POLITIK KEBANGKITAN ADAT: Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Oleh: Willem Batlayeri NIM: 126322004 Program Magister Ilmu Religi Dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2015 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
POLITIK KEBANGKITAN ADAT:
Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon
TESIS
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Magister Humaniora
(M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh:
Willem Batlayeri
NIM: 126322004
Program Magister Ilmu Religi Dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
TESIS
POLITIK KEBANGKITAN ADAT:Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon
Oleh:Willem BatlayeriNIM: 126322004
Telah disetujui Oleh:
Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J.Pembimbing I
………………………….....Tanggal: 22 Desember 2014
Dr. Katrin BandelPembimbing II
…………………………….Tanggal: 22 Desember 2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
HALAMAN PENGESAHAN
TESIS
POLITIK KEBANGKITAN ADAT:Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon
Oleh:Willem BatlayeriNIM: 126322004
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji TesisPada tanggal: 20 Januari 2015
dan dinyatakan telah memenuhi syarat.
Tim Penguji
Ketua :Albertus Budi Susanto, S.J. Ph.d ……………………
Moderator/Sekretaris
:Dr. FX. Baskara Tulus Wardaya, S.J. ……………………
Anggota : 1. Dr. G. Budi Subanar, S.J. ……………………
2. Dr. Katrin Bandel ……………………
Yogyakarta, 20 Januari 2014Direktur Program Pascasarjana
Prof. Dr. Agustinus Supratiknya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:Nama : Willem BatlayeriNIM : 126322004Program : Magister Ilmu Religi dan Budayalnstitusi : Universitas Sanata Dharma
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis:
Judul : POLITIK KEBANGKITANADAT:Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon
Pembimbing I : Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J.Pembimbing II : Dr. Katrin Bandel
Tanggal diuji : 20 Januari 2015
adalah benar-benar hasil karya saya.
Tesis ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang saya laksanakan sejak 2013-2014 di Ambon, Provinsi Maluku. Selama proses penulisan tesis ini, sayamelengkapi dan mendalami topik ini dengan mempertimbangkan studi-studiterdahulu sebagaimana telah pertanggungjawabkan secara akademis dalam catatankaki dan daftar pustaka.Apa bila pada kemudian hari terdapat tindakan yangbertentangan dengan kode etik akademik, saya bersediamenerima sanksisesuaidengan peraturan yang berlaku di Program Magister llmuReligidan Budaya(IRB) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Yogyakarta, 20 Januari 2015
Yang Menyatakan
Willem Batlayeri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGANAKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas DharmaNama : Willem BatlayeriNIM : 126322004
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepadaPerpustakaanUniversitas Sanata Dharma karya ilmiah dengan judul:
POLITIK KEBANGKITAN ADAT:Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon
Dengan tujuan untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,mengelolanya dalambentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, danmempublikasikannya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijinmaupun memberikan royalti selama tetap mencantumkan namasaya sebagaipenulis.
Demikian pemyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, 20 Januari 2015
Yang Menyatakan
Willem Batlayeri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERSEMBAHAN
Karya tulis ini dipersembahan kepada:
Pemerhati Adat dan Budaya Lokal diAmbon-Maluku,
Sekolah Tinggi Pendidikan Agama Katolik (STPAK) St. Yohanes Penginjil
Ambon,Almamater Program Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata
Dharma Yogyakara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
MOTTO
Menyangsikan kemapanan status Pengetahuan adalah Jalan Terbaik
Mencintai Kebenaran.
(Diinspirasi oleh Michel Foucault)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati, saya memanjatkan puji dan syukur atas
berkat dan penyertaan Tuhansehingga penulisan tesis ini dapat berjalan dengan
BAB VPENUTUP............................................................................................ 172
5.1. Kebangkitan Adat dan Ilusi Pembebasan...................................... 173
5.2. Darah sebagai Arena Konstestasi Kekuasaan
dalam Adat .................................................................................... 180
5.3. Angan-angan Politisku: Radikalisasi Kerja Adat.......................... 183
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 187-193
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
ABSTRAK
Analisis ini dimaksudkan untuk menyingkap hubungan kekuasaan dankonstruksi subyektivitas yang diproduksi dalam rezim wacana kebangkitan adatAmbon. Penyelidikan ini dilakukan berdasarkan tiga pokok persoalan yaknigenealogi, hubungan kekuasaan dan subyektivitas. Analisis genalogi bertujuanuntuk membongkar kontinuitas sejarah demi pencarian asal-usul kemunculanwacana kebangkitan adat yang sebetulnya mengakar pada hubungan timbal-balikantara kebenaran, kekuasaan-pengetahuan dan subyek. Di Indonesia, kemunculanadat diparalelkan dengan sejumlah praktek ketidakadilan di tingkat lokal sepertipengambilalihan kepemilikan tanah-tanah ulayat yang dikonversikan menjadikonsensi pembangunan nasional; termasuk kebijakan nasional konversi desa-desaadat seperti negeri (desa adat) di Ambon yang menjadi lokus penelitian ini.
Kemunculan adat dengan niat untuk memperjuangkan nilai-nilai adat danmendapatkan kembali rasa keadilan yang diklaim terabaikan pada masa OrdeBaru malah mengakar dalam wacana kekuasaan. Eforia adat di era reformasi padakenyataannya tidak menyentuh persoalan konstestasi nilai-nilai adat, malahterjebak dalam persoalan kontestasi kekuasaan politik di tingkat lokal denganmelakukan birokratisasi adat, manajerialisasi adat, dan atau administrasi adat.Konsekuensinya, terjadi penonjolan identitas etnis. Wacana kebangkitan adatberubah menjadi wacana kebangkitan identitas etnis yang mendasarirasionalitasnya pada rezim kebenaran wacana kebangkitan adat. Hegemoniwacana kekuasaan adat semakin sulit dikendalikan ketika muncul intervensiberbagai institusi kekuasaan seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)pada tingkat pusat di Jakarta dan majelis Latupati Maluku pada tingkat lokalseperti yang terjadi di Ambon. Proses institusionalisasi kekuasaan semacam initanpa disadari mendorong wacana kekuasaan bekerja secara efektif dalam praktekwacana sosial.
Efek dari mekanisme kekuasaan semacam ini adalah terjadinya prosessubyektivasi kekuasaan. Subjektivasi kekuasaan menjadikan subjek selalu beradadalam pengawasan dan ketergantungan penuh terhadap rezim kebenaran wacanailmiah dan keterikatan terhadap identitas sendiri dengan menjadi subject-ed.Proses objektivasi subyek ini merepresentasi operasionalisasi kekuasaan melaluiteknologi pendisiplinan subyek dengan tujuan untuk menghasilkan kepatuhan.Dalam konteks itu, identitas subyek ke-Ambon-an dalam wacana kebangkitanadat Ambon teraktualisasi dalam kendali wacana ilmiah dan identitas denganberusaha menjadi orang Ambon ideal.
Kata Kunci: kebangkitan adat, negeri adat, rezim kebenaran, institusionalisasikekuasaan, kekuasaan-pengetahuan, dan subyektivitas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
ABSTRACT
This analysis is intended to reveal the power relation and subjectivityconstruction which is produced by the discursive regime of indigenous revivalismin Ambon. This study is based upon three main subjects, namely genealogy,power relation, and subjectivity. The genealogical analysis is intended todismantle the historical continuity in order to find the origins of the indigenousrevivalism discourse, which is actually rooted in the causal relation of truth,power-knowledge, and subjectivity. In Indonesia, the appearance of indigenousrevivalism is equivalent to a number of unequal treatments at the local stage suchas land seizure of idigenous lands to be coverted into the consession of nationaldevelopment; this includes the conversions of negeri (indigenous villages) inAmbon which is the main locust of this study.
The intention of indigenous revivalism is to struggle for native values andregain equality which were neglected during the New Order Regime andunfortunately has rooted in the discourse of power. The indigenous euphoria inthis reformation era as a matter of fact did not meet with the challenges of nativevalues, instead it is somehow stuck in the local political importances by makingbureaucratization, managerialization, and/or administration of native values. Itsconsequence is that of ethnical projections. The indigenous revivalism discoursehas changed into the discourse of ethnical identity which is the rational basis ofthe indigenous revivalism discursive regime. The hegemony of ethnical powerdiscourse become unstoppable by the intervention of numerous intitutions such asthe Archipelago’s Indigenous Community Alliance (AMAN) at the national levelin Jakarta and the Latupati Maluku Council at the local level—or in this case is inAmbon. The institutionalization of power like this is unintentionally reinforcingthe discourse of power to effectively work in the practice of social discourse.
Power mechanism like this is the affect of power subjectivity. Powersubjectivity makes the subject always feel under control and is fully dependent toscientific discourses and indetities, which then create a subject-ed. Meanwhile, theobjectivication of the subject represents the process of power operations throughthe discipline mechanism of the subject. Therefore, in this study, the identity ofthe Ambonese subject in actualized under the control of scientific discourse andthe identity of the ideal Ambon.
Keywords: indigenous revivalism, indigenous villages, regime of truth,intstitutionalization of power, power-knowledge, and subjectivity.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Gambar 1: Pendeta bersama para kepala soa dalam upacara adat
yang diadakan di Baileo.............................................................. 67
Gambar 2: Mekanisme prosedural pelaksanaan tugas perangkat
dat di bawah kendali dewan Latupati ......................................... 99
Gambar 3: Contoh struktur kepemimpinan “sanirinegeri” ............................. 101
Gambar 4: Contoh struktur organisasi pemerintahan “negeri” ....................... 102
Gambar 5: Lambang perisai “siwalima” Provinsi Maluku.............................. 111
Gambar 6: Pengukuhan gelar kehormatan adatkepada
Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono,
presiden Republik Indonesia ......................................................... 121
Gambar 7: Pemberian gelar kehormatan adat kepada Ir. Said Assagaff,
calon gubernur Maluku pada 2013................................................ 122
Tabel: Kumpulan peraturan daerah kota Ambon
Tentang adat di Ambon ................................................................. 107
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak runtuhnya rezim Orde Baru Suharto pada 1998, kehidupan sosial
politik di Indonesia dikejutkan dengan munculnya fenomena kebangkitan adat
(revival of tradition). Istilah kebangkitan adat merujuk pada kemunculan sejumlah
tuntutan kedaerahan yang mengatasnamakan adat. Beberapa daerah di antaranya
adalah Bali, Flores, Kalimantan, Sulawesi, Ambon-Maluku, Papua dan beberapa
daerah lainnya di Indonesia yang memilih untuk mengurus diri sendiri
berdasarkan adat istiadat di wilayahnya masing-masing. Adat yang nampaknya
diam secara tiba-tiba ramai dibicarakan. Adat diproblematisasi sebagai sebuah
masalah yang seakan-akan perlu dan relevan untuk dibicarakan di tengah-tengah
tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang makin modern.
Antusiasme untuk menghidupkan kembali adat pada kenyataannya
menimbulkan sejumlah pertanyaan problematis. Ada apa dengan adat? Mengapa
adat tiba-tiba menjadi begitu penting untuk dibicarakan? Mengapa masyarakat
begitu antusias menyambut kemunculan adat? Kondisi seperti apakah yang
merangsang dan mendorong kemunculan adat di Indonesia? Dalam rangka
melacak fenomena kebangkitan adat ini, studi Jamies Davidson, David Henley,
Sandra Moniaga dan para kontributor lainnya dalam buku berjudul Adat dalam
politik Indonesia (2010) menjadi salah satu rujukan penting dalam penelitian ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Paling tidak menjadi langkah awal bagi saya untuk memahami secara tepat
dinamika kemunculan adat di Indonesia. Terutama bagaimana adat itu
dibicarakan? Mengapa kemunculan adat mendapatkan sambutan hangat dari
masyarakat? Atau mengapa kebanyakan orang begitu antusias untuk kembali ke
adat?
Sejenak menelusuri jejak sejarah kemunculan isu kebangkitan adat di
Indonesia, saya diperhadapkan dengan sejumlah gagasan penting mengenai sebab
muasal keinginan dari beberapa daerah di Indonesia yang memilih untuk
menghidupkan kembali adat di wilayahnya masing-masing. Pada satu sisi,
kemunculan adat dipandang sebagai sebuah langkah strategis untuk mendapatkan
kembali rasa keadilan yang diklaim selama ini terabaikan. Klaim semacam ini
diparalelkan dengan sejumlah praktek ketidakadilan negara akibat perampasan
tanah-tanah ulayat, eksploitasi sumber daya alam, pengrusakan lingkungan hidup,
penebangan hutan, dan penyeragaman sistem pemerintahan di tingkat lokal
melalui sistem konversi desa-desa adat; bahkan problem keterwakilan putra
daerah dalam struktur birokrasi politik di tingkat lokal.
Kondisi semacam ini menimbulkan persoalan tersendiri di tingkat lokal
dan berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Terdorong akan sebuah perubahan radikal di Indonesia, adat pada akhirnya
dijadikan sebagai nodal point perjuangan bersama mewujudkan perubahan.
Perubahan dalam pengertian ini adalah perubahan sistem demokrasi politik di
Indonesia yang dinilai tidak lagi mampu mengakomodir keberagaman budaya
masyarakat di Indonesia. Lantas, apakah visi perubahan berbasis adat sungguh-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
sungguh terwujud ataukah sebaliknya malah menciptakan kejutan-kejutan baru
demi kepentingan kekuasaan politik dari kelompok-kelompok tertentu?
Meski kemunculan adat mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat,
akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di sisi lain muncul suara-suara lain yang
bernada oposisi terhadap kemunculan adat. Beberapa di antaranya yang bersikap
lebih oposisi adalah David Bourchier dan Tania Li yang berusaha menyikapi
secara kritis kemunculan adat. David Bourchier dalam penyelidikannya terkait
fenomena kebangkitan adat di Indonesia menunjukkan bahwa“kecenderungan
gerakan kebangkitan adat meski mendukung dan menguatkan komunitas-
komunitas lokal serta mempererat ikatan kepentingan komunal; akan tetapi
sebetulnya sangat rentan memicu terjadinya konflik, kekerasan, kebencian antar
etnis, bahkan ikut mengukuhkan kembali hirarki sosial masa lampau”.1
Senada dengan Bourchier, Tania Li dalam penelitiannya di Sulawesi
Tengah pada kurun waktu 2000-2003 menemukan juga persoalan serupa. Secara
khusus Tania Li menyoroti keragaman penafsiran dalam penggunaan istilah adat.
Di Sulawesi Tengah, adat cenderung digunakan sebagai sarana efektif untuk
mengatur kegiatan politik seperti untuk memobilisasi massa melawan kontrol
negara, mengklaim kedaulatan teritorial, maupun sebagai bentuk manifestasi
kekuatan etnopolitis dari seseorang atau kelompok tertentu. Menurut Tani Li
menggunakan konsep adat berarti mengklaim kemurnian nilai demi kepentingan
1 David Bourchier (2010), “Kisah adat dalam imajinasi politik Indonesia dan kebangkitan masakini” dalam Jamies S. Davidson, David Henley, Sandra Moniaga (Ed), Adat dalam PolitikIndonesia, Terj. Emilius Ola Kleden dan Nina Dwisasanti dari judul asli The revival of tradition inIndonesian politics: the deployment of adat from colonialism to indigenism, Jakarta: KITLV danObor, Hlm. 141-142
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
seseorang; dan pada waktu yang sama membutuhkan intervensi manusia untuk
tetap melindungi adatnya karena dianggap rapuh.2 Persoalannya bagi Bourchier
maupun Tania adalah jika menggunakan adat berarti mengklaim kemurnian adat
demi kepentingan seseorang; akan tetapi mengapa orang begitu antusias untuk
kembali ke adat? Apakah karena sebatas adat itu rapuh? Apakah karena demi
kemurnian nilai adat? lantas, kemurnian nilai adat seperti apakah yang mau
diperjuangkan?
Terkait dengan kemurnian adat, secara mengejutkan temuan Pater Burns
sebagaimana terungkap dalam Adat dalam politik Indonesia (2010) terbilang
sangat mencengangkan. Menurut Pater Burns “konsep adat yang dikenal selama
ini di Indonesia hampir pasti merupakan ciptaan Belanda. Oleh sebab itu, jangan-
jangan asumsi kemurnian adat yang diklaim selama ini sebetulnya hanyalah
sejenis romantisme terhadap hukum adat yang merupakan ciptaan pemerintah
kolonial Belanda”.3 Sebaliknya jika diasumsikan bukan karena kemurnian adat,
maka persoalannya adalah mengapa kebanyakan orang begitu antusias untuk
kembali ke adat? Mengapa kemunculan adat sungguh-sungguh mendapat
sambutan hangat dari masyarakat?
Jangan-jangan bukan karena in se melainkan justru karena klaim
ketidakadilan yang digembar-gemborkan di sekitar wacana adat. Apakah ini
caranya adat dikontruksikan? Nampaknya pembicaraan tentang adat dihubungkan
2 Tania M. Li (2010), “Adat di Sulawesi Tengah: penerapan kontemporer” dalam Adat dalamPolitik Indonesia, Hlm. 3673 Pater Burns, “Adat yang mendahului semua hukum” dalam Adat dalam politik Indonesia, Hlm.95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
dengan serangkaian praktek ketidakadilan negara seperti perampasan tanah-tanah
ulayat, eksploitasi sumber daya alam, kerusakan lingkungan, penebangan hutan,
penyeragaman sistem pemerintahan, dan keterwakilan putra daerah dalam struktur
birokrasi politik lokal. Namun persoalannya adalah apakah harus dengan
menggunakan adat? Sebenarnya ada apa dengan adat? Apakah karena adat selama
ini benar-benar terepresi? Lantas, apakah gerakan kebangkitan adat yang
digembar-gemborkan selama ini sungguh-sungguh meresistensi mekanisme
kekuasaan ataukah sebaliknya mereproduksi dan melipatgandakan mekanisme
kekuasaan yang sedang dikritik?
Segelintir pertanyaan yang dikemukakan di atas mewakili kegelisahan
saya untuk menyelidikinya secara kritis fenomena kebangkitan adat ini.
Tujuannya bukan untuk mendukung atau menafikan perjuangan adat; akan tetapi
untuk melacak hubungan kekuasaan dan konstruksi subyektivitas yang diproduksi
dalam wacana kebangkitan adat. Hubungan kekuasaan dan konstruksi
subyektivitas inilah yang menjadi bidikan utama dalam penelitian ini.
Saya sadar bahwa pembahasan mengenai fenomena kebangkitan adat di
Indonesia sangat luas maka penelitian ini akan dibatasi dengan memusatkan
perhatian pada fenomena kebangkitan adat yang terjadi di Ambon, Provinsi
Maluku. Dalam lokalitas Ambon, fenomena kebangkitan adat sebetulnya sudah
terjadi sejak pasca konflik 1999. Kemunculan adat, mula-mula ditempatkan dalam
konteks penyelesaian konflik sosial yang terjadi pada Januari 1999 di Maluku.
Akan tetapi dalam perkembangannya kemunculan adat mengalami perluasan
makna ketika terjadi perubahan konstelasi sosial politik indonesia di era
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
reformasi. Sistem desentralisasi yang ditopang oleh pemberlakukan otonomisasi
daerah di Indonesia sangat memungkinkan kemunculan adat mendapatkan
tempatnya. Kemunculan adat dengan misi penyelesaian konflik lambat laun
bergeser ke arah otonomisasi adat. Hal ini ditandai oleh adanya upaya dari para
raja se-kota Ambon yang mendesak pemerintah provinsi Maluku untuk
menetapkan kembali “negeri”4 sebagai pemerintahan hukum adat di seluruh
wilayah provinsi Maluku.
Penetapan “negeri” terkukuhkan dengan diterbitkannya peraturan daerah
Provinsi Maluku No.14 tahun 2005 tentang penetapan kembali “negeri” sebagai
kesatuan mayarakat hukum adat dalam wilayah pemerintahan Provinsi Maluku.
Aturan ini ditindaklanjuti dengan penetapan serangkaian Peraturan Daerah kota
Ambon mengenai adat. Tuntutan penetapan kembali “negeri” diklaim sebagai
langkah strategis untuk menyelamatkan pranata adat akibat intervensi negara yang
dinilai terlalu berlebihan melalui Undang-Undang No.5 tahun 1979 tentang
pemerintahan desa. Desakan akan penetapan kembali “negeri” dilatarbelakangi
pula oleh cara pandang dikotomik dengan melakukan pembedaan secara
substansial antara “negeri” dan desa.
Dalam kosmologi Ambon, istilah “negeri” merujuk pada kesatuan
teritorial masyarakat hukum yang terdiri dari sejumlah “soa”. “Soa” dalam
pengertian persekutuan teritorial yang terikat dalam relasi hubungan darah.
4 Secara umum istilah “negeri” dapat disinonimkan dengan istilah desa adat. Akan tetapi dalamlokalitas Ambon istilah “negeri” lebih merujuk pada persekutuan teritorial yang terdiri atassejumlah “soa” dan terikat dalam relasi hubungan darah. Masing-masing “negeri” memilikikedaulatan teritorial dan dipimpin langsung oleh seorang raja. Raja bertindak sebagai kepalapemerintahan negeri sekaligus pemimpin adat dalam lingkup teritorialnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Eksistensi “negeri” terbentuk berdasarkan adat istiadat; memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri berdasarkan asal-usul dan
adat istiadat setempat.5 Mengikuti konsep semacam ini, penetapan “negeri” adat
seakan-akan menargetkan terwujudnya ideal demokrasi. Ideal demokrasi dalam
pengertian kewenangan untuk mengatur pemerintahan berdasarkan asal-usul dan
kebiasaan hidup yang diwariskan secara turun-temurun.
Dalam lokalitas Ambon, ideal demokrasi termanifestasi dalam ide
“demokrasi soa parentah” atau “demokrasi rumahtau parentah”.6 Model
demokrasi semacam ini menargetkan keistimewaan hak-hak penduduk lokal
Ambon dalam struktur birokrasi politik, terutama pada level pemerintahan
“negeri” baik berdasarkan “soa” maupun “rumahtau”. Pengelompokan
masyarakat Ambon berdasarkan sistem “soa” menegasi eksistensi masing-masing
persekutuan adat yang terdiri atas lima atau sembilan “soa”. Persekutuan adat
yang terdiri atas lima “soa” disebut “ulilima” dan persekutuan adat yang terdiri
atas sembilan “soa” disebut “ulisiwa” atau yang lazim dikenal dengan istilah
“siwalima”.7
5 Abubakar Riry & Pieter G. Manoppo (2007), Menatang badai menabur damai: napak tilas rajadan latupati merajut kembali jaringan persaudaraan, Jakarta: Insos Book, Hlm. 2186 Model “demokrasi soa parentah” atau “demokrasi rumahtau parentah” dalam pelaksanaannyatidak hanya dipakai sebagai sistem pemerintahan demokrasi lokal di Ambon, akan tetapi berfungsisecara efektif untuk membedakan model kesatuan politis antara kehidupan politik pemerintahan“negeri-negeri” Muslim Ambon dan “negeri-negeri Kristen Ambon. Itulah sebabnya, model“demokrasi soa parentah” cenderung berkembang baik di wilayah pemerintahan“negeri-negeri”Kristen; dibandingkan dengan model“demokrasi rumahtau parentah” yang lebih banyakberkembang di wilayah pemerintahan “negeri-negeri” Muslim.7 Secara etimologi istilah siwalima berasal dari akar kata siwa yang berarti sembilan dan lima yangberarti lima. Angka lima dan sembilan dipakai untuk menyebutkan jumlah soa dalam persekutuanadat “ulisiwa” dan “ulilima”. Selain itu, terkait dengan teknis penulisan istilah siwalima, sayamenemukan dua model penulisan dari kata siwalima. Pada satu sisi, kata siwa dan lima ditulissecara terpisah; di sisi lain, penulisan kata siwa dan lima tidak dipisahkan. Oleh sebab itu, tanpa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Istilah “siwalima” mencerminkan persekutuan masyarakat adat yang
terdiri atas lima dan sembilan “soa”. Lima dan sembilan mencerminkan jumlah
“soa” dalam persekutuan masyarakat adat Ambon yang diyakini berasal dari satu
keturunan yang sama. Setiap persekutuan terhimpun dalam satu teritorial yang
dipimpin oleh seorang kepala soa atau “upu”. Di sisi lain, istilah “siwalima”
dipahami juga dalam pengertian persekutuan politik. “Siwalima” sebagai
persekutuan politik menegaskan posisi penduduk lokal Ambon sebagai sebuah
entitas yang sifatnya otonom. Otonomisasi adat semacam ini mewajibkan setiap
anggotanya untuk selalu menjunjung tinggi dan menghormati mekanisme adat;
sekaligus menuntut adanya pengakuan dari warga pendatang atas keseluruhan
praktek dan mekanisme adat yang berlaku di Ambon.
Hormat terhadap adat dan seluruh mekanisme adat nyatanya menimbulkan
persoalan. Pada satu sisi, antusiasme masyarakat untuk menghidupkan kembali
pemerintahan hukum adat di Ambon dipandang sebagai upaya untuk
mempertahankan kelestarian nilai-nilai adat. Hal ini ditandai pula oleh munculnya
wacana seputar revitalisasi budaya lokal sejak diterbitkannya undang-undang
otonomi daerah. Kebijakan otonomisasi daerah sungguh sangat mengkondisikan
kemunculan adat di Ambon. Hal ini ditandai oleh desakan para raja se-kota
Ambon untuk menghidupkan kembali “negeri” sebagai model pemerintahan
berbasis hukum adat. Desakan penetapan “negeri” dikuatkan oleh penerbitan
bermaksud untuk mengaburkan makna kata siwa dan lima, secara konsisten dalam penulisan tesisini saya akan menggunakan model penulisan kata siwa dan lima sebagai “siwalima” yang berartipersekutuan sembilan dan persekutuan lima.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
serangkaian peraturan daerah mengenai adat di kota Ambon; termasuk dengan
mengintensifkan kembali peran para raja dan “saniri negeri”8 di Ambon.
Di sisi lain, kemunculan adat menimbulkan dilema ketika harus
berhadapan dengan kondisi faktual masyarakat Ambon yang makin mejemuk.
Sayangnya kemajemukan masyarakat cenderung diposisikan sebagai ancaman
dari pada sebagai peluang untuk membangun masa depan Ambon. Ancaman
semacam ini biasanya berkaitan erat dengan keterlibatan warga pendatang yang
lambat laun semakin mendominasi struktur birokrasi politik di Ambon.
Bertolak dari situasi sosial politik, terutama terkait fenomena kebangkitan
adat di Ambon muncul sejumlah pertanyaan: apakah pilihan menghidupkan
kembali adat, secara khusus sistem pemerintahan “negeri” sungguh-sungguh
mencerminkan aspirasi seluruh anggota masyarakat ataukah sebaliknya hanya
menjadi kebutuhan segelintir orang? Jangan-jangan pilihan untuk menghidupkan
kembali “negeri” hanyalah kedok untuk melanggengkan kekuasaan politik.
Apakah harus dengan menggunakan payung adat? Apakah yang akan terjadi
ketika adat tidak diperjuangkan? Di tengah-tengah kegelisahan semacam ini
wacana kebangkitan adat Ambon yang kini telah dijadikan sebagai modal sosial
8 Istilah “saniri negeri” berasal dari akar kata “saniri” dan “negeri”. Kata saniri berarti rapat,sidang atau musyawarah; sedangkan “negeri” berarti persekutuan teritorial yang terdiri atassejumlah “soa” dan terikat dalam relasi hubungan darah. “Saniri” terdiri atas tiga jenis yakni“saniri raja”, “saniri negeri” dan “saniri besar”. Keanggotaan “saniri raja” terdiri atassekretaris dan kepala soa. Kepala soa terbagi juga atas dua macam yakni kepala soa tanah dankepala soa adat. Kepala soa tanah berfungsi untuk melaksanakan berbagai urusan administrasipemerintahan “negeri” (pada level dusun), sedangkan kepala soa adat lebih banyak mengurusipersoalan-persoalan adat dan agama. Keanggotaan “saniri besar” terdiri atas seluruh wargamasyarakat. Sedangkan keanggotaan“saniri negeri” terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat yangberasal dari tiap-tiap “soa” dalam “negeri”. Tugas dan wewenang “saniri negeri” adalahmemilih dan menetapkan seseorang sebagai raja yang akan bertugas sebagai kepala pemerintahan“negeri”. Oleh sebab itu dalam pelaksanaan tugas, biasanya seorang raja akan bertanggung jawabkepada “saniri negeri”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
dan politik baru di tengah-tengah kondisi masyarakat Ambon saat ini yang makin
majemuk patut untuk disikapi secara kritis.
Tujuannya bukan untuk menguatkan atau menafikan perjuangan adat,
membenarkan atau menyalahkan berbagai pihak terkait kemunculan adat; akan
tetapi berusaha untuk menempatkan fenomena kemunculan adat tersebut pada
tataran wacana analitis. Melalui pendekatan wacana analitis, saya dan para
pembaca sekalian dimungkinkan untuk memahami secara kritis permainan
kekuasaan dalam produksi wacana kebangkitan adat di Ambon. Cara pandang
semacam ini perlu untuk dipertimbangkan bersama agar kita tidak selamanya
terjebak dalam permainan kekuasaan yang terjadi dalam wacana kebangkitan adat.
Dengan demikian, pilihan untuk tidak memperkarakan persoalan mendukung atau
menafikan perjuangan adat memungkinkan kita untuk dapat mengambil posisi
kritis dalam menyingkap mekanisme hubungan kekuasaan yang diproduksi dalam
wacana. Dengan cara pandang semacam ini pula, kita dimungkinkan agar tidak
terjebak dalam pemahaman dangkal akan komplesitas hubungan kekuasaan yang
diproduksi dalam wacana kebangkitan adat yang menjadi bidikan utama dalam
penelitian ini.
Ada semacam momentum kreatif dengan memproblematisasi adat untuk
mengintensifkan peran institusi kekuasaan dan aparat kekuasaan dalam wacana
kekuasaan di Ambon. Bahkan ketika harus merujuk pada histeria sebagian
kalangan intelektual Maluku yang telah berusaha merefleksikan nasib orang
Maluku misalnya sebagai sapi perah pembangunan Jawa dalam rentang waktu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
kemerdekaan Indonesia9; bahkan ketika harus menempatkan urgensi
kembangkitan adat sebagai resistensi terhadap hegemoni kekuasaan negara akan
tetap menjadi bagian penting dalam proses penyelidikan ini.10 Klaim sebagian
kalangan atas nama adat dengan tujuan untuk mendapatkan kembali rasa keadilan
termasuk representasi putra daerah yang lebih besar dalam struktur birokrasi
politik di tingkat lokal tidak dapat dipungkiri justru semakin mengukuhkan
sentimen-sentrimen primordial etnis yang berkedok pada kemurnian adat.
Kondisi semakin kompleks ketika kemunculan adat di Ambon berdampak
pada penguatan struktur hirarki sosial dengan melakukan banalisasi identitas ke-
Ambon-an. Banalisasi identitas ke-Ambon-an dalam pengertian bahwa semua
orang Ambon cenderung diasumsikan memiliki kesamaan identitas dan terkadang
dipaksakan sama dengan tujuan untuk membangun klaim politik bagi kepentingan
segelitir orang.11 Menurut hemat saya, kondisi semacam ini tetap patut dicurigai
sebagai kedok untuk melanggengkan kekuasaan di Ambon. Tidak hanya
mencurigai cara berpikir yang cenderung mengesensialkan kerja adat, melainkan
mencurigai pula rasionalitas institusi-institusi kekuasaan berbasis adat yang
memanipulasi adat sebagai mesin pendistribusian kekuasaan.
Respon terhadap fenomena kebangkitan adat yang menjadi topik utama
dalam penelitian ini mencerminkan upaya kritis untuk memahami hubungan
9 Lih. Weldemina Yudit Tiwery-Pattikawa (2004), “Apa arti Indonesia Merdeka Bagi Maluku?”dalam Fahmi Salatalohy & Rio Pelu (Ed.), Nasionalisme Kaum Pinggiran: Dari Maluku, TentangMaluku, Untuk Maluku, Yogyakarta: LKiS, Hlm. 158-159.10 Lih. Abidin Wakano (2004), “Perjumpaan Identitas Lokal dengan Higemoni PolitikUniformalisme oleh Negara, dalam Nasionalisme Kaum Pinggiran, Hlm. 16-1711 Steph Lawler (2014), Identity: Sociological Perspectives, Secon Edition, USA: Polity Press,Hlm. 171
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
kekuasaan dan konstruksi subyektivitas ke-Ambon-an. Subyektivitas merupakan
hasil konstruksi wacana. Demikian pula subyektivitas ke-Ambon-an dalam
wacana kebangkitan adat di Ambon. Konstruksi subyektivitas menegasi kuasa
pendisiplinan subyek orang Ambon entah karena berada dalam kendali wacana
ilmiah maupun keterikatan dengan aspek identitas ke-Ambon-an sebagai satu
suku bangsa. Suku bangsa dalam pengertian bahwa akan selalu ada batasan
teritorial yang memisahkan orang dengan suku bangsa lain yang dibentuk
berdasarkan nilai-nilai persaudaraan dan kesetiakawanan sebagai satu
komunitas.12 Pada waktu yang sama, identitas komunitas akan menjadi tempat
untuk membentuk dunia budaya sendiri dan dipraktekan secara terus menerus
sebagai kesatuan identitas.
Wujud dari komunitas tersebut adalah dalam bentuk komunitas terbayang
(imagined communities, menurut Benedict Anderson) yang memungkinkan tiap-
tiap suku bangsa membentuk praktik sosial berdasarkan struktur sosial. Struktur
tersebut akan membatasi tindakan dan menyebabkan orang tunduk. Tunduk bukan
semata-mata karena aturan melainkan karena hubungan kekuasaan yang tersebar
dan bergerak secara terus menerus mengikuti dinamika pergerakan wacana seperti
yang dimaksudkan oleh Michel Foucault. Foucault mengingatkan bahwa
hubungan kekuasaan dalam wacana tidak selamanya bersifat negatif tetapi positif.
Kekuasaan tidak hanya menarik, menepis, melarang dan menafikan; akan tetapi
kekuasaan juga mendorong, merangsang dan mengintensifkan. Kekuasaan bersifat
kompleks dan berasal dari situasi strategis kompleks. Oleh sebab itu, kekuasaan
12 Benedict Anderson (1991), Imagined Communities: Reflection on the origin and spread ofNationalism, London & New York: Verso, Hlm. 6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
dan subjektivitas sungguh-sungguh menjadi unsur penting yang tidak dapat
diabaikan dalam penelitian ini.
Analisis terhadap wacana kebangkitan adat tidak sebatas menyasar
pembicaraan kebanyakan orang tentang adat yang diwarnai dengan berbagai nada
protes dengan tujuan untuk mengembalikan rasa keadilan; akan tetapi mencoba
untuk mempertimbangkan kembali antusiasme masyarakat yang berjuang untuk
menghidupkan kembali adat di wilayahnya masing-masing. Sayangnya, kondisi
yang sulit dihindari adalah perjuangan atas nama adat sangat mudah terkooptasi
untuk menutupi wacana kekuasaan. Termasuk cara pandang yang selalu mau
menafikan adanya perbedaan dalam masyarakat. Cara pandang semacam ini
sebetulnya merupakan manifestasi wacana kekuasaan untuk mendominasi atau
pun menaklukkan orang lain. Oleh sebab itu, melalui Foucault kita dikuatkan
untuk menyingkap mekanisme kekuasaan yang diproduksi dalam wacana dan
tersebar secara efektif. Secara khusus memahami mekanisme hubungan
kekuasaan yang diproduksi dalam wacana kebangkitan adat di Ambon.
Akhirnya dengan sangat sederhana sebenarnya yang hendak saya lakukan
dalam studi ini adalah bagaimana membongkar relasi kekuasaan dan konstruksi
subyektivitas ke-Ambon-an dalam praktik wacana kebangkitan adat di Ambon.
Analisis ini dilakukan dengan mengacu pada konsep hubungan kekuasaan dan
konstruksi subyektivitas sebagai yang ditawarkan oleh Foucault. Jadi melalui
Foucault, saya dimungkinkan untuk dapat menyelami secara kritis jaringan
kekuasaan yang diproduksi dalam wacana, sekaligus membongkar mekanisme
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
hubungan kekuasaan yang difungsikan untuk menguasai atau menaklukkan
individu.
1.2. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan uraian latar belakang di atas, penelitian ini
berpatokan pada beberapa pertanyaan sentral di bawah ini:
1. Mengapa adat tiba-tiba menjadi begitu penting untuk dibicarakan?
2. Bagaimana genealogi wacana kebangkitan adat?
3. Bagaimana dan melalui mekanisme seperti apa kekuasaan beroperasi
dalam praktek wacana kebangkitan adat di Ambon?
4. Subyektivitas ke-Ambon-an seperti apakah yang diproduksi dalam wacana
kebangkitan adat di Ambon?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok-pokok persoalan sentral yang telah disebutkan di atas,
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui kondisi sosio-politik terkait kemunculan wacana kebangkitan
adat di Indonesia; secara khusus wacana kebangkitan adat di Ambon.
Dalam rangka menyelidiki kemunculan wacana kebangkitan adat ini,
metode analisis genealogi dari Michel Foucault akan dipakai untuk
menggali informasi-informasi penting terkait kemunculan adat dalam satu
dasawarsa terakhir di Indonesia, secara khusus di Ambon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
2. Menyelidiki dan menyingkap hubungan kekuasaan yang diproduksi dalam
wacana kebangkitan adat di Ambon. Analisis terhadap hubungan
kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat di Ambon mengacu pada
konsep kekuasaan-pengetahuan dari Michel Foucault; terutama dengan
mempertimbangkan secara kritis bagaimana kekuasaan beroperasi dalam
praktek wacana kebangkitan adat di Ambon.
3. Menyelidiki konstruksi subyektivitas ke-Ambon-an yang diproduksi dalam
wacana kebangkitan adat di Ambon. Analisis terhadap konstruksi
subyektivitas ke-Ambon-an mengacu pada konsep subyektivitas dari
Michel Foucault. Tujuannya adalah untuk mendalami dan merumuskan
secara tepat posisionalitas orang Ambon dalam konstruksi wacana
kebangkitan adat di Ambon.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Memperoleh pengetahuan tentang adat istiadat di Ambon. Secara khusus,
terkait dengan fenomena kemunculan adat yang menurut hemat saya
masih tetap menuai persoalan tersendiri di tengah-tengah kehidupan
masyarakat Ambon masa kini. Dengan cara tersebut, saya sebagai penulis
maupun orang lain sebagai pembaca kurang lebih memperoleh gambaran
komprehensif mengenai kondisi masyarakat Ambon dan bagaimana
mereka berhadapan dengan wacana kebangkitan adat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
2. Membangun kesadaran kritis terhadap adat istiadat. Kesadaran kritis
menjadi unsur paling penting dalam penelitian ini. Penting dalam
pengertian bisa memungkinkan masyarakat Ambon mereimajinasi diri
sehingga tidak selamanya dikuasai oleh fanatisme sempit terhadap adat
istiadat dan etnisitasnya yang sangat berpotensi menimbulkan konflik
sosial dalam bermasyarakat. Terutama terkait asumsi-asumsi primordial
yang cenderung meromantisir kemurnian adat demi kepentingan-
kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
3. Akhirnya, penelitian ini kiranya dapat ditempatkan sebagai sebuah
alternatif baru terkait pengambilan kebijakan-kebijakan politik di Ambon;
khususnya yang berkaitan dengan masa depan adat istiadat dan masyarakat
yang semakin majemuk.
1.5. Tinjauan Pustaka
Sejak runtuhnya Orde Baru Suharto, penggunaan istilah adat mengalami
perubahan yang cukup signifikan. Adat tidak lagi dipahami sebatas tradisi atau
kebiasaan melainkan cenderung diasosiasikan dengan aktivisme, gerakan,
pemberontakan, dan protes. Atas nama adat, beberapa daerah di Indonesia seperti
Bali, Flores, Maluku, Papua dan lainnya yang memilih untuk mengurus diri
sendiri berdasarkan adat istiadat di wilayahnya masing-masing. Fenomena
kemunculan adat semacam ini paling tidak menegasi kebutuhan atau kepentingan
kelompok tertentu yang perlu disikapi secara kritis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Dalam rangka menyelidiki dan menyikapi persoalan tersebut, saya sadar
bahwa pembahasan tentang topik (adat) ini telah dilakukan dan dituangkan dalam
berbagai studi terdahulu. Hal ini menunjukkan bahwa isu tentang adat yang
menjadi objek kajian dalam penelitian ini telah mendapatkan perhatian serius dari
berbagai pihak. Untuk itu, dalam tinjauan berikut ini akan berusaha untuk
mendeskripsikan secara singkat beberapa studi terdahulu untuk menunjukkan
tingkat kedalaman ilmiah terhadap persoalan adat. Sekaligus menunjukkan
disposisi penelitian yang saya lakukan sebagai sesuatu yang berbeda dengan studi-
studi terdahulu.
Secara singkat beberapa studi terdahulu yang memiliki kedekatan tematik
dengan penelitian yang saya lakukan adalah sebagai berikut: pertama, Jamie S.
Davidson, David Henley, Sandra Moniaga (Ed), Adat dalam politik Indonesia,
Terj. Emilius Ola Kleden dan Nina Dwisasanti, Jakarta: KITLV dan Obor, 2010.
Studi ini merupakan salah satu bentuk penyelidikan historis-politik atas
kemunculan gerakan kebangkitan adat di Indonesia. Temuan dari studi tersebut
seperti yang diungkapkan oleh pada kontributor dalam buku Adat dalam politik
Indonesia menyatakan bahwa: Pada satu sisi, kemunculan gerakan kebangkitan
adat di Indonesia cenderung ditempatkan sebagai reaksi protes terhadap dominasi
negara karena dinilai memiliki peranan besar dalam penghancuran nilai-nilai
kearifan lokal dan pranata-pranata adat. Hal ini dilakukan sembari
mempertanyakan posisionalitas mereka (masyarakat adat) dalam kehidupan
berdemokrasi di Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Di sisi lain, kemunculan gerakan kebangkitan adat menuai kritik dari
beberapa kalangan. Kritik tersebut dilatarbelakangi oleh kecurigaan dan
kecemasan bahwa kemunculan gerakan kebangkitan adat di Indonesia sebetulnya
tidak sebatas mencerminkan usaha penyelamatan nilai-nilai adat dengan tujuan
untuk mewujutkan keharmonisan hidup bermasyarakat; akan tetapi kemunculan
gerakan kebangkitan adat sangat potensial mendorong munculnya bentuk-bentuk
kekuasaan primordial dan semakin menguatkan hirarki sosial dalam masyarakat.
Ancaman terbesar dari kemunculan adat di Indonesia adalah kehidupan
masyarakat akan semakin rentan terhadap konflik sosial dan kekerasan antar etnis.
