Top Banner
POLITIK KEBANGKITAN ADAT: Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Oleh: Willem Batlayeri NIM: 126322004 Program Magister Ilmu Religi Dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2015 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
208

126322004_full.pdf - USD Repository

Jan 21, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 126322004_full.pdf - USD Repository

POLITIK KEBANGKITAN ADAT:

Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Magister Humaniora

(M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh:

Willem Batlayeri

NIM: 126322004

Program Magister Ilmu Religi Dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2015

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: 126322004_full.pdf - USD Repository

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

TESIS

POLITIK KEBANGKITAN ADAT:Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon

Oleh:Willem BatlayeriNIM: 126322004

Telah disetujui Oleh:

Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J.Pembimbing I

………………………….....Tanggal: 22 Desember 2014

Dr. Katrin BandelPembimbing II

…………………………….Tanggal: 22 Desember 2014

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: 126322004_full.pdf - USD Repository

iii

HALAMAN PENGESAHAN

TESIS

POLITIK KEBANGKITAN ADAT:Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon

Oleh:Willem BatlayeriNIM: 126322004

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji TesisPada tanggal: 20 Januari 2015

dan dinyatakan telah memenuhi syarat.

Tim Penguji

Ketua :Albertus Budi Susanto, S.J. Ph.d ……………………

Moderator/Sekretaris

:Dr. FX. Baskara Tulus Wardaya, S.J. ……………………

Anggota : 1. Dr. G. Budi Subanar, S.J. ……………………

2. Dr. Katrin Bandel ……………………

Yogyakarta, 20 Januari 2014Direktur Program Pascasarjana

Prof. Dr. Agustinus Supratiknya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: 126322004_full.pdf - USD Repository

iv

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:Nama : Willem BatlayeriNIM : 126322004Program : Magister Ilmu Religi dan Budayalnstitusi : Universitas Sanata Dharma

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis:

Judul : POLITIK KEBANGKITANADAT:Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon

Pembimbing I : Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J.Pembimbing II : Dr. Katrin Bandel

Tanggal diuji : 20 Januari 2015

adalah benar-benar hasil karya saya.

Tesis ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang saya laksanakan sejak 2013-2014 di Ambon, Provinsi Maluku. Selama proses penulisan tesis ini, sayamelengkapi dan mendalami topik ini dengan mempertimbangkan studi-studiterdahulu sebagaimana telah pertanggungjawabkan secara akademis dalam catatankaki dan daftar pustaka.Apa bila pada kemudian hari terdapat tindakan yangbertentangan dengan kode etik akademik, saya bersediamenerima sanksisesuaidengan peraturan yang berlaku di Program Magister llmuReligidan Budaya(IRB) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Yogyakarta, 20 Januari 2015

Yang Menyatakan

Willem Batlayeri

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: 126322004_full.pdf - USD Repository

v

PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGANAKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas DharmaNama : Willem BatlayeriNIM : 126322004

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepadaPerpustakaanUniversitas Sanata Dharma karya ilmiah dengan judul:

POLITIK KEBANGKITAN ADAT:Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon

Dengan tujuan untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,mengelolanya dalambentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, danmempublikasikannya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijinmaupun memberikan royalti selama tetap mencantumkan namasaya sebagaipenulis.

Demikian pemyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 20 Januari 2015

Yang Menyatakan

Willem Batlayeri

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: 126322004_full.pdf - USD Repository

vi

PERSEMBAHAN

Karya tulis ini dipersembahan kepada:

Pemerhati Adat dan Budaya Lokal diAmbon-Maluku,

Sekolah Tinggi Pendidikan Agama Katolik (STPAK) St. Yohanes Penginjil

Ambon,Almamater Program Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata

Dharma Yogyakara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: 126322004_full.pdf - USD Repository

vii

MOTTO

Menyangsikan kemapanan status Pengetahuan adalah Jalan Terbaik

Mencintai Kebenaran.

(Diinspirasi oleh Michel Foucault)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: 126322004_full.pdf - USD Repository

viii

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, saya memanjatkan puji dan syukur atas

berkat dan penyertaan Tuhansehingga penulisan tesis ini dapat berjalan dengan

lancar. Penulisan tesisdengan judul “Politik Kebangkitan Adat: Analisa Kritis

terhadap Praktek Wacana Orang Ambon” bertujuan untuk memenuhi persyaratan

guna mendapatkan gelar Magister Humaniora (M. Hum) pada Program Magister

Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Sebagai ucapan syukur atas segala berkat yang telah diberikan selama ini,

perkenankanlah saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu saya selama proses penulisan tesis ini. Saya mengucapkan banyak

terima kasih kepada:

1. Staf pengajar di program magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta. Limpah terima kasih kuucapkan kepadaDr.

Gregorius Budi Subanar, S.J., Dr. Stanislaus Sunardi, Prof. Dr. Augustinus

Supratiknya, Dr. Albertus Budi Susanto, S.J., Dr. FX. Baskara T.Wardaya,

S.J., Dr. Benediktus Hari Juliawan, S.J., Dr. Johanes Haryatmoko, S.J., Dr.

Albertus Bagus Laksana, S.J., Dr. Katrin Bandel, danChristina Desy

Hapsariyang telahmembantu, mendidik dan membekali diri saya dengan

aneka pengetahuan akademis dan ketrampilan kritis.

2. Pembimbing tesis, secara khusus kuucapkan banyak terima kasih

kepadaDr. Gregorius Budi Subanar, S.J.dan Dr. Katrin Bandel yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: 126322004_full.pdf - USD Repository

ix

selama ini telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga mendampingi

proses penulisan tesis dari awal hingga akhir.

3. Para nara sumber di Ambon yang telah bersedia membantu saya selama

proses penelitian.

4. Teman-teman se-angkatan 2012 yang atas caranya masing-masing telah

ikut terlibat selama proses penulisan tesis ini.

5. Akhirnya kuucapkan banyak terima kasih kepada kaum keluarga,

khususnya istri (Wivina Era Adiyanti)dan anak(Gema Laras

Batlayeri)yang selalu hadir menemaniku selama menjalani masa-masa

perkuliahan di program magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

Atas semua dukungan dan perhatian yang telah diberikan selama ini, saya

mengucapkan banyak terima kasih.Akhirnya,semoga tesis ini dapat membantu

saya dan pembaca sekaliandalam studi-studi berikutnya.

Yogyakarta, 20 Januari 2015

Willem Batlayeri

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: 126322004_full.pdf - USD Repository

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... iv

LEMBARAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................................................. v

PERSEMBAHAN............................................................................................ vi

MOTTO ........................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii

DAFTAR ISI.................................................................................................... x

ABSTRAK ....................................................................................................... xiii

ABSTRACT..................................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL................................................................ xv

BAB IPENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 14

1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 14

1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................ 15

1.5. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 16

1.6. Kerangka Teoritik ......................................................................... 22

1.6.1. Konsep Genealogi ...................................................................... 22

1.6.2. Konsep Wacana.......................................................................... 25

1.6.3. Konsep Kekuasaan-Pengetahuan ............................................... 28

1.6.4. Konsep Subyektivitas................................................................. 34

1.7. Teknik Pengumpulan Data............................................................ 38

1.8. Sistematika Penulisan ................................................................... 40

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: 126322004_full.pdf - USD Repository

xi

BAB IIGENEALOGI WACANA KEBANGKITAN ADAT DALAM

TILIKAN SEJARAH........................................................................... 42

2.1. Sekilas Sejarah Kebangkitan Adat di Indonesia ........................... 43

2.1.1. Adat dalam Imajinasi Politik Orde Baru.................................... 44

2.1.2. Eforia Kebangkitan Adat di Era Reformasi ............................... 49

2.2. Genealogi Kebangkitan Adat Ambon ........................................... 57

2.2.1. Adat dalam Tatapan Orang Ambon ........................................... 57

2.2.2. Adat Ambon dalam Wacana Kolonialisme................................ 60

2.2.3. Polarisasi Agama dan Adat di Ambon....................................... 66

2.2.4. Adat dan Hubungan Darah......................................................... 70

2.2.5. Adat dan Persekutuan Teritorial................................................. 74

2.3. Membidik Penetapan “Negeri”Adat di Ambon ........................... 78

2.4. Catatan Penutup ............................................................................ 81

BAB IIIKEBANGKITAN ADAT DALAM PRAKTEK DAN WACANA

ORANG AMBON................................................................................ 83

3.1. Momentum Kebangkitan AdatDi Ambon..................................... 83

3.1.1. Rekonsiliasi Konflik dalam Konstruksi Adat ............................ 85

3.1.2. Membangun Memori Kolektif Warga melalui Adat.................. 89

3.1.3. Reorganisasi Diri atas Nama Adat ............................................. 93

3.1.4. Pelembagaan Jaringan Kultural ................................................. 97

3.1.5. Penguatan Kelembagaan Adat ................................................... 105

3.2. Perluasan Wacana Kebangkitan Adat Ambon .............................. 109

3.2.1. Mengembangkan Budaya Politik Berbasis Adat........................ 109

3.2.2. Mengintensifkan Kepemimpinan Lokal..................................... 114

3.2.3. Kontroversi Gelar Adat Maluku ................................................ 118

3.3. Internalisasi Wacana Kebangkitan Adat Ambon .......................... 124

3.3.1. Loyalitas Penduduk Lokal terhadap Adat .................................. 125

3.3.2. Sikap Diam Warga Pendatang dalam Adat................................ 129

3.4. Catatan Penutup ............................................................................ 132

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: 126322004_full.pdf - USD Repository

xii

BAB IVKEKUASAAN DAN SUBYEKTIVITAS DALAM WACANA

KEBANGKITAN ADAT AMBON..................................................... 134

4.1. Hubungan Kekuasaan dalam Wacana Kebangkitan

Adat Ambon .................................................................................. 134

4.1.1. Rezim Kebenaran Wacana Kebangkitan Adat ........................... 136

4.1.2. Proses Institusionalisasi Kekuasaan Adat .................................. 143

4.1.3. Hukum sebagaiInstrumen Kekuasaan ........................................ 148

4.1.4. Bio-Power: Hubungan Darah dan Hasrat Berkuasa................... 152

4.1.5. Kekuasaan Simbolikdalam Polemik Gelar Adat........................ 158

4.2. Subyektivitas dalam Wacana Kebangkitan

Adat Ambon................................................................................ 162

4.2.1. Ke-Ambon-an dalam Kendali Wacana Ilmiah .......................... 163

4.2.2. Ke-Ambon-an dalam Keterjebakan Identitas............................. 167

4.3. Catatan Penutup ............................................................................ 170

BAB VPENUTUP............................................................................................ 172

5.1. Kebangkitan Adat dan Ilusi Pembebasan...................................... 173

5.2. Darah sebagai Arena Konstestasi Kekuasaan

dalam Adat .................................................................................... 180

5.3. Angan-angan Politisku: Radikalisasi Kerja Adat.......................... 183

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 187-193

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: 126322004_full.pdf - USD Repository

xiii

ABSTRAK

Analisis ini dimaksudkan untuk menyingkap hubungan kekuasaan dankonstruksi subyektivitas yang diproduksi dalam rezim wacana kebangkitan adatAmbon. Penyelidikan ini dilakukan berdasarkan tiga pokok persoalan yaknigenealogi, hubungan kekuasaan dan subyektivitas. Analisis genalogi bertujuanuntuk membongkar kontinuitas sejarah demi pencarian asal-usul kemunculanwacana kebangkitan adat yang sebetulnya mengakar pada hubungan timbal-balikantara kebenaran, kekuasaan-pengetahuan dan subyek. Di Indonesia, kemunculanadat diparalelkan dengan sejumlah praktek ketidakadilan di tingkat lokal sepertipengambilalihan kepemilikan tanah-tanah ulayat yang dikonversikan menjadikonsensi pembangunan nasional; termasuk kebijakan nasional konversi desa-desaadat seperti negeri (desa adat) di Ambon yang menjadi lokus penelitian ini.

Kemunculan adat dengan niat untuk memperjuangkan nilai-nilai adat danmendapatkan kembali rasa keadilan yang diklaim terabaikan pada masa OrdeBaru malah mengakar dalam wacana kekuasaan. Eforia adat di era reformasi padakenyataannya tidak menyentuh persoalan konstestasi nilai-nilai adat, malahterjebak dalam persoalan kontestasi kekuasaan politik di tingkat lokal denganmelakukan birokratisasi adat, manajerialisasi adat, dan atau administrasi adat.Konsekuensinya, terjadi penonjolan identitas etnis. Wacana kebangkitan adatberubah menjadi wacana kebangkitan identitas etnis yang mendasarirasionalitasnya pada rezim kebenaran wacana kebangkitan adat. Hegemoniwacana kekuasaan adat semakin sulit dikendalikan ketika muncul intervensiberbagai institusi kekuasaan seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)pada tingkat pusat di Jakarta dan majelis Latupati Maluku pada tingkat lokalseperti yang terjadi di Ambon. Proses institusionalisasi kekuasaan semacam initanpa disadari mendorong wacana kekuasaan bekerja secara efektif dalam praktekwacana sosial.

Efek dari mekanisme kekuasaan semacam ini adalah terjadinya prosessubyektivasi kekuasaan. Subjektivasi kekuasaan menjadikan subjek selalu beradadalam pengawasan dan ketergantungan penuh terhadap rezim kebenaran wacanailmiah dan keterikatan terhadap identitas sendiri dengan menjadi subject-ed.Proses objektivasi subyek ini merepresentasi operasionalisasi kekuasaan melaluiteknologi pendisiplinan subyek dengan tujuan untuk menghasilkan kepatuhan.Dalam konteks itu, identitas subyek ke-Ambon-an dalam wacana kebangkitanadat Ambon teraktualisasi dalam kendali wacana ilmiah dan identitas denganberusaha menjadi orang Ambon ideal.

Kata Kunci: kebangkitan adat, negeri adat, rezim kebenaran, institusionalisasikekuasaan, kekuasaan-pengetahuan, dan subyektivitas.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: 126322004_full.pdf - USD Repository

xiv

ABSTRACT

This analysis is intended to reveal the power relation and subjectivityconstruction which is produced by the discursive regime of indigenous revivalismin Ambon. This study is based upon three main subjects, namely genealogy,power relation, and subjectivity. The genealogical analysis is intended todismantle the historical continuity in order to find the origins of the indigenousrevivalism discourse, which is actually rooted in the causal relation of truth,power-knowledge, and subjectivity. In Indonesia, the appearance of indigenousrevivalism is equivalent to a number of unequal treatments at the local stage suchas land seizure of idigenous lands to be coverted into the consession of nationaldevelopment; this includes the conversions of negeri (indigenous villages) inAmbon which is the main locust of this study.

The intention of indigenous revivalism is to struggle for native values andregain equality which were neglected during the New Order Regime andunfortunately has rooted in the discourse of power. The indigenous euphoria inthis reformation era as a matter of fact did not meet with the challenges of nativevalues, instead it is somehow stuck in the local political importances by makingbureaucratization, managerialization, and/or administration of native values. Itsconsequence is that of ethnical projections. The indigenous revivalism discoursehas changed into the discourse of ethnical identity which is the rational basis ofthe indigenous revivalism discursive regime. The hegemony of ethnical powerdiscourse become unstoppable by the intervention of numerous intitutions such asthe Archipelago’s Indigenous Community Alliance (AMAN) at the national levelin Jakarta and the Latupati Maluku Council at the local level—or in this case is inAmbon. The institutionalization of power like this is unintentionally reinforcingthe discourse of power to effectively work in the practice of social discourse.

Power mechanism like this is the affect of power subjectivity. Powersubjectivity makes the subject always feel under control and is fully dependent toscientific discourses and indetities, which then create a subject-ed. Meanwhile, theobjectivication of the subject represents the process of power operations throughthe discipline mechanism of the subject. Therefore, in this study, the identity ofthe Ambonese subject in actualized under the control of scientific discourse andthe identity of the ideal Ambon.

Keywords: indigenous revivalism, indigenous villages, regime of truth,intstitutionalization of power, power-knowledge, and subjectivity.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: 126322004_full.pdf - USD Repository

xv

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Gambar 1: Pendeta bersama para kepala soa dalam upacara adat

yang diadakan di Baileo.............................................................. 67

Gambar 2: Mekanisme prosedural pelaksanaan tugas perangkat

dat di bawah kendali dewan Latupati ......................................... 99

Gambar 3: Contoh struktur kepemimpinan “sanirinegeri” ............................. 101

Gambar 4: Contoh struktur organisasi pemerintahan “negeri” ....................... 102

Gambar 5: Lambang perisai “siwalima” Provinsi Maluku.............................. 111

Gambar 6: Pengukuhan gelar kehormatan adatkepada

Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono,

presiden Republik Indonesia ......................................................... 121

Gambar 7: Pemberian gelar kehormatan adat kepada Ir. Said Assagaff,

calon gubernur Maluku pada 2013................................................ 122

Tabel: Kumpulan peraturan daerah kota Ambon

Tentang adat di Ambon ................................................................. 107

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: 126322004_full.pdf - USD Repository

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak runtuhnya rezim Orde Baru Suharto pada 1998, kehidupan sosial

politik di Indonesia dikejutkan dengan munculnya fenomena kebangkitan adat

(revival of tradition). Istilah kebangkitan adat merujuk pada kemunculan sejumlah

tuntutan kedaerahan yang mengatasnamakan adat. Beberapa daerah di antaranya

adalah Bali, Flores, Kalimantan, Sulawesi, Ambon-Maluku, Papua dan beberapa

daerah lainnya di Indonesia yang memilih untuk mengurus diri sendiri

berdasarkan adat istiadat di wilayahnya masing-masing. Adat yang nampaknya

diam secara tiba-tiba ramai dibicarakan. Adat diproblematisasi sebagai sebuah

masalah yang seakan-akan perlu dan relevan untuk dibicarakan di tengah-tengah

tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang makin modern.

Antusiasme untuk menghidupkan kembali adat pada kenyataannya

menimbulkan sejumlah pertanyaan problematis. Ada apa dengan adat? Mengapa

adat tiba-tiba menjadi begitu penting untuk dibicarakan? Mengapa masyarakat

begitu antusias menyambut kemunculan adat? Kondisi seperti apakah yang

merangsang dan mendorong kemunculan adat di Indonesia? Dalam rangka

melacak fenomena kebangkitan adat ini, studi Jamies Davidson, David Henley,

Sandra Moniaga dan para kontributor lainnya dalam buku berjudul Adat dalam

politik Indonesia (2010) menjadi salah satu rujukan penting dalam penelitian ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: 126322004_full.pdf - USD Repository

2

Paling tidak menjadi langkah awal bagi saya untuk memahami secara tepat

dinamika kemunculan adat di Indonesia. Terutama bagaimana adat itu

dibicarakan? Mengapa kemunculan adat mendapatkan sambutan hangat dari

masyarakat? Atau mengapa kebanyakan orang begitu antusias untuk kembali ke

adat?

Sejenak menelusuri jejak sejarah kemunculan isu kebangkitan adat di

Indonesia, saya diperhadapkan dengan sejumlah gagasan penting mengenai sebab

muasal keinginan dari beberapa daerah di Indonesia yang memilih untuk

menghidupkan kembali adat di wilayahnya masing-masing. Pada satu sisi,

kemunculan adat dipandang sebagai sebuah langkah strategis untuk mendapatkan

kembali rasa keadilan yang diklaim selama ini terabaikan. Klaim semacam ini

diparalelkan dengan sejumlah praktek ketidakadilan negara akibat perampasan

tanah-tanah ulayat, eksploitasi sumber daya alam, pengrusakan lingkungan hidup,

penebangan hutan, dan penyeragaman sistem pemerintahan di tingkat lokal

melalui sistem konversi desa-desa adat; bahkan problem keterwakilan putra

daerah dalam struktur birokrasi politik di tingkat lokal.

Kondisi semacam ini menimbulkan persoalan tersendiri di tingkat lokal

dan berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

Terdorong akan sebuah perubahan radikal di Indonesia, adat pada akhirnya

dijadikan sebagai nodal point perjuangan bersama mewujudkan perubahan.

Perubahan dalam pengertian ini adalah perubahan sistem demokrasi politik di

Indonesia yang dinilai tidak lagi mampu mengakomodir keberagaman budaya

masyarakat di Indonesia. Lantas, apakah visi perubahan berbasis adat sungguh-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: 126322004_full.pdf - USD Repository

3

sungguh terwujud ataukah sebaliknya malah menciptakan kejutan-kejutan baru

demi kepentingan kekuasaan politik dari kelompok-kelompok tertentu?

Meski kemunculan adat mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat,

akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di sisi lain muncul suara-suara lain yang

bernada oposisi terhadap kemunculan adat. Beberapa di antaranya yang bersikap

lebih oposisi adalah David Bourchier dan Tania Li yang berusaha menyikapi

secara kritis kemunculan adat. David Bourchier dalam penyelidikannya terkait

fenomena kebangkitan adat di Indonesia menunjukkan bahwa“kecenderungan

gerakan kebangkitan adat meski mendukung dan menguatkan komunitas-

komunitas lokal serta mempererat ikatan kepentingan komunal; akan tetapi

sebetulnya sangat rentan memicu terjadinya konflik, kekerasan, kebencian antar

etnis, bahkan ikut mengukuhkan kembali hirarki sosial masa lampau”.1

Senada dengan Bourchier, Tania Li dalam penelitiannya di Sulawesi

Tengah pada kurun waktu 2000-2003 menemukan juga persoalan serupa. Secara

khusus Tania Li menyoroti keragaman penafsiran dalam penggunaan istilah adat.

Di Sulawesi Tengah, adat cenderung digunakan sebagai sarana efektif untuk

mengatur kegiatan politik seperti untuk memobilisasi massa melawan kontrol

negara, mengklaim kedaulatan teritorial, maupun sebagai bentuk manifestasi

kekuatan etnopolitis dari seseorang atau kelompok tertentu. Menurut Tani Li

menggunakan konsep adat berarti mengklaim kemurnian nilai demi kepentingan

1 David Bourchier (2010), “Kisah adat dalam imajinasi politik Indonesia dan kebangkitan masakini” dalam Jamies S. Davidson, David Henley, Sandra Moniaga (Ed), Adat dalam PolitikIndonesia, Terj. Emilius Ola Kleden dan Nina Dwisasanti dari judul asli The revival of tradition inIndonesian politics: the deployment of adat from colonialism to indigenism, Jakarta: KITLV danObor, Hlm. 141-142

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: 126322004_full.pdf - USD Repository

4

seseorang; dan pada waktu yang sama membutuhkan intervensi manusia untuk

tetap melindungi adatnya karena dianggap rapuh.2 Persoalannya bagi Bourchier

maupun Tania adalah jika menggunakan adat berarti mengklaim kemurnian adat

demi kepentingan seseorang; akan tetapi mengapa orang begitu antusias untuk

kembali ke adat? Apakah karena sebatas adat itu rapuh? Apakah karena demi

kemurnian nilai adat? lantas, kemurnian nilai adat seperti apakah yang mau

diperjuangkan?

Terkait dengan kemurnian adat, secara mengejutkan temuan Pater Burns

sebagaimana terungkap dalam Adat dalam politik Indonesia (2010) terbilang

sangat mencengangkan. Menurut Pater Burns “konsep adat yang dikenal selama

ini di Indonesia hampir pasti merupakan ciptaan Belanda. Oleh sebab itu, jangan-

jangan asumsi kemurnian adat yang diklaim selama ini sebetulnya hanyalah

sejenis romantisme terhadap hukum adat yang merupakan ciptaan pemerintah

kolonial Belanda”.3 Sebaliknya jika diasumsikan bukan karena kemurnian adat,

maka persoalannya adalah mengapa kebanyakan orang begitu antusias untuk

kembali ke adat? Mengapa kemunculan adat sungguh-sungguh mendapat

sambutan hangat dari masyarakat?

Jangan-jangan bukan karena in se melainkan justru karena klaim

ketidakadilan yang digembar-gemborkan di sekitar wacana adat. Apakah ini

caranya adat dikontruksikan? Nampaknya pembicaraan tentang adat dihubungkan

2 Tania M. Li (2010), “Adat di Sulawesi Tengah: penerapan kontemporer” dalam Adat dalamPolitik Indonesia, Hlm. 3673 Pater Burns, “Adat yang mendahului semua hukum” dalam Adat dalam politik Indonesia, Hlm.95

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: 126322004_full.pdf - USD Repository

5

dengan serangkaian praktek ketidakadilan negara seperti perampasan tanah-tanah

ulayat, eksploitasi sumber daya alam, kerusakan lingkungan, penebangan hutan,

penyeragaman sistem pemerintahan, dan keterwakilan putra daerah dalam struktur

birokrasi politik lokal. Namun persoalannya adalah apakah harus dengan

menggunakan adat? Sebenarnya ada apa dengan adat? Apakah karena adat selama

ini benar-benar terepresi? Lantas, apakah gerakan kebangkitan adat yang

digembar-gemborkan selama ini sungguh-sungguh meresistensi mekanisme

kekuasaan ataukah sebaliknya mereproduksi dan melipatgandakan mekanisme

kekuasaan yang sedang dikritik?

Segelintir pertanyaan yang dikemukakan di atas mewakili kegelisahan

saya untuk menyelidikinya secara kritis fenomena kebangkitan adat ini.

Tujuannya bukan untuk mendukung atau menafikan perjuangan adat; akan tetapi

untuk melacak hubungan kekuasaan dan konstruksi subyektivitas yang diproduksi

dalam wacana kebangkitan adat. Hubungan kekuasaan dan konstruksi

subyektivitas inilah yang menjadi bidikan utama dalam penelitian ini.

Saya sadar bahwa pembahasan mengenai fenomena kebangkitan adat di

Indonesia sangat luas maka penelitian ini akan dibatasi dengan memusatkan

perhatian pada fenomena kebangkitan adat yang terjadi di Ambon, Provinsi

Maluku. Dalam lokalitas Ambon, fenomena kebangkitan adat sebetulnya sudah

terjadi sejak pasca konflik 1999. Kemunculan adat, mula-mula ditempatkan dalam

konteks penyelesaian konflik sosial yang terjadi pada Januari 1999 di Maluku.

Akan tetapi dalam perkembangannya kemunculan adat mengalami perluasan

makna ketika terjadi perubahan konstelasi sosial politik indonesia di era

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: 126322004_full.pdf - USD Repository

6

reformasi. Sistem desentralisasi yang ditopang oleh pemberlakukan otonomisasi

daerah di Indonesia sangat memungkinkan kemunculan adat mendapatkan

tempatnya. Kemunculan adat dengan misi penyelesaian konflik lambat laun

bergeser ke arah otonomisasi adat. Hal ini ditandai oleh adanya upaya dari para

raja se-kota Ambon yang mendesak pemerintah provinsi Maluku untuk

menetapkan kembali “negeri”4 sebagai pemerintahan hukum adat di seluruh

wilayah provinsi Maluku.

Penetapan “negeri” terkukuhkan dengan diterbitkannya peraturan daerah

Provinsi Maluku No.14 tahun 2005 tentang penetapan kembali “negeri” sebagai

kesatuan mayarakat hukum adat dalam wilayah pemerintahan Provinsi Maluku.

Aturan ini ditindaklanjuti dengan penetapan serangkaian Peraturan Daerah kota

Ambon mengenai adat. Tuntutan penetapan kembali “negeri” diklaim sebagai

langkah strategis untuk menyelamatkan pranata adat akibat intervensi negara yang

dinilai terlalu berlebihan melalui Undang-Undang No.5 tahun 1979 tentang

pemerintahan desa. Desakan akan penetapan kembali “negeri” dilatarbelakangi

pula oleh cara pandang dikotomik dengan melakukan pembedaan secara

substansial antara “negeri” dan desa.

Dalam kosmologi Ambon, istilah “negeri” merujuk pada kesatuan

teritorial masyarakat hukum yang terdiri dari sejumlah “soa”. “Soa” dalam

pengertian persekutuan teritorial yang terikat dalam relasi hubungan darah.

4 Secara umum istilah “negeri” dapat disinonimkan dengan istilah desa adat. Akan tetapi dalamlokalitas Ambon istilah “negeri” lebih merujuk pada persekutuan teritorial yang terdiri atassejumlah “soa” dan terikat dalam relasi hubungan darah. Masing-masing “negeri” memilikikedaulatan teritorial dan dipimpin langsung oleh seorang raja. Raja bertindak sebagai kepalapemerintahan negeri sekaligus pemimpin adat dalam lingkup teritorialnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: 126322004_full.pdf - USD Repository

7

Eksistensi “negeri” terbentuk berdasarkan adat istiadat; memiliki kewenangan

untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri berdasarkan asal-usul dan

adat istiadat setempat.5 Mengikuti konsep semacam ini, penetapan “negeri” adat

seakan-akan menargetkan terwujudnya ideal demokrasi. Ideal demokrasi dalam

pengertian kewenangan untuk mengatur pemerintahan berdasarkan asal-usul dan

kebiasaan hidup yang diwariskan secara turun-temurun.

Dalam lokalitas Ambon, ideal demokrasi termanifestasi dalam ide

“demokrasi soa parentah” atau “demokrasi rumahtau parentah”.6 Model

demokrasi semacam ini menargetkan keistimewaan hak-hak penduduk lokal

Ambon dalam struktur birokrasi politik, terutama pada level pemerintahan

“negeri” baik berdasarkan “soa” maupun “rumahtau”. Pengelompokan

masyarakat Ambon berdasarkan sistem “soa” menegasi eksistensi masing-masing

persekutuan adat yang terdiri atas lima atau sembilan “soa”. Persekutuan adat

yang terdiri atas lima “soa” disebut “ulilima” dan persekutuan adat yang terdiri

atas sembilan “soa” disebut “ulisiwa” atau yang lazim dikenal dengan istilah

“siwalima”.7

5 Abubakar Riry & Pieter G. Manoppo (2007), Menatang badai menabur damai: napak tilas rajadan latupati merajut kembali jaringan persaudaraan, Jakarta: Insos Book, Hlm. 2186 Model “demokrasi soa parentah” atau “demokrasi rumahtau parentah” dalam pelaksanaannyatidak hanya dipakai sebagai sistem pemerintahan demokrasi lokal di Ambon, akan tetapi berfungsisecara efektif untuk membedakan model kesatuan politis antara kehidupan politik pemerintahan“negeri-negeri” Muslim Ambon dan “negeri-negeri Kristen Ambon. Itulah sebabnya, model“demokrasi soa parentah” cenderung berkembang baik di wilayah pemerintahan“negeri-negeri”Kristen; dibandingkan dengan model“demokrasi rumahtau parentah” yang lebih banyakberkembang di wilayah pemerintahan “negeri-negeri” Muslim.7 Secara etimologi istilah siwalima berasal dari akar kata siwa yang berarti sembilan dan lima yangberarti lima. Angka lima dan sembilan dipakai untuk menyebutkan jumlah soa dalam persekutuanadat “ulisiwa” dan “ulilima”. Selain itu, terkait dengan teknis penulisan istilah siwalima, sayamenemukan dua model penulisan dari kata siwalima. Pada satu sisi, kata siwa dan lima ditulissecara terpisah; di sisi lain, penulisan kata siwa dan lima tidak dipisahkan. Oleh sebab itu, tanpa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: 126322004_full.pdf - USD Repository

8

Istilah “siwalima” mencerminkan persekutuan masyarakat adat yang

terdiri atas lima dan sembilan “soa”. Lima dan sembilan mencerminkan jumlah

“soa” dalam persekutuan masyarakat adat Ambon yang diyakini berasal dari satu

keturunan yang sama. Setiap persekutuan terhimpun dalam satu teritorial yang

dipimpin oleh seorang kepala soa atau “upu”. Di sisi lain, istilah “siwalima”

dipahami juga dalam pengertian persekutuan politik. “Siwalima” sebagai

persekutuan politik menegaskan posisi penduduk lokal Ambon sebagai sebuah

entitas yang sifatnya otonom. Otonomisasi adat semacam ini mewajibkan setiap

anggotanya untuk selalu menjunjung tinggi dan menghormati mekanisme adat;

sekaligus menuntut adanya pengakuan dari warga pendatang atas keseluruhan

praktek dan mekanisme adat yang berlaku di Ambon.

Hormat terhadap adat dan seluruh mekanisme adat nyatanya menimbulkan

persoalan. Pada satu sisi, antusiasme masyarakat untuk menghidupkan kembali

pemerintahan hukum adat di Ambon dipandang sebagai upaya untuk

mempertahankan kelestarian nilai-nilai adat. Hal ini ditandai pula oleh munculnya

wacana seputar revitalisasi budaya lokal sejak diterbitkannya undang-undang

otonomi daerah. Kebijakan otonomisasi daerah sungguh sangat mengkondisikan

kemunculan adat di Ambon. Hal ini ditandai oleh desakan para raja se-kota

Ambon untuk menghidupkan kembali “negeri” sebagai model pemerintahan

berbasis hukum adat. Desakan penetapan “negeri” dikuatkan oleh penerbitan

bermaksud untuk mengaburkan makna kata siwa dan lima, secara konsisten dalam penulisan tesisini saya akan menggunakan model penulisan kata siwa dan lima sebagai “siwalima” yang berartipersekutuan sembilan dan persekutuan lima.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: 126322004_full.pdf - USD Repository

9

serangkaian peraturan daerah mengenai adat di kota Ambon; termasuk dengan

mengintensifkan kembali peran para raja dan “saniri negeri”8 di Ambon.

Di sisi lain, kemunculan adat menimbulkan dilema ketika harus

berhadapan dengan kondisi faktual masyarakat Ambon yang makin mejemuk.

Sayangnya kemajemukan masyarakat cenderung diposisikan sebagai ancaman

dari pada sebagai peluang untuk membangun masa depan Ambon. Ancaman

semacam ini biasanya berkaitan erat dengan keterlibatan warga pendatang yang

lambat laun semakin mendominasi struktur birokrasi politik di Ambon.

Bertolak dari situasi sosial politik, terutama terkait fenomena kebangkitan

adat di Ambon muncul sejumlah pertanyaan: apakah pilihan menghidupkan

kembali adat, secara khusus sistem pemerintahan “negeri” sungguh-sungguh

mencerminkan aspirasi seluruh anggota masyarakat ataukah sebaliknya hanya

menjadi kebutuhan segelintir orang? Jangan-jangan pilihan untuk menghidupkan

kembali “negeri” hanyalah kedok untuk melanggengkan kekuasaan politik.

Apakah harus dengan menggunakan payung adat? Apakah yang akan terjadi

ketika adat tidak diperjuangkan? Di tengah-tengah kegelisahan semacam ini

wacana kebangkitan adat Ambon yang kini telah dijadikan sebagai modal sosial

8 Istilah “saniri negeri” berasal dari akar kata “saniri” dan “negeri”. Kata saniri berarti rapat,sidang atau musyawarah; sedangkan “negeri” berarti persekutuan teritorial yang terdiri atassejumlah “soa” dan terikat dalam relasi hubungan darah. “Saniri” terdiri atas tiga jenis yakni“saniri raja”, “saniri negeri” dan “saniri besar”. Keanggotaan “saniri raja” terdiri atassekretaris dan kepala soa. Kepala soa terbagi juga atas dua macam yakni kepala soa tanah dankepala soa adat. Kepala soa tanah berfungsi untuk melaksanakan berbagai urusan administrasipemerintahan “negeri” (pada level dusun), sedangkan kepala soa adat lebih banyak mengurusipersoalan-persoalan adat dan agama. Keanggotaan “saniri besar” terdiri atas seluruh wargamasyarakat. Sedangkan keanggotaan“saniri negeri” terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat yangberasal dari tiap-tiap “soa” dalam “negeri”. Tugas dan wewenang “saniri negeri” adalahmemilih dan menetapkan seseorang sebagai raja yang akan bertugas sebagai kepala pemerintahan“negeri”. Oleh sebab itu dalam pelaksanaan tugas, biasanya seorang raja akan bertanggung jawabkepada “saniri negeri”.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: 126322004_full.pdf - USD Repository

10

dan politik baru di tengah-tengah kondisi masyarakat Ambon saat ini yang makin

majemuk patut untuk disikapi secara kritis.

Tujuannya bukan untuk menguatkan atau menafikan perjuangan adat,

membenarkan atau menyalahkan berbagai pihak terkait kemunculan adat; akan

tetapi berusaha untuk menempatkan fenomena kemunculan adat tersebut pada

tataran wacana analitis. Melalui pendekatan wacana analitis, saya dan para

pembaca sekalian dimungkinkan untuk memahami secara kritis permainan

kekuasaan dalam produksi wacana kebangkitan adat di Ambon. Cara pandang

semacam ini perlu untuk dipertimbangkan bersama agar kita tidak selamanya

terjebak dalam permainan kekuasaan yang terjadi dalam wacana kebangkitan adat.

Dengan demikian, pilihan untuk tidak memperkarakan persoalan mendukung atau

menafikan perjuangan adat memungkinkan kita untuk dapat mengambil posisi

kritis dalam menyingkap mekanisme hubungan kekuasaan yang diproduksi dalam

wacana. Dengan cara pandang semacam ini pula, kita dimungkinkan agar tidak

terjebak dalam pemahaman dangkal akan komplesitas hubungan kekuasaan yang

diproduksi dalam wacana kebangkitan adat yang menjadi bidikan utama dalam

penelitian ini.

Ada semacam momentum kreatif dengan memproblematisasi adat untuk

mengintensifkan peran institusi kekuasaan dan aparat kekuasaan dalam wacana

kekuasaan di Ambon. Bahkan ketika harus merujuk pada histeria sebagian

kalangan intelektual Maluku yang telah berusaha merefleksikan nasib orang

Maluku misalnya sebagai sapi perah pembangunan Jawa dalam rentang waktu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: 126322004_full.pdf - USD Repository

11

kemerdekaan Indonesia9; bahkan ketika harus menempatkan urgensi

kembangkitan adat sebagai resistensi terhadap hegemoni kekuasaan negara akan

tetap menjadi bagian penting dalam proses penyelidikan ini.10 Klaim sebagian

kalangan atas nama adat dengan tujuan untuk mendapatkan kembali rasa keadilan

termasuk representasi putra daerah yang lebih besar dalam struktur birokrasi

politik di tingkat lokal tidak dapat dipungkiri justru semakin mengukuhkan

sentimen-sentrimen primordial etnis yang berkedok pada kemurnian adat.

Kondisi semakin kompleks ketika kemunculan adat di Ambon berdampak

pada penguatan struktur hirarki sosial dengan melakukan banalisasi identitas ke-

Ambon-an. Banalisasi identitas ke-Ambon-an dalam pengertian bahwa semua

orang Ambon cenderung diasumsikan memiliki kesamaan identitas dan terkadang

dipaksakan sama dengan tujuan untuk membangun klaim politik bagi kepentingan

segelitir orang.11 Menurut hemat saya, kondisi semacam ini tetap patut dicurigai

sebagai kedok untuk melanggengkan kekuasaan di Ambon. Tidak hanya

mencurigai cara berpikir yang cenderung mengesensialkan kerja adat, melainkan

mencurigai pula rasionalitas institusi-institusi kekuasaan berbasis adat yang

memanipulasi adat sebagai mesin pendistribusian kekuasaan.

Respon terhadap fenomena kebangkitan adat yang menjadi topik utama

dalam penelitian ini mencerminkan upaya kritis untuk memahami hubungan

9 Lih. Weldemina Yudit Tiwery-Pattikawa (2004), “Apa arti Indonesia Merdeka Bagi Maluku?”dalam Fahmi Salatalohy & Rio Pelu (Ed.), Nasionalisme Kaum Pinggiran: Dari Maluku, TentangMaluku, Untuk Maluku, Yogyakarta: LKiS, Hlm. 158-159.10 Lih. Abidin Wakano (2004), “Perjumpaan Identitas Lokal dengan Higemoni PolitikUniformalisme oleh Negara, dalam Nasionalisme Kaum Pinggiran, Hlm. 16-1711 Steph Lawler (2014), Identity: Sociological Perspectives, Secon Edition, USA: Polity Press,Hlm. 171

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: 126322004_full.pdf - USD Repository

12

kekuasaan dan konstruksi subyektivitas ke-Ambon-an. Subyektivitas merupakan

hasil konstruksi wacana. Demikian pula subyektivitas ke-Ambon-an dalam

wacana kebangkitan adat di Ambon. Konstruksi subyektivitas menegasi kuasa

pendisiplinan subyek orang Ambon entah karena berada dalam kendali wacana

ilmiah maupun keterikatan dengan aspek identitas ke-Ambon-an sebagai satu

suku bangsa. Suku bangsa dalam pengertian bahwa akan selalu ada batasan

teritorial yang memisahkan orang dengan suku bangsa lain yang dibentuk

berdasarkan nilai-nilai persaudaraan dan kesetiakawanan sebagai satu

komunitas.12 Pada waktu yang sama, identitas komunitas akan menjadi tempat

untuk membentuk dunia budaya sendiri dan dipraktekan secara terus menerus

sebagai kesatuan identitas.

Wujud dari komunitas tersebut adalah dalam bentuk komunitas terbayang

(imagined communities, menurut Benedict Anderson) yang memungkinkan tiap-

tiap suku bangsa membentuk praktik sosial berdasarkan struktur sosial. Struktur

tersebut akan membatasi tindakan dan menyebabkan orang tunduk. Tunduk bukan

semata-mata karena aturan melainkan karena hubungan kekuasaan yang tersebar

dan bergerak secara terus menerus mengikuti dinamika pergerakan wacana seperti

yang dimaksudkan oleh Michel Foucault. Foucault mengingatkan bahwa

hubungan kekuasaan dalam wacana tidak selamanya bersifat negatif tetapi positif.

Kekuasaan tidak hanya menarik, menepis, melarang dan menafikan; akan tetapi

kekuasaan juga mendorong, merangsang dan mengintensifkan. Kekuasaan bersifat

kompleks dan berasal dari situasi strategis kompleks. Oleh sebab itu, kekuasaan

12 Benedict Anderson (1991), Imagined Communities: Reflection on the origin and spread ofNationalism, London & New York: Verso, Hlm. 6

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: 126322004_full.pdf - USD Repository

13

dan subjektivitas sungguh-sungguh menjadi unsur penting yang tidak dapat

diabaikan dalam penelitian ini.

Analisis terhadap wacana kebangkitan adat tidak sebatas menyasar

pembicaraan kebanyakan orang tentang adat yang diwarnai dengan berbagai nada

protes dengan tujuan untuk mengembalikan rasa keadilan; akan tetapi mencoba

untuk mempertimbangkan kembali antusiasme masyarakat yang berjuang untuk

menghidupkan kembali adat di wilayahnya masing-masing. Sayangnya, kondisi

yang sulit dihindari adalah perjuangan atas nama adat sangat mudah terkooptasi

untuk menutupi wacana kekuasaan. Termasuk cara pandang yang selalu mau

menafikan adanya perbedaan dalam masyarakat. Cara pandang semacam ini

sebetulnya merupakan manifestasi wacana kekuasaan untuk mendominasi atau

pun menaklukkan orang lain. Oleh sebab itu, melalui Foucault kita dikuatkan

untuk menyingkap mekanisme kekuasaan yang diproduksi dalam wacana dan

tersebar secara efektif. Secara khusus memahami mekanisme hubungan

kekuasaan yang diproduksi dalam wacana kebangkitan adat di Ambon.

Akhirnya dengan sangat sederhana sebenarnya yang hendak saya lakukan

dalam studi ini adalah bagaimana membongkar relasi kekuasaan dan konstruksi

subyektivitas ke-Ambon-an dalam praktik wacana kebangkitan adat di Ambon.

Analisis ini dilakukan dengan mengacu pada konsep hubungan kekuasaan dan

konstruksi subyektivitas sebagai yang ditawarkan oleh Foucault. Jadi melalui

Foucault, saya dimungkinkan untuk dapat menyelami secara kritis jaringan

kekuasaan yang diproduksi dalam wacana, sekaligus membongkar mekanisme

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: 126322004_full.pdf - USD Repository

14

hubungan kekuasaan yang difungsikan untuk menguasai atau menaklukkan

individu.

1.2. Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan uraian latar belakang di atas, penelitian ini

berpatokan pada beberapa pertanyaan sentral di bawah ini:

1. Mengapa adat tiba-tiba menjadi begitu penting untuk dibicarakan?

2. Bagaimana genealogi wacana kebangkitan adat?

3. Bagaimana dan melalui mekanisme seperti apa kekuasaan beroperasi

dalam praktek wacana kebangkitan adat di Ambon?

4. Subyektivitas ke-Ambon-an seperti apakah yang diproduksi dalam wacana

kebangkitan adat di Ambon?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok-pokok persoalan sentral yang telah disebutkan di atas,

penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui kondisi sosio-politik terkait kemunculan wacana kebangkitan

adat di Indonesia; secara khusus wacana kebangkitan adat di Ambon.

Dalam rangka menyelidiki kemunculan wacana kebangkitan adat ini,

metode analisis genealogi dari Michel Foucault akan dipakai untuk

menggali informasi-informasi penting terkait kemunculan adat dalam satu

dasawarsa terakhir di Indonesia, secara khusus di Ambon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: 126322004_full.pdf - USD Repository

15

2. Menyelidiki dan menyingkap hubungan kekuasaan yang diproduksi dalam

wacana kebangkitan adat di Ambon. Analisis terhadap hubungan

kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat di Ambon mengacu pada

konsep kekuasaan-pengetahuan dari Michel Foucault; terutama dengan

mempertimbangkan secara kritis bagaimana kekuasaan beroperasi dalam

praktek wacana kebangkitan adat di Ambon.

3. Menyelidiki konstruksi subyektivitas ke-Ambon-an yang diproduksi dalam

wacana kebangkitan adat di Ambon. Analisis terhadap konstruksi

subyektivitas ke-Ambon-an mengacu pada konsep subyektivitas dari

Michel Foucault. Tujuannya adalah untuk mendalami dan merumuskan

secara tepat posisionalitas orang Ambon dalam konstruksi wacana

kebangkitan adat di Ambon.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Memperoleh pengetahuan tentang adat istiadat di Ambon. Secara khusus,

terkait dengan fenomena kemunculan adat yang menurut hemat saya

masih tetap menuai persoalan tersendiri di tengah-tengah kehidupan

masyarakat Ambon masa kini. Dengan cara tersebut, saya sebagai penulis

maupun orang lain sebagai pembaca kurang lebih memperoleh gambaran

komprehensif mengenai kondisi masyarakat Ambon dan bagaimana

mereka berhadapan dengan wacana kebangkitan adat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: 126322004_full.pdf - USD Repository

16

2. Membangun kesadaran kritis terhadap adat istiadat. Kesadaran kritis

menjadi unsur paling penting dalam penelitian ini. Penting dalam

pengertian bisa memungkinkan masyarakat Ambon mereimajinasi diri

sehingga tidak selamanya dikuasai oleh fanatisme sempit terhadap adat

istiadat dan etnisitasnya yang sangat berpotensi menimbulkan konflik

sosial dalam bermasyarakat. Terutama terkait asumsi-asumsi primordial

yang cenderung meromantisir kemurnian adat demi kepentingan-

kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

3. Akhirnya, penelitian ini kiranya dapat ditempatkan sebagai sebuah

alternatif baru terkait pengambilan kebijakan-kebijakan politik di Ambon;

khususnya yang berkaitan dengan masa depan adat istiadat dan masyarakat

yang semakin majemuk.

1.5. Tinjauan Pustaka

Sejak runtuhnya Orde Baru Suharto, penggunaan istilah adat mengalami

perubahan yang cukup signifikan. Adat tidak lagi dipahami sebatas tradisi atau

kebiasaan melainkan cenderung diasosiasikan dengan aktivisme, gerakan,

pemberontakan, dan protes. Atas nama adat, beberapa daerah di Indonesia seperti

Bali, Flores, Maluku, Papua dan lainnya yang memilih untuk mengurus diri

sendiri berdasarkan adat istiadat di wilayahnya masing-masing. Fenomena

kemunculan adat semacam ini paling tidak menegasi kebutuhan atau kepentingan

kelompok tertentu yang perlu disikapi secara kritis.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: 126322004_full.pdf - USD Repository

17

Dalam rangka menyelidiki dan menyikapi persoalan tersebut, saya sadar

bahwa pembahasan tentang topik (adat) ini telah dilakukan dan dituangkan dalam

berbagai studi terdahulu. Hal ini menunjukkan bahwa isu tentang adat yang

menjadi objek kajian dalam penelitian ini telah mendapatkan perhatian serius dari

berbagai pihak. Untuk itu, dalam tinjauan berikut ini akan berusaha untuk

mendeskripsikan secara singkat beberapa studi terdahulu untuk menunjukkan

tingkat kedalaman ilmiah terhadap persoalan adat. Sekaligus menunjukkan

disposisi penelitian yang saya lakukan sebagai sesuatu yang berbeda dengan studi-

studi terdahulu.

Secara singkat beberapa studi terdahulu yang memiliki kedekatan tematik

dengan penelitian yang saya lakukan adalah sebagai berikut: pertama, Jamie S.

Davidson, David Henley, Sandra Moniaga (Ed), Adat dalam politik Indonesia,

Terj. Emilius Ola Kleden dan Nina Dwisasanti, Jakarta: KITLV dan Obor, 2010.

Studi ini merupakan salah satu bentuk penyelidikan historis-politik atas

kemunculan gerakan kebangkitan adat di Indonesia. Temuan dari studi tersebut

seperti yang diungkapkan oleh pada kontributor dalam buku Adat dalam politik

Indonesia menyatakan bahwa: Pada satu sisi, kemunculan gerakan kebangkitan

adat di Indonesia cenderung ditempatkan sebagai reaksi protes terhadap dominasi

negara karena dinilai memiliki peranan besar dalam penghancuran nilai-nilai

kearifan lokal dan pranata-pranata adat. Hal ini dilakukan sembari

mempertanyakan posisionalitas mereka (masyarakat adat) dalam kehidupan

berdemokrasi di Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: 126322004_full.pdf - USD Repository

18

Di sisi lain, kemunculan gerakan kebangkitan adat menuai kritik dari

beberapa kalangan. Kritik tersebut dilatarbelakangi oleh kecurigaan dan

kecemasan bahwa kemunculan gerakan kebangkitan adat di Indonesia sebetulnya

tidak sebatas mencerminkan usaha penyelamatan nilai-nilai adat dengan tujuan

untuk mewujutkan keharmonisan hidup bermasyarakat; akan tetapi kemunculan

gerakan kebangkitan adat sangat potensial mendorong munculnya bentuk-bentuk

kekuasaan primordial dan semakin menguatkan hirarki sosial dalam masyarakat.

Ancaman terbesar dari kemunculan adat di Indonesia adalah kehidupan

masyarakat akan semakin rentan terhadap konflik sosial dan kekerasan antar etnis.

Kedua: Joseph Antonius Ufi & Hasbullah Assel (Ed.), Menggali Sejarah

dan kearifan Lokal Maluku. Jakarta: Cahaya Pineleng, 2012. Studi ini merupakan

napak tilas sejarah Maluku yang menggambarkan kisah heroik orang Maluku baik

pada level lokal maupun nasional. Studi ini ini ditempatkan sebagai upaya

pencitraan kembali harmoni kehidupan masyarakat Maluku berdasarkan nilai

kearifan lokal seperti urgensi penetapan kembali “negeri” di Maluku. Selain itu,

terdapat pula upaya untuk mengembangkan satu sistem kebudayaan Maluku

berbasis budaya “siwalima” dengan slogan-slogan kulturalnya seperti pela

gandong, potong di kuku rasa di daging, ale rasa beta rasa dan sagu salempeng

dipatah bagi dua.

Ada semacam upaya sadar diri dalam menyikapi kondisi masyarakat

Maluku saat ini. Rangkaian ide dari satu penulis ke penulis lainnya disajikan

secara komprehensif membentuk satu kesatuan integral pemikiran dasar mengenai

sejarah dan kearifan lokal Maluku. Rangkaian ide para penulis dalam Menggali

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: 126322004_full.pdf - USD Repository

19

Sejarah dan kearifan Lokal Maluku mengacu pada 3 (tiga) pokok persoalan

penting yakni: pertama, urgensi revitalisasi budaya lokal Maluku; kedua,

pelurusan sejarah Maluku; dan ketiga, solusi pembangunan Maluku berbasis

budaya lokal.

Ketiga: Abubakar Riry & Pieter G Manoppo (Ed), Menatang badai,

menabur damai: napak tilas raja dan Latupati merajut kembali jaringan

persaudaraan, Jakarta: INSOS Books, 2007. Studi ini membidik keterlibatan para

raja dan Latupati sebagai tokoh kunci dalam proses penyelesaian konflik sosial

dan pasca konflik. Perhatian besar dicurahkan pada upaya penggalian sejarah

keterlibatan para raja dan Latupati dalam pembentukan kembali jaringan

persaudaraan di Maluku yang hancur akibat konflik 1999. Termasuk pelembagaan

jaringan kultural yang difasilitasi oleh “Gerakan Baku Bae Maluku”, sebuah

lembaga swadaya masyarakat (LSM). Salah satu unsur penting yang sangat sering

ditekankan dalam studi tersebut adalah signifikansi adat. Artinya adat tidak hanya

ditempatkan sebagai modal sosial politik dalam upaya rekonsiliasi konflik, akan

tetapi yang terpenting adalah urgensi dan signifikansi merevitalisasi adat serta

peran para raja dalam proses pembangunan kembali Maluku di era pasca konflik

sosial.

Keempat: Hatib Abdul Kadir, “Sapa Bale Batu, Batu Bale Dia: Politik

Revivalisme Adat siwa lima Orang Ambon Pasca Konflik” dalam Lakon Jurnal

Kajian Sastra dan Budaya. Surabaya: Universitas Airlangga, Kampus B. Vol. 1

No. 1, Juli 2012, Hlm. 67-81. Dalam studi ini, penulis memusatkan perhatian

terhadap eksistensi budaya “siwalima” sebagai objek materialnya. Perhatian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: 126322004_full.pdf - USD Repository

20

penulis dalam studinya, tidak dibatasi hanya pada aspek historisitas pembentukan

budaya “siwalima”, melainkan termasuk problem pergeseran pemaknaan atas

budaya “siwalima”. Pergeseran nilai budaya “siwalima” seakan-akan mendesak

agar segera melakukan redefenisi budaya “siwalima” seperti yang diharapkan

oleh penulis. Tujuannya agar kehadiran budaya “siwalima” tidak sekedar

mencerminkan sentimen-sentimen primordial adat, melainkan kemampuan

integritas masyarakat Maluku berdasarkan memori kolektif atas lokalitas,

etnisitas, masa lalu, kebangsaan dan persamaan bahasa. Singkatnya, redefenisi

budaya “siwalima” mau diintensifkan sebagai model dasar pembangunan Maluku

berbasis budaya lokal, dan filosofi hidup dalam membangun organisasi dan

struktur sosial masyarakat Maluku.

Kelima: Norman K Swanzo (2004), “Research integrity and rights of

indegenous peoples: appropriating Foucault’s critique of knowledge/power”

dalam Studies in History and Philosophy of Biological and Biomedical Sciences,

USA: Universitas of Alaska, Hlm. 568-584. Norman secara khusus membahas

mengenai eksistensi masyarakat adat Internasional sebagai objek materialnya.

Kajian mengenai masyarakat adat ditempatkan pada 2 (dua) sisi yang saling

berhubungan. Pada satu sisi, kajian mengenai eksistensi masyarakat adat

ditempatkan dalam konteks hegemoni kekuatan ilmu pengetahuan Barat; di sisi

eksistensi masyarakat adat diposisikan dalam konstruksi penelitian-penelitian

biomedis. Dari kedua pokok persoalan tersebut yakni hegemoni kekuatan ilmu

pengetahuan Barat dan biomedis, analisis tentang masyarakat adat sikapi secara

kritis dalam tiga pokok pikiran penting sebagaimana dikemukakan di dalam studi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: 126322004_full.pdf - USD Repository

21

ini. Pertama, kontra posisi antara ilmu pengetahuan barat dan kearifan lokal

(indigenous science); kedua, penyingkiran dan marginalisasi sistem pengetahuan

masyarakat adat (indigenous knowledge); dan ketiga, preferensi moralitas lokal

dalam perlindungan hukum dan hak asasi internasional. Analisis terhadap ketiga

pokok persoalan tersebut dikaji secara kritis dengan menggunakan pendekatan

analisis kekuasaan-pengetahuan dari Michel Foucault.

Bertolak dari beberapa studi atau penelitian terdahulu sebagai telah

didekripsikan di atas, nampak bahwa terdapat kesamaan antara penelitian-

penelitian terdahulu dengan penelitian saya. Kesamaan tersebut terletak pada

persamaan objek material yakni adat. Meski mengacu pada satu topik yang sama,

akan tetapi sangat mengandung perbedaan mendasar antara penelitian terdahulu

yang telah disebutkan di atas dengan penelitian yang saya lakukan. Penelitian ini,

secara khusus mendekati persoalan adat pada level wacana kritis sebagaimana

lazimnya dikenal dalam khazana kajian budaya.

Analisa wacana kritis menjadi titik pijak bagi saya untuk memperhatikan

dan mempertimbangkan secara kritis hubungan kekuasaan dan konstruksi

subyektivitas yang diproduksi dalam wacana. Secara khusus hubungan kekuasaan

dan konstruksi subyektivitas dalam wacana kebangkitan adat di Ambon yang

menjadi lokus kajian dalam penelitian ini. Dalam rangka menyelidiki hubungan

kekuasaan dan konstruksi subyektivitas dalam wacana kebangkitan adat, melalui

penelitian ini saya dan pembaca sekalian dimungkinkan untuk dapat

mereimajinasi diri atau mereposisi subyek agar tidak selamanya terkungkung

dalam rezim kekuasaan adat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: 126322004_full.pdf - USD Repository

22

Hubungan kekuasaan sejak kemunculan wacana kebangkitan adat sangat

mendapatkan perhatian serius dalam studi ini. Dengan cara semacam ini, analisis

wacana kritis yang mau dikembangkan dalam studi ini dapat berkontribusi secara

signifikan untuk: pertama, mengembalikan pembicaraan kebanyakan orang

selama ini mengenai adat dalam tatanan wacana kritis. Tujuannya untuk

memahami secara kritis genealogi kemunculan wacana kebangkitan adat, secara

khusus di Ambon; kedua, membongkar hubungan kekuasaan dalam wacana

kebangkitan adat di Ambon; dan ketiga, memahami konstruksi identitas subyek

dalam wacana kebangkitan adat di Ambon.

1.6. Kerangka Teoritik

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yakni

menyingkap hubungan kekuasaan dan konstruksi subyektivitas dalam wacana

kebangkitan adat di Ambon maka sebagai instrumen analisis dalam penelitian ini

saya akan mengacu pada beberapa konsep teoritik dari Michel Foucault. Kerangka

teoritik yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

1.6.1. Konsep Genealogi

Genealogi merupakan sebuah metode penyelidikan sejarah yang

menawarkan ketrampilan kritis untuk menganalisis hubungan antara pengetahuan,

kekuasaan dan subyek dalam wacana. Pada awalnya, metode genealogi

diperkenalkan oleh Friedrich Nietzsche (1844-1900), seorang filsuf

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: 126322004_full.pdf - USD Repository

23

berkebangsaan Jerman; akan tetapi dalam perkembangannya dipergunakan secara

luas oleh Michel Foucault, seorang filsuf berkebangsaan Perancis. Foucault

memaknai kembali metode genealogi Nietzschean dengan tujuan untuk

menyingkap hubungan timbal-balik antara kebenaran, pengetahuan, kekuasaan

dan subyek.

Menurut Foucault, “analisis genealogi pada dasarnya tidak dimaksudkan

untuk mempertentangkan dirinya dengan kebenaran sejarah, sebaliknya analisis

genealogi perlu menolak atau mempertanyakan kembali metahistoris pemaknaan

ideal dan teleologi-teleologi tak terbatas. Hakekat genealogi adalah

mempertanyakan kembali kebenaran historis demi pencarian asal-usul”.13 Asal-

usul dalam pengertian bahwa analisis genealogi tidak ingin untuk menegakkan

fondasi epistemologi melainkan menunjukkan bahwa asal-usul dari segala sesuatu

yang dianggap rasional sebetulnya mengakar dalam wacana kekuasaan.14

Mengikuti cara pandang semacam ini, nampak bahwa misi Foucault dalam

penggunaan analisis genealogi adalah memungkinkan individu untuk dapat

memahami keberadaannya atau mereimajinasi hidupnya secara baru. Baru dalam

pengertian ketiadaan totalitas, kebenaran tunggal, kemurnian dan kontinuitas

sejarah seperti yang dipahami dalam tradisi Nietzschean. Dalam analisis

genealogi, Foucault memisahkan antara masa lalu dan masa kini. Tujuannya untuk

mendeligitimasi masa lalu dan merelativasi masa kini. Melalui analisis genalogis,

13 Michel Foucault (1984), The Foucault Reader, Paul Rabinow (Ed), New York: Pantheon, Hlm.7614 P. Sunu Hardiyanta (1997), Michel Foucault-Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern,Yogyakarta: LKis, Hlm.15

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: 126322004_full.pdf - USD Repository

24

Foucault ingin menghancurkan ilusi tentang identitas subyek historis yang

diperlakukan murni (ada dengan sendirinya).15 Untuk itu, yang penting untuk

diperhatikan dalam analisis genealogi menemukan secara tepat momen kreatif

wacana. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan setiap peristiwa, kesempatan,

kejutan, atau kemenangan yang tidak tetap dalam proses pembentukan wacana,

serta menganalisis pluralitas sejarah sehingga dapat melepaskan diri dari ilusi

tentang identitas.16

Foucault sebagai seorang filsuf, pemikir anti-fundamentalis sangat

menentang klaim kebenaran tunggal dan kontinuitas sejarah. Seakan-akan segala

sesuatu hanya memiliki satu sebab tunggal. Justru cara padang masyarakat yang

terlalu mengesensialkan kebenaran tunggal patut untuk dicurigai sebab hanya

akan menafikan adanya perbedaan atau pluralitas. Untuk itu, menggunakan

genealogi berarti siap untuk membongkar pola pikir yang seakan-akan

memperlakukan kebenaran seakan-akan tunggal atau murni. Dalam perspektif

Foucault, kemurnian akan sebuah kebenaran sebetulnya adalah ilusi sebab

kebenaran pada dasarnya tidak terlepas dari konstruksi sejarah dalam rezim

kebenaran wacana. Terutama sejarah dalam artian tradisional yang lazim

dimanfaatkan sebagai alat legitimasi politik dalam wacana-wacana tertentu pada

masa kini. Atas dasar itu, pembacaan ulang atas sejarah dan segala praktiknya

dalam masyarakat modern menjadi tugas mulia bagi kita. Dalam rangka melacak

hubungan kekuasaan melalui analisis genealogis, Foucault mengingatkan kita agar

15 Ibid., Hlm.1416 Ibid., Hlm.15

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: 126322004_full.pdf - USD Repository

25

selalu menyadari keberadaan hubungan kekuasaan yang selalu bercokol dalam

praktek wacana tertentu yang selalu diterima begitu saja oleh masyarakat pada

masa kini.

Lantas apakah implikasinya dalam penelitian ini? Mengacu pada konsep

genealogi seperti yang diperkenalkan oleh Michel Foucault, saya dimungkinkan

dalam penelitian ini untuk: pertama, menyelidiki secara tepat kemunculan

wacana kebangkitan adat (di Indonesia dan Ambon); kedua, melacak sejarah

keterlibatan institusi-insitusi kekuasaan dalam proses produksi wacana

kebangkitan adat, secara khusus di Ambon; ketiga, membongkar cara berpikir

yang terlalu mengesensialkan kebenaran dengan tujuan untuk menetang rezim

kebenaran wacana kebangkitan adat di Ambon; keempat, menghancurkan otoritas

pengetahuan akan kebenaran tunggal dalam wacana kebangkitan adat di Ambon

agar memungkinkan masyarakat dapat mereimajinasikan diri dan pengetahuannya

dalam kehidupan sosial politik masa kini.17

1.6.2. Konsep Wacana

Wacana dalam perspektif Foucault sebenarnya mengakar dalam tradisi

linguistik. Akan tetapi wacana dalam tradisi linguistik diboboti secara berbeda

dengan menempatkan wacana sebagai “sistem representasi yang mengandung

peraturan-peraturan dan praktik-praktik yang menghasilkan pernyataan-

17 Paulo Saukko (2003), Doing Research in cultural Studies: An Introduction to classical and NewMethodological Approaches, London: Sage, Hlm. 116

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: 126322004_full.pdf - USD Repository

26

pernyataan penuh makna dalam rentang sejarah tertentu”.18 Menurut Foucault

wacana adalah “kumpulan pernyataan yang menyediakan bahasa khusus untuk

membicarakan tentang sesuatu; atau cara untuk merepresentasikan pengetahuan

tentang sesuatu dalam rentang sejarah tertentu; atau wacana sebagai produksi

pengetahuan melalui bahasa”.19 Wacana memuat cara-cara tertentu dalam

membicarakan, mendefenisikan apa yang diterima, dan menggungkapkan sesuatu

tentang topik tertentu.

Wacana merujuk pada dominasi pernyataan, kadang-kadang diperlakukan

sebagai semacam kumpulan pernyataan invidualistik atau terkadang sebagai

kumpulan pernyataan yang meregulasi praktik.20 Dengan kata lain, wacana

merujuk pada keseluruhan ucapan dan pernyataan yang mengandung makna dan

efek. Artinya, wacana digunakan sebagai terminologi untuk menegasi kumpulan

pernyataan individual yang terucap; sekaligus meregulasi praktik-praktik sosial

yang mengandung pernyataan-pernyataan penuh makna, struktur dan aturan tidak

tertulis yang menghasilkan ucapan dan pernyataan-pernyataan tertentu.21 Wacana

mengatur kumpulan pernyataan yang dikombinasikan dengan kumpulan

pernyataan-pernyataan yang lain. Wacana diatur oleh kumpulan peraturan rasional

dengan tujuan untuk mendistribusikan atau menyebarluaskan isi ucapan atau

pernyataan-pernyataan tertentu.

18 Stuart Hall (1997), Representation: Cultural representations and signifying practices, London:Sage Inc, Hlm. 4419 Ibid.20 Sara Mills (2003), Michel Foucault, London & New York: Routledge, Hlm. 5321 Ibid., Hlm. 53

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: 126322004_full.pdf - USD Repository

27

Wacana sebagai kumpulan pernyataan dan aturan dalam

operasionalisasinya menargetkan kekuasaan. Wacana sangat berhubungan erat

kekuasaan. Wacana adalah tempat di mana hubungan kekuasaan dan subyektivitas

diproduksi. Kekuasaan yang diproduksi dalam wacana selalu bersifat dinamis dan

bergerak secara terus-menerus mengikuti dinamika perkembangan dan perluasan

wacana. Dinamika perkembangan wacana pada akhirnya menyebabkan terjadinya

ledakan wacana (discursive explosion). Bahkan menurut Foucault di sekitar

wacana justru terjadi proliferasi wacana (proliferation of discourses) akibat

dorongan atau rangsangan institusional untuk membicarakan sesuatu.22

Wacana dipahami juga sebagai cara membicarakan kebenaran. Kebenaran

berfungsi untuk mengatakan tentang sesuatu, menulis tentang sesuatu, dan

berpikir tentang sesuatu. Akan tetapi Foucault mengingatkan agar perlu hati-hati

sebab klaim kebenaran justru mengakar pada pengetahuan untuk mengatakan

tentang kebenaran tertentu. Ironinya, tanpa disadari justru kebenaran yang

mengakar pada pengetahuan itulah yang merupakan manifestasi dari wacana

kekuasaan. Dengan kata lain, pengetahuan adalah kekuasaan yang berfungsi untuk

menaklukan, menguasai, atau mendefenisikan orang lain.

Mengacu pada konsep wacana semacam ini, dalam implementasinya saya

dimampukan untuk: pertama, menyelidiki pola pikir masyarakat dalam

membicarakan atau mengkonsepkan adat sejak kemunculannya pada 1998; kedua,

memberikan batasan yang jelas terhadap polemik terkait kemunculan adat dalam

22 Michel Foucault (1976), The History of Sexuality, Terj. Robert Hurley dari judul asli Histoire dela sexualité, New York: Pantheon Books, Hlm. 18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: 126322004_full.pdf - USD Repository

28

penelitian ini. Hal ini dilakukan dengan cara melokalisir pembicaraan masyarakat

mengenai adat dalam rentang waktu kemunculannya sejak runtuhnya rezim Orde

Baru Suharto sejak 1998 dan secara khusus dalam lokalitas Ambon sejak

peristiwa konflik pada 1999; ketiga, melakukan pembacaan ulang terhadap

kebenaran sejarah kebangkitan adat di Ambon. Terutama terkait kebenaran akan

signifikansi kebangkitan adat di Ambon yang diterima begitu saja oleh

masyarakat tanpa merasa perlu untuk dipertanyakan kembali.23

1.6.3. Konsep Kekuasaan-Pengetahuan

Foucault memahami kekuasaan tidak seperti biasanya dipahami oleh

kebanyakan orang yang rentan jatuh dalam paham kekuasaan yuridis. Kekuasaan

tidak selamanya berpusat pada hukum atau larangan. Menurut Foucault cara

pandang tersebut dianggap terlalu miskin, monoton, tidak inovatif dan cenderung

hanya akan mereproduksi mekanisme kekuasaan yang barangkali sedang dikritik.

Menurut Foucault, tidak cukup memahami kekuasaan hanya sebatas hubungan

negatif (negative relation), sistem biner (insistence of the rule), siklus larangan

(cycle of prohibition), logika sensor (logic of censorship), atau pun keseragaman

aparatus (uniformity of the apparatus).24

Kekuasaan perlu dilihat secara berbeda bukan sebatas himpunan lembaga

yang menjamin kepatuhan warga, penundukan atau dominasi satu kelompok atas

23 Alec McHoul and Wendy Grace (1993), A Foucault primer: discourse, power and the subject,London and New York: Routledge, Hlm.3324 Michel Foucault (1976), The History of Sexuality, Hlm. 83-84

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: 126322004_full.pdf - USD Repository

29

kelompok lainnya dalam masyarakat. Sebaliknya menurut Foucault kekuasaan

merupakan: “pertama, multiplikasi kekuatan hubungan imanen di mana

kekuasaan beroperasi. Kedua, kekuasaan adalah proses yang bergerak secara terus

menerus dan saling mempertahankan, menguatkan, atau sebaliknya. Ketiga,

kekuasaan adalah rangsangan hubungan kekuatan yang membentuk rangkaian

atau jaringan. Keempat, kekuasaan sebagai strategi yang saling mempengaruhi

terjadinya proses institusionalisasi yang terwujud dalam diri aparatus negara dan

dalam formulasi hukum serta berbagai jenis hegemoni sosial”.25 Cara pandang

semacam ini menjadi dasar untuk melacak bagaimana dan melalui mekanisme

seperti apa kekuasaan itu beroperasi dalam wacana.

Foucault melihat kekuasaan bukan sebagai sesuatu yang dimiliki

(possession) sebab kekuasaan itu tersebar dan bergerak secara terus menerus

mengikuti mekanisme penyebaran kekuasaan dalam wacana.26 Kekuasaan ada di

mana-mana dan datang dari mana-mana. Kekuasaan adalah sebuah nama yang

diberikan untuk menamai suatu situasi strategi kompleks dalam masyarakat.

Kekuasaan bukan berasal dari penguasa atau negara, bukanlah milik individu atau

kelas tertentu, bukan komoditas yang dapat diraih, melainkan kekuasaan itu

datang dari mana-mana dan menyebar kemana-mana.27 Kekuasaan merupakan

sebuah rangkaian (chain), atau jaringan (net), atau strategi yang menyebar

25 Ibid., Hlm. 92-9326 Ibid, Hlm. 9427 Madan Sarup (2003), Postrukturalisme dan Posmodernisme: sebuah pengantar kritis, Terj.Medhy Aginta Hidayat dari judul asli An Introductory Guide to Post-Structuralism andPostmodernism, Yogyakarta: Jendela, Hlm. 126

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: 126322004_full.pdf - USD Repository

30

kemana-mana dalam periode tertentu.28 Oleh sebab itu agar disadari bahwa dalam

wacana kekuasaan hubungan kekuasaan selalu bersifat imanen; selalu ada dalam

hubungan kekuatan dan merupakan efek langsung dari praktek dikotomik,

ketidaksetaraan dan ketidakseimbangan.29 Dan yang tidak dapat dihindari dari

model kekuasaan semacam ini adalah afirmasi dan resistensi kekuasaan. Artinya,

di mana ada kekuasaan, di situ pasti ada resistensi.

Refleksi filosofis Foucault tentang kekuasaan berhubungan erat dengan

status pengetahuan. Pengetahuan dikonsepsikan sebagai kekuasaan yang tidak

akan pernah membebaskan orang dari wacana kekuasaan. Pengetahuan itu sendiri

adalah kekuasaan yang memproduksi kebenaran. Kebenaran itu ditentukan dalam

pengetahuan yang kemudian teraktualisasi dalam praktik wacana sosial. Dalam

konteks itu, kebenaran lantas dipakai sebagai alat konseptual untuk melegitimasi

setiap tindakan politis dengan tujuan untuk menaklukan atau menguasasi orang

lain. Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan semacam ini paling tidak

didasarkan pada kejelian Foucault menangkap sublimasi hubungan pengetahuan

dan kekuasaan.

Sublimasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan dipahami dengan cara

melokalisir “rasa ingin tahu” (will to knowledge) manusia. Untuk memahami

gagasan will to knowledge, sejenak kita merujuk pada pembicaraan Foucault

mengenai seks dan kekuasaan dalam The History of Sexuality (1976).

Dikemukakan bahwa sejak periode klasik di mana banyak orang ribut dengan

28 Sara Mills (2003), Michel Foucault, Hlm. 3529 Michel Foucault (1976), The History of Sexuality, Hlm. 94

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: 126322004_full.pdf - USD Repository

31

wacana tentang represi seks sebetulnya yang terjadi adalah bukan represi seks

melainkan mendorong atau merangsang untuk membicarakan seks. Rangsangan

untuk membicarakan seks dari berbagai institusi kekuasaan seperti sekolah,

gereja, medis dan lain sebagainya menyebabkan terjadinya ledakan wacana

tentang seks. Seakan-akan muncul semacam kebutuhan untuk membicarakan dan

mengatur pembicaraan tentang seks dengan berbagai alasan pembenaran.

Rangsangan tersebut bukan dalam bentuk teori semata melainkan dalam

bentuk analisis, penghitungan, klasifikasi dan spesifikasi kuantitatif dengan tujuan

untuk mencari rasionalitas kebenaran.30 Muncul keinginan kuat untuk

membicarakan seks secara terus-menerus dalam tatanan wacana represi. Kadang-

kadang keinginan ini dilandasi oleh upaya untuk menentang kuasa, mengungkap

kebenaran, menjanjikan kebahagiaan, kebebasan, bahkan kenikmatan dalam satu

tatanan dunia baru.31 Akan tetapi persoalannya bukan terletak pada menerima atau

menolak wacana tentang represi seks, melainkan jika seks dikatakan terepresi

maka pertanyaannya adalah dari mana kita bisa mengatakan dengan penuh

semangat bahwa seks direpresi?

Nampak dengan jelas bahwa Foucault tidak sedang menunjukkan benar

tidaknya wacana tentang represi seks melainkan ingin menunjukkan kenikmatan

akan kekuasaan melalui rasa ingin tahu secara terus menerus tentang seks.

Termasuk siapa yang membicarakan, posisi-posisi dan cara pandang

membicarakan seks, institusi-institusi kekuasaan yang mendorong masyarakat

30 Ibid., Hlm. 2431 Ibid., Hlm. 7

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: 126322004_full.pdf - USD Repository

32

untuk terus menerus membicarakan seks.32 Rasa ingin tahu manusia inilah yang

merupakan bagian integral dari produksi wacana tentang seks yang menjadikan

seks sebagai masalah yang seakan-akan perlu dan relevan untuk dibicarakan

secara terus menerus. Tidak sekedar membicarakan seks; akan tetapi mencari

rasionalitas tentang kebenaran seks sebagai sebuah persoalan yang relevan

dibicarakan.

Mencermati dinamika perkembangan wacana seks sebagaimana yang

diungkapkan oleh Foucault dalam The History of Sexuality (1976) sebetulnya

yang terjadi adalah tindakan kompromi antara pengetahuan dan kekuasaan dalam

wacana tentang represi seks sehingga melahirkan kebenaran wacana tentang

represi seks. Menurut Foucault: “tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan dan

sebaliknya pengetahuan tanpa kekuasaan. Hubungan kekuasaan dan pengetahuan

bukan pertama-tama didasarkan pada bebas tidaknya seseorang melainkan

sebaliknya pada pengetahuan yang dimilikinya”.33 Pengetahuan akan sesuatu

memampukan seseorang membangun klaim kebenaran tentang sesuatu.

Bahanyanya kebenaran tersebut diterima sebagai satu-satunya kebenaran sehingga

menjadikan orang patuh terhadap kebenaran tersebut. Pada titik ini pula,

sebetulnya eksistensi subyek bisa dipertanyakan kembali. Dalam pengertian

bahwa subyek selalu merupakan hasil produk hubungan kekuasaan dan

32 Ibid., Hlm. 9433 Michael Foucault (1979), Discipline and Punish: The Birth of the prison, Terj. Alan Sheridandari judul asli Surveiller et punir, New York: Vintage Books, Hlm. 27

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: 126322004_full.pdf - USD Repository

33

pengetahuan. Aktivitas subyek terbentuk dalam hubungan dengan pengetahuan

dan kekuasaan, entah dengan tujuan untuk meresistensi atau mendominasi.34

Sebagai cara untuk mengenali hubungan antara kekuasaan dan

pengetahuan, Foucault menawarkan beberapa strategi baru sebagaimana yang

dilakukannya dalam analisis wacana tentang represi seks. “Pertama, histeria

tubuh perempuan: tubuh perempuan menjadi objek analisis dengan tujuan untuk

menjamin kesuburan dan semua bentuk kewajiban yang datang dari keluarga,

termasuk kehidupan anak. Kedua, pedagogisasi seks anak. Pedagogisasi seks anak

dengan tujuan untuk menghindari aktivitas seksual menyimpang anak dari bahaya

baik fisik maupun moral, kolekif dan individual. Ketiga, sosialisasi perilaku

prokreatif. Sosialisasi dalam bentuk penanaman nilai-nilai tanggungjawab ke

dalam tubuh sosial untuk menjaga kesuburan pasangan, termasuk sosialisasi

medik sebagai praktek kontrol kelahiran. Keempat, psikiatrisasi kenikmatan yang

menyimpang. Hal ini dilakukan dengan mengisolasi naluri biologis dan psikis

melalui intervensi klinis yang selalu merasa memiliki kepentingan untuk

mengatur dan menghindari seluruh bentuk anomali seks”.35

Keempat strategi tersebut tidak hanya menjadi kritik terhadap paham

model kekuasaan tradisional yang kebanyakan bersifat hukuman dan larangan,

akan tetapi menjadi sarana untuk memperlakukan secara kritis peran insitusi-

institusi kekuasaan (seperti: gereja, kedokteran, sekolah, psikiatri, lembaga sosial,

dan lain sebagainya) baik dalam hal reproduksi kebenaran maupun mendorong,

34 Ibid., Hlm. 2835 Ibid., Hlm.104-105

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: 126322004_full.pdf - USD Repository

34

merangsang dan menyebar luaskan kebenaran tertentu. Kebenaran itulah yang

diterima oleh masyarakat sebagai pengetahuan. Apalagi didukung oleh otoritas

institusi kekuasaan menjadikan pengetahuan tersebut semakin terlegitimasi dalam

masyarakat.

Implementasi konsep hubungan pengetahuan dan kekuasaan dalam

penelitian ini memungkinkan saya untuk: pertama, melacak proses produksi dan

operasionalisasi kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat di Ambon. Selain itu,

saya dimampukan untuk membicarakan secara tepat wacana kekuasaan tanpa

harus terikat dengan berbagai penilaian moral terkait kemunculan wacana

kebangkitan adat di Ambon; kedua, menyelidiki secara kritis keterlibatan institusi-

institusi kekuasan di Ambon, dalam hal ini adalah lembaga-lembaga sosial yang

konsen mengawal praktek dan perkembangan adat; ketiga, membahas kembali

bagaimana kekuasaan itu bekerja dalam masyarakat Ambon, terutama dalam

wilayah-wilayah ketidaksadaran yang selama ini seakan-akan terabaikan.

1.6.4. Konsep Subyektivitas

Teori subyektivitas mulai berkembang sejak abad ke-20. Subyektivitas

lahir sebagai salah satu kategori analisis, terutama terkait konstruksi subyek dan

berbagai cara pandang tentang subyektivitas sebagai produk budaya dan

kekuasaan. Pemikiran dasar tentang subyektivitas dikembangkan oleh Freud

dalam psikoanalisis, Jacques Lacan, Friedrich Nietzsche dan Michel Foucault.

Salah satu di antara mereka yang menjadi perhatian khusus bagi saya saat ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: 126322004_full.pdf - USD Repository

35

adalah Michel Foucault. Subyektivitas dalam perspektif Foucault merujuk

eksistensi individu yang produksi dalam relasi kekuasaan dan subordinasi dalam

masyarakat.36

Pembicaraan Foucault mengenai subyektivitas selalu dalam kaitannya

dengan wacana kebenaran dan pengetahuan-kekuasaan. Wacana tidak hanya

menjadi tempat memproduki kekuasaan melainkan subyek. Wacana

mengkondisikan diri kita sebagai individu dalam ruang lingkup batasan tertentu

yang memungkinkan kita untuk berpikir dan berkata-kata.37 Dengan kata lain

subyektivitas sebetulnya mencerminkan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran/ide

dan perasaan/emosi individu, perasaannya terhadap diri sendiri dan cara

memahami relasi antara diri sendiri dengan dengan dunia.38 Itulah sebabnya

subyektivitas selalu berada dalam proses pembentukan (subject positions) secara

terus menerus dalam wacana setiap kali kita berpikir atau berbicara. Cara

mengada individu (way of being an individual) dalam wacana berdasarkan

identitas atau kriteria tertentu yang ditentukan secara rasional dan masuk akal.39

Mengikuti cara pandang semacam ini, konstruksi subyek sebetulnya

mengandung dua pengertian yakni subyek dalam kendali wacana ilmiah dan

36 Nick Macsfield (2000), Subjectivity: Theories of the self from Freud to Haraway, Australia:ALLEN & UNWIN, Hlm. 5237 Donald E. Hall (2004), Subjectivity: The New critical Idion, New York and London: Routledge,Hlm. 9138 Julia Menard-Warwick (2005), “Both a fiction and an existential fact: theorizing identity insecond language acquisition and literacy studies” dalam Linguistics and Education, Department oflinguistics, one shields ave, USA: University of California, Hlm. 25739 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: 126322004_full.pdf - USD Repository

36

subyek yang terikat dengan identitas.40 Pertama-tama subyek dalam kendali

wacana ilmiah merujuk pada proses objektivasi subyek melalui model-model

wacana ilmiah seperti riset dan penelitian. Individu dikondisikan dalam rezim

kebenaran yang diproduksi baik untuk melakukan kleim kebenaran tertentu

maupun dengan tujuan untuk menaklukan orang lain. Individu dimungkinkan

untuk melakukan pertanggungjawaban terhadap setiap tindakannya berdasarkan

kebenaran tertentu. Tidak sebatas memberikan pertanggungjawaban; akan tetapi

yang paling penting adalah subyek digambarkan seakan-akan defenitif ketika

dijadikan sebagai objek analisis.

Pada titik ini, wacana pengetahuan sebetulnya secara riil difungsikan

sebagai instrumen kekuasaan dalam mengorganisir individu.41 Senada dengan itu,

baiklah untuk disadari pula bahwa logika penjara yang sering dipakai oleh

Foucault untuk menjelaskan ide dari kuasa pendisiplinan subyek sejatinya bukan

sebatas dalam pengertian institusi pengendali masyarakat melainkan sebagai pusat

kekuasaan. Artinya pada level subyektivitas, penjarah merepresentasi proses

pembentukan “way of forms of truth” dan “way of the methodology”.42 Individu

dijadikan sebagai objek analisis keilmiahan yang diproduksi dalam wacana

berdasarkan standar kebenaran tertentu. Pada titik ini, individu dalam wacana

ilmiah tidak bedanya dengan individu dalam wacana yang selalu berada dalam

40 Michel Foucault, “subject and Power” dalam Chicago Journals:Critical Inquiry, Vol 8 No.4,The University of Chicago Press, Hlm. 78141 Nick Macsfield (2000), Subjectivity, Hlm. 5942 Ibid., Hlm. 60

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: 126322004_full.pdf - USD Repository

37

kendali pengawasan penuh dari pengetahuan ilmiah maupun pengawas seperti

dalam penjara dengan prinsip panoptik.

Fase kedua dari konstruksi subyek adalah ketergantungan subyek terhadap

identitas. Individu yang selalu berada dalam keterikatan dengan identitasnya

memposisikan dirinya sebagai subject-ed yang akan selalu tunduk terhadap aturan

dan norma yang dibentuk oleh pengetahuan akan identitas. Keterikatannya ini

mencerminkan proses konstruksi subyek sebagai objek dari diri sendiri melalui

observasi diri (observe himself), analisa diri (analyze himself), interpretasi diri

(interpret himself), dan pengakuan diri (recognize himself).43 Pertanyaannya

subyek patuh karena direpresi?

Pada dasarnya, subyek patuh bukan kerena direpresi melainkan karena

sedang terjadi proses objektivasi subyek. Dalam proses objektivasi, subyek patuh

bukan karena direpresi melainkan karena oleh kehendak dan keinginan mendasar

individu untuk hidup berdasarkan identitas tertentu yang ditawarkan kepadanya.

Individu menjadi subyek ideal berdasarkan gambaran identitas yang diketahuinya.

Konsekuensi logis dari proses konstruksi subyek semacam ini adalah diterimanya

praktek pemisahan individu baik dengan dirinya sendiri maupun dengan

lingkungan sosial. Hal ini akan dapat diamati secara langsung pada pembahasan

ini ketika menyaksikan bagaimana orang Ambon sebagai salah satu suku bangsa

berusaha untuk menghidupi identitas ke-Ambon-annya secara ideal.

Mengacu pada konsep subyektivitas semacam ini, dalam implementasinya

saya dimampukan dalam penelitian untuk: pertama, memahami bagaimana orang

43 Donald E. Hall (2004), Subjectivity, Hlm. 92

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: 126322004_full.pdf - USD Repository

38

Ambon dikondisikan dalam wacana kebangkitan adat di Ambon; kedua,

menunjukkan kondisi di mana masyarakat Ambon dibentuk menjadi individu-

individu yang patuh, baik karena kendali wacana ilmiah tentang adat maupun

karena kecintaan dan loyalitas mereka terhadap adat istiadatnya sendiri.

1.7. Teknik Pengumpulan Data

Uraian pada bagian ini terdiri dari beberapa bagian penting terkait lokasi

penelitian, jenis penelitian, sumber data, dan teknik penelitian. Lebih jelasnya

akan diuraikan secara rinci sebagai berikut:

a) Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam studi ini adalah kota Ambon di Provinsi Maluku.

Lokasi ini dipilih karena selain menjadi titik perjumpaan berbagai etnis

seperti Tanimbar, Kei, Arab, Cina, Bugis, Buton, dan makasar; Ambon

juga merupakan salah satu dari sekian daerah di Indonesia yang sangat

antusias dalam memperjuangkan adat, terutama dalam proses penetapan

kembali “negeri” di Ambon. Oleh sebab itu, analisis mengenai wacana

kebangkitan adat di Ambon diharapkan dapat menjadi titik tolak bagi saya

untuk bisa memahami secara kritis fenomena kemunculan adat yang

terjadi di Indonesia.

b) Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan dipakai adalah penelitian kualitatif dengan

pendekatan analisis wacana kritis. Penggunaan pendekatan analisis wacana

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: 126322004_full.pdf - USD Repository

39

kritis merupakan sebuah pilihan yang tepat dalam studi ini. Tujuannya

untuk memahami dan membongkar mekanisme kekuasaan yang

diproduksi dalam wacana kebangkitan adat, secara khusus di Ambon.

Melalui pendekatan wacana, kerangka analisis dalam kritik kekuasaan

membantu saya membaca dinamika kekuasaan adat yang hadir dalam

wacana kebangkitan adat Ambon. Selain itu dapat menjadi sarana untuk

merumuskan kembali subyektivitas ke-Ambon-an dalam konstruksi

wacana kebangkitan adat.

c) Sumber Data

Sumber data dalam studi ini terdiri dari dua macam yakni: sumber tertulis

dan lisan. Data sumber tertulis merujuk pada hasil penelitian terdahulu

dengan topik yang kurang lebih sama serta beberapa literatur pendukung

lainnya terkait persoalan dimaksud. Selain itu terkait sumber tertulis, saya

juga mengunakan beberapa sumber lisan yang diperoleh dari wawancara

dengan para informan yang kompeten seperti raja sebagai pemangku adat,

saniri negeri, aktivis dan pemerhati sejarah dan kearifan lokal Maluku,

dan beberapa warga pendatang yang selama ini berdomisili di Ambon.

d) Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi

lapangan untuk mengamati secara langsung kondisi seputar praktek dan

wacana adat di Ambon. Data lapangan diperoleh melalui observasi

lapangan di Ambon sejak Desember 2013 sampai Januari 2014. Teknik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: 126322004_full.pdf - USD Repository

40

observasi lapangan diperkaya melalui wawancara bersama para informan

seperti raja sebagai pemangku adat, saniri negeri, aktivis dan pemerhati

sejarah dan kearifan lokal Maluku, dan beberapa warga pendatang yang

selama ini berdomisili di Ambon. Seleksi atas para informan yang

berjumlah 9 (sembilan) orang didasarkan pada kompentensi mereka dalam

bidang adat dan sebagian warga pendatang yang sudah sejak lama

berdomisili di wilayah kepulauan Ambon. Data yang diperoleh

ditindaklanjuti dengan melakukan pendalaman berbagai dokumen untuk

mendapatkan gambaran komprehensif mengenai praktek wacana

kebangkitan adat di Ambon.

1.8. Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini terdiri dari 5 (lima) bagian antara lain:

Bab I merupakan bagian pendahuluan yang menjelaskan tentang latar

belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, kajian

pustaka yang mengupas penelitian-penelitian dengan topik yang sama namun

dengan sudut pandang yang berbeda, kajian teori yang memaparkan konsep-

konsep kunci yang menjadi instrumen analisis dalam penelitian ini dan teknik

pengumpulan data.

Bab II membahas mengenai genealogi kebangkitan adat. Mula-mula akan

dibicarakan secara singkat mengenai sejarah kebangkitan adat di Indonesia dalam

periode pemerintahan Orde Baru dan reformasi. Uraian dilanjutkan dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: 126322004_full.pdf - USD Repository

41

melakukan pembacaan genealogi atas kemunculan wacana kebangkitan adat di

Ambon. Terutama melacak asumsi-asumsi dasar yang melandasi antusiasme

orang Ambon menghidupkan kembali “negeri” adat di wilayah kepulauan

Ambon.

Bab III membahas mengenai praktek wacana kebangkitan adat di Ambon.

Uraian pada bab ini merupakan bentuk penyajian data penelitian. Penyajian data

penelitian dilakukan dengan memperhatikan momentum kebangkitan adat Ambon

dan gerakan perluasan wacana kebangkitan adat Ambon melalui sosialisasi nilai-

nilai adat, intensifikasi peran anak adat dan beberapa praktek adat lainnya.

Akhirnya, uraian pada bab III akan diakhiri dengan mengetegahkan bagaimana

wacana kebangkitan adat diinternalisasikan oleh masyarakat Ambon.

Bab IV akan membahas mengenai relasi kuasa dan konstruksi

subyektivitas ke-Ambon-an dalam wacana kebangkitan adat Ambon. Pembahasan

mengenai topik ini bertujuan untuk menganalisis relasi kuasa dan proses

pembentukan subyek dalam wacana kebangkitan adat. Dalam konteks itu, uraian

ini diawali dengan menganalisis relasi kuasa dalam tatanan wacana kebangkitan

adat Ambon. Kemudian uraian dilanjutkan dengan menganalisis proses

pembentuk subyek dalam tatanan wacana kebangkitan adat yang terjadi melalui

proses objektivasi subyek dalam tatanan wacana.

Bab V adalah Penutup. Bagian ini menjelaskan ide-ide utama dari

keseluruhan penjelasan bab dan beberapa pemikiran kritis sebagai tindak lanjut

untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: 126322004_full.pdf - USD Repository

42

BAB II

GENEALOGI WACANA

KEBANGKITAN ADAT DALAM TILIKAN SEJARAH

Bab II akan membahas mengenai genealogi wacana kebangkitan adat.

Mula-mula saya ingin membicarakan mengenai dinamika kemunculan wacana

kebangkitan adat di Indonesia. Kajian mengenai dinamika kemunculan wacana

kebangkitan adat di Indonesia akan berpusat pada penyelidikan historis

kemunculan wacana kebangkitan adat pada rentang waktu Orde Baru dan

reformasi. Tujuannya adalah bagaimana kondisi sosial politik Indonesia di era

Orde Baru dan reformasi mempengaruhi kemunculan berbagai klaim kedaerahan

dengan mengatasnamakan adat.

Uraian dilanjutkan dengan menyelidiki genealogi wacana kebangkitan

adat di Ambon. Dalam lokalitas Ambon, pembahasan mengenai wacana

kebangkitan adat bertujuan untuk melacak asal-usul kemunculan wacana

kebangkitan adat. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor apa

saja yang mempengaruhi kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon;

terutama pendasaran rasional dan asumsi-asumsi primordial masyarakat Ambon

mengenai adat. Pada bagian akhir, saya akan membicarakan secara singkat

kebutuhan mendasar orang Ambon terkait urgensi dan signifikansi kemunculan

wacana kebangkitan adat di Ambon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: 126322004_full.pdf - USD Repository

43

2.1. Sekilas Sejarah Kebangkitan Adat di Indonesia

Uraian mengenai sejarah kebangkitan adat di Indonesia tidak sekedar

menyelidiki kemunculan wacana kebangkitan adat di Indonesia; akan tetapi secara

khusus mencoba untuk memusatkan diri pada cara pandang kebanyakan orang

selama ini membicarakan adat dalam rentang waktu orde baru dan reformasi.

Dalam konteks itu, pembahasan mengenai wacana kebangkitan adat akan

mengacu pada kerangka analisis genealogi sebagaimana dimaksudkan oleh

Michel Foucault. Dengan cara semacam ini paling tidak kita dimungkinkan untuk

dapat melihat sejarah secara baru dan memungkinkan tiap-tiap individu untuk

mereimajinasi diri dan hidupnya. Tujuan ini sejalan dengan proyek penyelidikan

sejarah seperti yang telah dilakukan oleh Foucault. Melalui Foucault, urgensi dan

signifikansi sejarah kebangkitan adat perlu dibaca kembali.

Pembacaan ulang atas sejarah perlu dilakukan secara kritis sebab tidak

jarang orang terjebak dalam permainan kekuasaan dalam sejarah. Sejarah

cenderung dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan politik yang diproduksi

dalam wacana. Pertanyaannya adalah bagaimana menyingkap hubungan

kekuasaan yang diproduksi dalam wacana kebangkitan adat? Kebangkitan adat

seperti apakah yang selama ini dibicarakan? Apakah karena adat dianggap mati

dan sekarang mengalami kebangkitannya? Apakah kemunculan wacana

kebangkitan adat sunguh-sungguh meresistensi mekanisme kekuasaan dominan

yang diklaim merepresi adat ataukah sebaliknya mereproduksi mekanisme

kekuasaan yang hendak dikritik? Oleh karena wacana menyediakan bahasa khusus

untuk membicarakan sesuatu yang sedang diwacanakan maka uraian berikut ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: 126322004_full.pdf - USD Repository

44

akan mencoba untuk menyelidiki kemunculan wacana kebangkitan adat dengan

memperhatikan cara kebanyakan orang mengkonsepsikan atau membicarakan adat

selama ini di Indonesia, terutama pada masa Orde Baru dan reformasi.

2.1.1. Adat dalam Imajinasi Politik Orde Baru

Sejak kejatuhan rezim Orde Baru Suharto pada 1998, istilah adat yang

dipahami sebagai kebiasaan atau tradisi lambat laun mengalami perkembangan

dan perluasan makna. Pemahaman terhadap istilah adat tidak lagi sebatas tradisi

atau kebiasaan; akan tetapi lambat-laun bergeser dan mulai diasosiasikan dengan

“gerakan aktivisme, protes, konflik dan kekerasan” seperti yang diungkapkan oleh

David Henley dan Jamie Davidson dalam adat dalam politik Indonesia (2010).44

Istilah adat tidak lagi sebatas tatanan nilai; akan tetapi adat sebagai representasi

identitas kolektif dan instrumen kekuasaan lokal dalam rangka memobilisasi

massa untuk melawan negara. Perluasan makna adat secara khusus terjadi ketika

praktek adat mulai diparalelkan dengan praktek-praktek ketidakadilan negara

yang terjadi di tingkat lokal. Di antaranya adalah perampasan tanah-tanah ulayat

oleh negara yang kemudian dikonversi menjadi konsensi pembangunan nasional,

ekploitasi sumber daya alam, lingkungan hidup dan hutan, bahkan termasuk

praktek konversi desa-desa adat melalui implementasi Undang-Undang No.5

tahun 1979 tentang pemerintahan desa.

44 David Henley & Jamie Davidson (2010), “Konservatisme Radikal-Aneka Wajah Politik Adat”dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: 126322004_full.pdf - USD Repository

45

Perjuangan atas nama adat ditandai oleh munculnya sejumlah tuntutan

kedaerahan yang menghendaki agar dapat mengurus diri sendiri berdasarkan

tradisi dan adat istiadat di wilayahnya masing-masing. Pilihan semacam ini

diklaim sebagai pilihan tepat untuk mendapatkan kembali rasa keadilan yang

selama Orde Baru terabaikan. Bahkan pilihan untuk menghidupkan kembali adat

justru dipandang sebagai solusi untuk mengatasi kegagalan negara akibat

maraknya praktek politik yang korup dengan cara mempromosikan bentuk-bentuk

pemerintahan baru berbasis adat.45 Oleh sebab itu, meski pilihan untuk kembali

ke adat menuai pro dan kontra akan tetapi secara de facto kemunculan wacana

kebangkitan adat sangat mendapat sambutan hangat dari masyarakat.

Terdorong akan sebuah perubahan radikal, adat kemudian dijadikan

sebagai panji perjuangan bersama mewujudkan perubahan. Perubahan dalam

pengertian revolusi sistem demokrasi di Indonesia yang dinilai kaku dan tidak

mampu mengakomodir keberagaman budaya masyarakat Indonesia.

Ketidakmampuan negara dalam mengakomodir keberagaman budaya dinilai telah

menyebabkan terjadinya marginalisasi peran-peran penduduk lokal dan

tereksploitasi demi kepentingan pembangunan nasional (nation building). Atas

salah satu cara, klaim semacam ini nampak dalam penegasan Brigitta Hauser-

Schäublin dalam Adat and Indigeneity in Indonesia (2013) demikian:

They had suffered marginalisation, discrimination anddispossession over decades and were classified as inferior to“mainstream” Indonesians, who were following thenationalistic path to progress and development as decreed bythe government. Their systematic discrimination,

45 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: 126322004_full.pdf - USD Repository

46

dispossession and displacement were not an invention of theNew Order regime (1965-1998); their genealogy can be tracedback to the Dutch colonial policy, as many publications andseveral chapters of this volume document. The fall of theSuharto regime in 1998 and the subsequent onset of thereform era (reformasi), which promoted decentralisation andaimed at democratisation, have offered the opportunity to theindigenous peoples (masyarakat adat) and to the governmentto recover the injustices and dispossessions which thesepeople had suffered.46

Secara implisit penegasan Brigitta Hauser-Schäublin mencerminkan

kegagalan pemerintah Orde Baru yang dinilai memiliki peranan besar dalam

penghancuran kehidupan masyarakat beserta adat istiadatnya. Intervensi negara

dinilai terlalu berlebihan baik melalui perampasan kepemilikan tanah-tanah

ulayat, eksploitasi sumber daya alam, lingkungan hidup dan hutan, program

transmigrasi nasional, maupun konversi desa-desa adat melalui Undang-Undang

No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa.

Implementasi kebijakan nasional melalui Undang-Undang No 5 tahun

1979 tentang pemerintahan desa pada kenyataannya menimbulkan polemik di

tingkat lokal. Polemik tersebut berkaitan dengan marginalisasi peran para

pemimpin adat dan lembaga-lembaga adat. Peran kepala pemerintahan hukum

46 “Selama rezim Orde Baru Suharto mereka (masyarakat adat) mengalami marginalisasi,diskriminasi dan perampasan hak milik lebih dari satu dekade dan diklasifikasikan sebagaikelompok inferior, memiliki ketergantungan penuh kepada pemerintah. Diskriminasi sistematis,perampasan hak milik dan penyingkiran bukan sebuah isapan jempol belaka dari rezim OrdeBaru sejak 1965-1998; bahkan secara genealogi kondisi semacam ini tidak terlepas dariintervensi politik kolonial Belanda yang dapat dijumpai dalam berbagai dokumen yangterpublikasi. Runtuhnya rezim Orde Baru Suharho pada 1998 dan kelahiran reformasi, yangdidukung dengan kebijakan desentralisasi dan dengan tujuan untuk menciptakan iklimdemokratisasi, memberikan peluang kepada kelompok masyarakat adat dan pemerintah untukmemulihkan kembali rasa ketidakadilan dan pengembalian hak milik masyarakat”. BrigittaHauser-Schäublin (2013), “The Power of Indigeneity: Reparation, Readjustments andRepositioning” dalam Adat and Indigeneity in Indonesia: Cultural and Entitlements betweenHeteronomy and self-Ascription, Göttingen Studies in Cultural Property, Volume. 7, Göttingen:Universitätsverlag Göttingen, Hlm. 7.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: 126322004_full.pdf - USD Repository

47

adat atau raja digantikan oleh kepala pemerintahan desa (kepala desa/lurah) yang

telah ditetapkan oleh negara dan bekerja dalam struktur birokrasi nasional yang

seragam.47 Konsekuensi dari sistem penyeragaman pemerintahan semacam ini

diklaim telah menimbulkan degradasi nilai-nilai adat pada masing-masing daerah

adat di Indonesia.

Selain undang-undang desa yang dianggap bermasalah, muncul persoalan

lain terkait kebijakan nasional mengenai program transmigrasi nasional. Dalam

keterangan David Henley & Jamie Davidson diungkapkan bahwa: “untuk

mengurangi tekanan kepadatan jumlah penduduk di pulau Jawa dan Bali maka

banyak wilayah di luar Jawa yang dipandang masih renggang dijadikan sebagai

target utama dari program tersebut. Kurang lebih lima juta penduduk dari pulau

Jawa dan Bali berhasil dipindahkan ke luar wilayah Jawa”.48 Akibatnya terjadinya

ledakan jumlah penduduk.

Sebagai salah satu contoh adalah sebagaimana yang terjadi di Maluku,

salah satu provinsi yang dijadikan sebagai target dari program transmigrasi

nasional. Meski bertempat di kepulauan Seram akan tetapi dalam ruang lingkup

yang lebih luas efek kebijakan tersebut dialami oleh warga Maluku. Konsekuensi

dari kebijakan transmigrasi nasional di Maluku menyebabkan munculnya

ketidakseimbangan komposisi jumlah penduduk Maluku. Bahkan polemik seputar

kebijakan transmigrasi nasional di Maluku lambat laun diparalelkan dengan

47 David Henley dan Jamie Davidson (2010), “Konservatisme Radikal-Aneka Wajah Politik Adat”dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 1348 Ibid., Hlm. 14

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: 126322004_full.pdf - USD Repository

48

berbagai isu krusial seputar pergeseran peran-peran penduduk lokal dan

marginalisasi ekonomi-politik penduduk lokal.49

Kemunculan adat mengalami perluasan makna dengan sangat pesat. Adat

tidak sebatas persoalan birokrasi politik di tingkat lokal dan problem

kependudukan, akan tetapi membidik pula persoalan kedaulatan wilayah atas

tanah-tanah ulayat. Klaim kebanyakan daerah dialamatkan kepada negara yang

mengambilalih hak kepemilikan tanah-tanah ulayat yang dikonversikan menjadi

konsensi pembangunan nasional melalui praktek penebangan hutan,

pertambangan, perkebunan kepala sawit dan hutan tanaman industri, serta taman-

taman nasional.50 Kenyataan semacam ini pada kenyataannya memicu sejumlah

reaksi protes dari banyak daerah di Indonesia. Misalnya, atas nama adat

masyarakat adat di Bali menolak mega proyek pariwisata dengan menghidupkan

kembali aturan adat yang melarang penjualan tanah kepada pendatang; atau para

petani di Sulawesi dan Flores yang menentang legitimasi keabsahan batas-batas

taman nasional serta serangkaian kasus-kasus lainnya di Indonesia.51

Dengan memperhatikan kondisi di atas nampak bahwa wacana adat di

masa Orde Baru cenderung dihubungkan dengan persoalan-persoalan kedaerahan

sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dengan kata lain, pembicaraan tentang adat

selama Orde Baru mengandung sejumlah persoalan terkait serangkaian praktek

ketidakadilan negara seperti sistem konversi desa adat, transmigrasi, pergeseran

49 Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia (2004), Dinamika Konflik Dalam TransisiDemokrasi: Informasi Konflik dan Potensi Integrasi Bangsa, Yogyakarta: INPEDHAM, Hlm. 22050David Henley & Jamie Davidson(2010), Konservatisme Radikal-Aneka Wajah Politik Adat”dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 14-1551 Ibid., Hlm. 1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: 126322004_full.pdf - USD Repository

49

peran-peran penduduk lokal, maupun kepemilikan tanah-tanah adat. Aneka rupa

persoalan semacam inilah yang sangat mewarnai pembicaraan kebanyakan orang

tentang adat di masa Orde Baru. Bahkan Orde Baru malah ditahbiskan sebagai

orde penindasan adat.

Meski tanpa harus menafikan aneka persoalan yang telah dikemukakan di

atas namun jika diasumsikan demikian maka persoalannya adalah: Apakah

kondisi semacam ini mencerminkan tindakan merepresi adat? Apakah adat

sungguh-sungguh direpresi? Agar memungkinkan kita melihat persoalan-

persoalan tersebut secara kritis, upaya pelacakan terhadap wacana kebangkitan

adat tidak dapat berhenti pada titik ini. Adat perlu dilihat secara gamblang dengan

mempertimbangkan dinamika perkembangan dan perluasan adat di masa-masa

berikutnya. Salah satunya adalah wacana adat di era reformasi.

2.1.2. Eforia Kebangkitan Adat di Era Reformasi

Perjuangan atas nama adat di Indonesia dapat dikatakan baru mendapatkan

tempatnya di era reformasi. Iklim kebebasan di era reformasi sungguh-sungguh

memberikan angin segar kepada banyak daerah di Indonesia yang ingin mengurus

diri sendiri berdasarkan adat istiadatnya masing-masing. Era reformasi seakan-

akan merupakan kesempatan berharga bagi banyak daerah untuk mewujudkan

keinginan mereka. Reformasi membuka ruang politik di tingkat lokal terutama

dengan adanya kebijakan otonomisasi daerah semakin mempercepat perjuangan

adat. Bahkan di tingkat pusat (Jakarta), perjuangan atas nama adat berhasil

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: 126322004_full.pdf - USD Repository

50

diorganisir secara nasional melalui pembentukan organisasi adat nasional yang

dikenal dengan nama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan

semboyannya: “kalau negara tidak mengakui kami, kami pun tidak akan

mengakui negara”.52

Mengacu pada anggaran dasar AMAN, secara resmi AMAN didirikan

pada tanggal 17 Maret 1999 di Jakarta dengan tujuan untuk:

(1) Mengembalikan kepercayaan diri, harkat dan martabatMasyarakat Adat Nusantara, baik laki-laki maupunperempuan, sehingga mampu menikmati hak-haknya; (2)Mengembalikan kedaulatan Masyarakat Adat Nusantara untukmempertahankan hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan politik;(3) Mencerdaskan dan meningkatkan kemampuan MasyarakatAdat mempertahankan dan mengembangkan kearifan adatuntuk melindungi bumi, air dan kekayaan alam yangterkandung di dalamnya; (4) Mengembangkan prosespengambilan keputusan yang demokratis; (5) Membela danmemperjuangkan pengakuan, penghormatan, perlindungan danpemenuhan hak-hak Masyarakat Adat53

Kelima butir dari tujuan AMAN mencerminkan adanya komitmen

bersama seluruh anggota AMAN guna mendapatkan kembali hak-haknya baik

secara ekonomi, sosial, budaya dan politik. Keanggotaan AMAN yang

dimaksudkan di sini mengacu pada anggaran dasar AMAN Bab VII pasal 11 butir

2. Keanggotaan AMAN adalah: “komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan

asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, memiliki

kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam dan kehidupan sosial budaya yang diatur

52 Ibid., Hlm. 1-253 “Anggaran Dasar (AD) AMAN Bab IV pasal 7”, diakses dari http://www.aman.or.id/ padatanggal 7 Januari 2015. Anggaran Dasar AMAN ditetapkan dalam kongres Masyarakat AdatNusantara yang ke-4 di Tubelo pada 24 April 2012.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: 126322004_full.pdf - USD Repository

51

oleh hukum adat, serta lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan

masyarakatnya”.54

Bidikan utama AMAN adalah mendapatkan kembali hak-hak seluruh

anggota masyarakat adat baik secara ekonomi, sosial, budaya dan politik. Itulah

sebabnya pembentukan AMAN sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan

(ORMAS) yang independen bertujuan untuk mengawal dan mengawasi otoritas

negara, mengembalikan hak masyarakat adat serta mengintensifkan kembali peran

lembaga-lembaga adat dan pemimpin-pemimpin adat yang selama Orde Baru

kehilangan peran.55 Hal ini tercermin pula dalam setiap kali pertemuan yang

diselenggarakannya.

Dalam pertemuan pertama yang dilaksanakan di Hotel Indonesia-Jakarta

pada 17 sampai 22 Maret 1999, diproklamasikannya pembentukan AMAN

sebagai organisasi kemasyarakatan yang punya landasan hukum tetap untuk

memperjuangkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi masyarakat adat seperti

akses terhadap tanah, hutan, kekayaan alam, budaya dan persoalan-adat istiadat. 56

Pertemuan kedua dilaksanakan di Lombok, Nusa Tenggara Timur pada 2003.57

Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari agenda pertemuan pertama dan

sebagai bagian dari upaya konsolidasi. Pertemuan ketiga dilaksanakan di

54 Lih. Anggaran Dasar (AD) AMAN Bab VII pasal 11 butir 2 tentang keanggotaan dan kader,Ibid. diakses dari http://www.aman.or.id/ pada tanggal 7 Januari 2015; lihat juga dalam SejarahOrganisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)55 David Henley & Jamie Davidson(2010), Konservatisme Radikal-Aneka Wajah Politik Adat”dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 1-256 “Sejarah Organisasi Aliansi masyarakat adat Nusantara”, diakses dari http://www.aman.or.id/pada tanggal 7 Januari 201557 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: 126322004_full.pdf - USD Repository

52

Pontianak, Kalimantan Barat pada 2007 dengan agenda pembentukan struktur

keanggotaan dan badan pengurus baik di tingkat pusat maupun daerah-daerah

seperti di Sumaterah, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku

dan Papua.58 Sedangkan pertemuan keempat dilaksanakan di Tubelo, Halmaera

Utara, Provinsi Maluku pada 2012 dengan agenda pemantapan struktur

keanggotaan.59

Rangkaian perjuangan AMAN sejak terbentuknya memiliki pengaruh

yang sangat signifikan terhadap kemunculan adat di Indonesia. Hal ini terukur

pula melalui capaian-capaian yang ditoreh selama ini baik pada tingkat nasional

maupun internasional. Di tingkat nasional AMAN boleh berbangga dengan

torean sejarahnya melalui pembentukan lembaga-lembaga adat di tingkat lokal;

bahkan keterlibatan AMAN di tingkat internasional, di antaranya seperti

keterlibatannya aktif dalam proses United Nations Framework Convention on

Climate Change (UNFCCC); International Indigenous Peoples Forum on Climate

Change (IIPFCC); Reducing emissions from deforestation and forest degradation

(REDD); United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII);

bahkan pertemuan komisi PBB tentang penghapusan diskriminasi rasial atau

Committee on the Elimination of Racial Discrimination (CERD).60

Tidak dipungkiri bahwa kemunculan adat sangat mempengaruhi konstelasi

ekonomi, sosial, politik di Indonesia. Meski demikian tidak dapat dipungkiri pula

58 Ibid.59 Ibid.60 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: 126322004_full.pdf - USD Repository

53

bahwa di sisi lain sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian bab sebelumnya

bahwa seiring kemunculan wacana kebangkitan adat muncul pula suara-suara

lainnya yang bernada oposisi. Salah satunya adalah David Bourchier yang

mengkritisi kemunculan gerakan kebangkitan adat di Indonesia. Menurutnya:

“kecenderungan dari gerakan kebangkitan adat meski mendukung dan

menguatkan serta mempererat ikatan kepentingan komunal, akan tetapi sebetulnya

sangat berpotensi menimbulkan konflik, kekerasan, kebencian antar-etnis, dan

ikut mengukuhkan kembali hirarki sosial masa lampau”.61

Senada dengan Bourchier, Tania Li dalam penelitiannya di Sulawesi

Tengah pada kurun waktu 2000-2003 juga mengemukakan persoalan serupa.

Tania Li menyoroti secara khusus keragaman penafsiran dan penggunaan kata

adat yang selama ini semakin sulit dikontrol. Menggunakan konsep adat berarti

mengklaim kemurnian nilai adat demi kepentingan seseorang atau kelompok

tertentu.62 Anehnya bagi Bourchier dan Tania Li jika menggunakan adat sebagai

ukuran berarti mengklaim kemurnian nilai yang ada di dalamnya demi

kepentingan seseorang atau kelompok tertentu; akan tetapi gerakan adat tetap

mendapatkan sambutan dari masyarakat.63 Lantas, Apakah karena asumsi

keharmonisan hidup berbasis adat dan kemurniaan nilai adat? Jika demikian,

Apakah ada realitas yang dinamakan kemurnian adat? Bukankah yang disebut

61 David Bourchier (2010) “Kisah adat dalam imajinasi politik Indonesia dan kebangkitan masakini” dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 141-14262 Tania M.Li (2010), “Adat di Sulawesi Tengah: penerapan kontemporer” dalam Adat dalamPolitik Indonesia, Hlm. 36763 David Bourchier (2010) “Kisah adat dalam imajinasi politik Indonesia dan kebangkitan masakini” dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 126

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: 126322004_full.pdf - USD Repository

54

kemurnian adalah sebuah konstruksi sejarah? Jangan-jangan asumsi kemurnian

hanyalah sejenis romantisme terhadap hukum adat di Indonesia yang merupakan

ciptaan Belanda seperti yang ditegas pula oleh Pater Burns.

Burns sebagai salah seorang kontributor dalam penulisan buku berjudul

adat dalam politik Indonesia (2010) menyatakan bahwa:

Konsep hukum adat hampir pasti merupakan ciptaan Belanda.Sebelum Van Vollenhoven dan kelompoknya mulaimengkodifikasi apa yang bagi para ahli hukum barat tampaknyasebagai aspek-aspek peradilan dari adat kebiasaan penduduk asli,hukum adat bukan merupakan suatu entitas terpisah danindependensi melainkan pada umumnya jalin menjalin dengansejarah, mitologi, dan aturan-aturan dasar kelembagaan darimasing-masing suku atau satuan budaya…tentu saja adat tidakditemukan tetapi diciptakan.64

Secara historis, selama ini apa yang disebut adat umumnya dikenal dengan

nama hukum adat. Istilah hukum adat untuk pertama kalinya diungkapkan oleh

Christian Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang orientalis berkebangsaan

Belanda.65 Istilah hukum adat kemudian dipergunakan secara luas oleh Cornelis

Van Vollenhoven, seorang professor antropolog dari Universitas Leiden ketika

melakukan studi hukum adat di Indonesia di awal abad ke-20. Beberapa konsep

dasar yang masih terus dipergunakan sampai sekarang adalah: hukum adat

(adatrecht) dan beschikkingsrecht atau hak-hak petuanan setiap anggota

masyarakat adat (adatrechtsgemeenschap) di wilayah masing-masing.66 Istilah

64 Pater Burns (2010), “Adat, yang mendahului semua hukum” dalam Adat dalam politikIndonesia, Terj. Emilius Ola Kleden, Jakarta: Obor, Hlm. 9565 C. Fasseur (2010), “Dilema zaman kolonial: Van Vollenhoven dan perseteruan antara hokumadat dan hukum Barat di Indonesia, dalam Adat dalam politik Indonesia, Hlm. 5766 David Henley & Jamie Davidson(2010), “Konservatisme Radikal-Aneka Wajah Politik Adat”dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 26

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: 126322004_full.pdf - USD Repository

55

beschikkingsrecht sendiri merujuk pada sistem adat yang memungkinkan

masyarakat dapat mengatur dan melindungi hak kepemilikan tanahnya sehingga

tidak dapat diambilalih oleh negara karena dianggap tidak bertuan.67

Tanpa harus menafikan kontribusi Van Vollenhoven dalam melakukan

kodifikasi hukum adat di Indonesia dan perjuangannya terhadap hak kepemilikan

tanah-tanah ulayat, apa yang diungkapkan oleh C. Fasseur patut untuk

dipertimbangkan juga. Bagi Fasseur, konstruksi hukum adat Indonesia atas salah

satu cara menegasi pengaruh Etnosentrime dan perasaan superioritas bangsa Barat

di Indonesia.68 Proses kodifikasi hukum adat Indonesia sejak saat itu seakan-akan

mendobrak popularitas adat pribumi terutama ketika secara khusus menjadikan

adat sebagai objek kajian akademis di Universitas Leiden.

Bertolak dari wacana adat semacam ini, lantas kemurnian adat seperti

apakah yang sebetulnya ingin ditegakkan dalam gerakan kebangkitan adat

Indonesia? Apakah kemurnian adat dengan membangkitkan kembali wacana

kolonialisme? Tidak dapat dipungkiri sekarang bahwa apa yang diklaim sebagai

kemurnian adat tidak lebih dari sebuah konstruksi sejarah yang kemudian

direproduski secara terus menerus. Hal ini nampak dalam cara pandang orientalis

ketika membicarakan wacana kebangkitan adat dengan menghubungkan adat

dengan praktek perampasan tanah, sumber daya alam, hutan, desa adat dan

67 Yance Arizona & Erasmus Cahyadi (2013), “The Revival of Indigenous Poples: Contestationover a special leigislation on masyarakat adat” dalam Adat and Indigeneity in Indonesia: Culturaland Entitlements between Heteronomy and self-Ascription, Volume 7, UniversitätsverlagGöttingen, 4768 C. Fasseur (2010), “Dilema zaman kolonial: Van Vollenhoven dan perseteruan antara hukumadat dan hukum Barat di Indonesia, Adat dalam politik Indonesia, Hlm. 63

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: 126322004_full.pdf - USD Repository

56

sejumlah praktek yang menggunakan adat sebagai jargon-jargon politik dalam

kampanye-kampanye.

Bahkan ketika mencermati dinamika perkembangan wacana kebangkitan

adat Indonesia semacam ini, dapat ditegaskan bahwa adat yang selama ini

dianggap terepresi sebetulnya justru melahirkan berbagai wacana tentang adat.

Kebangkitan Indonesia di era reformasi barangkali dianggap sebagai momentum

kebangkitan adat justru kurang tepat sebab sebetulnya yang sedang terjadi adalah

upaya multiplikasi wacana tentang adat. Jadi, kebangkitan adat yang seakan-akan

menawarkan era pembebasan adat justru menyangsikan kembali asumsi

pembungkaman atau represi adat.

Adat yang dinilai terepresi sebetulnya sedang didorong, dirangsang,

diadministrasikan, dinormalisasikan, dan didisiplinkan kembali. Dengan kata lain,

pembicaraan tentang adat saat ini hanya menuntun orang untuk beralih dari

kebiasaan merasa kecewa akibat dominasi negara ke berbagai upaya untuk

mengendalikan adat agar lebih berbobot. Bahkan dilipatgandakan dalam wilayah

kekuasaan dengan cara diproblematisasi agar relevan untuk dibicarakan.69 Lantas,

Bagaimanakah dengan kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon? Uraian

atas pertanyaan tersebut akan dibicarakan dalam sub bab berikut ini.

69 Michel Foucault (1997), Seks dan Kekuasaan, Terj. Rahayu S.Hidayat dari judul The History ofSexuality, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 20-22

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: 126322004_full.pdf - USD Repository

57

2.2. Genealogi Kebangkitan Adat Ambon

Uraian berikut ini akan membahas mengenai kemunculan wacana

kebangkitan adat Ambon yang menjadi lokus dari penelitian ini. Dalam lokalitas

Ambon, wacana kebangkitan adat mengacu pada beberapa unsur spesifik di

antaranya tradisi, hubungan darah dan kedaulatan teritorial. Unsur-unsur tersebut

secara dominan mewarnai pembicaraan tentang adat. Kemunculan adat secara

signifikan menyebabkan terjadi perubahan konstelasi sosial politik di Ambon.

Adat tidak sekedar difungsikan untuk merumuskan realitas hidup

melainkan mempertanyakan posisionalitas. Sambil menyelidiki dinamika

kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon, penyelidikan ini dilakukan

sambil mempertimbangkan pula pengaruh wacana kolonialisme terhadap

kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon. Menyikapi persoalan tersebut

beberapa pokok pikiran berikut ini menjadi acuan dasar memahami perkara

kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon.

2.2.1. Adat dalam Tatapan Orang Ambon

Kajian mengenai kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon tidak

dapat dilepaskan dari cara pandang orang Ambon terhadap adat. Dalam

kosmologi Ambon, adat tidak sekedar tradisi atau kebiasaan hidup. Bagi

masyarakat Ambon, adat merupakan warisan ideologis para leluhur yang seakan-

akan tidak dapat diabaikan. Semacam kewajiban utama yang perlu dilaksanakan

secara terus-menerus demi kemuliaan para leluhur dan keharmonisan hidup

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: 126322004_full.pdf - USD Repository

58

bersama. Oleh sebab itu, hormat dan taat terhadap adat tidak sekedar

merepresentasi keyakinan masyarakat Ambon terhadap adat; akan tetapi menjadi

sebuah ekspresi religius masyarakat Ambon terhadap kemuliaan para leluhur.

Dengan kata lain, berbicara tentang adat berarti berbicara tentang

keyakinan dan kebiasaan hidup warga berdasarkan warisan para leluhur. Hal ini

ditegaskan oleh Frank L. Cooley dalam Ambonese adat (1962) ketika melakukan

pendefenisian terhadap konten adat orang Ambon. Menurut Cooley adat orang

Ambon merujuk pada “kebiasaan hidup para leluhur yang diwariskan secara

turun-temurun dari generasi ke generasi; atau ekspresi religius terhadap para

leluhur yang di dalamnya terkandung kekuatan supranatural yang termanifestasi

melalui objek-objek kosmik.70

Mencermati upaya pendefenisian adat seperti yang dilakukan oleh Cooley,

menghadirkan kekuatan wacana orientalisme Barat dalam adat Ambon. Penting

untuk digarisbawahi adalah kontribusi Cooley sebetulnya bukan terletak pada

sejauhmana adat Ambon terdefenisi melainkan sejauh mana wacana kolonialisme

Barat mengakar dalam adat Ambon. Untuk itu, pembicaraan mengenai adat

70 Frank L. Cooley (1962), Ambonese adat: a general description, USA: Yale UniversitySoutheast Asia Studies, Hlm. 2-3. Salah satu bentuk manifestasi kekuatan supranatural pada objekkosmik adalah gunung sebagaimana terdapat dalam kepercayaan penduduk lokal negeri Suli.Dalam tuturan sejarah pembentukan “negeri” Suli, para leluhur atau datuk-datuk yang berasal daripulau Seram mendiami pegunungan dan mendirikan pusat-pusat pemukiman di sana. Ada tigagunung yang dijadikan sebagai tempat kediaman mereka, yakni gunung Eriwakang,Amarumahtena, dan Amahuing. Masing-masing gunung mewakili setiap “soa”. “Soa Amalatuei”mendiami gunung Eriwakang, “soa Amarumatena” mendiami gunung Amarumahtena, dan “soaWainusalaut” mendiami gunung Amahuing. Dari ketiga soa tersebut, dalam perkembangannyaterjadi perpecahan terutama “soa Amalatui” dan membentuk soa baru yang dikenal dengan nama“soa Latusalamu” yang mendiami daerah Natsepa dan Waitatiri. Meski terjadi perpecahan dalam“soa”, akan tetapi dalam setiap ritual adat untuk mengundang kehadiran para leluhur yangdisuarakan hanyalah tiga gunung, tiga kapitan, dan tiga maresi, yakni Amalatuei, Wainusalaut, danAmarumahtena. “Soa Latuslamu” sendiri tidak diucapkan sebab menjadi bagian dari “soaAmalatuei”. Dituturkan oleh Aleks Sitanala, kepala soa Latuslamu dan ketua saniri negeri Suli,Wawancara, di Suli-Ambon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: 126322004_full.pdf - USD Repository

59

Ambon baiklah agar tidak dapat dibatasi hanya sebatas pengalaman mistik dengan

para leluhur; kebiasaan hidup para leluhur yang diwariskan turun-temurun

melainkan sejauh mana keyakinan tersebut dikonstruksi sebagai sebuah keyakinan

yang seakan-akan murni.

Tidak dapat dipungkiri bahwa adat memang menempati posisi sentral

dalam praksis hidup masyarakat Ambon. Bahkan muncul keyakinan internal

bahwa melalui adat ketertiban politik dan keharmonisan hidup akan lebih mudah

terwujud. Cara pandang semacam ini menyebabkan adat sangat dihormati dan

dijunjung tinggi. Adat sebagai warisan para leluhur bersifat mengikat dan

mewajibkan seluruh anggotanya untuk ditaati.71 Suatu nilai keutamaan yang wajib

ditaati oleh masyarakat Ambon secara turun-temurun dari generasi ke generasi.

Meski demikian perlu untuk selalu dipertimbangkan bersama adalah sumber

keyakinan tersebut; dari manakah seseorang dengan tegas membangunan

keyakinannya terhadap adat. Hal ini menjadi sangat penting untuk mengingatkan

kita untuk selalu menyadari bahwa segala-sesuatu yang diyakini kebenarannya

tidak pernah ada dengan sendirinya.

Terjadi perluasan makna adat menggiring pembicaraan mengenai adat

tidak lagi sekedar kebiasaan hidup yang merupakan warisan para leluhur; akan

tetapi secara kongkrit merujuk pada keinginan untuk menghidupkan kembali

“negeri” di wilayah kepulauan Ambon. “Negeri” dibedakan dengan model desa

yang lazim dikenal di Indonesia. Pembedaan tersebut didasari pada dua

argumentasi dasar, yakni: pertama, kata desa dalam kosmologi Ambon merujuk

71 Ibid., Hlm.5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: 126322004_full.pdf - USD Repository

60

pada unit terkecil dari “negeri” yang disebut dusun; dan kedua, raja sebagai

kepala pemerintahan negeri yang dipercaya sebagai representasi kehadiran para

leluhur yang tidak dapat tergantikan oleh seseorang yang bukan berasal dari

turunan raja.

Cara pandang semacam ini sangat mempengaruhi keinginan para raja

menolak kebijakan negara mengenai undang-undang pemerintahan desa di

Ambon. Persoalannya, apakah antusiasme para raja dalam memperjuangkan

penetapan kembali “negeri” semata-mata demi klaim kemurnian nilai adat

ataukah sebaliknya malah mengakar pada upaya mereproduksi wacana

kolonialisme di Ambon? Pertanyaan semacam ini penting untuk diperhatikan

sebab akan sangat membantu saya dan pembaca sekalian untuk memahami

eksistensi adat Ambon. Dalam rangka memahami eksistensi adat Ambon dan

kemunculannya kembali, saya ingin menyelidiki secara singkat hegemoni wacana

kolonialisme di Ambon.

2.2.2. Adat Ambon dalam Wacana Kolonialisme

Berdasarkan laporan perjalanan yang ditulis oleh pater Marta, seorang

misionaris seperti yang dikutip oleh Leirissa dalam Ambonku (2004) menyatakan

bahwa:

Ambon tidak sama dengan Maluku, tetapi merupakan bagian darikepulauan itu. Selain Ambon, kepulauan itu terdiri dari Veranula(Hoanmoal), Homa (Oma atau Haruku), Liacer (Uliase atauSaparua), dan Ruscelao (Nusalaut). Pulau-pulau yang letak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: 126322004_full.pdf - USD Repository

61

berdekatan itu sebagian berada di bawah Portugis dan sebagianlagi di bawah kekuasaan kafir dan Islam.72

Penegasan pater Marta tidak sebatas menegasi posisi demografi kota

Ambon, akan tetapi yang lebih penting adalah posisi pemerintah kolonial

(Portugis) selama berkuasa di Ambon. Secara etimologis kata Ambon sendiri

berasal dari bahasa Portugis, “Cidado de Amboyno” yang berarti “kota di pulau

Amboina” yang merupakan salah satu bagian penting dari benteng “Nossa

Senhora da Anunciada” (Kota Laha).73 Keberadaan benteng “Nossa Senhora da

Anunciada” yang didirikan pada 1575 menjadi salah satu bagian penting dari

sejarah perkembangan kolonialisme di Ambon. Benteng tersebut tidak sekedar

difungsikan sebagai pusat pertahanan Portugis di kota Ambon, akan tetapi

menjadi manifestasi kekuasaan kolonial di Ambon sejak 1515.

Kota Ambon di bawah kendali kekuasaan Portugis dimanfaatkan untuk

meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dari perdagangan cengkeh; termasuk

proyek evangelisasi Maluku melalui Fransiscus Xaverius, seorang misionaris dari

Ignatius Lojola pada 1546.74 Kekuasaan Portugis di Ambon semakin meluas

ketika Andrea Furtado, tiba di Ambon pada 9 Februari 1602. Selain memaksa para

raja di Jawa untuk hanya boleh berdagang dengan pemerintah Portugis; Furtado

ikut mendukung upaya kekristenan dengan memperluas daerah jajahan dan

konversi iman penduduk lokal melalui para raja (di antaranya adalah raja

72 R. Z. Leirissa, J. A. Pattykaihatu, H. Luhukay, Usman Talib, dan S. Maelissa (2004), Ambonku:Doeloe, Kini, Esok, Ambon: Pemerintah Kota Ambon, Hlm. 2173 Ibid.74 Georgius Evergardus Rumphius, Sejarah Ambon: peristiwa-peristiwa penting, baik dalam masadamai maupun masa perang sejak Nederlandsche Oost Indische Compagnie berkuasa di Amboina,Terj. Frans Rijoly dari judul asli De Ambonsche Historie, Hlm. 7.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: 126322004_full.pdf - USD Repository

62

Nusaniwe dan raja Urimesing) ketika berhasil di bawah masuk ke dalam benteng;

termasuk rencana pembentukan sebuah dewan yang keanggotaannya terdiri dari

para raja.75

Apakah upaya-upaya semacam ini mencerminkan keberpihakan

pemerintah kolonial (Portugis) terhadap penduduk Ambon? Pada kenyataannya

apa yang diwacanakan oleh Portugis mengakar pada agenda penaklukan terhadap

penduduk Ambon. Nyatanya sejak abad ke-16 semua urusan pemerintahan di

Ambon masih tetap berada di bawah kendali Portugis melalui Sanco de

Vasconselos, seorang komandan pasukan (capitao) yang berdiam dalam benteng

“Nossa Senhora da Anunciada” (kota Laha).76 Secara khusus agenda

pembentukan sebuah dewan yang keanggotaannya terdiri dari pada raja pada

kenyataannya menjadi strategi taktis untuk bisa dengan mudah mengendalikan

dan mengawasi seluruh aktivitas penduduk lokal Ambon.77 Peran para raja meski

ada akan tetapi masih sebatas perpanjangan tangan pemerintah Portugis.

Di sisi lain terdapat perlawanan dari penduduk lokal, akan tetapi dominasi

kekuasaan pemerintah kolonial Portugis tidak surut. Wacana kolonialisme justru

semakin mengakar dalam masyarakat. Hal ini ditandai dengan adanya semacam

strukturisasi sosial masyarakat Ambon di era kolonial. Secara hirarkis orang-

orang Portugis (casado) menjadi kelompok kelas satu dan diikuti oleh kelompok

pendatang seperti kaum“Mahardhika/Mardika” yang tiba di Ambon pada 1575,

75 Georgius Evergardus Rumphius, Sejarah Ambon, Hlm. 11-1476 R. Z. Leirissa, J. A. Pattykaihatu, H. Luhukay, Usman Talib, dan S. Maelissa (2004), Ambonku,Hlm. 2577 Ibid., Hlm. 26

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: 126322004_full.pdf - USD Repository

63

serta penduduk lokal Ambon sendiri seperti Hatiwe, Tawiri, Halong, Nusaniwe,

Urimeseng, Waai, dan Soya.78 Kondisi semacam ini bertahan terus sampai pada

kedatangan VOC.

Anehnya perlakukan terhadap Portugis dan VOC sangat berbeda.

Kehadiran VOC di Ambon disambut baik oleh para raja seperti yang dituliskan

oleh Rumphius dalam catatan sejarahnya mengenai kota Ambon. Kondisi

semacam ini tentu bukan tanpa alasan. Terdorong oleh keinginan kuat untuk

mengusir pemerintah Portugis dari Ambon, para raja menggalang dukungan

politik dari VOC. Dari sini terbentuk semacam persekutuan politik antara

penduduk lokal Ambon dengan pemerintah Belanda. Melalui VOC wajah Ambon

sungguh-sungguh diubah menjadi pusat kekuasaan kolonial dengan tujuan agar

bisa dengan muda mengawasi jalur perdagangan cengkeh.

Tepatnya pada 21 Februari 1605 VOC tiba di Hitu-Ambon dan berhasil

merebut benteng Portugis di Laha.79 Benteng yang dahulu bernama “Nossa

Senhora da Anunciada” setelah jatuh ke tangan VOC pada 1605 diubah menjadi

benteng Victoria. Beteng tersebut di masa kekuasaan VOC dijadikan sebagai

pusat pemerintahan di bawah kepemimpinan gubernur Fredrik Houtman. Untuk

menarik dukungan warga Ambon, VOC membentuk suatu sistem pemukiman

bagi penduduk yang dilengkapi oleh pembangunan fasilitas jalan-jalan, rumah,

78 Ibid., Hlm. 22-2579 Georgius Evergardus Rumphius, Sejarah Ambon, Hlm. 21; Lihat juga R. Z. Leirissa, J. A.Pattykaihatu, H. Luhukay, Usman Talib, dan S. Maelissa (2004), Ambonku, Hlm. 29

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: 126322004_full.pdf - USD Repository

64

pasar, dan gedung-gedung seperti pusat pemerintahan dan rumah sakit.80 Bahkan

demi menjaga persekutuan dengan penduduk lokal, VOC membentuk

“Landraad”, sebuah dewan yang keanggotaannya terdiri dari para pemimpin Uli

(kepala negeri)”.81 Tujuannya tidak berbeda jauh dengan Portugis yakni agar bisa

dengan mudah mengawasi seluruh aktivitas penduduk lokal. Para pemimpin Uli

pun dijadikan sebagai kaki tangan bagi pemerintah kolonial.

Beberapa kebijakan lainnya adalah “heerendiensten” (kerja wajib) baik

untuk kepentingan VOC maupun kebutuhan para kepala negeri. Sistem

“heerendiensten” dikukuhkan dengan diberlakukan sistem Dati, yakni sistem

kerja wajib dari masing-masing keluarga di sebidang tanah dalam lingkup negeri

demi kepentingan kepala negeri dan benteng-benteng VOC, termasuk perbekalan

untuk “hongietochten” (perjalanan dinas untuk mengawasi negeri-negeri di

Ambon.82 Kondisi semacam ini bertahan hingga abad ke-19 ketika Belanda

memasuki Ambon.

Stratifikasi sosial semakin terkukuhkan melalui sistem pengelompokan

masyarakat ke dalam tiga kelompok, yakni “burger” (warga kota), “Inlandsche

Burger” (warga kota pribumi), dan “Europesche Burger” (warga kota Belanda).83

Demikian pula kondisi pemerintahan sipil. Meski wajah pemerintahan semakin

nampak melalui gouvernement der Molukken, akan tetapi sebetulnya hanya

80 R. Z. Leirissa, J. A. Pattykaihatu, H. Luhukay, Usman Talib, dan S. Maelissa (2004), Ambonku,Hlm. 42-5481 Ibid., Hlm. 5682 Ibid.83 Ibid., Hlm. 64

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: 126322004_full.pdf - USD Repository

65

merupakan strategi pemerintah kolonial untuk dapat mengatur dan mengawasi

seluruh aktivitas penduduk lokal. Keterlibatan para pemimpin Uli dan kepala

“negeri adat” tidak lebih dari kaki tangan pemerintah kolonial. Keterlibatan para

pemimpin Uli berfungsi sebagai representasi kekuasaan pemerintah kolonial

beserta seluruh agenda politiknya.

Meski wacana kolonialisme di sadari oleh masyarakat akan tetapi hal ini

tetap diterima seakan-akan tanpa persoalan. Hubungan politik antara penduduk

lokal dengan pemerintah kolonial Belanda seakan-akan menjadi prioritas utama.

Ironinya kontrak politik dengan pemerintah Belanda malah membuat orang lupa

diri ketika pemerintah kolonial memberikan sejumlah keuntungan politik kepada

penduduk lokal. Keuntungan politik tersebut hadir dalam bentuk status warga kota

yang dapat memungkinkan seorang warga pribumi menjadi pegawai pemerintah

yang bekerja di dalam benteng, dan dapat melakukan berbagai aktivitas seperti

yang dilakukan oleh warga kota lainnya.84

Mencermati situasi Ambon dalam wacana kolonialisme semacam ini, tidak

mengherankan jika wacana kolonialisme memberikan kenikmatan tersendiri

kepada penduduk lokal Ambon. Kenikmatan akan keistimewaan hak penduduk

lokal dalam dinamika kehidupan sosial dan politik di Ambon. Termasuk

eksistensi adat dan “negeri” yang ramai dibicarakan selama ini di Ambon. Apa

yang disebut adat tidak lebih dari produk wacana orientalis dalam merumuskan

dan mendefenisikan masyarakat Ambon. Rasionalitas barat memiliki peranan

besar dalam merumuskan adat beserta praktek-praktek kulturalnya. Sayangnya

84 Ibid., Hlm. 68

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: 126322004_full.pdf - USD Repository

66

polemik seputar peran penduduk lokal dalam eforia wacana kebangkitan adat di

Ambon tidak dibarengi oleh kesadaran kritis terhadap efek kekuasaan wacana

kolonialisme semacam ini. Konsekuensinya pembicarakan mengenai adat dan

kebangkitannya tidak ditempatkan sebagai upaya untuk meresistensi kekuasaan

dominan; melainkan terdorong untuk mereproduksi dan mengukuhkan mekanisme

kekuasaan dominan.

2.2.3. Polarisasi Agama dan Adat di Ambon

Di sisi lain, salah satu unsur penting yang tidak dapat diabaikan adalah

pengaruh kekristenan.85 Dominasi kekristenan terjadi melalui ajaran dan moralitas

yang lambat laun mempengaruhi praktek adat. Agama dan adat semakin sulit

dipisahkan. Terjadi polarisasi antara agama dan adat dalam praksis hidup sosial di

Ambon. Ada semacam pengabungan antara modernisme melalui agama dengan

tradisionalisme melalui adat. Salah contoh kongkrit yang saya jumpai ketika

berada di Ambon adalah keterlibatan pemuka agama dan tokoh adat dalam ritual

adat seperti dalam gambar berikut ini:

85 Frank L. Cooley (1962), Ambonese Adat: a general description, Hlm. 2

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: 126322004_full.pdf - USD Repository

67

Gambar 1: Pendeta bersama para kepala soa dalam upacara

adat di Baileo (rumah adat).

Polarisasi agama dan adat dalam perkembangannya memicu pro-kontra

antara golongan muda dan tua terkait wacana purifikasi kosmologi adat

“siwalima”. Hatib Adul Kadir dalam keteranganya menyatakan bahwa: “golongan

muda yang berpendidikan dan mempunyai orientasi nasionalisme berjuang untuk

melucuti agama dari keterikatan adat karena selalu berhubungan dengan dunia

tahyul, gaib, irasional, dan mistik. Akan tetapi golongan tua yang masih sangat

terikat dengan nilai-nilai tradisional justru tidak sependapat dengan golongan

muda.”86 Imaji nasionalisme tentang keindonesiaan dan tradisionalisme tentang

adat dipertentangkan. Namun yang lebih menarik dari pertentangan tersebut

86 Hatib Abdul Kadir, “Sapa bale batu, batu bale dia: politik revivalisme tradisi siwalima orangAmbon pasca konflik” dalam jurnal Lakon, Vol.1 Juli 2012, Hlm. 66

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: 126322004_full.pdf - USD Repository

68

adalah keinginan untuk tetap berada dalam bayang-bayang wacana kolonialisme

dari pada dominasi Indonesia seperti yang ditegaskan oleh Hatib Abdul Kadir.87

Keinginan untuk tetap berada dalam wacana kolonialisme dari pada

dominasi Indonesia tidak terlepas dari warisan ideologi kolonial Belanda. Kondisi

semacam ini mencerminkan kenikmatan penduduk lokal terhadap wacana

kolonialisme Belanda. Hal ini ditegaskan pula oleh Dieter Bartles, seorang

peneliti berkebangsaan Belanda. Menurut Dieter Bartles, sejak pemerintahan

kolonial Belanda, penduduk lokal Ambon (terutama kelompok kristen) memiliki

hubungan istimewa dengan pemerintah kolonial Belanda. Hal ini ditandai oleh

kebijakan pemerintah kolonial Belanda merekrut kebanyakan orang Kristen

Ambon untuk bekerja entah sebagai tentara dan administrator, bahkan diberikan

izin khusus untuk bersekolah di sekolah Belanda sampai jenjang tertentu yang

bagi kelompok Muslim Ambon sangat dilarang.88 Kesempatan semacam ini

lambat laun membentuk sikap superioritas di kalangan penduduk lokal, terutama

kelompok Kristen Ambon.

Seiring dengan perjalanan waktu kelompok Muslim Ambon lambat laun

mulai menempati jajaran birokrasi politik. Terutama ketika diimplementasikannya

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1975 tentang pemerintahan daerah. Implementasi

kebijakan tersebut memberikan peluang besar bagi kelompok Muslim Ambon

87 Ibid.88 Dieter Bartels, Tuhanmu Bukan lagi Tuhanku: Perang Saudara Muslim-Kristen di MalukuTenggah (Indonesia) setelah hidup berdampingan dengan toleransi dan kesatuan Etnis yangberlangsung selama setengah Milenium, Terj. Ani Kartikasari dari judul Your God is No LongerMine: Moslem-Christian Fratricide in the Central Moluccas (Indonesia) after a Half-Millenniumof Tolerent Co-Existence and Ethnic Unity, Hlm. 5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: 126322004_full.pdf - USD Repository

69

yang selama itu kurang diperhitungkan dalam struktur birokrasi politik di Maluku.

Tidak hanya kepada penduduk Muslim Ambon; akan tetapi menjadi peluang juga

bagi kelompok Muslim pendatang yang ada di Ambon. Perubahan-perubahan

semacam ini berdampak pada pergeseran kepemimpinan politik yang selama ini

lebih banyak di dominasi oleh penduduk lokal Kristen. Terutama kepemimpinan

politik yang didasarkan pada ikatan adat. Model demokrasi liberal yang lebih

menekankan nilai kebebasan individu dan kesetaraan hak menimbulkan

kegelisahan di kalangan tokoh adat dan elit lokal. Jabatan politik bukan lagi

menjadi kekuasaan mutlak melainkan menjadi hak setiap warga negara.

Perubahan-perubahan konstelasi sosial politik Ambon semacam ini

merembes sampai pada level pemerintahan “negeri” ketika status pemerintahan

“negeri-negeri” dikonversi oleh negara menjadi desa berdasarkan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Pada kenyataannya

perubahan ini memicu reaksi protes di kalangan para pemangku adat di Ambon.

Implementasi kebijakan nasional tentang desa diklaim memiliki peranan besar

dalam penghancuran pranata adat di Ambon. Pada titik ini, kemunculan wacana

kebangkitan adat di Ambon bisa ditempatkan sebagai upaya untuk melindungi dan

menjaga keluhuran nilai-nilai adat yang diwariskan oleh para leluhur dari generasi

ke generasi. Sayangnya, untuk masa sekarang sikap ormat terhadap adat tidak

sebatas mencerminkan ekspresi religius masyarakat Ambon terhadap para leluhur;

melainkan cenderung difungsikan sebagai arena kontestasi kekuasaan politik dari

pada memperjuangkan kelestarian nilai-nilai adat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: 126322004_full.pdf - USD Repository

70

2.2.4. Adat dan Hubungan Darah

Di tengah-tengah kegamangan masyarakat Ambon, kini adat dijadikan

sebagai tempat berpijak. Menghidupkan kembali hukum adat yang diwariskan

secara turun-temurun dan terlegitimasi melalui ikatan hubungan darah. Darah

melambang relasi sosial dan elemen penting dari identitas. Untuk itu tidak dapat

dipungkiri bahwa hubungan darah secara objektif juga merupakan hubungan

kultural untuk menegaskan identitas.

Senada dengan itu, Schneider seperti yang dikutip oleh Lawler dalam

Identity: sociological perspectives (2014) menyatakan bahwa:

A blood relationship is a relationship of identity. People whoare blood relatives share a common identity, they believe. Thisis expressed as ‘being of the same flesh and blood’. It is abelief in common biological constitution, and aspects liketemperament, build, physiognomy and habits are noted assigns of this shared biological makeup, this special identity ofrelatives with each other. Children are said to look like theirparents, or to ‘take after’ one or another parent or grandparent;these are conforming signs of common biological identity. Aparent, particularly a mother, may speak of a child as ‘a partof me (Schneider, 1968: 25).89

Meski tetap menyadari bahwa hubungan darah bukanlah satu-satunya

faktor penentu identitas seseorang, akan tetapi gagasan Schneider yang dirujuk di

sini memungkinkan kita untuk memahami bagaimana masyarakat Ambon

merumuskan realitas dirinya dalam konteks wacana kebangkitan adat. Hubungan

89 “Hubungan darah adalah hubungan identitas. Orang yang memiliki hubungan darah percayabahwa memiliki kesamaan identitas. Hal ini diekspresikan sebagai ‘being’. Ada pemahamanbahwa watak, kebiasaan, bentuk badan itu bisa diturunkan secara biologis. Anak-anak seringdikatakan mirip dgn orang tua mereka; hal-hal inilah yg meyakinkan adanya identitas biologis ygsama. Seorang ibu bahkan bisa menganggap anaknya sbg ‘bagian dari dirinya.’ (Schneider,1968: 25)”. Steph Lawler (2014), Identity, Hlm. 51

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: 126322004_full.pdf - USD Repository

71

darah dalam wacana kebangkitan adat Ambon tidak sekedar menegasikan

signifikansi hubungan kekerabatan, akan tetapi melandasi pula keistimewaan hak

penduduk lokal Ambon pada masa kini.

Hubungan darah melandasi cara penduduk lokal Ambon membedakan diri

dengan warga pendatang seperti etnis Tanimbar, Kei, Jawa, Arab, Cina, Bugis,

Buton dan Makasar. Hubungan darah juga melandasi penduduk lokal Ambon

membedakan diri sebagai anak adat dengan warga pendatang sebagai bukan anak

adat. Cara pandang semacam ini berfungsi secara efektif dalam konstruksi wacana

kembangkitan adat melalui pembicaraan seputar hak dan peran penduduk lokal

Ambon dalam dinamika politik lokal Ambon. Salah satu persoalan yang dihadapi

masyarakat Ambon saat ini adalah: apakah mereka yang bukan anak adat dapat

memimpin di daerah adat?

Di sisi lain, perlu disadari bahwa relasi antara adat dan hubungan darah

dalam kosmologi Ambon secara spesifik mengakar pada cara pandang struktural

yang tersusun secara hirarkis dari “rumahtau”, “soa”, “hena atau aman”, dan

“negeri”. Unsur yang pertama adalah “rumahtau”. Dalam paham orang Ambon

istilah “rumahtau” merujuk pada institusi keluarga yang keanggotaannya berasal

dari satu keturunan dan tersusun berdasarkan garis keturunan bapak.90 Fungsi

“rumahtau” adalah menyatukan tiap-tiap individu dengan status dan

wewenangnya masing-masing. Konsekuensinya, seseorang yang bukan

merupakan anggota “rumahtau” tidak memiliki hak apapun dalam “rumahtau”.

90 Ziwar Effendi (1987), Hukum Adat Ambon-Lease, Jakarta: Pradnya Paramita, Hlm. 26

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: 126322004_full.pdf - USD Repository

72

Perluasan “rumahtau” terjadi melalui perkawinan. Melalui perkawinan

seorang anggota “rumahtau” akan memisahkan diri dari orang tuanya dan

membentuk “rumahtau” baru. Akan tetapi temuan Odo Deodatus Taurn

sebagaimana terungkap dalam Patasiwa dan Patalima (1918) penting untuk

dipertimbangkan. Paling tidak memahami praktek adat dalam perkawinan tidak

luput dari konstruksi sosial. Dalam keterangannya, Odo Deodatus Taurn

menyatakan bahwa sejak dahulu terutama dalam persekutuan “ulilima” seseorang

yang sudah menikah tidak akan diperbolehkan tinggal sendiri jika belum melunasi

harta kawin pihak perempuan. Untuk itu bagi kaum pria yang belum sanggup

membayar harta kawin maka diwajibkan bekerja untuk keluarga istrinya sampai

anaknya lahir sebagai tebusan harta kawin kepada pihak perempuan.91 Perluasan

“rumahtau” tidak hanya berkaitan dengan ritual perkawinan dalam masyarakat

adat. Pada masa sekarang ide “rumahtau” telah dimaknai secara baru sebagai

sebuah ideologi politik. Hal ini tercermin dalam ide “demokrasi rumahtau

perintah” yang merujuk pada kewenangan seseorang dapat dicalonkan dan

dipilih sebagai raja atau kepala pemerintahan hukum adat pada level “negeri”.

Lapisan berikutnya adalah “Uku” atau “Huku”. “Uku” merupakan bentuk

rumah tangga baru. Pemisahan ini terjadi selain karena anak-anak dalam keluarga

induk telah menganjak dewasa, telah menikah atau karena keterbatasan daya

tampung rumah; praktek semacam mengandung makna tersendiri. Terutama

terkait posisi dan kedudukan seorang “Upu”. Seorang “Upu” memiliki kekuasaan

91 Odo Deodatus Taurn (1918), Patasiwa dan Patalima: Tentang Pulau Seram di Maluku danPenduduknya, sebuah sumbangan untuk ilmu bangsa-bangsa, Terj. Frans Rijoly dari judul asliPatasiwa dan Patalima: Vom Molukkeneiland Seram und seinem Bewohnern, Hlm. 240

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: 126322004_full.pdf - USD Repository

73

mutlak atas seluruh anggota “rumahtau”. Untuk itu dalam proses pembentukan

rumah tangga baru sangat perlu untuk mendapatkan izin dari “Upu”.92

Disebabkan oleh ketidakmampuan “Upu” dalam mengawasi rumah tangga-rumah

tangga baru maka seorang “Upu” akan mendelegasikan kekuasaannya kepada

“Tamaela”. Seorang “Tamaela” biasanya sangat ditaati sebab jika tidak akan

mendapatkan kutukan dari para leluhur.

Lapisan berikutnya adalah “Soa”. “Soa” merupakan persekutuan teritorial

terdiri dari persekutuan rumah tangga baru yang berbeda-beda dan mendiami

suatu wilayah tertentu di bawah pimpinan kepala soa. Melalui “soa” terbentuklah

“negeri” yang dipimpin oleh seorang raja. Raja merupakan seorang pejabat

tradisional yang bertindak sebagai kepala adat sekaligus sebagai kepala

pemerintahan dan bertanggungjawab untuk mendidik dan mewariskan adat

kepada generasi-generasi berikutnya.93 Seorang raja wajib mengenal warganya

dan “negeri” lain yang merupakan pela atau yang memiliki ikatan persahabatan

antara masyarakat suatu “negeri” dengan “negeri” lainnya.94

Ikatan persaudaraan ini diyakini telah ditetapkan oleh para leluhur sebagai

komitmen hidup bersama yang secara simbolik dinyatakan seperti dengan

meminum darah. Kesepakatan antar “negeri” lazim dikenal dengan sebutan

“hukum pela”. Hukum pela yang mengatur mengenai:

92 Ziwar Effendi (1987), Hukum Adat Ambon-Lease, Hlm. 2793 Abubakar Riry & Pieter G Manoppo (2007), Menatang Badai, Menabur Damai: Napak TilasRaja dan Latupati Merajut Kembali Jaringan Basudara, Hlm. 2094 Abidin Wakano (2012), “Maluku dan Keindahan Sejarahnya, Harmoni kehidupan MasyarakatMaluku yang berbasis kearifan lokal” dalam Josep Antonius Ufi & Hasbulla Assel (Edt), MengaliSejarah dan Kearifan lokal Maluku, Jakarta: Cahaya Pineleng, Hlm. 7-8; Lihat juga AbubakarRiry & Pieter G Manoppo (2007), Menatang Badai, Menabur Damai, Hlm. 133

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: 126322004_full.pdf - USD Repository

74

1)Sesama pela tidak diperbolehkan menikah/kawin satu samalain hingga keputusan alam (meninggal dunia). Demikian pulaseorang anak perempuan yang kawin keluar pun tidakdiperbolehkan; 2). Memikirkan saja untuk jatuh cinta tidakdiperbolehkan sebab akan mendapatkan kutukan alam dan jiwadatuk-datuk akan menuntut dan memanggilnya; 3)Barang yangmenjadi kepunyaan Tounussa (kakak) juga menjadi milikLounussa (adik) dan juga sebaliknya; 4) Tidak boleh manarucuriga/ dendam atau amarah satu kepada yang lain, berdusta,terlebih-lebih menipu; 5) Harus saling membantu satu sama lain,permintaan jangan ditolak, perjanjian jangan diabaikan, danharus menepati janji; 6)Tidak boleh menolong orang lain lebihdari pada pelamu; 7)Tidak boleh meninggalkan/membiarkanyang sedang bersusah, membiarkan yang sedang susah sekalipunjangan; 8)Tidak boleh mempersalahkan dan dipersalahkan didepan umum; 9)Harus saling menyapa bila sedang bertemu dijalan dan lain-lain; 10)Tuhan Allah adalah bapa TounussaAmalatu dan Lounussa Amalatu yang menjadi pohon pela. TuhanYesus itulah saudara sulung Tounussa Amalatu dan LounussaAmalatu. Roh Kudus itulah penghibur dan pengingatan TounussaAmalatu dan Lounussa Amalatu dalam hidupmu. Pela atauperjanjian Tounussa/Lounussa ini tetap hidup untuk selamanya.95

Agar terus mempertahankan ikatan kekerabatan yang telah ditetapkan

bersama dalam hukum pela maka secara rutin dilaksanakan ritual panas pela

dengan melibatkan setiap rumah tangga pada masing-masing “negeri”. Dalam

perkembangannya, praktek semacam ini dimaknai secara lebih luas dengan

menonjolkan ide “pela gandong” untuk mencerminkan semangat persaudaraan.

2.2.5. Adat dan Persekutuan Teritorial

Selain hubungan darah, cara masyarakat Ambon membicarakan adat

adalah menghubungkannya dengan klaim kedaulatan teritorial. Ikatan teritorial

95 C. M. Pattiruhu (1997), Seri Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon, Ambon: LembagaKebudayaan Daerah Maluku, Hlm. 101

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: 126322004_full.pdf - USD Repository

75

menjadi unsur pembeda antara penduduk lokal Ambon dengan warga pendatang.

Ikatan teritorial ini secara ekplisit termanifestasi dalam ide “siwalima” yang

merujuk pada persekutuan suku bangsa yang membentuk kesatuan sosial

tersendiri dan mengklaim diri berasal dari satu keturunan.96 “Siwalima” sebagai

suku bangsa ini terbagi juga atas dua kelompok teritorial yang disebut

persekutuan sembilan atau “ulisiwa” dan persekutuan lima atau “ulilima”. Setiap

persekutuan terdiri atas sejumlah “soa”. Dalam persekutuan “ulisiwa” terdapat

sembilan “soa” dan persekutuan “ulilima” terdapat lima “soa”.

Istilah “siwalima” selain menegasi ikatan atau persekutuan teritorial, di

sisi lain “siwalima” memiliki beragam penafsiran. Mula-mula “siwalima”

dipakai untuk membedakan aktivitas individu dalam masing-masing persekutuan,

baik persekutuan sembilan maupun persekutuan lima seperti yang diungkapkan

oleh Odo Deodatus Taurn dalam “Patasiwa” dan “Patalima” (1918).

Menurutnya: pengelompokkan masyarakat adat (seperti di Seram) dilakukan

berdasarkan aktivitas individu yang hidup dalam setiap persekutuan, baik

“patalima”, “patasiwa”, atau pun “patasiwa putih” dan “patasiwa hitam”.97

Secara khusus mengenai kelompok “patasiwa putih” dan “patasiwa

hitam” memiliki karakteristik yang berbeda. Misalnya kelompok “patasiwa

hitam” ditandai dengan aktivitas mencacah (atau mentato) tubuh sebagai simbol

96 J. Keuning (1973), Sejarah Ambon Sampai Pada Akhir Abad Ke-17, Jakarta: Bharatara, Hlm. 4-1797 Secara politis model pengelompokkan masyarakat Ambon dan Seram terdiri atas 4 (empat)kelompok yakni: kelompok pertama yang mendiami wilayah seram timur, kelompok adalahpatalima, kelompok ketiga adalah patasiwa putih, dan kelompok keempat adalah patasiwahitam....Lihat juga dalam Odo Deodatus Taurn (1918), Patasiwa dan Patalima, Hlm. 49-50

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: 126322004_full.pdf - USD Repository

76

keanggotaan. Praktek semacam berkaitan dengan keanggotaan “Kakehan”, yakni

sebuah organisasi rahasia dan wadah pendidikan tradisional yang bertujuan untuk

membina para pemuda menjadi orang-orang yang bersikap patriotik, cerdas,

terampil dan berbudi luhur.98 Akan tetapi tanpa di sadari, model pengelompokan

masyarakat semacam ini malah menegaskan keunggulan identitas dan reputasi

kelompok “patasiwa hitam” dari para kelompok “patasiwa putih”.

Kesatuan “patasiwa hitam” dan “patasiwa putih” kemudian pecah

sehingga menyebabkan banyak kelompok “patasiwa putih” memisahkan diri.

Senada dengan itu, Frank L. Cooley dalam Ambonese adat (1962)

mengungkapkan bahwa: “patasiwa putih” pada awalnya berada dalam kesatuan

teritorial dengan kelompok “patasiwa hitam”, akan tetapi mengalami perpecahan

dan melakukan migrasi ke wilayah “patalima”.99 Migrasi tersebut melibatkan

juga suku Pataola dan Hatamalu. Suku Pataola terdiri dari Karlutu Kara, Karlutu

Warasiwa, Marehunu, Rumah Olat dan Neuetetu; sedangkan suku Hatamalu

terdiri dari Lumaweye, Pauni, Herelau dan Horali yang tersebar di utara

Patamanue, Palapa, Jalahatani dan gabungan dari Haya sampai Latan di pantai

selatan pulau Seram.100

Ide “siwalima” semakin mengalami perluasan makna. Sejak zaman

kolonial, penyebutan “siwalima” sebagai persekutuan adat dikaitkan pula dengan

upaya menentang kekuasaan kolonial Belanda di Maluku, terutama di Seram dan

98 Badut W. Andibya dkk (2008), The Wonderful Islands Maluku: Membagun kembali Malukudengan nilai-nilai dan khazana lokal, serta prinsip Enterpreneurial Government, beragam potensidan Peluang Investasi, Jakarta: Gibon Books, Hlm. 9199 Fank L.Cooley (1962), Ambonese Adat, Hlm. 15100 Odo Deodatus Taurn (1918), Patasiwa dan Patalima, Hlm. 51

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: 126322004_full.pdf - USD Repository

77

Ambon. Bahkan perluasan makna “siwalima” terjadi pula ketika agama Barat

mulai masuk di Maluku. Pemahaman dan penggunaan “siwalima” mengalami

perubahan. Tidak lagi sebatas persekutuan adat melainkan difungsikan untuk

mengelompokan masyarakat berdasarkan agama. Persekutuan “siwa” kemudian

diidentikkan dengan Kristen dan persekutuan “lima” yang identik dengan Islam.

Dan dalam perkembangannya sekarang, ide “siwalima” kemudian menjadi

sangat berkembang ketika “siwalima” dipersepsikan sebagai semacam

persekutuan politik. Ada keyakinan bahwa “siwalima” sebagai akar budaya

masyarakat Maluku dapat menjadi dasar untuk membangun masa depan Maluku,

kerukunan dan perdamaian Maluku. Itulah sebabnya “siwalima” kemudian

dijadikan sebagai modal sosial dan modal politik bagi masyarakat dan pemerintah

provinsi Maluku dalam upaya pembangunan daerah Maluku.

Narasi pembentukan “siwalima” sebagai modal sosial dan politik dalam

membagun tentu tidak serta merta diterima begitu saja. Konstruksi “siwalima”

yang cenderung diesensialkan seolah-olah menggiring masyarakat pada satu

identitas tunggal dengan cara mengintegrasikan perbedaan-perbedaan yang ada.

Artinya, dengan menegasikan “siwalima” sebagai satu sistem budaya yang

merepresentasikan identitas masyarakat Maluku sebetulnya menegaskan upaya

kita untuk menafikan perbedaan dalam masyarakat yang makin plural.

Bahkan kemunculan wacana “siwalima” menjadi semakin problematis

dalam sejak tahun 2000/2001. Terjadi semacam penggabungan antara wacana

“siwalima” dengan sejumlah agenda pemerintah terkait upaya penerapan unsur-

unsur adat dalam wacana pembangunan daerah. Tepatnya pembangunan berbasis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: 126322004_full.pdf - USD Repository

78

budaya lokal. Sayangnya dalam proses konstruksi “siwalima” semacam ini, tanpa

disadari penggunaan “siwalima” lambat-laun membidik klaim-klaim primordial

adat. Salah satu isu penting dari pembangunan berbasis budaya lokal adalah

munculnya wacana penetapan kembali “negeri” di Maluku, secara khusus di

Ambon.

2.3. Membidik Penetapan “Negeri” Adat di Ambon

Dalam lokalitas Ambon, wacana tentang adat semakin menggeliat

semenjak masyarakat Ambon berusaha bangkit dari keterpurukan akibat konflik

1999. Dengan kata lain, kemunculan kembali adat sebagai sebuah persoalan yang

penting dan relevan untuk dibicarakan mulai terjadi sejak konflik 1999. Konflik

sosial pada 1999 sungguh-sungguh menjadi momentum kebangkitan adat. Muncul

antusiasme masyarakat terhadap adat istiadat menjadikan adat seakan-akan

bangkit dari tidurnya yang panjang.

Kondisi semacam ini patut mendapatkan perhatian serius ketika hendak

berbicara tentang wacana kebangkitan adat di Ambon. Penting untuk

dipertimbangkan di sini adalah: Apakah konflik yang terjadi semata-mata hanya

karena benturan agama sebagaimana yang diamini oleh kebanyakan orang?

Sejauh mana konflik yang terjadi mempengaruhi antusiasme masyarakat untuk

kembali ke adat? Apakah antusiasme masyarakat untuk kembali ke adat

mencerminkan kehendak seluruh anggota masyarakat ataukah sebaliknya hanya

keinginan segelintir orang?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: 126322004_full.pdf - USD Repository

79

Kemunculan adat berdampak pada perubahan konstelasi sosial politik. Ide

awal kemunculan adat sebagai bagian integral dari upaya mewujudkan kembali

perdamaian akibat konflik, lambat laun mengalami pergeseran dengan membidik

penetapan kembali “negeri” sebagai pemerintahan hukum adat di Provinsi

Maluku, secara khusus di Ambon. Adat yang awalnya merupakan tradisi dan

kebiasaan para leluhur kemudian difungsikan sebagai instrumen penyelesaian

konflik sekaligus sebagai dasar untuk memperjuangkan penetapan “negeri-

negeri” adat di Ambon. Penetapan kembali eksistensi “negeri” merupakan

sebuah bentuk penolakkan terhadap implementasi Undang-undang tentang

pemerintahan desa karena diklaim memiliki peranan besar dalam penghancuran

“negeri-negeri” di Ambon.

Sistem penyeragaman budaya melalui kebijakan pemerintahan desa yang

mengedepankan kebebasan individu dan kesetaraan dalam kehidupan berpolitik

menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat Ambon. Pada titik ini persinggungan

kepentingan antara pusat dan daerah; Jakarta dan Ambon mencuat dan

melahirkan kekuatan baru yakni adat. Adat dipakai sebagai identitas kolektif

dalam perjuangan bersama. Adat dijadikan pula sebagai instrumen kekuasaan

untuk memobilisasi massa melawan negara. Dengan demikian, adat bukan lagi

sekedar tradisi melainkan mulai menyebar secara produktif dan berlaku universal

sebagai sebuah kekuatan politik di tengah-tengah kondisi masyarakat yang

semakin plural.

Upaya penetapan kembali “negeri” tidak terlepas dari peran para raja.

Fungsi raja dalam konteks ini tentunya tidak dibatasi pada fungsi tradisional raja.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: 126322004_full.pdf - USD Repository

80

Fungsi seorang raja tidak sebatas penjaga adat yang bertanggung jawab kepada

masyarakat melalui badan saniri, akan tetapi sebagai “polisi adat”. “Polisi adat”

dalam pengertian bahwa: pengetahuan atas adat dan kemampuan untuk berbicara

atas nama adat menjadikan seorang raja bukan sekedar mengatur segala bentuk

ketidaknormalan dalam adat, akan tetapi punya kebutuhan untuk mengatur adat

melalui wacana adat yang berguna bagi masyarakat.101 Fungsi dan peran raja

semacam ini, sesungguhnya tidak menggeser peran tradisional seorang raja

melainkan semakin mengefektifkan kekuasaan raja dalam konteks kebangkitan

adat saat ini. Di sisi lain, upaya untuk menghidupkan kembali adat tidak terlepas

dari kesangsian orang Ambon terhadap warga pendatang. Tidak bersedia

membiarkan diri dipimpin oleh orang lain yang bukan berasal dari komunitas

masyarakat adat Ambon.

Persoalannya sekarang, Apakah dengan menghidupkan kembali adat

masyarakat Ambon akan semakin harmonis dan demokratis ataukah sebaliknya

upaya tersebut hanya sebatas kebutuhan dari kelompok-kelompok tertentu?

Apakah selama ini adat direpresi atau sebaliknya justru benar-benar dikondisikan

untuk mereproduksi mekanisme kekuasaan yang sedang dikritik? Pada titik ini

lagi-lagi persoalannya bukan terletak pada mendukung atau menafikan adat,

menyalahkan atau membenarkan adat, akan tetapi bagaimana adat dibicarakan?

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang adat sebetulnya

merepresentasi kebutuhan orang banyak untuk mengatur adat dengan tujuan

mengawasi individu-individu yang hidup dalam lingkaran adat.

101 Bdk., Michel Foucault (1997), Seks dan Kekuasaan, Hlm. 27

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: 126322004_full.pdf - USD Repository

81

2.4. Catatan Penutup

Bertolak dari seluruh uraian pada bab II, masyarakat Ambon sedang

diperhadapkan pada sebuah situasi dilematis. Kemunculan kembali adat

mengandung konsekuensi paradoks. Pada satu sisi, upaya merevitalisasi budaya

lokal dimaksudkan untuk tetap mempertahankan kelestarian adat dan masa

depannya; akan tetapi pada waktu yang sama mendorong masyarakat Ambon

jatuh dalam kendali wacana kekuasaan. Hegemoni kekuasaan dalam wacana

kebangkitan adat muncul ketika adat dijadikan sebagai kendaraan politik. Status

dan kekuasaan adat dilegitimasi oleh sejarah yang telah digariskan oleh para

leluhur.

Adat sebagai sebuah realitas simbolik mengikat setiap individu dan

mengandung kekuasaan serta ternaturalisasi berdasarkan tradisi yang diwariskan

turun temurun dari generasi ke generasi. Adat memuat kondisi ketidakbebasan,

kondisi kesadaran dan ketidaksadaran yang terjadi secara dialektik antara individu

dan masyarakat serta berfungsi untuk membentuk dan mengatur praktik hidup

masyarakat.102 Ada semacam struktur kognitif (atau habitus dalam pengertian

Pierre Bourdieu) yang mengikat individu-individu dalam masyarakat tanpa

disadari keberadaannya.103 Akibatnya wacana kekuasaan yang bercokol dalam

adat tidak lagi disadari keberadaannya.

102 Bdk., Bagus Takwin (2003), Akar-akar ideologi: pengantar kajian konsep ideologi dari Platohingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra, Hlm. 114103 Bdk., Pierre Bourdieu (1984), The Logic of Practice, terj. Richard Nice dari judul asli Le senspratique, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, Hlm. 28

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: 126322004_full.pdf - USD Repository

82

Adat sungguh sangat menempati posisi sentral dalam kehidupan sosial

politik di Ambon. Adat sebagai sesuatu yang adiluhung dan memiliki kuasa untuk

mengikat setiap individu di dalamnya. Akibatnya, kerja adat akan semakin

diesensialkan dengan menafikan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan

bermasyarakat. Singkatnya, sesuatu yang dianggap tidak normal dalam koridor

hukum adat sesungguhnya sangat rentang menggiring orang jatuh dalam kendali

wacana kekuasaan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: 126322004_full.pdf - USD Repository

83

BAB III

KEBANGKITAN ADAT

DALAM PRAKTEK DAN WACANA ORANG AMBON

Uraian bab III akan membahas mengenai praktek wacana kebangkitan adat

di Ambon. Mula-mula akan diuraikan mengenai kelahiran wacana kebangkitan

adat. Pembahasan mengenai kelahiran wacana kebangkitan adat akan ditempatkan

dalam kaitannya dengan peristiwa konflik sebagai momentum kebangkitan adat.

Uraian dilanjutkan dengan memperhatikan dinamika perluasan dan perkembangan

wacana kebangkitan adat. Perluasan wacana kebangkitan adat ditandai oleh

pergeseran orientasi pembicaraan masyarakat tentang adat. Pembicaraan

mengenai adat tidak lagi sebatas konflik, melainkan meluas ke arah penguatan

keistimewaan hak-hak penduduk lokal. Pada bagian akhir, saya akan

membicarakan mengenai proses identifikasi diri dalam adat dengan melibatkan

penduduk lokal Ambon maupun dan warga pendatang yang berdomisili di

Ambon.

3.1. Momentum Kebangkitan Adat di Ambon

Sebelum membahas konten wacana, alangka baiknya untuk dipahami

terlebih dahulu konteks kemunculan wacana. Konteks kemunculan wacana

penting untuk diketahui agar memungkinkan kita memahami secara jelas ruang

lingkup atau batasan wacana. Kapan dan bagaimana sebuah wacana muncul?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: 126322004_full.pdf - USD Repository

84

Sebuah pertanyaan mendasar yang menuntun penyelidikan ini untuk melacak

momentum sebuah wacana. Secara khusus, momentum wacana yang

dimaksudkan dalam penelitian ini adalah momentum wacana kebangkitan adat di

Ambon.

Dalam rangka melacak momentum kebangkitan adat di Ambon, saya

bertolak dari realita kehidupan masyarakat Ambon pasca konflik 1999. Konflik

yang terjadi pada Januari 1999 di Ambon membawa perubahan yang cukup

signifikan dalam kehidupan sosial politik di Ambon. Perubahan ini ditandai oleh

pembicaraan masyarakat mengenai adat secara intens. Kemunculan adat mula-

mula ditempatkan dalam konteks penyelesaian konflik. Adat difungsikan sebagai

instrumen penyelesaian konflik untuk menyatukan kembali kubu-kubu yang

bertikai selama kurang lebih tiga tahun. Ada keyakinan bahwa melalui adat

pertikaian dapat dihentikan dan hubungan kekerabatan yang sempat renggang

akibat konflik dapat direkatkan kembali.

Di sisi lain, tanpa harus menafikan kontribusi adat dalam proses

penyelesaian konflik, penting untuk dipertimbangkan kembali pada kesempatan

ini adalah antusiasme menjadikan adat sebagai instrumen penyelesaian konflik.

Persoalannya bukan terletak pada perkara benar/salah atau pantas/tidak pantas

menggunakan adat sebagai instrumen penyelesaian konflik. Akan tetapi yang

patut dipertimbangkan kembali adalah mengapa para raja begitu antusias

menjadikan adat sebagai instrumen penyelesaian konflik? Cara pandang semacam

ini bertujuan untuk memungkinkan kita memahami kepentingan dan kebutuhan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: 126322004_full.pdf - USD Repository

85

para raja menciptakan bahasa khusus untuk melegitimasi urgensi dan signifikansi

kemunculan adat di Ambon.

Terkait dengan keyakinan masyarakat terhadap adat, ada dua unsur

penting yang perlu diketahui bersama terkait upaya memposisikan adat sebagai

instrumen penyelesaian konflik. Pertama, adat diposisikan sebagai model

resolusi alamiah dengan tujuan untuk meretas kebuntuan pendekatan politik yang

diprakarsai oleh pemerintah pusat; dan kedua, membangkitkan memori kolektif

berdasarkan kesamaan identitas yang terikat dalam relasi hubungan darah. Untuk

memahami kedua alasan tersebut, akan dijelaskan secara rinci dalam uraian

berikut ini.

3.1.1. Rekonsiliasi Konflik dalam Konstruksi Adat

Sejenak menelusuri jejak sejarah konflik yang terjadi di Ambon, saya

diperhadapkan dengan rupa-rupa penafsiran atas peristiwa tersebut. Kelahiran

konflik mula-mula dipersepsikan sebagai akibat dari kegagalan pemerintah Orde

Baru terkait program transmigrasi nasional. Implementasi kebijakan tersebut

berdampak pada ketidakseimbangan komposisi jumlah penduduk. Secara khusus,

ketidakseimbangan komposisi jumlah penduduk di Ambon diklaim hanya

menguntungkan kelompok Muslim dan marginalisasi ekonomi-politik penduduk

lokal, terutama kelompok Kristen Ambon.104

104 Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia, Dinamika Konflik Dalam TransisiDemokrasi: Informasi Konflik dan Potensi Integrasi Bangsa, Hlm. 220

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: 126322004_full.pdf - USD Repository

86

Kondisi semacam ini menimbulkan krisis, prasangka, dan sikap saling

curiga antara kelompok Kristen dan Muslim dan berujung petaka pada Januari

1999. Perang saudara terjadi dengan mengatasnamakan agama. Sebuah pertikaian

yang pada awalnya hanya merupakan persoalan pribadi dengan sekejap berubah

menjadi pertikaian antaragama. Situasi semakin memanas pada Mei 1999 ketika

kelompok Laskar Jihad yang mengatasnamakan solidaritas Muslim tiba di

Ambon.105 Bahkan ketika harus berhadapan dengan kebijakan pemerintah pusat

yang mengirim lebih banyak pasukan militer dengan tugas untuk menembak mati

di tempat bagi siapa saja yang membawa senjata.106 Sejak saat itu, genjatan

senjata semakin tidak terkendali dan mulai menyebar ke seluruh wilayah Ambon.

Beberapa daerah yang menjadi titik-titik penyebaran konflik adalah “Batumerah,

kampung Mardika, dan penduduk sekitar Ambon yang beragama Kristen seperti

Galunggung, Ahuru dan Kebuncengkeh, serta Kuda Mati, Krangpanjang,

Blakangsoya, Skip, Waihaong, Waringin, Kampung Banda, Soabali dan wilayah

etnis Bugis-Buton-Makasar (BBM) yang mayoritas beragama Muslim”.107

Perang terjadi selama kurang lebih 3 (tiga) tahun tanpa ada pihak yang

keluar sebagai pemenang. Konflik sosial yang terjadi hanya menuai korban jiwa,

materi, penderitaan, kemelaratan dan pengungsian di mana-mana. Kondisi

semacam ini pada akhirnya menimbulkan kejenuhan dan mendorong berbagai

105 Dieter Bartels (2011), “Kebangkitan adat dan Lembaga kolonial dalam penyelesaian kerusuhanantara kelompok Muslim dan Kelompok Kristen di Ambon” dalam Martin Ramstedt & FadjarIbnu Thufail (Ed.), Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan kewarganegaraan pada MasaPasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, Hlm. 199-120106 Dieter Bartels, Tuhanmu Bukan lagi Tuhanku, Hlm. 3107 R. Leirisa (2000), “Kasus Ambon sebagai pilot project penyelesaian konflik SARA” dalamStanley (Ed.), Indonesia di Tengah Transisi. Jakarta: Propratria, Hlm. 56-57

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: 126322004_full.pdf - USD Repository

87

upaya untuk menghentikan konflik. Untuk pertama kalinya proses penyelesaian

konflik dilakukan dengan menggunakan pendekatan politik; namun sangat

disayangkan sebab hanya menuai kegagalan. Penempatan aparat militer dinilai

hanyalah omong kosong. Pihak militer dinilai segaja memelihara konflik bahkan

terlibat dalam merekayasa konflik seperti yang diungkapkan oleh Thamrin Amal

Tamagola.108 Meski pendekatan politik membuahkan kesepakatan bersama seperti

yang terungkap dalam piagam perjanjian Malino II; akan tetapi pada

kenyataannya tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan. Perjanjian Malino

dinilai terlalu sarat dengan kepentingan politik dari pihak-pihak tertentu.109

Perjanjian Malino II yang dihadiri oleh Yusuf Kalla (sebagai Menko

Kesra), Susilo Bambang Yudhoyono (sebagai Menko Polkam) dan Kapolri

Jenderal Da’I Bachtiar pada 12 Februari 2002 memuat 11 (sebelas) butir

perjanjian, antara lain:

(1) Mengakhiri semua bentuk konflik dan perselisihan; (2)Menegakkan supremasi hukum secara adil dan tidak memihak.Karena itu,aparat harus bertindak profesional dalam menjalankantugasnya; (3) Menolak segala bentuk gerakan separatis termasukRepublik Maluku Selatan; (4) Sebagai bagian Negara KesatuanRepublik Indonesia (NKRI), maka bagi semua orang berhakuntuk berada dan berusaha di wilayah Maluku denganmeperhatikan budaya setempat; (5) Segala bentuk organisasi,satuan kelompok atau laskar bersenjata tanpa ijin di Malukudilarang dan harus menyerahkan senjata atau dilucuti dan diambiltindakan sesuai hukum yang berlaku. Bagi pihak-pihak luar yangmengacaukan Maluku, wajib meninggalkan Maluku; (6) Untukmelaksanakan seluruh ketentuan hukum, maka perlu dibentuk timinvestigasi independen nasional untuk mengusut tuntas peristiwa

108 Rudolf Rahabeat (2004), Politik persaudaraan, membedah peran pers, Yogyakarta: Buku Baik,Hlm. 92109 Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia (2004), Dinamika Konflik Dalam TransisiDemokrasi: Informasi Konflik dan Potensi Integrasi Bangsa, Hlm. 239

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: 126322004_full.pdf - USD Repository

88

19 Januari 1999, Front Kedaulatan Maluku, Kristen RMS, LaskarJihad, Laskar Kristus, dan pengalihan agama secara paksa; (7)Mengembalikan pengungsi secara bertahap ke tempat semulasebelum konflik; (8) Pemerintah akan membantu masyarakatmerehabilitasi sarana ekonomi dan sarana umum seperti fasilitaspendidikan, kesehatan dan agama serta perumahan rakyat agarmasa depan seluruh rakyat Maluku dapat maju kembali dankeluar dari kesulitan. Sejalan dengan itu, segala bentukpembatasan ruang gerak penduduk dibuka sehingga kehidupanekonomi dan sosial berjalan dengan baik; (9) Dalam upayamenjaga ketertiban dan keamanan seluruh wilayah danmasyarakat diharapkan adanya kekompakan dan ketegasan untukTNI/Polri sesuai fungsi dan tugasnya. Sejalan dengan itu, segalafasilitas TNI segera dibangun kembali dan dikembalikanfungsinya; (10) Untuk menjaga hubungan dan harmonisasiseluruh masyarakat, pemeluk agama Islam dan Kristen makasegala upaya dan usaha dakwah harus tetap menjunjung tinggiundang-undang dan ketentuan lain tanpa pemaksaan; (11)Mendukung rehabilitasi khususnya Universitas Pattimura denganprinsip untuk kemajuan bersama. Karena itu, rekruitmen dankebijakan lainnya dijalankan secara terbuka dengan prinsipkeadilan dan tetap memenuhi syarat keadilan.110

Meski kesebelas butir perjanjian Malino mencerminkan komitmen untuk

saling mengikat diri; akan tetapi secara de facto kondisi Ambon tidak berubah.

Hal ini ditandai dengan adanya insiden-insiden peledakan bom seperti yang terjadi

di depan hotel Amboina, pembakaran kantor gubernur Maluku, penyerangan desa

soya, dan pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS).111 Kedua belah

pihak (Kristen-Muslim) kembali saling menyalahkan satu sama lain. Untuk

mengatasi kebuntuhan tersebut proses rekonsiliasi lambat-laun mulai menyasar

kebutuhan menjadikan adat sebagai solusi alternatif dengan tujuan untuk

menggalang perdamaian. Pada titik ini, adat mulai diperhatikan dan dipikirkan

110 Abdul Haerah, “Isi Perjanjian Perdamaian Maluku di Malino”, diakses dari https://www.mail-archive.com/[email protected]/msg00035.html , pada 21 November 2014111 Rudolf Rahabeat (2004), Politik persaudaraan, membedah peran pers, Hlm. 91

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: 126322004_full.pdf - USD Repository

89

secara intensif oleh masyarakat Ambon. Ada kondisi di mana terjadi pengabungan

antara adat dan perdamaian. Penggabungan ini mencerminkan kebutuhan

menjadikan adat sebagai instrumen penyelesaian konflik dan sekaligus sebagai

solusi atas kebuntuhan pendekatan politik yang diprakarsai oleh pemerintah pusat.

3.1.2. Membangun Memori Kolektif Warga melalui Adat

Gagasan utama menempatkan adat sebagai model resolusi alamiah tidak

terlepas dari cara pandang penduduk lokal Ambon memaknai adat “siwalima”.

“Siwalima” dipahami sebagai spirit adat yang merepresentasikan masing-masing

persekutuan adat seperti yang telah diuraikan sebelumnya di bab II. “Siwalima”

berfungsi untuk membedakan aktivitas masing-masing persekutuan adat seperti

“ulisiwa”-“ulilima” sebagai persekutuan politik. Cara pandang ini berkaitan erat

dengan model penafsiran kontemporer terhadap “siwalima”.

Termasuk penempatkan “siwalima” sebagai dasar pengelompokan

masyarakat Ambon ke dalam sekat-sekat agama. “Siwalima” yang terdiri dari

persekutuan “ulisiwa” dan persekutuan “ulilima” difungsikan pula untuk

membedakan persekutuan “siwa” yang diidentikkan dengan komunitas Kristen

dan persekutuan “lima” yang identik dengan komunitas Muslim. Secara historis

penafsiran terhadap “siwalima” semacam ini berhubungan dengan pengaruh

wacana kolonialisme di Ambon. Secara khusus terkait sistem konversi agama

pribumi sejak zaman pemerintahan Portugis di Ambon pada abad 16.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: 126322004_full.pdf - USD Repository

90

Perubahan-perubahan semacam ini menegasi semacam upaya modernisasi

agama pribumi. Salah satu cara yang biasanya dipakai adalah melalui ritual

pembaptisan. Senada dengan sistem konversi iman melalui praktek pembaptisan

ini, Hatib Abdul Khadir dalam keterangannya mengenai “siwalima” Ambon

mengungkapkan bahwa:

Ritual baptisme melalui pemandian suci merupakan purifikasitubuh yang sekaligus membatasi manusia lama menjadi manusiabaru. Menjadi siap modern adalah beragama Kristen dan terpisahdengan masyarakat pagan sebelumnya. Terjadi ruang pemisahantubuh antara kelompok bersih dan suci (Kristen, Ambon danorang kota) dan kelompok kotor (Islam, pesisir, masyarakatpedalaman seperti di Alifuru). Pengalaman religius tidak pernahmandi suci memisahkan urban Kristen dengan mereka yangbelum pernah melakukannya, dan distereotipekan sebagaimanusia yang tidak tercuci (unwashed people) yang tidakbersih.112

Penegasan Hatib Abdul Khadir menegasi proses kontruksi “siwalima”

secara baru. Kebaruan tersebut di tandai dengan adanya perluasan makna

“siwalima” tidak lagi sebatas persekutuan adat ulilima” dan “ulisiwa” melainkan

menegasi polarisasi agama dan adat. Perkembangan agama berdampak terhadap

cara pandang masyarakat terhadap adat “siwalima”. Secara kongkrit hal ini

ditandai oleh pergeseran paradigma masyarakat memaknai “siwalima” bukan lagi

sebatas persekutuan adat melainkan persekutuan agama. Agama kadang-kadang

dinilai lebih modern atau rasional dari pada adat yang diklaim terlalu bersifat

mistik, gaib dan mengandung unsur-unsur tahyul. Bahkan untuk terhindar dari

112 Hatib Abdul Kadir, “Sapa bale batu, batu bale dia: politik revivalisme tradisi siwalima orangAmbon pasca konflik” dalam jurnal Lakon, Hlm 65

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: 126322004_full.pdf - USD Repository

91

ancaman roh jahat, agama dijadikan sebagai “jimat” untuk melindungi diri seperti

yang diamini oleh warga Maluku.

Polarisasi agama dan adat semacam ini sebetulnya tidak hanya

mempengaruhi pemaknaan masyarakat Ambon terhadap adat istiadatnya, akan

tetapi semakin mengukuhkan hegemoni wacana kolonialisme di Ambon. Hal ini

ditegaskan pula oleh Amal dalam Portugis dan Spanyol di Maluku (2010).

Menurut Amal, agama dijadikan sebagai:

Bantuan keamanan untuk menangkal serangan kerajaan-kerajaanbesar; loyalitas rakyat terhadap raja dan kepercayaannyamenyebabkan rakyat secara masal memberi diri untuk dibaptis;perkawinan campur antara perempuan pribumi dan pria Portugis;menjauhkan diri dari kekuatan roh-roh jahat seperti suwanggi,puntianak yang menurut keyakinan penduduk setempat tidakdapat mengganggu mereka yang sudah dibaptis seperti orangPortugis; ketakutan terhadap ancaman bencana alam sepertimeletusnya gunung merapi di Tobelo menyebabkan banyakpenduduk di Tolo dan Samafo dibaptis, dan menjauhkan diri darigangguan kesehatan berat yang dipercaya dapat diperoleh denganmendapatkan “air serani.”113

Universalisasi religiositas Barat tidak sekedar mempengaruhi adat istiadat,

akan tetapi berdampak pada relasi kekuasaan yang mengakar pada wacana

kolonialisme seperti yang ditegaskan oleh Edward Said terkait imaji Eropa

terhadap dunia Timur. “Bagi orang Eropa, Timur selalu dianggap sebagai daerah

jajahan mereka yang terbesar, terkaya dan tertua selama ini. Timur juga dianggap

113M. Adnan Amal (2010), Portugis dan Spanyol di Maluku, Jakarta: Komunitas Bambu danpemerintah kota Ternate, Hlm. 131-132. Istilah air serani atau biasanya disebut juga dengan istilahair baptis. Air ini merupakan simbol liturgis dalam Gereja Katolik berupa materi yang biasanyadipakai dalam setiap upacara liturgi Gereja. Kesucian dan kesakralan Air serani berasal dariurapan/berkat seorang imam. Untuk membedakannya dengan air pada umumnya maka air yangbelum diberkati oleh seorang imam tidak dapat disebut sebagai air suci dan tidak dapat dipakaiatau dipergunakan dalam acara liturgis gereja, seperti pembabtisan, pemberkatan rumah dan lainsebagainya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: 126322004_full.pdf - USD Repository

92

sebagai sumber bagi peradaban dan bahasa Eropa, saingan atas budaya Eropa dan

sebagai bagian dari imajinasi Eropa yang terdalam. Timur adalah the other bagi

Eropa”.114

Polarisasi agama dan adat menunjukkan ketidakstabilan makna adat.

Kadang-kadang adat “siwalima” ditempatkan sebagai representasi persekutuan

adat, politik maupun agama. Oleh sebab itu, rasio pemisahan semacam ini masih

perlu dikaji lebih lanjut. Salah satu bentuk penafsiran sejarah yang ikut

mengkonstruksi model pengelompokan masyarakat berdasarkan identitas

keagamaan adalah catatan sejarah yang memuat kisah 3 (tiga) bersaudara yakni

ulisiwa, ulilima dan uliassa yang dipercaya sebagai nenek moyang suku Ambon

yang berdiam di gunung Nunusaku.115

Penafsiran semacam ini menegasi keterikatan masyarakat Ambon dengan

unsur-unsur biologis dan teritorial. Aspek biologis dan teritorial berfungsi untuk

menyatukan tiap-tiap individu dan mengingatkan akan adanya kesatuan

genealogis, bahasa dan etnisitas sebagai orang Ambon. Atas dasar itu,

pendefenisian model kesatuan sosial sejatinya tidak sekedar merepresentasikan

komunitas adat seperti “ulisiwa” dan “ulilima”, melainkan berkembang ke arah

pendefenisian masyarakat “siwalima” sebagai komunitas agama yang terikat

dengan relasi hubungan darah.

114Edward Saind (2010), Orientalisme: menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timursebagai Subjek, terj. Achmad Fawaid dari judul asli Orientalism, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,Hlm. 2115 Hatib Abdul Kadir, “Sapa bale batu, batu bale dia: politik revivalisme tradisi siwalima orangAmbon pasca konflik” dalam jurnal Lakon, Hlm 61

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: 126322004_full.pdf - USD Repository

93

Konstruksi adat semacam inilah yang coba dirangsang kemunculannya

dengan tujuan untuk membangkitkan kesadaran bahwa selama ini yang dianggap

musuh sejati adalah saudara yang terikat dalam relasi hubungan darah dan

teritotial. Atas nama adat, tidak lagi ada musuh melainkan satu bangsa, satu

bahasa, dan satu budaya. Inilah wajah riil adat yang dimunculkan dalam wilayah

konflik dengan tujuan untuk mewujudkan perdamaian di bumi Maluku.

Mengacu pada kedua argentasi di atas nampak bahwa kemunculan adat di

Ambon tidak terlepas dari situasi konflik. Konflik menjadi momentum

kebangkitan adat di Ambon. Pembicaraan mengenai adat secara spesifik

didasarkan pada sebuah pendasaran rasional atas penyelesaian konflik sehingga

dapat diterima oleh masyarakat. Lantas, apakah kemunculan adat terbatas pada

upaya penyelesaian konflik? Dalam perkembangannya kemunculan adat

mengalami perkembangan dengan begitu cepat. Kelahiran adat tidak sekadar

dijadikan sebagai instrumen penyelesaian konflik, akan tetapi lambat laun

berkembang ke arah mempersoalkan keistimewaan hak-hak penduduk lokal

Ambon. Beberapa upaya kongkrit yang menandai perkembangan wacana adat

semacam ini terjadi melalui kemampuan mereorganisasi diri, pelembagaan adat,

dan penguatan wacana adat melalui berbagai aturan atau norma adat.

3.1.3. Reorganisasi Diri atas Nama Adat

Dorongan untuk mereorganisasi diri atas nama adat tercermin dalam salah

satu pernyataan yang diungkapkan oleh Ichsan Malik, seorang fasilitator gerakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: 126322004_full.pdf - USD Repository

94

perdamaian Maluku. Ichsan Malik dalam artikelnya Promoting dialogue untuk

resolusi konflik kekerasan masyarakat di Maluku (2009) menekankan pentingnya

mengintensifkan peran penduduk lokal Ambon dalam proses resolusi konflik.

Menurut Ichsan Malik:

Semuanya harus dimulai dari pelaku sekaligus korban konflik.Korban konflik yang sekaligus adalah pelaku konflik (combatant)harus menjadi subyek dari proses resolusi konflik. Mereka yangpaling terkena dampak konflik, dan oleh kerena itu mereka pulayang harus survive untuk menolong dirinya dan masyarakat.Pemberdayaan korban harus menjadi titik tolak untuk resolusikonflik. Mereka harus mampu menemukan kekuatan yang adadalam dirinya atau masyarakatnya. Serta menggali secara kreatifmekanisme-mekanisme yang ada di dalam dirinya ataumasyarakatnya sendiri untuk memproses resolusi konflik.116

Tendensi pernyataan tersebut tidak sekedar mendorong lahirnya berbagai

upaya penyelesaian konflik dari bawah, akan tetapi secara singnifikan ikut

mendorong kemunculan adat di Ambon. Secara implisit pernyataan Ichsan Malik

mencerminkan dorongan kuat untuk terus-menerus memikirkan dan

membicarakan adat. Secara khusus menyangkut persoalan bagaimana

mengintensifkan peran penduduk lokal melalui adat. Ada semacam dorongan

untuk memikirkan dan merumuskan realitas hidup berbasis adat. Konsekuensinya,

kemunculan adat di era tahun 2000-an berkembang dengan begitu cepat di

Ambon.

Percepatan perkembangan adat diindikasikan oleh kemampuan masyarakat

mereorganisasi diri atas nama adat dengan dibentuknya forum “Gerakan Baku

116 Ichsan Malik (2009), Promoting dialogue untuk resolusi konflik kekerasan masyarakat diMaluku, Hlm. 2

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: 126322004_full.pdf - USD Repository

95

Bae Maluku” pada 2002.117 Pembentukan forum “Gerakan Baku Bae Maluku”

diasumsikan sebagai gerakan bersama seluruh masyarakat dalam

memperjuangkan perdamaian dan hak-hak penduduk lokal. Sebagai forum

gerakan bersama untuk misi perdamaian Maluku, seluruh aktivitas “Gerakan

Baku Bae Maluku” selalu melibatkan para raja. Hal ini tercermin dalam setiap

pertemuan yang diselenggarakan baik di Bogor, Bali, Yogyakarta dan kota

Ambon sendiri.118 Kehadiran dan keterlibatan para raja dalam setiap agenda

pertemuan dinilai sebagai representasi aspirasi seluruh masyarakat. Untuk itu apa

yang dikehendaki dan diputuskan oleh para raja dipandang sebagai keputusan

bersama seluruh masyarakat.

117 Perlu diketahui bersama bahwa pada 14 Mei 2003 “Gerakan Baku Bae Maluku” telah diubahnamanya menjadi Institut Titian Perdamaian (ITP) dan bertempat di Jakarta. Dengan semangatkemanusiaan, keadilan, solidaritas, keragaman dan ikatan moral antar orang untuk bergerakbersama menjadikan “Gerakan Baku Bae Maluku” sebagai sebuah gerakan kemanusiaan yangmampu mengupayakan perdamaian di bumi Maluku. Beberapa aktivis “Gerakan Baku BaeMaluku” yang lazim dikenal adalah Ichsan Malik, Max Pattinaja, Prof.DR. Frans Limahelu,Boedhi Wijardjo, Dadang Trisasongko, Abubakar Riry, Mulyadi, Johari Efendi, Rolly Leatemia,dan Pieter G. Manoppo. Diakses dari: “Institut Titian Perdamaian”dalamhttps://www.facebook.com/pages/InstitutTitianPerdamaian/111939478888542?sk=info,diakses pada hari Senin, 29 Juli 2014, pukul 01.05 wib.118 Berikut ini dapat dilihat rangkaian pertemuan para raja yang difasilitasi oleh gerakan baku baeMaluku. Pertemuan pertama para raja pada tahun 2002 di Hotel Salak-Bogor, para raja danLatupati sepakat untuk menjadikan pendekatan kultural sebagai pilihan mendasar dan strategisdalam meresolusi konflik, terutama menghadirkan para raja dan latupati sebagai representasikomunitas kultural. Pertemuan kedua di Universitas Pattimura Ambon pada Januari 2003, agendapembentukan forum majelis adat (Latupati Maluku) semakin kuat terutama ketika mendapatkandukungan dari pihak luar seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X yang dihadirkan sebagai keynotespeaker. Pertemuan ketiga dilaksanakan di Yogyakarta pada akhir 2003. Berkat dukungan daripemerintah Daerah Maluku, maka disusunlah alat kelengkapan lembaga majelis adat berupaAD/ART, desain kerangka kerja, pembentukan tim 14. Pertemuan keempat dilaksanakan di HotelAmans Ambon, dengan agenda pemantapan ADRT oleh tim 14 sekaligus persiapan MusyawarahLatupati se-Maluku. Pertemuan kelima dilaksanakan di Ambon pada November 2006 denganagenda pembetukan komposisi dan personalia majelis Latupati beserta penetapan AD/ART. Danakhirnya dalam Musyawarah besar Latupati yang dilaksanakan di Baileo Siwalima Ambon pada13 April 2007 majelis latupati Maluku berhasil mendeklarasikan pembentukannya. Dari sinilahkemudian dibentuknya majelis Latupati tingkat kabupaten, terutama di wilayah kota Ambon.Dengan difasilitai oleh Institut Tifa Damai Maluku, pada tanggal 7 September 2008 majelisLatupati kota Ambon secara resmi terbentuk. Diakses dari: Profil Majelis Latupati Kota Ambon”dalam http://latupati.blogspot.nl/, diakses pada 3 Agustus 2014, pukul 22.10 WIB .

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: 126322004_full.pdf - USD Repository

96

Di sisi lain, terkait istilah “Baku Bae” yang direkatkan pada “Gerakan

Baku Bae Maluku” mengandung ajakan untuk berbaikan atau berdamai. Istilah

“Baku Bae” diambil dari khasana bahasa lokal berdasarkan kesepakatan bersama

para raja dan Latupati dalam pertemuan perdana yang diselenggarakan di hotel

Salak-Bogor pada 2002. Penggunaan istilah “Baku Bae” diharapkan dapat

membangun komitmen bersama menjadikan adat sebagai pilihan mendasar dalam

upaya penyelesaian konflik. Terutama dukungan simbolik seluruh masyarakat

kepada para raja dalam mewujudkan perdamaian di Maluku.

Persoalannya, sejauhmana keterlibatan para raja mencerminkan aspirasi

seluruh anggota masyarakat? Atau sebaliknya malah memanipulasi keinginan

masyarakat demi kepentingan-kepentingan politik? Memang tidak dapat

dipungkiri bahwa pembentukan “gerakan Baku Bae Maluku” merupakan

representasi komunitas kultural seluruh masyarakat. Misalnya keterlibatan para

raja (seperi raja Theresia Maitimu dan M. Nukuhehe) dalam pertemuan “Gerakan

Baku Bae Maluku” di Bali menjadi wujud kongkrit keterlibatan seluruh

masyarakat.119 Akan tetapi patut dipertimbangkan adalah sejauh mana aspirasi dan

kebutuhan warga terakomodir.

Selanjutnya perkembangan wacana adat melalui forum “Gerakan Baku

Bae Maluku” mengalami perluasan. Ekspansi “Gerakan Baku Bae Maluku” tidak

hanya bersifat lokal akan tetapi meluas ke tingkat nasional. Ekspansi adat di

tingkat nasional tercermin melalui keterlibatan tokoh-tokoh sentral. Salah satunya

119 Abubakar Riry & Oieter G. Manoppo (2007), Menatang Badai, Menabur Damai: Napak TilasRaja dan Latupati Merajut Kembali Jaringan Basudara, Hlm. 21

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: 126322004_full.pdf - USD Repository

97

adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X yang dinilai memiliki kepedulian

terhadap kondisi masyarakat Maluku. Keterlibatan Sri Sultan nampak dalam

keikutsertaannya pada workshop “Gerakan Baku Bae Maluku” yang dilaksanakan

pada 4-11 Desember 2000 di Yogyakarta.

Keterlibatan Sultan sebagai tokoh kultural dan imaji kota Jogyakarta

sebagai kota budaya mendorong dilakukannya pengembangan jaringan kerja

kultural dan pelembagaan adat di Maluku. Terutama pengembangan jaringan

kultural pada level “negeri-negeri” adat beserta peran para raja sebagai kepala

pemerintahan negeri. Sebagai tindak lanjut dari upaya pelembagaan jaringan

kultural di Ambon diaktualisasikan melalui pembentukan Latupati, sebuah dewan

adat di mana keanggotaannya terdiri dari para raja. Selain itu, muncul pula

desakan penerbitan peraturan daerah di Kota Ambon mengenai adat. Upaya

pelembagaan jaringan kultural semacam ini dinilai oleh para tokoh adat sebagai

tindakan kongkrit untuk mempertahankan eksistensi Maluku sebagai salah satu

provinsi adat, atau negeri kepulauan raja-raja.120 Uraian lebih rinci mengenai

proses pelembagaan jaringan kultural di Ambon, akan dijelaskan dalam sub bab

berikut ini.

3.1.4. Pelembagaan Jaringan Kultural

Latar belakang pembentukan Latupati bertolak dari kondisi sosial politik

masyarakat Ambon sejak konflik 1999. Peristiwa konflik dinilai telah menciderai

120 Hans Suitela, raja negeri Suli, Wawancara, 23 Januari 2014, Suli Atas- Ambon

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 113: 126322004_full.pdf - USD Repository

98

peradaban, budaya, adat istiadat dan hubungan kekerabatan yang telah sekian

lama terbentuk. Dalam rangka menyembuhkan luka tersebut pendekatan kultural

ditetapkan sebagai solusi alternatif untuk melakukan perubahan mendasar dengan

melibatkan para raja.

Selain itu, keterlibatan para raja dilatarbelakangi juga oleh pilihan

menjadikan adat sebagai modal sosial kultural dalam melakukan perubahan.

Keterlibatan para raja diyakini merupakan pilihan paling tepat sebab dipandang

sebagai pihak yang paling mengerti adat. Pengetahuan akan adat menjadikan para

raja mendapatkan prioritas dalam proses pembangunan. Untuk merealisasikan

tujuan tersebut maka para raja perlu dihimpun dalam satu wadah, ungkap Macfud

Nukuhehe, seorang aktivis “Gerakan Baku Bae Maluku”. Dalam pertemuan para

raja yang diselenggarakan di kampus PGSD Universitas Pattimura Ambon pada

Januari 2003 Macfud Nukuhehe menyatakan bahwa,

Pembentukan wadah Latupati sangat penting, apalagi denganpemberlakuan undang-undang otonomi daerah (OTDA) yangmengharuskan setiap daerah untuk menentukan nasibdaerahnya sendiri. Pembentukan wadah Latupati ini sangatpenting selain untuk memperkuat akar kebudayaan Malukujuga untuk mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah terkaitdengan masalah adat dan budaya setempat. Perlu ada wadahyang betul-betul mengetahui masalah adat di Maluku danbudaya Maluku……Saya kira yang lebih mengerti denganmasalah adat di Maluku lebih tepat melibatkan pararaja/Latupati.121

Nampak dengan jelas bahwa upaya pembentukan forum raja-raja menjadi

kebutuhan mendesak untuk segera direalisasikan. Setelah melalui proses yang

121 Abubakar Riry & Oieter G. Manoppo (2007), Menatang Badai, Menabur Damai, Hlm. 129-130

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 114: 126322004_full.pdf - USD Repository

99

panjang agenda pembentukan Latupati berhasil dideklarasikan pada 13 April 2007

di mana keanggotaannya terdiri dari para raja. Tanpa menafikan struktur dan

seluruh jabatan politis dalam dewan Latupati, penting untuk digaris bawahi adalah

posisi para raja yang secara hirarki menempati posisi sentral dalam adat. Dalam

pelaksanaan tugasnya, raja dibantu oleh perangkat kelengkapan raja seperti:

“saniri rajapatti” seperti “kewang”, “saniri negeri”, “kapitan”, “tuan tanah”,

“kepala soa” dan “marinyo”. Masing-masing perangkat adat menjalankan tugas

perbantuan raja berdasarkan prosedur dan mekanisme adat. Gambaran pelaksaan

tugas dari para perangkat adat tersebut secaradapat dijelaskan berdasarkan gambar

berikut ini:

Gambar 2: Mekanisme prosedural pelaksanaan tugas perangkat adat dibawah kendali dewan Latupati

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 115: 126322004_full.pdf - USD Repository

100

Masing-masing perangkat adat menjalankan tugasnya berdasarkan

mekanisme adat. “Saniri negeri” yang keanggotaannya terdiri dari para kepala

soa menjalankan tugas-tugas administratif pemerintahan negeri. Kepala soa

sebagai pemimpin setiap soa dalam negeri bertugas menjalankan tugas-tugas raja

ketik raja tidak ada ditempat, memimpin pekerjaan saniri dan menanggani acara-

acara adat. “Kewang” sebagai polisi hutan bertugas menjaga kekayaan sumber

daya alam dalam petuanan negeri. “Kapitang” sebagai panglima perang bertugas

mengatur strategi dan memimpin pada saat perang. “Tuan tanah” sebagai

pengatur hak-hak petuanan negeri terutama batas-batas tanah antar negeri.

Marinyo sebagai pesuruh raja bertugas menyampaikan berita yang berkaitan

dengan tugas-tugas pemerintahan negeri.

Pembentukan Latupati dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk

mengembalikan peran para raja yang dinilai semakin kehilangan peran akibat

intervensi negara secara berlebihan. Bentuk intervensi negara yang dinilai terlalu

berlebihan dalam konteks Ambon adalah kebijakan nasional melalui Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Konsekuensi dari

kebijakan tersebut adalah peran raja serta “saniri negeri” semakin pudar.

Termasuk sistem penyerangan budaya melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1979 telah menyebabkan kehancuran budaya lokal akibat perubahan status

“negeri-negeri” adat menjadi desa.

Klaim kehancuran adat dan marginalisasi peran para raja mengakar pada

kemapanan warga dalam menghidupi mekanisme pemerintahan “negeri”.

Penyelenggaraan pemerintahan “negeri” berada dalam kuasa dan kewenangan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 116: 126322004_full.pdf - USD Repository

101

para raja serta “saniri negeri”. Berdasarkan mekanisme hukum adat di Ambon,

penetapan bakal calon raja berasal dari tiap-tiap “soa” dalam “negeri”. Calon

tersebut kemudian diusulkan dan ditetapkan oleh para kepala soa yang merupakan

anggota resmi dalam forum “saniri negeri”. Untuk itu berdasarkan mekanisme

hukum adat Ambon, raja sebagai kepala pemerintahan negeri akan bertanggung

jawab sepenuhnya kepada rakyat melalui “saniri negeri”. Jadi dapat disimpulkan

bahwa secara simbolik “saniri negeri” merupakan representasi keterlibatan warga

dalam dinamika pemerintahan “negeri”.

Keterlibatan warga dalam dinamika pemerintahan“negeri” diwakili oleh

masing-masing kepala soa dalam struktur “saniri negeri” sebagaimana mana

nampak pada gambar berikut:

Gambar 3: Contoh stuktur kepemimpinan “saniri negeri”122

122 Struktur pemerintahan negeri dalam contoh tersebut di ambil dari struktur saniri negeri Suli.Suli terdiri dari empat kelompok soa yang masing-masing soa dipimpin oleh seorang kepala soa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 117: 126322004_full.pdf - USD Repository

102

Secara khusus mengenai posisi raja, pada level pemerintahan “negeri” raja

mengemban 2 (dua) tugas utama yakni sebagai kepala adat dan kepala

pemerintahan negeri. Dalam pelaksanaan tugas harian, raja dibantu oleh seorang

sekretaris dan kepala soa-kepala soa yang terorganisir dalam “saniri negeri”.

Masing-masing perangkat “negeri” bekerja berdasarkan mekanisme prosedural

sebagaimana tampak pada gambar berikut:

Gambar 4: Contoh struktur organisasi pemerintahan “negeri”123

Soa-soa tersebut antara lain: soa Latuslamu, soa Amalatuei, soa Wainusalaut, dan soaAmarumatena. Dari keempat soa tersebut, dalam struktur saniri negeri yang bertindak sebagaiketua soa adalah bapak Aleks Sitaneli yang berasal dari soa Latuslamu.123 Gambar di atas merupakan salah satu contoh gambaran struktural pemerintahan hukum adatpada level Negeri adat. Misalnya pada negeri Suli yang ditetapkan berdasarkan Peraturan DaerahKabupaten Maluku Tenggah No 16 tahun 2006 antara lain: Hans Suitela, S.Pd sebagai kepalapemerintahan negeri (Raja). S. Putinela, S.Sos sebagai sekretaris. John Suitela sebagai kaurpemerintahan, Daniel Pattisina sebagai Kaur pembangunan, Maks Latul sebagai kaur umum, NicTapilaha sebagai kaur kesra, Ny.J.E Tapilaha sebagai kaur keuangan. A.Sitanala dari soaLatuslamu, J. Pattirane dari soa Amalatuei, D. Lainsamputty dari soa Wainusalaut, dan F. Matitadari soa Amarumatena.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 118: 126322004_full.pdf - USD Repository

103

Struktur pemerintahan negeri semacam ini menjadi kerangka dasar

pelaksanaan tugas-tugas ke-negeri-an di Ambon. Akan tetapi penting untuk

dipertimbangkan bersama pada kesempatan ini adalah implikasi model

kepemimpinan struktral adat berpotensi menimbulkan dikotomi ruang politik

dalam struktur birokrasi politik lokal. Persoalannya adalah dapatkah seseorang

yang tidak memiliki hubungan darah dapat terakomodir dalam mekanisme

tersebut? Pada kenyataannya keterlibatan masyarakat pendatang menyisakan

persoalan tersendiri bagi penduduk lokal dalam konteks kebangkitan adat Ambon.

Meski antusiasme untuk kembali ke adat memberikan ruang khusus bagi

penduduk lokal Ambon, akan tetapi yang perlu dipertimbangkan bersama adalah

efek dari kerja adat yang terlalu memprioritaskan keistimewaan hak penduduk

lokal dalam mekanisme pemerintahan hukum adat. Terutama ketika harus

berhadapan dengan suara-suara lain yang bernada lebih oposisi. Oposisi dalam

pengertian bahwa resisten sebab pada kenyataannya di tengah-tengah antusiasme

menghidupkan kembali hukum adat muncul pula semacam wacana tandingan

yang secara kongkrit hadir melalui keinginan warga pendatang terkait

pembentukan desa administratif.

Wacana pembentukan desa administratif bermula dari ketidakpuasan

sebagian warga pendatang yang berdomisili di wilayah petuanan “negeri” adat.

Ketidakpuasan ini disebabkan oleh praktek ketidakadilan pemerintah negeri adat

dalam pembagian “kue pembangunan”. Praktek ketidakadilan pemerintah negeri

tercermin dalam pernyataan Josep Ufi, salah seorang konsultan dan fasilitator

pembentukan dewan adat Maluku dalam sesi wawancara. Menurut Josep Ufi:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 119: 126322004_full.pdf - USD Repository

104

Pada mulanya memang ada kegamangan dari negeri-negeri adat.Negeri induk membawai sekian puluh dusun, tapi de facto selamasekian tahun pembagian kue pembangunan tidak sampai kebawah, dia terhenti di desa induk/negeri/desa adat. Sehinggakepentingan tujuan nasional untuk mensejahterahan masyarakattidak jalan. Maka solusinya, dusun-dusun di bawah negeri itudimekarkan menjadi desa tetapi status desanya adalah desaadministratif yang dipimpin oleh kepala desa bukan raja.124

Gagasan tersebut kemudian dikonfirmasi lagi dalam wawancara dengan

sebagian warga pendatang yang telah lama berdomisili di Ambon. Diantaranya

adalah warga Larike, Tial dan Banda yang merupakan warga relokasi korban

kerusuhan pada 1999 yang berdomisili di petuanan “negeri” Suli. Munculnya

wacana pembentukan desa administratif dilatarbelakangi oleh praktek

pembangunan negeri induk yang tidak merata dan pendistribusian dana dan

bantuan sosial dari pemerintah seperti raskin, air, dan termasuk akses jalan desa,

muncullah keinginan untuk memiliki hak otonomi dalam mengatur rumah tangga

sendiri.125 Dari sinilah ide pembentukan desa administratif tercuat dengan tujuan

untuk melakukan pemekaran wilayah (dusun-dusun) yang berada dalam

kekuasaan pemerintah “negeri” induk.

Tumpang tindih wacana “negeri” adat menegaskan ketimpangan

konstruksi adat dalam bangunan demokrasi politik lokal di Ambon. Perjuangan

adat menolak dominasi kekuasaan negara terkesan hanya menyentuh lapisan atas

di Ambon. Bahkan imajinasi adat untuk mengsinkronkan tanggung jawab negara

dengan pranata adat guna mensejahterahkan masyarakat seakan-akan masih jauh

124 Joseph Antonius Ufi, Dosen FKIP Universitas Pattimura Ambon dan konsultan Institut TifaDamai Maluku, Wawancara, 22 Desember 2013, Galala-Ambon.125 Tos Walunaman, Dedi Rikumahu, dan Izak Aipassa, Wawancara, 20-25 Januari 2014, didaerah relokasi pengungsian Larike dan Banda di Ambon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 120: 126322004_full.pdf - USD Repository

105

dari harapan. Oleh sebab itu, munculnya keinginan dari kelompok pedatang untuk

membentuk sebuah desa administratif menimbulkan pertanyaan kritis seputar

praktek dan wacana adat selama ini. Wacana kebangkitan adat Ambon secara

perlahan-lahan berkembang ke arah pembentukan keistimewaan hak-hak

penduduk lokal yang berpotensi nyata menjadi arena kontestasi kekuasaan politik

di Ambon.

Bahkan pembentukan dewan adat justru semakin menegaskan dominasi

wacana kekuasaan adat yang bekerja secara efektif melalui sarana, teknik, dan

prosedur-prosedur penerapannya. Pembentukan majelis adat hadir sebagai

manifestasi institusi kekuasaan yang mendorong intensitas pembicaraan

masyarakat mengenai adat, Serta mengawasi adat agar tidak terjadi

penyimpangan-penyimpangan. Dalam konteks inilah, wacana kekuasaan hadir

secara produktif membentuk rezim dogmatisme kebenaran adat. Konstruksi

wacana kekuasaan semacam ini pada akhirnya membentuk struktur kegiatan

manusia yang termanifestasi dalam aturan-aturan, hukum atau larangan-larangan.

3.1.5. Penguatan Kelembagaan Adat

Desakan pembentukan peraturan daerah mengenai adat dilatarbelakangi

oleh keresahan para raja. Keresahan ini berdasar pada asumsi akan bahaya

penghancuran pranata adat akibat sistem penyeragaman budaya. Penerapan model

pemerintahan desa berdampak pada penghancuran adat istiadat karena seakan-

akan tidak sesuai dengan cita rasa hukum adat yang berlaku. Untuk itu desakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 121: 126322004_full.pdf - USD Repository

106

pembentukan serangkaian peraturan daerah (PERDA) mengenai adat di Ambon

dalam arti tertentu mencerminkan penolakan tegas terhadap kekuasaan negara.

“Ancaman terbesar yang dihadapi oleh masyarakat adat di Maluku adalah

proses Jawanisasi Maluku baik dalam bentuk kebijakan nasional mengenai

pemerintahan desa, program transmigrasi bahkan perkawinan yang terjadi antar

etnis”126 Oleh sebab itu pembentuan lembaga adat dan penetapan kembali

“negeri” adat dinilai sebagai langka tepat untuk menyelamatkan masa depan

masyarakat beserta adat istiadatnya. Dalam lokalitas Ambon istilah penetapan

kembali merujuk pada upaya kongkrit penduduk lokal Ambon menolak

pemberlakuan sistem pemerintahan desa di Ambon dengan menerapkan kembali

model pemerintahan “negeri” adat. Meski yang dimaksudkan di sini adalah

kembalinya kepemimpinan lokal berdasarkan hukum adat, akan tetapi patut

dipertimbangkan bersama adalah penetapan kembali “negeri” adat sesungguhnya

merujuk pada kondisi macam apa? Atau istilah penetapan kembali sebenarnya

kembali ke kondisi semacam apa?

Upaya para raja untuk memperjuangkan penetapan kembali “negeri” di

Ambon mendapat dukungan positif dari berbagai pihak. Salah satunya adalah

Early Warning System Conflic (EWSC). EWSC merupakan sebuah lembaga

swadaya masyarakat berfungsi untuk mengidentifikasi, mendeteksi dan

menganalisis bahaya terjadinya konflik-konflik baru.127 jaringan pengamatan dini

126 Hans Suitela, Raja negeri Suli, Wawancara, 23 Januari 2014, Suli Atas-Ambon127 “Institut Tifa Damai Maluku” diakses dari http://tifadamaimaluku.blogspot.com/, pada 15Februari 2015. Perlu diketahui bersama bahwa Early Warning System Conflic (EWSC) sebetulnyamerupakan embrio bagi kelahiran Institut Tifa Damai Maluku (ITDM) yang dibentuk pada 14April 2008. ITDM merupakan badan hukum yang bertugas untuk melanjutkan tugas-tugas EWSC.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 122: 126322004_full.pdf - USD Repository

107

konflik, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menggelar pertemuan di

Kantor Desa Batumerah, Kecamatan Sirimau dengan tujuan untuk mendesak

segera ditetapkannya peraturan daerah mengenai adat oleh pemerintah kota

Ambon dan DPRD, sekaligus rancangan peraturan daerah mengenai proses

pemilihan raja.128 Keseriusan para raja memperjuangkan pembentukan tata aturan

hukum mengenai adat menjadi bukti kongkrit komitmen para raja menyelamatkan

adat istiadatnya dari kehancurannya. Hasilnya pada 2005, Pemerintahan Provinsi

Maluku menerbitkan Peraturan daerah No.14 tahun 2005 tentang penetapan

kembali sistem pemerintahan “negeri” di Maluku.

Peraturan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya

Peraturan Daerah Nomor 03 tahun 2006 pemerintahan “negeri” adat di Kabupaten

Maluku Tengah. Peraturan ini kemudian dijadikan sebagai payung hukum bagi

serangkaian peraturan daerah lainnya mengenai adat di kota Ambon. Beberapa

peraturan daerah tentang adat yang muncul setelah Peraturan Daerah Nomor 3

tahun 2006 adalah sebagai berikut:

Identitas PERDA Topik Utama PERDA

PERDA No.3 Tahun 2008 Peraturan tentang negeri di kotaAmbon

PERDA No.13 Tahun 2008 Peraturan tentang tata carapencalonan, pemilihan,pengangkatan dan pelantikanserta pemberhentian raja

PERDA No. 14 Tahun 2008 Peraturan tentang pedoman

Dalam perkembangannya sekarang ITDM lebih banyak dikenal oleh masyarakat Ambon dari padaEWSC.128 Abubakar Riry & Oieter G. Manoppo (2007), Menatang Badai, Menabur Damai, Hlm. 221-222

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 123: 126322004_full.pdf - USD Repository

108

umum anggaran pendapatan danbelanja negeri

PERDA No.15 Tahun 2008 Peraturan tentang kedudukankeuangan raja dan saniri negerilengkap

PERDA No.16 Tahun 2008 Peraturan tentang pedomanumum administrasi negeri

PERDA No. 17 Tahun 2008 Peraturan tentang pedomanumum penetapan batas wilayahnegeri di kota Ambon

PERDA No.18 Tahun 2008 Peraturan tentang pedomanumum pembiayaan danpengawasan penyelenggaraanpemerintah negeri

Tabel: Peraturan Daerah Kota Ambon tentang adat di Ambon

Rangkaian PERDA adat sebagaimana tercantum dalam tabel di atas

menegaskan kemunculan adat dalam keseluruhan perjuangan para raja atas nama

adat; terutama antusiasme para raja se-kota Ambon untuk menghidupkan hukum

adat di wilayah kepulauan Ambon. Namun patut disayangkan bahwa dalam

perkembangannya justru menimbulkan persoalan tersendiri. Produk hukum

mengenai adat tidak hanya melindungi eksistensi hukum adat melainkan ikut

melegitimasi wacana kekuasaan adat dan menjadikan adat sebagai arena negosiasi

kekuasaan dalam dinamika kontestasi kekuasaan politik lokal di Ambon. Di sisi

lain gerakan perkembangan wacana adat di Ambon munculnya isu seputar

provokatif terkait wacana anak adat atau putra daerah. Akibatnya kehadiran warga

pendatang dalam lokalitas Ambon cenderung dipandang sebelah mata.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 124: 126322004_full.pdf - USD Repository

109

3.2. Perluasan Wacana Kebangkitan Adat Ambon

Pergerakan adat tidak semata-mata mengacu pada kemampuan

mereorganisasi diri, melembagakan adat dan penetapan serangkaian norma adat.

Dari sisi perkembangan adat, terjadi semacam gerakan perluasan adat. Tindakan

perluasan adat terjadi melalui kemampuan melakukan sosialisasi nilai-nilai adat.

Sosialisasi nilai-nilai adat dalam pengertian ini perlu dipahami dalam konteks

perluasan prinsip-prinsip adat dengan menyasar pemahaman, pengertian dan

penerimaan adat sebagai nilai kebenaran utama yang wajib dilakukan bersama.

3.2.1. Mengembangkan Budaya Politik Berbasis Adat

Pembentukan masyarakat berdasarkan hukum adat merujuk pada model

pengelompokan masyarakat berdasarkan relasi hubungan darah yang terlokalisir

dalam lingkup “negeri-negeri” adat. Setiap “negeri” terdiri atas lima atau

sembilan soa dan memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri.

Itulah sebabnya “soa” sebagai persekutuan teritorial yang terikat dalam relasi

hubungan darah memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam kehidupan

sosial politik penduduk lokal di Ambon.

Secara khusus kehidupan sosial politik berdasarkan hubungan darah yang

teraktualisasi dalam ide “siwalima”. Untuk itu, meski “siwalima” pada dasarnya

merupakan representasi hubungan darah dalam bentuk soa, akan tetapi perluasan

prinsip-prinsip “siwalima” secara umum membentuk budaya induk yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 125: 126322004_full.pdf - USD Repository

110

diharapkan dapat memayungi nilai-nilai kultural lainnya di Maluku.129 Asumsi

dibalik pembentukan “siwalima” sebagai budaya induk dilatarbelakangi oleh

keyakinan bahwa “siwalima” dengan sifat monodualistik mampu mengayongi dan

menyatukan seluruh perbedaan dalam keberagaman nilai dan budaya di Maluku.

Hanya ada satu sistem budaya masyarakat Maluku yakni sistem budaya

“siwalima”. Sistem budaya budaya “siwalima” melingkupi seluruh seluruh sistem

budaya di Maluku. Sistem budaya di luar sistem budaya “siwalima” yang ada di

Maluku, di antaranya: “Rentemena Barasche” dari pulau Buru; “Saka Mese

Nusa” dari Seram Bagian Barat, “Pamahanu Nusa” dari Maluku Tengah, “Itu

Wotu Nusa” dari Seram Bagian Timur, “Manggurebe Maju”, dari Kota Ambon,

“Kalwedo Kidabela” dari Maluku Tenggara Barat, “Larwul Ngabal” dari Maluku

Tenggara, “Maren” dari kota Tual, “Ursiu Lurlima” dari kepuluan Aru”.130

Sistem budaya “siwalima” sebagai budaya politik meski sudah berkembang lama

di Maluku, akan tetapi terkesan masih sebatas mistifikasi. Ada ketidakjelasan

pembahasan mengenai “siwalima”, batasan dan ruang lingkupnya ketika harus

diperhadapkan dengan identitas kultural masing-masing daerah di Maluku.

Persoalannya adalah mengapa harus “siwalima” dan bukan identitas kultural

lainnya?

Secara historis penggunaan “siwalima” sebagai budaya politik dalam

lingkup daerah Maluku telah dimulai sejak 1952 ketika “siwalima” digunakan

129 Joseph Antonius Ufi, Dosen FKIP Universitas Pattimura Ambon dan pengamat budaya sertakonsultan Institut Tifa Damai Maluku, Wawancara, 10 Januari 2014, Galala- Ambon130 Lembaga Kebudayaan Maluku (2011), Citra Budaya Maluku dalam pola pemahaman sistemik,Ambon: Lembaga Kebudayaan Maluku & Pemerintah Provinsi Maluku, Hlm. 11

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 126: 126322004_full.pdf - USD Repository

111

sebagai lambang provinsi Maluku. “Siwalima” dipakai untuk menghadirkan

identitas kultural masing-masing daerah di Maluku sebagaimana nampak dalam

perisai/logo pemerintah Provinsi Maluku berikut ini:

Gambar 5: Lambang Perisai “Siwalima” Provinsi Maluku131

Secara harafiah pemaknaan “siwalima” dilakukan berdasarkan penafsiran

atas karakteristik masing-masing daerah di Maluku, seperti daun sagu, daun

kelapa, mutiara, tombak, pala/cengkeh, gunung, laut dan perahu. Masing-masing

bagian dari perisai mencerminkan keunikan dan keragaman budaya masyarakat

Maluku antara lain:

“Daun sagu yang berjumlah 45 melambangkan daya hidup dansagu adalah makanan khas orang Maluku. Daun kelapa yangberjumlah 17 melambangkan hasil bumi masyarakat MalukuUtara. Mutiara yang berjumlah 8 melambangkan hasil kekayaanlaut masyarakat Maluku Tenggara, khususnya masyarakatkepulauan Aru. Pala dan cengkeh melambangkan daerah Malukusebagai kepulauan rempah-rempah. Tombak melambangkankemampuan dan tekad untuk mempertahankan hidup. Gunungmelambangkan daerah Maluku Tengah, Maluku Tenggara,Maluku Utara yang bergunung dan kekayaan hasil hutan yangmelimpah. Laut melambangkan kekayaan hasil laut dengan 9gelombang yang melambangkan patasiwa dan 5 gelombang yang

131 “Lambang Siwalima”, diakses dari http://www.malukuprov.go.id/index.php/2014-01-29-11-12-57/arti-lambang, pada hari sabtu 23 Agustus 2014, 05:12 wib

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 127: 126322004_full.pdf - USD Repository

112

melambangkan patalima sebagai dasar susunan kesatuanmasyarakat adat Maluku. Perahu melambangkan pemerintahanyang didasarkan pada persatuan dan kekeluargaan menujukemakmuran”132

Pemaknaan atas “siwalima” sebagaimana yang dikemukakan di atas tentu

akan menjadi lumrah ketika direduksi sebatas objek material setiap elemen pada

perisai “siwalima”. Persoalan tersebut berkaitan dengan pembentukan makna

“siwalima” sebagai budaya birokrasi yang diharapkan agar tidak hanya sebatas

simbol atau lambang belaka, melainkan dapat memberikan ruang kepada seluruh

masyarakat untuk dapat terlibat dalam kehidupan berpolitik.

Sayangnya, tingkat partisipasi warga dalam dinamika politik lokal

cenderung masih direduksi berdasarkan mekanisme hukum adat. Mekanisme adat

hanya diperuntukan bagi anak adat atau penduduk lokal Ambon. Oleh sebab itu

mekanisme adat yang diharapkan dapat mengakomodir peran-peran warga

pendatang dalam kehidupan berdemokrasi, secara khusus pada level “negeri”

pada kenyataannya masih sulit terjadi. Tidak sebatas terjadi penonjolan identitas

melainkan munculnya dikotomi ruang politik atas nama adat. Berdasarkan kondisi

semacam ini patut untuk dipertimbangkan adalah sejauhmana kemunculan adat

mampu mengefektifkan peran serta masyarakat tanpa harus membeda-bedakan

ras, agama dan etnis dalam dinamika politik lokal? persoalan ini berhubungan

dengan legitimasi adat sebagai budaya politik berdampak pada pembentukan

132 Badut W. Andibya (2008), The wonderful Islands Maluku: Membangun kembali Malukudengan nilai-nilai dan khazanah lokal, serta prinsip enterpreneurial government, beragam potensidna peluang investasi, Jakarta: Gibon Group Publications, Pusat studi korporasi Indonesia danPemerintah Provinsi Maluku, Hlm. 115-116

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 128: 126322004_full.pdf - USD Repository

113

ruang politik tunggal dan penonjolan identitas penduduk lokal Ambon dalam

ruang publik

Di sisi lain, penerapan model “demokrasi soa parentah” dengan tujuan

untuk mencapai ideal demokrasi pada kenyataannya menimbulkan konsekuensi

problematik.133 Pada satu sisi ide “demokrasi soa parentah” bertujuan agar

memberikan ruang kepada masyarakat daerah dalam mengurus rumah tangga

sendiri berdasarkan adat istiadat. Akan tetapi di sisi lain, penerapan “demokrasi

soa parentah” menimbulkan potensi menafikan keterlibatan orang lain yang

bukan merupakan anggota masyarakat terlibat dalam praktek adat. Mekanisme

adat pada dasarnya tidak memungkinkan keterlibatan orang lain di luar anggota

komunitas adat. Hak dan kekududukan adat adalah hak dan tanggungjawab setiap

anggota masyarakat adat (anak adat) dalam lokalitas Ambon.

Pertanyaannya sekarang, apakah wacana kebangkitan adat bertujuan untuk

meresistensi mekanisme kekuasaan negara yang dikritik melalui penetapan

kembali negeri ataukah malah melipatgandakan mekanisme kekuasaan yang

sedang dikritik? Pembentukan formasi hegemonik pada dasarnya tidak

dimaksudkan untuk menciptakan dominasi baru dalam ruang politik, melainkan

mengefektifkan perjuangan politik sendiri. Untuk itu, partisipasi setiap warga

133 Pada kenyataannya model “Demokrasi Soa Perintah” masih dibedakan dengan model“demokrasi rumahtau perintah”. Meski kedua model tersebut mengacu pada legitimasikepemimpinan adat berdasarkan hubungan darah, akan tetapi secara radikal model demokrasirumahtau perintah lebih menitik beratkan pada rumahtau (keluarga) dari garis keterunan raja.Selain itu, pada kenyataannya model demokrasi soa perintah pada umumnya dapat ditemui dikebanyakan negeri-negeri adat Kristen, sedangkan model demokrasi rumahtau perintah lebihbanyak dapat dijumpai pada negeri-negeri adat Islam…….Disampaikan oleh Bapak AbdullahMalawat, raja negeri Mamala dan mantan ketua dewan adat Maluku (Latupati), Wawancara, 19Januari 2014, Mamala-Ambon

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 129: 126322004_full.pdf - USD Repository

114

patut dipertimbangkan dalam keseluruhan bangunan demokrasi adat agar sebagian

warga tidak hadir sebagai penonton.

3.2.2. Mengintensifkan Kepemimpinan Lokal

“Di tiap-tiap daerah katakalan yang bukan anak adat itu dia supimpin. Apakah suatu ketika torang harus lihat yang bukanorang adat ini harus pimpin di daerah adat?” 134

Penggalan kutipan di atas mencerminkan kecemasan dan kekuatiran

mendalam dari para tokoh adat di Ambon. Kecemasan tersebut berkaitan erat

dengan posisi anak adat/putra daerah dalam dinamika politik Ambon. Nomen

klatur anak adat pada akhirnya menjadi bola panas bagi pemerintah kota Ambon

dan pemerintah provinsi Maluku. Tidak sebatas melegitimasi penyelenggaraan

pemerintahan hukum adat pada level “negeri” sebagai kesatuan masyarakat

hukum adat, akan tetapi mempertimbangkan kembali posisi anak adat/putra

daerah yang dinilai sekan-akan mengalami kehilangan peran. Dalam konteks itu,

isu “Jawanisasi Indonesia” melalui sistem penyeragaman budaya kiranya tepat

untuk menyebutkan keresahan dan kegelisahan tokoh adat terkait wacana

kebangkitan adat Ambon. Peran negara terkait implementasi Undang-Undang No

5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa sejak rezim Orde Baru Suharto dinilai

memiliki peranan besar dalam penghancuran tatanan adat dan sistem

kepemimpinan lokal.

134 “Pada kenyataannya, banyak daerah telah dipimpin oleh mereka yang bukan berasal darikelompok masyarakat adat. lantas, apakah suatu ketika kita harus menyaksikan di mana merekayang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat harus memimpin di daerah adat?”. Alekssitanala, Ketua Saniri Negeri Suli, Wawancara, 5 Januari 2014, Suli Bawah-Ambon

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 130: 126322004_full.pdf - USD Repository

115

Solidaritas kultural lantas ditransformasikan menjadi solidaritas politik

yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politik. Belum lagi kewenangan adat

yang tidak lagi berada pada kendali aparat negeri seperti “saniri negeri”

melainkan pada negara. Negara melalui UU No 5 Tahun 1979 dianggap telah

menghancurkan nilai-nilai kearifan lokal, secara khusus peran-peran penduduk

lokal. Kondisi semacam ini pada kenyataannya menimbulkan kecemasan di antara

para pemangku adat Maluku sebagaimana tercermin dalam salah satu kutipan

berikut ini yang dikemukakan oleh Abdullah Malawat, raja dan tokoh adat

Maluku. Menurut Abdullah Malawat:

“Katong harus hati-hati terhadap undang-undang tentang desa.Kalo seng hati-hati, orang Maluku akan dipimpin oleh orangbukan Maluku, bisa menjadi kepala desa. Walaupunpemekaran dusun jadi desa, tapi harus ada pernyataan denganmereka, bahwa menyangkut adat istiadat adalah tetap negeri.Raja-raja harus ambil sikap”.135

Apa yang telah ditegaskan di atas sejatinya merepresentasikan keinginan

kuat para raja untuk mendapatkan pengakuan terhadap peran-peran penduduk

lokal Ambon. Peraturan daerah Provinsi Maluku No.14 tahun 2005 tentang

penetapan kembali negeri akhirnya menjadi payung hukum atas pengakuan

eksistensial atas negeri-negeri adat yang dijabarkan dalam Peraturan daerah kota

Ambon No 3 tahun 2008 tentang negeri di kota dan rangkaian peraturan daerah

lainnya yang mengatur mengenai negeri adat.

135 “Kita harus hati-hati terhadap kebijakan pemerintah melalui UU No.5 Tahun 1979 tentangpemerintahan desa. Jika hal ini tidak diperhatikan, masyarakat Maluku akan dipimpin olehmereka yang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat, mereka bisa menjadi kepala desa.Meski pemekaran dusun menjadi desa, akan tetapi harus dibuat semacam perjanjian denganmereka bahwa menyangkut adat istiadat tetap berada di bawah kewenangan negeri. Untuk itu,para raja harus mengambil sikap tegas”. Abdullah Malawat, Raja Negeri Mamala dan MantanKetua Latupati Maluku, Wawancara, 19 Januari 2014, Mamala-Ambon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 131: 126322004_full.pdf - USD Repository

116

Formasi hukum yang mengatur mengenai karakteristik penyelenggaraan

pemerintahan hukum adat menanamkan kewajiban bagi seluruh anggota

masyarakat untuk senantiasa menjunjung tinggi dan menghormati adat istiadat.

Demikian pula titik kompromis politik yang mendasari pengakuan eksistensial

terhadap keistimewaan hak-hak penduduk lokal atau anak adat. Tuntutan menjadi

sebuah masyarakat yang otonom dalam mengatur rumahtangga sendiri

berdasarkan adat istiadat menegasi pentingnya pengakuan atas kepemimpinan

anak adat. Anak adat dalam pengertian genealogis teritorial yang berasal dari

kelompok masyarakat Ambon.

Berhadapan dengan kondisi semacam ini, persoalan apakah mereka yang

bukan anak adat dapat terlibat secara aktif dalam dinamika politik lokal seakan-

akan menjadi utopis dalam wacana adat. Proses identifikasi diri antara lokal dan

pendatang pada akhirnya tunduk pada mesin adat. Adat sebagai budaya politik

lokal mendasari kehidupan berdemokrasi di Ambon. Pengakuan akan peran anak

adat tetap menjadi nilai utama yang tidak dapat ditawar meski pada waktu yang

sama pengakuan tersebut menjamin dominasi dalam wacana kekuasaan di tingkat

lokal. Ide ini sejalan dengan mekanisme adat yang mengusung model “demokrasi

soa parentah” sebagai logika politik dalam membangun masyarakat.

Pentingnya saling pengakuan antara penduduk lokal dan pendatang

mengandung semacam kewajiban untuk bersedia menghormati mekanisme adat.

Hal ini disampaikan sebagai bagian dari cara untuk mendorong adanya

penghormatan dari warga pendatang terhadap mekanisme adat yang berlaku di

Ambon. Ada batasan-batasan tertentu yang perlu dihormati oleh warga pendatang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 132: 126322004_full.pdf - USD Repository

117

seperti yang diungkapkan oleh Aleks Sitanala dalam sesi wawancara di Ambon.

Menurut Aleks Sitanala:

“Katong seng bisa menghindar dari situ karena sudahmembaur. Anak adat dengan masyarakat bukan adat sudahhamper lima puluh-lima puluh...Aturan tidak bisa membatasi.…katong semua anak negeri, namun beta harus minta tolong,pada saat tertentu katong seng bisa menyatu dalam adat”.136

Di sisi lain, pentingnya pengakuan terhadap kepemimpinan anak adat

berdasar pada bayang-bayang akan kemunculan kembali konflik sosial. Untuk itu,

penerapan model demokrasi yang mengutamakan persamaan hak dalam berpolitik

diharapkan agar senantiasa mempertimbangkan mekanisme adat yang selama ini

diyakini, dihidupi, dan dijalankan oleh masyarakat di Ambon. Perubahan-

perubahan ke arah kehidupan masyarakat demokratis sebagaimana yang

diharapkan oleh pemerintah meski cukup beralasan, akan tetapi bagi masyarakat

Maluku sendiri perubahan-perubahan tersebut seakan-akan menjadi bumerang.

Bumerang dalam pengertian bahwa dapat menjadi pemicu munculnya berbagai

benturan kepentingan yang membahayakan masyarakat Maluku sendiri seperti

yang ditegaskan oleh Abdullah Malawat. Menurut Abdullah Malawat:

“Maluku belum bisa seperti itu….Kondisi sekarang belummemungkinkan….mekanisme adat harus orang adat. Apakahsecara adat dapat diterima ka seng? Itu masalah……untukMaluku belum bisa, masyarakat Maluku belum bisa terima itu.

136 “Pada kenyataannya kita memang tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa masyarakattelah hidup membaur. Presentase jumlah penduduk antara masyarakat adat (penduduk lokal) danmereka yang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat (masyarakat pendatang) menghampirititik keseimbangan. Aturan memang tidak bisa membatasi hak masing-masing individu sebab kitasemua merupakan warga masyarakat yang mendiami satu wilayah yang sama. Akan tetapi sayaberharap agar bisa dipahami bahwa pada saat-saat tertentu kita tidak bisa menyatu berdasarkanmekanisme hukum adat yang berlaku”. Aleks sitanala, Ketua Saniri Negeri Suli, Wawancara, 5Januari 2014, Suli Bawah-Ambon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 133: 126322004_full.pdf - USD Repository

118

Untuk Maluku harus dilihat jauh ke depan, bisa jadi ke depanakan ada kerusuhan lain, sehingga politik pembangunan ituharus dilihat baik-baik. Jangan sampai torang terpinggirkanseperti itu. Bagaimana bisa dengan katorang, dan dorang akuikatong pung adat seperti itu”.137

3.2.3. Kontroversi Gelar Adat Maluku

Gejolak kebangkitan adat tidak hanya memasuki fase pengintegrasian

kekuatan lokal dengan membangun koordinasi pada tingkat lokal, akan tetapi

mendorong lahirnya semacam kontrak politik yang secara simbolik ditandai

dengan adanya penganugerahan sejumlah gelar kehormatan adat kepada para elit

politik tertentu. Praktek tersebut pada kenyataannya menimbulkan wacana

kontroversial karena dinilai terlalu berlebihan. Gelar adat bisa jadi menjadi

sesuatu yang biasa di mata khalayak umum, akan tetapi menjadi luar biasa bagi

kelompok masyarakat tertentu yang meyakininya. Untuk itu, praktek pemberian

gelar adat kepada seseorang yang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat

cenderung dipandang sebagai penghianatan terhadap adat dan diri sendiri.

Dalam lokalitas Ambon, praktek pemberian sejumlah gelar adat cenderung

dilatarbelakangi oleh hutang budi dan pencitraan diri. Ada semacam pengalaman

bersama yang menjadikan seseorang layak dianugerahi gelar kehormatan adat.

137 “Masyarakat Maluku belum bisa menerima kenyataan di mana harus dipimpin oleh merekayang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat. Kondisi saat ini sungguh-sungguh belummemungkin. Mekanisme adat harus anak adat atau berasal dari kelompok masyarakat adat. Untukitu, jika terjadi sebalinya, apakah berdasarkan mekanisme adat dapat diterima ataukah tidak?Itulah persoalannya. Untuk Maluku belum bisa, masyarakat Maluku belum bisa menerima jikadipimpin oleh mereka yang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat. Kita harus melihatjauh ke depan, jangan-jangan dalam perjalanannya nanti akan muncul lagi konflik. Oleh sebabitu, kebijakan politik pembangunan harus diperhatikan dengan sangat baik. Jangan sampai kitadipinggirkan. Bagaimana pun juga, masyarakat pendatang harus bisa hidup bersama kita, danmereka bisa mengakui adat istiadat kita”. Abdullah Malawat, Raja Negeri Mamala dan MantanKetua Latupati Maluku, Wawancara, 19 Januari 2014, Mamala-Ambon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 134: 126322004_full.pdf - USD Repository

119

Sebagai contoh pada bulan Juni 2014 Jusuf Kalla dalam kampanye politik sebagai

calon wakil presiden Republik Indonesia dinobatan sebagai Upu Latu Mel (kepala

adat) oleh Majelis Latupati Maluku karena dianggap berjasa dalam proses

rekonsiliasi Maluku. Atas jasanya, Jusuf Kalla mendapat “restu adat” melalui

pemberian gelar adat. Jabatan Upu Latu Mel dinilai pantas diberikan kepada Jusuf

kalla sekaligus dukungan politik terkait pencapresan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai

calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia.

Kenyataan semacam ini menegasi perjuangan adat yang tidak luput dari

bias kepentingan-kepentingan politik. Sejarah dijadikan sebagai alat legitimasi

kepentingan politik. Secara khusus sejarah pergerakan adat yang terlalu terbuai

dengan bujuk rayu kepentingan politik. Praktek semacam ini justru semakin

menegaskan wajah politik adat. Muncul perbedaan pendapat di kalangan para

tokoh adat sendiri terkait praktek tersebut. Pada satu sisi, pemberian gelar

kehormatan adat bertumpuh pada mekanisme politik balas budi. Pada ukuran

kelayakan mendapatkan apresiasi, penghargaan dan kehormatan karena jasa-jasa

tertentu bagi masyarakat Maluku, sebagaimana yang terjadi pada kasus pemberian

gelar adat kepada Jusuf Kalla pada juni 2014.

Pada 24 November 2009 hal yang sama kembali terjadi ketika Susilo

Bambang Yudhoyono (SBY) dinobatkan sebagai “Upu Latu Rat Maran

Siwalima” (raja besar Maluku) oleh Majelis Latupati Maluku. Kontroversi seputar

pemberian gelar kehormatan adat muncul di kalangan para tokoh adat itu sendiri.

Hal ini terungkap dalam salah satu pernyataan dari bapak Aleks Sitanala, ketua

“saniri negeri” Suli demikian:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 135: 126322004_full.pdf - USD Repository

120

Beta seng, sangat-sangat seng setuju, seng boleh. Apakah inisudah tepat dan benar? jangan katong mengkhianati, katongpunya harga diri cuma karena kepentingan-kepentingantertentu. Seng boleh.......cuma katong harus tau....terlalubanyak intervensi pemerintah pusat ke daerah sehinggadipaksakan.......katong seng mau menghianati katong pungharga diri. Kalo for beta, jangan karna kepentingan-kepentingan tertentu, orang Ambon bilang katong jual katongpung pesona.138

Wacana kontroversial ini berkembang luas terutama di Kalangan anak

muda Maluku. Muncul petisi dari Anak Cucu Adat Maluku yang menghendaki

agar gelar kehormatan adat Maluku “Upu Latu Rat Maran Siwalima” yang

diberikan kepada Susilo Bambang Yudhoyono harus segera dikembalikan kepada

anak-cucu adat Maluku. Bagi mereka gelar adat Maluku harus ditempatkan pada

posisi mewakili identitas Maluku secara menyeluruh dan memiliki ikatan

emosional dengan masyarakat Maluku serta memiliki filosofi hidup seperti anak

Maluku.139

138 “Secara pribadi saya tidak setuju. Hal itu mestinya tidak boleh terjadi. Apakah hal ini sudahtepat? Kita jangan mengkhianati harga diri kita hanya karena kepentingan-kepentingan tertentu.Hal itu seharusnya tidak harus terjadi. Kita harus menyadari bahwa pemerintah pusat sudahterlalu banyak melakukan intervensi ke daerah-daerah. Kita tidak boleh mengkhianati harga dirikita sendiri. Bagi saya, jangan karena kepentingan-kepentingan tertentu, masyarakat Ambonmenjual daerahnya sendiri”. Aleks sitanala, Ketua Saniri Negeri Suli, Wawancara, 5 Januari2014, Suli Bawah-Ambon.139“Petisi anak-cucu adat Maluku” dalam http://www.petitiononline.com/maluku/petition.html,diakses pada tanggal 27 Agustus 2014

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 136: 126322004_full.pdf - USD Repository

121

Gambar 6: Pengukuhan Gelar kehormatan adat kepada Dr. H. SusiloBambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia140

Pemberian gelar adat selain didasarkan pada semacam politik balas budi,

di sisi lain pemberian gelar adat ditempatkan pula sebagai politik pencitraan diri

elit politik. Wacana semacam ini muncul terkait praktek pemberian gelar adat

seperti “Orlima”, “Anak Adat Tual”, “Fena Duan”, dan “Akor Aliman” dari

masyarakat adat Maluku kepada Said Assagaff pada 2013 dalam kapasitasnya

sebagai calon gubernur Maluku.

140 “Dinobatkan jadi raja besar Maluku, SBY kunya sirih” diakses darihttp://latupatimaluku.blogspot.com/2012/09/dinobatkan-jadi-raja-besar-maluku-sby.html, padatanggal 27 Agustus 2014

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 137: 126322004_full.pdf - USD Repository

122

Gambar 7: Pemberian Gelar Kehormatan Adat kepada Ir. Said

assagaff, Calon gubernur Maluku Pada 2013141

Dalam situs “Catatan Anak Maluku Bastrori Tentang Maluku” yang

mencerminkan histeria anak muda Maluku. Bagi mereka,

Pemberian gelar adat seharusnya bukan atas dasar seremonibelaka. Pemberian gelar adat seharusnya dilepaskan dari politisasipencitraan diri dan kepentingan-kepentingan sesaat. Pemberiangelar adat seharusnya memakai syarat logis atau masuk akal. Apayang telah dilakukan sang penerima gelar adat bagi masyarakatadat setempat sehingga ia layak mendapatkan gelar itu?Mekanisme pemberian gelar adat kepada seseorang di luarkelompok masyarakat adat setempat tentunya harus menjunjungtinggi nilai-nilai demokrasi adat setempat dan sekali lagi bukandipolitisasi untuk kepentingan-kepentingan politik. Apakahpemuka-pemuka adat sudah mewakili suara rakyatnya ataukah

141 “Assagaff bertaburan gelar adat. Pantaskah?” diakse darihttp://catatananakmaluku.blogspot.co.uk/2013/04/assagaff-bertaburan-gelar-adat-pantaskah.html, diakses pada tanggal 27 Agustus 2014

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 138: 126322004_full.pdf - USD Repository

123

jangan-jangan para pemuka adat justru “terkontaminasi” denganrayuan uang dan kekuasaan. Mekanisme pemberian gelar adatjuga tidak instan ataukah sekedar balas jasa.142

Reaksi semacam ini tentu tidak sebatas representasi ketidakpuasan

masyarakat (anak muda Maluku) terhadap adatnya, akan tetapi menegasikan

begitu kuatnya wacana adat mengakar dalam diri masyarakat. Oleh sebab itu,

histeria masyarakat merupakan salah satu cara dimana nilai-nilai adat kembali

dinormalisasikan. Pro-kontra terkait kemunculan Assegaff menjadi persoalan

tersendiri bagi masyarakat Ambon. Kemunculannya Assagaff dipertentangkan

dengan mekanisme adat yang berdasar pada legitimasi hubungan darah.

Mekanisme adat menuntut harus anak adat sedangkan pada kenyataanya

seseorang yang dinilai bukan merupakan anak adat berpotensi nyata dapat

memimpin di daerah adat. Konstruksi adat menimbulkan dilema di kalangan

masyarakat. Pada satu sisi, atas nama adat posisionalitas seseorang yang dinilai

bukan berasal dari kelompok masyarakat adat akhirnya dipertanyakan:

”..Eh kamong mau pilih Assagaff? sedangkan dia bukan anakAmbon? Dia mau jadi Upu Latu di Ambon? mau pegang tombak,pakai pakani adat? Dipertanyakan, apa boleh ka seng? 143

Akan tetapi di sisi lain, adat menciptakan ruang negosiasi antara lokal dan

pendatang, anak adat dan bukan anak adat. Kadang-kadang mekanisme adat

142 “Assagaff Bertaburan Gelar Adat. PANTASKAH ????” diakses darihttp://catatananakmaluku.blogspot.com/2013/04/assagaff-bertaburan-gelar-adat-pantaskah.htmlpada tangga 27 Agustus 2014143 “Apakah kalian mau memilih Assagaf? Dia sendiri bukan berasal dari kelompok masyarakatadat. Apakah dia pantas menjadi raja besar (Upulati) di Ambon? Apakah dia pantas memegangtongkat kepemimpinan raja dan mengenakan pakai adat? Perlu dipertanyakan kembali, apakahberdasarkan adat diperbolehkan ataukah tidak?” Aleks sitanala, Ketua Saniri Negeri Suli,Wawancara, 5 Januari 2014, Suli Bawah-Ambon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 139: 126322004_full.pdf - USD Repository

124

menghendaki agar kepemimpinan lokal mesti berada di bawah kendali adat, akan

tidak dapat dipungkiri bahwa adat sering dijadikan juga sebagai arena negosiasi

politik dengan mengatasnamakan masa depan masyarakat. Demi masa depan

masyarakat, adat yang awalnya diesensialkan pada akhirnya dinegosiasikan

kembali: “jangan karena adat beta harus kasi rusak Maluku ini” (apakah karena

adat, saya harus menghancurkan Maluku?).144

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemberian gelar adat baik kepada Jusuf

Kalla, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Said Assagaff tidak diketahui seberapa

besar efektivitasnya bagi orang Maluku. Akan tetapi bagi saya kenyataan

semacam ini semakin menegaskan perluasan wacana adat yang direproduksi

secara terus-menerus. Pemberian gelar adat semakin menegaskan konstruksi

wacana adat dalam ruang publik politik yang diperebutkan. Selain itu, reproduksi

wacana adat atas salah satu cara semakin melegitimasi dominasi kekuasaan yang

sedang dikritik habis-habisan dan mereproduksi kepatuan masyarakat dalam rezim

wacana adat.

3.3. Internalisasi Wacana Kebangkitan Adat Ambon

Di awal bab telah dibahas mengenai kelahiran dan perluasan wacana

kebangkitan adat. Berikut ini saya ingin membicarakan mengenai proses

internaliasi wacana kebangkitan adat Ambon. Uraian ini mengacu pada persoalan

apakah pemerintah yang mengakomodir adat pada level pemerintahan negeri

144 Abdullah Malawat, Raja Mamala dan mantan ketua Latupati Maluku, Wawancara, 19 Januari2014, Mamala-Ambon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 140: 126322004_full.pdf - USD Repository

125

dalam arti tertentu dapat dikatakan bahwa adat dipakai sedemikian rupa untuk

menjaga identitas orang Ambon ataukah hanya untuk kepentingan politik

kelompok tertentu? Sebagai tanggapan atas pertanyaan tersebut ada dua fenomena

menarik yang perlu dipertimbangkan pada kesempatan ini.

3.3.1. Loyalitas Penduduk Lokal Ambon terhadap Adat

Sebagaimana telah diungkapkan di awal bahwa antusiasme masyarakat

adat Ambon yang memilih untuk menghidupkan kembali pemerintahan hukum

adat dilatarbelakangi oleh keinginan mendasar agar kepemimpinan lokal tetap

berada di bawah kendali kelompok masyarakat adat Ambon. Keinginan tersebut

dilatarbelakangi oleh kecemasan masyarakat, terutama para raja atau tokoh adat

terhadap hancurnya pranata adat dan pergeseran peran-peran penduduk lokal

akibat intervensi negara secara berlebihan melalui UU No.5 Tahun 1979 tentang

pemerintahan desa.

Sadar bahwa meski hak dan kewajiban setiap individu pada dasarnya

sama, akan tetapi mekanisme adat perlu dihormati. Ada ruang yang diperuntukan

bagi tiap-tiap warga termasuk warga pendatang untuk terlibat dalam

pembangunan akan tetapi tetap ada batasannya. Ada keyakinan bahwa dengan

adanya kepemimpinan anak adat yakni mereka yang berasal dari anggota

masyarakat adat keharmonisan hidup akan lebih mudah direalisasikan. Oleh sebab

itu, meski perubahan-perubahan yang terjadi cukup beralasan akan tetapi

menyimpan persoalan tersendiri. Persoalan dalam pengertian penghancuran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 141: 126322004_full.pdf - USD Repository

126

pranata adat dan pergeseran peran-peran penduduk lokal seperti yang telah

dikemukakan di atas.

Dalam konteks itu perubahan-perubahan yang terjadi akhirnya terkesan

bertujuan untuk membangkitkan kembali sentimen-sentimen primordial adat

seperti kepemimpinan anak adat dan status quo para raja. Memilih untuk kembali

ke adat sambil mempertanyakan posisionalitas menjadi sesuatu yang penting di

mata para raja;

“Apakah suatu ketika torang harus lihat yang bukan orang adat iniharus pimpin di daerah adat? tiap-tiap daerah sudah diberikanruang, kesempatan untuk mengatur daerahnya…..semuanya sudahada di situ untuk mengatur daerahnya”.145

Konversi “negeri” menjadi desa perlu dikembalikan ke “negeri”. Peran

raja dan saniri perlu direvitalisasi bukan berdasarkan kehendak negara melalui

kebijakan UU No.5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa melainkan berdasar

pada hukum adat Ambon. Melalui adat terutama kepemimpinan hukum adat

keharmonisan hidup akan lebih mudah terealisasi. Dalam kehidupan

bermasyarakat, masyarakat akan lebih mudah mendengarkan seorang raja atau

anak adat yang ditetapkan berdasarkan mekanisme hukum adat pantas

mengemban jabatan raja dan memimpin di daerah adat (Ambon) dari pada

seorang pemimpin yang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat yang

memimpin di daerah adat.

145 “Apakah pada suatu ketika kita harus menyaksikan bahwa mereka yang bukan berasal darikelompok masyarakat adat harus memimpin di daerah adat? tiap-tiap daerah telah diberikanruang, telah diberikan kesempatan untuk mengatur daerahnya sendiri. Semuanya telah diberikankewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing.” Aleks sitanala, Ketua Saniri NegeriSuli, Wawancara, 5 Januari 2014, Suli Bawah-Ambon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 142: 126322004_full.pdf - USD Repository

127

Cara pandang semacam ini kembali menegaskan urgensi dan signifikansi

kebangkitan adat Ambon dan kepemimpinan lokal masyarakat adat di Ambon

seperti yang ditegaskan oleh bapak raja Abdullah Malawat, salah seorang tokoh

adat terkemuka di Maluku. Menurut Malawat,

“Dengan adanya tokoh adat yang dari dulunya dorang itu, secarahubungan sosial, pola panutan akan lebih kentara. Orang lainlebih hormati dorang karena dorang itu raja ko. Tapi kalo tiba-tibadari keluarga raja ini seng jadi raja, he ose itu sapa? Samadengan beta saja. Pandangannya seperti itu, kalo bukan keluargaraja yang jadi raja, dong malawan banyak. ose saja, beta jua bisa.Tapi kalo dari keluarga raja, dari sononya bagitu, orang akanlebih turut”.146

Kutipan di atas secara spesifik memposisikan adat sebagai acuan dasar

kehidupan berpolitik di Ambon. Terutama kepemimpinan politik yang

dikhususkan kepada anggota masyarakat adat Ambon pada level negeri. Selain

itu, urgensi adat sebetulnya bukan semata-mata terletak pada kuasa legitimasi

jabatan raja yang secara khusus harus berasal dari turunan raja, akan tetapi terletak

pada ketidaksiapan penduduk lokal Ambon memberi ruang partisipasi politik

kepada orang lain yang tidak memiliki ikatan hubungan darah memimpin di

Ambon. Dalam konteks itu, pilihan menghidupkan kembali “negeri” adat seakan-

akan menjadi sebuah kemutlakan yang tidak dapat diabaikan.

146 “Dari sisi hubungan sosial, seorang raja yang berasal dari kelompok masyarakat adat, berasaldari turunan raja, mereka dapat menjadi pola panutan. Orang lain akan lebih menghormatikarena mereka benar-benar raja. Akan tetapi jika tiba-tiba mereka yang memiliki turunan rajatidak menjadi raja, tentu akan dipertanyakan: anda siapa? Anda sama saja dengan saya ko!Pandangan-pandang semacam ini akan muncul jika seorang raja bukan berasal dari keluargaturunan raja. Masyarakat akan lebih banyak melawan. Anda saja bisa, saya juga bisa sepertianda. Namun jika dari keluarga turunan raja, yang sejak dahulu sudah ditetapkan demikian,orang akan lebih patuh”. Abdullah Malawat, Raja Mamala dan mantan ketua Latupati Maluku,Wawancara, 19 Januari 2014, Mamala-Ambon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 143: 126322004_full.pdf - USD Repository

128

Urgensi dan signifikansi kembali ke adat pada akhirnya melahirkan

persoalan baru antara penduduk lokal dan pendatang. Persoalan identitas

masyarakat Ambon pada akhirnya dikontestasikan dalam formasi wacana adat.

Bahkan dalam lingkup internal masyarakat Ambon, perubahan-perubahan yang

terjadi ketika diikuti secara seksama justru melahirkan kejutan-kejutan baru. Di

luar dugaan malah diperhadapkan dengan kenyataan bahwa di tengah-tengah

antusiasme masyarakat untuk kembali ke adat atau kembali ke pemerintahan

hukum adat pada level negeri justru dikejutkan dengan suara-suara yang bernada

oposisi yang menghendaki agar wilayah-wilayah di bawah kewenangan “negeri

adat” dimekarkan lagi menjadi desa meski berstatus sebagai desa administratif di

bawah negeri.

Pertanyaannya sekarang, apakah kebangkitan adat di Ambon sungguh-

sungguh mencerminkan aspirasi seluruh anggota masyarakat ataukah hanya

segelintir orang? Apakah kebangkitan adat di Ambon sungguh-sungguh

meresistensi mekanisme kekuasaan ataukah justru melipatgandakan mekanisme

kekuasaan yang sedang dikritik? Untuk mendalami persoalan-persoalan tersebut,

uraian berikut ini akan lebih menitik beratkan pada posisi masyarakat pendatang,

yakni mereka yang tidak berasal dari kelompok masyarakat adat yang dalam

keseharian hidup berhadapan dengan praktek adat di Ambon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 144: 126322004_full.pdf - USD Repository

129

3.3.2. Sikap Diam Warga Pendatang dalam Adat

Wacana kebangkitan adat di Indonesia muncul karena kekecewaan

masyarakat adat terhadap sistem demokrasi yang dinilai tidak mampu

mengakomodir keragaman budaya masyarakat, penghancuran terhadap pranata-

pranata adat. Dalam konteks itu, masyarakat adat Ambon merupakan salah satu

kontestan adat yang berjuang menyelamatkan adat istiadat. Atas nama adat,

masyarakat Ambon menolak intervensi negara melalui UU desa dan memilih

untuk kembali ke adat dengan menghidupkan kembali “negeri” sebagai

pemerintahan hukum adat di wilayah kepulauan Ambon.

Kemunculan adat di Ambon terbilang sukses ketika adat dipakai sebagai

modal sosial kultural dalam proses penyelesaian konflik di Ambon pada

khususnya dalam Maluku pada umumnya. Dengan misi perdamaian identitas adat

dikedepankan untuk membangun kembali perdamaian. Pergerakan adat kemudian

memasuki fase koordinasi dan reorganisasi diri melalui pembentukan dewan adat

(Latupati) dan penerbitan serangkaian produk hukum tentang adat guna

melegitimasi penetapan kembali “negeri” sebagai pemerintahan hukum adat. Atas

nama adat banyak perubahan terjadi di Ambon, akan tetapi persoalannya sekarang

adalah apakah kebangkitan adat di Ambon sungguh-sungguh mencerminkan

aspirasi seluruh anggota masyarakat? Sejauhmana masyarakat terakomodir dalam

wacana kebangkitan adat di Ambon?

Pada kenyataannya praktek dan wacana kebangkitan adat di Ambon

melahirkan wacana biner antara penduduk lokal dan pendatang. Saling pengakuan

antar kelompok, terutama pengakuan terhadap mekanisme adat seringkali

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 145: 126322004_full.pdf - USD Repository

130

menyebabkan masyarakat pendatang lebih memilih diam dan patuh terhadap

mekanisme adat. “Yang penting bagi beta aman-aman saja (Bagi saya, yang

terpenting adalah kondisi tetap aman)”147 ungkap Doni Silawanebessy ketika

diwawancari terkait keberadaannya sebagai pendatang berhadapan dengan

mekanisme adat pada level “negeri”. Rasa aman menjadi nilai terpenting bagi

masyarakat pendatang ketika harus berhadapan dengan mekanisme dan praktek

adat. Akan tetapi dibalik ungkapan tersebut terbesik harapan agar seluruh warga

kiranya dilibatkan dalam praktek adat.

Mungkinkah warga pendatang dapat terlibat dalam praktek dan wacana

adat di Ambon? prosesi penerimaan adat nampaknya tidak menyentuh sampai

pada keseharian hidup masyarakat pendatang. Persoalan keterwakilan warga

dalam praktek adat melahirkan kembali wacana ketidakadilan yang sejak semula

dikritik dalam perjuangan kebangkitan adat di Ambon. Dari akses jalan yang

rusak, ketidak jelasan lahan hunian, pembagian raskin (jatah bantuan beras dari

dinas sosial) sampai pada persoalan keterwakilan warga pendatang dalam praktek

pemerintahan “negeri” menimbulkan perasaan dianaktirikan.148

Meski dalam seruan-seruan yang disampaikan oleh tokoh adat akan

kesetaraan hak dan saling pengakuan, akan tetapi pada kenyataannya ketika

muncul persoalan akan sangat sering terdengar ungkapan-ungkapan bernada

dikotomik antara lokal dan pendatang: “kamong ada tinggal di orang pung tanah

147 Doni Silawanebessy, warga Tial, Wawancara, 20 Januari 2014, Relokasi pengungsian Tial diAmbon.148 Dedi Rikumahu, warga Banda, Wawancara, 25 Januari 2014, Relokasi pengungsian Banda diAmbon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 146: 126322004_full.pdf - USD Repository

131

(tanah ini bukan milik kalian) atau kamong pendatang saja (Kalian masyarakat

pendatang).149 Kondisi semacam ini menegasikan proliferasi wacana adat yang

ditandai dengan cara masyarakat masyarakat membicarakan adat.

Adat tidak lagi sebatas tradisi, warisan para leluhur melainkan adat dalam

kaitannya dengan bagaimana adat mampu mengakomodir dan mensejahterahkan

masyarakat tanpa memandang latar belakang suku, agama dan ras. Untuk itu,

tidak mengherankan jika wacana kebangkitan adat yang diperjuangkan dengan

tujuan untuk menyelamatkan kehancuran pranata adat justru menjadikan adat

sebagai arena konstestasi kekuasaan. Adat tidak sebatas identitas masyarakat adat

untuk memobilisasi masa dalam memperjuangkan hak-hak lokal, akan tetapi

membentuk rezim kekuasaan baru dalam masyarakat modern.

Adat dijadikan sebagai sarana paling efektif mengumbar janji-janji politik

bahkan dengan membangun wacana memanipulasi atas nama adat untuk

mendapatkan dukungan politik dari masyarakat, terutama pendatang yang

berdomisili dalam wilayah-wilayah petuanan adat, “Beta so kasih kamong jaga

katong pe dusun, maka orang juga otomatis ada upah” (saya telah

mempersilahkan kalian menempati tanah kami, untuk itu harus ada juga timbal

baliknya).150 Keterlibatan masyarakat dalam praksis adat dalam lingkup

pemerintahan “negeri” pada kenyataannya tidak lebih dari penonton dan

pendengar serta dilibatkan sejauh diperlukan. Warga pendatang hanya akan

149 Dedi Rikumahu, warga Banda, Wawancara, 25 Januari 2014, wilayah relokasi pengungsianBanda di Ambon.150 Izak Aipassa, Warga Banda, Wawancara, 20 Januari 2014, Relokasi pengungsian Banda diAmbon

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 147: 126322004_full.pdf - USD Repository

132

dilibatkan untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban pemerintahan

negeri di akhir tahun.151

Bertolak dari pengalaman-pengalaman tersebut muncul keinginan di

kalangan masyarakat pendatang untuk terlibat secara aktif dalam praksis

pemerintahan hukum adat. Ada keinginan untuk mengintensifkan peran-peran

warga pendatang dengan membentuk “desa administratif tanpa harus terlepas dari

“negeri”. Dalam kesatuan dengan negeri adat, keinginan pembentukan sebuah

desa administratif menjadi kerinduan warga pendatang. Hal ini juga dilakukan

sebagai upaya untuk mendapatkan pengakuan terhadap hak-hak kewargaannya

dalam kehidupan pemerintahan adat. Ada keinginan agar hak-hak warga

pendatang diperhatikan, terutama keterwakilan dalam pemerintahan negeri dan

perlakuan yang adil terkait pelbagai bantuan yang diperuntukan bagi masyarakat.

3.4. Catatan Penutup

Adat pada dasarnya bukanlah sesuatu yang buruk, hanya saja berbahaya

ketika telah dirasuki oleh hasrat akan kekuasaan. Akibatnya adat tidak lebih dari

sebuah kendaraan politik para elit lokal dalam dinamika politik. Ikon-ikon adat

dihadirkan hanya untuk memenuhi hasrat berkuasa dan popularitas diri. Bahkan

tidak segan-segannya mengobral (gelar) adat demi mendapatkan pengakuan

publik atas otonomisasi adat dan kekuasaan yang dijalankan atas nama adat.

151 Tos Walunaman, Warga Larike, Wawancara, 20 Januari 2014, Relokasi Pengungsian Larike diAmbon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 148: 126322004_full.pdf - USD Repository

133

Fenomena semacam ini mewarnai uraian bab ini. Tujuannya adalah untuk

menyelami praktek diskursif adat di Ambon.

Dalam lokalitas Ambon, teknik menyingkap rezim wacana kekuasaan adat

yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini dilaksanakan dengan cara

memperhatikan dan mengikuti gerakan perkembangan dan perluasan wacana adat.

Mula-mula dengan memperhatikan kemampuan mengorganisasi diri,

pelembagaan adat, pembentukan norma adat, sosialisasi nilai-nilai adat sampai

pada proses saling pengakuan antar warga, baik itu penduduk lokal maupun

pendatang. Seluruh uraian tersebut pada dasarnya bertujuan untuk menyingkap

pola-pola kekuasaan yang terbentuk dalam pratek dan wacana adat di Ambon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 149: 126322004_full.pdf - USD Repository

134

BAB IV

KEKUASAAN DAN SUBYEKTIVITAS

DALAM WACANA KEBANGKITAN ADAT AMBON

Bab IV membahas mengenai kekuasaan dan subyektivitas. Pembahasan

mengenai kedua pokok persoalan tersebut dimaksudkan untuk menganalisa

hubungan kekuasaan dan konstruksi subyek dalam wacana kebangkitan adat.

Mengacu pada tujuan tersebut, uraian ini diawali dengan menganalisa hubungan

kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat Ambon. Tujuannya adalah untuk

membongkar hubungan kekuasaan yang diproduksi dalam wacana kebangkitan

adat Ambon. Uraian dilanjutkan dengan menganalisa proses pembentukkan

subyek dalam wacana kebangkitan adat. Proses pembentukan subyek dalam

wacana menegasi proses objektivasi subyek dalam wacana melalui teknologi

pendisiplinan subyek. Pembahasan mengenai hubungan kekuasaan dan konstruksi

subyek dalam wacana kebangkitan adat Ambon akan dijabarkan secara rinci di

bawah ini.

4.1. Hubungan Kekuasaan dalam Wacana Kebangkitan Adat Ambon

Wacana merupakan tempat di mana hubungan kekuasaan diproduksi,

disebarluaskan dan dilipatgandakan. Kekuasaan dalam wacana selalu bersifat

imanen dan co-ekstensif dengan tubuh sosial. Kekuasaan tidak berpusat atau

dimiliki oleh lembaga atau kelompok tertentu. Kekuasaan itu datang dari mana-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 150: 126322004_full.pdf - USD Repository

135

mana dan menyebar ke mana-mana. Kekuasaan selalu bersifat kompleks sehingga

sering kali sulit untuk dikenali. Oleh sebab itu, dalam rangka melacak hubungan

kekuasaan yang diproduksi dalam wacana maka penting untuk diperhatikan

adalah “sistem bahasa” yang dipergunakan untuk membicarakan tentang topik

tertentu dalam wacana. “Sistem bahasa” yang dimaksudkan di sini adalah

akumulasi pernyataan-pernyataan rasional dan penuh makna. Kemampuan

mengidentifikasi sistem bahasa yang tersedia dalam wacana akan sangat

memungkinkan kita memahami hubungan kekuasaan.

Bertolak dari sebuah pemikiran sederhana untuk memahami hubungan

maka, analisa terhadap hubungan kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat

Ambon akan dilakukan dengan memperhatikan sistem bahasa yang dibentuk

dalam wacana kebangkitan adat Ambon. Dalam konteks wacana kebangkitan adat

Ambon, sistem bahasa yang dimaksudkan di sini merujuk pada akumulasi

pernyataan rasional tentang eksistensi adat di Ambon. Dengan kata lain,

pembicaraan tentang adat didasarkan pada sejumlah pengetahuan tentang adat.

Pengetahuan tentang adat dipakai untuk merumuskan realitas adat dan

membangun klaim-klaim politik tentang kondisi masyarakat atas nama adat.

Kemampuan untuk merumuskan realitas adat diterima oleh masyarakat

sebagai sebuah produk kebenaran. Sayangnya kebenaran yang diterima sering kali

diklaim sebagai kebenaran absolut dan seakan-akan tidak perlu untuk

dipertanyakan kembali. Orang lebih merasa mapan dengan kebenaran yang

diterima. Akibatnya orang lebih memilih tinggal dalam kenikmatan akan

pengetahuannya dari pada menyangsikan kemapanan status pengetahuannya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 151: 126322004_full.pdf - USD Repository

136

Kondisi semacam ini sering kali membuat kebanyakan orang tidak lagi menyadari

eksistensi hubungan kekuasaan yang bercokol dalam wacana. Agar tidak

selamanya terjebak dalam permainan kekuasaan dalam wacana maka hubungan

kekuasaan dalam wacana perlu dibongkar. Secara khusus membongkar hubungan

kekuasaan yang diproduksi dalam wacana kebangkitan adat Ambon. Dalam

rangka membongkar hubungan kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat

Ambon, unsur pertama yang perlu dilakukan adalah membongkar kemapanan

status pengetahuan akan kebenaran wacana kebangkitan adat.

4.1.1. Rezim Kebenaran Wacana Kebangkitan Adat

Analisa terhadap rezim kebenaran mau membidik keyakinan masyarakat

akan status pengetahuan tertentu yang diterima sebagai sebuah kebenaran mutlak.

Kebenaran tersebut bekerja secara efektif dalam masyarakat tanpa merasa perlu

untuk dipertanyakan. Sebaliknya cara memperlakukan kebenaran semacam ini

justru semakin mengukuhkan wacana kekuasaan. Dengan kata lain, “kebenaran

pada hakekatnya tidak pernah berada di luar kekuasaan sebab sesuatu yang

seakan-akan diperlakukan sebagai kebenaran sebetulnya merupakan efek

hubungan kekuasaan yang tersebar dalam wacana”.152

Kebenaran selalu dikondisikan oleh wacana dengan menciptakan bahasa

khusus untuk membicarakan kebenaran. Dengan cara semacam ini, keyakinan

orang terhadap kebenaran akan dirangsang secara terus-menerus untuk selalu

152 Bdk., Madan Sarup (2003), Postrukturalisme dan posmodernisme, Hlm. 126

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 152: 126322004_full.pdf - USD Repository

137

menggunakan bahasa yang telah disediakan. Akibatnya, orang patuh dan

tergantung sepenuhnya terhadap suatu kebenaran yang diterima. Kondisi

semacam ini biasanya disebut rezim kebenaran. Menurut Foucault:

Each society has its regime of truth, its general politics of truth:that is the types of discourse which it accepts and makes functionas true; the mechanisms and instances which enable one todistinguish true and false statements, the means by which each issanctioned; the techniques and procedures accorded value in theacquisition of truth; the status of those who are charged withsaying what counts as true.153

Rezim kebenaran termanifestasi dalam bentuk wacana ilmiah (scientific

discourse) yang diproduksi melalui riset dan penelitian-penelitian ilmiah. Selain

riset dan penelitian, rezim kebenaran diproduksi juga melalui keterlibatan

institusi-institusi kekuasaan yang bertindak sebagai agen-agen kekuasaan

(agencies of power). Keterlibatan institusi-institusi kekuasaan berkaitan dengan

kepentingan mereka untuk mengatur, mendorong, menyebarkanluaskan dan

melipatgandakan rezim kebenaran.154

Selain institusi kekuasaan, penting untuk diperhatikan juga adalah peran

kaum intelektual. Posisi kaum intelektual dalam rezim kebenaran wacana adalah

mereka yang bertindak sebagai aparat kebenaran (apparatus of truth). Sayangnya

menurut Foucault kaum intelektual cenderung hanya berkutet pada profesinya

semata, bertindak sebagai petty-bourgeois untuk melayani kepentingan

153 “Setiap masyarakat memiliki regim kebenaran, regim kebenaran dalam pengertian ini merujukpada politik kebenaran: salah satu bentuk dari model wacana yang diterima dan difungsikansebagai kebenaran; sebuah mekanisme atau kumpulan pernyataan yang dipakai sebagai dasaruntuk membedakan antara benar dan salah, mendapatkan persetujuan; teknologi dan prosedurnilai dalam kebenaran; status yang mengubah pernyataan sebaliknya sebagai kebenaran”. MichelFoucault (1980), Power/Knowledge, Hlm. 131154 Michel Foucault (1976), The history of sexuality, Hlm. 18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 153: 126322004_full.pdf - USD Repository

138

kapitalisme dari pada memikirkan rezim kebenaran yang ada dalam

masyarakat.155 Rezim kebenaran berfungsi sebagai sistem prosedural yang

mengatur mengenai produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi dan operasionalisasi

kebenaran dalam wacana.156

Salah satu bentuk dari rezim kebenaran yang saya ingin bicarakan di sini

adalah rezim kebenaran kebangkitan adat. rezim kebenaran kebangkitan adat

mendasari rasionalitasnya pada fenomena-fenomena ketidakadilan seperti

perampasan tatah-tanah ulayat oleh negara, eksploitasi hutan, konversi desa-desa

adat dan keterwakilan putra daerah dalam struktur birokrasi politik di tingkat

lokal. Dalam perkembangannya, persoalan-persoalan tersebut lantas dihubungkan

dengan persoalan kehancuran adat. Tindak lanjut dari klaim akan kehancuran adat

mendorong antusiasme perjuangan masyarakat untuk memilih mengurus diri

sendiri berdasarkan adat istiadat di daerahnya masing-masing.

Atas nama adat, pemerintah Orde Baru diklaim sebagai orde penindasan

adat yang seakan-akan baru mengalami pembebasan di era reformasi. Kebebasan

adat baru dialami secaara kongkrit di saat kemunculan wacana kebangkitan adat di

penghujung Orde Baru. Wacana kebangkitan adat lantas ditindaklanjuti melalui

pembentukan berbagai lembaga swadaya masyarakat baik di tingkat pusat

maupun daerah yang memberi perhatian khusus terhadap upaya merevitalisasi

adat. Pada titik ini, penting untuk dipertimbangkan adalah apakah adat benar-

benar terepresi di masa Orde Baru dan baru mengalami pembebasan di era

155 Michel Foucault (1980), Power/Knowledge, Hlm. 132156 Ibid., Hlm. 133

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 154: 126322004_full.pdf - USD Repository

139

reformasi? Sebetulnya dari sisi transformatif yang terjadi adalah ledakan wacana

tentang adat. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Foucault dalam The History of Sexuality (1976) menunjukan secara jelas

proses terjadinya ledakan wacana seks. Ledakan wacana seks terjadi melalui

proses institusionalisasi kekuasaan. Hal ini ditandai dengan penapisan kosa kata,

pengaturan mengenai kapan tidak boleh membicarakan seks, dalam situasi apa,

dan antara siapa.157 Kondisi semacam ini sebetulnya tidak menegasi wacana

tentang represi seks melainkan menegasi sebuah ledakan wacana tentang seks. Hal

ini ditandai oleh sejarah keterlibatan institusi-institusi kekuasaan yang bekerja

secara produktif dalam memproduksi, mengatur dan menyebarluaskan kebenaran

wacana tentang seks. Bahayanya, produksi dan penyebaran kebenaran tentang

seks tidak pernah berada di luar kekuasaan. Kebenaran tentang seks diproduksi

dalam hubungannya dengan kekuasaan, dirangsang dan didorong melalui berbagai

macam strategi kekuasaan yang bekerja secara produktif dalam masyarakat.

Demikian pula yang terjadi di Ambon terkait wacana kebangkitan adat.

Adat secara mengejutkan muncul ke ruang publik sebagai masalah. Adat sebagai

representasi kebiasaan hidup dan ekpresi religius masyarakat terhadap para

leluhur, tiba-tiba muncul sebagai sebuah persoalan. Kemunculan adat tidak

sebatas upaya penyelesaian konflik; akan tetapi meluas ke mana-mana.

Kemunculan adat semakin kompleks ketika adat dihubungkan dengan berbagai

agenda politik. Di antaranya adalah urgensi penetapan kembali “negeri”, urgensi

pembentukan dewan adat dan peraturan-peraturan daerah mengenai adat istiadat

157 Michel Foucault (1976), The history of sexuality, Hlm. 18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 155: 126322004_full.pdf - USD Repository

140

di Ambon. Memperhatikan dinamika perkembangan adat yang lambat-laun mulai

membidik berbagai agenda politik, apakah kita masih bisa mengatakan bahwa

adat direpresi ataukah sebaliknya terjadi ledakan wacana?

Dengan mempertimbangkan praktek wacana kebangkitan adat di Ambon

sebetulnya menegasi ledakan wacana adat. Ledakan wacana adat ditandai oleh

keteribatan institusi-institusi sosial dan politik dalam mengatur dan mengawasi

adat sejak kemunculannya pada 1999. Bahkan di sekitar wacana tentang adat

malah terjadi proliferasi wacana (proliferation of discourses). Hal ini ditandai

dengan adanya pelipatgandaan wacana (multiplication of discourses) tentang adat

dalam wilayah kekuasaan. Secara khusus mencakup pembicaraan mengenai adat

secara intensif termasuk ritual adat, kebiasaan hidup dan ekpresi religius warga

terhadap para leluhur, dan hak keistimewaan penduduk lokal Ambon dalam

struktur birokrasi di tingkat lokal.

Pembicaraan mengenai adat lambat laun bergeser ke topik pembicaraan

mengenai kepemimpinan penduduk lokal Ambon. Pergeseran adat mencerminkan

dinamika perluasan adat di Ambon, terutama terkait upaya penduduk lokal

Ambon dalam melakukan birokratisasi adat, manejerialisasi adat, dan

administrasi adat. Konsekuensinya, adat tidak lagi sebatas merepresentasikan

kebiasaan hidup dan asal-usul; akan tetapi menegasi kelanggengan sikap

orientalistik penduduk lokal Ambon. Sikap orientalistik ini ditandai dengan

upaya untuk mendefenisikan diri sebagai orang lokal (orang Ambon), pengaturan

mengenai siapa saja yang dapat terlibat dalam kerja adat, pengkhususan ruang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 156: 126322004_full.pdf - USD Repository

141

lingkup adat, bahkan batasan antar warga melalui pembedaan antara siapa yang

disebut penduduk lokal dan warga pendatang.

Di sisi lain, upaya untuk merumuskan ketidakadilan akibat sistem

penyerangam budaya melalui kebijakan pusat mengenai konversi “negeri-negeri”

adat menjadi desa menimbulkan persoalan. Artinya, upaya penetapan kembali

“negeri” dan seluruh agenda politik berbasis adat justru sedang mereproduksi

wacana orientalistik. Untuk itu klaim perlakukan diskriminasi sistemik,

marginalisasi dan penyingkiran selama rejim orde baru seperti yang digambarkan

oleh Brigitta Hauser-Schäublin dalam Adat and Indigeneity in Indonesia (2013)

perlu dipertimbangkan kembali sebagai bagian dari hubungan kekuasaan-

pengetahuan.158

Ingat bahwa kekuasaan sama sekali tidak memberi daya untuk

membicarakan sesuatu melainkan pengetahuan untuk membicarakannya adalah

kekuasaan.159 Pengetahuan merupakan kekuasaan yang bekerja melalui status

pengetahuan. Pengetahuan tersebut memproduksi kesenangan dan kenikmatan

untuk secara terus-menerus membicarakan adat baik untuk menentang dominasi

kekuasaan negara maupun perlawanan untuk mengubah aturan-aturan agar bisa

memasuki kehidupan baru yang lebih baik.160 Adanya upaya menggabungkan

kebenaran tentang adat dengan pemutarbalikan hukum dan proklamasi akan

158 Lih., Brigitta Hauser-Schäublin (2013), Adat and Indigeneity in Indonesia: Cultural andEntitlements between Heteronomy and self-Ascription, Hlm. 7159 Michel Foucault (1976), The history of sexuality, Hlm. 94160 Ibid., Hlm. 7

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 157: 126322004_full.pdf - USD Repository

142

kedatangan hari baru yang lebih baik.161 Akan tetapi yang tidak disadari dari

upaya penggabungan kebenaran dengan pemutarbalikan hukum dan proklamasi

akan kedatangan hari baru justru merupakan kondisi di mana kekuasaan itu

beroperasi.

Pembicaraan selama ini mengenai adat dan penyebaran kebenaran

mengenai adat merupakan strategi di mana hubungan kekuasaan itu diproduksi

dalam wacana kebangkitan adat. Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan

secara kongkrit berfungsi bukan untuk memberi daya mengatakan benar-salah

melainkan pengetahuan itu sendirilah yang berfungsi untuk melegitimasi

pernyataan mengenai kesalahan atau kebenaran tertentu mengenai adat. Jadi

esistensi hubungan kekuasaan sebetulnya terletak pada status pengetahuan yang

melegitimasi kebenaran akan kebangkitan adat. Kekuasaan tersebut kemudian

direprodusi secara terus menerus dengan tujuan untuk melawan atau menguasai

orang lain.

Analisa hubungan kekuasaan, pengetahuan, dan kebenaran mengingatkan

kita untuk selalu menyadari kehadiran wacana kekuasaan dalam masyarakat.

Menurut Foucault:

If power were never anything but repressive, if it never didanything but to say no, do you really think one would be broughtto obey it? What makes power hold good, what makes it accepted,is simply the fact that it doesn't only weigh on us as a force thatsays no, but that it traverses and produces things, it inducespleasure, forms knowledge, produces discourse. It needs to beconsidered as a productive network which runs through the whole

161 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 158: 126322004_full.pdf - USD Repository

143

social body, much more than as a negative instance whosefunction is repression.162

Pada dasarnya produksi rezim kebenaran dalam wacana berfungsi untuk

melegitimasi setiap tindakan politis dengan tujuan untuk menaklukan atau

menguasasi orang lain. Legitimasi tersebut tidak terlepas dari peran institusi

dalam memproduksi dan menyebarluaskan wacana tertentu seperti wacana adat.

Institusi-institusi menjadi arena di mana hubungan kekuasaan beroperasi dan

berlipatganda. Itulah sebabnya hubungan kuasa dan institusi selalu ditempatkan

dalam posisi kebutuhan dan keinginan institusi untuk mereproduksi, mengatur,

merekam, mendengarkan dan menyebarluaskan wacana tertentu.

4.1.2. Proses Institusionalisasi Kekuasaan Adat

Sejarah seksualitas atas salah satu cara merupakan sejarah keterlibatan

institusi-institusi kekuasaan dalam proses produksi, penyebaran dan

pelipatgandaan wacana tentang seks. Wacana tentang represi seks pada abad 17

yang dinilai mengalami pembungkaman justru sebaliknya terjadi ledakan wacana.

Ledakan wacana tentang seks pada abad ke-19 terjadi melalui keterlibatan

institusi-institusi kekuasaan seperti gereja, keluarga, sekolah, medis dalam

162 “Jika kekuasaan tidak pernah ada tetapi merepresi, jika kekuasaan bukanlah sesuatu yang adatetapi kita mengatakan tidak, apakah yang engkau pikirkan tentang sesuatu yang memaksa untukdipatuhi? apakah yang menyebabkan kekuasaan itu menjadi baik, apakah yang membuatkekuasaan itu dapat diterima, adalah sebuah kenyataan bahwa kekuasaan tidak hanya menimbangapa yang menguatkan untuk mengatakan tidak, tetapi bahwa kekuasaan itu digerakkan danmemproduksi sesuatu, yakni kesenangan, pengetahuan, wacana. Kekuasaan memiliki jaringanyang bekerja melingkupi tubuh sosial, lebih dari sesuatu yang negatif yang fungsinya merepresi”.Michel Foucault (1980), Power/Knowledge, Hlm. 119

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 159: 126322004_full.pdf - USD Repository

144

mengatur pembicaraan masyarakat mengenai seks.163 Bahkan seperti yang

terungkap dalam sejarah seksualitas bahwa malah terjadi proliferasi wacana dalam

wilayah kekuasaan seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Ada apa dengan

kondisi semacam ini? Perlu digarisbawahi bahwa ada dorongan institusional

dalam membicarakan seks secara terus menerus. Dorongan institusional ini

ditandai oleh kemauan insititusi-institusi kekuasaan untuk membuat seks dapat

berbicara sendiri entah dalam bentuk analisis, perhitungan, pengklasifikasian dan

berbagai bentuk penelitian kualitatif.164

Ada semacam kebutuhan dan kepentingan institusi-institusi kekuasaan

untuk mengatur produksi wacana dan menyebarluaskannya melalui mekanisme

kekuasaan tertentu seperti histerisasi tubuh perempuan, pedagogisasi seks anak,

sosialisasi perilaku prokreatif, dan psikiatrisasi kenikmatan menyimpang.165

Seluruh strategi tersebut berada di bawah kendali institusi kekuasaan dan dengan

kehendak diri sendiri dilaksanakan oleh tiap-tiap individu dalam masyarakat.

Dengan mempertimbangkan kondisi semacam ini sebetulnya kita tidak sebatas

menyaksikan keberlangsungan institusi-institusi kekuasaan, akan tetapi yang perlu

mempertimbangkan secara lebih kritis adalah hubungan antara kekuasaan dan

individu.

Proses institusionalisasi kekuasaan berhubungan dengan peran dan

keterlibatan lembaga-lembaga kekuasaan yang selalu menggunakan adat dalam

163 Michel Foucault (1976), The history of sexuality, Hlm. 18164 Ibid., Hlm. 23-24165 Ibid., Hlm 104-105

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 160: 126322004_full.pdf - USD Repository

145

kampaye politiknya. Misalnya pada tataran global kemunculan wacana

kebangkitan adat baik kembali membidik isu seputar kebangkitan masyarakat adat

(indigenous people). Isu tersebut dalam konteks nasional berdampak terhadap

perubahan konstelasi sosial politik di mana adat mencuat ke publik sebagai

sebuah ideologi baru. Kemunculan adat di ruang publik secara tidak terduga

melahirkan keinginan dan keberanian banyak daerah untuk membicarakan adat

secara vulgar, termasuk upaya pelembagaan adat melalui pembentukan berbagai

lembaga adat baik pada tingkat nasional maupun lokal.

David Henley & Jamie Davidson dalam buku berjudul Adat dalam politik

Indonesia (2010) menyebutkan keterlibatan para antropolog yang terorganisir

dalam The Internasional Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA) pada 1968

di Denmark, Survival Internasional di Inggris pada tahun 1969, dan Cultural

Survival di Amerika Serikat pada tahun 1976.166 Bahkan setelah mendapat

dukungan internasional melalui forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) wacana

tentang adat semakin berkembang pesat. Hal ini ditandai oleh pembentukan

dewan adat dunia atau World Council of Indigenous People pada tahun 1975 dan

lahirnya konferensi Internation Labour Organization (ILO) tentang Indigenous

and tibal people pada 1989.167

Demikian pula dalam kontek Indonesia. Salah satu organisasi non

pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan dalam konstruksi wacana

kebangkitan adat di Indonesia adalah AMAN yang dibentuk pada 1999. Capaian

166 David Henley & Jamie Davidson(2010), “Konservatisme Radikal-Aneka Wajah Politik Adat,dalam, Adat dalam Politik di Indonesia, Hlm. 8167 Ibid., Hlm. 9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 161: 126322004_full.pdf - USD Repository

146

AMAN terkait wacana kebangkitan adat tidak hanya dalam lingkup nasional, akan

tetapi ikut ambil bagian di level internasional. Pada level nasional, AMAN

diposisikan sebagai lembaga independen dengan tujuan untuk mengawal,

mengawasi dan mengintensifkan kembali peran lembaga-lembaga adat dan para

pemimpin adat yang selama Orde Baru dinilai telah kehilangan peran. Dinamika

perkembangan adat semacam ini bukanlah sesuatu yang berbeda dengan apa yang

sedang dibicarakan dalam tulisan ini. Selain karena menyasar kelompok

masyarakat yang terikat dengan nilai-nilai ketradisionalan, sebagian besar

berkaitan dengan persoalan hubungan kekuasaan yang hadir melalui keterlibatan

berbagai institusi kekuasaan dan peran para intelektual dalam proses produki

wacana kebangkitan adat.

Secara khusus dalam lokalitas Ambon, kemunculan wacana kebangkitan

adat tidak terlepas dari keterlibatan aktif dari institusi-insititusi kekuasaan seperti

“Gerakan Baku Bae Maluku”, “Majelis Adat Maluku” dan lembaga swadaya

masyarakat lainnya seperti Early Warning System Conflic (EWSC), sebuah

lembaga swadaya masyarakat yang berfungsi sebagai sistem pendeteksian dini

akan bahaya konflik. Keterlibatan institusi-institusi tersebut pada kenyataannya

tidak hanya sibuk mencari pendasaran rasionalitas atas wacana kebangkitan adat,

akan tetapi sungguh-sungguh menandai perubahan konstelasi politik Ambon.

Perubahaan ini menghadirkan adat sebagai sebuah kekuatan sosial politik baru

yang bekerja secara produktif dalam masyarakat Ambon.

Perubahan-perubahan tersebut menegaskan signifikansi kebangkitan adat

berdasarkan asumsi marginalisasi peran penduduk lokal dan hilangnya kewibaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 162: 126322004_full.pdf - USD Repository

147

para raja. Di sisi lain, muncul kepentingan dan kebutuhan untuk tetap menjaga

eksistensi adat yang selalu digeneralisasikan sebagai sesuatu yang lokal dan bukan

modern. Modernitas seakan-akan mau ditolak dengan mengedepankan lokalitas.

Akan tetapi dalam prakteknya apa yang disebut lokal dalam prakteknya malah

hibrid dengan mengabungkan antara apa yang dianggap lokal atau tradisional

dengan unsur-unsur modern.

Konsekuensinya, wacana kebangkitan adat yang digembar-gemborkan

selama ini sebetulnya hanya merupakan manifestasi dari wacana kebangkitan

identitas ke-Ambon-an. Lantas, bukankah sikap semacam ini hanyalah repetisi

dari mekanisme kekuasaan yang mau dikritik? Kebangkitan adat seperti apakah

yang mau diperjuangkan ketika wacana kebangkitan adat mendorong terjadinya

penonjolan identitas ke-Ambon-an? Barang kali yang perlu dipertimbangkan

adalah melakukan radikalisasi adat demi sebuah perubahan mendasar dalam

kehidupan bersama di Ambon. Tujuannya adalah untuk melepaskan diri dari

hegemoni kekuasaan yang termanifestasi dalam diri institusi-institusi kekuasaan

berbasis adat. Kadang-kadang institusi-institusi kekuasaan berbasis adat tidak

hanya berfungsi sebagai pengatur dan perantara melainkan sebagai penentang

dominasi kuasa yang dinilai telah merepresi. Kehadiran institusi-institusi tersebut

seakan-akan memberi harapan, janji dan hari baru yang lebih baik.

Pada titik ini, kiranya menjadi jelas bahwa persoalannya bukan soal setuju

atau tidak setuju, mendukung atau tidak mendukung, akan tetapi yang terpenting

adalah berkembangnya wacana institusionaliasi kekuasaan dalam wacana

kebangkitan adat. Proses institusionalisasi kekuasaan dalam wacana kebangkitan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 163: 126322004_full.pdf - USD Repository

148

adat pada akhirnya hanya menegasi kebutuhan institusi-institusi kekuasaan

melanggengkan identitas budaya lokal sebagai bagian dari kebanggaan sebagai

orang Ambon untuk mengamankan wacana kekuasaannya. Akibatnya wacana

kebangkitan adat yang diperjuangkan tidak lebih dari upaya untuk

membangkitkan wacana kekuasaan etnis. Dalam konteks itu, perlu untuk selalu

mempertimbangkan mekanisme operasionalisasi kekuasaan dengan berbagai

bentuk teknologi kekuasaan (polymorphous techniques of power) yang

teraktualisasi dalam institusi-institusi kekuasaan. Kerja institusi kekuasaan adalah

mereproduski kekuasaan, mendorong orang untuk sering membicarakan adat dan

menyebarluaskan rezim dogmatisme kebenaran adat dalam wacana.168

4.1.3. Hukum sebagai Instrumen Kekuasaan

Perlu disadari bersama bahwa kekuasaan dalam pengertian Foucault

bukanlah sesuatu yang bersifat negatif, larangan, atau milik lembaga tertentu;

akan tetapi kekuasaan lebih bersifat positif yang datang dari mana-mana dan

bergerak secara terus menerus membentuk rangkaian atau jaringan kekuasaan.169

Kekuasaan bersifat co-ekstensif dengan tubuh sosial, terhubung dengan berbagai

jenis relasi sosial, beragam (tidak hanya dalam bentuk larangan), lebih dari

berbagai bentuk produksi relasi dominasi, dan selalu diafirmasi.170 Konsep

semacam ini menunjukkan luasnya cakupan kekuasaan yang tidak bisa dipasung

168 Michel Foucault (1976), The History of Sexuality, Hlm. 11169 Ibid., Hlm. 93170 Michel Foucault (1980), Power/Knowledge, Hlm. 142

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 164: 126322004_full.pdf - USD Repository

149

hanya dalam pengertian hubungan negatif dan berbagai bentuk larangan

sebagaimana dijumpai dalam berbagai perangkat hukum atau perundang-

undangan.

Paham kekuasaan yang bergerak jauh ke depan, lebih dari sebuah istilah-

istilah hukum formil yang muda dikooptasi. Justru dengan pemahaman baru

semacam ini, paham tradisional kekuasaan yang cenderung bersifat negatif

dengan berbagai bentuk laranganya mau diboboti kembali. Artinya apa yang

selama ini disebuat larangan sebetulnya merupakan tempat aktualisasi kekuasaan.

Larangan sejatinya merupakan dukungan atas kekuasaan yang tersebar dalam

setiap praktek wacana.171 Semakin kuatnya larangan semakin besar pula intensitas

kekuasaan yang ditanamkan dalam wacana.

Cara pandang semacam ini mendasari penafsiran baru terhadap hukum dan

perundang-undangan. Menurut Foucault, hukum merupakan topeng kekuasaan

(mask for power) sebagaimana dalam budaya Barat yang menempatkan hukum

sebagai instrument kekuasaan monarki dan berbagai bentuk persoalan kedaulatan

dan hak-hak sejak abad 18.172 Hukum bukan sebatas representasi kekuasaan,

bukan pula sebuah kebenaran kekuasaan, akan tetapi lebih dari itu hukum

merupakan instrumen kekuasaan kompleks.173 Ingat bahwa wacana tentang seks

pada abad 17 yang dinilai bahwa sedang terepresi justru sebaliknya terjadi

ledakan wacana (discursive explosion). Artinya larangan terhadap seks atau

171 Michel Foucault (1976), The History of Sexuality, Hlm. 41-42172 Michel Foucault (1980), Power/Knowledge, Hlm. 140173 Ibid., Hlm. 141

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 165: 126322004_full.pdf - USD Repository

150

larangan membicarakan seks justru menimbulkan ledakan wacana akibat

keterlibatan institusi-institusi kekuasaan seperti keluarga, agama, sekolah dan

kesehatan dalam mengatur seks.

Lantas apa relevansinya dengan pembicaraan kita mengenai norma adat

dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon? Analisa terhadap norma adat

dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon mau membidik pola pikir

masyarakat terhadap hukum dan perundang-undang. Undang-undang, peraturan-

peraturan dan norma-norma lazim ditempatkan sebagai larangan dan perlindungan

terhadap kedaulatan dan hak-hak lokalitas. Misalnya kritik terhadap intervensi

negara melalui penerapan undang-undang No.5 tahun 1979 tentang pemerintahan

desa disebabkan oleh anggapan bahwa negara memiliki peranan besar dalam

pengancuran pranata adat. Akan tetapi, tanpa disadari bahwa kebutuhan akan

penetapan sejumlah norma adat secara implisit sebetulnya mengafirmasi

perjuangan adat yang seakan-akan mau memperjuangkan nilai kemurnian adat.

Sayangnya, klaim kemurnian adat malah mengadopsi produk pemikiran

masyarakat modern.

Di sisi lain, kebutuhan akan penetapan sejumlah norma adat dalam

konstruksi wacana kebangkitan adat Ambon sebetulnya menegasi kebutuhan

orang Ambon dalam mengukuhkan wacana kebangkitan adat yang selama ini

dibicarakan. Konten hukum negara yang menekankan persamaan hak politik

setiap warga negara meski dinilai menimbulkan pergeseran peran-peran penduduk

lokal dalam struktur birokrasi politik; akan tetapi kritik terhadap kebijakan negara

justru bermuara pada kebutuhan untuk melegitimasi produksi wacana kebangkitan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 166: 126322004_full.pdf - USD Repository

151

identitas lokal, hak dan budaya lokal. Bahkan jika diasumsikan sebagai upaya

untuk merevitalisasi hak-hak masyarakat lokal justru memungkinkan kemunculan

sebuah bentuk manejerial politik dan ekonomi dengan mengeksploitasi perbedaan

legal dan illegal dalam adat.174

Hukum melandasi cara membicarakan berbagai istilah larangan dalam

konteks adat, atau untuk mengatakan ya atau tidak terhadap keterlibatan

masyarakat dalam praksis pemerintahan hukum adat di Ambon. Problemnya

sekarang, dalam wacana kebangkitan adat, jika adat didefenisikan sebagai

kebiasaan hidup dan ekspresi religius terhadap para leluhur, mengapa hal tersebut

malah kurang diperhatikan? Bukankah adat lebih bersifat oral dari para undang-

undang yang nyata-nyatanya merupakan produk masyarakat modern? Jangan-

jangan upaya meresistensi mekanisme kekuasaan negara (melalui UU tentang

pemerintahan desa) malah mereproduksi mekanisme kekuasaan tersebut.

Hukum dan perundang-undangan (versi negara dan lokal) justru semakin

mengintensifkan kebutuhan orang banyak dalam membicarakan adat. Hukum,

peraturan dan norma pada satu sisi merupakan tindakan praksis dalam aktivitas

larangan yang merupakan manifestasi diri kekuasaan. Artinya larangan dalam

konteks logika kekuasaan Foucault bukanlah pembatasan, melainkan dukungan

atas kekuasaan. Misalnya larangan membicarakan seks secara senonoh justru

semakin mendorong wacana tentang seks untuk dibicarakan secara terus-menerus.

Demikian pula, larangan adat bukan pertama-tama sebagai perlindungan terhadap

penyimpangan terhadap mekanisme adat melainkan dukungan terhadap kekuasaan

174 Ibid., Hlm. 141

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 167: 126322004_full.pdf - USD Repository

152

adat. Titik-titik semacam inilah yang merupakan sumber perluasan kekuasaan adat

dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon.

4.1.4. Bio-Power: Hubungan Darah dan Hasrat Berkuasa

Sistem kekerabatan merupakan salah satu isu utama dalam kajian-kajian

antropologi dan sosiologi. Sistem kekerabatan ditempatkan sebagai kerangka

pemetaan hubungan sosial, kultural, dan politik berdasarkan hubungan darah. Atas

dasar itu, sistem kekerabatan selalu mengandaikan adanya keterlibatan institusi-

institusi biologis seperti keluarga. Melalui keluarga individu dibentuk dan

dihubungkan dengan jaringan sosial yang lebih luas dalam masyarakat. Melalui

keluarga individu terhubung satu sama lain dan merasa memiliki persamaan

identitas, watak serta kebiasaan yang diturunkan secara biologis.175 Cara pandang

semacam ini cukup mendasari keyakinan masyarakat akan kesamaan identitas.

Sayangnya, keyakinan akan persamaan identitas biologis sering kali

dikomodifikasi sebagai alat legitimasi kekuasaan politik.

Perntanyaannya, mengapa persamaan identitas biologis dipandang sebagai

alat legitimasi kekuasaan? Sebelum menanggapi persoalan tersebut, saya ingin

membicarakan secara singkat korelasi karakter biologis (hubungan darah)

penduduk dengan wacana kekuasaan seperti yang dikemukakan oleh Foucault.

dalam power/knowledge (1980). Foucault menunjukkan dua karakter biologis

masyarakat Eropa Barat pada abad ke-18. Kedua jenis karakter biologis tersebut

175 Steph Lawler (2014), Identity: Sociological perspectives, Hlm. 51

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 168: 126322004_full.pdf - USD Repository

153

antara lain: the privilege of the child and the medicalisation of the family;176 dan

The privilege of hygiene and the function of medicine as an instance of social

control.177 Pada dasarnya karakteristik biologis semacam ini mencerminkan

semacam kebutuhan untuk mengorganisir pertumbuhan keluarga-keluarga demi

pengembangan sektor ekonomi politik. Kebutuhan pengorganisasian keluarga

semacam ini merujuk pada mekanisme pengaturan dan pengawasan terhadap

tingkat populasi penduduk, usia hidup, angka kelahiran, kematian dan ruang kota

untuk memproduksi tenaga kerja demi pengembangan sektor ekonomi politik.178

Selain itu, kebutuhan negara mengorganisir keluarga-keluarga pada abad

18 di Eropa Barat mencerminkan pula keinginan negara dalam menghadirkan

imajinasi tertentu mengenai bagaimana menjadi sebuah keluarga ideal. Keluarga

ideal adalah keluarga-keluarga yang dikondisikan menurut standarisasi tertentu

yang ditawarkan oleh negara. Salah satu contoh kongkrit yang ditunjukkan oleh

Foucault dalam The History of Sexuality (1976) adalah persoalan keluarga

berencana (KB). KB merupakan bagian dari proses sosialisasi perilaku prokreatif

dengan tujuan untuk menanamkan tanggungjawab sosial ke dalam tubuh sosial.179

Contoh-contoh semacam ini dikemukakan oleh Foucault untuk

menunjukkan bagaimana kekuasaan itu beroperasi secara produktif dalam

masyarakat. Nampak bahwa wacana kekuasaan sebetulnya bukan berada pada

posisi suprastruktur melainkan beroperasi pada level bawah di mana tidak ada lagi

176 Michel Foucault (1980), Power/Knowledge, Hlm. 172177 Ibid., Hlm. 175178 Ibid., Hlm. 172-175179 Michel Foucault (1976), The History of Sexuality, Hlm. 105

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 169: 126322004_full.pdf - USD Repository

154

hubungan oposisi biner antara penguasa dan yang dikuasai.180 Keluarga sungguh-

sungguh menjadi tempat di mana kekuasaan itu terlaksana baik melalui proses

pedagogisasi nilai, sosialisasi perilaku maupun normalisasi dan patalogisasi

perilaku individu.

Keluarga dengan karakter biologis diintensifkan demi pengembangan

ekonomi politik negara. Selain itu muncul pula aturan baru dengan tujuan untuk

melakukan kodifikasi hubungan sosial antara orang tua dan anak. Kodifikasi

hubungan orang tua dan anak secara eksplisit menyangkut angka kelahiran,

kematian anak, pertumbuhan anak, pertahanan hidup anak dan perkembangan

anak. Tidak sekedar mengatur angka kelahiran, perkembangan, dan kematian anak

akan tetapi merupakan terjadinya manifestasi kekuasaan melalui proses

manejerialisasi ruang hidup manusia.

Fungsi keluarga bukan sekedar menyangkut sistem kekerabatan, akan

tetapi sebagai aspek material kekuasaan negara untuk mengikat dan

mengintensifikasi relasi-relasi sosial yang berdasar pada ikatan kekeluargaan atau

hubungan biologis.181 Keluarga tidak lagi sekedar gambaran hubungan orang tua

dan anak atau produksi individu, akan tetapi sebagai bagian dari aparat pendidikan

yang mengkonsolidasi diri anak dalam interioritas tradisi keluarga yang

diwariskan turun-temurun.182

180 Ibid., Hlm. 94181 Michel Foucault (1980), Power/Knowledge, Hlm. 172-173182 Ibid., Hlm. 173

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 170: 126322004_full.pdf - USD Repository

155

Kembali ke pokok persoalan mengenai hubungan darah dalam konteks

wacana kebangkitan adat Ambon, urgen untuk dipertimbangkan adalah

bagaimana karakter biologis atau hubungan darah difungsikan sebagai alat

legitimasi kekuasaan. Korelasi antara hubungan darah dan kekuasaan dalam

perspektif Foucault menegasi hasrat akan kekuasaan. Hal ini ditandai oleh

keinginan untuk mengukuhkan klaim keistimewaan penduduk lokal Ambon untuk

berkuasa. Keistimewaan hak penduduk lokal Ambon dikukuhkan melalui

serangkain aturan-aturan adat mengenai status kepemimpinan anak adat,

kedudukan raja dan saniri negeri yang ditetapkan berdasarkan relasi hubungan

darah.

Cara pandang semacam ini terdeteksi dalam pernyataan-pernyataan

mengenai hak keistimewaan penduduk lokal Ambon dalam struktur birokrasi

politik. “Apakah mereka yang bukan anak adat dapat memimpin di daerah

adat?” sebuah pernyataan yang selalu didegung-degungkan terkait eksistensi adat

Ambon dan hak keistimewaan penduduk lokal Ambon. Muncul semacam

kebutuhan untuk memikirkan aspek biologis dalam kontestasi kekuasaan politik di

tingkat lokal. Terjadi pula komodifikasi hubungan darah berdasarkan interioritas

tradisi keluarga. Tradisi keluarga dalam pengertian ini merujuk pada pendasaran

kultural pada hubungan darah yang termanifestasi dalam struktur sosial

masyarakat Ambon seperti rumahtau, uku/huku, soa, hena/aman dan “negeri

adat”.

Di sisi lain, hasrat akan kekuasaan dalam konteks wacana kebangkitan

adat tercemin pula melalui ide “siwalima” yang dijadikan sebagai dasar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 171: 126322004_full.pdf - USD Repository

156

pengelompokkan masyarakat berdasarkan hubungan darah. “Siwalima” yang

ditandai dengan sistem soa cenderung diposisikan sebagai elemen penting dalam

konstruksi identitas orang Ambon dan representasi hubungan darah sekaligus

hubungan kultural. Mengikuti cara pandang semacam ini penting untuk

dipertimbangkan adalah persoalan hubungan darah yang terkandung dalam

masing-masing ikon kultural sebetulnya menyangsikan eksistensi adat sebuah

tatanan nilai yang mencerminkan kebiasaan dan cara mengada orang Ambon.

Perkara hubungan darah dalam konstruksi wacana kebangkitan adat Ambon justru

terjebak upaya memikirkan hubungan darah sebagai alat legitimasi politik atas

kekuasaan.

Pada titik ini kiranya semakin nampak bagaimana wajah politik adat dalam

praktek wacana orang Ambon. Persoalan hubungan darah dalam konstruksi

wacana kebangkitan adat tidak sekedar menegasi hak-hak penduduk lokal Ambon,

akan tetapi menegasi pula keinginan kuat penduduk lokal Ambon untuk tetap

melanggengkan status quo. Kehendak untuk meresistensi mekanisme kekuasaan

dominan yang dinilai merepresi adat dan peran penduduk lokal Ambon, malah

sebaliknya justru sedang mereproduksi mekanisme kekuasaan dominan yang

sedang dikritik. Dengan kata lain, pembicaraan mengenai hubungan darah dalam

konteks wacana kebangkitan adat Ambon sebetulnya mencerminkan hasrat orang

Ambon sendiri untuk mau ikut berkuasa dari pada membiarkan warga pendatang

memimpin di Ambon; dan wacana kebangkitan adat Ambon yang coba

ditempatkan sebagai arena konstestasi nilai-nilai budaya lokal malah direproduksi

sebagai arena kontestasi kekuasaan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 172: 126322004_full.pdf - USD Repository

157

Atas dasar itulah dapat ditegaska bahwa urgensi wacana kebangkitan adat

Ambon sebetulnya mempersepsikan adat bukan dalam pengertian tatanan nilai-

nilai budaya lokal, akan tetapi wacana kebangkitan adat cenderung

mempersepsikan adat sebagai arena kontestasi kekuasaan. Dalam rangka

melegitimasi kekuasaan tersebut relasi hubungan sungguh-sungguh ditempatkan

sebagai alat legitimasi politik. Relasi kuasa yang dikukuhkan melalui relasi

hubungan darah akhirnya memungkinkan orang Ambon membicarakan kebenaran

wacana kebangkitan adat dengan tujuan untuk menaklukan atau menguasai.

Penaklukan ini bekerja secara efektif ketika masyarakat dengan kehendak

sendiri menerima kebenaran adat tanpa merasa perlu untuk mempertanyakan.

Dengan cara semacam ini, teknologi pendisiplinan individu-individu dalam

masyarakat menjadi mekanisme kontrol paling efektif. Bahkan kekuatan teknologi

pendisiplinan dengan tujuan untuk menguasai justru sangat rentan tejadi dalam

kelompok masyarakat homogen. Homogen dalam pengertian kesamaan identitas

seperti dalam relasi hubungan darah seperti yang terjadi di Ambon. Homogenisasi

merujuk pada legitimasi hubungan darah sebagai dasar untuk mengidentifikasi

kesamaan identitas.

Dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon, proses homogenisasi

yang memungkinkan kekuasaan beroperasi secara efektif teraktualisasi dalam ide

“siwalima”. Itulah sebabnya dapat dimengerti mengapa kemunculan wacana

kebangkitan adat di Ambon seringkali mengkondisikan masyarakat Ambon

membicarakan signifikansi “siwalima”. Proses merevitalisasi budaya “siwalima”

akhirnya menyangsikan kembali narasi yang dibangun selama ini bahwa nilai-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 173: 126322004_full.pdf - USD Repository

158

nilai budaya “siwalima” terdistorsi, akan tetapi upaya merevitalisasi budaya

“siwalima” justru mencerminkan hasrat akan kekuasaan untuk berkuasa di

Ambon.

4.1.5. Kekuasaan Simbolik dalam Polemik Gelar Adat

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa gejolak kebangkitan adat

tidak hanya memasuki fase pengintegrasian kekuatan lokal, akan tetapi

mengalami perluasaan dengan cara mendorong atau merangsang pengakuan

terhadap eksistensi adat. Secara simbolik pengakuan tersebut dirayakan melalui

pemberian sejumlah gelar adat Maluku kepada kelompok elit politik seperti yang

telah disebutkan dalam uraian bab sebelumnya. Beberapa elit politik cukup

menyita perhatian publik Ambon adalah Dr. Susilo Bambang Yudoyono, Yusuf

Kalla dan Ir. Said Assagaff. Praktek tersebut pada kenyataannya menimbulkan

wacana kontroversial di kalangan anak muda Maluku dan para pemangku adat

Maluku.

Pada satu sisi praktek pemberian sejumlah gelar adat Maluku nampaknya

dilandasi oleh kriteria penilaian normatif. Kriteria penilai normatif ini merujuk

pada ukuran kepantasan seseorang menerima gelar adat. Rasio kepantasan

berdasar pada pertimbangan historis dan rekam jejak sang penerima gelar adat.

Dengan kata lain, pemberian gelar adat diperhadapkan dengan persoalan

sejauhmana kontribusi sang penerima gelar adat terhadap kehidupan masyarakat

Maluku. Di sisi lain, muncul suara-suara yang bernada lebih oposisi. Atas nama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 174: 126322004_full.pdf - USD Repository

159

adat dan harga diri praktek pemberian gelar adat diklaim tidak pada tempatnya.

Artinya praktek pemberian gelar adat diklaim bahwa cenderung dipolitisasi demi

kepentingan politik berupa balas budi dan pencitraan diri.

Bertolak dari polemik semacam ini sekilas memang menghadirkan

keinginan kuat penduduk lokal untuk melindungi kehormatan adat. Akibatnya

polemik gelar direduksi sebatas persoalan pantas/tidak pantas; benar/salah dari

praktek tersebut. Akan tetapi yang hendak disoroti lebih kritis pada kesempatan

ini bukanlah sekedar perkara pantas tidaknya seseorang menerima gelar adat;

layak tidaknya seseorang menerima gelar adat; dan bukan pula sekedar balas budi

atau pencitraan diri. Akan tetapi di balik polemik gelar adat yang melibatkan

kelompok anak muda Maluku dan sebagian pemangkuh adat Maluku penting

untuk dipertimbangkan bersama adalah kebutuhan untuk melakukan pengawasan

secara efektif terhadap hasrat berkuasa yang diproduksi dalam wacana

kebangkitan adat. Pengawasan ini tercermin dilakukan dengan cara mengisolasi

pertimbangan-pertimbangan politis yang dinilai tidak mencerminkan jati diri ke-

Ambon-an. Akibatnya tidak mengherankan jika muncul keinginan agar pemberian

gelar adat hanya diperuntukan kepada seseorang yang berasal dari kelompok

masyarakat yang secara gentik memiliki keterikatan emosional dengan

masyarakat Ambon-Maluku.

Sayangnya dalam situasi tersebut anak muda dan para pemangku adat lupa

bahwa model pengawasan semacam ini sebetulnya bukan untuk melindungi adat;

melainkan semakin mencerminkan kepatuhan total terhadap adat. Adat

diposisikan sebagai nilai kekutamaan yang berfungsi mengatur dan mengawasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 175: 126322004_full.pdf - USD Repository

160

seluruh anggota masyarakat. Kepatuhan ini tercermin pula melalui keterjebakan

mereka (anak muda dan pemangku adat) dalam wacana kontroversial yang

diproduksi. Keterjebakan tersebut secara implisit mencerminkan kekuatan

pendisiplinan subyek. Pada titik ini, Foucault mengingatkan kita agar selalu sadar

bahwa kekuatan pendisiplinan sejatinya bukan untuk meniadakan individu yang

kurang bermutu melainkan untuk melatih individu menjadi manusia yang patuh

dan berguna. Model pengawasan semacam ini biasanya cenderung bersifat

panoptik dengan prinsip unverifiable, yakni sadar bahwa diri selalu berada dalam

pengawasan atau pantauan.183

Melalui teknologi pendisiplinan, efek kekuasaan teraktualisasi secara

mutlak dalam bentuk micro-physics of power (mikro-fisik kekuasaan) yakni

pembentukan ruang validitas adat. Cara pandang ini berhubungan langsung

dengan peran institusi kekuasaan dan aparat kebenaran (kaum muda dan

pemangkuh adat) dengan cara membangun ruang validitas adat baik menyangkut

nilai kepantasan atau ketidakpantasan; klaim politik balas budi dan pencitraan

diri.184 Untuk itu, persoalannya bukan lagi sekedar perkara pantas tidaknya

pemberian sejumlah gelar adat, akan tetapi yang perlu dipertimbangkan di sini

adalah dari mana kita bisa mengatakan kepantasan dan kelayakan tersebut?

Mengapa kita bisa mengatakan praktek tersebut merupakan politik balas budi atau

pencitraan diri?

183 Michael Foucault (1979), Discipline and Punish, Hlm. 201184 Ibid., Hlm. 26

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 176: 126322004_full.pdf - USD Repository

161

Lebih lanjut polemik seputar praktek pemberian gelar adat yang ribut

dipersoalkan secara implisit mencerminkan otoritas kekuasaan masyarakat dalam

internal Ambon. Dalam perspektif Foucault, kondisi semacam ini berhubungan

dengan ide arts of government (seni pemerintahan). Arts of government merujuk

pada;

Practices of government are, on the one hand, so varied that theyinvolve a great number of people: the head of family, superior in theconvent, the teacher or tutor in relation to the child or the pupil, sothat there are several forms of government among which the Prince’srelation to his state is only one particular mode; and on the otherhand, all these governments are internal to the states of society.185

Arts of government mengandung otoritas kekuasaan pada tingkat micro-

politics dengan tujuan untuk mendukung agenda politik kekuasaan pada tingkat

macro-politics. Istilah micro-politics merujuk pada kekuasaan pemerintahan lokal

sedangkan macro-politics merujuk pada kekuasaan negara. Posisi micro-politics

di hadapan macro-politics bertujuan untuk mendukung atau menyebarkan agenda

macro-politics.186 Dengan cara semacam ini wacana kontroversial adat sebetulnya

merupakan bagian dari bagaimana agenda negara direalisasikan pada tingkatan

lokal. Konsekuensinya adalah mekanisme kekuasaan dominan (negara) yang mau

dikritik justru sebaliknya direproduksi secara simbolik melalui gelar adat.

185 “Praktek pemerintahan yang pada satu sisi, sangat beragam sebab melibatkan sejumlah besarorang seperti melibatkan kepala keluarga, superior, guru atau tutor dalam relasinya dengan anakatau murid, sehingga beberapa bentuk pemerintahan yang terjadi dalam negara hanyamencerminkan salah satu aspek partikular dalam relasi kerajaan; di sisi lain, praktekpemerintahan lebih merujuk pada aspek internal dari kehidupan masyarakat dalam Negara”.Derek Hook (2007), Foucault, Psychology and the analytics of power, New York: PalgraveMacmillan, Hlm. 225.186 Ibid., Hlm. 224

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 177: 126322004_full.pdf - USD Repository

162

Kondisi semacam ini baiklah untuk disadari sebagai otokritik sebab sering

kali agenda-agenda politik semacam ini hanya direduksi sebatas pantas tidak

pantasnya praktek adat. Singkatnya, pada satu sisi wacana kekuasaan dalam

polemik gelar adat menegasi otoritas kekuasaan dalam lingkup internal adat yang

terlegitimasi melalui relasi hubungan darah. Di sisi lain, pereduksian polemik

gelar adat hanya menunjukkan keterjebatan diri dalam kekuasaan adat.

4.2. Subyektivitas dalam Wacana Kebangkitan Adat Ambon

Setelah membicarakan relasi kuasa dalam konstruksi wacana kebangkitan

adat Ambon, persoalan berikutnya yang perlu dipertimbangkan adalah aspek

subjektivitas. Hal ini sejalan dengan fokus analisis Foucault diakhir masa

hidupnya yang berpusat pada kategori subjek. Hal ini mencerminkan keinginan

Foucault untuk membicarakan tindakan manipulasi terhadap tubuh manusia yang

dijadikan sebagai individu yang patuh sekaligus berguna. Oleh sebab itu sejalan

dengan apa yang dikemukakan oleh Hubert L. Dreyfus & Paul Rabinow bahwa

sebetulnya inti pemikiran Foucault bukan mengenai kekuasaan melainkan

mengenai sejarah pembentukan sejarah manusia sebagai subjek.187

Dengan kata lain, penelusuran Foucault mengenai hubungan kekuasaan

semakin memperlihatkan orientasi pemikiran yang lebih mengarah pada

subjektivasi kekuasaan. Subyek hanyalah sarana kekuasaan atau tempat di mana

187 Hubert L. Dreyfus & Paul Rabinow (1982), Michel Foucault: Beyond Strukturalism andhermeneutics, Chicago: University of Chicago Press, Hlm. 208

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 178: 126322004_full.pdf - USD Repository

163

kekuasaan memanifestasikan dirinya.188 Pergeseran orientasi analisis Foucault

menegaskan keterputusan epistemologis dari pemikiran Foucault mengenai

kekuasaan. Relasi kuasa tidak dilihat sebatas individu dengan negara melainkan

individu dengan dirinya sendiri sebagai subyek. Jadi subyek diposisikan sebagai

tempat memproduksi makna dan hubungan kekuasaan.

Dalam konteks itu pembahasan mengenai proses subyektivasi kekuasaan

dalam wacana kebangkitan adat Ambon akan ditempatkan pada persoalan

mendasar mengenai subyektivitas macam apa yang dibentuk dalam wacana

kebangkitan adat Ambon. Mengikuti cara pandang semacam ini proses

subyektivasi kekuasaan akan dijabarkan berdasarkan kerangka teoretik

subyektivitas melalui: (1) proses objektivasi subjek berdasarkan status of siences

(wacana ilmiah); (2) objektivasi subyek melalui dividing practices (praktek

pemisahan) entah dalam diri sendiri maupun dipisahkan dari orang lain.189 Kedua

pokok tersebut akan diuraikan secara rinci di bawah ini.

4.2.1. Ke-Ambon-an dalam Kendali Wacana Ilmiah

Proses objektivasi manusia sebagai subyek tidak terlepas dari kendali

wacana ilmiah. Wacana ilmiah yang dipakai sebagai instrumen dasar

pembentukan subyek terjadi melalui berbagai riset atau penelitian-penelitian

ilmiah. Tujuannya adalah pembentukan kebenaran wacana yang secara praksis

188 Sara Mills (2003), Foucault, Hlm. 35189 Hubert L. Dreyfus & Paul Rabinow (1982), Michel Foucault, Hlm. 208

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 179: 126322004_full.pdf - USD Repository

164

berfungsi secara esensial untuk membentuk individu. Dalam konteks itu, proses

objektivasi subyek selalu berada di bawah kendali wacana ilmiah.

Kebutuhan untuk menciptakan wacana ilmiah sebetulnya bukan sebatas

pendasaran keilmiahan, akan tetapi sebagai manifestasi dari efek kekuasaan yang

menegasi diri subyek yang tidak dapat terfiksasi secara mutlak.190 Dengan kata

lain, subyektivitas selalu dalam posisi subject positions dalam wacana ketika

dipikirkan atau dibicarakan.191 Ada semacam seni menginterpretasi subyek

dengan tujuan untuk membentuk pengertian atau kebenaran melalui berbagai riset

atau penelitian-penelitian ilmiah. Dalam konteks itu, subyek dalam wacana ilmiah

akan selalu dimaknai secara terus menerus.

Proses objektivasi subyek serta karakter dasar subyek yang tidak pernah

tuntas terfiksasi mendasari pembacaan saya terhadap subyektivitas ke-Ambon-an

dalam wacana kebangkitan adat. Pada satu sisi, status wacana ilmiah didasarkan

pada pengetahuan lokal akan adat yang dinilai mengalami kehancuran sejak rezim

Orde Baru. Hal ini kemudian diterima sebagai kebenaran mutlak oleh masyarakat

dengan maksud untuk membangkitan keinginan bersama memperjuangkan adat.

Cara pandang semacam ini pada kenyataannya tidak terlepas dari keterlibatan

berbagai institusi lokal majelis adat Maluku/Upulatu dan para intelektual Maluku

dalam merumuskan dan membicarakannya adat secara terus menerus.

190 Hubert L. Dreyfus & Paul Rabinow (1982), Michel Foucaul, 179191 Julia Menard-Warwick (2005), “Both a fiction and an existential fact: theorizing identity insecond language acquisition and literacy studies” dalam Linguistics and Education, Hlm. 257

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 180: 126322004_full.pdf - USD Repository

165

Pemberian status keilmiahan pada adat secara kongkrit ditunjukkan

melalui berbagai tulisan akademis yang terpublikasi sejak pasca konflik Maluku.

Beberapa karya tulis ilmiah yang juga disebutkan dalam kajian pustaka dalam

penelitian ini antara lain: “Nasionalisme kaum pinggiran: dari Maluku, tentang

Maluku, untuk Maluku” yang dipublikasikan pada 2004; “Menatang badai

menabur damai: napak tilas raja dan latupati merajut kembali jaringan

persaudaraan” yang dipublikasikan pada 2007; “Menggali sejarah dan kearifan

lokal Maluku” yang dipublikasikan pada 2012; dan seminar serta lokakarya

bertemahkan budaya lokal. Secara singnifikan akumulasi gagasan akademis

semakin mengukuhkan status keilmiahan adat dalam rentang waktu

kemunculannya sejak pasca konflik 1999.

Status keilmiahan adat semakin terkukuhkan ketika membidik peran

institusi-institusi publik sebagaimana layaknya “laboratorium adat”. Di samping

kehadiran institusi adat seperti organisasi Majelis Adat Maluku, kemunculan

wacana adat merajut kerja sama dengan Universitas Pattimura Ambon. Dalam

rangka perdamaian berbasis kultural, keterlibatan Universitas Pattimura Ambon

menjadi sangat penting dalam ajang pertemuan para pemuka adat dan tokoh

masyarakat sejak Januari 2003.192 Upaya-upaya semacam ini tentunya tidak

sebatas mencerminkan upaya masyarakat Ambon memikirkan adat atau

menjadikan adat sebagai modal kultural membangun Maluku; akan tetapi semakin

melegitimasi status keilmiahan wacana kebangkitan adat. Inilah yang sejak awal

192 Abubakar Riry & Pieter G. Manoppo (2007), Menatang badai menabur damai, Hlm. 74

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 181: 126322004_full.pdf - USD Repository

166

juga saya maksudkan sebagai bagian dari rezim kebenaran adat yang terkukuhkan

dalam paradigma masyarakat modern.

Konsekuensi logis dari status keilmiahan wacana kebangkitan adat

semacam ini mendorong proses objektivasi subyek bekerja secara mutlak. Orang

Ambon diobjektivasi melalui wacana ilmiah adat. Mereka tidak hanya

ditempatkan dalam keseluruhan struktur ilmiah dari wacana tentang adat

istiadatnya, akan tetapi secara objektif dikendalikan oleh kekuasaan wacana

tentang adat istiadatnya. Artinya kekuatan wacana tentang adat menegaskan posisi

subyektivitas orang Ambon yang tidak akan pernah mencapai kepenuhan total.

Subyektivitas orang Ambon adalah individu yang selalu berada dalam konstruksi

wacana yang akan terus dibicarakan secara terus menerus. Hal ini mengandung

pengertian bahwa status keilmiahan adat justru menawarkan imajinasi tertentu

tentang bagai orang Ambon berperilaku sebagai orang Ambon.

Subyektivitas ke-Ambon-an dibentuk menurut imajinasi politik adat,

media sosial, bahkan internet semakin melegitimasi status wacana ilmiah adat.

Bahkan dengan cara semacam ini kuasa pendisiplinan justru bekerja secara efektif

tanpa disadari oleh orang Ambon sendiri. Orang Ambon sebagai subyek dalam

wacana kebangkitan adat akan selalu berada dalam pantauan dan pendisiplinan

secara terus menerus sehingga pada akhirnya melahirkan individu-individu yang

patuh sekaligus berguna.193 Pada titik ini apakah kita masih bisa

mempropagandakan zaman kebebasan atas nama adat? mengacu pada cara

pandang Foucault, kebebasan yang diidam-idamkan dalam logika pemikiran adat

193 Michael Foucault (1979), Discipline and Punish, Hlm 177

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 182: 126322004_full.pdf - USD Repository

167

tidak lebih dari sebuah ketiadaan atau ilusi karena tidak akan dapat dilepaskan

dari kendali wacana adat.

4.2.2. Ke-Ambon-an dalam Keterjebakan Identitas

Model objektivasi subyek terjadi pula melalui praktek pemisahan (dividing

practices) entah dalam diri sendiri maupun dipisahkan dari orang lain. Praktek

pemisahan ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang sakit (dalam hal ini adalah

para penderita kusta yang dijustifikasi sebagai ‘plague victims’ seperti yang

ditunjukkan oleh Foucault); melainkan berlaku secara umum sebagai projek

pendisiplinan individu (waras/tak waras, berbahaya/tak berbahaya,

normal/abnormal) dan sekaligus sebagai sebuah metode analitis pendistribusian

kekuasaan.194

Fenomena semacam ini selain menunjukkan proses objektivasi subyek

melalui praktek pemisahan, lebih dari pada itu fenomena semacam ini

menunjukkan proses operasionalisasi kekuasaan yang bekerja secara efektif

melalui mekanisme pengawasan. Pengawasan semacam ini mencerminkan sebuah

mekanisme pendisiplinan subyek yang tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan

institusi-institusi kekuasaan (seperti penjarah, sekolah, rumah sakit, keluarga, dan

negara) sebagai yang pihak yang melegitimasi pengawas dan kontrol terhadap

individu.195

194 Ibid., Hlm. 199195 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 183: 126322004_full.pdf - USD Repository

168

Proyek pendisiplinan individu sebagaimana yang telah dijelas atas atas

cara tertentu terjadi dalam lokalitas Ambon. Mengikuti cara pandang semacam

ini, mekanisme pendisiplinan yang mengobjektivasi orang Ambon terjadi melalui

praktek pemisahan antara lokal/pendatang; anak adat/bukan anak adat.

Sayangnya, kenyataan semacam ini sering kali direduksi hanya sebatas

mempersoalkan apakah yang bukan anak adat; atau pendatang dapat memimpin di

Ambon (daerah adat), tanpa menyadari bahwa sistem biner semacam ini justru

mereproduksi dan melegitimasi kekuasaan yang sedang dikritik. Para intelektual

dan tokoh adat sebagai aparat kebenaran sayangnya hanya sibuk mempersoalkan

keistimewaan hak anak adat dari pada menyadari relasi kuasa yang menyebar

dalam masyarakat. Praktek dan mekanisme adat diterima oleh masyarakat sebagai

sesuatu yang terberi (take for granted) tanpa merasa perlu untuk mempertanyakan

secara kritis.

Ketidaksadaran semacam ini penting untuk diungkapkan agar menjadi

otokritik dalam memahami secara krtis bagaimana diri dikendalikan oleh wacana

adat. Pada titik ini pembicaraan dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon,

kiranya tidak lagi dibatasi sebatas sistim biner lokal/pendatang akan tetapi

bagaimana memahami diri sendiri dalam praktek dan mekanisme adat. Artinya

menyadari bahwa setiap tindakan yang dilakukan selalu berdasarkan tipe subyek

tertentu yang mempunyai sedikit pilihan karena dibungkam oleh adat. Dalam

konteks itu, diri selalu berada dalam keterikatan dengan identitasnya dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 184: 126322004_full.pdf - USD Repository

169

menjadi subject-ed yang tunduk pada aturan dan norma yang dibentuk oleh

pengetahuan mengenai identitas diri.196

Persoalannya adalah apakah keterikatan tersebut dikarenakan oleh adanya

kondisi yang merepresi? Dalam perspektif Foucault, keterikatan tersebut pada

dasarnya bukan kerena sesuatu yang merepresi melainkan karena subyek itu

didisiplinkan dengan cara diawasi, dipantau dan dinormalisasikan secara terus-

menerus sehingga menghasilkan sebuah kepatuhan. Kepatuhan semacam ini

bukan didasarkan pada sebuah paksaan melainkan dengan cara menginternalisasi

kuasa penaklukan ke dalam diri sendiri. Proses internalisasi kuasa penaklukan ini

dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon bekerja melalui keinginan

(diseases of power) menjadi seorang anak adat yang ideal; menjadi orang Ambon

yang ideal.

Mekanisme kekuasaan bekerja melalui keinginan menjadi orang Ambon

ideal, hidup berdasarkan identitas ke-Ambon-an ideal yang diasumsikan selalu

terikat dengan adat istiadat. Keterikatan dengan identitas ke-Ambon-an ini secara

spesifik didasarkan pada relasi hubungan darah dan kesatuan teritorial. Pada titik

ini, proses objektivasi subyek terikat dengan identitas diri sebagai orang Ambon

sungguh-sungguh menjadi sarana efektif dari aktualisasi kekuasaan. Kekuasaan

dalam konteks ini bekerja secara unverifiable, yakni individu tidak mengetahui

kapan dirinya diawasi namun yakin bahwa ia sedang diawasi.197 Dengan kata lain,

identitas keambonan yang terbentuk melalui relasi hubungan darah atas salah satu

196 Michel Foucault, “subject and Power” dalam Chicago Journals:Critical Inquiry, Vol 8 No.4,The University of Chicago Press, hlm. 781197 Michael Foucault (1979), Discipline and Punish, Hlm. 201

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 185: 126322004_full.pdf - USD Repository

170

cara merepresentasikan mekanisme pengawasan panoptik yang membuat setiap

individu (orang Ambon) sadar bahwa selalu berada dalam pengawasan dengan

menjadi orang Ambon yang baik, patuh, dan setia terhadap aturan dan mekanisme

adat. Dengan cara semacam ini, kekuasaan tidak lagi sesuatu yang negatif (seperti

larangan, hukuman, pemisahan), akan tetapi bersifat positif dengan tujuan untuk

membentuk individu-individu yang patuh dan berguna.

4.3. Catatan Penutup

Bertolak dari seluruh penjelasan dalam bab ini beberapa poin penting

dapat ditegaskan sebagai bentuk kesimpulan. Pertama, hubungan kekuasaan

dalam wacana kebangkitan adat bekerja secara efektif melalui: loyalitas semu

terhadap adat, menerima dan melaksanakan adat tanpa merasa perlu untuk

dikritisi. Kondisi semacam ini ditempatkan dalam keseluruhan pembahasan

mengenai rezim kebenaran adat. rezim kebenaran adat bekerja pula melalui cara

orang Ambon memikirkan adat melalui dorongan dan rangsangan dari institusi-

institusi adat dan para intelektual. Termasuk dengan bagaimana mengorganisir

hubungan darah kebagai alat untuk melegitimasi hasrat berkuasa. Ironinya wacana

kebangkitan adat bukan mencerminkan perjuangan adat, melainkan

memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu untuk berkuasa.

Efek dari hubungan kekuasaan dalam konstruksi wacana kebangkitan adat

Ambon justru bukan menempatkan orang Ambon sebagai subyek melainkan

diobyektivasi melalui kerja akademis dan identitas imajiner yang ditawarkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 186: 126322004_full.pdf - USD Repository

171

melalui adat. Kuasa dalam wacana kebangkitan adat Ambon membangun

kesadaran semua menjadi seorang anak adat dan orang Ambon yang ideal dengan

taat terhadap adat. Dengan kata lain, sadar diri sebagai anak adat atau orang

Ambon berarti taat terhadap adat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 187: 126322004_full.pdf - USD Repository

172

BAB V

PENUTUP

Penelitian mengenai wacana kebangkitan adat, secara khusus di Ambon

merupakan salah satu upaya menyingkap hubungan kekuasaan dan konstruksi

subyektivitas. Melalui penelitian ini saya mencoba untuk mempertanyakan

kembali antusiasme banyak daerah di Indonesia, secara khusus masyarakat

Ambon yang memilih untuk menghidupkan kembali “negeri” adat di seluruh

wilayah Maluku. Dalam konteks itu, penelitian ini tidak berpretensi untuk

mendukung atau menafikan perjuangan adat akan tetapi mencoba untuk

mengembalikan adat pada tatanan wacana. Upaya ini secara sederhana merupakan

upaya pembacaan kembali sejarah tentang adat yang mencuat dalam satu

dasawarsa terakhir di Indonesia.

Setelah melakukan penyelidikan secara mendalam pada masing-masing

bab dalam tesis ini, saya ingin mengemukakan beberapa penegasan umum dalam

bentuk kesimpulan terhadap apa yang telah dikemukakan sebelumnya. Sekaligus

mengemukakan harapan saya untuk dipertimbangkan bersama berdasarkan

pergumulan selama menggeluti topik ini. Paling tidak menginspirasikan para

pembaca tesis ini untuk dipertimbangkan dalam studi-studi selanjutnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 188: 126322004_full.pdf - USD Repository

173

5.1. Kebangkitan Adat dan Ilusi Pembebasan

Kemunculan adat dalam satu dasawarsa terakhir menimbulkan sejumlah

persoalan. Kemunculan adat kadang-kala difungsikan sebagai instrumen guna

merumuskan realitas hidup. Adat diposisikan sebagai kekuatan bersama untuk

mempertanyakan posisi dalam kesatuan hidup bernegara. Kemampuan

merumuskan realitas hidup ini tanpa disadari terkukuhkan sebagai sebuah

kebenaran ilmiah dalam masyarakat. Kebenaran dalam perjuangan adat diterima

dan diamini oleh masyarakat. Sayangnya apa yang diterima sering kali dianggap

tidak perlu lagi untuk dipertanyakan.

Muncul keyakinan terhadap orang banyak selama ini mengenai adat.

Keyakinan tersebut mengandung suatu kebenaran akan kehancuran nilai-nilai

kearifan lokal dan marginalisasi hidup akibat pengambilalihan tanah-tanah ulayat,

eksploitasi hutan dan sumber daya alam untuk kepentingan pembangunan

nasional serta konversi desa-desa adat seperti yang terjadi di Ambon. Ironinya

legitimasi terhadap kebenaran tersebut semakin sulit dikendalikan ketika

kebenaran tersebut diperkuat melalui berbagai riset dan penelitian-penelitian

ilmiah serta keterlibatan institusi-insititusi kekuasaan yang secara spesifik

membicarakannya. Dalam lingkup nasional, salah satu institusi kekuasaan yang

berpengaruh secara signifikan atas wacana kebangkitan adat di Indonesia adalah

organisasi AMAN yang dibentuk pada 1999 di Jakarta.

Keterlibatan institusi-institusi kekuasaan seperti yang telah disebutkan di

bab-bab sebelumnya tidak hanya membuat banyak orang semakin menyakini

kebenaran dalam perjuangan adat, akan tetapi mendorong dan merangsang banyak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 189: 126322004_full.pdf - USD Repository

174

orang untuk dengan kehendak sendiri mengukuhkan perjuangan adat. Berdasarkan

kenyataan semacam ini Foucault mengingatkan kita agar selamanya tidak terbuai

dengan kondisi semacam ini. Melalui Foucault, kita diingatkan untuk selalu

menyadari bahwa apa yang disebut kebenaran selalu bersifat politik. Politik dalam

pengertian bahwa kebenaran yang diproduksi dalam wacana, justru merupakan

tempat dimana hubungan kekuasaan diproduksi dengan tujuan untuk menguasai

atau menaklukan orang lain.

Dengan demikian, apa yang disebut kebenaran pada hakekatnya tidak

pernah berada di luar kekuasaan; sebaliknya kebenaran tersebut merupakan efek

hubungan kekuasaan yang tersebar dan bergerak secara terus menerus mengikuti

gerak perkembangan wacana. Kekuasaan yang dimaksudkan di sini tidak selalu

bersifat negatif (larangan) dan bukan pula milik kelompok tetentu, akan tetapi

bersifat positif. Kekuasaan itu tidak sebatas melarang akan tetapi kekuasaan itu

pula yang merangsang, mengatur sekaligus mengintensifkan dan bisa berasal dari

berbagai sumber. Kekuasaan dalam pengertian ini selalu bersifat imanen dan co-

ekstensif dengan tubuh sosial.

Demikian pula kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat sebetulnya

bukan dalam pengertian memberi daya untuk mengatakan benar/salah atas

perjuangan adat, melainkan pengetahuan itu sendiri yang merupakan kekuasaan.

Inilah hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan yang menjadi ciri khas

pemikiran Foucault. Jadi persoalannya bukan lagi dalam pengertian mengapa

perjuangan itu benar atau salah; akan tetapi dari mana kita bisa mengatakan

perjuangan tersebut benar/salah? Inilah titik yang perlu disadari sebab kerja

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 190: 126322004_full.pdf - USD Repository

175

kekuasaan dalam perkembangannya meski tidak lagi menyentuh tubuh, akan

tetapi menyentuh pikiran sehingga kadang-kadang kita tidak bisa lagi menyadari

keberadaannya.

Pengetahuan sebagai kekuasaan; dan hubungan antara pengetahuan dan

kekuasaan selalu diproduksi dalam tatanan wacana. Hal ini dalam

implementasinya dalam tesis ini sejalan dengan topik yang saya geluti selama ini.

Cara pandang yang ditawarkan oleh Foucault tidak hanya memampukan saya

dalam melakukan pembacaan ulang terhadap kemunculan adat yang ramai

dibicarakan oleh banyak orang, melainkan mengkritisi secara konstruktif

kebiasaan masyarakat yang dengan begitu mudah mau menerima segala sesuatu

yang diwacanakan sebagai sesuatu yang terberi tanpa merasa perlu untuk

dipertanyakan. Secara khusus dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon,

orang Ambon tidak lagi menyadari bahwa kekuasaan itu justru bekerja melalui

loyalitas mereka terhadap adat.

Konsekuensinya orang banyak cenderung lebih banyak menyibukan diri

dengan mencari pendasaran rasional atas kemunculan adat dari pada mau mau

mempertanyakan secara kritis perjuangan adat. Ada apa dengan adat? Mengapa

harus dengan menggunakan adat? Mengapa adat tiba-tiba begitu penting untuk

dibicarakan? Atasnama adat, apakah mekanisme kekuasaan yang sungguh-

sungguh dikritik ataukah sebaliknya malah direproduksi demi kepentingan

kelompok-kelompok tertentu?

Seperti yang telah ditunjukkan oleh Tania Li dalam penelitiannya di

Sulawesi Tengah, justru terjadi sebaliknya. Penggunaan adat justru hanya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 191: 126322004_full.pdf - USD Repository

176

difungsikan untuk mendukung agenda politik tertentu. Seperti yang disebutkan

oleh Tania Li, penggunaan adat lebih banyak untuk memobilisasi massa melawan

negara, atau pun untuk mendukung pembentukan klaim politik atas kedaulatan

teritorial. Secara lebih kritis yang patut dipertimbangkan adalah mengapa atas

nama adat orang mau bersedia mendukung perjuangan adat? apakah kemunculan

adat juga merupakan bagian dari kesadaran nasionalisme baru di tengah-tengah

tatanan kehidupan masyarakat Indonesia?

Berbicara mengenai nasionalisme, kita kembali pada ide dasar dari

Benedict Anderson yang saya telah sebutkan pada bagian penulisan latarbelakang

dari tesis ini. Anderson dengan gaya pemikiran Antropologis mengkonsepsikan

nasionalisme dengan mengacu pada konsep bangsa sebagai “an imagined

political community-and imagined both as inherently limited and sovereign”.198

Yang penting untuk digaris bawahi adalah imagined, limited, sovereign, dan

community. Pertama, istilah imagined merepresentasikan semacam bayangan

tentang hidup bersama. Tiap-tiap anggota komunitas sebetulnya tidak saling

mengenal secara pribadi, akan tetapi selalu membayangkan bahwa mereka

disatukan dalam sebuah komunitas.199

Kedua, istilah limited merepresentasikan keterbatasan cakupan wilayah

teritorial negara tertentu yang selalu dibatasi oleh kehadiran negara lain. 200

Mustahil bahwa seluruh umat manusia yang tersebar dibayangkan dapat

198 Benedict Anderson (1991), Imagined Communities, Hlm. 6199 Ibid.200 Ibid., Hlm. 7

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 192: 126322004_full.pdf - USD Repository

177

bergabung dalam kesatuan teritorial negara tertentu sebagai satu bangsa. Ketiga,

istilah sovereign merepresentasikan lahirnya kedaulatan negara (terutama di era

pencerahan dan revolusi) bukan lagi berasal dari Tuhan, atau dinasti agama-agama

universal; akan tetapi bangsa-bangsa bermimpi tentang eksistensi kebebasan

sebagai manifestasi dari negara yang berdaulat.201 Keempat, istilah community

merepresentasikan pemahaman kebangsaan sebagai bagian dari

persahabatan/kesetiakawanan (comradeship). Hal ini juga yang mungkinkan rasa

persaudaran meminimalisir praktek pembunuhan yang sering terjadi di dunia.

Mengikuti cara pandang Anderson, paling tidak wacana kebangkitan adat

yang terjadi di Indonesia dalam satu dawasarwa dapat ditegaskan demikian:

pertama, masyarakat yang terlibat dalam gerakan kebangkitan adat sebetulnya

tidak saling mengenal. Justru yang terjadi adalah bahwa mereka selalu

membayangkan bahwa mereka dipersatukan dalam sebuah komunitas. Komunitas

yang sering kali dimunculkan secara publik adalah istilah “komunitas masyarakat

adat” yang merepresentasikan keterikatan masyarakat pada adat istiadat. Akan

tetapi perlu dipertimbankan kembali adalah eksistensinya sembari mempersoalkan

apakah kehadiran mereka yang mengatasnamakan komunitas masyarakat adat

sungguh-sungguh mencerminkan aspirasi seluruh anggotanya? Bagaimana

mungkin terjadi penggambaran kehidupan kebersamaan ketika mereka sebetulnya

tersegregasi dalam wilayah teritorialnya masing-masing? Merujuk pada konsepsi

bangsa menurut Anderson menjadi sangat jelas bahwa istilah komunitas

201 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 193: 126322004_full.pdf - USD Repository

178

masyarakat adat sebetulnya hanya merupakan bayangan tentang kebersamaan

hidup atas nama adat.

Ironinya, klaim kedaulatan teritorial atas nama adat bukan hanya mencoba

melepaskan diri dari otoritas kehendak Tuhan untuk merealisasikan kebebasan

sebagai manifestasi dari kedaulatan teritorial; akan tetapi justru jatuh dalam

bahaya politisasi adat demi mengamankan status quo para elit lokal, dan

pemangkuh adat dalam wilayah teritorial mereka. Adat dikooptasi sebagai

“bahasa sakral” untuk tidak hanya menyatuhkan tiap-tiap individu yang loyal

terhadap adat; akan tetapi melegitimasi pula wacana kekuasaan yang sedang

diperjuangkan.

Dalam adat, bahasa sakral berfungsi sebagai “wahyu” dari para leluhur

yang seakan-akan tidak dapat diabaikan. Praksisnya “wahyu” semacam ini justru

berfungsi untuk melegitimasi kekuasaan seseorang dalam adat; menjadikan

kekuasaan seseorang secara historis tidak dapat dipertentangkan bahkan

dipertanyakan oleh orang lain. Pada titik ini, sebenarnya wacana kekuasaan justru

bergerak melalui bahasa yang diproduksi dalam wacana adat. Lebih dari pada itu,

legitimasi kekuasaan sebetulnya tidak beraral dari rakyak melainkan berasal dari

dunia gaib dengan bahasa-bahasa mistiknya yang mengakar pada adat istiadat.

Dengan demikian penegasan Anderson mengenai kekuasaan mendudukkan

kekuasaan bukan lagi sebagai sebagai sesuatu yang abstrak melainkan kongkrit,

homogen, konstan dan terlegitimasi. Kongkrit dalam pengertian termanifestasi

melalui unsur kosmik sebagaimana diyakini dalam adat; homogen dalam

pengertian kekuasaan baik jenis maupun sumber berasal dari identitas kelompok

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 194: 126322004_full.pdf - USD Repository

179

tertentu; konstan dalam pengertian kekuasaan tidak dapat berubah atau seakan-

akan kekal; dan terlegitimasi dalam masyarakat yang cenderung bersifat

homogen.202

Dengan mempertimbangkan pula pemikiran Anderson pada kesempatan

ini, apakah para revivalis adat masih dapat memproklamirkan janji kebebasan dan

hari baru melalui adat? apakah gerakan resistensial melalui adat sungguh-sungguh

memberikan kebebasan dari mekanise kekuasaan yang sedang dikritik? Pada

kenyataannya resistensi terhadap mekanisme kekuasaan nampaknya hanya

terjebak pada kemampuan mereproduksi mekanisme kekuasaan yang sedang

dikritik. Apa yang dibicarakan selama ini mengenai pembebasan hanyalah stategi

kekuasaan dan hasrat berkuasa dengan tujuan untuk menaklukan orang lain.

Kuasa dalam adat memugkinkan individu yang fetis terhadap adatnya sendiri

ditaklukan oleh berbagai institusi kekuasaan adat. Keterlibatan insitusi-insitusi

kekuasaan adat didorong oleh kebutuhan mereka mereproduksi adat, menanamkan

kebenaran akan kehancuran nilai-nilai adat, dan mendorong masyarakat untuk

dengan kehendaknya sendiri menginternalisasikan wacana ketidakadilan yang

diwacanakan selama ini. Mereka hadir sebagai bagaikan “polisi adat” untuk

mengintensifkan peran masyarakat yang memiliki pengetahuan atas adat

istiadatnya masing-masing. Pada titik ini kiranya dapat dipahami mengapa

gerakan kebangkitan adat yang terjadi dalam satu dasawarsa terakhir sungguh-

sungguh mendapat sambutan hangat dari masyarakat; bahkan diklaim sebagai

gerakan bersama seluruh masyarakat.

202 Benedict Anderson (1990), Language and power: Exploring political cultures in Indonesia,Ithaca & London: Cornell University Press, Hlm. 22-23

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 195: 126322004_full.pdf - USD Repository

180

5.2. Darah sebagai Arena Kontestasi Kekuasaan dalam Adat

Geliat kebangkitan adat yang terjadi di Ambon mulai tercuat kepermukaan

ketika terjadi konflik sosial pada 1999. Konflik sosial yang terjadi sungguh-

sungguh menjadi momen kebangkitan adat Ambon. Isu adat mulai digulirkan ke

publik sebagai upaya perbaikan kondisi masyarakat yang hancur akibat konflik.

Adat berfungsi sebagai modal sosial-politik untuk merekonsiliasi dan

merevitalisasi hidup masyarakat. Akan tetapi dalam perkembangannya adat malah

digiring ke arah keinginan berkuasa.

Dorongan untuk membicarakan adat semakin sering dilakukan oleh

berbagai pihak terutama oleh institusi-institusi lokal yang secara khusus mengkaji

adat. Suksesi adat tidak hanya terletak pada kemampuan mereorganisasi diri dan

melembagakan adat, akan tetapi secara transformatif adat degan status

keilmiahannya melegitimasi keinginan berkuasa elit lokal. Pada titik ini urgensi

membicarakan adat hadir terjebak dalam persoalan siapakah yang berhak

memimpin di Ambon. Status keilmiahan adat menubuh dalam masyarakat sebagai

kebenaran ilmiah akan hak istimewa kekuasaan anak adat; penduduk lokal; orang

Ambon.

Pembicaraan mengenai adat lambat-laun mulai membidik otonomisasi

pemerintahan hukum adat dan keistimewaan hak-hak penduduk lokal Ambon.

Konsekuensinya sistem biner (lokal/pendatang; anak adat/bukan anak adat)

mendominasi pembicaraan masyarakat mengenai adat. Hal ini seakan-akan

memuncak pada upaya penetapan kembali “negeri-negeri adat” sebagai bentuk

pemerintahan hukum adat di wilayah kepulauan Maluku, secara khusus di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 196: 126322004_full.pdf - USD Repository

181

Ambon. Pertanyaannya adalah pemerintahan hukum adat seperti apa yang

diperjuangkan di Ambon? Berdasarkan penelusuran saya pada bab-bab terdahulu,

pemerintahan hukum adat yang dimaksudkan selama ini sesungguhnya merujuk

pada model pemerintahan “negeri” yang terlegitimasi oleh hubungan darah.

Karakter biologis semacam ini akhirnya menjadi ukuran menentukan

kepemimpinan politik di Ambon.

Hubungan darah pada akhirnya tidak lagi sebatas hubungan kultural, akan

tetapi menjadi arena kontestasi kekuasaan politik. Konsekuensinya, mereka yang

tidak memiliki hubungan darah serta merta tidak terakomodir dalam pemerintahan

hukum adat. Mekanisme adat mengharuskan anak adat, yakni mereka yang secara

genetik memiliki hubungan darah dan terikat dengan aspek teritorial. Lantas,

apakah perjuangan adat selama ini sungguh-sungguh memperjuangkan nilai-nilai

adat ataukah sebaliknya memperjuangkan hasrat berkuasa? Apakah perjuangan

adat selama ini benar-benar meresistensi mekanisme kekuasaan dominan ataukah

mereproduksi kekuasaan demi kepentingan kelompok tertentu?

Analisis wacana kritis mengenai hubungan kekuasaan seperti yang telah

ditunjukkan dalam uraian bab IV secara khusus menunjukkan kemampuan

mereproduksi mekanisme kekuasaan yang sedianya mau dikritik melalui

perjuangan adat. Kekuasaan bekerja melalui kemampuan masyarakat merumuskan

realitas hidup dan identitas ke-Ambon-an seperti ketika mengorganisir karakter

biologis dalam pembicaraan mengenai kebangkitan adat. Konsekuensinya,

pendasaran rasionalitas atas keistimewaan hak anak adat dipraktekkan sebagai

sebuah kebenaran mutlak yang perlu mendapatkan pengakuan dari etnis lainnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 197: 126322004_full.pdf - USD Repository

182

Memang tidak dipungkri bahwa mula-mula hal ini terasa berat, akan tetapi dengan

dikondisikan oleh rezim wacana kebangkitan adat pengakuan terhadap kebenaran

dan mekanisme adat akhirnya bisa lahir dari kehendak sendiri.

Di sisi lain, upaya meresistensi kekuasaan dengan tujuan untuk mencapai

otonomi diri pada kenyataannya melahirkan kepatuhan. Kepatuhan ini terjadi

melalui proses subyektivasi kekuasaan. proses subyektivasi kekuasaan

mencerminkan bagaimana subyek (orang Ambon) dikonstruksi oleh wacana adat,

baik melalui berbagai kajian akademis maupun imaji akan indentitas ke-Ambon-

an ideal yang ditawarkan dalam adat. Terjadi proses objektivasi subyek (ke-

Ambon-an) melalui wacana ilmiah. Realitas hidup dirumuskan berdasarkan

pendasaran rasional yang dibentuk di bawah kendali berbagai institusi kekuasaan.

Dengan cara demikian, otonomi dan pembebasan diri niscaya tidak akan

terjadi. Apa yang dibayangkan mengenai pembebasan diri, melepaskan diri dari

mekanisme kekuasan dominan, justru jatuh dalam kendali teknologi pendisiplinan

berupa pengawasan dan normalisasi. Orang Ambon dari hari ke hari diawasi

secara terus menerus melalui berbagai regulasi. Kehadiran regulasi-regulasi adat

berfungsi untuk mengukuhkan pembicaraan mengenai adat yang terjadi selama

ini. Di sisi lain, penaklukan terhadap orang Ambon terjadi melalui keterikatan

dengan identitas diri sebagai orang Ambon atau pun anak adat. Dalam konteks ini

kuasa bekerja melalui keinginan untuk hidup berdasarkan identitas sebagai orang

Ambon atau anak adat yang ditawarkan dalam wacana adat. Keterikatan dengan

identitas melahirkan objektivasi diri sebagai orang Ambon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 198: 126322004_full.pdf - USD Repository

183

Pada titik ini, wacana kekuasaan bekerja secara halus di mana individu

tidak lagi bisa mengetahui kapan dirinya diawasi, dikontrol dan didisiplinkan.

Inilah mekanisme pengawasan panoptik yang membuat orang Ambon tidak sadar

bahwa selalu berada dalam pengawasan. Jadi, operasionalisasi kekuasaan tidak

lagi bekerja secara negatif melainkan secara positif dengan tujuan untuk

membentuk individu-individu yang patuh dan berguna untuk mendukung agenda

perjuangan adat dari tokoh adat.

5.3. Angan-Angan Politisku: Radikalisasi Kerja Adat

Setelah mencermati secara seksama dinamika wacana kebangkitan adat di

Ambon persolan yang tidak bisa dihindari adalah legitimasi kekuasaan adat dan

penaklukan individu. Bagaimana dan melalui mekanisme seperti apa hal tersebut

dilaksanakan telah diuraikan dalam penelitian ini. Akan tetapi yang menjadi

harapan ke depan adalah mungkinkah kerja adat dapat diradikalisasi? Harapan ini

berkaitan dengan upaya merumuskan kerja adat sebagai praktek politis.

Secara de facto, kemunculan adat dalam ruang publik politik di Ambon

mengiring adat ke tingkat pembentuk ruang politik tunggal, atau kepemimpinan

lokal (pribuminisasi). Konsekuensinya pengakuan terhadap identitas tunggal

penduduk lokal Ambon tidak dapat dipungkiri. Di samping itu, persoalan muncul

ketika harus berhadapan dengan realitas masyarakat Ambon yang lambat-laun

semakin majemuk. Pada titik ini yang perlu dipertimbangkan bukan lagi sekedar

pantaskah seseorang yang bukan anak adat dapat memimpin di daerah adat seperti

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 199: 126322004_full.pdf - USD Repository

184

yang selalu digembar-gemborkan selama ini melainkan bagaimana

memaksimalkan peran tiap-tiap individu dalam lokalitas Ambon yang berbeda-

beda demi mewujudkan suatu tatanan hidup baru masyarakat politis.

Sudah barang tentu idealisme semacam ini rasanya sulit untuk

diwujudkan. Akan tetapi sudah sepantasnya hal ini ikut dipertimbangkan ketika

harus berhadapan dengan suara-suara kecil yang selama ini menghendaki agar

dapat terlibat secara aktif. Di sisi lain, meminjam gagasan Laclau-Mouffe dalam

Hegemony dan Socialist stragegy (1985) kurang lebih kita diingatkan untuk selalu

sadar masyarakat selalu berada dalam proses menjadi. Masyarakat adalah praktek

artikulatoris dalam medan hegemoni. Lagi pula medan hegemoni yang didominasi

oleh praktek-praktek artikulatoris tersebut merupakan medan di mana elemen-

elemen tidak dapat terkristalisasi secara mutlak sebab bahanya tidak akan ada lagi

ruang bagi munculnya praktek artikulasi.203 Oleh sebab itu, praktek artikulatoris

perlu ditempatkan dalam konteks konfrontasi dengan praktek artikulatoris yang

antagonistik.204 Praktek artikulatoris selalu terjadi dalam medan penuh perbedaan,

yakni kondisi di mana formasi hegemonik selalu mengandung kekuatan-kekuatan

antagonistik yang memisahkan kekuatan-kekuatan antagonistik.205

Apa relevansinya dengan topik pembahasan dalam penelitian ini? Cara

pandang semacam ini berkaitan dengan upaya melakukan radikalisasi kerja adat

yang menjadi harapan saya. Radikalisasi kerja adat bertujuan untuk

203 Ernesto Laclau and Chantal Mouffe (1985), Hegemony & Social Strategy: Towards a RadicalDemocratic Politic. London-New York: Verso, 134204 Ibid., Hlm. 135-136205 Ibid., Hlm. 136

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 200: 126322004_full.pdf - USD Repository

185

memperlakukan adat bukan sebagai sebuah identitas tunggal, atau “blok historis”

dalam pengertian Gramsci dalam formasi wacana kebangkitan adat; akan tetapi

perlu mempertimbangkan bagaimana kebangkitan adat dapat memaksimalkan

secara politis peran tiap-tiap individu untuk membangun dan mengaktualisasikan

kembali ranah sosial yang memungkinkan munculnya perjuangan memaknai

sejarah secara baru.

Radikalisasi kerja adat dalam konteks sosial masyarakat Ambon paling

tidak memungkinkan tiap-tiap individu, baik lokal maupun pendatang dapat

terlibat secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat di Ambon, baik pada level

“negeri” maupun dalam kehidupan berpolitik di Ambon. Persoalan yang selalu

didengungkan bahwa apakah anak dapat dapat memimpin di daerah adat

(Ambon), paling tidak dipertimbangkan kembali agar memungkin setiap warga

dapat terlibat dalam pembangunan masa depan Ambon yang lebih baik. Selain itu,

kemunculan adat perlu dipertimbangkan kembali bukan untuk melegitimasi

kekuasaan dan status quo kelompok tertentu di Ambon, melainkan

memaksimalkan adat untuk memperjuangkan nilai-nilai adat demi membangun

persaudaraan bersama di Ambon.

Cara pandang semacam ini kurang lebih sejalan dengan cita-cita Foucault

dalam kritik wacana yakni mendorong subyek dapat mereimajinasi hidup agar

memasuki dimensi waktu yang baru. Pembentukan masyarakat politis dengan

menyatukan kekuatan-kekuatan sosial yang antagonistik perlu menjadi prioritas

bersama dalam kerja politis adat. Hal ini perlu disadari sebab masyarakat Ambon

sebagai suatu kesatuan sosial politik terdiri dari individu-individu yang memiliki

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 201: 126322004_full.pdf - USD Repository

186

kelebihannya masing-masing. Untuk itu jika kebangkitan adat di Ambon hanya

bertujuan untuk membentuk suatu identitas tunggal maka perjuangan untuk

meresistensi wacana kekuasaan dominan selama ini hanya mengiring perjuangan

tersebut jatuh dalam upaya mereproduksi mekanisme kekuasaan yang sedang

dikritik.

Untuk itu mustahil untuk dapat keluar dari cengkraman kekuasaan.

Apalagi membayangkan mengenai kemurnian adat ataupun identitas keambonan.

Identitas bukan merupakan sesuatu yang telah ada begitu saja melainkan ada

karena terkonstruksi. Oleh karena itu, pantas untuk dipertimbangkan ke depan

adalah melihat masyarakat sebagai kesatuan sosial yang bersifat plural. Formasi

wacana kebangkitan adat sudah sepantasnya bersedia untuk mengefektifkan peran

tiap-tiap individu tanpa bermaksud untuk membentuk identitas tunggal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 202: 126322004_full.pdf - USD Repository

187

DAFTAR PUSTAKA

Buku-BukuAnderson, Benedict (1991), Imagined Communities: Reflection on the origin and

spread of Nationalism, London & New York: Verso.

Anderson, Benedict (1990), Language and power: Exploring political cultures inIndonesia, Ithaca & London: Cornell University Press.

Andibya, Badut W (2008). The Wonderful Islands Maluku: Membagun kembaliMaluku dengan nilai-nilai dan khazana lokal, serta prinsipEnterpreneurial Government, beragam potensi dan Peluang Investasi,Jakarta: Gibon Books.

Brigitta Hauser-Schäublin (2013). Adat and Indigeneity in Indonesia: Culturaland Entitlements between Heteronomy and self-Ascription. Volume 7.Universitätsverlag Göttingen.

Bourdieu, Pierre (1984). The Logic of Practice. Terj. Richard Nice. Cambridge,Massachusetts: Harvard University Press.

Cooley, Frank L (1962). Ambonese Adat: a general description. USA: YaleUniversity Southeast Asia Studies.

Davidson, Jamies. David Henley, Sandra Moniaga (2010). Adat dalam politikIndonesia. Terj. Emilius Ola Kleden dan Nina Dwisasanti dari judulasli The revival of tradition in Indonesian politics: the deployment ofadat from colonialism to indigenism. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Dreyfus, Hubert L. & Paul Rabinow (1982). Michel Foucault: BeyondStrukturalism and hermeneutics,Chicago: University of Chicago press.

Effendi, Ziwar (1987). Hukum Adat Ambon-Lease. Jakarta: Pradnya Paramita.

Foucault, Michel (1984). The Foucault Reader. Ed. Paul Rabinow. New York:Pantheon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 203: 126322004_full.pdf - USD Repository

188

Foucault, Michel (1976). The History of Sexuality. Terj. Robert Hurley dari judulasli Histoire de la sexualité.New York: Pantheon Books.

Foucault, Michel (1997), Seks dan Kekuasaan, Terj. Rahayu S. Hidayat dari TheHistory of Sexuality, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Foucault, Michel (1979). Discipline and Punish: The Birth of the prison. Terj.Alan Sheridan dari judul asli Surveiller et punir. New York: VintageBooks.

Foucault, Michel (1980). Power/knowledge: Selected interviews & other writings1972-1977, Terj. Colin Gordonm Leo Marshall, John Mepham, KateSoper, New York: Pantheon Books.

Hall, Donal E (2004), Subjectivity: The New Critical Idion, New York andLondon: Routledge.

Hall, Stuart (1997). Representation: Cultural representations and signifyingpractices. London: Sage Inc.

Hardiyanta, P. Sunu (1997). Michel Foucault-Disiplin tubuh bengkel individumodern, Yogyakarta: LKis.

Hook, Derek (2007), Foucault, Psychology and the analytics of power, NewYork: Palgrave Macmillan.

Keuning, J (1973). Sejarah Ambon Sampai Pada Akhir Abad Ke-17, Jakarta:Bharatara.

Laclau, Ernesto and Chantal Mouffe (1985). Hegemony & Social Strategy:Towards a Radical Democratic Politic. London-New York: Verso.

Lawler, Steph (2014). Identity: Sociological Perspectives. Secon Edition. USA:Polity Press.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 204: 126322004_full.pdf - USD Repository

189

Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia (2004). Dinamika KonflikDalam Transisi Demokrasi: Informasi Konflik dan Potensi IntegrasiBangsa. Yogyakarta: INPEDHAM.

Lembaga Kebudayaan Maluku (2011). Citra Budaya Maluku dalam polapemahaman sistemik. Ambon: Lembaga Kebudayaan Maluku &Pemerintah Provinsi Maluku.

Leirissa, R. Z (2004). Ambonku: doeloe, kini, esok. Ambon: Pemerintah KotaAmbon.

Macsfield, Nick (2000), Subjectivity: Theory of the self from Freud to Haraway,Australia: ELLEN & UNWIN.

Mills, Sara (2003). Michel Foucault. London & New York: Routledge.

McHoul, Alec and Wendy Grace (1993). A Foucault Primer: Discourse, powerand the subject, London and New York: Routledge.

Pattiruhu, C. M. (1997). Seri Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon, Ambon:Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku.

Rahabeat, Rudolf (2004). Politik persaudaraan: Membedah peran pers.Yogyakarta: Buku Baik.

Riry, Abubakar & Pieter G. Manoppo (2007). Menatang badai menabur damai:napak tilas raja dan latupati merajut kembali jaringan persaudaraan,Jakarta: Insos Book.

Salatalohy, Fahmi & Rio Pelu (2004). Nasionalisme Kaum Pinggiran: DariMaluku, Tentang Maluku, Untuk Maluku. Yogyakarta: LKiS.

Saukko, Paulo (2003). Doing Research in cultural Studies: An Introduction toclassical and New Methodological Approaches. London: Sage.

Sarup, Madan (2003). Postrukturalisme dan Posmodernisme: sebuah pengantarkritis. Terj. Medhy Aginta Hidayat dari judul asli An Introductory

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 205: 126322004_full.pdf - USD Repository

190

Guide to Post-Structuralism and Postmodernism. Yogyakarta:Jendela.

Takwin, Bagus (2003). Akar-akar ideologi: pengantar kajian konsep ideologi dariPlato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.

Ufi, Josep Antonius & Hasbulla Assel (2012). Mengali Sejarah dan Kearifanlokal Maluku. Jakarta: Cahaya Pineleng.

Catatan Penelitian dan Artikel dalam Bunga RampaiDavid Bourchier. “Kisah adat dalam imajinasi politik Indonesia dan kebangkitan

masa kini” dalam Jamies. Davidson, David Henley, Sandra Moniaga(2010). Adat dalam Politik Indonesia, Terj. Emilius Ola Kleden danNina Dwisasanti dari judul asli The revival of tradition in Indonesianpolitics: the deployment of adat from colonialism to indigenism.Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, Hlm. 125-146.

Tania M. Li. “Adat di Sulawesi Tengah: penerapan kontemporer” dalam Jamies.Davidson, David Henley, Sandra Moniaga (2010). Adat dalam PolitikIndonesia, Terj. Emilius Ola Kleden dan Nina Dwisasanti dari judulasli The revival of tradition in Indonesian politics: the deployment ofadat from colonialism to indigenism. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor,Hlm. 367-405

Pater Burns. “adat, yang mendahului semua hukum” dalam Jamies. Davidson,David Henley, Sandra Moniaga (2010). adat dalam politik Indonesia,Terj. Emilius Ola Kleden dan Nina Dwisasanti dari judul asli Therevival of tradition in Indonesian politics: the deployment of adat fromcolonialism to indigenism. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, Hlm. 77-97

C. Fasseur. “Dilema zaman kolonial: Van Vollenhoven dan perseteruan antarahokum adat dan hokum Barat di Indonesia, dalam Jamies. Davidson,David Henley, Sandra Moniaga (2010). adat dalam politik Indonesia,Terj. Emilius Ola Kleden dan Nina Dwisasanti dari judul asli Therevival of tradition in Indonesian politics: the deployment of adat fromcolonialism to indigenism. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, Hlm. 57-76

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 206: 126322004_full.pdf - USD Repository

191

Weldemina Yudit Tiwery-Pattikawa. “Apa arti Indonesia Merdeka BagiMaluku?” dalam Fahmi Salatalohy & Rio Pelu (2013). NasionalismeKaum Pinggiran: Dari Maluku, Tentang Maluku, Untuk Maluku.Yogyakarta: LKiS, Hlm. 155-166

Abidin Wakano (2013), “Perjumpaan Identitas Lokal dengan Higemoni PolitikUniformalisme oleh Negara. dalam Fahmi Salatalohy & Rio Pelu(2004). Nasionalisme Kaum Pinggiran. Yogyakarta: LKiS, Hlm. 13-26.

Yance Arizona & Erasmus Cahyadi. “The Revival of Indigenous Poples:Contestation over a special leigislation on masyarakat adat” dalamBrigitta Hauser-Schäublin (2013). Adat and Indigeneity in Indonesia:Cultural and Entitlements between Heteronomy and self-Ascription,Volume 7, Universitätsverlag Göttingen, Hlm. 43-62.

Hatib Abdul Kadir, “Sapa bale batu, batu bale dia: politik revivalisme tradisisiwalima orang Ambon pasca konflik” dalam jurnal Lakon (Vol.1 Juli2012), Hlm 61-75

Julia Menard-Warwick (2005), “Both a fiction and an existential fact: theorizingidentity in second language acquisition and literacy studies” dalamLinguistics and Education, Department of linguistics, one shields ave,USA: University of California, Hlm. 253-274

Michel Foucault, “subject and Power” dalam Chicago Journals:Critical Inquiry,Vol 8 No.4, The University of Chicago Press, hlm. 777-795

Dieter Bartels. “Kebangkitan adat dan Lembaga kolonial dalam penyelesaiankerusuhan antara kelompok Muslim dan Kelompok Kristen diAmbon” dalam Martin Ramstedt & Fadjar Ibnu Thufail (Ed.),Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan kewarganegaraan padaMasa Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia,2011.

Georgius Evergardus Rumphius mengenai Sejarah Ambon: peristiwa-peristiwapenting, baik dalam masa damai maupun masa perang sejakNederlandsche Oost Indische Compagnie berkuasa di Amboina, Terj.Frans Rijoly dari judul asli De Ambonsche Historie, Hlm. 7

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 207: 126322004_full.pdf - USD Repository

192

R.Leirisa. “Kasus Ambon sebagai pilot project penyelesaian konflik SARA”dalam Stanley (Ed.). Indonesia di Tengah Transisi. Jakarta: Propratria,2000

Dieter Bartels, Tuhanmu Bukan lagi Tuhanku: Perang Saudara Muslim-Kristen diMaluku Tenggah (Indonesia) setelah hidup berdampingan dengantoleransi dan kesatuan Etnis yang berlangsung selama setengahMilenium, Terj. Ani Kartikasari dari judul Your God is No LongerMine: Moslem-Christian Fratricide in the Central Moluccas(Indonesia) after a Half-Millennium of Tolerent Co-Existence andEthnic Unity. Hlm. 1-22

Taurn, Odo Deodatus (1918). Patasiwa dan Patalima: Tentang Pulau Seram diMaluku dan Penduduknya, sebuah sumbangan untuk ilmu bangsa-bangsa, Terj. Frans Rijoly dari judul asli Patasiwa dan patalima: VomMolukkeneiland Seram und sinen Bewohnern.

Aturan Perundang-Undangan- Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1979 tentang

pemerintahan desa- Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 tentang

Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Mayarakat Hukum AdatDalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku

- Peraturan Daerah Kota Ambon No 3 Tahun 2008 tentang negeri di kotaAmbon

- Peraturan Daerah Kota Ambon No 13 Tahun 2008 tentang tata carapencalonan, pemilihan, pengangkatan dan pelatinkan serta pemberhentianraja

- Peraturan Daerah Kota Ambon No 14 Tahun 2008 Tahun 2008 tentangpedoman umum anggaran pendapatan dan belanja negeri

- Peraturan Daerah Kota Ambon No 15 Tahun 2008 Tahun 2008 tentangkedudukan keuangan raja dan saniri negeri lengkap

- Peraturan Daerah Kota Ambon No 16 Tahun 2008 Tahun 2008 tentangpedoman umum administrasi negeri

- Peraturan Daerah Kota Ambon No 17 Tahun 2008 Tahun 2008 tentangpedoman umum penetapan batas wilayah negeri di kota Ambon

- Peraturan Daerah Kota Ambon No 17 Tahun 2008 Tahun 2008 tentangpedoman umum pembiayaan dan pengawasan penyelenggaraanpemerintahan negeri

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 208: 126322004_full.pdf - USD Repository

193

Situs Internet- Abdul Haerah, “Isi Perjanjian Perdamaian Maluku di Malino”, diakses

dari https://www.mailarchive.com/[email protected]/msg00035.html,pada 21 November 2014

- Ichsan Malik, Promoting dialogue untuk resolusi konflik kekerasanmasyarakat di Maluku, 2009

- “Institut Titian Perdamaian” diakses darihttps://www.facebook.com/pages/InstitutTitianPerdamaian/111939478888542?sk=info, pada hari Senin, 29 Juli 2014

- Profil Majelis Latupati Kota Ambon”, diakses darihttp://latupati.blogspot.nl/, diakses pada 3 Agustus 2014.

- Lambang Siwalima Diakses darihttp://www.malukuprov.go.id/index.php/2014-01-29-11-12-57/arti-lambang, pada hari sabtu 23 Agustus 2014.

- “Petisi anak-cucu adat Maluku” dalamhttp://www.petitiononline.com/maluku/petition.html, diakses pada tanggal27 Agustus 2014

- “Dinobatkan jadi raja besar Maluku, SBY kunya sirih” diakses darihttp://latupatimaluku.blogspot.com/2012/09/dinobatkan-jadi-raja-besar-maluku-sby.html, pada tanggal 27 Agustus 2014

- “Assagaff Bertaburan Gelar Adat. PANTASKAH ????” diakses darihttp://catatananakmaluku.blogspot.com/2013/04/assagaff-bertaburan-gelar-adat-pantaskah.html. Pada tangga 27 Agustus 2014

- Sejarah Organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, diakses darihttp://www.aman.or.id/ pada tanggal 7 Januari 2015.

Narasumber Wawancara- Joseph Antonius Ufi, Dosen FKIP Universitas Patimura Ambon, Pengamat

Budaya, dan Konsultan Institut Tifa Damai Maluku.- Hans Suitela, Mantan Raja Negeri Suli.- Aleks Sitanala, Ketua Saniri Negeri Suli.- Doni Silawanabesi, Warga Tial-Daerah Relokasi Pengungsian Tial.- Dedi Rikumaha, Warga Banda- Daerah Relokasi Pengungsian Banda.- Izak Aipassa, Warga Banda-Daerah Relokasi Pengungsian Banda.- Tos Walunama, Warga Larike-Daerah Relokasi Pengungsian Larike- Abdullah Malawat, Raja Negeri Mamala dan Mantan Ketua Latupati

Maluku- Simon Puttinella, Sekretaris dan Pejabat Sementara Raja Negeri Suli.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI