40 BAB TIGA PERSPEKTIF YUSUF QARDHAWI TENTANG BANK ASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN RADHA’AH A. Pandangan Ulama Kontemporer tentang Bank ASI 1. Pendapat Ulama Kontemporer yang Tidak Membenarkan Bank ASI Diantara ulama kontemporer yang tidak membenarkan adanya bank air susu adalah Dr. Wahbah Az-Zuhaily dan juga Majma’ Fiqih Islami. Dalam kitab Fatawa Mua`sirah, beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak dibolehkan dari segi syari’ah. Demikian juga dengan Majma’ Fiqih Islami melalui Badan Muktamar Islam yang diadakan di Jeddah pada tanggal 22-28 Desember 1985/10-16 Rabiul Akhir 1406 H. Lembaga ini dalam keputusannya menentang keberadaan bank air susu ibu di seluruh negara Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank tersebut berdasarkan disiplin ilmu Fikih dan perbincangan mendalam yang berlangsung dalam 2 sesi dengan tiga alasan sebagaimana yang telah disebutkan pada BAB SATU sebelumnya. 1 Bahkan beberapa pendapat dari Dosen Universitas Al-Azhar Cairo juga tidak membenarkan adanya Bank ASI. Alasan mereka itu lebih condong kepada pendapat yang menyatakan tidak boleh karena air susu tersebut merupakan bagian dari pada 1 Syaikh ‘Abdul ‘Azis Ibn Fauzan, Bunuk al-Hillib, di akses pada tanggal 12 Juni 2010 dari http://www.islammessage.com/articles.aspx?cid=1&acid=141&aid=1494
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
40
BAB TIGA
PERSPEKTIF YUSUF QARDHAWI TENTANG BANK ASI DAN
HUBUNGANNYA DENGAN RADHA’AH
A. Pandangan Ulama Kontemporer tentang Bank ASI
1. Pendapat Ulama Kontemporer yang Tidak Membenarkan Bank ASI
Diantara ulama kontemporer yang tidak membenarkan adanya bank air susu
adalah Dr. Wahbah Az-Zuhaily dan juga Majma’ Fiqih Islami. Dalam kitab Fatawa
Mua`sirah, beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak
dibolehkan dari segi syari’ah. Demikian juga dengan Majma’ Fiqih Islami melalui
Badan Muktamar Islam yang diadakan di Jeddah pada tanggal 22-28 Desember
1985/10-16 Rabiul Akhir 1406 H. Lembaga ini dalam keputusannya menentang
keberadaan bank air susu ibu di seluruh negara Islam serta mengharamkan
pengambilan susu dari bank tersebut berdasarkan disiplin ilmu Fikih dan
perbincangan mendalam yang berlangsung dalam 2 sesi dengan tiga alasan
sebagaimana yang telah disebutkan pada BAB SATU sebelumnya.1
Bahkan beberapa pendapat dari Dosen Universitas Al-Azhar Cairo juga tidak
membenarkan adanya Bank ASI. Alasan mereka itu lebih condong kepada pendapat
yang menyatakan tidak boleh karena air susu tersebut merupakan bagian dari pada
1 Syaikh ‘Abdul ‘Azis Ibn Fauzan, Bunuk al-Hillib, di akses pada tanggal 12 Juni 2010 dari
manusia dan manusia itu dimuliakan seluruh anggota badannya dan bukanlah suatu
hal yang mulia melakukan penjualan dan pembelian air susu manusia walaupun
agama telah membolehkan untuk menyewa seorang penyusu dan mengambil upah
kepadanya. Hal ini disebabkan karena menjaga itu adalah dasar pada bolehnya
menyewa penyusu sedangkan susu itu tabi’ dan bukan asal. Bukankah telah kita
ketahui bersama bahwa hubungan susuan itu haram nikah? Dan dengan menjual susu
manusia itu akan membuka jalan kerusakan yang besar karena kita tidak bisa
membatasi penjual dan pembeli sehingga yang terjadi kita tidak mengenal penyusu
dan yang menyusu maka terjadilah kerusakan dalam pernikahan diantara orang Islam,
sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan. Selain itu, Hukum Syara’ menyatakan
bahwa menolak kerusakan lebih didahului daripada mencari kemaslahatan.2
2. Pendapat Ulama Kontemporer yang Membenarkan Adanya Bank ASI
Menurut Yusuf Qardhawi, Bank ASI didukung oleh Islam karena mempunyai
tujuan yang baik untuk membantu orang lemah, terlebih pada bayi yang prematur
bahkan bila perlu susu dibeli jika sang donatur tidak berkenan memberikan susunya.
