1 TUGAS KELOMPOK Current Issues: ANALISIS KUANTITATIF DATA INFLASI, GDP DEFLATOR, DAN SBI INDONESIA TAHUN 1969-2012 Disusun oleh: Bambang Suryanggono; Nurul Fajri, Sumaryati, Deni Irawan dan Lina Agustina Pujiwati Kelas: Badan Pusat Statistik (BPS) MATA KULIAH METODE ANALISIS PEMBANGUNAN PUSAT DAN DAERAH Dosen Pengampu: Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D. PROGRAM MAGISTER EKONOMIKA PEMBANGUNAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Nama : Bambang Suryanggono S1 : Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Tempat, Tgl.Lahir : Jakarta, 28 September 1982 Asal Instansi : Badan Pusat Statistik Kota Padang
Nama : Deni Irawan S1 : Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Tempat, Tgl.Lahir : Kediri, 15 Desember 1983 Asal Instansi : Badan Pusat Statistik Prop. Papua Barat Nama : Lina Agustina Pujiwati S1 : Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Tempat, Tgl.Lahir : Purwokerto, 17 Agustus 1982 Asal Instansi : BPS Kab. Kuantan Singingi Nama : Nurul Fajri S1 : Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Tempat, Tgl.Lahir : Jakarta Selatan, 29 Oktober 1981 Asal Instansi : Badan Pusat Statistik Kota Banjarbaru Nama : Sumaryati S1 : Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Tempat, Tgl.Lahir : Bantul, 29 Juni 1982 Asal Instansi : Badan Pusat Statistik Prop. Sulawesi Barat
3
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat,
hidayah dan inayah-Nya tulisan berjudul "Analisis Kuantitatif IHK, PDB Deflator, Inflasi dan
BI Rate di Indonesia Periode 1990 – 2011” ini dapat diselesaikan. Tidak lupa sholawat
beriring salam semoga tercurah kepada junjungan tercinta Nabi Besar Muhammad SAW,
beserta keluarga, sahabat dan umatnya. Secara umum tulisan ini berisi tentang pengertian,
perkembangan dan pergerakan tentang PDB, PDB deflator, Indeks Harga Konsumen, Inflasi,
dan SBI sebagai indikator ekonomi penting bagi perekonomian Indonesia.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Prof. Mudrajat Kuncoro, Ph.D selaku
dosen pengampu mata kuliah Metode Analisis Pembangunan Pusat dan Daerah, yang
memberi kesempatan kepada seluruh mahasiswa meningkatkan kemampuan membaca dan
menganalisis data melalui learning process serta berbagai masukan dan kritikan berharga
yang beliau sampaikan. Terima kasih juga kami sampaikan kepada teman-teman di kelas BPS
Program Studi MEP FEB UGM atas semua bantuan dan diskusi yang sangat menarik.
Sebagai bagian dari learning process, maka tulisan ini tentu masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu, kritik dan saran dari pemanfaat tulisan ini untuk perkembangan
selanjutnya. Akhir kata dari kami adalah sebutir harapan agar tulisan ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Yogyakarta, Juni 2012
Tim Penulis
ADJAHMADA 2012
4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................... 3
DAFTAR ISI .................................................................................................................................. 4
DAFTAR TABEL ........................................................................................................................................ 6
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................................... 7
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................................. 9
BAB I PENDAHULULAN .......................................................................................................................... 10
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................................... 10
1.2 Tujuan .................................................................................................................................... 14
1.3 Jenis dan Sumber Data .......................................................................................................... 14
Peran Peran De Javasche Bank dan BNI sebagai bank Sirkulasi (mengeluarkan dan mengatur uang kertas)
Mata uang asing (Hindia Belanda dan Jepang) vs mata uang Republik Indonesia (ORI)
Peran dasar sebagai: (i) Agen Pembangunan, (ii) Kasir Pemerintah, (iii) Bankers' Bank, dan (iv) Pelaksana fungsi-fungsi selayaknya bank komersial
Tugas Pokok: (i) menjaga stabilitas moneter, (ii) mengedarkan uang, (iii) mengembangkan sistem pembayaran
Masih melekatnya peran dasar sebagai: (i) Agen Pembangunan, (ii) Kasir Pemerintah, (ii) Bankers' Bank (the lender of last resort)
Fungsi komersial dihilangkan
Tugas Pokok: (i) Mengatur. menjaga. dan memelihara stabilitas nilai rupiah, (ii) Mendorong kelancaran produksi clan pembangunan, serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat
Tujuan tunggal yang lebih jelas dan terfokus: “Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah"
Tugas Pokok yang saling mendukung: (i) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, (ii) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. dan (iii) Mengatur dan mengawasi perbankan
Peristiwa Utama
Dominasi dinamika perkembangan politik terhadap permasalahan ekonomi
Tindakan moneter sanering pada 1950 (Gunting Sjafrudin)
Pencetakan uang vs hiperinflasi (+-600%) pada pertengahan 1960-an
Tindakan moneter sanering pada 1959
Sering terjadinya konflik pencapaian tujuan kebijakan yang beragam (multiple objectives)
Tantangan pelaksanaan kebijakan moneter yang semakin kompleks dan berat pada era-era:
Stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi (1968-72)
Pertumbuhan ekonomi dengan hasil minyak (1973-82): pengendalian moneter langsung + Kebijakan pagu kredit 74, kredit selektif
Deregulasi, debirokratisasi dan liberalisasi ekonomi (1983-97): pengendalian moneter tidak langsung + Pakjun 83. Pakto 88.