Kedua: Joseph Antonius Ufi & Hasbullah Assel (Ed.), Menggali Sejarah
dan kearifan Lokal Maluku. Jakarta: Cahaya Pineleng, 2012. Studi ini merupakan
napak tilas sejarah Maluku yang menggambarkan kisah heroik orang Maluku baik
pada level lokal maupun nasional. Studi ini ini ditempatkan sebagai upaya
pencitraan kembali harmoni kehidupan masyarakat Maluku berdasarkan nilai
kearifan lokal seperti urgensi penetapan kembali “negeri” di Maluku. Selain itu,
terdapat pula upaya untuk mengembangkan satu sistem kebudayaan Maluku
berbasis budaya “siwalima” dengan slogan-slogan kulturalnya seperti pela
gandong, potong di kuku rasa di daging, ale rasa beta rasa dan sagu salempeng
dipatah bagi dua.
Ada semacam upaya sadar diri dalam menyikapi kondisi masyarakat
Maluku saat ini. Rangkaian ide dari satu penulis ke penulis lainnya disajikan
secara komprehensif membentuk satu kesatuan integral pemikiran dasar mengenai
sejarah dan kearifan lokal Maluku. Rangkaian ide para penulis dalam Menggali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Sejarah dan kearifan Lokal Maluku mengacu pada 3 (tiga) pokok persoalan
penting yakni: pertama, urgensi revitalisasi budaya lokal Maluku; kedua,
pelurusan sejarah Maluku; dan ketiga, solusi pembangunan Maluku berbasis
budaya lokal.
Ketiga: Abubakar Riry & Pieter G Manoppo (Ed), Menatang badai,
menabur damai: napak tilas raja dan Latupati merajut kembali jaringan
persaudaraan, Jakarta: INSOS Books, 2007. Studi ini membidik keterlibatan para
raja dan Latupati sebagai tokoh kunci dalam proses penyelesaian konflik sosial
dan pasca konflik. Perhatian besar dicurahkan pada upaya penggalian sejarah
keterlibatan para raja dan Latupati dalam pembentukan kembali jaringan
persaudaraan di Maluku yang hancur akibat konflik 1999. Termasuk pelembagaan
jaringan kultural yang difasilitasi oleh “Gerakan Baku Bae Maluku”, sebuah
lembaga swadaya masyarakat (LSM). Salah satu unsur penting yang sangat sering
ditekankan dalam studi tersebut adalah signifikansi adat. Artinya adat tidak hanya
ditempatkan sebagai modal sosial politik dalam upaya rekonsiliasi konflik, akan
tetapi yang terpenting adalah urgensi dan signifikansi merevitalisasi adat serta
peran para raja dalam proses pembangunan kembali Maluku di era pasca konflik
sosial.
Keempat: Hatib Abdul Kadir, “Sapa Bale Batu, Batu Bale Dia: Politik
Revivalisme Adat siwa lima Orang Ambon Pasca Konflik” dalam Lakon Jurnal
Kajian Sastra dan Budaya. Surabaya: Universitas Airlangga, Kampus B. Vol. 1
No. 1, Juli 2012, Hlm. 67-81. Dalam studi ini, penulis memusatkan perhatian
terhadap eksistensi budaya “siwalima” sebagai objek materialnya. Perhatian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
penulis dalam studinya, tidak dibatasi hanya pada aspek historisitas pembentukan
budaya “siwalima”, melainkan termasuk problem pergeseran pemaknaan atas
budaya “siwalima”. Pergeseran nilai budaya “siwalima” seakan-akan mendesak
agar segera melakukan redefenisi budaya “siwalima” seperti yang diharapkan
oleh penulis. Tujuannya agar kehadiran budaya “siwalima” tidak sekedar
mencerminkan sentimen-sentimen primordial adat, melainkan kemampuan
integritas masyarakat Maluku berdasarkan memori kolektif atas lokalitas,
etnisitas, masa lalu, kebangsaan dan persamaan bahasa. Singkatnya, redefenisi
budaya “siwalima” mau diintensifkan sebagai model dasar pembangunan Maluku
berbasis budaya lokal, dan filosofi hidup dalam membangun organisasi dan
struktur sosial masyarakat Maluku.
Kelima: Norman K Swanzo (2004), “Research integrity and rights of
indegenous peoples: appropriating Foucault’s critique of knowledge/power”
dalam Studies in History and Philosophy of Biological and Biomedical Sciences,
USA: Universitas of Alaska, Hlm. 568-584. Norman secara khusus membahas
mengenai eksistensi masyarakat adat Internasional sebagai objek materialnya.
Kajian mengenai masyarakat adat ditempatkan pada 2 (dua) sisi yang saling
berhubungan. Pada satu sisi, kajian mengenai eksistensi masyarakat adat
ditempatkan dalam konteks hegemoni kekuatan ilmu pengetahuan Barat; di sisi
eksistensi masyarakat adat diposisikan dalam konstruksi penelitian-penelitian
biomedis. Dari kedua pokok persoalan tersebut yakni hegemoni kekuatan ilmu
pengetahuan Barat dan biomedis, analisis tentang masyarakat adat sikapi secara
kritis dalam tiga pokok pikiran penting sebagaimana dikemukakan di dalam studi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
ini. Pertama, kontra posisi antara ilmu pengetahuan barat dan kearifan lokal
(indigenous science); kedua, penyingkiran dan marginalisasi sistem pengetahuan
masyarakat adat (indigenous knowledge); dan ketiga, preferensi moralitas lokal
dalam perlindungan hukum dan hak asasi internasional. Analisis terhadap ketiga
pokok persoalan tersebut dikaji secara kritis dengan menggunakan pendekatan
analisis kekuasaan-pengetahuan dari Michel Foucault.
Bertolak dari beberapa studi atau penelitian terdahulu sebagai telah
didekripsikan di atas, nampak bahwa terdapat kesamaan antara penelitian-
penelitian terdahulu dengan penelitian saya. Kesamaan tersebut terletak pada
persamaan objek material yakni adat. Meski mengacu pada satu topik yang sama,
akan tetapi sangat mengandung perbedaan mendasar antara penelitian terdahulu
yang telah disebutkan di atas dengan penelitian yang saya lakukan. Penelitian ini,
secara khusus mendekati persoalan adat pada level wacana kritis sebagaimana
lazimnya dikenal dalam khazana kajian budaya.
Analisa wacana kritis menjadi titik pijak bagi saya untuk memperhatikan
dan mempertimbangkan secara kritis hubungan kekuasaan dan konstruksi
subyektivitas yang diproduksi dalam wacana. Secara khusus hubungan kekuasaan
dan konstruksi subyektivitas dalam wacana kebangkitan adat di Ambon yang
menjadi lokus kajian dalam penelitian ini. Dalam rangka menyelidiki hubungan
kekuasaan dan konstruksi subyektivitas dalam wacana kebangkitan adat, melalui
penelitian ini saya dan pembaca sekalian dimungkinkan untuk dapat
mereimajinasi diri atau mereposisi subyek agar tidak selamanya terkungkung
dalam rezim kekuasaan adat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Hubungan kekuasaan sejak kemunculan wacana kebangkitan adat sangat
mendapatkan perhatian serius dalam studi ini. Dengan cara semacam ini, analisis
wacana kritis yang mau dikembangkan dalam studi ini dapat berkontribusi secara
signifikan untuk: pertama, mengembalikan pembicaraan kebanyakan orang
selama ini mengenai adat dalam tatanan wacana kritis. Tujuannya untuk
memahami secara kritis genealogi kemunculan wacana kebangkitan adat, secara
khusus di Ambon; kedua, membongkar hubungan kekuasaan dalam wacana
kebangkitan adat di Ambon; dan ketiga, memahami konstruksi identitas subyek
dalam wacana kebangkitan adat di Ambon.
1.6. Kerangka Teoritik
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yakni
menyingkap hubungan kekuasaan dan konstruksi subyektivitas dalam wacana
kebangkitan adat di Ambon maka sebagai instrumen analisis dalam penelitian ini
saya akan mengacu pada beberapa konsep teoritik dari Michel Foucault. Kerangka
teoritik yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
1.6.1. Konsep Genealogi
Genealogi merupakan sebuah metode penyelidikan sejarah yang
menawarkan ketrampilan kritis untuk menganalisis hubungan antara pengetahuan,
kekuasaan dan subyek dalam wacana. Pada awalnya, metode genealogi
diperkenalkan oleh Friedrich Nietzsche (1844-1900), seorang filsuf
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
berkebangsaan Jerman; akan tetapi dalam perkembangannya dipergunakan secara
luas oleh Michel Foucault, seorang filsuf berkebangsaan Perancis. Foucault
memaknai kembali metode genealogi Nietzschean dengan tujuan untuk
menyingkap hubungan timbal-balik antara kebenaran, pengetahuan, kekuasaan
dan subyek.
Menurut Foucault, “analisis genealogi pada dasarnya tidak dimaksudkan
untuk mempertentangkan dirinya dengan kebenaran sejarah, sebaliknya analisis
genealogi perlu menolak atau mempertanyakan kembali metahistoris pemaknaan
ideal dan teleologi-teleologi tak terbatas. Hakekat genealogi adalah
mempertanyakan kembali kebenaran historis demi pencarian asal-usul”.13 Asal-
usul dalam pengertian bahwa analisis genealogi tidak ingin untuk menegakkan
fondasi epistemologi melainkan menunjukkan bahwa asal-usul dari segala sesuatu
yang dianggap rasional sebetulnya mengakar dalam wacana kekuasaan.14
Mengikuti cara pandang semacam ini, nampak bahwa misi Foucault dalam
penggunaan analisis genealogi adalah memungkinkan individu untuk dapat
memahami keberadaannya atau mereimajinasi hidupnya secara baru. Baru dalam
pengertian ketiadaan totalitas, kebenaran tunggal, kemurnian dan kontinuitas
sejarah seperti yang dipahami dalam tradisi Nietzschean. Dalam analisis
genealogi, Foucault memisahkan antara masa lalu dan masa kini. Tujuannya untuk
mendeligitimasi masa lalu dan merelativasi masa kini. Melalui analisis genalogis,
13 Michel Foucault (1984), The Foucault Reader, Paul Rabinow (Ed), New York: Pantheon, Hlm.7614 P. Sunu Hardiyanta (1997), Michel Foucault-Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern,Yogyakarta: LKis, Hlm.15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Foucault ingin menghancurkan ilusi tentang identitas subyek historis yang
diperlakukan murni (ada dengan sendirinya).15 Untuk itu, yang penting untuk
diperhatikan dalam analisis genealogi menemukan secara tepat momen kreatif
wacana. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan setiap peristiwa, kesempatan,
kejutan, atau kemenangan yang tidak tetap dalam proses pembentukan wacana,
serta menganalisis pluralitas sejarah sehingga dapat melepaskan diri dari ilusi
tentang identitas.16
Foucault sebagai seorang filsuf, pemikir anti-fundamentalis sangat
menentang klaim kebenaran tunggal dan kontinuitas sejarah. Seakan-akan segala
sesuatu hanya memiliki satu sebab tunggal. Justru cara padang masyarakat yang
terlalu mengesensialkan kebenaran tunggal patut untuk dicurigai sebab hanya
akan menafikan adanya perbedaan atau pluralitas. Untuk itu, menggunakan
genealogi berarti siap untuk membongkar pola pikir yang seakan-akan
memperlakukan kebenaran seakan-akan tunggal atau murni. Dalam perspektif
Foucault, kemurnian akan sebuah kebenaran sebetulnya adalah ilusi sebab
kebenaran pada dasarnya tidak terlepas dari konstruksi sejarah dalam rezim
kebenaran wacana. Terutama sejarah dalam artian tradisional yang lazim
dimanfaatkan sebagai alat legitimasi politik dalam wacana-wacana tertentu pada
masa kini. Atas dasar itu, pembacaan ulang atas sejarah dan segala praktiknya
dalam masyarakat modern menjadi tugas mulia bagi kita. Dalam rangka melacak
hubungan kekuasaan melalui analisis genealogis, Foucault mengingatkan kita agar
15 Ibid., Hlm.1416 Ibid., Hlm.15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
selalu menyadari keberadaan hubungan kekuasaan yang selalu bercokol dalam
praktek wacana tertentu yang selalu diterima begitu saja oleh masyarakat pada
masa kini.
Lantas apakah implikasinya dalam penelitian ini? Mengacu pada konsep
genealogi seperti yang diperkenalkan oleh Michel Foucault, saya dimungkinkan
dalam penelitian ini untuk: pertama, menyelidiki secara tepat kemunculan
wacana kebangkitan adat (di Indonesia dan Ambon); kedua, melacak sejarah
keterlibatan institusi-insitusi kekuasaan dalam proses produksi wacana
kebangkitan adat, secara khusus di Ambon; ketiga, membongkar cara berpikir
yang terlalu mengesensialkan kebenaran dengan tujuan untuk menetang rezim
kebenaran wacana kebangkitan adat di Ambon; keempat, menghancurkan otoritas
pengetahuan akan kebenaran tunggal dalam wacana kebangkitan adat di Ambon
agar memungkinkan masyarakat dapat mereimajinasikan diri dan pengetahuannya
dalam kehidupan sosial politik masa kini.17
1.6.2. Konsep Wacana
Wacana dalam perspektif Foucault sebenarnya mengakar dalam tradisi
linguistik. Akan tetapi wacana dalam tradisi linguistik diboboti secara berbeda
dengan menempatkan wacana sebagai “sistem representasi yang mengandung
peraturan-peraturan dan praktik-praktik yang menghasilkan pernyataan-
17 Paulo Saukko (2003), Doing Research in cultural Studies: An Introduction to classical and NewMethodological Approaches, London: Sage, Hlm. 116
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
pernyataan penuh makna dalam rentang sejarah tertentu”.18 Menurut Foucault
wacana adalah “kumpulan pernyataan yang menyediakan bahasa khusus untuk
membicarakan tentang sesuatu; atau cara untuk merepresentasikan pengetahuan
tentang sesuatu dalam rentang sejarah tertentu; atau wacana sebagai produksi
pengetahuan melalui bahasa”.19 Wacana memuat cara-cara tertentu dalam
membicarakan, mendefenisikan apa yang diterima, dan menggungkapkan sesuatu
tentang topik tertentu.
Wacana merujuk pada dominasi pernyataan, kadang-kadang diperlakukan
sebagai semacam kumpulan pernyataan invidualistik atau terkadang sebagai
kumpulan pernyataan yang meregulasi praktik.20 Dengan kata lain, wacana
merujuk pada keseluruhan ucapan dan pernyataan yang mengandung makna dan
efek. Artinya, wacana digunakan sebagai terminologi untuk menegasi kumpulan
pernyataan individual yang terucap; sekaligus meregulasi praktik-praktik sosial
yang mengandung pernyataan-pernyataan penuh makna, struktur dan aturan tidak
tertulis yang menghasilkan ucapan dan pernyataan-pernyataan tertentu.21 Wacana
mengatur kumpulan pernyataan yang dikombinasikan dengan kumpulan
pernyataan-pernyataan yang lain. Wacana diatur oleh kumpulan peraturan rasional
dengan tujuan untuk mendistribusikan atau menyebarluaskan isi ucapan atau
pernyataan-pernyataan tertentu.
18 Stuart Hall (1997), Representation: Cultural representations and signifying practices, London:Sage Inc, Hlm. 4419 Ibid.20 Sara Mills (2003), Michel Foucault, London & New York: Routledge, Hlm. 5321 Ibid., Hlm. 53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Wacana sebagai kumpulan pernyataan dan aturan dalam
operasionalisasinya menargetkan kekuasaan. Wacana sangat berhubungan erat
kekuasaan. Wacana adalah tempat di mana hubungan kekuasaan dan subyektivitas
diproduksi. Kekuasaan yang diproduksi dalam wacana selalu bersifat dinamis dan
bergerak secara terus-menerus mengikuti dinamika perkembangan dan perluasan
wacana. Dinamika perkembangan wacana pada akhirnya menyebabkan terjadinya
ledakan wacana (discursive explosion). Bahkan menurut Foucault di sekitar
wacana justru terjadi proliferasi wacana (proliferation of discourses) akibat
dorongan atau rangsangan institusional untuk membicarakan sesuatu.22
Wacana dipahami juga sebagai cara membicarakan kebenaran. Kebenaran
berfungsi untuk mengatakan tentang sesuatu, menulis tentang sesuatu, dan
berpikir tentang sesuatu. Akan tetapi Foucault mengingatkan agar perlu hati-hati
sebab klaim kebenaran justru mengakar pada pengetahuan untuk mengatakan
tentang kebenaran tertentu. Ironinya, tanpa disadari justru kebenaran yang
mengakar pada pengetahuan itulah yang merupakan manifestasi dari wacana
kekuasaan. Dengan kata lain, pengetahuan adalah kekuasaan yang berfungsi untuk
menaklukan, menguasai, atau mendefenisikan orang lain.
Mengacu pada konsep wacana semacam ini, dalam implementasinya saya
dimampukan untuk: pertama, menyelidiki pola pikir masyarakat dalam
membicarakan atau mengkonsepkan adat sejak kemunculannya pada 1998; kedua,
memberikan batasan yang jelas terhadap polemik terkait kemunculan adat dalam
22 Michel Foucault (1976), The History of Sexuality, Terj. Robert Hurley dari judul asli Histoire dela sexualité, New York: Pantheon Books, Hlm. 18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
penelitian ini. Hal ini dilakukan dengan cara melokalisir pembicaraan masyarakat
mengenai adat dalam rentang waktu kemunculannya sejak runtuhnya rezim Orde
Baru Suharto sejak 1998 dan secara khusus dalam lokalitas Ambon sejak
peristiwa konflik pada 1999; ketiga, melakukan pembacaan ulang terhadap
kebenaran sejarah kebangkitan adat di Ambon. Terutama terkait kebenaran akan
signifikansi kebangkitan adat di Ambon yang diterima begitu saja oleh
masyarakat tanpa merasa perlu untuk dipertanyakan kembali.23
1.6.3. Konsep Kekuasaan-Pengetahuan
Foucault memahami kekuasaan tidak seperti biasanya dipahami oleh
kebanyakan orang yang rentan jatuh dalam paham kekuasaan yuridis. Kekuasaan
tidak selamanya berpusat pada hukum atau larangan. Menurut Foucault cara
pandang tersebut dianggap terlalu miskin, monoton, tidak inovatif dan cenderung
hanya akan mereproduksi mekanisme kekuasaan yang barangkali sedang dikritik.
Menurut Foucault, tidak cukup memahami kekuasaan hanya sebatas hubungan
negatif (negative relation), sistem biner (insistence of the rule), siklus larangan
(cycle of prohibition), logika sensor (logic of censorship), atau pun keseragaman
aparatus (uniformity of the apparatus).24
Kekuasaan perlu dilihat secara berbeda bukan sebatas himpunan lembaga
yang menjamin kepatuhan warga, penundukan atau dominasi satu kelompok atas
23 Alec McHoul and Wendy Grace (1993), A Foucault primer: discourse, power and the subject,London and New York: Routledge, Hlm.3324 Michel Foucault (1976), The History of Sexuality, Hlm. 83-84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
kelompok lainnya dalam masyarakat. Sebaliknya menurut Foucault kekuasaan
merupakan: “pertama, multiplikasi kekuatan hubungan imanen di mana
kekuasaan beroperasi. Kedua, kekuasaan adalah proses yang bergerak secara terus
menerus dan saling mempertahankan, menguatkan, atau sebaliknya. Ketiga,
kekuasaan adalah rangsangan hubungan kekuatan yang membentuk rangkaian
atau jaringan. Keempat, kekuasaan sebagai strategi yang saling mempengaruhi
terjadinya proses institusionalisasi yang terwujud dalam diri aparatus negara dan
dalam formulasi hukum serta berbagai jenis hegemoni sosial”.25 Cara pandang
semacam ini menjadi dasar untuk melacak bagaimana dan melalui mekanisme
seperti apa kekuasaan itu beroperasi dalam wacana.
Foucault melihat kekuasaan bukan sebagai sesuatu yang dimiliki
(possession) sebab kekuasaan itu tersebar dan bergerak secara terus menerus
mengikuti mekanisme penyebaran kekuasaan dalam wacana.26 Kekuasaan ada di
mana-mana dan datang dari mana-mana. Kekuasaan adalah sebuah nama yang
diberikan untuk menamai suatu situasi strategi kompleks dalam masyarakat.
Kekuasaan bukan berasal dari penguasa atau negara, bukanlah milik individu atau
kelas tertentu, bukan komoditas yang dapat diraih, melainkan kekuasaan itu
datang dari mana-mana dan menyebar kemana-mana.27 Kekuasaan merupakan
sebuah rangkaian (chain), atau jaringan (net), atau strategi yang menyebar
25 Ibid., Hlm. 92-9326 Ibid, Hlm. 9427 Madan Sarup (2003), Postrukturalisme dan Posmodernisme: sebuah pengantar kritis, Terj.Medhy Aginta Hidayat dari judul asli An Introductory Guide to Post-Structuralism andPostmodernism, Yogyakarta: Jendela, Hlm. 126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
kemana-mana dalam periode tertentu.28 Oleh sebab itu agar disadari bahwa dalam
wacana kekuasaan hubungan kekuasaan selalu bersifat imanen; selalu ada dalam
hubungan kekuatan dan merupakan efek langsung dari praktek dikotomik,
ketidaksetaraan dan ketidakseimbangan.29 Dan yang tidak dapat dihindari dari
model kekuasaan semacam ini adalah afirmasi dan resistensi kekuasaan. Artinya,
di mana ada kekuasaan, di situ pasti ada resistensi.
Refleksi filosofis Foucault tentang kekuasaan berhubungan erat dengan
status pengetahuan. Pengetahuan dikonsepsikan sebagai kekuasaan yang tidak
akan pernah membebaskan orang dari wacana kekuasaan. Pengetahuan itu sendiri
adalah kekuasaan yang memproduksi kebenaran. Kebenaran itu ditentukan dalam
pengetahuan yang kemudian teraktualisasi dalam praktik wacana sosial. Dalam
konteks itu, kebenaran lantas dipakai sebagai alat konseptual untuk melegitimasi
setiap tindakan politis dengan tujuan untuk menaklukan atau menguasasi orang
lain. Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan semacam ini paling tidak
didasarkan pada kejelian Foucault menangkap sublimasi hubungan pengetahuan
dan kekuasaan.
Sublimasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan dipahami dengan cara
melokalisir “rasa ingin tahu” (will to knowledge) manusia. Untuk memahami
gagasan will to knowledge, sejenak kita merujuk pada pembicaraan Foucault
mengenai seks dan kekuasaan dalam The History of Sexuality (1976).
Dikemukakan bahwa sejak periode klasik di mana banyak orang ribut dengan
28 Sara Mills (2003), Michel Foucault, Hlm. 3529 Michel Foucault (1976), The History of Sexuality, Hlm. 94
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
wacana tentang represi seks sebetulnya yang terjadi adalah bukan represi seks
melainkan mendorong atau merangsang untuk membicarakan seks. Rangsangan
untuk membicarakan seks dari berbagai institusi kekuasaan seperti sekolah,
gereja, medis dan lain sebagainya menyebabkan terjadinya ledakan wacana
tentang seks. Seakan-akan muncul semacam kebutuhan untuk membicarakan dan
mengatur pembicaraan tentang seks dengan berbagai alasan pembenaran.
Rangsangan tersebut bukan dalam bentuk teori semata melainkan dalam
bentuk analisis, penghitungan, klasifikasi dan spesifikasi kuantitatif dengan tujuan
untuk mencari rasionalitas kebenaran.30 Muncul keinginan kuat untuk
membicarakan seks secara terus-menerus dalam tatanan wacana represi. Kadang-
kadang keinginan ini dilandasi oleh upaya untuk menentang kuasa, mengungkap
kebenaran, menjanjikan kebahagiaan, kebebasan, bahkan kenikmatan dalam satu
tatanan dunia baru.31 Akan tetapi persoalannya bukan terletak pada menerima atau
menolak wacana tentang represi seks, melainkan jika seks dikatakan terepresi
maka pertanyaannya adalah dari mana kita bisa mengatakan dengan penuh
semangat bahwa seks direpresi?
Nampak dengan jelas bahwa Foucault tidak sedang menunjukkan benar
tidaknya wacana tentang represi seks melainkan ingin menunjukkan kenikmatan
akan kekuasaan melalui rasa ingin tahu secara terus menerus tentang seks.
Termasuk siapa yang membicarakan, posisi-posisi dan cara pandang
membicarakan seks, institusi-institusi kekuasaan yang mendorong masyarakat
30 Ibid., Hlm. 2431 Ibid., Hlm. 7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
untuk terus menerus membicarakan seks.32 Rasa ingin tahu manusia inilah yang
merupakan bagian integral dari produksi wacana tentang seks yang menjadikan
seks sebagai masalah yang seakan-akan perlu dan relevan untuk dibicarakan
secara terus menerus. Tidak sekedar membicarakan seks; akan tetapi mencari
rasionalitas tentang kebenaran seks sebagai sebuah persoalan yang relevan
dibicarakan.
Mencermati dinamika perkembangan wacana seks sebagaimana yang
diungkapkan oleh Foucault dalam The History of Sexuality (1976) sebetulnya
yang terjadi adalah tindakan kompromi antara pengetahuan dan kekuasaan dalam
wacana tentang represi seks sehingga melahirkan kebenaran wacana tentang
represi seks. Menurut Foucault: “tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan dan
sebaliknya pengetahuan tanpa kekuasaan. Hubungan kekuasaan dan pengetahuan
bukan pertama-tama didasarkan pada bebas tidaknya seseorang melainkan
sebaliknya pada pengetahuan yang dimilikinya”.33 Pengetahuan akan sesuatu
memampukan seseorang membangun klaim kebenaran tentang sesuatu.
Bahanyanya kebenaran tersebut diterima sebagai satu-satunya kebenaran sehingga
menjadikan orang patuh terhadap kebenaran tersebut. Pada titik ini pula,
sebetulnya eksistensi subyek bisa dipertanyakan kembali. Dalam pengertian
bahwa subyek selalu merupakan hasil produk hubungan kekuasaan dan
32 Ibid., Hlm. 9433 Michael Foucault (1979), Discipline and Punish: The Birth of the prison, Terj. Alan Sheridandari judul asli Surveiller et punir, New York: Vintage Books, Hlm. 27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
pengetahuan. Aktivitas subyek terbentuk dalam hubungan dengan pengetahuan
dan kekuasaan, entah dengan tujuan untuk meresistensi atau mendominasi.34
Sebagai cara untuk mengenali hubungan antara kekuasaan dan
pengetahuan, Foucault menawarkan beberapa strategi baru sebagaimana yang
dilakukannya dalam analisis wacana tentang represi seks. “Pertama, histeria
tubuh perempuan: tubuh perempuan menjadi objek analisis dengan tujuan untuk
menjamin kesuburan dan semua bentuk kewajiban yang datang dari keluarga,
termasuk kehidupan anak. Kedua, pedagogisasi seks anak. Pedagogisasi seks anak
dengan tujuan untuk menghindari aktivitas seksual menyimpang anak dari bahaya
baik fisik maupun moral, kolekif dan individual. Ketiga, sosialisasi perilaku
prokreatif. Sosialisasi dalam bentuk penanaman nilai-nilai tanggungjawab ke
dalam tubuh sosial untuk menjaga kesuburan pasangan, termasuk sosialisasi
medik sebagai praktek kontrol kelahiran. Keempat, psikiatrisasi kenikmatan yang
menyimpang. Hal ini dilakukan dengan mengisolasi naluri biologis dan psikis
melalui intervensi klinis yang selalu merasa memiliki kepentingan untuk
mengatur dan menghindari seluruh bentuk anomali seks”.35
Keempat strategi tersebut tidak hanya menjadi kritik terhadap paham
model kekuasaan tradisional yang kebanyakan bersifat hukuman dan larangan,
akan tetapi menjadi sarana untuk memperlakukan secara kritis peran insitusi-
institusi kekuasaan (seperti: gereja, kedokteran, sekolah, psikiatri, lembaga sosial,
dan lain sebagainya) baik dalam hal reproduksi kebenaran maupun mendorong,
34 Ibid., Hlm. 2835 Ibid., Hlm.104-105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
merangsang dan menyebar luaskan kebenaran tertentu. Kebenaran itulah yang
diterima oleh masyarakat sebagai pengetahuan. Apalagi didukung oleh otoritas
institusi kekuasaan menjadikan pengetahuan tersebut semakin terlegitimasi dalam
masyarakat.
Implementasi konsep hubungan pengetahuan dan kekuasaan dalam
penelitian ini memungkinkan saya untuk: pertama, melacak proses produksi dan
operasionalisasi kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat di Ambon. Selain itu,
saya dimampukan untuk membicarakan secara tepat wacana kekuasaan tanpa
harus terikat dengan berbagai penilaian moral terkait kemunculan wacana
kebangkitan adat di Ambon; kedua, menyelidiki secara kritis keterlibatan institusi-
institusi kekuasan di Ambon, dalam hal ini adalah lembaga-lembaga sosial yang
konsen mengawal praktek dan perkembangan adat; ketiga, membahas kembali
bagaimana kekuasaan itu bekerja dalam masyarakat Ambon, terutama dalam
wilayah-wilayah ketidaksadaran yang selama ini seakan-akan terabaikan.
1.6.4. Konsep Subyektivitas
Teori subyektivitas mulai berkembang sejak abad ke-20. Subyektivitas
lahir sebagai salah satu kategori analisis, terutama terkait konstruksi subyek dan
berbagai cara pandang tentang subyektivitas sebagai produk budaya dan
kekuasaan. Pemikiran dasar tentang subyektivitas dikembangkan oleh Freud
dalam psikoanalisis, Jacques Lacan, Friedrich Nietzsche dan Michel Foucault.
Salah satu di antara mereka yang menjadi perhatian khusus bagi saya saat ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
adalah Michel Foucault. Subyektivitas dalam perspektif Foucault merujuk
eksistensi individu yang produksi dalam relasi kekuasaan dan subordinasi dalam
masyarakat.36
Pembicaraan Foucault mengenai subyektivitas selalu dalam kaitannya
dengan wacana kebenaran dan pengetahuan-kekuasaan. Wacana tidak hanya
menjadi tempat memproduki kekuasaan melainkan subyek. Wacana
mengkondisikan diri kita sebagai individu dalam ruang lingkup batasan tertentu
yang memungkinkan kita untuk berpikir dan berkata-kata.37 Dengan kata lain
subyektivitas sebetulnya mencerminkan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran/ide
dan perasaan/emosi individu, perasaannya terhadap diri sendiri dan cara
memahami relasi antara diri sendiri dengan dengan dunia.38 Itulah sebabnya
subyektivitas selalu berada dalam proses pembentukan (subject positions) secara
terus menerus dalam wacana setiap kali kita berpikir atau berbicara. Cara
mengada individu (way of being an individual) dalam wacana berdasarkan
identitas atau kriteria tertentu yang ditentukan secara rasional dan masuk akal.39
Mengikuti cara pandang semacam ini, konstruksi subyek sebetulnya
mengandung dua pengertian yakni subyek dalam kendali wacana ilmiah dan
36 Nick Macsfield (2000), Subjectivity: Theories of the self from Freud to Haraway, Australia:ALLEN & UNWIN, Hlm. 5237 Donald E. Hall (2004), Subjectivity: The New critical Idion, New York and London: Routledge,Hlm. 9138 Julia Menard-Warwick (2005), “Both a fiction and an existential fact: theorizing identity insecond language acquisition and literacy studies” dalam Linguistics and Education, Department oflinguistics, one shields ave, USA: University of California, Hlm. 25739 Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
subyek yang terikat dengan identitas.40 Pertama-tama subyek dalam kendali
wacana ilmiah merujuk pada proses objektivasi subyek melalui model-model
wacana ilmiah seperti riset dan penelitian. Individu dikondisikan dalam rezim
kebenaran yang diproduksi baik untuk melakukan kleim kebenaran tertentu
maupun dengan tujuan untuk menaklukan orang lain. Individu dimungkinkan
untuk melakukan pertanggungjawaban terhadap setiap tindakannya berdasarkan
kebenaran tertentu. Tidak sebatas memberikan pertanggungjawaban; akan tetapi
yang paling penting adalah subyek digambarkan seakan-akan defenitif ketika
dijadikan sebagai objek analisis.
Pada titik ini, wacana pengetahuan sebetulnya secara riil difungsikan
sebagai instrumen kekuasaan dalam mengorganisir individu.41 Senada dengan itu,
baiklah untuk disadari pula bahwa logika penjara yang sering dipakai oleh
Foucault untuk menjelaskan ide dari kuasa pendisiplinan subyek sejatinya bukan
sebatas dalam pengertian institusi pengendali masyarakat melainkan sebagai pusat
kekuasaan. Artinya pada level subyektivitas, penjarah merepresentasi proses
pembentukan “way of forms of truth” dan “way of the methodology”.42 Individu
dijadikan sebagai objek analisis keilmiahan yang diproduksi dalam wacana
berdasarkan standar kebenaran tertentu. Pada titik ini, individu dalam wacana
ilmiah tidak bedanya dengan individu dalam wacana yang selalu berada dalam
40 Michel Foucault, “subject and Power” dalam Chicago Journals:Critical Inquiry, Vol 8 No.4,The University of Chicago Press, Hlm. 78141 Nick Macsfield (2000), Subjectivity, Hlm. 5942 Ibid., Hlm. 60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
kendali pengawasan penuh dari pengetahuan ilmiah maupun pengawas seperti
dalam penjara dengan prinsip panoptik.
Fase kedua dari konstruksi subyek adalah ketergantungan subyek terhadap
identitas. Individu yang selalu berada dalam keterikatan dengan identitasnya
memposisikan dirinya sebagai subject-ed yang akan selalu tunduk terhadap aturan
dan norma yang dibentuk oleh pengetahuan akan identitas. Keterikatannya ini
mencerminkan proses konstruksi subyek sebagai objek dari diri sendiri melalui
observasi diri (observe himself), analisa diri (analyze himself), interpretasi diri
(interpret himself), dan pengakuan diri (recognize himself).43 Pertanyaannya
subyek patuh karena direpresi?
Pada dasarnya, subyek patuh bukan kerena direpresi melainkan karena
sedang terjadi proses objektivasi subyek. Dalam proses objektivasi, subyek patuh
bukan karena direpresi melainkan karena oleh kehendak dan keinginan mendasar
individu untuk hidup berdasarkan identitas tertentu yang ditawarkan kepadanya.
Individu menjadi subyek ideal berdasarkan gambaran identitas yang diketahuinya.
Konsekuensi logis dari proses konstruksi subyek semacam ini adalah diterimanya
praktek pemisahan individu baik dengan dirinya sendiri maupun dengan
lingkungan sosial. Hal ini akan dapat diamati secara langsung pada pembahasan
ini ketika menyaksikan bagaimana orang Ambon sebagai salah satu suku bangsa
berusaha untuk menghidupi identitas ke-Ambon-annya secara ideal.
Mengacu pada konsep subyektivitas semacam ini, dalam implementasinya
saya dimampukan dalam penelitian untuk: pertama, memahami bagaimana orang
43 Donald E. Hall (2004), Subjectivity, Hlm. 92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Ambon dikondisikan dalam wacana kebangkitan adat di Ambon; kedua,
menunjukkan kondisi di mana masyarakat Ambon dibentuk menjadi individu-
individu yang patuh, baik karena kendali wacana ilmiah tentang adat maupun
karena kecintaan dan loyalitas mereka terhadap adat istiadatnya sendiri.
1.7. Teknik Pengumpulan Data
Uraian pada bagian ini terdiri dari beberapa bagian penting terkait lokasi
penelitian, jenis penelitian, sumber data, dan teknik penelitian. Lebih jelasnya
akan diuraikan secara rinci sebagai berikut:
a) Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam studi ini adalah kota Ambon di Provinsi Maluku.
Lokasi ini dipilih karena selain menjadi titik perjumpaan berbagai etnis
seperti Tanimbar, Kei, Arab, Cina, Bugis, Buton, dan makasar; Ambon
juga merupakan salah satu dari sekian daerah di Indonesia yang sangat
antusias dalam memperjuangkan adat, terutama dalam proses penetapan
kembali “negeri” di Ambon. Oleh sebab itu, analisis mengenai wacana
kebangkitan adat di Ambon diharapkan dapat menjadi titik tolak bagi saya
untuk bisa memahami secara kritis fenomena kemunculan adat yang
terjadi di Indonesia.
b) Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dipakai adalah penelitian kualitatif dengan
pendekatan analisis wacana kritis. Penggunaan pendekatan analisis wacana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
kritis merupakan sebuah pilihan yang tepat dalam studi ini. Tujuannya
untuk memahami dan membongkar mekanisme kekuasaan yang
diproduksi dalam wacana kebangkitan adat, secara khusus di Ambon.
Melalui pendekatan wacana, kerangka analisis dalam kritik kekuasaan
membantu saya membaca dinamika kekuasaan adat yang hadir dalam
wacana kebangkitan adat Ambon. Selain itu dapat menjadi sarana untuk
merumuskan kembali subyektivitas ke-Ambon-an dalam konstruksi
wacana kebangkitan adat.
c) Sumber Data
Sumber data dalam studi ini terdiri dari dua macam yakni: sumber tertulis
dan lisan. Data sumber tertulis merujuk pada hasil penelitian terdahulu
dengan topik yang kurang lebih sama serta beberapa literatur pendukung
lainnya terkait persoalan dimaksud. Selain itu terkait sumber tertulis, saya
juga mengunakan beberapa sumber lisan yang diperoleh dari wawancara
dengan para informan yang kompeten seperti raja sebagai pemangku adat,
saniri negeri, aktivis dan pemerhati sejarah dan kearifan lokal Maluku,
dan beberapa warga pendatang yang selama ini berdomisili di Ambon.
d) Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi
lapangan untuk mengamati secara langsung kondisi seputar praktek dan
wacana adat di Ambon. Data lapangan diperoleh melalui observasi
lapangan di Ambon sejak Desember 2013 sampai Januari 2014. Teknik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
observasi lapangan diperkaya melalui wawancara bersama para informan
seperti raja sebagai pemangku adat, saniri negeri, aktivis dan pemerhati
sejarah dan kearifan lokal Maluku, dan beberapa warga pendatang yang
selama ini berdomisili di Ambon. Seleksi atas para informan yang
berjumlah 9 (sembilan) orang didasarkan pada kompentensi mereka dalam
bidang adat dan sebagian warga pendatang yang sudah sejak lama
berdomisili di wilayah kepulauan Ambon. Data yang diperoleh
ditindaklanjuti dengan melakukan pendalaman berbagai dokumen untuk
mendapatkan gambaran komprehensif mengenai praktek wacana
kebangkitan adat di Ambon.
1.8. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini terdiri dari 5 (lima) bagian antara lain:
Bab I merupakan bagian pendahuluan yang menjelaskan tentang latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, kajian
pustaka yang mengupas penelitian-penelitian dengan topik yang sama namun
dengan sudut pandang yang berbeda, kajian teori yang memaparkan konsep-
konsep kunci yang menjadi instrumen analisis dalam penelitian ini dan teknik
pengumpulan data.
Bab II membahas mengenai genealogi kebangkitan adat. Mula-mula akan
dibicarakan secara singkat mengenai sejarah kebangkitan adat di Indonesia dalam
periode pemerintahan Orde Baru dan reformasi. Uraian dilanjutkan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
melakukan pembacaan genealogi atas kemunculan wacana kebangkitan adat di
Ambon. Terutama melacak asumsi-asumsi dasar yang melandasi antusiasme
orang Ambon menghidupkan kembali “negeri” adat di wilayah kepulauan
Ambon.
Bab III membahas mengenai praktek wacana kebangkitan adat di Ambon.
Uraian pada bab ini merupakan bentuk penyajian data penelitian. Penyajian data
penelitian dilakukan dengan memperhatikan momentum kebangkitan adat Ambon
dan gerakan perluasan wacana kebangkitan adat Ambon melalui sosialisasi nilai-
nilai adat, intensifikasi peran anak adat dan beberapa praktek adat lainnya.
Akhirnya, uraian pada bab III akan diakhiri dengan mengetegahkan bagaimana
wacana kebangkitan adat diinternalisasikan oleh masyarakat Ambon.
Bab IV akan membahas mengenai relasi kuasa dan konstruksi
subyektivitas ke-Ambon-an dalam wacana kebangkitan adat Ambon. Pembahasan
mengenai topik ini bertujuan untuk menganalisis relasi kuasa dan proses
pembentukan subyek dalam wacana kebangkitan adat. Dalam konteks itu, uraian
ini diawali dengan menganalisis relasi kuasa dalam tatanan wacana kebangkitan
adat Ambon. Kemudian uraian dilanjutkan dengan menganalisis proses
pembentuk subyek dalam tatanan wacana kebangkitan adat yang terjadi melalui
proses objektivasi subyek dalam tatanan wacana.
Bab V adalah Penutup. Bagian ini menjelaskan ide-ide utama dari
keseluruhan penjelasan bab dan beberapa pemikiran kritis sebagai tindak lanjut
untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
BAB II
GENEALOGI WACANA
KEBANGKITAN ADAT DALAM TILIKAN SEJARAH
Bab II akan membahas mengenai genealogi wacana kebangkitan adat.
Mula-mula saya ingin membicarakan mengenai dinamika kemunculan wacana
kebangkitan adat di Indonesia. Kajian mengenai dinamika kemunculan wacana
kebangkitan adat di Indonesia akan berpusat pada penyelidikan historis
kemunculan wacana kebangkitan adat pada rentang waktu Orde Baru dan
reformasi. Tujuannya adalah bagaimana kondisi sosial politik Indonesia di era
Orde Baru dan reformasi mempengaruhi kemunculan berbagai klaim kedaerahan
dengan mengatasnamakan adat.
Uraian dilanjutkan dengan menyelidiki genealogi wacana kebangkitan
adat di Ambon. Dalam lokalitas Ambon, pembahasan mengenai wacana
kebangkitan adat bertujuan untuk melacak asal-usul kemunculan wacana
kebangkitan adat. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon;
terutama pendasaran rasional dan asumsi-asumsi primordial masyarakat Ambon
mengenai adat. Pada bagian akhir, saya akan membicarakan secara singkat
kebutuhan mendasar orang Ambon terkait urgensi dan signifikansi kemunculan
wacana kebangkitan adat di Ambon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
2.1. Sekilas Sejarah Kebangkitan Adat di Indonesia
Uraian mengenai sejarah kebangkitan adat di Indonesia tidak sekedar
menyelidiki kemunculan wacana kebangkitan adat di Indonesia; akan tetapi secara
khusus mencoba untuk memusatkan diri pada cara pandang kebanyakan orang
selama ini membicarakan adat dalam rentang waktu orde baru dan reformasi.
Dalam konteks itu, pembahasan mengenai wacana kebangkitan adat akan
mengacu pada kerangka analisis genealogi sebagaimana dimaksudkan oleh
Michel Foucault. Dengan cara semacam ini paling tidak kita dimungkinkan untuk
dapat melihat sejarah secara baru dan memungkinkan tiap-tiap individu untuk
mereimajinasi diri dan hidupnya. Tujuan ini sejalan dengan proyek penyelidikan
sejarah seperti yang telah dilakukan oleh Foucault. Melalui Foucault, urgensi dan
signifikansi sejarah kebangkitan adat perlu dibaca kembali.