Memberikan pertolongan tersebut menurut Yusuf Qardhawi sesuai dengan nilai-nilai
Islam, karena sangat membantu para bayi yang terlahir dan kurang beruntung dengan
tidak mendapatkan ASI.3
2 Lajnah Min Asatizihi Qismi al-Fiqh al-Maqarin, Qadhaya …, hlm. 241 3 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid II, terj. Abdul Hayi al-Kattani dkk
(Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 783
42
Dalam pendapatnya, Yusuf Qardhawi mengemukakan beberapa poin, antara
lain:
1. Para ulama fiqih yang berbeda pendapat dalam masalah radha’ah terbagi menjadi
dua golongan, yaitu:
a) Kelompok ulama yang memperluas pengharaman, yaitu mereka yang lebih
berpijak pada kehati-hatian dalam menghukumi hukum haram. Ulama ini
berpendapat dalam beberapa hal, di antaranya:
1) Sedikit maupun banyaknya susuan menimbulkan hukum mahram;
2) Persusuan terjadi tanpa mengenal umur meski dalam usia 40 tahun;
3) Persusuan tidak harus dilakukan dengan menetek;
4) Hukum mahram tetap ada, meskipun susu berasal dari wanita yang telah
mati;
5) Terdapat ulama yang mengatakan bahwa dua anak yang menyusu air susu
kambing yang sama, tetap saja menimbulkan hukum mahram.
b) Kelompok ulama yang mempersempit pengharaman, yaitu pendapat yang telah
disampaikan oleh Imam Lais bin Sa’id yang mengambil riwayat dari Ahmad
yang merupakan pendapat Mazhab Ibnu Hazm bahwa persususan hanya dapat
terjadi dengan menetek langsung dari puting sang ibu. Hal itu dilihat dari
kejelasan arti pada lafadz radha’ah, ardha'athu-turdhi'uhu-irdha'an. Kelompok
ulama ini tidak setuju dengan kelompok pertama karena sifat ‘ummumah tidak
43
bisa timbul antara manusia dan hewan yang merupakan makanan dan
tumpangan mereka.4
2. Kadar susuan yang menjadikan haramnya perkawinan
a) Persusuan tidak harus terjadi dalam hal penumbuhan daging dan tulang;
Yusuf Qardhawi tidak sependapat dengan hadis yang digunakan Ibnu
Qudamah untuk menguatkan pendapat-pendapat jumhur bahwa persusuan yang
dianggap menyusu adalah persusuan yang menumbuhkan daging dan
Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud ra. dari Nabi Saw: “(Tidak ada penyusuan kecuali
yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging” (HR. Abi Daud)
Yusuf Qardhawi beranggapan bahwa jika ‘illat susuan terletak pada
menumbuhkan daging dan menguatkan tulang dengan cara apapun, maka tranfusi
25 Ibnu Hazm, al-Muhalla …,hlm. 187 26 Al-Hafiz Abi Daud Sulaiman Ibn al-Asy’as as-Sajastaniy, Sunan Abi Daud, Juz II, (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996) hlm. 88
58
darah yang dilakukan oleh seorang wanita pada seorang anak akan menimbulkan
hukum mahram. Hal ini dikarenakan darah lebih cepat dibandingkan ASI dalam
menumbuhkan daging dan menguatkan tulang, sehingga masih menimbulkan
keraguan, sedangkan hukum tidak dapat dipastikan dengan dugaan-dugaan karena
persangkaan adalah sedusta-dustanya perkataan dan persangkaan tidak berguna
sedikitpun untuk mencapai kebenaran.27
Akan tetapi, menurut al-Kasaniy, makna ridha’ (persusuan) lebih luas dari apa
yang telah disebutkan tadi, makna menyusui adalah meminum ASI bagaimanapun
caranya. Kata ridha’ tidak terbatas pada menyusui melalui payudara saja, bahkan
orang Arab berkata “yatimun radhi’un” seorang anak yatim meminum susu.
