Page 1
PENGARUH KONSENTRASI PUTIH TELUR DAN SUHU
PENGERINGAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG AIR
REBUSAN KACANG KEDELAI (Glycine max L.) DENGAN METODE
FOAM MAT DRYING
ARTIKEL
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan
Sarjana Teknik Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pasundan
Oleh :
Wildan Ansori
12.302.0409
JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2017
Page 2
Artikel Tepung dari Air Rebusan Kacang Kedelai
1
PENGARUH KONSENTRASI PUTIH TELUR DAN SUHU
PENGERINGAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG AIR
REBUSAN KACANG KEDELAI (Glycine max L.) DENGAN METODE
FOAM MAT DRYING
Prof. Dr. Ir. H M Iyan Sofyan M. T., Dr.Ir. Yudi Garnida M.P.,
Wildan Ansori
12.302.0409
ABSTRACT
The pupose of this research was to know effect of the comparation albumin centent and drying
themperature on the characteristics of the flour of waste soybean stewed. The experimental used was
Randomized Block Design Factorial. Each factor consisted of 3 pattern with 3 replication. Variabel in this
research are comparation of albumin content consisted of ratio 5% (a1), 10% (a2) and 15% (a3) and drying
themperature consisted 40oC (b1), 50oC (b2) and 60oC (b3). Parameter analyzed were protein content,
moisture content, yield and organoleptic attributs include color, texture and odor. The result of this research
showed that a3b2 (combination of 15% albumin content with 50oC drying themperature) more preperable by
scoring of all analyzing parameter for every comparation with protein content 40,51%, moisture content 7,69%
and yield 6,58%.
Keywords : Soybean, Waste of Soybean Stewed , Foam Mat Drying, Albumin Content, Drying Themperature
PENDAHULUAN
Kedelai merupakan sumber protein nabati
paling populer bagi masyarakat Indonesia pada
umumnya. Perkembangan luas panen kedelai
Indonesia periode 1980-2015 berfluktuasi namun
cenderung meningkat dengan laju peningkatan
sebesar 0,62% per tahun. Pada tahun 2015
diperkirakan luas panen kedelai meningkat 4,01%,
menjadi 640,35 ribu hektar dari tahun sebelumnya
sebesar 615,69 ribu hektar. Produksi kedelai di
Indonesia pada periode 1980-2015 berfluktuasi
cenderung meningkat dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 2,37% per tahun.
Berdasarkan data ARAM (Angka Ramalan) I BPS
tahun 2015, produksi kedelai diperkirakan
mencapai 998,87 ribu ton atau meningkat 4,59%
dibandingkan tahun 2014 sebesar 955,00 ribu ton
(Kementrian Pertanian, 2015).
Konsumsi utama kacang kedelai adalah
dalam bentuk tempe dan tahu yang merupakan
lauk pauk vital bagi masyarakat Indonesia. Bentuk
lain produk kedelai adalah kecap, tauco, dan susu
kedelai. Indonesia merupakan negara produsen
tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai
terbesar di Asia. Berdasarkan data SUSENAS
tahun 2014 yang dirilis BPS, konsumsi tempe rata-
rata per orang per tahun di Indonesia sebesar 6,95
kg dan tahu 7,07 kg (Kementrian Pertanian, 2015).
Tempe adalah makanan hasil fermentasi
yang sangat terkenal di Indonesia. Tempe yang
biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah
tempe yang menggunakan bahan baku kedelai.
Fermentasi kedelai dalam proses pembuatan
tempe menyebabkan perubahan kimia maupun
fisik pada biji kedelai, menjadikan tempe lebih
mudah dicerna oleh tubuh. Tempe segar tidak
dapat disimpan lama, karena tempe tahan hanya
selama 2 x 24 jam, lewat masa itu, kapang tempe
mati danselanjutnya akan tumbuh bakteri atau
mikroba perombak protein, akibatnya tempe cepat
busuk (Sarwono, 2005).
Proses produksi tempe menghasilkan
limbah terutama pada proses pemasakan kacang
kedelai. Menurut Nur Hikma (2014) diperkirakan
untuk skala industri rumah tangga limbah cair
yang dihasilkan pada produksi tempe sekitar 200 -
300 Liter perhari dari pengolahan 300 Kg kacang
kedelai.
Menurut Buletin konsumsi Pangan
volume 2 nomor 2 (2014) konsumsi kedelai untuk
pembuatan tempe pertahun diperkirakan sebanyak
1,8 juta ton, artinya limbah pembuatan tempe yang
dihasilkan pertahunnya sekitar 1,8 juta liter.
Air hasil rebusan kacang kedelai yang
merupakan limbah pembuatan tempe masih
mengandung protein sebesar 5,29%, lemak
sebesar 0,54 %, air sebesar 72,08%, abu sebesar
3,38% dan beberapa mineral lain (Wulan, 2014)
Limbah tempe berupa air rebusan
kacang kedelai berpotensi diubah menjadi tepung.
Penepungan pada bahan cair dapat dilakukan
dengan cara pengeringan. Namun demikian
pengeringan pada air rebusan kacang kedelai juga
dapat berpotensi menurunkan kadar protein yang
terkandung pada air rebusan tempe.
Berdasarkan permasalahan tersebut
maka diperlukan metode pengeringan yang efektif
namun dengan suhu yang tidak boleh terlalu tinggi
Page 3
Artikel Tepung dari Air Rebusan Kacang Kedelai
2
agar tidak merusak kandungan gizi pada proses
pengeringan air rebusan kacang kedelai.
Foam mat drying sebagai salah satu
metode pengeringan merupakan metode yang
sederhana untuk mengeringkan padatan dalam
cairan dengan cara dicampur dengan stabilizing
agent dan atau foaming agent untuk menghasilkan
buih yang stabil, yang dikeringkan dengan udara
kering pada rentang temperatur 50 - 80 oC (P.
Kandasamy 2012).
Identifikasi Masalah
Masalah yang dapat diidentifikasi dalam
penelitian ini diantaranya adalah:
1. Apakah konsentrasi putih telur berpengaruh
terhadap karakteristik tepung air rebusan
kacang kedelai?
2. Apakah suhu pengeringan berpengaruh
terhadap karakteristik tepung air rebusan
kacang kedelai?
3. Apakah interaksi yang terjadi antara
konsentrasi putih telur dan suhu pengeringan
dalam pembuatan tepung air rebusan kacang
kedelai ?.
Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui konsentrasi putih telur terhadap
karakteristik tepung air rebusan kacang kedelai.
Untuk mengetahui pengaruh suhu pengeringan
terhadap karakteristik tepung air rebusan kacang
kedelai. Untuk mengetahui interaksi yang terjadi
antara konsentrasi putih telur dan suhu
pengeringan dalam pembuatan tepung air rebusan
kacang kedelai.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menentukan konsentrasi putih telur dengan suhu
pengeringan tepung yang tepat dalam pembuatan
tepung dari air rebusan kacang kedelai.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini merupakan
memanfaatkan limbah tempe sebagai bahan baku
pembuatan tepung, meningkatkan nilai gunanya,
meningkatkan inovasi produk kacang kedelai,
mengurangi limbah industri tempe serta
menambah informasi dan pengetahuan mengenai
alternatif pembuatan tepung air rebusan kacang
kedelai.
