1 INTRODUKSI TANAMAN SAYURAN DATARAN TINGGI DI DESA DOMPYONG, BENDUNGAN, TRENGGALEK Al. Gamal Pratomo, L. Rosmahani, T. Zubaidi, dan, Sugiono Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jl. Raya Karangploso Km 4 telp. (0341) 494052; Fax (0341) 471255 ABSTRAK Perkembangan pembangunan nasional dan perubahan lingkungan yang strategis yang terjadi akhir-akhir ini mendorong Departemen Pertanian untuk terus meningkatkan peran serta yang lebih produktif dan sistematis khususnya dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat tani dan umumnya dalam memecahkan berbagai kendala pembangunan pertanian. Sumberdaya alam pertanian yang terdapat di wilayah Kabupaten Trenggalek terutama Kecamatan Bendungan sangat berpotensi untuk dikembangkan dan dioptimalkan pemanfaatannya ke arah usaha-usaha agribisnis, salah satunya pengembangan tanaman sayuran dataran tinggi, guna menciptakan sumber perekonomian baru untuk masyarakat di pedesaan. Pengembangan dan pertumbuhan sentra-sentra agribisnis ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positip bagi masyarakat luas, khususnya para petani. Tujuan kegiatan ini adalah introduksi (pengenalan dan pembelajaran) sayuran dataran tinggi kepada petani yang asalnya hanya menanam tanaman pangan: padi gogo, jagung dan sebagian besar ketela pohon. Pengkajian dilakukan di lahan petani di dusun Garon, desa Dompyong, Bendungan ,Trenggalek pada bulan Mei – Desember 2007. Pengkajian dilakukan secara onfarm research. Jenis sayuran yang diperkenalkan yaitu: kubis, bawang daun, wortel dan kentang. Masing - masing jenis sayuran ditanam oleh minimal 3 orang petani di lahannya sendiri, dengan luas lahan berkisar 500 – 2500 m 2 , kecuali tanaman kentang ditanam secara berkelompok ( 7 orang) pada lahan seluas 4 ha. Pengamatan dilakukan terhadap kondisi pertumbuhan umum, serangan hama penyakit dominan, hasil panen, harga jual produk. Pengamatan juga dilakukan pada pertanaman existing di langan pada saat yang sama, terhadap pertumbuhan umum, serangan hama dan penyakit dominan, hasil panen dan harga jual produk. Analisa menggunakan analisa perbandingan sederhana, yaitu hasil panen dan pendapatan tanaman sayuran yang ditanam petani dibandingkan dengan hasil panen dan pendapatan tanaman yang ada setempat. Introduksi tanaman sayuran dataran tinggi: kubis, bawang prei, wortel dan kentang di dusun Garon, desa Dompyong, Bendungan Trenggalek dapat diterima oleh petani setempat. Hasil panen rata-rata pada tahun 2007 yaitu: kubis : 40 ton/ha; bawang daun: 40 ton/ha; wortel: 20 ton/ha; kentang 20,6 ton/ha. Pendapatan bersih per 0,25 ha lahan dapat mencapai 3 – 11 kali lipat dari tanaman existing ketela pohon atau padi gogo. Lahan kubis di dusun Garon bukan daerah endemis penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae) dan lahan kentang bukan daerah endemis penyakit nematoda sista kentang ( Globodera spp.). Masih diperlukan pendampingan untuk penguatan sumberdaya manusia (peningkatan ketrampilan , pengetahuan, pemahaman petani terhadap tanaman sayuran) dan kelembagaan petani, agar produksi meningkat, pendapatan petani meningkat dan diharapkan kesejahteraan petani akan meningkat pula. Kata kunci: sayuran dataran tinggi, kubis, bawang daun,wortel, kentang, desa Dompyong Kabupaten Trenggalek, Plasmodiophora brassicae, Globodera spp.
203
Embed
ABSTRAK - jatim.litbang.pertanian.go.idjatim.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/01/Prosiding2008.pdf · Pertanian (Prima Tani) yaitu suatu model atau konsep baru diseminasi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
INTRODUKSI TANAMAN SAYURAN DATARAN TINGGI DI DESA DOMPYONG, BENDUNGAN, TRENGGALEK
Al. Gamal Pratomo, L. Rosmahani, T. Zubaidi, dan, Sugiono Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Jl. Raya Karangploso Km 4 telp. (0341) 494052; Fax (0341) 471255
ABSTRAK
Perkembangan pembangunan nasional dan perubahan lingkungan yang strategis yang terjadi akhir-akhir ini mendorong Departemen Pertanian untuk terus meningkatkan peran serta yang lebih produktif dan sistematis khususnya dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat tani dan umumnya dalam memecahkan berbagai kendala pembangunan pertanian. Sumberdaya alam pertanian yang terdapat di wilayah Kabupaten Trenggalek terutama Kecamatan Bendungan sangat berpotensi untuk dikembangkan dan dioptimalkan pemanfaatannya ke arah usaha-usaha agribisnis, salah satunya pengembangan tanaman sayuran dataran tinggi, guna menciptakan sumber perekonomian baru untuk masyarakat di pedesaan. Pengembangan dan pertumbuhan sentra-sentra agribisnis ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positip bagi masyarakat luas, khususnya para petani. Tujuan kegiatan ini adalah introduksi (pengenalan dan pembelajaran) sayuran dataran tinggi kepada petani yang asalnya hanya menanam tanaman pangan: padi gogo, jagung dan sebagian besar ketela pohon. Pengkajian dilakukan di lahan petani di dusun Garon, desa Dompyong, Bendungan ,Trenggalek pada bulan Mei – Desember 2007. Pengkajian dilakukan secara onfarm research. Jenis sayuran yang diperkenalkan yaitu: kubis, bawang daun, wortel dan kentang. Masing - masing jenis sayuran ditanam oleh minimal 3 orang petani di lahannya sendiri, dengan luas lahan berkisar 500 – 2500 m2, kecuali tanaman kentang ditanam secara berkelompok ( 7 orang) pada lahan seluas 4 ha. Pengamatan dilakukan terhadap kondisi pertumbuhan umum, serangan hama penyakit dominan, hasil panen, harga jual produk. Pengamatan juga dilakukan pada pertanaman existing di langan pada saat yang sama, terhadap pertumbuhan umum, serangan hama dan penyakit dominan, hasil panen dan harga jual produk. Analisa menggunakan analisa perbandingan sederhana, yaitu hasil panen dan pendapatan tanaman sayuran yang ditanam petani dibandingkan dengan hasil panen dan pendapatan tanaman yang ada setempat. Introduksi tanaman sayuran dataran tinggi: kubis, bawang prei, wortel dan kentang di dusun Garon, desa Dompyong, Bendungan Trenggalek dapat diterima oleh petani setempat. Hasil panen rata-rata pada tahun 2007 yaitu: kubis : 40 ton/ha; bawang daun: 40 ton/ha; wortel: 20 ton/ha; kentang 20,6 ton/ha. Pendapatan bersih per 0,25 ha lahan dapat mencapai 3 – 11 kali lipat dari tanaman existing ketela pohon atau padi gogo. Lahan kubis di dusun Garon bukan daerah endemis penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae) dan lahan kentang bukan daerah endemis penyakit nematoda sista kentang ( Globodera spp.). Masih diperlukan pendampingan untuk penguatan sumberdaya manusia (peningkatan ketrampilan , pengetahuan, pemahaman petani terhadap tanaman sayuran) dan kelembagaan petani, agar produksi meningkat, pendapatan petani meningkat dan diharapkan kesejahteraan petani akan meningkat pula.
Kata kunci: sayuran dataran tinggi, kubis, bawang daun,wortel, kentang, desa Dompyong Kabupaten Trenggalek, Plasmodiophora brassicae, Globodera spp.
2
PENDAHULUAN
Perkembangan pembangunan nasional dan perubahan lingkungan yang
strategis yang terjadi akhir-akhir ini mendorong Departemen Pertanian untuk terus
meningkatkan peran serta yang lebih produktif dan sistematis khususnya dalam
mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat tani dan umumnya dalam
memecahkan berbagai kendala pembangunan pertanian.
Berdasarkan evaluasi eksternal maupun internal menunjukkan bahwa
kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi yang dihasilkan oleh Badan Litbang
Pertanian cenderung melambat dan bahkan menurun. Diperlukan sekitar dua tahun
sebelum teknologi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian, diketahui oleh 50
% dari Penyuluh Pertanian Spesialis. Tenggang waktu sampainya informasi dan
adopsi teknologi baru tersebut oleh petani tentu lebih lama lagi (Badan Litbang
Pertanian, 2004).
Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi
Pertanian (Prima Tani) yaitu suatu model atau konsep baru diseminasi teknologi
yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan bahan dasar
inovasi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Program ini diharapkan dapat
berfungsi sebagai jembatan penghubung langsung antara Badan Litbang Pertanian
sebagai penghasil inovasi dengan lembaga penyampaian Pertanian maupun pelaku
agribisnis pengguna inovasi (Badan Litbang Pertanian, 2004). Selain sebagai
wahana diseminasi, Prima Tani juga akan digunakan sebagai wahana pengkajian
partisipatif, yaitu Penelitian untuk Pembangunan (Research for Development)
menggantikan paradigma lama Penelitian dan Pengembangan (Research and
Development).
Sumberdaya alam pertanian yang terdapat di wilayah Kabupaten Trenggalek
terutama Kecamatan Bendungan sangat berpotensi untuk dikembangkan dan
dioptimalkan pemanfaatannya ke arah usaha-usaha agribisnis, salah satunya adalah
pengembangan tanaman sayuran dataran tinggi, yang diharapkan dapat
menciptakan sumber perekonomian baru untuk masyarakat di pedesaan.
Pengembangan dan pertumbuhan sentra-sentra agribisnis ini diharapkan dapat
memberikan dampak yang positip bagi masyarakat luas, khususnya para petani
terhadap aspek perbaikan ekonomi dan pendapatan/kesejahteraan keluarga petani.
3
Tujuan kegiatan ini adalah introduksi (pengenalan dan pembelajaran) sayuran
dataran tinggi kepada petani yang asalnya hanya menanam tanaman pangan: padi
gogo, jagung dan sebagian besar ketela pohon di desa Dompyong, Bendungan,
Trenggalek.
Di harapkan petani menjadi mengenal teknologi bertanaman sayuran dataran
tinggi utamanya: kentang , kubis, bawang daun dan wortel. Pengenalan ini
diharapkan akan semakin berkembang hingga terjadi pola agribisnis yang dijalani
oleh petani setempat yang pada akhirnya wilayah tersebut menjadi Kawasan
Agropolitan.
LATAR BELAKANG
a.Kondisi existing lahan dan sumberdaya manusia
Agar inovasi teknologi yang diimplementasikan dapat tepat guna dan tepat
sasaran perlu didukung data dan informasi sumberdaya lahan (tanah, iklim dan air).
Desa Dompyong berjarak 20 km dari ibukota Kabupaten Trenggalek. Rata-rata
curah hujan bulanan antara 30 – 432 mm/bulan dan curah hujan tahunan sekitar
2.998 mm/tahun, jumlah hari hujan antara 2-18 hari perbullan, jumlah hari hujan
tahunan sebanyak 126 hari. Kondisi hujan tergolong dalam zona agroklima C-2
(Oldeman,1975) dan tipe hujan B (Schmidt & Ferguson, 1951). Puncak periode
basah pada bulan Maret dan puncak periode kering pada bulan Agustus. Suhu
rerata tahunan 28 0 C, kelembaban udara relatif berkisar 86,2 % sepanjang tahun.
Desa Dompyong terletak pada ketinggian 700 – 1.000 m dpl, masuk dalam daerah
aliran Simberwangi. Permasalahan sumberdaya air adalah letak lahan yang
diusahakan petani berada jauh di atas sungai dengan bentuk wilayah bergelombang,
berbukit maupun berbukit kecil, budidaya pertanian yang dilakukan berupa budidaya
pertanian tadah hujan.Tanah terbentuk dari bahan volkan (Tuff Volkkan), bahan
induk volkan cenderung bertekstur agak halus sampai agak kasar (Sosiawan dkk.,
2007). Kodisi kelerengan atau tingkat kemiringan lahan yang diusahakan petani rata-
rata cukup besar, lebih kurang 15% – 25 %. Hal ini yang menyebabkan
pengusahaan atas lahan oleh penduduk terkonsentrasi pada wilayah yang memiliki
tingkat kelerengan lahan rendah. Pada tanah-tanah yang mempunyai kemiringan
lahan lebih dari 15 %, umumnya pemanfaatan lahan sudah dilakukan dengan cara
terasering. Secara visual lapisan olah tanah pada umumnya cukup tebal atau secara
4
agropedoklimat sesuai untuk wilayah pengembangan tanaman hortikultura maupun
tanaman industri (Pemerintan Kabupaten Trenggalek, 2006)
Penduduk sebagai salah satu sumber daya pembangunan memegang
peranan penting dalam pembangunan yaitu sebagi subyek/pelaku sekaligus sebagai
obyek dari pembangunan. Kepadatan penduduk di kecamatan Bendungan rata-rata
295 jiwa/ km2. Pertumbuhan penduduk berhubungan dengan pertumbuhan tenaga
kerja, namun masih banyaknya kualitas tenaga kerja yang masih rendah
mengakibatkan belum dapatnya tertampung pada lapangan kerja. Untuk itu perlu
juga adanya upaya-upaya pengembangan infestasi di daerah yang merupakan salah
satu langkah untuk mengatasi berbagai masalah ketenagakerjaaan (Pemerintah
Kabupaten Trenggalek, 2006).
b. Konsep Pengembangan Ruang
Kecamatan Bendungan, yang didalamnya terdapat desa Dompyong,
merupakan salah satu kecamatan yang akan dijadikan Kawasan Agropolitan bagi
kabupaten Trenggalek. Pada rencana pewujudan kawasan tersebut di buat konsep
a.l. optimalisasi budidaya, pengolahan dan pemasaran komoditas pertanian dan
peternakan. Komoditas pertanian yang dipilih adalah komoditi hortikultura sayuran.
Produksi sayuran di Kecamatan Bendungan merupakan salah satu harapan
masyarakat Kabupaten Trenggalek untuk tetap dapat menghasilkan produksi
pertanian dengan skala pemasaran mencapai skala nasional. Hal ini didukung oleh
kondisi geografis administrasi dimana kecamatan Bendungan berbatasan dengan
kabupaten Ponorogo di sebelah utara dan barat, berbatasan dengan kabupaten
Tulungagung di sebelah utara dan timur dan berbatasan dengan kecamatan
Trenggalek sebagai ibukota kabupaten di sebelah selatan. Karena komoditi sayuran
yang ada masih ditanam seadanya, maka diperlukan pengenalan, pembelajaran dan
pendampingan penanaman tanaman sayuran dataran tinggi yang berpotensi untuk
dikembangkan di kecamatan khususnya di desa Dompyong.
MATERI DAN METODE
Pengkajian dilakukan di lahan petani di dusun Garon, desa Dompyong,
Bendungan ,Trenggalek pada bulan Mei – Desember 2007. Pengkajian dilakukan
secara onfarm research. Jenis sayuran yang diperkenalkan yaitu: kubis, bawang
5
daun, wortel dan kentang. Masing - masing jenis sayuran ditanam oleh minimal 3
orang petani di lahannya sendiri, dengan luas lahan berkisar 500 – 2500 m2, kecuali
tanaman kentang ditanam secara berkelompok ( 7 orang) pada lahan seluas 4 ha.
Pengamatan dilakukan terhadap kondisi pertumbuhan umum, serangan hama
penyakit dominan, hasil panen, harga jual produk. Pengamatan juga dilakukan pada
pertanaman existing di langan pada saat yang sama, terhadap pertumbuhan umum,
serangan hama dan penyakit dominan, hasil panen dan harga jual produk. Analisa
menggunakan analisa perbandingan sederhana, yaitu hasil panen dan pendapatan
tanaman sayuran yang ditanam petani dibandingkan dengan hasil panen dan
pendapatan tanaman yang ada setempat.
Karena petani belum paham benar budidaya sayuran yang disarankan BPTP
Jatim, maka sebelum tanam dilakukan kegiatan-kegiatan secara bertahap yaitu:
sosialisai cara bertanam sayuran yang akan ditanam, introduksi (pengenalan)
sayuran yang akan di tanam dan pendampingan penerapan budidaya sayuran dari
membuat pesemaian, mengolah tanah, membuat guludan, pemeliharaan tanaman
sampai panen, melalui pelatihan, temu kelompok tani dan diskusi serta demo
budidaya sayuran di lapangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Hasil pertumbuhan dan panen tanaman sayuran di lokasi pengkajian
adalah sebagai berikut:
Kubis
Pertumbuhan tanaman kubis cukup bagus, jenis yang ditanam adalah Super
37. Kubis dapat membentuk krop dengan baik rata-rata berat per krop adalah 1,5 –
2 kg. Berat tertinggi dapat mencapai 3 kg per krop. Hasil pengamatan selama
pertumbuhan sampai panen tidak ditemukan penyakit yang berarti dan tidak
ditemukan penyakit penting kubis yaitu akar gada (Plasmodiophora brassicae).
Kenyataan ini membuktikan bahwa sampai tahun 2007 lahan di dusun Garon bukan
daerah endemis akar gada. Hal ini penting di catat karena menurut Asandhi (1989)
menyatakan bahwa dalam budidaya kubis, resiko terberat setelah rendahnya harga
produk adalah resiko kerugian akibat penyakit akar gada. Penyakit ini bermula
menyerang daerah pertanaman kubis di Jawa Barat, kemudian pada tahun 1986
sudah menyerang derah pertanaman kubis di Jawa tengah. Antara tahun 1989-1990
diberitakan penyakit ini sudah menghancurkan 60 % panen kubis di sentra- sentra
6
produksi kobis di daerah Batu. Pada tahun 1996 penyerangan penyakit akar gada
telah meluas di sentra produksi kubis di Jawa Timur termasuk di daerah Magetan
dengan luas serangan 30 – 50 % (Roesmiyanto, dkk, 1998). Penyakit initermasuk
penyakit yang sulit diberantas karena tanah dapat tetap terinfeksi oleh penyebab
penyakit (jamur) selama 10 tahun atau lebih meskipun disitu tidak terdapat
tumbuhan inanag (Semangun, 1989). Selanjutnya penyakit ini dapat tersebar oleh
air drainase, alat-alat pertanian, tanah yang tertiup angin, hewan dan bibit yang
terserang. (Sastrosiswojo, dkk. 2005). Hama yang ditemukan selama pertanaman
adalah ulat kubis Plutella xylostella. Serangan ulat ini dapat menyebabkan
kerusakan daun, daun kubis menjadi berlubang-lubang. Kerusakan oleh hama ini
bervariasi dari 5 – 20 %. Namun serangan ini bisa dikendalikan dengan pengunaan
insektisida, jika populasi mencapai ambang kendali yaitu 1 ekor per 10 krop. Rata-
rata hasil panen kubis tinggi, yaitu mencapai : 40 ton/ha.
Bawang daun
Pertumbuhan tanaman bawang daun cukup bagus. Jenis yang di tanam
adalah Saigon. Di banding dengan tanaman sayuran yang lain, bawang daun paling
diminati untuk ditanam petani dan dengan cepat dapat berkembang ke lokasi petani
lain baik di tegalan jauh dari rumah maupun dipekarangan sekitar rumah, setelah
petani melihat cara perawatan mudah, biaya produksi terjangkau hasil panen dan
kemudahan penjualan ke pasar lokal sebagai penghasilan mingguan. Selama
pertumbuhan ditemukan serangan penyakit bercak ungu (Alternaria sp), seluas 10 %
namun serangan rendah yaitu 2 % per rumpun. Hama yang ditemukan adalah Thrips
pada daun muda, namun tidak sampai menimbulkan kerusakan. Rata-rata hasil
panen bawang daun tinggi, yaitu : 40 ton /ha.
Wortel
Jenis wortel yang ditanam adalah New Caroda. Jenis ini termasuk wortel
yang berukuran besar (panjang x lebar = 20 x 5 cm) dan berwarna oranye tua.
Pertumbuhan umum cukup bagus, namun secara keseluruhan besar umbi agak
kurang seragam, diduga karena gara menabur benih saat tanam kurang teratur,
penjarangan dan pembumbunan umbi tidak dilakukan. Selama pertumbuhan hama
dan penyakit pada tanaman wortel belum ditemukan. Hasil wortel dijual di pasar
Sooko di kabupaten Ponorogo, karena pasar lokal hanya menerima wortel yang
umbinya ukuran kecil ( panjang x lebar = 15 x 2,5 cm) atau merupakan jenis lokal.
Rata-rata hasil panen wortel, yaitu : 20 ton/ha.
7
Kentang
Jenis kentang yang ditanam adalah Granola Kembang. Kentang ditanam
pada akhir musim kemarau, namun di dekat lahan pertanaman sudah di bangun bak
penampung air yang airnya diambilkan dari sumber air di daerah Simbarwangi. Pada
musim kemarau debet air yang diperoleh cukup besar yaitu 3 liter per detik,
sehingga selama musim kemarau tanaman dapat diairi sesuai kebutuhan tanaman.
Pertumbuhan tanaman kentang cukup baik. Hanya saja jarak tanam kurang lebar (
30 x 60 cm) dan pembumbunan kurang dalam. Pada saat satu minggu setelah
tanam, 3% dari total tanaman muda layu. Hal ini karena umbi bibit terserang semut
merah, sehingga tunas tanaman kentang yang baru tumbuh pangkal batangnya ikut
di makan semut merah sehingga tunas muda layu. Karena sudah diketahui bahwa
bibit kentang yang baru di tanam diserang semut merah, maka untuk penanaman
kentang pada musim tanam berikutnya disarankan diberikan pestisida pengendali
semut merah (Furadan 3 G) pada saat bersamaan dengan pemberian pupuk dasar
dengan dosis 5 gr per lubang tanam. Pada saat tanaman kentang berumur 60 hari,
(perkembangan umbi sudah cukup besar) dilokasi lahan kentang turun hujan deras
selama 3 hari berturut-turut dan sinar matahari redup. Tanaman terserang penyakit
Phytophthora infestans seluas 20 % dengan tingkat kerusakan 10 – 40%. Karena
kendala tersebut diatas maka hasil panen kentang banyak yang kurang optimal,
ukuran umbi kurang besar ( sebagian besar diameter umbi berukuran: 3, 4 sampai 5
cm). Namun hasil panen umbi masih cukup baik. Rata-rata hasil panen umbi
kentang: 20,6 ton/ha. Hasil pengamatan selama pertumbuhan sampai panen tidak
ditemukan penyakit penting kentang yaitu nematoda sista kentang (Globodera spp).
Kenyataan ini membuktikan bahwa sampai tahun 2007 lahan di dusun Garon bukan
daerah endemis nematoda sista kentang. Hal ini penting di catat karena pada waktu
terakhir ini nematoda sista kentang sudah menyebar di daerah kentang di pulau
Jawa ( Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat) . Secara umum pertumbuhan
tanaman terganggu, kerdil, berwarna kuning cepat mati, karena akar dan umbi rusak
jaringannya (Duriat, dkk., 2006). Kerugian yang diderita petani kentang di Jawa
Timur bervariasi antara 30 – 90 % (Hadisoeganda, 2003). Menurut Stevenson et, al.
(2001) menyatakan bahwa pertambahan populasi nematoda cukup cepat sekitar 12
- 35 kali lipat, dan jka sudah berkembang dalam tanah akan sulit mengeradikasinya.
8
b. Hasil pertumbuhan dan panen tanaman existing di lokasi pada saat yang sama
Teknologi usahatani existing di Garon mempunyai pola usahatani tumpang
gilir jagung - ketela pohon atau padi gogo - jagung - bero (satu tahun). Hasil panen
dan pendapatan per ha adalah sebagai berikut:
Jagung
Jenis jagung yang di tanam adalah Jagung Hibrida.Jagung di tanam pada
awal musim penghujan. Hasil panen jagung cukup baik, yaitu rata-rata 5 ton/ha
pipilan kering. Kondisi pertanaman cukup bagus, serangan hama dan penyekit
rendah, hanya pada musim penghujan di beberapa tempat terserang penyakit bulai.
Ketela pohon
Diantara tanaman jagung disisipi tanaman ketela pohon, tanaman ketela
pohon mutlak ada karena bahan makanan pokok sehari-hari di dusun Garon adalah
tiwul. Tanaman pohon dapat di panen sewaktu-waktu , namun hasil panen yang
paling baik adalah pada saat musim kemarau. Tanaman ketela pohon tidak
dipelihara intensif artinya setelah stek di tanam, tanaman ditinggal,sesekali di dangir,
ditengok jika tanaman sudah minimal berumur 8 bulan atau siap di panen. Hasil
ketela pohon jenis lokal rata-rata dapat mencapai 15 ton/ha.
Padi gogo
Sebagian petani, pada musim hujan menanam pagi gogo. Jenis yang ditanam
bervariasi yaitu: IR 64, Ciherang dan varietas lokal. Penanaman padi gogo tidak
intensif, terkadang tanaman tidak disiang sehingga pertumbuhannya sering berpacu
dengan gulma yang ada. Produksi padi gogo per ha berkisar 3 ton Gabah Kering
Panen. Hasil padi gogo biasanya dikonsumsi sendiri, dijual jika sangat dibutuhkan
tanbahan keuangan bagi keluarga.
c. Hasil analisa pendapatan perbaikan teknologi usahatani
Analisa panen produksi tanaman existing dibanding dengan panen produksi
tanaman sayuran dataran tinggi per musim tanam yang diintroduksikan adalah
sebagai berikut ( Tabel 1):
9
Tabel 1. Jenis komoditi yang di tanam, produksi, biaya produksi dan pendapatan petani pada saat pengkajian
Komoditi Produksi/ha
Rata-rata
Biaya
produksi /ha
(Rp.)
Pendapatan
kotor/ha (Rp.) =
Produksi x harga
Pendapat
an bersih
/ha, tanpa
sewa tanah
(Rp.)
Pendapat
an bersih /
0,25 ha,
tanpa sewa
tanah (Rp.)
Existing
Jagung 5 ton pipilan
kering
5.000.000,- 5.000 x 2.200,-/kg
= 11.000.000
6.000.000 1.500.000
Ketela
pohon
15 ton umbi
basah
2.000.000,- 15.000 x 300,-/kg
= 4.500.000
2.500.000 625.000
Pado gogo 3 ton GKP 4.500.000,- 3.000 x 2.200,-/kg
= 6.600.000
2.100.000 525.000
Introduksi
Kubis 40 ton krop 24.000.000,- 40.000 x 1.500 /kg
= 60.0000.000
36.000.000 9.000.000
Bawang
daun
40 ton
batang
10.000.000,- 40.000 x 2.000/kg
= 80.000.000
70.000.000 17.500.000
Wortel 20 ton umbi 5.000.000,- 20.000 x 1100/kg
= 22.000.000
17.000.000 4.250.000
Kentang 20,6 ton umbi 40.000.000,- 20.600 x 2.500/kg
= 51.500.000
51.500.000 12.875.000
Hasil panen komoditas sayuran yang diintroduksikan cukup bagus di duga
karena kondisi agroklimat dan lahan yang ditanami sesuai dengan syarat tumbuh
tanaman sayuran dataran tinggi, namun belum optimal sesuai potensi produksi
benih yang di tanam, kecuali tanaman kubis yang karena petani pernah menanam
tahun-tahun sebelumnya namun jenis yang ditanam adalah jenis lokal dan cara yang
sederhana. Hal ini karena petani baru mulai mengenal dan belajar menanam
tanaman: bawang daun, wortel maupun kentang. Namun pada kondisi yang
demikian, hasil pendapatan bersih per luasan areal yang kebanyakan dipunyai
petani (sekitar 0,25 ha), minimal 3 kali lebih tinggi dibanding dengan tanaman
existing yaitu jagung hibrida dan ketela pohon, bahkan dapat mencapai 11 kali lebih
10
tinggi jika semula petani menanam ketela pohon atau padi gogo, kemudian
menanam sayuran (bawang daun).
Melihat hasil panen tanaman sayuran yang sudah diintroduksikan dan
antusias petani, pengembangan dan perluasan tanamansayuran di dusun Garon,
desa Dompyong mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan.
d. Kendala yang masih dialami
Sumberdaya manusia
Merubah perilaku petani, dari kebiasaan menanam tanaman pangan (jagung,
ketela pohon, padi gogo) yang pemeliharaannya kurang intensif, menjadi
menanaman tanaman sayuran yang pemeliharaannya intensif. Petani masih kurang
rajin: untuk bangun lebih pagi, membuat pengolahan tanah yang baik (mencangkul
dengan kedalaman yang cukup terutama bagi sayuran yang berumbi), menengok
memperhatikan tanamannya, memperbaiki guludan, mengamati dan mengenal
hama dan penyakit yang ada dan pemeliharaan lainnya. Sekaligus menjual hasil
sayuran di pasar lokal yang buka 2 kali dalam 5 hari, sebagi tambahan pendapatan
harian petani. Masih beberapa orang petani saja yang sudah bergairah untuk terus
menanam tanaman sayuran yang diperkenalkan, beberapa petani lainnya masih
malas untuk ikut berusaha tanaman sayuran. Penguatan kelembagaan kelompok
tani masih perlu ditingkatkan untuk memacu semangat saling membantu dalam
mengerjakan pekerjaan yang mendesak,menanggulangi kebutuhan tenaga kerja,
misalnya diperlukan pengolahan lahan yang baik untuk ukuran 1 ha dalam waktu
terbatas, sesuai dengan musim tanam yang optimal. Masih terus diperlukan
pendampingan untuk memacu semangat untuk terus berusaha tanpa putus asa bagi
pengembangan sayuran dataran tinggi, agar pertanaman sayuran berkembang lebih
luas untuk memenuhi kebutuhan lokal, kecamatan, kabupaten Trenggalek bahkan
untuk kabupaten di sekitarnya. Tetap memberikan pengertian kepada petani bahwa
pengusahaan tanaman sayuran membutuhkan tenaga yang intensif sehingga di
sarankan lokasi tanaman sayuran dipilih yang lahannya cukup datar, mudah
dijangkau oleh tenaga manusia yang memelihara, mudah untuk pengangkutan
saprodi maupun hasil panen. Lahan yang lain tetap di tanam tanaman pangan
sesuai kebudayaan setempat untuk memenuhi kebutuhan pokok yang primer dan
sebagai penyangga ketahanan pangan setempat.
11
Membagi waktu (manajemen waktu) bagi petani yang mempunyai ternak sapi
perah. Kapan harus mencari pakan ternak (ke hutan), kapan harus memelihara
tanaman sayuran, dan kapan harus memelihara ternak sapi perahnya, apalagi jika
sapi perahnya lebih dari 3 ekor. Hijauan yang dibutuhkan per hari juga cukup banyak
( minimal 50 kg rumput/ ekor/hari) dan sering jarak pengambilan hijauan dari
kandang jauh serta naik turun bukit sehingga membutuhkan satu hari sendiri untuk
memperoleh 100 kg hijauan.
Sarana jalan
Sarana jalan menuju kebun masih jalan tanah atau jalan makadam,
diperlukan waktu panjang untuk menaiki bukit terjal atau menuruni bukit yang curam
menuju lahan yang ditanami sayuran. Kedaan ini cukup menghambat petani, baik
untuk pengusahaan sayuran itu sendiri, maupun untuk menjual hasil kepasar,
mengingat tanaman sayuran merupakan komditi yang perishable (mudah rusak),
sedangkan konsumen menghendaki kualitas dengan kesegaran yang tinggi.
- Perbaikan sistem pengairan
Pada saat pengkajian, penanaman sayuran di tanam dimusim penghujan,
karena keterbatan ketersediaan air pengairan. Potensi lahan untuk ditanam sayuran
pada musim kemarau cukup baik, namun diperlukan eksplorasi sumber air dan
penyadiaan bak penampung yang menyediakan air yang cukup. Pada saat
pengkajian telah dibuat satu bak penampungait dengan debit air 5 liter per detik
pada musim kemarau dengan ukuran bak penampung seluas 18 m3. Bak
penampung perlu ditambah untuk perluasan tanaman sayuran. Tersedianya air
sepanjang waktu, diharapkan dapat membuka pikiran petani untuk mengatur pola
tanam sayuran, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar secara berkala,
sekaligus meningkatkan pendapatan petani itu sendiri.
Peningkatan permodalan
Penanaman sayuran dapat meningkatkan pendapatan yang tinggi , namun
juga diperlukan modal yang lebih tinggi dibandingkan dengan modal untuk usahatani
pada tanaman pangan. Sesudah pelaksanaan pengkajian, di dusun Garon
mendapatkan Program APP (Anti Poferty Program) sebesar 50 juta, yang dapat
membantu sebagai modal untuk penyediaan saprodi bagi petani yang dapat
dikembalikan sesudah panen. Dana ini dikelola oleh kelompok tani. Dana yang
12
dibutuhkan juga akan semakin besar jika pengembangan tanaman sayuran semakin
luas.
e. Pemecahan masalah
Mendampingi petani untuk mengatur polatanam beberapa jenis sayuran
disesuaikan dengan curah hujan dan agroklimat yang ada serta perkiraan
kebutuhan pasar dan harga jual dii pasaran.
Membantu petani untuk penguatan SDM dan Kelembagaannya.
Mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan instansi, lembaga , pihak
swasta terkait untuk meningkatkan kemampuan petani dalam bertani dan
berniaga.
KESIMPULAN
Introduksi tanaman sayuran dataran tinggi: kubis, bawang prei, wortel dan
kentang di dusun Garon, desa Dompyong, Bendungan Trenggalek dapat diterima
oleh petani setempat, yang semula kebanyakan di tanami tanaman pangan: jagung,
ketela pohon, padi gogo. Hasil pertumbuhan tanaman maupun hasil panen cukup
bagus. Hasil panen rata-rata pada tahun 2007 yaitu: kubis : 40 ton/ha; bawang daun:
40 ton/ha; wortel: 20 ton/ha; kentang 20,6 ton/ha. Pendapatan bersih per 0,25 ha
lahan, dapat mencapai 3 – 11 kali lipat dari tanaman existing : ketela pohon, jagung,
padi gogo. Lahan kubis dan kentang di dusun Garon bukan daerah endemis
penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae) dan bukan daerah endemis penyakit
nematoda sista kentang (Globodera sp). Masih diperlukan pendampingan untuk
penguatan sumberdaya manusia (peningkatan ketrampilan , pengetahuan,
pemahaman petani terhadap tanaman sayuran) dan kelembagaan petani, agar
produksi meningkat, pendapatan petani meningkat dan diharapkan kesejahteraan
petani akan meningkat pula.
13
DAFTAR PUSTAKA
Asandhi, A. A., 1989. Penelitian dan pengembangan sayuran dan tanaman hias dalam Repelita IV untuk mencapai sistem pertanian tangguh. Balithort Lembang, Bandung. Hal. 74 -95.
Badan Litang Pertanian, 2004.Rancangan Dasar dan Juklak Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian).
Duriat, A. S.,O. S.Gunawan dan N.Gunaeni. 2006. Penerapan teknologi PHT pada tanaman kentang. Monografi No 28.Tahun 2006. Balit Tanaman sayuran.Puslitbang Hortikultura.Badan Litbang Pertanian. ISBN: 979-8304-50-0.Hal 15 – 19.
Hadisoeganda, A. Widjaya W. 2003. Hubungan antara populasi awal nematoda sista
emas Globodera rostochinensis dan produksi tanaman kentang.Makalah dalam Seminar Penanggulangan Nematoda Globodera rostochinensis. Direktorat Perlindungan Hortiklutura. Dir. Jen. Bina Prod. Hort., Jakarta 3 April 2003. 14 hal. (mimeograf)
Pemerintah Kabupaten Trenggalek. 2006. Strategi Daerah Pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Trenggalek th 2007-2009. Badan Perencanaan Pembangunan, 2006.
Roesmiyanto, Suliyanto, Heri Sutanto dan Sukardi. 1998. Uji rakitan teknologi pengendalian terpadu penyakit akar gada pada tanaman kobis di Jawa Timur.Prosiding Seminar Hasil penelitian dan pengkajian sistem usahatani Jawa Timur. Badan Litbang Pertanian. Puslit Sosial Ekonomi Pertanian. Balai Penkajian Teknologi Pertanian Karangploso. ISBN 979-95548-1-0. Penyunting: A.Supriyanto,M.Cholil Mahfud, Roesmiyanto. Hal: 236-244.
Sastrosiswojo, S., T.S. Uhan dan R. Sutarya. 2005. Penerapan teknologi PHT pada tanaman kubis. Monografi No.21. ISBN: 979-8403-35-7. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Puslibang Hortikultura. Badan Litbangtan.64 hal.
Semangun, H. 1989. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 850 hal.
Sosiawan, H.,Hikmatullah, Muladi dan Sumaryono. 2007. Identifikasi dan eveluasi potensi lahan untuk mendukung Prima Tani di desa Dompyong, Kec. Bendungan, Kabupaten Trenggalek-Jawa Timur. Laporan Sementara. Balai Penelitian Agroklimat dan hidrologi. Badan Litbang Pertanian.Deptan. 25 hal.
Stevenson, W.R., R. Loria, G.D. Franc, D.P. Weingartea. 2001. Compendium of potato diseases. Second Edition.The American Phytophathological Society. 106 pp.
,PENGOLAHAN SUSU SARI KEDELAI
UNTUK MENINGKATKAN NILAI TAMBAH
Di PRIMA TANI BOJONEGORO
Gunawan, Rika Asnita dan Handoko
BPTP Jawa Timur
Abstrak
Kedelai merupakan salah satu komoditas yang strategis disamping beras dan jagung. Pada umumnya petani menjual hasil panen berupa biji kering kepada tengkulak dan belum memanfaatkannya dalam bentuk olahan. Permasalahan yang sering timbul pada waktu panen harga rendah, sehingga keuntungan yang diterima petani tidak maksimal. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, petani diperkenalkan dengan teknologi pengolahan susu sari kedelai yang terbukti mampu meningkatkan nilai tambah. Dari hasil pengolahan susu sari kedelai yang dilakukan Gapoktan ”Dadi Akur” Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro menunjukkan bahwa dalam 1kg bahan baku kedelai dapat menghasilkan 11 liter susu sari kedelai dengan keuntungan bersih sebesar Rp. 9.250,- untuk kemasan gelas plastik dan Rp. 6.700,- untuk kemasan kantong plastik. Disamping meningkatkan nilai tambah, pengolahan kedelai juga dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 8 orang per 1 kg biji kedelai. Sosialisasi dan promosi harus tetap dilakukan agar dapat meningkatkan penjualan dan mampu bersaing dengan produk-produk sejenis lainnya yang ada di pasaran.