Pembacaan ulang atas sejarah perlu dilakukan secara kritis sebab tidak
jarang orang terjebak dalam permainan kekuasaan dalam sejarah. Sejarah
cenderung dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan politik yang diproduksi
dalam wacana. Pertanyaannya adalah bagaimana menyingkap hubungan
kekuasaan yang diproduksi dalam wacana kebangkitan adat? Kebangkitan adat
seperti apakah yang selama ini dibicarakan? Apakah karena adat dianggap mati
dan sekarang mengalami kebangkitannya? Apakah kemunculan wacana
kebangkitan adat sunguh-sungguh meresistensi mekanisme kekuasaan dominan
yang diklaim merepresi adat ataukah sebaliknya mereproduksi mekanisme
kekuasaan yang hendak dikritik? Oleh karena wacana menyediakan bahasa khusus
untuk membicarakan sesuatu yang sedang diwacanakan maka uraian berikut ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
akan mencoba untuk menyelidiki kemunculan wacana kebangkitan adat dengan
memperhatikan cara kebanyakan orang mengkonsepsikan atau membicarakan adat
selama ini di Indonesia, terutama pada masa Orde Baru dan reformasi.
2.1.1. Adat dalam Imajinasi Politik Orde Baru
Sejak kejatuhan rezim Orde Baru Suharto pada 1998, istilah adat yang
dipahami sebagai kebiasaan atau tradisi lambat laun mengalami perkembangan
dan perluasan makna. Pemahaman terhadap istilah adat tidak lagi sebatas tradisi
atau kebiasaan; akan tetapi lambat-laun bergeser dan mulai diasosiasikan dengan
“gerakan aktivisme, protes, konflik dan kekerasan” seperti yang diungkapkan oleh
David Henley dan Jamie Davidson dalam adat dalam politik Indonesia (2010).44
Istilah adat tidak lagi sebatas tatanan nilai; akan tetapi adat sebagai representasi
identitas kolektif dan instrumen kekuasaan lokal dalam rangka memobilisasi
massa untuk melawan negara. Perluasan makna adat secara khusus terjadi ketika
praktek adat mulai diparalelkan dengan praktek-praktek ketidakadilan negara
yang terjadi di tingkat lokal. Di antaranya adalah perampasan tanah-tanah ulayat
oleh negara yang kemudian dikonversi menjadi konsensi pembangunan nasional,
ekploitasi sumber daya alam, lingkungan hidup dan hutan, bahkan termasuk
praktek konversi desa-desa adat melalui implementasi Undang-Undang No.5
tahun 1979 tentang pemerintahan desa.
44 David Henley & Jamie Davidson (2010), “Konservatisme Radikal-Aneka Wajah Politik Adat”dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Perjuangan atas nama adat ditandai oleh munculnya sejumlah tuntutan
kedaerahan yang menghendaki agar dapat mengurus diri sendiri berdasarkan
tradisi dan adat istiadat di wilayahnya masing-masing. Pilihan semacam ini
diklaim sebagai pilihan tepat untuk mendapatkan kembali rasa keadilan yang
selama Orde Baru terabaikan. Bahkan pilihan untuk menghidupkan kembali adat
justru dipandang sebagai solusi untuk mengatasi kegagalan negara akibat
maraknya praktek politik yang korup dengan cara mempromosikan bentuk-bentuk
pemerintahan baru berbasis adat.45 Oleh sebab itu, meski pilihan untuk kembali
ke adat menuai pro dan kontra akan tetapi secara de facto kemunculan wacana
kebangkitan adat sangat mendapat sambutan hangat dari masyarakat.
Terdorong akan sebuah perubahan radikal, adat kemudian dijadikan
sebagai panji perjuangan bersama mewujudkan perubahan. Perubahan dalam
pengertian revolusi sistem demokrasi di Indonesia yang dinilai kaku dan tidak
mampu mengakomodir keberagaman budaya masyarakat Indonesia.
Ketidakmampuan negara dalam mengakomodir keberagaman budaya dinilai telah
menyebabkan terjadinya marginalisasi peran-peran penduduk lokal dan
tereksploitasi demi kepentingan pembangunan nasional (nation building). Atas
salah satu cara, klaim semacam ini nampak dalam penegasan Brigitta Hauser-
Schäublin dalam Adat and Indigeneity in Indonesia (2013) demikian:
They had suffered marginalisation, discrimination anddispossession over decades and were classified as inferior to“mainstream” Indonesians, who were following thenationalistic path to progress and development as decreed bythe government. Their systematic discrimination,
45 Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
dispossession and displacement were not an invention of theNew Order regime (1965-1998); their genealogy can be tracedback to the Dutch colonial policy, as many publications andseveral chapters of this volume document. The fall of theSuharto regime in 1998 and the subsequent onset of thereform era (reformasi), which promoted decentralisation andaimed at democratisation, have offered the opportunity to theindigenous peoples (masyarakat adat) and to the governmentto recover the injustices and dispossessions which thesepeople had suffered.46
Secara implisit penegasan Brigitta Hauser-Schäublin mencerminkan
kegagalan pemerintah Orde Baru yang dinilai memiliki peranan besar dalam
penghancuran kehidupan masyarakat beserta adat istiadatnya. Intervensi negara
dinilai terlalu berlebihan baik melalui perampasan kepemilikan tanah-tanah
ulayat, eksploitasi sumber daya alam, lingkungan hidup dan hutan, program
transmigrasi nasional, maupun konversi desa-desa adat melalui Undang-Undang
No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa.
Implementasi kebijakan nasional melalui Undang-Undang No 5 tahun
1979 tentang pemerintahan desa pada kenyataannya menimbulkan polemik di
tingkat lokal. Polemik tersebut berkaitan dengan marginalisasi peran para
pemimpin adat dan lembaga-lembaga adat. Peran kepala pemerintahan hukum
46 “Selama rezim Orde Baru Suharto mereka (masyarakat adat) mengalami marginalisasi,diskriminasi dan perampasan hak milik lebih dari satu dekade dan diklasifikasikan sebagaikelompok inferior, memiliki ketergantungan penuh kepada pemerintah. Diskriminasi sistematis,perampasan hak milik dan penyingkiran bukan sebuah isapan jempol belaka dari rezim OrdeBaru sejak 1965-1998; bahkan secara genealogi kondisi semacam ini tidak terlepas dariintervensi politik kolonial Belanda yang dapat dijumpai dalam berbagai dokumen yangterpublikasi. Runtuhnya rezim Orde Baru Suharho pada 1998 dan kelahiran reformasi, yangdidukung dengan kebijakan desentralisasi dan dengan tujuan untuk menciptakan iklimdemokratisasi, memberikan peluang kepada kelompok masyarakat adat dan pemerintah untukmemulihkan kembali rasa ketidakadilan dan pengembalian hak milik masyarakat”. BrigittaHauser-Schäublin (2013), “The Power of Indigeneity: Reparation, Readjustments andRepositioning” dalam Adat and Indigeneity in Indonesia: Cultural and Entitlements betweenHeteronomy and self-Ascription, Göttingen Studies in Cultural Property, Volume. 7, Göttingen:Universitätsverlag Göttingen, Hlm. 7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
adat atau raja digantikan oleh kepala pemerintahan desa (kepala desa/lurah) yang
telah ditetapkan oleh negara dan bekerja dalam struktur birokrasi nasional yang
seragam.47 Konsekuensi dari sistem penyeragaman pemerintahan semacam ini
diklaim telah menimbulkan degradasi nilai-nilai adat pada masing-masing daerah
adat di Indonesia.
Selain undang-undang desa yang dianggap bermasalah, muncul persoalan
lain terkait kebijakan nasional mengenai program transmigrasi nasional. Dalam
keterangan David Henley & Jamie Davidson diungkapkan bahwa: “untuk
mengurangi tekanan kepadatan jumlah penduduk di pulau Jawa dan Bali maka
banyak wilayah di luar Jawa yang dipandang masih renggang dijadikan sebagai
target utama dari program tersebut. Kurang lebih lima juta penduduk dari pulau
Jawa dan Bali berhasil dipindahkan ke luar wilayah Jawa”.48 Akibatnya terjadinya
ledakan jumlah penduduk.
Sebagai salah satu contoh adalah sebagaimana yang terjadi di Maluku,
salah satu provinsi yang dijadikan sebagai target dari program transmigrasi
nasional. Meski bertempat di kepulauan Seram akan tetapi dalam ruang lingkup
yang lebih luas efek kebijakan tersebut dialami oleh warga Maluku. Konsekuensi
dari kebijakan transmigrasi nasional di Maluku menyebabkan munculnya
ketidakseimbangan komposisi jumlah penduduk Maluku. Bahkan polemik seputar
kebijakan transmigrasi nasional di Maluku lambat laun diparalelkan dengan
47 David Henley dan Jamie Davidson (2010), “Konservatisme Radikal-Aneka Wajah Politik Adat”dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 1348 Ibid., Hlm. 14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
berbagai isu krusial seputar pergeseran peran-peran penduduk lokal dan
marginalisasi ekonomi-politik penduduk lokal.49
Kemunculan adat mengalami perluasan makna dengan sangat pesat. Adat
tidak sebatas persoalan birokrasi politik di tingkat lokal dan problem
kependudukan, akan tetapi membidik pula persoalan kedaulatan wilayah atas
tanah-tanah ulayat. Klaim kebanyakan daerah dialamatkan kepada negara yang
mengambilalih hak kepemilikan tanah-tanah ulayat yang dikonversikan menjadi
konsensi pembangunan nasional melalui praktek penebangan hutan,
pertambangan, perkebunan kepala sawit dan hutan tanaman industri, serta taman-
taman nasional.50 Kenyataan semacam ini pada kenyataannya memicu sejumlah
reaksi protes dari banyak daerah di Indonesia. Misalnya, atas nama adat
masyarakat adat di Bali menolak mega proyek pariwisata dengan menghidupkan
kembali aturan adat yang melarang penjualan tanah kepada pendatang; atau para
petani di Sulawesi dan Flores yang menentang legitimasi keabsahan batas-batas
taman nasional serta serangkaian kasus-kasus lainnya di Indonesia.51
Dengan memperhatikan kondisi di atas nampak bahwa wacana adat di
masa Orde Baru cenderung dihubungkan dengan persoalan-persoalan kedaerahan
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dengan kata lain, pembicaraan tentang adat
selama Orde Baru mengandung sejumlah persoalan terkait serangkaian praktek
ketidakadilan negara seperti sistem konversi desa adat, transmigrasi, pergeseran
49 Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia (2004), Dinamika Konflik Dalam TransisiDemokrasi: Informasi Konflik dan Potensi Integrasi Bangsa, Yogyakarta: INPEDHAM, Hlm. 22050David Henley & Jamie Davidson(2010), Konservatisme Radikal-Aneka Wajah Politik Adat”dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 14-1551 Ibid., Hlm. 1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
peran-peran penduduk lokal, maupun kepemilikan tanah-tanah adat. Aneka rupa
persoalan semacam inilah yang sangat mewarnai pembicaraan kebanyakan orang
tentang adat di masa Orde Baru. Bahkan Orde Baru malah ditahbiskan sebagai
orde penindasan adat.
Meski tanpa harus menafikan aneka persoalan yang telah dikemukakan di
atas namun jika diasumsikan demikian maka persoalannya adalah: Apakah
kondisi semacam ini mencerminkan tindakan merepresi adat? Apakah adat
sungguh-sungguh direpresi? Agar memungkinkan kita melihat persoalan-
persoalan tersebut secara kritis, upaya pelacakan terhadap wacana kebangkitan
adat tidak dapat berhenti pada titik ini. Adat perlu dilihat secara gamblang dengan
mempertimbangkan dinamika perkembangan dan perluasan adat di masa-masa
berikutnya. Salah satunya adalah wacana adat di era reformasi.
2.1.2. Eforia Kebangkitan Adat di Era Reformasi
Perjuangan atas nama adat di Indonesia dapat dikatakan baru mendapatkan
tempatnya di era reformasi. Iklim kebebasan di era reformasi sungguh-sungguh
memberikan angin segar kepada banyak daerah di Indonesia yang ingin mengurus
diri sendiri berdasarkan adat istiadatnya masing-masing. Era reformasi seakan-
akan merupakan kesempatan berharga bagi banyak daerah untuk mewujudkan
keinginan mereka. Reformasi membuka ruang politik di tingkat lokal terutama
dengan adanya kebijakan otonomisasi daerah semakin mempercepat perjuangan
adat. Bahkan di tingkat pusat (Jakarta), perjuangan atas nama adat berhasil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
diorganisir secara nasional melalui pembentukan organisasi adat nasional yang
dikenal dengan nama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan
semboyannya: “kalau negara tidak mengakui kami, kami pun tidak akan
mengakui negara”.52
Mengacu pada anggaran dasar AMAN, secara resmi AMAN didirikan
pada tanggal 17 Maret 1999 di Jakarta dengan tujuan untuk:
(1) Mengembalikan kepercayaan diri, harkat dan martabatMasyarakat Adat Nusantara, baik laki-laki maupunperempuan, sehingga mampu menikmati hak-haknya; (2)Mengembalikan kedaulatan Masyarakat Adat Nusantara untukmempertahankan hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan politik;(3) Mencerdaskan dan meningkatkan kemampuan MasyarakatAdat mempertahankan dan mengembangkan kearifan adatuntuk melindungi bumi, air dan kekayaan alam yangterkandung di dalamnya; (4) Mengembangkan prosespengambilan keputusan yang demokratis; (5) Membela danmemperjuangkan pengakuan, penghormatan, perlindungan danpemenuhan hak-hak Masyarakat Adat53
Kelima butir dari tujuan AMAN mencerminkan adanya komitmen
bersama seluruh anggota AMAN guna mendapatkan kembali hak-haknya baik
secara ekonomi, sosial, budaya dan politik. Keanggotaan AMAN yang
dimaksudkan di sini mengacu pada anggaran dasar AMAN Bab VII pasal 11 butir
2. Keanggotaan AMAN adalah: “komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan
asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, memiliki
kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam dan kehidupan sosial budaya yang diatur
52 Ibid., Hlm. 1-253 “Anggaran Dasar (AD) AMAN Bab IV pasal 7”, diakses dari http://www.aman.or.id/ padatanggal 7 Januari 2015. Anggaran Dasar AMAN ditetapkan dalam kongres Masyarakat AdatNusantara yang ke-4 di Tubelo pada 24 April 2012.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
oleh hukum adat, serta lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan
masyarakatnya”.54
Bidikan utama AMAN adalah mendapatkan kembali hak-hak seluruh
anggota masyarakat adat baik secara ekonomi, sosial, budaya dan politik. Itulah
sebabnya pembentukan AMAN sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan
(ORMAS) yang independen bertujuan untuk mengawal dan mengawasi otoritas
negara, mengembalikan hak masyarakat adat serta mengintensifkan kembali peran
lembaga-lembaga adat dan pemimpin-pemimpin adat yang selama Orde Baru
kehilangan peran.55 Hal ini tercermin pula dalam setiap kali pertemuan yang
diselenggarakannya.
Dalam pertemuan pertama yang dilaksanakan di Hotel Indonesia-Jakarta
pada 17 sampai 22 Maret 1999, diproklamasikannya pembentukan AMAN
sebagai organisasi kemasyarakatan yang punya landasan hukum tetap untuk
memperjuangkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi masyarakat adat seperti
akses terhadap tanah, hutan, kekayaan alam, budaya dan persoalan-adat istiadat. 56
Pertemuan kedua dilaksanakan di Lombok, Nusa Tenggara Timur pada 2003.57
Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari agenda pertemuan pertama dan
sebagai bagian dari upaya konsolidasi. Pertemuan ketiga dilaksanakan di
54 Lih. Anggaran Dasar (AD) AMAN Bab VII pasal 11 butir 2 tentang keanggotaan dan kader,Ibid. diakses dari http://www.aman.or.id/ pada tanggal 7 Januari 2015; lihat juga dalam SejarahOrganisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)55 David Henley & Jamie Davidson(2010), Konservatisme Radikal-Aneka Wajah Politik Adat”dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 1-256 “Sejarah Organisasi Aliansi masyarakat adat Nusantara”, diakses dari http://www.aman.or.id/pada tanggal 7 Januari 201557 Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pontianak, Kalimantan Barat pada 2007 dengan agenda pembentukan struktur
keanggotaan dan badan pengurus baik di tingkat pusat maupun daerah-daerah
seperti di Sumaterah, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku
dan Papua.58 Sedangkan pertemuan keempat dilaksanakan di Tubelo, Halmaera
Utara, Provinsi Maluku pada 2012 dengan agenda pemantapan struktur
keanggotaan.59
Rangkaian perjuangan AMAN sejak terbentuknya memiliki pengaruh
yang sangat signifikan terhadap kemunculan adat di Indonesia. Hal ini terukur
pula melalui capaian-capaian yang ditoreh selama ini baik pada tingkat nasional
maupun internasional. Di tingkat nasional AMAN boleh berbangga dengan
torean sejarahnya melalui pembentukan lembaga-lembaga adat di tingkat lokal;
bahkan keterlibatan AMAN di tingkat internasional, di antaranya seperti
keterlibatannya aktif dalam proses United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC); International Indigenous Peoples Forum on Climate
Change (IIPFCC); Reducing emissions from deforestation and forest degradation
(REDD); United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII);
bahkan pertemuan komisi PBB tentang penghapusan diskriminasi rasial atau
Committee on the Elimination of Racial Discrimination (CERD).60
Tidak dipungkiri bahwa kemunculan adat sangat mempengaruhi konstelasi
ekonomi, sosial, politik di Indonesia. Meski demikian tidak dapat dipungkiri pula
58 Ibid.59 Ibid.60 Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
bahwa di sisi lain sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian bab sebelumnya
bahwa seiring kemunculan wacana kebangkitan adat muncul pula suara-suara
lainnya yang bernada oposisi. Salah satunya adalah David Bourchier yang
mengkritisi kemunculan gerakan kebangkitan adat di Indonesia. Menurutnya:
“kecenderungan dari gerakan kebangkitan adat meski mendukung dan
menguatkan serta mempererat ikatan kepentingan komunal, akan tetapi sebetulnya
sangat berpotensi menimbulkan konflik, kekerasan, kebencian antar-etnis, dan
ikut mengukuhkan kembali hirarki sosial masa lampau”.61
Senada dengan Bourchier, Tania Li dalam penelitiannya di Sulawesi
Tengah pada kurun waktu 2000-2003 juga mengemukakan persoalan serupa.
Tania Li menyoroti secara khusus keragaman penafsiran dan penggunaan kata
adat yang selama ini semakin sulit dikontrol. Menggunakan konsep adat berarti
mengklaim kemurnian nilai adat demi kepentingan seseorang atau kelompok
tertentu.62 Anehnya bagi Bourchier dan Tania Li jika menggunakan adat sebagai
ukuran berarti mengklaim kemurnian nilai yang ada di dalamnya demi
kepentingan seseorang atau kelompok tertentu; akan tetapi gerakan adat tetap
mendapatkan sambutan dari masyarakat.63 Lantas, Apakah karena asumsi
keharmonisan hidup berbasis adat dan kemurniaan nilai adat? Jika demikian,
Apakah ada realitas yang dinamakan kemurnian adat? Bukankah yang disebut
61 David Bourchier (2010) “Kisah adat dalam imajinasi politik Indonesia dan kebangkitan masakini” dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 141-14262 Tania M.Li (2010), “Adat di Sulawesi Tengah: penerapan kontemporer” dalam Adat dalamPolitik Indonesia, Hlm. 36763 David Bourchier (2010) “Kisah adat dalam imajinasi politik Indonesia dan kebangkitan masakini” dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
kemurnian adalah sebuah konstruksi sejarah? Jangan-jangan asumsi kemurnian
hanyalah sejenis romantisme terhadap hukum adat di Indonesia yang merupakan
ciptaan Belanda seperti yang ditegas pula oleh Pater Burns.
Burns sebagai salah seorang kontributor dalam penulisan buku berjudul
adat dalam politik Indonesia (2010) menyatakan bahwa:
Konsep hukum adat hampir pasti merupakan ciptaan Belanda.Sebelum Van Vollenhoven dan kelompoknya mulaimengkodifikasi apa yang bagi para ahli hukum barat tampaknyasebagai aspek-aspek peradilan dari adat kebiasaan penduduk asli,hukum adat bukan merupakan suatu entitas terpisah danindependensi melainkan pada umumnya jalin menjalin dengansejarah, mitologi, dan aturan-aturan dasar kelembagaan darimasing-masing suku atau satuan budaya…tentu saja adat tidakditemukan tetapi diciptakan.64
Secara historis, selama ini apa yang disebut adat umumnya dikenal dengan
nama hukum adat. Istilah hukum adat untuk pertama kalinya diungkapkan oleh
Christian Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang orientalis berkebangsaan
Belanda.65 Istilah hukum adat kemudian dipergunakan secara luas oleh Cornelis
Van Vollenhoven, seorang professor antropolog dari Universitas Leiden ketika
melakukan studi hukum adat di Indonesia di awal abad ke-20. Beberapa konsep
dasar yang masih terus dipergunakan sampai sekarang adalah: hukum adat
(adatrecht) dan beschikkingsrecht atau hak-hak petuanan setiap anggota
masyarakat adat (adatrechtsgemeenschap) di wilayah masing-masing.66 Istilah
64 Pater Burns (2010), “Adat, yang mendahului semua hukum” dalam Adat dalam politikIndonesia, Terj. Emilius Ola Kleden, Jakarta: Obor, Hlm. 9565 C. Fasseur (2010), “Dilema zaman kolonial: Van Vollenhoven dan perseteruan antara hokumadat dan hukum Barat di Indonesia, dalam Adat dalam politik Indonesia, Hlm. 5766 David Henley & Jamie Davidson(2010), “Konservatisme Radikal-Aneka Wajah Politik Adat”dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
beschikkingsrecht sendiri merujuk pada sistem adat yang memungkinkan
masyarakat dapat mengatur dan melindungi hak kepemilikan tanahnya sehingga
tidak dapat diambilalih oleh negara karena dianggap tidak bertuan.67
Tanpa harus menafikan kontribusi Van Vollenhoven dalam melakukan
kodifikasi hukum adat di Indonesia dan perjuangannya terhadap hak kepemilikan
tanah-tanah ulayat, apa yang diungkapkan oleh C. Fasseur patut untuk
dipertimbangkan juga. Bagi Fasseur, konstruksi hukum adat Indonesia atas salah
satu cara menegasi pengaruh Etnosentrime dan perasaan superioritas bangsa Barat
di Indonesia.68 Proses kodifikasi hukum adat Indonesia sejak saat itu seakan-akan
mendobrak popularitas adat pribumi terutama ketika secara khusus menjadikan
adat sebagai objek kajian akademis di Universitas Leiden.
Bertolak dari wacana adat semacam ini, lantas kemurnian adat seperti
apakah yang sebetulnya ingin ditegakkan dalam gerakan kebangkitan adat
Indonesia? Apakah kemurnian adat dengan membangkitkan kembali wacana
kolonialisme? Tidak dapat dipungkiri sekarang bahwa apa yang diklaim sebagai
kemurnian adat tidak lebih dari sebuah konstruksi sejarah yang kemudian
direproduski secara terus menerus. Hal ini nampak dalam cara pandang orientalis
ketika membicarakan wacana kebangkitan adat dengan menghubungkan adat
dengan praktek perampasan tanah, sumber daya alam, hutan, desa adat dan
67 Yance Arizona & Erasmus Cahyadi (2013), “The Revival of Indigenous Poples: Contestationover a special leigislation on masyarakat adat” dalam Adat and Indigeneity in Indonesia: Culturaland Entitlements between Heteronomy and self-Ascription, Volume 7, UniversitätsverlagGöttingen, 4768 C. Fasseur (2010), “Dilema zaman kolonial: Van Vollenhoven dan perseteruan antara hukumadat dan hukum Barat di Indonesia, Adat dalam politik Indonesia, Hlm. 63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
sejumlah praktek yang menggunakan adat sebagai jargon-jargon politik dalam
kampanye-kampanye.
Bahkan ketika mencermati dinamika perkembangan wacana kebangkitan
adat Indonesia semacam ini, dapat ditegaskan bahwa adat yang selama ini
dianggap terepresi sebetulnya justru melahirkan berbagai wacana tentang adat.
Kebangkitan Indonesia di era reformasi barangkali dianggap sebagai momentum
kebangkitan adat justru kurang tepat sebab sebetulnya yang sedang terjadi adalah
upaya multiplikasi wacana tentang adat. Jadi, kebangkitan adat yang seakan-akan
menawarkan era pembebasan adat justru menyangsikan kembali asumsi
pembungkaman atau represi adat.
Adat yang dinilai terepresi sebetulnya sedang didorong, dirangsang,
diadministrasikan, dinormalisasikan, dan didisiplinkan kembali. Dengan kata lain,
pembicaraan tentang adat saat ini hanya menuntun orang untuk beralih dari
kebiasaan merasa kecewa akibat dominasi negara ke berbagai upaya untuk
mengendalikan adat agar lebih berbobot. Bahkan dilipatgandakan dalam wilayah
kekuasaan dengan cara diproblematisasi agar relevan untuk dibicarakan.69 Lantas,
Bagaimanakah dengan kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon? Uraian
atas pertanyaan tersebut akan dibicarakan dalam sub bab berikut ini.
69 Michel Foucault (1997), Seks dan Kekuasaan, Terj. Rahayu S.Hidayat dari judul The History ofSexuality, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 20-22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
2.2. Genealogi Kebangkitan Adat Ambon
Uraian berikut ini akan membahas mengenai kemunculan wacana
kebangkitan adat Ambon yang menjadi lokus dari penelitian ini. Dalam lokalitas
Ambon, wacana kebangkitan adat mengacu pada beberapa unsur spesifik di
antaranya tradisi, hubungan darah dan kedaulatan teritorial. Unsur-unsur tersebut
secara dominan mewarnai pembicaraan tentang adat. Kemunculan adat secara
signifikan menyebabkan terjadi perubahan konstelasi sosial politik di Ambon.
Adat tidak sekedar difungsikan untuk merumuskan realitas hidup
kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon, penyelidikan ini dilakukan
sambil mempertimbangkan pula pengaruh wacana kolonialisme terhadap
kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon. Menyikapi persoalan tersebut
beberapa pokok pikiran berikut ini menjadi acuan dasar memahami perkara
kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon.
2.2.1. Adat dalam Tatapan Orang Ambon
Kajian mengenai kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon tidak
dapat dilepaskan dari cara pandang orang Ambon terhadap adat. Dalam
kosmologi Ambon, adat tidak sekedar tradisi atau kebiasaan hidup. Bagi
masyarakat Ambon, adat merupakan warisan ideologis para leluhur yang seakan-
akan tidak dapat diabaikan. Semacam kewajiban utama yang perlu dilaksanakan
secara terus-menerus demi kemuliaan para leluhur dan keharmonisan hidup
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
bersama. Oleh sebab itu, hormat dan taat terhadap adat tidak sekedar
merepresentasi keyakinan masyarakat Ambon terhadap adat; akan tetapi menjadi
sebuah ekspresi religius masyarakat Ambon terhadap kemuliaan para leluhur.
Dengan kata lain, berbicara tentang adat berarti berbicara tentang
keyakinan dan kebiasaan hidup warga berdasarkan warisan para leluhur. Hal ini
ditegaskan oleh Frank L. Cooley dalam Ambonese adat (1962) ketika melakukan
pendefenisian terhadap konten adat orang Ambon. Menurut Cooley adat orang
Ambon merujuk pada “kebiasaan hidup para leluhur yang diwariskan secara
turun-temurun dari generasi ke generasi; atau ekspresi religius terhadap para
leluhur yang di dalamnya terkandung kekuatan supranatural yang termanifestasi
melalui objek-objek kosmik.70
Mencermati upaya pendefenisian adat seperti yang dilakukan oleh Cooley,
menghadirkan kekuatan wacana orientalisme Barat dalam adat Ambon. Penting
untuk digarisbawahi adalah kontribusi Cooley sebetulnya bukan terletak pada
sejauhmana adat Ambon terdefenisi melainkan sejauh mana wacana kolonialisme
Barat mengakar dalam adat Ambon. Untuk itu, pembicaraan mengenai adat
70 Frank L. Cooley (1962), Ambonese adat: a general description, USA: Yale UniversitySoutheast Asia Studies, Hlm. 2-3. Salah satu bentuk manifestasi kekuatan supranatural pada objekkosmik adalah gunung sebagaimana terdapat dalam kepercayaan penduduk lokal negeri Suli.Dalam tuturan sejarah pembentukan “negeri” Suli, para leluhur atau datuk-datuk yang berasal daripulau Seram mendiami pegunungan dan mendirikan pusat-pusat pemukiman di sana. Ada tigagunung yang dijadikan sebagai tempat kediaman mereka, yakni gunung Eriwakang,Amarumahtena, dan Amahuing. Masing-masing gunung mewakili setiap “soa”. “Soa Amalatuei”mendiami gunung Eriwakang, “soa Amarumatena” mendiami gunung Amarumahtena, dan “soaWainusalaut” mendiami gunung Amahuing. Dari ketiga soa tersebut, dalam perkembangannyaterjadi perpecahan terutama “soa Amalatui” dan membentuk soa baru yang dikenal dengan nama“soa Latusalamu” yang mendiami daerah Natsepa dan Waitatiri. Meski terjadi perpecahan dalam“soa”, akan tetapi dalam setiap ritual adat untuk mengundang kehadiran para leluhur yangdisuarakan hanyalah tiga gunung, tiga kapitan, dan tiga maresi, yakni Amalatuei, Wainusalaut, danAmarumahtena. “Soa Latuslamu” sendiri tidak diucapkan sebab menjadi bagian dari “soaAmalatuei”. Dituturkan oleh Aleks Sitanala, kepala soa Latuslamu dan ketua saniri negeri Suli,Wawancara, di Suli-Ambon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Ambon baiklah agar tidak dapat dibatasi hanya sebatas pengalaman mistik dengan
para leluhur; kebiasaan hidup para leluhur yang diwariskan turun-temurun
melainkan sejauh mana keyakinan tersebut dikonstruksi sebagai sebuah keyakinan
yang seakan-akan murni.
Tidak dapat dipungkiri bahwa adat memang menempati posisi sentral
dalam praksis hidup masyarakat Ambon. Bahkan muncul keyakinan internal
bahwa melalui adat ketertiban politik dan keharmonisan hidup akan lebih mudah
terwujud. Cara pandang semacam ini menyebabkan adat sangat dihormati dan
dijunjung tinggi. Adat sebagai warisan para leluhur bersifat mengikat dan
mewajibkan seluruh anggotanya untuk ditaati.71 Suatu nilai keutamaan yang wajib
ditaati oleh masyarakat Ambon secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Meski demikian perlu untuk selalu dipertimbangkan bersama adalah sumber
keyakinan tersebut; dari manakah seseorang dengan tegas membangunan
keyakinannya terhadap adat. Hal ini menjadi sangat penting untuk mengingatkan
kita untuk selalu menyadari bahwa segala-sesuatu yang diyakini kebenarannya
tidak pernah ada dengan sendirinya.
Terjadi perluasan makna adat menggiring pembicaraan mengenai adat
tidak lagi sekedar kebiasaan hidup yang merupakan warisan para leluhur; akan
tetapi secara kongkrit merujuk pada keinginan untuk menghidupkan kembali
“negeri” di wilayah kepulauan Ambon. “Negeri” dibedakan dengan model desa
yang lazim dikenal di Indonesia. Pembedaan tersebut didasari pada dua
argumentasi dasar, yakni: pertama, kata desa dalam kosmologi Ambon merujuk
71 Ibid., Hlm.5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
pada unit terkecil dari “negeri” yang disebut dusun; dan kedua, raja sebagai
kepala pemerintahan negeri yang dipercaya sebagai representasi kehadiran para
leluhur yang tidak dapat tergantikan oleh seseorang yang bukan berasal dari
turunan raja.
Cara pandang semacam ini sangat mempengaruhi keinginan para raja
menolak kebijakan negara mengenai undang-undang pemerintahan desa di
Ambon. Persoalannya, apakah antusiasme para raja dalam memperjuangkan
penetapan kembali “negeri” semata-mata demi klaim kemurnian nilai adat
ataukah sebaliknya malah mengakar pada upaya mereproduksi wacana
kolonialisme di Ambon? Pertanyaan semacam ini penting untuk diperhatikan
sebab akan sangat membantu saya dan pembaca sekalian untuk memahami
eksistensi adat Ambon. Dalam rangka memahami eksistensi adat Ambon dan
kemunculannya kembali, saya ingin menyelidiki secara singkat hegemoni wacana
kolonialisme di Ambon.
2.2.2. Adat Ambon dalam Wacana Kolonialisme
Berdasarkan laporan perjalanan yang ditulis oleh pater Marta, seorang
misionaris seperti yang dikutip oleh Leirissa dalam Ambonku (2004) menyatakan
bahwa:
Ambon tidak sama dengan Maluku, tetapi merupakan bagian darikepulauan itu. Selain Ambon, kepulauan itu terdiri dari Veranula(Hoanmoal), Homa (Oma atau Haruku), Liacer (Uliase atauSaparua), dan Ruscelao (Nusalaut). Pulau-pulau yang letak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
berdekatan itu sebagian berada di bawah Portugis dan sebagianlagi di bawah kekuasaan kafir dan Islam.72
Penegasan pater Marta tidak sebatas menegasi posisi demografi kota
Ambon, akan tetapi yang lebih penting adalah posisi pemerintah kolonial
(Portugis) selama berkuasa di Ambon. Secara etimologis kata Ambon sendiri
berasal dari bahasa Portugis, “Cidado de Amboyno” yang berarti “kota di pulau
Amboina” yang merupakan salah satu bagian penting dari benteng “Nossa
Senhora da Anunciada” (Kota Laha).73 Keberadaan benteng “Nossa Senhora da
Anunciada” yang didirikan pada 1575 menjadi salah satu bagian penting dari
sejarah perkembangan kolonialisme di Ambon. Benteng tersebut tidak sekedar
difungsikan sebagai pusat pertahanan Portugis di kota Ambon, akan tetapi
menjadi manifestasi kekuasaan kolonial di Ambon sejak 1515.
Kota Ambon di bawah kendali kekuasaan Portugis dimanfaatkan untuk
meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dari perdagangan cengkeh; termasuk
proyek evangelisasi Maluku melalui Fransiscus Xaverius, seorang misionaris dari
Ignatius Lojola pada 1546.74 Kekuasaan Portugis di Ambon semakin meluas
ketika Andrea Furtado, tiba di Ambon pada 9 Februari 1602. Selain memaksa para
raja di Jawa untuk hanya boleh berdagang dengan pemerintah Portugis; Furtado
ikut mendukung upaya kekristenan dengan memperluas daerah jajahan dan
konversi iman penduduk lokal melalui para raja (di antaranya adalah raja
72 R. Z. Leirissa, J. A. Pattykaihatu, H. Luhukay, Usman Talib, dan S. Maelissa (2004), Ambonku:Doeloe, Kini, Esok, Ambon: Pemerintah Kota Ambon, Hlm. 2173 Ibid.74 Georgius Evergardus Rumphius, Sejarah Ambon: peristiwa-peristiwa penting, baik dalam masadamai maupun masa perang sejak Nederlandsche Oost Indische Compagnie berkuasa di Amboina,Terj. Frans Rijoly dari judul asli De Ambonsche Historie, Hlm. 7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Nusaniwe dan raja Urimesing) ketika berhasil di bawah masuk ke dalam benteng;
termasuk rencana pembentukan sebuah dewan yang keanggotaannya terdiri dari
para raja.75
Apakah upaya-upaya semacam ini mencerminkan keberpihakan
pemerintah kolonial (Portugis) terhadap penduduk Ambon? Pada kenyataannya
apa yang diwacanakan oleh Portugis mengakar pada agenda penaklukan terhadap
penduduk Ambon. Nyatanya sejak abad ke-16 semua urusan pemerintahan di
Ambon masih tetap berada di bawah kendali Portugis melalui Sanco de
Vasconselos, seorang komandan pasukan (capitao) yang berdiam dalam benteng
“Nossa Senhora da Anunciada” (kota Laha).76 Secara khusus agenda
pembentukan sebuah dewan yang keanggotaannya terdiri dari pada raja pada
kenyataannya menjadi strategi taktis untuk bisa dengan mudah mengendalikan
dan mengawasi seluruh aktivitas penduduk lokal Ambon.77 Peran para raja meski
ada akan tetapi masih sebatas perpanjangan tangan pemerintah Portugis.
Di sisi lain terdapat perlawanan dari penduduk lokal, akan tetapi dominasi
kekuasaan pemerintah kolonial Portugis tidak surut. Wacana kolonialisme justru
semakin mengakar dalam masyarakat. Hal ini ditandai dengan adanya semacam
strukturisasi sosial masyarakat Ambon di era kolonial. Secara hirarkis orang-
orang Portugis (casado) menjadi kelompok kelas satu dan diikuti oleh kelompok
pendatang seperti kaum“Mahardhika/Mardika” yang tiba di Ambon pada 1575,
75 Georgius Evergardus Rumphius, Sejarah Ambon, Hlm. 11-1476 R. Z. Leirissa, J. A. Pattykaihatu, H. Luhukay, Usman Talib, dan S. Maelissa (2004), Ambonku,Hlm. 2577 Ibid., Hlm. 26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
serta penduduk lokal Ambon sendiri seperti Hatiwe, Tawiri, Halong, Nusaniwe,
Urimeseng, Waai, dan Soya.78 Kondisi semacam ini bertahan terus sampai pada
kedatangan VOC.
Anehnya perlakukan terhadap Portugis dan VOC sangat berbeda.
Kehadiran VOC di Ambon disambut baik oleh para raja seperti yang dituliskan
oleh Rumphius dalam catatan sejarahnya mengenai kota Ambon. Kondisi
semacam ini tentu bukan tanpa alasan. Terdorong oleh keinginan kuat untuk
mengusir pemerintah Portugis dari Ambon, para raja menggalang dukungan
politik dari VOC. Dari sini terbentuk semacam persekutuan politik antara
penduduk lokal Ambon dengan pemerintah Belanda. Melalui VOC wajah Ambon
sungguh-sungguh diubah menjadi pusat kekuasaan kolonial dengan tujuan agar
bisa dengan muda mengawasi jalur perdagangan cengkeh.
Tepatnya pada 21 Februari 1605 VOC tiba di Hitu-Ambon dan berhasil
merebut benteng Portugis di Laha.79 Benteng yang dahulu bernama “Nossa
Senhora da Anunciada” setelah jatuh ke tangan VOC pada 1605 diubah menjadi
benteng Victoria. Beteng tersebut di masa kekuasaan VOC dijadikan sebagai
pusat pemerintahan di bawah kepemimpinan gubernur Fredrik Houtman. Untuk
menarik dukungan warga Ambon, VOC membentuk suatu sistem pemukiman
bagi penduduk yang dilengkapi oleh pembangunan fasilitas jalan-jalan, rumah,
78 Ibid., Hlm. 22-2579 Georgius Evergardus Rumphius, Sejarah Ambon, Hlm. 21; Lihat juga R. Z. Leirissa, J. A.Pattykaihatu, H. Luhukay, Usman Talib, dan S. Maelissa (2004), Ambonku, Hlm. 29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
pasar, dan gedung-gedung seperti pusat pemerintahan dan rumah sakit.80 Bahkan
demi menjaga persekutuan dengan penduduk lokal, VOC membentuk
“Landraad”, sebuah dewan yang keanggotaannya terdiri dari para pemimpin Uli
(kepala negeri)”.81 Tujuannya tidak berbeda jauh dengan Portugis yakni agar bisa
dengan mudah mengawasi seluruh aktivitas penduduk lokal. Para pemimpin Uli
pun dijadikan sebagai kaki tangan bagi pemerintah kolonial.
Beberapa kebijakan lainnya adalah “heerendiensten” (kerja wajib) baik
untuk kepentingan VOC maupun kebutuhan para kepala negeri. Sistem
“heerendiensten” dikukuhkan dengan diberlakukan sistem Dati, yakni sistem
kerja wajib dari masing-masing keluarga di sebidang tanah dalam lingkup negeri
demi kepentingan kepala negeri dan benteng-benteng VOC, termasuk perbekalan
untuk “hongietochten” (perjalanan dinas untuk mengawasi negeri-negeri di
Ambon.82 Kondisi semacam ini bertahan hingga abad ke-19 ketika Belanda
memasuki Ambon.
Stratifikasi sosial semakin terkukuhkan melalui sistem pengelompokan
masyarakat ke dalam tiga kelompok, yakni “burger” (warga kota), “Inlandsche
Burger” (warga kota pribumi), dan “Europesche Burger” (warga kota Belanda).83
Demikian pula kondisi pemerintahan sipil. Meski wajah pemerintahan semakin
nampak melalui gouvernement der Molukken, akan tetapi sebetulnya hanya
80 R. Z. Leirissa, J. A. Pattykaihatu, H. Luhukay, Usman Talib, dan S. Maelissa (2004), Ambonku,Hlm. 42-5481 Ibid., Hlm. 5682 Ibid.83 Ibid., Hlm. 64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
merupakan strategi pemerintah kolonial untuk dapat mengatur dan mengawasi
seluruh aktivitas penduduk lokal. Keterlibatan para pemimpin Uli dan kepala
“negeri adat” tidak lebih dari kaki tangan pemerintah kolonial. Keterlibatan para
pemimpin Uli berfungsi sebagai representasi kekuasaan pemerintah kolonial
beserta seluruh agenda politiknya.
Meski wacana kolonialisme di sadari oleh masyarakat akan tetapi hal ini
tetap diterima seakan-akan tanpa persoalan. Hubungan politik antara penduduk
lokal dengan pemerintah kolonial Belanda seakan-akan menjadi prioritas utama.
Ironinya kontrak politik dengan pemerintah Belanda malah membuat orang lupa
diri ketika pemerintah kolonial memberikan sejumlah keuntungan politik kepada
penduduk lokal. Keuntungan politik tersebut hadir dalam bentuk status warga kota
yang dapat memungkinkan seorang warga pribumi menjadi pegawai pemerintah
yang bekerja di dalam benteng, dan dapat melakukan berbagai aktivitas seperti
yang dilakukan oleh warga kota lainnya.84
Mencermati situasi Ambon dalam wacana kolonialisme semacam ini, tidak
mengherankan jika wacana kolonialisme memberikan kenikmatan tersendiri
kepada penduduk lokal Ambon. Kenikmatan akan keistimewaan hak penduduk
lokal dalam dinamika kehidupan sosial dan politik di Ambon. Termasuk
eksistensi adat dan “negeri” yang ramai dibicarakan selama ini di Ambon. Apa
yang disebut adat tidak lebih dari produk wacana orientalis dalam merumuskan
dan mendefenisikan masyarakat Ambon. Rasionalitas barat memiliki peranan
besar dalam merumuskan adat beserta praktek-praktek kulturalnya. Sayangnya
84 Ibid., Hlm. 68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
polemik seputar peran penduduk lokal dalam eforia wacana kebangkitan adat di
Ambon tidak dibarengi oleh kesadaran kritis terhadap efek kekuasaan wacana
kolonialisme semacam ini. Konsekuensinya pembicarakan mengenai adat dan
kebangkitannya tidak ditempatkan sebagai upaya untuk meresistensi kekuasaan
dominan; melainkan terdorong untuk mereproduksi dan mengukuhkan mekanisme
kekuasaan dominan.
