Page 1
i
LAPORAN KASUS
CLUB FOOT/CONGENITAL TALIPES EQUINO VARUS (CTEV)
Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya
SMF Ilmu Penyakit Bedah RSD dr. Soebandi
Oleh:
Irwan Prasetyo, S. Ked
082011101078
SMF/LAB. BEDAH RSD DR. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2013
Page 2
ii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 2
2.1. Definisi ......................................................................................... 2
2.2 Anatomi Kaki ................................................................................. 2
2.2.1 Struktur Tulang ..................................................................... 2
2.2.2 Struktur Persendian dan Ligamen .......................................... 4
2.3 Epidemiologi .................................................................................. 7
2.4 Klasifikasi ...................................................................................... 8
2.5 Etiologi .......................................................................................... 9
2.6 Patologi .......................................................................................... 11
2.7 Manifestasi ..................................................................................... 13
2.8 Pemeriksaan ................................................................................... 15
2.8.1 Fisik ...................................................................................... 15
2.8.2 Penunjang .............................................................................. 15
2.9 Diagnosis ....................................................................................... 27
2.10 Diagnosis Banding ....................................................................... 28
2.11 Penatalaksanaan ........................................................................... 31
2.11.1 Non-Operatif ....................................................................... 31
2.11.2 Operatif ............................................................................... 40
2.12 Prognosis ..................................................................................... 46
BAB III LAPORAN KASUS ................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 53
DAFTAR GAMBAR................................................................................ iii
Page 3
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Anantomi Kaki ...................................................................... 4
Gambar 2. Gambar Lateral Kaki Kanan ............................................... 7
Gambar 3. Perubahan Patologis CTEV .................................................. 13
Gambar 4a dan 4b. Gambar Foto Polos AP/L Kaki .............................. 16
Gambar 5. Gambar Lateral CTEV ......................................................... 17
Gambar 6. Gambar Lateral Normal ....................................................... 18
Gambar 7a dan 7b. Gambar Dorsoplantar ............................................ 19
Gambar 8. Gambar Dorsoplantar CTEV ............................................... 20
Gambar 9. Gambar Lateral Kaki Depan CTEV .................................... 21
Gambar 10. Gambar CTEV Setelah Mendapat Perbaikan ................... 22
Gambar 11. Gambar Foto Polos Pasien Usia 12 Tahun ......................... 23
Gambar 12. Hasil USG dari aspek medial kaki normal ......................... 25
Gambar 13. Jarak Normal Jarak antara malleolus medial
dan navicular ....................................................................... 26
Gambar 14. USG medial menunjukkan CTEV pada posisi normal ...... 27
Gambar 15. Persiapan Pemasangan Gips Ponseti dan Manipulasi ....... 33
Gambar 16. Pemasangan Gips ................................................................ 35
Gambar 17. Molding Gips ........................................................................ 36
Gambar 18. Gambar Brace ..................................................................... 38
Gambar 19. Gambar Jenis-jenis Brace ................................................... 40
Gambar 20. Gambar Tenotomi ............................................................... 44
Gambar 21. Laporan Operasi ................................................................. 51
Page 4
1
BAB 1. PENDAHULUAN
Banyak kelainan kaki muncul sebagai deformitas yang mungkin akibat cacat
kongenital, ketidakseimbangan otot, kelemahan ligamen, atau ketidakstabilan sendi.
Deformitas yang ada ini dipertahankan dan diperburuk oleh beban abnormal dan
tekanan sepatu. Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) yang juga dikenal sebagai
‘club-foot’ bukan merupakan malformasi embrionik. Kaki yang pada mulanya normal
akan menjadi pengkor selama trimester kedua kehamilan. Suatu kelainan bawaan
yang sering ditemukan pada bayi yang baru lahir, dengan koreksi yang sebenarnya
sulit dilakukan. Sering ditemukan karena ketidaktahuan keluarga penderita, sehingga
kelainan menjadi terbengkalai. Gangguan terjadi pada perkembangan ekstremitas
inferior, terutama pada tulang calcaneus, talus, dan naviculare.
CTEV termasuk dalam “sindromik” bila kasus ini ditemukan bersamaan
dengan gambaran klinik lain sebagai suatu bagian dari sindrom genetik, dapat
ditemukan gangguan neurologis dan neuromuskular, seperti spina bifida. Akan tetapi
CTEV dapat timbul sendiri tanpa didampingi gambaran klinik lain, yaitu CTEV
“idiopatik”. Pada jenis idiopatik tidak ditemukan kelainan neuromuscular yang nyata,
tetapi kemungkinan kecacatan disebabkan oleh ketidakseimbangan otot pada janin
yang sedang berkembang. Tetapi bentuk yang paling sering ditemui adalah CTEV
“idiopatik”.
Perawatan dengan cara memanipulasi kaki dengan lembut untuk kemudian
dipasang perban merupakan metode yang digunakan hingga saat ini secara non
operatif. Intervensi operasi telah dilakukan sejak abad 18 dengan lorens Axhiles
tenotomy hingga ditemukannya teknik manipulasi dan casting serial pada 1930 yang
diperbaiki oleh Ignacio Ponseti pada 1950.
Page 5
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Clubfoot sering disebut juga CTEV (Congeintal Talipes Equino Varus) adalah
deformitas yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki, inversi dari tungkai, adduksi
dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia (Priciples of Surgery, Schwartz). Talipes
berasal dari kata talus (ankle) dan pes (foot), menunjukkan suatu kelainan pada kaki
(foot) yang menyebabkan penderitanya berjalan pada ankle-nya. Sedang equinovarus
berasal dari kata equino (berkuda) dan varus (bengkok ke arah dalam/medial).1,2
2.2 Anatomi5
Pada kehidupan sehari-hari, fungsi kaki digambarkan dengan bermacam-
macam pandangan, antara lain:
a. Sebagai basis tumpuan
b. Sebagai peredam guncangan
c. Sebagai penyesuai gerak
d. Sebagai pengungkit yang rigid untuk stabilisasi.
Kesemua itu berhubungandengan gait .
Pengenalan anatomi yang benar sangat penting dalam pengelolaan penderita
CTEV. Dasar pengetahuan yang kurang justru akan menambah kerusakan organ dan
memperberat deformitas yang ada. Oleh karena itu para fisiatris perlu menguasai
struktur dan fungsi kaki.
2.2.1 Struktur tulang
Kaki adalah suatu kesatuan unit yang kompleks dan terdiri dari 26 buah tulang
yang dapat menyangga berat badan secara penuh saat berdiri dan mampu
memindahkan tubuh pada semuakeadaan tempat berpijak. Ke-26 tulang itu terdiri
Page 6
3
dari: 14 falang, 5 metatarsal dan 7 tarsal. Kaki dapat dibagi menjadi 3 segmen
fungsional, yaitu:
a. Hindfoot (segmen posterior)
Bagian ini terletak langsung dibawah os tibia dan berfungsi sebagai
penyangganya. Terdiri dari:
- Talus yang terletak di apeks kaki dan merupakan bagian dari sendi pergelangan
kaki
- Calcaneus yang terletak dibagian belakang dan kontak dengan tanah
b. Midfoot (segmen tengah)
Terdiri dari 5 tulang tarsal yaitu:
- 3 cuneiforme: medial, intermedium dan lateral
- Cuboid
- Naviculare
Ke-5 tulang tersebut membentuk persegi empat ireguler dengan dasar medial dan
apeks lateral. 3 cuneiforme dan bagian anterior cuboid serta naviculare dan bagian
belakang tulang cuboid membentuk suatu garis.
c. Forefoot (segmen anterior)
Bagian ini terdiri dari:
- 5 metatarsal: I, II, III, IV, V
- 14 falang, dimana ibu jari kaki mempunyai 2 falang sedangkan setiap jari
lainnya 3 falang
Page 7
4
Gambar 1. Anatomi Kaki16
2.2.2 Struktur Persendian dan Ligamen
Tulang-tulang tersebut diatas membentuk persendian-persendian sebagai
berikut:
a. Artikulatio talocruralis merupakan sendi antara tibia dan fibula dengan trachlea
talus. Sendi ini distabilkan oleh ligamen-ligamen:
▪ Sisi medial: lig. Deltoid yang terdiri dari:
◦ Lig. tibionavikularis
◦ Lig. calcaneotibialis
◦ Lig. talotibialis anterior dan posterior
▪ Sisi lateral:
◦ Lig. talofibularis anterior dan posterior
◦ Lig. Calcaneofibularis
Page 8
5
▪ Gerak sendi ini:
◦ Plantar fleksi
◦ Dorsofleksi
◦ Sedikit abduksi dan adduksi pergelangan kaki
b. Artikulatio talotarsalis terdiri dari 2 buah sendi yang terpisah akan tetapi secara
fisiologi keduanya merupakan satu-kesatuan, yaitu:
▪ Bagian belakang: artikulatio talocalcanearis/subtalar
Ligamen yang memperkuat adalah: ligg. talocalcanearis anterior, posterior,
medial dan lateral
▪ Bagian depan: artikulatio talocalcaneonavicularis
Ligamen yang memperkuat adalah:
◦ Lig. Tibionavikularis
◦ Lig. Calcaneonaviculare plantaris
◦ Lig. bifurcatum: pars calcaneonavicularis (medial) dan pars calcaneocuboid
(lateral) berbentuk huruf V
▪ Gerak sendi ini:
◦ Inversi pergelangan kaki
◦ Eversi pergelangan kaki
c. Articulatio tarsotransversa (CHOPART)
Disebut juga sendi midtarsal atau “surgeon’s tarsal joint” yang sering menjadi
tempat amputasi kaki. Terdiri dari 2 sendi, yaitu:
▪ Articulatio talonavicularis
▪ Articulatio calcaneocuboid, yang diperkuat oleh:
◦ Pars calcaneocuboid lig. bifurcati di medial
◦ Lig. calcaneocuboid dorsalis di sebelah dorsal
◦ Lig. calcaneocuboid di sebelah plantar
▪ Gerak sendi ini:
◦ Rotasi kaki sekeliling aksis
Page 9
6
◦ Memperluas inversi dan eversi art. Talotarsalis
d. Artikulatio tarsometatarsal (LISFRANC)
Adalah sendi diantara basis os metatarsal I-V dengan permukaan sendi distal pada
oscuneiformis I-III. Rongga sendi ada 3 buah, yaitu:
◦ Diantara os metatarsal I dan cuneoformis I
◦ Diantara os metatarsal II dan III dengan cuneiformis II dan III
◦ Diantara os metatarsal IV dan V dengan cuboid
Ligamentum pengikatnya adalah:
◦ Ligg. Tarsi plantaris
◦ Ligg. Tarsi dorsalis
◦ Ligg. Basium os metatarsal dorsalis, interosea dan plantaris
e. Articulatio metacarpofalangeal
Ligamen pengikatnya adalah: lig. collateralia pada kedua sisi tiap sendi. Gerak
sendi ini:
◦ Fleksi-ekstensi sendi metacarpal
◦ Abduksi-adduksi sendi metacarpal
f. Artculatio interfalangeal
Ligamen pengikat: lig. colateral di sebelah plantar pedis. Gerak sendi ini:
◦ Fleksi-ekstensi interfalang
◦ Abduksi-adduksi interfalang
Page 10
7
Gambar 2. Gambar lateral kaki kanan16
2.3 Epidemiologi6
Insidens CTEV bervariasi, bergantung dari ras dan jenis kelamin. Insidens
CTEV di Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran hidup dikarenakan
kelainan genetika berupa 35% terjadi pada kembar monozigot dan hanya 3% pada
kembar dizigot. Perbandingan kasus laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Keterlibatan
bilateral didapatkan pada 30-50% kasus, dalam kasus unilateral sisi kanan lebih
sering terlibat.
Page 11
8
2.4 Klasifikasi
Beberapa jenis klasifikasi yang dapat ditemukan antara lain :
1. Typical Clubfoot
Ini merupakan jenis Clubfoot yang klasik hanya menderita kaki pengkor saja
yang sering ditemukan. Umumnya dapat dikoreksi dengan lima casting dan
manajemen dari Ponseti mengatakan hasil jangka panjangnya baik dan sempurna.
Yang dimasukkan jenis clubfoot ini diantaranya:
a. Positional Clubfoot. Sangat jarang ditemukan, sangat fleksibel dan diduga
akibat jepitan intrauterin. Pada umumnya koreksi dapat dicapai dengan satu
atau dua kali pengegipan.
b. Delayed treated clubfoot ditemukan pada anak berusia 6 bulan atau lebih.
c. Recurrent typical clubfoot dapat terjadi baik pada kasus yang awalnya
ditangani dengan metode Ponseti maupun dengan metode lain. Relaps lebih
jarang terjadi dengan metode Ponseti dan umumnya diakibatkan pelepasan
brace yang terlalu dini. Rekurensi supinasi dan equinus paling sering terjadi.
Awalnya bersifat dinamik namun dengan berjalannya waktu menjadi fixed.
d. Alternatively treated typical clubfoot termasuk kaki pengkor yang ditangani
secara operatif atau pengegipan dengan metode non-Ponseti.
2. Atypical Clubfoot
Clubfoot jenis ini biasanya diartikan sebagai penyakit lain. Dengan ponsenti
manajemen maslah yang timbul biasanya sulit dikoreksi. Yang dimasukkan dalam
kategori ini antara lain:
a. Rigid atau Resistant atypical clubfoot dapat kurus atau gemuk. Kasus dengan
kaki yang gemuk lebih sulit ditangani. Kaki tersebut umumnya kaku, pendek,
gemuk dengan lekukan kulit yang dalam pada telapak kaki dan dibagian
belakang pergelangan kaki, terdapat pemendekan metatarsal pertama dengan
hiperekstensi sendi metatarsophalangeal. Deformitas ini terjadi pada bayi
yang menderita kaki pengkor saja tanpa disertai kelainan yang lain.
Page 12
9
b. Syndromic clubfoot. Selain kaki pengkor ditemukan juga kelainan kongenital
lain. Jadi kaki pengkor merupakan bagian dari suatu sindroma. Metode
Ponseti tetap merupakan standar penanganan, tetapi mungkin lebih sulit
dengan hasil kurang dapat diramalkan. Hasil akhir penanganan lebih
ditentukan oleh kondisi yang mendasarinya daripada kaki pengkor nya
sendiri.
c. Tetralogic clubfoot, seperti pada congenital tarsal synchondrosis.
d. Neurogenic clubfoot, berhubungan dengan kelainan neurologi seperti
meningomyelocele.
e. Acquired clubfoot, seperti pada Streeter dysplasia.18
2.5 Etiologi
Etiologi sesungguhnya dari CTEV masih belum diketahui. Sebagian besar
anak yang menderita CTEV tidak memiliki kesamaan dalam hal genetik, sindrom,
atau kausa ekstrinsik. Pada beberapa kelainan didapatkan adanya kelainan
perkembangan defek fetal dimana terjadi ketidakseimbangan otot invertor dan
evertor.6
Faktor ekstrinsik yang diduga terkait dengan CTEV termasuk agen
teratogenik (misalnya sodium aminopterin), oligohidramnion, konstriksi cincin
kongenital. Asosiasi genetic meliputi pewarisan sifat menurut hukum mendel
(contohnya: diastrophic dwarfism¸ pewarisan sifat secara autosomal resesif dari
CTEV ).
Abnormalitas sitogenik seperti CTEV dapat terlihat pada sindrom yang
melibatkan delesi kromosom. Diduga bahwa CTEV idiopatik pada anak sehat
merupakan hasil dari system pewarisan sifat multifactorial. Bukti dari dugaan
tersebut adalah sebagai berikut:
◦ Prevalensi CTEV di populasi dunia adalah 1 per kelahiran hidup
Page 13
10
◦ Prevalensi pada relasi derajat pertama (hubungan langsung di keluarga) kurang
lebih 2%
◦ Jika salah satu dari kembar monozigot menderita CTEV, kembar kedua hanya
memiliki kemungkinan menderita CTEV sebesar 32%.3
Berbagai macam teori tentang etiologi, antara lain:
a. Mekanik
Teori ini merupakan teori tertua yang dikemukakan oleh Hippocrates yang
menyatakan bahwa posisi equinovarus kaki fetus disebabkan oleh tekanan
mekanik eksternal. Teori ini diperkuat oleh observasi bahwa insiden CTEV tidak
meningkat pada kondisi lingkungan prenatal yang cenderung membuat uterus
terlalu penuh, seperti kembar, janin besar, primipara, hydramnion dan
oligohidramnion.
b. Environmental
◦ Browne (1936) menyatakan teori peningkatan tekanan intrauterin yang
menyebabkan imobilisasi ekstremitas sehingga menyebabkan deformitas.
Teorilain adalah perubahan ukuran uterus atau karena bentuk, seperti misalnya
terdapat lekukan pada konveksitas uterus dan oligohydramnion.
◦ Karena obat-obatan, seperti yang sering ditemukan pada ‘thalidomide baby’
c. Herediter
◦ Wynne-Davies (1964) meneliti lebih dari 100 penderita dan generasi
pertamanya. Didapatkan hasil bahwa deformitas tersebut terjadi pada 2,9%
saudara kandung. Sedangkan pada populasi umum terdapat 1 : 1000 kelahiran.
◦ Idelberger meneliti pada anak kembar dan mendapatkan angka 32,5% penderita
CTEV pada kembar monozygotik dan 2,9% pada dizygotik. Angka terakhir sama
seperti insiden pada saudara kandung bukan kembar.
d. Idiopatik
Böhm menyatakan teori terhambatnya perkembangan embrio. Kaki embrio
normal saat usia 5 minggu kehamilan dalam posisi equinovarus, jika terjadi
Page 14
11
terhambatnya perkembangan kaki pada salah satu fase fisiologis dalam kehidupan
embrio, maka deformitas ini akan persisten hingga kelahiran.
Terdapat 4 fase dalam evolusi kaki manusia saat pertengahan kehidupan prenatal,
yaitu:
a) Fase I (Bulan ke-2): bentuk kaki dalam posisi equinus berat (plantarfleksi 90o).
Dan adduksi hind dan forefoot yang berat.
b) Fase II (Awal bulan ke-3): kaki berotasi ke posisi supinasi, tetapi tetap
plantarfleksi 90o, adduksi metatarsal.
c) Fase III (Pertengahan bulan ke-3): Inklinasi equinus berkurang menjadi derajat
ringan, posisi supinasi dan varus metatarsal tetap.
d) Fase IV (Awal bulan ke-4): Kaki dalam posisi midsupinasi dan varus
metatarsal yang ringan. Pada fase ini, secara bertahap, bidang kaki dan tungkai
bawah mulai tampak dalam posisi seperti kaki dewasa.
e. Defek neuromuskular dan tulang prenatal
◦ Gangguan anatomik intrisik pada sendi talocalcaneus dan pada inervasi m.
peroneus karena perubahan segmental medula spinalis.
