pre harvest interval (PHI) on maximum application 3 x 1 ml/L with high volume. PHI is determined through dissipation rate and DT50.
Three areas of model treatment were chosen with differences in geographic, planting system, and land texture. These areas were located in Siliran Kulon Progo, Wedomartani Sleman, and Panggungharjo Bantul. Sampels were taken on day -1, 0, 1, 3, 5, 7, and 14 after the last application. Sampels were prepared by using QuEChERS modification method and determined by using GC ECD.
The result of this research is that the azoxystrobin level in Bantul and Kulonprogo research area in the skin is bigger than it is detected in the fruit’s flesh with the significant score of T test tcount > ttable with α 0,05 is in a row tcount 5,83 > tcount 1,86 and tcount 4,68 > ttable 1,81. Geographical condition of the trial area did not influence the dissipation rate of azoxystrobin residual with the not-significant score of ANOVA test α 0,05 > pvalue 0,03. Azoxystrobin residual level in melon can be categorized as safe with PHI on the seventh day for the level of Siliran Kulon Progo area with the amount 0,010 mg/kg and 0,008 mg/kg for Panggungharjo Bantul and Wedomartani Sleman area because it is under positive list which is 0,01 mg/kg.
3 menit 16 detik (3 putaran), habis (tidak ada sisa), seluruh tanaman
rata terkena semprotan
Kedua plot masing-masing 2 menit 50 detik (1 putaran),
habis (tidak ada sisa), seluruh tanaman rata terkena semprotan
6 menit (3 putaran), habis (tidak ada sisa), seluruh tanaman
rata terkena semprotan
Masing-masing lahan perlakuan berbeda pada cairan semprot larutan uji
yang dipengaruhi oleh luas dan sistem penanaman yang berbeda. Siliran, Kulon
Progo sistem penanaman pada pasir pantai yang berarti buah dibiarkan berada
diatas pasir atau mulsa. Panggungharjo, Bantul dan Wedomartani, Sleman
menggunakan tiang sebagai penyangga buah agar tetap menggantung dan tidak
mengenai tanah atau mulsa.
C. Pengambilan Sampel Buah dari Lahan Model Perkebunan Melon
Proses sampling dilakukan dengan cara acak terstratifikasi pada sampel
perlakuan dan sampel kontrol. Sampel diambil sebanyak 5 buah melon setiap hari
sampling dengan berat keseluruhan mencapai lebih dari 5 kg. Hal ini mengacu
pada FAO (2015) yang menyatakan bahwa pengambilan sampel untuk tanaman
dengan berat buah keseluruhan lebih dari 250 g diharuskan mengambil 5 buah
sampel atau sekurang-kurangnya 2 kg.
Pengambilan sampel dimulai dari sampel kontrol kemudian sampel
perlakuan pada:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
1. hari sebelum aplikasi terakhir (H-1)
2. hari aplikasi (H-0) atau 4 jam setelah aplikasi
3. hari ke-1 (H+1)
4. hari ke-3 (H+3)
5. hari ke-5 (H+5)
6. hari ke-7 (H+7)
7. hari ke-14 (H+14) setelah aplikasi terakhir.
Sampel kontrol diambil dari buah melon diluar 100 buah sampel perlakuan. Selain
itu, jarak tanamnya paling jauh dari sampel perlakuan tetapi masih pada lahan
yang sama.
Sampel diambil dengan sarung tangan lateks dan dipotong pada pangkal
buah. Sampel yang telah dipotong dibersihkan dengan sikat halus dengan perlahan
agar pasir dan kotoran yang menempel hilang dari kulit melon tetapi tidak
menghilangkan residu azoxystrobin. Melon yang bersih dimasukkan pada kantong
plastik bening dan diberikan label sampling. Kemudian sampel dimasukkan dalam
tempat kedap sinar matahari dibawa dari lahan menuju laboratorium maksimal 24
jam setelah pengambilan. Perlakuan yang hati-hati dilakukan dalam melindungi
sampel dari kehilangan senyawa target (azoxystrobin). Segera setelah tiba di
laboratorium, sampel dipreparasi (FAO, 2015).
D. Preparasi Sampel Buah Melon
Sampel yang telah tiba di laboratorium dimulai dengan proses
homogenisasi. Metode homogenisasi yang tepat sangat diperlukan untuk
mendapatkan sampel yang homogen. Homogenisasi sampel dilakukan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
blender, dimana sample portion menggunakan metode quartering yaitu dengan
cara:
1. Seperempat bagian dari setiap buah melon diambil kulit buah saja sebagai
sampel bagian kulit buah melon lalu dihomogenkan (sampel kulit/peel)
2. Seperempat bagian dari setiap buah melon diambil daging buah saja sebagai
sampel bagian daging buah melon lalu dihomogenkan (sampel daging/flesh)
3. Seperempat bagian dari setiap buah melon langsung dihomogenkan (sampel
keseluruhan/whole).
Sampling analytical portion untuk melon dilakukan dengan metode quartering
agar diperoleh sampel yang representative.
Dalam preparasi sampel, dilakukan penetapan kadar air di dalam buah
melon, untuk mengetahui perlu tidaknya penambahan air saat preparasi sampel.
Hasil uji yang dilakukan Puspitasari (2015) pada penentuan kadar air menyatakan
bahwa kandungan kadar air di dalam buah melon adalah berkisar 92,224% untuk
bagian daging, 93,782% untuk bagian whole, dan 93,050% untuk bagian kulit,
sehingga untuk preparasi sampel menurut Anastasiades (2006) dengan metode
QuEChERS yang mempersyaratkan kadar air lebih dari 80% tidak diperlukan
penambahan air.
E. Ekstraksi Residu Azoxystrobin dari Matrik Buah Melon
Metode extraksi untuk mendapatkan residu senyawa azoxystrobin dari
matrik buah melon menggunakan metode QuEChERS (Quick, Easy, Cheap,
Effective, Rugged, and Safe). Prinsip dari QuEChERS dalam penelitian ini adalah
melakukan ekstraksi analit menggunakan pelarut (acetonitril) dan 2 g MgSO4; 0,5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
g NaCl; 0,5 g Na3sitrat.2H2O; 0,25 g Na2Hsitrat.1,5H2O untuk mengurangi kadar
air yang berlebih dalam sampel dengan tetap mengatur kondisi pH agar diperoleh
recovery yang baik. Metode ini dianjutkan dengan sentrifugasi untuk dapat
memisahkan senyawa berdasarkan ukuran partikel dan berat jenis. Kemudian
dilakukan clean up dengan SPE C18 dan dideterminasi menggunakan GC-ECD.
Pemilihan metode QuEChERS ini dilakukan dengan melihat jumlah co-
extractant yang paling sedikit di dalam pelarut yang memiliki kelarutan paling
baik. Metode QuEChERS yang digunakan adalah Buffer QuEChERS karena
dengan menjaga pH sampel antara 4-5 diharapkan azoxystrobin stabil selama
proses penentapan kadar dan co-ekstraktan minimal. Menurut Anastasiades (2006)
Citrate buffer pada pH 4-5 memberikan jumlah co-extractant dalam hasil
ekstraksi yang lebih sedikit jika dibangingkan dengan jumlah co-extranctant pada
raw material original QuEChERS maupun acetate buffer. Acetonitril merupakan
pelarut yang umum digunakan dalam metode QuEChERS.
Gambar 6. Pengaruh pH terhadap Jumlah Co-Extractant
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Buffer QuEChERS menggunakan 4 jenis garam antara lain: 2 g MgSO4;
0,5 g NaCl; 0,5 g Na3sitrat.2H2O; 0,25 g Na2Hsitrat.1,5H2O. Magnesium sulfate
digunakan untuk menginduksi pemisahan antara acetonitril dengan air dalam
sistem LLE dan meningkatkan recovery analit polar. Natrium klorida berfungsi
sebagai garam penyangga dan mengurangi interfensi senyawa polar dengan proses
salting out effect, Na3sitrat.2H2O dan Na2Hsitrat.1,5H2O ditambahkan untuk
mengontrol pH, mempertahankan tingkat pH antara 4 dan 6, dan untuk stabilitas
dasar pestisida yang sensitif. Setelah dilakukan ekstraksi, larutan organik
asetonitril yang mengandung azoxystrobin akan berada dilapisan atas
(Phenomenex, 2015).
Keunggulannya dari Buffer QuEChERS ini adalah nilai recovery yang
bagus bahkan untuk pestisida paling asam, recovery dapat diterima pada pestisida
yang sensitif terhadap asam maupun basa, mampu meningkatkan selektifitas, dan
tidak memberikan efek negatif jika menggunakan clean up PSA, tidak seperti
asetat buffer (Anastassiades, 2006).
Penggojokan dilakukan dengan kuat selama satu menit untuk memecah
gumpalan matriks sampel. Semakin kecil gumpalan matriks, maka luas
permukaan akan semakin meningkat sehingga kesetimbangan yang optimum akan
lebih cepat dicapai. Penggojokan dengan waktu 5 menit didapatkan hasil yang
efektif, yaitu dengan waktu yang relatif pendek sudah mampu mendapatkan
supernatan dengan jumlah yang cukup.
Hasil sentrifuge menunjukan bahwa acetonitril berada di bagian atas dan
air berada dibagian bawah karena massa jenis air lebih besar dari acetonitril.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Tingkat kelarutan azoxystrobin di dalam acetonitrile sebesar 340 g/L, sedangkan
kelarutannya di dalam air hanya 6,7 mg/L. Oleh sebab inilah diperlukan
penambahan garam NaCl untuk salting out effect (mengurangi kelarutannya dalam
air, dan memaksa masuk ke dalam lapisan acetonitrile). Kemudian lapisan
asetonitril yang berada di bagian atas campuran diambil karena azoxystrobin larut
dengan baik dalam acetonitrile. Hasil supernatan diambil semua agar dapat
merepresentasikan jumlah azoxystrobin yang terekstrak dalam tiap 5 gram sampel
melon. Reekstraksi dilakukan dalam penelitian ini agar diperoleh % recovery yang
lebih baik, dan meminimalisir analit yang masih tertinggal di dalam matrik.
F. Clean Up Residu Azoxystrobin dari Matrik Buah Melon dengan SPE C18
Clean up merupakan salah satu proses yang penting untuk mendapatkan
ekstrak bersih saat dideterminasi meggunakan GC-ECD. Ektrak bersih membantu
proses pemisahan senyawa azoxystrobin di dalam GC-ECD dan tidak membuat
kolom GC-ECD cepat kotor. Melon juga memiliki kandungan karbohidrat dan
vitamin C yang cukup tinggi, adanya gugus COOH ini dapat mempengaruhi
respon detector ECD yang digunakan dalam GC sehingga harus dipisahkan dari
sampel yang akan dianalisis menggunakan GC.
Sistem yang digunakan clean up pada penelitian ini adalah sistem
reverse-phase SPE. Reversed-phase SPE yaitu metode pemisahan bahan organik
yang terlarut dalam pelarut polar sebagai fase geraknya (contoh: air) menuju fase
diam yang non polar (contoh: C18 atau C8) yang biasanya terikat dengan ikatan
van der Waals dan dispersion forces. Pemisahan ini dipengaruhi oleh perbedaan
kelarutan pada kedua fase dan potensial kimianya (Yan, 2004). Reversed-phase
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
SPE digunakan karena pada metode modifikasi oleh Anastasyades (2006) sistem
reversed-phase SPE tidak menghilangkan senyawa pestisida apapun kecuali lilin
dan lipid pada matrik.
Mengingat bahwa GC-ECD kurang spesifik jika dibandingkan dengan LC
MS/MS maka diperlukan modifikasi dari metode QuEChERS dari penelitian
Anastassiades (2006) untuk mendapatkan ektrak bersih yaitu dengan adanya
proses Clean up menggunakan SPE C18. Azoxystrobin yang memiliki log POW
sebesar 2,71 at 20 °C sehingga pada pH 5,03 tidak mengalami disosiasi dan dapat
terjerab pada fasa diam C18. Pada proses clean up penggunaan SPE C18 sebagai
fasa diam juga diharapkan mampu menjerab residu azoxystrobin dengan recovery
yang tinggi dan dengan adanya clean up ini senyawa pengganggu respon detektor
tersebut dapat berkurang sehingga meningkatkan selektifitas dan sensitifitas
metode analisis GC-ECD.
Penelitian ini menggunakan pelarut yang mampu menahan semua analit
yang dituju pada fase diam (C18) tetapi dengan ikatan yang lemah agar dapat
terelusi seluruhnya. Pada proses pencucian, senyawa yang lebih polar akan tercuci
dengan fasa gerak air dan meninggalkan residu azoxystrobin pada fasa diam (C18).
Sehingga aquabidest dipilih sebagai pelarut pertama karena azoxystrobin hanya
memiliki kelarutan sebesar 6,7 mg/L dan diharapkan tidak terlarut pada saat
pencucian. Analit yang dituju selanjutnya dielusi dengan menggunakan metanol
yang akan melepaskan residu azoxystrobin yang tertahan pada fase diam (C18)
karena kelarutan azoxystrobin di dalam metanol kurang lebih 20 g/L. Strategi ini
bermanfaat jika analit yang dituju berkadar rendah (Gandjar, 2007).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Pada metode QuEChERS yang menggunakan sistem dispersive SPE,
kesetimbangan yang terjadi dalam sistem clean up hanya 1 kali. Pada kolom SPE
C18 yang digunakan kesetimbangan dalam sistem dapat terjadi berulang-ulang
sehingga efisiensi pemisahan semakin meningkat. Hal ini perlu dilakukan karena
detektor ECD sangat sensitif tetapi kurang spesifik.
G. Penetapan Kadar Residu Fungisida Azoxystrobin dalam Sampel Buah
Melon dengan GC-ECD
Kromatografi gas dengan detector ECD dipilih dalam penelitian ini
berdasarkan struktur dari azoxystrobin yang mengandung atom elektronegatif
seperti N dan O yang mempunyai afinitas terhadap elektron bebas. Afinitas dari
gugus elektronegatif menarik elektron bebas yang berasal dari sumber radio aktif
nikel (63Ni) pada detektor. Elektron bebas yang tertangkap dibawa keluar dari
detektor dan terjadilah pengurangan jumlah elektron pada system detektor.
Pengurangan elektron tersebut direkam dan diangggap sebagai respon
kromatogram. Semakin banyak jumlah atom elektronegatif dalam suatu senyawa
maka semakin tinggi respon pada GC-ECD (Grob, 1995).
Detektor ECD memiliki kepekaan yang tinggi dan selektif terhadap
molekul senyawa yang mengandung halogen, karbonil terkonjugasi, nitro, dan
organologam. Sebaliknya, detector ECD tidak peka terhadap gugus fungsional
keton, alkohol, dan hidrokarbon. Senyawa azoxystrobin merupakan salah satu
jenis senyawa yang mengandung halogen, sehingga pengguanaan ECD baik untuk
analisis insektisida azoxyztrobin dan memiliki sensitivitas yang tinggi
(Hendayana, 2006).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Penentuan kadar residu fungisida azoxystrobin dalam sampel buah melon
dilakukan dengan metode standarisasi internal dengan standar internal DCB.
Persamaan Kurva baku dibuat berdasarkan hubungan rasio AUC
azoxystrobin/DCB, dengan massa yang telah di validasi oleh Puspitasari (2015).
Hasil validasi metode analisis dilakukan oleh Puspitasari (2015)
mendapatkan hasil recovery fortifikasi 0,091 ng – 0,684 ng pada buah melon
berkisar antara 84-119% dengan % RSD 17-19%, % D 0,03-17,1% dan kesalahan
ekstraksi sebesar 9,1%. Linearity range 0,002 µg/g – 0,014 µg/g dengan LOQ
0,0008 µg/g dan LLMV sebesar 0,005 µg/g. Dengan demikian validasi metode ini
memenuhi persyaratan untuk memantau kadar Azoxystrobin dalam buah melon
dibawah positif list sebesar 0,01 µg/g.
Suhu oven kolom yang digunakan adalah suhu terprogram 100°C (3
menit), 30°C/menit, 245°C (30 menit), 30°C/menit, 260°C (menit). Suhu
terprogram diharapkan mampu memisahkan puncak yang berhimpit karena titik
lebur suatu senyawa yang berdekatan (Mc Nair, 1997). Proses pemisahan juga
dilihat dari nilai volatilitas suatu senyawa yang dapat dinyatakan dalam Henry’s
Law constant, dimana semakin besar nilai konstanta Henry maka semakin cepat
senyawa tersebut menguap dan menghasilkan tR yang cepat (Kenndler, 2004).
Azoxystrobin memiliki konstanta Henry kecil yaitu sebesar 7,3 x 10-9 Pa m3/mol
sehingga dapat dianalisis menggunakan GC dengan tR sekitar 30-33 menit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Gambar 7. Kromatogram Baku Solvent
Pada gambar di atas no 1 adalah standart internal yang digunakan pada
penelitian. Standart internal yang digunakan adalah dekaklorobifenil (DCB). DCB
muncul pada waktu retensi 20-23 menit. Standar internal dalam kimia analitik
adalah zat kimia yang ditambahkan dalam jumlah konstan untuk sampel, standar
kosong dan kalibrasi dalam analisis kimia. Zat ini kemudian dapat digunakan
untuk kalibrasi dengan memplot rasio sinyal analit dengan standar sinyal internal
sebagai fungsi konsentrasi analit dari standar. Hal ini dilakukan untuk mengoreksi
hilangnya analit selama persiapan sampel atau sampel inlet (Gandjar, 2007).
Standar internal adalah senyawa yang sangat mirip, tetapi tidak identik
dengan spesies kimia yang menarik dalam sampel. Dapat terpisah baik dari
senyawa yang dituju atau puncak-puncak lain. Mempunyai waktu retensi yang
hampir sama dengan analit. mempunyai respon yang hampir sama dengan ananlit
pada konsentrasi yang digunakan. Mempunyai kemiripan sifat-sifat dengan analit
dalam tahap penyapan sampel tetapi tidak mirip secara kimia dalam analit
(Gandjar, 2007). Struktur DCB yang diunduh dari Pubchem (2015) dapat dilihat
seperti gambar dibawah.
1 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
. Gambar 8. Struktur Dekaklorobifenil (DCB)
Puncak yang ditandai dengan no 2 adalah puncak azoxystrobin yang
muncul pada waktu retensi 30-33 menit. Pada gambar 6 dapat dilihat setiap
sampel yang dianalisis memiliki respon puncak yang sama pada tanda A yang
menunjukkan puncak dari DCB dengan waktu retensi 20-23 menit. Pada tanda B
yang menunjukkan respon puncak dari senyawa azoxystrobin pada waktu retensi
30-33 menit.
Gambar 9. Overlay Kromatogram (A) Puncak DCB dan (B) Puncak
Azoxystrobin pada GC-ECD Keterangan : kromatogram sampel keseluruhan buah kromatogram sampel kulit buah kromatogram sampel daging buah kromatogram sampel blanko kromatogram standart
A B
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Gambar di atas menunjukkan bahwa pada standar, sampel blanko, daging,
kulit dan keseluruhan buah puncak DCB (puncak kromatogram A) dan puncak
azoxystrobin (puncak kromatogram B) muncul pada kondisi ajeg dengan tR
berturut-turut 23 menit dan 33 menit. Pada sampel blanko dan daging buah tidak
terdapat puncak azoxystrobin sehingga pada sampel tersebut tidak mengandung
residu azoxystrobin. Pada standart, sampel kulit dan keseluruhan buah didapat
puncak azoxystrobin yang setara atau lebih dari puncak DBC sehingga pada
sampel dan standart terdapat residu azoxystrobin dengan besaran rasio puncak
azoxystrobin/puncak DCB.
Penetapan kadar residu azoxystrobin pada sampel dilakukan dengan
analisis hasil extrapolasi rasio perbandingan luas puncak azoxystrobin dalam
sampel dengan luas puncak standar adisi yang diplotkan dalam kurva baku.
Persamaan dari kurva baku ini yang akan menghasilkan kadar terhitung dari
residu azoxystrobin.
Gambar 10. Kurva Baku Kadar Azoxystrobin vs Rasio AUC Azoxystrobin/AUC DCB Diplotkan pada Program Power Fit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Pada gambar di atas ditunjukkan kurva baku yang digunakan untuk
menghitung kadar terhitung dari residu fungisida azoxystrobin yang telah
diplotkan pada program power fit (Utrecht University Faculteit Scheikunde). Pada
program informasi lainnya juga didapatkan persamaan dari kurva baku yaitu F(x)
= -0,18373 + 9,20246 x dan correlation coefficient (r) 0,9995 menggunakan
95,0% confidence limits. Nilai r ini memenuhi persyaratan nilai r untuk uji
kategori impurity, yaitu ≥ 0,98 (Ahuja dan Dong, 2005). Oleh karena itu metode
ini memiliki linearitas yang baik untuk penetapan kadar.
