1 ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI (STUDI PUTUSAN NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh MEGAFURY APRIANDHINI NIM E 1106149 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
120
Embed
ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH …/Analisis... · Kata kunci: peninjauan kembali, putusan, yurisprudensi. 6 KATA PENGANTAR ... Pengatu ran Tentang Peninjauan Kembali
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG
DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN
PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM
PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI
(STUDI PUTUSAN NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
MEGAFURY APRIANDHINI
NIM E 1106149
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
ANALISIS KEWENANGAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI
OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DITINJAU DARI ASAS KEPASTIAN
HUKUM DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
ACARA PIDANA
(SEBUAH TELAAH PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 12
PK/PID.SUS/2009 DALAM KASUS BANK BALI)
Oleh
MEGAFURY APRIANDHINI
NIM. E1106149
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Aku bersyukur karena Skripsi ini adalah sesuatu yang sangat
menyenangkan untuk dikerjakan dan ku pelajari keindahan-keindahan dalam setiap prosesnya
sehingga dapat terselesaikan dengan mudah dan lancar. Sungguh benar bahwa ALLAH memberikan apa yang benar-benar dibutuhkan
oleh hambaNya dan tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Segala sesuatunya melebihi dari apa yang aku harapkan.
5
ABSTRAK
MEGAFURY APRIANDHINI, E.1106149, ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI (STUDI PUTUSAN NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian Hukum ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hakim Mahkamah Agung untuk menemukan hukum dalam memeriksa dan memutus terhadap pengajuan peninjauan kembali perkara korupsi BLBI Bank Bali. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : jenis penelitian normatif, metode penelitian kualitatif, pendekatan studi kasus, sifat penelitian deskriptif dan analitis, jenis data yang digunakan adalah data sekunder, sumber data adalah sumber data sekunder yang masih relevan dengan permasalahan yaitu bahan hukum primer (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009), bahan hukum sekunder (buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, karya ilmiah, koran, makalah, dan majalah), dan bahan hukum tersier (kamus dan internet), teknik pengumpulan data deduksi sosiologisme. Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan, Bentuk penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Agung dalam pemeriksaan perkara peninjauan kembali kasus korupsi bank Bali dengan terpidana Djoko S. Tjandra adalah dalam manafsirkan Pasal Pasal 263 ayat (1) KUHAP bahwa peninjauan kembali adalah upaya hukum yang hanya diperuntukkan terpidana dan ahli warisnya dan dengan tidak adanya larangan jaksa penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali maka diartikan dapat mengajukan permohonan. Perbedaan penafsiran lain oleh hakim Mahkamah Agung dan berdasarkan yurisprudensi putusan sebelumnya adalah tidak sesuai dengan kepastian hukum di Indonesia.
Kata kunci: peninjauan kembali, putusan, yurisprudensi.
6
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
berkah, rahmat dan hidayah serta kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan judul : ANALISIS YURIDIS
PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM
MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN
PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM
PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI (STUDI PUTUSAN NOMOR 12
PK/PID.SUS/2009)
Penulisan hukum ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas serta untuk
memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tidaklah berlebihan bahwa
penulisan hukum ini penulis kerjakan dengan ketekunan dan telah mencurahkan
segala kemampuan yang ada, namun karya ilmiah ini sangat sederhana dan
mungkin masih banyak kekurangan-kekurangan. Untuk itu penulis mohon maaf
apabila dalam penulisan hukum ini banyak kekurangan serta penulis mohon saran
dan kritk yang membangun dari pembaca sekalian.
Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis menyadari bahwa untuk
terselesaikannya penulisan hukum ini, banyak pihak-pihak yang telah
memberikan bantuan yang berupa bimbingan, saran-saran, nasehat-nasehat,
fasilitas, serta dukungan moril maupun materiil. Oleh karena itu dalam
kesempatan yang baik ini dengan segala kerendahan hati, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak sebagai berikut :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
UNS yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk
menyelesaikan penulisan hukum ini.
2. Bapak Edi Herdyanto, S.H., M.H., selaku pembimbing penulisan hukum
yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya dengan sabar untuk
memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya penulisan hukum ini.
tagihan berikut instrumennya mengikat dan berlaku sebagai
undang-undang (pacta sunt servanda) bagi PT. Bank Bali,Tbk dan
PT. Era Giat Prima".
Tanggapan Jaksa Penuntut Umum:
Ad.1. Mengenai transaksi PT.BDNI dengan PT.Bank Bali Tbk.
Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut adalah keliru dan
merupakan kekhilafan yang nyata karena hanya mempertimbangkan
verifikasi on site yang dilaksanakan hanya terhadap PT. Bank
Bali,Tbk ( Bank kreditur) tanpa melakukan verifikasi on site terhadap
PT. BDNI (Bank Debitur), seharusnya verifikasi on site dilakukan
terhadap bank kreditur dan bank debitur;
Berdasarkan rapat antara Direksi Bank Indonesia dan BPPN (Risalah
Rapat Direksi Nomor: 31.00.08 tanggal 24 September 1998),
ditentukan bahwa dalam proses penjaminan yaitu dari klaim yang
masuk akan dilakukan verifikasi oleh Bank Indonesia kemudian
apabila klaim tersebut dapat diterima maka akan diberitahukan
kepada BPPN untuk mendapatkan otorisasi pembayaran;
Bahwa rekonsiliasi antara PT. Bank Bali dan PT. BDNI yang
dilakukan oleh BPPN bukanlah dalam pengertian verifikasi on site
seperti yang dimaksud dalam program penjaminan ini, sehingga
seharusnya BPPN tidak perlu membayar klaim PT. Bank Bali,Tbk
tersebut;
Bahwa yang dimaksud oleh verifikasi on site adalah melakukan
penelitian terhadap saldo giro bank, fasilitas over draft, BLBI yang
diterima dari Bank Indonesia yang dilakukan terhadap bank debitur;
Apabila verifikasi on site tersebut dilakukan juga terhadap PT. BDNI
maka akan diketahui bahwa kondisi keuangan PT. BDNI dalam
keadaan over draft, sehingga sebenarnya transaksi (8 transaksi SWAP
68
dan 2 transaksi money market) antara PT. BDNI dengan PT. Bank
Bali, Tbk sudah melanggar prinsip kehati-hatian bank (prudential
principle) sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 jo pasal 29 ayat (2)
Undang - Undang Nomor : 7 Tahun 1992 yang diubah dengan
Undang Undang Nomor : 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;
Sesuai dengan "prinsip kehati-hatian" dalam usaha perbankan
seharusnya PT. BDNI dalam menjalankan usahanya seharusnya
memperhatikan rambu-rambu kesehatan bank dalam rangka
pengendalian risiko. Prinsip kehati-hatian seperti yang ditentukan di
dalam pasal 2 Undang-Undang Perbankan dijabarkan di dalam
patokan-patokan yang bersifat operasional. Salah satu rambu prinsip
kehati-hatian adalah Giro Wajib Minimum di mana diatur di dalam
Surat Keputusan Direksi BI Nomor : 30/89A/KEP/DIR tanggal 30
Oktober 1997. Prosentase Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia
dalam rupiah ditetapkan sebesar 5% dari dana pihak ketiga dalam
rupiah;
Berdasarkan data dari Bank Indonesia saldo giro PT. BDNI yang ada
di Bank Indonesia pada tanggal 27 November 1997 telah over draft
sebesar Rp.1.715.690.000.000,- dan pada tanggal 30 Desember 1997
telah over draft sebesar Rp.8.463.711.000.000,-, dan hal ini pernah
dilakukan teguran oleh Bank Indonesia kepada PT. BDNI yaitu:
a. Nomor : 30/301/UPB2/AdB2 tanggal 3 November 1997. b. Nomor : 30/1742/UPB2/AdB2 tanggal 11 November 1997. c. Nomor : 30/2166/UPB2/AdB2 tanggal 2 Desember 1997. d. Nomor : 30/2540/UPB2/AdB2 tanggal 31 Desember 1997.
sehingga PT. BDNI tidak sepatutnya melakukan transaksi SWAP dan
money market dengan PT. Bank Bali.Tbk.
Ad.2 Tentang Program Penjaminan Pemerintah
Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut adalah merupakan
kekhilafan atau kekeliruan yang nyata, karena hanya menilai
kewajaran dari transaksi antara PT.Bank Bali,Tbk dengan PT.BDNI
69
namun Judex Juris tidak mempertimbangkan apakah transaksi
tersebut dijamin atau tidak dijamin.
Untuk menjadi transaksi yang dijamin oleh pemerintah, berdasarkan
pasal 2 ayat (2) KEPPRES Nomor : 26 Tahun 1998 tentang
Kewajiban Pembayaran Bank Umum yang menyatakan:
"Kewajiban pembayaran yang dijamin pemerintah meliputi kewajiban
dalam mata uang rupiah dan mata uang asing" Sedangkan menurut
Kep.Menkeu Nomor : 26/KMK.017/1998 tanggal 28 Januari 1998
kewajiban bank yang dijamin oleh pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam pasal 1 yaitu:
"Kewajiban yang dijamin oleh pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam KEPPRES Nomor 26 Tahun 1998 meliputi seluruh kewajiban
pembayaran dari bank umum, baik dalam mata uang rupiah maupun
dalam mata uang asing yang timbul sebelum, pada atau sesudah hari
pertama dari jangka waktu berlaku dan jatuh tempo pada atau
sebelum hari terakhir dari jangka waktu berlaku termasuk tetapi tidak
terbatas pada giro, tabungan, deposito berjangka dan deposito on call,
obligasi, surat berharga, pinjaman antar bank, pinjaman yang
diterima, SWAPS/hedgesfuture, derivatives dan kewajiban-kewajiban
kontinjen (off balance sheet) lainnya, seperti bank garansi, standby
letter of credit, performance bonds dan kewajiban-kewajiban yang
sejenis selain yang dikecualikan dalam keputusan ini".