Key word : Susu Kedelai, pengolahan,nilai tambah
Abstract
Soybean is one strategic comodities besides rice and corn. Commonly, farmers sell the crops in the form of dry seed to brokers and have not used them in the form of finished product. The problem which often happens in the harvest, the low price of the crops, makes farmers are introduced to a technology of soybean milk manufacturing which is already proven that it can increase the value off soybean. The result of soybean milk manufacturing that is done by Gapoktan “Dadi Akur” Sidodadi Country for Sukosewu Bojonegoro, shows that 1 kg of soybean can produce 11 litre of soybean milk. The net profit that he get is 9.250 rupians for every plastic glass and 6.700 rupians for every bag plastic. Besides increasing the value of soybean milk, the manufacturing of soybean can also absorb 8 labors for every kilogram of soybean. As a result, socialization and promotion should still be done to increase the sale and to be able to compete with other product of the same kind in the marketing.
Key word : Soybean milk, manufacturing, increase the value
PENDAHULUAN
Kedelai atau kacang kedelai adalah salah satu tanaman kacang-kacangan
yang merupakan bahan baku dari produk olahan seperti kecap, tahu, tempe, dan
juga susu kedelai. Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari dua
spesies, yaitu: Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna
kuning, agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam). G.
max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti Tiongkok dan
Jepang selatan, sementara G. soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia
Tenggara.
KLasifikasi ilmiah dari kedelai sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Filum : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Subfamili : Faboideae
Genus : Glycine (L) Merr
Spesies : Glycine max dan Glycine soja (Anonymous, 2008)
Kedelai merupakan salah satu komoditas yang setrategis disamping beras
dan jagung. Propinsi Jawa Timur merupakan sentra produksi kedelai di
Indonesia, rata-rata produksinya 1,2 ton/hektar. Desa Sidodadi Kecamatan
Sukosewu Kabupaten Bojonegoro sebagai desa binaan Prima Tani BPTP Jatim
juga merupakan penghasil kedele. Dalam Musim Kemarau II dengan luas 200
hektar yang ditanami Desa Sidodadi dapat menghasilkan kedelai sekitar 240 ton.
Pada umumnya petani langsung menjual hasil panen kedelai ke tengkulak atau
pedagang, belum banyak yang memanfaatkan dalam bentuk olahan.
Kedelai seperti halnya dengan jenis kacang-kacangan yang lain, yaitu
mudah sekali terkena jamur (aflatoksin) sehingga mudah menjadi layu dan
busuk. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka kedelai harus diolah menjadi
produk olahan sehingga kedelai memiliki daya tahan yang lebih lama. Selain sifat
Susu kedelai sangat penting untuk bayi dan anak-anak karena pada masa
pertumbuhannya mereka sangat memerlukan protein. Untuk bayi dan anak-anak
yang alergi terhadap susu sapi maka dapat diganti dengan susu kedelai.
Sebagai minuman, susu kedelai dapat menyegarkan dan menyehatkan tubuh
karena pada umumnya minuman hanya bersifat menyegarkan tetapi tidak
menyehatkan. Susu kedelai juga dikenal sebagai minuman kesehatan karena
tidak mengandung kolesterol, tetapi mengandung phitokimia, yaitu senyawa
dalam bahan makanan yang mempunyai khasiat menyehatkan (Cahyadi, 2007).
Susu kedelai juga baik dikonsumsi oleh mereka yang alergi susu sapi, yaitu
orang-orang yang kekurangan enzim laktase dalam saluran pencernaanya,
sehingga tidak mampu mencerna laktosa yang terdapat dalam susu sapi.
Laktosa susu sapi yang lolos ke usus besar akan dicerna oleh jasad renik yang
ada disana. Akibatnya orang yang tidak toleran terhadap laktosa akan menderita
tiap kali mengkonsumsi susu sapi (Koswara, 1998).
Susu kedelai merupakan minuman yang bergizi tinggi terutama karena
kandungan proteinnya. Selain itu susu kedelai juga mengandung lemak,
karbohidrat, kalsium, phosfor, zat besi, provitamin A, vitamin B kompleks (kecuali
B12), dan air. Susu kedelai dapat digunakan sebagai pengganti susu sapi karena
komposisi susu kedelai hampir sama dengan susu sapi. Keunggulan lain dari
susu kedelai dibandingkan susu sapi adalah tidak mengandung kolesterol sama
sekali. Namun, kandungan kolesterol pada susu sapi masih tergolong sangat
rendah jika dibandingkan bahan pangan hewani lainnya.
Kandungan protein dalam susu kedelai dipengaruhi oleh varietas kedelai,
jumlah air yang ditambahkan, jangka waktu dan kondisi penyimpanan, serta
perlakuan panas. Semakin banyak jumlah air yang digunakan untuk
mengencerkan susu, maka akan semakin sedikit kadar protein yang diperoleh.
Kadar protein dalam susu kedelai yang dibuat dengan perbandingan kedelai dan
air 1:8, 1:10, dan 1:15 berturut-turut adalah 3.6%, 3.2%, dan 2.4%. Susu kedelai
yang dibuat dengan kadar protein 3% mempunyai mutu gizi yang mendekati
susu sapi. Karena kadar asam amino lisin yang tinggi, susu kedelai dapat
digunakan untuk meningkatkan nilai gizi protein pada nasi dan makanan serealia
lainnya, yang umumnya mempunyai kadar lisin yang rendah.
Tabel 4. Komposisi Susu Kedelai Cair dan Susu Sapi Tiap 100 gr.
Komponen Susu Kedelai Susu Sapi
Kalori (K kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Phosfor (g)
Besi (g)
Vitamin A (S1)
Vitamin B1 (tiamin) (mg)
Vitamin C (mg)
Air (g)
41,00
3,50
2,50
5,00
50,00
45,00
0,70
200,00
0,08
2,00
87,00
61,00
3,20
3,50
4,30
143,00
60,00
1,70
130,00
0,03
1,00
88,33
Sumber : Koswara (1998)
Tabel.3 Perbandingan komposisi susu sari kedelai dengan susu sapi dan ASI.
KOMPOSISI SUSU KEDELAI (%) SUSU SAPI (%) ASI (%)
Air Kalori
Protein Karbohidrat
Lemak Vitamin B1 Vitamin B2 Vitamin A
88,60 52,99 4,40 3,80 2,50 0,04 0,02 0,02
88,60 58,00 2,90 4,50 0,30 0,04 0,15 0,20
88,60 62,00 1,40 7,20 3,10 0,02 0,03 0,20
Sumber : LIPI, 2000.
Melihat permasalahan tentang sering rendahnya harga kedelai pada
waktu panen dan melihat kandungan gizi yang besar pada kedelai maka
pengolahan susu sari kedelai merupakan salah satu alternatif untuk
meningkatkan nilai tambah.
Nilai tambah yang dimaksud disini adalah hasil pengurangan biaya bahan
baku dan input lainnya terhadap nilai produksi susu kedelai yang dihasilkan.
Input lainnya adalah bahan penolong berupa gula pasir, jahe, mocca, air, gelas
cup, plastik, listrik, dan gas elpiji. Nilai tambah yang besar dapat menjadi
parameter untuk pengembangan usaha suatu agroindustri. Apabila produk
mempunyai nilai tambah yang tinggi artinya produk layak untuk dikembangkan
dan berarti pula keuntungan bagi pengusaha serta memberikan lapangan kerja
baru.
Dari analisis nilai tambah akan diperoleh dua keuntungan yaitu dapat
mengetahui besarnya imbalan yang diperoleh terhadap balas jasa dari faktor-
faktor yang digunakan bagi pelaku bisnis serta dapat digunakan untuk mengukur
besarnya kesempatan kerja yang ditambahkan karena adanya kegiatan
menambah guna atau fungsi dari suatu produk.
TUJUAN
Pengkajian ini bertujuan untuk menganalisis nilai tambah dari pengolahan
kedelai menjadi susu kedelai dan mengetahui besarnya keuntungan pengolahan
susu kedelai skala rumah tangga.
METODOLOGI
Lokasi pengkajian dilakukan di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu
Kabupaten Bojonegoro sebagai salah satu binaan Prima Tani BPTP Jawa Timur
yang sasarannya adalah Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) ”Dadi Akur” .
Pengkajian dilakukan di salah satu unit usaha Gapoktan “Dadi Akur” dengan
mengamati pengolahan susu sari kedelai dilihat dari aspek produksi, analisa
ekonomi, aspek tenaga kerja dan aspek pemasaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aspek Produksi.
Pengolahan susu sari kedele yang dilakukan oleh Gapoktan ”Dadi Akur”
Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Bojonegoro melalui tahapan proses
seperti pada diagram alir berikut ini:
Kedelai
Dibersihkan dan dicuci
Direndam ( 6-12 jam) Air (3:1)
Direbus ( 15 menit)
Dicuci dan dikupas
Ditambah air panas,
Diaduk-aduk sampai rata
Disaring Ampas
Ditambah gula pasir, garam, aroma/rasa
Dipanaskan
Susu sari kedelai
Air panas (11:1)
Untuk campuran
Pakan ternak
Gambar 1. Diagram alir pengolahan susu sari kedelai
1. Pemilihan bahan baku
Bahan baku yang digunakan adalah kedelai yang berasal dari petani atau
pedagang yang ada di Desa Sidodadi. Mutu susu sari kedelai yang dihasilkan
sangat tergantung pada mutu kedelai yang digunakan. Kedelai yang dipilih
adalah kedelai dengan varietas unggul seperti argomulyo.
2. Pembersihan bahan, perendaman dan perebusan
Pembersihan bahan baku kedelai dilakukan agar kotoran-kotoran yang
menempel dapat dihilangkan. Kemudian dilakukan perendaman dengan
menggunakan air dengan perbandingan 3:1. Perendaman dilakukan selama
kurang lebih 6 jam. Perebusan kedelai dilakukan selama 15 menit. Maksud
perendaman dan perebusan ini adalah untuk memudahkan pengupasan kulit
ari kedelai.
3. Pengupasan dan penggilingan
Kedelai dikupas kulit arinya sambil dibersihkan. Penggilingan kedelai
dilakukan dengan alat penggiling yang sudah disetel selembut mungkin
sehingga dihasilkan sari kedelai yang baik.
4. Penyaringan, pemanasan dan penambahan gula, rasa/aroma
Penyaringan dilakukan setelah hasil gilingan kedelai ditambahkan air panas
dengan perbandingan 11:1. Kain saringan yang digunakan sebagai penyaring
diusahakan yang berpori-pori lembut agar hasil saringan baik. Hasil saringan
diberi gula dan rasa/aroma yang diinginkan yang kemudian dilakukan
pemanasan hingga mendidih.
5. Pengemasan
Pengemasan dilakukan menggunakan plastik dan gelas plastik sebagai
pengemas. Pengemsan dilakukan dengan kondisi susu sari kedelai tetap
dalam keadaan panas (suhu kurang lebih 80 derajad celcius). Hal ini
dimaksudkan agar susu sari kedelai tetap terjaga mutunya atau tetap higienis
dan tidak mudah basi.
Dalam aspek produksi ini yang perlu diperhatikan adalah faktor
kebersihan yaitu kebersihan peralatan, bahan baku kedelai, tempat proses
produksi dan orang atau pekerjanya. Sehingga akan dihasilkan susu sari kedelai
yang berkualitas baik.
Alat dan mesin yang digunakan dalam mengolah susu sari kedele dalam
skala industri rumah tangga antara lain; mesin penggiling kedele, kompor gas,
panci, gelas ukur, timbangan, seller/alat pengemas, dan lain-lain. Produksi susu
sari kedele Gapoktan ”Dadi Akur” Bojonegoro mengalami peningkatan seiring
dengan semakin besar pemintaan pasar. Hal ini dapat dilihat dari grafik dibawah
ini.
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Januari Maret Mei
PRODUKSI SUSU KEDELE GAPOKTAN "DADI AKUR"
PRODUKSI SUSU KEDELE
GAPOKTAN "DADI AKUR"
Grafik 1. Perkembangan produksi susu sari kedele Gapoktan ”Dadi Akur”
Dari grafik terserbut diatas menunjukkan bahwa produksi susu sari kedele
mulai bulan Mei mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini
disebabkan oleh adanya peningkatan permintaan dari konsumen. Dalam setiap
harinya Gapoktan ”Dadi Akur” dapat memproduksi susu sari kedele rata-rata
sebesar 110 liter dengan bentuk kemasan dan pemberian rasa seperti dalam
data tabel di bawah ini.
Jumlah kedele (kg)
Jum.Susu Kedele (l)
Kemasan Pilihan Rasa
Kantong Plastik Gelas Plastik
Jahe Mocca Strawbery
10 110 308 162 235 94 141
Analisa Ekonomi
Gapoktan ”Dadi Akur” setiap hari dapat memproduksi rata-rata 110 liter
dengan analisa ekonomi per 1 kg bahan baku kedelai seperti terlihat dalam tabel
di bawah ini.
Tabel.4 Analisa ekonomi susu sari kadelai dalam kemasan gelas plastik.
Uraian Volume Satuan Jumlah
Pengeluaran : - Kedelai - Gula pasir - Jahe - Mocca, Strawberi - Listrik dan air - Gas elpiji - Gelas dan cup seller - Tenaga kerja Sub total
1 kg 1 kg
2 ons - - -
200 4
4.500 6.000
200 - - -
55 2.000
4.500 5.500
400 600 500
1.500 11.000
8.000 32.000
Penerimaan : - Penjualan Sub total
55 gelas
750
41.250 41.250
BEP per gelas 32.000 : 55 600
Keuntungan 41.250 – 32.000 9.250 Tabel.5 Analisa ekonomi susu sari kadelai dalam kemasan kantong plastik.
Uraian Volume Satuan Jumlah
Pengeluaran : - Kedelai - Gula pasir - Jahe - Mocca, strawbery - Listrik dan air - Gas elpiji - Plastik - Tenaga kerja Sub total
1 kg 1 kg
2 ons - - -
44 4
6.500 5.500
200 - - -
25 2.000
6.500 5.500
400 600 500
1.500 1.100 8.000
24.100
Penerimaan : - Penjualan Sub total
44 kantong
700
30.800 30.800
BEP per kantong 24.100 : 44 550
Keuntungan 30.800 – 24.100 6.700
Hasil analisa ekonomi susu sari kedelai dengan kemasan gelas seperti
dalam tabel.4 menunjukkan bahwa dalam 1 kg bahan baku kedelai yang
menghasilkan 11 liter (55 gelas) susu sari kedelai memperoleh keuntungan Rp.
9.250,-. Hal ini berarti dalam 1 hari diperoleh keuntungan bersih Rp. 92.500,-.
Sedangkan susu sari kedelai dengan kemasan plastik (tabel 5) menunjukkan
bahwa setiap 1 kg bahan baku kedelai yang menghasilkan 11 liter (44 kantong
plastik) susu sari kedelai memperoleh keuntungan Rp. 6.700,- atau dalam 1
harinya memperoleh keuntungan sebesar Rp. 67.000,-
Dilihat dari kedua hasil analisa diatas menunjukkan bahwa keuntungan
susu sari kedelai dengan kemasan gelas plastik lebih tinggi dibanding dengan
kemasan plastik. Namun daya beli masyarakat lebih banyak susu sari kedelai
dengan kemasan plastik, hal ini dikarenakan jumlah isinya lebih banyak yaitu 250
cc sedangkan yang gelas plastik sebanyak 200 cc. Dimana produksi susu kedele
tiap hari rata-rata 70% menggunakan kemasan kantong plastik dan 30%
menggunakan kemasan gelas plastik.
Aspek Tenaga Kerja
Dilihat dari aspek tenaga kerja, pengolahan susu sari kedelai yang
dilakukan Gapoktan ”Dadi Akur” Desa Sidodadi telah mampu menyerap tenaga
kerja sebanyak 8 orang yaitu, 4 orang dibagian produksi dan 4 orang dibagian
pemasaran. Tenaga kerja akan semakin bertambah dengan bertambahnya
jumlah produksi dan tingkat penjualan susu sari kedelai.
Dilihat dari tabel 4. dan tabel 5. menunjukkan bahwa tenaga kerja
dibagian produksi akan memperoleh upah yang sama dengan kerja ditempat lain
(buruh tanam, dll) dengan jumlah produksi dalam sehari menghabiskan 10 kg
bahan baku kedelai.
Aspek Pasar
Pemasaran dilakukan dengan tenaga pemasaran sebanyak 4 orang.
Wilayah pemasaran masih di dalam kawasan Bojonegoro. Untuk menambah
kepercayaan konsumen dan meningkatkan tingkat penjualan, Gapoktan ”Dadi
Akur ” telah mendapatkan ijin dari Dinas Kesehatan yaitu dengan No.
315/35.22/2007. Disamping itu sosialisasi dan promosi terus dilakukan dengan
membuat brosur-brosur yang memuat tentang manfaat dari susu kedelai dan
mengikuti pameran pameran produk olahan.
Pangsa pasar juga perlu diperhatikan terutama berkaitan dengan pilihan
rasa dan kemasan yang cocok untuk konsumen. Biasanya untuk anak anak yang
disenangi adalah rasa strawberi sedangkan untuk orang tua adalah rasa jahe
dan moca.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pengolahan susu sari kedelai telah mampu meningkatkan nilai tambah yaitu
ditunjukkan dengan keuntungan sebesar Rp. 9.250,- (kemasan gelas plastik)
dan Rp. 6.700,- (kemasan kantong plastik) yang diperoleh dalam 1 kg bahan
baku kedelai serta dapat menyerap tenaga kerja dibagian produksi dan
pemasaran.
Potensi nilai tambah dari pengolahan susu sari kedelai dapat diringkatkan
dengan menambah jumlah produksi dan tingkat penjualan.
Dalam proses pengolahan susu sari kedelai harus tetap memperhatikan
dalam pemilihan bahan baku dan kebersihan yaitu kebersihan tempat kerja,
peralatan dan orang atau pekerjanya.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyadi, Wisnu. 2007. Kedelai, Khasiat dan Teknologi. Bumi Aksara. Bandung.
Handoko,dkk. 2006. Laporan Akhir Kegiatan Primatani Kajian Rancang Bangun Agribisnis Berbasis Inovasi Teknologi di Lahan Sawah. BPTP Jawa Timur.
Roesmiyanto, F. Kasiyadi, Suyamto, E. Retnaningtyas dan S. Yuniastuti. 2000.
Paket Teknologi Budidaya Kedelai Spesifik Lokasi di Jawa Timur dalam Rakitan Teknologi Budidaya Padi, Jagung dan Kedelai Spesifik Lokasi Mendukung Gema Palagung di Jawa Timur. BPTP Jawa Timur. Malang
Tri Margono. et.al, 2000. Panduan Teknologi Pangan. Pusat Informasi Wanita
dalam Pembangunan. LIPI. Jakarta
PERBANDINGAN USAHATANI TANAMAN EKSISTING (PADI) DENGAN
TANAMAN INTRODUKSI (MELON) DI BOJONEGORO
Handoko, Gunawan dan Rika Asnita
ABSTRAK
Sebagian besar petani terbelenggu oleh rutinitas usahatani eksisting turun-
temurun sehingga sulit untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memberikan alternatif usahatani komoditas baru yang
lebih menguntungkan. Penelitian menggunakan petak berpasangan dengan melibatkan
duapuluh petani. Sepuluh petani menanam padi (tanaman eksisting), sedangkan
sepuluh petani lainnya menanam melon (tanaman introduksi). Analisis data
menggunakan perhitungan ekonomis sederhana. Dalam luasan yang sama, usahatani
melon membutuhkan modal 3,59 kali dibanding usahatani padi. Usahatani melon
mampu menyerap tenaga kerja 3,57 kali lebih banyak dan pendapatan buruh
meningkat 12,5 – 25%, serta keuntungan petani meningkat sebesar 644%
PENDAHULUAN
Sebagian besar petani terbelenggu oleh rutinitas usahatani eksisting turun-
temurun sehingga sulit untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
Disamping itu, sistim waris bagi tanah juga semakin mempersempit lahan garapan
masing-masing petani. Usahatani yang dilaksanakan tidak lepas dari kebutuhan akan
kecukupan pangan sehingga pada musim hujan areal pertanaman didominasi oleh
tanaman padi, sebagai makanan pokok rakyat Indonesia pada umumnya. Dengan
semakin sempit luas garapan, mustahil usahatani padi mampu meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan keluarga tani.
Padi sebagai makanan pokok dan merupakan komoditas strategis telah dirintis
pengembangannya secara modern di Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda.
Pelepasan varietas hasil persilangan pertama pada tahun 1943 dan sampai saat ini
telah dihasilkan lebih dari 191 varietas dengan berbagai kelebihan (BB Padi, 2006;
Musaddad et al. 1993 dalam BB Padi, 2006). Teknologi bercocok tanam khususnya
padi sawah sudah mantap dan agroekosistem telah stabil sehingga pengelolaan
tanaman padi relatif lebih mudah dibandingkan dengan usahatani tanaman
hortikultura khususnya melon.
Melon merupakan komoditas pendatang baru, dimana pada tahun tujuh
puluhan masih merupakan buah import untuk memenuhi kebutuhan para tenaga asing
yang bekerja di berbagai bidang di Indonesia (Sunaryono, 1987). Budidaya tanaman
melon mulai dilakukan di dalam negeri setelah adanya pembatasan impor buah pada
tahun delapan puluhan, namun benih masih didatangkan dari luar negeri. Benih-benih
melon dengan berbagai varietas didatangkan dari negara produsen yang sampai saat
ini masih didominasi oleh Jepang, Amerika, Taiwan, Tailand dan Jerman
(Anonimous, 2006). Tahun sembilan puluhan peneliti Badan Litbang Pertanian
mampu menepis anggapan bahwa melon hanya dapat dibudidayakan pada daerah-
daerah dataran tinggi. Purnomo (1993), membuktikan melon yang ditanam pada
daerah pantai dengan salinitas tinggi dapat hidup dengan baik. Bahkan melon yang
ditanam pada dataran rendah (85 m dpl) dengan tipe iklim D-E tanah gromosol hasil
dan kualitas buah lebih tinggi dibanding melon yang ditanam pada dataran medium
(456 m dpl) dengan tipe iklim C-D dengan tanah Oxisol (Purnomo dkk., 1997).
Sedangkan usaha pembuatan varietas baru telah dirintis oleh Purnomo (1997), dimulai
dengan pengumpulan plasma nutfah dan seleksi, dan pertama kali pelepasan varietas
pada era dua ribuan. Berhubung melon merupakan komoditas pendatang baru, untuk
dikembangkan di suatu wilayah perlu diketahui kelayakannya. Untuk mengetahui
tanaman melon layak diusahakan di desa Sidodadi kecamatan Sukosewu kabupaten
Bojonegoro, perlu dibandingkan dengan komoditas eksisting yaitu padi.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian menggunakan rancangan petak berpasangan yaitu dua komoditas
yang diuji padi dan melon ditanam pada musim hujan (MH) di lahan petani. Masing-
masing komoditas ditanam oleh sepuluh petani kooperator, yang juga dianggap
sebagai ulangan. Padi ditanam di seluruh lahan masing-masing petani dengan luas
antara 0,25 sampai 0,5 Ha. Sedangkan melon ditanam oleh masing-masing petani
antara 1.500 sampai 5.000 tanaman.
Budidaya padi menggunakan prinsip pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yaitu
varietas unggul Mekongga, umur bibit 21 hari setelah sebar, jarak tanam jajar legowo
40 X 20 X 12,5 cm, penyiangan dua kali dengan osrok dan pemupukan dua kali
dengan pupuk sesuai anjuran. Sedangkan melon varietas Sakata, benih setelah
direndam selama empat jam dan diperam selama 12 jam ditanam langsung di lapang
menggunakan sungkup gelas plastik bekas air mineral. Pemupukan sesuai anjuran
menggunakan hydro complek lima hari sekali. Sedangkan pengendalian hama
penyakit disesuaikan dengan keadaan tanaman dengan prinsip pengendalian hama
terpadu. Untuk mengetahui kelayakan usahatani melon di desa Sidodadi kecamatan
Sukosewu kabupaten Bojonegoro didasarkan pada analisis ekonomi usahatani
sederhana. Penghitungan analisis, satuan usahatani diasumsikan rata-rata satu hektar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Tanaman
A. Padi
Pertumbuhan tanaman padi sangat baik, terlihat dari hasil panen yang
mencapai 8,72 ton/Ha gabah kering panen. Tingginya hasil panen tersebut
didukung penggunaan bibit bermutu umur muda (21 hst), kecukupan air,
penyiangan dan pemupukan tepat waktu. Penyiangan menggunakan osrok,
pertama dilakukan pada saat tanaman umur 14 minggu dan penyiangan kedua
pada saat tanaman umur 25 hari, diikuti dengan pemupukan masing-masing100 kg
urea dan 75 kg ponskha dengan cara dibenamkan. Pupuk dasar menggunakan urea
100 kg dan ponskha 50 kg. Pengendalian hama penyakit dilakukan sebanyak
empat kali, dimana pada saat tanaman bunting terlihat gejala serangan wereng dan
kresek, sehingga setiap minggu berikutnya dilakukan penyemprotan.
B. Melon
Tujuh puluh sembilan persen lebih hasil panen termasuk grade A merupakan
bukti bahwa melon sangat cocok diusahakan di lokasi pengembangan. Serangan
hama penyakit dapat dikendalikan sedini mungkin sehingga tidak sampai timbul
kerusakan ekonomis. Buah melon yang tidak termasuk grade A kebanyakan
perkembangan net kulit buah tidak sempurna dan cacat karena serangan ulat,
selain perkembangan buah tidak normal karena tanaman terserang penyakit
mildew.
Keragaan Usahatani
Tingginya biaya usahatani melon dibanding dengan usahatani padi disebabkan
karena kebutuhan sarana produksi meningkat 596% dan tenaga kerja 357%.
Penambahan biaya tersebut sebanding dengan harga jual produk yang meningkat
490%, dengan keuntungan 644% lebih tinggi dibanding dengan padi. Peningkatan
keuntungan lebih tinggi dibanding dengan peningkatan biaya karena harga per
satuan melon (Rp. 2.750; - 3.000;/kg) lebih tinggi dibanding dengan padi (Rp.
2.100;/kg).
A. Sarana produksi
Biaya sarana produksi untuk usahatani melon didominasi untuk pengadaan
benih dan pestisida. Sebaliknya dalam usahatani padi biaya untuk benih sangat
rendah. Harga benih melon sangat tinggi karena merupakan varietas hibrida
(Sakata) yang masih harus impor dari luar negeri. Sedangkan benih padi sudah
mampu diproduksi dalam negeri walaupun varietas inhibrid (Mekongga) produktifitasnya
cukup tinggi. Perbedaan biaya pestisida lebih disebabkan volume penggunaan yang lebih
intensif pada tanaman melon karena varietas yang ditanam tidak tahan terhadap penyakit
(Mahfud dkk., 1997). Kesehatan tanaman melon harus benar-benar dijaga karena
termasuk tanaman berumur pendek, bila terjadi serangan hama penyakit pada daun tidak
mampu/tidak ada waktu untuk pulih kembali. Bila hama penyakit menyerang buah,
walaupun bisa dipanen tidak bisa masuk dalam kriteria grade A.
B. Tenaga kerja
Tanaman melon termasuk tanaman menjalar dengan pertumbuhan sangat cepat.
Untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal perlu ditopang dengan ajir untuk
mengikat batang tanaman menjulur ke atas. Keterlambatan dalam mengerjakan
pengikatan batang dengan ajir, batang akan bengkok dan bila diluruskan mudah pecah
sehingga mudah terserang penyakit. Bersamaan dengan kegiatan pengikatan, dilakukan
juga pemangkasan atau wiwil tunas-tunas yang tidak dikehendaki setiap 3 – 5 hari sekali.
Oleh karena itu tenaga kerja yang dibutuhkan dalam kegiatan ini sangat banyak dibanding
dengan kegiatan lainnya. Selain untuk kegiatan pengikatan dan pemangkasan, tenaga
kerja cukup banyak diperlukan untuk pengolahan tanah membentuk guludan dengan
penutup mulsa plastik. Sedangkan dalam usahatani padi tenaga kerja lebih dibutuhkan
untuk memanen dan tanam. Panen biasanya dilakukan oleh buruh dengan upah sistim
“bawon” (bagi hasil) dengan perbandingan pemilik pemanen 9:1. Oleh karena itu
perhitungan biaya panen akan meningkat bila harga gabah naik. Sedangkan tanam
biasanya dilakukan oleh tenaga kerja wanita dengan sistim borongan.
C. Produksi
Buah melon yang telah berumur lebih dari 60 hari setelah tanam sudah siap untuk
dipanen dan dijual. Sebelum dipanen biasanya telah terjadi kesepakatan harga antara
petani dan pedagang. Pemanenan dengan cara menggunting cabang di atas ruas terakhir
tempat dudukan buah. Setelah buah-buah terkumpul kemudian diangkut ke tempat
penampungan sementara untuk dilakukan grading. Buah-buah dengan grade A langsung
dikirim ke pedagang tingkat dua yang menyalurkan ke super market atau langsung dijual
ke super market. Sementara itu buah dengan grade B dan C sebagian dibawa bersamaan
dengan grade A, atau bisa langsung di jual ke pasar lokal. Sedangkan gabah panen musim
hujan biasanya langsung dijual ke pedagang lokal dengan sistim tebasan atau sebagian
ada yang kiloan. Kebanyakan petani kesulitan dalam memroses gabah kering panen
menjadi gabah kering giling yang bisa disimpan lama karena tidak mempunyai alat
pengering.
Tabel 1. Perbandingan usaha tani padi dan melon pada musim hujan. Bojonegoro. 2007. (Ha) URAIAN PADI (Rp.) MELON (Rp.) PENINGKATAN (%)
A. Saprodi
Benih
Mulsa plastik
Ajir
Tali raffia
Pupuk anorganik
Pupuk kandang
PPC dan ZPT
Pestisida
135.000
760.000
600.000
1.000.000
6.000.000
2.000.000
680.000
150.000
1.855.000
600.000
750.000
2.850.000
Jumlah (A) 2.495.000 14.885.000 596
B. Tenaga Kerja
Olah tanah
Pembuatan lubang tanam
Pasang ajir
Penanaman
Pemupukan
Penyiangan/Pemangkasan dan pengikatan
Pengairan
Penyemprotan
Panen
540.000
1.040.000
80.000
600.000
150.000
160.000
1.831.200
2.500.000
375.000
1.875.000
625.000
1.000.000
7.500.000
250.000
600.000
1.000.000
Jumlah (B) 4.401.200 15.725.000 357
C. Sewa lahan
3.000.000
5.000.000
166
Total (A + B+C)
9.896.200
35.610.000
359
D. Hasil/panen (kg)
Gabah (8720)
Melon:
Grade A (30.500)
Grade B (3.500)
Grade C (5.000)
18.312.000
83.875.000
3.500.000
2.500.000
Jumlah (D) 18.312.000 89.875.000 490
Keuntungan D – (A+B+C)
8.414.000
54.265.000
644
KESIMPULAN
Tanaman melon sebagai komoditas baru yang diusahakan oleh petani desa
Sidodadi kecamatan Sukosewu kabupaten Bojonegoro mampu tumbuh dengan baik
dengan produktifitas lebih dari 30,500 ton/Ha. Budidaya melon mampu menyerap
tenaga kerja 3,57 kali lipat dibandingkan dengan menanam padi, sehingga bisa
mengurangi pengangguran dan pendapatan buruh tani meningkat. Usahatani melon
sesuai untuk dikembangkan oleh petani dengan penguasaan lahan sempit namun
mempunyai modal relatif banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2006. Budidaya melon. Direktorat Budidaya Tanaman Buah.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2006. Direktori Padi Indonesia 2006. Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi Bekerjasama dengan Perisindo
Communication. Jakarta. 359 hal.
Mahfud, M.C., S. Purnomo, Handoko, B. Tegopati dan M. Sugiyarto. 1997.
Perbedaan ketahanan di antara varietas melon terhadap penyakit layu
fusarium. Jurnal Hortikultura 7 (1): 561 – 565.
Purnomo S. 1993. Daya adaptasi semangka dan melon di dataran rendah Grati. Jurnal
Hortikultura 3 (1): 63 – 69.
Purnomo S., M.C. Mahfud, M. Sugiyarto, B. Tegopati dan Handoko. 1997.
Pengumpulan dan seleksi plasma nutfah melon (Cucumis melo L.). Prosiding
seminar hasil penelitian/pengkajian BPTP Karangploso. 143 – 170.
PENERAPAN INOVASI TEKNOLOGI DAN PENINGKATAN KELEMBAGAAN DI GAPOKTAN SETYO MARGO RUKUN - PRIMA TANI MALANG
Oleh :
Baswarsiati, D. Rahmawati, Abu, A. Kusaeri, D.Purwadi, Rifai, E. Srihastuti.
Beberapa inovasi teknologi yang telah diadopsi dan diterapkan oleh anggota Gapoktan Setyo Margo Rukun telah menunjukkan hasil, demikian juga dengan peningkatan kelembagaan di lokasi Prima Tani Malang. Pelaksanaan Prima Tani Malang dimulai pada bulan Januari 2007 dan berlangsung hingga tahun 2009 yang berlokasi di desa Wonosari, kecamatan Wonosari, kabupaten Malang dengan agroekologi lahan kering dataran tinggi iklim basah (LKDT-IB). Inovasi teknologi yang diberikan pada anggota Gapoktan Setyo Margo Rukun antara lain pembuatan bokasi, penerapan budidaya ubi jalar sesuai anjuran, penerapan budidaya kandang dan ternak kambing yang sehat, penerapan budidaya kopi yang benar serta penerapan budidaya pisang yang benar. Selain itu kelompok wanita tani juga dilatih berbagai produk olahan seperti keripik ubi jalar, keripik pisang, keripik mbothe, selai ubi jalar, dodol ubi jalar, cookies ubi jalar dan sirup jahe serta pembuatan jamu ternak dan permen ternak. Untuk inovasi kelembagaan berupa peningkatan kinerja kelompok tani, penguatan kelompok tani dan gapoktan, peran klinik agribisnis serta jejaring pasar untuk produk yang dihasilkan petani. Penilaian penerapan inovasi teknologi dan peningkatan kelembagaan dilakukan secara deskriptif dengan mengambil sampel dari semua anggota di gapoktan Setyo Margo Rukun. Hasil penilaian sampai pada akhir Juni 2008 menunjukkan bahwa tidak semua inovasi teknologi yang diberikan sudah diadopsi dan diterapkan oleh petani dan nampaknya petani memilih teknologi yang mudah dan murah untuk pelaksanaannya namun dapat menghasilkan produksi dan pendapatan yang lebih baik Teknologi yang paling banyak diadopsi dan diterapkan oleh petani yaitu pembuatan bokasi dan penggunaan bokasi untuk memupuk tanaman yang ada di lokasi tersebut. Pembuatan bokasi telah diterapkan oleh 90 % anggota gapoktan Setyo Margo Rukun dan pemberian bokasi pada tanaman kopi diterapkan oleh 85 % anggota dan pemberian bokasi pada tanaman ubi jalar diterapkan oleh 90 % anggota. Komponen dalam teknologi anjuran yang diberikan nampaknya tidak semua diterapkan oleh petani seperti untuk komoditas ubi jalar berkisar (30-90%), kopi (55-85 %), pisang (35-65%) dan kambing (20-90%). Sedangkan hasil implementasi kelembagaan yaitu telah berjalannya kelompok tani sesuai dengan fungsinya dan berkembangnya pengetahuan kelompok dalam berorganisasi dan menerapkan teknologi. Selain itu klinik agribisnis berjalan dengan lancar dalam melayani kebutuhan teknologi bagi petani di desa Wonosari dan desa sekitarnya. Peranan klinik agribisnis juga semakin mantap karena didukung oleh Pemkab Malang yang direncanakan tahun 2009 akan dibangun kantor BPP Model yang menyatu dengan Klinik Agribisnis Prima Tani Malang . Jejaring pasar khususnya untuk produk ubi jalar segar berjalan lancar dan meningkat di tahun 2008 terutama untuk pasar lokal kab. Malang dan sekitarnya serta Bali. Sedangkan jejaring pasar untuk produk bokasi telah meningkat ke pasar bunga di daerah Malang dan sekitarnya.
Kata kunci : inovasi teknologi, kelembagaan, gapoktan, prima tani malang
PENDAHULUAN
Sektor pertanian telah terbukti mampu menunjukkan peran yang penting dalam
menggerakkan perekonomian pedesaan karena petani merupakan penduduk mayoritas
di pedesaan. Prima Tani merupakan program Deptan yang sangat potensial sebagai
daya pengungkit pembangunan perekonomian rakyat. Oleh karena itu, dalam jangka
panjang ke depan Prima Tani dapat diandalkan sebagai salah satu program nasional
pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Prima Tani sebagai suatu program
rintisan dan akselerasi diseminasi inovasi teknologi dalam pembangunan pertanian dan
pedesaan yang dilaksanakan bersifat integratif secara vertikal dan horizontal,
diharapkan dapat menghasilkan keluaran yang bermuara pada ketahanan pangan, daya
saing melalui peningkatan nilai tambah dan peningkatan kesejahteraan petani
(Departemen Pertanian, 2006).