Munculnya paradigma baru kebijakan bank sentral (moneter, perbankan, dan sistem pembayaran) di tengah-tengah dinamika reformasi politik: Inflation Targeting, Real Time Gross Settlement, dan Arsitektur Perbankan Indonesia.
Amandemen undang-undang tentang Bank Indonesia dalam UU No. 3 Tahun 2004. dengan pokok-pokok
Antara lain: (i) penetapan sasaran inflasi oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan BI. (ii) pengalihan fungsi pengawasan bank pada 2010. (iii) penyediaan Financial Safety Nets, (iv) pembentukan Badan Supevisi. (v) Keanggotaan DG: internal/ ekstemal. dan (vi) Aspek-aspek transparansi. akuntabilitas. dan pertangung iawaban .
Sumber: Bank Indonesia (2011)
37
2.3.2. Piranti Moneter Bank Indonesia
Dalam melaksanakan tugasnya, BI menggunakan beberapa piranti moneter yang
terdiri dari Giro Wajib Umum (reserve requirement), Fasilitas Diskonto, Himbauan Moral,
dan Operasi Pasar Terbuka. Dalam operasi pasar terbuka, BI dapat melakukan transaksi jual
beli surat berharga termasuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
SBI merupakan surat berharga atas unjuk dalam rupiah yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia sebagai pengakuan atas hutang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto.
Maksud dari diskonto adalah suku bunga jangka waktu satu bulan/tiga bulan—yang
ditawarkan oleh Bank Sentral (Bank Indonesia) kepada bank-bank swasta. Suku bunga SBI
(khususnya 1 bulan) sampai saat ini dianggap sebagai sinyal bagi perubahan suku bunga
pasar uang, suku bunga simpanan, dan suku bunga pinjaman (Hutabarat, 2003). SBI
diterbitkan dalam upaya untuk mengontrol peredaran uang di pasar atau money supply
(M2) melalui kebijakan operasi pasar terbuka (open market operations). Kebijakan terhadap
operasi pasar terbuka ini sangat erat kaitannya dengan kebijakan suku bunga dan kebijakan
untuk mengendalikan laju inflasi di suatu negara (Suta dan Musa, 2003).
Dalam keadaan inflasi yang relatif tinggi kenaikan SBI akan membawa turunnya
inflasi. Inflasi yang tinggi mengisyaratkan tingginya permintaan agregat yang berarti
kapasitas produksi telah maksimum sehingga output gap cenderung turun. Pada masa ini
pertumbuhan ekonomi relatif tinggi. Perekonomian dikatakan mengalami pemanasan.
Sebaliknya, dalam keadaan inflasi yang relatif rendah penurunan suku bunga SBI ditujukan
untuk menjaga momentum positif proses pemulihan ekonomi (Idris, 2003).
Perkembangan tingkat suku bunga yang tidak wajar secara langsung dapat
mengganggu perkembangan perbankan. Suku bunga yang tinggi, di satu sisi, akan
38
meningkatkan hasrat masyarakat untuk menabung sehingga jumlah dana perbankan akan
meningkat (Pohan, 2008). Tingkat suku bunga menjadi ukuran berapa biaya atau
pendapatan sehubungan dengan penggunaan uang untuk periode jangka waktu tertentu.
(Loen dan Ericson, 2008). Disisi perbankan, dengan bunga yang tinggi, bank akan mampu
menghimpun dana untuk disalurkan dalam bentuk kredit kepada dunia usaha (Pohan, 2008).
Penentuan BI rate biasanya ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG)
triwulanan (Januari, April, Juli dan 0ktober) untuk berlaku selama triwulan berjalan dengan
mempertimbangkan rekomendasi BI rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam
model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi. Perubahan BI rate juga dapat dilakukan
dalam RDG bulanan. Perubahan BI rate dilakukan dalam kelipatan 25 basis points
(perubahan dapat 25,50 ataupun 75 basis points sesuai dengan situasi moneter yang terjadi)
(Nuryazini, 2008).
2.3.3. Konsep tingkat suku bunga
Tingkat suku bunga (interest rate) merupakan salah satu variabel ekonomi yang
sering dipantau oleh para pelaku ekonomi. Tingkat suku bunga dipandang memiliki dampak
langsung terhadap kondisi perekonomian. Berbagai keputusan yang berkenaan dengan
konsumsi, tabungan dan investasi terkait erat dengan kondisi tingkat suku.