2.2.3. Polarisasi Agama dan Adat di Ambon
Di sisi lain, salah satu unsur penting yang tidak dapat diabaikan adalah
pengaruh kekristenan.85 Dominasi kekristenan terjadi melalui ajaran dan moralitas
yang lambat laun mempengaruhi praktek adat. Agama dan adat semakin sulit
dipisahkan. Terjadi polarisasi antara agama dan adat dalam praksis hidup sosial di
Ambon. Ada semacam pengabungan antara modernisme melalui agama dengan
tradisionalisme melalui adat. Salah contoh kongkrit yang saya jumpai ketika
berada di Ambon adalah keterlibatan pemuka agama dan tokoh adat dalam ritual
adat seperti dalam gambar berikut ini:
85 Frank L. Cooley (1962), Ambonese Adat: a general description, Hlm. 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Gambar 1: Pendeta bersama para kepala soa dalam upacara
adat di Baileo (rumah adat).
Polarisasi agama dan adat dalam perkembangannya memicu pro-kontra
antara golongan muda dan tua terkait wacana purifikasi kosmologi adat
“siwalima”. Hatib Adul Kadir dalam keteranganya menyatakan bahwa: “golongan
muda yang berpendidikan dan mempunyai orientasi nasionalisme berjuang untuk
melucuti agama dari keterikatan adat karena selalu berhubungan dengan dunia
tahyul, gaib, irasional, dan mistik. Akan tetapi golongan tua yang masih sangat
terikat dengan nilai-nilai tradisional justru tidak sependapat dengan golongan
muda.”86 Imaji nasionalisme tentang keindonesiaan dan tradisionalisme tentang
adat dipertentangkan. Namun yang lebih menarik dari pertentangan tersebut
86 Hatib Abdul Kadir, “Sapa bale batu, batu bale dia: politik revivalisme tradisi siwalima orangAmbon pasca konflik” dalam jurnal Lakon, Vol.1 Juli 2012, Hlm. 66
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
adalah keinginan untuk tetap berada dalam bayang-bayang wacana kolonialisme
dari pada dominasi Indonesia seperti yang ditegaskan oleh Hatib Abdul Kadir.87
Keinginan untuk tetap berada dalam wacana kolonialisme dari pada
dominasi Indonesia tidak terlepas dari warisan ideologi kolonial Belanda. Kondisi
semacam ini mencerminkan kenikmatan penduduk lokal terhadap wacana
kolonialisme Belanda. Hal ini ditegaskan pula oleh Dieter Bartles, seorang
peneliti berkebangsaan Belanda. Menurut Dieter Bartles, sejak pemerintahan
kolonial Belanda, penduduk lokal Ambon (terutama kelompok kristen) memiliki
hubungan istimewa dengan pemerintah kolonial Belanda. Hal ini ditandai oleh
kebijakan pemerintah kolonial Belanda merekrut kebanyakan orang Kristen
Ambon untuk bekerja entah sebagai tentara dan administrator, bahkan diberikan
izin khusus untuk bersekolah di sekolah Belanda sampai jenjang tertentu yang
bagi kelompok Muslim Ambon sangat dilarang.88 Kesempatan semacam ini
lambat laun membentuk sikap superioritas di kalangan penduduk lokal, terutama
kelompok Kristen Ambon.
Seiring dengan perjalanan waktu kelompok Muslim Ambon lambat laun
mulai menempati jajaran birokrasi politik. Terutama ketika diimplementasikannya
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1975 tentang pemerintahan daerah. Implementasi
kebijakan tersebut memberikan peluang besar bagi kelompok Muslim Ambon
87 Ibid.88 Dieter Bartels, Tuhanmu Bukan lagi Tuhanku: Perang Saudara Muslim-Kristen di MalukuTenggah (Indonesia) setelah hidup berdampingan dengan toleransi dan kesatuan Etnis yangberlangsung selama setengah Milenium, Terj. Ani Kartikasari dari judul Your God is No LongerMine: Moslem-Christian Fratricide in the Central Moluccas (Indonesia) after a Half-Millenniumof Tolerent Co-Existence and Ethnic Unity, Hlm. 5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
yang selama itu kurang diperhitungkan dalam struktur birokrasi politik di Maluku.
Tidak hanya kepada penduduk Muslim Ambon; akan tetapi menjadi peluang juga
bagi kelompok Muslim pendatang yang ada di Ambon. Perubahan-perubahan
semacam ini berdampak pada pergeseran kepemimpinan politik yang selama ini
lebih banyak di dominasi oleh penduduk lokal Kristen. Terutama kepemimpinan
politik yang didasarkan pada ikatan adat. Model demokrasi liberal yang lebih
menekankan nilai kebebasan individu dan kesetaraan hak menimbulkan
kegelisahan di kalangan tokoh adat dan elit lokal. Jabatan politik bukan lagi
menjadi kekuasaan mutlak melainkan menjadi hak setiap warga negara.
Perubahan-perubahan konstelasi sosial politik Ambon semacam ini
merembes sampai pada level pemerintahan “negeri” ketika status pemerintahan
“negeri-negeri” dikonversi oleh negara menjadi desa berdasarkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Pada kenyataannya
perubahan ini memicu reaksi protes di kalangan para pemangku adat di Ambon.
Implementasi kebijakan nasional tentang desa diklaim memiliki peranan besar
dalam penghancuran pranata adat di Ambon. Pada titik ini, kemunculan wacana
kebangkitan adat di Ambon bisa ditempatkan sebagai upaya untuk melindungi dan
menjaga keluhuran nilai-nilai adat yang diwariskan oleh para leluhur dari generasi
ke generasi. Sayangnya, untuk masa sekarang sikap ormat terhadap adat tidak
sebatas mencerminkan ekspresi religius masyarakat Ambon terhadap para leluhur;
melainkan cenderung difungsikan sebagai arena kontestasi kekuasaan politik dari
pada memperjuangkan kelestarian nilai-nilai adat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
2.2.4. Adat dan Hubungan Darah
Di tengah-tengah kegamangan masyarakat Ambon, kini adat dijadikan
sebagai tempat berpijak. Menghidupkan kembali hukum adat yang diwariskan
secara turun-temurun dan terlegitimasi melalui ikatan hubungan darah. Darah
melambang relasi sosial dan elemen penting dari identitas. Untuk itu tidak dapat
dipungkiri bahwa hubungan darah secara objektif juga merupakan hubungan
kultural untuk menegaskan identitas.
Senada dengan itu, Schneider seperti yang dikutip oleh Lawler dalam
Identity: sociological perspectives (2014) menyatakan bahwa:
A blood relationship is a relationship of identity. People whoare blood relatives share a common identity, they believe. Thisis expressed as ‘being of the same flesh and blood’. It is abelief in common biological constitution, and aspects liketemperament, build, physiognomy and habits are noted assigns of this shared biological makeup, this special identity ofrelatives with each other. Children are said to look like theirparents, or to ‘take after’ one or another parent or grandparent;these are conforming signs of common biological identity. Aparent, particularly a mother, may speak of a child as ‘a partof me (Schneider, 1968: 25).89
Meski tetap menyadari bahwa hubungan darah bukanlah satu-satunya
faktor penentu identitas seseorang, akan tetapi gagasan Schneider yang dirujuk di
sini memungkinkan kita untuk memahami bagaimana masyarakat Ambon
merumuskan realitas dirinya dalam konteks wacana kebangkitan adat. Hubungan
89 “Hubungan darah adalah hubungan identitas. Orang yang memiliki hubungan darah percayabahwa memiliki kesamaan identitas. Hal ini diekspresikan sebagai ‘being’. Ada pemahamanbahwa watak, kebiasaan, bentuk badan itu bisa diturunkan secara biologis. Anak-anak seringdikatakan mirip dgn orang tua mereka; hal-hal inilah yg meyakinkan adanya identitas biologis ygsama. Seorang ibu bahkan bisa menganggap anaknya sbg ‘bagian dari dirinya.’ (Schneider,1968: 25)”. Steph Lawler (2014), Identity, Hlm. 51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
darah dalam wacana kebangkitan adat Ambon tidak sekedar menegasikan
signifikansi hubungan kekerabatan, akan tetapi melandasi pula keistimewaan hak
penduduk lokal Ambon pada masa kini.
Hubungan darah melandasi cara penduduk lokal Ambon membedakan diri
dengan warga pendatang seperti etnis Tanimbar, Kei, Jawa, Arab, Cina, Bugis,
Buton dan Makasar. Hubungan darah juga melandasi penduduk lokal Ambon
membedakan diri sebagai anak adat dengan warga pendatang sebagai bukan anak
adat. Cara pandang semacam ini berfungsi secara efektif dalam konstruksi wacana
kembangkitan adat melalui pembicaraan seputar hak dan peran penduduk lokal
Ambon dalam dinamika politik lokal Ambon. Salah satu persoalan yang dihadapi
masyarakat Ambon saat ini adalah: apakah mereka yang bukan anak adat dapat
memimpin di daerah adat?
Di sisi lain, perlu disadari bahwa relasi antara adat dan hubungan darah
dalam kosmologi Ambon secara spesifik mengakar pada cara pandang struktural
yang tersusun secara hirarkis dari “rumahtau”, “soa”, “hena atau aman”, dan
“negeri”. Unsur yang pertama adalah “rumahtau”. Dalam paham orang Ambon
istilah “rumahtau” merujuk pada institusi keluarga yang keanggotaannya berasal
dari satu keturunan dan tersusun berdasarkan garis keturunan bapak.90 Fungsi
“rumahtau” adalah menyatukan tiap-tiap individu dengan status dan
wewenangnya masing-masing. Konsekuensinya, seseorang yang bukan
merupakan anggota “rumahtau” tidak memiliki hak apapun dalam “rumahtau”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Perluasan “rumahtau” terjadi melalui perkawinan. Melalui perkawinan
seorang anggota “rumahtau” akan memisahkan diri dari orang tuanya dan
membentuk “rumahtau” baru. Akan tetapi temuan Odo Deodatus Taurn
sebagaimana terungkap dalam Patasiwa dan Patalima (1918) penting untuk
dipertimbangkan. Paling tidak memahami praktek adat dalam perkawinan tidak
luput dari konstruksi sosial. Dalam keterangannya, Odo Deodatus Taurn
menyatakan bahwa sejak dahulu terutama dalam persekutuan “ulilima” seseorang
yang sudah menikah tidak akan diperbolehkan tinggal sendiri jika belum melunasi
harta kawin pihak perempuan. Untuk itu bagi kaum pria yang belum sanggup
membayar harta kawin maka diwajibkan bekerja untuk keluarga istrinya sampai
anaknya lahir sebagai tebusan harta kawin kepada pihak perempuan.91 Perluasan
“rumahtau” tidak hanya berkaitan dengan ritual perkawinan dalam masyarakat
adat. Pada masa sekarang ide “rumahtau” telah dimaknai secara baru sebagai
sebuah ideologi politik. Hal ini tercermin dalam ide “demokrasi rumahtau
perintah” yang merujuk pada kewenangan seseorang dapat dicalonkan dan
dipilih sebagai raja atau kepala pemerintahan hukum adat pada level “negeri”.
Lapisan berikutnya adalah “Uku” atau “Huku”. “Uku” merupakan bentuk
rumah tangga baru. Pemisahan ini terjadi selain karena anak-anak dalam keluarga
induk telah menganjak dewasa, telah menikah atau karena keterbatasan daya
tampung rumah; praktek semacam mengandung makna tersendiri. Terutama
terkait posisi dan kedudukan seorang “Upu”. Seorang “Upu” memiliki kekuasaan
91 Odo Deodatus Taurn (1918), Patasiwa dan Patalima: Tentang Pulau Seram di Maluku danPenduduknya, sebuah sumbangan untuk ilmu bangsa-bangsa, Terj. Frans Rijoly dari judul asliPatasiwa dan Patalima: Vom Molukkeneiland Seram und seinem Bewohnern, Hlm. 240
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
mutlak atas seluruh anggota “rumahtau”. Untuk itu dalam proses pembentukan
rumah tangga baru sangat perlu untuk mendapatkan izin dari “Upu”.92
Disebabkan oleh ketidakmampuan “Upu” dalam mengawasi rumah tangga-rumah
tangga baru maka seorang “Upu” akan mendelegasikan kekuasaannya kepada
“Tamaela”. Seorang “Tamaela” biasanya sangat ditaati sebab jika tidak akan
mendapatkan kutukan dari para leluhur.
Lapisan berikutnya adalah “Soa”. “Soa” merupakan persekutuan teritorial
terdiri dari persekutuan rumah tangga baru yang berbeda-beda dan mendiami
suatu wilayah tertentu di bawah pimpinan kepala soa. Melalui “soa” terbentuklah
“negeri” yang dipimpin oleh seorang raja. Raja merupakan seorang pejabat
tradisional yang bertindak sebagai kepala adat sekaligus sebagai kepala
pemerintahan dan bertanggungjawab untuk mendidik dan mewariskan adat
kepada generasi-generasi berikutnya.93 Seorang raja wajib mengenal warganya
dan “negeri” lain yang merupakan pela atau yang memiliki ikatan persahabatan
antara masyarakat suatu “negeri” dengan “negeri” lainnya.94
Ikatan persaudaraan ini diyakini telah ditetapkan oleh para leluhur sebagai
komitmen hidup bersama yang secara simbolik dinyatakan seperti dengan
meminum darah. Kesepakatan antar “negeri” lazim dikenal dengan sebutan
“hukum pela”. Hukum pela yang mengatur mengenai:
92 Ziwar Effendi (1987), Hukum Adat Ambon-Lease, Hlm. 2793 Abubakar Riry & Pieter G Manoppo (2007), Menatang Badai, Menabur Damai: Napak TilasRaja dan Latupati Merajut Kembali Jaringan Basudara, Hlm. 2094 Abidin Wakano (2012), “Maluku dan Keindahan Sejarahnya, Harmoni kehidupan MasyarakatMaluku yang berbasis kearifan lokal” dalam Josep Antonius Ufi & Hasbulla Assel (Edt), MengaliSejarah dan Kearifan lokal Maluku, Jakarta: Cahaya Pineleng, Hlm. 7-8; Lihat juga AbubakarRiry & Pieter G Manoppo (2007), Menatang Badai, Menabur Damai, Hlm. 133
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
1)Sesama pela tidak diperbolehkan menikah/kawin satu samalain hingga keputusan alam (meninggal dunia). Demikian pulaseorang anak perempuan yang kawin keluar pun tidakdiperbolehkan; 2). Memikirkan saja untuk jatuh cinta tidakdiperbolehkan sebab akan mendapatkan kutukan alam dan jiwadatuk-datuk akan menuntut dan memanggilnya; 3)Barang yangmenjadi kepunyaan Tounussa (kakak) juga menjadi milikLounussa (adik) dan juga sebaliknya; 4) Tidak boleh manarucuriga/ dendam atau amarah satu kepada yang lain, berdusta,terlebih-lebih menipu; 5) Harus saling membantu satu sama lain,permintaan jangan ditolak, perjanjian jangan diabaikan, danharus menepati janji; 6)Tidak boleh menolong orang lain lebihdari pada pelamu; 7)Tidak boleh meninggalkan/membiarkanyang sedang bersusah, membiarkan yang sedang susah sekalipunjangan; 8)Tidak boleh mempersalahkan dan dipersalahkan didepan umum; 9)Harus saling menyapa bila sedang bertemu dijalan dan lain-lain; 10)Tuhan Allah adalah bapa TounussaAmalatu dan Lounussa Amalatu yang menjadi pohon pela. TuhanYesus itulah saudara sulung Tounussa Amalatu dan LounussaAmalatu. Roh Kudus itulah penghibur dan pengingatan TounussaAmalatu dan Lounussa Amalatu dalam hidupmu. Pela atauperjanjian Tounussa/Lounussa ini tetap hidup untuk selamanya.95
Agar terus mempertahankan ikatan kekerabatan yang telah ditetapkan
bersama dalam hukum pela maka secara rutin dilaksanakan ritual panas pela
dengan melibatkan setiap rumah tangga pada masing-masing “negeri”. Dalam
perkembangannya, praktek semacam ini dimaknai secara lebih luas dengan
menonjolkan ide “pela gandong” untuk mencerminkan semangat persaudaraan.
2.2.5. Adat dan Persekutuan Teritorial
Selain hubungan darah, cara masyarakat Ambon membicarakan adat
adalah menghubungkannya dengan klaim kedaulatan teritorial. Ikatan teritorial
95 C. M. Pattiruhu (1997), Seri Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon, Ambon: LembagaKebudayaan Daerah Maluku, Hlm. 101
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
menjadi unsur pembeda antara penduduk lokal Ambon dengan warga pendatang.
Ikatan teritorial ini secara ekplisit termanifestasi dalam ide “siwalima” yang
merujuk pada persekutuan suku bangsa yang membentuk kesatuan sosial
tersendiri dan mengklaim diri berasal dari satu keturunan.96 “Siwalima” sebagai
suku bangsa ini terbagi juga atas dua kelompok teritorial yang disebut
persekutuan sembilan atau “ulisiwa” dan persekutuan lima atau “ulilima”. Setiap
persekutuan terdiri atas sejumlah “soa”. Dalam persekutuan “ulisiwa” terdapat
sembilan “soa” dan persekutuan “ulilima” terdapat lima “soa”.
Istilah “siwalima” selain menegasi ikatan atau persekutuan teritorial, di
sisi lain “siwalima” memiliki beragam penafsiran. Mula-mula “siwalima”
dipakai untuk membedakan aktivitas individu dalam masing-masing persekutuan,
baik persekutuan sembilan maupun persekutuan lima seperti yang diungkapkan
oleh Odo Deodatus Taurn dalam “Patasiwa” dan “Patalima” (1918).
Menurutnya: pengelompokkan masyarakat adat (seperti di Seram) dilakukan
berdasarkan aktivitas individu yang hidup dalam setiap persekutuan, baik
“patalima”, “patasiwa”, atau pun “patasiwa putih” dan “patasiwa hitam”.97
Secara khusus mengenai kelompok “patasiwa putih” dan “patasiwa
hitam” memiliki karakteristik yang berbeda. Misalnya kelompok “patasiwa
hitam” ditandai dengan aktivitas mencacah (atau mentato) tubuh sebagai simbol
96 J. Keuning (1973), Sejarah Ambon Sampai Pada Akhir Abad Ke-17, Jakarta: Bharatara, Hlm. 4-1797 Secara politis model pengelompokkan masyarakat Ambon dan Seram terdiri atas 4 (empat)kelompok yakni: kelompok pertama yang mendiami wilayah seram timur, kelompok adalahpatalima, kelompok ketiga adalah patasiwa putih, dan kelompok keempat adalah patasiwahitam....Lihat juga dalam Odo Deodatus Taurn (1918), Patasiwa dan Patalima, Hlm. 49-50
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
keanggotaan. Praktek semacam berkaitan dengan keanggotaan “Kakehan”, yakni
sebuah organisasi rahasia dan wadah pendidikan tradisional yang bertujuan untuk
membina para pemuda menjadi orang-orang yang bersikap patriotik, cerdas,
terampil dan berbudi luhur.98 Akan tetapi tanpa di sadari, model pengelompokan
masyarakat semacam ini malah menegaskan keunggulan identitas dan reputasi
kelompok “patasiwa hitam” dari para kelompok “patasiwa putih”.
Kesatuan “patasiwa hitam” dan “patasiwa putih” kemudian pecah
sehingga menyebabkan banyak kelompok “patasiwa putih” memisahkan diri.
Senada dengan itu, Frank L. Cooley dalam Ambonese adat (1962)
mengungkapkan bahwa: “patasiwa putih” pada awalnya berada dalam kesatuan
teritorial dengan kelompok “patasiwa hitam”, akan tetapi mengalami perpecahan
dan melakukan migrasi ke wilayah “patalima”.99 Migrasi tersebut melibatkan
juga suku Pataola dan Hatamalu. Suku Pataola terdiri dari Karlutu Kara, Karlutu
Warasiwa, Marehunu, Rumah Olat dan Neuetetu; sedangkan suku Hatamalu
terdiri dari Lumaweye, Pauni, Herelau dan Horali yang tersebar di utara
Patamanue, Palapa, Jalahatani dan gabungan dari Haya sampai Latan di pantai
selatan pulau Seram.100
Ide “siwalima” semakin mengalami perluasan makna. Sejak zaman
kolonial, penyebutan “siwalima” sebagai persekutuan adat dikaitkan pula dengan
upaya menentang kekuasaan kolonial Belanda di Maluku, terutama di Seram dan
98 Badut W. Andibya dkk (2008), The Wonderful Islands Maluku: Membagun kembali Malukudengan nilai-nilai dan khazana lokal, serta prinsip Enterpreneurial Government, beragam potensidan Peluang Investasi, Jakarta: Gibon Books, Hlm. 9199 Fank L.Cooley (1962), Ambonese Adat, Hlm. 15100 Odo Deodatus Taurn (1918), Patasiwa dan Patalima, Hlm. 51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Ambon. Bahkan perluasan makna “siwalima” terjadi pula ketika agama Barat
mulai masuk di Maluku. Pemahaman dan penggunaan “siwalima” mengalami
perubahan. Tidak lagi sebatas persekutuan adat melainkan difungsikan untuk
mengelompokan masyarakat berdasarkan agama. Persekutuan “siwa” kemudian
diidentikkan dengan Kristen dan persekutuan “lima” yang identik dengan Islam.
Dan dalam perkembangannya sekarang, ide “siwalima” kemudian menjadi
sangat berkembang ketika “siwalima” dipersepsikan sebagai semacam
persekutuan politik. Ada keyakinan bahwa “siwalima” sebagai akar budaya
masyarakat Maluku dapat menjadi dasar untuk membangun masa depan Maluku,
kerukunan dan perdamaian Maluku. Itulah sebabnya “siwalima” kemudian
dijadikan sebagai modal sosial dan modal politik bagi masyarakat dan pemerintah
provinsi Maluku dalam upaya pembangunan daerah Maluku.
Narasi pembentukan “siwalima” sebagai modal sosial dan politik dalam
membagun tentu tidak serta merta diterima begitu saja. Konstruksi “siwalima”
yang cenderung diesensialkan seolah-olah menggiring masyarakat pada satu
identitas tunggal dengan cara mengintegrasikan perbedaan-perbedaan yang ada.
Artinya, dengan menegasikan “siwalima” sebagai satu sistem budaya yang
merepresentasikan identitas masyarakat Maluku sebetulnya menegaskan upaya
kita untuk menafikan perbedaan dalam masyarakat yang makin plural.
Bahkan kemunculan wacana “siwalima” menjadi semakin problematis
dalam sejak tahun 2000/2001. Terjadi semacam penggabungan antara wacana
“siwalima” dengan sejumlah agenda pemerintah terkait upaya penerapan unsur-
unsur adat dalam wacana pembangunan daerah. Tepatnya pembangunan berbasis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
budaya lokal. Sayangnya dalam proses konstruksi “siwalima” semacam ini, tanpa
disadari penggunaan “siwalima” lambat-laun membidik klaim-klaim primordial
adat. Salah satu isu penting dari pembangunan berbasis budaya lokal adalah
munculnya wacana penetapan kembali “negeri” di Maluku, secara khusus di
Ambon.
2.3. Membidik Penetapan “Negeri” Adat di Ambon
Dalam lokalitas Ambon, wacana tentang adat semakin menggeliat
semenjak masyarakat Ambon berusaha bangkit dari keterpurukan akibat konflik
1999. Dengan kata lain, kemunculan kembali adat sebagai sebuah persoalan yang
penting dan relevan untuk dibicarakan mulai terjadi sejak konflik 1999. Konflik
sosial pada 1999 sungguh-sungguh menjadi momentum kebangkitan adat. Muncul
antusiasme masyarakat terhadap adat istiadat menjadikan adat seakan-akan
bangkit dari tidurnya yang panjang.
Kondisi semacam ini patut mendapatkan perhatian serius ketika hendak
berbicara tentang wacana kebangkitan adat di Ambon. Penting untuk
dipertimbangkan di sini adalah: Apakah konflik yang terjadi semata-mata hanya
karena benturan agama sebagaimana yang diamini oleh kebanyakan orang?
Sejauh mana konflik yang terjadi mempengaruhi antusiasme masyarakat untuk
kembali ke adat? Apakah antusiasme masyarakat untuk kembali ke adat
mencerminkan kehendak seluruh anggota masyarakat ataukah sebaliknya hanya
keinginan segelintir orang?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Kemunculan adat berdampak pada perubahan konstelasi sosial politik. Ide
awal kemunculan adat sebagai bagian integral dari upaya mewujudkan kembali
perdamaian akibat konflik, lambat laun mengalami pergeseran dengan membidik
penetapan kembali “negeri” sebagai pemerintahan hukum adat di Provinsi
Maluku, secara khusus di Ambon. Adat yang awalnya merupakan tradisi dan
kebiasaan para leluhur kemudian difungsikan sebagai instrumen penyelesaian
konflik sekaligus sebagai dasar untuk memperjuangkan penetapan “negeri-
negeri” adat di Ambon. Penetapan kembali eksistensi “negeri” merupakan
sebuah bentuk penolakkan terhadap implementasi Undang-undang tentang
pemerintahan desa karena diklaim memiliki peranan besar dalam penghancuran
“negeri-negeri” di Ambon.
Sistem penyeragaman budaya melalui kebijakan pemerintahan desa yang
mengedepankan kebebasan individu dan kesetaraan dalam kehidupan berpolitik
menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat Ambon. Pada titik ini persinggungan
kepentingan antara pusat dan daerah; Jakarta dan Ambon mencuat dan
melahirkan kekuatan baru yakni adat. Adat dipakai sebagai identitas kolektif
dalam perjuangan bersama. Adat dijadikan pula sebagai instrumen kekuasaan
untuk memobilisasi massa melawan negara. Dengan demikian, adat bukan lagi
sekedar tradisi melainkan mulai menyebar secara produktif dan berlaku universal
sebagai sebuah kekuatan politik di tengah-tengah kondisi masyarakat yang
semakin plural.
Upaya penetapan kembali “negeri” tidak terlepas dari peran para raja.
Fungsi raja dalam konteks ini tentunya tidak dibatasi pada fungsi tradisional raja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Fungsi seorang raja tidak sebatas penjaga adat yang bertanggung jawab kepada
masyarakat melalui badan saniri, akan tetapi sebagai “polisi adat”. “Polisi adat”
dalam pengertian bahwa: pengetahuan atas adat dan kemampuan untuk berbicara
atas nama adat menjadikan seorang raja bukan sekedar mengatur segala bentuk
ketidaknormalan dalam adat, akan tetapi punya kebutuhan untuk mengatur adat
melalui wacana adat yang berguna bagi masyarakat.101 Fungsi dan peran raja
semacam ini, sesungguhnya tidak menggeser peran tradisional seorang raja
melainkan semakin mengefektifkan kekuasaan raja dalam konteks kebangkitan
adat saat ini. Di sisi lain, upaya untuk menghidupkan kembali adat tidak terlepas
dari kesangsian orang Ambon terhadap warga pendatang. Tidak bersedia
membiarkan diri dipimpin oleh orang lain yang bukan berasal dari komunitas
masyarakat adat Ambon.
Persoalannya sekarang, Apakah dengan menghidupkan kembali adat
masyarakat Ambon akan semakin harmonis dan demokratis ataukah sebaliknya
upaya tersebut hanya sebatas kebutuhan dari kelompok-kelompok tertentu?
Apakah selama ini adat direpresi atau sebaliknya justru benar-benar dikondisikan
untuk mereproduksi mekanisme kekuasaan yang sedang dikritik? Pada titik ini
lagi-lagi persoalannya bukan terletak pada mendukung atau menafikan adat,
menyalahkan atau membenarkan adat, akan tetapi bagaimana adat dibicarakan?
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang adat sebetulnya
merepresentasi kebutuhan orang banyak untuk mengatur adat dengan tujuan
mengawasi individu-individu yang hidup dalam lingkaran adat.
101 Bdk., Michel Foucault (1997), Seks dan Kekuasaan, Hlm. 27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
2.4. Catatan Penutup
Bertolak dari seluruh uraian pada bab II, masyarakat Ambon sedang
diperhadapkan pada sebuah situasi dilematis. Kemunculan kembali adat
mengandung konsekuensi paradoks. Pada satu sisi, upaya merevitalisasi budaya
lokal dimaksudkan untuk tetap mempertahankan kelestarian adat dan masa
depannya; akan tetapi pada waktu yang sama mendorong masyarakat Ambon
jatuh dalam kendali wacana kekuasaan. Hegemoni kekuasaan dalam wacana
kebangkitan adat muncul ketika adat dijadikan sebagai kendaraan politik. Status
dan kekuasaan adat dilegitimasi oleh sejarah yang telah digariskan oleh para
leluhur.
Adat sebagai sebuah realitas simbolik mengikat setiap individu dan
mengandung kekuasaan serta ternaturalisasi berdasarkan tradisi yang diwariskan
turun temurun dari generasi ke generasi. Adat memuat kondisi ketidakbebasan,
kondisi kesadaran dan ketidaksadaran yang terjadi secara dialektik antara individu
dan masyarakat serta berfungsi untuk membentuk dan mengatur praktik hidup
masyarakat.102 Ada semacam struktur kognitif (atau habitus dalam pengertian
Pierre Bourdieu) yang mengikat individu-individu dalam masyarakat tanpa
disadari keberadaannya.103 Akibatnya wacana kekuasaan yang bercokol dalam
adat tidak lagi disadari keberadaannya.
102 Bdk., Bagus Takwin (2003), Akar-akar ideologi: pengantar kajian konsep ideologi dari Platohingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra, Hlm. 114103 Bdk., Pierre Bourdieu (1984), The Logic of Practice, terj. Richard Nice dari judul asli Le senspratique, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, Hlm. 28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Adat sungguh sangat menempati posisi sentral dalam kehidupan sosial
politik di Ambon. Adat sebagai sesuatu yang adiluhung dan memiliki kuasa untuk
mengikat setiap individu di dalamnya. Akibatnya, kerja adat akan semakin
diesensialkan dengan menafikan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan
bermasyarakat. Singkatnya, sesuatu yang dianggap tidak normal dalam koridor
hukum adat sesungguhnya sangat rentang menggiring orang jatuh dalam kendali
wacana kekuasaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
BAB III
KEBANGKITAN ADAT
DALAM PRAKTEK DAN WACANA ORANG AMBON
Uraian bab III akan membahas mengenai praktek wacana kebangkitan adat
di Ambon. Mula-mula akan diuraikan mengenai kelahiran wacana kebangkitan
adat. Pembahasan mengenai kelahiran wacana kebangkitan adat akan ditempatkan
dalam kaitannya dengan peristiwa konflik sebagai momentum kebangkitan adat.
Uraian dilanjutkan dengan memperhatikan dinamika perluasan dan perkembangan
wacana kebangkitan adat. Perluasan wacana kebangkitan adat ditandai oleh
pergeseran orientasi pembicaraan masyarakat tentang adat. Pembicaraan
mengenai adat tidak lagi sebatas konflik, melainkan meluas ke arah penguatan
keistimewaan hak-hak penduduk lokal. Pada bagian akhir, saya akan
membicarakan mengenai proses identifikasi diri dalam adat dengan melibatkan
penduduk lokal Ambon maupun dan warga pendatang yang berdomisili di
Ambon.
3.1. Momentum Kebangkitan Adat di Ambon
Sebelum membahas konten wacana, alangka baiknya untuk dipahami
penting untuk diketahui agar memungkinkan kita memahami secara jelas ruang
lingkup atau batasan wacana. Kapan dan bagaimana sebuah wacana muncul?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Sebuah pertanyaan mendasar yang menuntun penyelidikan ini untuk melacak
momentum sebuah wacana. Secara khusus, momentum wacana yang
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah momentum wacana kebangkitan adat di
Ambon.
Dalam rangka melacak momentum kebangkitan adat di Ambon, saya
bertolak dari realita kehidupan masyarakat Ambon pasca konflik 1999. Konflik
yang terjadi pada Januari 1999 di Ambon membawa perubahan yang cukup
signifikan dalam kehidupan sosial politik di Ambon. Perubahan ini ditandai oleh
pembicaraan masyarakat mengenai adat secara intens. Kemunculan adat mula-
mula ditempatkan dalam konteks penyelesaian konflik. Adat difungsikan sebagai
instrumen penyelesaian konflik untuk menyatukan kembali kubu-kubu yang
bertikai selama kurang lebih tiga tahun. Ada keyakinan bahwa melalui adat
pertikaian dapat dihentikan dan hubungan kekerabatan yang sempat renggang
akibat konflik dapat direkatkan kembali.
Di sisi lain, tanpa harus menafikan kontribusi adat dalam proses
penyelesaian konflik, penting untuk dipertimbangkan kembali pada kesempatan
ini adalah antusiasme menjadikan adat sebagai instrumen penyelesaian konflik.
Persoalannya bukan terletak pada perkara benar/salah atau pantas/tidak pantas
menggunakan adat sebagai instrumen penyelesaian konflik. Akan tetapi yang
patut dipertimbangkan kembali adalah mengapa para raja begitu antusias
menjadikan adat sebagai instrumen penyelesaian konflik? Cara pandang semacam
ini bertujuan untuk memungkinkan kita memahami kepentingan dan kebutuhan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
para raja menciptakan bahasa khusus untuk melegitimasi urgensi dan signifikansi
kemunculan adat di Ambon.
Terkait dengan keyakinan masyarakat terhadap adat, ada dua unsur
penting yang perlu diketahui bersama terkait upaya memposisikan adat sebagai
instrumen penyelesaian konflik. Pertama, adat diposisikan sebagai model
resolusi alamiah dengan tujuan untuk meretas kebuntuan pendekatan politik yang
diprakarsai oleh pemerintah pusat; dan kedua, membangkitkan memori kolektif
berdasarkan kesamaan identitas yang terikat dalam relasi hubungan darah. Untuk
memahami kedua alasan tersebut, akan dijelaskan secara rinci dalam uraian
berikut ini.
3.1.1. Rekonsiliasi Konflik dalam Konstruksi Adat
Sejenak menelusuri jejak sejarah konflik yang terjadi di Ambon, saya
diperhadapkan dengan rupa-rupa penafsiran atas peristiwa tersebut. Kelahiran
konflik mula-mula dipersepsikan sebagai akibat dari kegagalan pemerintah Orde
Baru terkait program transmigrasi nasional. Implementasi kebijakan tersebut
berdampak pada ketidakseimbangan komposisi jumlah penduduk. Secara khusus,
ketidakseimbangan komposisi jumlah penduduk di Ambon diklaim hanya
menguntungkan kelompok Muslim dan marginalisasi ekonomi-politik penduduk
lokal, terutama kelompok Kristen Ambon.104
104 Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia, Dinamika Konflik Dalam TransisiDemokrasi: Informasi Konflik dan Potensi Integrasi Bangsa, Hlm. 220
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Kondisi semacam ini menimbulkan krisis, prasangka, dan sikap saling
curiga antara kelompok Kristen dan Muslim dan berujung petaka pada Januari
1999. Perang saudara terjadi dengan mengatasnamakan agama. Sebuah pertikaian
yang pada awalnya hanya merupakan persoalan pribadi dengan sekejap berubah
menjadi pertikaian antaragama. Situasi semakin memanas pada Mei 1999 ketika
kelompok Laskar Jihad yang mengatasnamakan solidaritas Muslim tiba di
Ambon.105 Bahkan ketika harus berhadapan dengan kebijakan pemerintah pusat
yang mengirim lebih banyak pasukan militer dengan tugas untuk menembak mati
di tempat bagi siapa saja yang membawa senjata.106 Sejak saat itu, genjatan
senjata semakin tidak terkendali dan mulai menyebar ke seluruh wilayah Ambon.
Beberapa daerah yang menjadi titik-titik penyebaran konflik adalah “Batumerah,
kampung Mardika, dan penduduk sekitar Ambon yang beragama Kristen seperti
Galunggung, Ahuru dan Kebuncengkeh, serta Kuda Mati, Krangpanjang,
Blakangsoya, Skip, Waihaong, Waringin, Kampung Banda, Soabali dan wilayah
etnis Bugis-Buton-Makasar (BBM) yang mayoritas beragama Muslim”.107
Perang terjadi selama kurang lebih 3 (tiga) tahun tanpa ada pihak yang
keluar sebagai pemenang. Konflik sosial yang terjadi hanya menuai korban jiwa,
materi, penderitaan, kemelaratan dan pengungsian di mana-mana. Kondisi
semacam ini pada akhirnya menimbulkan kejenuhan dan mendorong berbagai
105 Dieter Bartels (2011), “Kebangkitan adat dan Lembaga kolonial dalam penyelesaian kerusuhanantara kelompok Muslim dan Kelompok Kristen di Ambon” dalam Martin Ramstedt & FadjarIbnu Thufail (Ed.), Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan kewarganegaraan pada MasaPasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, Hlm. 199-120106 Dieter Bartels, Tuhanmu Bukan lagi Tuhanku, Hlm. 3107 R. Leirisa (2000), “Kasus Ambon sebagai pilot project penyelesaian konflik SARA” dalamStanley (Ed.), Indonesia di Tengah Transisi. Jakarta: Propratria, Hlm. 56-57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
upaya untuk menghentikan konflik. Untuk pertama kalinya proses penyelesaian
konflik dilakukan dengan menggunakan pendekatan politik; namun sangat
disayangkan sebab hanya menuai kegagalan. Penempatan aparat militer dinilai
hanyalah omong kosong. Pihak militer dinilai segaja memelihara konflik bahkan
terlibat dalam merekayasa konflik seperti yang diungkapkan oleh Thamrin Amal
Tamagola.108 Meski pendekatan politik membuahkan kesepakatan bersama seperti
yang terungkap dalam piagam perjanjian Malino II; akan tetapi pada
kenyataannya tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan. Perjanjian Malino
dinilai terlalu sarat dengan kepentingan politik dari pihak-pihak tertentu.109
Perjanjian Malino II yang dihadiri oleh Yusuf Kalla (sebagai Menko
Kesra), Susilo Bambang Yudhoyono (sebagai Menko Polkam) dan Kapolri
Jenderal Da’I Bachtiar pada 12 Februari 2002 memuat 11 (sebelas) butir
perjanjian, antara lain:
(1) Mengakhiri semua bentuk konflik dan perselisihan; (2)Menegakkan supremasi hukum secara adil dan tidak memihak.Karena itu,aparat harus bertindak profesional dalam menjalankantugasnya; (3) Menolak segala bentuk gerakan separatis termasukRepublik Maluku Selatan; (4) Sebagai bagian Negara KesatuanRepublik Indonesia (NKRI), maka bagi semua orang berhakuntuk berada dan berusaha di wilayah Maluku denganmeperhatikan budaya setempat; (5) Segala bentuk organisasi,satuan kelompok atau laskar bersenjata tanpa ijin di Malukudilarang dan harus menyerahkan senjata atau dilucuti dan diambiltindakan sesuai hukum yang berlaku. Bagi pihak-pihak luar yangmengacaukan Maluku, wajib meninggalkan Maluku; (6) Untukmelaksanakan seluruh ketentuan hukum, maka perlu dibentuk timinvestigasi independen nasional untuk mengusut tuntas peristiwa
108 Rudolf Rahabeat (2004), Politik persaudaraan, membedah peran pers, Yogyakarta: Buku Baik,Hlm. 92109 Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia (2004), Dinamika Konflik Dalam TransisiDemokrasi: Informasi Konflik dan Potensi Integrasi Bangsa, Hlm. 239
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
19 Januari 1999, Front Kedaulatan Maluku, Kristen RMS, LaskarJihad, Laskar Kristus, dan pengalihan agama secara paksa; (7)Mengembalikan pengungsi secara bertahap ke tempat semulasebelum konflik; (8) Pemerintah akan membantu masyarakatmerehabilitasi sarana ekonomi dan sarana umum seperti fasilitaspendidikan, kesehatan dan agama serta perumahan rakyat agarmasa depan seluruh rakyat Maluku dapat maju kembali dankeluar dari kesulitan. Sejalan dengan itu, segala bentukpembatasan ruang gerak penduduk dibuka sehingga kehidupanekonomi dan sosial berjalan dengan baik; (9) Dalam upayamenjaga ketertiban dan keamanan seluruh wilayah danmasyarakat diharapkan adanya kekompakan dan ketegasan untukTNI/Polri sesuai fungsi dan tugasnya. Sejalan dengan itu, segalafasilitas TNI segera dibangun kembali dan dikembalikanfungsinya; (10) Untuk menjaga hubungan dan harmonisasiseluruh masyarakat, pemeluk agama Islam dan Kristen makasegala upaya dan usaha dakwah harus tetap menjunjung tinggiundang-undang dan ketentuan lain tanpa pemaksaan; (11)Mendukung rehabilitasi khususnya Universitas Pattimura denganprinsip untuk kemajuan bersama. Karena itu, rekruitmen dankebijakan lainnya dijalankan secara terbuka dengan prinsipkeadilan dan tetap memenuhi syarat keadilan.110
Meski kesebelas butir perjanjian Malino mencerminkan komitmen untuk
saling mengikat diri; akan tetapi secara de facto kondisi Ambon tidak berubah.
Hal ini ditandai dengan adanya insiden-insiden peledakan bom seperti yang terjadi
di depan hotel Amboina, pembakaran kantor gubernur Maluku, penyerangan desa
soya, dan pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS).111 Kedua belah
pihak (Kristen-Muslim) kembali saling menyalahkan satu sama lain. Untuk
mengatasi kebuntuhan tersebut proses rekonsiliasi lambat-laun mulai menyasar
kebutuhan menjadikan adat sebagai solusi alternatif dengan tujuan untuk
menggalang perdamaian. Pada titik ini, adat mulai diperhatikan dan dipikirkan
110 Abdul Haerah, “Isi Perjanjian Perdamaian Maluku di Malino”, diakses dari https://www.mail-archive.com/[email protected]/msg00035.html , pada 21 November 2014111 Rudolf Rahabeat (2004), Politik persaudaraan, membedah peran pers, Hlm. 91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
secara intensif oleh masyarakat Ambon. Ada kondisi di mana terjadi pengabungan
antara adat dan perdamaian. Penggabungan ini mencerminkan kebutuhan
menjadikan adat sebagai instrumen penyelesaian konflik dan sekaligus sebagai
solusi atas kebuntuhan pendekatan politik yang diprakarsai oleh pemerintah pusat.
3.1.2. Membangun Memori Kolektif Warga melalui Adat
Gagasan utama menempatkan adat sebagai model resolusi alamiah tidak
terlepas dari cara pandang penduduk lokal Ambon memaknai adat “siwalima”.
“Siwalima” dipahami sebagai spirit adat yang merepresentasikan masing-masing
persekutuan adat seperti yang telah diuraikan sebelumnya di bab II. “Siwalima”
berfungsi untuk membedakan aktivitas masing-masing persekutuan adat seperti
“ulisiwa”-“ulilima” sebagai persekutuan politik. Cara pandang ini berkaitan erat
dengan model penafsiran kontemporer terhadap “siwalima”.