◦ Displasia tulang primer dan defek kartilago pada embrio 5-6 minggu.
◦ Defek benih plasma primer
◦ Insersi tendon yang abnormal dan displasia m. peroneus.5
2.6 Patologi
Ditemukan adanya kaki dalam keadaan posisi adduksi dan inversi pada sendi
subtalar, midtarsal dan sendi-sendi tarsal depan. Terdapat ekuinus atau fleksi plantar
pada tumit. Juga pada kebanyakan kasus terlihat adanya pengecilan dari otot-otot
betis dan peroneal.
Deformitas bentuk kaki dikarakterisasi dengan komponen-komponen
anatomis sebagai berikut:7,8,9
◦ Adduksi midtarsal
Page 15
12
◦ Inversi pada sendi subtalar (varus)
◦ Plantarfleksi sendi talocruralis (equinus)
◦ Kontraksi jaringan di sisi medial kaki
◦ Tendo Achilles memendek
◦ Gastrocnemius kontraktur dan kurang berkembang
◦ Otot-otot evertor sisi lateral tungkai bawah kurang berkembang
Kombinasi deformitas equinus pergelangan kaki dan sendi subtalar, inversi
hindfoot dan adduksi mid-forefoot disebabkan oleh displacement dari sisi medial dan
plantar serta rotasi medial sendi talocalcaneonavicular.
Talus dan calcaneus pada kaki deformitas berat sering lebih kecil daripada
normal, sehingga kakipun terlihat lebih kecil. Bentuk konveks pada sisi lateral kaki
disebabkan bukan saja oleh tarikan otot sisi medial kaki dan tungkai bawah yang
kontraktur, tetapi juga karena subluksasi sendi calcaneocuboid, ligamen dan kapsul
yang teregang.
Jaringan lunak juga ambil bagian dalam deformitas ini dan menyebabkan
posisi equines dan varus dipertahankan karena ketegangan pada jaringan ini. Posisi
equinus disebabkan oleh kontraktur dari otot-otot sebagai berikut:
◦ Gastrocnemius
◦ Soleus
◦ Tibialis posterior
◦ Fleksor hallucis longus
◦ Fleksor digitorum longus
Sedangkan posisi varus disebabkan oleh kontraktur pada otot-otot sebagai berikut:
◦ Tibialis anterior dan posterior
◦ Fleksor hallucis longus
◦ Fleksor digitorum longus
◦ Ligamentum deltoid
◦ Otot-otot kecil sisi medial kaki
Page 16
13
Gambar 3. Perubahan patologis CTEV16
2.7 Manifestasi
Kelainan ini bisa bersifat bilateral atau unilateral. Kelainan yang ditemukan
berupa:
◦ Inversi pada kaki depan
◦ Adduksi atau deviasi interna dari kaki depan terhadap kaki belakang
◦ Ekuinus atau plantar fleksi
◦ Pengecilan dari otot-otot betis dan peroneal
Kaki tidak dapat digerakkan secara pasif pada batas eversi dan dorsofleksi normal.6
Deformitas biasanya terlihat nyata pada waktu lahir, kaki terputar dan terbelit
sehingga tapak kaki menghadap posteromedial. Lebih tepatnya pergelangan kaki
dalam equinus, tumit terinversi dan kaki depan mengalami adduksi dan supinasi;
Page 17
14
kadang-kadang juga terdapat kavus. Talus dapat menonjol keluar pada permukaan
dorsolateral kaki. Tumit biasanya kecil dan tinggi, dan betis mungkin kurus.
Usaha koreksi pasif secara perlahan-lahan memperlihatkan bahwa deformitas
ini menetap; pada bayi yang normal dengan equinovarus postural, kaki dapat
mengalami dorsifleksi dan eversi hingga jari-jari kaki menyentuh bagian depan
tungkai.
Bayi harus selalu diperiksa untuk mencari ada tidaknya penyakit yang
menyertai, misalnya spina bifida artrogriposis. Pada anak yang lebih tua, deformitas
beragam dari equinus dan adduktus yang cukup ringan sampai penampilan gada yang
paling berat dengan berat tubuh disangga dengan punggung kaki.10
Pergelangan kaki dalam posisi equinus, kaki supinasi (varus) dan adduksi.
Bayi normal umumnya dapat di dorsifleksi-kan dan eversi, sehingga kaki dapat
menyentuh tibia anterior. Dorsifleksi lebih 90o tidak dapat dilakukan pada kaki
normal.3
Navikular tergeser secara medial, begitu juga dengan kuboid. Terdapat
kontraktur jaringan lunak plantar medial. Tidak hanya calcaneus yang berada pada
posisi equinus, tapi juga aspek anterior terotasi secara medial dan posterior aspek
terotasi secara lateral.
Tumit kecil dan kosong. Tumit terasa lunak ketika disentuh (seperti perabaan
pipi). Seiring dengan berjalannya pengobatan, tumit akan terasa makin berisi dan
makin terasa keras (seperti perabaan hidung dan dagu).
Leher talus dapat teraba dengan mudah pada sinus tarsal karena ia terbuka
secara lateral. Normalnya, ini tertutup oleh navicular, dan badan talus berada dalam
lubang. Malleolus medial sulit untuk diraba dan sering berkontak dengan navicular.
Interval malleolus-navicular normal tidak dapat diukur.
Kaki belakang supinasi, tetapi kaki sering berada pada posisi pronasi relatif
terhadap kaki belakang. Sinar pertama sering jatuh untuk menmberi kesan posisi
kavus.3
Page 18
15
2.8 Pemeriksaan
2.8.1 Pemeriksaan Fisik
Berupa deformitas pada :
◦ Adduksi dan supinasi kaki depan pada sendi mid dorsal
◦ Subluksasi sendi talonavikulare
◦ Equinus kaki belakang pada sendi ankle
◦ Varus kaki belakang pada sendi subtalar
◦ Deviasi medial seluruh kaki terhadap lutut
◦ Inversi tumit
2.8.2 Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Polos4,19
Metode evaluasi radiologis yang standar digunakan adalah foto polos.
Pemeriksaan harus mencakup gambaran tumpuan berat karena stress yang terlibat
dapat terjadi berulang-ulang. Pada infant, tumpuan berat dapat disimulasikan dengan
pemberian stress dorsal flexi. Gambaran radiologi normal kaki dan pergelangan kaki,
pada gambar berikut ini.
Page 19
16
Gambar 4a. Gambar foto polos AP pergelangan kaki dan Gambar 4b. Gambar foto polos lateral
pergelangan kaki
Gambaran standar yang digunakan adalah gambaran dorsoplantar (DP) dan
lateral. Untuk gambaran dorsoplantar, sinar diarahkan dengan sudut 150 terhadap
tumit untuk mencegah overlap dengan struktur tungkai bawah. Gambaran lateral
harus mencakup pergelangan kaki, dan bukan kaki, untuk penggambaran yang lebih
tepat dari talus.
Foto polos mempunyai kerugian yaitu tereksposnya pasien terhadap radiasi.
Ditambah lagi, pengaturan posisi yang tepat juga akan sulit dilakukan. Pemosisian
yang tidak tepat dapat menghasilkan gambaran seperti deformitas. Lebih jauh lagi,
karena CTEV adalah kondisi kongenital, kurangnya osifikasi pada beberapa tulang
yang terlibat merupakan salah satu keterbatasan lainnya. Pada neonates, hanya talus
dan calcaneus yang terosifikasi. Navikular tidak terosifikasi sampai anak berusia 2-3
tahun.
Tiga komponen utama dari deformitas ini ditemukan pada radiograf dan dapat
diukur secara berulang. Dengan pemosisian dan eksposur yang tepat, pengukuran
Page 20
17
abnormalitas kesejajaran pada foto polos dapat dipercaya. Tidak ada imaging
konfirmasi yang rutin dilakukan. Posisi oblique tumit pada gambaran dorsoplantar
(DP) dapat mensimulasikan varus kaki belakang. Bila gambaran lateral hanya
meliputi salah satu kaki dan tidak termasuk pergelangan kaki, maka akan terlihat
gambaran palsu dari lengkungan talus yang mendatar.
Equinus kaki belakang adalah plantar fleksi dari calcaneus anterior (mirip
kuku kuda) di mana sudut antara axis panjang tibia dan axis panjang calcaneus (sudut
tibiocalcaneal) lebih besar dari 900.
Gambar 5. Gambaran lateral talipes equinovarus menunjukkan elevasi sudut tibiocalcaneal yang
abnormal. Sudut yang normal adalah 60-900.
Pada varus kaki belakang, talus diperkirakan terfiksasi secara relatif terhadap
tibia. Calcaneus berputar mengitari talus menuju posisi varus (kearah garis tengah).
Pada gambaran lateral, sudut antara axis pajang talus dan axis panjang calcaneus
(sudut talocalcaneal) kurang dari 250, dan kedua tulang tersebut lebih paralel
dibandingkan kondisi normal.
Page 21
18
Gambar 6. Gambaran lateral normal menunjukkan pengukuran sudut talocalcaneal. Axis panjang
calcaneal ditarik sepanjang permukaan plantar. Rentang normalnya adalah 25-450.
Perhatikan overlap normal metatarsal pada gambaran lateral.
Pada gambaran DP, sudut talocalcaneus kurang dari 15o, dan dua tulang
terlihat lebih tumpang tindih daripada pada kaki normal. Selain itu, aksis longitudinal
yang melalui pertengahan talus (garis midtalar) melintas secara lateral ke arah dasar
metatarsal pertama, karena garis depan terdeviasi secara medial.
Page 22
19
Gambar 7a. Proyeksi dorsoplantar dari kaki normal menunjukkan bahwa garis yang melalui aksis
panjang talus melintasi secara medial ke arah dasar metatarsal pertama. Ukuran sudut
talokalkaneus dapat terlihat. Ukuran normalnya yaitu 15o-40o.
Gambar 7b. Gambaran Dorsoplantar dari pasien dengan CTEV unilateral menunjukkan bahwa talus
dan kalkaneus lebih tumpang tindih (overlapping) daripada kaki normal. Sudut
talocalcanues 15o atau kurang. Perhatikan bahwa garis yang melalui aksis panjang dari
talus melintas secara lateral ke metatarsal pertama karena posisi varus dari kaki depan.
Page 23
20
Varus kaki depan dan supinasi meningkatkan konvergensi dari basis
metatarsal pada gambaran DP, jika dibandingkan dengan sedikit konvergensi pada
kaki normal (lihat gambar 8). Pada gambaran lateral, CTEV normal, tidak memiliki
gambaran tumpang tindih (lihat gambar 9).
Gambar 8. Gambaran Dorsoplantar dari talipes equinovarus menunjukkan bahwa konvergensi dari
basis metatarsal secara abnormal meningkat jika dibandingkan dengan konvergensi normal.
Page 24
21
Gambar 9. Gambaran lateral menunjukkan konfigurasi seperti tangga (ladderlike) dari metatarsal pada
varus kaki depan pada CTEV.
Page 25
22
Tabel 1. Ukuran dari kaki normal dan CTEV
Pada CTEV yang tidak dikoreksi hingga tuntas atau pada CTEV rekuren,
terdapat abnormalitas yang khas. Sudut kalkaneus normal pada gambaran DP (lihat
gambar 10) tapi kesejajaran (paralelisasi) menetap pada gambaran lateral.
Gambar 10. Gambaran CTEV yang didapat setelah perbaikan menunjukkan perubahan sudut
talokalkaneus normal pada gambaran dorsoplantar. Garis di sepanjang aksis panjang talus
sekarang melintas secara medial ke metatarsal pertama; temuan ini mengindikasikan
overkoreksi dari varus kaki depan.
Page 26
23
Kavum lengkungan plantar mungkin terlihat, terutama jika tidak dilakukan
pemotongan plantar. Selain itu, reaksi periosteum, sclerosis atau fraktur lateral
metatarsal dapat terjadi sebagai hasil dari tumpuan berat yang abnormal pada sisi kaki
yang terkena dalam kasus koreksi yang tidak adekuat dari varus kaki depan (lihat
gambar 11).
Gambar 11. Gambaran foto polos lateral dari wanita usia 12 tahun setelah tindakan operatif CTEV
menunjukkan varus kaki depan yang menetap dan menghasilkan menghasilkan resultan
penekanan (penebalan kortikal) pada sebagian besar metatarsal lateral.
b. CT-Scan4
Pada penelitian pendahuluan mengenai CT dengan rekonstruksi 3 dimensi,
Johnston, menunjukkan bahwa kerangka kawat luar yang dapat memantau tulang
pada CTEV bias diterapkan dan aksis inersia dapat ditentukan di sekitar pusat massa
dengan 3 bidang perpendikuler untuk setiap tulang yang terlibat. Kawat ini dapat
dirotasi secara manual untuk mengurai deformitas dan kelainan susunan tulang yang
tidak jelas karena overlapping pada foto polos. Hubungan antara tulang kaki belakang
dan pergelangan kaki dapat dinilai dengan cara ini, karena gambaran dari kaki bagian
bawah tidak saling berhimpit (overlapping). Begitu pula halnya dengan aksis vertical
Page 27
24
dari talus dan lubang kalkaneus dapat dibandingkan dengan garis acuan perpendicular
terhadap dasar pada rekonstruksi koronal dari tumit.
Kerugian dari CT scan termasuk risiko radiasi ionisasi, kurangnya osifikasi
pada tulang tarsal, suseptibilitas dari artifak gambar dan gerakan, dan dibutuhkannya
peralatan yang mahal dan aplikasi software untuk rekonstruksi multiplanar. Di sisi
lain, deformitas 3 dimensi yang kompleks ini dapat dinilai dengan lebih baik dengan
rekonstruksi 3 dimensi jika dibandingkan dengan radiografi 2 dimensi. Penggunaan
CT dalam evaluasi artikulasi talus pada trauma dan koalisi tarsal telah digunakan
secara luas.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)4
Saat ini MRI tidak dilakukan untuk pemeriksaan radiologi CTEV, dan
terbatasnya pengalaman penggunaan MRI. Penggunaan MRI terbatas karena berbagai
kerugian, diantaranya:dibutuhkan alat khusus dan sedasi pasien, selain itu keuntungan
dari MRI jika dibandingkan dengan foto polos dan CT-scan adalah kapabilitas
imaging multiplanar dan penggambaran yang sangat baik untuk nucleus osifikasi,
kartilago anlage (primordium) serta struktur jaringan lunak disekitarnya.
d. USG (Ultrasonografi)4
Telah dilakukan beberapa penelitian mengenai temuan USG pada kaki normal
ataupun CTEV, meskipun kegunaan klinis dari modalitas ini tidak umum digunakan.
Kekurangan terbesar dari USG adalah ketidakmampuan gelombang suara untuk
menembus seluruh tulang, terutama jika terdapat bekas luka post operasi. Keuntungan
ultrasonografi termasuk tidak ada / kurangnya radiasi pengion, tidak membutuhkan
obat sedative, kemampuannya untuk menggambarkan bagian tulang yang tidak
terosifikasi, dan kapasitasnya dalam hal imaging dynamics.
Tendon Achilles dapat diukur dengan menggunakan gambaran posterior-
sagital. Umumnya tendon Achilles ini memendek pada CTEV dan deformitas spastik.
Pada gambaran posterior sagittal ini, tibia distal, talus, dan kalkaneus sejajar
sepenuhnya. Jarak antara tibia distal yang terosifikasi dan calcaneus superior yang
Page 28
25
terosifikasi dapat diukur. Dalam keadaan plantar fleksi, pada kaki normal jarak ini
akan berkurang, tapi tidak pada CTEV. Gambaran ini memungkinkan evaluasi dari
hubungan talonavicular pada bidang DP, yang seringnya tetap abnormal bahkan
setelah pemotongan subtalar komplit. Pada gambaran anterior-medial, malleolus
medial, talus, navicular dan cuneiformis medial dapat dilihat pada gambar 12.
Gambar 12. CTEV. Hasil USG dari aspek medial kaki normal, menggambarkan hubungan antara
kartilago malleolus medial (M), talus terosifikasi (T), dan navicular yang tidak
terosifikasi (N). metatarsal pertama juga telah terosifikasi.
Hubungan talonavicular yang penting dan sukar ditangkap dapat dihitung
dengan mengukur jarak atau sudut. Jarak antara epifisis malleolus medial dan
kartilago navicular dapat diukur. Dengan adanya displacement medial dari navicular
pada CTEV, ukurannya akan menjadi lebih pendek dari pada kaki normal. Hal ini
terlihat pada gambar 13.
Page 29
26
Gambar 13. Jarak antara malleolus medial (M) dan navicular (N) dapat diukur pada dengan
menggerakkan transduser secara dinamis. Disini ditunjukkan posisi normal dari kaki
normal.
Gambaran dinamis / dynamic imaging yang bisa dilakukan dengan USG dapat
melengkapi pemeriksaan fisik untuk menilai rigiditas dari kaki. Sehingga, USG ini
dapat membantu memilah pasien yang harus dilakukan operasi dan tidak bisa dengan
terapi konservatif saja.
Kesimpulannya, pemeriksaan USG dapat digunakan untuk menentukan
kepentingan, bidang, dan jumlah jaringan lunak yang harus dipotong atau dilepaskan
dan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi konservatif.
Page 30
27
Gambar 14. USG medial menunjukkan CTEV pada posisi normal
e. Angiografi4
Angiogram dapat menunjukkan abnormalitas ukuran dan distribusi pembuluh
darah kecil pada CTEV, tapi temuan ini masih terbatas dalam kegunaannya secara
klinis.
2.9 Diagnosis18
Untuk menegakkan diagnosis dini perlu dilakukan skrining motivasi semua
tenaga kesehatan:
a. untuk melakukan skrining terhadap semua bayi baru lahir dan balita terhadap
adanya kelainan pada kaki dan kelainan lainnya.
b. Bayi-bayi dengan kelainan dapat dirujuk untuk dirawat di klinik kaki pengkor.
C. Memastikan kasus yang ditemukan pada tahap skrining tersebut, kemudian
dipastikan diagnosanya oleh tenaga kesehatan yang berpengalaman mengenai
Page 31
28
kelainan muskuloskeletal. Ciri-ciri penting kaki pengkor adalah cavus, varus,
adductus dan equines.
Dalam evaluasi ini dapat disingkirkan kelainan lain seperti metatarsus
adductus dan sindroma lain yang mendasarinya. Kaki pengkor diklasifikasikan
menjadi beberapa kategori untuk menentukan prognosis dan merencanakan terapi.
Alat bantu diagnosis yang bias membantu adalah Sinar-X. Sinar X terutama
digunakan untuk menilai kemajuan setelah terapi. Film anteroposterior diambil
dengan kaki plantarfleksi 300 dan tabung sinar X bersudut 30
0 terhadap garis tegak
lurus. Ditarik garis melalui poros panjang talus yang sejajar perbatasan medial dan
poros panjang kalkaneus yang sejajar perbatasan lateralnya; garis-garis itu biasanya
menyilang dengan sudut sebesar 20-400. Tetapi pada kaki gada, kedua garis itu
mungkin hampir sejajar.
Film lateral diambil dengan kaki dalam keadaan dipaksa dorsifleksi. Garis
yang ditarik melalui poros longitudinal tengah talus dan perbatasan bawah dari
kalkaneus harus bertemu dengan sudut sekitar 400. Sudut yang kurang dari 20
0
menunjukkan bahwa kalkaneus tidak dapat ditekuk ke atas ke dalam dorsifleksi
sempurna; kaki mungkin tampak dorsifleksi tetapi sebenarnya mungkin ‘patah’ pada
tingkat tarsal pertengahan, sehingga menghasilkan apa yang disebut deformitas kaki
kursi goyang.10
2.10 Diagnosis Banding5
Diagnosa CTEV sangat mudah karena bentuknya yang khas. Akan tetapi ada
beberapa kelainan yang secara anatomis menyerupainya. Sedangkan untuk memberi
penanganan yang sesuai dengan kelainan ini, perlu mengetahui kelainan-kelainan lain
yang serupa untuk membedakannya. Beberapa diantaranya adalah:
a. Absensi atau hipoplasia tibia kongenital
b. Dislokasi pergelangan kaki congenital
Page 32
29
Pada keduanya, kaki tampak seperti clubfoot. Pemeriksaan yang perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosa adalah:
◦ Palpasi secara teliti hubungan anatomik hindfoot dengan maleolus lateral dan
medial
◦ Pemeriksaan radiografi.
c. Acquired type of clubfoot
Pada bayi baru lahir biasanya tipe ini mudah dibedakan dengan tipe
kongenital, tetapi pada anak yang lebih besar lebih sulit. Biasanya sering terjadi
karena penyakit paralitik karena itu disebut juga paralytic clubfoot, antara lain:
myelomeningocele, tumor intraspinal, diasmatomyelia, poliomyelitis, atrofi muskular
progresif tipe distal, cerebral palsy dan penyakit Guillain-Barre. Pemeriksaan:
◦ Periksa vertebra secara teliti untuk mencari abnormalitas
◦ Muscle testing
◦ Radiogram seluruh kolum vertebra
◦ Nilai sistem neuromuskular dengan teliti untuk menyingkirkan penyalit paralitik
◦ Pada poliomyelitis kaki teraba dingin dan biru, bukti paralisa (+)
◦ Pada spina bifida terdapat gangguan sensasi dan perubahan trofi.
Ada pula beberapa anomali lain yang ditemukan bersamaan dengan CTEV, antara
lain:
1) Arthroghyposis multipleks kongenital
Anomali ini sering disertai CTEV, oleh karena itu untuk mendiagnosanya
perlu pemeriksaan:
◦ Sendi panggul, lutut, siku dan bahu perlu diperiksa dengan teliti untuk mencari
adanya subluksasi atau dislokasi.
◦ Periksa LGS sendi-sendi perifer
◦ kontraktur yang menyebabkan fleksi atau ekstensi abnormal
Yang khas pada arthroghyposis multipleks kongenital adalah penurunan
massa otot dan fibrosis.
Page 33
30
2) Konstriksi pita annular kongenital (Streeter’s dysplasia)
Cowell dan Hensinger meneliti 25 kasus konstriksi pita annular kongenital
pada ektremitas dan menemukan clubfeet pada 56% diantaranya.
3) Diasthrophic dwarfism
Bentuk tubuh kecil, masa kistik lunak pada daun telinga, palatum terbelah,
pemendekan metacarpal V dengan ibu jari yang hipermobil, kontraktur fleksi dan
berbagai derajat webbing pada sendi lutut, panggul, siku, bahu dan interfalangeal.
Deformitas equinovarus kaki derajat berat dan bilateral.
4) Displasia craniocarpotarsal (Freeman-Sheldon syndrome)
Wajah anak sangat khas. Dahi penuh, mata cekung kedalam, wajah bagian
tengah datar, mulut kecil dengan bibir maju seperti ‘bersiul’. Lipatan kulit
berbentuk huruf H pada dagu. Palatum tinggi dan suara sengau karena pergerakan
palatum terbatas. Jari-jari tanfan berdeviasi keatas. Deformitas equinus
disebabkan karena kontraktur fleksi jari-jari kaki.
5) Larsen’s syndrome
Ditandai dengan dislokasi sendi multipel (terutama lutut, sendi panggul dan
siku), wajah datar, tulang hidung terdorong kedalam, dahi menonjol, jarak antar
mata lebar, metacarpal pendek dengan ibu jari tangan berbentuk sendok.
6) Mobius syndrome
Yang khas adalah wajah seperti topeng dengan abduksi kedua mata dan
paralisis nercus fasialis parsial atau komplit. Anomali lain adalah syndactyly
dengan ankilosis tulang sendi interfalangeal proksimal, absensi pektoralis mayor,
microdactylia dan kegagalan pembentukan semua falang.
Page 34
31
2.11 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan CTEV adalah5:
a. Mencapai reduksi konsentrik dislukasi atau subluksasi sendi talocalcaneonavikular.
b. Mempertahankan reduksi.
c. Mengembalikan alignment persendian tarsal dan pergelangan kaki yang normal.
d. Mewujudkan keseimbangan otot antara evertor dan invertor; dan otot dorsofleksor
dan plantarfleksor.
e. Mendapatkan kaki yang mobile dengan fungsi dan weight bearing yang normal.
Penatalaksanaan harus dimulai sedini mungkin, lebih baik segera sesudah
lahir. Tiga minggu pertama setelah lahir merupakan periode emas/golden period,
sebab jaringan ligamentosa bayi baru lahir masih kendor karena pengaruh hormon
maternal. Fase ini adalah fase kritis dimana jaringan lunak yang kontraktur dapat
dielongasi dengan manipulasi berulang setiap hari.5
2.11.1 Terapi non-operatif
1) Gips Ponseti18
◦ Persiapan
Termasuk didalamnya adalah upaya menenangkan anak dengan
memberikan botol susu atau dengan menyusuinya (Gambar 15.1). Jika
memungkinkan didampingi oleh asisten terlatih. Kadang-kadang dibutuhkan
bantuan dari orang tua penderita. Persiapan sangatlah pentingg (Gambar 15.2).
Asisten (titik biru) memegang kaki, sementara manipulator (titik merah)
melakukan koreksi.
◦ Manipulasi dan Pengegipan
Mulailah sedapat mungkin segera setelah lahir. Buat penderita dan keluarga
nyaman. Biarkan anak minum selama manipulasi dan proses pengegipan.
Page 35
32
◦ Menentukan letak kaput talus dengan tepat
Tahap ini sangat penting (Gambar 15.3), pertama, palpasi kedua malleoli
(garis biru) dengan ibu jari dan jari telunjuk dari tangan A sementara jari-jari dan
metatarsal dipegang dengan tangan B. Kemudian (Gambar 15.4), geser ibu jari
dan jari telunjuk tangan A ke depan untuk dapat meraba caput talus (garis merah)
di depan pergelangan kaki. Karena navicular bergeser ke medial dan
tuberositasnya hampir menyentuh malleolus medialis, kita dapat meraba
penonjolanbagian lateral dari caput talus (merah) yang hanya tertutup kulit di
depan malleolus lateralis. Bagian anterior calcaneus dapat diraba dibawah caput
talus. Dengan menggerakkan forefoot dalam posisi supinasi kearah lateral, kita
dapat meraba navicular bergeser (meskipun sedikit) didepan caput talus
sedangkan tulang calcaneus akan bergerak ke lateral di bawah caput talus.
Page 36
33
Gambar 15. Persiapan Pemasangan Gips Ponseti dan Manipulasi
◦ Manipulasi
Tindakan manipulasi adalah melakukan abduksi dari kaki dibawah caput
talus yang telah distabilkan. Tentukan letak talus. Seluruh deformitas kaki
pengkor, kecuali equinus ankle, terkoreksi secara bersamaan. Agar dapat
mengoreksi kelainan ini, kita harus dapat menentukan letak caput talus, yang
menjadi titik tumpu koreksi.
◦ Mengoreksi (memperbaiki) cavus
Bagian pertama metode Ponseti adalah mengoreksi cavus dengan
memposisikan kaki depan (forefoot) dalam alignment yang tepat dengan kaki
belakang (hindfoot). Cavus, yang merupakan lengkungan tinggi di bagian tengah
kaki (Gambar 16.1 pada garis lengkung kuning), disebabkan oleh pronasi forefoot
terhadap hindfoot. Cavus ini hampir selalu supel pada bayi baru lahir dan dengan
mengelevasikan jari pertama dan metatarsal pertama maka arcus longitudinal kaki
kembali normal (Gambar 16.2 dan 16.3). Forefoot disupinasikan sampai secara
visual kita dapat melihat arcus plantar pedis yang normal (tidak terlalu tinggi
Page 37
34
ataupun terlalu datar). Alignment (kesegarisan) forefoot dan hindfoot untuk
mencapai arcus plantaris yang normal sangat penting agar abduksi (yang
dilakukan untuk mengoreksi adduksi dan varus) dapat efektif.
◦ Langkah-langkah Pemasangan Gips
Dr. Ponseti merekomendasikan penggunaan bahan gips karena lebih murah
dan molding lebih presisi dibanding dengan fiberglass. Manipulasi Awal.
Sebelum gips dipasang, kaki dimanipulasi lebih dahulu. Tumit tidak disentuh
sedikitpun agar calcaneus bisa abduksi bersama-sama dengan kaki (Gambar
16.4). Memasang padding yang tipis saja (Gambar 16.5) untuk memudahkan
molding. Pertahankan kaki dalam posisi koreksi yang maksimal dengan cara
memegang jari-jari dan counter pressure pada caput talus selama pemasangan
gips.
Pemasangan Gips di bawah lutut lebih dulu kemudian lanjutkan gips sampai
paha atas. Mulai dengan tiga atau empat putaran disekeliling jari-jari kaki
(Gambar 16.6) kemudian ke proksimal sampai lutut (Gambar 16.7). Pasang gips
dengan cermat, terutama saat memasang gips diatas tumit, gips dikencangkan
sedikit. Kaki harus dipegang pada jari-jari, gips ”dilingkarkan” di atas jari-jari
pemegang agar tersedia ruang yang cukup untuk pergerakan jari-jari.
Page 38
35
Gambar 16. Pemasangan Gips
◦ Molding gips.
Koreksi tidak boleh dilakukan secara paksa dengan menggunakan gips.
Gunakanlah penekanan yang ringan saja. Jangan menekan caput talus dengan ibu
jari terus menerus, tapi ”tekan-lepas-tekan” berulangkali untuk mencegah
pressure sore. Molding gips di atas caput talus sambil mempertahankan kaki pada
posisi koreksi (Gambar 17.1). Perhatikan ibu jari tangan kiri melakukan molding
gips di atas caput talus sedangkan tangan kanan molding forefoot (dalam posisi
supinasi). Arcus plantaris dimolding dengan baik untuk mencegah terjadinya
flatfoot atau rocker-bottom deformity. Tumit di molding dengan baik dengan
”membentuk” gips di atas tuberositas posterior calcaneus. Malleolus di molding
dengan baik. Proses molding ini hendaknya merupakan proses yang dinamik,
sehingga jari-jari harus sering digerakkan untuk menghindari tekanan yang
berlebihan pada satu tempat. Molding dilanjutkan sambil menunggu gips keras.
Lanjutankan gips sampai paha. Gunakan padding yang tebal pada proksimal
paha untuk mencegah iritasi kulit (Gambar 17.2). Gips dapat dipasang berulang
bolak-balik pada sisi anterior lutut untuk memperkuat gips disisi anterior (Gambar
Page 39
36
17.3) dan untuk mencegah terlalu tebalnya gips di fossa poplitea, yang akan
mempersulit pelepasan gips.
◦ Potong gips.
Biarkan gips pada sisi plantar pedis untuk menahan jari-jari (Gambar 17.4)
dan potong gips dibagian dorsal sampai mencapai sendi metatarsophalangeal.
Potong gips dibagian tengah dulu kemudian dilan jutkan kemedial dan lateral
dengan menggunakan pisau gips. Biarkan bagian dorsal semua jari-jari bebas
sehingga dapat ekstensi penuh. Perhatikan bentuk gips yang pertama (Gambar
17.5). Kaki equinus, dan forefoot dalam keadaan supinasi.
Gambar 17. Molding Gips
Page 40
37
◦ Hasil akhir
Setelah pemasangan gips selesai, kaki akan tampak over-koreksi dalam
posisi abduksi dibandingkan kaki normal saat berjalan. Hal ini bukan suatu over-
koreksi. Namun merupakan koreksi penuh kaki dalam posisi abduksi maksimal.
Koreksi kaki hingga mencapai abduksi yang penuh, lengkap dan dalam batas
normal ini, membantu mencegah rekurensi dan tidak menciptakan over-koreksi
atau kaki pronasi (Stahell, 2008).
2) Bracing18
Pada akhir pengegipan, kaki dalam posisi sangat abduksi (sekitar 60-70
derajat/tight-foot axis). Setelah tenotomi, gips terakhir dipakai selama 3 minggu.
Protokol Ponseti selanjutnya adalah memakai brace (bracing) untuk mempertahankan
kaki dalam posisi abduksi dan dorsofleksi. Brace berupa bar (batang) logam
direkatkan pada sepatu yang bertelapak kaki lurus dengan ujung terbuka (straight-last
open-toe shoes). Abduksi kaki dengan sudut 60-70 derajat ini diperlukan untuk
mempertahankan abduksi calcaneus dan forefoot serta mencegah kekambuhan
(relaps). Jaringan lunak pada sisi medial akan tetap teregang hanya jika dilakukan
bracing setelah pengegipan. Dengan brace, lutut tetap bebas, sehingga anak dapat
”menendangkan” kaki kedepan sehingga meregangkan otot gastrosoleus. Abduksi
kaki dalam brace, ditambah dengan bar yang sedikit melengkung, akan membuat
kaki dorsofleksi. Hal ini membantu mempertahankan regangan pada otot
gastrocnemius dan tendo Achilles. Ankle-foot orthose (AFO) tidak berguna sebab
hanya menahan kaki lurus dengan dorsofleksi netral.
◦ Aturan pemakaian brace
Tiga minggu setelah tenotomi, gips dilepas, dan brace segera dipakai. Alat
ini terdiri dari sepatu open-toe high-top/straight-last shoes yang terpasang pada
sebuah batang logam (Gambar 18.1). Pada kasus unilateral, brace dipasang pada
60-70 derajat eksternal rotasi pada sisi sakit dan 30-40 derajat eksternal rotasi
pada sisi yang sehat (Gambar 18.2). Pada kasus bilateral, brace diatur 70 derajat
Page 41
38
eksternal rotasi pada kedua sisi. Bar harus cukup panjang sehingga jarak antar
tumit sepatu selebar bahu (Gambar 18.2). Kesalahan yang sering terjadi adalah
bar yang terlalu pendek yang membuat anak merasa tidak nyaman. Bar harus
dilengkungkan 5-10 derajat kearah bawah (menjauhi badan) agar kaki tetap
dorsofleksi. Brace harus dipakai sepanjang hari selama 3 bulan pertama semenjak
gips terakhir dilepas. Setelah itu anak harus memakai brace ini selama 12 jam
pada malam hari dan 2-4 jam pada siang. Sehingga total pemakaian 14-16 jam
dalam sehari sampai anak berusia 3-4 tahun.
Gambar 18. Brace
◦ Jenis-jenis brace
Modifikasi terhadap Ponseti brace yang orisinil memberi banyak keuntungan.
Untuk mencegah kaki merosot keluar dari sepatu, maka suatu pada ditempatkan
dibagian belakang sepatu (Gambar 19.1). Berbagai desain yang baru mebuat bracing
lebih aman, lebih mudah dikenakan pada bayi dan memungkinkan bayi bergerak.
Kemudahan-kemudahan ini akan meningkatkan ketaatan. Berbagai pilihan brace
adalah sebagai berikut:
H.M. Steenbeek bekerja untuk Christoffel Blinden Mission, di Katalemwa
Chesire Home di Kampala, Uganda telah mengembangkan bracing yang dapat
dibuat dari bahan yang sederhana dan mudah didapatkan (Gambar 19.2).
Brace tersebut efektif mempertahankan koreksi, mudah dipakai, mudah
dibuat, tidak mahal, dan cocok dipakai untuk pemakaian luas.
John Mitchell telah mendesain sebuah brace dibawah pengawasan Dr.
Ponseti. Brace terdiri dari sepatu terbuat dari kulit lembut dan sol plastik yang
Page 42
39
dibentuk sesuai bentuk kaki anak, membuat sepatu ini sangat nyaman dan
mudah dipakai (Gambar 19.3).
Dr. Matthew Dobbs dari Washington University School of Medicine di St
Louis, AS membuat dynamic brace yang memungkinkan kaki anak bergerak
sambil tetap mempertahankan rotasi kaki yang diperlukan (Gambar 19.4).
Diperlukan AFO pada alat ini untuk mencegah plantar fleksi ankle.
M.J. Markel telah mengembangkan bracing yang memungkinkan orang tua
penderita memasang sepatu pada anak terlebih dahulu dan kemudian baru
dikaitkan pada alat bar nya (Gambar 19.5).
Dr. Jeffrey Kessler dari Kaiser Hospital, Los Angeles, AS telah membuat
brace yang fleksibel dan tidak mahal. Bar dibuat dari polypropylene setebal
1/8 inchi (Gambar 19.6). Brace ini sangat disukai bayi sehingga meningkatkan
ketaatan pemakaiannya.
Dr. Romanus mengembangkan brace ini di Swedia (Gambar 19.7). Sepatunya
terbuat dari plastik yang mudah dibentuk sesuai kaki anak. Bagian dalam
sepatu dilapisi kulit yang lembut sehingga membuatnya sangat nyaman.
Sepatu ini di tempelkan pada batang dengan sekrup.
Page 43
40
Gambar 19. Jenis-jenis Brace
2.11.2 Terapi Operatif
Indikasi pemilihan pelaksanaan terapi operatif adalah adanya komplikasi yang
terjadi setelah terapi konservatif. Pada kasus resisten, terapi operatif paling baik
dilakukan pada usia 3-6 minggu, ketika tidak tampak adanya perbaikan yang
signifikan setelah menjalani terapi konservatif yang teratur.
1) Insisi
Beberapa pilihan insisi, antara lain :
a) Cincinnati: berupa insisi transversal, mulai dari sisi anteromedial (persendian
navikular-kuneiformis) kaki sampai ke sisi anterolateral (bagian distal dan medial
sinus tarsal), dilanjutkan ke bagian belakang pergelangan kaki setinggi sendi
tibiotalus.
b) Posteromedial: insisi ini dapat menyebabkan luka terbuka, khususnya di sudut
vertikal dan medial kaki. Untuk menghindari hal ini, beberapa operator memilih
beberapa jalan, antara lain:
◦ Tiga insisi terpisah – insisi posterior arah vertikal, medial, dan lateral
◦ Dua insisi terpisah – curvilinear medial dan posterolateral.
Page 44
41
Banyak pendekatan bisa dilakukan untuk terapi operatif di semua kuadran, antara
lain:
• Plantar: fasia plantaris, abduktor halucis, fleksor digitorum brevis, ligamen
plantaris panjang dan pendek
• Medial: struktur-struktur medial, selubung tendon, pelepasan talonavikular dan
subtalar, tibialis posterior, FHL (fleksor halucis longus), dan pemanjangan FDL
(fleksor digitorum longus)
• Posterior: kapsulotomi persendian kaki dan subtalar, terutama pelepasan
ligament talofibular posterior dan tibiofibular, serta ligament kalkaneofibular
• Lateral: struktur-struktur lateral, selubung peroneal, pesendian kalkaneokuboid,
serta pelepasan ligamen talonavikular dan subtalar
Pendekatan mana pun harus bisa menghasilkan pajanan yang adekuat. Struktur-
struktur yang harus dilepaskan atau diregangkan adalah:
• Tendon Achilles
• Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi subtalar
• Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen Deltoid
• Ligamen tibiofi bular inferior
• Ligamen fi bulokalkaneal
• Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar
• Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik.
Aksis longitudinal talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20° dari
proyeksi lateral. Koreksi yang dilakukan kemudian dipertahankan dengan
pemasangan kawat di persendian talokalkaneus, atau talonavikular atau keduanya.
Hal ini juga dapat dilakukan menggunakan gips. Luka paska operasi tidakboleh
ditutup paksa. Luka dapat dibiarkan terbuka agar membentuk jaringan granulasi atau
nantinya dapat dilakukan cangkok (graft) kulit.
Page 45
42
Penatalaksanaan dengan operasi harus mempertimbangkan usia pasien :
a) Pada anak kurang dari 5 tahun, koreksi dapat dilakukan hanya melalui prosedur
jaringan lunak.
b) Untuk anak lebih dari 5 tahun, membutuhkan pembentukan ulang tulang/bony
reshaping (misal, eksisi dorsolateral dari persendian kalkaneokuboid (prosedur
Dillwyn Evans) atau osteotomi tulang kalkaneus (untuk mengoreksi varus).
c) Apabila anak berusia lebih dari 10 tahun, dapat dilakukan tarsektomi lateralis
atau arthrodesis.
Harus diperhatikan keadaan luka pascaoperasi. Jika penutupan kulit sulit
dilakukan, lebih baik dibiarkan terbuka agar dapat terjadi reaksi granulasi, untuk
kemudian memungkinkan terjadinya penyembuhan primer atau sekunder. Dapat juga
dilakukan pencangkokan kulit untuk menutupi defek luka operasi. Perban hanya
boleh dipasang longgar dan harus diperiksa secara reguler.
2) Koreksi jaringan lunak
Koreksi jaringan lunak dilakukan pada bayi dan anak dibawah 5 tahun. Pada
usia ini, biasanya belum ada deformitas pada tulang-tulang kaki, bila dilakukan
operasi pada tulang dikhawatirkan malah merusak tulang dan sendi kartilago anak
yang masih rentan. Koreksi dilakukan pada:
Otot dan tendon
◦ Achilles : tehnik pemanjangan tendo (Z-lengthening)
◦ Tibia posterior: tehnik pemanjangan tendo atau transfer
◦ Abduktor hallucis longus: tehnik reseksi atai eksisi
◦ Fleksor hallucis longus dan fleksor digitorum longus: tehnik pemanjangan atau
reseksi muskulotendineus
◦ Fleksor digitorum brevis
◦ Tenotomi
Page 46
43
Indikasi tenotomi
Tenotomi dilakukan untuk mengoreksi equinus setelah cavus,
adduksi, dan varus sudah terkoreksi baik akan tetapi dorsofleksi ankle
masih kurang dari 10 derajat. Pastikan abduksi sudah adekuat sebelum
melakukan tenotomi.
Tahap Persiapan
Mempersiapkan keluarga. Jelaskan kepada keluarga mengenai
tindakan yang akan dilakukan, jelaskan bahwa tenotomi merupakan
operasi minor, dengan anestesi lokal, dan dilakukan di klinik rawat jalan.
Peralatan. Siapkan semua alat yang dibutuhkan, pilih pisau
tenotomy no 11 atau 15, atau pisau kecil lainnya seperti pisau
untuk operasi mata.
Skin preparation. Desinfeksi kulit mulai dari pertengahan betis
sampai pertengahan kaki dengan asisten memegang ujung jari
dengan satu tangan dan paha dengan tangan lainnya (Gambar
20.1).
Anestesi. Sejumlah kecil obat anestesi disuntikkan disekitar
tendo Achilles (Gambar 20.2). Hati-hati terlalu banyak obat
anestesi membuat tendo sulit diraba dan tindakan menjadi lebih
sulit.
Persiapan untuk tenotomi
Dengan asisten mempertahankan ankle dalam posisi dorsoflesi
maksimal, tentukan letak tenotomi, kurang lebih 1,5 cm diatas calcaneus.
Suntikkan sedikit anestesi lokal disebelah medial tendo, pada tempat akan
dilakukan tenotomi. Ingatlah anatomi, neurovaskular bundle berada di
anteromedial tendo Achilles. Tendo ini berada didalam tendon sheath.
Page 47
44
Tenotomi
Tusukkan ujung pisau dari sisi medial, sedikit disebelah anterior
tendo (Gambar 20.3). Sisi datar pisau dijaga tetap sejajar dengan tendo.
Tempat tusukan ini menimbulkan sayatan kecil. Tendon sheath tidak diiris
dan dibiarkan utuh. Pisau kemudian diputar, sehingga bagian tajam pisau
mengarah ke tendo. Pisau kemudian digerakkan sedikit ke posterior.
Dirasakan sebagai ”pop” saat pisau memotong tendo. Tendo belum dianggap
terpotong seluruhnya, sampai sensasi ”pop” sudah dirasakan. Setelah
tenotomi, dorsofleksi ankle akan bertambah 15-20 derajat (Gambar 20.4).
Gips paskatenotomi
Setelah equinus terkoreksi dengan tenotomi, pasang gips ke 5
(Gambar 20.5) dengan kaki abduksi 60-70 derajat dan dorsofleksi 15 derajat.
Kaki tampak overkoreksi. Gips dipertahankan selama 3 minggu setelah
koreksi komplet. Gips dapat diganti jika rusak atau kotor sebelum 3 minggu.
Pasien dapat pulang, analgesik jarang diperlukan.
Page 48
45
Gambar 20. Tenotomi
Kapsul dan ligamen
◦ Talonavicular
◦ Subtalar
◦ Sendi calcaneocuboid
◦ Kapsul pergelangan kaki, antara lain bagian dari lig. deltoid
◦ Ligamen yang kontraktur pada sisi posterolateral pergelangan kaki dan sendi
subtalar:
- Lig. calcaneofibular
- Lig. Talofibular posterior
- Retinakulum peroneal superior
◦ Ligamen interoseus talocalcaneal
3) Koreksi Jaringan Keras
Operasi pada tulang atau osteotomi dilakukan setelah usia anak 5-10 tahun.
Karena pada usia ini biasanya telah terjadi deformitas struktur tulang dan koreksi
yang diharapkan tidak mungkin berhasil tanpa pembenahan tulang. Tindakan berupa:
a) Osteotomi calcaneus untuk koreksi inversi
b) Wedge reseksi sendi calcaneocuboid
c) Osteotomi cuboid
d) Osteotomi cuneiformis untuk koreksi adduksi yang berlebihan
e) Osteotomi tibia dan fibula, jika torsi tibia berlebihan (jarang terjadi)
Page 49
46
Tindakan pada anak dengan usia lebih tua, lebih dari 10 tahun, biasanya:
a) Rekonstuksi tarsal, termasuk triple arthrodesis. Dilakukan pada kaki yang rigid
dan seringkali diserta nyeri serta tidak berespon pada gips serial atau prosedur
operasi yang lain.
b) Osteotomi femur
4) Follow Up
Pin untuk fi ksator biasanya dilepas setelah 3-6 minggu. Satelah itu, tetap diperlukan
perban yang dipasangkan dengan sepatu Dennis Brown selama 6-12 bulan.
2.12 Prognosis
Rata-rata 50% CTEV pada neonatus dapat diperbaiki secara non-operatif.
Ponseti melaporkan 89% tingkat kesuksesan dengan menggunakan tekhniknya
(termasuk tenotomi Achilles). Sebuah penelitian menganalisis proses perbaikan pada
pasien dengan CTEV idiopatik setelah dilakukan tekhnik Ponseti. Data melaporkan
bahwa gips yang baik akan menghasilkan pengurangan cavus dan lipatan medial
dengan perbaikan bertahap dari rotasi kaki tengah, adduksi, dan varus tumit.
Menarikanya, terjadi perbaikan pada equinus tumit bersamaan dengan variable kaki
tengah dan dengan gips yang paling akhir.
Kebanyakan penelitian melaporkan 75-90% kepuasan dari tatalaksana operatif
(tampilan dan fungsi kaki). Kemampuan pergerakan sendi-sendi kaki dan
pergelangan kaki berhubungan dengan derajat kepuasan pasien.3
Kepuasan pasien didapatkan pada 81% kasus, dan rentang pergerakan dari
pergelangan kaki merupakan factor utama dalam menentukan hasil fungsional, yang
dipengaruhi oleh tingkat pendataran lengkung talus. Pada 40% pasien tidak terjadi
dorsofleksi yang melebihi keadaan normal, dan 38% pasien membutuhkan operasi
lanjutan (hampir dua pertiga diantaranya adalah operasi tulang). 3
Tingkat rekurensi dari deformitas ini dilaporkan sekitar 25%, dengan rentang
10-50%. Menelaus melaporkan tingkat rekurensi 38%. Asalkan terapi dimulai sejak
Page 50
47
lahir, deformitas sebagian besar selalu dapat diperbaiki; walau demikian, keadaan ini
tidak dapat sembuh sempurna dan sering kambuh, terutama pada bayi dengan
kelumpuhan otot yang nyata atau disertai penyakit neuromuskuler.18
Page 51
48
BAB 3. LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : By. Tri Bintang Pamungkas
Umur : 7 bulan
Alamat : Krajan RT. 01/RW. 05 Pakusari Jember
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
No. RM : 41.77.50
Tgl MRS : 09-01-2013
Tgl pemeriksaan : 11-01-2013
2. Anamnesa
Keluhan Utama : Kedua kaki bengkok
RPS : Ibu pasien mengeluhkan kedua kaki anaknya bengkok sejak sejak lahir. Ibu
pasien mengira kaki anaknya akan sembuh dengan sendirinya sehingga
tidak pernah dibawa ke dokter. Anaknya tidak rewel, berat badan normal.
RPD : - RPO : - RPK : -
3. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum: cukup
Kesadaran : komposmentis
b. Vital Sign
Tensi : - mmHg
Nadi : 40 x/menit
RR : 32 x/menit
Page 52
49
Suhu : 36,5 0 C
c. Pemeriksaan Khusus
1) Kulit : cyanosis (-), ikterik (-), anemis (-)
2) Kepala
Mata : ikterik (-), anemis (-)
Telinga : sekret (-), darah (-)
Hidung : sekret (-), darah (-), deformity (-)
Mulut : dbn
Leher : pembesaran KGB (-)
3) Thorax
o Cor: I: ictus cordis tidak tampak
P: ictus cordis tidak teraba
P: redup di ICS IV PSL dextra – ICS V MCL sinistra
A: S1S2 tunggal
o Pulmo:
Ventral Dorsal
I: Simetris, retraksi -/-
P: Fremitus raba +/+
P: Sonor +/+
A: Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
I: Simetris, retraksi -/-
P: Fremitus raba +/+
P: Sonor +/+
A:Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
4) Abdomen: I: Flat
A: BU(+) normal
P: Timpani
P: Soepel
5) Extrimitas
Akral hangat + +
+ +
Page 53
50
Edema - -
- -
Diagnosis Kerja : Negleted Congenital Talipe Equino Varus (CTEV) bilateral
d. Follow Up
S/ Keluhan utama : kedua kaki bengkok
O/ Keadaan umum : cukup
Kesadaran : komposmentis
TTV : TD : - mmHg RR : 30 x/menit
N : 45 x/menit Tax : 36,5 oC
Kepala/Leher : a/i/c/d = -/-/-/-
Thoraks : Cardio : S1S2 tunggal
Pulmonal : Ves +/+; Rh -/-; Wh -/-
Abdomen : flat; BU (+); timpani; soepel
Ekstrimitas : atas : AH +/+; OE-/-
bawah : AH +/+; OE-/-
Status lokalis
R. Engkel : Look : deformity (+)
Feel : nyeri tekan (-)
Movement : ROM terbatas
A/ Negleted Congenital Talipe Equino Varus (CTEV) bilateral
P/ Pro OP
Cek Laboratorium Hematologi
Kamis, 10 Januari 2013/H1 MRS
Kamis, 11 Januari 2013/H2 MRS/ H1 Post OP
Page 54
51
S/ Keluhan utama : -
O/ Keadaan umum : cukup
Kesadaran : komposmentis
TTV : TD : - mmHg RR : 28 x/menit
N : 40 x/menit Tax : 37,5 oC
Kepala/Leher : a/i/c/d = -/-/-/-
Thoraks : Cardio : S1S2 tunggal
Pulmonal : Ves +/+; Rh -/-; Wh -/-
Abdomen : flat; BU (+); timpani; soepel
Ekstrimitas : atas : AH +/+; OE-/-
bawah : AH +/+; OE-/-
Status lokalis
R. Engkel : Look : deformity (+); gips (+)
Feel : nyeri tekan (-)
Movement : ROM terbatas
A/ Negleted Congenital Talipe Equino Varus (CTEV) bilateral post OP H1 (Gambar
21)
P/ Infus D5 ¼ flash
Ibuprofen syr 1 x ½ cth
Amoxilin syr 3 x ½ cth
Hasil Lab : Hb = 10.0; leu = 21.0; Hemato = 30.8; Trombosit = 540
Page 55
52
Gambar 21. Laporan Operasi
Kamis, 12 Januari 2013/H3 MRS
Page 56
53
S/ Keluhan utama : -
O/ Keadaan umum : baik
Kesadaran : komposmentis
TTV : TD : - mmHg RR : 30x/menit
N : 41 x/menit Tax : 36,6 oC
Kepala/Leher : a/i/c/d = -/-/-/-
Thoraks : Cardio : S1S2 tunggal
Pulmonal : Ves +/+; Rh -/-; Wh -/-
Abdomen : flat; BU (+); timpani; soepel
Ekstrimitas : atas : AH +/+; OE-/-
bawah : AH +/+; OE-/-
Status lokalis
R. Engkel : Look : deformity (+); gips (+)
Feel : nyeri tekan (-)
Movement : ROM terbatas
A/ Negleted Congenital Talipe Equino Varus (CTEV) bilateral post OP H2
P/ Ibuprofen syr 1 x ½ cth
Amoxilin syr 3 x ½ cth
Pro KRS
DAFTAR PUSTAKA
Page 57
54
1. Cailliet Rene. 1980. Foot and Ankle Pain. 12th ed. Philadelphia: F.A. Davis
Company.
2. Crenshaw AH. 1987. Campbell‘s Operative Orthopaedics. 7th ed. Missouri:
Mosby Co.
3. Clubfoot. Taken from http://emedicine.medscape.com/article/1237077-overview
on January 1, 2012.
4. Clubfoot Imaging. Taken from http://emedicine.medscape.com/article/407294-
overview#showall on January 1, 2012.
5.Orto-CTEV. Taken from www.staff.undip.ac.id/FK/tantiajoe/files/2010/07/orto-
ctev.doc
6. Rasjad Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Ed 2. Makassar:
Bintang Lamumpatue.
7. Campbell Suzanna K. 1995. Physical Therapy in Children. Philadelphia: W.B.
Saunders Company.
8. Lovell Wood W, Winter Robert B. 1986. Pediatric Orthopaedics. 2nd ed.
Philadelphia: J.B. Lippincott company.
Page 58
55
9. Ferner H, J. Staubesand. 1985. The Sobotta Atlas of Human Anatomy, Vol II, Ed.
Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.
10. Apley Graham A. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Ed 7.
Jakarta: Penerbit Widya Medika.
11. Ribes Ramon. 2008. Learning Diagnostic Imaging. Heidelberg: Springer.
12. Misra, Rakesh R. 2002. Radiology for Surgeons. London: Greenwich Medical
Media.
13. Chen, Michael Y M. 2004. Basic Radiology. New York: McGraw-Hill.
14. Mettler, Fred A. 2005. Essentials of Radiology. 2nd ed. Pennsylvania: Elsevier.
15. Lisle, David A. 2001. Imaging for Students. London: Arnold.
16. Thompson, Jon C. 2002. Netter’s Concise Atlas of Orthopaedic Anatomy.
Philadelphia: Elsevier.
17. Moeller, Torsten B. 2000. Pocket Atlas Of Radiographic Anatomy. 2nd ed. New
York: Thieme.
18. Stahell, Lynn. 2008. Kaki Pengkor: Penanganan Dengan Metode Ponseti Ed. 3.
Global Help Organization.
19. Shelter, B. 1998. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal
System: Deformities of the foot, 473-476.