Ada beberapa konsep tentang suku bunga. Salah satunya adalah konsep suku bunga
riil (real interest rate) dan suku bunga nominal. Tingkat suku bunga nominal adalah tingkat
suku bunga yang tidak memperhitungkan nilai inflasi. Tingkat suku bunga nominal
merupakan tingkat bunga yang dibayarkan bank. Sedangkan tingkat suku bunga riil adalah
tingkat suku bunga yang memperhitungkan inflasi, sehingga perhitungan tingkat suku bunga
39
tersebut lebih mencerminkan cost of borrowing yang sebenarnya. Tingkat suku bunga riil
menunjukkan kenaikan atau penurunan daya beli.
Tingkat suku bunga riil yang memperhitungkan ekspektasi perubahan tingkat harga
disebut sebagai ex ante real interest rate. Sedangkan tingkat suku bunga riil yang
memperhitungkan perubahan tingkat harga aktual disebut sebagai ex post real interest rate.
Tingkat suku bunga riil , tingkat suku bunga dan inflasi dihubungkan oleh persamaan
fisher (fisher equation) sebagai berikut: (Mankiw, 2007)
dimana:
i = tingkat nominal
r = tingkat bunga rii
= tingkat inflasi
Jika inflasi lebih rendah dibanding tingkat suku bunga nominal, maka tingkat bunga riil
positif. Artinya terjadi kenaikan daya beli masyarakat dan orang yang menabung di bank
tetap akan diuntungkan. Sebaliknya jika inflasi lebih tinggi dibanding tingkat suku bunga
nominal, maka tingkat suku bunga riil akan begatif. Ini menunjukkan bahwa daya beli
masyarakat dan menabung di bank justru akan menurunkan kekayaan penabung.
2.3.4. Inflation Targeting Framework (ITF)
Indonesia telah membuat perubahan fundamental dalam kebijakan moneternya
seiring dengan dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Mengacu
pada UU No. 23 Tahun 1999, maka terlihat bahwa kebijakan moneter diimplementasikan
dengan menggunakan instrumen moneter (suku bunga ataupun agregat moneter) yang
40
mempengaruhi sasaran antara untuk mencapai sasaran akhir, yaitu stabilitas harga.
Kebijakan moneter selama ini pun dituntut untuk mencari paradigma baru mekanisme
transmisi yang diharapkan mampu mengendalikan variabel kebijakan (Julaihah dan
Insukendro, 2004).
Pada dasarnya tujuan kebijakan moneter di Indonesia adalah menjaga dan
memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang
rendah dan stabil. Kebijakan moneter tersebut dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Dalam
melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang
dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). Kebijakan ini ditandai dengan pengumuman
kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke
depan, sebagai contoh, inflasi tahun 2011 diperkirakan sebesar 5,3 persen.
Gambar 2.1. Kerangka Inflation Targeting Framework (ITF)
Sumber: Bank Indonesia (2012)
41
Dengan kerangka ITF ini, Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran
inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang
ditetapkan oleh pemerintah. Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijakan moneter dilakukan
secara forward looking, artinya perubahan stance kebijakan moneter dilakukan melalui
evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang
telah dicanangkan.
Instrumen kebijakan inflation targeting yang paling dapat diandalkan adalah
penetapan suku bunga kebijakan (BI rate). Perubahan BI rate mempengaruhi inflasi melalui
berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset,
dan jalur ekspektasi. Pada jalur suku bunga, perubahan BI rate mempengaruhi suku bunga
deposito dan suku bunga kredit perbankan. Perubahan suku bunga BI rate juga dapat
mempengaruhi nilai tukar.
Kenaikan BI rate, misalnya, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di
Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut
mendorong aliran modal asing masuk. Hal ini akan mendorong apresiasi nilai tukar rupiah.
Perubahan suku bunga BI rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan
harga aset. Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi
ekspektasi publik akan inflasi. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan
mempengaruhi output dan inflasi.
2.3.5. BI Rate/Suku Bunga Bank Indonesia
Tingkat suku bunga acuan bank sentral (BI rate) dapat diartikan sebagai suku bunga
kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh
42
bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI rate ditentukan oleh Dewan Gubernur
Bank Indonesia pada setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada
operasi moneter melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk
mencapai sasaran operasional kebijakan moneter. Bank Indonesia pada umumnya akan
menaikkan BI rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah
ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI rate apabila inflasi ke depan
diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.
43
BAB III ANALISIS DATA
3.1. Pergerakan Inflasi Tahunan 1990-2011 di Indonesia
Analisis pergerakan inflasi dilakukan dengan menggunakan dua periode waktu, yaitu
inflasi tahunan (year on year) dan inflasi bulanan ( month to month).
Gambar 3.1. Inflasi Tahunan di Indonesia, Tahun 1990-2011
Sumber: diolah dari BPS (1990-2011)
Dari grafik inflasi tahunan terlihat bahwa inflasi Indonesia tahun 1990-2011
mempunyai tren menurun dan mengalami fluktuasi, terutama pada tahun 1998 dan 2005.
Hal ini dapat dipahami karena tahun 1998, Indonesia dilanda krisis multidimensi sehingga
inflasi tahunan melonjak menjadi 77.73%. Pada saat itu, Indonesia tidak hanya mengalami
44
krisis ekonomi, tetapi juga krisis politik dan sosial. Pada saat yang sama pula terjadi
peralihan pemegang tampuk kekuasaan dari Soeharto ke BJ. Habibie. Tahun 2005, infasi
Indonesia kembali tergoncang menjadi 17.11% sebagai imbas dari kebijakan yang diambil
oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan menaikkan harga BBM.
Gambar 3.2. Inflasi Bulanan di Indonesia, Tahun 1990-2011
Sumber: diolah dari BPS (1990-2011)
Senada dengan inflasi tahunan, inflasi bulanan Indonesia tahun 1990-2011 juga
memperlihatkan gejolak saat terjadi krisis ekonomi dan kenaikan harga BBM. Inflasi bulan
Februari 1998 sebesar 12.76% merupakan inflasi tertinggi saat krisis melanda. Sementara
itu, dampak dari kenaikan harga BBM tahun 2005 terlihat pada inflasi bulan Oktober, yaitu
sebesar 8,7%.
45
Gambar 3.3. Inflasi Bulanan di Indonesia, Tahun 2008-2011
Sumber: diolah dari BPS (2008-2011)
Jika dilihat pola pergerakan inflasi, terlihat bahwa fluktuasi musiman (seasonal) sering
dijumpai pada data kuartalan, bulanan atau mingguan. Fluktuasi musiman menunjukkan
pola perubahan yang terjadi secara berulang sepanjang waktu. Hal ini dapat disebabkan
oleh kenaikan harga barang/jasa yang biasanya melonjak pada saat Hari Raya Idul Fitri,
Natal, Tahun Baru, libur kenaikan sekolah dan ketika datangnya shock kebijakan dari
pemerintah. Untuk dapat dengan jelas melihat pola perilaku inflasi bulanan, berikut
disajikan fluktuasi inflasi bulanan tahun 2008-2011.
46
Gambar 3.4. Inflasi Bulanan Berdasarkan Jenisnya di Indonesia, Tahun 2009-2011
Sumber: diolah dari BPS (2009-2011)
Inflasi menurut jenisnya, dapat dibedakan menjadi core inflation (inflasi inti),
administered price (harga yang diatur pemerintah), dan volatile goods (barang bergejolak).
Jika dilihat pergerakannya, core inflation (inflasi inti) cenderung lebih stabil dibandingkan
jenis inflasi lainnya. Inflasi pada komoditas yang harganya ditetapkan pemerintah
(administered price) cenderung lebih berfluktuasi hal ini terutama terlihat pada saat
47
intervensi pemerintah terhadap public goods yang ada di pasar, yang salah satunya adalah
kebijakan penetapan kenaikan harga BBM.
Selanjutnya inflasi yang memiliki fluktuasi tajam sepanjang waktu adalah inflasi pada
volatile goods. Tingginya inflasi antara lain dipicu oleh wacana pembatasan konsumsi BBM
dan tren kenaikan harga komoditas global, termasuk harga energi pada periode tersebut.
Sementara itu, deflasi kelompok volatile food kembali terjadi di bulan September-Oktober
yang pada umumnya terjadi pemulihan harga paska Ramadhan dan Idul Fitri.
Tabel 3.1. Koefisien Variasi Inflasi Bulanan Berdasarkan Jenisnya di Indonesia
Tahun 2009-2011
Jenis Inflasi Standar Deviasi Rata-rata Koefisien Variasi
(1) (2) (3) (4)
Inflasi Inti (core inflation) 0,22 0,35 0,63
Inflasi Harga Yang Diatur Pemerintah
(administered prices)
0,73 0,14 5,38
Inflasi Barang Bergejolak (volatile goods) 1,61 0,67 2,41
Sumber: diolah dari BPS (2009-2011)
Dari tabel di atas, nilai koefisien variasi inflasi bulanan dari inflasi core, inflasi
administered prices dan inflasi volatile goods bervariasi antara yang satu dengan yang
lainnya. Pada tahun 2009 sampai 2011, inflasi administered prices menunjukkan nilai
koefisien variasi yang terbesar. Hal ini berarti bahwa inflasi akan harga yang diatur
pemerintah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan inflasi umum
tahun 2009 sampai 2011.
48
3.2. Uji Perubahan Struktural Perilaku Data Inflasi (Stabilitas Model Chow Break Pont Test)
Uji stabilitas model dilakukan untuk meneliti apakah telah terjadi perubahan
struktural dalam perilaku inflasi selama lima periode kepemimpinan. Uji stabilitas yang
dilakukan dalam tulisan ini adalah uji titik patah Chow (Chow’s breakpoint test). Tulisan ini
menerapkan uji Chow untuk seluruh periode data (1 Januari 1990-31 Desember 2011);
periode Soeharto (1 Januari 1990-31 Mei 1998); periode Habibie (1 Juni 1998-30 Oktober
1999); periode Gus Dur (1 November 1999-31 Juli 2001); periode Megawati (1 Agustus
2001-30 Oktober 2004) dan periode SBY (1 November 2004-31 Desember 2011).