Sebagai program rintisan, keluaran akhir yang diharapkan dari Prima Tani adalah
terbentuknya unit Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) dan Sistem Usahatani
Intensifikasi dan Diversifikasi (SUID), yang merupakan representasi industri pertanian
dan usahatani berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi di suatu kawasan
pengembangan (Deptan, 2006). Kawasan ini mencerminkan pengembangan agribisnis
lengkap dan padu padan antar subsistem yang berbasis agroekosistem dan kandungan
teknologi dan kelembagaan lokal yang diperlukan sehingga mampu meningkatkan
kesejahteraan petani.
Program pembangunan pertanian yang selama ini berjalan nampaknya masih
bertumpu pada perbaikan teknologi saja namun belum banyak menyentuh pada
pembangunan kelembagaan serta pembangunan sumber daya manusia. Padahal inti
utama dalam pembangunan pertanian adalah penguatan pembinaan SDM sebagai
pelaku yang mutlak harus ditingkatkan dalam wadah kelembagaan mandiri yang
berwawasan kelestarian lingkungan dan berorientasi agribisnis (Kasryno, 2002).
Kawasan Laboratorium Agribisnis Prima Tani Kabupaten Malang terletak di desa
Wonosari, kecamatan Wonosari dengan agroekologi lahan kering dataran tinggi iklim
basah dengan elevasi 800-1.500 m dpl, yang terletak di kawasan gunung Kawi yang
terkenal dengan wisata ritualnya (Sosiawan et al, 2007). Saat ini pembangunan
pertanian yang ada di desa Wonosari masih perlu ditingkatkan. Potensi ubi jalar
sebagai ”trade mark” Gunung Kawi perlu ditangani secara bersama antar instansi terkait
sehingga produk tersebut mampu bersaing dan kontinyuitas terjamin di pasar lokal
maupun di luar daerah bahkan pasar ekspor. Selain ubi jalar komoditas unggulan
lainnya yaitu kambing, kopi dan pisang(Anonim, 2005; BPS, 2005). Produktivitas dan
kualitas kambing perlu peningkatan khususnya penambahan pakan sedangkan kondisi
kandang secara umum sudah cukup bagus. Sedangkan kopi nampaknya petani desa
Wonosari sudah mengarah pada pemeliharaan yang ramah lingkungan ke arah kopi
organik. Untuk komoditas pisang varietas yang ada masih beragam dan petani
menginginkan pisang varietas Mas Kirana dapat dikembangkan dan diikuti perbaikan
teknologi serta adanya jejaring pasar dan varietas tersebut sesuai dengan agroekologi
desa Wonosari. Agribisnis dari komoditas unggulan yang ada akan digarap secara
optimal mulai tahun 2007 hingga 2009 untuk menjadikan desa Wonosari menjadi desa
percontohan SUID (Sistem Usaha Intensifikasi dan Diversifikasi).
Dengan adanya inovasi teknologi dan dukungan kelembagaan yang dilakukan di
laboratorium agribisnis Prima Tani Malang serta respon yang tinggi dari pelaku
pembangunan pertanian di lapang (petani) yang tergabung dalam Gapoktan Setyo
Margo Rukun maka pelaksanaan Prima Tani di desa Wonosari, kecamatan Wonosari,
kabupaten Malang sudah mulai menunjukkan hasil dan agribisnis yang dilakukan oleh
petani mulai meningkat. Oleh karena itu telaah tentang inovasi teknologi dan dan
peningkatan kelembagaan di Gapoktan Setyo Margo Rukun - Prima Tani Malang
diperlukan untuk perbaikan dan peningkatan dari produk yang dihasilkan petani serta
mendukung jalannya agribisnis industrial pedesaan di desa Wonosari.
PENDEKATAN/KERANGKA PIKIR
Dalam penerapan Prima Tani di lapang maka harus memperhatikan juga konsep
pertanian berkelanjutan sehingga petani dapat menerapkan program tersebut walaupun
program dari pemerintah sudah berakhir. Beberapa konsep yang dapat dilakukan
menurut Reijntjes et al (1999) antara lain : a) Mantap secara ekologis : yang berarti
bahwa secara keseluruhan dari manusia, tanaman dan hewan sampai organisme tanah
ditingkatkan; b) Bisa berlanjut secara ekonomis : yang berarti bahwa petani bisa cukup
menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan atau pendapatan sendiri serta
mendapatkan penghasilan yang cukup untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang
dikeluarkan; c) Adil : yang berarti bahwa sumber daya dan kekuasaan didistribusikan
sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan
hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta
peluang pemasaran terjamin; d) Manusiawi : yang berarti bahwa semua bentuk
kehidupan (tanaman, hewan, dan manusia) dihargai. Martabat dasar semua mahluk
hidup dihormati, dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang
mendasar seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang; e)
Luwes : yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus dalam hal inovasi teknologi dan
perubahan kelembagaan (termasuk sosial dan budaya).
Selain itu hal yang utama dalam pelaksanaan suatu program pembangunan
pertanian yang berhubungan langsung dengan masyarakat petani sebagai pelaku
utama maka semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam program tersebut harus
bekerja dengan ikhlas dalam artian yang sesungguhnya dan menyatu dengan
masyarakat petani sehingga dapat memahami keinginan petani dan berangsur-angsur
dapat diterima petani dan akhirnya tujuan akhir dari program tersebut dapat tercapai.
Kegiatan Prima Tani pada dasarnya merupakan kegiatan diseminasi teknologi dan
kelembagaan yang dilaksanakan secara terpadu antar institusi terkait yaitu Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur (BPTP Jatim) dan Pemerintah Kabupaten
Malang. Strategi untuk merintis Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) melalui inovasi
teknologi dan inovasi kelembagaan dengan pemberdayaan masyarakat pedesaan di
Kabupaten Malang dilakukan melalui langkah-langkah yaitu :
Sosialisasi awal antara BPTP Jatim dan Pemerintah Kabupaten Malang
PRA (Participatory Rural Appraisal)
Sosialisasi Hasil PRA pada pemangku kepentingan termasuk pelaksana
pembangunan pertanian
Base line survey
Pembentukan dan Pemantapan Rancang Bangun Laboratorium Agribisnis
Implementasi pelaksanaan inovasi teknologi dan inovasai kelembagaan di
laboratorium agribisnis
Untuk penilaian penerapan inovasi teknologi dan peningkatan kelembagaan
dilakukan secara deskriptif dengan mengambil sampel dari semua anggota di gapoktan
Setyo Margo Rukun yang mewakili 4 kelompok tani yaitu Kelompok Tani Setyo Margo
Rukun I di dusun Wonosari, Kelompok Tani Setyo Margo Rukun II di dusun Sumbersari,
Kelompok Tani Setyo Margo Rukun III di dusun Pijiombo dan Kelompok Tani Setyo
Margo Rukun IV di dusun Kampung Baru.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prima Tani Malang dimulai pada bulan Januari 2007 dan sudah berjalan selama
satu setengah tahun. Walaupun Prima tani Kabupaten Malang relatif masih baru
berjalan namun kebangkitan pembangunan pertanian di desa Wonosari mulai nampak
dan agribisnis yang dilakukan oleh petani juga mulai terlihat hasilnya. Andil terbesar
dalam kemajuan Prima Tani di kabupaten Malang karena respon masyarakat dan petani
desa Wonosari, kecamatan Wonosari begitu tinggi terhadap inovasi teknologi sehingga
petani mau bergerak dalam pembangunan pertanian di desanya. Selain itu dukungan
dan komitmen Pemerintah Kabupaten Malang yang sangat tinggi dan hal ini tertuang
dalam SK Bupati Malang No 180/741/KEP/421.013/2007 tentang POKJA Prima Tani
Malang serta tertuang dalam Musrenbang 2007 bahwa Prima Tani termasuk dalam
program utama pembangunan pertanian di Kabupaten Malang yang merupakan hasil
kerjasama antara Departemen Pertanian dengan Pemerintah Kabupaten Malang.
Strategi Merintis Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) Melalui Inovasi
Teknologi dan Inovasi Kelembagaan
Untuk melaksanakan suatu program pembangunan pertanian seperti halnya
Prima Tani yang perlu menggerakkan masyarakat pedesaan sebagai pelakunya maka
diperlukan strategi yang tentunya dapat menghasilkan sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Adapun strategi yang telah dicanangkan oleh Badan Litbang Pertanian
sebagai penggagas Prima Tani terasa sangat banyak manfaatnya bilamana strategi
tersebut diterapkan. Dari strategi yang ada mulai dari sosialisasi awal hingga sosialisasi
Rancang Bangun maka yang terasa perlu penjelasan secara detail dan dimantapkan
yaitu pada saat pelaksanaan PRA dan pembuatan Rancang Bangun (Adimiharja, 2006).
PRA merupakan langkah awal yang harus dilakukan dalam pelaksanaan Prima
Tani untuk membuat rancang bangun laboratorium agribisnis sebagai pentahapan
kegiatan inovasi selama 5 tahun dan perencanaan program Prima Tani (Irawan dan
Priyanto, 2006). PRA merupakan langkah awal dalam rangka mendukung pelaksanaan
Prima Tani di desa Wonosari, kecamatan Wonosari, kabupaten Malang.
Model pelaksanaan suatu program dengan partisipasi petani atau Farmer
Participatory Research (FPR) merupakan suatu pendekatan yang mendorong petani
untuk terlibat dalam percobaan-percobaan yang dilakukan di lahan mereka sendiri
sehingga mereka dapat belajar, menerapkan teknologi baru dan menyebarkannya
kepada petani lain. Bersama peneliti yang bertindak sebagai fasilitator, petani dan
peneliti bekerja sama sejak rancangan awal dari suatu proyek penelitian hingga ke
pengumpulan data, analisis, kesimpulan akhir, dan tindakan lanjutan. Langkah ini, yang
terkadang dikenal sebagai “evaluasi inovasi”, penting untuk komunikasi, dan untuk
memprakarsai penyebaran (informasi). Manfaat utama dari pendekatan ini adalah
bahwa petani “learn by doing (belajar sambil bekerja)” dan aturan-aturan dimodifikasi
berdasarkan pengalaman langsung. Untuk membentuk pembelajaran, penafsiran atas
pengalaman-pengalaman harus dapat memberi informasi mengenai apa yang terjadi,
mengapa hal itu terjadi dan apakah hal yang terjadi tersebut memuaskan atau tidak
memuaskan. Informasi-informasi, teknologi, dan konsep-konsep baru mungkin akan
lebih baik bila dikomunikasikan kepada para petani melalui pendekatan partisipatif
(Syam, 2007).
Penerapan Inovasi Teknologi Pada Komoditas Unggulan oleh Anggota
Gapoktan Setyo Margo Rukun - Prima Tani Malang
Penentuan komoditas unggulan di laboratorium agribisnis Prima Tani Malang-
desa Wonosari berdasarkan dari beberapa kriteria antara lain : a) Komoditas tersebut
merupakan komoditas “icon” atau komoditas maskot kabupaten Malang, b) Komoditas
tersebut merupakan komoditas existing di desa tersebut, c) Peluang pasar tinggi dan
berkelanjutan, bukan pasar sesaat atau booming sesaat, d) Luas tanam dan potensi
pengembangan tinggi di desa tersebut.
Saat ini konsumen pada umumnya tidak lagi sekedar membeli komoditi yang
dilihat dari jenis, kenyamanan, stabilitas harga dan nilai komoditi, tetapi akan membeli
produk yang bercirikan : Kualitas (komposisi bahan baku), kandungan nutrisi (lemak,
kalori, kolesterol dsb), keselamatan (kandungan aditif, pestisida dsb), dan aspek
lingkungan (apakah produk tersebut dihasilkan dengan usahatani dan proses pengolah
produk yang tidak mengganggu kualitas dan kelestarian lingkungan (Simatupang, 1995;
Suryana dan Zulham, 1997).
Dari beberapa kriteria tersebut di atas terpilihlah komoditas unggulan dari
Laboratorium Agribisnis calon AIP di desa Wonosari, kecamatan Wonosari, kabupaten
Malang yaitu: 1) ubi jalar, 2) kambing PE, 3) kopi, 4) pisang. Hal ini berdasarkan dari
skore hasil masing-masing komoditas sesuai tabel berikut.
Tabel 1. Skore komoditas berdasarkan kriteria untuk menjadi komoditas unggulan
Komoditas Skore Kriteria Unggulan
Icon/Maskot Komoditas existing
Peluang Pasar
Luas Tanam/Jumlah
Total Skore
Ubi Jalar 5 5 5 4 19
Kopi 3 4 4 5 16
Pisang 2 3 3 3 11
Kambing PE 4 4 5 3 16
Keterangan : Skore : 5 = sangat tinggi, 4= tinggi, 3= sedang, 2= kurang, 1=sangat kurang
Saat ini pembangunan pertanian yang ada di desa Wonosari masih perlu
ditingkatkan. Potensi ubi jalar sebagai ”trade mark” Gunung Kawi perlu ditangani secara
bersama antar instansi terkait sehingga produk tersebut mampu bersaing dan
kontinyuitas terjamin di pasar lokal maupun di luar daerah bahkan pasar ekspor. Selain
ubi jalar komoditas unggulan lainnya yaitu kambing, kopi dan pisang. Produktivitas dan
kualitas kambing perlu peningkatan khususnya perbaikan indukan dan pengembangan
kambing PE, penambahan pakan hijauan sedangkan kondisi kandang secara umum
sudah cukup bagus. Sedangkan kopi nampaknya petani desa Wonosari sudah
mengarah pada pemeliharaan yang ramah lingkungan ke arah kopi organik. Untuk
komoditas pisang, varietas yang ada masih beragam dan petani menginginkan pisang
varietas Mas Kirana dapat dikembangkan dan diikuti perbaikan teknologi serta adanya
jejaring pasar yang sudah berjalan.
Program pengembangan dari masing-masing komoditas unggulan yang telah
tersusun dalam rancang bangun yaitu mengarah pada pengembangan integrasi
tanaman dan ternak. Selain itu inovasi teknologi disesuaikan untuk menjawab
permasalahan yang ada pada masing-masing komoditas unggulan. Untuk itu inovasi
teknologi telah disiapkan dan telah diberikan materinya kepada petani baik berupa
model penyuluhan di kelas, di lahan milik anggota kelompok tani maupun di lahan
demoplot. Karena sesuai dengan kebutuhan petani yaitu untuk membuktikan teknologi
yang diberikan Prima tani dapat diterapkan mereka secara masal maka petani
menginginkan adanya demoplot terlebih dulu.
Penerapan Inovasi Teknologi pada Komoditas Ubi jalar
Ubi jalar sebagai salah satu komoditas “icon” kabupaten Malang dan komoditas
unggulan di Prima Tani Malang telah berjalan dengan lancar pemasarannya sejak
sebelum adanya Prima Tani. Hanya saja permasalahannya petani masih belum
menerapkan teknologi budidaya anjuran sehingga produktivitasnya rendah. Beberapa
inovasi teknologi yang diberikan antara lain penggunaan bokasi, penanaman stek
dengan cara tegak atau miring, pengguludan tanaman dan pembalikan batang pada
umur 6, 9 dan 12 minggu untuk memperbesar umbi serta pencucian dan sortasi umbii
setelah panen. Dari beberapa teknologi tersebut nampaknya tidak semua diterapkan
oleh anggota Gapoktan Setyo Margo Rukun. Teknologi yang mudah, murah dan
menghasilkan produksi tinggi yang langsung diterapkan oleh petani.
Tabel 2. Penerapan Inovasi Teknologi pada Komoditas Ubi Jalar
No Macam Teknologi Petani yang Menerapkan Teknologi (%)
2006 (sebelum Prima Tani)
2007 Juni 2008
1. Pemberian pupuk organik (bokasi) 15 85 90
2. Penggunaan stek yang benar 30 80 80
3. Penggunaan guludan sesuai anjuran 30 60 65
4. Pembalikan batang dan pembumbunan 20 60 70
5. Sortasi hasil 0 50 60
6. Pembersihan dan pencucian umbi 0 25 30
Keterangan: Jumlah petani ubi jalar = 77 orang
Nampak bahwa petani yang menggunakan bokasi meningkat tajam dari tahun
2006 hingga Juni 2008 yaitu dari 15 % petani menjadi 90 % petani, serta produksi ubi
jalar di lokasi Prima Tani Malang meningkat yaitu pada tahun-tahun sebelum adanya
Prima Tani sekitar 6-7 ton/ha menjadi 10-11 t/ha. Demikian juga dengan penggunaan
stek yang benar yaitu ditanam tegak atau miring diterapkan oleh 80 % petani.
Sedangkan untuk perbaikan guludan dan pembalikan batang masih sebagian petani
yang menerapkannya dan alasan yang dikemukan oleh petani karena tenaga kerja
terbatas. Untuk teknologi pasca panen yang sebelum ada Prima Tani belum pernah
dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki penampilan umbi dan meningkatkan harga
jual juga belum banyak diterapkan oleh petani. Hal ini karena permintaan pasar sudah
banyak sehingga alasan mereka walau ubi jalar tanpa dicuci dan disortasi tetap laku dan
diminati pasar..
Penerapan Inovasi Teknologi pada Komoditas Kopi
Dibandingkan dengan komoditas ubi jalar, maka teknologi anjuran pada
tanaman kopi sebelum adanya Prima Tani lebih banyak yang sudah diterapkan oleh
petani. Hal ini karena sebagian petani merupakan anggota SLPHT Kopi pada tahun
2005-2006. Namun sayangnya penerapan inovasi teknologi pada kopi oleh petani
masih lamban bergeraknya karena beberapa alasan antara lain: petani kurang rajin
walaupun sudah tahu bahwa hasil kopi akan meningkat dengan penerapan budidaya
yang benar, tenaga kerja terbatas, teknologi yang dilakukan dirasakan akan membuang
waktu mereka serta terasa lebih rumit seperti pemangkasan, pewiwilan maupun petik
bubuk pada buah-buah kopi yang terserang PBKo. Adapun teknologi yang langsung
diterapkan oleh sekitar 85 % petani dan dirasakan cepat terlihat hasilnya yaitu
penggunaan pupuk bokasi karena produksi kopi meningkat (Tabel 3).
Tabel 3. Penerapan Inovasi Teknologi pada Komoditas Kopi
No Macam Teknologi Petani yang Menerapkan Teknologi (%)
2006 2007 Juni 2008
1. Pemberian pupuk organik (bokasi) 45 75 85
2. Pemangkasan Produksi 60 75 80
3. Pemangkasan Pemeliharaan 40 65 75
4. Pembuatan Rorak 30 65 65
5. Petik bubuk PBKo 30 50 53
6. Penyambungan dengan klon Produktif 10 60 60
Keterangan: Jumlah petani kopi = 310 orang
Penerapan Inovasi Teknologi pada Komoditas Kambing
Penerapan kandang panggung oleh anggota Gapoktan sudah dilakukan sebelum
adanya Prima Tani dan tahun 2008 meningkat persentasenya (90%). Sedangkan
penerapan kandang yang sehat masih sekitar 60 %. Kondisi kandang sehat juga dilihat
dari kesehatan ternak kambingnya. Untuk pemberian ransum HMT, sebelum adanya
Prima Tani petani hanya memberikan ransum sehari sekali dan saat ini sudah
memberikan 2 kali sehari atau jumlah HMT diperbanyak. Untuk pemerahan susu, dari
awal belum dikenal oleh petani hingga saat ini sudah meningkat 20 %. Peningkatan
tidak terlalu tinggi karena jenis kambing yang ada di lokasi adalah kambing Sembawa
sedangkan jumlah kambing PE (untuk diperah susunya) masih terbatas.
Tabel 4. Penerapan Inovasi Teknologi pada Komoditas Kambing
No Macam Teknologi Petani yang Menerapkan Teknologi (%)
2006 2007 Juni 2008
1. Kandang panggung 75 80 90
2. Kandang sehat 35 50 60
3. Pemberian ransum HMT yang sesuai 5 20 45
4. Pengendalian penyakit 30 50 60
5. Pemerahan susu 0 10 20
6. Penggunaan jamu ternak 0 20 30
7. Pembuatan bokasi 0 70 90
Keterangan: Jumlah peternak kambing = 358 orang
Penerapan Inovasi Teknologi pada Komoditas Pisang
Pembuatan bibit dari bonggol belum dikenal oleh petani dan saat ini sudah
diterapkan sekitar 60 % petani pisang. Sedangkan penggunaan pupuk organik
meningkat dari awal 5 % menjadi 65 %. Untuk pengurangan jumlah anakan dan jumlah
daun petani yang menerapkan masih sekitar 45 % dan 35 % karena terbatasnya tenaga
kerja. Jika melihat data pada Tabel 5, nampak bahwa selama ini tanaman pisang yang
ada di petani belum dibudidayakan dengan baik karena inovasi teknologi yang diberikan,
merupakan hal baru bagi petani seperti pembuatan bibit dari bonggol, pengurangan
anakan, pemangkasan daun dan pembrongsongan buah.
Tabel 5. Penerapan Inovasi Teknologi pada Komoditas Pisang
No Macam Teknologi Petani yang Menerapkan Teknologi (%)
2006 2007 Juni 2008
1. Pembuatan bibit dari bonggol 0 60 60
2. Pemberian pupuk organik (bokasi) 5 55 65
3. Pengurangan anakan 0 45 45
4. Pengurangan jumlah daun 0 30 35
5. Pembungkusan buah 0 30 35
6. Panen umur optimal 45 55 60
Jumlah petani pisang = 462 orang
Penerapan Inovasi Kelembagaan dalam Pengembangan Sumberdaya
Petani/Kelompok Tani
Pengembangan sumberdaya petani/kelompok tani dilakukan dengan berbagai
cara mulai dari kegiatan sosialisasi tentang peranan pemerintah dalam
pembangunanpertanian, peranan dan tujuan Prima Tani serta peranan kelembagaan
terutama kelompok tani sebagai suatu lembaga agribisnis penting dalam membangun
suatu kawasan agribisnis. Kelompok tani di desa Wonosari ada 4 kelompok yang ada
di 4 dusun, namun sebagian besar belum berperan secara efektif dalam memperlancar
usahatani anggotanya. Upaya lain yang dilakukan adalah pemberdayaan kelompok tani
yang ada yaitu dengan mengikuti pertemuan disetiap kelompok dan secara bertahap
memperbaiki administrasi, sistem keuangan, penentuan program dan menginventaris
kebutuhan teknologi serta memberikan penyuluhan materi teknologi yang ada
Pemberdayaan kelompok dalam mempercepat penerapan teknologi dibuat dengan cara
memberikan percontohan teknologi pada beberapa kelompok berupa demoplot sebelum
dilakukan pemasalan teknologi. Hal ini sesuai dengan keinginan petani karena mereka
akan menerima teknologi jika teknologi tersebut mampu memperbaiki produktivitas,
kualitas serta terjamin pasarnya.
Untuk pengembangan sumberdaya petani dari masing-masing kelompok dengan
cara mengikutkannya dalam berbagai pelatihan perbaikan teknologi yang telah
diberikan oleh Tim Prima Tani Malang, Balitkabi, Puslitkoka, Balitnak Ciawi dan
beberapa materi pelatihan dari Dinas terkait di Pemkab Malang. Selain itu petani juga
melakukan studi banding ke kelompok tani yang sudah maju. Studi banding dilakukan
di kecamatan Ampel Gading untuk melihat peternakan kambing PE dan di kecamatan
Tirtoyudo untuk melihat pertanaman kopi. Selain itu adanya Klinik Agribisnis merupakan
salah satu unsur kelembagaan yang sangat mendukung perkembangan kelompok tani
dan Gapoktan Setyo Margo Rukun.
Tabel 6. Keragaan Proses Pengembangan Aspek Kelembagaan di Prima Tani. Malang
SEBELUM PRIMA TANI SESUDAH ADA PRIMA TANI KETERANGAN
Kondisi petani ramah dan responsif
3 kelompok tani tidak aktif selama 8 tahun terakhir
Jumlah anggota per kelompok sekitar 20 orang
Belum terbentuk Kel wanita Tani
Belum terbentuk Gapoktan
PPL belum aktif
Pengurus kelompok belum mengerti administrasi kelompok
Belum terbentuk kelembagaan agribisnis
Kondisi petani ramah dan responsif
4 kelompok tani aktif kembali
Jumlah anggota dalam kelompok tani bertambah 40-50 orang per kelompok
Terbentuk 4 kelompok wanita tani sebagai bagian dari Kelompok Tani
Terbentuk Gapoktan untuk dapat memperkuat kinerja dari Kelompok Tani
Pengurus kelompok mulai mengerti administrasi kelompok
Diskusi dan pertemuan kelompok sering dilakukan sesuai jadwal yang telah disepakati
Pendekatan teknis dilakukan secara langsung ke petani
Mengadakan reward untuk petani yang berhasil
Terbentuk kelembagaan agribisnis dan jejaring pasar yang bermitra dengan kelompok tani
Agar kondisi ini
dapat tercapai
maka kelompok
tani diberikan
arahan yang
sesuai untuk
masing-masing
masalah yang
ada dan petani
didorong untuk
aktif dan mandiri
Tim Prima tani
lebih pro aktif
untuk mencari
jejaring pasar
demikian juga
mendorong
petani maju
untuk mencari
jejaring pasar
Dalam hal pengembangan sumberdaya kelompok tani nampak bahwa di desa
Wonosari pelaku pembangunan pertanian tidak didominasi oleh petani pria saja, namun
wanita tani sangat berperan juga dan mereka sangat respon terhadap perbaikan
teknologi yang diberikan oleh Tim Prima Tani. Seperti pada implementasi teknologi
untuk pembuatan bokasi, produk olahan, pembuatan jamu dan permen untuk ternak
pengelolaan kebun bibit desa dan tanaman hias dilakukan oleh kelompok wanita tani.
Selain penerapan teknologinya, maka kelompok wanita tani juga memasarkan dan
mencari peluang pasar untuk agribisnis yang telah dirintis oleh mereka yaitu pembuatan
bokasi, pembuatan keripik dan dodol, pembuatan jamu dan permen ternak.
KESIMPULAN
Pembuatan bokasi telah diterapkan oleh 90 % anggota gapoktan Setyo Margo
Rukun dan pemberian bokasi pada tanaman ubi jalar diterapkan oleh 90 %
anggota, pemberian bokasi pada tanaman kopi diterapkan oleh 85 % anggota
dan pemberian bokasi pada tanaman ubi jalar diterapkan oleh 90 % anggota.
Kandang panggung diterapkan oleh 90 % petani dan kandang sehat masih
diterapkan oelh 60 % petani
Komponen dalam teknologi anjuran yang diberikan nampaknya tidak semua
diterapkan oleh petani seperti untuk komoditas ubi jalar berkisar (30-90%), kopi
(55-85 %), pisang (35-65%) dan kambing (20-90%).
Implementasi kelembagaan yaitu telah berjalannya kelompok tani sesuai dengan
fungsinya dan berkembangnya pengetahuan kelompok dalam berorganisasi dan
menerapkan teknologi. Selain itu klinik agribisnis berjalan dengan lancar dalam
melayani kebutuhan teknologi bagi petani di desa Wonosari dan desa sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Data Monografi Kecamatan Wonosari, kabupaten Malang.
Adimihardja, A. 2006. Primatani Instrumen Revitalisasi Pertanian. (Materi TOT : Apresiasi Manajemen dan Konsep Prima Tani untuk Manajer Lab Agribisnis). BBP2TP.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Petunjuk Pelaksanaan Prima Tani.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Badan Pemberdayaan Pemasyarakatan Kab. Malang. 2005. Pendataan Profil Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari. Badan Pemberdayaan Pemasyarakatan Kab. Malang.
Biro Pusat Statistik Kab. Malang. 2005. Kabupaten Malang Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Kab. Malang.
Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2006. Pedoman Umum Prima Tani. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Irawan, B. dan D. Priyanto. 2006. Petunjuk Teknis Pelaksanaan PRA. (Materi TOT : Apresiasi Manajemen dan Konsep Prima Tani untuk Manajer Lab Agribisnis). BBP2TP.
Sosiawan,H., Hikmatullah, Muladi dan Sumaryono. 2007. Identifikasi dan Evaluasi Potensi Lahan untuk Mendukung Prima Tani di desa Wonosari, Kec. Wonosari, kab. Malang. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Suryana, A. dan A. Zulham. 1997. Model Usahatani dan Strategi Pengembangan Komoditas Pertanian Menghadapi Pasar Global dan Industrialisasi. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Syam, M. 2007. Bank Informasi Teknologi Padi. Kerjasama Badan Litbang Pertanian dan International Rice Research Institute.
Menghubungkan Petani Dengan Pasar Bambang Irianto
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Malang
Abstrak
Program/proyek bantuan pengembangan pertanian selama ini lebih banyak
terfokus kepada pembinaan dan pengembangan kemampuan petani untuk
memproduksi komoditas pertanian atau meningkatkan produksi melalui berbagai
introduksi teknologi. Namun ternyata hal ini belum mampu meningkatkan
pendapatan apalagi kesejahteraan petani secara lestari. Begitu pasar tradisional jenuh
dengan produk-produk pertanian yang dihasilkan para petani, maka hilanglah pula
insentif petani untuk meningkatkan produksi. Ternyata, permasalahan pokoknya
adalah pada terbatasnya ketersediaan pasar yang memadai bagi produk-produk
tersebut. Syukurlah bahwa kemudian ada pergeseran pemahaman pembangunan
pertanian di pedesaan dari yang hanya berorientasi produksi ke orientasi pasar
(permintaan). Dengan demikian, konsep “Menghubungkan Petani Dengan Pasar”
menjadi konsep yang semakin banyak dibicarakan saat ini baik di dalam negeri
maupun di luar negeri, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Tulisan
ini mencoba menelaah hasil-hasil penelitian dan laporan dari berbagai sumber yang
berkaitan dengan proses menghubungkan petani dengan pasar dan berhasil
menyimpulkan bahwa ada beberapa kata-kata kunci yang sangat penting dalam proses
tersebut yaitu: koordinasi, katalisator eksternal, petunjuk teknis dan pelatihan,
standarisasi kualitas, kredit dan adanya rasa saling percaya.
Kata kunci : petani, pasar, produk pertanian, keterkaitan, koordinasi, katalisator
eksternal, saling percaya.
Abstracts
LINKING FARMERS TO MARKETS: Agricultural development has been
focused more on the development of farmers’ capacity to increase agricultural
production through introduction of various technologies. However, these effort has
not shown results as expected, the sustained improvement of farmers’ welfare. Soon
as the traditional markets suffered from product “saturation”, the farmers lost their
incentive to increase production or even just to produce. It was found that the main
problem, actually, was the lack of appropriate markets for the farmers’ produce.
Fortunately, however, there was a shift in understanding agricultural development
from production to demand (market) orientation. Therefore, the concept of “linking
farmers to markets” is more widely discussed locally or internationally, especially in
developing countries. This article is trying to review research reports from various
sources regarding the process of linking farmers to markets and have concluded that
there are important keywords should be addressed in such process, they are:
coordination, external catalyst, technical reference and training, quality standard,
Sistem pemasaran produk pertanian saat ini sedang mengalami perubahan
yang sangat cepat sebagai akibat dari meningkatnya intensitas pengolahan dan
perdagangan eceran yang terjadi hampir di seluruh dunia dan di seluruh segmen-
segmen rantai produksi-distribusi. Sistem pemasaran tradisional yang lebih diartikan
hanya sebagai penjualan suatu produk telah digantikan oleh hubungan koordinatif dan
terintegrasi antara petani sebagai produsen produk, pengolah, pengecer dan
sebagainya. Dalam sistem pemasaran tradisional petani juga menghadapi kesulitan
untuk memperkirakan kapan, kepada siapa dan dengan harga berapa produk yang
dihasilkannya akan dijual.
Di sisi konsumen juga terjadi perubahan pola konsumsi dimana semakin
meningkatnya penghasilan seseorang cenderung bergeser kepada konsumsi yang lebih
banyak ke produk-produk seperti daging, susu, buah-buahan dan sayuran yang
berkualitas. Konsumen menjadi semakin tinggi tuntutannya terhadap produk pangan
dalam hal kualitas dan keamanannya. Disamping itu, dari sisi konsumen juga ada
kecenderungan meningkatnya bahan pangan yang mudah disiapkan (siap saji) seperti
produk beku, setengah masak dan lain-lain termasuk jaminan keamanan pangan.
Pasar moderen mampu menjawab tantangan tersebut dengan merubah sistem-sistem
produksi, pengolahan dan distribusi yang ternyata justru berdampak negatif dan
sekaligus merupakan ancaman terhadap petani-petani kecil yang pada umumnya
memiliki aset dan akses yang sangat terbatas dan tidak terorganisir dengan baik.
Banyak pihak saat ini, baik dari unsur pemerintah maupun LSM mulai
menyadari bahwa proyek-proyek bantuan pengembangan pertanian yang selama ini
hanya terfokus kepada pembinaan dan pengembangan kemampuan petani untuk
memproduksi komoditas pertanian tidak lagi mampu melestarikan pertumbuhan
pendapatan petani (kalau pernah ada). Ada peningkatan pemahaman diantara mereka
bahwa semua kegiatan peningkatan produksi tersebut harus dikaitkan dengan
permintaan pasar dan dilihat dalam konteks rantai suplai secara utuh berikut
keterkaitan dan hubungan bisnis yang terjadi di dalam rantai tersebut. Dengan
demikian, konsep “Menghubungkan Petani Dengan Pasar” menjadi konsep yang
semakin banyak dibicarakan saat ini. Namun, realitanya masih patut dipertanyakan
dan jalan yang harus ditempuh juga tidak mudah terutama karena pendekatan yang
digunakan harus lebih bernuansa komersial dan setidak-tidaknya kelompok yang
berkepentingan dengan pembangunan pertanian tersebut harus memiliki SDM yang
memiliki pengetahuan cukup baik tentang pemasaran dan peran sektor swasta.
Program Prima Tani yang diluncurkan sejak tahun 2005 secara konseptual
sudah mengakomodasi perlunya dukungan untuk menghubungkan petani dengan
pasar. Namun, evaluasi yang dilakukan salah seorang staf ahli Menteri Pertanian
akhir tahun 2007 menunjukkan bahwa Prima Tani lebih banyak menyentuh aspek
inovasi teknologi daripada aspek inovasi kelembagaan. Jumlah lokasi Prima Tani
yang berhasil menghubungkan petani dengan pasar sangat minim sekali. Selama ini,
paling tidak sampai 2005, Badan Litbang Pertanian lebih banyak berfungsi hanya
sebagai lembaga yang menghasilkan teknologi pertanian dengan tingkat adopsi petani
masih sangat rendah. Dengan dukungan teknologi perbaikan produksi, petani
memang bisa menghasilkan tingkat produksi yang tinggi yang dibuktikan dengan
predikat negara yang berhasil berswasembada beras beberapa tahun yang lalu.
Namun, sebenarnya petani yang memproduksi padi/beras tersebut tidak merasakan
manfaat ekonomi sama sekali, bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan
3
produksi berasnya. Memang, aspek kelembagaan, termasuk pemasaran, bukan hal
yang mudah untuk disentuh terutama karena melibatkan unsur manusia yang sangat
dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan lingkungan strategis saat itu.
Dari berbagai tulisan dan laporan penelitian yang ada, “Menghubungkan
Petani Dengan Pasar” ternyata bukan hal yang bersifat permanen. Bisa saja,
hubungan yang telah terjalin tersebut hanya berlangsung dalam kurun waktu tertentu
saja (sekian tahun) sehingga belum bisa dibuat kesimpulan yang pasti. Tujuan tulisan
ini adalah untuk memberikan gambaran dan petunjuk praktis bagi pihak-pihak yang
berkepentingan dengan pembangunan pertanian terutama di perdesaan baik dari
unsur-unsur pemerintah, LSM, Kelompok Tani dan lain-lainnya. Informasi ini juga
akan sangat penting bagi suatu program pembangunan pertanian yang menyeluruh
dan berorientasi pemberdayaan masyarakat perdesaan. Fokus topik ini terutama
ditujukan kepada bagaimana membentuk hubungan yang lestari antara petani (dengan
produknya) dengan sektor-sektor swasta (pedagang, eksportir, pengecer atau pengolah
dan agroindustri).
Bahan dan Metode
Tulisan ini merupakan telaah ilmiah terhadap hasil-hasil penelitian dan
laporan-laporan teknis yang berkaitan dengan berbagai program pemberdayaan petani
terutama dalam aspek pasar baik di luar negeri, terutama di negara-negara yang
sedang berkembang (Afrika, Asia Tenggara dan Amerika Latin) maupun dalam negeri.
Dalam kesempatan ini, tulisan ini hanya akan difokuskan pada jenis-jenis
hubungan pemasaran yang dapat terbentuk antara petani dengan pasar disertai
beberapa contoh-contohnya.
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Klasifikasi hubungan pasar bisa dilakukan dengan banyak cara, antara lain
menurut bagaimana petani dihubungkan dengan pasar produknya. Shepherd (2007)
mengklasifikasikan hubungan ini berdasarkan tipologinya, yaitu : 1) Petani dengan
pedagang lokal, 2) Petani dengan pengecer, 3) Hubungan melalui tokoh petani, 4)
Hubungan melalui koperasi, 5) Petani dengan pengolah hasil pertanian, 6) Petani
dengan eksportir, dan 7) Usahatani Kontrak (contract farming).
Klasifikasi ini tidak sepenuhnya mencerminkan semua peluang yang bisa
diperoleh petani, karena di beberapa negara ada yang pemasarannya dikuasai oleh
negara, sehingga transaksi pembelian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara
seperti militer atau rumahsakit atau program gizi bagi anak-anak sekolah juga bisa
menjadi pasar yang sangat berpotensi bagi petani-petani kecil. Klasifikasi ini juga
tidak bersifat khusus, karena bisa saja eksportir juga merangkap sebagai pengolah;
atau pengecer mendapatkan suplainya dari pedagang lokal dan sebagainya.
Karakteristik hubungan menurut klasifikasi di atas adalah terbentuknya rantai pasok
yang bisa diidentifikasikan secara jelas dan melibatkan hubungan yang sangat erat
antara kedua belah pihak. Beberapa penelitian yang dilakukan FAO (Shepherd, 2007)
menyebutkan bahwa kegiatan yang hanya berupa upaya untuk menghubungkan petani
dengan pedagang pengumpul yang menyuplai produk ke pasar-pasar terbuka ternyata sudah sangat efektif, sehingga FAO sudah memasukan isu-isu ini sebagai bahan
4
rekomendasi kepada lembaga-lembaga penyuluhan dan pihak-pihak lainnya yang
berkepentingan.
1. Petani dengan Pedagang Lokal
Secara tradisional, pedagang biasanya melakukan transaksi dengan petani
secara sederhana baik di pasar setempat atau di lahan petani. Pembelian yang
dilakukan di pasar bisa sangat efektif apabila pedagang mampu mendapatkan produk
dalam jumlah banyak (ekonomis) dan biaya transportasi yang memadai. Sedangkan,
pembelian yang dilakukan dilahan petani bisa menjadi sangat tidak efisien dan
menimbulkan biaya transaksi yang tinggi, dimana hal ini justru dijadikan tuduhan
pengeksploitasian yang dilakukan oleh pedagang terhadap petani. Biaya tersebut
dapat diminimalkan apabila petani bisa berkelompok (membentuk kelompok) dan
mengumpulkan hasil panennya di suatu tempat yang telah disepakati yang selanjutnya
diambil (dibeli) oleh satu atau lebih pedagang. Akan tetapi, pengalaman
menunjukkan bahwa pola seperti ini tidak bisa atau sulit berjalan tanpa adanya
“penengah” atau “katalisator eksternal”. Apabila peran penengah ini dilakukan oleh
pedagang sendiri biasanya akan terkendala dengan biaya yang terkait dengan peran
penengah (biaya pertemuan untuk negosiasi, kesepakatan dll.). Pihak yang paling
sesuai untuk peran penengah ini adalah dari unsur pemerintah, misalnya petugas atau
penyuluh lapangan.
Beberapa contoh dari bentuk hubungan ini antara lain seperti yang terdapat di
Indonesia. Di Lumajang, para petani penghasil pisang Mas Kirana mengumpulkan
produksinya secara kelompok di suatu tempat yang telah disepakati, dua kali
seminggu (Irianto dan Harwanto, 2007). Pisang yang terkumpul kemudian diambil
oleh perusahaan yang sudah menjalin hubungan jula beli (PT Sewu Segar Nusantara).
Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari negosiasi dan kesepakatan antara petani
pisang dan PT SSN yang difasilitasi oleh peneliti dan penyuluh BPTP Jatim sebagai
“katalisator eksternal” melalui program Prima Tani. Masih di Indonesia, Wei et al.
(2003) melaporkan bentuk hubungan bisnis antara pedagang dan petani jeruk
mandarin di Nusa Tenggara Timur yang sangat erat dimana keeratannya ini tidak
lepas dari peran sebuah LSM yang berhasil mendekati petani agar mau dilatih tentang
penanganan jeruk yang baik. Ternyata pedagang pada umumnya memang enggan
atau tidak punya kemampuan untuk mengorganisir petani. Contoh lainnya di Vietnam
(Cadilhon, et al., 2007), pedagang besar yang membeli produk (sayuran) melalui
pengumpul mampu memperbaiki rantai pasok sayurannya melalui pelatihan dan
kerjasama yang baik dengan para pemasoknya. Contoh yang lain lagi di Thailand
(Wiboonpongsee dan Sriboonchitta, 2004) dimana pedagang secara serius menjaga
hubungan baik dan erat dengan para petani pemasoknya melalui kunjungan rutin
untuk memastikan kualitas produk dan sekaligus memastikan bahwa produk yang
dipasok memang berasal dari lahan petani tersebut.
2. Petani dengan Pengecer
Sebagian besar supermarket biasanya tidak mau berhubungan langsung
dengan petani secara perorangan dalam jangka panjang. Studi kasus di India
(Radhakrishnan, 2004) dan di Afrika Selatan (Louw et al., 2006) membuktikan hal
tersebut. Kalaupun ada, hanya sedikit supermarket yang mau melakukan terutama
untuk hal-hal yang bersifat khusus, bahkan politis. Di Indonesia, Natawidjaja dan
Reardon (2006) melaporkan bahwa grosir yang memasok produk ke supermarket
terlebih dahulu menghimpun produk-produk tersebut dari petani secara perorangan
5
dan tampaknya model ini juga ditemukan di beberapa negara lainnya. Permasalahan
yang sering timbul adalah tidak dipenuhinya kualitas produk yang diminta
supermarket, walaupun grosir pengumpul sudah memberikan petunjuk teknis kepada
petani. Di Uganda (Kaganzi et al., 2006) ada contoh dimana petani-petani kentang
yang terikat dengan restoran-restoran cepat saji harus menggunakan varietas baru
sehingga harus merubah teknik budidayanya agar bisa memenuhi spesifikasi kualitas
yang diminta, mengatur ulang jadwal sehingga tidak bersamaan produksinya dan
menanam di ketinggian berbeda untuk menjamin produksi sepanjang tahun. Tanpa
bantuan organisasi eksternal hal ini mustahil bisa dilaksanakan.
3. Hubungan melalui Tokoh Petani
Hubungan ini biasanya diawali dengan sebuah proses koordinasi yang
dilakukan oleh seorang petani atau sekelompok kecil petani yang mengumpulkan
produk dari petani-petani lainnya di dalam wilayah yang sama kemudian membawa
produk tersebut ke pasar terbuka. Sikap koordinatif ini bisa saja tidak sekedar hanya
niat baik dari sang koordinator, tetapi sudah berdasarkan perhitungan ekonomi yang
matang. Secara ekonomis, pengumpulan produk dalam jumlah tertentu sebelum
masuk pasar sangat menguntungkan dibandingkan hanya sedikit. Studi kasus di
Filipina (Catacutan et al., 2006) dan Thailand (Wiboonpongsee dan Sriboonchitta,
2004) memperlihatkan peran koordinatif petani tertentu (termasuk membiayai proses
diskusi, negosiasi dan sebagainya). Khusus di Thailand, peran tokoh petani ini sangat
penting andilnya dalam keberhasilan hubungan bisnis tersebut yang semakin luas
cakupannya, tidak hanya penjualan satu jenis produk saja tetapi beberapa jenis.
Tokoh petani tersebut, yang biasanya juga adalah ketua kelompok tani secara rutin
memeriksa hasil panen petani-petaninya untuk memastikan jumlah panen yang harus
dicapai setiap hari.
4. Hubungan melalui Koperasi
Ada beberapa contoh koperasi maju yang berfungsi dengan sangat baik dalam
membantu petani (anggota) di sektor pemasaran, misalnya Koperasi Tani di Jepang.
Keberhasilan koperasi tersebut memang sudah direplikasikan di beberapa negara,
tetapi sayangnya tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Penyebabnya antara lain
adalah adanya “nasionalisasi” yang dilakukan oleh pemerintah di masing-masing
negara sehingga koperasi tersebut berlaku seperti badan usaha milik
negara/pemerintah yang tidak jarang lalu menjadi “kendaraan politik” pihak-pihak
tertentu. Penyebab-penyebab lainnya adalah kurangnya kemampuan manajemen;
penguasaan oleh elit-elit tertentu walaupun secara finansial sudah tidak tergantung
kepada pemerintah; dan tidak mampu bersaing dengan sektor swasta.
Kebanyakan koperasi didirikan dengan dukungan donor, sehingga pada saat
pihak donor melepas dukungannya, banyak koperasi yang tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Sebuah “link” antara petani dan koperasi di sektor pengolahan sari buah
yang didukung pendiriannya oleh sebuah LSM di Tanzania (Ringo dan Ulewa, 2005)
memperlihatkan permasalahan yang timbul akibat dukungan tersebut. Dua-pertiga
biaya yang dikeluarkan selama ini ditanggung oleh LSM, sehingga proses transisinya
untuk menjadi perusahaan swasta murni mengalami ketidak-pastian. Di Mali (Conilh
de Beyssac, 2005) mencontohkan permasalahan dalam pengembangan koperasi yang
didukung pendiriannya oleh sebuah LSM di negara itu. Koperasi ini bergerak di
bidang usaha pengolahan dan pemasaran “shea butter”, sejenis lemak yang berasal
dari kacang-kacangan asli dari Afrika (Vitellaria paradoxa). Awalnya, koperasi ini
6
berhasil meningkatkan pendapatan anggotanya melalui jasa pemasaran yang
diperaninya, namun pada akhirnya menunjukkan indikasi kebangkrutannya ketika
LSM tersebut menghentikan bantuannya. Di Guatemala, keberhasilan koperasi yang
bergerak di bidang pemasaran sayuran baru terlihat setelah 14 tahun didukung LSM
dalam hal pembiayaan dan pelatihan teknis (Shepherd, 2007). Dengan demikian,
peran pihak ketiga (katalisator eksternal) sangat penting terutama pada fase-fase
penyapihan.
5. Petani dengan Pengolah
Salah satu tantangan bagi perusahaan pengolahan adalah investasi bangunan
dan peralatan yang harus digunakan secara optimal. Oleh karena itu, bisnis ini tidak
cocok untuk komoditas tanaman yang bersifat musiman, kecuali yang bisa disimpan
lama. Beberapa contoh bentuk hubungan ini memeperlihatkan kegagalan bisnis
akibat tidak melakukan antisipasi yang berkaitan dengan sifat “musiman” tersebut.
Studi di Tanzania (Ndanshay, 2005) memperlihatkan bahwa kegagalan kerjasama
bisnis antara petani dan pengolah minyak biji-bijian yang didukung oleh LSM
(membangun fasilitas pembuatan minyak) disebabkan karena perusahaan pengolah
tersebut tidak memiliki pengalaman yang cukup di bidang tersebut. Akhirnya,
kerjasama tersebut bangkrut dalam waktu empat tahun. Studi yang lainnya
memperlihatkan peran kredit terhadap keberhasilan hubungan petani dengan pengolah.
Perusahaan biasanya hanya mau berkolaborasi, dengan modal sendiri, apabila
komoditasnya bersifat semusim (pendek) seperti jagung dan dan bila melibatkan
komoditas yang bersifat tahunan seperti tebu atau tanaman-tanaman perkebunan
lainnya biasanya harus melibatkan dukungan bank seperti yang dilaporkan oleh
Shepherd (2003) di Vietnam.
6. Petani dengan Eksportir
Persyaratan produk untuk ekspor pada umumnya sulit dipenuhi oleh petani
kecil karena seringkali menyangkut pembiayaan yang cukup besar. Oleh karena itu,
kerjasama bisnis dengan perusahaan (eksportir) sangat perlu bagi petani kecil.
Beberapa studi kasus yang dilakukan dalam hubungan pasar petani dan eksportir di
beberapa negara memperlihatkan karakteristik yang sangat bervariasi. Di Myanmar
(Chen et al., 2005) and Equador (Santacoloma dan Riveros, 2004; Santacoloma et al.,
2005) melaporkan adanya faktor “saling percaya” atau “trust” yang sangat tinggi
dalam melakukan transaksi bisnis walaupun sampai di luar batas wilayah. Di
Mosambique (Wijnoud, 2005) melaporkan peran “katalisator eksternal” dalam ekspor
nenas yang membantu identifikasi pasar potensial. Untuk memenuhi persyaratan
yang diminta negara-negara importir, maka perusahaan-perusahaan yang
berkerjasama dengan petani juga harus bisa memberikan bantuan teknis kepada
mereka.
7. Usahatani Kontrak
Bagi negara-negara berkembang, terutama di pedesaan, pasar merupakan hal
yang langka atau kalaupun ada sering kali merupakan pasar yang tidak sempurna.
Karakteristik utama dari pasar yang tidak sempurna adalah sifatnya yang menular,
artinya, ketidak sempurnaan pasar tersebut seringkali menyebabkan timbulnya
permasalahan-permasalahan baru lainnya (Winters et al., 2003). Petani kecil
seringkali tidak mempunyai akses terhadap kredit, informasi tentang peluang pasar
atau teknologi, tidak punya akses untuk menjual produknya atau mendapatkan input-
7
input yang diperlukan sehingga mereka terperangkap dalam kondisi dimana mereka
harus membayar mahal ketidak sempurnaan pasar tersebut. Oleh karena itu, bagi
petani-petani kecil, usahatani kontrak merupakan mekanisme potensial yang bisa
membantu mereka dalam mengatasi permasalahan ketidak sempurnaan pasar dan
menekan biaya transaksi (Irianto, 2006 dan Irianto et al., 2006).
Perusahaan agribisnis bisa menggunakan banyak cara untuk mendapatkan
bahan mentah yang diperlukannya. Paling tidak, mereka bisa mengandalkan pasar
yang ada untuk mendapatkan komoditas yang dibutuhkannya pada tingkat harga pasar
yang berlaku. Alternatif lainnya, mereka bisa melakukan integrasi vertikal dan
membangun kerjasama pembelian dengan perusahaan yang menghasilkan bahan
mentah tersebut. Posisi usahatani kontrak kira-kira berada di antara kedua
kemungkinan tersebut dimana perusahaan agribisnis bisa mengendalikan beberapa
unsur produksi tertentu tanpa harus memiliki fasilitas produksi. Dalam
implementasinya, usahatani konrak ini sering membutuhkan adanya ”katalisator
eksternal” berupa LSM atau unsur pemerintah yang bisa menjembatani kebutuhan
perusahaan dan kebutuhan petani (Eaton dan Shepherd, 2001), seperti usahatani
kontrak antara perusahaan kayu dengan petani di Afrika Selatan yang difasilitasi oleh
sebuah LSM (Shepherd, 2007) dan perusahaan jagung benih di Indonesia (PT Pionir)
dengan petani yang difasilitasi oleh PPL (Winters et al., 2003).
Pembahasan
“Menghubungkan Petani Dengan Pasar” bisa berupa serangkaian kegiatan
yang sederhana dan bersifat lokal sampai dengan yang rumit dan meliputi wilayah
yang luas. Namun, konsep ini hendaknya diimplementasikan dengan asumsi
pengembangan yang bersifat berkelanjutan, tidak hanya sekedar menangani penjualan
saja tetapi dari produksi sampai konsumsi. Pada tingkat yang paling sederhana,
proses ini bisa berupa kegiatan seorang petugas penyuluh pertanian yang
menghubungkan petani dengan pasar yang dimulai dengan melakukan identifikasi
terhadap pembeli/pedagang komoditas pertanian yang ada di wilayah kerjanya
kemudian mengatur pertemuannya dengan petani. Pada tingkat yang lebih kompleks
bisa dilakukan oleh kelompok LSM atau kelembagaan pemerintah yang diawali
dengan melakukan identifikasi pasar untuk produk tertentu kemudian
mengorganisasikan petani dalam bentuk kelompok tani dan menghubungkannya
dengan pasar sebagai pemasok produk yang dikehendaki pasar. Bentuk yang paling
mutakhir adalah “usahatani kontrak” (contract farming) yang melibatkan perusahaan
sebagai pihak yang membutuhkan suplai dan petani sebagai pihak yang menyuplai
kebutuhan tersebut. Potensi keuntungan yang bisa diperoleh petani dalam melakukan
kerjasama dengan pihak pembeli (pasar) cukup banyak. Diantaranya adalah petani
dapat dengan mudah memperoleh kebutuhan saprodi untuk menghasilkan produk
yang dibutuhkan pembeli baik secara tunai maupun secara kredit. Dalam bentuk
“usahatani kontrak”, fasilitas saprodi yang bisa diperoleh petani bisa termasuk jasa-
jasa mekanisasi yang mungkin diperlukan untuk menghasilkan komoditas tertentu,
termasuk konsultasi dan pelatihan-pelatihan teknis dengan menghadirkan LSM atau
pemerintah. Hubungan kerjasama yang terjalin sebelum proses produksi memungkinkan petani bisa mengetahui adanya kepastian pasar sekaligus harga bagi
produknya. Resiko kegagalan hubungan kerjasama ini bisa terjadi adalah apabila
“rasa saling percaya” antara keduanya hilang atau berkurang.
Melalui hubungan kerjasama pemasaran ini, baik formal maupun informal,
para pedagang, pengolah, perusahaan-perusahaan agribisnis dan pengecer besar bisa
8
mendapatkan suplai bahan yang dibutuhkan dengan lebih pasti, teratur serta bisa
mengendalikan aspek kualitas dan keamanan produknya. Pada tingkat lokal, para
pedagang kecil bisa bekerjasama dengan petani menghimpun komoditas yang
diperdagangkan sampai pada jumlah yang ekonomis sehingga dapat mengurangi
biaya. Melakukan pembelian produk dari berbagai lokasi dapat pula mengurangi
resiko produksi, terutama akibat penyakit. Untuk skala yang lebih besar, bekerjasama
dengan petani kecil memiliki arti politis dan sosial yang lebih bisa diterima secara
luas, dan bahkan seringkali lebih efisien dari pada menggunakan lahan perusahaan
sendiri. Yang pasti, hubungan kerjasama seperti ini, bagi perusahaan besar bisa
berarti mengurangi biaya transaksi untuk memperoleh produk (bahan mentah).
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil dan pembahasan tulisan ini adalah
bahwa dalam menghantarkan petani (bersama produknya) ke pasar yang lebih baik
diperlukan beberapa pra-syarat atau kata kunci yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Koordinasi yang baik di antara petani baik secara sosial maupun ekonomi.
Secara sosial, para petani harus kompak (rukun) dan ini sudah dimplementasikan
dalam pembentukan Kelompok Tani dan Gapoktan. Secara ekonomi, koordinasi
berarti meningkatkan skala usaha sehingga bisa mencapai skala yang ekonomis.
2. Keberadaan ”katalisator eksternal” baik dari LSM maupun unsur pemerintah
sangat perlu untuk berperan sebagai penengah, fasilitator dan pendukung, bahkan
donor.
3. Petunjuk Teknis dan Pelatihan merupakan unsur penting untuk melestarikan
hubungan ”pasar” melalui peningkatan kualitas SDM petani yang mestinya
disiapkan oleh pemerintah maupun pihak swasta.
4. Melalui petunjuk teknis dan pelatihan juga bisa dicapai Standarisasi Kualitas
produk yang merupakan faktor utama kelestarian pasar terutama pada masa
dimana keamanan produk merupakan isu penting seperti saat ini.
5. Ketersediaan Kredit, perlu diperhatikan terutama bagi petani di perdesaan yang
memiliki keterbatasan dalam melakukan akses terhadap kredit baik formal
maupun informal. Kredit juga diperlukan bagi perusahaan swasta yang
melakukan kerjasama bisnis dengan petani.
6. Saling percaya (’trust’) adalah inti dari kerjasama bisnis yang baik dari semua
pihak dan merupakan faktor utama keberhasilan menghantarkan petani ke ”pasar”.
Daftar Pustaka
Cadilhon, J., Fearne, A.P., Tam, P.T.G., Moustier, P. and Poole, N.D., 2007.
Business to Business Relationships n Parallel Vegetable Supply Chains to Ho
Chi Minh City (Viet Nam): Reaching for better performance. Proc.
International Symposium on Fresh Produce Supply Chain Management, Chiang
Mai, December 2006. FAO Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok.
Catacutan, D., Bertomeu, M., Arbes, L., Duque, C. dan Butra, N., 2006. Collective
Action to Which Markets? The case of Agroforestry Tree Seed Association of
Lantapan (ATSAL) in the Philippines. Makalah disajikan pada CAPRi
Research Workshop on Collective Action and Market Access for Smallholders.
October, 2006, Cali, Colombia.
9
Chen, K., Shepherd, A.W. dan Da Silva, C., 2005. Changes in Food Retailing in Asia
– Implications of Supermarket Procurement Practices for Farmers and
Traditional Marketing Systems. AMMF Occasional Paper 8. FAO, Rome.
Conilh de Beyssac, B., 2005. Shea Butter Value Chain Upgrading. KIT Writeshop,
Moshi, Tanzania.
Eaton, C. dan Shepherd, A.W., 2001. Contract Farming – Partnership of Growth.
FAO Agricultural Services Bulletin No.145. Rome.
Irianto, B and Harwanto, 2008. Linking Small Banana Producers in Lumajang
District to Better Markets. Makalah disiapkan untuk “UPMindanao Supply
Chains Symposium, Davao, the Philippines, Juli 2008.
Irianto, B., 2006. Pemberdayaan Petani Melalui Usahatani Kontrak (Contract
Asam lemak ikatan tunggal atau Mono Unsaturated Fatty Acids (MUFA) pada
telur didominasi 40-50% oleh asam lemak oleat (18:1) yang merupakan asam lemak tidak
jenuh dengan 1 ikatan rangkap. Kandungan asam lemak oleat yang relatif tinggi pada
telur disebabkan kandungan oleat pada pakan juga tinggi sekitar 20-40%. Ternyata
kandungan dan komposisi asam lemak pada tubuh ayam sesuai dengan asam lemak pada
pakan, hal ini sependapat dengan Leskanich dan Nobel (1997) yang menyatakan bahwa
komposisi dan kandungan lemak pada pakan menyebabkan kandungan asam lemak
kuning telur berubah secara kualitatif sesuai dengan perubahan asam lemak pakan.
Kandungan Poly Unsaturated Fatty Acids (PUFA) walaupun hasil uji kontras
orthogonal menunjukkan perbedaan yang tidak nyata tetapi jika dilihat dari nilainya pakan kontrol memiliki kandungan PUFA terendah yaitu 19,16% sedangkan perlakuan
lain lebih tinggi, ini disebabkan karena MIL dan MS merupakan sumber asam lemak
PUFA. Penambahan kombinasi MIL dan MS menghasilkan PUFA yang lebih baik jika
8
kedua jenis minyak tersebut diberikan secara tunggal atau dengan porsi pemberian yang
sama (R3, 4%MIL dan 4%MS). Hal ini dimungkinkan adanya supplementary effect dari
kedua jenis minyak tersebut.
Omega-3 cenderung meningkat pada telur dengan pakan mengandung MIL lebih
tinggi dan begitu pula omega-6 meningkat dengan pakan yang tinggi kandungan MS, hal
ini karena MIL merupakan sumber omega-3 sedangkan MS sumber omega-6 terutama
linoleat (18:2)
Set Kontras Lemak (Jenuh, Tidak Jenuh, SAFA, MUFA, PUFA, Omega-3 dan Omega-6)
Telur
No. Kontras Kontras Antar Perlakuan Keterangan:
1 R0 vs R1, R2, R3, R4, R5 ns
2 R1 vs R5 ns
3 R2 vs R4 ns
4 R3 vs R1, R2 ns
5 R3 vs R4, R5 ns Perbedaan kontras yang nyata * (P<0,05) dan sangat nyata ** (P<0,01) ns = non signifikan
Set Kontras Asam Lemak EPA Telur
No. Kontras Kontras Antar Perlakuan Keterangan:
1 R0 vs R1, R2, R3, R4, R5 **
2 R1 vs R5 **
3 R2 vs R4 **
4 R3 vs R1, R2 **
5 R3 vs R4, R5 ** Perbedaan kontras yang nyata * (P<0,05) dan sangat nyata ** (P<0,01) ns = non signifikan
Kandungan EPA telur hasil uji kontras orthogonal berbeda sangat nyata (p<1%)
antara pakan kontrol dan pakan perlakuan, pakan dengan penambahan minyak tunggal
dan antara pakan kombinasi minyak sama (R3) dan pakan yang didominasi MIL (R1 dan
R2). Peningkatan kandungan EPA berkorelasi positif dengan penambahan MIL pada
pakan, semakin tinggi MIL yang diberikan pada pakan maka kandungan EPA pada telur
semakin tinggi.
Set Kontras Asam Lemak DHA Telur
No. Kontras Kontras Antar Perlakuan Keterangan:
1 R0 vs R1, R2, R3, R4, R5 **
2 R1 vs R5 **
3 R2 vs R4 ns
4 R3 vs R1, R2 ns
5 R3 vs R4, R5 ns Perbedaan kontras yang nyata * (P<0,05) dan sangat nyata ** (P<0,01) ns = non signifikan
Demikian pula pada kandungan DHA telur berkorelasi positif dengan kandungan
DHA pada pakan. Minyak ikan merupakan sumber EPA dan DHA yang harus ada dalam
makanan karena tidak dapat disintesis oleh tubuh (Tranggono. 2001).
9
Imbangan Omega-3 : Omega-6 = 1:5
Hasil penelitian diperoleh perlakuan pakan yang menghasilkan telur dengan
kandungan omega-3:omega-6 mendekati ideal yaitu 1:4,6 yaitu pakan R4 (2%MIL dan
6% MS). Pentingnya imbangan 1:5 khususnya bagi pencegahan PJK didasarkan pada
hasil penelitian Sinclair and Simopoulos yang meneliti gen pada orang Eskimo yang
sedikit bahkan tidak pernah terserang penyakit jantung. Ratio asam lemak omega-6
terhadap omega-3 membantu tubuh untuk menurunkan inflamasi, tekanan darah,
mencegah denyut jantung tidak teratur dan melancarkan aliran darah (Sinclair dan
Simopoulos, 2003).
Imbangan omega-3 terhadap omega-6 ternyata juga mempengaruhi proliferasi sel
khususnya peroksisom karena asam lemak omega dengan perbandingan tersebut
merupakan komponen yang terikat pada PPAR (Peroxisome Proliferation Activated
Receptor) suatu reseptor yang dapat mengaktifkan proliferasi sel. Peroksisom
merupakan organel penting yang terlibat di dalam pelbagai aspek metabolisme mencakup
asam lemak dan lipid lainnya. (Chao et al., 2001)
Gambar 1 s/d 4 di bawah ini adalah bentuk mikroskopis dari liver (hati) dan
pembuluh darah arteri pada ayam yang diberi pakan kontrol dan pakan R4 (pakan yang
menghasilkan lemak dengan perbandingan ideal). Terlihat dari gambar bahwa pakan
kontrol yang tidak ada penambahan MIL dan MS pada hatinya terdapat butiran-butiran
kecil berwarna putih, hal ini menunjukkan terdapat akumulasi lemak dan jika hal ini terus
berlanjut maka hati ayam akan berwarna pucat kekuningan. Berbeda dengan ayam yang
diberi MIL dan MIS (pakan R4) hatinya terlihat lebih sehat, berwarna merah cerah.
Gambar 1. Penampang melintang irisan organ liver ayam dengan pakan R0
10
Gambar 2. Penampang melintang irisan organ liver ayam dengan pakan R4
Gambar 3 menunjukkan penampang melintang dari pembuluh darah arteri ayam
yang diberi pakan kontrol, sedangkan Gambar 4 pakan R4. Kedua gambar tersebut
memperlihatkan pembuluh darah arteri yang masih baik/sehat, artinya belum terdapat
kerusakan atau luka pada sel endotheliumnya. Hal ini karena penyakit degeneratif
umumnya memerlukan waktu yang lama untuk dapat merusak sel, pada penelitian ini
waktu yang digunakan 3 bulan, sehingga belum sampai mempengaruhi kerusakan pada
pembuluh darah arteri.
Gambar 3. Penampang melintang irisan pembuluh darah arteri ayam dengan pakan R0
11
Gambar 4. Penampang melintang irisan pembuluh darah arteri ayam dengan pakan R4
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
Penambahan MIL dan MS pada pakan ayam petelur secara umum dapat meningkatkan
kandungan asam lemak tidak jenuh ganda rantai panjang terutama asam lemak omega-3
(EPA dan DHA) dibanding pakan kontrol. Telur terbaik jika dilihat dari perbandingan
kandungan omega-3 dan omega-6 yang mendekati imbangan ideal 1:5 adalah telur yang
dihasilkan dari pemberian pakan dengan tambahan minyak ikan lemuru 2% dan minyak
sawit 6% dengan perbandingan yaitu 1: 4,6.
DAFTAR PUSTAKA
Chao, P.M., C.Y. Chao, F.J. Lin and C.J. Huang. 2001. Oxidized frying oil up-regulates
hepatic acyl-CoAoxidase and cytochrome P450 4A1 Genes in rats and activates
PPAR α . J. Nutr. 131 :3166-3174
Duthi, I.E and S.M. Barlow. 1992. Dietary lipids exemplified by fish oils and their n-3
fatty acids. Food Science and Technology 6:20-36.
Duxbury, D. 2005. Omega-3s Offer Solution to Trans Fat Substitution Problems.
Expert at fat and oils conference suggest how to formulate foods without trans
fatty acids. Food Technology, vol. 59 (4).
International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC). 1987. Standard Methods
For The Analysis of Oils, Fats and Derivatives. Great Britain by A. Wheaton &
Co. Ltd. Oxford, UK.
Jatmika, A dan P. Guritno. 1996. Produksi minyak sawit kaya pro-vitamin A. Jurnal
Penelitian Kelapa Sawit. Jakarta.
12
Leskanich, C.O and R.C. Noble. 1997. Manipulation of the n-3 polyunsaturated fatty
acid composition of avian eggs and meat. World’s Poultry Science Journal
53:155-183
Lestariana, W. 2003. Tinjauan Biokimiawi Pola Makan untuk Mencegah Penyakit
Defisiensi dan Penyakit Degeneratif. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta.
Milo, L. 2005. Functional Fatty Acids. Food Technology 59(4):63-68
BPTP JAWA TIMUR Malang Jl. Raya karangploso km 4 kotak pos 188 Malang
ABSTRAK
Kelompok tani pengangkar benih kentang di Jawa Timur saat ini masih belum banyak terbentuk dan sulit berkembang. Keterbatasan teknologi perbenihan dan ketersediaan benih sumber yang cukup dan kontinyu merupakan salah satu penyebab sulitnya kelembagaan kelompok tani tersebut berkembang. Pengkajian bertujuan untuk mensosialisasikan teknologi perbenihan kentang dan menguatkan kelompok tani perbenihan kentang khususnya di kab. Lumajang. Pengkajian dilaksanakan di dusun Gedog, desa Argosari, kecamatan Senduro, kabupaten Lumajang yang termasuk ekoregion dataran tinggi lahan kering, pada bulan Januari sampai Desember 2006. Pengkajian terdiri dari beberapa tahapan pelaksanaan kegiatan yang berupa: pembelajaran kelompok tani dalam penguasaan teknologi perbenihan kentang, penguatan kelembagaan kelompok tani, promosi dan pemasaran hasil. Penguasaan teknologi dilakukan dengan melakukan pengkajian secara partisipatif oleh 8 anggota kelompok tani dan melakukan kunjungan lapang/ studi banding, sedangkan penguatan kelembagaan dengan pertemuan, studi banding dan memperbaiki serta mengaktifkan struktur organisasi kelompok berdasarkan tugas dan fungsinya yaitu: Ketua, Sekretaris, Bendahara, seksi Saprodi dan seksi Pemasaran. Selama pengkajian anggota kelompok Tani didampingi oleh peneliti, penyuluh dan petugas dari BPSBTPH Propinsi Jawa Timur. Dari hasil penguasaan teknologi perbenihan kentang terlihat bahwa pertumbuhan vegetatif tanaman antar anggota kelompok relatif sama dan telah mampu menghasilkan umbi benih bermutu/ bersertifikat. Penguatan modal kelompok diperoleh secara swadana dengan mengaktifkan usaha yang ditangani kelompok, iuran anggota dan pemotongan 10% dari hasil panen untuk kas kelompok. Promosi hasil panen dilakukan oleh anggota kelompok dan melalui Klinik Agribisnis BPTP Jawa Timur. Pemasaran hasil panen didominasi oleh petani di sekitar lokasi pengkajian juga berhasil memasarkanan benih ke luar Propinsi. Keberlanjutan kelompok tani penangkar benih kentang untuk menghasilkan benih sebar (G4) didukung oleh Diperta Propinsi Jawa Timur dalam penyediaan benih penjenis (G0) dan Pemda kabupaten Lumajang dalam penyediaan benih dasar 2 (G2) dan benih pokok (G3). Kata kunci :Kentang, benih ,penangkar, kelembagaan, kelompok tani
ABSTRACT The group of farmer for potato seed grower in East java is limited because of seedling technology and continuously of foundation seed’s stock. The aims of this assessment was to communicate the propagation technique for potato, strengthen farmers group, prepare qualified for potato seed at farmers level in East Java, especially in Lumajang. The assessment was conducted from January to December 2006 at dusun Gedog, desa Argosari, kecamatan Senduro, kabupaten Lumajang, that characterized as dry-upland region,. The assessment consisted of several steps
2
of activities, such as to strengthen farmers group, promotion and marketing. To strengthen farmers group was done by improving and activating organization structure based on each task and function, namely the head, secretary, finance officer, production facilities and marketing. Training was done participatively by 8 farmers group members and field study and comparative study, that accompanied by researcher, extension workers and East Java Province BPSBTPH. The result of this activities showed that vegetative growth of plants among farmers group members was relatively similar and able to produce qualified seed. Financial support was provided by self financing of business owned by farmers group members fee, and 10% fee of yield obtained. Promotion was done personaly , from one to another and through Agribusiness Clinic. Marketing was dominated by farmers around assessment area, and reached Bajawa, NTT. The sustainable of Farmers group activity to produce the extension seed (G4) was supported by Provincial Extension service to produce breeder seed (G0), while G2 and G3 was supported by local government of Lumajang. Key notes : potato, seed, seed grower, farmers group
PENDAHULUAN
Propinsi Jawa Timur berpotensi untuk memenuhi kebutuhan kentang
Nasional yang tiap tahun makin meningkat. Luas tanam dan luas panen kentang di
dataran tinggi Jawa Timur tersebar di 15 kabupaten dengan luas panen + 7.910 ha,
Lokasi pengkajian terletak di dusun Gedok, desa Argosari kecamatan
Senduro kab. Lumajang. Lahan penanaman kentang yang digunakan dalam
pengkajian merupakan lahan yang tidak ditanami kentang pada musim sebelumnya
dan terletak pada ketinggian 1.850 m diatas permukaan laut. Luas wilayah
kecamatan Senduro kab. Lumajang sebesar 91,8405 km2 yang berdasarkan
penggunaan lahannya dapat dibedakan menjadi tanah pekarangan /pemukiman
(229,0 ha); tanah tegal (791,0 ha); tanah hutan 9.005,5 ha dan lainnya 250 ha.
Karakteristik lahan tekstur tanah merupakan tanah lempung berpasir, jenis
tanah Andosol dengan suhu rata-rata tahunan 18o - 22 o C, pH tanah = 5,8 dengan
C/N ratio 7,5 dan curah hujan rata-rata tahunan = 2.825,8 mm. Pada umumnya
sampai saat ini petani memanfaatkan lahannya dengan beracam-macam sayuran
seperti: bawang daun, kubis, wortel, kentang dan bawang putih.
Lokasi pengkajian di dusun Gedog desa Argosari berdasarkan kondisi
kesuburannya merupakan tempat yang sesuai untuk perbenihan kentang. Lokasi
pengkajian merupakan wilayah pengembangan khususnya kentang. Penerapan
teknologi perbenihan kentang antar anggota hampir sama namun terkendala oleh
ketersediaan lahan dengan kelerangan yang berbeda. Lahan yang lebih datar dapat
menghasilkan umbi lebih tinggi dibandingkan lahan yang miring. Untuk itu kelompok
perlu memilih lahan yang datar sehingga dapat mengurangi penurunan hasil.
2. Kelembagaan Kelompok Tani
Kelompok tani Putra Tengger merupakan kelompok tani yang
melakukan usaha khusus menangani perbenihan kentang dan merupakan satu-
satunya kelompok tani perbenihan di Kabupaten Lumajang. Keanggotaan kelompok
tani ini telah terdaftar dengan Nomer Induk Kelompok: 35.08.160.012.02 di Dinas
Pertanian Kabupaten Lumajang. Disamping itu Kelompok tani Putra Tengger telah
memiliki Legalitas Kelompok Tani Perbenihan: sejak tanggal 7 Juni 2005 berupa :
Surat Keterangan Pendaftaran sebagai Pedagang Benih Bina Nomor : 082/
BPSBTPH/PRD/LMJ/VI/2005 oleh Balai Pengawasan Dan sertifikasi benih Tanaman
Pangan Dan Hortikultura Jawa Timur. Kekuatan kelompok Putra Tengger saat ini
adalah telah terdaftarnya kelompok tersebut sebagi kelompok Perbenihan di Balai
Pengawasan dan Sertifikasi benih Propinsi Jawa Timur. Dengan diperolehnya
6
sertifikat sebagai penangkar maka kelompok tersebut mempunyai ijin secara legal
dan saat ini sebagai satu-satunya penangkar benih kentang di Kabupaten Lumajang.
Seluruh anggota kolompok tani perbenihan kentang Putra Tengger yang
terlibat aktif dalam kegiatan pengkajian ini berjumlah 8 orang, jumlah ini telah
bertambah 2 orang dari jumlah semula yang 6 orang. Secara administrasi
pengurus kelompok terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, Seksi Pemasaran dan
Seksi Saprodi. Masing-masing pengurus mempunyai tugas dan fungsi masing-
masing sbb:
1. Ketua : Koordinasi semua aktivitas anggota kelompok tani
2. Sekretaris : Membukukan/ mencatat semua aktivitas anggota kelompok tani
3. Bendahara : Menerima dan menyimpan uang dari anggota kelompok
Anggota kelompok dalam melakukan segala aktivitas yang berhubungan
dengan kegiatan memproduksi dan menjual benih kentag selalu sepengetahuan
pengurus kelompok dan dimusyawarahkan terlebih dulu melalui pertemuan
kelompok.
Pertemuan Kelompok diadakan rutin setiap dua minggu sekali, dengan
kegiatan arisan sebagai salah satu pengikat agar setiap anggota hadir dalam
setiap pertemuan. Acara dari setiap pertemuan adalah menentukan dan membahas
tentang rencana kerja kelompok serta hak dan kewajiban setiap anggota kelompok
tersebut.
Disamping itu dalam pertemuan rutin digunakan sebagai tempat
pembelajaran antar anggota kelompok tani dengan pemberian materi perbenihan
dan evaluasi teknologi yang telah diterapkan dan monitoring hasil yang telah dicapai.
