-
19
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG WAKAF DAN PENYELESAIAN
SENGKETA WAKAF
A. Pengertian Wakaf
Wakaf adalah salah satu tuntunan ajaran agama Islam yang
menyangkut
kehidupan bermasyarakat dalam rangka untuk menjalankan ibadah
sosial, yang
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan
semata-mata hanya
ingin mendapatkan pahala dan ridha dari-Nya.
Kata waqaf digunakan dalam al-Qur’an empat kali dalam tiga
surat
yaitu QS. al-An’am, 6:27, 30, Saba’, 34:31, dan al-Saffat,
37:24. Ayat al-
Qur’an surat al-Saffat, 37:24 yang berbunyi:
��������֠� � ������ ������������ ���
Artinya: “Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena
sesungguhnya mereka akan ditannya” (QS. al-Saffat: 24).1
Ketiga surat yang pertama artinya menghadapkan (dihadapkan),
dan
yang terakhir artinya berhenti atau menahan, “Dan tahanlah
mereka (di tempat
perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditannya”. Konteks
ayat ini
menyatakan proses ahli neraka ketika akan dimasukkan
neraka.2
Kata “Wakaf” atau “Waqf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”.
Asal
kata “Waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam
ditempat” atau
“tetap berdiri”. Kata “Waqafa-Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan
“Habasa-
1 Menara Kudus, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Kudus: Menara
Kudus, 2006, hlm. 446. 2 Ahamad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998,
Cet. ke-3. hlm. 481.
-
20
Yahbisu-Tahbisan”.3 Dengan kata lain, perkataan waqf menjadi
wakaf dalam
bahasa Indonesia berasal dari kata kerja bahasa Arab
“waqafa-yaqifu-waqfan”
berarti “ragu-ragu, berhenti, memberhentikan, memahami,
mencegah,
menahan, mengaitkan, memperlihatkan, meletakkan,
memperhatikan,
mengabdi, dan tetap berdiri.”4
Pengertian wakaf secara bahasa di atas tidak jauh berbeda
dengan
Sayyid Sabiq yang berpendapat bahwa wakaf secara bahasa berasal
dari kata
waqafa adalah sama dengan habasa. Jadi al-waqf sama dengan
al-habs yang
artinya menahan.5
Sedangkan menurut istilah syara’, menurut Muhammad Jawad
Mughniyah dalam Fiqih Lima Mazhab, wakaf adalah sejenis
pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal
(ا��� )����
lalu menjadikan manfaatnya berlaku untuk umum. Yang dimaksud
dengan
���� ا���� ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak
diwariskan,
dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan, dipinjamkan, dan
sejenisnya.
Sedangkan cara pemanfaatannya adalah dengan menggunakannya
sesuai
dengan kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan.6
Sedangkan pengertian wakaf secara istilah, para ahli fiqh dan
ulama
berbeda pendapat dalam mendefinisikan wakaf antara lain:
3 Muhammad al-Khathib, al Iqna’, Bairut : Darul Ma’rifah dan Dr.
Wahbah Zuhaili, Al-
Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu, Damaskus : Dar al-Fikr
al-Mu’ashir, dikutip oleh Departemen Agama RI, Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, 2006, Cet. ke-4. hlm. 1.
4 Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial,
Jakarta: PENAMADANI, 2004, Cet. ke-4. hlm. 127.
5 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, Beirut: Dar al-Fikr,
tth, hlm. 406. 6 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, tth.
diterjemahkan oleh Masykur
A.B., Afif Muhammad, Fiqh Lima Madzhab, Jakarta: Lentera, 2007,
Cet. ke-6. hlm. 635.
-
21
1. Pengertian wakaf menurut Abu Hanifah, wakaf adalah menahan
sesuatu
benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka
mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi
tersebut,
menurut Abu Hanifah bahwa pemilikan harta wakaf tidak terlepas
dari
pemilikan si wakif, bahkan beliau membenarkan boleh menariknya
kembali
dan diperbolehkan untuk menjualnya.
2. Madzhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan
harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah
wakif
melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas
harta
tersebut kepada yang lain. Dan wakif berkewajiban
menyedekahkan
manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.7
3. Madzhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, beliau berpendapat
bahwa wakaf
adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif,
setelah
sempurna prosedur perwakafan.8
4. Imam Taqiyuddin Abi Bakr dalam kitab Kifayah al-Akhyar Juz
I
menjelaskan bahwa wakaf adalah menahan atau menghentikan harta
yang
dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk
mendekatkan
diri kepada Allah.9
5. Al-Kazimy al-Qazwiny dalam kitab al-Syi’ah fi ‘Aqaidihim wa
Ahkamihim
mendefinisikan hakikat wakaf adalah menahan suatu benda (‘ain)
dan
7 Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama
RI, 2006, Cet.ke-4, hlm.2. 8 Ibid, hlm. 3.
9 Taqiyuddin Abi Bakr, Kifayah al-Akhyar, Juz I, Mesir: Dar
al-Kitab al-Araby, tth, hlm. 319, dikutip oleh Ahmad Rofiq, Hukum
Islam di Indonesia, op. cit, hlm. 490.
-
22
menjalankan manfaatnya, dengan menggunakan kata “aku
mewakafkan”
atau “aku menahan” atau kata sepadannya.10
Dari definisi-definisi yang telah dijelaskan oleh para ahli fiqh
dan
ulama di atas, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan
wakaf
adalah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya untuk orang lain
guna
mengambil manfaat dari benda tersebut.
Pengertian wakaf menurut Undang-undang adalah sebagai
berikut:
a) Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 jo. Pasal 1 ayat (1) PP. No.
28/1977:
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau
badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.11
b) Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
wakaf:
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut Syari’ah.12
Dari beberapa pengertian wakaf di atas, dapat ditarik cakupan
wakaf,
meliputi:
a. Harta benda milik seseorang atau sekelompok orang.
b. Harta benda tersebut bersifat kekal zatnya, tidak habis
apabila dipakai.
c. Harta tersebut dilepas kepemilikannya oleh pemiliknya.
d. Harta yang dilepas kepemilikannya tersebut, tidak bisa
dihibahkan,
diwariskan, atau diperjualbelikan.
10 Al-Kazimy al-Qazwiny, al-Syi’ah fi ‘Aqaidihim wa Ahkamihim,
Beirut: Dar al-Zahra, 1379 H/1977 M, h. 185, dikutip oleh Ahmad
Rofiq, ibid, hlm. 491.
11 Lihat dalam Buku III Bab I Pasal 215 ayat (1) KHI. 12 Lihat
dalam Bab 1 Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang
Wakaf.
-
23
e. Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum
sesuai dengan
ajaran Islam.13
B. Dasar Hukum Wakaf
Sumber hukum Islam adalah al-Qur’an dan al-Sunnah. Namun
secara
teks kata wakaf tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Akan tetapi,
makna dan kandungan wakaf terdapat dalam dua sumber hukum Islam
tersebut.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang utama hanya memberi
petunjuk
secara umum tentang amalan wakaf, sebab amalan wakaf termasuk
salah satu
yang digolongkan dalam perbuatan baik. Ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan
dengan wakaf tersebut antara lain:
1. Al-Qur’an al-Hajj: 77
�ִ!"#�$%&�# '()�֠*+�, �,�-.��,� �,�-�/012�, �,�34�5�6�,�
�,�3489-�,� 1�:;<2 �,��=ִ�>?�,� @1AִB>��,
1�8%=ִ�C� 'D�3C�=>��E � �FF� Artinya: “Wahai orang-orang yang
beriman, rukuklah kamu, sujudlah
kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebaikan, agar kamu
beruntung”(QS. al-Hajj: 77).14
2. Al-Qur’an Surat Ali Imran: 92
GC� �,����HICE J@K�>��, LMNOִP �,�����.�E �Q☺�� 'D�68��S�
L
���� �,�����.�E G�� T��M⌧� ���VC? *+�, W�P�< X�Y�=�Z �X��
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.
Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah maha
mengetahui” (Qs. Ali Imran: 92).15
13 Ahmad Rofiq, op. cit, hlm. 491. 14 Al-Qur’an dan Tafsirnya,
Semarang: CV. Wicaksana, 1993, hlm. 476. 15 Menara Kudus, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Kudus: Menara Kudus, 2006, hlm. 62.
-
24
Sumber hukum Islam yang kedua adalah al-Sunnah. Para fuqaha
menyandarkan masalah wakaf ini pada hadits Nabi SAW, di antara
hadits-
hadits tersebut adalah sebagai berikut :
a. Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Iman Muslim dari Abu
Hurairah:
: �ل*َ (َ #َّ !َ وَ �ِ �ْ #َ �َ % هللاُ #َّ ر! ل هللا �َ نّ أ,
ھ���ة ر�� هللا ��ل ��� ��أ�� و �#( ��;:2 أ �9ر�8�7*7 ,�7 ا.َّ 566
,� ّ. ا ا2340 ��� �1#� 0/�ن.ا اذا,�ت
16 )واه ,/#(ر(وو>��8>= �8� >� أ �� Artinya:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwasannya Rosulullah
SAW bersabda : "Apabila manusia meninggal dunia putuslah
(pahala) amal perbuatannya kecuali dari tiga hal : shadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang
mendo'akannya". (HR. Muslim)
Pada hadits di atas yang dimaksud dengan shadaqah jariyah
menurut
penafsiran para ulama adalah wakaf,17 karena shadaqah jariyah
mengandung
harapan agar dari shadaqah tersebut pahalanya akan terus
mengalir, tidak akan
terputus sekalipun orangnya sudah meninggal.
b. Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim
yang
lebih sharih (jelas) menjelaskan tentang wakaf namun menggunakan
kata
habsu:
�#% هللا �#�� و!#( �ّ ��ّ % ا> AB, �ار�� �@��ا��ب ��1 : ��
ا�� ��1 *�ل/�,B;�C�A �4ل �� ر! ل , �هAار�� 0ّ أ !هللا Dھ ��� �@�
ا�� E* .�, Fا� )<
.ا0:� ��8ي ,�� �1ABل ,��0 ��؟�*)�C� D*8I: *�ل) ان D/�J DKL ا�#�C
و�1� �C� 8قI;A, ّ0ا ����.�C#و. � رث ,و. ��;�ع ,ع ا� ,Fل . و. �
ھ�*:
, /���ا>وا�� , !��� هللاو�A , ا>�*�ب و�A, %ا>��4 و�A,
ا>:�4اء �8I;A �A �1قQ�R
-
25
Artinya: “Dari Ibnu Umar, Ia berkata: Umar dapat satu tanah di
Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi SAW guna meminta instruksi
sehubungan dengan tanah tersebut, Ia berkata: Ya Rasulullah!
sesungguhnya aku telah memperoleh tanah di Khaibar, yang aku tidak
menyenanginya seperti padanya, apa yang engkau perintahkan kepadaku
dengannya?. Beliau bersabda: (jika kamu menginginkan tahanlah
aslinya dan shadaqahkan hasilnya). Maka bersadaqahlah Umar, tanah
tersebut tidak bisa dijual, dijualbelikan, diwariskan, dan
dihibahkan. Ia menshadaqahkannya kepada fakir, kerabat,
budak-budak, pejuang di jalan Allah, Ibnu Sabil dan tamu-tamu.
Tidak berdosa orang yang mengelolanya, memakan hasil dari tanah
tersebut dengan cara ma’ruf dan memakannya tanpa maksud memperkaya
diri. (Muttafaq ‘alaihi, tetapi lafal itu bagi Muslim).
Dasar hukum wakaf menurut hukum Indonesia diatur dalam
berbagai
pengaturan perundang-undangan, yaitu :
1. Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Dalam Pasal 49 ayat (3) Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5
Tahun 1960 ditetapkan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi
dan diatur
oleh peraturan pemerintah.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Tata Cara
Perwakafan
Tanah Milik.
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang
Tata Cara
Pendaftaran Tanah mengenai perwakaan tanah milik.
4. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang
Peraturan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.
5. Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978 tentang
Pendelegasian
Wewenang kepada Kepala-kepala Kantor Wilayah Departemen
Agama
Provinsi/setingkat di seluruh Indonesia untuk
mengangkat/memberhentikan
-
26
setiap kepala Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai Pejabat Pembuat
Akta
Ikrar Wakaf (PPAIW).
6. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan
Kompilasi
Hukum Islam.
7. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-
undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.19
C. Tujuan dan Fungsi Wakaf
1) Tujuan Umum
Tujuan umum wakaf yaitu bahwa wakaf memiliki fungsi sosial.
Allah
memberikan manusia kemampuan dan karakter yang beraneka ragam.
Dari
sinilah, kemudian timbul kondisi dan lingkungan yang berbeda di
antara
masing-masing individu. Ada yang miskin, kaya, cerdas, bodoh,
kuat dan
lemah. Dibalik semua itu, tersimpan hikmah. Di mana, Allah
memberikan
kesempatan kepada yang kaya menyantuni yang miskin, yang
cerdas
membimbing yang bodoh dan yang kuat menolong yang lemah.
Yang
demikian merupakan wahana bagi manusia untuk melakukan
kebajikan
sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah, sehingga interaksi
antar
manusia saling terjalin.20
19 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama
Media, 2008, Cet. ke-1.
hlm. 51-52. 20 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabsi, Hukum Wakaf :
Kajian Kontemporer Pertama
dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta
Penyelesaiannya atas Sengketa Wakaf, Depok : IIMan Press, 2004,
hlm. 83.
-
27
Dari perbedaan kondisi sosial tersebut, sudah sewajarnya
memberi
pengaruh terhadap bentuk dan corak mengenai pembelanjaan
harta
kekayaan. Ada pembelanjaan yang bersifat mengikat (wajib), ada
yang
bersifat sukarela (sunnah), ada yang bersifat tetap (paten), dan
ada juga yang
sekedar memberi manfaat (tidak paten). Namun demikian yang
paling
utama dari semua cara tersebut adalah mengeluarkan harta secara
tetap dan
langgeng dengan sistem yang teratur serta tujuan yang jelas.
Disitulah peran
wakaf yang menyimpan fungsi sosial dalam masyarakat dapat
diwujudkan.21
2) Tujuan Khusus
1. Semangat keagamaan, yaitu beramal karena untuk keselamatan
hamba
pada hari akhir kelak. Maka wakafnya tersebut menjadi sebab
keselamatan, penambahan pahala, dan pengampunan dosa.
2. Semangat sosial, yaitu kesadaran manusia untuk berpartisipasi
dalam
kegiatan bermasyarakat. Sehingga wakaf yang dikeluarkan
merupakan
bukti partisipasi dalam pembangunan masyarakat.
3. Motivasi keluarga, yaitu menjaga dan memelihara kesejahteraan
orang-
orang yang ada dalam nasabnya. Seseorang mewakafkan harta
bendanya
untuk menjamin kelangsungan hidup anak keturunannya, sebagai
cadangan disaat-saat mereka membutuhkannya.
4. Dorongan kondisional, yaitu terjadi jika ada seseorang yang
ditinggalkan
keluarganya, sehingga tidak ada yang menanggungnya, seperti
seorang
21 Ibid, hlm. 84.
-
28
perantau yang jauh meninggalkan keluarga. Dengan sarana wakaf,
wakif
dapat menyalurkan hartanya untuk menyantuni orang-orang
tersebut.22
Fungsi wakaf dalam Pasal 216 KHI adalah:
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai
dengan tujuannya.
Fungsi wakaf dalam Pasal 5 UU No. 41/2004:
Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta
benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk mewujudkan
kesejahteraan umum.
Fungsi wakaf menurut Pasal 216 KHI dan Pasal 5 UU No.
41/2004
dimaksudkan dengan adanya wakaf diharapkan tercipta sarana dan
prasarana
bagi kepentingan umum guna terwujudnya kesejahteraan bersama.
Terutama
kesejahteraan seseorang yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Dengan
adanya kepedulian bersama yang berbentuk wakaf, diharapkan
dapat
mensejahterakan perekonomian umat khususnya untuk seseorang
yang
hidupnya masih di bawah garis kemiskinan.
D. Rukun dan Syarat Wakaf
Meskipun para mujtahid berbeda pendapat dalam merumuskan
pergertian wakaf, namun mereka sepakat bahwa dalam pembentukan
wakaf
diperlukan beberapa rukun. Pengertian rukun secara bahasa yaitu
asas, dasar,
fondasi, pilar, pokok, prinsip, sendi.23 Sehingga dapat
diartikan yang dimaksud
dengan rukun di sini adalah sesuatu sudut tiang penyangga yang
merupakan
unsur pokok atau sendi utama dalam pembentukan suatu hal. Dengan
demikian
22 Ibid, hlm. 85. 23 W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
2006, Edisi. III, Cet. ke-3. hlm. 991.
-
29
tanpa adanya rukun, sesuatu hal tersebut tidak dapat berdiri
dengan tegak.
Sehingga wakaf dinyatakan sah apabila telah memenuhi
rukun-rukunnya.
Dalam bukunya Said Agil Husin al-Munawar dikutip dari Abdul
Wahab Khallaf menjelaskan bahwa rukun wakaf ada 4 macam,
yaitu:
1. Ada orang yang berwakaf atau wakif, yakni pemilik harta benda
yang
melalukan tindakan hukum;
2. Ada harta yang diwakafkan atau mauquf bih sebagai objek
perbuatan
hukum;
3. Ada tujuan wakaf atau yang berhak menerima wakaf, disebut
mauquf 'alaih;
4. Ada pernyataan wakaf dari si wakif yang disebut sighat24 atau
ikrar wakaf.25
Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf,
unsur
atau rukun wakaf di tambah 2 hal yaitu :
5. Ada pengelola wakaf atau nadzir;
6. Ada jangka waktu yang tak terbatas.
Rukun-rukun yang sudah dikemukan di atas, masing-masing dari
rukun
tersebut harus menenuhi syarat-syarat tertentu yang telah
disepakati oleh
sebagian besar ulama’. Syarat menurut bahasa yaitu
ketentuan-ketentuan yang
harus diindahkan atau dilakukan, segala sesuatu yang perlu atau
harus ada.26
Syarat-syarat perwakafan yang harus terpenuhi antara lain:
1. Wakif ) Q*وا( atau orang yang mewakafkan
24
Sighat atau ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif yang
dilahirkan dengan jelas mengenai benda yang di wakafkan, wakaf
tersebut diwakafkan kepada siapa dan dimanfaatkan untuk apa.
25 Said Agil Husin Al-Munawar, op. cit, hlm. 135.
26 W.J.S. Poerwadarminta, op. cit, hlm. 1171.
-
30
Wakif harus mempunyai kecakapan melakukan tabarrru’ yaitu
melepaskan hak milik tanpa mengharapkan imbalan materil. Artinya
mereka
telah dewasa (baligh), berakal sehat, tidak di bawah pengampuan
dan tidak
terpaksa berbuat.27 Mengenai kecakapan bertindak di dalam fiqh
Islam, ada
2 istilah yang perlu dipahami perbedaannya yaitu antara baligh
dan rasyid.
Baligh menitikberatkan pada usia, sedangkan rasyid pada
kecerdasan atau
kematangan dalam bertindak.28 Dan wakif adalah benar-benar
pemilik harta
yang diwakafkan.29 Kemampuan melakukan tabarru dalam perbuatan
wakaf
sangatlah penting, karena perbuatan wakaf merupakan pelepasan
benda dari
pemiliknya untuk kepentingan umum.
Dalam Pasal 7 UU No. 41/2004 menjelaskan bahwa wakif
meliputi:
a) Perseorangan. b) Organisasi. c) Badan hukum.
Menurut Pasal 8 UU No. 41/2004 menjelaskan bahwa:
1) Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a
hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan: a.
Dewasa; b. Berakal sehat; c. Tidak terhalang melakukan perbuatan
hukum; dan d. Pemilik sah harta benda wakaf.
2) Wakif organisasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7
huruf b hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan
organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi
sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
3) Wakif badan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7
huruf c hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan
badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum
sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
27Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan,
Yogyakarta: Pilar Media,
2006, Cet. ke-2. hlm. 26. 28 Said Agil Husin Al-Munawar, op.
cit, hlm. 136. 29 Ahmad Rofiq, op. cit, hlm. 493.
-
31
2. Mauquf bih * , �� ف( ) atau barang atau harta yang
diwakafkan
Mauquf bih dipandang sah apabila merupakan harta yang benilai,
tahan
lama dipergunakan dan hak milik wakif murni.30
Pasal 215 ayat (4) KHI menyebutkan bahwa:
Benda wakaf adalah segala benda bergerak atau tidak bergerak31
yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai
menurut ajaran Islam.
Pasal 217 ayat (3) KHI menyebutkan bahwa:
Benda wakaf sebagaimana dalam Pasal 215 ayat (4) harus merupakan
benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan
sengketa.
Pasal 15 UU No.41/2004 menyebutkan bahwa:
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan
dikuasai oleh Wakif secara sah.
3. Mauquf ‘alaih * , ��#� ف( ) atau tujuan wakaf/yang berhak
menerima wakaf
Mauquf ‘alaih tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
ibadah, hal
ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bagian
dari ibadah.
Selain tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah,
mauquf ‘alaih
harus jelas apakah untuk kepentingan umum ataukah ditujukan
untuk orang-
orang tertentu.32 Kepentingan umum yang dimaksud misalnya
untuk
mendirikan masjid, jalan raya, gedung sekolah, dan lain-lain.
Apabila
ditujukan untuk orang-orang tertentu, harus disebutkan nama atau
sifat
mauquf ‘alaih secara jelas agar harta wakaf segera diterima
setelah akad
diikrarkan.
30 Abdul Ghofur Anshori, op. cit, hlm. 27. 31 Yang dimaksud
dengan wakaf benda bergerak dan tidak bergerak lihat Pasal 16 ayat
(2
dan 3) UU No. 41/2004. 32 Abdul Ghofur Anshori, loc. cit.
-
32
4. Shighat 7Y��( ) atau pernyataan/ikrar wakif
Shighat (lafadz) atau pernyataan wakaf dapat dikemukakan
dengan
tulisan, lisan atau dengan suatu isyarat yang dapat dipahami
maksudnya.33
Pernyataan wakaf yang menggunakan tulisan atau dengan lisan
dapat
dipergunakan untuk menyatakan wakaf oleh siapa saja,
sedangkan
pernyataan wakaf yang menggunakan isyarat hanya dapat digunakan
untuk
orang yang tidak dapat menggunakan dengan cara tulisan atau
lisan.
Pasal 215 ayat (3) KHI yang dimaksud dengan ikrar adalah:
“Pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda
miliknya”.
Pasal 17 UU No. 41/2004 menjelaskan:
1) Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan
PPAIW34 dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi;
2) Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar
wakaf oleh PPAIW.
5. Nadzir Wakaf Q*
-
33
memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf
sebaik-
baiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya.36
Dalam Pasal 215 ayat (5) KHI yang dimaksud dengan nadzir
adalah:
Kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan
dan pengurusan benda wakaf.
Pasal 9 UU No. 41/2004 menjelaskan bahwa Nadzir meliputi:
a) Perseorangan b) Organisasi c) Badan hukum
Menurut Pasal 219 ayat (1) KHI, Nadzir perseorangan harus
memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia b. Harus beragama Islam c. Sudah
dewasa d. Sehat jasmani dan rohani e. Tidak berada di bawah
pengampuan f. Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda
yang di wakafkan.
Menurut Pasal 10 UU No. 41/2004 menjelaskan:
1) Perseorangan sebagaimnana yang dimaksud dalam Pasal 9 huruf a
hanya dapat menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan: a. Warga
negara Indonesia; b. Beragama Islam; c. Dewasa; d. Amanah; e. Mampu
secara jasmani dan rohani; dan f. Tidak terhalang melakukan
perbuatan hukum.
2) Nadzir Organisasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9
huruf b hanya dapat menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan: a.
Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan
nadzir
perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. Organisasi
yang bergerak dibidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. 3) Nadzir yang
berbadan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9
huruf c yang dapat menjadi Nadzir apabila memenuhi
persyaratan:
36 Abdul Ghofur Anshori, op. cit, hlm. 28.
-
34
a. Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan
nadzir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang.undangan yang berlaku;
c. Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial,
pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
6. Ada jangka waktu yang tak terbatas.
Wakaf menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
wakaf
dijelaskan:
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut Syari’ah.37
E. Macam-macam Wakaf
Wakaf terbagi menjadi beberapa macam antara lain:
1. Ditinjau dari segi peruntukan ditujukan kepada siapa wakaf
itu, maka wakaf
dapat dibagi menjadi dua (2) macam:
a. Wakaf Ahli
Yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu,
seseorang
atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf seperti ini juga
disebut
wakaf Dzurri.38
b. Wakaf Khairi
Yaitu wakaf yang secara tegas diperuntukkan untuk
kepentingan
agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum),39
seperti
mewakafkan sebidang tanah untuk membangun masjid, sekolah,
rumah
37 Lihat Bab 1 Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun
2004. 38 Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, hlm. 14. 39 Ibid, hlm.
16.
-
35
sakit, panti asuhan, dan sebagainya. Atau mewakafkan suatu harta
untuk
kepentingan sosial ekonomi untuk orang-orang yang
benar-benar
membutuhkan bantuan, seperti fakir miskin, anak yatim dan
sebagainya.40
2. Ditinjau berdasarkan batasan waktunya, wakaf terbagi menjadi
2 macam:
a. Wakaf Abadi
Yaitu bentuk barang yang diwakafkan bersifat abadi. Seperti
tanah
dan bangunan dengan tanahnya, barang bergerak yang ditentukan
oleh
wakif sebagai wakaf abadi dan produktif, di mana sebagian
hasilnya
untuk disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf, sedangkan sisanya
untuk
biaya perawatan wakaf dan mengganti kerusakannya.
b. Wakaf Sementara
Yaitu apabila barang yang diwakafkan berupa barang yang
mudah
rusak, ketika dipergunakan tanpa memberi syarat untuk
mengganti
bagian yang rusak. Wakaf sementara juga bisa dikarenakan
oleh
keinginan wakif yang memberi batasan waktu ketika mewakafkan
barangnya.41
3. Ditinjau dari penggunaannya wakaf dibagi menjadi 2 macam:
a. Wakaf Langsung
40 Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: Ciputat
Press, 2005, Cet. ke-1.
hlm. 25. 41 Mundzir Qahaf, Wakaf Islam, tth. diterjemahkan oleh
Muhyiddin Mas Rida,
Manajemen Wakaf Produktif, Jakarta: KHALIFA, 2005, Cet. ke-1.
hlm. 161.
-
36
Yaitu barang yang diwakafkan digunakan untuk mencapai
tujuannya. Seperti masjid untuk shalat, sekolah untuk kegiatan
belajar
mengajar, rumah sakit untuk menggobati orang sakit dan lain
sebagainya.
b. Wakaf Produktif
Yaitu barang yang diwakafkan digunakan untuk kegiatan
produksi
dan hasil dari produksi tersebut diberikan sesuai dengan tujuan
wakaf.42
F. Penyelesaian Sengketa Wakaf Menurut Hukum Islam dan
Undang-
undang Nomor 41 Tahun 2004
1. Penyelesaian Sengketa Wakaf Menurut Hukum Islam
Dalam agama Islam ada dua istilah yang biasanya
diterjemahkan
menjadi hukum Islam, yaitu syari’ah (syara’) dan fiqh. Kata
syariat adalah
sinonim dari kata “din” dan “millat”. Syariat adalah hukum-hukum
yang
telah jelas nash-nya (qath’i), sedangkan fiqh adalah hukum-hukum
yang
zhanni yang dapat dimasuki pemikiran manusia (ijtihadi).43
Yang dimaksud dengan hukum Islam dalam pembahasan sengketa
wakaf di sini adalah fiqh. Karena secara teks pembahasan
mengenai
penyelesaian sengketa wakaf tidak terdapat dalam al-Qur’an
(syariat),
bahkan makna dan kandungan wakaf juga tidak dijelaskan secara
rinci di
dalam nash tersebut. Hanya saja al-Qur’an sering menyatakan
konsep wakaf
dengan ungkapan yang menyatakan tentang derma harta (infaq)
demi
kepentingan umum. Meskipun demikian, para ahli fiqih Islam
dalam
42 Ibid, hlm. 162. 43 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam
di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan
dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, Cet. ke-1.
hlm. 42.
-
37
mengeluarkan pendapat (berijtihad) berpedoman pada al-Qur’an dan
al-
Sunnah. Kebebasan dalam berijtihad tersebut sudah ada sejak
masa
Khulafa’ur Rasyidin.
Permasalahan atau sengketa wakaf biasanya didahului dengan
sebuah
gugatan wakaf atau pengaduan mengenai perwakafan. Menurut
Muhammad
Abid Abdullah Al-Kabisi dalam bukunya Hukum Wakaf
menjelaskan
mengenai permasalahan perwakafan yang didahului adanya sebuah
gugatan.
Hakikat wakaf dan esensinya merupakan salah satu bentuk
penggunaan harta, di mana seorang wakif mengeluarkan bagian
tertentu dari
miliknya dan mengalihkan kepemilikannya kepada Allah, agar
manfaatnya
dapat diberikan kepada kelompok tertentu. Dengan cara dikuasakan
kepada
orang yang mampu untuk mengelolanya menurut sistem dan aturan
yang
memberikan maslahat bagi umat. Atas dasar inilah adanya hukum
khusus
yang mengatur tata cara wakaf sangat diperlukan. Di antara hukum
tersebut
yaitu yang berkenaan dengan gugatan atas wakaf dan cara
pembuktiannya.44
Secara bahasa gugatan (da’wa) berasal dari kata iddi’a dalam
bentuk
masdar (kata benda bentukan) artinya sebutan untuk suatu perkara
yang
digugatkan. Kata da’wa ini terbentuk dari kata al-du’a yang
berarti
permintaan, yang dalam bentuk jamaknya adalah da’awa atau
da’awi.
Pengertian gugatan menurut para fuqaha yaitu perkataan yang bisa
diterima
seorang hakim, yang dimaksudkan untuk menuntut haknya pada orang
lain
atau membela haknya sendiri. Sedangkan pengertian gugatan
menurut pakar
44 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabsi, op. cit, hlm. 553.
-
38
hukum menyebutkan bahwa yang dinamakan gugatan adalah
tuntutan
seseorang atas haknya kepada orang lain melalui
pengadilan.45
Lembaga khusus pemeriksa gugatan wakaf adalah seorang hakim.
Tugas hakim dalam negara Islam adalah untuk menegakkan keadilan
di
antara manusia, menyelesaikan persengketaan, permusuhan, dan
tindak
kriminal maupun kezaliman. Hakim juga menjadi wali bagi orang
yang
tidak memiliki kecakapan hukum untuk mengurusi dirinya sendiri,
seperti
menjadi wali dalam pengelolaan wakaf dan tugas lainnya yang
berkenaan
dengan penyelesaian macam-macam persengketaan yang diajukan
kepadanya. Praktik yang sedemikian ini pernah terjadi di
kalangan umat
Islam yaitu Nabi Muhammad SAW berperan langsung dalam
menangani
tugas kehakiman di negara Islam, di samping sebagai pemimpin
negara.
Setelah negara Islam bertambah luas, para hakim ditugaskan di
berbagai
negeri dan plosok daerah Islam untuk menyelesaikan perselisihan
dan
sengketa yang terjadi di antara umat manusia.46
Pada zaman Nabi Muhammad SAW proses peradilan dan pemberian
bantuan hukum berlangsung dengan sangat sederhana. Jika ada
seseorang
yang menemui satu permasalahan hukum, baik yang berkaitan
dengan
kaifiyyah ibadah maupun permasalahan muamalah sehari-hari, maka
ia
dapat segera datang kepada Nabi untuk konsultasi meminta fatwa
atau
meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun
mencari
tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan
(qadla) yang
45 Ibid, hlm. 554. 46 Ibid, hlm. 554-555.
-
39
dilakukan oleh Nabi lebih bersifat sebagai ”fatwa” dengan
model-model
tanya jawab.47
Namun meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat
sederhana,
tetapi tidak mengabaikan prinsip-prinsip pembuktian dalam
rangka
mewujudkan keadilan. Rasullah SAW menyarankan bahwa ketika
terjadi
persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran,
maka
keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil
keputusan
(qadli) mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak secara
seimbang.
Proses penyelesaian perkara sebagaimana yang dipraktikkan oleh
Nabi
SAW tersebut memberikan pelajaran yang sangat penting, yaitu
harus
dilaksanakan secara cepat dan dengan proses yang
sederhana.48
Dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa ketika terjadi
sengketa
perwakafan yang didahului dengan adanya sebuah gugatan
(pengaduan)
menurut hukum Islam yang berlaku, maka dapat diselesaiakan di
lembaga
khusus pemerikasaan gugatan. Dalam hal ini adalah seorang hakim
(qadli)
yang diberi kewenangan khusus untuk menegakkan keadilan di
kalangan
masyarakat, akan tetapi seorang hakim (qadli) dalam mengambil
sebuah
keputusan diharapkan terlebih dahulu untuk mendengarkan
keterangan dari
kedua belah pihak secara seimbang.
47 Nur Khoirin, Melacak Praktik Bantuan Hukum Dalam Sistem
Peradilan di Indonesia,
Semarang: Kementrian Agama Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo Semarang, 2012, hlm. 126.
48 Ibid, hlm. 126-128.
-
40
2. Penyelesaian Sengketa Wakaf Menurut Undang-undang Wakaf Nomor
41
Tahun 2004 tentang Wakaf
Bagi masyarakat muslim, wakaf mempunyai nilai ajaran yang
sangat
tinggi dan mulia dalam pengembangan keagamaan dan
kemasyarakatan,
selain zakat, infaq, dan sedekah.49 Sejak Islam datang ke
wilayah Nusantara,
pelaksanaan ibadah wakaf dilaksanakan berdasarkan paham yang
dianut
oleh sebagian besar masyarakat Islam Indonesia yaitu Syafi’iyyah
dan adat
kebiasaan setempat,50 seperti kebiasaan melakukan perbuatan
hukum
perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepeda
seseorang
atau suatu lembaga tertentu. Kebiasaan pemahaman yang seperti
itu, sering
sekali mengakibatkan terjadinya suatu perselisihan atau sengketa
atas tanah
wakaf, seperti penarikan kembali terhadap harta benda wakaf
yang
dilakukan oleh ahli waris. Hal yang sedemikian itu dikarenakan
tidak
adanya dokumen yang menguatkan bahwa harta tersebut telah di
wakafkan
oleh wakif.
Timbulnya sengketa hukum bermula dari adanya pengaduan suatu
pihak (orang/badan) yang berisi tentang keberatan-keberatan dan
tuntutan
hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun
kepemilikannya
dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi
sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Akan tetapi, tujuan sebenarnya
akan
berakhir kepada tuntutan bahwa ia adalah yang lebih berhak dari
yang lain
49 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan
Wakaf, Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2006, hlm. 53.
50 Ibid, hlm. 57.
-
41
(prioritas) atas tanah sengketa, oleh karena itu dalam
penyelesaian sengketa
hukum itu tergantung dari sifat atau masalah yang dilakukan
sehingga
prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum
diperoleh
suatu keputusan.51 Pola penyelesaian sengketa dapat dibagi
menjadi dua
macam, yaitu:
1). Melalui pengadilan.
2). Alternatif penyelesaian sengketa.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah suatu pola
penyelesaian sengketa yang terdiri dari pihak yang diselesaikan
oleh
pengadilan.52 Namun tidak menutup kemungkinan bagi instansi
untuk dapat
memutuskan sengketa dengan mengeluarkan suatu keputusan
administrasi
sesuai dengan kewenangan yang ada berdasarkan ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku.53 Sedangkan alternatif
penyelesaian
sengketa adalah penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur
yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan
dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian
ahli (Pasal 1
ayat (10) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1991 ).54
Mengenai tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa
perwakafan
Pasal 62 UU No. 41/2004 menjelaskan sebagai berikut:
51 Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah,
Bandung: Penerbit
Alumni, 1991, hlm. 22. 52 Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik
Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika,
2006, Cet. ke-4. hlm. 140. 53 Rusmadi Murad, op. cit, hlm. 27.
54 Undang-Undang Nomor 30 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa,
Jakarta: BP. Cipta Jaya, 1999, hlm. 5.
-
42
(1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah
untuk mencapai mufakat.
(2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi,
arbitrase, atau pengadilan.55
Mediasi menurut Takdir Rahmadi dalam bukunya Mediasi
Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, yang
dimaksud
dengan mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara
dua pihak
atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan
pihak
yang netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Pihak netral
tersebut
disebut mediator dengan tugas memberikan bantuan prosedural
dan
subtansial.56
Arbitrase atau Arbitrasi (arbitration) adalah cara
penyelesaian
sengketa oleh para pihak dengan meminta bantuan kepada pihak
yang netral
yang memiliki kewenangan memutus yang disebut arbiter atau
arbitrator.
Proses arbitrase berlangsung secara adversarial, yaitu para
pihak saling
mengemukakan bukti, saling membantah, dan saling
mengemukakan
argumentasi seperti halnya para pihak dalam proses berperkara
di
pengadilan (litigation).57
Setelah pemberlakuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan
Agama, kekuasaan mutlak (absolut competence) Peradilan Agama
55 Lihat dalam BAB VII Pasal 62 Undang-undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf. 56 Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian
Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010, Cet. ke-1. hlm. 12. 57
Ibid, hlm. 20.
-
43
diperluas.58 Kewenangan absolut Pengadilan Agama menurut
Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 yang secara tegas menyebutkan
bahwa
Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan
dan
menyelesaikan perkara perdata antara orang yang beragama Islam
di bidang:
“Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah
dan
ekonomi syari’ah (Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang
Peradilan Agama)”.59
Mengenai tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa
perwakafan
yang disarankan oleh Pasal 62 UU No. 41/2004 terdapat persamaan
dan
perbedaannya.
a) Mediasi dan Arbitrase
Ad.a.1. Persamaan antara mediasi dan arbitrase adalah:
1) Keduanya adalah bentuk resolusi konflik.
2) Adanya pihak ketiga yang membantu penyelesaian masalah.
3) Pihak ketiga membantu menyediakan situasi atau memfasilitasi
proses
agar kedua belah pihak atau para pihak yang bersengketa atau
bertikai
dapat berkomunikasi dan meyelesaikan masalah mereka.
Ad.a.2. Perbedaan antara mediasi dan arbitrase adalah:
1) Pihak ketiga dalam mediasi hanya bertindak sebagai
fasilitator dan
tidak berperan dalam memberikan keputusan atas hasil
pembicaraan
antara kedua belah pihak, sedangkan pihak ketiga dalam
arbitrase
berperan dalam memberikan keputusan akhir kepada para pihak.
58 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama
Media, 2008, Cet. ke-1. hlm. 179.
59 Lihat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
-
44
2) Mediasi umumnya menganut prinsip win-win solution (upaya
mencari
solusi yang bisa diterima kedua belah pihak dan semaksimal
mungkin
memenuhi kebutuhan para pihak), sedangkan arbitrase menganut
prinsip zero sum game (permainan menang dan kalah) karena
arbitrator memutuskan siapa yang menang dan yang kalah dan
siapa
yang berhak dan yang berkewajiban.
3) Dalam mediasi, proses pembuktian bukan menjadi asas
penyelesaian
masalah dan tidak dituntut dalam prosesnya. Sedangkan dalam
arbitrase pembuktian sangat penting dan dituntut dari para
pihak.60
b) Mediasi dan Litigasi
Ad.b.1. Persamaan antara mediasi dan litagasi adalah:
1) Keduanya adalah bentuk resolusi konflik.
2) Adanya pihak ketiga yang membantu penyelesaian masalah.
3) Pihak ketiga membantu menyediakan situasi atau memfasilitasi
proses
agar kedua belah pihak atau para pihak yang bersengketa atau
bertikai
dapat berkomunikasi dan meyelesaikan masalah mereka.
Ad.b.2. Perbedaan antara mediasi dan litigasi adalah:
1) Adanya akomodasi interest dan kebutuhan para pihak dalam
mediasi.
Sedangkan dalam litigasi yang terjadi adalah penguatan hak dari
salah
satu pihak.
2) Mediasi didasarkan prinsip sukarela dan tidak memaksa,
sedangkan
keputusan litigasi bersifat memaksa dan mengikat.
60 Ahwan Fanani, Pengantar Mediasi (Fasilitatif): Prinsip,
Metode, dan Teknik,
Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2012, hlm.
24.
-
45
3) Proses mediasi cenderung longggar dan memperhatikan
dinamika
komunikasi antara para pihak, sedangkan dalam proses
litigasi
dibimbing oleh prosedur yang baku, sebagaimana diatur dalam
hukum
acara.
4) Pembuktian dalam mediasi bukan menjadi asas yang utama,
meskipun
bisa dilakukan kerena mediasi lebih menekankan visi ke depan
bagaimana para pihak bisa mencari jalan keluar bersama dari
permasalahan atau sengketa yang mereka hadapi. Sedangkan
dalam
proses litigasi pembuktian menempati posisi sentral sebagai
dasar
pengambilan keputusan.
5) Proses penyelesaian masalah dalam mediasi bersifat
kolaboratif
(proses bersama oleh para pihak untuk mencapai kata
sepakat).
Sedangkan dalam Proses litigasi yang terjadi adalah proses
pertentangan karena masing-masing pihak dituntut untuk
membuktikan klaim masing-masing.61
Pasal 62 UU No. 41/2004 menjelaskan bahwa dalam
menyelesaikan
permasalahan terhadap harta benda wakaf agar terlebih dahulu
mengutamakan sikap musyawarah untuk mencapai mufakat.
Apabila
dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat tidak berhasil
dilakukan,
dapat diselesaikan melalui mediasi maupun arbitrase. Jika ketiga
cara
tersebut juga tidak berhasil dilakukan, maka cara terakhir yang
harus
61 Ibid, hlm. 25.
-
46
ditempuh adalah melalui jalur pengadilan (litigation).
Berdasarkan setelah
pemberlakuan UU No.3/2006 tentang perubahan atas UU No.
7/1989
tentang kekuasaan mutlak (absolut competence) Peradilan Agama
bahwa
perkara perdata antara orang yang beragama Islam, dalam hal ini
masalah
yang berkaitan dengan praktik perwakafan harus diselesaikan di
Pengadilan
Agama.