Tabel 3.2. Hasil Pengujian Perubahan Struktural Perilaku Data Inflasi Menurut Periode Masa Kepemerintahan, Tahun 1990-2011
Pengujian Statistik F Tingkat Probabilitas
(1) (2) (3)
Seluruh Periode Data 2.370785 Tidak Signifikan (0.0529)
Periode Soeharto 1.799169 Tidak Signifikan (0.1824)
Periode Habibie 1.810242 Tidak Signifikan (0.1867)
Periode Gus Dur 0.737069 Tidak Signifikan (0.3941)
Periode Megawati 0.000901 Tidak Signifikan (0.9761)
Periode SBY 2.142387 Tidak Signifikan (0.1470)
Sumber: diolah dari BPS (1990-2011)
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa untuk seluruh periode data tidak signifikan
secara statistik. Hasil ini memberikan bukti bahwa tidak terjadi perubahan struktural tingkat
inflasi pada kelima periode kepemimpinan. Hal ini juga berarti selama kelima periode
kepemimpinan tersebut pergerakan tingkat inflasi memiliki pola perilaku yang relatif sama.
49
3.3. Andil Inflasi
Seperti telah diketahui beberapa komponen penting dalam perubahan inflasi nasional
adalah fluktuasi inflasi dari setiap kota yang dipantau; fluktuasi inflasi untuk tiap komoditas;
dan diagram timbang dari kelompok pengeluaran yang terdapat pada paket komoditi.
Berikut digambarkan fluktuasi inflasi dari setiap kota IHK berdasarkan periodesasi Survei
Biaya Hidup (SBH) tahun 2007 yang menjadi tahun dasar, yang mencakup 66 kota yang
terdiri dari 33 ibukota provinsi dan 33 kota-kota besar di Indonesia serta mencakup paket
komoditi 284-441 jenis barang dan jasa.
Gambar 3.5. Nilai Koefisien Variasi Inflasi Tahunan menurut 66 Kota 2009-2011
Sumber: diolah dari BPS (2009-2011)
50
Selanjutnya pula digambarkan fluktuasi inflasi dari setiap Kota IHK berdasarkan
periodesasi Survei Biaya Hidup (SBH) tahun 2002 yang menjadi tahun dasar yang mencakup
45 kota.
Gambar 3.6. Nilai Koefisien Variasi Inflasi Tahunan menurut 45 Kota 2004-2008
Sumber: diolah dari BPS (2004-2008)
Dari gambar di atas, nilai koefisien variasi inflasi tahunan cukup bervariasi antara
yang satu dengan yang lainnya. Pada tahun 2004 sampai 2008, Banda Aceh, Bengkulu,
Medan, Ambon dan Sibolga menunjukkan nilai koefisien variasi yang paling besar. Hal ini
berarti bahwa kelima kota tersebut memberikan andil yang signifikan terhadap
perkembangan inflasi umum tahun 2004 sampai 2008. Sedangkan pada tahun 2009 sampai
2011, lima kota yang memberikan andil yang signifikan terhadap perkembangan inflasi
umum dengan melihat nilai koefisien variasi yang terbesar adalah Dumai, Sorong, Jambi,
51
Manado dan Sibolga. Selanjutnya kondisi riil untuk 2012, BPS sedang melaksanakan SBH
2012 dengan cakupan 86 kota, yaitu dengan penambahan 20 kota dalam wilayah Indonesia.
SBH adalah survei pengeluaran konsumsi rumah tangga di daerah perkotaan yang
dimaksudkan untuk mendapatkan pola konsumsi masyarakat sebagai bahan penyusunan
diagram timbang IHK dan penyusunan paket komoditas yang baru. Hal ini dilakukan karena
pola konsumsi masyarakat biasanya kerap berubah sejalan dengan penghasilan yang
diterima. Sehingga jika tidak dilakukan penyesuaian dikhawatirkan IHK yang diperoleh tidak
dapat mewakili kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Berdasarkan kelompok komoditas, andil inflasi dapat terlihat dengan melihat
komposisi koefisien variasi per kelompok komoditas dan bobot total pengeluaran, hal
tersebut dapat terlihat pada tabel berikut:
Tabel 3.3. Andil Inflasi Berdasarkan Koefisien Variasi Inflasi 2004-2011 dan Bobot Total Pengeluaran Rumah Tangga (persen) per Kelompok Komoditas
Kelompok Komoditas Koefisien Variasi
Inflasi 2004-2011
SBH 2002 SBH 2007
(1) (2) (3) (4)
Bahan Makanan 0,13 25,50 19,57
Makanan Jadi, Minuman, Rokok
dan Tembakau
0,04 17,88 16,55
Perumahan, Air, Listrik, Gas dan
Bahan Bakar
0,02 25,59 24,41
Sandang 0,05 6,41 7,09
Kesehatan 0,01 4,31 4,44
Pendidikan, Rekreasi dan
Olahraga
0,13 6,04 7,81
Transportasi, Komunikasi dan
Jasa keuangan
0,15 14,27 19,21
Sumber: diolah dari BPS (2004-2011)
52
Berdasarkan hasil SBH 2007, kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar
merupakan kelompok pengeluaran terbesar dari seluruh pengeluaran rumahtangga yaitu
24,41 persen. Pada kelompok ini terdapat komoditi BBM yang jika harganya naik, maka akan
memberikan andil yang besar terhadap inflasi nasional. Kelompok lain yang merupakan
tingkat persentase pengeluarannya terbesar adalah kelompok bahan makanan yaitu sebesar
19,57 persen dari total pengeluaran rumahtangga. Jika pada kelompok bahan makanan ini
mengalami kenaikan harga, maka akan memberikan andil inflasi yang juga besar pada inflasi
nasional, seperti beras, cabe merah, cabe rawit dan lain sebagainya.
Apabila dilihat perubahan andil kelompok komoditas berdasarkan bobot kelompok
komoditas SBH 2002 dan SBH 2007 maka bahan makanan turun dari 25,50 persen menjadi
19,57 persen. Sehingga beberapa komoditas yang sebelumnya memiliki sensitivitas tinggi
seperti beras dan cabe akan semakin menurun sensitivitasnya. Selanjutnya untuk kelompok
transportasi, komunikasi dan jasa keuangan bobotnya meningkat dari 14,27 persen menjadi
19,21 persen. Berdasarkan nilai koefisien variasi inflasi 2004 sampai 2011 sebagaimana andil
berdasarkan penimbang, dua kelompok komoditas dengan andil yang signifikan adalah
Bahan Makanan dan Transportasi, Komunikasi dan Jasa keuangan.
3.4. Perkembangan PDB Nominal dan PDB Riil
Selama periode 1990-2011, baik PDB nominal maupun PDB riil Indonesia relatif
menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Perbedaan antara nilai PDB nominal dan PDB riil
menunjukkan perubahan tingkat harga yaitu dengan indikator PDB deflator. Dalam
menghitung PDB riil, BPS melakukan beberapa perubahan tahun dasar. Data yang digunakan
pada gambar tersebut menggunakan tahun dasar yang berbeda, yaitu: tahun dasar 1983
53
untuk data tahun 1990 – 1993; tahun dasar 1993 untuk data tahun 1994 – 2000; dan tahun
dasar 2000 untuk data tahun 2001 – 2011.
Gambar 3.7. Perkembangan PDB Nominal dan PDB Riil
Tahun 1990 – 2011 (milyar rupiah)
Sumber: diolah dari BPS (1990-2011)
Dengan demikian perlu dicatat bahwa perubahan PDB riil yang cukup tajam pada
tahun 1993/1994, 2000/2001 lebih disebabkan karena perubahan tahun dasar. Perbedaan
antara PDB nominal dan PDB riil menunjukkan perubahan tingkat harga. Semakin besar
perbedaan diantara keduanya menunjukkan bahwa terjadi perubahan tingkat harga yang
besar atau yang disebut dengan inflasi.
Dari gambar tersebut dapat dilihat perbedaan antara PDB riil dan PDB nominal
semakin besar sejak tahun 1998. Sebelum tahun ini, perbedaan PDB nominal dan PDB riil
tidak terlalu besar. Ini berarti perubahan tingkat harga tidak terlalu tinggi. Sedangkan sejak
tahun 1998, perbedaan antara PDB nominal dan PDB riil semakin lebar. Ini menunjukkan
bahwa sejak tahun 1998, yaitu pada saat Indonesia mengalami krisis multidimensional,
54
terjadi perubahan tingkat harga yang sangat tinggi. Dari gambar tersebut terlihat bahwa
hingga tahun 2011 terjadi perubahan tingkat harga yang semakin lebar.
Tabel 3.4. PDB Nominal dan PDB Riil Indonesia Tahun 1990 – 2011
(milyar rupiah)
Tahun PDB nominal PDB Riil Tahun PDB nominal PDB Riil
(1) (2) (3) (1) (2) (3)
1990 195.597 115.217 2001 1.646.322 1.440.406
1991 227.450 123.225 2002 1.821.833 1.505.216
1992 259.885 131.185 2003 2.013.675 1.577.171
1993 302.018 139.707 2004 2.295.826 1.656.517
1994 382.220 354.641 2005 2.774.281 1.750.815
1995 454.514 383.793 2006 3.339.217 1.847.127
1996 532.568 413.798 2007 3.950.893 1.964.327
1997 627.696 433.246 2008 4.948.688 2.082.456
1998 955.754 376.375 2009 5.606.203 2.178.850
1999 1.099.732 379.353 2010 6.436.271 2.313.838
2000 1.264.919 398.017 2011 7.427.086 2.463.242
Sumber: diolah dari BPS (1990-2011)
Jika dilihat hanya dari PDB nominal saja, maka perkembangan perekonomian yang
sangat pesat yaitu dari sebesar Rp 195.597 milar rupiah pada tahun 1990 menjadi sebesar
Rp 7.427.086 milyar pada tahun 2011 atau selama 21 tahun menjadi hampir 38 kali lipat.
Namun perkembangan perekonomian yang sesungguhnya terlihat dari PDB riil. Berdasarkan
PDB riill, sepanjang tahun 1990 – 2011, perekonomian Indonesia mengalami peningkatan
55
sebanyak 21 kali lipat yang ditunjukkan dengan PDB riil tahun 1990 sebesar Rp 115.217
milyar menjadi Rp 2.463.242 milyar pada tahun 2011.