Kesepakatan yang diambil dalam setiap pertemuan berdasarkan musyawarah dan
mufakat. Dalam pengambilan keputusan baik peneliti maupun penyuluh tidak turut
campur, hanya bersifat sebagai motivator dan pengarah saja, kesepakatan anggota
kelompoklah yang sangat menentukan.
Penguatan kelembagaan kelompok tani memerlukan kerjasama antar
anggota kelompok, adanya saling kepercayaan dan adanya motivasi yang kuat untuk
memajukan usahanya dari setiap anggota kelompok dengan pengawalan yang rutin
dari Dinas terkait. Kesadaran antar anggota kelompok untuk melakukan pertemuan
sudah mengalami peningkatan, hal ini terlihat dari rutinitas pertemuan setiap dua
minggu sekali. Salah satu usaha untuk mengumpulkan anggota kelompok tersebut
adalah dengan adanya arisan antar anggota sebesar Rp. 5. 000,- untuk setiap
anggota per dua minggu sekali. Dari hasil arisan tersebut, setiap anggota mengisi
7
uang kas kelompok sebagai modal kelompok. Sumber modal yang lain diperoleh
dari 10% hasil panen yang diperoleh. Kesepakatan tersebut diambil secara
musyawarah dan mufakat, hal ini memunjukkan bahwa kelompok tani Putra Tengger
telah mandiri dan mampu memlaksanakan funfsi management dengan baik.
3. Kelembagaan Teknis
Penguatan kelompok tani dari segi kelembagaan teknis merupakan
Pembelajaran dan Penguasaan Teknologi Perbenihan kentang oleh Kelompok Tani
Putra Tengger. Respon anggota kelompok terhadap penerapan teknologi
perbenihan yang telah diperoleh sangat positif, hal ini dapat terlihat dari semangat
dan keinginan dari anggota kelompok untuk terus meningkatkan produksi dan
kualitas benihnya dan setiap anggota tetap berkeinginan memajukan Kelompok Tani
Perbenihan Kentang.
Teknologi perbenihan yang diterapkan oleh oleh seluruh anggota kelompok
tani Perbenihan Putra Tengger terdiri dari beberapa tahapan antara lain:
a. Pemilihan lahan
Lahan yang digunakan untuk perbenihan kentang merupakan lahan yang
penggunaan sebelumnya bukan untuk pertanaman kentang atau famili solanaceae
yang lain seperti: cabai, tomat maupun terung. Petani memilih lahan bekas
pertanaman kubis atau bawang prei. Sejarah penggunaan lahan sebelumnya harus
benar-benar dapat diketahui.
b. Penanaman Tanaman Border
Sebulan sebelum menanam benih kentang, terlebih dahulu menanam tanaman
border yaitu jagung dan bawang prei disekeliling lahan kentang. Tanaman border
berfungsi sebagai tanaman perangkap terutama aphid.
c. Penggunaan Benih Sumber
Benih yang digunakan oleh Kelompok Tani Putra Tengger merupakan benih
G2 dan G3 bersertifikat. Selama ini benih sumber diperoleh dari Balai
Pengembangan Benih Kentang Pangalengan Jawa Barat. G2 yang ditanam akan
menghasilkan benih G3. Selanjutnya benih G3 yang dihasilkan dan lulus sertifikasi
akan digunakan sebagai benih sumber untuk ditanam kembali menghasilkan benih
G4. Dengan demikian dari benih G2 yang ditanam oleh Kelompok Tani Putra
Tengger mempunyai kesempatan memproduksi benih kentang sebanyak 2 kali.
Sebaliknya apabila Kelompok Tani Putra Tengger menggunakan benih sumber G3,
maka dapat memproduksi benih kentang G4 saja (satu kali). Benih G4 yang
dihasilkan sudah tidak bisa digunakan sebagi benih sumber tetapi digunakan
8
sebagai benih sebar oleh petani produsen umbi kentang konsumsi. Pengamatan
pertumbuhan vegetatif dilakukan bersama-sama antara: peneliti, petugas
BPSBTPH dan petani secara partisipatif.
d. Tanam dan Pemeliharaan Tanaman
Waktu tanam yang tepat disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan
tanaman yang optimal dan kebutuhan pasar. Waktu tanam tersebut berkaitan
dengan saat panen dan saat benih siap bertunas dan dijual ke pasar/ petani. Masa
dormansi benih kentang mulai panen sampai pecah tunas lebih kurang selama 3
bulan.
Hasil pengkajian selama 2 tahun menunjukkan bahwa saat tanam yang sesuai
untuk perbenihan kentang adalah bulan April – Mei. Penanaman pada bulan
tersebut ketersediaan air tanah yang berasal dari air hujan cukup untuk memacu
pertumbuhan vegetatif tanaman. Hasil panen tersebut siap digunakan sebagai benih
sebar pada bulan Nopember – Desember. Permintaan benih pada bulan Nopember
– Desember sangat tinggi.
Pemeliharaan tanaman lain yang sangat penting dalam teknologi perbenihan
adalah seleksi tanaman yang terserang penyakit terutama layu bakteri atau
pertumbuhan yang abnormal secara pencabutan atau rouging. Selama pengkajian
setiap pemilik lahan atau petani kooperator melakukan seleksi pada pertanamannya
sendiri dengan cara mencabut.
Dalam pelaksanaan usahatani perbenihan kentang, salah satu kegiatan yang
tidak bisa ditinggalkan adalah pencabutan atau roughing. Saat pengkajian
pencabutan dilakukan oleh anggota kelompok tani itu sendiri. Hal ini tentunya masih
dipengaruhi unsur subyektivitas saat melakukan seleksi sendiri, untuk menghindari
hal ini telah disepakati antar anggota melaksanakan seleksi secara saling silang
artinya masing-masing anggota kelompok tani melakukan seleksi bukan miliknya
sendiri, tetapi milik anggota lainnya. Dengan cara ini maka pelaksanaan seleksi
tanaman dapat dilakukan secara obyektif.
Penanaman yang dilakukan anggota kelompok sudah berusaha menerapkan
teknologi perbenihan dengan baik dan benar. Hasil pengamatan pertumbuhan
vegetatif tanaman pada umur 30 hari setelah tanam secara keseluruhan
menunjukkan hasil yang baik. Pertumbuhan vegetatif ini meningkat seiring dengan
bertambahnya umur tanaman, seperti pada Tabel 2 dibawah ini.
9
Tabel 2. Rata-rata Pertumbuhan Vegetatif umur 30, 40 dan 55 hari setelah tanam Pada Penerapan Teknologi Perbenihan Kentang di Kelompok Tani Putra Tengger
Rata-rata Pertumbuhan Vegetatif Tanaman umur 30 hari setelah tanam
RakitanTeknologi Tinggi Tanaman
(cm)
Jml. Daun Jml. Cabang Utama
Lebar tajuk (cm)
Partisipatif 1 (G3) 30.55 a 28.50 a 2.76 a 48.80 a
Partisipatif 2 (G2) 32.60 a 29.60 a 2.50 a 47.80 a
Rata-rata Pertumbuhan Vegetatif Tanaman umur 45 hari setelah tanam
RakitanTeknologi Tinggi Tanaman
(cm)
Jml. Daun Jml. Cabang Utama
Lebar tajuk (cm)
Partisipatif 1 (G3) 52.10 a 36.40 a 2.95 a 53.45 a
Partisipatif 2 (G2) 61.70 b 49.50 b 2.80 a 66.40 b
Rata-rata Pertumbuhan Vegetatif Tanaman umur 55 hari setelah tanam
RakitanTeknologi Tinggi Tanaman
(cm)
Jml. Daun Jml. Cabang Utama
Lebar tajuk (cm)
Partisipatif 1 (G3) 60.00 a 40.00 a 3.20 b 79.40 a
Partisipatif 2 (G2) 65.00 a 54.00 a 2.80 a 81.30 a
Keterangan: Angka yang didampingi huruf sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata dengan Uji t
Dari tabel 2 tampak bahwa kedua macam benih, baik benih G3 maupun benih
G2 memberikan pertumbuhan vegetatif yang sama pada semua umur pengamatan
30 dan 55 hast, sedangkan pada pengamatan umur 45 hst menunjukkan perbedaan
pada tinggi tanaman, jumlah daun dan lebar tajuk dari benih asal G3 maupun G2.
e. Serangan Hama dan Penyakit
Pada pertumbuhan vegetatif, pengamatan hama dan penyakit dari tanaman
tidak tampak serangan yang berarti, masih relatih rendah untuk penyakit layu
fusarium dan hama kutu putih juga rendah. Hasil pengamatan hama dan penyakit
menunjukkan dari seluruh hamparan milik anggota kelompok tani ditemukan 0,01%
tanaman yang layu dan sudah mulai tampak hama PTM, Lyromiza, kutu kebul,
Hylocerpa dan ulat tanah/ Agrotis namun dengan persentase yang sangat rendah
pada umur 40 hari setelah tanam. Mengetahui ada tanaman yang layu maka saat
roughing tanaman yang layu tersebut dicabut sampai akarnya dan dibuang ke
tempat yang jauh oleh anggota kelompok tani. Anggota kelompok tani melakukan
pegobatan dan merompes daun yang terserang. Pengamatan hama dan penyakit dari tanaman tidak tampak serangan yang berarti, masih relatih rendah untuk penyakit layu fusarium dan hama kutu putih juga rendah.
10
Pengamatan hama penyakit di lapang pada periode pembentukan umbi
(umur 45 - 55 hari setelah tanam) menunjukkan bahwa munculnya ulat bumi sudah
harus diwaspadai di salah satu lokasi pertanaman anggota kelompok.
Pemeliharaan tanaman meliputi: pembumbunan dan penyemprotan hama penyakit
tanaman sudah mulai dilakukan secara intensif. Serangan phytophtora dari benih
G3 ditemukan di dua lokasi anggota kelompok yang berkisar + 0,5 - 2 %,
sedangkan hasil pengamatan pertumbuhan tanaman di lapang yang berasal dari
benih G2 menunjukkan keragaan pertanaman rata-rata tumbuh dengan baik,
terdapat serangan Phytophtora 0,05 – 0,10% dengan intensitas serangan 1 – 10%.
f. Panen Umbi
Pertumbuhan tanaman yang optimal terlihat di semua petani kooperator.
Kondisi ini dapat dipertahankan sampai umur panen yaitu 90 hari setelah tanam.
Pada saat tanaman umur 80 hari setelah tanam, tahapan yang harus dilalui adalah
pemangkasan tanaman. Maksud dan tujuan pemangkasan tanaman sebelum panen
adalah mencegah masuknya hama dan penyakit ke dalam umbi dan lebih
mengoptimalkan penuaan kulit umbi yang akan dipanen. Tanaman yang siap
dipanen adalah tanaman yang telah dipangkas sepuluh hari sebelum panen (umur
80 hari setelah tanam). Panen dilakukan mulai dengan menggali setiap guludan,
dihitung jumlah tanaman per gulud, kemudian hasil panen dipisah-pisahkan
berdasarkan ukurannnya sbb. : Bobot umbi benih klas A adalah (91 - 120 g/umbi),
Bobot umbi benih klas B (61 - 90 g/umbi), Bobot umbi benih klas C (31 – 60
g/umbi), Bobot umbi benih klas D (< 30 g/umbi). Setelah dipisah-pisah hasilnya
ditimbang untuk setiap ukuran benih, seperti pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3. Rata-rata Komponen Produksi Pada Penerapan Teknologi Perbenihan Kentang di Kelompok Tani Putra Tengger
Rata-rata Komponen Produksi
RakitanTeknologi Bobot/gulud*) (kg)
Rata-rata bobot
umbi/ tanaman (kg)
Rata-rata jumlah umbi/
tanaman
Partisipatif 1 (G3) 7.63 a 0.64 a 7.24 a
Partisipatif 2 (G2) 5.22 b 0.50 a 6,60 b
Keterangan: Angka yang didampingi huruf sama dalam satu kolom tidak berbeda
nyata dengan Uji t
*) Panjang gulud 6 m dan lebar 80 cm
11
Tabel 4. Rata-rata Produksi Umbi Benih per klas pada Penerapan Teknologi Perbenihan Kentang di Kelompok Tani Putra Tengger
3. Petani kentang dapat memperoleh benih dengan harga terjangkau.
4. Meningkatnya perhatian dan dukungan Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur dan
Pemda Lumajang dalam penyediaan benih sumber
(G0, G1, G2 dan G3)
DAFTAR PUSTAKA
Agustono. 2006. Menguatkan Kelembagaan Petani/ Usaha di kawasan Agropolitan Kecamatan Pasrujambe. Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Pasrujambe Kabupaten Lumajang. 9 hal.
Altieri AM. 1999. The ecological role of biodiversity in agroecosystems. Agric Ecosys
and Environ. 74: 19-31.
Asandhi, A.A; Sastrosiswojo, S; Suhardi; Abidin,Z dan Subhan. 1989. Kentang. Badan Litbang Pertanian – Balai Penelitian Hortikultura Lembang. Lembang.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Timur. 20003. Laporan Tahunan.
2002. Surabaya.
Duriat, A.S; A.K. Karyadi; M. Miura dan E. Sukarna. 1990. Pengaruh Tanaman Pinggiran terhadap Kandungan Virus pada Umbi. Bul. Penel. Hort. Vol. XIV (3): 94 – 108.
Kaspers, H; 1967. Contribution to studies on the biology and control of apple mildew
Korlina, E; E.P. Kusumainderawati; A. Suryadi; E. Srihastuti dan S. Fatimah. 2001. Uji Adaptasi Rakitan Teknologi Pembibitan Tanaman Kentang. Laporan Akhir. Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif. BPTP Karangploso. Malang. 13 hal.
Purbiati,Wahyunindyawati, Sri Zunaeni Sa’adah, Siti Fatimah, Subandi. 2004.
17
Kajian Teknik Produksi Pembibitan Kentang Dataran Tinggi. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi dan Kelembagaan Agribisnis. Bogor. Hal 297 – 312.
Endah R., Titik Purbiati dan Siti Fatimah. 2006. Kajian Pengembangan Agribisnis Perbenihan Kentang. Prosiding Seminar Nasional Dukungan Inovasi Teknologi Dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan. Bogor. Hal 239 – 256.
Sahat, S, D.D. Widjajanto, I. Hidayat dam S. Kusumo. 1985. Pembibitan Kentang.
Balitsa Lembang. Hal 44 – 60. Sahat, S dan Sulaiman H. 1988. Varietas Unggul Kentang. Bul. Penel. Horti. Vol Xv
No 3. p. 1 – 5. Saraswati, D.P.; Suyamto,H; D. Setyorini dan Al.G. Pratomo. 2000. Zona
Agroekologi Jawa Timur. Buku I: Zonasi dan Karakterisasi sumberdaya lahan wilayah Jawa Timur. BPTP Karangploso. 22 hal.
Sastrosiwojo S. 2003. Perbaikan komponen teknolgi PHT pada tanaman kentang.
Jurnal Penelitian Hortikultura Stuart, W. 1963. Seed Potatoes and How to Produce Them. Horticultural and
Pomological Investigation. USA.
RESPON PEMBERIANPUPUK KASCING
TERHADAP PENGURANGAN PUPUK ANORGANIK PADA TANAMAN PADI
Al. Gamal Pratomo Robiin dan Suwono
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Jl. Raya Karangploso Km 4 telp. (0341) 494052; Fax (0341) 471255
ABSTRAK
Produktivitas lahan sawah di Jawa Timur relatif sudah menurun, ini ditandai
dengan adanya gejala levelling off. Penyebab gejala ini diantaranya adalah
ketidakseimbangan unsur hara dalam tanah akibat praktek pemupukan yang hanya
menekankan pada penggunaan pupuk anorganik tanpa pemberian pupuk organik
sehingga berakibat kandungan bahan organik tanah semakin menurun. Pupuk organik
yang dihasilkan dari proses penguraian oleh cacing dinamakan kascing atau bekas cacing.
Pupuk organik kascing mempunyai kelebihan dari pupuk organik lainnya, sehingga
sering disebut ”Pupuk Organik Plus karena unsur hara yang dikandung dapat langsung
tersedia bagi tanaman dan mengandung asam-asam amino dan protein yang siap
membangun jaringan pertumbuhan tanaman. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui respon pemberian pupuk kascing terhadap pengurangan pupuk anorganik
pada tanaman padi. Penelitian dilakukan di desa Sumberejo Kec. Purwosari Kabupaten
Pasuruan, pada bulan September 2006 sampai Desember 2006. Penelitian ini
menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 kali ulangan dengan jumlah perlakuan
sebanyak 6 kombinasi perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan panjang malai yang
dicapai pada percobaan ini berkisar 21,68cm – 23,82 cm dengan jumlah gabah isi
berkisar 80 – 88 butir, sedangkan berat 1000 butir gabah berkisar antara 29.95 – 31.93
gram lebih tinggi dibandingkan berat 1000 butir varietas lainnya yang berkisar kurang
lebih 27 gram. Untuk produksi gabah kering panen yang dihasilkan ternyata respon
pemberian pupuk organik kascing cukup baik, karena walaupun pupukan organiknya
dikurangi ternyata masih mampu berproduksi di atas 10 ton gabah kering panen/ha jauh
di atas produktivitas padi di kabupaten Pasuruan yang hanya 6,15 ton/ha
Kata kunci : Pupuk organik, kascing, padi, produksi
PENDAHULUAN
Sektor pertanian hingga saat ini masih merupakan sektor andalan dalam
pembangunan ekonomi di Jawa Timur, karena merupakan sumber mata pencaharian
sebagian besar masyarakat dan masih mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
Tetapi kenyataannya produktivitas lahan di Jawa Timur sudah menurun, ini ditandai
dengan adanya gejala levelling off. Penyebab gejala ini adalah ketidakseimbangan unsur
hara dalam tanah akibat praktek pemupukan yang hanya menekankan pada pupuk N saja
dan rendahnya kandungan bahan organik yang ada di lahan. Hasil penelitian Suwono,
dkk. (2005) kandungan bahan organik sebagian besar lahan sawah di Jawa Timur adalah
rendah. Kondisi ini dapat menjadi faktor pembatas peningkatan produksi tanaman.
Indikasinya pada daerah semacam ini bila ditanami padi kebutuhan pupuk N sangat tinggi
(Suwono, dkk, 2005).
Melihat uraian di atas peranan pupuk organik sangat penting sekali bagi kesuburan
lahan terlebih lagi pada saat ini ketersedian pupuk kimiawi/anorganik semakin langka
dan mahal harganya. Penggunaan pupuk organik di petani umumnya masih berupa
pupuk kandang yang langsung dari kandang tanpa melalui proses pengolahan terlebih
dahulu, sehingga dalam penggunaannya diperlukan dalam jumlah yang cukup banyak
yaitu berkisar 10 – 20 ton/ha (Supardi, G, 1974). Beberapa petani yang sudah maju akan
memproses pupuk kandang terlebih dahulu menjadi pupuk organik dengan menggunakan
bahan-bahan dekomposer yang beredar di pasaran. Penggunaan pupuk organik yang
sudah diproses ini jumlahnya relatif lebih sedikit dibandingkan menggunakan pupuk
kandang langsung yaitu dalam satu hektar dibutuhkan berkisar 2,5 – 5 ton/ha (Hardianto,
R. 2000).
Saat ini penggunaan cacing untuk membuat pupuk organik belum banyak
berkembang, padahal dengan menggunakan cacing (Lumbricus rubellus) dalam
pembuatan pupuk organik relatif mudah dan murah karena cukup sekali memberi cacing,
pupuk organik sudah dapat terus menerus dibuat. Kandungan hara pupuk organik yang
diproses dengan cacing atau yang lebih dikenal dengan kascing sangat lengkap karena
mengandung hara makro maupun mikro yang berguna bagi tumbuhan (Trimulat,2003).
Pupuk organik kascing sering disebut ”Pupuk Organik Plus (Kartini, 2000), karena unsur
hara yang dikandung dapat langsung tersedia bagi tanaman dan mengandung asam-asam
amino dan protein yang siap membangun jaringan pertumbuhan tanaman. Kascing juga
mempunyai C/N ratio yang rendah yang baik untuk meningkatkan aktvitas
mikroorganisme tanah dalam pembenahan tanah-tanah sawah (Kariada, dkk, 2005).
Tujuan dari penelitianini adalah mengetahui respon pemberian pupuk kascing
terhadap pengurangan pupuk anorganik pada tanaman padi
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di desa Sumberejo, kecamatan Purwosari – Pasuruan pada
bulan September 2006 hingga Januari 2007. Bahan yang digunakan adalah tanaman padi
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………………………….. 19
1
Daftar Tabel
Halaman
Tabel 1. Perbedaan diseminasi teknologi secara formal dengan adopsi teknologi
secara sukarela oleh petani ...................................................................
3
Tabel 2. Diskriminasi tugas fungsi dan kewenangan institusional dalam proses Diseminasi Teknologi Pertanian .............................................................
7
Tabel 3. Evaluasi dan Saringan Kehandalan Teknologi Baru .................................. 9
2
Daftar Gambar
Halaman
Gambar 1 Beberapa jalur diseminasi teknologi formal dalam Departemen Pertanian
kepada Petani ...................................................................................... 5
Gambar 2 Tugas dan kewenangan institusional dalam inovasi, adaptasi, perakitan teknologi, adaptasi teknologi dan diseminasi teknologi sampai pada adopsi teknologi oleh
Inovasi teknologi berpeluang untuk diadosi oleh petani apabila teknologi
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : (1) bermanfaat bagi petani secara nyata; (2) lebih unggul dibandingkan teknologi yang telah ada; (3) bersifat praktis, nyaman dan ergonomis;
(4) sesuai dengan sistem usahatani petani; (5) bahan, sarana, alat mesin, modal dan tenaga untuk mengadopsi teknologi tersedia; (6) memberikan dampak nilai tambah dan keuntungan ekonomis; (7) meningkatkan efisiensi dalam berproduksi; (8) sesuai dengan
tata kehidupan sosial masyarakat dan gender; (9) bersifat ramah lingkungan; (10) menjamin keberlanjutan usaha pertanian; (11) produk yang dihasilkan bersifat aman konsumsi; dan (12) secara umum membawa manfaat bagi perbaikan ekonomi masyarakat.
Petani sebagai pengguna teknologi masih harus mempertimbangkan beberapa faktor sebelum mengadopsi teknologi, terutama : (1) ketersediaan pasar hasil panen dengan harga
jual yang layak serta keuntungan yang baik; (2) kepastian diperolehnya hasil panen dengan resiko kegagalan yang minimal; (3) penerapan teknologi tidak sulit bagi petani; (4) petani mampu menyediakan modal untuk mengadopsi teknologi; (5) memberikan nilai tambah dan
keuntungan nyata bagi petani. Dipenuhinya karakteristik teknologi seperti tersebut, belum menjamin petani mengadopsi teknologi secara cepat. Pada umumnya masih diperlukan
beberapa insentif lain agar petani bersedia mengadopsi inovasi teknologi, seperti : (1) ketersediaan kredit modal usaha; (2) kemudahan memperoleh sarana, alsintan, prasarana dan pengairan yang terkait dengan proses adopsi inovasi teknologi; (3) kemudahan dalam
memasarkan produk hasil panen dengan harga yang layak dan kompetitif; (4) prospek untuk memperoleh keuntungan secara berkelanjutan; (5) membawa citra kemajuan bagi
petani pengadopsi teknologi. Metode untuk memastikan agar inovasi teknologi diadopsi oleh petani pengguna adalah dengan penerapan ”Pendekatan Rantai Pasar secara Partisipatif” (PRPP) atau Participatory Market Chain Approach (PMCA). Metode
PRPP diawali oleh kerja bersama partisipatif petani-penyuluh-pengkaji/peneliti untuk mengenal dan memahami kebutuhan konsumen atau permintaan pasar, diikuti oleh pencarian/identifikasi teknologi yang dibutuhkan untuk memproduksi barang atau produk
yang diinginkan konsumen/pasar tersebut. Tahap berikutnya mengadaptasi teknologi, membuat pilot produksi dan standarisasi mutu produksi, serta merintis pemasaran produk.
Peran pengkaji/penyuluh lebih dominan pada tahap I pada waktu melakukan identifikasi kebutuhan pasar, selanjutnya semakin berkurang pada tahap ke II dan III. Sebaliknya peran petani/pengguna teknologi agak kecil pada tahap I tetapi meningkat pada tahap II dan III,
sehingga pada akhirnya petani menjadi pengusaha/pengadopsi teknologi yang mandiri dan bertanggung jawab serta peran penyuluh/pengkaji berubah sebagai nara sumber.
Teknologi yang nyata memiliki aplikasi ekonomis bagi penggunanya disebut sebagai ”Teknologi Adaptif Komersial”. Petani sebagai target diseminasi inovasi teknologi memiliki penilaian dan minat yang berbeda-beda terhadap teknologi yang ditawarkan dan
penolakan teknologi baru oleh segolongan petani harus dinilai sebagai hal yang wajar.
4
Petani sering merasa lebih nyaman dengan teknologi adaptif yang telah disesuaikan dengan kondisi sosial-ekonomi dan fisik lahannya. Dalam alih teknologi harus terdapat kesejajaran
posisi dan status antara berbagai pihak yang terlibat dalam alih teknologi. Seperti yang dikemukakan Rogers (1983) bahwa ”Diseminasi teknologi merupakan proses timbal-
balik, para pelaku menyediakan dan menerima informasi dan teknologi sehingga diperoleh kesepahaman dan kesepakatan bersama”.
5
PENDAHULUAN
Faktor peubah (variable factors) yang harus dipertimbangkan pada penerapan teknologi pertanian sangat banyak, ditimbulkan oleh adanya keragaman dan perbedaan
kesuburan fisik, biologi dan kimiawi tanah, perbedaan iklim makro dan mikro dari usahatani, perbedaan sumber dan ketersediaan air, perbedaan elevasi dan topografi lahan, dan yang
tidak kurang pentingnya juga perbedaan sejarah pengelolaan lahan yang bersifat unik untuk masing-masing usahatani. Dengan adanya keragaman berbagai faktor tersebut, maka sebenarnya sangat sulit untuk mengadopsi ”paket teknologi anjuran” yang selama ini
menjadi standar dalam program pembangunan pertanian. Untuk komponen teknologi yang memiliki toleransi adaptasi cukup luas, seperti varietas unggul, herbisida, pestisida, alat mesin pertanian, keragaman faktor usahatani tersebut mungkin tidak terlalu mempengaruhi
efektivitasnya. Namun anjuran jenis dan dosis pupuk, pengairan, penyiangan, jarak tanam, atau ”jadwal’ aplikasi pestisida, tentu berbeda bagi setiap lahan usahatani.
Di samping adanya keragaman faktor lingkungan usahatani, masih terdapat keragaman/perbedaan yang bersifat intrinsik dalam pribadi-pribadi petani, terkait dengan kemampuan permodalan, luasnya skala usahatani, jiwa kewirausahaan, kesempatan
pemasaran, kemampuan mengelola resiko dan peluang, serta ketahanan-usaha masing-masing keluarga tani. Seluruh faktor-faktor tersebut akan dijadikan pertimbangan oleh
petani dalam memutuskan untuk mengadopsi atau tidak mengadopsi teknologi baru. Perlu disadari oleh penganjur teknologi (peneliti/pengkaji, penyuluh, pengusaha suasta), bahwa adopsi teknologi baru bagi petani tertentu, belum tentu memberikan keuntungan ekonomi.
Bagi individu petani, terhadap setiap tawaran teknologi baru akan dilakukan penyaringan dengan pertanyaan : ”apakah untungnya apabila saya mengadopsi teknologi baru ini dan apa resikonya”. Selama petani belum memperoleh jawaban yang memuaskan dari
pertanyaan tersebut, kemungkinan besar petani belum/tidak akan mengadopsi teknologi baru.
Rogers (1983) membagi dalam lima tahapan proses adopsi teknologi oleh petani, dan berakhir pada empat macam respon individu petani terhadap teknologi. Ke lima tahapan proses adopsi tersebut adalah : (1) pengenalan, mengetahui untuk pertama kalinya
teknologi baru dan melihat plus-minus serta untung ruginya; (2) memikirkan, mempertimbangkan, melihat contoh kasus di tempat lain, dan mengevaluasi manfaat,
keuntungan dan kerugiannya; (3) pengambilan keputusan untuk mengadopsi atau tidak mengadiopsi; (4) bagi yang memutuskan untuk mengadopsi, pelaksanaan/implementasi adopsi teknologi dalam skala terbatas; (5) adopsi penuh dan improvisasi /modifikasi sesuai
kondisi agroekologi. Sedangkan respon petani terhadap teknologi baru dapat digolongkan menjadi empat, yakni : (1) pengadopsi cepat dan berlanjut; (2) pengadopsi cepat tidak
berlanjut karena tidak adanya insentif seperti bantuan pemerintah, kredit, bimbingan; (3) pengadopsi lambat menunggu petani lainnya mengadopsi teknologi dan melihat hasilnya; (4) menolak, tidak mengadopsi teknologi baru karena pertimbangan tertentu. Proses adopsi
teknologi hingga sampai kepada respon akhir pada umumnya memerlukan waktu tiga sampai empat tahun, walaupun untuk kasus teknologi tertentu seperti varietas unggul, bisa lebih cepat dalam 1 - 2 tahun.
Pertanian sebagai ilmu memerlukan presisi ukuran dan perlakuan yang cukup tinggi guna memperoleh respon hasil yang optimal. Namun tanaman mempunyai toleransi yang
cukup lebar dari ketidak-tepatan (non-presisi) ukuran dan perlakuan, dengan tetap memberikan respon hasil yang cukup baik dan menguntungkan. Kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh petani dalam mengelola usahataninya, memodifikasi teknologi presisi
6
menjadi teknologi empiris mendasarkan pada pengalaman dan kemampuan petani. Ketersediaan teknologi yang bersifat umum, belum ada yang diperuntukkan bagi
agroekologi spesifik, juga menjadi alasan petani untuk memodifikasi paket teknologi.
JALUR DISEMINASI TEKNOLOGI DAN INFORMASI
Petani, peternak dan perikan adalah pengguna teknologi yang harus bertanggung jawab penuh atas manfaat, keuntungan, kenyamanan, kesulitan dan kerugian yang ditimbulkan oleh pengadopsian teknologi. Dalam hal petani mengalami kerugian sebagai
akibat adopsi teknologi baru, tidak ada yang akan dituntut atau dimintai pertanggung jawaban kecuali diri sendiri. Sebaliknya apabila adopsi teknologi mengakibatkan adanya
keuntungan, walaupun petani telah memodifikasi teknologi yang ia terima, banyak pihak yang akan cepat mengaku ikut berjasa dan berperan dan melupakan jasa peran serta petani sendiri.
Hal-hal tersebut kemungkinan yang menyebabkan petani tidak selalu dengan serta merta mengadopsi teknologi yang ditawarkan kepadanya. Rasional dan jalan pikiran
segolongan ”petani pengadopsi lambat” (late adopter) kemungkinan mendasarkan atas pertimbangan hal-hal tersebut di atas. Terlebih lagi petani mengadopsi teknologi melalui berbagai jalur, baik secara formal dari petugas Dinas Pertanian, pengkaji atau penyuluh,
maupun secara informal dari berbagai sumber informasi, seperti media massa, pameran, demo-plot, dari petani sekitar, dari pengusaha sarana produksi, atau dari LSM dan pemuka
desa.
Petani sebagai pengguna dan konsumen produk teknologi berhadapan dengan sangat banyak tawaran dan pilihan teknologi dari berbagai sumber seperti yang telah
disebutkan di atas. Walaupun teknologi yang ditawarkan dimaksudkan untuk keuntungan petani, namun petani dalam pelaksanaannya harus membeli input teknologi yang ditawarkan. Seperti halnya terhadap beragam produk yang ditawarkan di Super Market,
petani sebagai konsumen teknologi perlu berpikir : (1) apakah ia memerlukan teknologi baru yang ditawarkan; (2) apakah ada keuntungan dan manfaat dari teknologi yang ditawarkan;
(3) apakah ia memiliki uang untuk mengadopsi teknologi yang ditawarkan; (4) bagaimana jalan atau caranya agar adopsi teknologi baru menggunakan biaya sekecil dan semurah mungkin.
Dengan memahami bahwa teknologi baru adalah merupakan produk yang harus dibayar oleh petani (minimal dibayar menggunakan tenaga, waktu kerja atau perhatian
khusus), maka penawaran dan adopsi teknologi bersifat sama seperti halnya penawaran produk hasil teknologi manufaktur di toko atau di super market. Konsumen tidak dengan serta-merta pasti membeli atau menggunakan (”mengadopsi”) produk teknologi yang
ditawarkan. Adalah keliru apabila peneliti/pengkaji dan penyuluh mengharapkan bahwa petani langsung akan mengadopsi teknologi baru yang mereka tawarkan, karena teknologi tersebut bagus, efisien atau diharapkan menguntungkan.
Jalur Diseminasi Teknologi secara Formal
Jalur diseminasi teknologi secara formal adalah jalur diseminasi melalui instansi dan
petugas resmi pemerintah, baik melalui peneliti/pengkaji, penyuluh pertanian, maupun pejabat Dinas Pertanian/Departemen Pertanian. Jalur formal seharusnya lebih dapat dipercaya petani, karena petugas pemerintah tidak boleh mempunyai benturan kepentingan
7
(conflict of interest) dengan tugas yang ia lakukan. Namun kelemahannya, teknologi yang ditawarkan sering bersifat umum, belum diuji kesesuaiannya dengan agroekologi spesifik.
Disamping itu teknologi sering dimaksudkan untuk mencapai program dan target pemerintah yang belum tentu menguntungkan secara ekonomis bagi individu petani. Jalur
diseminasi teknologi formal sering terkait dengan ”Proyek” yang harus dilaksanakan pada tahun itu, harus selesai pada akhir tahun, dan harus dapat dilaporkan sebagai proyek yang berhasil.
Oleh adanya persyaratan proyek seperti tersebut di atas, maka diseminasi teknologi jalur formal menjadi terkesan dipaksakan, tidak selalu tepat waktu, lebih bersifat instruktif dan terlalu diprioritaskan segala sesuatunya. Tidak mengherankan bahwa teknologi yang
dikawal oleh petugas pemerintah menjadi ”lebih berhasil” dibandingkan dengan teknologi yang tidak dikawal oleh petugas (Bachrein dan Gozali, 2006).
Alih teknologi dan diseminasi teknologi melalui jalur formal sering mengandung ”bias” sebagaimana halnya uji teknologi yang dilakukan oleh peneliti/pengkaji sehingga analisis nilai ekonomisnya juga menjadi bias (Cornwall, et al., 1994). Kelemahan diseminasi
teknologi secara formal dibandingkan dengan proses adopsi teknologi secara sukarela oleh petani dapat diringkas pada tabel 1. Perbedaan-perbedaan yang ditunjukkan, bukan
dimaksudkan bahwa diseminasi teknologi melalui jalur formal tidak dapat dipercaya, tetapi ingin ditunjukkan bahwa proses adopsi oleh petani tidak terjadi secara suka-rela, tetapi disertai pengaruh eksternal berupa kegiatan proyek, insentif dan subsidi serta fasilitasi
beberapa kemudahan seperti kredit, perolehan pupuk, pengairan, dan sebagainya.
Tabel 1. Perbedaan diseminasi teknologi secara formal dengan adopsi teknologi secara sukarela oleh petani.
No. Faktor Pembeda Diseminasi teknologi jalur formal Adopsi teknologi sukarela oleh petani
1. Teknologi Teknologi berupa paket, seragam Tekologi pilihan petani, beragam
2. Komponen teknologi lainnya Disediakan optimal Seperti apa adanya
3. Proses diseminasi teknologi Instruktif dengan insentif Difusif, kesadaran petani sendiri
4. Pengendalian OPT Dilakukan optimal Semampu petani
5. Masalah yang timbul Diatasi secepatnya Tidak selalu cepat diatasi
6. Pemeliharaan tanaman Dilakukan optimal Sesuai kebiasaan petani
7. Antisipasi masalah Pencegahan, tindakan Masalah terjadi, belum tentu teratasi
8. Curahan tenaga, biaya Hampir tidak dibatasi Sangat terbatas
9. Pengukuran hasil Dipilih yang terbaik Aktual, apa adanya
10. Penggunaan total biaya Tidak dihitung Dihitung teliti
11. Analisis hasil dan keuntungan Lebih tinggi, bias Lebih rendah, riel
Selain adanya insentif dan fasilitas, diseminasi teknologi melalui jalur formal kadang-kadang dikaitkan dengan perintah/instruksi atau penugasan oleh pejabat
pemerintah di wilayah setempat (Lurah, Camat, Bupati, Gubernur) sehingga petani terpaksa mengadopsi secara langsung. Hal-hal tersebut menjelaskan mengapa petani sering berhenti mengadopsi teknologi, setelah proyek selesai dan pengawalan, bimbingan serta insentif
dihentikan, walaupun keragaan teknologi dianggap berhasil .
8
Diseminasi teknologi secara formal yang terkait proyek, juga terkontaminasi ego-institusional, tergantung institusi mana yang memberikan bimbingan transfer teknologi.
Institusi lain di luar proyek pada umumnya tidak dapat dilibatkan, karena mempunyai konsekuensi pendanaan.
Diseminasi teknologi melalui jalur formal di dalam program Deptan terdapat 3 jalur (Gambar 1). Institusi luar Deptan seperti Perguruan Tinggi; BPPT; LIPI; BATAN; DEPKOP dalam frekuensi yang lebih rendah juga membangun jalur diseminasi teknologi pertanian
untuk petani. Walaupun target petani penerima percontohan teknologi secara formal pada umumnya berbeda, namun dapat dibayangkan betapa repotnya petani untuk melayani proyek transfer teknologi yang masing-masing ditargetkan harus berhasil.