Sedangkan kewajiban bank umum yang tidak dijamin diatur dalam
pasal 4 huruf e juga menyebutkan:
"Pemerintah tidak menjamin pembayaran Kewajiban-kewajiban yang
diperoleh dengan cara yang bertentangan dengan praktek-praktek
perbankan yang sehat atau kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh
kreditur yang tidak beritikad baik".
Bahwa berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan SKB I tanggal 6 Maret
1998 dan Petunjuk Pelaksanaan SKB II tanggal 14 Mei 1999,
disebutkan bahwa kewajiban-kewajiban bank umum yang dijamin
70
adalah seperti yang disebutkan di dalam KEPPRES Nomor : 26
Tahun 1998 dan Kep. Menkeu Nomor : 26/KMK.017/1998 tanggal 28
Januari 1998, sedangkan tentang jenis-jenis kewajiban bank yang
tidak dijamin antara lain disebutkan:
"Kewajiban-kewajiban yang diperoleh dengan cara yang bertentangan
dengan praktek-praktek perbankan yang sehat atau kewajiban-
kewajiban yang oleh kreditur yang tidak beritikad baik".,
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas transaksi SWAP
maupun money market yang dilakukan antara PT. BDNI dan PT.
Bank Bali,Tbk yaitu:
a. Transaksi SWAP tanggal 1 Desember 1997 sebesar
Rp.64.754.250.000,- jatuh tempo tanggal 2 Maret 1998.
b. Transaksi SWAP tanggal 3 Desember 1997 sebesar
Rp.48.060.000.000,- jatuh tempo tanggal 3 Maret 1998.
c. (3) Transaksi SWAP tanggal 12 Desember 1997 sebesar
Rp.51.600.000.000,- jatuh tempo tanggal 12 Maret 1998.
d. Transaksi SWAP tanggal - Desember 1997 sebesar
Rp.1.131.250.000,- jatuh tempo tanggal 16 Maret 1998.
e. Transaksi SWAP tanggal 15 Desember 1997 sebesar
Rp.81.225.000.000,- jatuh tempo tanggal 16 Maret 1998.
f. Transaksi Money market tanggal 2 Maret 1998 sebesar
Rp.66.139.271.458,- jatuh tempo tanggal 16 Maret 1998.
g. Transaksi SWAP tanggal 12 September 1997 sebesar
Rp.61.830.000.000,- jatuh tempo tanggal 24 Maret 1998.
h. Transaksi Money market tanggal 20 Mei 1998 sebesar
Rp.61.977.459.265,- jatuh tempo tanggal 12 Juni 1998.
i. Transaksi SWAP tanggal 5 Desember 1997 sebesar
US$40.000.000,- jatuh tempo tanggal 5 Juni 1998.
j. Transaksi SWAP tanggal 12 Desember 1997 sebesar
US$5.000.000,- jatuh tempo tanggal 12 Juni 1998.
71
bukan termasuk transaksi yang dijamin oleh pemerintah karena telah
melanggar prinsip kehati-hatian yaitu pada waktu melakukan
transaksi SWAP maupun money market PT. BDNI keadaan saldo giro
PT. BDNI yang ada di Bank Indonesia dalam keadaan over
draft/saldo debet sejak 15 Oktober 1997 serta CAR kurang dari 5%.
Dengan kondisi demikian seharusnya PT. BDNI tidak melakukan
transaksi SWAP dan money market sebagaimana diatur dalam Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor : 30/266/KEP/DIR tanggal
27 Pebruari 1998 tentang Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian yang
Menyangkut Kewajiban Antar Bank, Pengambilalihan Tagihan Suku
Bunga Simpanan dan Penyedia Dana, pasal 2 ayat (1) jo pasal 9 huruf
a, b dan c jo pasal 11, yaitu,
pasal 2 ayat (1):
"Bank dalam menerima kewajiban antar bank dari bank lain wajib
dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan memenuhi batasan yang
ditetapkan".
pasal 9:
"Bank dapat menetapkan sendiri pertumbuhan penyediaan dana
dengan ketentuan:
Pasal 9 huruf a:
"Telah mempertimbangkan aspek kehati-hatian dan semua risiko
usaha dan"
Pasal 9 huruf b:
"Memenuhi ketentuan kehati-hatian yang meliputi Rasio Modal
(CAR), Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan tidak
mempunyai kewajiban kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) dan"
Pasal 9 huruf c:
"Tidak terdapat pelanggaran kewajiban antar bank sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2"
72
Bahwa PT. Bank Bali sebelum melakukan transaksi SWAP dan
money market dengan PT. BDNI seharusnya menerapkan prinsip
kehati-hatian dengan indikator awal antara lain berupa Capital
Adequate Ratio (Rasio Kecukupan Modal) dan Giro Wajib Minimum
PT. BDNI pada Bank Indonesia seperti yang diatur dalam Surat
Keputusan Direksi BI Nomor : 30/89A/KEP/DIR tanggal 30 Oktober
1997, di mana disebutkan:
"Prosentase Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia dalam rupiah
ditetapkan sebesar 5% dari dana pihak ketiga dalam rupiah.
Sedangkan Giro Wajib Minimum dalam valuta asing adalah 396 dari
dana pihak ketiga dalam valuta asing".
Oleh karena transaksi antara PT. BDNI dengan PT. Bank Bali
tersebut dilakukan pada saat saldo giro PT. BDNI pada Bank
Indonesia dalam keadaan over draft berarti telah melewati batas
minimum Saldo Giro Wajib pada Bank Indonesia sebesar 5%.
Dengan demikian transaksi tersebut telah melanggar prinsip kehati-
hatian bank dan bertentangan dengan praktek-praktek perbankan yang
sehat sehingga transaksi tersebut tidak dijamin sebagaimana diatur
dalam program penjaminan oleh pemerintah (vide pasal 4 huruf e
Kep. Menkeu Nomor : 26/KMK.017/1998
tanggal 28 Januari 1998 dan SKB I Nomor : 30/270/KBP/DIR
1/BPPN/1998
tanggal 6 Maret 1998 serta SKB II Nomor : 32/46/KEP/DIR
181/BPPN/0599
tanggal 14 Mei 1998).
Bahwa di samping itu pada SKB I Nomor : 30/270/KEP/DIR
1/BPPN/1998
tanggal 6 Maret 1998 diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan Pemberian
Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum
pada angka "II" poin 3 huruf b nomor 2) disebutkan bahwa :
73
"pendaftaran dimaksud dilakukan oleh bank yang bersangkutan
kepada BPPN dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 (enam
puluh) hari sejak timbulnya kewajiban tersebut bagi kewajiban yang
ada setelah Surat Keputusan Bersama di atas";
Sedangkan pada angka "IV" Tata Cara Pengajuan Klaim dan
Pembayaran Jaminan dalam poin 1 huruf b disebutkan bahwa:
"Dalam hal Bank memperkirakan tidak akan mampu membayar, bank
yang bersangkutan akan memberitahukan kepada BPPN sesuai
dengan contoh pada lampiran 6, yang harus disampaikan selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari kerja sebelum kewajiban tersebut jatuh
tempo".
Dari fakta yang ada PT. BDNI mengajukan klaim kepada BPPN
dengan alamat Bank Indonesia baru diajukan pada tanggal 23 Juni
1998 (sebanyak 7 (tujuh) surat klaim) dan 20 Juli 1998, begitu pula
PT. Bank Bali mengajukan klaim transaksi tersebut kepada BPPN
pada tanggal 10 Maret 1998, 3 Juni 1998, 8 Juni 1998, 19 Juni 1998,
6 Agustus 1998, 28 September 1998, 5 Oktober 1998, 21 Oktober
1998, 23 Desember 1998 dan terakhir tanggal 12 Pebruari 1999.
Dengan demikian pengajuan klaim baik oleh PT. BDNI (sebagai
debitur) dan PT. Bank Bali (sebagai kreditur) secara administrasi
telah melewati batas waktu yang ditentukan di dalam SKB I Nomor
30/270/KEP/DIR
1/BPPN/1998
tanggal 6 Maret 1998, sehingga permohonan klaim tersebut ditolak
oleh Bank Indonesia dengan suratnya yang ditujukan kepada Tim
Pemberesan PT.BDNI (BBO) dengan tembusan antara lain ketua
BPPN dan Direksi PT.Bank Bali,Tbk dengan surat Nomor:
a. Nomor : 31/632/UPPB/AdB tanggal 23 September 1998 perihal
klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
b. Nomor : 31/635/UPPB/AdB tanggal 24 September 1998 perihal
klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
74
c. Nomor : 31/653/UPPB/AdB tanggal 28 September 1998 perihal
klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
d. Nomor : 31/697/UPPB/AdB tanggal 5 Oktober 1998 perihal
klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
e. Nomor : 31/713/UPPB/AdB tanggal 13 Oktober 1998 perihal
klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
f. Nomor : 31/738/UPPB/AdB tanggal 16 Oktober 1998 perihal
klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
g. Nomor : 31/775/UPPB/AdB tanggal 20 Oktober 1998 perihal
klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
Dari uraian tersebut di atas, klaim PT. Bank Bali,Tbk kepada BPPN
dan Bank Indonesia baik secara administrasi (pendaftaran transaksi
dan klaim terlambat diajukan) maupun secara substansi/materi yaitu
transaksi tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian bank adalah
transaksi yang tidak termasuk dalam program penjaminan pemerintah.
Ad.3 Tentang Perjanjian Pengalihan/Cessie
Bahwa pertimbangan Judex Juris yang mengatakan bahwa cessie
adalah mengikat dan berlaku sebagai undang-undang antara PT. Era
Giat Prima dan PT. Bank Bali,Tbk adalah merupakan kekeliruan
karena tidak mempertimbangkan pasal-pasal lain dalam KUHPerdata
yang berkaitan dengan sah atau tidaknya Cessie tersebut.
