MAKALAH BLOK 17 SISTEM MUSKULOSKELETAL SKENARIO 2 : CONGENITAL TALIPES EQUINOVARUS KELOMPOK 5B (2013) : KRISTALENSI MEGA PUTRI HIMAWAN WIDYATMIKO MADE DINDA DARMAWATI DEWI SARAH FEBRIYANTI SIRAIT STELLA PRASETYA FERSHA SYAFIR RAMADHAN KARIMA ANDRIESTA SHANAZ NOVRIANDINA MENISCO OCTAVIANDI REZA FITRIANI PUTRI GRACE MARGARETHA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MAKALAH BLOK 17
SISTEM MUSKULOSKELETAL
SKENARIO 2 :
CONGENITAL TALIPES EQUINOVARUS
KELOMPOK 5B (2013) :
KRISTALENSI MEGA PUTRI
HIMAWAN WIDYATMIKO
MADE DINDA DARMAWATI DEWI
SARAH FEBRIYANTI SIRAIT
STELLA PRASETYA
FERSHA SYAFIR RAMADHAN
KARIMA ANDRIESTA
SHANAZ NOVRIANDINA
MENISCO OCTAVIANDI
REZA FITRIANI
PUTRI GRACE MARGARETHA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu kelainan adalah kelainan bawaan pada kaki yang sering dijumpai pada bayi yaitu
kaki bengkok atau CTEV(Congenital Talipes Equino Varus). CTEV adalah salah satu
anomali ortopedik kongenital yang sudah lama dideskripsikan oleh Hippocrates pada tahun
400 SM (Miedzybrodzka,2002).
CTEV atau biasa disebut Clubfoot merupakan istilah umum untuk menggambarkan
deformitas umum dimana kaki berubah/bengkok dari keadaan atau posisi normal. Beberapa
dari deformitas kaki termasuk deformitas ankle disebut dengan talipes yang berasal dari kata
talus (yang artinya ankle) dan pes (yang berarti kaki). Deformitas kaki dan ankle dipilah
tergantung dari posisi kelainan ankle dan kaki. Deformitas talipes diantaranya :
Talipes Varus : inversi atau membengkok ke dalam.
Talipes Valgus : eversi atau membengkok ke luar.
Talipes Equinus : plantar fleksi dimana jari-jari lebih rendah daripada tumit.
Talipes Calcaneus : dorsofleksi dimana jari-jari lebih tinggi daripada tumit.
Clubfoot yang terbanyak merupakan kombinasi dari beberapa posisi dan angka kejadian yang
paling tinggi adalah tipe Talipes Equino Varus (TEV) dimana kaki posisinya melengkung ke
bawah dan ke dalam dengan berbagai tingkat keparahan. Unilateral clubfoot lebih umum
terjadi dibandingkan tipe bilateral dan dapat terjadi sebagai kelainan yang berhubungan
dengan sindroma lain seperti aberasi kromosomal, artrogriposis (imobilitas umum dari
persendian), cerebral palsy atau spina bifida.
B. Rumusan Masalah
1 Bagaimana fisiologi dari perkembangan tulang ?
2 Apa pengertian dari CTEV ?
3 Bagaimana klasifikasi dari CTEV ?
4 Bagaimana epidemiologi dari CTEV ?
5 Apa saja etiologi & faktor resiko dari CTEV ?
6 Apa saja manifestasi klinis dari CTEV ?
7 Bagaimana patofisiologi dari CTEV ?
8 Bagaimana cara mendiagnosis CTEV ?
9 Apa saja diagnosis banding dari CTEV ?
10 Bagaimana penatalaksanaan dari CTEV ?
11 Apa saja komplikasi dari CTEV ?
12 Bagaimana prognosis dari CTEV ?
C. Tujuan
1 Mengetahui definisi dari CTEV
2 Mengetahui epidemiologi dari CTEV
3 Mengetahui klasifikasi dari CTEV
4 Mengetahui etiologi dan faktor resiko CTEV
5 Mengetahui patofisiologi CTEV
6 Mengetahui manifestasi klinis dari CTEV
7 Mengetahui cara menegakkan diagnosis CTEV
8 Mengetahui tatalaksana yang tepat pada pasien CTEV
9 Mengetahui diagnosis banding dari CTEV
10 Mengetahui komplkasi CTEV
11 Mengetahui porgnosis CTEV
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi CTEV
Congenital Talipes Equino Varus adalah fiksasi dari kaki pada posisi adduksi,
supinasi dan varus. Tulang calcaneus, navicular dan cuboid terrotasi ke arah
medial terhadap talus, dan tertahan dalam posisi adduksi serta inversi oleh
ligamen dan tendon. Sebagai tambahan, tulang metatarsal pertama lebih fleksi
terhadap daerah plantar.
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) adalah fiksasi dari kaki pada posisi
talus menunjuk ke arah bawah, bagian leher berdeviasi kearah tengah dan bagian
rotasi tubuh berotasi sedikit ke luar dalam hubungannya dengan kalkaneus,
naviculare dan seluruh kaki depan bergeser ke tengah dan supinasi. CTEV
disebut juga clubfoot adalah deformitas yang meliputi fleksi dari pergelangan
kaki, inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan dan rotasi media dari tibia
(Priciples of Surgery, Schwartz).
B. Epidemiologi CTEV
Insiden clubfoot 1-2 / 1000 kelahiran hidup, Amerika Serikat 2,29 / 1000
Atlas dkk (1980), menemukan adanya abnormalitas pada vaskulatur kasus-
kasus CTEV. Didapatkan adanya bloking vaskular setinggi sinus tarsalis. Pada
bayi dengan CTEV didapatkan adanya muscle wasting pada bagian ipsilateral,
dimana hal ini kemungkinan dikarenakan berkurangnya perfusi arteri tibialis
anterior selama masa perkembangan.
E. Fisiologi Perkembangan tulang
Osifikasi adalah sebuah proses pembentukan tulang. Pembentukan tulang
dimulai dari perkembangan jaringan penyambung seperti tulang rawan (kartilago)
yang berkembang menjadi tulang keras. Pertumbuhan tulang bermula sejak umur
embrio 6-7 minggu dan berlangsung sampai dewasa. Pertumbuhan tulang ini akan
lengkap pada bulan ketiga kehamilan. Pertumbuhan tulang bayi di dalam rahim
dipengaruhi oleh hormon plasenta dan kalsium. Setelah anak lahir, proses
pertumbuhan tulangnya diatur oleh hormon pertumbuhan, kalsium, dan aktivitas
sehari-hari. Osteoblas dan osteoklas berperan dalam proses pembentukan tulang,
dimana keduanya bekerja secara bertolak belakang (osteoblas memicu pertumbuhan
tulang, sedangkan osteoklas menghambat pertumbuhan tulang) agar tercapai proses
pembentukan tulang yang seimbang. Osifikasi dimulai dari sel-sel mesenkim
memasuki daerah osifikasi, bila daerah tersebut banyak mengandung pembuluh darah
akan membentuk osteoblas, bila tidak mengandung pembuluh darah akan membentuk
kondroblas.
Pada awalnya pembuluh darah menembus perichondrium di bagian tengah
batang tulang rawan, merangsang sel-sel perichondrium berubah menjadi osteoblas.
Osteoblas ini akan membentuk suatu lapisan tulang kompakta, perichondrium berubah
menjadi periosteum. Bersamaan dengan proses ini pada bagian dalam tulang rawan di
daerah diafisis yang disebut juga pusat osifikasi primer, sel-sel tulang rawan
membesar kemudian pecah sehingga terjadi kenaikan pH (menjadi basa) akibatnya zat
kapur didepositkan, dengan demikian terganggulah nutrisi semua sel-sel tulang rawan
dan menyebabkan kematian pada sel-sel tulang rawan ini. Kemudian akan terjadi
degenerasi (kemunduran bentuk dan fungsi) dan pelarutan dari zat-zat interseluler
(termasuk zat kapur) bersamaan dengan masuknya pembuluh darah ke daerah ini,
sehingga terbentuklah rongga untuk sumsum tulang Pada tahap selanjutnya pembuluh
darah akan memasuki daerah epifise sehingga terjadi pusat osifikasi sekunder,
terbentuklah tulang spongiosa. Dengan demikian masih tersisa tulang rawan dikedua
ujung epifise yang berperan penting dalam pergerakan sendi dan satu tulang rawan di
antara epifise dan diafise yang disebut dengan cakram epifise.
Selama pertumbuhan, sel-sel tulang rawan pada cakram epifise terus-menerus
membelah kemudian hancur dan tulang rawan diganti dengan tulang di daerah diafise,
dengan demikian tebal cakram epifise tetap sedangkan tulang akan tumbuh
memanjang. Pada pertumbuhan diameter (lebar) tulang, tulang didaerah rongga
sumsum dihancurkan oleh osteoklas sehingga rongga sumsum membesar, dan pada
saat yang bersamaan osteoblas di periosteum membentuk lapisan-lapisan tulang baru
di daerah permukaan.
Jadi pembentukan tulang keras berasal dari tulang rawan (kartilago yang
berasal dari mesenkim). Kartilago memiliki rongga yang akan terisi olehosteoblas
(sel-sel pembentuk tulang). Osteoblas membentuk osteosit (sel-sel tulang). Setiap
satuan sel-sel tulang akan melingkari pembuluh darah dan serabut saraf membentuk
sistem havers. Matriks akan mengeluarkan kapur dan fosfor yang menyebabkan
tulang menjadi keras.
Jenis osifikasi:
a. Osifikasi endokondral : Pengembangan model tulang rawan, Pertumbuhan
model tulang rawan, Pengemban pusat osifikasi primer, Pengemban sekunder
osifikasi pusat, Pembentukan tulan rawan artikular dan epifisis
b. Osifikasi intramembranosus : pembentukan tulang dari mesenkim, seperti tulang
pipih pada tengkorak
c. Osifikasi heterotopik : pembentukan tulang di luar jaringan lunak
Tulang terdiri dari 2 bahan:
1. Matrik yang kaya mineral (70%) = Bone (Tulang yang sudah matang)
2. Bahan-bahan organik (30%) yang terdiri dari:
1. Sel (2%) :
1. Sel Osteoblast : yang membuat matrik (bahan) tulang / sel
pembentuk tulang
2. Sel Osteocyte : mempertahankan matrik tulang
3. Sel Osteoclast : yang menyerap osteoid (95%) (resorbsi) bahan
tulang (matrik) / sel yang menyerap tulang.
2. Osteoid (98%) : Matrik (bahan) tulang yang mengandung sedikit mineral
(osteoid=tulang muda)
F. Manifestasi Klinis CTEV
Cari riwayat adanya CTEV atau penyakit neuromuskuler dalam keluarga. Lakukan
pemeriksaan keseluruhan agar dapat mengidentifikasi ada tidaknya kelainan lain.
Periksa kaki dengan bayi dalam keadaan tengkurap, sehingga dapat terlihat bagian
plantar. Periksa juga dengan posisi bayi supine untuk mengevaluasi adanya rotasi
internal dan varus.
Deformitas yang serupa dapat ditemui pada myelomeningocele dan arthrogryposis.
Pergelangan kaki berada dalam posisi equinus dan kaki berada dalam posisi supinasi
(varus) serta adduksi.
Tulang navicular dan kuboid bergeser ke arah lebih medial. Terjadi kontraktur pada
jaringan lunak plantar pedis bagian medial. Tulang kalkaneus tidak hanya berada
dalam posisi equinus, tetapi bagian anteriornya mengalami rotasi ke arah medial
disertai rotasi ke arah lateral pada bagian posteriornya.
Tumit tampak kecil dan kosong. Pada perabaan tumit akan terasa lembut (seperti
pipi). Sejalan dengan terapi yang diberikan, maka tumit akan terisi kembali dan pada
perabaan akan terasa lebih keras (seperti meraba hidung atau dagu).
Karena bagian lateralnya tidak tertutup, maka leher talus dapat dengan mudah teraba
pada sinus tarsalis. Normalnya leher talus tertutup oleh navikular dan badan talus.
Maleolus medial menjadi susah diraba dan pada umumnya menempel pada navikular.
Jarak yang normal terdapat antara navikular dan maleolus menghilang. Tulang tibia
sering mengalami rotasi internal.
G. Patofisiologi CTEV
Beberapa teori yang mendukung patogenesis terjadinya CTEV, antara lain:
a. terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular
b. kurangnya jaringan kartilagenosa talus
c. faktor neurogenik
telah ditemukan adanya abnormalitas histokimia pada kelompok otot peroneus
pada pasien CTEV. Hal ini diperkirakan karena adanya perubahan inervasi
intrauterine karena penyakit neurologis, seperti stroke. Teori ini didukung dengan
adanya insiden CTEV pada 35% bayi dengan spina bifida.
d. Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot dan
ligamen.
Pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya jaringan kolagen yang
sangat longgar dan dapat teregang pada semua ligamen dan struktur tendon
(kecuali Achilees). Sebaliknya, tendon achilles terbuat dari jaringan kolagen yang
sangat padat dan tidak dapat teregang. Zimny dkk, menemukan adanya mioblast
pada fasia medialis menggunakan mikroskop elektron. Mereka menegemukakan
hipotesa bahwa hal inilah yang menyebaban kontraktur medial.
e. Anomali pada insersi tendon
Inclan mengajukan hipotesa bahwa CTEV dikarenakan adanya anomali pada
insersi tendon. Tetapi hal ini tidak didukung oleh penelitian lain. Hal ini
dikarenakan adanya distorsi pada posisi anatomis CTEV yang membuat tampak
terlihat adanya kelainan pada insersi tendon.
f. Variasi iklim
Robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan iklim dengan insiden
epidemiologi kejadian CTEV. Hal ini sejalan dengan adanya variasi yang serupa
pada insiden kasus poliomielitis di komunitas. CTEV dikatakan merupakan
keadaan sequele dari prenatal poliolike condition. Teori ini didukung oleh adanya
perubahan motor neuron pada spinal cord anterior bayi-bayi tersebut.
H. Diagnosis CTEV
Dari anamnesis dapat ditanyakan hal-hal berikut ini :
1. Keadaan kehamilan ibu (masa dalam kandungan)
2. Riwayat persalinan : normal atau tidak, langsung menangis atau
tidak
3. Berat badan dan panjang badan bayi
4. Adanya riwayat penyakit yang menurun, baik dari pihak ayah atau
ibu (pedigree silsilah / keturunan)
5. Perkembangan anak
Kelainan ini mudah didiagnosis, dan biasanya terlihat nyata pada waktu lahir
(early diagnosis after birth). Pada bayi yang normal dengan equinovarus postural,
kaki dapat mengalami dorsifleksi dan eversi hingga jari-jari kaki menyentuh
bagian depan tibia. “Passive manipulation dorsiflexion → Toe touching tibia →
normal”.
Bentuk dari kaki sangat khas. Kaki bagian depan dan tengah inversi dan adduksi.
Ibu jari kaki terlihat relatif memendek. Bagian lateral kaki cembung, bagian
medial kaki cekung dengan alur atau cekungan pada bagian medial plantar kaki.
Kaki bagian belakang equinus. Tumit tertarik dan mengalami inversi, terdapat
lipatan kulit transversal yang dalam pada bagian atas belakang sendi pergelangan
kaki. Atrofi otot betis, betis terlihat tipis, tumit terlihat kecil dan sulit dipalpasi.
Pada manipulasi akan terasa kaki kaku, kaki depan tidak dapat diabduksikan dan
dieversikan, kaki belakang tidak dapat dieversikan dari posisi varus. Kaki yang
kaku ini yang membedakan dengan kaki equinovarus paralisis dan postural atau
positional karena posisi intra uterin yang dapat dengan mudah dikembalikan ke
posisi normal. Luas gerak sendi pergelangan kaki terbatas. Kaki tidak dapat
didorsofleksikan ke posisi netral, bila disorsofleksikan akan menyebabkan
terjadinya deformitas rocker-bottom dengan posisi tumit equinus dan dorsofleksi
pada sendi tarsometatarsal. Maleolus lateralis akan terlambat pada kalkaneus,
pada plantar fleksi dan dorsofleksi pergelangan kaki tidak terjadi pergerakan
maleoulus lateralis terlihat tipis dan terdapat penonjolan korpus talus pada bagian
bawahnya. Tulang kuboid mengalami pergeseran ke medial pada bagian distal
anterior tulang kalkaneus. Tulang navicularis mengalami pergeseran medial,
plantar dan terlambat pada maleolus medialis, tidak terdapat celah antara maleolus
medialis dengan tulang navikularis. Sudut aksis bimaleolar menurun dari normal
yaitu 85° menjadi 55° karena adanya perputaran subtalar ke medial.
Terdapat ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu otot-otot tibialis
anterior dan posterior lebih kuat serta mengalami kontraktur sedangkan otot-otot
peroneal lemah dan memanjang. Otot-otot ekstensor jari kaki normal kekuatannya
tetapi otot otot fleksor jari kaki memendek. Otot triceps surae mempunyai
kekuatan yang normal.
Tulang belakang harus diperiksa untuk melihat kemungkinan adanya spina bifida.
Sendi lain seperti sendi panggul, lutut, siku dan bahu harus diperiksa untuk
melihat adanya subluksasi atau dislokasi. Pmeriksaan penderita harus selengkap
mungkin secara sistematis seperti yang dianjurkan oleh R. Siffert yang dia sebut
sebagai Orthopaedic checklist untuk menyingkirkan malformasi multiple.
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Polos
Metode evaluasi radiologis yang standar digunakan adalah foto polos.
Pemeriksaan harus mencakup gambaran tumpuan berat karena stress yang
terlibat dapat terjadi berulang-ulang. Pada infant, tumpuan berat dapat
disimulasikan dengan pemberian stress dorsal flexi.
Foto polos mempunyai kerugian yaitu tereksposnya pasien terhadap radiasi.
Ditambah lagi, pengaturan posisi yang tepat juga akan sulit dilakukan.
Pemosisian yang tidak tepat dapat menghasilkan gambaran seperti deformitas.
Lebih jauh lagi, karena CTEV adalah kondisi kongenital, kurangnya osifikasi
pada beberapa tulang yang terlibat merupakan salah satu keterbatasan
lainnya. Pada neonates, hanya talus dan calcaneus yang terosifikasi.
Navikular tidak terosifikasi sampai anak berusia 2-3 tahun.
Tiga komponen utama dari deformitas ini ditemukan pada radiograf dan dapat
diukur secara berulang. Dengan pemosisian dan eksposur yang tepat,
pengukuran abnormalitas kesejajaran pada foto polos dapat dipercaya.
Tidak ada imaging konfirmasi yang rutin dilakukan. Posisi oblique tumit
pada gambaran dorsoplantar (DP) dapat mensimulasikan varus kaki belakang.
Bila gambaran lateral hanya meliputi salah satu kaki dan tidak termasuk
pergelangan kaki, maka akan terlihat gambaran palsu dari lengkungan talus
yang mendatar. Equinus kaki belakang adalah plantar fleksi dari calcaneus
anterior (mirip kuku kuda) di mana sudut antara axis panjang tibia dan axis
panjang calcaneus (sudut tibiocalcaneal) lebih besar dari 900
2. CT-Scan
Beberapa artikel mengenai kegunaan CT scan pada elevasi di
CTEV telah dipublikasikan. Kerugian dari CT scan termasuk risiko radiasi
ionisasi, kurangnya osifikasi pada tulang tarsal, suseptibilitas dari artifak
gambar dan gerakan, dan dibutuhkannya peralatan yang mahal dan
aplikasi software untuk rekonstruksi multiplanar. Di sisi lain, deformitas 3
dimensi yang kompleks ini dapat dinilai dengan lebih baik dengan
rekonstruksi 3 dimensi jika dibandingkan dengan radiografi 2 dimensi.
Penggunaan CT dalam evaluasi artikulasi talus pada trauma dan koalisi tarsal
telah digunakan secara luas. Pada penelitian pendahuluan mengenai CT
dengan rekonstruksi 3 dimensi, Johnston et al menunjukkan bahwa kerangka
kawat luar yang dapat memantau tulang pada CTEV biasa diterapkan dan
aksis inersia dapat ditentukan di sekitar pusat massa dengan 3
bidang perpendikuler untuk setiap tulang yang terlibat. Kawat ini dapat
dirotasi secara manual untuk mengurai deformitas dan kelainan susunan
tulang yang tidak jelas karena overlapping pada foto polos. Hubungan antara
tulang kaki belakang dan pergelangan kaki dapat dinilai dengan cara ini,
karena gambaran dari kaki bagian bawah tidak saling berhimpit (overlapping).
Begitu pula halnya dengan aksis vertical dari talus dan lubang kalkaneus
dapat dibandingkan dengan garis acuan perpendicular terhadap dasar
pada rekonstruksi koronal dari tumit. Gambaran ini hanya dapat diperoleh
dengan CT scan.
Analisis diatas menunjukkan bahwa pada kaki normal, baik talus maupun
kalkaneus relative terotasi secara medial terhadap garis perpendicular pada
lubang di bidang transversal, namun rotasi di kalkaneus sangat kecil.
Perbedaan ini merupakan divergensi normal dari aksis panjang 2 tulang. Pada
CTEV, talus terotasi secara lateral dan kalkaneus terotasi lebih medial
daripada kaki normal; rotasi ini menyebabkan terjadinya konvergensi dari
aksis panjang.
Sebagai tambahan, peneliti mengamati pronasi ringan dari talus dan kalkaneus
dibidang koronal pada CTEV, berlawanan dengan supinasi ringan pada kaki
normal. Penemuan ini mengindikasikan bahwa koreksi operasi harus meliputi
supinasi dan rotasi medial dari talus pada lubangnya dan supinasi dan lateral
rotasi dari kalkaneus.
3. MRI
Saat ini MRI tidak dilakukan untuk pemeriksaan radiologi CTEV, dan
terbatasnya pengalaman penggunaan MRI telah dipublikasikan dalam
literature. Penggunaan MRI terbatas karena berbagai kerugian, diantaranya :
dibutuhkan alat khusus dan sedasi pasien, besarnya pengeluaran untuk
software yang digunakan, hilangnya sinyal yang disebabkan oleh efek
feromagnetik dari alat fiksasi, dan waktu tambahan yang dibutuhkan untuk
transfer data dan postprocessing. Di sisi lain, keuntungan dari MRI jika
dibandingkan dengan foto polos dan CT adalah kapabilitas imaging
multiplanar dan penggambaran yang sangat baik untuk nucleus osifikasi,
kartilago anlage (primordium) serta struktur jaringan lunak disekitarnya.
Hasil dari penelitian mandiri terhadap MRI dan penelitian pendahuluan
mengenai resonansi magnetic rekonstruksi multiplanar menunjukkan
bahwa metode ini dapat digunakan untuk menjelaskan patoanatomi
kompleks pada kelainan ini. Gambaran intermediate dan multiplanar
menunjukkan bahwa metode ini dapat digunakan untuk menjelaskan
patoanatomi kompleks pada kelainan ini.
4. Angiografi
Angiogram dapat menunjukkan abnormalitas ukuran dan distribusi pembuluh
darah kecil pada CTEV, tapi temuan ini masih terbatas dalam kegunaannya
secara klinis.
Lateral view in talipes equinovarus demonstrates an abnormally elevated tibiocalcaneal angle. A normal angle is 60-90°
Normal lateral view shows the measurement of the talocalcaneal angle. The calcaneal long axis is drawn along the plantar surface. The normal range is 25-45°. Note the normal overlap of the metatarsals on the lateral view.
Lateral view of clubfoot shows the nearly parallel talus and calcaneus, with a talocalcaneal angle of less than 25°.
Dorsoplantar projection of a healthy foot shows that the line through the long axis of the talus passes just medial to the base of the first metatarsal. The talocalcaneal angle measurement is shown. The normal range is 15-40°.
I. Penatalaksanaan CTEV
Tujuan penatalaksanaan talipes equinovarus adalah:
1 Mencapai dan mempertahankan kesegarisan konsentrik yang normal dari
sendi talokalkaneonavikular, kalkaneokuboid dan pergelangan kaki yang
tergeser.
2 Membentuk keseimbangan normal antara otot-otot evertor, invertor kaki dan
dorso fleksi, plantar fleksi kaki dan pergelangan kaki.
Dorsoplantar views obtained in a patient with unilateral clubfoot show that the talus and calcaneus are more overlapped than in the normal condition. The talocalcaneal angle is 15° or less. Note that the line through the long axis of the talus passes lateral to the first metatarsal due to the varus position of the forefoot.
3 Menghasilkan kaki dengan fungsi dan daya tanggung beban yang normal.
Prinsip penatalaksanaan
1 Peregangan manipulatif untuk memanjangkan jaringan lunak dan kulit
yang terkontraksi (Manipulative stretching and retention in cast-splint),
diikuti dengan retensi dalam gips. Peregangan manipulatif dan serial
cast biasanya dilakukan selama 3 sampai 5 minggu.
2 Reduksi terbuka pembukaan posteromedial, lateral, plantar dan subtalar.
3 Pemeliharaan reduksi dan restorasi mobilitas sendi kaki dan tungkai
dengan splinting dan latihan aktif dan pasif.
4 Penatalaksanaan masalah, seperti kekambuhan deformitas, supinasi kaki
bagian depan dan metatarsus varus.
Terapi konservatif ( 3 – 4 bulan)
1 Sesegera mungkin
2 Manipulasi dan casting (manipulasi selama 1-3 menit)
3 Plaster cast pada minggu pertama( dari ujung jari kaki sampai sepertiga
tengah bagian paha, posisi lutut flexi 90°)
4 Casting diganti 1-2 minggu sekali
5 Casting dilakukan sebanyak 5-6 kali selama 3 bulan pertama.
6 Pemeliharaan dengan menggunakan Denis Browne pada 3-6 bulan setelah
casting (atau dengan sepatu (outflair shoes, reverse Thomas heel)
Terapi Operatif
Indikasi:
a. Gagal terapi konservatif
b. Kambuh setelah konservatif berhasil
c. Anak sudah besar dan belum mendapat pengobatan
Operatif dapat dilakukan pada:
a. Jaringan lunak (hanya untuk usia < 5 tahun)
b. Terhadap tulang
Ada beberapa pilihan lain terapi dalam penatalaksanaan kaki CTEV. Banyak ahli
bedah memilih menggunakan casting dari bahan fiberglass yang lembut daripada
menggunakan gips yang digunakan pada metode Ponseti. Manipulasi dan casting
berlanjut hingga derajat koreksi tercapai.
J. Diagnosis Banding CTEV
1. Postural clubfoot – disebabkan karena posisi fetus dalam uterus. Jenis
abnormalitas kaki seperti ini dapat dikoreksi secara manual oleh pemeriksa.
Postural clubfoot memberi respon baik dengan pemasangan gips serial dan jarang
relaps.
2. Metatarsus adductus (atau varus) – adalah suatu deformitas dari tulang
metatarsal saja. Forefoot mengarah pada garis tengah tubuh, atau berada pad
aposisi addkutus. Abnormalitas ini dapat dikoreksi dengan manipulasi dan
pemasangan gips serial.
K. Komplikasi CTEV
1 Infeksi (jarang)
2 Kekakuan dan keterbatasan gerak : adanya kekakuan yang muncul di awal
berhubungan dengan hasil yang kurang baik.
3 Nekrosis avaskular talus : sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus muncul
pada tehnik kombinasi pelepasan medial dan lateralis.
Dapat terjadi overkoreksi yang mungkin dikarenakan :
1. Pelepasan ligamen interoseus dari persendian subtalus
2. Perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah lateral
3. Adanya perpanjangan tendon
L. Prognosis CTEV
1. Kurang lebih 50% dari kasus CTEV pada bayi baru lahir dapat dikoreksi tanpa
tindakan operatif. dr Ponseti melaporkan tingkat kesuksesan sebesar 89% dengan
menggunakan tehniknya (termasuk dengan tenotomi tendon Achilles). Peneliti
lain melaporkan rerata tingkat kesuksesan sebesar 10-35%. Sebagian besar kasus
melaporkan tingkat kepuasan setinggi 75-90%, baik dari segi penampilan maupun
fungsi kaki.
2. Hasil yang memuaskan didapatkan pada kurang lebih 81% kasus. Faktor utama
yang mempengaruhi hasil fungsional adalah rentang gerakan pergerakan kaki,
dimana hal tersebut dipengaruhi oleh derajat pendataran kubah dari tulang talus.
Tiga puluh delapan persen dari pasien dengan kasus CTEV membutuhkan
tindakan operatif lebih lanjut (hampir 2/3 nya adalah prosedur pembentukan ulang
tulang).
3. Rerata tingkat kekambuhan deformitas mencapai 25%, dengan rentang antara 10-
50%.
4. Hasil terbaik didapatkan pada anak-anak yang dioperasi pada usia lebih dari 3
bulan (biasanya dengan ukuran lebih dari 8 cm).
DAFTAR PUSTAKA
1. Meidzybrodzka, Z. 2002. Congenital Talipes Eqinovarus (clubfoot): disorder of the
foot but not the hand. www.anatomisociety.com [29 juli 2008].
2. Patel, M. 2007. Clubfoot. www.emedicine.com [29 juli 2008].
3. Harris, E. 2008. Key Insight To Treating Talipes Equinovarus. www.podiatry.com [29
juli 2008].
4. Nordin, S. 2002. Controversies In Congenital Clubfoot: Literature Review.
www.mjm.com [29 juli 2008].
5. Pirani, S. 1991. A Relible & Valid Method of Assesing the Amount of Deformity in
the Congenital Clubfoot Deformity. www.ubc.com [2 juli 2008].