Termasuk penempatkan “siwalima” sebagai dasar pengelompokan
masyarakat Ambon ke dalam sekat-sekat agama. “Siwalima” yang terdiri dari
persekutuan “ulisiwa” dan persekutuan “ulilima” difungsikan pula untuk
membedakan persekutuan “siwa” yang diidentikkan dengan komunitas Kristen
dan persekutuan “lima” yang identik dengan komunitas Muslim. Secara historis
penafsiran terhadap “siwalima” semacam ini berhubungan dengan pengaruh
wacana kolonialisme di Ambon. Secara khusus terkait sistem konversi agama
pribumi sejak zaman pemerintahan Portugis di Ambon pada abad 16.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Perubahan-perubahan semacam ini menegasi semacam upaya modernisasi
agama pribumi. Salah satu cara yang biasanya dipakai adalah melalui ritual
pembaptisan. Senada dengan sistem konversi iman melalui praktek pembaptisan
ini, Hatib Abdul Khadir dalam keterangannya mengenai “siwalima” Ambon
mengungkapkan bahwa:
Ritual baptisme melalui pemandian suci merupakan purifikasitubuh yang sekaligus membatasi manusia lama menjadi manusiabaru. Menjadi siap modern adalah beragama Kristen dan terpisahdengan masyarakat pagan sebelumnya. Terjadi ruang pemisahantubuh antara kelompok bersih dan suci (Kristen, Ambon danorang kota) dan kelompok kotor (Islam, pesisir, masyarakatpedalaman seperti di Alifuru). Pengalaman religius tidak pernahmandi suci memisahkan urban Kristen dengan mereka yangbelum pernah melakukannya, dan distereotipekan sebagaimanusia yang tidak tercuci (unwashed people) yang tidakbersih.112
Penegasan Hatib Abdul Khadir menegasi proses kontruksi “siwalima”
secara baru. Kebaruan tersebut di tandai dengan adanya perluasan makna
“siwalima” tidak lagi sebatas persekutuan adat ulilima” dan “ulisiwa” melainkan
menegasi polarisasi agama dan adat. Perkembangan agama berdampak terhadap
cara pandang masyarakat terhadap adat “siwalima”. Secara kongkrit hal ini
ditandai oleh pergeseran paradigma masyarakat memaknai “siwalima” bukan lagi
sebatas persekutuan adat melainkan persekutuan agama. Agama kadang-kadang
dinilai lebih modern atau rasional dari pada adat yang diklaim terlalu bersifat
mistik, gaib dan mengandung unsur-unsur tahyul. Bahkan untuk terhindar dari
112 Hatib Abdul Kadir, “Sapa bale batu, batu bale dia: politik revivalisme tradisi siwalima orangAmbon pasca konflik” dalam jurnal Lakon, Hlm 65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
ancaman roh jahat, agama dijadikan sebagai “jimat” untuk melindungi diri seperti
yang diamini oleh warga Maluku.
Polarisasi agama dan adat semacam ini sebetulnya tidak hanya
mempengaruhi pemaknaan masyarakat Ambon terhadap adat istiadatnya, akan
tetapi semakin mengukuhkan hegemoni wacana kolonialisme di Ambon. Hal ini
ditegaskan pula oleh Amal dalam Portugis dan Spanyol di Maluku (2010).
Menurut Amal, agama dijadikan sebagai:
Bantuan keamanan untuk menangkal serangan kerajaan-kerajaanbesar; loyalitas rakyat terhadap raja dan kepercayaannyamenyebabkan rakyat secara masal memberi diri untuk dibaptis;perkawinan campur antara perempuan pribumi dan pria Portugis;menjauhkan diri dari kekuatan roh-roh jahat seperti suwanggi,puntianak yang menurut keyakinan penduduk setempat tidakdapat mengganggu mereka yang sudah dibaptis seperti orangPortugis; ketakutan terhadap ancaman bencana alam sepertimeletusnya gunung merapi di Tobelo menyebabkan banyakpenduduk di Tolo dan Samafo dibaptis, dan menjauhkan diri darigangguan kesehatan berat yang dipercaya dapat diperoleh denganmendapatkan “air serani.”113
Universalisasi religiositas Barat tidak sekedar mempengaruhi adat istiadat,
akan tetapi berdampak pada relasi kekuasaan yang mengakar pada wacana
kolonialisme seperti yang ditegaskan oleh Edward Said terkait imaji Eropa
terhadap dunia Timur. “Bagi orang Eropa, Timur selalu dianggap sebagai daerah
jajahan mereka yang terbesar, terkaya dan tertua selama ini. Timur juga dianggap
113M. Adnan Amal (2010), Portugis dan Spanyol di Maluku, Jakarta: Komunitas Bambu danpemerintah kota Ternate, Hlm. 131-132. Istilah air serani atau biasanya disebut juga dengan istilahair baptis. Air ini merupakan simbol liturgis dalam Gereja Katolik berupa materi yang biasanyadipakai dalam setiap upacara liturgi Gereja. Kesucian dan kesakralan Air serani berasal dariurapan/berkat seorang imam. Untuk membedakannya dengan air pada umumnya maka air yangbelum diberkati oleh seorang imam tidak dapat disebut sebagai air suci dan tidak dapat dipakaiatau dipergunakan dalam acara liturgis gereja, seperti pembabtisan, pemberkatan rumah dan lainsebagainya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
sebagai sumber bagi peradaban dan bahasa Eropa, saingan atas budaya Eropa dan
sebagai bagian dari imajinasi Eropa yang terdalam. Timur adalah the other bagi
Eropa”.114
Polarisasi agama dan adat menunjukkan ketidakstabilan makna adat.
Kadang-kadang adat “siwalima” ditempatkan sebagai representasi persekutuan
adat, politik maupun agama. Oleh sebab itu, rasio pemisahan semacam ini masih
perlu dikaji lebih lanjut. Salah satu bentuk penafsiran sejarah yang ikut
mengkonstruksi model pengelompokan masyarakat berdasarkan identitas
keagamaan adalah catatan sejarah yang memuat kisah 3 (tiga) bersaudara yakni
ulisiwa, ulilima dan uliassa yang dipercaya sebagai nenek moyang suku Ambon
yang berdiam di gunung Nunusaku.115
Penafsiran semacam ini menegasi keterikatan masyarakat Ambon dengan
unsur-unsur biologis dan teritorial. Aspek biologis dan teritorial berfungsi untuk
menyatukan tiap-tiap individu dan mengingatkan akan adanya kesatuan
genealogis, bahasa dan etnisitas sebagai orang Ambon. Atas dasar itu,
pendefenisian model kesatuan sosial sejatinya tidak sekedar merepresentasikan
komunitas adat seperti “ulisiwa” dan “ulilima”, melainkan berkembang ke arah
pendefenisian masyarakat “siwalima” sebagai komunitas agama yang terikat
dengan relasi hubungan darah.
114Edward Saind (2010), Orientalisme: menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timursebagai Subjek, terj. Achmad Fawaid dari judul asli Orientalism, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,Hlm. 2115 Hatib Abdul Kadir, “Sapa bale batu, batu bale dia: politik revivalisme tradisi siwalima orangAmbon pasca konflik” dalam jurnal Lakon, Hlm 61
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Konstruksi adat semacam inilah yang coba dirangsang kemunculannya
dengan tujuan untuk membangkitkan kesadaran bahwa selama ini yang dianggap
musuh sejati adalah saudara yang terikat dalam relasi hubungan darah dan
teritotial. Atas nama adat, tidak lagi ada musuh melainkan satu bangsa, satu
bahasa, dan satu budaya. Inilah wajah riil adat yang dimunculkan dalam wilayah
konflik dengan tujuan untuk mewujudkan perdamaian di bumi Maluku.
Mengacu pada kedua argentasi di atas nampak bahwa kemunculan adat di
Ambon tidak terlepas dari situasi konflik. Konflik menjadi momentum
kebangkitan adat di Ambon. Pembicaraan mengenai adat secara spesifik
didasarkan pada sebuah pendasaran rasional atas penyelesaian konflik sehingga
dapat diterima oleh masyarakat. Lantas, apakah kemunculan adat terbatas pada
upaya penyelesaian konflik? Dalam perkembangannya kemunculan adat
mengalami perkembangan dengan begitu cepat. Kelahiran adat tidak sekadar
dijadikan sebagai instrumen penyelesaian konflik, akan tetapi lambat laun
berkembang ke arah mempersoalkan keistimewaan hak-hak penduduk lokal
Ambon. Beberapa upaya kongkrit yang menandai perkembangan wacana adat
semacam ini terjadi melalui kemampuan mereorganisasi diri, pelembagaan adat,
dan penguatan wacana adat melalui berbagai aturan atau norma adat.
3.1.3. Reorganisasi Diri atas Nama Adat
Dorongan untuk mereorganisasi diri atas nama adat tercermin dalam salah
satu pernyataan yang diungkapkan oleh Ichsan Malik, seorang fasilitator gerakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
perdamaian Maluku. Ichsan Malik dalam artikelnya Promoting dialogue untuk
resolusi konflik kekerasan masyarakat di Maluku (2009) menekankan pentingnya
mengintensifkan peran penduduk lokal Ambon dalam proses resolusi konflik.
Menurut Ichsan Malik:
Semuanya harus dimulai dari pelaku sekaligus korban konflik.Korban konflik yang sekaligus adalah pelaku konflik (combatant)harus menjadi subyek dari proses resolusi konflik. Mereka yangpaling terkena dampak konflik, dan oleh kerena itu mereka pulayang harus survive untuk menolong dirinya dan masyarakat.Pemberdayaan korban harus menjadi titik tolak untuk resolusikonflik. Mereka harus mampu menemukan kekuatan yang adadalam dirinya atau masyarakatnya. Serta menggali secara kreatifmekanisme-mekanisme yang ada di dalam dirinya ataumasyarakatnya sendiri untuk memproses resolusi konflik.116
Tendensi pernyataan tersebut tidak sekedar mendorong lahirnya berbagai
upaya penyelesaian konflik dari bawah, akan tetapi secara singnifikan ikut
mendorong kemunculan adat di Ambon. Secara implisit pernyataan Ichsan Malik
mencerminkan dorongan kuat untuk terus-menerus memikirkan dan
membicarakan adat. Secara khusus menyangkut persoalan bagaimana
mengintensifkan peran penduduk lokal melalui adat. Ada semacam dorongan
untuk memikirkan dan merumuskan realitas hidup berbasis adat. Konsekuensinya,
kemunculan adat di era tahun 2000-an berkembang dengan begitu cepat di
Ambon.
Percepatan perkembangan adat diindikasikan oleh kemampuan masyarakat
mereorganisasi diri atas nama adat dengan dibentuknya forum “Gerakan Baku
116 Ichsan Malik (2009), Promoting dialogue untuk resolusi konflik kekerasan masyarakat diMaluku, Hlm. 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Bae Maluku” pada 2002.117 Pembentukan forum “Gerakan Baku Bae Maluku”
diasumsikan sebagai gerakan bersama seluruh masyarakat dalam
memperjuangkan perdamaian dan hak-hak penduduk lokal. Sebagai forum
gerakan bersama untuk misi perdamaian Maluku, seluruh aktivitas “Gerakan
Baku Bae Maluku” selalu melibatkan para raja. Hal ini tercermin dalam setiap
pertemuan yang diselenggarakan baik di Bogor, Bali, Yogyakarta dan kota
Ambon sendiri.118 Kehadiran dan keterlibatan para raja dalam setiap agenda
pertemuan dinilai sebagai representasi aspirasi seluruh masyarakat. Untuk itu apa
yang dikehendaki dan diputuskan oleh para raja dipandang sebagai keputusan
bersama seluruh masyarakat.
117 Perlu diketahui bersama bahwa pada 14 Mei 2003 “Gerakan Baku Bae Maluku” telah diubahnamanya menjadi Institut Titian Perdamaian (ITP) dan bertempat di Jakarta. Dengan semangatkemanusiaan, keadilan, solidaritas, keragaman dan ikatan moral antar orang untuk bergerakbersama menjadikan “Gerakan Baku Bae Maluku” sebagai sebuah gerakan kemanusiaan yangmampu mengupayakan perdamaian di bumi Maluku. Beberapa aktivis “Gerakan Baku BaeMaluku” yang lazim dikenal adalah Ichsan Malik, Max Pattinaja, Prof.DR. Frans Limahelu,Boedhi Wijardjo, Dadang Trisasongko, Abubakar Riry, Mulyadi, Johari Efendi, Rolly Leatemia,dan Pieter G. Manoppo. Diakses dari: “Institut Titian Perdamaian”dalamhttps://www.facebook.com/pages/InstitutTitianPerdamaian/111939478888542?sk=info,diakses pada hari Senin, 29 Juli 2014, pukul 01.05 wib.118 Berikut ini dapat dilihat rangkaian pertemuan para raja yang difasilitasi oleh gerakan baku baeMaluku. Pertemuan pertama para raja pada tahun 2002 di Hotel Salak-Bogor, para raja danLatupati sepakat untuk menjadikan pendekatan kultural sebagai pilihan mendasar dan strategisdalam meresolusi konflik, terutama menghadirkan para raja dan latupati sebagai representasikomunitas kultural. Pertemuan kedua di Universitas Pattimura Ambon pada Januari 2003, agendapembentukan forum majelis adat (Latupati Maluku) semakin kuat terutama ketika mendapatkandukungan dari pihak luar seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X yang dihadirkan sebagai keynotespeaker. Pertemuan ketiga dilaksanakan di Yogyakarta pada akhir 2003. Berkat dukungan daripemerintah Daerah Maluku, maka disusunlah alat kelengkapan lembaga majelis adat berupaAD/ART, desain kerangka kerja, pembentukan tim 14. Pertemuan keempat dilaksanakan di HotelAmans Ambon, dengan agenda pemantapan ADRT oleh tim 14 sekaligus persiapan MusyawarahLatupati se-Maluku. Pertemuan kelima dilaksanakan di Ambon pada November 2006 denganagenda pembetukan komposisi dan personalia majelis Latupati beserta penetapan AD/ART. Danakhirnya dalam Musyawarah besar Latupati yang dilaksanakan di Baileo Siwalima Ambon pada13 April 2007 majelis latupati Maluku berhasil mendeklarasikan pembentukannya. Dari sinilahkemudian dibentuknya majelis Latupati tingkat kabupaten, terutama di wilayah kota Ambon.Dengan difasilitai oleh Institut Tifa Damai Maluku, pada tanggal 7 September 2008 majelisLatupati kota Ambon secara resmi terbentuk. Diakses dari: Profil Majelis Latupati Kota Ambon”dalam http://latupati.blogspot.nl/, diakses pada 3 Agustus 2014, pukul 22.10 WIB .
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Di sisi lain, terkait istilah “Baku Bae” yang direkatkan pada “Gerakan
Baku Bae Maluku” mengandung ajakan untuk berbaikan atau berdamai. Istilah
“Baku Bae” diambil dari khasana bahasa lokal berdasarkan kesepakatan bersama
para raja dan Latupati dalam pertemuan perdana yang diselenggarakan di hotel
Salak-Bogor pada 2002. Penggunaan istilah “Baku Bae” diharapkan dapat
membangun komitmen bersama menjadikan adat sebagai pilihan mendasar dalam
upaya penyelesaian konflik. Terutama dukungan simbolik seluruh masyarakat
kepada para raja dalam mewujudkan perdamaian di Maluku.
Persoalannya, sejauhmana keterlibatan para raja mencerminkan aspirasi
seluruh anggota masyarakat? Atau sebaliknya malah memanipulasi keinginan
masyarakat demi kepentingan-kepentingan politik? Memang tidak dapat
dipungkiri bahwa pembentukan “gerakan Baku Bae Maluku” merupakan
representasi komunitas kultural seluruh masyarakat. Misalnya keterlibatan para
raja (seperi raja Theresia Maitimu dan M. Nukuhehe) dalam pertemuan “Gerakan
Baku Bae Maluku” di Bali menjadi wujud kongkrit keterlibatan seluruh
masyarakat.119 Akan tetapi patut dipertimbangkan adalah sejauh mana aspirasi dan
kebutuhan warga terakomodir.
Selanjutnya perkembangan wacana adat melalui forum “Gerakan Baku
Bae Maluku” mengalami perluasan. Ekspansi “Gerakan Baku Bae Maluku” tidak
hanya bersifat lokal akan tetapi meluas ke tingkat nasional. Ekspansi adat di
tingkat nasional tercermin melalui keterlibatan tokoh-tokoh sentral. Salah satunya
119 Abubakar Riry & Oieter G. Manoppo (2007), Menatang Badai, Menabur Damai: Napak TilasRaja dan Latupati Merajut Kembali Jaringan Basudara, Hlm. 21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X yang dinilai memiliki kepedulian
terhadap kondisi masyarakat Maluku. Keterlibatan Sri Sultan nampak dalam
keikutsertaannya pada workshop “Gerakan Baku Bae Maluku” yang dilaksanakan
pada 4-11 Desember 2000 di Yogyakarta.
Keterlibatan Sultan sebagai tokoh kultural dan imaji kota Jogyakarta
sebagai kota budaya mendorong dilakukannya pengembangan jaringan kerja
kultural dan pelembagaan adat di Maluku. Terutama pengembangan jaringan
kultural pada level “negeri-negeri” adat beserta peran para raja sebagai kepala
pemerintahan negeri. Sebagai tindak lanjut dari upaya pelembagaan jaringan
kultural di Ambon diaktualisasikan melalui pembentukan Latupati, sebuah dewan
adat di mana keanggotaannya terdiri dari para raja. Selain itu, muncul pula
desakan penerbitan peraturan daerah di Kota Ambon mengenai adat. Upaya
pelembagaan jaringan kultural semacam ini dinilai oleh para tokoh adat sebagai
tindakan kongkrit untuk mempertahankan eksistensi Maluku sebagai salah satu
provinsi adat, atau negeri kepulauan raja-raja.120 Uraian lebih rinci mengenai
proses pelembagaan jaringan kultural di Ambon, akan dijelaskan dalam sub bab
berikut ini.
3.1.4. Pelembagaan Jaringan Kultural
Latar belakang pembentukan Latupati bertolak dari kondisi sosial politik
masyarakat Ambon sejak konflik 1999. Peristiwa konflik dinilai telah menciderai
120 Hans Suitela, raja negeri Suli, Wawancara, 23 Januari 2014, Suli Atas- Ambon
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
peradaban, budaya, adat istiadat dan hubungan kekerabatan yang telah sekian
lama terbentuk. Dalam rangka menyembuhkan luka tersebut pendekatan kultural
ditetapkan sebagai solusi alternatif untuk melakukan perubahan mendasar dengan
melibatkan para raja.
Selain itu, keterlibatan para raja dilatarbelakangi juga oleh pilihan
menjadikan adat sebagai modal sosial kultural dalam melakukan perubahan.
Keterlibatan para raja diyakini merupakan pilihan paling tepat sebab dipandang
sebagai pihak yang paling mengerti adat. Pengetahuan akan adat menjadikan para
raja mendapatkan prioritas dalam proses pembangunan. Untuk merealisasikan
tujuan tersebut maka para raja perlu dihimpun dalam satu wadah, ungkap Macfud
Nukuhehe, seorang aktivis “Gerakan Baku Bae Maluku”. Dalam pertemuan para
raja yang diselenggarakan di kampus PGSD Universitas Pattimura Ambon pada
Januari 2003 Macfud Nukuhehe menyatakan bahwa,
Pembentukan wadah Latupati sangat penting, apalagi denganpemberlakuan undang-undang otonomi daerah (OTDA) yangmengharuskan setiap daerah untuk menentukan nasibdaerahnya sendiri. Pembentukan wadah Latupati ini sangatpenting selain untuk memperkuat akar kebudayaan Malukujuga untuk mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah terkaitdengan masalah adat dan budaya setempat. Perlu ada wadahyang betul-betul mengetahui masalah adat di Maluku danbudaya Maluku……Saya kira yang lebih mengerti denganmasalah adat di Maluku lebih tepat melibatkan pararaja/Latupati.121
Nampak dengan jelas bahwa upaya pembentukan forum raja-raja menjadi
kebutuhan mendesak untuk segera direalisasikan. Setelah melalui proses yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
panjang agenda pembentukan Latupati berhasil dideklarasikan pada 13 April 2007
di mana keanggotaannya terdiri dari para raja. Tanpa menafikan struktur dan
seluruh jabatan politis dalam dewan Latupati, penting untuk digaris bawahi adalah
posisi para raja yang secara hirarki menempati posisi sentral dalam adat. Dalam
pelaksanaan tugasnya, raja dibantu oleh perangkat kelengkapan raja seperti:
“saniri rajapatti” seperti “kewang”, “saniri negeri”, “kapitan”, “tuan tanah”,
“kepala soa” dan “marinyo”. Masing-masing perangkat adat menjalankan tugas
perbantuan raja berdasarkan prosedur dan mekanisme adat. Gambaran pelaksaan
tugas dari para perangkat adat tersebut secaradapat dijelaskan berdasarkan gambar
berikut ini:
Gambar 2: Mekanisme prosedural pelaksanaan tugas perangkat adat dibawah kendali dewan Latupati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Masing-masing perangkat adat menjalankan tugasnya berdasarkan
mekanisme adat. “Saniri negeri” yang keanggotaannya terdiri dari para kepala
soa menjalankan tugas-tugas administratif pemerintahan negeri. Kepala soa
sebagai pemimpin setiap soa dalam negeri bertugas menjalankan tugas-tugas raja
ketik raja tidak ada ditempat, memimpin pekerjaan saniri dan menanggani acara-
acara adat. “Kewang” sebagai polisi hutan bertugas menjaga kekayaan sumber
daya alam dalam petuanan negeri. “Kapitang” sebagai panglima perang bertugas
mengatur strategi dan memimpin pada saat perang. “Tuan tanah” sebagai
pengatur hak-hak petuanan negeri terutama batas-batas tanah antar negeri.
Marinyo sebagai pesuruh raja bertugas menyampaikan berita yang berkaitan
dengan tugas-tugas pemerintahan negeri.
Pembentukan Latupati dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk
mengembalikan peran para raja yang dinilai semakin kehilangan peran akibat
intervensi negara secara berlebihan. Bentuk intervensi negara yang dinilai terlalu
berlebihan dalam konteks Ambon adalah kebijakan nasional melalui Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Konsekuensi dari
kebijakan tersebut adalah peran raja serta “saniri negeri” semakin pudar.
Termasuk sistem penyerangan budaya melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1979 telah menyebabkan kehancuran budaya lokal akibat perubahan status
“negeri-negeri” adat menjadi desa.
Klaim kehancuran adat dan marginalisasi peran para raja mengakar pada
kemapanan warga dalam menghidupi mekanisme pemerintahan “negeri”.
Penyelenggaraan pemerintahan “negeri” berada dalam kuasa dan kewenangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
para raja serta “saniri negeri”. Berdasarkan mekanisme hukum adat di Ambon,
penetapan bakal calon raja berasal dari tiap-tiap “soa” dalam “negeri”. Calon
tersebut kemudian diusulkan dan ditetapkan oleh para kepala soa yang merupakan
anggota resmi dalam forum “saniri negeri”. Untuk itu berdasarkan mekanisme
hukum adat Ambon, raja sebagai kepala pemerintahan negeri akan bertanggung
jawab sepenuhnya kepada rakyat melalui “saniri negeri”. Jadi dapat disimpulkan
bahwa secara simbolik “saniri negeri” merupakan representasi keterlibatan warga
dalam dinamika pemerintahan “negeri”.
Keterlibatan warga dalam dinamika pemerintahan“negeri” diwakili oleh
masing-masing kepala soa dalam struktur “saniri negeri” sebagaimana mana
nampak pada gambar berikut:
Gambar 3: Contoh stuktur kepemimpinan “saniri negeri”122
122 Struktur pemerintahan negeri dalam contoh tersebut di ambil dari struktur saniri negeri Suli.Suli terdiri dari empat kelompok soa yang masing-masing soa dipimpin oleh seorang kepala soa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Secara khusus mengenai posisi raja, pada level pemerintahan “negeri” raja
mengemban 2 (dua) tugas utama yakni sebagai kepala adat dan kepala
pemerintahan negeri. Dalam pelaksanaan tugas harian, raja dibantu oleh seorang
sekretaris dan kepala soa-kepala soa yang terorganisir dalam “saniri negeri”.
Masing-masing perangkat “negeri” bekerja berdasarkan mekanisme prosedural
sebagaimana tampak pada gambar berikut:
Gambar 4: Contoh struktur organisasi pemerintahan “negeri”123
Soa-soa tersebut antara lain: soa Latuslamu, soa Amalatuei, soa Wainusalaut, dan soaAmarumatena. Dari keempat soa tersebut, dalam struktur saniri negeri yang bertindak sebagaiketua soa adalah bapak Aleks Sitaneli yang berasal dari soa Latuslamu.123 Gambar di atas merupakan salah satu contoh gambaran struktural pemerintahan hukum adatpada level Negeri adat. Misalnya pada negeri Suli yang ditetapkan berdasarkan Peraturan DaerahKabupaten Maluku Tenggah No 16 tahun 2006 antara lain: Hans Suitela, S.Pd sebagai kepalapemerintahan negeri (Raja). S. Putinela, S.Sos sebagai sekretaris. John Suitela sebagai kaurpemerintahan, Daniel Pattisina sebagai Kaur pembangunan, Maks Latul sebagai kaur umum, NicTapilaha sebagai kaur kesra, Ny.J.E Tapilaha sebagai kaur keuangan. A.Sitanala dari soaLatuslamu, J. Pattirane dari soa Amalatuei, D. Lainsamputty dari soa Wainusalaut, dan F. Matitadari soa Amarumatena.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Struktur pemerintahan negeri semacam ini menjadi kerangka dasar
pelaksanaan tugas-tugas ke-negeri-an di Ambon. Akan tetapi penting untuk
dipertimbangkan bersama pada kesempatan ini adalah implikasi model
kepemimpinan struktral adat berpotensi menimbulkan dikotomi ruang politik
dalam struktur birokrasi politik lokal. Persoalannya adalah dapatkah seseorang
yang tidak memiliki hubungan darah dapat terakomodir dalam mekanisme
tersebut? Pada kenyataannya keterlibatan masyarakat pendatang menyisakan
persoalan tersendiri bagi penduduk lokal dalam konteks kebangkitan adat Ambon.
Meski antusiasme untuk kembali ke adat memberikan ruang khusus bagi
penduduk lokal Ambon, akan tetapi yang perlu dipertimbangkan bersama adalah
efek dari kerja adat yang terlalu memprioritaskan keistimewaan hak penduduk
lokal dalam mekanisme pemerintahan hukum adat. Terutama ketika harus
berhadapan dengan suara-suara lain yang bernada lebih oposisi. Oposisi dalam
pengertian bahwa resisten sebab pada kenyataannya di tengah-tengah antusiasme
menghidupkan kembali hukum adat muncul pula semacam wacana tandingan
yang secara kongkrit hadir melalui keinginan warga pendatang terkait
pembentukan desa administratif.
Wacana pembentukan desa administratif bermula dari ketidakpuasan
sebagian warga pendatang yang berdomisili di wilayah petuanan “negeri” adat.
Ketidakpuasan ini disebabkan oleh praktek ketidakadilan pemerintah negeri adat
dalam pembagian “kue pembangunan”. Praktek ketidakadilan pemerintah negeri
tercermin dalam pernyataan Josep Ufi, salah seorang konsultan dan fasilitator
pembentukan dewan adat Maluku dalam sesi wawancara. Menurut Josep Ufi:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Pada mulanya memang ada kegamangan dari negeri-negeri adat.Negeri induk membawai sekian puluh dusun, tapi de facto selamasekian tahun pembagian kue pembangunan tidak sampai kebawah, dia terhenti di desa induk/negeri/desa adat. Sehinggakepentingan tujuan nasional untuk mensejahterahan masyarakattidak jalan. Maka solusinya, dusun-dusun di bawah negeri itudimekarkan menjadi desa tetapi status desanya adalah desaadministratif yang dipimpin oleh kepala desa bukan raja.124
Gagasan tersebut kemudian dikonfirmasi lagi dalam wawancara dengan
sebagian warga pendatang yang telah lama berdomisili di Ambon. Diantaranya
adalah warga Larike, Tial dan Banda yang merupakan warga relokasi korban
kerusuhan pada 1999 yang berdomisili di petuanan “negeri” Suli. Munculnya
wacana pembentukan desa administratif dilatarbelakangi oleh praktek
pembangunan negeri induk yang tidak merata dan pendistribusian dana dan
bantuan sosial dari pemerintah seperti raskin, air, dan termasuk akses jalan desa,
muncullah keinginan untuk memiliki hak otonomi dalam mengatur rumah tangga
sendiri.125 Dari sinilah ide pembentukan desa administratif tercuat dengan tujuan
untuk melakukan pemekaran wilayah (dusun-dusun) yang berada dalam
konstruksi adat dalam bangunan demokrasi politik lokal di Ambon. Perjuangan
adat menolak dominasi kekuasaan negara terkesan hanya menyentuh lapisan atas
di Ambon. Bahkan imajinasi adat untuk mengsinkronkan tanggung jawab negara
dengan pranata adat guna mensejahterahkan masyarakat seakan-akan masih jauh
124 Joseph Antonius Ufi, Dosen FKIP Universitas Pattimura Ambon dan konsultan Institut TifaDamai Maluku, Wawancara, 22 Desember 2013, Galala-Ambon.125 Tos Walunaman, Dedi Rikumahu, dan Izak Aipassa, Wawancara, 20-25 Januari 2014, didaerah relokasi pengungsian Larike dan Banda di Ambon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
dari harapan. Oleh sebab itu, munculnya keinginan dari kelompok pedatang untuk
membentuk sebuah desa administratif menimbulkan pertanyaan kritis seputar
praktek dan wacana adat selama ini. Wacana kebangkitan adat Ambon secara
perlahan-lahan berkembang ke arah pembentukan keistimewaan hak-hak
penduduk lokal yang berpotensi nyata menjadi arena kontestasi kekuasaan politik
di Ambon.
Bahkan pembentukan dewan adat justru semakin menegaskan dominasi
wacana kekuasaan adat yang bekerja secara efektif melalui sarana, teknik, dan
prosedur-prosedur penerapannya. Pembentukan majelis adat hadir sebagai
manifestasi institusi kekuasaan yang mendorong intensitas pembicaraan
masyarakat mengenai adat, Serta mengawasi adat agar tidak terjadi
penyimpangan-penyimpangan. Dalam konteks inilah, wacana kekuasaan hadir
secara produktif membentuk rezim dogmatisme kebenaran adat. Konstruksi
wacana kekuasaan semacam ini pada akhirnya membentuk struktur kegiatan
manusia yang termanifestasi dalam aturan-aturan, hukum atau larangan-larangan.
3.1.5. Penguatan Kelembagaan Adat
Desakan pembentukan peraturan daerah mengenai adat dilatarbelakangi
oleh keresahan para raja. Keresahan ini berdasar pada asumsi akan bahaya
penghancuran pranata adat akibat sistem penyeragaman budaya. Penerapan model
pemerintahan desa berdampak pada penghancuran adat istiadat karena seakan-
akan tidak sesuai dengan cita rasa hukum adat yang berlaku. Untuk itu desakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
pembentukan serangkaian peraturan daerah (PERDA) mengenai adat di Ambon
dalam arti tertentu mencerminkan penolakan tegas terhadap kekuasaan negara.
“Ancaman terbesar yang dihadapi oleh masyarakat adat di Maluku adalah
proses Jawanisasi Maluku baik dalam bentuk kebijakan nasional mengenai
pemerintahan desa, program transmigrasi bahkan perkawinan yang terjadi antar
etnis”126 Oleh sebab itu pembentuan lembaga adat dan penetapan kembali
“negeri” adat dinilai sebagai langka tepat untuk menyelamatkan masa depan
masyarakat beserta adat istiadatnya. Dalam lokalitas Ambon istilah penetapan
kembali merujuk pada upaya kongkrit penduduk lokal Ambon menolak
pemberlakuan sistem pemerintahan desa di Ambon dengan menerapkan kembali
model pemerintahan “negeri” adat. Meski yang dimaksudkan di sini adalah
kembalinya kepemimpinan lokal berdasarkan hukum adat, akan tetapi patut
dipertimbangkan bersama adalah penetapan kembali “negeri” adat sesungguhnya
merujuk pada kondisi macam apa? Atau istilah penetapan kembali sebenarnya
kembali ke kondisi semacam apa?
Upaya para raja untuk memperjuangkan penetapan kembali “negeri” di
Ambon mendapat dukungan positif dari berbagai pihak. Salah satunya adalah
Early Warning System Conflic (EWSC). EWSC merupakan sebuah lembaga
swadaya masyarakat berfungsi untuk mengidentifikasi, mendeteksi dan
menganalisis bahaya terjadinya konflik-konflik baru.127 jaringan pengamatan dini
126 Hans Suitela, Raja negeri Suli, Wawancara, 23 Januari 2014, Suli Atas-Ambon127 “Institut Tifa Damai Maluku” diakses dari http://tifadamaimaluku.blogspot.com/, pada 15Februari 2015. Perlu diketahui bersama bahwa Early Warning System Conflic (EWSC) sebetulnyamerupakan embrio bagi kelahiran Institut Tifa Damai Maluku (ITDM) yang dibentuk pada 14April 2008. ITDM merupakan badan hukum yang bertugas untuk melanjutkan tugas-tugas EWSC.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
konflik, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menggelar pertemuan di
Kantor Desa Batumerah, Kecamatan Sirimau dengan tujuan untuk mendesak
segera ditetapkannya peraturan daerah mengenai adat oleh pemerintah kota
Ambon dan DPRD, sekaligus rancangan peraturan daerah mengenai proses
pemilihan raja.128 Keseriusan para raja memperjuangkan pembentukan tata aturan
hukum mengenai adat menjadi bukti kongkrit komitmen para raja menyelamatkan
adat istiadatnya dari kehancurannya. Hasilnya pada 2005, Pemerintahan Provinsi
Maluku menerbitkan Peraturan daerah No.14 tahun 2005 tentang penetapan
kembali sistem pemerintahan “negeri” di Maluku.
Peraturan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya
Peraturan Daerah Nomor 03 tahun 2006 pemerintahan “negeri” adat di Kabupaten
Maluku Tengah. Peraturan ini kemudian dijadikan sebagai payung hukum bagi
serangkaian peraturan daerah lainnya mengenai adat di kota Ambon. Beberapa
peraturan daerah tentang adat yang muncul setelah Peraturan Daerah Nomor 3
tahun 2006 adalah sebagai berikut:
Identitas PERDA Topik Utama PERDA
PERDA No.3 Tahun 2008 Peraturan tentang negeri di kotaAmbon
PERDA No.13 Tahun 2008 Peraturan tentang tata carapencalonan, pemilihan,pengangkatan dan pelantikanserta pemberhentian raja
PERDA No. 14 Tahun 2008 Peraturan tentang pedoman
Dalam perkembangannya sekarang ITDM lebih banyak dikenal oleh masyarakat Ambon dari padaEWSC.128 Abubakar Riry & Oieter G. Manoppo (2007), Menatang Badai, Menabur Damai, Hlm. 221-222
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
umum anggaran pendapatan danbelanja negeri
PERDA No.15 Tahun 2008 Peraturan tentang kedudukankeuangan raja dan saniri negerilengkap
PERDA No.16 Tahun 2008 Peraturan tentang pedomanumum administrasi negeri
PERDA No. 17 Tahun 2008 Peraturan tentang pedomanumum penetapan batas wilayahnegeri di kota Ambon
PERDA No.18 Tahun 2008 Peraturan tentang pedomanumum pembiayaan danpengawasan penyelenggaraanpemerintah negeri
Tabel: Peraturan Daerah Kota Ambon tentang adat di Ambon
Rangkaian PERDA adat sebagaimana tercantum dalam tabel di atas
menegaskan kemunculan adat dalam keseluruhan perjuangan para raja atas nama
adat; terutama antusiasme para raja se-kota Ambon untuk menghidupkan hukum
adat di wilayah kepulauan Ambon. Namun patut disayangkan bahwa dalam
perkembangannya justru menimbulkan persoalan tersendiri. Produk hukum
mengenai adat tidak hanya melindungi eksistensi hukum adat melainkan ikut
melegitimasi wacana kekuasaan adat dan menjadikan adat sebagai arena negosiasi
kekuasaan dalam dinamika kontestasi kekuasaan politik lokal di Ambon. Di sisi
lain gerakan perkembangan wacana adat di Ambon munculnya isu seputar
provokatif terkait wacana anak adat atau putra daerah. Akibatnya kehadiran warga
pendatang dalam lokalitas Ambon cenderung dipandang sebelah mata.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
3.2. Perluasan Wacana Kebangkitan Adat Ambon
Pergerakan adat tidak semata-mata mengacu pada kemampuan
mereorganisasi diri, melembagakan adat dan penetapan serangkaian norma adat.
Dari sisi perkembangan adat, terjadi semacam gerakan perluasan adat. Tindakan
perluasan adat terjadi melalui kemampuan melakukan sosialisasi nilai-nilai adat.
Sosialisasi nilai-nilai adat dalam pengertian ini perlu dipahami dalam konteks
perluasan prinsip-prinsip adat dengan menyasar pemahaman, pengertian dan
penerimaan adat sebagai nilai kebenaran utama yang wajib dilakukan bersama.
3.2.1. Mengembangkan Budaya Politik Berbasis Adat
Pembentukan masyarakat berdasarkan hukum adat merujuk pada model
pengelompokan masyarakat berdasarkan relasi hubungan darah yang terlokalisir
dalam lingkup “negeri-negeri” adat. Setiap “negeri” terdiri atas lima atau
sembilan soa dan memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri.
Itulah sebabnya “soa” sebagai persekutuan teritorial yang terikat dalam relasi
hubungan darah memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam kehidupan
sosial politik penduduk lokal di Ambon.
Secara khusus kehidupan sosial politik berdasarkan hubungan darah yang
teraktualisasi dalam ide “siwalima”. Untuk itu, meski “siwalima” pada dasarnya
merupakan representasi hubungan darah dalam bentuk soa, akan tetapi perluasan
prinsip-prinsip “siwalima” secara umum membentuk budaya induk yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
diharapkan dapat memayungi nilai-nilai kultural lainnya di Maluku.129 Asumsi
dibalik pembentukan “siwalima” sebagai budaya induk dilatarbelakangi oleh
keyakinan bahwa “siwalima” dengan sifat monodualistik mampu mengayongi dan
menyatukan seluruh perbedaan dalam keberagaman nilai dan budaya di Maluku.
Hanya ada satu sistem budaya masyarakat Maluku yakni sistem budaya
“siwalima”. Sistem budaya budaya “siwalima” melingkupi seluruh seluruh sistem
budaya di Maluku. Sistem budaya di luar sistem budaya “siwalima” yang ada di
Maluku, di antaranya: “Rentemena Barasche” dari pulau Buru; “Saka Mese
Nusa” dari Seram Bagian Barat, “Pamahanu Nusa” dari Maluku Tengah, “Itu
Wotu Nusa” dari Seram Bagian Timur, “Manggurebe Maju”, dari Kota Ambon,
“Kalwedo Kidabela” dari Maluku Tenggara Barat, “Larwul Ngabal” dari Maluku
Tenggara, “Maren” dari kota Tual, “Ursiu Lurlima” dari kepuluan Aru”.130
Sistem budaya “siwalima” sebagai budaya politik meski sudah berkembang lama
di Maluku, akan tetapi terkesan masih sebatas mistifikasi. Ada ketidakjelasan
pembahasan mengenai “siwalima”, batasan dan ruang lingkupnya ketika harus
diperhadapkan dengan identitas kultural masing-masing daerah di Maluku.
Persoalannya adalah mengapa harus “siwalima” dan bukan identitas kultural
lainnya?
Secara historis penggunaan “siwalima” sebagai budaya politik dalam
lingkup daerah Maluku telah dimulai sejak 1952 ketika “siwalima” digunakan
129 Joseph Antonius Ufi, Dosen FKIP Universitas Pattimura Ambon dan pengamat budaya sertakonsultan Institut Tifa Damai Maluku, Wawancara, 10 Januari 2014, Galala- Ambon130 Lembaga Kebudayaan Maluku (2011), Citra Budaya Maluku dalam pola pemahaman sistemik,Ambon: Lembaga Kebudayaan Maluku & Pemerintah Provinsi Maluku, Hlm. 11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
sebagai lambang provinsi Maluku. “Siwalima” dipakai untuk menghadirkan
identitas kultural masing-masing daerah di Maluku sebagaimana nampak dalam
perisai/logo pemerintah Provinsi Maluku berikut ini:
Gambar 5: Lambang Perisai “Siwalima” Provinsi Maluku131
Secara harafiah pemaknaan “siwalima” dilakukan berdasarkan penafsiran
atas karakteristik masing-masing daerah di Maluku, seperti daun sagu, daun
kelapa, mutiara, tombak, pala/cengkeh, gunung, laut dan perahu. Masing-masing
bagian dari perisai mencerminkan keunikan dan keragaman budaya masyarakat
Maluku antara lain:
“Daun sagu yang berjumlah 45 melambangkan daya hidup dansagu adalah makanan khas orang Maluku. Daun kelapa yangberjumlah 17 melambangkan hasil bumi masyarakat MalukuUtara. Mutiara yang berjumlah 8 melambangkan hasil kekayaanlaut masyarakat Maluku Tenggara, khususnya masyarakatkepulauan Aru. Pala dan cengkeh melambangkan daerah Malukusebagai kepulauan rempah-rempah. Tombak melambangkankemampuan dan tekad untuk mempertahankan hidup. Gunungmelambangkan daerah Maluku Tengah, Maluku Tenggara,Maluku Utara yang bergunung dan kekayaan hasil hutan yangmelimpah. Laut melambangkan kekayaan hasil laut dengan 9gelombang yang melambangkan patasiwa dan 5 gelombang yang
131 “Lambang Siwalima”, diakses dari http://www.malukuprov.go.id/index.php/2014-01-29-11-12-57/arti-lambang, pada hari sabtu 23 Agustus 2014, 05:12 wib
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
melambangkan patalima sebagai dasar susunan kesatuanmasyarakat adat Maluku. Perahu melambangkan pemerintahanyang didasarkan pada persatuan dan kekeluargaan menujukemakmuran”132
Pemaknaan atas “siwalima” sebagaimana yang dikemukakan di atas tentu
akan menjadi lumrah ketika direduksi sebatas objek material setiap elemen pada
perisai “siwalima”. Persoalan tersebut berkaitan dengan pembentukan makna
“siwalima” sebagai budaya birokrasi yang diharapkan agar tidak hanya sebatas
simbol atau lambang belaka, melainkan dapat memberikan ruang kepada seluruh
masyarakat untuk dapat terlibat dalam kehidupan berpolitik.
Sayangnya, tingkat partisipasi warga dalam dinamika politik lokal
cenderung masih direduksi berdasarkan mekanisme hukum adat. Mekanisme adat
hanya diperuntukan bagi anak adat atau penduduk lokal Ambon. Oleh sebab itu
mekanisme adat yang diharapkan dapat mengakomodir peran-peran warga
pendatang dalam kehidupan berdemokrasi, secara khusus pada level “negeri”
pada kenyataannya masih sulit terjadi. Tidak sebatas terjadi penonjolan identitas
melainkan munculnya dikotomi ruang politik atas nama adat. Berdasarkan kondisi
semacam ini patut untuk dipertimbangkan adalah sejauhmana kemunculan adat
mampu mengefektifkan peran serta masyarakat tanpa harus membeda-bedakan
ras, agama dan etnis dalam dinamika politik lokal? persoalan ini berhubungan
dengan legitimasi adat sebagai budaya politik berdampak pada pembentukan
132 Badut W. Andibya (2008), The wonderful Islands Maluku: Membangun kembali Malukudengan nilai-nilai dan khazanah lokal, serta prinsip enterpreneurial government, beragam potensidna peluang investasi, Jakarta: Gibon Group Publications, Pusat studi korporasi Indonesia danPemerintah Provinsi Maluku, Hlm. 115-116
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
ruang politik tunggal dan penonjolan identitas penduduk lokal Ambon dalam
ruang publik
Di sisi lain, penerapan model “demokrasi soa parentah” dengan tujuan
untuk mencapai ideal demokrasi pada kenyataannya menimbulkan konsekuensi
problematik.133 Pada satu sisi ide “demokrasi soa parentah” bertujuan agar
memberikan ruang kepada masyarakat daerah dalam mengurus rumah tangga
sendiri berdasarkan adat istiadat. Akan tetapi di sisi lain, penerapan “demokrasi
soa parentah” menimbulkan potensi menafikan keterlibatan orang lain yang
bukan merupakan anggota masyarakat terlibat dalam praktek adat. Mekanisme
adat pada dasarnya tidak memungkinkan keterlibatan orang lain di luar anggota
komunitas adat. Hak dan kekududukan adat adalah hak dan tanggungjawab setiap
anggota masyarakat adat (anak adat) dalam lokalitas Ambon.
Pertanyaannya sekarang, apakah wacana kebangkitan adat bertujuan untuk
meresistensi mekanisme kekuasaan negara yang dikritik melalui penetapan
kembali negeri ataukah malah melipatgandakan mekanisme kekuasaan yang
sedang dikritik? Pembentukan formasi hegemonik pada dasarnya tidak
dimaksudkan untuk menciptakan dominasi baru dalam ruang politik, melainkan
mengefektifkan perjuangan politik sendiri. Untuk itu, partisipasi setiap warga
133 Pada kenyataannya model “Demokrasi Soa Perintah” masih dibedakan dengan model“demokrasi rumahtau perintah”. Meski kedua model tersebut mengacu pada legitimasikepemimpinan adat berdasarkan hubungan darah, akan tetapi secara radikal model demokrasirumahtau perintah lebih menitik beratkan pada rumahtau (keluarga) dari garis keterunan raja.Selain itu, pada kenyataannya model demokrasi soa perintah pada umumnya dapat ditemui dikebanyakan negeri-negeri adat Kristen, sedangkan model demokrasi rumahtau perintah lebihbanyak dapat dijumpai pada negeri-negeri adat Islam…….Disampaikan oleh Bapak AbdullahMalawat, raja negeri Mamala dan mantan ketua dewan adat Maluku (Latupati), Wawancara, 19Januari 2014, Mamala-Ambon
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
patut dipertimbangkan dalam keseluruhan bangunan demokrasi adat agar sebagian
warga tidak hadir sebagai penonton.
3.2.2. Mengintensifkan Kepemimpinan Lokal
“Di tiap-tiap daerah katakalan yang bukan anak adat itu dia supimpin. Apakah suatu ketika torang harus lihat yang bukanorang adat ini harus pimpin di daerah adat?” 134
Penggalan kutipan di atas mencerminkan kecemasan dan kekuatiran
mendalam dari para tokoh adat di Ambon. Kecemasan tersebut berkaitan erat
dengan posisi anak adat/putra daerah dalam dinamika politik Ambon. Nomen
klatur anak adat pada akhirnya menjadi bola panas bagi pemerintah kota Ambon
dan pemerintah provinsi Maluku. Tidak sebatas melegitimasi penyelenggaraan
pemerintahan hukum adat pada level “negeri” sebagai kesatuan masyarakat
hukum adat, akan tetapi mempertimbangkan kembali posisi anak adat/putra
daerah yang dinilai sekan-akan mengalami kehilangan peran. Dalam konteks itu,
isu “Jawanisasi Indonesia” melalui sistem penyeragaman budaya kiranya tepat
untuk menyebutkan keresahan dan kegelisahan tokoh adat terkait wacana
kebangkitan adat Ambon. Peran negara terkait implementasi Undang-Undang No
5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa sejak rezim Orde Baru Suharto dinilai
memiliki peranan besar dalam penghancuran tatanan adat dan sistem
kepemimpinan lokal.
134 “Pada kenyataannya, banyak daerah telah dipimpin oleh mereka yang bukan berasal darikelompok masyarakat adat. lantas, apakah suatu ketika kita harus menyaksikan di mana merekayang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat harus memimpin di daerah adat?”. Alekssitanala, Ketua Saniri Negeri Suli, Wawancara, 5 Januari 2014, Suli Bawah-Ambon
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
Solidaritas kultural lantas ditransformasikan menjadi solidaritas politik
yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politik. Belum lagi kewenangan adat
yang tidak lagi berada pada kendali aparat negeri seperti “saniri negeri”
melainkan pada negara. Negara melalui UU No 5 Tahun 1979 dianggap telah
menghancurkan nilai-nilai kearifan lokal, secara khusus peran-peran penduduk
lokal. Kondisi semacam ini pada kenyataannya menimbulkan kecemasan di antara
para pemangku adat Maluku sebagaimana tercermin dalam salah satu kutipan
berikut ini yang dikemukakan oleh Abdullah Malawat, raja dan tokoh adat
Maluku. Menurut Abdullah Malawat:
“Katong harus hati-hati terhadap undang-undang tentang desa.Kalo seng hati-hati, orang Maluku akan dipimpin oleh orangbukan Maluku, bisa menjadi kepala desa. Walaupunpemekaran dusun jadi desa, tapi harus ada pernyataan denganmereka, bahwa menyangkut adat istiadat adalah tetap negeri.Raja-raja harus ambil sikap”.135
Apa yang telah ditegaskan di atas sejatinya merepresentasikan keinginan
kuat para raja untuk mendapatkan pengakuan terhadap peran-peran penduduk
lokal Ambon. Peraturan daerah Provinsi Maluku No.14 tahun 2005 tentang
penetapan kembali negeri akhirnya menjadi payung hukum atas pengakuan
eksistensial atas negeri-negeri adat yang dijabarkan dalam Peraturan daerah kota
Ambon No 3 tahun 2008 tentang negeri di kota dan rangkaian peraturan daerah
lainnya yang mengatur mengenai negeri adat.
135 “Kita harus hati-hati terhadap kebijakan pemerintah melalui UU No.5 Tahun 1979 tentangpemerintahan desa. Jika hal ini tidak diperhatikan, masyarakat Maluku akan dipimpin olehmereka yang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat, mereka bisa menjadi kepala desa.Meski pemekaran dusun menjadi desa, akan tetapi harus dibuat semacam perjanjian denganmereka bahwa menyangkut adat istiadat tetap berada di bawah kewenangan negeri. Untuk itu,para raja harus mengambil sikap tegas”. Abdullah Malawat, Raja Negeri Mamala dan MantanKetua Latupati Maluku, Wawancara, 19 Januari 2014, Mamala-Ambon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
Formasi hukum yang mengatur mengenai karakteristik penyelenggaraan
pemerintahan hukum adat menanamkan kewajiban bagi seluruh anggota
masyarakat untuk senantiasa menjunjung tinggi dan menghormati adat istiadat.
Demikian pula titik kompromis politik yang mendasari pengakuan eksistensial
terhadap keistimewaan hak-hak penduduk lokal atau anak adat. Tuntutan menjadi
sebuah masyarakat yang otonom dalam mengatur rumahtangga sendiri
berdasarkan adat istiadat menegasi pentingnya pengakuan atas kepemimpinan
anak adat. Anak adat dalam pengertian genealogis teritorial yang berasal dari
kelompok masyarakat Ambon.
Berhadapan dengan kondisi semacam ini, persoalan apakah mereka yang
bukan anak adat dapat terlibat secara aktif dalam dinamika politik lokal seakan-
akan menjadi utopis dalam wacana adat. Proses identifikasi diri antara lokal dan
pendatang pada akhirnya tunduk pada mesin adat. Adat sebagai budaya politik
lokal mendasari kehidupan berdemokrasi di Ambon. Pengakuan akan peran anak
adat tetap menjadi nilai utama yang tidak dapat ditawar meski pada waktu yang
sama pengakuan tersebut menjamin dominasi dalam wacana kekuasaan di tingkat
lokal. Ide ini sejalan dengan mekanisme adat yang mengusung model “demokrasi
soa parentah” sebagai logika politik dalam membangun masyarakat.
Pentingnya saling pengakuan antara penduduk lokal dan pendatang
mengandung semacam kewajiban untuk bersedia menghormati mekanisme adat.
Hal ini disampaikan sebagai bagian dari cara untuk mendorong adanya
penghormatan dari warga pendatang terhadap mekanisme adat yang berlaku di
Ambon. Ada batasan-batasan tertentu yang perlu dihormati oleh warga pendatang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
seperti yang diungkapkan oleh Aleks Sitanala dalam sesi wawancara di Ambon.
Menurut Aleks Sitanala:
“Katong seng bisa menghindar dari situ karena sudahmembaur. Anak adat dengan masyarakat bukan adat sudahhamper lima puluh-lima puluh...Aturan tidak bisa membatasi.…katong semua anak negeri, namun beta harus minta tolong,pada saat tertentu katong seng bisa menyatu dalam adat”.136
Di sisi lain, pentingnya pengakuan terhadap kepemimpinan anak adat
berdasar pada bayang-bayang akan kemunculan kembali konflik sosial. Untuk itu,
penerapan model demokrasi yang mengutamakan persamaan hak dalam berpolitik
diharapkan agar senantiasa mempertimbangkan mekanisme adat yang selama ini
diyakini, dihidupi, dan dijalankan oleh masyarakat di Ambon. Perubahan-
perubahan ke arah kehidupan masyarakat demokratis sebagaimana yang
diharapkan oleh pemerintah meski cukup beralasan, akan tetapi bagi masyarakat
Maluku sendiri perubahan-perubahan tersebut seakan-akan menjadi bumerang.
Bumerang dalam pengertian bahwa dapat menjadi pemicu munculnya berbagai
benturan kepentingan yang membahayakan masyarakat Maluku sendiri seperti
yang ditegaskan oleh Abdullah Malawat. Menurut Abdullah Malawat:
“Maluku belum bisa seperti itu….Kondisi sekarang belummemungkinkan….mekanisme adat harus orang adat. Apakahsecara adat dapat diterima ka seng? Itu masalah……untukMaluku belum bisa, masyarakat Maluku belum bisa terima itu.
136 “Pada kenyataannya kita memang tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa masyarakattelah hidup membaur. Presentase jumlah penduduk antara masyarakat adat (penduduk lokal) danmereka yang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat (masyarakat pendatang) menghampirititik keseimbangan. Aturan memang tidak bisa membatasi hak masing-masing individu sebab kitasemua merupakan warga masyarakat yang mendiami satu wilayah yang sama. Akan tetapi sayaberharap agar bisa dipahami bahwa pada saat-saat tertentu kita tidak bisa menyatu berdasarkanmekanisme hukum adat yang berlaku”. Aleks sitanala, Ketua Saniri Negeri Suli, Wawancara, 5Januari 2014, Suli Bawah-Ambon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
Untuk Maluku harus dilihat jauh ke depan, bisa jadi ke depanakan ada kerusuhan lain, sehingga politik pembangunan ituharus dilihat baik-baik. Jangan sampai torang terpinggirkanseperti itu. Bagaimana bisa dengan katorang, dan dorang akuikatong pung adat seperti itu”.137
3.2.3. Kontroversi Gelar Adat Maluku
Gejolak kebangkitan adat tidak hanya memasuki fase pengintegrasian
kekuatan lokal dengan membangun koordinasi pada tingkat lokal, akan tetapi
mendorong lahirnya semacam kontrak politik yang secara simbolik ditandai
dengan adanya penganugerahan sejumlah gelar kehormatan adat kepada para elit
politik tertentu. Praktek tersebut pada kenyataannya menimbulkan wacana
kontroversial karena dinilai terlalu berlebihan. Gelar adat bisa jadi menjadi
sesuatu yang biasa di mata khalayak umum, akan tetapi menjadi luar biasa bagi
kelompok masyarakat tertentu yang meyakininya. Untuk itu, praktek pemberian
gelar adat kepada seseorang yang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat
cenderung dipandang sebagai penghianatan terhadap adat dan diri sendiri.
Dalam lokalitas Ambon, praktek pemberian sejumlah gelar adat cenderung
dilatarbelakangi oleh hutang budi dan pencitraan diri. Ada semacam pengalaman
bersama yang menjadikan seseorang layak dianugerahi gelar kehormatan adat.
137 “Masyarakat Maluku belum bisa menerima kenyataan di mana harus dipimpin oleh merekayang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat. Kondisi saat ini sungguh-sungguh belummemungkin. Mekanisme adat harus anak adat atau berasal dari kelompok masyarakat adat. Untukitu, jika terjadi sebalinya, apakah berdasarkan mekanisme adat dapat diterima ataukah tidak?Itulah persoalannya. Untuk Maluku belum bisa, masyarakat Maluku belum bisa menerima jikadipimpin oleh mereka yang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat. Kita harus melihatjauh ke depan, jangan-jangan dalam perjalanannya nanti akan muncul lagi konflik. Oleh sebabitu, kebijakan politik pembangunan harus diperhatikan dengan sangat baik. Jangan sampai kitadipinggirkan. Bagaimana pun juga, masyarakat pendatang harus bisa hidup bersama kita, danmereka bisa mengakui adat istiadat kita”. Abdullah Malawat, Raja Negeri Mamala dan MantanKetua Latupati Maluku, Wawancara, 19 Januari 2014, Mamala-Ambon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Sebagai contoh pada bulan Juni 2014 Jusuf Kalla dalam kampanye politik sebagai
calon wakil presiden Republik Indonesia dinobatan sebagai Upu Latu Mel (kepala
adat) oleh Majelis Latupati Maluku karena dianggap berjasa dalam proses
rekonsiliasi Maluku. Atas jasanya, Jusuf Kalla mendapat “restu adat” melalui
pemberian gelar adat. Jabatan Upu Latu Mel dinilai pantas diberikan kepada Jusuf
kalla sekaligus dukungan politik terkait pencapresan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai
calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia.
Kenyataan semacam ini menegasi perjuangan adat yang tidak luput dari
bias kepentingan-kepentingan politik. Sejarah dijadikan sebagai alat legitimasi
kepentingan politik. Secara khusus sejarah pergerakan adat yang terlalu terbuai
dengan bujuk rayu kepentingan politik. Praktek semacam ini justru semakin
menegaskan wajah politik adat. Muncul perbedaan pendapat di kalangan para
tokoh adat sendiri terkait praktek tersebut. Pada satu sisi, pemberian gelar
kehormatan adat bertumpuh pada mekanisme politik balas budi. Pada ukuran
kelayakan mendapatkan apresiasi, penghargaan dan kehormatan karena jasa-jasa
tertentu bagi masyarakat Maluku, sebagaimana yang terjadi pada kasus pemberian
gelar adat kepada Jusuf Kalla pada juni 2014.
Pada 24 November 2009 hal yang sama kembali terjadi ketika Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dinobatkan sebagai “Upu Latu Rat Maran
Siwalima” (raja besar Maluku) oleh Majelis Latupati Maluku. Kontroversi seputar
pemberian gelar kehormatan adat muncul di kalangan para tokoh adat itu sendiri.
Hal ini terungkap dalam salah satu pernyataan dari bapak Aleks Sitanala, ketua
“saniri negeri” Suli demikian:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
Beta seng, sangat-sangat seng setuju, seng boleh. Apakah inisudah tepat dan benar? jangan katong mengkhianati, katongpunya harga diri cuma karena kepentingan-kepentingantertentu. Seng boleh.......cuma katong harus tau....terlalubanyak intervensi pemerintah pusat ke daerah sehinggadipaksakan.......katong seng mau menghianati katong pungharga diri. Kalo for beta, jangan karna kepentingan-kepentingan tertentu, orang Ambon bilang katong jual katongpung pesona.138
Wacana kontroversial ini berkembang luas terutama di Kalangan anak
muda Maluku. Muncul petisi dari Anak Cucu Adat Maluku yang menghendaki
agar gelar kehormatan adat Maluku “Upu Latu Rat Maran Siwalima” yang
diberikan kepada Susilo Bambang Yudhoyono harus segera dikembalikan kepada
anak-cucu adat Maluku. Bagi mereka gelar adat Maluku harus ditempatkan pada
posisi mewakili identitas Maluku secara menyeluruh dan memiliki ikatan
emosional dengan masyarakat Maluku serta memiliki filosofi hidup seperti anak
Maluku.139
138 “Secara pribadi saya tidak setuju. Hal itu mestinya tidak boleh terjadi. Apakah hal ini sudahtepat? Kita jangan mengkhianati harga diri kita hanya karena kepentingan-kepentingan tertentu.Hal itu seharusnya tidak harus terjadi. Kita harus menyadari bahwa pemerintah pusat sudahterlalu banyak melakukan intervensi ke daerah-daerah. Kita tidak boleh mengkhianati harga dirikita sendiri. Bagi saya, jangan karena kepentingan-kepentingan tertentu, masyarakat Ambonmenjual daerahnya sendiri”. Aleks sitanala, Ketua Saniri Negeri Suli, Wawancara, 5 Januari2014, Suli Bawah-Ambon.139“Petisi anak-cucu adat Maluku” dalam http://www.petitiononline.com/maluku/petition.html,diakses pada tanggal 27 Agustus 2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 6: Pengukuhan Gelar kehormatan adat kepada Dr. H. SusiloBambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia140
Pemberian gelar adat selain didasarkan pada semacam politik balas budi,
di sisi lain pemberian gelar adat ditempatkan pula sebagai politik pencitraan diri
elit politik. Wacana semacam ini muncul terkait praktek pemberian gelar adat
seperti “Orlima”, “Anak Adat Tual”, “Fena Duan”, dan “Akor Aliman” dari
masyarakat adat Maluku kepada Said Assagaff pada 2013 dalam kapasitasnya
sebagai calon gubernur Maluku.
140 “Dinobatkan jadi raja besar Maluku, SBY kunya sirih” diakses darihttp://latupatimaluku.blogspot.com/2012/09/dinobatkan-jadi-raja-besar-maluku-sby.html, padatanggal 27 Agustus 2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 7: Pemberian Gelar Kehormatan Adat kepada Ir. Said
assagaff, Calon gubernur Maluku Pada 2013141
Dalam situs “Catatan Anak Maluku Bastrori Tentang Maluku” yang
mencerminkan histeria anak muda Maluku. Bagi mereka,
Pemberian gelar adat seharusnya bukan atas dasar seremonibelaka. Pemberian gelar adat seharusnya dilepaskan dari politisasipencitraan diri dan kepentingan-kepentingan sesaat. Pemberiangelar adat seharusnya memakai syarat logis atau masuk akal. Apayang telah dilakukan sang penerima gelar adat bagi masyarakatadat setempat sehingga ia layak mendapatkan gelar itu?Mekanisme pemberian gelar adat kepada seseorang di luarkelompok masyarakat adat setempat tentunya harus menjunjungtinggi nilai-nilai demokrasi adat setempat dan sekali lagi bukandipolitisasi untuk kepentingan-kepentingan politik. Apakahpemuka-pemuka adat sudah mewakili suara rakyatnya ataukah
141 “Assagaff bertaburan gelar adat. Pantaskah?” diakse darihttp://catatananakmaluku.blogspot.co.uk/2013/04/assagaff-bertaburan-gelar-adat-pantaskah.html, diakses pada tanggal 27 Agustus 2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
jangan-jangan para pemuka adat justru “terkontaminasi” denganrayuan uang dan kekuasaan. Mekanisme pemberian gelar adatjuga tidak instan ataukah sekedar balas jasa.142
Reaksi semacam ini tentu tidak sebatas representasi ketidakpuasan
masyarakat (anak muda Maluku) terhadap adatnya, akan tetapi menegasikan
begitu kuatnya wacana adat mengakar dalam diri masyarakat. Oleh sebab itu,
histeria masyarakat merupakan salah satu cara dimana nilai-nilai adat kembali
dinormalisasikan. Pro-kontra terkait kemunculan Assegaff menjadi persoalan
tersendiri bagi masyarakat Ambon. Kemunculannya Assagaff dipertentangkan
dengan mekanisme adat yang berdasar pada legitimasi hubungan darah.
Mekanisme adat menuntut harus anak adat sedangkan pada kenyataanya
seseorang yang dinilai bukan merupakan anak adat berpotensi nyata dapat
memimpin di daerah adat. Konstruksi adat menimbulkan dilema di kalangan
masyarakat. Pada satu sisi, atas nama adat posisionalitas seseorang yang dinilai
bukan berasal dari kelompok masyarakat adat akhirnya dipertanyakan:
”..Eh kamong mau pilih Assagaff? sedangkan dia bukan anakAmbon? Dia mau jadi Upu Latu di Ambon? mau pegang tombak,pakai pakani adat? Dipertanyakan, apa boleh ka seng? 143
Akan tetapi di sisi lain, adat menciptakan ruang negosiasi antara lokal dan
pendatang, anak adat dan bukan anak adat. Kadang-kadang mekanisme adat
142 “Assagaff Bertaburan Gelar Adat. PANTASKAH ????” diakses darihttp://catatananakmaluku.blogspot.com/2013/04/assagaff-bertaburan-gelar-adat-pantaskah.htmlpada tangga 27 Agustus 2014143 “Apakah kalian mau memilih Assagaf? Dia sendiri bukan berasal dari kelompok masyarakatadat. Apakah dia pantas menjadi raja besar (Upulati) di Ambon? Apakah dia pantas memegangtongkat kepemimpinan raja dan mengenakan pakai adat? Perlu dipertanyakan kembali, apakahberdasarkan adat diperbolehkan ataukah tidak?” Aleks sitanala, Ketua Saniri Negeri Suli,Wawancara, 5 Januari 2014, Suli Bawah-Ambon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menghendaki agar kepemimpinan lokal mesti berada di bawah kendali adat, akan
tidak dapat dipungkiri bahwa adat sering dijadikan juga sebagai arena negosiasi
politik dengan mengatasnamakan masa depan masyarakat. Demi masa depan
masyarakat, adat yang awalnya diesensialkan pada akhirnya dinegosiasikan
kembali: “jangan karena adat beta harus kasi rusak Maluku ini” (apakah karena
adat, saya harus menghancurkan Maluku?).144
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemberian gelar adat baik kepada Jusuf
Kalla, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Said Assagaff tidak diketahui seberapa
besar efektivitasnya bagi orang Maluku. Akan tetapi bagi saya kenyataan
semacam ini semakin menegaskan perluasan wacana adat yang direproduksi
secara terus-menerus. Pemberian gelar adat semakin menegaskan konstruksi
wacana adat dalam ruang publik politik yang diperebutkan. Selain itu, reproduksi
wacana adat atas salah satu cara semakin melegitimasi dominasi kekuasaan yang
sedang dikritik habis-habisan dan mereproduksi kepatuan masyarakat dalam rezim
wacana adat.
3.3. Internalisasi Wacana Kebangkitan Adat Ambon
Di awal bab telah dibahas mengenai kelahiran dan perluasan wacana
kebangkitan adat. Berikut ini saya ingin membicarakan mengenai proses
internaliasi wacana kebangkitan adat Ambon. Uraian ini mengacu pada persoalan
apakah pemerintah yang mengakomodir adat pada level pemerintahan negeri
144 Abdullah Malawat, Raja Mamala dan mantan ketua Latupati Maluku, Wawancara, 19 Januari2014, Mamala-Ambon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
dalam arti tertentu dapat dikatakan bahwa adat dipakai sedemikian rupa untuk
menjaga identitas orang Ambon ataukah hanya untuk kepentingan politik
kelompok tertentu? Sebagai tanggapan atas pertanyaan tersebut ada dua fenomena
menarik yang perlu dipertimbangkan pada kesempatan ini.
3.3.1. Loyalitas Penduduk Lokal Ambon terhadap Adat
Sebagaimana telah diungkapkan di awal bahwa antusiasme masyarakat
adat Ambon yang memilih untuk menghidupkan kembali pemerintahan hukum
adat dilatarbelakangi oleh keinginan mendasar agar kepemimpinan lokal tetap
berada di bawah kendali kelompok masyarakat adat Ambon. Keinginan tersebut
dilatarbelakangi oleh kecemasan masyarakat, terutama para raja atau tokoh adat
terhadap hancurnya pranata adat dan pergeseran peran-peran penduduk lokal
akibat intervensi negara secara berlebihan melalui UU No.5 Tahun 1979 tentang
pemerintahan desa.
Sadar bahwa meski hak dan kewajiban setiap individu pada dasarnya
sama, akan tetapi mekanisme adat perlu dihormati. Ada ruang yang diperuntukan
bagi tiap-tiap warga termasuk warga pendatang untuk terlibat dalam
pembangunan akan tetapi tetap ada batasannya. Ada keyakinan bahwa dengan
adanya kepemimpinan anak adat yakni mereka yang berasal dari anggota
masyarakat adat keharmonisan hidup akan lebih mudah direalisasikan. Oleh sebab
itu, meski perubahan-perubahan yang terjadi cukup beralasan akan tetapi
menyimpan persoalan tersendiri. Persoalan dalam pengertian penghancuran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
pranata adat dan pergeseran peran-peran penduduk lokal seperti yang telah
dikemukakan di atas.
Dalam konteks itu perubahan-perubahan yang terjadi akhirnya terkesan
bertujuan untuk membangkitkan kembali sentimen-sentimen primordial adat
seperti kepemimpinan anak adat dan status quo para raja. Memilih untuk kembali
ke adat sambil mempertanyakan posisionalitas menjadi sesuatu yang penting di
mata para raja;
“Apakah suatu ketika torang harus lihat yang bukan orang adat iniharus pimpin di daerah adat? tiap-tiap daerah sudah diberikanruang, kesempatan untuk mengatur daerahnya…..semuanya sudahada di situ untuk mengatur daerahnya”.145
Konversi “negeri” menjadi desa perlu dikembalikan ke “negeri”. Peran
raja dan saniri perlu direvitalisasi bukan berdasarkan kehendak negara melalui
kebijakan UU No.5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa melainkan berdasar
pada hukum adat Ambon. Melalui adat terutama kepemimpinan hukum adat
keharmonisan hidup akan lebih mudah terealisasi. Dalam kehidupan
bermasyarakat, masyarakat akan lebih mudah mendengarkan seorang raja atau
anak adat yang ditetapkan berdasarkan mekanisme hukum adat pantas
mengemban jabatan raja dan memimpin di daerah adat (Ambon) dari pada
seorang pemimpin yang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat yang
memimpin di daerah adat.
145 “Apakah pada suatu ketika kita harus menyaksikan bahwa mereka yang bukan berasal darikelompok masyarakat adat harus memimpin di daerah adat? tiap-tiap daerah telah diberikanruang, telah diberikan kesempatan untuk mengatur daerahnya sendiri. Semuanya telah diberikankewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing.” Aleks sitanala, Ketua Saniri NegeriSuli, Wawancara, 5 Januari 2014, Suli Bawah-Ambon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
Cara pandang semacam ini kembali menegaskan urgensi dan signifikansi
kebangkitan adat Ambon dan kepemimpinan lokal masyarakat adat di Ambon
seperti yang ditegaskan oleh bapak raja Abdullah Malawat, salah seorang tokoh
adat terkemuka di Maluku. Menurut Malawat,
“Dengan adanya tokoh adat yang dari dulunya dorang itu, secarahubungan sosial, pola panutan akan lebih kentara. Orang lainlebih hormati dorang karena dorang itu raja ko. Tapi kalo tiba-tibadari keluarga raja ini seng jadi raja, he ose itu sapa? Samadengan beta saja. Pandangannya seperti itu, kalo bukan keluargaraja yang jadi raja, dong malawan banyak. ose saja, beta jua bisa.Tapi kalo dari keluarga raja, dari sononya bagitu, orang akanlebih turut”.146
Kutipan di atas secara spesifik memposisikan adat sebagai acuan dasar
kehidupan berpolitik di Ambon. Terutama kepemimpinan politik yang
dikhususkan kepada anggota masyarakat adat Ambon pada level negeri. Selain
itu, urgensi adat sebetulnya bukan semata-mata terletak pada kuasa legitimasi
jabatan raja yang secara khusus harus berasal dari turunan raja, akan tetapi terletak
pada ketidaksiapan penduduk lokal Ambon memberi ruang partisipasi politik
kepada orang lain yang tidak memiliki ikatan hubungan darah memimpin di
Ambon. Dalam konteks itu, pilihan menghidupkan kembali “negeri” adat seakan-
akan menjadi sebuah kemutlakan yang tidak dapat diabaikan.
146 “Dari sisi hubungan sosial, seorang raja yang berasal dari kelompok masyarakat adat, berasaldari turunan raja, mereka dapat menjadi pola panutan. Orang lain akan lebih menghormatikarena mereka benar-benar raja. Akan tetapi jika tiba-tiba mereka yang memiliki turunan rajatidak menjadi raja, tentu akan dipertanyakan: anda siapa? Anda sama saja dengan saya ko!Pandangan-pandang semacam ini akan muncul jika seorang raja bukan berasal dari keluargaturunan raja. Masyarakat akan lebih banyak melawan. Anda saja bisa, saya juga bisa sepertianda. Namun jika dari keluarga turunan raja, yang sejak dahulu sudah ditetapkan demikian,orang akan lebih patuh”. Abdullah Malawat, Raja Mamala dan mantan ketua Latupati Maluku,Wawancara, 19 Januari 2014, Mamala-Ambon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
Urgensi dan signifikansi kembali ke adat pada akhirnya melahirkan
persoalan baru antara penduduk lokal dan pendatang. Persoalan identitas
masyarakat Ambon pada akhirnya dikontestasikan dalam formasi wacana adat.
Bahkan dalam lingkup internal masyarakat Ambon, perubahan-perubahan yang
terjadi ketika diikuti secara seksama justru melahirkan kejutan-kejutan baru. Di
luar dugaan malah diperhadapkan dengan kenyataan bahwa di tengah-tengah
antusiasme masyarakat untuk kembali ke adat atau kembali ke pemerintahan
hukum adat pada level negeri justru dikejutkan dengan suara-suara yang bernada
oposisi yang menghendaki agar wilayah-wilayah di bawah kewenangan “negeri
adat” dimekarkan lagi menjadi desa meski berstatus sebagai desa administratif di
bawah negeri.
Pertanyaannya sekarang, apakah kebangkitan adat di Ambon sungguh-
sungguh mencerminkan aspirasi seluruh anggota masyarakat ataukah hanya
segelintir orang? Apakah kebangkitan adat di Ambon sungguh-sungguh
meresistensi mekanisme kekuasaan ataukah justru melipatgandakan mekanisme
kekuasaan yang sedang dikritik? Untuk mendalami persoalan-persoalan tersebut,
uraian berikut ini akan lebih menitik beratkan pada posisi masyarakat pendatang,
yakni mereka yang tidak berasal dari kelompok masyarakat adat yang dalam
keseharian hidup berhadapan dengan praktek adat di Ambon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
3.3.2. Sikap Diam Warga Pendatang dalam Adat
Wacana kebangkitan adat di Indonesia muncul karena kekecewaan
masyarakat adat terhadap sistem demokrasi yang dinilai tidak mampu
mengakomodir keragaman budaya masyarakat, penghancuran terhadap pranata-
pranata adat. Dalam konteks itu, masyarakat adat Ambon merupakan salah satu
kontestan adat yang berjuang menyelamatkan adat istiadat. Atas nama adat,
masyarakat Ambon menolak intervensi negara melalui UU desa dan memilih
untuk kembali ke adat dengan menghidupkan kembali “negeri” sebagai
pemerintahan hukum adat di wilayah kepulauan Ambon.
Kemunculan adat di Ambon terbilang sukses ketika adat dipakai sebagai
modal sosial kultural dalam proses penyelesaian konflik di Ambon pada
khususnya dalam Maluku pada umumnya. Dengan misi perdamaian identitas adat
dikedepankan untuk membangun kembali perdamaian. Pergerakan adat kemudian
memasuki fase koordinasi dan reorganisasi diri melalui pembentukan dewan adat
(Latupati) dan penerbitan serangkaian produk hukum tentang adat guna
melegitimasi penetapan kembali “negeri” sebagai pemerintahan hukum adat. Atas
nama adat banyak perubahan terjadi di Ambon, akan tetapi persoalannya sekarang
adalah apakah kebangkitan adat di Ambon sungguh-sungguh mencerminkan
aspirasi seluruh anggota masyarakat? Sejauhmana masyarakat terakomodir dalam
wacana kebangkitan adat di Ambon?
Pada kenyataannya praktek dan wacana kebangkitan adat di Ambon
melahirkan wacana biner antara penduduk lokal dan pendatang. Saling pengakuan
antar kelompok, terutama pengakuan terhadap mekanisme adat seringkali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
menyebabkan masyarakat pendatang lebih memilih diam dan patuh terhadap
mekanisme adat. “Yang penting bagi beta aman-aman saja (Bagi saya, yang
terpenting adalah kondisi tetap aman)”147 ungkap Doni Silawanebessy ketika
diwawancari terkait keberadaannya sebagai pendatang berhadapan dengan
mekanisme adat pada level “negeri”. Rasa aman menjadi nilai terpenting bagi
masyarakat pendatang ketika harus berhadapan dengan mekanisme dan praktek
adat. Akan tetapi dibalik ungkapan tersebut terbesik harapan agar seluruh warga
kiranya dilibatkan dalam praktek adat.
Mungkinkah warga pendatang dapat terlibat dalam praktek dan wacana
adat di Ambon? prosesi penerimaan adat nampaknya tidak menyentuh sampai
pada keseharian hidup masyarakat pendatang. Persoalan keterwakilan warga
dalam praktek adat melahirkan kembali wacana ketidakadilan yang sejak semula
dikritik dalam perjuangan kebangkitan adat di Ambon. Dari akses jalan yang
rusak, ketidak jelasan lahan hunian, pembagian raskin (jatah bantuan beras dari
dinas sosial) sampai pada persoalan keterwakilan warga pendatang dalam praktek
pemerintahan “negeri” menimbulkan perasaan dianaktirikan.148
Meski dalam seruan-seruan yang disampaikan oleh tokoh adat akan
kesetaraan hak dan saling pengakuan, akan tetapi pada kenyataannya ketika
muncul persoalan akan sangat sering terdengar ungkapan-ungkapan bernada
dikotomik antara lokal dan pendatang: “kamong ada tinggal di orang pung tanah
147 Doni Silawanebessy, warga Tial, Wawancara, 20 Januari 2014, Relokasi pengungsian Tial diAmbon.148 Dedi Rikumahu, warga Banda, Wawancara, 25 Januari 2014, Relokasi pengungsian Banda diAmbon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
(tanah ini bukan milik kalian) atau kamong pendatang saja (Kalian masyarakat
pendatang).149 Kondisi semacam ini menegasikan proliferasi wacana adat yang
ditandai dengan cara masyarakat masyarakat membicarakan adat.
Adat tidak lagi sebatas tradisi, warisan para leluhur melainkan adat dalam
kaitannya dengan bagaimana adat mampu mengakomodir dan mensejahterahkan
masyarakat tanpa memandang latar belakang suku, agama dan ras. Untuk itu,
tidak mengherankan jika wacana kebangkitan adat yang diperjuangkan dengan
tujuan untuk menyelamatkan kehancuran pranata adat justru menjadikan adat
sebagai arena konstestasi kekuasaan. Adat tidak sebatas identitas masyarakat adat
untuk memobilisasi masa dalam memperjuangkan hak-hak lokal, akan tetapi
membentuk rezim kekuasaan baru dalam masyarakat modern.
Adat dijadikan sebagai sarana paling efektif mengumbar janji-janji politik
bahkan dengan membangun wacana memanipulasi atas nama adat untuk
mendapatkan dukungan politik dari masyarakat, terutama pendatang yang
berdomisili dalam wilayah-wilayah petuanan adat, “Beta so kasih kamong jaga
katong pe dusun, maka orang juga otomatis ada upah” (saya telah
mempersilahkan kalian menempati tanah kami, untuk itu harus ada juga timbal
baliknya).150 Keterlibatan masyarakat dalam praksis adat dalam lingkup
pemerintahan “negeri” pada kenyataannya tidak lebih dari penonton dan
pendengar serta dilibatkan sejauh diperlukan. Warga pendatang hanya akan
149 Dedi Rikumahu, warga Banda, Wawancara, 25 Januari 2014, wilayah relokasi pengungsianBanda di Ambon.150 Izak Aipassa, Warga Banda, Wawancara, 20 Januari 2014, Relokasi pengungsian Banda diAmbon
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
dilibatkan untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban pemerintahan
negeri di akhir tahun.151
Bertolak dari pengalaman-pengalaman tersebut muncul keinginan di
kalangan masyarakat pendatang untuk terlibat secara aktif dalam praksis
pemerintahan hukum adat. Ada keinginan untuk mengintensifkan peran-peran
warga pendatang dengan membentuk “desa administratif tanpa harus terlepas dari
“negeri”. Dalam kesatuan dengan negeri adat, keinginan pembentukan sebuah
desa administratif menjadi kerinduan warga pendatang. Hal ini juga dilakukan
sebagai upaya untuk mendapatkan pengakuan terhadap hak-hak kewargaannya
dalam kehidupan pemerintahan adat. Ada keinginan agar hak-hak warga
pendatang diperhatikan, terutama keterwakilan dalam pemerintahan negeri dan
perlakuan yang adil terkait pelbagai bantuan yang diperuntukan bagi masyarakat.
3.4. Catatan Penutup
Adat pada dasarnya bukanlah sesuatu yang buruk, hanya saja berbahaya
ketika telah dirasuki oleh hasrat akan kekuasaan. Akibatnya adat tidak lebih dari
sebuah kendaraan politik para elit lokal dalam dinamika politik. Ikon-ikon adat
dihadirkan hanya untuk memenuhi hasrat berkuasa dan popularitas diri. Bahkan
tidak segan-segannya mengobral (gelar) adat demi mendapatkan pengakuan
publik atas otonomisasi adat dan kekuasaan yang dijalankan atas nama adat.
151 Tos Walunaman, Warga Larike, Wawancara, 20 Januari 2014, Relokasi Pengungsian Larike diAmbon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
Fenomena semacam ini mewarnai uraian bab ini. Tujuannya adalah untuk
menyelami praktek diskursif adat di Ambon.
Dalam lokalitas Ambon, teknik menyingkap rezim wacana kekuasaan adat
yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini dilaksanakan dengan cara
memperhatikan dan mengikuti gerakan perkembangan dan perluasan wacana adat.
Mula-mula dengan memperhatikan kemampuan mengorganisasi diri,
pelembagaan adat, pembentukan norma adat, sosialisasi nilai-nilai adat sampai
pada proses saling pengakuan antar warga, baik itu penduduk lokal maupun
pendatang. Seluruh uraian tersebut pada dasarnya bertujuan untuk menyingkap
pola-pola kekuasaan yang terbentuk dalam pratek dan wacana adat di Ambon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
BAB IV
KEKUASAAN DAN SUBYEKTIVITAS
DALAM WACANA KEBANGKITAN ADAT AMBON
Bab IV membahas mengenai kekuasaan dan subyektivitas. Pembahasan
mengenai kedua pokok persoalan tersebut dimaksudkan untuk menganalisa
hubungan kekuasaan dan konstruksi subyek dalam wacana kebangkitan adat.
Mengacu pada tujuan tersebut, uraian ini diawali dengan menganalisa hubungan
kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat Ambon. Tujuannya adalah untuk
membongkar hubungan kekuasaan yang diproduksi dalam wacana kebangkitan
adat Ambon. Uraian dilanjutkan dengan menganalisa proses pembentukkan
subyek dalam wacana kebangkitan adat. Proses pembentukan subyek dalam
wacana menegasi proses objektivasi subyek dalam wacana melalui teknologi
pendisiplinan subyek. Pembahasan mengenai hubungan kekuasaan dan konstruksi
subyek dalam wacana kebangkitan adat Ambon akan dijabarkan secara rinci di
bawah ini.
4.1. Hubungan Kekuasaan dalam Wacana Kebangkitan Adat Ambon
Wacana merupakan tempat di mana hubungan kekuasaan diproduksi,
disebarluaskan dan dilipatgandakan. Kekuasaan dalam wacana selalu bersifat
imanen dan co-ekstensif dengan tubuh sosial. Kekuasaan tidak berpusat atau
dimiliki oleh lembaga atau kelompok tertentu. Kekuasaan itu datang dari mana-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
mana dan menyebar ke mana-mana. Kekuasaan selalu bersifat kompleks sehingga
sering kali sulit untuk dikenali. Oleh sebab itu, dalam rangka melacak hubungan
kekuasaan yang diproduksi dalam wacana maka penting untuk diperhatikan
adalah “sistem bahasa” yang dipergunakan untuk membicarakan tentang topik
tertentu dalam wacana. “Sistem bahasa” yang dimaksudkan di sini adalah
akumulasi pernyataan-pernyataan rasional dan penuh makna. Kemampuan
mengidentifikasi sistem bahasa yang tersedia dalam wacana akan sangat
memungkinkan kita memahami hubungan kekuasaan.
Bertolak dari sebuah pemikiran sederhana untuk memahami hubungan
maka, analisa terhadap hubungan kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat
Ambon akan dilakukan dengan memperhatikan sistem bahasa yang dibentuk
dalam wacana kebangkitan adat Ambon. Dalam konteks wacana kebangkitan adat
Ambon, sistem bahasa yang dimaksudkan di sini merujuk pada akumulasi
pernyataan rasional tentang eksistensi adat di Ambon. Dengan kata lain,
pembicaraan tentang adat didasarkan pada sejumlah pengetahuan tentang adat.
Pengetahuan tentang adat dipakai untuk merumuskan realitas adat dan
membangun klaim-klaim politik tentang kondisi masyarakat atas nama adat.
Kemampuan untuk merumuskan realitas adat diterima oleh masyarakat
sebagai sebuah produk kebenaran. Sayangnya kebenaran yang diterima sering kali
diklaim sebagai kebenaran absolut dan seakan-akan tidak perlu untuk
dipertanyakan kembali. Orang lebih merasa mapan dengan kebenaran yang
diterima. Akibatnya orang lebih memilih tinggal dalam kenikmatan akan
pengetahuannya dari pada menyangsikan kemapanan status pengetahuannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
Kondisi semacam ini sering kali membuat kebanyakan orang tidak lagi menyadari
eksistensi hubungan kekuasaan yang bercokol dalam wacana. Agar tidak
selamanya terjebak dalam permainan kekuasaan dalam wacana maka hubungan
kekuasaan dalam wacana perlu dibongkar. Secara khusus membongkar hubungan
kekuasaan yang diproduksi dalam wacana kebangkitan adat Ambon. Dalam
rangka membongkar hubungan kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat
Ambon, unsur pertama yang perlu dilakukan adalah membongkar kemapanan
status pengetahuan akan kebenaran wacana kebangkitan adat.
4.1.1. Rezim Kebenaran Wacana Kebangkitan Adat
Analisa terhadap rezim kebenaran mau membidik keyakinan masyarakat
akan status pengetahuan tertentu yang diterima sebagai sebuah kebenaran mutlak.