Kerangka Pemikiran
Pengeringan merupakan metode yang
paling tua dan paling sering digunakan dalam
pengolahan pangan. Penghilangan air digunakan
selama berabad-abad untuk untuk pengolahan
pangan. Dalam industri pangan, pengeringan
merupakan metode yang serbaguna dan luas
penggunaannya. Pengeringan juga merupakan
subjek yang sangat diminati pada penelitian
pangan (Araya-Faraias dan Ratti, 2008).
Tujuan utama pengeringan pangan
adalah untuk meminimalisir aktivitas mikroba,
sehingga dapat memperpanjang umur simpan
produk pangan. Selain itu juga dalam proses
pengolahan, pengeringan dapat mengurangi
jumlah produk kering yang mana bermanfaat
menurunkan biaya pengemasan, penanganan, dan
pengiriman (Okos, 2006).
Pengeringan dengan suhu tertentu akan
memberikan pengaruh yang berbeda pada
kandungan nutrisi bahan pangan tersebut. Namun
selain berpengaruh terhadap kandungan nutrisi,
juga berpengaruh terhadap perubahan secara fisik,
contohnya tekstur dan warna bahan yang
dikeringkan (Labuza, 2004).
Suhu pengeringan adalah salah satu
faktor eksternal yang mempengaruhi mutu produk.
Jika suhu pengeringan yang digunakan terlalu
tinggi, akan menyebabkan penurunan nilai gizi
dan perubahan warna produk yang dikeringkan
(Histifarina dan Sinaga, 2004).
Menurut penelitian Verona Amelia
(2013), semakin tinggi suhu yang digunakan untuk
mengeringkan karagenan dengan konsentrasi
methyl cellulose 10% dan putih telur 20%,
memberikan perbedaan waktu pengeringan yang
signifikan. Semakin Tinggi suhu udara pengering,
maka relative humidity udara akan semakin
rendah, sehingga transfer panas dan massa antara
udara dan karagenan akan semakin besar. Hal ini
menyebabkan laju kinetika pengeringannya
semakin tinggi (Mualifah, dkk., 2010)
Menurut Penelitian Desy Windia
Yuniarti (2013) menerangkan bahwa pengeringan
ikan gabus diatas suhu 53 oC dapat menurunkan
kadar protein pada ikan gabus.
Pengeringan jagung pada suhu 50 oC
menyebabkan penurunan kadar protein sebesar
0,46% (Luqman Buchori, 2013)
Putih telur atau albumin merupakan
foaming agent yang sering digunakan untuk
pengeringan metode foam mat drying karena
selain harganya murah, tegangan permukaannya
pun sangat tinggi sehingga dengan penambahan
konsentrasi sedikit albumin dapat membentuk
buih yang banyak dan stabil. Buih yang banyak
dan stabil dapat berdampak pada kesempurnaan
pengeringan dari bahan (Henry, 2010).
Penelitian oleh Pulungan, dkk. (2003)
pada pembuatan minuman instan kunyit sinom
menggunakan putih telur sebanyak 2,5% sebagai
foaming agent, mampu menghasilkan produk
dengan kelarutan 9,94%. Sedangkan bahan pengisi
yang dapat ditambahkan untuk memberikan
rendemen tinggi adalah maltodextrin, mempunyai
sifat mudah larut dalam air dan memiliki
kekentalan yang relatif rendah dibandingkan
Page 4
Artikel Tepung dari Air Rebusan Kacang Kedelai
3
dengan pati, memiliki struktur spiral helix
sehingga menekan kehilangan komponen volatile
selama proses pengolahan (Lastriningsih, 1997).
Menurut Penelitian P. Kandasamy
(2012) pada pembuatan tepung pepaya (Carica
papaya L.) metode foam mat drying dalam hal
komposisi biokimia, ketebalan foam 2 mm pada
tray dengan suhu pengeringan 60 oC memiliki
kandungan nutrisi yang jauh lebih tinggi jika
dibandingkan pengeringan dengan ketebalan 4, 6
dan 8 mm pada suhu 65 oC dan 70 oC .
Menurut penelitian Verona Amelia
(2013), menerangkan bahwa berdasarkan grafik
hubungan waktu pengeringan dengan moisture
content, komposisi putih telur pada pengeringan
karagenan dengan metode foam mat drying
memberikan pengaruh terhadap laju pengeringan
bahan. Kadar air kritis (critical moisture content)
adalah titik yang menandai saat dimana air pada
permukaan tidak mencukupi lagi untuk
memelihara suatu lapisan kontinyu yang menutupi
keseluruhan lapisan pengeringan. Dari hasil
tersebut dapat diperkirakan lama waktu
pengeringan pada tiap-tiap bahan berdasarkan
hasil perhitungan didapat waktu pengeringan
untuk mencapai moisture content sebesar 0,1 g
moisture/ g bahan kering pada komposisi 0 %
albumin membutuhkan waktu 366,192`2 menit,
10% albumin membutuhkan waktu 187,27 menit,
15% albumin membutuhkan waktu 207,77 menit
dan 20% albumin membutuhkan waktu 156,34
menit.
Berdasarkan penelitian Muchamad
Taufiq (2004) untuk temperatur pengeringan 70oC
terjadi penurunan kadar air yang paling cepat
selanjutnya disusul pengeringan dengan suhu 60oC
kemudian suhu pengeringan 55oC lalu penurunan
kadar air yang paling lambat terjadi pada suhu
pengeringan 50oC. Sehingga dapat dikatakan
bahwa dengan adanya kenaikan suhu maka laju
pengeringan semakin besar.
Jika ditarik korelasi dari penelitian
Verona Amelia (2013) dan Muchamad Taufiq
(2004) dapat ditarik asumsi bahwa semakin tinggi
komposisi putih telur sebagai bahan pembusa,
dengan suhu pengeringan yang sama maka
semakin sedikit waktu yang diperlukan untuk
mengeringkan suatu bahan. Jika kondisinya
dibalik, dimana waktu pengeringan yang
diperlakukan sama, dapat diambil hipotesis bahwa
semakin tinggi komposisi putih telur sebagai
bahan pembusa, maka semakin kecil suhu yang
diperlukan untuk mengeringkan suatu bahan.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas
dapat diambil hipotesis sebagai berikut :
1. konsentrasi putih telur diduga berpengaruh
terhadap karakteristik tepung air rebusan
kacang kedelai.
2. Suhu Pengeringan diduga berpengaruh
terhadap karakteristik tepung air rebusan
kacang kedelai.
3. Diduga tedapat interaksi antara konsentrasi
putih telur dan suhu pengeringan pada
pembuatan tepung air rebusan kacang
kedelai.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada Bulan Januari
2017 sampai dengan Bulan Februari 2017 di
Laboratorium Pengawasan Mutu PT. Kimia Farma
(Persero) Tbk. Plant Bandung, Jalan Pajajaran No.
29 - 31 dan Laboratorium Penelitian Teknologi
Pangan Fakultas Teknik Universitas Pasundan
Bandung, Jalan Dr. Setiabudhi No 193.
BAHAN, ALAT DAN METODE
PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan pada proses
pembuatan tepung air rebusan kacang kedelai
diantaranya kacang kedelai, air dan putih telur
Bahan yang digunakan dalam analisis
tepung air rebusan kedelai diantaranya Standar
Albumin, larutan biuret, aqua dm.
Alat
Alat yang digunakan untuk proses
pembuatan tepung air rebusan kacang kedelain
diantaranya sendok, neraca digital, baskom, pisau,
saringan kain, kompor gas, panci, propeller mixer,
vertical mixer, thermometer, tray dryer, dan tray.
Alat yang digunakan untuk proses
analisis tepung air rebusan kedelai diantaranya
Spektrofotometer UV-Vis, Vibratory Screen,
timbangan analitis, kuvet, labu takar, pipet
seukuran, pipet tetes, corong pendek, cawan
porselen, dan oven.
METODE PENELITIAN
Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan yang dilakukan
yakni pengujian kadar protein dari air rebusan
kacang kedelai dengan tiga variasi waktu
perebusan. Pengujian Kadar Protein Air Rebusan
Kacang Kedelai dilakukan pada suhu 100 oC
dengan tiga variasi waktu perebusan yakni 30
menit, 60 menit, dan 90 menit dengan masing-
masing perlakuan dilakukan tiga pengulangan.
Pengujian ini bertujuan untuk menentukan waktu
perebusan kacang kedelai yang paling efektif,
dengan cara memilih sampel air rebusan kacang
Page 5
Artikel Tepung dari Air Rebusan Kacang Kedelai
4
kedelai yang menghasilkan kadar protein paling
tinggi dengan waktu perebusan yang paling
singkat.
Penelitian Utama
Penelitian utama ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh perbandingan sari buah naga
merah dengan sari buah salak Bongkok dan jenis
penstabil terhadap karakteristik sirup buah.
Penelitian utama ini terdiri dari rancangan
perlakuan, rancangan percobaan, rancangan
analisis dan rancangan respon.
Rancangan Perlakuan
Penelitian utama ini merupakan kelanjutan
dari penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh konsentrasi putih telur dan
suhu pengeringan terhadap karakteristik tepung air
rebusan kacang kedelai. Penelitian utama ini
terdiri dari rancangan perlakuan, rancangan
percobaan, rancangan analisis dan rancangan
respon :
a. Faktor (A) konsentrasi putih telur terdiri dari 3
taraf yaitu:
a1 = 5 %
a2 = 10 %
a3 = 15 %
b. Faktor (B) variasi suhu pengeringan terdiri dari
3 taraf yaitu:
b1 = 40 oC
b2 = 50 oC
b3 = 60 oC
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah Rancang Acak
Kelompok (RAK) dengan pola faktorial 3x3
dengan 3 kali pengulangan. Model percobaan
untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :
Yijk = µ +K+ si+pj+(sp)ijk+ ɛijk
Rancangan Analisis
Rancangan analisis dilakukan untuk
mengetahui berpengaruh atau tidaknya suatu
perlakuan terhadap respon yang diteliti. Nilai yang
didapat kemudian disusun dalam tabel ANAVA
atau analisis variasi untuk mendapatkan
kesimpulan apakah suatu perlakuan berpengaruh
terhadap respon atau tidak.
Rancangan Respon
Pada penelitian ini respon yang diamati
adalah respon fisik, respon kimia dan respon
organoleptik.
Analisis Kimia
Respon kimia yang diuji pada produk
tepung air rebusan kacang kedelai adalah
menentukan kadar protein dengan menggunakan
metode Biuret (AOAC,1995).
Analisis Fisika
Respon fisik yang diuji pada pada produk
tepung air rebusan kacang kedelai adalah
menentukan kadar air dengan metode gravimetri
(AOAC, 1995), dan rendemen.
Uji Organoleptik
Respon organoleptik yang digunakan
adalah uji hedonik pada produk tepung air rebusan
kacang kedelai yang dilakukan terhadap warna,
tekstur dan aroma.
Tabel 1. Kriteria Penilaian Uji Hedonik
Skala Hedonik Skala Numerik
Sangat suka 6
Suka 5
Agak suka 4
Agak tidak suka 3
Tidak suka 2
Sangat tidak suka 1
Sumber : Kartika, 1985
Deskripsi Percobaan
Deskripsi pembuatan tepung air rebusan kacang
kedelai:
1. Sortasi
Proses sortasi terhadap bahan baku kacang
kedelai ini bertujuan untuk memisahkan kacang
kedelai yang dapat digunakan untuk proses
selanjutnya dengan yang tidak layak digunakan.
Proses sortasi kacang kedelai dilakukan melalui
pengamatan visual dengan mengandalkan indra
penglihatan manusia.
2. Pencucian
Proses pencucian kacang kedelai bertujuan
untuk menghilangkan pengotor yang mungkin
menempel pada badan kacang kedelai seperti
tanah, debu atau pengotor lainnya. Proses
pencucian dilakukan dengan mengalirkan air
bersih pada kacang kedelai yang ditampung pada
baskom. Kacang yang sudah terendam air
kemudian diaduk menggunakan tangan dan air sisa
cucian dibuang. Proses pencucian ini diulangi
hingga dua sampai tiga kali tergantung kondisi
kacang kedelai.
3. Perendaman
Proses perendaman bertujuan untuk
mengekstraksi protein dari kacang kedelai serta
mengembangkan kacang kedelai agar lebih mudah
diekstrak. Proses perendaman dilakukan dengan
membiarkan kacang kedelai beserta air dengan
komposisi 1:3 selama kurang lebih dua jam.
4. Perebusan
Percobaan ini sebenarnya ingin
memanfaatkan air rebusan kacang kedelai yang
merupakan limbah dari proses pembuatan tempe.
Pada proses pembuatan tempe, proses perebusan
Page 6
Artikel Tepung dari Air Rebusan Kacang Kedelai
5
bertujuan untuk mematangkan kacang kedelai dan
mematikan pertunasan sehingga dapat dilanjutkan
fermentasi menggunakan ragi Rhizopus sp.. Pada
percobaan ini, dilakukan perebusan dengan tujuan
sebagai simulasi pembuatan limbah pembuatan
tempe.
Proses perebusan dilakukan dengan
memanaskan kacang kedelai dengan air pada suhu
100oC. Waktu perebusan kacang kedelai sesuai
dengan hasil dari penelitian pendahuluan
sebelumnya
5. Pendinginan
Proses pendinginan bertujuan untuk
menurunkan suhu air rebusan kacang kedelai
hingga suhu kamar. Putih telur tidak boleh
ditambahkan pada air rebusan kacang kedelai yang
masih panas karena dapat menyebabkan protein
pada putih telur terdenaturasi dan terbentuk
padatan sehingga kehilangan kemampuannya
sebagai foaming agent.
Proses pendinginan dilakukan dengan cara
membiarkan air rebusan kacang kedelai pada
wadah di udara terbuka selama kurang lebih 4 jam
hingga mencapai suhu kamar (sekitar 27oC)
6. Penyaringan
Penyaringan bertujuan untuk memisahkan
air rebusan kacang kedelai dari kacang kedelai.
Penyaringan dilakukan dengan menggunakan kain
flannel agar pemisahan lebih optimal.
7. Pengocokan
Pengocokan air rebusan kacang kedelai
yang telah ditambah putih telur yang bertujuan
untuk menciptakan buih sebanyak mungkin yang
stabil. Pengocokan dilakukan dengan
menggunakan propeller mixer pada kecepatan
putaran 1500 rpm selama 15 menit. Kondisi
pengocokan yang dilakukan berdasarkan
penelitian P Kandasamy, dkk (2012) dalam jurnal
penelitiannya yang berjudul "Preparation of
Papaya Powder under Foam Mat Drying
Technique using Egg Albumin as Foaming Agent".
8. Pengeringan
Pengeringan buih air rebusan kacang
kedelai bertujuan untuk menghilangkan air dan zat
volatile lain yang terkandung pada buih air
rebusan kacang kedelai sebanyak mungkin
sehingga diperoleh tepung air rebusan kacang
kedelai yang kering. Pada proses ini, buih air
rebusan kacang kedelai dimasukkan kedalam tray
sambil diratakan hingga tinggi permukaannya rata,
kemudian dikeringkan dalam tray dryer dengan
variasi suhu pengeringan sebesar 40 oC, 50 oC dan
60 oC. Proses pengeringan dilakukan selama 150
menit atau sekitar 2,5 jam. Pemilihan waktu
pengeringan mengacu pada jurnal penelitian
Verona Amelia, dkk dengan judul "Pengaruh
Kondisi Operasi pada Proses Pengeringan
Karagenan dengan Foam".
9. Penghancuran
Proses penghancuran bertujuan untuk
memperkecil ukuran partikel tepung sehingga
diperoleh tepung air rebusan kacang kedelai
dengan ukuran partikel lebih kecil.
Proses penghancuran dilakukan dengan
menghancurkan gumpalan tepung menggunakan
vertical mixer selama 10 menit dengan kecepatan
putaran yang digunakan sesuai dengan hasil
penelitian pendahuluan
10. Pengayakan
Proses pengayakan bertujuan untuk
memperoleh partikel tepung air rebusan kacang
kedelai dengan ukuran seragam. Proses
pengayakan dilakukan dengan menggunakan
vibratory screen dengan ukuran diameter ayakan
sebesar 70 mesh sesuai rujukan dari SNI 3751 :
2009.
11. Analisis
Analisis yang dilakukan bertujuan untuk
mengetahui pengaruh konsentrasi putih telur dan
suhu pengeringan terhadap karakteristik tepung air
rebusan kedelai, serta untuk mengetahui interaksi
yang terjadi antara konsentrasi putih telur dan suhu
pengeringan dalam pembuatan tepung air rebusan
kacang kedelai. Analisis yang dilakukan meliputi
analisis respon kimia, fisik dan organoleptik.
Analisis respon kimia terdiri dari pengujian kadar
protein pada sampel dengan metode biuret.
Analisis respon fisika yaitu pengujian kadar air
dengan metode gravimetri. Analisis respon
organoleptik yaitu menguji warna, rasa, tekstur
dan aroma pada produk tepung air rebusan kedelai
dengan menggunakan metode hedonic scale
scoring test.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Pendahuluan
Berdasarkan hasil perhitungan ANAVA,
menunjukan bahwa waktu perebusan berpengaruh
terhadap kadar protein tepung air rebusan kacang
kedelai. Waktu yang digunakan untuk merebus
kacang kedelai dengan suhu yang sama akan
menentukan jumlah energi total yang di serap oleh
bahan, yang mana menentukan banyak ikatan
polipeptida yang terputus menjadi asam amino
yang terlarut dalam air rebusan kacang kedelai.
Semakin lama waktu perebusan yang digunakan,
maka semakin kecil kadar protein protein tempe
kacang tunggak yang dihasilkan karena semakin
banyak protein yang terlarut pada air rebusan
kacang tunggak dan mengurangi kadar protein
tempe (Halifah Pagarra, 2011). Hasil Uji Lanjut
Duncan pada interaksi konsentrasi putih telur dan
suhu pengeringan terhadap kadar protein dapat
dilihat pada tabel 2.
Page 7
Artikel Tepung dari Air Rebusan Kacang Kedelai
6
Tabel 2. Pengaruh Waktu Perebusan Terhadap Kadar Protein Air Rebusan Kacang Kedelai.
Waktu Perebusan Kadar Protein (%) Taraf Nyata 5%
p1 (30 menit) 0,24 a
p2 (60 menit) 1,27 b
p3 (90 menit) 2,63 c
Keterangan : Huruf dibaca vertikal. Nilai yang ditandai huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata di taraf
5% pada uji lanjut Duncan.
Berdasarkan tabel 11, menunjukan bahwa
semakin lama waktu yang digunakan
menghasilkan kadar protein yang semakin tinggi.
Hasil analisis kadar protein air rebusan kacang
kedelai dengan menggunakan metode biuret
paling tinggi yakni 2,63% diperoleh dengan
merebus kacang kedelai selama 90 menit. Nilai ini
berbeda signifikan dengan kadar protein yang
diperoleh perlakuan lainnya yakni 1,27 % dan 0,74
%, sehingga dapat ditetapkan bahwa waktu
perebusan kacang kedelai yang akan digunakan
pada penelitian utama adalah 90 menit.
Waktu perebusan kacang kedelai yang
semakin lama menyebabkan semakin banyaknya
energi yang diserap system untuk memutus ikatan
polipeptida pada protein. Banyaknya ikatan
polipeptida yang putus pada protein menyebabkan
semakin tingginya protein yang terlarut dalam air
rebusan kacang kedelai. Sejalan dengan penelitian
Halifah Pagarra (2011) menyatakan bahwa
semakin lama waktu perebusan yang digunakan,
maka semakin kecil kadar protein protein tempe
kacang tunggak yang dihasilkan karena semakin
banyak protein yang terlarut pada air rebusan
kacang tunggak dan mengurangi kadar protein
tempe.
Analisis kadar protein ini selain digunakan
sebagai acuan lama waktu perebusan kacang
kedelai pada penelitian utama, juga digunakan
sebagai acuan kadar protein bahan baku
pembuatan tepung air rebusan kacang kedelai
Penelitian Utama
Hasil Analisis Kadar Air
Berdasarkan hasil perhitungan ANAVA,
menunjukan bahwa suhu pengeringan
berpengaruh terhadap kadar air tepung air rebusan
kacang kedelai namun konsentrasi putih telur dan
interaksi diantara keduanya tidak berpengaruh
terhadap kadar air tepung air rebusan kacang
kedelai. Hal ini dikarenakan semakin tinggi suhu
yang digunakan pada proses pengeringan, maka
lapisan panas yang diterima oleh lapisan padat
semakin besar yang menyebabkan laju penguapan
air per-luas permukaan tiap waktunya semakin
besar (Banadib, 2009). Menurut Winarno (1997),
semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin
cepat terjadi penguapan, sehingga kandungan air
di dalam bahan semakin rendah. Hasil Uji Lanjut
Duncan pada interaksi konsentrasi putih telur dan
suhu pengeringan terhadap kadar air dapat dilihat
pada tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh Konsentrasi Putih Telur dan Suhu Pengeringan Terhadap Kadar Air (%) Tepung Air
Rebusan Kacang Kedelai.
Waktu Perebusan Kadar Air (%) Taraf Nyata 5%
p1 (30 menit) 8,98 a
p2 (60 menit) 7,69 b
p3 (90 menit) 5,29 c
Keterangan : Setiap huruf yang berbeda menunjukan adanya perbedaan yang nyata pada taraf 5%.
Berdasarkan tabel 3, menunjukan bahwa
semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan
pada konsentrasi putih telur 5%, 10% dan 15%
memberikan hasil kadar air yang semakin rendah.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Desrosier (1988)
bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama
waktu pengeringan yang digunakan untuk
mengeringkan suatu bahan, maka air yang
menguap akan semakin banyak. Semakin tinggi
suhu udara pengering maka relative humidity
udara akan semakin rendah, sehingga transfer
panas dan massa antara udara dan bahan pangan
akan semakin besar. Hal ini menyebabkan laju
kinetika pengeringannya semakin tinggi
(Mualifah, dkk., 2010).
Hasil Analisis Rendemen
Berdasarkan hasil perhitungan ANAVA,
menunjukan bahwa konsentrasi putih telur, suhu
pengeringan dan interaksi diantara keduanya
berpengaruh terhadap rendemen tepung air
rebusan kacang kedelai. Hal ini dikarenakan
albumin mengandung padatan sekitar 13,3%
sehingga dengan menambahkan albumin pada
pada sistem akan meningkatkan rendemen produk
yang dihasilkan (De Man 1997). Pengeringan pada
bahan menyebabkan menguapnya sejumlah air
pada bahan pangan, maka dari itu suhu yang
digunakan pada proses pengeringan akan
mempengaruhi jumlah air yang diuapkan dan
Page 8
Artikel Tepung dari Air Rebusan Kacang Kedelai
7
mempengaruhi rendemen produk yang dihasilkan
(Karim dan Wai, 1999). Hasil Uji Lanjut Duncan
pada interaksi konsentrasi putih telur dan suhu
pengeringan terhadap rendemen dapat dilihat pada
tabel 4
Tabel 4. Pengaruh Konsentrasi Putih Telur dan Suhu Pengeringan Terhadap Kadar Protein (%) Tepung Air
Rebusan Kacang Kedelai.
Konsentrasi Suhu Pengeringan (B)
Putih Telur
(A)
b1
(40oC)
b2
(50oC)
b3
(60oC)
a1 4,40 A 4,02 A 3,57 A
(5%) c b a
b2 5,96 B 5,42 B 4,86 B
(10%) c b a
b3 7,43 C 6,58 C 6,08 C
(15%) c b a
Keterangan : Setiap huruf yang berbeda menunjukan adanya perbedaan yang nyata pada taraf 5%. Huruf kecil
dibaca horizontal dan huruf besar dibaca vertikal.
Berdasarkan tabel 4, menunjukan semakin
tinggi konsentrasi putih telur yang ditambahkan,
pada suhu pengeringan 40 oC, 50 oC , dan 60 oC
maka rendemen tepung yang dihasilkan cenderung
semakin tinggi. Hal ini disebabkan penambahan
putih telur dapat meningkatkan total padatan pada
bahan sejalan dengan pernyataan Nakai dan
Modler (1999) bahwa putih telur mengandung
86,70% air sehingga sisanya adalah total padatan.
Estiasih dan Sofia (2009) menyatakan bahwa
pengolahan tepung menggunakan bahan pembuih
atau pembusa akan mempengaruhi jumlah
rendemen yang diperoleh karena penggunaan
bahan pembentuk buih atau busa menyebabkan
total padatan produk meningkat akibatnya
rendemen bubuk juga meningkat.Menurut
Christina (2005), semakin tinggi konsentrasi
penstabil yang digunakan maka semakin banyak
gula yang terikat, sehingga terdegradasi pati yang
lebih besar. Konsentrasi penstabil CMC yang
digunakan dalam penelitian ini lebih besar yaitu
1%, dibandingkan dengan konsentrasi xanthan
gum yang digunakan yaitu sebesar 0,075% dan
agar-agar sebesar 0,4%, diduga dapat
mempengaruhi kadar gula toal produk sirup buah.
Sehingga perlakuan menggunakan penstabil CMC
menghasilkan kadar gula total lebih tinggi
dibandingkan menggunakan penstabil xanthan
gum dan agar-agar.
Semakin tinggi suhu pengeringan yang
digunakan dengan konsentrasi putih telur yang
sama memberikan hasil rendemen yang semakin
rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Desrosier (1988) bahwa semakin tinggi suhu dan
semakin lama waktu pengeringan yang digunakan
untuk mengeringkan suatu bahan, maka air yang
menguap akan semakin banyak. Dengan demikian
bobot bahan akan semakin berkurang dan
menghasilkan rendemen yang rendah.
Hasil Analisis Kadar Protein
Berdasarkan hasil perhitungan ANAVA,
menunjukan bahwa konsentrasi putih telur ,suhu
pengeringan dan interaksi keduanya berpengaruh
terhadap kadar protein tepung air rebusan kacang
kedelai. Pengaruh yang dihasilkan disebabkan
oleh albumin telur mengandung protein sekitar
11,63 %. Hasil Uji Lanjut Duncan pada interaksi
konsentrasi putih telur dan suhu pengeringan
terhadap kadar protein dapat dilihat pada tabel 5.
Page 9
Artikel Tepung dari Air Rebusan Kacang Kedelai
8
Tabel 5. Pengaruh Konsentrasi Putih Telur dan Suhu Pengeringan Terhadap Kadar Protein (%) Tepung Air
Rebusan Kacang Kedelai.
Konsentrasi Suhu Pengeringan (B)
Putih Telur
(A)
b1
(40oC)
b2
(50oC)
b3
(60oC)
a1 28,32 A 30,83 A 35,13 A
(5%) a b c
b2 32,80 B 35,67 B 40,67 B
(10%) a b c
b3 37,24 C 40,51 C 46,16 C
(15%) a b c
Keterangan : Setiap huruf yang berbeda menunjukan adanya perbedaan yang nyata pada taraf 5%. Huruf kecil
dibaca horizontal dan huruf besar dibaca vertikal.
Berdasarkan tabel 5, menunjukan bahwa
semakin tinggi konsentrasi putih telur dan semakin
tinggi suhu pengeringan menghasilkan kadar
protein yang semakin tinggi. Hal ini dikarenakan
adanya protein yang terkandung dalam putih telur
berpengaruh pada peningkatan kadar protein
tepung air rebusan kacang kedelai. Ovomucin
adalah salah satu jenis protein yang terdapat dalam
putih telur bersifat menstabilkan busa, dan apabila
ovomucin yang ada dalam jumlah cukup besar,
maka busa yang terbentuk bersifat stabil dan tahan
terhadap koagulasi. Kandungan putih telur seperti
phosphitin, ovomucoid dan conalbumin yang
berkaitan dengan ion besi dengan ion alumunium
bersifat tahan terhadap pemanasan. Bagian
khalaza yang banyak mengandung mucin juga
tahan pemanasan dan tidak mudah terkoagulasi
(Belitz and Grosch, 1999).
Semakin tinggi suhu pengeringan yang
digunakan menyebabkan penguapan air dari dalam
bahan semakin besar. Sesuai pernyataan Chasanah
(1991), bahwa dengan mengurangi kadar air,
bahan pangan akan mengandung senyawa-
senyawa seperti protein, karbohidrat, lemak, dan
mineral dalam konsentrasi yang lebih tinggi, tetapi
umumnya kandungan vitamin pada bahan tersebut
akan berkurang.
Hasil Uji Hedonik Terhadap Warna
Berdasarkan hasil perhitungan ANAVA,
menunjukan bahwa suhu pengeringan
berpengaruh terhadap warna tepung air rebusan
kacang kedelai namun konsentrasi putih telur dan
interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap
warna tepung air rebusan kacang kedelai.
Hasil Uji Lanjut Duncan pada interaksi
konsentrasi putih telur dan suhu pengeringan
terhadap rendemen dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Pengaruh Konsentrasi Putih Telur dan Suhu Pengeringan Terhadap Warna (Score Unit) Tepung Air
Rebusan Kacang Kedelai.
Suhu Pengeringan
(B)
Nilai Rata-rata
Warna
b1 (40 oC) 2,45 a
b2 (50 oC) 2,34 b
b3 (60 oC) 2,15 c
Keterangan : Setiap huruf yang berbeda menunjukan adanya perbedaan yang nyata pada taraf 5%.
Berdasarkan tabel 6, semakin tinggi suhu
yang digunakan, respon panelis terhadap warna
tepung air rebusan kacang kedelai semakin kurang
disukai namun semakin tinggi konsentrasi putih
telur dan interaksi antara kedua faktor tidak
berpengaruh. Hal ini dikarenakan pada saat
pemanasan terjadi reaksi maillard antara glukosa
dan asam amino pada tepung yang menyebabkan
pembentukan warna coklat yang kurang diminati
oleh panelis. Menurut Sugiyono (2004) pada tahun
1912 Maillard melaporkan bahwa apabila
campuran asam amino dan gula dipanaskan akan
membentuk warna coklat. Semenjak itulah reaksi
Maillard dijadikan panutan pada percobaan-
percobaan berikutnya tentang proses pencoklatan
nonensimatis dalam bahan makanan. Tahapan
reaksi Maillard melalui lima tahapan, yaitu
kondensasi karbonil amino, perubahan Amadori,
Page 10
Artikel Tepung dari Air Rebusan Kacang Kedelai
9
pembentukan pigmen, degradasi Strecker, dan
polimerisasi.
Panelis memberikan penilaian kesukaan
lebih tinggi terhadap tepung dengan suhu
pengeringan 40 oC karena tepung dengan
perlakuan tersebut menghasilkan warna putih yang
paling bersih, pucat, menarik dan mirip dengan
warna tepung di pasaran dibandingkan dengan
perlakuan yang lain
Warna bahan bukan merupakan suatu zat
atau benda melainkan sensasi seseorang oleh
karena adanya rangsangan dari seberkas energi
radiasi yang jatuh ke indera mata atau retina mata.
Timbulnya warna dibatasi oleh faktor terhadap
sumber sinar. Pengaruh tersebut terlihat apabila
suatu bahan dilihat ditempat yang suram dan
ditempat yang gelap, akan memberikan perbedaan
warna yang mencolok (Kartika, dkk, 1988).
Hasil Uji Hedonik Terhadap Tekstur
Berdasarkan hasil perhitungan ANAVA,
menunjukan bahwa konsentrasi putih telur, suhu
pengeringan dan interaksi keduanya tidak
berpengaruh terhadap tekstur tepung air rebusan
kacang kedelai.
Penginderaan tentang tekstur yang berasal
dari sentuhan dapat ditangkap oleh seluruh
permukaan kulit. Tetapi biasanya jika orang ingin
menilai tekstur suatu bahan digunakan ujung jari
tangan. Biasanya bahan yang dinilai itu diletakkan
di antara permukaan dalam ibu jari, telunjuk, jari
tengah, atau kadang-kadang dengan jari manis.
Penilaian biasanya dilakukan dengan menggosok-
gosokkan jari-jari itu dengan bahan yang dinilai di
antara kedua jari. Macam-macam penginderaan
tekstur yang juga dapat dinilai dengan ujung jari
meliputi; kebasahan (juiciness), kering, keras,
halus, kasar, dan berminyak (Soekarto, 1985)
Hasil Uji Hedonik Terhadap Aroma
Berdasarkan hasil perhitungan ANAVA,
menunjukan bahwa konsentrasi putih telur, suhu
pengeringan dan interaksi keduanya tidak
berpengaruh terhadap aroma tepung air rebusan
kacang kedelai.
Bau-bauan baru dapat dikenali bila
berbentuk uap, dan molekul-molekul komponen
bau tersebut harus sepmat menyentuh silia sel
olfaktori dan diteruskan ke otak dalam bentuk
impuls listrik oleh ujung-ujung syaraf olfaktori.
Kadar yang dapat ditangkap ternyata sangat
rendah, misalnya untuk vanillin cukup pada
konsentrasi 2 x 10-10 miligram per liter udara.
Diperkirakan setiap kali bernafas, kita hanya
menghirup sepersepuluh udara dan hanya dua
persen saja yang menyentuh daerah olfaktori
(Winarno, 1997).
Menurut Kartika, dkk (1988) aroma yang
khas dan biasa dirasakan oleh indera penciuman
tergantung pada penyusun dan bahan yang
ditambahkan pada makanan tersebut. Sedangkan
penilaian terhadap aroma dipengaruhi oleh faktor
psikis dan fisiologi yang memberikan pendapat
berlainan. Aroma merupakan salah satu faktor
penting bagi konsumen dalam memilih produk
pangan yang paling disukai. Aroma bahan
makanan merupakan suatu komponen tertentu
yang mempunyai beberapa fungsi dalam makanan
yaitu, bersifat memperbaiki dan membuat dapat
diterima (Winarno, 1997).
Hasil Uji Hedonik Terhadap Rasa Sirup
Berdasarkan hasil perhitungan ANAVA
menunjukan bahwa perbandingan sari buah naga
merah dengan sari buah salak Bongkok (S), jenis
penstabil (P) dan interaksi keduanya (SP) tidak
berpengaruh nyata terhadap rasa sirup buah.
Rasa yang dominan pada sirup dari
campuran sari buah naga merah dengan sari buah
salak Bongkok yaitu rasa manis dari gula, karena
penambahan gula dalam konsentrasi tinggi yaitu
65%, sehingga menutupi rasa asam dari sari buah
salak Bongkok. Menurut Fitriyono (2010)
menyatakan bahwa sukrosa merupakan senyawa
kimia yang memiliki rasa manis, berwarna putih
dan larut dalam air. Fungsi utama sukrosa sebagai
pemanis mengandung peranan yang penting
karena dapat meningkatkan penerimaan rasa dari
suatu makanan atau minuman.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan
perebusan selama 90 menit menghasilkan
kadar protein tertinggi yakni 2,63%,
sedangkan kadar protein terendah yakni 0,74%
diperoleh dengan waktu perebusan 30 menit.
2. Faktor (A) yaitu konsentrasi putih telur,
berpengaruh terhadap kadar protein, dan
rendemen tepung air rebusan kacang kedelai.
Tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar air,
warna, tekstur dan aroma tepung air rebusan
kacang kedelai.
Page 11
Artikel Tepung dari Air Rebusan Kacang Kedelai
10
3. Faktor (B) yaitu suhu pengeringan tepung,
berpengaruh terhadap kadar protein, kadar air,
rendemen, dan warna tepung air rebusan
kacang kedelai. Tetapi tidak berpengaruh
terhadap tekstur dan aroma tepung air rebusan
kacang kedelai.
4. Interaksi konsentrasi putih telur dan suhu
pengeringan tepung (AB), berpengaruh
terhadap kadar protein dan rendemen. Tetapi
tidak berpengaruh terhadap kadar air, warna,
tekstur dan aroma tepung air rebusan kacang
kedelai.
5. Sampel terbaik terdapat pada perlakuan a3b2
yaitu sampel dengan konsentrasi putih telur
15% dan suhu pengeringan 50oC, dengan
kadar protein 40,51 %, kadar air 7,69 %, dan
rendemen 6,58 %.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai kualitas mikrobiologi dari tepung air
rebusan kacang kedelai
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait
potensi substitusi tepung air rebusan kacang
kedelai dengan tepung terigu atau tepung
sejenis guna meningkatkan kadar protein
tepung tersebut.
Page 12
Artikel Tepung dari Air Rebusan Kacang Kedelai
DAFTAR PUSTAKA
AAK, 1993. Teknik Bercocok Tanam Jagung.
Yogyakarta : Kanisius.
Amelia, Verona., Kristanti, Berry., dan Djaeni,
Moch. 2013. Pengaruh Kondisi Operasi
pada proses Pengeringan Karagenan
dengan Foam. Semarang : UNDIP.
Banadib A, Khoiruman. 2009. Optimasi
Pengeringan Pada Pembuatan
Karagenan Dengan Proses Ekstraksi
Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii.
Semarang : UNDIP.
Belitz, H.D. dan W. Grosch. 1999. Food
Chemistry. 2nd Ed, Berlin : Springer.
Billah, Tasim. 2014. Buletin Konsumsi Pangan
Volume 5 Nomor 2. Jakarta : Pusat Data
dan Sistem Informasi Pertanian.
Buchori, Luqman., Djaeni, Mohamad., dan Laeli
Kurniasari. 2013. Upaya Peningkatan
Mutu dan Efisiensi Proses Pengeringan
Jagung dengan Mixed-Adsorption
Dryer. Semarang : UNDIP.
Buckle, J.F., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M.
Wooton, (1987). Ilmu Pangan.
Penerjemah hari Purnomo dan Adiono.
Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Chasanah, E. 1991. Fermented Product From
Mackerel Scomber Scombrus. Rhode
Island : University of Rhode Island.
DeMan, J.M. 1997. Kimia Makanan. Bandung :
ITB.
Depkes RI. 1989. Materia Medika Indonesia.
Jilid V. Jakarta : Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat Dan Makanan.
Desroir, Norman. 1988. Unit ProcessingOrganic
Synthesis Fifth Edition. New York :
McGraw-Hill Book Company.
Direktorat Gizi Depkes R.I 1981. Dalam: Daftar
Komposisi Bahan Makanan. Jakarta :
Bhratara Karya Aksara.
Estiasih, Teti dan Sofia, Evi. 2009. Stabilitas
Antioksidan Bubuk Keluwak
(Pangium Edule Reinw.) Selama
Pengeringan dan Pemasakan. Malang :
Universitas Brawijaya.
Faraias, M. A., dan Ratti C. 2008. Advance in
Food Dehydration. Boca Raton, USA :
CRC Press.
Fellows, P. 2000. Food Processing Tecnology
Second Edition. Cambridge, England :
Woodhead Publishing Limited.
Ganz, A. J., 1977. Cellulose Hydrocolloids, di
dalam H. D., Graham (ed). Food
Colloids. Westport. Connecticut. : The
AVI Publ. Co. Inc..
Gasperez, Vincent. 1995. Teknik Analisis dalam
Penelitian Percobaan, Jilid I. Bandung :
Tarsito.
Glicksman, M., 1969.Gurns di dalam Furia
TE.CRC Handbook of Food Additives.
Florida : CRC Press.
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan
Hasil Perikanan. Yogyakarta : Liberty.
Hikma, Nur., Alwi, Muhammad., dan Umrah.
2014. Potensi Limbah Cair Tempe
Secara Mikrobiologis Sebagai
Alternatif Penghasil Biogas. Kota Palu :
Perpustakaan Universitas Tadulako.
Histifarina dan Sinaga. 2004. Teknik
Pengeringan dalam Oven untuk Irisan
Wortel Kering Bermutu Jurnal
Volume 14. Lembang : Balai Penelitian
Tanaman dan Sayuran Lembang.
Horwitz, William 2005. Official Methods of
Analysis of AOAC International.
Maryland, USA : AOAC International
Suite 500.
Imeson, A. 1999. Food Stabilisers, Thickeners
and Geliing Agents. Oxford : John
Wiley& Sons Ltd.
Joe, Wulan. 2011. 101++ Keajaiban Khasiat
Kedelai. Yogyakarta : ANDI.
Kandasamy, P., Varadharaju, N., Kaemullah, S.,
dan Moitra, Narabir. 2012. Preparation
of Papaya Powder under Foam Mat
Drying Technique using Egg Albuminas
Foaming Agent. Tamil Nadu, India :
Tamil Nadu Agricultural.
Karim, A.A., dan Wai, C.C. 1999. Foam Mat
Grying of Starfruit Puree, Stability and
Page 13
Artikel Tepung dari Air Rebusan Kacang Kedelai
Air Drying Characteristic. Malaysia :
Universiti Sains Malaysia.
Kartika, B. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan
Pangan. Yogyakarta: Pusat antar
Universitas Pangan dan Gizi UGM
Kisman, S., 1986. Bahan Tambahan Pangan
(Food Additive). Bandung : Teknologi
Pangan Universitas Pasundan.
Kobayashi, K& A. Ogoshi. 1997. Influence of the
soybean cystnematode (Heterodera
glycines) on the incidence of brown stem
rot in soybean and adzuki bean. Soil
Biol. Biochem
Koswara, S. 1995. Teknologi Pengolahan
Kedelai. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Koswara, S., 2009. Teknologi Pengolahan
Jagung. http://eBookPangan.com.
diakses: 28 April 2015.
Kurtini, T., K. Nova., dan D. Septinova. 2011.
Produksi Ternak Unggas. Bandar
Lampung : Universitas Lampung.
Labuza, T.P., Uzzan, M., dan Leinen, K. M. 2004.
Themperature Profile within a Double-
Pipe Heat Exchanger with
Countercurrent Turbulent Flow of
Newtonian Fluids : Derivation,
Validation, and Aplication to Food
Processing. Minnesota : Dept. of Food
Science and Nutrition University of
Minnesota.
Lastriningsih. 1997. Mempelajari Pembuatan
Bubuk Konsentrat Kunyit (Curcuma
domestica Val) dengan Menggunakan
Pengering Semprot. Bogor : IPB.
LIPI. 2000. Widyakarya Nasional Pangan dan
Gizi VII. Bandung : LIPI.
Moehji, S. 1982. Ilmu Gizi. Jilid 1. Jakarta :
Bhratara Karya Aksara.
Mualifah, Ofi Nur., dan Puspitasari, Ratih. 2010.
Sistem Pengeringan Adsorpsi dengan
Zeolit (Parzel) Sebagai Upaya
Peningkatan Mutu Karagenan.
Semarang : UNDIP.
Nakai, S., dan Modler, H.W. 1999. Food Protein
Processing Aplication. London : Wiley.
VHC.
Nasrullah, M. 2011. Kajian Jenis Buah dan
Penstabil Terhadap Karakteristik
Susu Kedelai Campuran Buah.
Bandung : Program Studi Teknologi
Pangan. Unpas.
Nuryati, Leli., Waryanto, Budi., Noviati., dan
Widaningsih, Roch. 2015. Outlook
Komoditas Pertanian Subsektor
Tanaman Pangan Kedelai. Jakarta :
Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian Kementrian Pertanian 2015.
Okos, M. R., Campanella, O., Narsimhan, G., Sing
R. K., dan Weitnauer, A. C. 2006.
Handbook of Food Enginering. Boca
Raton, USA : CRC Press.
Pagarra, Halifah. 2011. Pengaruh Lama
Perebusan Terhadap Kadar Protein
Tempe Kacang Tunggak (Vigna
Unguiculata). Makasar : Universitas
Negeri Makasar
Pathak, D.K. and Shukla, S.D. 1978. A Review on
Sunflower Pectin. India : Indian Food
Packerm
Pereira, Isaac. 2009. Analisis Rendemen Bahan
Makanan. Malang : Universitas
Tribhuwana Tunggadewi
Potter W. dan N. Norman. 1986. Food Science.
The AVI Publishing Co, Inc.
Pulungan, M. H., SayektiEka Nefiana, Soemarjo.
2003. Pembuatan Minuman Instan
Kunyit Sinom Kajian dari Proporsi
Putih Telur dan Dextrin yang
ditambahkan serta Kelayakan
Finansialnya. Yogyakarta : Prosiding
Seminar Nasional dan Pertemuan Ilmiah
Himpunan Ahli Teknologi Pangan
Indonesua (PATPI)
Rackis, J. J.; Honig, D.H.; Sessa, D.J.; and
Steggerda, F.R. 1970. Flavor and
F1atulence Factors in Soybean Protein
Products. USA : Journal Agricultural
Food Chemistry.
Rackis, J.J., dan Sessa, D.J. 1977. Lipid Derived
Flavours of Legume Protein Product.
USA : Journal of Food Agricultural and
Food Chemistry.
Page 14
Artikel Tepung dari Air Rebusan Kacang Kedelai
Roberts, J. R. 2004. Factors Affecting Eggs
Internal Quality in Laying Hens. Rev. J.
Poul. Sci. 41: 161-177.
Rukmana, R. dan Yuniarsih, Yuyun. 1996.
Kedelai Budidaya dan pascapanen.
Yogyakarta : Kanisius.
Sarwono. 2005. Membuat Tempe dan Oncom.
Cetakan 29. Jakarta : Penebar Swadaya.
Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan
dan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor
: Institut Pertanian Bogor.
Soekarto. 1985. Penilaian Organoleptik untuk
Industri Pangan dan Hasil Pertnian.
Pusat Pengembangan Teknologi
Pangan. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Soemaatmadja, D. 1964.Kemungkinan Kedelai
Sebagai Bahan Industri. Hasil Rapat
Kerja Kedelai. Jakarta : Departemen
Pertanian RI.
Stadelman, W. J. and O. J. Cotteril. 1995. Egg
Science and Technology. 4 th Edition.
Food Products. New York : An Imprint of
the Haworth Press. Inc.
Standar Nasional Indonesia.2006. Susu Kedelai
(SNI 01-3830-2006). Jakarta : BSN.
Sudarmadji.1984. Prosedur Analisa untuk
Bahan Makanan dan Pertanian.
Yogyakarta : Penerbit Liberty.
Sugiyono.2004. Kimia Pangan. Yogyakarta :
Universitas Negeri Yogyakarta.
Suhardjo., Clara, M., dan Kusharto. 1992.
Prinsip-Prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta :
Penerbit Kanisius.
Sumarno.1991. Kebijakan Penelitian Bagi
pengembangan Produksi
Kedelai.Seminar dan Workshop
Pengembangan Produksi Kedelai
Puslitbang. Bogor : Tanaman Pangan dan
PAU Bioteknologi IPB.
Suryana. 2010. Metodologi Penelitian Model
Praktis Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif. Bandung : Universitas
Pendidikan Indonesia.
Syamsudin, S. 1985. Budidaya Sayuran Kacang-
kacangan. Bandung : Pustaka Buana.
Taufiq, Muchamad. 2004. Pengaruh Temperatur
Terhadap laju Pengeringan Jagung
pada Pengering Konvensional dan
Fluidized Bed. Surakarta : Universitas
Sebelas Maret.
V. Barbosa, Gustavo. 2007. Handbook of Food
Preservation Second Edition. Boca
Raton, USA : CRC Press.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Wolf & Cowan. 1971. Soybeans as Food Source.
Florida : CRC Press.U.S.Departement of
Agriculture.
Wolf, W., J. 1975. Chemistry and Technology of
Soybeans. USA : U.S Department of
Agriculture.
Wulan. 2014. Analisis Kandungan Limbah Cair
Pabrik Tempe. Semarang : UNDIP.
Yui, Y.H. 2007. Handbook of Food Products
Manufacturing. New Jersey, Canada :
John Wiley and Son Inc.
Yuniarti, Desy Windia., Sulistiyati, Titik Dwi.,
dan Suprayitno H Eddy. 2013. Pengaruh
Suhu Pengeringan Vakum Terhadap
Kualitas Serbuk Albumin Ikan Gabus.
Malang : Universitas Brawijaya