Walaupun yang diminum itu adalah susu sapi atau kambing.28
Di sisi lain, dalam menilai dapatkah hikmah dijadikan sebagai ‘illat hukum,
para ulama berbeda pendapat:
1) Boleh secara mutlak, pendapat ini diperkuat oleh Imam ar-Razi, al-Baidawi, dan
Ibn al-Hajib;
2) Tidak boleh secara mutlak, dan ini merupakan pendapat yang menjadi pegangan
mayoritas ulama;
3) Terdapat perincian (tafsili), apabila hikmah dari hukum tersebut berupa sifat yang
jelas, dan bisa dibatasi, maka boleh menjadikannya sebagai ‘illat . Sedangkan jika
27 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa…, hlm. 786 28 Abi Bakar Ibnu Mas’ud al-Kasaniy, Badai’ as-Sanai’, Juz.IV, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm.
11-12
59
hikmah tersebut samar, tidak jelas, dan tidak bisa dibatasi, maka hikmah tersebut
tidak dapat dipakai sebagai ‘illat . Pendapat ini dianut oleh al-Amidi. Contohnya
adalah kesulitan (masyaqqah) yang merupakan hikmah diperbolehkannya
melakukan qashar shalat bagi yang bepergian.29
Dilihat dari pendapat-pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa pendapat yang
banyak dipakai adalah tidak boleh menggunakan hikmah secara mutlak untuk
dijadikan ‘illat hukum. Bila dilihat dari hal ini, maka adanya hikmah yang terkandung
dalam sifat ummumah yang dijadikan ‘illat dalam persusuan tidak dapat dijadikan
‘illat hukum, karena merupakan hikmah dari persusuan.
Selain itu, hadis mempunyai fungsi terhadap nash al-Quran. Hadis
memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang masih samar dalam al-Qur’an.
Terkadang sunnah datang mentakhsis ayat-ayat al-Qur’an, yaitu menjelaskan bahwa
yang dimaksud Allah adalah sebagian dari cakupan lafaz umum itu, bukan
seluruhnya. Sunnah juga berfungsi sebagai taqyid (membatasi) lafaz mutlak dalam al-
Qur’an. Sunnah bahkan dapat memperluas maksud dari sesuatu yang terdapat dalam
al-Qur’an dengan membuat aturan yang bersifat teknis atas suatu kewajiban.30
Yang dalam hal ini jumhur ulama’ berpendapat bahwa petunjuk nash hadis
yang menunjukkan bahwa persusuan timbul karena hilangnya rasa lapar dan hadis
yang menunjukkan bahwa persusuan yang menimbulkan hukum mahram adalah
29 Al-Amidi, al-Ihkam fi usul al-Ahkam,Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 12 30 Firdaus, Ushul Fiqih Metode Mengkaji Hukum Islam Secara Komprehensif, Jakarta: Zikrul
Hakim, 2004), hlm. 41
60
persusuan yang menghilangkan rasa lapar, menumbuhkan daging, dan menguatkan
tulang menjadi muqayyad pada persusuan dalam kemutlaqan nash dalam surah an-
Nisa’ ayat 23. Oleh karena itu, menurut ulama mazhab empat terjadinya radha’ah
tidak harus melalui penyedotan pada puting susu, namun pada sampainya air susu
pada lambung bayi yang dapat menumbuhkan tulang dan daging.
Selain itu, penyusuan yang dilakukan melalui mulut (wajur) bersifat
mengenyangkan sebagaimana persusuan melalui hidung (sa’ut) karena adanya sifat
memberi makan, sehingga sampainya susu pada lambung dianggap cukup untuk
menimbulkan hukum mahram. Ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah
mengatakan bahwa apabila susu itu dialirkan melalui alat injeksi, bukan mulut atau
hidung, maka tidak menimbulkan kemahraman. Sedangkan menurut ulama
Malikiyyah, meskipun dengan cara ini tetap haram.31 Maka dapat dipahami bahwa
tidak ada perbedaan antara cara bayi meminum susu meski dengan cara apapun.