Dalam KUHPerdata Cessie diatur antara lain dalam Buku II pasal 613
KUH Perdata yang menyebutkan :
"Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak
bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta
otentik atau di bawah tangan dengan mana hak-hak atas kebendaan itu
dilimpahkan kepada orang lain.
Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya
melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau
secara tertulis disetujui atau diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang
75
karena surat atas bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu,
penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan
penyerahan surat disertai endosemennya".
Berdasarkan pasal 584 KUH Perdata disebutkan bahwa sahnya cessie
tergantung dari sahnya perjanjian obligatornya, berarti dalam
perjanjian cessie harus diikuti dengan penyerahan jaminan sebagai
kompensasi telah dialihkannya piutang tersebut. Bahwa perjanjian
obligator yang mendasari cessie disini adalah penyerahan (levering)
aset/surat-surat berharga dari PT. Era Giat Prima kepada PT. Bank
Bali untuk memenuhi prestasi atas pengalihan tagihan/cessie
sebagaimana yang diperjanjikan dalam surat perjanjian
No.002/P.EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999 antara JOKO
SOEGIARTO TJANDRA selaku direktur PT. Era Giat Prima dan
RUDY RAMLY selaku direktur PT. Bank Bali,Tbk dimana JOKO S.
TJANDRA membuat surat pernyataan No.002/SP.EGP/I-99 tanggal
11 Januari 1999 berjanji akan menyerahkan surat-surat berharga yang
diterbitkan oleh Bank Bali,Tbk dan bank-bank pemerintah atau
BUMN sebesar Rp. 798.091.770.000,- (tujuh ratus sembilan puluh
delapan milyar sembilan puluh satu juta tujuh ratus tujuh puluh ribu
rupiah) paling lambat pada tanggal 11 April 1999. Namun ternyata
JOKO SOEGIARTO TJANDRA selaku Direktur PT. Era Giat Prima
tidak pernah menyerahkan aset/surat berharga tersebut, dan dengan
surat pernyataan Nomor : 005/SP-EGP/IV-99 tanggal 12 April 1999,
penyerahan surat-surat berharga di atas diperpanjang menjadi paling
lambat tanggal 11 Juni 1999. Karena perjanjian obligatoir yang
mendasari cessie tersebut adalah tidak sah dan secara otomatis
perjanjian cessie tersebut adalah tidak sah.
Berdasarkan fakta di persidangan, bahwa PT. Era Giat Prima selaku
Cessionaris menguasakan kembali kepada PT. Bank Bali,Tbk untuk
mengajukan klaim kepada BPPN, dan hal yang demikian (dikuasakan
76
kembali kepada cedent/PT.Bank Bali) bertentangan dengan asas
kepatutan dan kelaziman.
Seperti pendapat Suharnoko,SH,MLI,dkk dalam bukunya "Doktrin
Subrogasi, Novasi dan Cessie" halaman 122-123
"bahwa terjadi keganjilan karena jika Bank Bali menerima
pembayaran dari debitornya atau dari BPPN maka tidak ada
kewajiban bagi Bank Bali untuk membayar kepada PT. Era Giat
Prima. Menurut pendapatnya tersebut jika PT. Era Giat Prima
kesulitan untuk menagih kepada BDNI, maka lebih baik dilakukan
retro cessie".
Bahwa yang dimaksud dengan retro cessie adalah "penyerahan hak
kembali" berdasarkan Kamus Hukum Yan Pramadya Puspa, penerbit
CV. Aneka Semarang, 1977, halaman 736;
Dari uraian di atas, bahwa cessie tersebut hanyalah pro forma
(sekedar untuk memenuhi tata cara/semu/pura-pura) dan itu
merupakan alat/modus untuk melakukan perbuatan melawan hukum
bagi JOKO SOEGIARTO TJANDRA untuk mendapatkan
keuntungan dari klaim PT. Bank Bali, Tbk terhadap PT. BDNI;
Judex Juris hanya mempertimbangkan kebenaran formil dari fakta-
fakta yang ada yaitu tentang keabsahan cessie, seharusnya dalam
persidangan perkara pidana Judex Juris harus mencari kebenaran
materiil, yaitu seperti yang telah kami uraikan di atas bahwa cessie
tersebut adalah pro forma dan merupakan alat/modus bagi JOKO
SOEGIARTO TJANDRA.
Ad.3 Tentang peranan terdakwa dalam pencairan klaim
Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut merupakan suatu
kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata karena hanya melihat
peran JOKO SOEGIARTO TJANDRA sebatas pembuatan Akta
Cessie, seharusnya juga mempertimbangkan peran JOKO
SOEGIARTO TJANDRA dalam memfasilitasi pertemuan antara
pejabat-pejabat moneter dalam membahas klaim PT. Bank Bali,Tbk
77
dan adanya perbuatan JOKO SOEGIARTO TJANDRA/PT.EGP yang
menguasakan kembali hak menagih kepada PT. Bank Bali.
Berdasarkan SKB I Nomor : 30/270/KEP/DIR tanggal 6 Maret
1/BPPN/1998
1998 PT. Bank Bali,Tbk pernah beberapa kali mengajukan klaim
kepada Bank Indonesia terhadap tagihan kepada PT. BDNI namun
ditolak dengan alasan bahwa klaim tersebut terlambat didaftarkan
maupun terlambat pengajuan klaimnya.
Atas dasar penolakan tersebut PT. Bank Bali,Tbk melakukan
pengalihan tagihan dengan memberikan cessie kepada JOKO
SOEGIARTO TJANDRA (PT. Era Giat Prima) untuk mencairkan
klaim terhadap PT. BDNI tersebut yang dilakukan pada tanggal 11
Januari 1999 dengan Cessie No.002/P.EGP/I/99. Setelah menerima
pengalihan tagihan (cessie) dari PT. Bank Bali,Tbk tersebut JOKO
SOEGIARTO TJANDRA mulai melakukan perbuatan-perbuatan
yang bertujuan agar klaim PT. Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI
tersebut dapat dicairkan oleh BPPN, diantaranya adalah
mempengaruhi pemegang otoritas moneter. Hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya beberapa kali pertemuan para pejabat pemegang
otoritas moneter (Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan BPPN)
dengan pihak PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI yang dilakukan di
kantor Menteri Keuangan, Hotel Mulia dan di rumah Menteri
Keuangan;
Bahwa klaim PT. Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI yang semula
selalu ditolak oleh Bank Indonesia, setelah pertemuan tanggal 11
Februari 1999 bertempat di Hotel Mulia yang diprakarsai dan
difasilitasi oleh JOKO SOEGIARTO TJANDRA yang dihadiri oleh
JOKO SOEGIARTO TJANDRA sendiri, AA. Baramuli, Tanri
Abeng, Syahril Sabirin, Pande Lubis, Firman Sutjahya dan Setya
Novanto untuk membahas klaim PT. Bank Bali,Tbk terhadap PT.
BDNI, kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan mencari jalan untuk
78
mengatasinya, PT. Bank Bali,Tbk mengajukan kembali klaim tersebut
kepada BPPN dengan surat Nomor : 012/CL.02/99 tanggal 12
Februari 1999 yang merupakan hasil pertemuan tanggal 11 Februari
1999 tersebut di atas. Kemudian seluruh proses pencairan klaim PT.
Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI tersebut oleh PANDE
NASORAHONA LUBIS yang mempunyai kewenangan untuk
memproses klaimnya, diproses hingga dapat dicairkan.
Selain tanggapan kami tersebut di atas, kami kemukakan doktrin-
doktrin mengenai unsur "melawan hukum" yaitu: Penjelasan umum
Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa dalam undang-undang
tersebut "unsur melawan hukum" adalah mengandung pengertian
formil maupun materiil, dimaksudkan agar supaya lebih mudah
memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum.
Menurut Prof. MR. Roeslan Saleh,
"Bahwa melawan hukum dalam pendapat yang formil apabila telah
memenuhi semua unsur-unsur yang disebutkan dalam rumusan delik
dan tidak perlu diselidiki apakah perbuatan itu menurut masyarakat
adalah betul-betul telah dirasakan tidak patut".
Sedangkan menurut Prof. Moeljatno,
"Menurut ajaran yang materiil disamping memenuhi syarat-syarat
formil, yaitu memenuhi semua unsur-unsur yang disebutkan di dalam
rumusan delik, maka perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut
dilakukan, karena bertentangan dengan atau menghambat
terwujudnya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan
oleh masyarakat itu".
Dengan adanya kata-kata "agar lebih mudah memperoleh
pembuktian" dalam penjelasan Undang-Undang Nomor : 3 Tahun
1971 tersebut maka dapat dilihat bahwa Undang-Undang Nomor.3
Tahun 1971 tersebut menerapkan sifat melawan hukum materiil
79
dalam arti yang positif, yaitu perbuatan yang melanggar asas
kepatutan dan tercela di dalam masyarakat adalah bersifat melawan
hukum sehingga dapat dihukum.
Berdasarkan uraian dari poin 1 sampai dengan poin 4 di atas,
perbuatan JOKO SUGIARTO TJANDRA yaitu menerima cessie yang
menurut Judex Facti adalah sah, sebenarnya hanya merupakan alat/
modus/ sarana bagi JOKO SUGIARTO TJANDRA untuk dapat
menikmati keuntungan atas klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT.
BDNI yang diajukan kepada pemerintah Cq.BPPN.
Walaupun perbuatan JOKO SUGIARTO TJANDRA menerima
sejumlah dana yang dilandasi oleh perjanjian cessie, namun perjanjian
cessie itu sendiri merupakan perbuatan yang tidak patut atau tercela
karena hanya dimaksudkan agar JOKO SUGIARTO TJANDRA dapat
mengikatkan diri ke dalam masalah klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap
PT. BDNI sehingga terdakwa dapat menikmati keuntungan dari
pembayaran klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI oleh Bank
Indonesia yang sebenarnya tidak termasuk dalam transaksi yang
dijamin oleh pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa transaksi
SWAP dan money market antara PT. BDNI dan PT.Bank
Bali,Tbk adalah sudah tidak benar karena PT. BDNI sudah
overdraft sehingga transaksi tersebut tidak termasuk dalam
program penjaminan pemerintah sedangkan cessie tidak
memenuhi ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata.
Dengan demikian sejak terjadi transaksi SWAP dan money market
antara PT. Bank Bali,Tbk dengan PT. BDNI hingga
pengiriman/transfer dana pembayaran klaim yang berasal dari
pemerintah melalui PT. Bank Bali ke rekening PT. Era Giat Prima
dilakukan dengan secara melawan hukum.
b. Unsur yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan
negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut
80
disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara;
Pertimbangan Judex Juris pada halaman 182 menyatakan bahwa
tentang kerugian keuangan negara telah dipertimbangkan oleh Judex
Facti dengan benar.
dan halaman 215 menyatakan
“ ..............maka pembayaran klaim tersebut tidak merupakan tindakan
yang merugikan keuangan atau perekonomian negara karena uang
yang dibayarkan untuk membayar klaim PT. Bank Bali,Tbk
merupakan uang dan hak yang sah dari PT. Bank Bali sendiri. Dengan
tidak terbukti terjadi perbuatan yang merugikan keuangan negara,
maka juga tidak terbukti terjadi perbuatan yang merugikan
perekonomian negara".
Judex Facti dalam pertimbangannya halaman 341-342 :
"bahwa benar negara pada tanggal 1 Juni 1999 telah mengeluarkan
dana talangan sebesar Rp. 904.462.428.369,- untuk membayar tagihan
PT.
Bank Bali, Tbk terhadap PT. BDNI (BBO) tetapi uang tersebut adalah
sah milik PT. Bank Bali sehingga PT. Bank Bali bebas untuk
menggunakan uangnya".
Tanggapan Jaksa Penuntut Umum
Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut diatas merupakan
suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena hanya
mempertimbangkan bahwa uang sebesar Rp. 904.462.428.369,- adalah
hak PT.Bank Bali,Tbk karena adanya transaksi antara PT.Bank
Bali.Tbk dengan PT.BDNI, seharusnya mempertimbangkan apakah
transaksi tersebut dijamin oleh Pemerintah sesuai aturan yang ada.
Bahwa sesuai dengan penjelasan pasal 1 ayat (1) sub a
Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1971 yang dimaksud dengan
keuangan negara adalah :
81
“ ...........meliputi juga keuangan daerah atau suatu
badan/badan hukum yang mempergunakan modal atau kelonggaran-
kelonggaran dari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang
diperoleh dari masyarakat tersebut".
Bahwa dana yang dibayarkan kepada PT. Bank Bali,Tbk
sebesar Rp.904.462.428.369,- adalah berasal dari Obligasi dalam
rangka penjaminan pemerintah terhadap kewajiban dari Bank-bank
Umum yang pelaksanaannya diserahkan kepada BPPN untuk dibayar
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Surat Menteri
Keuangan Nomor : SK-176/MK.01/1999 tanggal 31 Mei 1999 perihal
Surat Kuasa Umum dalam rangka pembayaran Jaminan Pemerintah
terhadap kewajiban Bank sebesar Rp.53.779.000.000.000,- (lima puluh
tiga trilyun tujuh ratus tujuh puluh sembilan milyar rupiah);
Bahwa berdasarkan uraian pada unsur melawan hukum
(hal.22-28 diatas) bahwa transaksi antara PT. BDNI dan PT. Bank
Bali, Tbk tidak boleh dilakukan karena melanggar prinsip kehati-hatian
sesuai pasal 2 jo pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 7 Tahun
1992 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
Nomor : 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, sehingga sesuai ketentuan,
transaksi tersebut bukan termasuk transaksi yang dijamin oleh
pemerintah;
Bahwa berdasarkan uraian pada unsur melawan hukum poin
3) bahwa cessie antara PT. Bank Bali,Tbk dengan PT. Era Giat Prima
adalah tidak sah sesuai ketentuan pasal 613 ayat (2)KUH Perdata dan
pasal 584 KUH Perdata. Sehingga cessie tersebut hanya merupakan
pro forma untuk digunakan sebagai alat/sarana bagi JOKO
SUGIARTO TJANDRA untuk dapat menikmati dana penjaminan
pemerintah terhadap klaim PT. Bank Bali,Tbk secara melawan hukum;
Karena transaksi antara PT. Bank Bali dan PT. BDNI tersebut
bukan termasuk transaksi yang dijamin oleh pemerintah maka
pemerintah tidak perlu membayar klaim tersebut;
82
Oleh karena cessie antara PT. Bank Bali,Tbk dengan PT. Era
Giat Prima adalah tidak sah sehingga uang yang dibayarkan oleh PT.
Bank Bali Tbk kepada PT.Era Giat Prima sebesar Rp.
546.466.166.369,- tersebut adalah bukan uang PT. Bank Bali, tetapi
merupakan uang negara.
Dengan demikian uang sejumlah Rp. 546.466.166.369,-
sebagai uang hasil dari tindak pidana korupsi yang dilakukan JOKO
SUGIARTO TJANDRA secara bersama-sama dengan terdakwa
lainnya (vide putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 380 K/Pid/2001
tanggal 10 Maret 2004 atas nama terpidana PANDE NASORAHONA
LUBIS), sudah seharusnya uang tersebut dirampas untuk Negara
sebagai pemulihan terhadap kerugian Negara sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-undang No.3 Tahun 1971.
c. Unsur perbuatan turut serta (pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dihukum
sebagai orang yang melakukan tindak pidana
Judex Juris dalam pertimbangan halaman 182 menyatakan:
"Judex Facti tidak salah menafsirkan pengertian turut serta dst karena
Judex Facti telah mempertimbangkan peranan terdakwa dan yang
terungkap dalam persidangan terdakwa hanya melakukan cessie
dengan Bank Bali".
Dan pada halaman 216 menyatakan:
"Tidak terdapat alat bukti yang membuktikan bahwa pribadi-pribadi
Rudy Ramli dst telah melakukan tindak pidana korupsi dan
dilakukannya bersama-sama atau dengan ikut serta atau dengan
disuruh melakukan hal tindak pidana itu oleh terdakwa".
Pertimbangan Judex Facti pada halaman 343 menyatakan antara lain
bahwa:
"Dari pengertian tersebut kalau terdakwa ditempatkan sebagai orang
yang turut melakukan tindak pidana siapakah sebenarnya subyek
pelaku tindak pidana yang bertalian dengan dana pencairan klaim
tagihan PT. Bank Bali terhadap PT. BDNI (BBO) sehubungan
83
transaksi SWAP dan money market. Bahwa terdakwa tidak berperan
apapun dalam hal kelahiran SKB II, tidak berperan dalam hal verifikasi
on site, tidak berperan dalam pencairan tagihan, dan tidak pula terbukti
telah mempengaruhi pejabat otoritas moneter yang berkaitan dengan
program penjaminan sesuai dengan Keppres Nomor : 26 Tahun 1998".
Tanggapan Jaksa Penuntut Umum
Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut diatas merupakan suatu
kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena hanya
mempertimbangkan bahwa untuk terjadinya "turut serta" seorang
pelaku harus melakukan semua unsur delik dan harus ada "pelaku
pokok" seharusnya mempertimbangkan doktrin ataupun yurisprudensi
lain tentang ajaran "turut serta".
Menurut Hoge Raad, medepleger selain sebagai pelaku penuh juga
semua pelaku tindak pidana (bila pelaku lebih dari satu orang) yang
salah satu dari mereka memunculkan fakta hukum sementara yang
lainnya hanya mewujudkan sebagian dari fakta hukum tersebut.
Pendapat ahli hukum/doktrin
Menurut Prof.Jan Remmelink dalam bukunya Hukum Pidana,
Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab UndangUndang
Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia:
"Hubungan accessoir hanya berlaku untuk bentuk pembujukan
(uitlokking) dan pembantuan (medeplichtigheid), dengan demikian
dalam "turut serta" pelaku tidak harus melaksanakan semua unsur
delik".
Selanjutnya Remmelink menyatakan bahwa menurut Hoge Raad:
"Untuk mengatakan adanya suatu medeplegen atau turut serta
disyaratkan adanya kerja sama yang disadari dengan kata lain
kesengajaan untuk melakukan kerja sama yang harus dibuktikan
keberadaannya. Hal ini mengimplikasikan bahwa harus dibuktikan
adanya dua bentuk kesengajaan dalam delik-delik kesengajaan yang
84
dilakukan secara bersama-sama untuk sejumlah pelaku :
(1)Kesengajaan (untuk memunculkan) akibat delik; dan
(2)Kesengajaan untuk melakukan kerja sama. Tidak perlu ada rencana
atau kesepakatan yang dibuat terlebih dahulu. Sebaliknya yang perlu
dibuktikan hanya adanya saling pengertian diantara sesama pelaku dan
pada saat perbuatan diwujudkan masing-masing pelaku bekerja sama
untuk mencapai tujuan bersama".
Menurut Prof. Mr. D. Simon dalam bukunya "leerboek van het
Nederland strafrecht" (yang dikutip dari buku Hukum Pidana
Indonesia, Drs. P.A.F. Lamintang, SH, C.Djisman Samosir, SH)
mengatakan bahwa :
"Orang lain yang turut serta melakukan kejahatan itu dapat dianggap
sebagai pelaku, maka disitu dapat terjadi medepleger atau turut serta
melakukan. Mededaderschap itu menunjukkan tentang adanya kerja
sama secara fisik untuk melakukan suatu perbuatan, kerja sama
secara fisik itu haruslah didasarkan pada kesadaran bahwa mereka itu
bekerja sama".