3.5. Perkembangan Inflasi Berdasar PDB Deflator dan Inflasi Berdasar IHK
Meskipun menggunakan pendekatan yang berbeda, PDB deflator dan IHK
menceritakan tentang hal yang sama seberapa harga berubah. Persentase perubahan PDB
deflator dapat disebut sebagai inflasi berdasar PDB deflator sedangkan persentase
perubahan IHK disebut inflasi berdasar IHK.
Gambar 3.8. Perkembangan Inflasi Berdasar PDB Deflator dan Inflasi Berdasar IHK Indonesia Tahun 1990-2011 (persen)
Sumber: diolah dari BPS (1990-2011)
Gambar tersebut menunjukkan perubahan persentase dalam PDB deflator dan IHK
untuk setiap tahun sejak tahun 1990. Meskipun berbeda setiap waktu, kedua ukuran harga
56
ini menyimpulkan hal yang sama tentang seberapa cepat harga meningkat. PDB deflator dan
IHK menunjukkan bahwa harga cenderung meningkat dengan lambat sebelum tahun 1997,
kemudian pada tahun 1998 harga meningkat dengan sangat tajam sebagai dampak krisis
ekonomi tahun 1998. Pada tahun 2009 tingkat harga kembali turun dan terus berubah sejak
tahun 1999 – 2011 dengan fluktuasi yang tidak terlalu tajam.
Tabel 3.5. Statistik Deskriptif Inflasi berdasar PDB deflator dan Inflasi berdasar IHK Indonesia Tahun 1990-2011
Statistics
Inflasi Berdasarkan PDB Deflator Inflasi Berdasarkan IHK
N Valid 22 22
Missing 0 0
Mean 13.1405 11.2309
Std. Error of Mean 3.03466 3.24521
Median 9.1050 8.9400
Mode 5.49a 2.01a
Std. Deviation 14.23381 15.22140
Variance 202.601 231.691
Skewness 4.322 4.309
Std. Error of Skewness .491 .491
Kurtosis 19.555 19.505
Std. Error of Kurtosis .953 .953
Range 69.78 75.62
Minimum 5.49 2.01
Maximum 75.27 77.63
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
Sumber: diolah dari BPS (1990-2011)
Berdasarkan hasil output diatas dapat kita lihat bahwa nilai N menunjukkan jumlah
data dari inflasi berdasarkan PDB deflator dan inflasi berdasar IHK yang diproses adalah
57
sebanyak 22 series data, yakni data selama periode 1990-2011. Selama periode tersebut,
rata-rata inflasi berdasarkan PDB deflator selama periode tersebut sebesar 13,14% dengan
standar deviasi 14,23% dari nilai rata-ratanya. Range inflasi berdasarkan PDB deflator
tertinggi dan terendah adalah 69,78% disekitar mediannya yang senilai 9,10%, dengan inflasi
berdasarkan PDB deflator terendah 5,49% dan inflasi berdasarkan PDB deflator tertinggi
75,27%.
Gambar 3.9. Grafik Skewness Inflasi Berdasar PDB Deflator Tahunan Indonesia Tahun 1990-2011
Sumber: diolah dari BPS (1990-2011)
58
Dilihat dari derajat kesimetrian distribusi data, ukuran kecondongan (skewness)
inflasi berdasarkan PDB deflator sebesar 4,322 dengan standar kesalahan dari nilai
kecondongan sebesar 0,491. Seperti halnya distribusi data inflasi, distribusi data inflasi
berdasarkan PDB deflator juga memiliki kecondongan positif (positively skewed) yang
menunjukkan bahwa nilai rata-ratanya lebih besar dari nilai mediannya. Dengan kata lain
bahwa data inflasi berdasarkan PDB deflator tidak berdistribusi normal dan inflasi yang
terjadi berdasarkan PDB deflator memiliki kecenderungan yang tinggi.
Selanjutnya seperti terlihat pada tabel sebelumnya, dari 22 series data inflasi
berdasar IHK selama periode tahun 1990-2011 terlihat bahwa rata-rata inflasi berdasar IHK
sebesar 11,23% dengan standar deviasi 15,22% dari nilai rata-ratanya. Range inflasi
berdasar IHK tertinggi dan terendah adalah 75,62% disekitar mediannya yang senilai 8,94%,
dengan inflasi berdasar IHK terendah 2,01% dan inflasi berdasar IHK tertinggi 77,63%.
Gambar 3.10. Grafik Skewness Inflasi Berdasar IHK Indonesia Tahun 1990-2011
Sumber: diolah dari BPS (1990-2011)
59
Dilihat dari derajat kesimetrian distribusi data, ukuran kecondongan (skewness)
inflasi berdasar IHK sebesar 4,309 dengan standar kesalahan dari nilai kecondongan sebesar
0,491. Hal ini berarti bahwa distribusi inflasi berdasar IHK memiliki kecondongan positif
(positively skewed) yang menunjukkan bahwa nilai rata-ratanya lebih besar dari nilai
mediannya, dengan kata lain bahwa inflasi berdasar IHK yang terjadi memiliki
kecenderungan yang tinggi, sehingga secara umum data inflasi tidak berdistribusi normal.
Tabel 3.6. Tabel Korelasi Pearson Data Inflasi Berdasar PDB Deflator dan
Inflasi Berdasar IHK Tahunan Periode 1990-2011 di Indonesia
Correlations
Inflasi
Berdasarkan
PDB Deflator
Inflasi
Berdasarkan
IHK
Inflasi Berdasarkan
PDB Deflator
Pearson
Correlation
1 .969**
Sig. (2-tailed) .000
N 22 22
Inflasi Berdasarkan IHK Pearson
Correlation
.969** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 22 22
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Sumber: diolah dari BPS (1990-2011)
Kemudian, untuk melihat ada tidaknya korelasi antara inflasi berdasarkan PDB
deflator dan inflasi berdasar IHK maka dilakukanlah Uji Korelasi Pearson. Dengan uji ini
dapat dilihat ada tidaknya hubungan linier antara inflasi berdasarkan PDB deflator dan
inflasi berdasar IHK. Berdasarkan Uji Korelasi Pearson tersebut terlihat bahwa nilai Sig.(2-
tailed)<0,01. Hal ini menunjukkan bahwa korelasi antara PDB deflator dan inflasi berdasar
60
IHK adalah signifikan pada level 0,01. Artinya, dengan tingkat kepercayaan 99%, PDB
deflator berkorelasi atau berhubungan linier inflasi berdasar IHK. Sementara itu, nilai
koefisien Pearson bernilai positif 0,969. Hal ini menunjukkan bahwa korelasi antara inflasi
berdasar PDB deflator dan IHK adalah searah dengan kekuatan hubungan 96,9%. Hubungan
ini sesuai dengan searahnya penghitungan PDB deflator atas harga produsen serta inflasi
berdasar IHK yang ditentukan berdasarkan harga konsumen. Di mana untuk keterkaitan
gejolak harga pada sisi produsen dan konsumen searah, linier dan positif. Pola hubungan
linier ini juga dapat dilihat dari scatter plot data inflasi berdasar PDB deflator dan Inflasi
berdasar IHK tahunan di bawah ini:
Gambar 3.11. Scatter Plot Data Inflasi berdasar PDB deflator dan Inflasi berdasar IHK di Indonesia Tahun 1990-2011 (Linear)
Sumber: diolah dari BPS (1990-2011)
61
Berdasarkan hasil Uji Korelasi Pearson diatas dan dihubungkan dengan kategorisasi
korelasi menurut Jonathan Sarwono, jika koefisien korelasi Pearson adalah nol maka
diartikan antara dua variabel tidak ada korelasi, 0 s.d 0,25 dikategorikan berkorelasi sangat
Target Inflasi Dalam Rangka Melaksanakan Kebijakan Moneter Secara Forward Looking”. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan. Vol.2 no. 4. halaman 35-67.
Badan Pusat Statistik. 2007. Diagram Timbang IHK 2007: Buku I Hasil Survei SBH. Jakarta:
Badan Pusat Statistik. Bank Indonesia. Laporan Perekonomian Indonesia. Beberapa Edisi. Bank Indonesia. 2011. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (online). (http://www.bi.go.id,
diakses tanggal 9 juni 2012). Baasir, F. 2003. Indonesia Pasca Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Djohanputro, B. 2006. Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro. Jakarta: PPM. Idris RZ. 2003. Penurunan Suku Bunga, Pertumbuhan Ekonomi dan Proses Disinflasi.
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Jakarta: Bank Indonesia. Julaiha, Umi dan Insukindro. 2004. “Analisis Dampak Kebijakan Moneter terhadap Variabel
Makroekonomi di Indonesia Tahun 1983.1-2003.2”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004. Jakarta: Bank Indonesia.
Kuncoro, Mudrajad. 2011. Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi Untuk Bisnis & Ekonomi.
Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Loen, B. & Ericson, S. 2008. Manajemen Aktiva Pasiva Bank Devisa. Jakarta: Grasindo. Mankiw, N Gregory. 2007. Makroekonomi, edisi keenam. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama Miraza, Bachtiar Hassan. 2005. Peran Suku Bunga & Perekonomian (online). (http://www.
waspada online.co.id/, diakses tanggal 9 juni 2012). Nuryazini. 2008. Mengenal BI Rate Lebih Dalam. Edukasi Perbankan (online).
(http://nuryazini.wordpress.com, diakses tanggal 9 Juni 2012). Pohan, A. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia: Seberapa Jauh Kebijakan Moneter
Mewarnai Perekonomian Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rosidi, A., Riduan dan Sugiharto. 2004. Metode Pengukuran Inflasi di Indonesia. Direktorat Statistik Keuangan dan Harga. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Samuelson, Paul dan W.D. Nordhaus. 2005. Ilmu Makroekonomi. Jakarta: PT Media Global
Edukasi. Sukirno, Sadono. 2003. Pengantar Teori Makroekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Suta A, Musa. 2003. Membedah Krisis Perbankan. Jakarta: Yayasan Sad Satria Bhakti.
86
87
Lampiran 1.a Tingkat Inflasi Per Bulan Tahun 1990 – 2000