Sedangkan hadis yang dipakai Ibnu Qudamah untuk mendukung pendapat
jumhur ulama mengenai hukum yang terkandung dalam radha’ah, menurut Abu
‘Ubaid ketika seorang bayi merasa lapar, maka ASI yang mengenyangkan akan
menjadi makanan dan akan menjadi ‘illat dalam hukum penyusuan. Adapun
penyusuan yang menimbulkan hukum mahram adalah seorang bayi yang menyusu
kemudian rasa laparnya hilang karena ASI karena sempitnya lambung seorang bayi
yang dicukupi ASI dianggap dapat menumbuhkan daging, dan daging tersebut
31 Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Ad’illatuhu,(Beirut: Dar al-Fikr al-Ma’asir, 1998) hlm. 7284
61
merupakan bagian dari wanita yang menyusui dan pada akhirnya menimbulkan
hukum mahram. Artinya, tidak disebut dengan radha’ah kecuali dengan adanya rasa
kenyang dan pemberian makan karena rasa lapar. Hal itu didasarkan atas dasar
Artinya: Abu Hurairah beriwayat padaku bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak
menjadi hukum mahram pada penyusuan kecuali yang memecah usus.”
Oleh karena itu, jumhur ulama berpendapat bahwa mengenyangkan akibat
ASI menimbulkan hukum mahram meskipun dilakukan dengan cara minum, wajur
atau sa’uth atau disuntikkan sehingga menghilangkan rasa lapar.34
Bila dilihat dari sisi ‘illat hukum, maka menurut ketentuan umum, syarat ‘illat
yang digunakan sebagai acuan dasar penetapan hukum harus memenuhi sejumlah
32 Al-Hafiz Abi Daud Sulaiman Ibn al-Asy’as as-Sajastaniy, Sunan Abi Daud, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), hlm. 88
33 Abi Bakr Ahmad Ibn al-Husain al-Baihaqiy, Kitab as-Sunan as-Sagir, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), hlm. 137, al-Hafiz ‘Ali Ibn ‘Umar ad-Daruqutniy, Sunan ad-Daruqutniy, Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm. 102
34 Muhammad Ibn ‘Ismail al-Kahilaniy, Subul as-Salam, Juz III, (Bandung: Dakhlan, tt),
hlm. 214
62
persyaratan diantaranya adalah berupa sifat yang bisa dibatasi dengan akal.
Maksudnya, sifat tersebut dapat ditangkap oleh akal secara langsung dan tidak
mengalami perubahan seiring perbedaan kondisi, situasi serta masing-masing
individu. Seperti sifat yang melekat pada khamr yang dijadikan ‘illat keharaman
mengonsumsinya.
Sifat tersebut sudah menjadi watak dasar dari khamr, tanpa memandang siapa
yang mengkonsumsinya, karena dalam kenyataannya, bisa jadi seseorang
mengonsumsinya, tetapi tidak sampai membuatnya mabuk. Seperti misalnya khamr
tersebut dikonsumsi saat cuaca dingin yang berakibat kadar memabukkannya
berkurang. Dalam permasalahan ini, yang menjadi alasan keharaman khamr adalah
sifat potensial memabukkan yang melekat padanya, bukan efek faktualnya.35
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu
Mas’ud dan Ummi Salamah menurut jumhur ulama bermakna bahwa yang
menjadikan hukum mahram dalam penyusuan adalah potensial ASI dalam
menumbuhkan daging. Hal ini dikarenakan hukum itu tergantung dari ada dan
tidaknya illat, sebagaimana kaidah fiqih:
36ا��)� /�ور �O ��?7 وB�دا و��ا��
Artinya: “Hukum berkisar bersama ‘illatnya, baik ada atau tidak adanya”
35 Muhammad Abu Zahrah,Usul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hlm. 239 36 Wahbah Zuhaily, Usul al-Fiqh al-Islam, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr al-Ma’asir, 1998), hlm.