Kebenaran tersebut bekerja secara efektif dalam masyarakat tanpa merasa perlu
untuk dipertanyakan. Sebaliknya cara memperlakukan kebenaran semacam ini
justru semakin mengukuhkan wacana kekuasaan. Dengan kata lain, “kebenaran
pada hakekatnya tidak pernah berada di luar kekuasaan sebab sesuatu yang
seakan-akan diperlakukan sebagai kebenaran sebetulnya merupakan efek
hubungan kekuasaan yang tersebar dalam wacana”.152
Kebenaran selalu dikondisikan oleh wacana dengan menciptakan bahasa
khusus untuk membicarakan kebenaran. Dengan cara semacam ini, keyakinan
orang terhadap kebenaran akan dirangsang secara terus-menerus untuk selalu
152 Bdk., Madan Sarup (2003), Postrukturalisme dan posmodernisme, Hlm. 126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
menggunakan bahasa yang telah disediakan. Akibatnya, orang patuh dan
tergantung sepenuhnya terhadap suatu kebenaran yang diterima. Kondisi
semacam ini biasanya disebut rezim kebenaran. Menurut Foucault:
Each society has its regime of truth, its general politics of truth:that is the types of discourse which it accepts and makes functionas true; the mechanisms and instances which enable one todistinguish true and false statements, the means by which each issanctioned; the techniques and procedures accorded value in theacquisition of truth; the status of those who are charged withsaying what counts as true.153
Rezim kebenaran termanifestasi dalam bentuk wacana ilmiah (scientific
discourse) yang diproduksi melalui riset dan penelitian-penelitian ilmiah. Selain
riset dan penelitian, rezim kebenaran diproduksi juga melalui keterlibatan
institusi-institusi kekuasaan yang bertindak sebagai agen-agen kekuasaan
(agencies of power). Keterlibatan institusi-institusi kekuasaan berkaitan dengan
kepentingan mereka untuk mengatur, mendorong, menyebarkanluaskan dan
melipatgandakan rezim kebenaran.154
Selain institusi kekuasaan, penting untuk diperhatikan juga adalah peran
kaum intelektual. Posisi kaum intelektual dalam rezim kebenaran wacana adalah
mereka yang bertindak sebagai aparat kebenaran (apparatus of truth). Sayangnya
menurut Foucault kaum intelektual cenderung hanya berkutet pada profesinya
semata, bertindak sebagai petty-bourgeois untuk melayani kepentingan
153 “Setiap masyarakat memiliki regim kebenaran, regim kebenaran dalam pengertian ini merujukpada politik kebenaran: salah satu bentuk dari model wacana yang diterima dan difungsikansebagai kebenaran; sebuah mekanisme atau kumpulan pernyataan yang dipakai sebagai dasaruntuk membedakan antara benar dan salah, mendapatkan persetujuan; teknologi dan prosedurnilai dalam kebenaran; status yang mengubah pernyataan sebaliknya sebagai kebenaran”. MichelFoucault (1980), Power/Knowledge, Hlm. 131154 Michel Foucault (1976), The history of sexuality, Hlm. 18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
kapitalisme dari pada memikirkan rezim kebenaran yang ada dalam
masyarakat.155 Rezim kebenaran berfungsi sebagai sistem prosedural yang
mengatur mengenai produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi dan operasionalisasi
kebenaran dalam wacana.156
Salah satu bentuk dari rezim kebenaran yang saya ingin bicarakan di sini
adalah rezim kebenaran kebangkitan adat. rezim kebenaran kebangkitan adat
mendasari rasionalitasnya pada fenomena-fenomena ketidakadilan seperti
perampasan tatah-tanah ulayat oleh negara, eksploitasi hutan, konversi desa-desa
adat dan keterwakilan putra daerah dalam struktur birokrasi politik di tingkat
lokal. Dalam perkembangannya, persoalan-persoalan tersebut lantas dihubungkan
dengan persoalan kehancuran adat. Tindak lanjut dari klaim akan kehancuran adat
mendorong antusiasme perjuangan masyarakat untuk memilih mengurus diri
sendiri berdasarkan adat istiadat di daerahnya masing-masing.
Atas nama adat, pemerintah Orde Baru diklaim sebagai orde penindasan
adat yang seakan-akan baru mengalami pembebasan di era reformasi. Kebebasan
adat baru dialami secaara kongkrit di saat kemunculan wacana kebangkitan adat di
penghujung Orde Baru. Wacana kebangkitan adat lantas ditindaklanjuti melalui
pembentukan berbagai lembaga swadaya masyarakat baik di tingkat pusat
maupun daerah yang memberi perhatian khusus terhadap upaya merevitalisasi
adat. Pada titik ini, penting untuk dipertimbangkan adalah apakah adat benar-
benar terepresi di masa Orde Baru dan baru mengalami pembebasan di era
155 Michel Foucault (1980), Power/Knowledge, Hlm. 132156 Ibid., Hlm. 133
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
reformasi? Sebetulnya dari sisi transformatif yang terjadi adalah ledakan wacana
tentang adat. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Foucault dalam The History of Sexuality (1976) menunjukan secara jelas
proses terjadinya ledakan wacana seks. Ledakan wacana seks terjadi melalui
proses institusionalisasi kekuasaan. Hal ini ditandai dengan penapisan kosa kata,
pengaturan mengenai kapan tidak boleh membicarakan seks, dalam situasi apa,
dan antara siapa.157 Kondisi semacam ini sebetulnya tidak menegasi wacana
tentang represi seks melainkan menegasi sebuah ledakan wacana tentang seks. Hal
ini ditandai oleh sejarah keterlibatan institusi-institusi kekuasaan yang bekerja
secara produktif dalam memproduksi, mengatur dan menyebarluaskan kebenaran
wacana tentang seks. Bahayanya, produksi dan penyebaran kebenaran tentang
seks tidak pernah berada di luar kekuasaan. Kebenaran tentang seks diproduksi
dalam hubungannya dengan kekuasaan, dirangsang dan didorong melalui berbagai
macam strategi kekuasaan yang bekerja secara produktif dalam masyarakat.
Demikian pula yang terjadi di Ambon terkait wacana kebangkitan adat.
Adat secara mengejutkan muncul ke ruang publik sebagai masalah. Adat sebagai
representasi kebiasaan hidup dan ekpresi religius masyarakat terhadap para
leluhur, tiba-tiba muncul sebagai sebuah persoalan. Kemunculan adat tidak
sebatas upaya penyelesaian konflik; akan tetapi meluas ke mana-mana.
Kemunculan adat semakin kompleks ketika adat dihubungkan dengan berbagai
agenda politik. Di antaranya adalah urgensi penetapan kembali “negeri”, urgensi
pembentukan dewan adat dan peraturan-peraturan daerah mengenai adat istiadat
157 Michel Foucault (1976), The history of sexuality, Hlm. 18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
di Ambon. Memperhatikan dinamika perkembangan adat yang lambat-laun mulai
membidik berbagai agenda politik, apakah kita masih bisa mengatakan bahwa
adat direpresi ataukah sebaliknya terjadi ledakan wacana?
Dengan mempertimbangkan praktek wacana kebangkitan adat di Ambon
sebetulnya menegasi ledakan wacana adat. Ledakan wacana adat ditandai oleh
keteribatan institusi-institusi sosial dan politik dalam mengatur dan mengawasi
adat sejak kemunculannya pada 1999. Bahkan di sekitar wacana tentang adat
malah terjadi proliferasi wacana (proliferation of discourses). Hal ini ditandai
dengan adanya pelipatgandaan wacana (multiplication of discourses) tentang adat
dalam wilayah kekuasaan. Secara khusus mencakup pembicaraan mengenai adat
secara intensif termasuk ritual adat, kebiasaan hidup dan ekpresi religius warga
terhadap para leluhur, dan hak keistimewaan penduduk lokal Ambon dalam
struktur birokrasi di tingkat lokal.
Pembicaraan mengenai adat lambat laun bergeser ke topik pembicaraan
mengenai kepemimpinan penduduk lokal Ambon. Pergeseran adat mencerminkan
dinamika perluasan adat di Ambon, terutama terkait upaya penduduk lokal
Ambon dalam melakukan birokratisasi adat, manejerialisasi adat, dan
administrasi adat. Konsekuensinya, adat tidak lagi sebatas merepresentasikan
kebiasaan hidup dan asal-usul; akan tetapi menegasi kelanggengan sikap
orientalistik penduduk lokal Ambon. Sikap orientalistik ini ditandai dengan
upaya untuk mendefenisikan diri sebagai orang lokal (orang Ambon), pengaturan
mengenai siapa saja yang dapat terlibat dalam kerja adat, pengkhususan ruang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
lingkup adat, bahkan batasan antar warga melalui pembedaan antara siapa yang
disebut penduduk lokal dan warga pendatang.
Di sisi lain, upaya untuk merumuskan ketidakadilan akibat sistem
penyerangam budaya melalui kebijakan pusat mengenai konversi “negeri-negeri”
adat menjadi desa menimbulkan persoalan. Artinya, upaya penetapan kembali
“negeri” dan seluruh agenda politik berbasis adat justru sedang mereproduksi
wacana orientalistik. Untuk itu klaim perlakukan diskriminasi sistemik,
marginalisasi dan penyingkiran selama rejim orde baru seperti yang digambarkan
oleh Brigitta Hauser-Schäublin dalam Adat and Indigeneity in Indonesia (2013)
perlu dipertimbangkan kembali sebagai bagian dari hubungan kekuasaan-
pengetahuan.158
Ingat bahwa kekuasaan sama sekali tidak memberi daya untuk
membicarakan sesuatu melainkan pengetahuan untuk membicarakannya adalah
kekuasaan.159 Pengetahuan merupakan kekuasaan yang bekerja melalui status
pengetahuan. Pengetahuan tersebut memproduksi kesenangan dan kenikmatan
untuk secara terus-menerus membicarakan adat baik untuk menentang dominasi
kekuasaan negara maupun perlawanan untuk mengubah aturan-aturan agar bisa
memasuki kehidupan baru yang lebih baik.160 Adanya upaya menggabungkan
kebenaran tentang adat dengan pemutarbalikan hukum dan proklamasi akan
158 Lih., Brigitta Hauser-Schäublin (2013), Adat and Indigeneity in Indonesia: Cultural andEntitlements between Heteronomy and self-Ascription, Hlm. 7159 Michel Foucault (1976), The history of sexuality, Hlm. 94160 Ibid., Hlm. 7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
kedatangan hari baru yang lebih baik.161 Akan tetapi yang tidak disadari dari
upaya penggabungan kebenaran dengan pemutarbalikan hukum dan proklamasi
akan kedatangan hari baru justru merupakan kondisi di mana kekuasaan itu
beroperasi.
Pembicaraan selama ini mengenai adat dan penyebaran kebenaran
mengenai adat merupakan strategi di mana hubungan kekuasaan itu diproduksi
dalam wacana kebangkitan adat. Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan
secara kongkrit berfungsi bukan untuk memberi daya mengatakan benar-salah
melainkan pengetahuan itu sendirilah yang berfungsi untuk melegitimasi
pernyataan mengenai kesalahan atau kebenaran tertentu mengenai adat. Jadi
esistensi hubungan kekuasaan sebetulnya terletak pada status pengetahuan yang
melegitimasi kebenaran akan kebangkitan adat. Kekuasaan tersebut kemudian
direprodusi secara terus menerus dengan tujuan untuk melawan atau menguasai
orang lain.
Analisa hubungan kekuasaan, pengetahuan, dan kebenaran mengingatkan
kita untuk selalu menyadari kehadiran wacana kekuasaan dalam masyarakat.
Menurut Foucault:
If power were never anything but repressive, if it never didanything but to say no, do you really think one would be broughtto obey it? What makes power hold good, what makes it accepted,is simply the fact that it doesn't only weigh on us as a force thatsays no, but that it traverses and produces things, it inducespleasure, forms knowledge, produces discourse. It needs to beconsidered as a productive network which runs through the whole
161 Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
social body, much more than as a negative instance whosefunction is repression.162
Pada dasarnya produksi rezim kebenaran dalam wacana berfungsi untuk
melegitimasi setiap tindakan politis dengan tujuan untuk menaklukan atau
menguasasi orang lain. Legitimasi tersebut tidak terlepas dari peran institusi
dalam memproduksi dan menyebarluaskan wacana tertentu seperti wacana adat.
Institusi-institusi menjadi arena di mana hubungan kekuasaan beroperasi dan
berlipatganda. Itulah sebabnya hubungan kuasa dan institusi selalu ditempatkan
dalam posisi kebutuhan dan keinginan institusi untuk mereproduksi, mengatur,
merekam, mendengarkan dan menyebarluaskan wacana tertentu.
4.1.2. Proses Institusionalisasi Kekuasaan Adat
Sejarah seksualitas atas salah satu cara merupakan sejarah keterlibatan
institusi-institusi kekuasaan dalam proses produksi, penyebaran dan
pelipatgandaan wacana tentang seks. Wacana tentang represi seks pada abad 17
yang dinilai mengalami pembungkaman justru sebaliknya terjadi ledakan wacana.
Ledakan wacana tentang seks pada abad ke-19 terjadi melalui keterlibatan
institusi-institusi kekuasaan seperti gereja, keluarga, sekolah, medis dalam
162 “Jika kekuasaan tidak pernah ada tetapi merepresi, jika kekuasaan bukanlah sesuatu yang adatetapi kita mengatakan tidak, apakah yang engkau pikirkan tentang sesuatu yang memaksa untukdipatuhi? apakah yang menyebabkan kekuasaan itu menjadi baik, apakah yang membuatkekuasaan itu dapat diterima, adalah sebuah kenyataan bahwa kekuasaan tidak hanya menimbangapa yang menguatkan untuk mengatakan tidak, tetapi bahwa kekuasaan itu digerakkan danmemproduksi sesuatu, yakni kesenangan, pengetahuan, wacana. Kekuasaan memiliki jaringanyang bekerja melingkupi tubuh sosial, lebih dari sesuatu yang negatif yang fungsinya merepresi”.Michel Foucault (1980), Power/Knowledge, Hlm. 119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
mengatur pembicaraan masyarakat mengenai seks.163 Bahkan seperti yang
terungkap dalam sejarah seksualitas bahwa malah terjadi proliferasi wacana dalam
wilayah kekuasaan seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Ada apa dengan
kondisi semacam ini? Perlu digarisbawahi bahwa ada dorongan institusional
dalam membicarakan seks secara terus menerus. Dorongan institusional ini
ditandai oleh kemauan insititusi-institusi kekuasaan untuk membuat seks dapat
berbicara sendiri entah dalam bentuk analisis, perhitungan, pengklasifikasian dan
berbagai bentuk penelitian kualitatif.164
Ada semacam kebutuhan dan kepentingan institusi-institusi kekuasaan
untuk mengatur produksi wacana dan menyebarluaskannya melalui mekanisme
kekuasaan tertentu seperti histerisasi tubuh perempuan, pedagogisasi seks anak,
sosialisasi perilaku prokreatif, dan psikiatrisasi kenikmatan menyimpang.165
Seluruh strategi tersebut berada di bawah kendali institusi kekuasaan dan dengan
kehendak diri sendiri dilaksanakan oleh tiap-tiap individu dalam masyarakat.
Dengan mempertimbangkan kondisi semacam ini sebetulnya kita tidak sebatas
menyaksikan keberlangsungan institusi-institusi kekuasaan, akan tetapi yang perlu
mempertimbangkan secara lebih kritis adalah hubungan antara kekuasaan dan
individu.
Proses institusionalisasi kekuasaan berhubungan dengan peran dan
keterlibatan lembaga-lembaga kekuasaan yang selalu menggunakan adat dalam
163 Michel Foucault (1976), The history of sexuality, Hlm. 18164 Ibid., Hlm. 23-24165 Ibid., Hlm 104-105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
kampaye politiknya. Misalnya pada tataran global kemunculan wacana
kebangkitan adat baik kembali membidik isu seputar kebangkitan masyarakat adat
(indigenous people). Isu tersebut dalam konteks nasional berdampak terhadap
perubahan konstelasi sosial politik di mana adat mencuat ke publik sebagai
sebuah ideologi baru. Kemunculan adat di ruang publik secara tidak terduga
melahirkan keinginan dan keberanian banyak daerah untuk membicarakan adat
secara vulgar, termasuk upaya pelembagaan adat melalui pembentukan berbagai
lembaga adat baik pada tingkat nasional maupun lokal.
David Henley & Jamie Davidson dalam buku berjudul Adat dalam politik
Indonesia (2010) menyebutkan keterlibatan para antropolog yang terorganisir
dalam The Internasional Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA) pada 1968
di Denmark, Survival Internasional di Inggris pada tahun 1969, dan Cultural
Survival di Amerika Serikat pada tahun 1976.166 Bahkan setelah mendapat
dukungan internasional melalui forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) wacana
tentang adat semakin berkembang pesat. Hal ini ditandai oleh pembentukan
dewan adat dunia atau World Council of Indigenous People pada tahun 1975 dan
lahirnya konferensi Internation Labour Organization (ILO) tentang Indigenous
and tibal people pada 1989.167
Demikian pula dalam kontek Indonesia. Salah satu organisasi non
pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan dalam konstruksi wacana
kebangkitan adat di Indonesia adalah AMAN yang dibentuk pada 1999. Capaian
166 David Henley & Jamie Davidson(2010), “Konservatisme Radikal-Aneka Wajah Politik Adat,dalam, Adat dalam Politik di Indonesia, Hlm. 8167 Ibid., Hlm. 9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
AMAN terkait wacana kebangkitan adat tidak hanya dalam lingkup nasional, akan
tetapi ikut ambil bagian di level internasional. Pada level nasional, AMAN
diposisikan sebagai lembaga independen dengan tujuan untuk mengawal,
mengawasi dan mengintensifkan kembali peran lembaga-lembaga adat dan para
pemimpin adat yang selama Orde Baru dinilai telah kehilangan peran. Dinamika
perkembangan adat semacam ini bukanlah sesuatu yang berbeda dengan apa yang
sedang dibicarakan dalam tulisan ini. Selain karena menyasar kelompok
masyarakat yang terikat dengan nilai-nilai ketradisionalan, sebagian besar
berkaitan dengan persoalan hubungan kekuasaan yang hadir melalui keterlibatan
berbagai institusi kekuasaan dan peran para intelektual dalam proses produki
wacana kebangkitan adat.
Secara khusus dalam lokalitas Ambon, kemunculan wacana kebangkitan
adat tidak terlepas dari keterlibatan aktif dari institusi-insititusi kekuasaan seperti
“Gerakan Baku Bae Maluku”, “Majelis Adat Maluku” dan lembaga swadaya
masyarakat lainnya seperti Early Warning System Conflic (EWSC), sebuah
lembaga swadaya masyarakat yang berfungsi sebagai sistem pendeteksian dini
akan bahaya konflik. Keterlibatan institusi-institusi tersebut pada kenyataannya
tidak hanya sibuk mencari pendasaran rasionalitas atas wacana kebangkitan adat,
akan tetapi sungguh-sungguh menandai perubahan konstelasi politik Ambon.
Perubahaan ini menghadirkan adat sebagai sebuah kekuatan sosial politik baru
yang bekerja secara produktif dalam masyarakat Ambon.
Perubahan-perubahan tersebut menegaskan signifikansi kebangkitan adat
berdasarkan asumsi marginalisasi peran penduduk lokal dan hilangnya kewibaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
para raja. Di sisi lain, muncul kepentingan dan kebutuhan untuk tetap menjaga
eksistensi adat yang selalu digeneralisasikan sebagai sesuatu yang lokal dan bukan
modern. Modernitas seakan-akan mau ditolak dengan mengedepankan lokalitas.
Akan tetapi dalam prakteknya apa yang disebut lokal dalam prakteknya malah
hibrid dengan mengabungkan antara apa yang dianggap lokal atau tradisional
dengan unsur-unsur modern.
Konsekuensinya, wacana kebangkitan adat yang digembar-gemborkan
selama ini sebetulnya hanya merupakan manifestasi dari wacana kebangkitan
identitas ke-Ambon-an. Lantas, bukankah sikap semacam ini hanyalah repetisi
dari mekanisme kekuasaan yang mau dikritik? Kebangkitan adat seperti apakah
yang mau diperjuangkan ketika wacana kebangkitan adat mendorong terjadinya
penonjolan identitas ke-Ambon-an? Barang kali yang perlu dipertimbangkan
adalah melakukan radikalisasi adat demi sebuah perubahan mendasar dalam
kehidupan bersama di Ambon. Tujuannya adalah untuk melepaskan diri dari
hegemoni kekuasaan yang termanifestasi dalam diri institusi-institusi kekuasaan
berbasis adat. Kadang-kadang institusi-institusi kekuasaan berbasis adat tidak
hanya berfungsi sebagai pengatur dan perantara melainkan sebagai penentang
dominasi kuasa yang dinilai telah merepresi. Kehadiran institusi-institusi tersebut
seakan-akan memberi harapan, janji dan hari baru yang lebih baik.
Pada titik ini, kiranya menjadi jelas bahwa persoalannya bukan soal setuju
atau tidak setuju, mendukung atau tidak mendukung, akan tetapi yang terpenting
adalah berkembangnya wacana institusionaliasi kekuasaan dalam wacana
kebangkitan adat. Proses institusionalisasi kekuasaan dalam wacana kebangkitan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
adat pada akhirnya hanya menegasi kebutuhan institusi-institusi kekuasaan
melanggengkan identitas budaya lokal sebagai bagian dari kebanggaan sebagai
orang Ambon untuk mengamankan wacana kekuasaannya. Akibatnya wacana
kebangkitan adat yang diperjuangkan tidak lebih dari upaya untuk
membangkitkan wacana kekuasaan etnis. Dalam konteks itu, perlu untuk selalu
mempertimbangkan mekanisme operasionalisasi kekuasaan dengan berbagai
bentuk teknologi kekuasaan (polymorphous techniques of power) yang
teraktualisasi dalam institusi-institusi kekuasaan. Kerja institusi kekuasaan adalah
mereproduski kekuasaan, mendorong orang untuk sering membicarakan adat dan
menyebarluaskan rezim dogmatisme kebenaran adat dalam wacana.168
4.1.3. Hukum sebagai Instrumen Kekuasaan
Perlu disadari bersama bahwa kekuasaan dalam pengertian Foucault
bukanlah sesuatu yang bersifat negatif, larangan, atau milik lembaga tertentu;
akan tetapi kekuasaan lebih bersifat positif yang datang dari mana-mana dan
bergerak secara terus menerus membentuk rangkaian atau jaringan kekuasaan.169
Kekuasaan bersifat co-ekstensif dengan tubuh sosial, terhubung dengan berbagai
jenis relasi sosial, beragam (tidak hanya dalam bentuk larangan), lebih dari
berbagai bentuk produksi relasi dominasi, dan selalu diafirmasi.170 Konsep
semacam ini menunjukkan luasnya cakupan kekuasaan yang tidak bisa dipasung
168 Michel Foucault (1976), The History of Sexuality, Hlm. 11169 Ibid., Hlm. 93170 Michel Foucault (1980), Power/Knowledge, Hlm. 142
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
hanya dalam pengertian hubungan negatif dan berbagai bentuk larangan
sebagaimana dijumpai dalam berbagai perangkat hukum atau perundang-
undangan.
Paham kekuasaan yang bergerak jauh ke depan, lebih dari sebuah istilah-
istilah hukum formil yang muda dikooptasi. Justru dengan pemahaman baru
semacam ini, paham tradisional kekuasaan yang cenderung bersifat negatif
dengan berbagai bentuk laranganya mau diboboti kembali. Artinya apa yang
selama ini disebuat larangan sebetulnya merupakan tempat aktualisasi kekuasaan.
Larangan sejatinya merupakan dukungan atas kekuasaan yang tersebar dalam
setiap praktek wacana.171 Semakin kuatnya larangan semakin besar pula intensitas
kekuasaan yang ditanamkan dalam wacana.
Cara pandang semacam ini mendasari penafsiran baru terhadap hukum dan
perundang-undangan. Menurut Foucault, hukum merupakan topeng kekuasaan
(mask for power) sebagaimana dalam budaya Barat yang menempatkan hukum
sebagai instrument kekuasaan monarki dan berbagai bentuk persoalan kedaulatan
dan hak-hak sejak abad 18.172 Hukum bukan sebatas representasi kekuasaan,
bukan pula sebuah kebenaran kekuasaan, akan tetapi lebih dari itu hukum
merupakan instrumen kekuasaan kompleks.173 Ingat bahwa wacana tentang seks
pada abad 17 yang dinilai bahwa sedang terepresi justru sebaliknya terjadi
ledakan wacana (discursive explosion). Artinya larangan terhadap seks atau
171 Michel Foucault (1976), The History of Sexuality, Hlm. 41-42172 Michel Foucault (1980), Power/Knowledge, Hlm. 140173 Ibid., Hlm. 141
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
larangan membicarakan seks justru menimbulkan ledakan wacana akibat
keterlibatan institusi-institusi kekuasaan seperti keluarga, agama, sekolah dan
kesehatan dalam mengatur seks.
Lantas apa relevansinya dengan pembicaraan kita mengenai norma adat
dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon? Analisa terhadap norma adat
dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon mau membidik pola pikir
masyarakat terhadap hukum dan perundang-undang. Undang-undang, peraturan-
peraturan dan norma-norma lazim ditempatkan sebagai larangan dan perlindungan
terhadap kedaulatan dan hak-hak lokalitas. Misalnya kritik terhadap intervensi
negara melalui penerapan undang-undang No.5 tahun 1979 tentang pemerintahan
desa disebabkan oleh anggapan bahwa negara memiliki peranan besar dalam
pengancuran pranata adat. Akan tetapi, tanpa disadari bahwa kebutuhan akan
penetapan sejumlah norma adat secara implisit sebetulnya mengafirmasi
perjuangan adat yang seakan-akan mau memperjuangkan nilai kemurnian adat.
Sayangnya, klaim kemurnian adat malah mengadopsi produk pemikiran
masyarakat modern.
Di sisi lain, kebutuhan akan penetapan sejumlah norma adat dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
antara lain: the privilege of the child and the medicalisation of the family;176 dan
The privilege of hygiene and the function of medicine as an instance of social
control.177 Pada dasarnya karakteristik biologis semacam ini mencerminkan
semacam kebutuhan untuk mengorganisir pertumbuhan keluarga-keluarga demi
pengembangan sektor ekonomi politik. Kebutuhan pengorganisasian keluarga
semacam ini merujuk pada mekanisme pengaturan dan pengawasan terhadap
tingkat populasi penduduk, usia hidup, angka kelahiran, kematian dan ruang kota
untuk memproduksi tenaga kerja demi pengembangan sektor ekonomi politik.178
Selain itu, kebutuhan negara mengorganisir keluarga-keluarga pada abad
18 di Eropa Barat mencerminkan pula keinginan negara dalam menghadirkan
imajinasi tertentu mengenai bagaimana menjadi sebuah keluarga ideal. Keluarga
ideal adalah keluarga-keluarga yang dikondisikan menurut standarisasi tertentu
yang ditawarkan oleh negara. Salah satu contoh kongkrit yang ditunjukkan oleh
Foucault dalam The History of Sexuality (1976) adalah persoalan keluarga
berencana (KB). KB merupakan bagian dari proses sosialisasi perilaku prokreatif
dengan tujuan untuk menanamkan tanggungjawab sosial ke dalam tubuh sosial.179
Contoh-contoh semacam ini dikemukakan oleh Foucault untuk
menunjukkan bagaimana kekuasaan itu beroperasi secara produktif dalam
masyarakat. Nampak bahwa wacana kekuasaan sebetulnya bukan berada pada
posisi suprastruktur melainkan beroperasi pada level bawah di mana tidak ada lagi
176 Michel Foucault (1980), Power/Knowledge, Hlm. 172177 Ibid., Hlm. 175178 Ibid., Hlm. 172-175179 Michel Foucault (1976), The History of Sexuality, Hlm. 105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
hubungan oposisi biner antara penguasa dan yang dikuasai.180 Keluarga sungguh-
sungguh menjadi tempat di mana kekuasaan itu terlaksana baik melalui proses
pedagogisasi nilai, sosialisasi perilaku maupun normalisasi dan patalogisasi
perilaku individu.
Keluarga dengan karakter biologis diintensifkan demi pengembangan
ekonomi politik negara. Selain itu muncul pula aturan baru dengan tujuan untuk
melakukan kodifikasi hubungan sosial antara orang tua dan anak. Kodifikasi
hubungan orang tua dan anak secara eksplisit menyangkut angka kelahiran,
kematian anak, pertumbuhan anak, pertahanan hidup anak dan perkembangan
anak. Tidak sekedar mengatur angka kelahiran, perkembangan, dan kematian anak
akan tetapi merupakan terjadinya manifestasi kekuasaan melalui proses
manejerialisasi ruang hidup manusia.
Fungsi keluarga bukan sekedar menyangkut sistem kekerabatan, akan
tetapi sebagai aspek material kekuasaan negara untuk mengikat dan
mengintensifikasi relasi-relasi sosial yang berdasar pada ikatan kekeluargaan atau
hubungan biologis.181 Keluarga tidak lagi sekedar gambaran hubungan orang tua
dan anak atau produksi individu, akan tetapi sebagai bagian dari aparat pendidikan
yang mengkonsolidasi diri anak dalam interioritas tradisi keluarga yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
Kembali ke pokok persoalan mengenai hubungan darah dalam konteks
wacana kebangkitan adat Ambon, urgen untuk dipertimbangkan adalah
bagaimana karakter biologis atau hubungan darah difungsikan sebagai alat
legitimasi kekuasaan. Korelasi antara hubungan darah dan kekuasaan dalam
perspektif Foucault menegasi hasrat akan kekuasaan. Hal ini ditandai oleh
keinginan untuk mengukuhkan klaim keistimewaan penduduk lokal Ambon untuk
berkuasa. Keistimewaan hak penduduk lokal Ambon dikukuhkan melalui
serangkain aturan-aturan adat mengenai status kepemimpinan anak adat,
kedudukan raja dan saniri negeri yang ditetapkan berdasarkan relasi hubungan
darah.
Cara pandang semacam ini terdeteksi dalam pernyataan-pernyataan
mengenai hak keistimewaan penduduk lokal Ambon dalam struktur birokrasi
politik. “Apakah mereka yang bukan anak adat dapat memimpin di daerah
adat?” sebuah pernyataan yang selalu didegung-degungkan terkait eksistensi adat
Ambon dan hak keistimewaan penduduk lokal Ambon. Muncul semacam
kebutuhan untuk memikirkan aspek biologis dalam kontestasi kekuasaan politik di
tingkat lokal. Terjadi pula komodifikasi hubungan darah berdasarkan interioritas
tradisi keluarga. Tradisi keluarga dalam pengertian ini merujuk pada pendasaran
kultural pada hubungan darah yang termanifestasi dalam struktur sosial
masyarakat Ambon seperti rumahtau, uku/huku, soa, hena/aman dan “negeri
adat”.
Di sisi lain, hasrat akan kekuasaan dalam konteks wacana kebangkitan
adat tercemin pula melalui ide “siwalima” yang dijadikan sebagai dasar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
pengelompokkan masyarakat berdasarkan hubungan darah. “Siwalima” yang
ditandai dengan sistem soa cenderung diposisikan sebagai elemen penting dalam
konstruksi identitas orang Ambon dan representasi hubungan darah sekaligus
hubungan kultural. Mengikuti cara pandang semacam ini penting untuk
dipertimbangkan adalah persoalan hubungan darah yang terkandung dalam
masing-masing ikon kultural sebetulnya menyangsikan eksistensi adat sebuah
tatanan nilai yang mencerminkan kebiasaan dan cara mengada orang Ambon.
Perkara hubungan darah dalam konstruksi wacana kebangkitan adat Ambon justru
terjebak upaya memikirkan hubungan darah sebagai alat legitimasi politik atas
kekuasaan.
Pada titik ini kiranya semakin nampak bagaimana wajah politik adat dalam
praktek wacana orang Ambon. Persoalan hubungan darah dalam konstruksi
wacana kebangkitan adat tidak sekedar menegasi hak-hak penduduk lokal Ambon,
akan tetapi menegasi pula keinginan kuat penduduk lokal Ambon untuk tetap
melanggengkan status quo. Kehendak untuk meresistensi mekanisme kekuasaan
dominan yang dinilai merepresi adat dan peran penduduk lokal Ambon, malah
sebaliknya justru sedang mereproduksi mekanisme kekuasaan dominan yang
sedang dikritik. Dengan kata lain, pembicaraan mengenai hubungan darah dalam
konteks wacana kebangkitan adat Ambon sebetulnya mencerminkan hasrat orang
Ambon sendiri untuk mau ikut berkuasa dari pada membiarkan warga pendatang
memimpin di Ambon; dan wacana kebangkitan adat Ambon yang coba
ditempatkan sebagai arena konstestasi nilai-nilai budaya lokal malah direproduksi
sebagai arena kontestasi kekuasaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
Atas dasar itulah dapat ditegaska bahwa urgensi wacana kebangkitan adat
Ambon sebetulnya mempersepsikan adat bukan dalam pengertian tatanan nilai-
nilai budaya lokal, akan tetapi wacana kebangkitan adat cenderung
mempersepsikan adat sebagai arena kontestasi kekuasaan. Dalam rangka
melegitimasi kekuasaan tersebut relasi hubungan sungguh-sungguh ditempatkan
sebagai alat legitimasi politik. Relasi kuasa yang dikukuhkan melalui relasi
hubungan darah akhirnya memungkinkan orang Ambon membicarakan kebenaran
wacana kebangkitan adat dengan tujuan untuk menaklukan atau menguasai.
Penaklukan ini bekerja secara efektif ketika masyarakat dengan kehendak
sendiri menerima kebenaran adat tanpa merasa perlu untuk mempertanyakan.
Dengan cara semacam ini, teknologi pendisiplinan individu-individu dalam
masyarakat menjadi mekanisme kontrol paling efektif. Bahkan kekuatan teknologi
pendisiplinan dengan tujuan untuk menguasai justru sangat rentan tejadi dalam
kelompok masyarakat homogen. Homogen dalam pengertian kesamaan identitas
seperti dalam relasi hubungan darah seperti yang terjadi di Ambon. Homogenisasi
merujuk pada legitimasi hubungan darah sebagai dasar untuk mengidentifikasi
kesamaan identitas.
Dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon, proses homogenisasi
yang memungkinkan kekuasaan beroperasi secara efektif teraktualisasi dalam ide
“siwalima”. Itulah sebabnya dapat dimengerti mengapa kemunculan wacana
kebangkitan adat di Ambon seringkali mengkondisikan masyarakat Ambon
membicarakan signifikansi “siwalima”. Proses merevitalisasi budaya “siwalima”
akhirnya menyangsikan kembali narasi yang dibangun selama ini bahwa nilai-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
nilai budaya “siwalima” terdistorsi, akan tetapi upaya merevitalisasi budaya
“siwalima” justru mencerminkan hasrat akan kekuasaan untuk berkuasa di
Ambon.
4.1.5. Kekuasaan Simbolik dalam Polemik Gelar Adat
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa gejolak kebangkitan adat
tidak hanya memasuki fase pengintegrasian kekuatan lokal, akan tetapi
mengalami perluasaan dengan cara mendorong atau merangsang pengakuan
terhadap eksistensi adat. Secara simbolik pengakuan tersebut dirayakan melalui
pemberian sejumlah gelar adat Maluku kepada kelompok elit politik seperti yang
telah disebutkan dalam uraian bab sebelumnya. Beberapa elit politik cukup
menyita perhatian publik Ambon adalah Dr. Susilo Bambang Yudoyono, Yusuf
Kalla dan Ir. Said Assagaff. Praktek tersebut pada kenyataannya menimbulkan
wacana kontroversial di kalangan anak muda Maluku dan para pemangku adat
Maluku.
Pada satu sisi praktek pemberian sejumlah gelar adat Maluku nampaknya
dilandasi oleh kriteria penilaian normatif. Kriteria penilai normatif ini merujuk
pada ukuran kepantasan seseorang menerima gelar adat. Rasio kepantasan
berdasar pada pertimbangan historis dan rekam jejak sang penerima gelar adat.
Dengan kata lain, pemberian gelar adat diperhadapkan dengan persoalan
sejauhmana kontribusi sang penerima gelar adat terhadap kehidupan masyarakat
Maluku. Di sisi lain, muncul suara-suara yang bernada lebih oposisi. Atas nama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
adat dan harga diri praktek pemberian gelar adat diklaim tidak pada tempatnya.
Artinya praktek pemberian gelar adat diklaim bahwa cenderung dipolitisasi demi
kepentingan politik berupa balas budi dan pencitraan diri.
Bertolak dari polemik semacam ini sekilas memang menghadirkan
keinginan kuat penduduk lokal untuk melindungi kehormatan adat. Akibatnya
polemik gelar direduksi sebatas persoalan pantas/tidak pantas; benar/salah dari
praktek tersebut. Akan tetapi yang hendak disoroti lebih kritis pada kesempatan
ini bukanlah sekedar perkara pantas tidaknya seseorang menerima gelar adat;
layak tidaknya seseorang menerima gelar adat; dan bukan pula sekedar balas budi
atau pencitraan diri. Akan tetapi di balik polemik gelar adat yang melibatkan
kelompok anak muda Maluku dan sebagian pemangkuh adat Maluku penting
untuk dipertimbangkan bersama adalah kebutuhan untuk melakukan pengawasan
secara efektif terhadap hasrat berkuasa yang diproduksi dalam wacana
kebangkitan adat. Pengawasan ini tercermin dilakukan dengan cara mengisolasi
pertimbangan-pertimbangan politis yang dinilai tidak mencerminkan jati diri ke-
Ambon-an. Akibatnya tidak mengherankan jika muncul keinginan agar pemberian
gelar adat hanya diperuntukan kepada seseorang yang berasal dari kelompok
masyarakat yang secara gentik memiliki keterikatan emosional dengan
masyarakat Ambon-Maluku.
Sayangnya dalam situasi tersebut anak muda dan para pemangku adat lupa
bahwa model pengawasan semacam ini sebetulnya bukan untuk melindungi adat;
melainkan semakin mencerminkan kepatuhan total terhadap adat. Adat
diposisikan sebagai nilai kekutamaan yang berfungsi mengatur dan mengawasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
seluruh anggota masyarakat. Kepatuhan ini tercermin pula melalui keterjebakan
mereka (anak muda dan pemangku adat) dalam wacana kontroversial yang
diproduksi. Keterjebakan tersebut secara implisit mencerminkan kekuatan
pendisiplinan subyek. Pada titik ini, Foucault mengingatkan kita agar selalu sadar
bahwa kekuatan pendisiplinan sejatinya bukan untuk meniadakan individu yang
kurang bermutu melainkan untuk melatih individu menjadi manusia yang patuh
dan berguna. Model pengawasan semacam ini biasanya cenderung bersifat
panoptik dengan prinsip unverifiable, yakni sadar bahwa diri selalu berada dalam
pengawasan atau pantauan.183
Melalui teknologi pendisiplinan, efek kekuasaan teraktualisasi secara
mutlak dalam bentuk micro-physics of power (mikro-fisik kekuasaan) yakni
pembentukan ruang validitas adat. Cara pandang ini berhubungan langsung
dengan peran institusi kekuasaan dan aparat kebenaran (kaum muda dan
pemangkuh adat) dengan cara membangun ruang validitas adat baik menyangkut
nilai kepantasan atau ketidakpantasan; klaim politik balas budi dan pencitraan
diri.184 Untuk itu, persoalannya bukan lagi sekedar perkara pantas tidaknya
pemberian sejumlah gelar adat, akan tetapi yang perlu dipertimbangkan di sini
adalah dari mana kita bisa mengatakan kepantasan dan kelayakan tersebut?
Mengapa kita bisa mengatakan praktek tersebut merupakan politik balas budi atau
pencitraan diri?
183 Michael Foucault (1979), Discipline and Punish, Hlm. 201184 Ibid., Hlm. 26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
Lebih lanjut polemik seputar praktek pemberian gelar adat yang ribut
dipersoalkan secara implisit mencerminkan otoritas kekuasaan masyarakat dalam
internal Ambon. Dalam perspektif Foucault, kondisi semacam ini berhubungan
dengan ide arts of government (seni pemerintahan). Arts of government merujuk
pada;
Practices of government are, on the one hand, so varied that theyinvolve a great number of people: the head of family, superior in theconvent, the teacher or tutor in relation to the child or the pupil, sothat there are several forms of government among which the Prince’srelation to his state is only one particular mode; and on the otherhand, all these governments are internal to the states of society.185
Arts of government mengandung otoritas kekuasaan pada tingkat micro-
politics dengan tujuan untuk mendukung agenda politik kekuasaan pada tingkat
macro-politics. Istilah micro-politics merujuk pada kekuasaan pemerintahan lokal
sedangkan macro-politics merujuk pada kekuasaan negara. Posisi micro-politics
di hadapan macro-politics bertujuan untuk mendukung atau menyebarkan agenda
macro-politics.186 Dengan cara semacam ini wacana kontroversial adat sebetulnya
merupakan bagian dari bagaimana agenda negara direalisasikan pada tingkatan
lokal. Konsekuensinya adalah mekanisme kekuasaan dominan (negara) yang mau
dikritik justru sebaliknya direproduksi secara simbolik melalui gelar adat.
185 “Praktek pemerintahan yang pada satu sisi, sangat beragam sebab melibatkan sejumlah besarorang seperti melibatkan kepala keluarga, superior, guru atau tutor dalam relasinya dengan anakatau murid, sehingga beberapa bentuk pemerintahan yang terjadi dalam negara hanyamencerminkan salah satu aspek partikular dalam relasi kerajaan; di sisi lain, praktekpemerintahan lebih merujuk pada aspek internal dari kehidupan masyarakat dalam Negara”.Derek Hook (2007), Foucault, Psychology and the analytics of power, New York: PalgraveMacmillan, Hlm. 225.186 Ibid., Hlm. 224
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
Kondisi semacam ini baiklah untuk disadari sebagai otokritik sebab sering
kali agenda-agenda politik semacam ini hanya direduksi sebatas pantas tidak
pantasnya praktek adat. Singkatnya, pada satu sisi wacana kekuasaan dalam
polemik gelar adat menegasi otoritas kekuasaan dalam lingkup internal adat yang
terlegitimasi melalui relasi hubungan darah. Di sisi lain, pereduksian polemik
gelar adat hanya menunjukkan keterjebatan diri dalam kekuasaan adat.