9
Deptan
Badan
Litbang
Peneliti:
Balit/Puslit/BB
Pengkaji/Pen
yuluh BPTP
Dinas Pertanian
Propinsi/Kabupaten
Kelompok Petani – Kelompok Petani
Badan PSDM
BB Pelatihan
Balai
Penyuluhan
Direktorat
Jenderal
Teknis
Direktorat
Teknis
Gambar 1. Beberapa jalur diseminasi teknologi formal dalam Departemen Pertanian kepada Petani
10
Idealnya, teknologi menyatu dengan program pembangunan pertanian yang disampaikan sebagai Program Penyuluhan Pertanian oleh petugas penyuluhan kepada
petani. Keberadaan dan keterpisahan antara institusi Litbang, Direktorart Teknis, Dinas Pertanian dan Unit Kerja Penyuluhan tidak harus memisahkan program diseminasi teknologi
pertanian. Porsi tugas dan kewenangan masing-masing institusi yang sudaah sering dikemukakan adalah seperti digambarkan pada Diagram 2; namun dalam pelaksanaannya pembagian porsi tersebut masih sukar dilaksanakan karena adanya ego-institusional.
Inovasi teknologi Adaptasi
Pemanfaatan teknologi
Diseminasi Adopsi
Inte
nsita
s P
en
elit
ian
Ino
va
si te
kn
olo
gi
Pro
se
s A
do
psi T
ekn
olo
gi
Penelitian (Balit) Pengkajian (BPTP) Direktorat Teknis Unit Kerja Pengguna teknologi
Diperta Propinsi/ Penyuluhan Petani
Kabupaten
Diagram 2. Tugas dan kewenangan institusional dalam inovasi, adaptasi, perakitan teknologi, adaptasi teknologi dan diseminasi teknologi sampai pada adopsi teknologi oleh petani
Diskriminasi tugas fungsi dan kewenangan institusional dalam proses diseminasi teknologi dapat dipilah seperti pada tabel 2. Walaupun demikian batas kegiatan bukan merupakan garis yang mati, karena keseluruhan kegiatan mempunyai target yang sama dan
acuan permasalahan yang sama, sehingga terdapat interphase atau luncuran tugas fungsi diantara para pelaku.
11
Tabel 2. Diskriminasi tugas fungsi dan kewenangan institusional dalam proses Diseminasi Teknologi Pertanian.
No. Institusi Tugas Kewenangan Interphase
1. Puslit, Balit, Balai Besar Penelitian, Inovasi teknologi Adaptasi teknologi; keragaan teknologi
2. BPTP Adaptasi komponen teknologi; rakitan teknologi
Adaptasi dan keragaan rakitan teknologi
3. Direktorat Teknis Pemanfaat teknologi dalam program pembangunan pertanian
Evaluasi kesesuaian teknologi
4. Dinas Pertanian o Penerapan teknologi dalam program pembangunan pertanian;
o Fasilitasi penerapan teknologi
Pembinaan adopsi teknologi
5. Institusi Penyuluhan o Adaptasi rakitan teknologi;
o Transfer teknologi
Modifikasi rakitan teknologi
6. Kelompok tani o Pilihan komponen teknologi;
o Adopsi teknologi;
o Evaluasi untung-rugi teknologi
o Penyesuaian teknologi dengan lokasi spesifik;
o Pemberian umpan-balik
Dalam prakteknya diseminasi teknologi secara formal juga melibatkan pihak swasta, pengusaha penyedia sarana produksi yang merupakan komponen teknologi. Posisi peneliti,
pengkaji, pembina dari Direktorat Teknis dan Dinas Pertanian serta Penyuluh Pertanian terkait dengan produk milik perusahaan harus bersifat netral, tidak memberikan anjuran langsung atau tidak langsung terhadap produk teknologi milik perusahaan awasta yang
dipasarkan kepada petani.
BENTUK TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN
Teknologi dan informasi pertanian merupakan benda nyata maupun abstrak dari
hasil karya pikir, rekayasa, pengalaman dan pengamatan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja usaha pertanian dalam arti luas.
Teknologi dan informasi pertanian dapat digolongkan menjadi enam bentuk atau enam kelompok, sebagai berikut :
(1). Komponen teknologi berupa Sarana Produksi; contoh : varietas unggul/benih
(2). Komponen teknologi berua Alat, sarana dan mesin pertanian; Contoh : berbagai peralatan, traktor, penanam, pompa air, sarana pengairan, penyemprot, pemanen, penyortir hasil panen, pengolah hasil panen, pengering, penyimpanan, dan lain-lain.
(3). Komponen teknologi berupa Manajemen Operasional; contoh : Baku panduan budidaya, Prosedur Operasional Standar (POS), Pengelolaan sumberdaya dan Tanaman Terpadu (PTT), PHT, AEZ, Standar Mutu, GAP, dan lain-lain.
12
(4). Komponen teknologi berupa Kelembagaan Usaha; contoh : Asosiasi Produsen, Model Kelompok Tani, Koperasi, Perusahaan Agribisnis, dan lain-lain.
(5). Komponen teknologi berupa Ilmu Pengetahuan; contoh : Kesesuaian lahan, pewilayahan komoditas, manajemen produksi, informasi pasar, kewira-usahaan, akses
informasi internet, akses perbankan, ramalan iklim/cuaca, biologi hama penyakit, dan lain-lain.
(6). Komponen teknologi berupa Kebijakan; contoh : Peraturan, perijinan, kebijakan
produksi, penyediaan kredit, subsidi pupuk, harga dasar, sertifikasi produk, pelarangan impor/ekspor, dan sebagainya.
Komponen teknologi tersebut tidak dapat berdiri sendiri, karena kelompok (1) s/d
(6) saling terkait satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai contoh teknologi berupa sarana pupuk terkait dengan teknologi manajemen operasional, tentang : dosis,
waktu pemberian; cara pemberian terkait dengan ilmu pengetahuan tentang efisiensi serapan hara; gejala kahat hara; dan terkait dengan kebijakan tentang subsidi harga pupuk; kredit sarana produksi; dan sebagainya.
Anjuran rakitan teknologi dikemas dengan berdasarkan berbagai strategi, seperti : PTT, Sistem Pakar; GAP; Prosedur Operasional Standard (POS), (Makarim dan Las, 2005;
Makarim et al. 2008; Anonim 2003; Anonim, 2004; Sumarno, 2006; Sumarno, 2007). Tujuan masing-masing strategi tersebut adalah untuk penyediaan teknologi yang paling sesuai dan optimal bagi tujuan usaha pertanian.
Di samping enam kelompok komponen teknologi tersebut, ada teknologi yang termasuk kelompok sarana produksi, tetapi pemanfaatannya sukar dibuktikan secara ilmu
pertanian. Promosi dan anjuran teknologi lebih berdasarkan harapan dari penemu teknologinya, biasanya dengan gambaran yang muluk-muluk. Contoh ”teknologi harapan” yang dipromosikan adalah ””nutrisi Saputra”; ”Biokatalis”; ”Biovitamin” dan sebagainya.
Pada saat ini sudah diberlakukan persyaratan ijin untuk peredaran produk teknologi berupa sarana, tetapi belum disertai sertifikasi manfaat dan efikasi produk. Di masa depan diperlukan uji efikasi dan manfaat dari suatu produk teknologi, sebelum produk yang
bersangkutan boleh diedarkan dan dijual kepada petani.
UJI KEHANDALAN DAN KELAYAKAN TEKNOLOGI
Proses penemuan dan inovasi teknologi sudah melalui penelitian dan pengujian yang memenuhi kaidah ilmiah, sehingga semestinya suatu teknologi baru dapat dipercaya kehandalannya. Tanpa mengecilkan arti proses ilmiah inovasi teknologi, para pengkaji dan
penyuluh yang akan mendiseminasikan teknologi kepada petani, perlu melakukan penyaringan dan evaluasi teknologi baru, menggunakan pertanyaan sebagai berikut :
(Tabel. 3)
13
Tabel 3. Evaluasi dan Saringan Kehandalan dan kelayakan Teknologi Baru.
No. Kriteria uji sebagai penyaring teknologi Hasil Uji
lulus tidak
1. Adakah manfaat nyata : produksi; mutu; stabil.
2. Apakah lebih unggul dibandingkan teknologi yang telah ada.
3. Apakah praktis; nyaman; ergonomis.
4. Apakah sesuai dengan sistem usahatani yang ada.
5. Apakah bahan; modal, tenaga; alat tersedia.
6. Apakah memberikan keuntungan ekonomis; nilai tambah.
7. Apakah lebih efisien; lebih cepat; lebih mudah.
8. Apakah sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
9. Apakah bersifat ramah lingkungan.
10. Apakah produk panen aman konsumsi.
11. Apakah mendukung keberlanjutan produksi.
12. Adakah membawa manfaat terhadap ekonomi masyarakat sekitar.
13. Apakah sejalan dengan pencapaian ketahanan pangan Nasional.
14. Dapatkah menaikkan daya saing produk yang dihasilkan.
15. Adakah sifat adil (equity) bagi masyarakat kurang mampu dan kaum perempuan.
Penyaringan teknologi menggunakan 15 kriteria tersebut tidak perlu melalui penelitian formal, cukup secara observasi empiris atau melalui penilaian kelompok. Dengan menggunakan kriteria tersebut dapat diketahui apakah teknologi dapat diterima/disukai oleh
petani atau akan ditolak/tidak disukai petani.
Perlu disadari bahwa walaupun teknologi telah lulus dari 15 (lima belas) kriteria tersebut, pada umumnya teknologi bersifat memihak/bias ke golongan tertentu sebagai
berikut :
(1). Teknologi lebih berpihak kepada petani kaya, yang memiliki modal besar.
(2). Teknologi menguntungkan secara nyata apabila diterapkan pada skala usaha yang cukup luas.
(3). Adopsi teknologi sering terkait dengan ketersediaan prasarana (alat mesin pertanian;
prasarana transportasi; pengairan; pasar; alat komunikasi).
(4). Teknologi lebih cepat dipahami oleh petani yang progresif, berpendidikan, ingin maju.
(5). Teknologi lebih sesuai bagi usahatani yang bersifat komersial.
14
Untuk mengetahui seberapa jauh keberpihakan dan bias teknologi yang ditawarkan kepada petani, perlu diajukan evaluasi menggunakan kriteria/pertanyaan sebagai berikut :
(1). Apakah semua petani dapat megadopsi teknologi yang ditawarkan ?
(2). Berapa luas skala usaha petani pengadopsi teknologi yang ditawarkan ?
(3). Berapa luas potensi adopsi 5 (lima) tahun mendatang ?
(4). Adakah segolongan petani yang dirugikan oleh adanya adopsi teknologi baru ?
(5). Apakah ada kelompok petani yang kesulitan modal untuk mengadopsi teknologi baru ?
(6). Apakah petani menilai teknologi baru tersebut penting ?
(7). Apakah petani masih ragu-ragu untuk mengadopsi teknologi baru ?
Penyaringan dan uji kelayakan teknologi sebaiknya dilakukan bersama antara
pengkaji dan penyuluh BPTP, petugas penyuluhan tingkat Kabupaten dan Kelompok Tani, pada waktu diadakan adopsi teknologi atau demonstrasi teknologi skala luas. Petani sebagai
pengguna teknologi, pada dasarnya adalah pihak yang paling berkepentingan untuk melakukan uji kelayakan teknologi. Dengan berjalannya proses adopsi, teknologi yang kurang layak, tidak memenuhi 15 (lima belas) kriteria uji tersebut akan ditinggalkan oleh
petani.
Respon Umum Petani Terhadap Teknologi Baru
Pada dasarnya terdapat perbedaan persepsi terhadap teknologi baru, antara
pembawa dengan penerima/pengguna teknologi. Bagi pembawa tenologi (pengkaji, penyuluh, Dinas Pertanian), teknologi dipandang sebagai piranti pemecahan masalah, pembawa kemajuan dan kesejahteraan petani. Bagi petani calon pengguna teknologi,
tawaran teknologi dicurigai sebagai penjualan produk baru yang dipaksakan kepada petani, dengan alasan program peningkatan produksi pangan Nasional. Scoones dan Thomson (1994), mengidentifikasi beberapa perbedaan pandangan petani pada waktu berhadapan
dengan teknologi baru sebagai berikut :
(1). Minat antara petani bisa berbeda-beda, mungkin saling bertentangan dalam
menghadapi teknologi baru.
(2). Penolakan terhadap teknologi baru oleh (sebagian) petani harus dinilai sebagai suatu hal yang wajar.
(3). Petani pada umumnya tidak suka mengadakan perubahan karena telah merasa nyaman dengan teknologi yang biasa mereka lakukan, yang mereka nilai paling sesuai dengan
kebutuhan spesifik lahan mereka.
(4). Petani sering mempunyai pertimbangan sendiri dalam hal penggunaan teknologi, mungkin dari segi biaya, kemudahan, kepraktisan, kebiasaan, dan lainnya.
(5). Adopsi teknologi baru dapat berbentuk kesepakatan untuk mencoba sebagian/salah satu komponen teknologi disesuaikan dengan kemampuan petani.
(6). Petani tidak merasa mau ”digurui” atau ”diajari” oleh orang-orang yang belum biasa bertani di lahannya, sedangkan petani telah berpengalaman bertahun-tahun. Kesejajaran posisi antara pengkaji/penyuluh-petani sangat diperlukan dalam diseminasi
teknologi; Pengkaji dan penyuluh tidak boleh menggurui petani yang lebih mengetahui tentang lahan usahataninya.
15
(7). Adanya teknologi asli pedesaan yang dikembangkan oleh petani perlu dihargai dan dipertimbangkan.
Dalam mengelola usahataninya, petani tidak berani menanggung resiko kegagalan yang mungkin dapat ditimbulkan oleh pengadopsian teknologi baru, yang belum tentu
sesuai dengan karakteristik agroekologi lahan petani. Bagi petani, kegagalan adalah masalah hidup-matinya keluarga mereka; gagal panen berarti tidak tersedia pangan dalam waktu 5-6 bulan, tanpa ada konpensasi apapun. Bagi pengkaji dan penyuluh, kegagalan
teknologi baru hanya sekedar pelaporan yang tidak menyenangkan atasan, tanpa ada konsekuensi ekonomi atau status pekerjaan. Kegagalan teknologi hanya dilakukan analisis apa kira-kira penyebabnya, apa dan siapa yang dapat dijadikan ”kambing-hitam”, untuk
tidak terulang di masa depan.
Selain alasan yang berkaitan dengan resiko dan tidak adanya kepastian keuntungan
adopsi teknologi baru, bagi petani adopsi teknologi juga memiliki konsekuensi, antara lain berupa : (1) memerlukan biaya dan modal yang lebih besar; (2) adopsi teknologi tidak selalu berhasil dengan sekali coba; (3) efisiensi produksi pada awal adopsi mungkin masih
rendah; (4) produk baru hasil teknologi baru mungkin pemasarannya masih sulit, seperti misalnya pada varietas baru; (5) perawatan alsintan pada awal adopsi alsintan baru,
mungkin belum tersedia bengkel; (6) kemungkinan petani menderita kerugian pada awal adopsi teknologi. Perioda ”pembelajaran” dan ”adaptasi kultural teknologi” ini memerlukan waktu 1-3 tahun, sampai petani merasa terbiasa dan memahami benar teknologi baru.
Perioda pembelajaran tersebut merupkan masa kritis dalam proses adopsi teknologi, dimana pendampingan dan insentif dari Pemerintah sangat diperlukan. Diseminasi dan alih
teknologi tidak bisa hanya dilakukan dalam satu musim tanam, kemudian ditinggalkan. Tanpa melalui perioda pembelajaran teknologi, petani kemungkinan besar akan kembali kepada teknologi lama.
Pemicu dan Insentif Adopsi Teknologi
Adopsi teknologi bagi petani selalu dikaitkan dengan perhitungan rugi laba usahataninya. Tidak ada artinya teknologi meningkatkan produktivitas, apabila usahatani menderita kerugian karena produk panen harga jualnya rendah. Oleh karena itu pemicu
adopsi teknologi yang paling kuat adalah ketersediaan pasar bagi produk hasil panen dengan harga yang baik. Teknologi baru diharapkan dapat memperbaiki mutu produk panen
sehingga harga jualnya meningkat atau paling tidak teknologi baru tidak berpengaruh negatif terhadap mutu produk.
Faktor pemicu adopsi teknologi baru bagi petani selengkapnya meliputi hal-hal
berikut :
(1). Ketersediaan pembeli produk panen atau pasar.
(2). Harga jual produk panen tinggi, sehingga menghasilkan pendapatan dan keuntungan yang tinggi.
(3). Produk panen berkualitas tinggi, tidak mudah rusak, daya simpan lama, disenangi
konsumen.
(4). Teknologi memberikan stabilitas hasil yang tinggi , resiko gagal panen kecil, ada kepastian hasil panen.
(5). Adopsi dan penerapan teknologi tidak terlalu sulit dan tidak merepotkan petani.
16
(6). Teknologi tidak memerlukan penambahan modal yang besar, dan masih dapat disediakan oleh petani.
(7). Teknologi mendatangkan nilai tambah produk panen.
(8). Teknologi berdampak terhadap kemajuan usahatani.
Ke delapan faktor pemicu adopsi teknologi ini tidak dapat dipisahkan dari 15 persyaratan kelayakan teknologi yang telah dibahas di bab sebelumnya.
Pemerintah dapat memberikan dorongan dan insentif kepada petani, agar petani
bersedia mengadopsi teknologi baru, terutama apabila adopsi teknologi baru tersebut dikaitkan dengan program pemerintah. Berbagai insentif yang dapat memberikan dorongan petani untuk mengadopsi teknologi antara lain adalah :
(1). Ketersediaan kredit usahatani terkait dengan adopsi teknologi baru.
(2). Pemberian subsidi harga sarana terkait dengan teknologi baru.
(3). Disediakan pengurangan pajak terhadap petani yang mengadopsi teknologi.
(4). Dibangunkan fasilitas transportasi hasil panen dan pasar produk panen.
(5). Kontrak produksi dengan harga jual yang baik.
(6). Terdapat industri pengolahan di lokasi produksi dengan harga pembelian bahan baku yang layak.
(7). Prospek usaha berkelanjutan, jangka panjang.
(8). Petani mendapatkan manfaat dari teknologi secara langsung.
(9). Berdampak terhadap pencitraan yang baik kepada petani seperti :”petani maju”; petani
pelopor; dan sebagainya.
Faktor pemicu dan insentif adopsi sifatnya hanyalah tambahan persyaratan kelayakan
teknologi. Secara singkat kelayakan teknologi dipersyaratkan memenuhi 4-layak, yaitu : (a) layak ekonomis; (b) layak teknis-ergonomis; (c) layak lingkungan; dan (d) layak sosial budaya masyarakat sekitar.
PENYEDIAAN TEKNOLOGI BERDASARKAN “PARTICIPATORY MARKET CHAIN
APPROACH” (PMCA)
Istilah dalam bahasa Indonseia untuk PMCA adalah “Pendekatan Rantai Pasar secara Partisipatif” (PRPP). Pada metode ini yang menjadi acuan penyediaan teknologi adalah peluang pasar atau permintaan pasar. Oleh karena itu penyediaan teknologi ini lebih bersifat
“market driven technology”, teknologi yang didorong oleh permintaan pasar, atau “teknologi guna menghasilkan produk yang diminta oleh pasar”.
Nuansa bisnis dalam PRPP sangat menonjol, sehingga identifikasi teknologi berdasarkan PRPP sangat sesuai bagi usaha pertanian komersial, atau agribisnis. Dengan metode PRPP, pertanyaan yang perlu diajukan adalah berpangkal pada analisis kekuatan
pasar :
(1). Produk apa yang memiliki pasar cukup kuat dan besar.
(2). Bagaimana pola permintaan konsumen dalam setahun.
17
(3). Seberapa besar peluang perluasan pasar di tempat lain, secara nasional dan ekspor.
(4). Bagaimana persaingan produk di pasar yang telah ada.
(5). Siapa atau kelompok mana target pasar yang dituju ?
(6). Dapatkah disediakan produk yang lebih baik, lebih bermutu dengan harga yang
kompetitif ?
(7). Berapa kapasitas penjenuhan pasar lokal, regional, nasional.
(8). Seberapa kelayakan ekonomis usaha produksi .
(9). Sesuaikah agroekologi untuk usaha produksi.
(10). Tersediakah teknologi untuk memproduksi produk secara ekonomis.
Semua pertanyaan tersebut walaupun terlihat sangat wajar dan sederhana, tetapi sangat
sukar untuk menjawabnya secara tepat dan benar. Namun setidak-tidaknya PRPP dapat memberikan pedoman awal bahwa teknologi yang akan diaposi adalah untuk memenuhi
barang (produk) yang diperlukan pasar, sehingga tersedia jaminan pasar bagi aplikasi teknologi.
Diseminasi teknologi berdasarkan ”Pendekatan Rantai Pasar secara
Partisipatif” adalah alih teknologi yang bertolak dari kebutuhan dan peluang pasar atas produk yang dihasilkan oleh penerapan teknologi yang dimaksud,
yang dilakukan bersama secara partisipatif antara petani-penyuluh-pengkaji/peneliti.
PRPP sebagai konsep-teori, terlihat lebih mudah mengatakannya dibandingkan
mempraktekkannya, sebagai strategi usaha. Setiap pelaku usaha bisnis pada awalnya memulai usaha didasari pertanyaan mendasar : ” Barang apa yang akan laku dijual di pasar
? ” Namun terhadap pertanyaan yang sama ini oleh masing-masing pelaku bisnis dijawab dengan jawaban yang berbeda-beda, yang menjadikan pasar sebagai tempat penjualan berbagai macam dan segala macam kebutuhan barang bagi manusia. Sudah barang tentu
pasar bukan harus berarti ”pasar tempat orang berjualan dan berbelanja”, tetapi termasuk seluruh ruang yang memungkinkan orang-orang melakukan transaksi penjualan-pembelian barang.
Uraian tentang PRPP tidak akan diberikan secara naratif, cukup sebagai ”pointers”, agar dapat dijabarkan dan diperluas oleh pengguna secara adaptif sesuai dengan kondisi
masyarakat setempat.
Secara bagan alur metode PRPP tergambar pada Bagan 3, dan penjelasan garis besar pada enam slide berikutnya. Penerapannya secara persis seperti pada pedoman PRPP
mungkin sulit, tetapi PRPP dapat menjadi acuan ideal dalam menyediakan teknologi bagi petani, yaitu ”teknologi untuk menyediakan barang yang diminta oleh pasar”.
18
1. Peneliti / Pengkaji
2. Penyuluh
3. Petani
Pemahaman
potensi pasar
produk-produk
primer dan
olahan
Identifikasi
produk
pilihan
prospektif
Pencarian
teknologi
produksi dan
pengolahan
ADOPSI
TEKNOLOGI
BARU
BPTP, BALIT,
SWASTA
Pilot Produk
Primer atau
Olahan
[2 ; 3 ; 1] [2 ; 3 ; 1] [1 ; 2 ; 3]
[1 ; 2]
[2 ; 3 ; 1]
Bagan 3. Adopsi Teknologi Mendasarkan PRPP/PMCA
Pilot Pemasaran
Pengembangan Pasar
KARAKTERISTIK PRPP
• Potensi dan peluang pasar sebagai acuan penyediaan teknologi.
• Pengkajian bertolak dari kebutuhan penyediaan produk yang
diminta pasar.
• Pengkajian part isipatif mencakup teknologi produksi,
pengolahan dan pemasaran.
• Pengembangan Model / Pilot Proyek : Produksi + pemasaran
produksi dari aplikasi teknologi.
• Mendorong inovasi teknologi berasal dari proses part isipatif .
• Belajar bersama proses produksi + pemasaran.
• Memastikan inovasi teknologi + komersialisasi produk dapat
berjalan lancar.
19
TAHAPAN PRPP
• Pemahaman kebutuhan dan peluang pasar.
• Identifikasi produk yang dapat dipasarkan.
• Pemilihan produk yang menjadi minat petani.
• Analisa SWOT produk, pasar.
• Analisis potensi pasar.
• Pertukaran ide antar Petani-Penyuluh, Peneliti.
• Pilihan bentuk produk, primer atau olahan.
• Studi kelayakan ekonomi produk.
• Penetapan produk pilihan.
TAHAP I : SURVEI PASAR
Tahapan I : Survei pasar, Identifikasi produk.
Tahapan II : Pencarian teknologi.
Tahapan III : Implementasi teknologi, Produksi, Pemasaran
PESERTA :
• Petani produsen, Pengusaha prosesing.
• Penyuluh pertanian.
• Pelaku pemasaran sebagai Nara Sumber.
• Pengkaji.
20
TAHAP II : PENCARIAN TEKNOLOGI
• Konsultasi Teknologi Produksi, danPengolahan..
• Proses Pembelajaran, Transfer Teknologi.
• Uji teknologi tersedia (adaptasi praktis).
• Penetapan pilihan teknologi.
• Perencanaan produksi, pengolahan.
• Pemantauan target pasar dan konsumen.
• Pembentukan Perusahaan; Badan Usaha; Koperasi Usaha.
• Pembentukan Modal Usaha.
TAHAP III : IMPLEMENTASI
• Pembuatan Pilot Proyek Produksi / Pengolahan.
• Standarisasi Mutu Produk, Kemasan.
• Identifikasi Produk, Merek, Paten.
• Ijin Produk / Ijin Usaha.
• Pilot Pemasaran.
• Perluasan Pasar.
• Perbaikan Mutu Produk.
21
Proses Keterlibatan Pengkaji-Penyuluh Dalam
PRPP
Pilot Proyek
Produksi, Produk
baru, Teknologi
Adoptif, Target
Pasar, Pemasaran
Produk.
III
Identifikasi
Teknologi
Pembelajaran,
Transfer Teknologi,
Pilihan Teknologi,
Perencanaan
Produksi.
II
Mengenal peluang
pasar, distribusi,
harga, kualitas,
masalah, analisa
pemasaran, kelayakan produk.
I
PENGKAJI PETANI
KETERLIBATAN TUJUAN UTAMA TAHAP
MEMBANGUN
KEPERCAYAAN
KOLABORASI
MANDIRI
FASILITASI
PENDUKUNGAN
NARA SUMBER
22
PENUTUP
Petani sebagai pengusaha produksi hasil pertanian selalu mendambakan teknologi yang dapat memajukan usahanya. Namun tidak setiap teknologi dapat diadopsi oleh petani., apabila tidak mendatangkan keuntungan. Teknologi yang memiliki aplikasi ekonomis
bagi penggunanya disebut sebagai teknologi adaptif komersial; namun teknologi ini pun harus memenuhi berbagai persyaratan uji kelayakan dan kemanfaatan. Petani sebagai
target diseminasi teknologi memiliki penilaian dan minat yang berbeda-beda terhadap teknologi yang ditawarkan. Penolakan terhadap teknologi baru oleh (segolongan) petani harus dinilai sebagai hal yang wajar. Petani sering merasa lebih nyaman dengan teknologi
adaptif yang telah disesuaikan dengan kebutuhan lahannya dan sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi usahanya. Alih teknologi bagi petani dinilai sebagai proses penawaran produk yang harus dibeli oleh petani. Oleh karena itu harus terdapat kesejajaran posisi dan
status antara berbagai pihak yang terlibat dalam alih teknologi. Seperti yang dikemukakan oleh Rogers (1983) bahwa ”Diseminasi teknologi merupakan proses timbal balik, dimana
para pelaku menyediakan dan menerima informasi dan teknoogi secara dua arah, sehingga diperoleh kesepahaman dan kesepakatan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses diseminasi teknologi”.
23
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Norma Budidaya yang benar, untuk Tanaman Buah. Direktorat Jenderal Produksi Hortikultura, Deptan. Jakarta.
Anonim. 2004. Panduan Budidaya yang benar, Tanaman Buah. Direktorat Jenderal Produksi Hortikultura, Deptan. Jakarta.
Bachrein, S. dan A. Gozali. 2006. Pengkajian Pengembangan Pengelolaan Sumberdaya dan
Tanaman Terpadu (PTT) padi di lahan sawah berpengairan. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol 9 (2) : 174-183. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.
Cornwall, A., I. Guijt, and A. Welbourn. 1994. Acknowledging process : Methodological Challenges for Agricultural Research and Extensiion. p : 98-117. In : Ian Scoones
and John Thompson (eds.) : Beyond Farmer First. Interme Technology Publication. Int. Ist. for Env. and Dev., London, UK.
Scoones, I. and J. Thompson. 1994. Knowledge, power and agriculture, towards a theoritical understanding. p. 16-32. Dalam : Ian Scoones and John Thompson (eds.) : Beyond
Farmer First. Intermediate Technology Publication. Int. Inst. for Env. and Dev., London, UK
Rogers, E. M. 1983. Diffusion of Innovations. Third Edition, The Free Press. New York. Makarim, A. K., E. Suhartatik, dan A. M. Fagi. 2008. Analisis Sistem dan Simulasi untuk
Peningkatan Produksi Padi melalui Penggunaan Teknologi Spesifik Lokasi. p. 388-409. Dalam : Suyamto, IN. Widiarta, dan Satoto (eds.). Padi, Inovasi Teknologi dan
Ketahanan Pangan. Buku I. BB. Penelitian Tanaman Padi, Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Sumarno. 2006. Good Agriculture Practices : Perlukah diterapkan pada sistem produksi tanaman pangan ? Risalah Seminar Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. p.1-18. Dalam : A. Widjono, S. Bachrein, Hermanto, dan Sunihardi (eds.). Puslitbangtan, Bogor.
Sumarno. 2007. Pengelolaan Teknologi Hasil Penelitian untuk Mendukung Pembangunan Pertanian. p. 141-154. Dalam : F. Kasryno, E. Pasandaran dan A. M. Fagi. (eds.) :
Membangun Kemampuan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
1
MODEL PEMBERDAYAAN PETANI GUNA MENUMBUHKAN AGRIBISNIS PEDESAAN 1)
Hari Prasetyo 2)
Indonesia memiliki potensi agribisnis yang sangat besar,
beragam dan tersebar di seluruh wilayah. Namun sayangnya potensi
tersebut belum dapat dikembangkan secara maksimal sehingga upaya
menjadikan sektor agribisnis menjadi tulang-punggung perekonomian
belum sepenuhnya dapat terwujud. Berbagai upaya untuk
meningkatkan produksi berbagai komoditas agribisnis memang telah
dilakukan, namun hasilnya tidak jarang menjadi bumerang yang
menyakitkan petani. Keberhasilan dalam bentuk peningkatan produksi
hanya mampu “menyenangkan” petani ketika berada di sawah/lahan
saja, tetapi ketika petani kita mengangkut hasil produksinya ke pasar
harus menghadapi kenyataan pahit berupa “ anjloknya” harga.
Jangankan untuk bermimpi mendapatkan “margin” yang wajar,
mencapai titik impas saja sudah merupakan hal sulit untuk dicapai.
Akhirnya, pasar menjadi sesuatu sangat tidak bersahabat bagi petani.
Proses “kanibalisme” aktivitas pemasaran terhadap aktivitas produksi di
satu sisi menyebabkan petani tidak bergairah dalam menjalani
profesinya. Hal ini menyebabkan kuantitas dan kualitas produksi yang
dihasilkan menjadi rendah. Di sisi lain, proses kanibalisme tersebut
berpengaruh kepada terhambatnya pertumbuhan ekonomi wilayah
pedesaan dimana mayoritas komunitas petani bertempat-tinggal,
meskipun sebenarnya memiliki berbagai potensi dan komoditas
agribisnis unggulan.
1) Makalah seminar sehari : Dukungan Inovasi Teknologi dan kelembagaan dalam upaya
pemberdayaan petani, 16 Juli 2008 di KP Mojosari Mojokerto
2) Staff Pengajar Politeknik Jember dan Team Leader Progran Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan Wilayah XVI Jawa Timur
2
Tidak atau belum berkembangnya sektor pertanian dan wilayah
pedesaan mengantarkan kita kepada kondisi yang semakin
mengkhawatirkan dimana dijumpai fenomena enggannya para generasi
muda pedesaan untuk melanjutkan profesi sebagai petani.
PEMBERDAYAAN – AGRIBISNIS
Pemberdayaan merupakan terjemahan kata “Empowerment” yang
mengandung pengertian (1) to give power to – memberi kekuasaan,
mengalihkan kekuasaan atau mendelegasikan kekuasaan pada pihak
lain, (2) to give ability, enable – usaha untuk memberi kemampuan (Sri
Nuryanti, 2005). Ditinjau dari tujuannya, pemberdayaan harus mampu
meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau kurang
beruntung (Ife, 1995). Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana
rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai
atau berkuasa atas kehidupannya (Rappaport, 1984). Pemberdayaan
menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan,
dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan
kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et al.,
1994).
Suharto (2003) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah
sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah
serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan
kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagi tujuan, maka
pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai
oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya,
memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi,
maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu
menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi
dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas
kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali
3
digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai
sebuah proses.
Banyak pendapat tentang batasan dan ruang lingkup agribisnis,
tergantung pada unit dan tujuan analisis. Secara tradisional, oleh Biere
(1988) agribisnis diartikan sebagai aktivitas-aktivitas di luar pintu
gerbang usahatani (beyond the farm gate, off-farm) yang meliputi
kegiatan industri dan perdagangan sarana produksi usahatani, kegiatan
industri yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan
beserta perdagangannya, dan kegiatan yang menyediakan jasa yang
dibutuhkan seperti misalnya perbankan, angkutan, asuransi atau
penyimpanan.
Adanya perubahan-perubahan dalam struktur produksi pertanian
dan semakin meningkatnya kebutuhan koordinasi baik secara horizontal
maupun vertikal dalam sektor agribisnis dipandang perlu untuk
memperluas definisi tradisional di atas. Definisi yang lebih lengkap
mengenai agribisnis diberikan oleh pencetus awal istilah agribisnis yaitu
Davis dan Goldberg (1957) sebagai berikut: “Agribusiness is the sum
total of all operations involved in the manufacture and distribution of
farm supplies; production activities on the farm; and storage,
processing and distribution of commodities and items made from them“.
Agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri atas subsistem
hulu, usahatani, hilir, dan penunjang. Menurut Saragih dalam Pasaribu
(1999), batasan agribisnis adalah sistem yang utuh dan saling terkait di
antara seluruh kegiatan ekonomi (yaitu subsistem agribisnis hulu,
subsistem agribisnis budidaya, subsistem agribisnis hilir, susbistem jasa
penunjang agribisnis) yang terkait langsung dengan pertanian.
Agribisnis diartikan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari unsur-
unsur kegiatan : (1) pra-panen, (2) panen, (3) pasca-panen dan (4)
pemasaran. Sebagai sebuah sistem, kegiatan agribisnis tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya, saling menyatu dan saling terkait.
Terputusnya salah satu bagian akan menyebabkan timpangnya sistem
4
tersebut. Sedangkan kegiatan agribisnis melingkupi sektor pertanian,
termasuk perikanan dan kehutanan, serta bagian dari sektor industri.
Sektor pertanian dan perpaduan antara kedua sektor inilah yang akan
menciptakan pertumbuhan ekonomi yang baik secara nasional
(Sumodiningrat, 2000).
Dalam konteks sistem agribisnis, setidaknya terdapat tiga sub-
sistem yang saling terkait yaitu (1) sub-sistem on-farm (budidaya); (3)
sub-sistem off-farm (hulu : penyedia input produksi dan hilir :
pengolahan dan pemasaran hasil) dan (3) sub-sistem penunjang-
supporting service sub-system, seperti pendidikan, latihan dan
penyuluhan, penelitian dan pengembangan, permodalan dan asuransi,
advokasi serta ketersediaan aspek legal peraturan yang mendukung.
Konsep pemberdayaan petani dengan penerapan agribisnis dalam
pendekatan usaha taninya, sebenarnya bukanlah hal yang baru.
Namun untuk mengatakan bahwa petani saat ini telah berstatus
berdaya dan terjadi peningkatan kesejahteraan secara signifikan sulit
untuk diterima para pihak. Petani lebih berjaya hanya pada tingkat
sebagai produsen pertanian (sub-sistem budidaya), tetapi pada tataran
sub-sistem off-farm dan sub-sistem penunjang masih relatif lemah.
Oleh karena itu, dapat dimengerti bila dikatakan bahwa tingkat
keuntungan kegiatan agribisnis selama ini lebih banyak dinikmati oleh
para pedagang dan pelaku agribisnis lainnya di bagian hilir
(Sumodiningrat, 2000).
MODEL PEMBERDAYAAN PETANI
Program pemerintah dalam melakukan Revitalisasi pembangunan
pertanian seperti yang telah dicanangkan oleh Presiden tanggal 11 Juni
2005, memiliki tantangan yang cukup berat, diantaranya adalah
kualitas, kemampuan, dan kesejahteraan sumberdaya manusia petani
yang masih rendah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya petani dengan model-model
5
pendekatan usahatani seperti Corporate farming, Kelompok Usaha
Agribisnis Terpadu (KUAT), Cooperative farming dan sebagainya.
Model-model usahatani tersebut dikembangkan dengan gagasan
dasar konsolidasi lahan sehingga memenuhi aspek skala ekonomis dan
konsolidasi manajemen sehingga memiliki karakteristik manajemen
modern-berorientasi pasar serta konsolidasi petani dalam bentuk
kelompok sehingga memiliki posisi rebut-tawar (bargaining power),
bahkan mampu berkembang menjadi kekuatan penyeimbang
(countervailing power) dari berbagai ketidakadilan pasar yang dihadapi
petani.
Perbedaan Model Usahatani
KRITERIA KUAT Corporate
Farming
Cooperative
Farming
1. Konsolidasi Lahan Tidak ada Ada Tidak ada
2. Pengelolaan lahan &
Air irigasi Korporasi Korporasi Semi Korporasi
3. Pengelolaan tenaga kerja
Semi Korporasi Korporasi Semi Korporasi
4. Pengelolaan tanam
dan teknologi
budidaya
Semi Korporasi Korporasi Semi Korporasi
5. Pengelolaan Saprodi
dan alsintan Semi Korporasi Korporasi Semi Korporasi
Sumber : Disperta Jatim, 2004 dalam Sri Nuryanti (2005)
Terdapat tiga aspek yang perlu dilihat dalam setiap mata rantai
kegiatan usahatani, yaitu petani sebagai subyek/pelaku, aktivitas
budidaya sehingga dihasilkan produk pertanian dengan kualitas dan
produktivitas tinggi dan aspek pasca budidaya (pasca-panen dan
pemasaran). Peningkatan kapasitas petani harus diposisikan sebagai
lokus dari kegiatan agribisnis, khususnya di pedesaan. Petani yang
memiliki kapasitas akan melakukan aktivitas budidaya dengan baik
sehingga mampu menghasilkan produk pertanian berkualitas dan
6
Kesadaran Kritis Kelompok
Proses Dinamika Kelompok
Model
Agribisnis
produktifitas tinggi, mampu menerapkan pasca-panen dan pemasaran
yang baik, menjadi petani merupakan pilihan profesi utama.
Sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan, dimana
paradigma saat ini adalah paradigma pembangunan manusia. Dalam
paradigma ini “manusia (baca=petani) “ sebagai pusat sekaligus subyek
pembangunan. Artinya, kita bangun petaninya sehingga mampu
menghasilkan produk pertanian yang unggul. Kita bangun petaninya
sehingga mampu mengakses sumberdaya luar (modal, peluang pasar,
saprodi dll), kita bangun manusianya sehingga mampu menjalin
kerjasama/kemitraan dengan pihak luar dalam posisi yang setara,
sinergi dan saling kebergantungan.
Tumbuh-kembangnya “kesadaran kritis” petani menjadi output
dari setiap upaya pemberdayaan petani. Kesadaran kritis akan
menjadikan petani lebih mandiri dan bertanggungjawab atas segala
keputusan yang diambil seperti keputusan untuk menerapkan rakitan
teknologi dalam usahataninya, keputusan untuk menjalin kemitraan
dengan pihak luar, keputusan atas rencana usahataninya dan
sebagainya, keputusan untuk menjadi bagian/anggota dari kelompok
taninya dan seterusnya.
Petani Kelompok
Proses penyiapan petani dalam penerapan model agribisnis
7
PETANI
KELOMPOK
TANI
MODEL USAHA
TANI
RKP
CSS
RK
FGD
RKK
CSS
RK
FGD
FASILITATOR
FASILITATOR
Model Pemberdayaan Petani dan Kelompok Tani
Keterangan :
RKP/K = Rembug kesiapan petani/kelompok
FGD = Diskusi kelompok terarah
CSS = Community self survey
RK = Rencana Kerja
Melalui model pemberdayaan ini, diharapkan akan tumbuh
kesadaran kritis petani/kelompok tani terhadap model usahatani yang
ditawarkan atau diinisiasi sendiri sehingga lebih menjamin keberhasilan
implementasinya karena keterlibatan/partisipasi aktif mereka
didasarkan kesadaran kritis.
8
PENUTUP
Banyak model-model usahatani yang telah ditawarkan kepada
petani/kelompok tani, tetapi tidak sedikit penerapan model tersebut
memiliki keberhasilan yang rendah. Salah satu faktor penyebabnya
adalah keterlibatan petani kurang maksimal karena belum
terbangunnya kesadaran kritis ketika mereka terlibat dalam kegiatan
penerapan model. Oleh karena itu, penyiapan petani/kelompok tani
sebelum penerapan model menjadi hal yang sangat menentukan tingkat
keberhasilan, disamping dukungan ekternal seperti perbankan, swasta,
perguruan tinggi, pemerintah dan sebagainya.
Daftar Rujukan :
Feryanto W Karo-Karo. 2007. Pemberdayaan dan Peningkatan Posisi
Tawar Petani. Makalah Penyuluhan Agribisnis Terpadu “Go Tani
Ponggang 2007” Kuliah Kerja Profesi (KKP) IPB, Balai Desa Ponggang,
Kabupaten Subang. Senin, 23 Juli 2007
Suharto, E (2003) Pendampingan Sosial Dalam Pemberdayaan
Masyarakat Miskin: Konsepsi Dan Strategi. (On line), 11 Juli 2008
Sri Nuryanti, 2005. Pemberdayaan Petani dengan Model Cooperative
Farming. Analisis Kebijakan Pertanian Vol. 3 No.2, Juni 2005
Slamet Widodo, 2008. Pengembangan Potensi Agribisnis dalam Upaya
Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren, (Onl ine, 14 Juli
2008)
PENGARUH GUM XANTHAN SEBAGAI PENGENDALI STRUKTUR DALAM PEMBUATAN ROTI MANIS DARI BAHAN BAKU CAMPURAN
TEPUNG TERIGU DAN TEPUNG JAGUNG **)
Sukamto*)
RINGKASAN
Roti yang berbahan baku non terigu pada umumnya lebih padat dan berat karena kecilnya gluten yang terdapat dalam tepung. Penurunan jumlah gluten dalam tepung campuran sangat mempengaruhi mutu roti yang dihasilkan karen matriks tidak mampu mengikat gelembung-gelembung gas, sehingga adonan tidak dapat mengembang dengan baik. Salah satu upaya untuk mensubstitusikan gluten dalam campuran terigu adalah dengan menambahkan gum xanthan sebagai binding agent antara protein gandum dan jagung. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh penggunaan gum xanthan pada bahan campuran tepung terigu dengan tepung jagung dalam pembuatan roti terhadap perubahan struktur dan tekstur roti manis.
Metode penelitian adalah eksperimen yang menggunakan adalah Rancangan Acak Kelompok pola faktorial 3X3 yang diulang 3 kali. Faktor pertama adalah proporsi tepung campuran antara tepung terigu dan tepung jagung.terdiri dari 65% Tepung terigu : 35% Tepung jagung ; 55% Tepung terigu : 45% Tepung jagung; 40% Tepung terigu : 60% Tepung jagung). Faktor kedua adalah prosentase penambahan gum xanthan terdiri dari 0,50%; 0,75 % dan 0,90 %. Pengamatan meliputi tekstur, pengembangan volume dan uji organoleptik dengan skala hedonic terhadap rasa, aroma dan warna.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan campuran tepung proporsi tepung terigu 65 % dan tepung jagung 35 %, dengan binding agent gum xanthan 0,5 % memberikan hasil tebaik dengan pengembangan volume 39,74 cm3, tekStur 23,723 g/mm2, dengan nilai rasa 6,38, warna 5,5, aroma 6,63. Namun demikian tekstur yang dihasilkan masih kurang elastis dan cenderung lebih keras dibandingkan kelompok yang menggunakan tepung terigu 100 %.
Kata kunci : gum xanthan, struktur roti tepung terigu tepung jagung
*) Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Univ. Widyagama Malang **) Disampaikan dalam Seminar Nasional Sehari “ Dukungan Inovasi Teknologi dan Kelembagaan dalam Upaya Pemberdayaan Petani.
B. PENDAHULUAN Tepung terigu adalah bahan yang paling banyak digunakan dalam pembuatan
roti dibandingkan dari berbagai jenis tepung yang lain. Bahkan penggunaan tepung
terigu ini diperkirakan menduduki posisi teratas bahan pangan non beras di Indonesia.
Hal ini disebabkan kandungan gluten pada terigu sehingga dapat memberi penampilan
yang baik pada roti (Manley, 1983).
Indonesia memiliki sejumlah tepung yang berpotensi untuk dikembangkan.
seperti ubi-ubian, sagu, jagung, padi dan sorgum. Pembuatan roti dari campuran
tepung, yakni tepung terigu dan non terigu dapat berpengaruh pada struktur dan tekstur
roti yang dihasilkan. Masalah pokok dalam pembuatan roti seperti ini adalah upaya
mempertahankan gas yang terbentuk dalam pembuatan roti. Kemampuan adonan roti
untuk mempertahankan gas menurun karena terjadi penurunan kadar gluten. Roti yang
berbahan baku non terigu pada umumnya lebih padat dan berat karena kecilnya gluten
yang terdapat dalam tepung non terigu. Tepung jagung mempunyai protein yang cukup
tinggi, namun kandungan gluten rendah. Penurunan jumlah gluten dalam campuran
terigu sangat mempengaruhi mutu roti yang dihasilkan. Biji jagung mengandung sekitar
71-73 % karbohidrat yang terdiri dari pati, sebagian kecil gula dan serat kasar. Mutu
protein jagung memiliki beberapa kelemahan terutama dalam hal kekurangan asam
amino lisin, triptofan dan isoleusin.
Apabila tepung terigu dilakukan penambahan dengan tepung jagung maka
gluten yang dihasilkan dari tepung jagung sedikit, maka akan menghasilkan matriks
yang tidak mampu mengikat gelembung-gelembung gas yang dihasilkan, sehingga
adonan tidak dapat mengembang dengan baik. Salah satu upaya adalah
mensubstitusikan gum xanthan dalam tepung campuran untuk menahan gas yang
terbentuk.
Gum xanthan merupakan polisakarida ekstraseluler yang diproduksi oleh
Xanthomonas campestris. Struktur kimia gum xanthan mempunyai rantai utama dengan
ikatan ß(1,4) D-Glukosa, yang menyerupai struktur selulosa. Rantai cabang terdiri dari
mannosa asetat, mannosa dan asam glukoronat (Chaplin, 2003). Gum xanthan
merupakan biopolymer yang hidrofilik yang dapat larut dalam air dingin maupun air
panas, tetapi tidak larut dalam kebanyakan pelarut organik. Pada konsentrasi rendah
larutan gum xanthan menunjukkan viskositas yang tinggi dibandingkan dengan
polisakarida hidrokoloid lainnya seperti CMC, guar gum, alginate, disamping itu gum
xanthan lebih pseudoplastic sehingga lebih menambah kualitas sensoris ( flavour
release, mouth fell) pada produk akhir ( Anonymous, 2006 ).
Interaksi kimia merupakan salah satu metode yang diharapkan dapat
mengembangkan sifat fungsional protein dalam pengolahan pangan ( El-adawy, 2000).
Penambahan gum xanthan diduga dapat menghasilkan matriks yang seimbang
dengan jumlah gas yang dihasilkan dan dapat meningkatkan kemampuan untuk
menahan gas yang dihasilkan selama proses fermentasi maupun pengadukan. Roti
yang dihasilkan diharapkan memiliki kestabilan, penampakan elastis dan sifat mutu yang
diinginkan. Gimeno, et al. (2004) menyatakan bahwa jumlah gum xanthan yang
ditambahkan relatif sedikit dalam protein sudah mampu merubah sifat fungsional
protein, sehingga dari aspek ekonomi tidak berpengaruh nyata terhadap biaya yang
diperlukan.
Gum xanthan memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam penyediaan
serat terlarut (soluble fiber) (Kuntz, 1999). Penambahan gum xanthan dalam formula
produk pangan disamping untuk meningkatkan sifat fungsional juga untuk sumber serat
terlarut. Jumlah serat terlarut dari berbagai jenis gum rata-rata diatas 75 % ( Wade,
2005). Gum xanthan termasuk salah satu tipe serat terlarut (soluble fiber) sehingga
mempunyai sifat dapat membentuk gel jika bercampur dengan cairan (liquid),
merupakan bagian penting dari makanan yang menyehatkan sebab kedua serat
tersebut membantu fungsi saluran pencernaan dan membantu keteraturan aliran
makanan.
TUJUAN PENELITIAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan gum
xanthan pada bahan campuran tepung terigu dengan tepung jagung dalam
pembuatan roti terhadap kualitas roti manis yang dihasilkan. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat dimanfaatkan untuk (1). Mengurangi ketergantungan terhadp
gandum yang selama ini masih import. (2) Memanfaatkan jagung agar lebih
dapat didayagunakan kedalam berbagai bentuk produk olahan kususnya roti. (3).
Secara tidak langsung dapat meningkatkan nilai ekonomis jagung sehingga akan
berdampak pada kesejahteraan petani.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilakukan di laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Widyagama Malang.
Bahan dasar penelitian
Bahan yang dipakai adalah tepung terigu Cakra Kembar , tepung jagung, gum
xanthan, gula merk Gulaku, garam beryodium, telur ayam, ragi Saf instant yeast dan
susu bubuk skim merk lokal.
Pelaksanan Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok,
Faktor perlakuan ada dua faktor yaitu faktor pertama adalah proporsi tepung campuran
antara tepung terigu dan tepung jagung. Faktor kedua adalah prosentase penambahan
gum xanthan. Percobaan disusun secara faktorial dan diulang tiga kali.
Faktor 1 : Proporsi Tepung Campuran dengan sandi P tediri atas 3 taraf yaitu:
P1 = 65% Tepung terigu : 35% Tepung jagung
P2 = 55% Tepung terigu : 45% Tepung jagung
P3 = 40% Tepung terigu : 60% Tepung jagung
Faktor II : Penambahan Gum xanthan dengan sandi K terdiri dari 3 taraf yaitu:
K1 = 0.50% ( prosentase dari berat tepung campuran)
K2 = 0,75% ( prosentase dari berat tepung campuran)
K3 = 0,90% ( prosentase dari berat tepung campuran).
Prosedur peenelitian roti dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Tepung campuran dan gum xanthan
Menimbang tepung campuran 200 gram dan gum xanthan sesuai dengan
perlakuan. Untuk mempermudah proses adonan dilakukan pengayakan terlebih
(±40 gram), garam 2,4 gram, instant yeast 4 gram dan air 100 ml dengan
menggunakan mixer selama ±7 menit dengan kecepatan rendah. Setelah itu
melakukan pencampuran dengan tepung dan gum xanthan dengan mixer
selama ± 5 menit dengan kecepatan tinggi.
c. Pengadukan
Melakukan pengadukan dilakukan dengan tangan dan dilakukan penambahan
sedikit tepung terigu agar adonan kalis. Proses pengadukan erat kaitannya
dengan pembentukan gluten, sehingga adonan siap menerima gas CO2 dari
aktivitas fermentasi. Prinsipnya proses pengadukan ini adalah pemukulan dan
penarikan gluten sehingga struktur spiralnya akan berubah menjadi sejajar satu
dengan lainnya.
d. Adonan
Jika gluten terbentuk, maka permukaan adonan akan mengkilat dan tidak lengket
serta adonan akan mengembang pada titik optimum dimana gluten dapat ditarik
atau dikerutkan. Adonan ini dibentuk persegi panjang dengan ketebalan 3 cm.
e. Fermentasi
Selama fermentasi protein tepung gluten menjadi lebih dewasa dan elastis serta
dapat menahan karbondioksida yang terbentuk perlahan-lahan oleh khamir.
f. Pemanggangan
Proses pemanggangan adonan merupakan tahap akhir dari penelitian roti,
dilakukan pada suhu 160ºC selama 20 menit. Melalui proses ini adonan roti
diubah menjadi produk yang ringan dan berongga, mudah dicerna dan timbul
aroma.
Pengamatan meliputi tekstur, pengembangan volume, dan uji organoleptik dengan
skala hedonic dari sangat suka (nilai 8) sampai sangat tidak suka (nilai 1), terhadap
rasa, aroma dan warna. Alur penelitian disusun seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Digram Alir Penelitian Roti dari Tepung Campuran
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kadar Air
Hasil analisa terhadap kadar air diketahui bahwa rata-rata 24,840 % sampai
27,82 %. Berdasarkan analisis ragam diketahui bahwa proporsi tepung campuran
dengan binding agent gum xanthan sampai 0,9 % tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap kadar air yang dihasilkan. Hal ini diduga penyebaran air dalam adonan
merata walaupun kedua tipe protein gandum dan protein jagung berbeda. Pada saat
pemanggangan kemampuan air dalam menguap relative merata. Modeka dan Kokini
(1992) menjelaskan bahwa protein walaupun berupa komponen yang minor karena
jumlah sedikit dalam adonan namun dapat menjadi faktor penentu. Pengaruh protein
dalam pengembangan adalah mempengaruhi distribusi air dalam matrik dan kekakuan
Tepung Campuran
(sesuai perlakuan)
Pencampuran
Pengadukannn
Adonan ketebalan 3 cm, lebar 8 cm
Fermentasi; 2 jam
Pemanggangan 160ºC; 20 menit
ROTI
Gum Xanthan
(sesuai perlakuan)
Analisa : - Pengukuran volume dengan
metode seed displacement - Tekstur dengan alat perekam dan
tekanan tekstur FTC - Uji kadar air - Uji Organoleptik (rasa, aroma dan
warna) dengan skala hedonic
Air 100 ml, instant yeast 4 gr, gula 40 gr, garam 2,4 gr, mentega putih 20 gr , susu bubuk 40 gr, kuning telur 2
butir
rantai. Kontribusinya adalah untuk menembus jaringan extensive kovalen dan interaksi
non ikatan, yang mana faktor tersebut mempengaruhi sifat ekstensial matrik.
Pengembangan Volume
Pengamatan terhadap volume roti menunjukkan bahwa rata-rata pengembangan
volume 21,63 cm3 sampai 39,74 cm3. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh yang nyata pada perlakuan proporsi tepung dan konsentrasi gum xanthan
terhadap pengembangan volume. Namun demikian interaksi keduanya tidak
memberikan pengaruh yang nyata (p=0,05). Hasil pengamatan pengaruh proporsi
tepung campuran dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai rata-rata pengembangan volume roti manis pada proporsi tepung campuran yang berbeda
Perlakuan Rerata Peng. Volume (%)
Proporsi tepung terigu 40 % dengan tepung jagung 60 %
25,98 a
Proporsi tepung terigu 55 % dengan tepung jagung 45 %
34,22 b
Proporsi tepung terigu 65 % dengan tepung jagung 35 %
35,22 b
Keterangan : Rerata dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata berdasar uji BNT (P= 0,05)
Data pada tabel 1 menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan tepung
jagung menghasilkan volume roti yang semakin rendah. Diduga karakter protein tepung
jagung yang berinteraksi dengan protein tepung terigu membentuk struktur yang kurang
elastis, sehingga mempengaruhi elastisitas dan ekstensibilitas protein campuran kedua
tepung tersebut. Jika ditelusuri lebih lanjut peran dari gum xanthan sebagai binding
agent terlihat seperti data pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai rat-rata volume roti manis pada konsentrasi gum xanthan yang berbeda.
Perlakuan Rerata Peng. Volume (%)
Konsentrasi gum xanthan 0,90 % 26,22 a
Konsentrasi gum xanthan 0,75 % 33,97 b
Konsentrasi gum xanthan 0,50 % 35,22 b
Ketarangan : Rerata dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata berdasar uji BNT (P= 0,05) Tabel 2 memperlihatkan bahwa semakin tinggi gum xanthan menghasilkan
pengembangan volume yang makin rendah. Hal ini diduga bahwa kemampuan ionic
linked antara gum xanthan dengan protein gandum dan protein jagung sangat kecil
akibat rendahnya muatn protein dari kedua tepung tersebut. Kelebihan gum xanthan
diduga justru dapat menghambat pengembangan volume. (Gustaw, et al., 2002)
melaporkan bahwa penggunaan gum xanthan yang berlebihan akan menghambat
terjadinya interaksi antara protein dengan gum xanthan.
Tekstur
Rata-rata nilai tekstur hasil pengamatan dalam penelitian adalah 23,72 – 29,47
g/mm2 . Berdasarkan analisa ragam terhdap tekstur yang dihasilkan ternyata proporsi
tepung campuran dan gum xanthan memberikan pengaruh yang sangat nyata ( p=0.01).
Adapun interaksi dari keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata (P=0,05). Data
selengkapnya dapat dilihat sepeti pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai rata-rata tekstur roti manis pada proporsi tepung campuran yang berbeda.
Perlakuan Rerata tekstur g/mm2
Proporsi tepung terigu 40 % dengan tepung jagung 60 %
25,38 a
Proporsi tepung terigu 55 % dengan tepung jagung 45 %
27,82 b
Proporsi tepung terigu 65 % dengan tepung jagung 35 %
29,72 c
Keterangan : Rerata dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata berdasar uji BNT (P= 0,05)
Berdasarkan uji BNT Tabel 3 ternyata diketahui bahwa tekstur paling keras pada
proporsi tepung terigu 40 % dan tepung jagung 60 % dan paling lunak pada proporsi
tepung terigu 65 % dan tepung jagung 35 %. Semakin besar tepung terigu yang
digunakan cenderung memberikan tekstur yang semakin baik, karena tepung terigu
memiliki protein gluten yang tidak dimiliki oleh tepung jagung. Sifat elastis pada gluten
dalam adonan roti menyebabkan roti mudah menjerembab CO2 sehingga roti yang
dihasilkan akan mengembang dengan elastis dan menghasilkan tektur yang baik.
Pengaruh konsentrasi gum xanthan pada tekstur roti manis dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai rata-rata tekstur roti manis pada konsentrasi gum xanthan yang berbeda.
Perlakuan Rerata tekstur (mg/100 ml)
Konsentrasi gum xanthan 0,50 % 26,01 a
Konsentrasi gum xanthan 0,90 % 28,26 b
Konsentrasi gum xanthan 0,75 % 28,66 b
Keterangan : Rerata dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata berdasar uji BNT (P= 0,05)
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa semakin tinggi proporsi gum xanthan yang
ditambahkan tekstur semakin keras. Hal ini diduga gum xanthan berikatan dengan
protein dengan ikatan ionik, sehingga pada proses pemanasan ikatan ini mudah
dipatahkan oleh CO2 dibandingkan ikatan peptide maupun disulfide sehingga
kemampuan membentuk struktur rongga yang stabilitasnya rendah.
UJI ORGANOLEPTIK
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan terhadap rasa,
warna dan aroma menggunakan delapan orang panelis.
Rasa
Uji organoleptik terhadap rasa diperoleh skor rata-rata 3,375 (agak tidak
menyukai ) sampai 6,38 ( menyukai). Skor tertinggi (6,38) pada perlakuan proporsi
tepung terigu 65 % dan tepung jagung 35 % dengan konsentrasi gum xanthan 0,50 %.
Hasil analisis ragam menunjukkan adanya interaksi yang nyata terhadap rasa
roti manis dari hasil perlakuan proporsi tepung terigu dengan tepung jagung dengan
penambahan gum xanthan. Data selengkapnya seperti ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai rata-rata rasa roti manis akibat perlakuan proporsi tepung campuran ( jagung dan terigu) dan gum xanthan.
Perlakuan Rerata nilai rasa
Proporsi tepung terigu 40 % dengan tepung jagung 60 % dengan 0,90 %gum xanthan
3,38 a
Proporsi tepung terigu 40 % dengan tepung jagung 60 % dengan 0,75 gum xanthan
3,88 ab
Proporsi tepung terigu 65 % dengan tepung jagung 35 % dengan 0,50 gum xanthan
4,50 bc
Proporsi tepung terigu 65 % dengan tepung jagung 35 % dengan 0,75 gum xanthan
4,75 cd
Proporsi tepung terigu 40 % dengan tepung jagung 60 % dengan 0,90 gum xanthan
5,25 cde
Proporsi tepung terigu 40 % dengan tepung jagung 60 % dengan 0,90 gum xanthan
5,38 de
Proporsi tepung terigu 40 % dengan tepung jagung 60 % dengan 0,90 gum xanthan
5,87 ef
Proporsi tepung terigu 40 % dengan tepung jagung 60 % dengan 0,90 gum xanthan
6,25 f
Proporsi tepung terigu 40 % dengan tepung jagung 60 % dengan 0,90 gum xanthan
6,38 f
Keterangan : Rerata dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata berdasar uji DMRT (P=0,05)
Berdasarkan uji DMRT diketahui bahwa terdapat pengaruh interaksi antara
proporsi tepung dengan konsentrasi gum xanthan. Konsentrasi gum xanthan 0,5 % tidak
menunjukkan perbedaan pengaruh pada organoleptik rasa dengan propori tepung terigu
55 % dengan 45 % tepung jagung demikian juga pada proporsi tepung terigu 40 %
dengan 60 % tepung jagung. Sementara pada proporsi tepung terigu 65 % dengan 45 %
tepung jagung terjadi peningkatan nilai rasa. Menurut Fajari, Winarno dan Andarwulan
(1992) menyatakan bahwa pemakaian gum xanthan dalam pembuatan roti dari tepung
non gandum akan menghasilkan tekstur yang remah dan halus sehingga dapat
meningkatkan nilai rasa. Peran gum xanthan dalam penelitian ini diduga dapat mengatur
distribusi air dan mencegah sineresis sehingga struktur adonan membentuk pori-pori
yang lebih merata, sehingga lebih disukai. Namun demikian penambahan gum xanthan
yang terlalu tinggi justru akan menghamabat perkembangan roti pada saat
pemanggangan sehingga tekstur yang dihasilkan terlalu keras.
Warna
Uji organoleptik terhadap warna diperoleh skor rat-rata 4,75 ( agak menyukai )
sampai 6 ( menyukai ). Organoleptik warna roti tanpa penggunanan tepung jagung dan
tanpa penggunaan gum xanthan rata-rata 7 ( sangat menyukai ). Untuk membandingkan
warna roti disertai dengan foto roti yang dihasilkan nampak seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Warna roti hasil perlakuan penggunaan proporsi tepung terigu dan tepung jagung dan gum xanthan sebagai binding agent.
Rata-rata skor terendah ( 4,75) terdapat pada perlakuan proporsi tepung
terigu 40 % dengan tepung jagung 60 % dengan konsentrasi gum xanthan 0,50
%. Rata-rata skor tertinggi ( 6,00) terdapat pada perlakuan proporsi tepung terigu
55 % dengan tepung jagung 45 % dengan penggunaan gum xanthan 0,75 %.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh interkasi yang
nyata pada penggunaan proporsi tepung terigu dengan tepung jagung pada berbagai
penambahan konsentrasi gum xanthan, demikian juga pada pengaruh tunggalnya. Hal
ini karena warna roti lebih banyak dipengaruhi oleh terjadinya reaksi millard dan rekasi
karamel selama pemanggangan.
Aroma Uji organoleptik terhadap warna diperoleh skor rata-rata 6,23 ( menyukai )
sampai 6,63 ( sangat menyukai). Nilai organoleptik aroma pada roti tanpa menggunakan
tepung jagung dan gum xanthan adalah 7 ( sangat menyukai ). Rata-rata skor terendah
(6,13) terdapat pada perlakuan proporsi tepung terigu 40 % dengan tepung jagung 60 %
dengan penggunaan konsentrasi gum xanthan 0,75 %. Skor tertinggi ( 6,63) pada
perlakuan prioporsi tepung etrigu 65 % dengan tepung jagung 35 % pada penggunaan
gum xanthan 0,50 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh
interaksi yang nyata pada penggunaan proporsi tepung dan gum xanthan terhadap
aroma roti yang dihasilkan. Demikian pula pada pengaruh tunggalnya jaga tidak terdapat
perbedaan. Aroma roti manis lebih banyak diakibatkan oleh reaksi caramel selama
pemanggangan, sementara jumlah gula dalam adonan dibuat seragam sehingga
menyebabkan tidak terdapat pebedaan aroma.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Proporsi tepung campuran memberikan pengaruh terhadap pengembangan
volume, tekstur, dan nilai organoleptik, sedangkan penggunaan gum xanthan
berpengaruh terhadap pengembangan volume, tekstur, dan nilai organoleptik rasa.
Interaksi kedua perlakuan tersebut berpengaruh nyata terhadap pengembangan volume,
dan nilai organoleptik rasa. Perlakuan terbaik diperoleh pada perlakuan campuran
proporsi tepung terigu 65 % dan tepung jagung 35 % dengan penggunaan gum xanthan
0,5 %. Roti manis yang dihasilkan dari perlakuan terbaik memiliki rata-rata kadar air
27,82 %, pengembangan volume 39,74 cm3, tektur 23,723 g/mm2, dengan nilai rasa
6,38, warna 5,5 dan Aroma 6,63.
Saran
Berdasarkan penelitian tekstur roti yang dihasilkan masih kurang elastis dan
cenderung lebih keras dibandingkan kelompok control, sehingga perlu dicoba jenis
protein dalam biji-bijian yang lain yang memiliki struktur protein yang berbeda dengan
protein zein pada jagung dengan konsentrasi gum xanthan yang lebih rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Andarwulan, N. 2000. Analisa Sifat Fisiko Kimia Tepung Terigu dan Produk Berbasis Tepung. Diklat Quality Control Supervisor untuk HACCP Pada Industri Mie dan Biscuit. Fakultas Teknologi Hasil Pertanian IPB. Bogor.
Anonymous, 2006. Xanthan gum. WWW.Jungbunzlauer.com Chaplin, M., 2003. Pectin.http://www.lsbu.ac.uk/water/hbond.html South Bank University. London.
El-Adawy , T.A., 2000. Functional properties and nutritional quality of acetylated and succinylated mung bean protein isolate. Food Chem. 70 : 83 – 91. Fajari O.R., F.G. Winarno dan Andarwulan, 1992. Penggunaan Gum Xanthan Pada
Substitusi Parsial Tepung Gandum dengan Tepung Shorgum dalam Pembuatan Roti. Bulentin Penelitian Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB Bogor.
Gimeno, E. Moraru,C.I. and Kokini, L., 2004. Effect of Xanthan Gum and CMC on the Structure and Texture of Corn Fluor Pellets Expanded by Microwave Heating. J. Cer. Chem. : 81 (1) : 100-1007. Gustaw W., Targonski, Z., Glibowski, P., Mleko, S., Pikus, S., 2003. The influence of xanthan gum on rheology and microstructure of heat-induced whey protein gels. elect. J. Fd. Sci. Tech. Pol. Agric. Univ. (6) Issue2.
Kuntz, L.A., 1999. Food Product design special effects with gums. Weeks Publishing Company. www.foodproductdesign.com.
Manley, DJ., 1983. Technology of Biscuits, Crackers and Cookies. Ellis Horwood Limited, England.
Modeka, H. and Kokini. 1992. Effect of addition of zein and gliadin on the rheological properties of amylopectin starch with low-to-intermidiate moisture. Cereal Chem. 68 : 489 -494 Wade, A.M. 2005. Ingredient challenges brushing up on gum. BNP Media. www.Prepared Food.com/CDA/Articleinformation/feature/BNP
Makalah disampaikan pada Seminar Dukungan Inovasi Teknologi dan Kelembagaan
dalam UpayaPemberdayaan Petani)
Mojosari-Jawa Timur,16 Juli 2008
1
PEMBERDAYAAN PETERNAK MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI
Kusuma Diwyanto dan Hasanatun Hasinah
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor
ABSTRAK
Permintaan pangan asal ternak saat ini cenderung terus meningkat, seirama dengan peningkatan jumlah penduduk, perbaikan kesejahteraan masyarakat,
peningkatan tingkat pendidikan, kesadaran gizi, perubahan gaya hidup serta pengaruh informasi global. Beberapa masalah dan kendala dalam agribisnis peternakan antara lain adalah keterbatasan peternak dalam hal akses terhadap
informasi, modal maupun teknologi. Selain itu skala usaha yang terbatas dan tiadanya akses informasi pasar, menyebabkan posisi tawar peternak semakin lemah
dalam tataniaga. Aspek teknis yang menonjol adalah pakan dan air dalam usaha cow calf operation. Pada musim kemarau, peternakan mengalami kesulitan dalam penyediaan air minum yang dibarengi dengan kesulitan memperoleh pakan murah
dan berkualitas. Salah satu strategi yang dapat ditempuh adalah memaksimalkan potensi sumberdaya genetik dan penggunaan sumber pakan lokal secara optimal. Optimalisasi dan pemberdayaan sumberdaya lokal dapat dilakukan melalui melalui
pengembangan inovasi teknologi yang tepat. Peternak sebagai pelaku usaha harus dapat mengakses teknologi melalui penguatan kelembagaan. Keberdaan
kelembagaan ini juga sangat penting untuk mempercepat arus informasi yang terkait dengan adopsi teknologi maupun informasi permodalan, pemasaran, dlsb. Pola pengembangan usaha sapi potong melalui pola kemitraan dengan koperasi dapat
menjadi salah satu alternatif pola pengembangan untuk menghasilkan sapi bakalan. Agribiz-Kelembagaan-Teknologi-Informasi merupakan ‘satu paket’ yang tidak
terpisahkan untuk menjamin keberhasilan suatu program.
Kata kunci: Peternakan, teknologi, informasi
Makalah disampaikan pada Seminar Dukungan Inovasi Teknologi dan Kelembagaan
dalam UpayaPemberdayaan Petani)
Mojosari-Jawa Timur,16 Juli 2008
2
PENDAHULUAN
Permintaan pangan asal ternak saat ini cenderung terus meningkat. Apalagi rata-rata konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat rendah yaitu
sekitar <4 gram/kapita/hari. Sementara itu elastisitas pendapatan terhadap permintaan produk peternakan relatif cukup tinggi (Soedjana, et al.,1994). Dengan demikian, peningkatan populasi, perbaikan kesejahteraan penduduk, penurunan
harga, perubahan gaya hidup yang dibarengi dengan perkembangan perdagangan dan komunikasi global, secara otomatis akan mendorong permintaan produk peternakan.
Untuk memenuhi kebutuhan produk peternakan yang terus meningkat, Indonesia ternyata masih harus mengimpor dalam jumlah banyak. Impor daging dan
sapi bakalan yang cenderung terus meningkat, antara lain disebabkan karena permintaan di dalam negeri tetap tinggi. Bila kecenderungan ini terus berlanjut Indonesia akan menjadi negara importir daging dan sapi bakalan terbesar di dunia.
Di lain pihak pasokan dari dalam negeri diduga semakin berkurang, karena telah dan sedang terjadi pengurasan sapi terutama semenjak impor daging dan sapi bakalan
terhenti pada tahun 1998.
Populasi sapi dan kerbau di Indonesia saat ini sekitar 13,5 juta, yang tersebar di Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, sebagian Sumatera, Kalimantan, dll. Dalam
dasawarsa terakhir ini populasi sapi mengalami penurunan, dimana pada periode 2001 sampai 2006 turun sebesar 2,8 persen per tahun (Ditjenak, 2006). Penurunan
populasi ini lebih merisaukan karena terjadi pada wilayah sentra produksi yakni NTB, NTT, Sulawesi, Lampung dan Bali. Sedangkan di beberapa daerah Jawa sebagai kawasan yang paling banyak memiliki sapi potong dan sapi perah tidak bisa
diandalkan lagi karena selain mengalami masalah serupa, di wilayah ini banyak terjadi pemotongan sapi betina produktif atau ternak muda/kecil (Diwyanto et al., 2005).
Oleh karenanya perlu diupayakan langkah-langkah konkrit untuk menambah populasi, memperbaiki produktivitas dan meningkatkan produksi daging sapi di
dalam negeri. Salah satu strategi yang dapat ditempuh adalah memaksimalkan potensi sumberdaya genetik dan penggunaan sumber pakan lokal secara optimal. Strategi yang disusun harus berorientasi pada pemberdayaan peternak rakyat yang
merupakan mayoritas produsen sapi potong (lebih dari 90 persen), sehingga pendapatan dan kesejahteraan masyarakat juga turut meningkat. Optimalisasi dan
pemberdayaan sumberdaya lokal melalui pengembangan inovasi teknologi yang tepat sangat diperlukan dengan memanfaatkan jaringan inforamsi yang sudah maju.
Saat ini usaha peternakan untuk menghasilkan sapi bakalan (cow-calf operation) 99 % dilakukan oleh peternakan rakyat (Djajanegara dan Diwyanto, 2001), yang sebagian besar berskala kecil dengan tingkat kepemilikan 2-3 ekor/KK. Usaha ini biasanya terintegrasi dengan kegiatan lainnya (Diwyanto et al., 2002),
sehingga fungsi sapi sangat komplek dalam menunjang kehidupan peternak (Pezo dan Devendra, 2002). Dalam hal ini petani hanya berperan sebagai ‘keeper’ atau
‘user’, bukan sebagai ‘producer’ apalagi ‘breeder’, dengan manfaat ternak untuk berbagai tujuan, antara lain:; (1) akumulasi asset, (2) mengisi waktu luang, (3) usaha tani & lapangan kerja;sebagai penghasil daging/susu/sumber tenaga kerja, (4)
penghasil kompos, dan (5) sebagai simbol status sosial atau hobby. Kondisi ini justru yang menyebabkan usaha ini tetap bertahan, walaupun secara perhitungan
ekonomis kelihatannya tidak menguntungkan. Mereka memanfaatkan biomasa yang
Makalah disampaikan pada Seminar Dukungan Inovasi Teknologi dan Kelembagaan
dalam UpayaPemberdayaan Petani)
Mojosari-Jawa Timur,16 Juli 2008
3
tersedia disekitar sebagai sumber bahan pakan utama, dan praktis sangat membatasi penggunaan eksternal input.
MASALAH DAN KENDALA
Beberapa masalah dan kendala yang muncul antara lain peternak tidak
mempunyai akses terhadap informasi, modal maupun teknologi. Selain itu skala usaha yang terbatas dan tiadanya akses informasi pasar, menyebabkan posisi tawar peternak semakin lemah dalam tataniaga. Aspek teknis yang menonjol adalah pakan
dan air. Pada musim kemarau, peternakan mengalami kesulitan dalam penyediaan air minum yang dibarengi dengan kesulitan memperoleh pakan murah dan
berkualitas. Saat ini areal padang pangonan juga semakin berkurang, fungsi lahan pertanian banyak yang berubah, serta terbatasnya berbagai dukungan dalam pengembangan ternak menjadi faktor penyebab penurunan populasi. Kekurangan
pakan dan masalah penyakit secara langsung akan menyebabkan tingkat kematian anak sapi sangat tinggi yang dapat mencapai 48 persen (Talib et al., 2003).
Selain itu masalah lain yang muncul adalah ; (a) Bibit semakin langka, bakalan semakin mahal, biaya produksi semakin tinggi dan tingginya kasus pencurian ternak; (b) kurangnya dukungan kebijakan yang memadai, terutama dalam
menghadapi tren globalisasi dan pelaksanaan otonomi daerah; (c) kelembagaan belum sepenuhnya berfungsi dan kurang efisien ; serta (d) masih terjadi segmentasi
dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya, misalnya usaha pertanian/perkebunan yang bersifat monokultur. Tingkat pendidikan petani yang relatif masih rendah menyebabkan pengetahuan tentang good farming practice
hampir tidak dimiliki.
Teknologi untuk meningkatkan kualitas dan ketersediaan pakan belum sepenuhnya dikuasai petani, seperti pengembangan gudang pakan (feed bank),
pengkayaan pakan (feed enrichment), pola integrasi crop livestock system atau food feed system, maupun strategi pemberian pakan yang lebih rasional (feeding strategy). Teknologi pemuliaan dan reproduksi masih sangat jauh dari jangkauan peternak, karena masalah fundamental tentang pakan dan air pada saat musim kering masih menjadi kendala yang belum dapat diatasi. Terbatasnya adopsi
teknologi sebagai akibat arus informasi yang belum lancar juga tidak terlepas dari kurangnya insentif ekonomi yang diperoleh peternak.
TEKNOLOGI DAN INFORMASI
Teknologi IB yang dimulai sejak 60 tahun yang lalu telah berkembang dan
diterima masyarakat sebagai salah satu teknologi andalan. Secara alami seekor pejantan hanya mampu melayani 20-30 ekor betina, tetapi dengan teknologi IB
kemampuannya meningkat ribuan kali. Teknologi IB dapat dipergunakan untuk membantu pelaksanaan program seleksi pada sapi potong, karena akan meningkatkan intensitas seleksi (i). Namun hal ini akan diimbangi dengan
meningkatnya interval generasi (L), karena diperlukan uji zuriat atau progeny testing yang memerlukan waktu cukup lama. Oleh karena itu diperlukan upaya lain agar
ratio i/L maksimum, sehingga respon seleksi (R) setiap tahunnya dapat terus
Makalah disampaikan pada Seminar Dukungan Inovasi Teknologi dan Kelembagaan
dalam UpayaPemberdayaan Petani)
Mojosari-Jawa Timur,16 Juli 2008
4
meningkat. Dalam jangka panjang aplikasi IB juga dapat berpengaruh terhadap keragaman sehingga respon seleksi mengalami pelandaian (plateau). Sementara itu
bila tidak didukung dengan pencatatan yang baik, peluang akan terjadi silang dalam (inbreeding) sangat besar.
Aplikasi IB di Indonesia saat ini sudah sangat meluas, terutama pada sapi perah (>90%) dan sapi potong. Secara intensif IB pada sapi perah mulai dilakukan pada tahun 1972 oleh Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor (Sitorus, 1973).
Sementara itu kegiatan IB pada sapi potong di Indonesia saat ini mungkin termasuk yang terbesar di dunia. Hal ini antara lain dikarenakan langkanya pejantan di beberapa kawasan sentral produksi sapi (Jawa). Di beberapa negara maju, seperti
Australia, Amerika dan Eropa, aplikasi IB pada sapi potong relatif sangat terbatas pada kelompok elite untuk tujuan menghasilkan bibit (pemuliaan).
Penyempurnaan kegiatan IB di Indonesia yang saat ini sedang dan akan dilakukan harus dikerjakan terutama dalam aspek pemilihan pejantan, menghindari terjadinya depresi akibat inbreeding serta hal-hal lain yang berkaitan dengan
pelaksanaan IB itu sendiri, misalnya kualitas sperma, kualitas aseptor, ketepatan deteksi estrus, dan ketrampilan inseminator. Bila diasumsikan keberhasilan masing-
masing faktor tersebut sebesar 70%, ternyata secara kumulatif keberhasilan IB hanya sekitar 0.7 X 0.7 X 0.7 X 0.7 = 24%.
Keberhasilan IB untuk menghasilkan seekor pedet saat ini cukup bervariasi,
tetapi untuk beberapa kawasan telah berhasil dengan baik (Setiadi et al., 1997; Sitepu et al.,1997; Siregar et al.,1997). Salah satu kunci keberhasilan IB adalah, sapi
dipelihara secara intensif dengan cara di kandangkan. Hal ini akan memudahkan dalam deteksi birahi serta memudahkan petugas untuk melaksanakan IB. Akan tetapi secara umum keberhasilan IB masih lebih rendah dibandingkan dengan kawin
alam.
Akan tetapi keberhasilan IB untuk meningkatkan mutu genetik sapi (produktivitas) sampai saat ini belum ada laporan yang lengkap. Demikian pula
halnya dengan kinerja performans reproduksi sapi hasil IB praktis belum banyak dilakukan evaluasinya. Oleh karena itu pelaksanaan IB harus disesuaikan dengan
tujuan dan sasaran akhir yang akan dituju, serta dengan memperhatikan adanya interaksi genetika dan lingkungan. Apabila IB ditujukan untuk menghasilkan bakalan pada peternakan cow-calf operation, maka penggunaan pejantan yang berukuran
besar (misalnya : Simental maupun Limousin) hanya dapat dilakukan di daerah yang ketersediaan pakannya memadai (Diwyanto et al.,1999).
Sebagian besar peternak di Jawa dan beberapa wilayah lain sangat menyukai sapi hasil persilangan terutama keturunan sapi Simental atau Limousin. Di beberapa
wilayah lain seperti Jawa Tengah dan Lombok sebagian peternak menyukai keturunan Brangus. Dalam hal ini tolok ukur keberhasilan hanya didasarkan pada ukuran (bobot) sapi, tanpa memperhatikan daya reproduksi yang tercermin dari
calving rate dan calving interval yang kurang menguntungkan. Disini terlihat bahwa informasi terkait dengan bioteknologi reproduksi yang di adopsi peternak masih
belum sepenuhnya lengkap.
Kebijakan persilangan sapi potong dengan memanfaatkan SDG introduksi dapat dilakukan dengan memilih berbagai alternatif yang memungkinkan untuk
dilakukan dan menguntungkan secara teknis, ekonomis, maupun sosial. Kebijakan persilangan yang dipilih juga harus memperhatikan kondisi lingkungan terutama
Makalah disampaikan pada Seminar Dukungan Inovasi Teknologi dan Kelembagaan
dalam UpayaPemberdayaan Petani)
Mojosari-Jawa Timur,16 Juli 2008
5
ketersediaan pakan dan cekaman lingkungan dikaitkan dengan komposisi genetik atau bangsa sapi yang akan dikembangkan (Diwyanto dan Handiwirawan, 2004).
Sementara itu perbaikan performance induk dapat dilakukan dengan memanfaatkan ternak lokal (sapi Bali, sapi Jawa, dll) yang sangat adaptif. Dengan
demikian perlu upaya pemanfaatan dan pelestarian ternak lokal, yaitu dengan mempertahankan komposisi darah lokal pada sapi betina 25-50 %. Oleh karena itu perlu dilakukan program rotational crossing, bukan up grading. Dalam hal ini
keinginan petani yang menginginkan upaya persilangan secara terus menerus (up grading) dengan galur (breed) favorit (Simental) hanya dapat dilakukan bila ketersediaan pakan dan kondisi lingkungan dapat dipenuhi. Sementara itu
persilangan ternak lokal (kecil) dengan ternak Eropa (Simental, Limousin, Angus, dll) hanya dilakukan pada ternak dewasa yang pernah melahirkan, untuk menghindari
‘kejadian sulit melahirkan’ (dystocia).
Dari pengamatan di lapang terlihat bahwa S/C sapi silangan ternyata semakin meningkat, yang rata-rata diatas 2 (dua). Bahkan untuk beberapa kasus banyak
kejadian S/C dapat mencapai diatas 3 (tiga), sehingga jarak beranak lebih dari 18 bulan. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab rendahnya angka
konsepsi ini, yaitu: (i) kualitas semen di tingkat peternak menurun, (ii) kondisi aseptor yang tidak baik karena faktor genetik, atau faktor fisiologis karena kurang pakan, (iii) deteksi birahi yang tidak tepat karena kelalaian peternak atau karena
silent heat, serta (iv) ketrampilan inseminator yang masih perlu ditingkatkan.
Rendahnya angka konsepsi atau peningkatan nilai S/C ini diduga menjadi
salah satu penyebab meningkatnya kebutuhan semen beku di beberapa daerah. Saat ini beberapa inseminator mengalami kesulitan dalam memperoleh semen beku yang berasal dari pejantan Simental atau Limousin. Beberapa alternatif yang dapat
dilakukan dalam jangka pendek adalah pemanfaatan teknologi inovatif dari Balitnak dengan menggunakan chilled semen, atau mengkombinasikan IB dengan InKA. Namun tindakan darurat ini harus diatur dengan baik, karena jangan sampai terjadi
inbreeding, atau pejantan yang digunakan tidak memenuhi syarat kesehatan.
Saat ini sudah dilakukan penelitian di BALITNAK untuk menggunakan
cryoprotectant tertentu dalam pembuatan semen chilling, sehingga semen tersebut diharapkan tidak perlu lagi disimpan dalam tangki LN2, tetapi cukup di dalam refrigerator (suhu 50C). Teknik ini mampu menyimpan semen dalam waktu yang
relatif cukup lama (5-7 hari) dengan kualitas yang tetap baik untuk diinseminasikan pada betina yang estrus. Pada prinsipnya semen tersebut dibuat seperti hewan yang
hibernasi waktu musim dingin dan akan aktif kembali setelah berada pada saluran reproduksi betina.
Beberapa kerancuan yang sering dijumpai adalah pemilihan calon pejantan
tipe besar (large breed) untuk tujuan IB dengan nilai pemuliaan untuk bobot lahir yang jauh diatas rata-rata. Sementara itu ukuran pelvis kurang mendapat perhatian padahal sangat bermanfaat untuk mengurangi kejadian dystocia, terutama bila kita
melakukan persilangan sapi lokal dengan bangsa (breed) yang besar. Sebenarnya kasus dystocia banyak terjadi di lapang, tetapi laporan konkrit tentang hal ini sangat
terbatas. Untuk mengurangi kejadian ini maka disarankan agar persilangan dilakukan pada sapi lokal yang pernah melahirkan, menggunakan pejantan yang mempunyai bobot lahir rendah dan ukuran pelvis besar, serta dilakukan pengawasan pada saat
melahirkan.
Makalah disampaikan pada Seminar Dukungan Inovasi Teknologi dan Kelembagaan
dalam UpayaPemberdayaan Petani)
Mojosari-Jawa Timur,16 Juli 2008
6
Teknologi IB hanya akan berhasil bila kualitas semen, kemampuan deteksi birahi, dan ketrampilan petugas adalah prima, disamping faktor-faktor lain seperti
pada kawin alam. Rekomendasi yang telah disampaikan PuslitbangNak pada tahun 1998 perlu mendapat perhatian. Keterbatas jumlah pejantan dalam program IB
kemungkinan dapat mengakibatkan peningkatan tingkat kawin dalam (inbreeding), sehingga perlu dibuat pola dan istem yang jelas. Perlu dicatat bahwa IB tidak dapat meningkatkan persentase kelahiran bila dibandingkan dengan kawin alam, akan
tetapi IB dapat dipergunakan untuk mengatasi kelangkaan pejantan yang saat ini sulit dijumpai di lapang
Perbaikan sistem perkawinan antara lain dapat dilakukan dengan penyediaan
pejantan berkualitas. Di kawasan yang pemeliharaan sapi masih dilakukan secara ekstensif, maka program IB tidak dianjurkan untuk dilakukan (kecuali bila dapat
dilakukan secara mudah dan murah). Oleh karena itu perlu informasi atau penyuluhan kepada petani/peternak untuk tidak menjual (mengeluarkan) seluruh sapi jantannya, dan disarankan agar perbandingan jantan dan betina produktif dalam
suatu kawasan sekitar 1 : 20-30 ekor. Perlu diperhatikan pula perbedaan ukuran jantan dan betina tidak boleh terlalu besar, agar proses perkawinan alam dapat
terjadi dengan mudah. Pejantan yang mempunyai posisi penis terlalu menggantung (SG, misalnya) tidak baik dilepas di padang pangonan yang berumput tajam. Peternak harus mulai diberi pengertian tentang pemilihan dan penyediaan pejantan,
upaya menghindari terjadinya inbreeding, serta konsep-konsep peternakan yang benar. Langkah yang diperlukan adalah memperbanyak buku pedoman teknis dan
penyuluhan, sehingga petani dapat mengakses informasi teknologi dengan cepat.
PEMANFAATAN TEKNOLOGI YANG TEPAT
Perbaikan penyediaan pakan dan sistem pemeliharaan merupakan syarat
mutlak untuk meningkatkan performance dan produktivitas sapi. Teknologi yang dapat dikembangkan adalah pengkayaan dan penyimpanan pakan, strategi
pemberian pakan tambahan secara tepat, dan menerapkan pola kandang kelompok. Pola crop livestock system atau CLS dan sistem integrasi horizontal dengan budidaya pertanian lainnya merupakan pilihan yang tepat, serta telah terbukti berhasil di
beberapa wilayah dan belahan dunia lainnya. Prinsip yang dianut adalah, (1) ternak hanya dikembangkan di wilayah yang ketersediaan pakannya cukup, (2) sumber
pakan adalah semua biomasa yang dapat diolah atau dikonsumsi ternak, dan (3) dengan pendekatan ‘zero waste’ akan diperoleh efisiensi dan sinergi yang tinggi. Oleh karena itu pengembangan ternak hanya dilakukan pada daerah yang
mempunyai potensi yang memadai, sesuai dengan saran Balitnak (1997-2000), serta harus di-integrasikan dengan budidaya pertanian lainnya (PuslitbangNak 1999-2001).
Ternyata petani di Jawa dan Bali telah berupaya untuk memanfaatkan
sumberdaya pertaniannya cukup baik, antara lain dengan cara bercocok tanam pola tumpang sari dan ‘sistem tanaman-ternak’ yang merupakan terjemahan dari crop-livestock system (CLS), pola ini sudah berlangsung sejak lama. Pola CLS secara alamiah dapat berkembang karena mengandalkan pada pemanfaatan sumberdaya lokal secara optimal, antara lain keterkaitan penyediaan pangan dan pakan (food-feed system). Hasil penelitan dan pengembangan model di Batumarta menunjukkan bahwa dengan diterapkannya ‘Model Tanaman-Ternak’ selama tiga tahun,
kesejahteraan petani lebih meningkat yang ditunjukkan dengan peningkatan
Makalah disampaikan pada Seminar Dukungan Inovasi Teknologi dan Kelembagaan
dalam UpayaPemberdayaan Petani)
Mojosari-Jawa Timur,16 Juli 2008
7
pendapatan menjadi US $ 1.500,- per keluarga tani per tahun pada saat itu (Ismail et al.,1989).
Pada umumnya hampir semua kabupaten di Jawa dan Bali terdapat korelasi yang sangat kuat antara luas areal sawah dan produksi padi dengan populasi sapi,
kecuali di Jawa Barat (Tabel 1). Jerami padi merupakan salah satu sumberdaya lokal yang sangat potensial sebagai sumber utama serat untuk pakan sapi atau ternak ruminansia lainnya. Dengan luas areal panen yang lebih dari 2 juta ha, Jawa Barat
( + Banten) secara potensial dapat menyediakan pakan sumber serat untuk lebih dari 2 juta ekor sapi sepanjang tahun dari hasil jeraminya saja (Diwyanto dan Haryanto, 2002).
Tabel 1. Luas areal, produksi padi dan populasi sapi
Propinsi Luas areal (ha) Produksi padi (ton) Pop Sapi (ekor)
Jabar 2.011.818 9.585.617 157.700
Jateng 1.626.158 8.153.905 1.236.600
DIY 96.189 497.826 202.100
Jatim 1.666.013 8.661.371 3.380.500
*1-3 ekor Sapi/Ha
Dengan melihat beberapa keuntungan dari pengalaman empiris dan berbagai hasil penelitian tersebut diatas, diyakini bahwa usaha cow-calf operation dapat
berkembang secara kompetitif dan berkelanjutan apabila dapat memanfaatkan sumberdaya lokal melalui penggunaan teknologi yang tepat. Dalam hal pakan,
pendekatan ‘zero waste’ dan ‘zero cost’ pola CLS, menjadi alternatif yang dapat dikembangkan secara meluas. Pada tahun 2001 konsep ini telah dikaji oleh beberapa BPTP antara lain di Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan NTB (Puslitbang Peternakan, 2001). Melihat peluang yang sangat baik ini, Departemen Pertanian pada tahun 2002 mulai untuk mengembangkan konsep CLS dalam program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu 2002 di 11 propinsi, yang melibatkan 20
Kabupaten.
Inovasi teknologi yang dimanfaatkan dalam pola CLS ini antara lain terdiri dari
teknologi yang terkait dengan pengelolaan pakan dan kompos, budidaya ternak termasuk aspek veteriner, serta didukung dengan pengembangan sistem kelembagaan. Teknologi dan manajemen dalam penggunaan sumber pakan lokal,
antara lain terdiri peningkatan kualitas jerami melalui amoniasi dan fermentasi dengan menggunakan probiotik, penyimpanan pakan, pemberian pakan tambahan
yang murah, serta cara pemberian pakan yang ekonomis seperti yang disarankan dalam Panduan Teknis Sistem Integrasi Padi-Ternak tahun 2002. Sedangkan teknologi pengolahan kompos diharapkan akan dapat memberi sumbangan
pendapatan yang signifikan.
Untuk menetapkan teknologi mana yang akan dipilih untuk dikembangkan, maka kita harus ingat bahwa teknologi tersebut harus memenuhi syarat yaitu
mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan (sustainable), ramah lingkungan (environmentally tolerable), secara sosial diterima masyarakat (socially acceptable),
secara ekonomi layak (economically feasible) dan diterima secara politis (politically desirable). Dengan demikian dari sederetan bioteknologi yang sudah tersedia, saat ini mungkin hanya beberapa teknologi yang layak diterapkan untuk usaha cow-calf operation.
Makalah disampaikan pada Seminar Dukungan Inovasi Teknologi dan Kelembagaan
dalam UpayaPemberdayaan Petani)
Mojosari-Jawa Timur,16 Juli 2008
8
Dengan demikian ada delapan keuntungan yang dapat diidentifikasi dari penerapan CLS (Devendra, 1993), yaitu (a) diversifikasi penggunaan sumberdaya
produksi, (b) mengurangi terjadinya risiko, (c) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (d) efisiensi penggunaan komponen produksi, (e) mengurangi ketergantungan energi
kimia dan energi biologi serta masukan sumberdaya lainnya dari luar, (f) sistem ekologi lebih lestari dan tidak menimbulkan polusi sehingga melindungi lingkungan hidup, (g) meningkatkan output dan (h) mengembangkan rumah tangga petani.
Bahkan Kusnadi (2007) menggambarkan bahwa pemanfaatan sapi sebagai tenaga kerja dalam CLS akan memberi keuntungan yang besar dibandingkan penggunaan traktor pada lahan pertanian yang sempit (Tabel 2).
Langkah tersebut dapat dipandang sebagai suatu terobosan yang sangat mendasar, karena program pertanian dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan
bersinergi, dengan sasaran utama adalah pemberdayaan petani yang sebagian besar adalah petani kecil, melalui pengelolaan sumberdaya secara efisien dan terpadu. Pola CLS akan menghasilkan 4-F, yaitu food, feed, fuel dan fertilizer, bahkan tidak
menutup kemungkinan juga mampu menghasilkan F yang ke-5 yaitu fito-farmaka. Diyakini bahwa teknologi sederhana ini bila diinformasikan dengan baik secara terus-
menerus akan dapat meyakinkan petani untuk kembali memperhatikan kearifan tradisional yang dikemas dalam suatu inovasi yang modern..
Tabel 2. Perbandingan penggunaan Traktor dengan Sapi
URAIAN TRAKTOR TERNAK SAPI/KERBAU
Harga (Rp) 20.000.000 3-4 ekor sapi
Operasional (Rp.) 5.000.000 -
Masa Pakai (th) 7-8 7-8
Nilai akhir masa pakai (Rp.) 0 Berkembang menjadi 15-20
ekor sapi
Pemakaian BBM Menghabiskan BBM Green Energy : HMT dan
limbah pertanian
Lingkungan Polusi Kesuburan tanah meningkat karena tersedia kompos
Nilai tambah 0 70 -80 ton pupuk Gas bio untuk mask dan
penerangan
Diolah dr: Prof. U.Kusnadi, 2007
KELEMBAGAAN SAPI POTONG: SUATU KASUS
Untuk mempercepat arus informasi terkait dengan difusi teknologi, akses
permodalan, situasi pemasaran dlsb, diperlukan suatu kelembagaan yang handal. Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) NTT, misalnya, sejak tahun 2002 telah mengembangkan program kemitraan pembesaran sapi Bali, dengan tujuan untuk
memberdayakan masyarakat miskin di pedesaan. Program disusun dengan sangat sederhana, sehingga mudah diinformasikan dan dipahami oleh masyarakat. Program
kemitraan ini dilakukan bekerjasama dengan penyandang dana (National Cooperative Business Association, NCBA) untuk menyediakan kredit dalam pengadaan sapi bakalan dengan tinggi guma sekitar 104-105 cm yang diperkirakan berumur 1,5
tahun. Pada saat sapi telah mencapai bobot badan lebih dari 250 kg, sapi dijual
Makalah disampaikan pada Seminar Dukungan Inovasi Teknologi dan Kelembagaan
dalam UpayaPemberdayaan Petani)
Mojosari-Jawa Timur,16 Juli 2008
9
dengan cara lelang. Dalam implementasi program, sejak pengadaan sapi, penimbangan, penjualan dan pembayaran, dilakukan dengan prinsip good governance yaitu menganut asas keterbukaan, kejujuran, keadilan, dan konsistensi. Low enforcement benar-benar ditegakkan, reward and punishment dilaksanakan
secara tegas, serta tidak ada diskriminasi bagi petani yang mau bekerja keras dan mematuhi kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat bersama.
Program yang dimulai sejak tahun 2002 ini telah mampu memberikan
manfaat (benefit) sangat besar bagi petani di NTT yang tidak mempunyai alternatif pekerjaan lain, serta tidak memiliki cukup sumberdaya (terutama modal), ketrampilan, dan akses pemasaran. Keberhasilan kegiatan tersebut dilaksanakan
dengan pendekatan dan prinsip agribisnis, dengan dukungan teknologi tepat guna serta dilandasi pada akses informasi yang terbuka.
Masyarakat NTT yang dikenal dengan kehidupan pertanian yang kurang maju, ternyata mampu menerima program ini dengan baik. Sikap petani terhadap suatu pembaharuan pada dasarnya terjadi karena adanya interaksi sosial yang dialami oleh
individu yang bersangkutan. Interaksi ini tidak semata-mata berupa kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota kelompok, namun juga terjadi
hubungan yang saling mempengaruhi di antara individu sehingga diperoleh hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat (Azwar dalam Hanafi et al., 2004). Dalam
kaitannya dengan program ini, staf pembina kelompok mempunyai peran yang cukup besar melalui interaksi sosial dan arus informasi timbal-balik sehingga mampu
merubah pola usaha ternak sapi kelompok peternak yang berorientasi agribisnis.
Dalam program ini koperator mendapat akses informasi secara lengkap, dimulai sejak pengadaan sapi bakalan yang dilakukan bersama-sama antara petani,
pengurus atau perwakilan kelompok, pengurus atau staf Puskud dan aparat desa. Penetapan harga beli ternak yang memenuhi standar dilakukan dengan transparan berdasarkan harga penawaran yang paling murah. Petani secara penuh berhak
menentukan persetujuan atau penolakan atas sapi yang akan dipelihara. Pengadaan sapi dilaksanakan oleh pengusaha sapi skala kecil sampai di lokasi peternak setelah
proses seleksi berlangsung. Seleksi dilakukan oleh ketua kelompok beserta anggota dan petugas Puskud dan sapi dibagikan kepada peternak kooperator melalui sistem undian. Penandatanganan kontrak diketahui oleh Kepala Desa dan Pemuka Agama
masyarakat setempat.
Secara reguler petugas lapang melakukan monitoring terhadap
perkembangan ternak, sehingga setelah program berjalan lebih dari lima tahun hanya ada satu kasus kehilangan ternak (dari > 20 ribu ekor sapi yang telah didistribusikan) dan sudah diselesaikan dengan tuntas. Penjualan dilakukan setelah
sapi mencapai bobot badan minimal 250 kg, dan harga ditetapkan berdasarkan penawaran tertinggi (Rp/kg BH). Pada saat proses penjualan, dilakukan penjelasan secara rinci untuk mengingatkan kembali isi kesepakatan, informasi harga, serta
kewajiban-kewajiban peternak. Dalam kesempatan ini peternak diberi kesempatan untuk bertanya, memberi masukan atau bahkan protes apabila terjadi
ketidaksepakatan.
Perkembangan jumlah sapi dijual menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, dimana selama 5 tahun program berlangsung telah terjadi penjualan hampir
10 kali lebih besar dibandingkan pada awal tahun penjualan (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program memberikan nilai tambah ekonomi yang
signifikan bagi peternak, sehingga performans sapi sesuai dengan target produksi
Makalah disampaikan pada Seminar Dukungan Inovasi Teknologi dan Kelembagaan
dalam UpayaPemberdayaan Petani)
Mojosari-Jawa Timur,16 Juli 2008
10
yang telah ditentukan. Kontribusi pendapatan usaha sapi ini terhadap total pendapatan rumahtangga petani relatif cukup besar dan merupakan salah satu
sumber pendapatan rumahtangga petani.
Tabel 3. Perkembangan penjualan sapi (ekor)
Kabupaten 2003 2004 2005 2006 2007 Jumlah
Kupang 414 1 995 2 313 3 358 1 838 9 918
Kota Kupang - - - 44 - 44
Timor Tengah Selatan - 245 526 887 940 2 598
Timor Tengah Utara - - 8 118 267 393
Belu - 14 114 209 263 600
Jumlah 414 2 254 2 961 4 616 3 308 13 553
Sumber : Subagiyo, Puskud NTT (2007)
Petani berhak memperoleh pendapatan sebesar 70 persen dari keuntungan (selisih harga jual sapi dengan harga pembelian sapi), sedangkan Puskud
mendapatkan 30 persen. Proporsi yang diterima petani ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kontrak farming serupa dalam program lainnya, yang biasanya
petani hanya memperoleh bagian keuntungan sekitar 20-50 persen. Setiap penjualan per ekor sapi, petani memperoleh pendapatan sekitar Rp. 1,1-1,3 juta, yang biasanya dipelihara selama 8-12 bulan. Selama 5 tahun progam ini berjalan, rata-
rata keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp.1,122 juta (Tabel 4). Jumlah ini nilainya sekitar 7-10 kali lipat dibandingkan dengan program serupa yang dilakukan
oleh investor sebelumnya. Dengan jumlah sapi sebanyak 4-8 ekor, pendapatan petani dari program ini sangat membantu dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Tabel 4. Perkembangan rata-rata keuntungan petani peserta program
Kabupaten Jumlah sapi dijual (ekor)
Keuntungan petani (Rp)
Rata-rata keuntungan (Rp/ekor)
Kupang 9 918 10 891 987 272 1 098 204
Kota Kupang 44 51 304 440 1 166 010
Timor Tengah Selatan 2 598 2 996 985 252 1 153 574
Timor Tengah Utara 393 477 378 279 1 214 703
Belu 600 783 774 600 1 306 291
Jumlah 13 553 15 201 429 843 1 187 756,4
Sumber : Subagiyo, Puskud NTT (2007)
Permasalahan utama yang dihadapi dalam keberlanjutan program ini adalah semakin sulitnya memperoleh sapi bakalan, karena masih tingginya angka pomotongan betina produktif. Kendala lain adalah terbatasnya pemilikan hijauan
pakan ternak dan penyediaan air bersih. Kondisi ini berakibat pada terhambatnya pertumbuhan program pembesaran yang saat ini telah mencapai lebih dari 20 ribu ekor (Tabel 5) dengan peserta lebih dari 7100 KK (Tabel 6). Secara kumulatif
peternak telah memperoleh pendapatan lebih dari Rp.15 Milyar, dan program ini telah memberi kontribusi pajak daerah sebesar Rp. 0,5 Milyar (Tabel 7). Informasi
yang diperoleh sampai dengan akhir tahun 2007 menunjukkan bahwa sudah menunggu sekitar 2 ribu KK calon peserta baru.
Tabel 5. Perkembangan realisasi pengadaan sapi
Makalah disampaikan pada Seminar Dukungan Inovasi Teknologi dan Kelembagaan
dalam UpayaPemberdayaan Petani)
Mojosari-Jawa Timur,16 Juli 2008
11
Kabupaten 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jumlah
Kupang 624 1 952 3 463 3 710 2 376 2 346 9 918
Kota Kupang - - - - 44 - 44
Timor Tengah Selatan - 329 803 1 296 1 019 838 4 285
Timor Tengah Utara - - 29 721 - - 750
Belu - - 201 416 125 48 790
Jumlah 624 2 281 4 496 6 190 3 520 3 232 20 343
Sumber : Subagiyo, Puskud NTT (2007)
Tabel 6. Jumlah kecamatan, desa, kelurahan dan anggota peternak sebagai
peserta program
Kabupaten Kecamatan Desa Kelurahan Anggota Peternak
Kupang 7 29 85 3 356
Kota Kupang 1 1 2 32
Timor Tengah Selatan 8 29 61 2 494
Timor Tengah Utara 3 8 24 641
Belu 4 7 13 623
Jumlah 23 74 185 7 146
Sumber : Subagiyo, Puskud NTT (2007)
Tabel 7. Perkembangan rata-rata pendapatan daerah selama program berlangsung
Kabupaten Pajak desa Pendapatan kabupaten
Pendapatan karantina
Kupang 122 459 500 119 016 000 1 098 204
Kota Kupang 457 000 528 000 1 166 010
Timor Tengah Selatan 19 195 000 29 775 000 1 153 574
Timor Tengah Utara 2 288 000 477 378 279 1 214 703
Belu 8 852 000 783 774 600 1 306 291
Jumlah 153 251 500 186 359 000 140 301 000
Sumber : Subagiyo, Puskud NTT (2007)
Beberapa inovasi teknologi yang dapat diaplikasikan lebih lanjut untuk menambah keberhasilan program ini adalah: (a) penanaman hijauan pakan ternak
dengan varietas yang lebih produktif, (b) vaksinasi dan dukungan pencegahan terhadap bahaya penyakit oleh Dinas Peternakan setempat, (c) pengolahan faeces dan urine menjadi kompos yang lebih berkualitas, atau pembuatan biogas untuk keperluan rumah tangga, serta (d) penjaringan dan pemanfaatan sapi hasil pembesaran sebagai pejantan agar terjadi meningkatkan mutu genetik dan
menghindari terjadinya inbreeding. Inovasi dan pengembangan program ini juga memerlukan dukungan prasarana yang lebih baik dan memadai, seperti jalan dan sumber air minum pada musim kering.
Program serupa juga telah dikembangkan di daerah Klaten dan sekitarnya, yaitu pola kemitraan antara Koperasi Jasa usaha Bersama (KJUB) PUSPETASARI
Klaten dengan petani yg tergabung dalam kelompok tani. Program ini dikembangkan untuk membangun kelembagaan yg handal dengan berbasis teknologi tepat guna dan diinformasikan secara jelas sesuai prinsip-prinsip agribiznis dan profesional.
Dalam program ini dipergunakan sapi potong hasil IB, dan sistem pemeliharaannya sudah sangat intensif. Dari perhitungan sementara, program ini juga cukup berhasil,
Makalah disampaikan pada Seminar Dukungan Inovasi Teknologi dan Kelembagaan
dalam UpayaPemberdayaan Petani)
Mojosari-Jawa Timur,16 Juli 2008
12
dan peternak dapat memperoleh keuntungan (SHU) sekitar 106% selama masa penggemukan (4 bulan). Keuntungan ini merupakan akumulasi biaya tenaga kerja
keluarga, sewa kandang yang dimiliki petani, serta keuntungan riil yang diperoleh dari usaha ini.
PENUTUP
Untuk memenuhi kebutuhan produk peternakan yang terus meningkat, Indonesia ternyata masih harus mengimpor dalam jumlah banyak. Impor daging dan
sapi bakalan yang cenderung terus meningkat, antara lain disebabkan karena permintaan di dalam negeri tetap tinggi. Bila kecenderungan ini terus berlanjut
Indonesia akan menjadi negara importir daging dan sapi bakalan terbesar di dunia. Di lain pihak pasokan dari dalam negeri diduga semakin berkurang, karena telah dan sedang terjadi pengurasan sapi terutama semenjak impor daging dan sapi bakalan
terhenti pada tahun 1998. Perlu diupayakan langkah-langkah konkrit untuk menambah populasi, memperbaiki produktivitas dan meningkatkan produksi daging
sapi di dalam negeri. Salah satu strategi yang dapat ditempuh adalah memaksimalkan potensi sumberdaya genetik dan penggunaan sumber pakan lokal secara optimal. Strategi yang disusun harus berorientasi pada pemberdayaan
peternak rakyat yang merupakan mayoritas produsen sapi potong. Optimalisasi dan pemberdayaan sumberdaya lokal dapat dilakukan melalui melalui pengembangan
inovasi teknologi yang tepat.
Teknologi inovatif yang dikembangkan harus memenuhi syarat antara lain mempertimbangkan aspek-aspek berkelanjutan, ramah lingkungan, secara sosial
diterima masyarakat, secara ekonomi layak, dan diterima secara politis. Program yg dikembangkan harus berorientasi agribiznis, sederhana, mudah dipahami & berbasis sumberdaya lokal. Peternak sebagai pelaku usaha harus dapat mengakses teknologi
melalui penguatan kelembagaan. Keberdaan kelembagaan ini juga sangat penting untuk mempercepat arus informasi yang terkait dengan adopsi teknologi maupun
informasi permodalan, pemasaran, dlsb.
Pola pengembangan usaha sapi potong melalui pola kemitraan dengan koperasi dapat menjadi salah satu alternatif pola pengembangan untuk
menghasilkan sapi bakalan. Agribiz-Kelembagaan-Teknologi-Informasi merupakan ‘satu paket’ yang tidak terpisahkan untuk menjamin keberhasilan suatu program.
DAFTAR PUSTAKA
Devendra, C., 1993. Sustainable Animal Production from Small Farm Systems in
South East Asia. FAO Animal Production and Health Paper. FAO Rome.
Diwyanto, K., Supar, dan E. Triwulanningsih. 1999. Perkembangan bioteknologi peternakan dan prospek penerapannya di Indonesia. Pros. Ekspose Hasil
Penelitian Bioteknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta.
Diwyanto, K dan B. Haryanto. 2002. Pakan alternatif untuk pengembangan
peternakan rakyat. Rakor : Pengembangan Model Kawasan Agribisnis Jagung TA 2002. DitJen BPPHP, Jakarta 29 April 2002.
Makalah disampaikan pada Seminar Dukungan Inovasi Teknologi dan Kelembagaan
dalam UpayaPemberdayaan Petani)
Mojosari-Jawa Timur,16 Juli 2008
13
Diwyanto, K., B.R. Prawirodiputro, dan D. Lubis. 2002. Integrasi tanaman ternak dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan dan
berkerakyatan. WARTAZOA, Vol. 12. No. 1., p. 1-8
Diwyanto, K dan E. Handiwirawan. 2004. Program penelitian dan pengembangan
pembibitan ternak sapi di lahan kering. Prosiding Seminar Nasional Penelitian ternak dan usahatani lahan kering. Kerjasama antara PSE, BPTP NTT dan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur.
Diwyanto, K., S. Bahri, B. Haryanto, I.W. Rusastra dan H. Hasinah. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis sapi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Djajanegara, A. dan K. Diwyanto. 2001. Development strategies for genetic evaluation of beef production in Indonesia. Proc. Of an Int’l Workshop Held in
Khon Kaen Province, Thailand, July 23-28, 2001. ACIAR. No. 108
Hanafi, H., Soeharsono dan Supriadi. 2004. Sikap petani terhadap inovasi ‘crop livestock systems’ di lahan kering kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa
Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian,
Bogor.
Ismail, I. A. Djajanegara dan H. Supriadi. 1989. Farming Systems Research in Upland Transmigration Areas : Case in Batumarta. In: SUKMANA et al. (eds).
Development in Procedures for farming Systems Research: Proceeding of an International Workshop. Agency for Agricultural research and Development.
Indonesia.
Pezo, D. dan C. Devendra. 2002. The relevance of crop-animal systems in South Esat Asia. In : Research Approaches and Methods for Improving Crop-Animal
Systems in South East Asia. ILRI. P.1-27
Setiadi, B., Subandriyo, D.Priyanto, T Safriati, N.K.Wardhani, Soepeno, Darojat, Nugroho. 1997. Pengkajian pemanfaatan teknologi inseminasi buatan (IB)
dalam usaha peningkatan populasi dan produktivitas sapi potong nasional di Daerah Istimewa Jogjakarta. Puslitbang Peternakan.
Siregar, A.R., P.Situmorang, M.Boer, G.Mukti, J.Bestari, M.Purba. 1997. Pengkajian pemanfaatan teknologi inseminasi buatan (IB) dalam usaha peningkatan populasi dan produktivitas sapi potong nasional di Propinsi Sumatra Barat.
Puslitbang Peternakan.
Sitorus, P. 1973. Penggunaan semen beku import pada sapi perah di Kotamadya
Bogor dan sekitarnya. Bull.LPP.No.13:25-32
Soedjana, T.D., T. Sudaryanto dan R. Sayuti. 1994. Estimasi parameter permintaan beberapa komoditas peternakan di Jawa. J. Penelitian Peternakan Indonesia
no 1, Maret 1994: 13-23. Subagiyo, B. 2007. Puskud NTT. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Contract Farming
Sapi Bali: Success Story, Kendala dan Harapan. Makalah disampaikan pada
Panel Diskusi Pemberdayaan Masyarakat melalui Model Pengembangan Sapi Potong. Jakarta 14 Nopember 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan bekerjasama dengan Ditjen Peternakan, Jakarta.
Talib, C., K. Entwistle, A. Siregar, S. Budiarti and D. Lindsay. 2003. Survey of Population and Production Dynamics of Bali Cattle and Existing Breeding
Makalah disampaikan pada Seminar Dukungan Inovasi Teknologi dan Kelembagaan
dalam UpayaPemberdayaan Petani)
Mojosari-Jawa Timur,16 Juli 2008
14
Program in Indonesia. Startegies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. ACIAR Proceedings No.110. pp. 3-9