651
63
Di sisi lain Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa jumhur ulama’ yang
mensyaratkan beberapa hal dalam penyusuan dan pengisapan menimbulkan
keraguan, seperti ketentuan wanita yang menyusui sehingga tidak diketahui siapakah
wanita yang disusu oleh seorang anak? Berapa kadar air susu yang diminum oleh
anak tersebut, apakah lima kali susuan? Apakah sebanyak yang dapat
mengenyangkan? Dan apakah air susu yang sudah dicampur dengan bermacam-
macam air susu lainnya hukumnya sama dengan air susu murni, atau manakah yang
lebih dominan? sehingga karena semua hal itu hukum menjadi tidak jelas karena
menimbulkan keraguan (syak), sedangkan keraguan dalam penyusuan tidak
mengakibatkan hukum mahram. Selain itu, terdapat alasan yang melemahkan
pendapat yang mengharamkan Bank ASI sebagaimana yang termuat dalam buku-
buku mazhab Hanafi, diantaranya keraguan dalam hal identitas pemberi ASI,
intensitas penyusuan, dan percampuran air susu.37
Jumhur ulama, sebagaimana menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali,
menyatakan bahwa penyusuan harus dilakukan dengan adanya keyakinan. Apabila
timbul keraguan (syak) dalam persusuan, maka harus dibangun adanya keyakinan
dalam penyusuan tersebut karena dalam hal itu asalnya adalah tidak adanya
persusuan yang menimbulkan mahram. Dalam hal ini, meninggalkan keraguan lebih
diutamakan karena syak merupakan hal yang samar.
Hal tersebut sesuai dengan kaidah fiqih:
37 Yusuf Qardhawi, Ijtihad …, hlm. 29-30
64
C=��� الK/ � �0,0٣٨ ا�
Artinya: “Keyakinan tidak hilang karena keraguan”
Oleh karena itu, Syafi’i berpendapat bahwa persusuan harus dilakukan lima
kali dan dengan cara terpisah. Hal ini didukung dengan beberapa hadis dan alasan
yang dijadikan pedoman dalam pemberlakukan bahwa ‘illat yang terkandung dalam
keharaman radha’ah adalah syubhat juz’iyyah, yaitu yang menjadi illat adalah susu
yang menumbuhkan daging dan tulang, dan hal itu tidak terjadi dalam susuan yang
sedikit. Oleh karena itu persusuan yang sedikit tidak mengharamkan, yang
mengharamkan adalah seperti yang tersebut dalam hadis, yaitu lima kali susuan.
Setelah melihat dalil yang diajukan oleh beberapa ulama di atas, maka dapat
ditimbang pendapat mana yang lebih kuat argumentasinya. Menyusui tidak hanya
diteliti melalui bahasa saja sebagaimana yang dikemukakan oleh Kasaniy, namun
juga melalui adanya dalil-dalil nash yang menjadi qayyid (pembatas) bagi nash yang
mutlaq. Hal tersebut didasarkan dengan adanya hadis-hadis yang membatasi arti
persusuan yang terkandung dalam nash al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 23 sehingga
timbul kesimpulan bahwa yang menjadi penyebab ASI itu haram bukan pada cara
menyusuinya namun pada hasil dari menyusui tersebut, yaitu pertumbuhan pada sang
bayi.
Sedangkan apabila dilihat dari beberapa ulama yang berpendapat bahwa
susuan itu dilihat dari kadar ASI, maka sangatlah sulit untuk meneliti hal tersebut
38 Muhammad Abu Zahrah,Usul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hlm. 138
65
dalam Bank ASI, karena dalam mekanisme Bank ASI, terjadi percampuran ASI
beberapa wanita yang tidak diketahui berapa persentase masing-masingnya, maka
tidak ada pembatasan susuan pada masalah ini. Oleh karena itu, Majma' Fiqih al-
Islami melarang pendirian Bank ASI karena dikhawatirkan terjadinya percampuran
nasab yang dilarang oleh Islam.
Dukungan Yusuf Qardhawi dalam pendirian Bank ASI didasarkan atas
beberapa hal, yaitu:
1. Cara mempermudah (taiysir) yaitu dengan menggunakan pemakaian jalan
pertengahan (wasatiyyah) dan seimbang (tawazun)
Dengan alasan adanya tujuan untuk memberikan kemudahan bagi kaum awam
khususnya bagi banyak wanita yang tidak dapat menyusukan anaknya terlebih pada
bayi yang lahir prematur serta bayi yang ditinggal mati oleh ibunya, maka Yusuf
Qardhawi lebih memilih memperketat hukum pokok daripada hukum cabang dengan
ketentuan tidak berbenturan dengan nash-nash yang bermakna jelas dan terang, dan
juga adanya kemudahan yang sejalan dengan nash-nash, kaidah, dan jiwa Islam. Oleh
karena itu, ia lebih memilih kelompok ulama yang mempersempit pengharaman,
yaitu pendapat yang telah disampaikan oleh Imam Lais bin Sa’id yang mengambil
riwayat dari Ahmad yang merupakan pendapat Mazhab Ibnu Hazm bahwa persususan
hanya dapat terjadi dengan menghisap langsung dari putting payudara sang ibu. Ia
tidak memilih pendapat kelompok ulama yang memperluas pengharaman, yaitu
mereka yang lebih berpijak pada kehati-hatian dalam menghukumi hukum haram
(perkawinan).
66
2. Mewujudkan Bank ASI sesuai dengan tujuan maslahah syar'iyyah
Yusuf Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa tidak ada alasan untuk melarang
diadakannya Bank ASI. Pendirian Bank ASI dapat dilakukan karena bertujuan untuk
mewujudkan maslahah syar'iyyah yang kuat dan untuk memenuhi keperluan yang
wajib dipenuhi.
Bantuan pemberian ASI dari Bank ASI bagi anak yang prematur atau yang
ditinggal mati oleh ibunya adalah perbuatan yang baik dimana dalam hal ini terdapat
tujuan yang baik yaitu pemeliharaan terhadap jiwa manusia (hifdhu an-nafs), namun
di sisi lain terdapat kepentingan yang tidak kalah pentingnya yaitu keharusan adanya
pemeliharaan terhadap keturunan (hifdhu an-nasab), sehingga Islam sangat melarang
terjadinya percampuran nasab.
Apabila dilihat dari mekanisme yang ada dalam Bank ASI, maka adalah
sangat mungkin terjadi percampuran ASI dari beberapa ibu. Apabila hal ini ditinjau
dari pendapat Yusuf Qardhawi, maka hal tersebut tidak mempunyai dampak terhadap
bayi dan ibu dalam hubungan persusuan yang mengharamkan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai terjadinya percampuran ASI. Menurut
ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, susu yang dicampur dengan cairan lain itu pun
dianggap sama saja hukumnya dengan susu murni dan tetap mengharamkan nikah
apabila susu itu dicampur dengan susu wanita lain. Menurut Abu Hanifah dan Imam
67
Abu Yusuf yang haram dinikahi adalah wanita yang air susunya lebih banyak dalam
campuran itu.39
Namun, dari perbedaan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa para ulama
tetap mengakui adanya hukum mahram terhadap percampuran ASI. Pendapat ulama
tersebut berawal dari adanya kehati-hatian untuk menjaga agar tidak muncul
terjadinya percampuran nasab.
Apabila dilihat dari pendapat ulama di atas, baik yang tidak menghukumi
maupun menghukumi hukum mahram pada persusuan dalam Bank ASI, maka
terdapat dua pertentangan yang ada dalam hal pemeliharaan terhadap jiwa manusia
(hifdhu an-nafs) dan pemeliharaan terhadap keturunan (hifdhu an-nasab). Pemberian
ASI terhadap bayi yang prematur dan yang ditinggal mati oleh ibunya merupakan
kebutuhan yang bisa ditanggulangi dengan hal lain selain ASI dari Bank ASI, baik
dengan susu formula maupun menyusukan dengan wanita lain.
