2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Lamun Syringodium isoetifolium Lamun (seagrass) adalah satu-satunya kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang terdapat di wilayah perairan. Tumbuh-tumbuhan ini hidup di habitat perairan pantai yang dangkal. Seperti halnya rumput di darat, mereka mempunyai tunas berdaun yang tegak dan tangkai-tangkai yang merayap yang efektif untuk berkembang biak. Berbeda dengan tumbuh-tumbuhan laut lainnya (alga atau rumput laut), lamun berbunga, berbuah dan menghasilkan biji. Mereka juga mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan zat-zat hara (Romimohtarto dan Juwana 2007). Lamun merupakan tumbuhan laut yang istimewa, dimana jenis tumbuhan ini mampu beradaptasi dengan lingkungan dekat pantai di sebagian besar benua di dunia. Akan tetapi, ditemukan beberapa spesies yang tidak dapat bereproduksi kecuali muncul pada saat air surut atau pada saat pemasukan air tawar. Beberapa jenis lamun mampu bertahan dalam berbagai kondisi seperti air tawar, muara, laut atau daerah bersalinitas tinggi. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 52 jenis lamun, dimana di Indonesia ditemukan sekitar 15 jenis yang termasuk ke dalam 2 famili, yaitu Hydrocharitaceae, dan Potamogetonaceae (Short dan Coles 2006). Syringodium isoetifolium merupakan jenis lamun yang tergolong dalam famili Potamogetonaceae. Adapun klasifikasi dari Syringodium isoetifolium menurut den Hartog (1970) diacu dalam Short dan Coles (2006) adalah sebagai berikut: Divisi : Anthophyta Kelas : Angiospermae Famili : Potamogetonacea Subfamili : Cymodoceoideae Genus : Syringodium Spesies : Syringodium isoetifolium Syringodium isoetifolium adalah jenis lamun yang memiliki rimpang dengan jenis rimpang/akar bercabang, terdiri dari 1-3 cabang kecil. Pada setiap cabang terdiri dari 2-3 daun. Bentuk daun dari lamun ini seperti pipa atau
14
Embed
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/51108/5/C11nuk_BAB... · 7 Prinsip metode ekstraksi menggunakan pelarut organik
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Lamun Syringodium isoetifolium
Lamun (seagrass) adalah satu-satunya kelompok tumbuh-tumbuhan
berbunga yang terdapat di wilayah perairan. Tumbuh-tumbuhan ini hidup di
habitat perairan pantai yang dangkal. Seperti halnya rumput di darat, mereka
mempunyai tunas berdaun yang tegak dan tangkai-tangkai yang merayap yang
efektif untuk berkembang biak. Berbeda dengan tumbuh-tumbuhan laut lainnya
(alga atau rumput laut), lamun berbunga, berbuah dan menghasilkan biji. Mereka
juga mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan zat-zat hara
(Romimohtarto dan Juwana 2007).
Lamun merupakan tumbuhan laut yang istimewa, dimana jenis tumbuhan
ini mampu beradaptasi dengan lingkungan dekat pantai di sebagian besar benua di
dunia. Akan tetapi, ditemukan beberapa spesies yang tidak dapat bereproduksi
kecuali muncul pada saat air surut atau pada saat pemasukan air tawar. Beberapa
jenis lamun mampu bertahan dalam berbagai kondisi seperti air tawar, muara, laut
atau daerah bersalinitas tinggi. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 52 jenis
lamun, dimana di Indonesia ditemukan sekitar 15 jenis yang termasuk ke dalam 2
famili, yaitu Hydrocharitaceae, dan Potamogetonaceae (Short dan Coles 2006).