1. Penentuan Kadar Residu Azoxystrobin dalam Buah Melon pada Lahan
Siliran, Kulon Progo
Hasil analisis kadar residu fungisida azoxystrobin dalam keseluruhan,
kulit dan daging, pada Lahan Siliran, Kulon Progo dapat dilihat pada tabel VIII.
Pada tabel tersebut ditemukan hasil bahwa angka kadar residu fungisida
azoxystrobin terjadi penurunan baik pada keseluruhan, kulit maupun daging buah
melon. Hal ini menunjukan terjadinya proses hilangnya residu azoxystrobin.
Tabel VIII. Kadar Residu Fungisida Azoxystrobin di Lahan Siliran Kulon Progo
Kadar kontrol pada lahan Sleman didapat 0,007 mg/kg dikarenakan
adanya penanggulangan penyakit antraknosa pada lahan membuat petani
menggunakan fungisida dengan zat aktif yang sama dengan zat aktif yang
digunakan sebagai sampel penelitian. Kadarnya yang cukup tinggi dikarenakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
aplikasi yang dilakukan petani sebanyak 3 kali pada saat proses penanaman
berjalan.
H. Penentuan Laju Disipasi Residu Azoxystrobin dalam Sampel Buah
Melon dan Pengaruh Geografis terhadap Pola Laju Disipasi
Laju disipasi umumnya ditentukan dengan mengambil sampel pada
interval waktu setelah aplikasi terakhir suatu pestisida pada daerah tertentu yang
dapat digunakan sebagai acuan perlakuan pestisida. Hilangnya residu pestisida
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sifat fisik, kimia, dan proses
biokimia, yang semua ini jarang dideskripsikan dengan hubungan yang sederhana
(Ambrus, 2002).
1. Penetapan Laju Disipasi Residu Azoxystrobin dalam Sampel Daging,
Keseluruhan, dan Kulit Buah Melon
Pada penelitian ini laju disipasi masing-masing sampel buah melon pada
lahan yang berbeda ditentukan dengan slope atau kemiringan dari persamaan ln
kadar residu fungisida azoxystrobin (mg/kg) vs hari setelah aplikasi terakhir
fungisida azoxystrobin pada hari ke 0, 1, 3, 5, 7, dan 14. Hasil yang didapat
disajikan pada gambar berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Gambar 11. Grafik ln Kadar Residu Azoxystrobin vs Hari Terakhir Aplikasi di Lahan Kulon Progo
Persamaan dari Gambar 11 mempunyai kemiringan (slope) yang
menunjukkan kecepatan laju disipasi residu fungisida azoxystrobin dari lahan
Kulon Progo sebesar 0,2065/hari pada kulit buah, 0,2512/hari pada keseluruhan
buah, dan 0,1052/hari pada daging buah. Gambar 12 di bawah menunjukkan nilai
persamaan dari ln kadar kulit, keseluruhan dan daging buah melon versus hari
terakhir aplikasi azoxystrobin. Persamaan tersebut mempunyai kemiringan yang
ditentukan sebagai laju disipasi buah melon pada lahan Bantul sampel sebesar
0,2468/hari pada kulit buah, 0,2291/hari pada keseluruhan buah, dan 0 hari pada
daging buah.
y = -0.2065x - 2.6964 R² = 0.8959
y = -0.2512x - 2.6377 R² = 0.9668
y = -0.1052x - 5.1285 R² = 0.9443
-8.000
-7.000
-6.000
-5.000
-4.000
-3.000
-2.000
-1.000
0.0000 2 4 6 8 10 12 14 16
ln K
adar
Waktu
Kulit Keseluruhan Daging
Linear (Kulit) Linear (Keseluruhan) Linear (Daging)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Gambar 12. Grafik ln Kadar Residu Azoxystrobin vs Hari Terakhir Aplikasi di Lahan Bantul
Pada lahan Sleman karena data yang dapat diperoleh hanya bagian
keseluruhan buah maka penentuan laju disipasi hanya pada keseluruhan saja. Laju
disipasi residu azoxystrobin pada keseluruhan buah di lahan Sleman didapat
sebesar 0,1539/hari. Pola laju disipasinya dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 13. Grafik ln Kadar Residu Azoxystrobin vs Hari Terakhir Aplikasi di Lahan Sleman
y = -0.2468x - 2.9801 R² = 0.6187
y = -0.2291x - 4.1067 R² = 0.4352
y = 0 R² = #N/A
-7.000
-6.000
-5.000
-4.000
-3.000
-2.000
-1.000
0.0000 1 2 3 4 5 6 7 8
ln K
adar
Waktu
Kulit Keseluruhan Daging
Linear (Kulit) Linear (Keseluruhan) Linear (Daging)
y = -0.1539x - 3.4487 R² = 0.9207
-6.000
-5.000
-4.000
-3.000
-2.000
-1.000
0.0000 2 4 6 8 10 12 14 16
ln K
adar
Waktu
Kurva Lahan Sleman
Keseluruhan Linear (Keseluruhan)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
2. Penetapan Pengaruh Kondisi Geografis terhadap Laju Disipasi Residu
Azoxystrobin pada Buah Melon
Pengaruh geografis lahan salah satunya dapat dilihat dari aspek curah
hujan, dan suhu daerah. Menurut Lakitan (2002), variasi suhu di kepulauan
Indonesia tergantung pada ketinggian tempat, suhu udara akan semakin rendah
dengan semakin tingginya tempat dari permukaan laut. Laju disipasi umumnya
dapat dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu transformasi enzimatik dan fotodegradasi.
Kedua faktor ini dipengaruhi oleh tekanan uap suatu senyawa, tingkat kekasaran
permukaan tanaman, dan suhu udara (Fantke dkk, 2014).
Penetapan pengaruh kondisi geografis terhadap pola laju disipasi dan
penentuan PHI menggunakan bagian keseluruhan melon karena yang mewakili
kadar dari keseluruhan buah melon. Gambar di bawah menjelaskan bahwa laju
disipasi residu azoxystrobin pada buah melon di lahan Panggungharjo, Bantul
sebesar 0,2291/hari, lahan Wedomartani, Sleman sebesar 0,1539/hari, dan lahan
Siliran, Kulon Progo sebesar 0,2512/hari. Hipotesis 2 dapat dibuktikan bahwa
kondisi geografis dapat mempengaruhi pola laju disipasi dengan menguji
signifikansi antara pola laju disipasi lahan Bantul, Sleman dan Kulon Progo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Gambar 14. Kurva Pola Laju Disipasi Residu Azoxystrobin pada Buah Melon di Lahan Bantul, Kulon Progo, dan Sleman
Uji signifikansi kurva kadar keseluruhan buah pada sampel di lahan
Bantul, Sleman, dan Kulonprogo dibuktikan dengan uji F ANOVA antara standar
deviasi slope kurva kadar residu azoxystrobin pada keseluruhan buah lahan
Bantul, Sleman, dan Kulon Progo.
Rumus uji F ANOVA yaitu: 𝐹 = 𝐵𝑒𝑡𝑤𝑒𝑒𝑛−𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒 𝑒𝑠𝑡𝑖𝑚𝑎𝑡𝑒𝑊𝑖𝑡ℎ𝑖𝑛−𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒 𝑒𝑠𝑡𝑖𝑚𝑒𝑡𝑒
Dari hasil perhitungan didapat standar deviasi slope dari kurva kadar
residu azoxystrobin pada keseluruhan buah lahan Bantul, Sleman, dan Kulon
Progo.
y = -0.2512x - 2.6377 R² = 0.9668
y = -0.1539x - 3.4487 R² = 0.9207
y = -0.2291x - 4.1067 R² = 0.4352 -7.000
-6.000
-5.000
-4.000
-3.000
-2.000
-1.000
0.0000 2 4 6 8 10 12 14 16
ln K
adar
Waktu
Kulon Progo Sleman Bantul
Linear (Kulon Progo) Linear (Sleman) Linear (Bantul)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Tabel XV. Hasil Uji ANOVA Standar Deviasi Slope dari Kurva Kadar Residu Azoxystrobin pada Keseluruhan Buah Lahan Bantul, Sleman dan
Kulon Progo Alfa F hitung F table Kesimpulan 0,05 6,44 4,6 Signifikan
Data yang didapat dengan Fhit lebih besar daripada Ftabel membuktikan
bahwa standart deviasi dari masing-masing laju disipasi berbeda signifikan.
Kemudian dilanjutkan untuk melihat signifikansi dari nilai laju disipasi. Uji
signifikansi diakukan uji Least Significant Difference menggunakan rumus :
𝑝 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 = 𝑆�2𝑛
x 𝑡ℎ(𝑛−1)
Dimana uji ini untuk melihat dari salah satu data memiliki pengaruh terhadap data
yang lain pada variansinya kemudian dibandingkan dengan derajat kepercayaan
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu α 0,05.
Tabel XVI. Hasil Uji Least Significant Difference Slope dari Kurva Kadar Residu Azoxystrobin pada Keseluruhan Buah di Lahan Kulon Progo, Sleman,
dan Bantul Alfa p value Kesimpulan 0,05 0,03 Tidak signifikan
Hasil perhitungan uji Least Significant Difference dengan α 0,05
menyatakan ketiga lahan memiliki laju disipasi residu azoxystrobin pada
keseluruhan buah tidak berbeda signifikan karena nilai p value lebih kecil dari α.
Oleh karena itu, pola laju disipasi tidak dipengaruhi oleh kondisi geografis lahan
percobaan yang digunakan. Hasil yang tidak berbeda signifikan dapat dikarenakan
perbedaan geografis dan iklim yang kurang ekstrim. Suhu lahan pada seluruh
daerah penelitian yang rata-rata adalah suhu pertumbuhan melon yang bagus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Penurunan kadar residu azoxystrobin pada setiap harinya yang
menggambarkan pola laju disipasi senyawa tersebut dapat dipengaruhi oleh
kondisi geografis ataupun iklim suatu daerah. Cahaya matahari yang
menyebabkan fotodegradasi dan degradasi oleh mikroba adalah jalur utama
degradasi azoxystrobin karena sifat azoxystrobin yang mudah rusak oleh cahaya.
Suhu yang tinggi pada iklim tropis membuat reaksi fotodegradasi ini lebih cepat.
Pada penelitian Hustert (2002) dan Boudina (2007) azoxystrobin
diketahui rentan terhadap cahaya matahari dan dapat bertransformation karena
cahaya dengan jalur yang berbeda seperti photo isomerization, photo hydrolytic
dan oksidasi pada cincin benzen dan ikatan rangkap dengan hasil yang sangat
signifikan setelah penelitian yang dilakukan (Hustert dkk., 2002; Boudina dkk.,
2007 cit Adetutu, 2008).
Laju disipasi residu azoxystrobin juga dapat dikarenakan hilangnya
residu azoxystrobin salah satunya disebabkan oleh adanya biodegradasi mikroba
tanah karena jumlah bahan organik tanah yang tinggi. Azoxystrobin dengan
struktur yang relatif kompleks menyebabkan senyawa ini memiliki banyak jalur
degradasi pada lingkungan(Singh dkk, 2010).
Penelitian-penelitian baru menunjukkan adanya jalur degradasi
azoxystrobin di tanah dikarenakan pH tanah, dan bahan organik (mikroba)
(Bending dkk, 2007). Menurut Clegg bahan organik pada tanah sangat
berpengaruh pada teradsorbsinya azoxystrobin ke lingkungan (Clegg, 2014). Dua
jenis bakteri yang biasa mendegradasi azoxystrobin adalah Cupriavidus sp. dan
Rhodanobacter sp. Jenis bakteri ini yang paling banyak ditemukan pada tanah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
yang telah terpapar azoxystrobin (Howell, 2013). Beberapa hasil degradasi residu
azoxystrobin di lingkungan dapat dilihat secara lengkap pada CAC Azoxystrobin
halaman 4 pada tabel “Azoxystrobin and its metabolites/degradation products
observed in metabolism and/or environmental fate studies” (FAO, 2015).
I. Karakterisasi Keamanan Azoxystrobin dalam Buah Melon
Berdasarkan sifat fisikokimia terdapat fungisida yang tidak mudah rusak
dilingkungan dalam jangka waktu yang panjang atau bersifat persisten.
Sebaliknya ada fungisida yang mudah rusak/berubah memalui reaksi oksidasi,
reduksi, hidrolisis, atau reaksi lain menjadi bentuk senyawa lain sehingga
keberadaanya di lingkungan dalam jangka waktu pendek (tidak persisten).
Ukuran kuantitatif persistensi fungisida adalah DT50 (Dissipation Time
50%). DT50 fungisida yang satu berbeda dengan DT50 jenis fungisida yang lainnya
tergantung sifat fisikokimia fungisida yang digunakan dan iklim lingkungan
setempat. Sebagian besar pola disipasi atau degradasi pestisida di lingkungan
yaitu degradasi kimia dan degradasi mikrobial biasanya dalam bentuk waktu
paruh dan dihitung menggunakan kinetika tingkat pertama.
Perhitungan paruh waktu (DT50) umumnya menjadi dasar untuk
menunjukkan peluruhan/hilangnya residu fungisida sebagai akibat degradasi
maupun perpindahan kompartemen lingkungan (Fantke dkk, 2014). DT50 juga
digunakan untuk menentukan persistensi suatu fungisida di lingkingan. Persistensi
yang dimaksud adalah berapa lama residu ini dapat bertahan di lingkungan sekitar
setelah aplikasi. Azoxystrobin termasuk dalam fungisida golongan strobilurins
yang memiliki persistensi sedang di dalam lingkungan, dan beberapa produk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
degradasinya seperti asam azoxystrobin ditemukan sebagai bahan pencemar pada
system perairan. Hasil degradasi diketahui dikarenakan biodegradasi oleh
mikrobia (Howell, 2013).
Hasil penentuan laju disipasi residu azoxystrobin buah melon dan DT50
dipaparkan pada tabel XVII:
Tabel XVII. Laju Disipasi dan DT50 Residu Azoxystrobin Di Dalam Buah Melon
DT50/hari Sleman Kulon Progo Bantul Laju
disipasi/hari Laju
Disipasi DT50 Laju
Disipasi DT50 Laju
Disipasi DT50
Keseluruhan 0,1539 4,5 0,2512 3 0,2291 3
Tabel XVII juga menunjukkan nilai laju disipasi pada sampel keseluruhan buah di
lahan Siliran, Kulonprogo sebesar 0,2065/hari dengan DT50 selama 3 hari dan di
lahan Panggungharjo, Bantul 0,2291/hari dengan DT50 selama 3 hari, dan lahan
Wedomartani, Sleman 0,1539/hari dengan DT50 4,5 hari.
Nilai DT50 untuk residu azoxystrobin dari beberapa sumber menyatakan
hasil yang berbeda-beda menurut sampel keseluruhan buah. DT50 yang ditentukan
oleh FAO karena fotolisis pada aqueos condition buah sebesar 8,7–13,9 hari pada
kondisi pH 7 (FAO, 2008). Pada sampel buah anggur di Italia dengan laju disipasi
digambarkan dengan kinetika orde 1 dan waktu paruh (t1/2) dari azoxystrobin
selama 15,2 hari (Cabras, 1998). Penelitian lain juga menjelaskan pada
penelitiannya bahwa residu azoxytrobin yang terdeteksi pada buah anggur di India
mempunyai waktu paruh selama 2-3 hari pada keseluruhan buah dan 1,5 – 2 hari
pada daun setelah aplikasi terakhir (Sendhil, 2004).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Kondisi Italia yang subtropis lebih lama DT50 dari residu fungisida
azoxystrobin, sedang India yang termasuk negara tropis memiliki DT50 yang sama
dengan hasil penelitian. Dapat disimpulkan DT50 juga terpengaruh oleh letak
geografis dengan iklim tropis dan sub tropis. Lahan percobaan yang dilakukan
pada iklim yang sama membuat pengaruh geografis tidak berpengaruh signifikan
pada DT50. Hal ini dapat dilihat dari nilai DT50 pada kedua lahan sama selama 3
hari.
Pada iklim yang tropis dengan suhu, curah hujan, dan pemaparan cahaya
yang lebih tinggi dari pada iklim sub tropis membuat beberapa fungisida
khususnya azoxystrobin mudah terdegradasi sehingga nilai DT50 cepat. Nilai DT50
yang menggambarkan presistensi residu fungisida yang semakin tinggi membuat
residu lama tertinggal pada lingkungan dan berbahaya jika banyak terakumulasi.
Mengetahui persistensi residu dalam tanaman yang diketahui dari
parameter DT50 sangat penting untuk penentuan PHI yaitu waktu aplikasi terakhir
sebelum panen agar tidak melebihi ambang toleransi yang mana bagi manusia dan
lingkungan. Dosis atau konsentrasi yang digunakan adalah dosis minimum yang
efektif terhadap organisme pengganggu tanaman. Hal ini bertujuan agar residu
fungisida tidak tinggi dengan penggunaan fungisisda tidak berlebihan.
Keamanan konsumen juga dapat digambarkan dengan penentuan PHI
(pre harvest interval) dengan rumus PHI = DT95, karena data yang digunakan
dalam analisis ini mempunyai confidence limit 95%, sehingga kesalahan yang
diperbolehkan sebesar 5%. Data perhitungan PHI dapat dilihat dari tabel XXI di
bawah. Data menunjukkan meskipun PHI terhitung pada hari ke 6, tetapi untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
mencapai kadar di bawah 0,01 mg/kg, yaitu kadar di bawah positive list hanya
terdapat pada hari ke-7. Positive list adalah batasan yang gunakan ketika suatu
residu fungisida atau pestisida belum ditentukan nilai BMR.
Tabel XVIII. PHI Penggunaan Fungisida Azoxystrobin PHI Kulon Progo Bantul Sleman
Keseluruhan 4 hari 4 hari 9 hari
Kadar hari ke-7 setelah aplikasi terkhir pada lahan Siliran, Kulon Progo
sebesar 0,010 mg/kg, lahan Wedomartani, Sleman sebesar 0,008 mg/kg dan pada
lahan Panggungharjo Bantul sebesar 0,008 mg/kg. Dapat di buah melon di Daerah
Istimewa Yogyakarta aman dikonsumsi jika dipanen pada hari ke-7 setelah
aplikasi fungisida azoxystrobin dengan penggunaan dosis label.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan:
1. Kadar residu fungisida azoxystrobin pada lahan penelitian Bantul dan
Kulonprogo di kulit lebih besar daripada di daging buah dengan hasil
signifikansi uji T thitung > ttabel dengan α 0,05 berturut-turut adalah thit 5,83 >
ttabel 1,86 dan thit 4,68 > ttabel 1,81. Pada lahan Sleman sampel tidak dapat
analisis karena lahan percobaan rusak terserang penyakit.
2. Laju disipasi residu azoxystrobin pada buah melon di lahan Panggungharjo,
Bantul sebesar 0,2291/hari, lahan Wedomartani, Sleman sebesar 0,1539/hari,
dan lahan Siliran, Kulon Progo sebesar 0,2512/hari. Kondisi geografis lahan
percobaan tidak berpengaruh terhadap laju disipasi residu azoxystrobin
dengan hasil tidak signifikan pada uji ANOVA dengan α 0,05 lebih besar dari
p value 0,03.
3. Kadar residu azoxystrobin di dalam buah melon dapat dikatakan aman dengan
kisaran PHI pada hari ke 7 yang didapatkan pada aplikasi sesuai label di
Daerah Istimewa Yogyakarta dengan kadar di lahan Siliran, Kulon Progo
sebesar 0,010 mg/kg, lahan Wedomartani, Sleman sebesar 0,008 mg/kg dan
lahan Panggungharjo Bantul sebesar 0,008 mg/kg karena berada dibawah
kadar postif list 0,01 mg/kg.
83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
B. Saran
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat
penulis berikan adalah:
1. Perlu dilakukan analisis laju disipasi residu fungisida azoxystrobin pada
daerah yang berbeda di Indonesia agar data untuk menggambarkan laju
disipasi di Indonesia lebih lengkap.
2. Perlu dilakukan analisis laju disipasi residu fungisida azoxystrobin dengan
perbedaan konsentrasi pada perlakuan lahan agar memiliki perbandingan
data aplikasi yang luas.
3. Perlu dilakukan selang waktu pengambilan sampel lebih dipersempit agar
memiliki kelengkapan data pada setiap hari setelah aplikasi terakhir.
Kelengkapan data dapat menggambarkan dengan detail kadar setiap
harinya setelah aplikasi terakhir dan memperjelas pola laju disipasi.
4. Petani disarankan menggunakan anjang-anjang sebagai sistem panen yang
lebih aman dari residu fungisida azoxystrobin daripada langsung di atas
tanah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
DAFTAR PUSTAKA
Abby, M., 2015, Potensi Indonesia sebagai Eksportir Buah Tropis, http://solusibisnis.co.id/potensi-indonesia-sebagai-eksportir-buah-tropis.html, diakses pada tanggal 20 Agustus 2015.
Adetutu, E.M., 2008, Azoxystrobin and soil interactions: degradation and impact on soil bacterial and fungal communities, Journal of Applied Microbiology, The Society for Applied Microbiology, 105, 1777–1790
Ahuja, S., and Dong, M.W., 2005, Handbook of Pharmaceutical Analysis by HPLC, volume 6, Elsevier, Inc., USA, p. 192.
Ambrus, L., 2002, Evaluation of the Studies on Decline of Pesticide Residues, J. Agric. Food Chem. , 50, 4846-4851.
Anastassiades, Michelangelo,. 2006, The QuEChERS Method –Background Informationand Recent Developments, Community Reference LaboratoryPesticide Residuesusing Single Residue Methods, Stuttgart, p.50,66.
Anonim a, 2010, Azoxystrobin, http://www.fao.org/publications, diakses tanggal 8 Mei 2014.
Anonim b, 2015. Enggan Beralih Dari Action, http://www.tanindo.com/index.php?option=com_content&view=article&id=366:enggan-beralih-dari-action&catid=387:enggan-beralih-dari-action&Itemid=101, diakses tanggal 9-11-2015.
Anonim c, 2015, Budidaya Melon Golden, Seperti Budidaya Emas, http://dinpertan.grobogan.go.id/komoditas-123-budidaya-melon-golden-seperti-budidaya-emas.html, Diakses pada tanggal 15 Sepetember 2015.
Anonim d, 2015, Hama dan Penyakit Tanaman Melon, http://www.petanihebat.com/2014/05/hama-dan-penyakit-tanaman-melon.html diakses pada tanggal 26 November 2015.
Asviatuti, S., 2008, Dinamika Insektisida Deltametrin Pada Lahan Budidaya Cabai Besar (Capsicum annum L.), Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Bending, G.D., Rodríguez-Cruz, S., Lincoln, S.D., 2007, Fungicide impacts on microbial communities in soils with contrasting management histories, Chemosphere, 69, 82–88.
BMKG, 2015, Data Curah Hujan, Suhu, dan Kelembapan, Yogyakarta. Cabras, P., Angioni, A., Garau, V. L., Pirisi, F. M.; Espinoza, J., Mendoza, A.,
Cabitza, F., Pala, M., and Brandolini, V. 1998. Fate of azoxystrobin, fluazinam, kresoxim-methyl, mepanipyri, and tertraconazole from vine to wine. J. Agric. Food Chem. 46: 3249-3251..
California Departement of Pesticide Regulation, 2012, Standard Operating Procedure: Calculation of Pesticide Half-life from a Terrestrial Field Dissipation Study, Sacramento.
Clegg, H., Matthew J. Riding, Robin Oliver, Kevin C. Jonesa, Kirk T. Semplea, 2014, The impact of soil organic matter and soil sterilisation on the bioaccessibility of 14C-azoxystrobin determined by desorption kinetics, Journal of Hazardous Materials, 278, 336–342.
Codex Alimetarius Commision, 2014, Evaluation of Data for Acceptabel Daily Intake and Acute Dietary Intake for Humans, Maximum Residue Levels and Supervised Trial Median Residue Values, http://www.fao.org/fileadmin/templates/agphome/documents/Pests_Pesticides/JMPR/Report08/Azoxystrobin.pdf, diakses pada tanggal 23 Desember 2014
Deptan, 1994, Penggunaan Pestisida Secara Bijaksana, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta
Deptan, 1998, Informasi Teknis Tentang Pestisida untuk Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta.
Deptan, 2006, Penggunaan Pestisida yang Baik dan Benar dengan Residu Minimum, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta
European Commision, 1998, Review Report for The Active Substance Azoxystrobin, England.
Fantke, et all, 2014, Estimating Half-Lives for Pesticide Dissipation from Plants. Enviromental Science and Technology. 48, 8588−8602.
EXTOXNET, 1993, Movement of Pesticides in The Environment, Oregon State University, http://extoxnet.orst.edu/tibs/movement.htm, diakses pada tanggal 9 Januari 2015
FAO report CCPR, 2008, Azoxystobin. Codex Alimetarius. FAO, 2015, Azoxystrobin (229), Codex Alimetarius. FAO, 2015, Recommended Methods Of Sampling For The Determination Of
Pesticide Residues For Compliance With MRLs. CAC/GL 33-1999. Frederick, M., 2015, Pesticide Toxicity Profile: Strobilurin Pesticides,
https://edis.ifas.ufl.edu/pi104 , diakses pada tanggal 11 Agustus 2015. Gandjar, I. G. dan Rohman, A., 2007, Kimia Farmasi Analisis, cetakan kedua,
Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ghosh, R. K., Neera, S., 2009, Effect of Organic Manure on Sorption and
Degradation of Azoxystrobin in Soil, J. Agric. Food Chem., 57, 632–636. Grob, L.R., 1995, Modern Practice of Gas Chromatography, John Wiley and
Sons Inc., New York. p. 291-295 Hari, S., 2015, Bantul tidak merekomendasi lahan pertanian ditanami melon,
http://www.antarayogya.com/berita/334947/bantul-tidak-merekomendasi-lahan-pertanian-ditanami-melon, diakses pada tanggal 26 November 2015.
Hendayana, S., 2006, Kimia Pemisahan : Metode Kromatografi dan Elektrolisis Modern, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung
Howell, C., Kirk T. Semple, Gary D. Bending, 2013, Isolation and characterization of azoxystrobin degrading bacteria from soil, Chemosphere, 95, 370–378.
Hye Rim, K., dkk., 2011, Dissipation Pattern of Azoxystrobin, Difenoconazole and Iprodione Treated on Field-Grown Green Garlic, Korean J Environ Agric, Vol. 30, No. 4, pp. 446-452
Julianto. 2013, Melon Unggulan Indonesia tabloid sinar tani, http://m.tabloidsinartani.com/index.php?id=148&tx_ttnews[tt_news]=24
53&cHash=c24b165793b5b2bac6ebe95709acf4fe, diakses pada tanggal 25 September 2015.
Juraske, R.; Antón, A.; Castells, F. 2008, Estimating half-lives of pesticides in/on vegetation for use in multimedia fate and exposure models. Chemosphere, 70, 1748−1755.
Kamali, S.R., 2008, Distribusi Insektisida Deltametrin Pada Tanaman Cabai Besar (Capsicum annum L.), Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Kelly, M., 2011, Azoxystrobin and Difenoconazole - Residue Study on Melon in Italy, Spain and Southern France in 2008 and 2009, The Food and Enviroment Reasearch Agency. pp. 3-93
Kenndler, E., 2004, Gas Chromatography, Institute for Analytical Chemistry, University of Vienna, https://anchem.univie.ac.at/fileadmin/user_upload/anchem/Gas_Chromatography_in_Capillaries.pdf , diakses pada tanggal 3 Januari 2015
Kimura, K., Tawara, S., Igarashi, K., Takenaka, A., 2007, Effect of various radical generators on insulin-dependent regulation of hepatic gene expression, Biosci, Biotechnol, Biochem, 71, 16–22.
Kristianingsih, I. D., 2010, Produksi benih melon (Cucumis melo l) unggul di Multi Global Agrindo (mga), Karangpan dan Karanganyar, Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Kurniati, N., 2013, Penyakit Pantek atau Antraknose, http://www.tanijogonegoro.com/2013/09/patek-antraknosa.html , diakses pada tanggal 26 November 2015.
Lakitan, B. 2002. Dasar-dasar Klimatologi. Raja Grafondo Pustaka. Jakarta. Maimun, Ali., 2014, Budidaya Melon Golden, Seperti Budidaya Emas. Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab.Grobogan Prov.Jawa Tengah, http://dinpertan.grobogan.go.id/komoditas-123-budidaya-melon-golden-seperti-budidaya-emas.html, diakses pada tanggal 10 September 2015.
Mastova, K., 2008, Azoxystobin, Agricultural Research Service, United States Departement of Agriculture, USA.
Mc Grath, M.T., 2004, What are Fungicides. The Plant Health Instructor, http://www.apsnet.org/edcenter/intropp/topics/Pages/fungicides.aspx, diakses pada tanggal 11 Agustus 2015.
Mc Nair, Harold M., dan James M. Miller, 1997, Basic Gas Chromathography, John Wiley and Sons, Inc., New York.
Miller, J. N., Miller, J. C., 2010, Statistics and Chemometrics for Analytical Chemistry, Sixth Edition, Pearson Education Limited, UK, pp. 39-40.
Namiesnik, J., 2002, Trace Analysis Challenges and Problems, Critical Reviews in Analytical Chemistry, 32 (4), p. 272.
Noegrohati, 2015, Wawancara Pribadi. Pemda DIY, 2010, Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta,
http://jogjaprov.go.id/pemerintahan/situs-tautan/view/kondisi-geografis, diakses pada tanggal 2 Januari 2015.
Phenomenex, 2015, An Easier QuEChERS Solution for Multi-Residue Analysis from Food,
https://phenomenex.blob.core.windows.net/documents/0a6eaba2-d9b2-4b74-a391-81ffc3e19379.pdf, diakses pada tanggal 2 Januari 2015.
Pracaya, 2007, Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar swadaya: Jakarta. Prajnanta, F., 1997, Melon: Pemeliharaan Secara Intensif, kiat sukses
beragribisnis. Penebar Swadaya, Jakarta. Prichard, E., MacKay, G.M., and Points, J., 1996, Trace Analysis: A structured
approach to obtaining reliable results, Royal Society of Chemistry, United Kingdom, pp. 1-11.
Pubchem, 2015, Decachlorobiphenyl, http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/search/#collection=compounds&query_type=text&query=%22Decachloro-1%2C1%27-biphenyl%22 , diakses pada tanggal 3 Januari 2015.
Puspitasari, R. S., 2015, Validasi Metode Analisis Residu Azoxystrobin Dalam Buah Melon (Cucumis melo L.), Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Rukmana, R., 1994, Budidaya Melon Hibrida. Kanisius, Yogyakarta. Samadi, Budi., 2007, Melon: Usaha Tani dan Penanganan Pasca Panen,
Yogyakarta: Kanisius. Sendhil Vel V. 2003. Evaluation of azoxystrobin 25 SC against downy mildew
and powdery mildew of grapevine. Ph.D. Thesis, Tamil Nadu Agric. Univ., Coimbatore, India, 190 pp.
Singh, N., Singh, S., 2010, Effect of moisture and compost on fate of azoxystrobin in soils, J. Environ. Sci. Health, Part B 45, 676–681.
Skwirk. 2015, online education, http://www.skwirk.com/p-c_s-1_u-149_t-447_c-1591/nsw/hsie/indonesia-understanding-our-nearest-neighbours/indonesia-s-geography-and-peoples/climate-animals-and-plants, diakses pada tanggal 10 September 2015. 41
Sobir dan Firmansyah, 2014, Berkebun melon unggul. Penebar Swadaya, Jakarta, http://alamtani.com/budidaya-melon.html, diakses pada tanggal 10 September 2015.
Suryanto, W.A., 2010, Hama dan Penyakit (masalah dan solusinya). Kanisius:Yogyakarta.
Syngenta Group, 2005, Azoxystrobin, Syngenta Crop Protection. Ink, Greensboro. The Japan Food Chemical Research Foundation, 2015, The Japanese Positive List
System for Agricultural Chemical Residues in Foods, http://www.ffcr.or.jp/zaidan/ffcrhome.nsf/pages/mrls-p, diakses pada tanggal 30 November 2015.
Tomlin, C.D.S., 2000, The Pesticide Manual, British Crop Protection Council, UK.
Weather online, 2015, Indonesia, http://www.weatheronline.co.uk/reports/climate/Indonesia.htm, diakses pada tanggal 10 September 2015.
Wirakusumah, E. S., 2000, Buah dan Sayur untuk Terapi, Penebar Swadaya, Jakarta.
Yan, B., 2004, Analysis and Purification Methods in Combinatorial Chemistry, John Wiley and Sons, Inc., New Jersey, p 268.
Persamaan kurva baku yang didapat F(x) = -0,18373 + 9,20246 x. Rasio yng sudah ditemukan dimasukkan pada persamaan sebagai F(x). x = (0,828 + 0,9640)/9,20246 x = 0,19473 ng setelah masuk pada kurva baku x sebagai C extrak. Kemudian dihitung kadar sebenarnya dalam sampel
𝐶𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 =
𝐶𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘𝑉𝑖𝑛𝑗
× 𝑉𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 × 𝑃
𝑚
Keterangan:
Csampel : kadar dalam sampel (ng/g)
Cekstrak : kadar dalam ekstrak (ng)
Vinj : volume injeksi (µl)
Vsampel : volume sampel (µl)
P : faktor pengenceran
m : berat sampel (g)
sehingga hasil didapat seperti perhitungan di bawah,
𝐶𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 =0,19473 𝑛𝑔
2 𝑢𝑙 × 200 𝑢𝑙 × 200 𝑢𝑙40 𝑢𝑙
5 𝑔
𝐶𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 =19,5 ng/g
𝐶𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 =0,0195 mg/kg
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
LAMPIRAN 16. Contoh Perhitungan, Laju Disipasi, DT50 dan PHI • Penentuan laju disipasi