Berbeda apabila dilihat penyusuan dalam Bank ASI yang mencampur aduk
susu dari beberapa wanita, tentu pada nantinya akan sulit menentukan persentase
kadar dominasi ASI, sehingga akan rentan terjadi percampuran nasab yang
membingungkan. Oleh karena itu, pemeliharaan terhadap keturunan (hifdhu an-
nasab) lebih patut untuk didahulukan. Hal tersebut sesuai dengan kaidah fiqih:
�$H<*را ��ر()�ب أ%� �$H$� إذا ( �ر�� �>��(�ن رو� أ�
39 Wahbah Zuhaily, al-Fiqh …, 7284-7285
68
Artinya: “Bila dua mafsadah berkumpul, maka yang dihindari adalah bahaya yang
lebih besar dengan mengerjakan yang lebih ringan bahayanya”
Argumentasi yang patut diberlakukan adalah pendapat menurut Wahbah al-
Zuhaily bahwa mewujudkan institusi bank susu adalah tidak dibolehkan dari segi
syara’ karena mengandung unsur-unsur kerusakan (mafsadah) dari segi percampuran
keturunan dan tidak jelasnya ibu susuan meskipun Bank ASI dikatakan mempunyai
nilai-nilai kemanusiaan terhadap bayi-bayi yang mengidap penyakit-penyakit
tertentu. Bank ASI juga memunculkan keraguan hukum antara keharusan dan
pengharaman karena seseorang itu menjadi mahram melalui penyusuan sebagaimana
menjadi mahram disebabkan keturunan. Ia tidak setuju terhadap pandangan Ibnu
Hazm yang menyatakan bahwa meminum susu dengan perantaraan botol, gelas dan
sebagainya tidak dianggap penyusuan (radha’).
Dalam hal ini, perantaraan untuk meneguk susu tidak diambil karena pada
pandangan jumhur ulama, ‘illat hukum ini terdapat pada sampainya susu ke dalam
perut bayi walau dengan cara apapun. Sehingga meminum susu dari Bank ASI tidak
dibolehkan karena ia membawa kepada percampuran nasab yang tidak sesuai dengan
ajaran Islam. Oleh karena itu, Wahbah Zuhaily mendukung Majma' Fiqih al-Islami.
Akan tetapi, menurut beliau, pengunaan ASI dalam Bank ASI dapat dilakukan
dengan catatan diharuskan adanya beberapa syarat yang harus dipatuhi yaitu:
1) Hendaklah susu itu diberikan kepada anak-anak oleh seorang wanita saja dan tidak
bercampur aduk agar tidak bercampur nasab apabila ia memberikan susu lebih dari
lima kali yang mengenyangkan.
69
2) Hendaklah pihak pengurus Bank susu mengeluarkan catatan “Ibu Susuan” agar
bayi yang menyusu kelak mengetahui ibu susuan dan saudara susuannya.
Sementara itu, wanita yang tidak menikah tetapi berkeinginan mengambil
anak angkat untuk dijadikan anak susuan harus mematuhi kaidah dan hukum
tersebut.40
Selain itu, kehati-hatian terhadap percampuran nasab karena radha’ah
mendapat perhatian dari Sayyid Sabiq yang berpendapat bahwa banyak dari manusia
menganggap mudah dalam hal persusuan. Mereka pun menyusukan anaknya pada
seorang atau beberapa wanita, dan tidak ada petunjuk untuk mengetahui anak-anak
dan saudara wanita yang menyusui, begitu juga anak-anak suaminya dari selain
wanita tersebut. Hal tersebut ditujukan untuk mengetahui akibat hukum yang timbul,
seperti hukum mahram dan hak-hak kekerabatan baru yang telah dijadikan oleh as-
Syari’ seperti keturunan. Akibatnya, rentan terjadi perkawinan yang dilakukan oleh
seorang lelaki dengan saudara perempuan maupun bibi dari ibu dan ayah dari
hubungan sepersusuan, sedangkan lelaki tersebut tidak mengetahuinya. Oleh karena
itu, diwajibkan adanya sikap kehati-hatian yang tinggi dalam masalah ini sehingga
manusia tidak akan terjatuh dalam hal-hal yang dilarang.41
40 Ummi Saed, Ibu susuan, di akses pada tanggal 12 Juni 2010 dari
http://www.susuibu.com/modules/newbb/viewtopic.php?topic_id=4300&forum=4&posti=173939 41 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 195-196