Syringodium isoetifolium merupakan jenis lamun yang tergolong dalam
famili Potamogetonaceae. Adapun klasifikasi dari Syringodium isoetifolium
menurut den Hartog (1970) diacu dalam Short dan Coles (2006) adalah sebagai
berikut:
Divisi : Anthophyta
Kelas : Angiospermae
Famili : Potamogetonacea
Subfamili : Cymodoceoideae
Genus : Syringodium
Spesies : Syringodium isoetifolium
Syringodium isoetifolium adalah jenis lamun yang memiliki rimpang
dengan jenis rimpang/akar bercabang, terdiri dari 1-3 cabang kecil. Pada setiap
cabang terdiri dari 2-3 daun. Bentuk daun dari lamun ini seperti pipa atau
5
menyerupai sedotan, dengan panjang daun mencapai 30 cm dan diameter daun 1-2
mm. Daun lamun ini memiliki 7-10 vena tepi dengan diameter jauh lebih kecil
daripada urat pusat (Short and Coles 2006). Morfologi lamun Syringodium
isoetifolium dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Syringodium isoetifolium
(Sumber: Anonim 2010)
Syringodium isoetifolium merupakan jenis spesies yang membentuk
komunitas padang lamun tunggal. Komunitas tunggal ini umum dijumpai di
dataran lumpur dekat ekosistem hutan mangrove. Secara ekologis lamun
mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu sebagai produsen
detritus dan zat hara, mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak,
dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang, sebagai tempat
berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota
laut terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini dan sebagai
pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari.
Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap distribusi dan kestabilan
ekosistem lamun adalah kecerahan, temperatur, salinitas, substrat dan kecepatan
arus (Hidayatullah 2010).
2.2 Ekstraksi Senyawa Aktif
Ekstraksi adalah penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari bagian
tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif
terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda demikian pula
6
ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut tertentu dalam
mengekstraksinya. Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen
kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip
perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai
terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut
(Harborne 1987).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi adalah tipe persiapan
sampel, waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, suhu pelarut dan tipe pelarut. Cara-cara
ekstraksi menurut Harborne (1987) adalah sebagai berikut:
a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam pelarut
dengan atau tanpa pengadukan;
b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan.
c) Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk
melarutkan sampel di dalam perkulator sampai senyawa kimianya terlarut.
d) Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.
e) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk melarutkan
sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi
f) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana sampel
dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan;
g) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang
menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz.
Metode ekstraksi yang digunakan tergantung dari beberapa faktor, antara
lain tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat-sifat komponen yang akan diekstrak
dan sifat-sifat pelarut yang digunakan. Metode umum ekstraksi yang dapat
dilakukan terdiri dari ekstraksi dengan pelarut, destilasi, supercritical fluid
extraction (SFE), pengepresan mekanik dan sublimasi. Diantara metode-metode
yang telah dilakukan, metode yang banyak digunakan adalah destilasi dan
ekstraksi menggunakan pelarut (Houghton dan Raman 1998). Ekstraksi
menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu aqueous phase dan
organic phase. Ekstraksi aqueous phase dilakukan dengan menggunakan pelarut
air, sedangkan organic phase menggunakan pelarut organik (Mulyono dan
Indarsih 2006).
7
Prinsip metode ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang
akan diekstrak kontak langsung dengan pelarut pada waktu tertentu kemudian
diikuti dengan pemisahan dari bahan yang telah diekstrak (Houghton dan Raman
1998). Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut
yang berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang
relatif sama kepolarannya. Derajat polaritas tergantung pada tahapan dielektrik,
makin besar tahapan dielektrik semakin polar pelarut tersebut (Harborne 1987).
Pelarut yang bersifat polar, mampu mengekstrak senyawa alkaloid
kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam amino, dan glikosida
(Harborne 1987). Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa
faktor antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang
digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu
ekstraksi, dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et
al. 1995). Jenis dan mutu pelarut yang digunakan menentukan keberhasilan proses
ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkannya,
mempunyai titik didih yang rendah, murah, tidak toksik, dan mudah terbakar
(Ketaren 1986).
2.3 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat
reaktif karena mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital
terluarnya. Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan
bereaksi dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron.
Reaksi ini akan berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan
akan menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan
dini, serta penyakit degeneratif lainnya. Secara umum, radikal bebas dapat
terbentuk melalui beberapa cara, yaitu melalui absorpsi radiasi (ionisasi, UV,
radiasi sinar tampak, radiasi panas) dan melalui reaksi redoks, dengan mekanisme
reaksi fisi ikatan homolitik atau pemindahan elektron (Andayani et al. 2008).
Pengaruh radiasi ionisasi terhadap materi biologik akan menghasilkan
bermacam-macam radikal bebas yang kompleks, terutama radikal hidrogen (H•),
hidroksil (OH•) dan elektron, yang siap berinteraksi dengan biomolekul-
biomolekul lain yang berdekatan. Energi panas juga dapat menghasilkan radikal
8
bebas. Secara umum, suhu tinggi dibutuhkan untuk memecahkan ikatan kovalen,
tetapi beberapa ikatan yang relatif tidak stabil dapat dipecahkan secara homolitik
pada suhu 30-50 °C. Senyawa-senyawa ini sebagian besar merupakan pencetus
(initiator) reaksi pembentukan radikal bebas. Zat-zat organik ataupun xenobiotik
yang terpapar suhu tinggi, misalnya polutan, sampah organik yang dibakar, rokok
yang terbakar, menghasilkan campuran berbagai radikal bebas yang kompleks.
Beberapa reaksi redoks penghasil radikal bebas membutuhkan katalisator,
biasanya logam transisi atau suatu enzim (metaloenzim atau flavoprotein)
(Winarsi 2007).
Berbagai proses metabolisme normal dalam tubuh dapat menghasilkan
radikal bebas dalam jumlah kecil sebagai produk antara. Di dalam sel hidup
radikal bebas terbentuk pada membran plasma dan organel-organel seperti
mitokondria, peroksisom, retikulum endoplasmik dan sitosol; melalui reaksi-
reaksi enzimatik fisiologik yang berlangsung dalam proses metabolisme. Proses
fagositosis oleh sel-sel fagositik termasuk netrofil, monosit, makrofag dan
eosinofil, juga menghasilkan radikal bebas, yaitu superoksida (O2)
(Sargowo 1993).
Radikal bebas bersifat sangat reaktif, dapat menimbulkan perubahan
kimiawi dan merusak berbagai komponen sel hidup seperti protein, gugus tiol
nonprotein, lipida, karbohidrat, nukleutida. Terhadap protein, radikal bebas dapat
menyebabkan fragmentasi dan cross linking, sehingga mempercepat terjadinya
proteolisis. Pengaruh radikal bebas pada gugus tiol enzim akan menyebabkan
antara lain perubahan dalam aktivitas enzim tersebut. Terhadap lipida
menyebabkan reaksi peroksidasi yang akan mencetuskan proses otokatalitik yang
akan menjalar sampai jauh dari tempat asal reaksi semula. Terhadap nukleotida
radikal bebas akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur (DNA atau RNA)
yang menyebabkan terjadinya mutasi atau sitotoksisitas (Sargowo 1993).
2.4 Antioksidan
Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir
radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas
terhadap sel normal, protein, dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal bebas
dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan
9
menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang
dapat menimbulkan stres oksidatif. Antioksidan yang dikenal ada yang berupa
enzim dan ada yang berupa mikronutrien. Enzim antioksidan dibentuk dalam
tubuh, yaitu super oksida Dismutase (SOD), glutation peroksidase, katalase, dan
glutation reduktase, sedangkan antioksidan yang berupa mikronutrien dikenal tiga
yang utama, yaitu : β-karoten, vitamin C dan vitamin E. β-karoten merupakan
scavengers (pemulung) oksigen tunggal, vitamin C pemulung superoksida dan
radikal bebas yang lain, sedangkan vitamin E merupakan pemutus rantai
peroksida lemak pada membran dan Low Density Lipoprotein. Vitamin E yang
larut dalam lemak merupakan antioksidan yang melindungi Poly Unsaturated
Faty Acids (PUFAs) dan komponen sel serta membran sel dari oksidasi oleh
radikal bebas (Winarsi 2007).
2.4.1 Fungsi dan sumber antioksidan
Keseimbangan oksidan dan antioksidan sangat penting, hal ini berkaitan
dengan berfungsinya sistem imunitas tubuh. Kondisi seperti ini bertujuan untuk
menjaga integritas dan berfungsinya membran lipida, protein sel, dan asam
nukleat, serta mengontrol tranduksi signal dan ekspresi gen dalam sel imun.
Komponen terbesar yang menyusun membran sel adalah senyawa asam lemak tak
jenuh, yang diketahui sangat sensitif terhadap perubahan keseimbangan oksidan-
antioksidan. Membran merupakan barrier penting demi berfungsinya sel,
demikian juga membran sel imun terhadap serangan berbagai benda asing
(antigen). Oleh sebab itu, sel imun memerlukan antioksidan dalam kadar lebih
tinggi dibandingkan dengan sel-sel lain (Winarsi 2007).
Penyebab utama kerusakan oksidatif di dalam tubuh adalah senyawa
oksidan, baik yang berbentuk radikal bebas ataupun bentuk senyawa oksigen
reaktif lain yang bersifat sebagai oksidator. Kerusakan oksidatif terjadi sebagai
oksidator. Kerusakan oksidatif terjadi sebagai akibat rendahnya antioksidan dalam
tubuh sehingga tidak dapat mengimbangi reaktivitas senyawa oksidan. Secara
umum, antioksidan dikelompokkan menjadi 2, yaitu antioksidan enzimatis dan
nonenzimatis. Antioksidan enzimatis misalnya enzim superoksida dismutase
(SOD), katalase dan glutation peroksidase. Antioksidan nonenzimatis terdiri dari
2 kelompok, yaitu antioksidan larut lemak dan antioksidan larut air. Antioksidan
10
enzimatis dan nonenzimatis tersebut bekerja sama memerangi aktivitas senyawa
oksidan dalam tubuh. Terjadinya stress oksidatif dapat dihambat oleh kerja enzim-
enzim antioksidan dalam tubuh dan antioksidan nonenzimatik (Winarsi 2007).
2.4.2 Mekanisme kerja antioksidan
Pada mulanya terjadi oksidasi lemak di dalam bahan makanan atau sistem
biologis pada umumnya. Oksidasi lemak terdiri dari tiga tahap utama, yaitu
inisiasi, propagasi, dan terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal
asam lemak, yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil
dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen (reaksi 1). Pada tahap
selanjutnya, yaitu propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen
membentuk radikal peroksi (reaksi 2). Radikal peroksi lebih lanjut akan
menyerang asam lemak menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam lemak
baru (reaksi 3) (Rohman dan Riyanto 2005).
Inisiasi : RH R• + H• ……………………... (1)
Propagasi : R• + O2 ROO• …..……………….. (2)
: ROO• + RH ROOH + R• ...….…... (3)
Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil dan akan terdegradasi
lebih lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek seperti
aldehida dan keton yang bertanggung jawab atas flavor makanan berlemak. Tanpa
adanya antioksidan, reaksi oksidasi lemak akan mengalami terminasi melalui
reaksi antar radikal bebas membentuk kompleks radikal bebas (reaksi 4)
(Rohman dan Riyanto 2005).
Terminasi : ROO• + ROO• non radikal ………. (4)
R• + ROO• non radikal …………... (4)
R• + R• non radikal ……….….…….. (4)
Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal asam lemak segera
setelah senyawa tersebut terbentuk. Dari berbagai jenis antioksidan yang ada,
mekanisme kerja serta kemampuannya sebagai antioksidan sangat bervariasi.
Seringkali, kombinasi beberap jenis antioksidan memberikan perlindungan yang
lebih baik (sinergisme) terhadap oksidasi dibandingkan dengan satu jenis
antioksidan saja. Sebagai contoh, asam askorbat seringkali dicampur dengan
antioksidan yang merupakan senyawa fenolik untuk mencegah oksidasi lemak.
11
Asam askorbat dapat meregenerasi senyawa fenolik dengan jalan
menyumbangkan satu atom hidrogennya kepada radikal fenoksil yang terbentuk
ketika fenolik menyumbangkan satu atom hidrogennya kepada radikal asam
lemak. Agar asam askorbat dapat berperan lebih efektif pada media lemak, asam
askorbat diubah menjadi bentuk yang lebih tidak polar, yaitu bentuk ester asam
lemaknya (misalnya askorbil palmitat). Senyawa-senyawa yang memberikan efek
sinergisme antioksidan tersebut sering disebut sebagai antioksidan sekunder,
sedangkan antioksidan utamanya dikenal sebgai antioksidan primer
(Siagian 2002).
Adanya ion logam, terutama besi (Fe) dan tembaga (Cu), dapat mendorong
terjadinya oksidasi lemak (bertindak sebagai prooksidan). Ion-ion logam ini
seringkali diinaktivasi dengan penambahan senyawa pengkelat seperti asam sitrat
dan EDTA. Dalam kapasitasnya tersebut, senyawa pengkelat dapat juga disebut
bersifat sinergistik dengan antioksidan karena menaikkan efektivitas antioksidan
utamanya. Suatu senyawa untuk dapat digunakan sebagai antioksidan harus
mempunyai sifat-sifat tidak toksik, efektif pada konsentrasi yang rendah (0,01 –
0,02%), dan dapat terkonsentrasi pada permukaan/lapisan lemak (bersifat
lipofilik). Selain itu, antioksidan harus dapat tahan pada kondisi pengolahan
pangan pada umumnya. Antioksidan yang sering ditambahkan ke dalam makanan
dapat bersifat alami, seperti tokoferol dan β-karoten atau merupakan antioksidan
sintetis seperti butylated hydorxyanisole (BHA), butylated hydroytoluene (BHT),
propil galat (PG), dan tertbutyl hydroquinone (TBHQ). Tokoferol dan β-karoten
dapat pula disintesis sehingga bersifat identik dengan senyawa alaminya .
Senyawa lain, nordihidro asam guaiaretat, NDGA (turunan asam guaiat),
sebenarnya merupakan antioksidan yang efektif. Meskipun demikian,
penggunaannya untuk makanan tidak biasa karena harganya relatif mahal dan
bahkan di beberapa negara dilarang karena bersifat toksik (Siagian 2002).
2.5 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH)
Metode yang umum digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan suatu
bahan adalah menggunakan radikal bebas diphenylpicrylhydrazyl (DPPH). DPPH
adalah radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokasi
elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif
12
sebagaimana radikal bebas yang lain. Proses delokasi ini ditunjukkan dengan
adanya warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada pita absorbansi
dalam pelarut etanol pada panjang gelombang 520 nm (Molyneux 2004).
Metode uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan radikal bebas
DPPH banyak dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya
memerlukan sedikit sampel (Hanani et al. 2005). Kapasitas antioksidan pada uji
ini bergantung pada struktur kimia dan antioksidan. Pengurangan radikal DPPH
bergantung pada jumlah grup hidroksil yang ada pada antioksidan, sehingga
metode ini memberikan sebuah indikasi dari ketergantungan struktural
kemampuan antioksidan dari antioksidan biologis (Vattem dan Shetty 2006).
Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan
prinsip spektrofotometri. Senyawa DPPH (dalam metanol) berwarna ungu tua
terdeteksi pada panjang gelombang sinar tampak sekitar 517 nm. Suatu senyawa
dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu
mendonorkan atom hidrogennya untuk berikatan dengan DPPH membentuk
DPPH tereduksi, ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu (menjadi kuning
pucat) (Molyneux 2004). Antoksidan akan mendonorkan proton atau hidrogen
kepada DPPH dan selanjutnya akan terbentuk radikal baru yang bersifat stabil
atau tidak reaktif (1,1-difenil-2- pikrilhidrazin) (Wikanta et al. 2005). Hal ini
dapat dilukiskan dalam persamaan berikut:
DPPH
(Radikal
bebas)
+ AH
(Antioksidan)
DPPH-H
(Netral) +
A•
(Radikal bebas
baru, stabil, tidak
reaktif)
Warna ungu Warna kuning
Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan dapat