Bahwa Judex Facti telah melakukan kekeliruan yang nyata dalam
menafsirkan arti kata "pelaku" (pleger) dan "turut serta" (medepleger)
karena dalam putusan tersebut Judex Facti menafsirkan dalam suatu
tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang harus diketahui
dahulu mana pelaku pokoknya (dader) dan mana pelaku "turut
serta"(medepleger), sehingga seharusnya tidak perlu dicari pelaku
pokoknya terlebih dahulu karena masing-masing pelaku telah
mempunyai niat yang sama walaupun perannya berbeda beda,
sehingga dari peran masing-masing pelaku tersebut terselesaikanlah
perbuatan pidana tersebut.
Dalam kasus ini, kerja sama secara sadar dengan adanya saling
pengertian antara JOKO SUGIARTO TJANDRA dengan para
terdakwa lain yang disidangkan secara terpisah antara lain PANDE
85
NASORAHONA LUBIS, Drs. R. SETYA NOVANTO dan RUDY
RAMLY dapat dilihat dalam hal :
1) Berdasarkan SKB I Nomor : 30/270/KEP/DIR tanggal 6 Maret 1/BPPN/1998
1998 PT. Bank Bali,Tbk pernah beberapa kali mengajukan klaim
kepada BPPN terhadap tagihan kepada PT. BDNI namun ditolak
dengan alasan bahwa klaim tersebut terlambat didaftarkan.
2) Atas dasar penolakan tersebut PT.Bank Bali,Tbk melakukan
pengalihan tagihan kepada JOKO SUGIARTO TJANDRA (PT.
Era Giat Prima) untuk mencairkan klaim terhadap PT. BDNI
tersebut yang dilakukan pada tanggal 11 Januari 1999.
3) Setelah menerima pengalihan tagihan (cessie) dari PT.Bank
Bali,Tbk tersebut JOKO SUGIARTO TJANDRA mulai melakukan
perbuatan-perbuatan yang bertujuan agar klaim PT. Bank Bali,Tbk
terhadap PT. BDNI tersebut dapat dicairkan oleh BPPN,
diantaranya adalah mempengaruhi pemegang otoritas moneter. Hal
ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa kali pertemuan para
pejabat pemegang otoritas moneter (Bank Indonesia, Departemen
Keuangan dan BPPN) dengan pihak PT. Bank Bali,Tbk dan PT.
BDNI yang dilakukan:
a) Tanggal 11 Februari 1999 malam bertempat di Hotel Mulia
Jakarta JOKO SUGIARTO TJANDRA mengadakan pertemuan
yang dihadiri oleh AA. Baramuli, Tanri Abeng, Syahril Sabirin,
Pande Lubis, Firman Sutjahya dan Setya Novanto untuk
membahas klaim PT. Bank Bali terhadap PT. BDNI.
b) Tanggal 1 April 1999 PT.Bank Bali,Tbk mengajukan klaim
terhadap PT. BDNI
c) Awal Mei 1999 bertempat di rumah Tanri Abeng, JOKO
SUGIARTO TJANDRA mengadakan pertemuan dengan AA.
Baramuli dan Setya Novanto untuk membahas klaim PT. Bank
Bali terhadap PT. BDNI.
86
d) Bulan Mei 1999 bertempat di rumah AA. Baramuli, JOKO
SUGIARTO TJANDRA mengadakan pertemuan dengan Tanri
Abeng, Setya Novanto dan Marimutu Manimaren untuk
membahas klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI.
e) Tanggal 26 Mei 1999 JOKO SUGIARTO TJANDRA bersama-
sama dengan Rudi Ramly dan Marimutu Manimaren bertemu
Menteri Keuangan (Bambang Subiyanto) di rumah Menteri
Keuangan untuk membahas klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap
PT. BDNI.
4) Bahwa klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI yang semula
telah ditolak oleh BPPN dengan alasan tidak sesuai dengan SKB I
Nomor 30/270/KEP/DIR tanggal 6 Maret 1998
1/BPPN/1998 karena berdasarkan SKB I tersebut yang berhak untuk mengajukan
klaim hanyalah bank debitur (PT. BDNI), setelah diadakan
pertemuan-pertemuan tersebut BPPN bersama-sama dengan Bank
Indonesia mengeluarkan SKB II Nomor : 32/46/KEP/DIR tanggal
181/BPPN/0599
14 Mei 1999 di mana disebutkan bahwa bank kreditur (dalam hal
ini PT.Bank Bali,Tbk) dapat mengajukan klaim kepada BPPN.
Dengan adanya SKB II tersebut klaim dari PT.Bank Bali,Tbk
diproses oleh BPP hingga akhirnya dibayar oleh Bank Indonesia.
5) Walaupun pertemuan-pertemuan tersebut diabaikan oleh Judex
Facti sebagaimana pertimbangannya pada halaman 318 yang
menyatakan:
"Hanya ada 1 (satu) saksi yaitu saksi Firman Sutjahya yang
menerangkan benar pada tanggal 11 Februari 1999 ada pertemuan
di hotel Mulia yang dihadiri oleh Syahril Sabirin, AA.Baramuli,
Tanri Abeng, Joko Soegirato Tjandra, Setya Novanto dan Pande N.
Lubis yang dibantah oleh terdakwa (Joko Soegirato Tjandra) dan
87
tidak dibenarkan oleh kesaksian-kesaksian di bawah sumpah
lainnya"
Yang dibenarkan oleh Judex Juris dengan pertimbangan pada
halaman 180 yang menyatakan:
"Judex Facti tidak salah menerapkan hukum pembuktian khusus
tentang pengertian unus testis nulus testis karena hanya saksi
Firman Soetjahja yang menerangkan ada pertemuan di Hotel Mulia
pada tanggal 11 Pebruari 1999"
dan pada halaman 212 yang menyatakan:
"Keterangan Firman Soetjahja satu-satunya yang menerangkan
terdapat pertemuan pada tanggal 11 Februari 1999 untuk
membicarakan percepatan pencairan tagihan PT. Bank Bali,
memenuhi kriteria hukum sebagai unus testis nulus testis.
6) Bahwa pertimbangan Judex Juris yang demikian terdapat
kekhilafan dan kekeliruan yang nyata, karena dari fakta di
persidangan karena ada keterangan saksi-saksi lainnya antara lain
Gunardwi, Marimutu Manimaren, Firman Sutjahja dan beberapa
saksi lainnya, bila dikaitkan keterangan masing-masing saksi
tersebut satu sama lain terdapat hubungan yang erat, sehingga
dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk yang membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu sebagaimana tersebut
dalam pasal 185 ayat (4) KUHAP, yaitu adanya
pertemuanpertemuan antara JOKO SOEGIARTO TJANDRA
dengan pemegang otoritas moneter antara lain Syahril Sabirin dan
Pande N. Lubis dan Bambang Subianto dalam membahas klaim
PT.Bank Bali hingga dapat dibayarkan klaim tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat peran JOKO SOEGIARTO
TJANDRA dalam pencairan klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT.
BDNI walaupun perbuatan JOKO SOEGIARTO TJANDRA tidak
memenuhi semua unsur delik yang didakwakan namun terlihat adanya
88
kerja sama dengan terdakwa lain (PANDE NASORAHONA LUBIS
dan SYAHRIL SABIRIN), sebagaimana kami uraikan dalam
pengertian unsur "turut serta" menurut doktrin ilmu hukum pidana dan
Yurisprudensi. Dengan adanya kerja sama dan niat yang disadari
(bewuste samenwerking) antara para terdakwa tersebut sehingga unsur
pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu "turut serta melakukan" telah
terbukti dan para terdakwa dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
d. Unsur perbuatan berlanjut sebagaimana dalam pasal 64 ayat (1) KUHP
Pertimbangan Judex Facti pada halaman 346 menyatakan :
Bahwa beberapa perbuatan yang satu sama lain ada hubungannya yaitu
agar dikwalifisir sebagai suatu perbuatan yang diteruskan dalam
praktek peradilan harus memenuhi syaratsyarat:
1) Harus timbul dari satu niat, kehendak atau keputusan atau harus
ada kesatuan tekad.
2) Perbuatan harus serupa atau sejenis.
3) angka waktu diantara terjadinya perbuatan tidak boleh terlalu lama.
Menurut Judex Facti perbuatan terdakwa sudah memenuhi unsur
tersebut, namun tidak ditemukan unsur sifat "melawan hukum" atas
perbuatan terdakwa baik materiil maupun formil.
Dan juga menyatakan:
"Bahwa setelah PT. Bank Bali menerima dana tagihan terhadap PT.
BDNI (BBO) sejumlah Rp.904.642.428.369,- tanggal 1 Juni 1999
yang berasal dari dana talangan pemerintah sehubungan dengan
program penjaminan sesuai dengan Keppres Nomor 26 tahun 1998,
pada tanggal 3 Juni 1999 dari dana sebesar Rp.904.642.428.369,- yang
Rp.404.642.428.369,- dikreditkan oleh PT. Bank Bali (cedent) ke
rekening PT.Era Giat Prima (Cessionaris) A/C 0701026934 di Bank
Bali selanjutnya pada tanggal 10 Juni 1999 PT. Bank Bali selaku
cedent mentransfer sejumlah Rp.141.826.116.369,- ke rekening PT.
Era Giat Prima selaku Cessionaris".
Dan pada halaman 348 menyatakan bahwa:
89
“....dana yang diterima oleh PT.Era Giat Prima selaku Cessionaris dari
PT.Bank Bali selaku cedent sejumlah Rp.546 milyar adalah
pelaksanaan perjanjian pengalihan/cessie tagihan Nomor : 002/P-
EGP/1-99 tanggal 11 Januari 1999 antara cedent PT.Bank Bali dengan
Cessionaris PT.Era Giat Prima yang hanya mengikat bagi cedeht dan
Cessionaris".
yang dibenarkan oleh Judex Juris dalam pertimbangannya halaman
210 dimana Judex Juris menyatakan :
"bahwa cessie sebagai produk perdata memenuhi kriteria sebagai
perjanjian yang sah menurut hukum perdata, sehingga perbuatan
JOKO SOEGIARTO TJANDRA menerima dana dari PT. Bank
Bali,Tbk adalah dalam kapasitasnya sebagai Cessionaris dan PT. Bank
Bali,Tbk yang menyerahkan dana kepada PT. Era Giat Prima tersebut
adalah dalam kapasitasnya sebagai cedent sehingga tidak terdapat
perbuatan yang bersifat melawan hukum.
Tanggapan Jaksa Penuntut Umum
Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut diatas merupakan suatu
kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena hanya
mempertimbangkan bahwa perbuatan JOKO SOEGIARTO
TJANDRA dalam kapasitas sebagai pihak dalam perjanjian yang
bersifat keperdataan (sebagai Cessionaris) seharusnya juga
mempertimbangkan peran JOKO SOEGIARTO TJANDRA dalam
pencairan klaim PT. Bank Bali yang bersifat melawan hukum.
Bahwa sifat melawan hukum dari perbuatan JOKO SOEGIARTO
TJANDRA yang dilakukan bersama-sama dengan SYAHRIL
SABIRIN dan PANDE NASORAHONA LUBIS dapat dilihat dari
rangkaian peristiwa sebagai berikut:
1) bahwa transaksi SWAP dan money market antara PT. Bank
Bali,Tbk dengan PT. BDNI adalah transaksi yang tidak termasuk
transaksi yang dijamin oleh pemerintah karena pada waktu itu PT.
90
BDNI dalam kondisi over draft sehingga transaksi tersebut telah
melanggar "prinsip kehati-hatian".
2) adapun Cessie antara PT.Bank Bali,Tbk dengan PT.Era Giat Prima
(EGP) adalah Cessie yang tidak sah karena landasannya yaitu
perjanjian obligatornya tidak sah karena tidak diikuti dengan
levering sesuai dengan pasal 584 KUH Perdata.
3) Sehingga dana yang dibayarkan oleh Bank Indonesia kepada PT.
Bank Bali,Tbk sebesar Rp.904.642.428.369,- bukan milik PT.
Bank Bali,Tbk karena transaksi SWAP dan Money market antara
PT. BDNI dan PT. Bank Bali, Tbk bukan termasuk transaksi yang
dijamin sehingga dana sebesar Rp.546.468.544.738,- yang
ditransfer kepada PT. Era Giat Prima masing-masing pada tanggal
3 Juni 1999 sebesar Rp.404.642.428.369,- dan pada tanggal 10 Juni
1999 sebesar Rp.141.826.116.369,- adalah uang negara.
(Sebagaimana yang telah diuraikan dalam tanggapan Jaksa mengenai
unsur melawan hukum diatas)
Dengan demikian rangkaian perbuatan JOKO SUGIARTO TJANDRA
yang dilakukan bersama-sama dengan SYAHRIL SABIRIN dan
PANDE NASORAHONA LUBIS tersebut adalah bersifat "melawan
hukum", maka dengan terbuktinya sifat melawan hukum dari
perbuatan JOKO SOEGIARTO TJANDRA tersebut seharusnya
perbuatan berlanjut seperti yang didakwakan oleh Penuntut Umum
terbukti.
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah
Agung berpendapat :
Bahwa sebelum mempertimbangkan alasan-alasan peninjauan kembali perlu terlebih dahulu dibatasi makna pengajuan peninjauan kembali oleh Penuntut umum dalam kapasitasnya mewakili negara dan kepentingan umum dalam penyelesaian perkara pidana bukan untuk kepentingan pribadi penuntut umum ataupun lembaga Kejaksaan, dan makna kepentingan umum dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 49 Undang Undang nomor 5 tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang
91
menjelaskan “Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat bersama atau kepentingan pembangunan”, demikian juga dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung yang mengartikan kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan masyarakat luas ;
Dari makna ketentuan diatas dihubungkan dengan permohonan peninjauan kembali aquo terlihat bahwa kepentingan bangsa dan negara maupun masyarakat luas lebih menonjol, sehingga permohonan aquo mempunyai sifat yang eksepsional telah memenuhi makna dari kepentingan umum dan makna kepentingan umum ini pula yang harus membatasi Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana, karenanya tidak dapat serta merta seluruh perkara pidana Jaksa Penuntut umum dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali ;
Bahwa Alasan-alasan Peninjauan Kembali yang diajukan
Jaksa bertalian dengan dasar diajukan permohonan Peninjauan
Kembali sebagaimana disebut dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c
KUHAP, yaitu putusan itu jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, dapat dibenarkan berdasarkan
pertimbangan dan alasan-alasan sebagai berikut:
1) ALASAN ad. A dan ad. B;
a) Alasan tersebut dapat dibenarkan karena tentang sah atau
tidaknya suatu perjanjian i.c. “ pembatalan perjanjian
pengalihan tagihan (cessie) nomor : 002/P-EGP/I-99 tanggal 11
Januari 1999 “ adalah wewenang dari peradilan perdata, namun
pada kasus a quo yang menjadi dasar sah atau tidaknya
merupakan putusan TUN yang semestinya secara absolut tidak
berwenang untuk menyatakan sahnya suatu perjanjian yang
mengikat para pihak ;
b) Selain itu berdasarkan wewenang yang dimiliki oleh BPPN
sebagai lembaga pemberesan mewakili pemerintah dalam
penyelesaian bank bank BBKU maupun BBKO, berdasarkan
suratnya nomor : SK/423/BPPN/1999 telah membatalkan
92
perjanjian cessi antara PT Bank Bali dengan PT. Era Giat
Prima dan dengan batalnya perjanjian itu semestinya BPPN
tidak perlu melakukan pembayaran atas tagihan dimaksud,
namun karena adanya intervensi dari pihak pihak yang
mempunyai otoritas pencairan tagihan itu terjadi, sehingga
pencairan itu bertentangan dengan ketentuan Kepres 26 tahun
1998 dan BPPN sendiri telah pernah pula menolak permohonan
klaim dimaksud ;
c) Bahwa ternyata secara sadar Terdakwa bersama sama dengan
Pande N. Lubis, Syahril Sabirin, Setyo Novanto dan yang lain
lain berupaya untuk mewujudkan agar perjanjian cessie antara
PT Bank Bali dengan PT. EGP yang bersumber dari transaksi
Swap dan Money market antara PT. BDNI dengan PT Bank
Bali yang telah dibatalkan BPPN sebagai transaksi yang
dijamin dalam Kepres 26 tahun 1998 dan atas upaya upaya
yang dilakukan dengan mempengaruhi para pemegang otoritas
maupun bersama sama dengan pemegang otoritas terwujud
dengan diproses dan dibayarkannya tagihan dimaksud ;
2) Judex Juris yang mengambil alih pertimbangan Judex Facti
mengenai unsur "melawan hukum" yang didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut adalah :
a) Pertimbangan Judex Juris mengenai transaksi PT. BDNI dan
PT. Bank Bali Tbk pada halaman 182, menyatakan :
"bahwa transaksi SWAP dan money market, antara PT. Bank
Bali,Tbk dan PT. BDNI tidak bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan perbankan karena itu apa yang telah
dipertimbangkan Judex Factie sudah tepat dan benar"
dan pada halaman 214,
"bahwa dalam proses, transaksi SWAP dan money market oleh
PT. Bank Bali,Tbk dalam hubungannya dengan Bank BDNI
adalah tidak melawan hukum".
93
serta pada halaman 281 s/d 285 menyebutkan :
"bahwa transaksi SWAP dan money market yang dilakukan
antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI (sebelum BBO) telah
dicatat dalam pembukuan dan telah didokumenkan PT. Bank
Bali,Tbk, tidak pernah adanya teguran dari Bank Indonesia
baik secara lisan maupun tertulis serta telah dilakukannya
verifikasi on site ternyata tidak ditemukan ketidakwajaran dan
ketidakbenaran dalam transaksi antara PT. Bank Bali,Tbk dan
PT. BDNI sehingga tidak melanggar asas demokrasi ekonomi
dan prinsip kehati-hatian serta tidak melanggar tingkat
kesehatan bank sebagaimana diatur dalam pasal 2 jo pasal 29
ayat (2) Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1992 yang diubah
dengan Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1998".
b) Pertimbangan Judex Facti tersebut diatas adalah keliru dan
merupakan kekhilafan yang nyata karena hanya
mempertimbangkan verifikasi on site yang dilaksanakan hanya
terhadap PT. Bank Bali,Tbk ( Bank kreditur) tanpa melakukan
verifikasi on site terhadap PT. BDNI (Bank Debitur),
seharusnya verifikasi on site dilakukan terhadap bank kreditur
dan bank debitur.
c) Berdasarkan rapat antara Direksi Bank Indonesia dan BPPN
(Risalah Rapat Direksi Nomor: 31.00.08 tanggal 24 September
1998), ditentukan bahwa dalam proses penjaminan yaitu dari
klaim yang masuk akan dilakukan verifikasi oleh Bank
Indonesia kemudian apabila klaim tersebut dapat diterima maka
akan diberitahukan kepada BPPN untuk mendapatkan otorisasi
pembayaran.
d) Bahwa rekonsiliasi antara PT. Bank Bali dan PT. BDNI yang
dilakukan oleh BPPN bukanlah dalam pengertian verifikasi on
site seperti yang dimaksud dalam program penjaminan ini,
94
sehingga seharusnya BPPN tidak perlu membayar klaim PT.
Bank Bali,Tbk tersebut.
e) Bahwa yang dimaksud oleh verifikasi on site adalah melakukan
penelitian terhadap saldo giro bank, fasilitas over draft, BLBI
yang diterima dari Bank Indonesia yang dilakukan terhadap
bank debitur.
f) Apabila verifikasi on site tersebut dilakukan juga terhadap PT.
BDNI maka akan diketahui bahwa kondisi keuangan PT. BDNI
pada tanggal 27 September 2007 dalam keadaan overdraft
senilai Rp.1,7 triyun lebih bahkan pada akhir Desember
mencapai Rp.8,4 triyun lebih, sehingga sebenarnya transaksi (8
transaksi SWAP dan 2 transaksi money market) antara PT.
BDNI dengan PT. Bank Bali, Tbk sudah melanggar prinsip
kehati-hatian bank (prudential principle) sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 jo pasal 29 ayat (2) Undang-Undang
Nomor : 7 Tahun 1992 yang diubah dengan Undang-Undang
Nomor : 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
g) Sesuai dengan "prinsip kehati-hatian" dalam usaha perbankan
seharusnya PT. BDNI dalam menjalankan usahanya seharusnya
memperhatikan rambu-rambu kesehatan bank dalam rangka
pengendalian risiko. Prinsip kehati-hatian seperti yang
ditentukan di dalam pasal 2 Undang-Undang Perbankan
dijabarkan di dalam patokan-patokan yang bersifat operasional.
Salah satu rambu prinsip kehati-hatian adalah Giro Wajib
Minimum yang diatur dalam Surat Keputusan Direksi BI
Nomor : 30/89A/ KEP/DIR tanggal 30 Oktober 1997.
Prosentase Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia dalam
rupiah ditetapkan sebesar 5% dari dana pihak ketiga dalam
rupiah.
h) Berdasarkan data dari Bank Indonesia saldo giro PT. BDNI
yang ada di Bank Indonesia pada tanggal 27 November 1997
95
telah over draft sebesar Rp.1.715.690.000.000,- dan pada
tanggal 30 Desember 1997 telah over draft sebesar
Rp.8.463.711.000.000,-, dan hal ini pernah dilakukan teguran
oleh Bank Indonesia kepada PT. BDNI yaitu :
Nomor : 30/301/UPB2/AdB2 tanggal 3 November 1997,
Nomor : 30/1742/UPB2/AdB2 tanggal 11 November 1997,
Nomor : 30/2166/UPB2/AdB2 tanggal 2 Desember 1997,
Nomor : 30/2540/UPB2/AdB2 tanggal 31 Desember 1997.
sehingga PT. BDNI tidak sepatutnya melakukan transaksi
SWAP dan money market dengan PT. Bank Bali. Tbk.
i) Bahwa berdasarkan pada uraian uraian diatas dapat
disimpulkan telah terjadi perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh terdakwa bersama sama dengan Syahril Sabirin
maupun Pande N. Lubis ;
Bahwa dengan telah terbuktinya perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh terdakwa dan mengambil alih pertimbangan yudex
facti (Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) ternyata apa yang telah
dilakukan oleh terdakwa dengan cara pencairan dana talangan
berdasarkan Kepres 26 tahun 1998, bendaharawan negara telah
membayarkan uang atas klaim transaksi Swap dan Money market dari
Bank Bali sebesar Rp. 904.462.428.369,- dan uang mana semestinya
tidak dapat dibayarkan, sehingga atas pembayaran itu telah merugikan
keuangan negara sebasar Rp. 904.462.428.369,- yang secara langsung
ataupun tidak langsung mempengaruhi perekonomian negara yang
sedang berusaha untuk memulihkan krisis moneter, dan oleh karenanya
atas barang bukti yang telah disita dan saat ini tersimpan dalam Escrow
Acount Bank Bali pada rekening nomor : 0999.045197 sejumlah
Rp.546.468.544.738 (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus
enam puluh delapan juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus
tiga puluh delapan rupiah) haruslah dirampas untuk dikembalikan pada
negara.
96
H. Bentuk Penemuan Hukum dalam Pemeriksaan Perkara Peninjauan
Kembali.
Menimbang, bahwa terlebih dahulu perlu dipertimbangkan, apakah
permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum secara
formal dapat diterima, mengingat pasal 263 ayat 1 KUHAP menentukan yang
berhak mengajukan peninjauan kembali hanya terpidana atau ahli warisnya
dan putusan pengadilan yang dapat dimintakan peninjauan kembali tidak
boleh merupakan putusan bebas atau putusan dilepaskan dari segala tuntutan
hukum;
Menimbang, bahwa mengenai hal tersebut Mahkamah Agung akan
memperhatikan yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996
No.55 KK/Pid/1996, yang secara formal telah menerima permintaan
peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang
merupakan putusan bebas, yang telah diikuti oleh putusan Mahkamah Agung
tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001, berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan yang pada pokoknya sebagai berikut :
a. Dalam menghadapi problema yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak
diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan
dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri,
guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang
Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan
Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana;
b. Dalam menyelesaikan problema yuridis hukum acara tersebut maka
Mahkamah Agung meneliti dan menafsirkan beberapa peraturan Undang-
undang sebagai dasar pertimbangan yuridisnya, yaitu :
1) Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang secara tegas tidak
dapat dimintakan kasasi. Namun melalui penafsiran terhadap Pasal
244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan
97
bebas mumi tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak mumi
dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu menjadi yurisprudensi
tetap Mahkamah Agung;
2) Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan
pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat
dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang
mewakili kepentingan umum (Negara). Oleh karena itu pihak yang
berkepentingan yang disebut dalam pasal 21 UU 14/1970 tersebut
ditafsirkan adalah, Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon
pemeriksaan Peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung;
3) Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah
Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut
Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan
hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan
terdakwa tapi tidak diikuti pemidanaan dapat dirubah dengan diikuti
pemidanaan terhadap terdakwa;
4) Berdasarkan asas Legalitas serta penerapan asas keseimbangan Hak
Asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon PK) dengan
kepentingan umum, Bangsa dan Negara dilain pihak disamping
perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili
kejaksaan tersebut dapat pula juga melakukan Peninjauan kembali
(PK);
5) Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara
Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar
Semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat, adil,
karena itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum
acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi
perkara pidana yang ternyata ada hal-hal.yang belum diatur oleh
KUHAP dengan cara menciptakan hukum acara sendiri
(yurisprudensi) demi untuk adanya kepastian hukum serta
98
mengakomodir kepentingan yang belum diatur di dalam Hukum
Acara Pidana;
6) Berdasarkan argumentasi yuridis sebagaimana disebutkan di atas
maka Mahkamah Agung berpendirian bahwa secara formal
permohonan Kejaksaan untuk Peninjauan Kembali (PK) terhadap
putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 395 K/Pid/1995 tanggal 29
September 1995 dapat diterima oleh Mahkamah Agung RI sehingga
dapat diperiksa kembali;
Menimbang, bahwa untuk memelihara keseragaman putusan
Mahkamah Agung (consistency in Court decision), maka Mahkamah Agung
dalam memeriksa dan mengadili perkara peninjauan kembali terpidana
tersebut, akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusannya
tanggal 25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996, putusan Mahkamah Agung
tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 dan putusan Mahkamah Agung
tanggal 25 Januari 2008 No. : 109 PK/Pid/2007 tersebut di atas, yang secara
formal telah mengakui hak/wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk
mengajukan permintaan peninjauan kembali;
Menimbang, bahwa pendirian Mahkamah Agung tersebut selain untuk
memelihara keseragaman putusan, karena menurut pendapat Mahkamah
Agung, dalam putusan-putusan tersebut, terkandung "penemuan hukum" yang
selaras dengan jiwa ketentuan perundang-undangan, doktrin dan azas-azas
hukum, sebagaimana dapat disimpulkan dari hal-hal sebagai berikut :
a. Bahwa Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ; "Terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan ,hukum tetap, pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung, apabila, terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam
undang-undang" tidak menjelaskan tentang "siapa saja yang dimaksud
pihak-pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan
kembali" tersebut.
99
Demikian juga Pasal 21 Undang-undang No.14 Tahun 1970 yang
berbunyi : "Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang
ditentukan dengan Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana
oleh pihak-pihak yang berkepentingan", tidak menjelaskan "tentang
siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan
yang dapat mengajukan peninjauan kembali" dan terhadap ketidakjelasan
tersebut, putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No.55
PK/Pid/1996, putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3
PK/Pid/2001 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Januari 2008 No.
: 109 PK/Pid/2007 telah memberikan jawaban dengan menggunakan
penafsiran ekstensif, bahwa yang dimaksud "pihak-pihak yang
berkepentingan dalam perkara pidana" selain terpidana atau ahli warisnya
adalah Jaksa;
b. Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21
Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas,
yaitu:
1) Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut
Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab
logikanya terpidana /ahli warisnya tidak akan mengajukan Peninjauan
Kembali .atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging.
Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut
Umum atas dasar alasan dalam ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP;
2) Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3
KUHAP yang pokoknya menentukan "Atas dasar alasan yang sama
sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu
perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi
tidak diikuti oleh suatu pemidanaan" tidak mungkin dimanfaatkan
100
oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang
bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum
diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali;
c. Bahwa sehubungan dengan adanya ketidakjelasan dalam Pasal 263
KUHAP tersebut, perlu dikemukakan pendapat-pendapat sebagai berikut:
1) Bahwa penganut Doktrin "Sens-clair (la doctrine du sensclair)
berpendapat bahwa "penemuan hukum oleh hakim" hanya dibutuhkan
jika :
a) Peraturannya belum ada untuk suatu kasus in konkreto, atau
b) Peraturannya sudah ada tetapi belum / tidak jelas;
2) Bahwa LIE OEN HOCK berpendapat : " Dan apabila kita
memperhatikan Undang-undang, ternyata bagi kita, bahwa undang-
undang tidak saja menunjukkan banyak kekurangan-kekurangan, tapi
seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus
melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian
undang-undang memberi kuasa kepada Hakim untuk menetapkan
sendiri maknanya kententuan undang-undang itu atau artinya suatu
kata jang tidak jelas dalam suatu ketentuan undang-undang. Dan
hakim boleh menafsir suatu ketentuan undang-undang secara
gramatikal atau historis, baik "recht maupun wetshistoris"; (Lie Oen
Hock Jurisprudensi sebagai Sumber Hukum, pidato diucapkan pada
Peresmian Pemangkuan Jabatan Guru Besar Luar Biasa dalam limu
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas
Hukum dan Pengetahuan Masyarakat dari Universitas Indonesia di
Jakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm.11);
3) Bahwa M. YAHYA HARAHAP berpendapat : " Akan tetapi
sebaliknya ada yang berpendapat, meskipun hukum acara tergolong
hukum publik yang bersifat imperative, dimungkinkan untuk
melakukan penafsiran atau diskresi apabila hal itu dibutuhkan untuk
mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek
kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta
101
manusiawi atau disebut according to the principle of justice; Bahkan
berkembang pendapat umum yang mengatakan : tanpa penafsiran atau
diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat
penyidik, penuntut dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara
pidana. Sifat hukum acara sebagai ketentuan public memang diakui
"imperative", tetapi tidak seluruhnya absolute. Ada ketentuan yang
dapat "dilenturkan" (flexible), dikembangkan (growth) bahkan
disingkirkan (overrule) sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa
keadilan dan kemanusiaan dalam satu konsep : to improve the quality
of justice and to reduce injustice. Salah satu bukti nyata yang tidak
dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan
KUHAP, kasus Natalegawa dalam perkara No.275 K/Pid/1983 (10
Desember 1993). Dalam perkara ini Mahkamah Agung telah
mewujudkan case law yang telah menjadi stare decisis melalui
“extensive interpretation". Dalam kasus ini walaupun pasal 244
KUHAP "tidak memberikan hak" kepada penuntut umum
mengajukan kasasi terhadap "putusan bebas" ( terdakwa atau penuntut
umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas); Akan tetapi,
ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperatif yang melekat pada
ketentuan ini "dilenturkan", bahkan disingkirkan (overruled) dengan
syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan bukan pembebasan
murni. Sejak saat itu, kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap
putusan bebas pada prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung,
berarti penerimaan kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap
putusan bebas, merupakan bentuk penafsiran luas yang jelas-jelas
bersifat contra legem atau " bertentangan dengan undang-undang"
(dalam hal ini bertentangan dengan pasal 244 KUHAP). Jika
pertimbangan yang tertuang dalam putusan perkara ini diperas,
intisari atau esensinya : to improve the quality of justice and recitduce
in justice yang terkandung dalam putusan bebas Natalegawa;
102
Motivasi tersembunyi yang paling dalam mengcontra legem Pasal
244 KUHAP, bertujuan untuk “mengoreksi dan meluruskan putusan
bebas atau kekeliruan yang terkandung dalam putusan, dianggap
sangat tidak adil dan tidak bermoral, apabila pengadilan tidak mampu
menghukum orang yang bersalah”. Sangat bertentangan dengan
keadilan dan kebenaran apabila pembebasan terdakwa didasarkan
pada alasan "non yuridis". Dalam kasus yang seperti itu sangat
beralasan untuk mengoreksinya dalam tingkat kasasi. Oleh karena itu
dianggap tidak adil untuk menutup upaya kasasi terhadap putusan
bebas demi terwujudnya penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan
semaksimal ,mungkin. Bertitik tolak pada motivasi yang seperti itulah
yang mendorong Majelis peninjauan kembali dalam kasus Muchtar
Pakpahan melenturkan atau mengembangkan ketentuan pasal 263
KUHAP. Demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan
hakiki yang lebih maksimal, harus diberi hak kepada penuntut umum
mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dengan cara
memberi kesempatan kepada penuntut umum membuktikan bahwa
pembebasan yang dijatuhkan pengadilan "tidak adil" (in justice)
karena didasarkan ada alasan "non yuridis" (lihat M. Yahya Harahap,
Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penerbit Sinar
Grafika, Edisi Kedua hlm.642-643);
Bahwa doktrin-doktrin tersebut di atas adalah sesuai dengan tugas
Hakim dalam menemukan hukum apa yang menjadi hukum
berdasarkan pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan "bahwa pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara
yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak atau kurang jelas
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya". Ketentuan
pasal ini mengisyaratkan kepada Hakim bahwa apabila terjadi suatu
peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya,
103
Hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk
menyelesaikan perkara tersebut;
Dalam hal ini Hakim harus berperan untuk menentukan apa yang
merupakan hukum sekalipun peraturan perundang-undangan tidak
dapat membantunya. Perlu dikemukakan bahwa dalam rangka
menemukan hukum ini isi ketentuan Pasal 16 ayat 1 tersebut harus
dihubungkan dengan ketentuan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4
Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Hakim sebagai penegak hukum
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat, sehingga dengan demikian Hakim dapat
memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
dalam masyarakat.) “Hal ini dalam yurisprudensi tersebut dapat
disimpulkan antara lain dari pertimbangan hukum yang berbunyi
"Berdasarkan azas/legalitas serta penerapan azas keseimbangan hak
asasi antara kepentingan perorangan (termohon peninjauan kembali
dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negaranya di lain pihak di
samping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang
diwakili Kejaksaan tersebut dapat pula melakukan peninjauan kembali
(PK)”;
d. Bahwa pertimbangan tersebut di atas adalah sesuai dengan Model yang
tertumpu pada konsep "daad-dader-stra-recht " yang oleh Muladi disebut
Model Keseimbangan Kepentingan, yaitu model yang realistis yang
memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum
pidana yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan
individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban
kejahatan (Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas
Diponegoro, Semarang 1995, hlm.5) dan selaras pula dengan tujuan
hukum dari filsafat hukum Pancasila, yaitu pengayoman dimana hukum
harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa
atau terpidana, maupun korban tindak pidana;
104
e. Di dalam praktek acapkali menghadapi kasus perkara yang dalam
penerapan hukumnya telah terjadi benturan kepentingan, disatu sisi
kepentingan kepastian hukum yang bermuara pada aspek prosedural, dan
disisi lain berhadapan dengan kepentingan kebenaran dan keadilan yang
bermuara pada kepentingan umum atau negara. Harus disadari bahwa
nilai keadilan dan kebenaran tidak dapat diperoleh dari tingginya aspek
kepastian hukum, akan tetapi ditentukan oleh faktor keseimbangan aspek
perlindungan hukum terhadap korban maupun pelaku kejahatan. Oleh
karena itu konsekwensinya semakin serius akibat dan sifat kejahatannya,
maka semakin besar pula tuntutan nilai keadilan yang harus dicapai dan
melebihi dari tuntutan nilai kepastian hukum. Dengan kata lain agar dapat
mencapai nilai keadilan dan kebenaran yang lebih tinggi hakim harus
berani mereduksi nilai kepastian hukum ;
f. Bahwa selain itu pertimbangan hukum tersebut adalah sejalan dengan
ajaran "prioritas baku" tentang tujuan hukum dari Gustav Radbruch,
dimana "keadilan" selalu diprioritaskan. Ketika Hakim harus memilih
antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus pada keadilan,
demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan dan atau
kepastian hukum, maka pilihan harus pada kemanfaatan. Ajaran "prioritas
baku" tersebut dianut pula oleh Pasal 18 RUU KUHP yang disusun oleh
Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yang berbunyi "Keadilan dan
Kepastian sebagal tujuan hukum mungkin saling mendesak dalam
penerapan pada kejadian-kejadian nyata. Dengan menyadari hal tersebut,
maka dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkannya hakim
sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum";
g. Bahwa karena berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang
dikeluarkan Menteri Kehakiman "Tujuan dari hukum acara pidana adalah
untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekatkan,
kebenaran materiil ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu
perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara
jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
105
di dakwa melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang
yang didakwa itu dapat dipersalahkan", maka KUHAP harus secara
maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara
melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, dan
dalam hal ini khususnya terhadap Pasal 263 KUHAP dengan
memungkinkan Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap, yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum.
Menimbang, bahwa sehubungan dengan permintaan peninjauan
kembali yang dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut, perlu
dikemukakan sebagai bahan perbandingan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut :
a. Pasal 248 ayat 3 Undang-undang No.31ahun 1997, menentukan "Atas
dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap
suatu putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila
dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan
terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan";
b. Article 8 Statute of International Criminal Curt pada pokoknya
menentukan "1. The convicted person or, after death, spouses, children,
parents, or one person alivee at the time of the accused"s death who has
been given Express written instructions from the accused to bring such a
claim or the prosecutor on the person's behalf, may apply to the Chamber
to revise the final judgmen of conviction or sentence on the grounds
that..................”;
c. Artikel 37 Reglement of de Straf Ver Orderin (SV) (S.1847-40)
menentukan "De aanvrage tot herzienning wordt bij hea Hooggerechtshof
aangebracht door het indienen van een vordering door den procureur-
106
generaal of door het indienen van een vorzoekschrift door een
veroordeelde te wiens aanzien het arrest of vonnis in kracht van gewijsde
is gegaan, door een bijzonder daartoe schriftelijk gemachtigde of door zijn
raadsman. Het bepaalde bij art. 120 vindtovereenkomstige toepassing, met
dien verstande dat de bemoeeienis, bedoeld bij het tweede lid van dat art,
aan den president van het Hooggerechtshof is opgedragen. (Sv.(3563,
358v.);
d. Pasal 4 ayat 1 PERMA No.1 Tahun 1969 menentukan "Permohonan
peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap harus diajukan oleh pihak:yang berkepentingan atau