4.2. Subyektivitas dalam Wacana Kebangkitan Adat Ambon
Setelah membicarakan relasi kuasa dalam konstruksi wacana kebangkitan
adat Ambon, persoalan berikutnya yang perlu dipertimbangkan adalah aspek
subjektivitas. Hal ini sejalan dengan fokus analisis Foucault diakhir masa
hidupnya yang berpusat pada kategori subjek. Hal ini mencerminkan keinginan
Foucault untuk membicarakan tindakan manipulasi terhadap tubuh manusia yang
dijadikan sebagai individu yang patuh sekaligus berguna. Oleh sebab itu sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Hubert L. Dreyfus & Paul Rabinow bahwa
sebetulnya inti pemikiran Foucault bukan mengenai kekuasaan melainkan
mengenai sejarah pembentukan sejarah manusia sebagai subjek.187
Dengan kata lain, penelusuran Foucault mengenai hubungan kekuasaan
semakin memperlihatkan orientasi pemikiran yang lebih mengarah pada
subjektivasi kekuasaan. Subyek hanyalah sarana kekuasaan atau tempat di mana
187 Hubert L. Dreyfus & Paul Rabinow (1982), Michel Foucault: Beyond Strukturalism andhermeneutics, Chicago: University of Chicago Press, Hlm. 208
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
kekuasaan memanifestasikan dirinya.188 Pergeseran orientasi analisis Foucault
menegaskan keterputusan epistemologis dari pemikiran Foucault mengenai
kekuasaan. Relasi kuasa tidak dilihat sebatas individu dengan negara melainkan
individu dengan dirinya sendiri sebagai subyek. Jadi subyek diposisikan sebagai
tempat memproduksi makna dan hubungan kekuasaan.
Dalam konteks itu pembahasan mengenai proses subyektivasi kekuasaan
dalam wacana kebangkitan adat Ambon akan ditempatkan pada persoalan
mendasar mengenai subyektivitas macam apa yang dibentuk dalam wacana
kebangkitan adat Ambon. Mengikuti cara pandang semacam ini proses
subyektivasi kekuasaan akan dijabarkan berdasarkan kerangka teoretik
subyektivitas melalui: (1) proses objektivasi subjek berdasarkan status of siences
(wacana ilmiah); (2) objektivasi subyek melalui dividing practices (praktek
pemisahan) entah dalam diri sendiri maupun dipisahkan dari orang lain.189 Kedua
pokok tersebut akan diuraikan secara rinci di bawah ini.
4.2.1. Ke-Ambon-an dalam Kendali Wacana Ilmiah
Proses objektivasi manusia sebagai subyek tidak terlepas dari kendali
wacana ilmiah. Wacana ilmiah yang dipakai sebagai instrumen dasar
pembentukan subyek terjadi melalui berbagai riset atau penelitian-penelitian
ilmiah. Tujuannya adalah pembentukan kebenaran wacana yang secara praksis
188 Sara Mills (2003), Foucault, Hlm. 35189 Hubert L. Dreyfus & Paul Rabinow (1982), Michel Foucault, Hlm. 208
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
berfungsi secara esensial untuk membentuk individu. Dalam konteks itu, proses
objektivasi subyek selalu berada di bawah kendali wacana ilmiah.
Kebutuhan untuk menciptakan wacana ilmiah sebetulnya bukan sebatas
pendasaran keilmiahan, akan tetapi sebagai manifestasi dari efek kekuasaan yang
menegasi diri subyek yang tidak dapat terfiksasi secara mutlak.190 Dengan kata
lain, subyektivitas selalu dalam posisi subject positions dalam wacana ketika
dipikirkan atau dibicarakan.191 Ada semacam seni menginterpretasi subyek
dengan tujuan untuk membentuk pengertian atau kebenaran melalui berbagai riset
atau penelitian-penelitian ilmiah. Dalam konteks itu, subyek dalam wacana ilmiah
akan selalu dimaknai secara terus menerus.
Proses objektivasi subyek serta karakter dasar subyek yang tidak pernah
tuntas terfiksasi mendasari pembacaan saya terhadap subyektivitas ke-Ambon-an
dalam wacana kebangkitan adat. Pada satu sisi, status wacana ilmiah didasarkan
pada pengetahuan lokal akan adat yang dinilai mengalami kehancuran sejak rezim
Orde Baru. Hal ini kemudian diterima sebagai kebenaran mutlak oleh masyarakat
dengan maksud untuk membangkitan keinginan bersama memperjuangkan adat.
Cara pandang semacam ini pada kenyataannya tidak terlepas dari keterlibatan
berbagai institusi lokal majelis adat Maluku/Upulatu dan para intelektual Maluku
dalam merumuskan dan membicarakannya adat secara terus menerus.
190 Hubert L. Dreyfus & Paul Rabinow (1982), Michel Foucaul, 179191 Julia Menard-Warwick (2005), “Both a fiction and an existential fact: theorizing identity insecond language acquisition and literacy studies” dalam Linguistics and Education, Hlm. 257
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
Pemberian status keilmiahan pada adat secara kongkrit ditunjukkan
melalui berbagai tulisan akademis yang terpublikasi sejak pasca konflik Maluku.
Beberapa karya tulis ilmiah yang juga disebutkan dalam kajian pustaka dalam
penelitian ini antara lain: “Nasionalisme kaum pinggiran: dari Maluku, tentang
Maluku, untuk Maluku” yang dipublikasikan pada 2004; “Menatang badai
menabur damai: napak tilas raja dan latupati merajut kembali jaringan
persaudaraan” yang dipublikasikan pada 2007; “Menggali sejarah dan kearifan
lokal Maluku” yang dipublikasikan pada 2012; dan seminar serta lokakarya
bertemahkan budaya lokal. Secara singnifikan akumulasi gagasan akademis
semakin mengukuhkan status keilmiahan adat dalam rentang waktu
kemunculannya sejak pasca konflik 1999.
Status keilmiahan adat semakin terkukuhkan ketika membidik peran
institusi-institusi publik sebagaimana layaknya “laboratorium adat”. Di samping
kehadiran institusi adat seperti organisasi Majelis Adat Maluku, kemunculan
wacana adat merajut kerja sama dengan Universitas Pattimura Ambon. Dalam
rangka perdamaian berbasis kultural, keterlibatan Universitas Pattimura Ambon
menjadi sangat penting dalam ajang pertemuan para pemuka adat dan tokoh
masyarakat sejak Januari 2003.192 Upaya-upaya semacam ini tentunya tidak
sebatas mencerminkan upaya masyarakat Ambon memikirkan adat atau
menjadikan adat sebagai modal kultural membangun Maluku; akan tetapi semakin
melegitimasi status keilmiahan wacana kebangkitan adat. Inilah yang sejak awal
normal/abnormal) dan sekaligus sebagai sebuah metode analitis pendistribusian
kekuasaan.194
Fenomena semacam ini selain menunjukkan proses objektivasi subyek
melalui praktek pemisahan, lebih dari pada itu fenomena semacam ini
menunjukkan proses operasionalisasi kekuasaan yang bekerja secara efektif
melalui mekanisme pengawasan. Pengawasan semacam ini mencerminkan sebuah
mekanisme pendisiplinan subyek yang tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan
institusi-institusi kekuasaan (seperti penjarah, sekolah, rumah sakit, keluarga, dan
negara) sebagai yang pihak yang melegitimasi pengawas dan kontrol terhadap
individu.195
194 Ibid., Hlm. 199195 Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
Proyek pendisiplinan individu sebagaimana yang telah dijelas atas atas
cara tertentu terjadi dalam lokalitas Ambon. Mengikuti cara pandang semacam
ini, mekanisme pendisiplinan yang mengobjektivasi orang Ambon terjadi melalui
praktek pemisahan antara lokal/pendatang; anak adat/bukan anak adat.
Sayangnya, kenyataan semacam ini sering kali direduksi hanya sebatas
mempersoalkan apakah yang bukan anak adat; atau pendatang dapat memimpin di
Ambon (daerah adat), tanpa menyadari bahwa sistem biner semacam ini justru
mereproduksi dan melegitimasi kekuasaan yang sedang dikritik. Para intelektual
dan tokoh adat sebagai aparat kebenaran sayangnya hanya sibuk mempersoalkan
keistimewaan hak anak adat dari pada menyadari relasi kuasa yang menyebar
dalam masyarakat. Praktek dan mekanisme adat diterima oleh masyarakat sebagai
sesuatu yang terberi (take for granted) tanpa merasa perlu untuk mempertanyakan
secara kritis.
Ketidaksadaran semacam ini penting untuk diungkapkan agar menjadi
otokritik dalam memahami secara krtis bagaimana diri dikendalikan oleh wacana
adat. Pada titik ini pembicaraan dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon,
kiranya tidak lagi dibatasi sebatas sistim biner lokal/pendatang akan tetapi
bagaimana memahami diri sendiri dalam praktek dan mekanisme adat. Artinya
menyadari bahwa setiap tindakan yang dilakukan selalu berdasarkan tipe subyek
tertentu yang mempunyai sedikit pilihan karena dibungkam oleh adat. Dalam
konteks itu, diri selalu berada dalam keterikatan dengan identitasnya dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
menjadi subject-ed yang tunduk pada aturan dan norma yang dibentuk oleh
pengetahuan mengenai identitas diri.196
Persoalannya adalah apakah keterikatan tersebut dikarenakan oleh adanya
kondisi yang merepresi? Dalam perspektif Foucault, keterikatan tersebut pada
dasarnya bukan kerena sesuatu yang merepresi melainkan karena subyek itu
didisiplinkan dengan cara diawasi, dipantau dan dinormalisasikan secara terus-
menerus sehingga menghasilkan sebuah kepatuhan. Kepatuhan semacam ini
bukan didasarkan pada sebuah paksaan melainkan dengan cara menginternalisasi
kuasa penaklukan ke dalam diri sendiri. Proses internalisasi kuasa penaklukan ini
dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon bekerja melalui keinginan
(diseases of power) menjadi seorang anak adat yang ideal; menjadi orang Ambon
yang ideal.
Mekanisme kekuasaan bekerja melalui keinginan menjadi orang Ambon
ideal, hidup berdasarkan identitas ke-Ambon-an ideal yang diasumsikan selalu
terikat dengan adat istiadat. Keterikatan dengan identitas ke-Ambon-an ini secara
spesifik didasarkan pada relasi hubungan darah dan kesatuan teritorial. Pada titik
ini, proses objektivasi subyek terikat dengan identitas diri sebagai orang Ambon
sungguh-sungguh menjadi sarana efektif dari aktualisasi kekuasaan. Kekuasaan
dalam konteks ini bekerja secara unverifiable, yakni individu tidak mengetahui
kapan dirinya diawasi namun yakin bahwa ia sedang diawasi.197 Dengan kata lain,
identitas keambonan yang terbentuk melalui relasi hubungan darah atas salah satu
196 Michel Foucault, “subject and Power” dalam Chicago Journals:Critical Inquiry, Vol 8 No.4,The University of Chicago Press, hlm. 781197 Michael Foucault (1979), Discipline and Punish, Hlm. 201
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
cara merepresentasikan mekanisme pengawasan panoptik yang membuat setiap
individu (orang Ambon) sadar bahwa selalu berada dalam pengawasan dengan
menjadi orang Ambon yang baik, patuh, dan setia terhadap aturan dan mekanisme
adat. Dengan cara semacam ini, kekuasaan tidak lagi sesuatu yang negatif (seperti
larangan, hukuman, pemisahan), akan tetapi bersifat positif dengan tujuan untuk
membentuk individu-individu yang patuh dan berguna.
4.3. Catatan Penutup
Bertolak dari seluruh penjelasan dalam bab ini beberapa poin penting
dapat ditegaskan sebagai bentuk kesimpulan. Pertama, hubungan kekuasaan
dalam wacana kebangkitan adat bekerja secara efektif melalui: loyalitas semu
terhadap adat, menerima dan melaksanakan adat tanpa merasa perlu untuk
dikritisi. Kondisi semacam ini ditempatkan dalam keseluruhan pembahasan
mengenai rezim kebenaran adat. rezim kebenaran adat bekerja pula melalui cara
orang Ambon memikirkan adat melalui dorongan dan rangsangan dari institusi-
institusi adat dan para intelektual. Termasuk dengan bagaimana mengorganisir
hubungan darah kebagai alat untuk melegitimasi hasrat berkuasa. Ironinya wacana
kebangkitan adat bukan mencerminkan perjuangan adat, melainkan
memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu untuk berkuasa.
Efek dari hubungan kekuasaan dalam konstruksi wacana kebangkitan adat
Ambon justru bukan menempatkan orang Ambon sebagai subyek melainkan
diobyektivasi melalui kerja akademis dan identitas imajiner yang ditawarkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
melalui adat. Kuasa dalam wacana kebangkitan adat Ambon membangun
kesadaran semua menjadi seorang anak adat dan orang Ambon yang ideal dengan
taat terhadap adat. Dengan kata lain, sadar diri sebagai anak adat atau orang
Ambon berarti taat terhadap adat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
BAB V
PENUTUP
Penelitian mengenai wacana kebangkitan adat, secara khusus di Ambon
merupakan salah satu upaya menyingkap hubungan kekuasaan dan konstruksi
subyektivitas. Melalui penelitian ini saya mencoba untuk mempertanyakan
kembali antusiasme banyak daerah di Indonesia, secara khusus masyarakat
Ambon yang memilih untuk menghidupkan kembali “negeri” adat di seluruh
wilayah Maluku. Dalam konteks itu, penelitian ini tidak berpretensi untuk
mendukung atau menafikan perjuangan adat akan tetapi mencoba untuk
mengembalikan adat pada tatanan wacana. Upaya ini secara sederhana merupakan
upaya pembacaan kembali sejarah tentang adat yang mencuat dalam satu
dasawarsa terakhir di Indonesia.
Setelah melakukan penyelidikan secara mendalam pada masing-masing
bab dalam tesis ini, saya ingin mengemukakan beberapa penegasan umum dalam
bentuk kesimpulan terhadap apa yang telah dikemukakan sebelumnya. Sekaligus
mengemukakan harapan saya untuk dipertimbangkan bersama berdasarkan
pergumulan selama menggeluti topik ini. Paling tidak menginspirasikan para
pembaca tesis ini untuk dipertimbangkan dalam studi-studi selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
5.1. Kebangkitan Adat dan Ilusi Pembebasan
Kemunculan adat dalam satu dasawarsa terakhir menimbulkan sejumlah
persoalan. Kemunculan adat kadang-kala difungsikan sebagai instrumen guna
merumuskan realitas hidup. Adat diposisikan sebagai kekuatan bersama untuk
mempertanyakan posisi dalam kesatuan hidup bernegara. Kemampuan
merumuskan realitas hidup ini tanpa disadari terkukuhkan sebagai sebuah
kebenaran ilmiah dalam masyarakat. Kebenaran dalam perjuangan adat diterima
dan diamini oleh masyarakat. Sayangnya apa yang diterima sering kali dianggap
tidak perlu lagi untuk dipertanyakan.
Muncul keyakinan terhadap orang banyak selama ini mengenai adat.
Keyakinan tersebut mengandung suatu kebenaran akan kehancuran nilai-nilai
kearifan lokal dan marginalisasi hidup akibat pengambilalihan tanah-tanah ulayat,
eksploitasi hutan dan sumber daya alam untuk kepentingan pembangunan
nasional serta konversi desa-desa adat seperti yang terjadi di Ambon. Ironinya
legitimasi terhadap kebenaran tersebut semakin sulit dikendalikan ketika
kebenaran tersebut diperkuat melalui berbagai riset dan penelitian-penelitian
ilmiah serta keterlibatan institusi-insititusi kekuasaan yang secara spesifik
membicarakannya. Dalam lingkup nasional, salah satu institusi kekuasaan yang
berpengaruh secara signifikan atas wacana kebangkitan adat di Indonesia adalah
organisasi AMAN yang dibentuk pada 1999 di Jakarta.
Keterlibatan institusi-institusi kekuasaan seperti yang telah disebutkan di
bab-bab sebelumnya tidak hanya membuat banyak orang semakin menyakini
kebenaran dalam perjuangan adat, akan tetapi mendorong dan merangsang banyak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
orang untuk dengan kehendak sendiri mengukuhkan perjuangan adat. Berdasarkan
kenyataan semacam ini Foucault mengingatkan kita agar selamanya tidak terbuai
dengan kondisi semacam ini. Melalui Foucault, kita diingatkan untuk selalu
menyadari bahwa apa yang disebut kebenaran selalu bersifat politik. Politik dalam
pengertian bahwa kebenaran yang diproduksi dalam wacana, justru merupakan
tempat dimana hubungan kekuasaan diproduksi dengan tujuan untuk menguasai
atau menaklukan orang lain.
Dengan demikian, apa yang disebut kebenaran pada hakekatnya tidak
pernah berada di luar kekuasaan; sebaliknya kebenaran tersebut merupakan efek
hubungan kekuasaan yang tersebar dan bergerak secara terus menerus mengikuti
gerak perkembangan wacana. Kekuasaan yang dimaksudkan di sini tidak selalu
bersifat negatif (larangan) dan bukan pula milik kelompok tetentu, akan tetapi
bersifat positif. Kekuasaan itu tidak sebatas melarang akan tetapi kekuasaan itu
pula yang merangsang, mengatur sekaligus mengintensifkan dan bisa berasal dari
berbagai sumber. Kekuasaan dalam pengertian ini selalu bersifat imanen dan co-
ekstensif dengan tubuh sosial.
Demikian pula kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat sebetulnya
bukan dalam pengertian memberi daya untuk mengatakan benar/salah atas
perjuangan adat, melainkan pengetahuan itu sendiri yang merupakan kekuasaan.
Inilah hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan yang menjadi ciri khas
pemikiran Foucault. Jadi persoalannya bukan lagi dalam pengertian mengapa
perjuangan itu benar atau salah; akan tetapi dari mana kita bisa mengatakan
perjuangan tersebut benar/salah? Inilah titik yang perlu disadari sebab kerja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
kekuasaan dalam perkembangannya meski tidak lagi menyentuh tubuh, akan
tetapi menyentuh pikiran sehingga kadang-kadang kita tidak bisa lagi menyadari
keberadaannya.
Pengetahuan sebagai kekuasaan; dan hubungan antara pengetahuan dan
kekuasaan selalu diproduksi dalam tatanan wacana. Hal ini dalam
implementasinya dalam tesis ini sejalan dengan topik yang saya geluti selama ini.
Cara pandang yang ditawarkan oleh Foucault tidak hanya memampukan saya
dalam melakukan pembacaan ulang terhadap kemunculan adat yang ramai
dibicarakan oleh banyak orang, melainkan mengkritisi secara konstruktif
kebiasaan masyarakat yang dengan begitu mudah mau menerima segala sesuatu
yang diwacanakan sebagai sesuatu yang terberi tanpa merasa perlu untuk
dipertanyakan. Secara khusus dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon,
orang Ambon tidak lagi menyadari bahwa kekuasaan itu justru bekerja melalui
loyalitas mereka terhadap adat.
Konsekuensinya orang banyak cenderung lebih banyak menyibukan diri
dengan mencari pendasaran rasional atas kemunculan adat dari pada mau mau
mempertanyakan secara kritis perjuangan adat. Ada apa dengan adat? Mengapa
harus dengan menggunakan adat? Mengapa adat tiba-tiba begitu penting untuk
dibicarakan? Atasnama adat, apakah mekanisme kekuasaan yang sungguh-
sungguh dikritik ataukah sebaliknya malah direproduksi demi kepentingan
kelompok-kelompok tertentu?
Seperti yang telah ditunjukkan oleh Tania Li dalam penelitiannya di
Sulawesi Tengah, justru terjadi sebaliknya. Penggunaan adat justru hanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
difungsikan untuk mendukung agenda politik tertentu. Seperti yang disebutkan
oleh Tania Li, penggunaan adat lebih banyak untuk memobilisasi massa melawan
negara, atau pun untuk mendukung pembentukan klaim politik atas kedaulatan
teritorial. Secara lebih kritis yang patut dipertimbangkan adalah mengapa atas
nama adat orang mau bersedia mendukung perjuangan adat? apakah kemunculan
adat juga merupakan bagian dari kesadaran nasionalisme baru di tengah-tengah
tatanan kehidupan masyarakat Indonesia?
Berbicara mengenai nasionalisme, kita kembali pada ide dasar dari
Benedict Anderson yang saya telah sebutkan pada bagian penulisan latarbelakang
dari tesis ini. Anderson dengan gaya pemikiran Antropologis mengkonsepsikan
nasionalisme dengan mengacu pada konsep bangsa sebagai “an imagined
political community-and imagined both as inherently limited and sovereign”.198
Yang penting untuk digaris bawahi adalah imagined, limited, sovereign, dan
community. Pertama, istilah imagined merepresentasikan semacam bayangan
tentang hidup bersama. Tiap-tiap anggota komunitas sebetulnya tidak saling
mengenal secara pribadi, akan tetapi selalu membayangkan bahwa mereka
disatukan dalam sebuah komunitas.199
Kedua, istilah limited merepresentasikan keterbatasan cakupan wilayah
teritorial negara tertentu yang selalu dibatasi oleh kehadiran negara lain. 200
Mustahil bahwa seluruh umat manusia yang tersebar dibayangkan dapat
adat selama ini benar-benar meresistensi mekanisme kekuasaan dominan ataukah
mereproduksi kekuasaan demi kepentingan kelompok tertentu?
Analisis wacana kritis mengenai hubungan kekuasaan seperti yang telah
ditunjukkan dalam uraian bab IV secara khusus menunjukkan kemampuan
mereproduksi mekanisme kekuasaan yang sedianya mau dikritik melalui
perjuangan adat. Kekuasaan bekerja melalui kemampuan masyarakat merumuskan
realitas hidup dan identitas ke-Ambon-an seperti ketika mengorganisir karakter
biologis dalam pembicaraan mengenai kebangkitan adat. Konsekuensinya,
pendasaran rasionalitas atas keistimewaan hak anak adat dipraktekkan sebagai
sebuah kebenaran mutlak yang perlu mendapatkan pengakuan dari etnis lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
182
Memang tidak dipungkri bahwa mula-mula hal ini terasa berat, akan tetapi dengan
dikondisikan oleh rezim wacana kebangkitan adat pengakuan terhadap kebenaran
dan mekanisme adat akhirnya bisa lahir dari kehendak sendiri.
Di sisi lain, upaya meresistensi kekuasaan dengan tujuan untuk mencapai
otonomi diri pada kenyataannya melahirkan kepatuhan. Kepatuhan ini terjadi
melalui proses subyektivasi kekuasaan. proses subyektivasi kekuasaan
mencerminkan bagaimana subyek (orang Ambon) dikonstruksi oleh wacana adat,
baik melalui berbagai kajian akademis maupun imaji akan indentitas ke-Ambon-
an ideal yang ditawarkan dalam adat. Terjadi proses objektivasi subyek (ke-
Ambon-an) melalui wacana ilmiah. Realitas hidup dirumuskan berdasarkan
pendasaran rasional yang dibentuk di bawah kendali berbagai institusi kekuasaan.
Dengan cara demikian, otonomi dan pembebasan diri niscaya tidak akan
terjadi. Apa yang dibayangkan mengenai pembebasan diri, melepaskan diri dari
mekanisme kekuasan dominan, justru jatuh dalam kendali teknologi pendisiplinan
berupa pengawasan dan normalisasi. Orang Ambon dari hari ke hari diawasi
secara terus menerus melalui berbagai regulasi. Kehadiran regulasi-regulasi adat
berfungsi untuk mengukuhkan pembicaraan mengenai adat yang terjadi selama
ini. Di sisi lain, penaklukan terhadap orang Ambon terjadi melalui keterikatan
dengan identitas diri sebagai orang Ambon atau pun anak adat. Dalam konteks ini
kuasa bekerja melalui keinginan untuk hidup berdasarkan identitas sebagai orang
Ambon atau anak adat yang ditawarkan dalam wacana adat. Keterikatan dengan
identitas melahirkan objektivasi diri sebagai orang Ambon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
183
Pada titik ini, wacana kekuasaan bekerja secara halus di mana individu
tidak lagi bisa mengetahui kapan dirinya diawasi, dikontrol dan didisiplinkan.
Inilah mekanisme pengawasan panoptik yang membuat orang Ambon tidak sadar
bahwa selalu berada dalam pengawasan. Jadi, operasionalisasi kekuasaan tidak
lagi bekerja secara negatif melainkan secara positif dengan tujuan untuk
membentuk individu-individu yang patuh dan berguna untuk mendukung agenda
perjuangan adat dari tokoh adat.
5.3. Angan-Angan Politisku: Radikalisasi Kerja Adat
Setelah mencermati secara seksama dinamika wacana kebangkitan adat di
Ambon persolan yang tidak bisa dihindari adalah legitimasi kekuasaan adat dan
penaklukan individu. Bagaimana dan melalui mekanisme seperti apa hal tersebut
dilaksanakan telah diuraikan dalam penelitian ini. Akan tetapi yang menjadi
harapan ke depan adalah mungkinkah kerja adat dapat diradikalisasi? Harapan ini
berkaitan dengan upaya merumuskan kerja adat sebagai praktek politis.
Secara de facto, kemunculan adat dalam ruang publik politik di Ambon
mengiring adat ke tingkat pembentuk ruang politik tunggal, atau kepemimpinan
lokal (pribuminisasi). Konsekuensinya pengakuan terhadap identitas tunggal
penduduk lokal Ambon tidak dapat dipungkiri. Di samping itu, persoalan muncul
ketika harus berhadapan dengan realitas masyarakat Ambon yang lambat-laun
semakin majemuk. Pada titik ini yang perlu dipertimbangkan bukan lagi sekedar
pantaskah seseorang yang bukan anak adat dapat memimpin di daerah adat seperti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
184
yang selalu digembar-gemborkan selama ini melainkan bagaimana
memaksimalkan peran tiap-tiap individu dalam lokalitas Ambon yang berbeda-
beda demi mewujudkan suatu tatanan hidup baru masyarakat politis.
Sudah barang tentu idealisme semacam ini rasanya sulit untuk
diwujudkan. Akan tetapi sudah sepantasnya hal ini ikut dipertimbangkan ketika
harus berhadapan dengan suara-suara kecil yang selama ini menghendaki agar
dapat terlibat secara aktif. Di sisi lain, meminjam gagasan Laclau-Mouffe dalam
Hegemony dan Socialist stragegy (1985) kurang lebih kita diingatkan untuk selalu
sadar masyarakat selalu berada dalam proses menjadi. Masyarakat adalah praktek
artikulatoris dalam medan hegemoni. Lagi pula medan hegemoni yang didominasi
oleh praktek-praktek artikulatoris tersebut merupakan medan di mana elemen-
elemen tidak dapat terkristalisasi secara mutlak sebab bahanya tidak akan ada lagi
ruang bagi munculnya praktek artikulasi.203 Oleh sebab itu, praktek artikulatoris
perlu ditempatkan dalam konteks konfrontasi dengan praktek artikulatoris yang
antagonistik.204 Praktek artikulatoris selalu terjadi dalam medan penuh perbedaan,
yakni kondisi di mana formasi hegemonik selalu mengandung kekuatan-kekuatan
antagonistik yang memisahkan kekuatan-kekuatan antagonistik.205
Apa relevansinya dengan topik pembahasan dalam penelitian ini? Cara
pandang semacam ini berkaitan dengan upaya melakukan radikalisasi kerja adat
yang menjadi harapan saya. Radikalisasi kerja adat bertujuan untuk
203 Ernesto Laclau and Chantal Mouffe (1985), Hegemony & Social Strategy: Towards a RadicalDemocratic Politic. London-New York: Verso, 134204 Ibid., Hlm. 135-136205 Ibid., Hlm. 136
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
185
memperlakukan adat bukan sebagai sebuah identitas tunggal, atau “blok historis”
dalam pengertian Gramsci dalam formasi wacana kebangkitan adat; akan tetapi
perlu mempertimbangkan bagaimana kebangkitan adat dapat memaksimalkan
secara politis peran tiap-tiap individu untuk membangun dan mengaktualisasikan
kembali ranah sosial yang memungkinkan munculnya perjuangan memaknai
sejarah secara baru.
Radikalisasi kerja adat dalam konteks sosial masyarakat Ambon paling
tidak memungkinkan tiap-tiap individu, baik lokal maupun pendatang dapat
terlibat secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat di Ambon, baik pada level
“negeri” maupun dalam kehidupan berpolitik di Ambon. Persoalan yang selalu
didengungkan bahwa apakah anak dapat dapat memimpin di daerah adat
(Ambon), paling tidak dipertimbangkan kembali agar memungkin setiap warga
dapat terlibat dalam pembangunan masa depan Ambon yang lebih baik. Selain itu,
kemunculan adat perlu dipertimbangkan kembali bukan untuk melegitimasi
kekuasaan dan status quo kelompok tertentu di Ambon, melainkan
memaksimalkan adat untuk memperjuangkan nilai-nilai adat demi membangun
persaudaraan bersama di Ambon.
Cara pandang semacam ini kurang lebih sejalan dengan cita-cita Foucault
dalam kritik wacana yakni mendorong subyek dapat mereimajinasi hidup agar
memasuki dimensi waktu yang baru. Pembentukan masyarakat politis dengan
menyatukan kekuatan-kekuatan sosial yang antagonistik perlu menjadi prioritas
bersama dalam kerja politis adat. Hal ini perlu disadari sebab masyarakat Ambon
sebagai suatu kesatuan sosial politik terdiri dari individu-individu yang memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
186
kelebihannya masing-masing. Untuk itu jika kebangkitan adat di Ambon hanya
bertujuan untuk membentuk suatu identitas tunggal maka perjuangan untuk
meresistensi wacana kekuasaan dominan selama ini hanya mengiring perjuangan
tersebut jatuh dalam upaya mereproduksi mekanisme kekuasaan yang sedang
dikritik.
Untuk itu mustahil untuk dapat keluar dari cengkraman kekuasaan.
Apalagi membayangkan mengenai kemurnian adat ataupun identitas keambonan.
Identitas bukan merupakan sesuatu yang telah ada begitu saja melainkan ada
karena terkonstruksi. Oleh karena itu, pantas untuk dipertimbangkan ke depan
adalah melihat masyarakat sebagai kesatuan sosial yang bersifat plural. Formasi
wacana kebangkitan adat sudah sepantasnya bersedia untuk mengefektifkan peran
tiap-tiap individu tanpa bermaksud untuk membentuk identitas tunggal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
187
DAFTAR PUSTAKA
Buku-BukuAnderson, Benedict (1991), Imagined Communities: Reflection on the origin and
spread of Nationalism, London & New York: Verso.
Anderson, Benedict (1990), Language and power: Exploring political cultures inIndonesia, Ithaca & London: Cornell University Press.
Andibya, Badut W (2008). The Wonderful Islands Maluku: Membagun kembaliMaluku dengan nilai-nilai dan khazana lokal, serta prinsipEnterpreneurial Government, beragam potensi dan Peluang Investasi,Jakarta: Gibon Books.
Brigitta Hauser-Schäublin (2013). Adat and Indigeneity in Indonesia: Culturaland Entitlements between Heteronomy and self-Ascription. Volume 7.Universitätsverlag Göttingen.
Bourdieu, Pierre (1984). The Logic of Practice. Terj. Richard Nice. Cambridge,Massachusetts: Harvard University Press.
Cooley, Frank L (1962). Ambonese Adat: a general description. USA: YaleUniversity Southeast Asia Studies.
Davidson, Jamies. David Henley, Sandra Moniaga (2010). Adat dalam politikIndonesia. Terj. Emilius Ola Kleden dan Nina Dwisasanti dari judulasli The revival of tradition in Indonesian politics: the deployment ofadat from colonialism to indigenism. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.
Dreyfus, Hubert L. & Paul Rabinow (1982). Michel Foucault: BeyondStrukturalism and hermeneutics,Chicago: University of Chicago press.
Effendi, Ziwar (1987). Hukum Adat Ambon-Lease. Jakarta: Pradnya Paramita.
Foucault, Michel (1984). The Foucault Reader. Ed. Paul Rabinow. New York:Pantheon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
188
Foucault, Michel (1976). The History of Sexuality. Terj. Robert Hurley dari judulasli Histoire de la sexualité.New York: Pantheon Books.
Foucault, Michel (1997), Seks dan Kekuasaan, Terj. Rahayu S. Hidayat dari TheHistory of Sexuality, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Foucault, Michel (1979). Discipline and Punish: The Birth of the prison. Terj.Alan Sheridan dari judul asli Surveiller et punir. New York: VintageBooks.
Foucault, Michel (1980). Power/knowledge: Selected interviews & other writings1972-1977, Terj. Colin Gordonm Leo Marshall, John Mepham, KateSoper, New York: Pantheon Books.
Hall, Donal E (2004), Subjectivity: The New Critical Idion, New York andLondon: Routledge.
Hall, Stuart (1997). Representation: Cultural representations and signifyingpractices. London: Sage Inc.
Hardiyanta, P. Sunu (1997). Michel Foucault-Disiplin tubuh bengkel individumodern, Yogyakarta: LKis.
Hook, Derek (2007), Foucault, Psychology and the analytics of power, NewYork: Palgrave Macmillan.
Keuning, J (1973). Sejarah Ambon Sampai Pada Akhir Abad Ke-17, Jakarta:Bharatara.
Laclau, Ernesto and Chantal Mouffe (1985). Hegemony & Social Strategy:Towards a Radical Democratic Politic. London-New York: Verso.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
189
Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia (2004). Dinamika KonflikDalam Transisi Demokrasi: Informasi Konflik dan Potensi IntegrasiBangsa. Yogyakarta: INPEDHAM.
Lembaga Kebudayaan Maluku (2011). Citra Budaya Maluku dalam polapemahaman sistemik. Ambon: Lembaga Kebudayaan Maluku &Pemerintah Provinsi Maluku.
Leirissa, R. Z (2004). Ambonku: doeloe, kini, esok. Ambon: Pemerintah KotaAmbon.
Macsfield, Nick (2000), Subjectivity: Theory of the self from Freud to Haraway,Australia: ELLEN & UNWIN.
Mills, Sara (2003). Michel Foucault. London & New York: Routledge.
McHoul, Alec and Wendy Grace (1993). A Foucault Primer: Discourse, powerand the subject, London and New York: Routledge.
Pattiruhu, C. M. (1997). Seri Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon, Ambon:Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku.
Rahabeat, Rudolf (2004). Politik persaudaraan: Membedah peran pers.Yogyakarta: Buku Baik.
Riry, Abubakar & Pieter G. Manoppo (2007). Menatang badai menabur damai:napak tilas raja dan latupati merajut kembali jaringan persaudaraan,Jakarta: Insos Book.
Salatalohy, Fahmi & Rio Pelu (2004). Nasionalisme Kaum Pinggiran: DariMaluku, Tentang Maluku, Untuk Maluku. Yogyakarta: LKiS.
Saukko, Paulo (2003). Doing Research in cultural Studies: An Introduction toclassical and New Methodological Approaches. London: Sage.
Sarup, Madan (2003). Postrukturalisme dan Posmodernisme: sebuah pengantarkritis. Terj. Medhy Aginta Hidayat dari judul asli An Introductory
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
190
Guide to Post-Structuralism and Postmodernism. Yogyakarta:Jendela.
Takwin, Bagus (2003). Akar-akar ideologi: pengantar kajian konsep ideologi dariPlato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.
Ufi, Josep Antonius & Hasbulla Assel (2012). Mengali Sejarah dan Kearifanlokal Maluku. Jakarta: Cahaya Pineleng.
Catatan Penelitian dan Artikel dalam Bunga RampaiDavid Bourchier. “Kisah adat dalam imajinasi politik Indonesia dan kebangkitan
masa kini” dalam Jamies. Davidson, David Henley, Sandra Moniaga(2010). Adat dalam Politik Indonesia, Terj. Emilius Ola Kleden danNina Dwisasanti dari judul asli The revival of tradition in Indonesianpolitics: the deployment of adat from colonialism to indigenism.Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, Hlm. 125-146.
Tania M. Li. “Adat di Sulawesi Tengah: penerapan kontemporer” dalam Jamies.Davidson, David Henley, Sandra Moniaga (2010). Adat dalam PolitikIndonesia, Terj. Emilius Ola Kleden dan Nina Dwisasanti dari judulasli The revival of tradition in Indonesian politics: the deployment ofadat from colonialism to indigenism. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor,Hlm. 367-405
Pater Burns. “adat, yang mendahului semua hukum” dalam Jamies. Davidson,David Henley, Sandra Moniaga (2010). adat dalam politik Indonesia,Terj. Emilius Ola Kleden dan Nina Dwisasanti dari judul asli Therevival of tradition in Indonesian politics: the deployment of adat fromcolonialism to indigenism. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, Hlm. 77-97
C. Fasseur. “Dilema zaman kolonial: Van Vollenhoven dan perseteruan antarahokum adat dan hokum Barat di Indonesia, dalam Jamies. Davidson,David Henley, Sandra Moniaga (2010). adat dalam politik Indonesia,Terj. Emilius Ola Kleden dan Nina Dwisasanti dari judul asli Therevival of tradition in Indonesian politics: the deployment of adat fromcolonialism to indigenism. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, Hlm. 57-76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
191
Weldemina Yudit Tiwery-Pattikawa. “Apa arti Indonesia Merdeka BagiMaluku?” dalam Fahmi Salatalohy & Rio Pelu (2013). NasionalismeKaum Pinggiran: Dari Maluku, Tentang Maluku, Untuk Maluku.Yogyakarta: LKiS, Hlm. 155-166
Abidin Wakano (2013), “Perjumpaan Identitas Lokal dengan Higemoni PolitikUniformalisme oleh Negara. dalam Fahmi Salatalohy & Rio Pelu(2004). Nasionalisme Kaum Pinggiran. Yogyakarta: LKiS, Hlm. 13-26.
Yance Arizona & Erasmus Cahyadi. “The Revival of Indigenous Poples:Contestation over a special leigislation on masyarakat adat” dalamBrigitta Hauser-Schäublin (2013). Adat and Indigeneity in Indonesia:Cultural and Entitlements between Heteronomy and self-Ascription,Volume 7, Universitätsverlag Göttingen, Hlm. 43-62.
Hatib Abdul Kadir, “Sapa bale batu, batu bale dia: politik revivalisme tradisisiwalima orang Ambon pasca konflik” dalam jurnal Lakon (Vol.1 Juli2012), Hlm 61-75
Julia Menard-Warwick (2005), “Both a fiction and an existential fact: theorizingidentity in second language acquisition and literacy studies” dalamLinguistics and Education, Department of linguistics, one shields ave,USA: University of California, Hlm. 253-274
Michel Foucault, “subject and Power” dalam Chicago Journals:Critical Inquiry,Vol 8 No.4, The University of Chicago Press, hlm. 777-795
Dieter Bartels. “Kebangkitan adat dan Lembaga kolonial dalam penyelesaiankerusuhan antara kelompok Muslim dan Kelompok Kristen diAmbon” dalam Martin Ramstedt & Fadjar Ibnu Thufail (Ed.),Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan kewarganegaraan padaMasa Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia,2011.
Georgius Evergardus Rumphius mengenai Sejarah Ambon: peristiwa-peristiwapenting, baik dalam masa damai maupun masa perang sejakNederlandsche Oost Indische Compagnie berkuasa di Amboina, Terj.Frans Rijoly dari judul asli De Ambonsche Historie, Hlm. 7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
192
R.Leirisa. “Kasus Ambon sebagai pilot project penyelesaian konflik SARA”dalam Stanley (Ed.). Indonesia di Tengah Transisi. Jakarta: Propratria,2000
Dieter Bartels, Tuhanmu Bukan lagi Tuhanku: Perang Saudara Muslim-Kristen diMaluku Tenggah (Indonesia) setelah hidup berdampingan dengantoleransi dan kesatuan Etnis yang berlangsung selama setengahMilenium, Terj. Ani Kartikasari dari judul Your God is No LongerMine: Moslem-Christian Fratricide in the Central Moluccas(Indonesia) after a Half-Millennium of Tolerent Co-Existence andEthnic Unity. Hlm. 1-22
Taurn, Odo Deodatus (1918). Patasiwa dan Patalima: Tentang Pulau Seram diMaluku dan Penduduknya, sebuah sumbangan untuk ilmu bangsa-bangsa, Terj. Frans Rijoly dari judul asli Patasiwa dan patalima: VomMolukkeneiland Seram und sinen Bewohnern.
Aturan Perundang-Undangan- Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1979 tentang
pemerintahan desa- Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Mayarakat Hukum AdatDalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku
- Peraturan Daerah Kota Ambon No 3 Tahun 2008 tentang negeri di kotaAmbon
- Peraturan Daerah Kota Ambon No 13 Tahun 2008 tentang tata carapencalonan, pemilihan, pengangkatan dan pelatinkan serta pemberhentianraja
- Peraturan Daerah Kota Ambon No 14 Tahun 2008 Tahun 2008 tentangpedoman umum anggaran pendapatan dan belanja negeri
- Peraturan Daerah Kota Ambon No 15 Tahun 2008 Tahun 2008 tentangkedudukan keuangan raja dan saniri negeri lengkap
- Peraturan Daerah Kota Ambon No 16 Tahun 2008 Tahun 2008 tentangpedoman umum administrasi negeri
- Peraturan Daerah Kota Ambon No 17 Tahun 2008 Tahun 2008 tentangpedoman umum penetapan batas wilayah negeri di kota Ambon
- Peraturan Daerah Kota Ambon No 17 Tahun 2008 Tahun 2008 tentangpedoman umum pembiayaan dan pengawasan penyelenggaraanpemerintahan negeri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
193
Situs Internet- Abdul Haerah, “Isi Perjanjian Perdamaian Maluku di Malino”, diakses
dari https://www.mailarchive.com/[email protected]/msg00035.html,pada 21 November 2014
- Ichsan Malik, Promoting dialogue untuk resolusi konflik kekerasanmasyarakat di Maluku, 2009
- “Institut Titian Perdamaian” diakses darihttps://www.facebook.com/pages/InstitutTitianPerdamaian/111939478888542?sk=info, pada hari Senin, 29 Juli 2014
- Profil Majelis Latupati Kota Ambon”, diakses darihttp://latupati.blogspot.nl/, diakses pada 3 Agustus 2014.
- Lambang Siwalima Diakses darihttp://www.malukuprov.go.id/index.php/2014-01-29-11-12-57/arti-lambang, pada hari sabtu 23 Agustus 2014.
- “Petisi anak-cucu adat Maluku” dalamhttp://www.petitiononline.com/maluku/petition.html, diakses pada tanggal27 Agustus 2014
- “Dinobatkan jadi raja besar Maluku, SBY kunya sirih” diakses darihttp://latupatimaluku.blogspot.com/2012/09/dinobatkan-jadi-raja-besar-maluku-sby.html, pada tanggal 27 Agustus 2014
- “Assagaff Bertaburan Gelar Adat. PANTASKAH ????” diakses darihttp://catatananakmaluku.blogspot.com/2013/04/assagaff-bertaburan-gelar-adat-pantaskah.html. Pada tangga 27 Agustus 2014
- Sejarah Organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, diakses darihttp://www.aman.or.id/ pada tanggal 7 Januari 2015.
Narasumber Wawancara- Joseph Antonius Ufi, Dosen FKIP Universitas Patimura Ambon, Pengamat
Budaya, dan Konsultan Institut Tifa Damai Maluku.- Hans Suitela, Mantan Raja Negeri Suli.- Aleks Sitanala, Ketua Saniri Negeri Suli.- Doni Silawanabesi, Warga Tial-Daerah Relokasi Pengungsian Tial.- Dedi Rikumaha, Warga Banda- Daerah Relokasi Pengungsian Banda.- Izak Aipassa, Warga Banda-Daerah Relokasi Pengungsian Banda.- Tos Walunama, Warga Larike-Daerah Relokasi Pengungsian Larike- Abdullah Malawat, Raja Negeri Mamala dan Mantan Ketua Latupati
Maluku- Simon Puttinella, Sekretaris dan Pejabat Sementara Raja Negeri Suli.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI