PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya genetik ternak pada saat ini menghadapi tantangan ganda. Pada satu sisi, permintaan produk peternakan meningkat di negara berkembang, seperti diestimasikan oleh Food Agriculture Organization (FAO), bahwa permintaan susu dan daging asal ternak semakin meningkat dua kali lipat. Di sisi lain sumberdaya genetik ternak semakin terancam keberadaannya di seluruh dunia. Sejak 15 tahun lampau hingga kini, 300 dari 6000 breed yang diidentifikasi oleh FAO mengalami kepunahan (Ruane et al. 2006). Banyak breed lokal yang penting untuk ketahanan pangan tidak diperhatikan dan ditingkatkan pemanfaatannya secara berkesinambungan sehingga berada dalam bahaya kepunahan atau tersingkirkan oleh perkawinan silang atau crossbreeding. Perlindungan dan pengembangan breed lokal sangat penting disebabkan karena breed lokal ini dapat memanfaatkan pakan mutu rendah serta lebih tahan terhadap stress lingkungan dan penyakit. Selain itu, mereka sangat baik beradaptasi terhadap lingkungan, dengan sumberdaya alam yang sangat terbatas dan manajemen yang sangat rendah. Hewan secara genetik menyesuaikan diri dengan kondisi ini yang diharapkan menjadi lebih produktif dengan biaya yang relatif rendah, mendukung pangan, pertanian dan keragaman budaya, dan menjadi efektif untuk mendukung tujuan dari ketahanan pangan lokal. Keadaan yang sama juga akan berdampak pada jenis kambing lokal (kambing kacang) di Indonesia. Dengan keinginan untuk mempercepat produktivitasnya, dilakukan kawin silang dengan breed jenis lain yang diimpor dari luar. Kondisi ini diperparah dengan minimnya penelitian genetik pada kambing di Indonesia. Di Indonesia, kambing kacang memiliki nilai ekonomi yang penting dan disukai oleh masyarakat dan tersebar luas di tangan petani penggarap. Kenyataan ini menunjukkan peranan yang sangat penting dari ternak kambing untuk petani penggarap. Kontribusi dari ternak kambing dari total pendapatan pertanian untuk ruminansia kecil sangat substansial. Produksinya juga memegang peranan penting
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENDAHULUAN Latar Belakang
Sumberdaya genetik ternak pada saat ini menghadapi tantangan ganda.
Pada satu sisi, permintaan produk peternakan meningkat di negara berkembang,
seperti diestimasikan oleh Food Agriculture Organization (FAO), bahwa
permintaan susu dan daging asal ternak semakin meningkat dua kali lipat. Di sisi
lain sumberdaya genetik ternak semakin terancam keberadaannya di seluruh
dunia. Sejak 15 tahun lampau hingga kini, 300 dari 6000 breed yang
diidentifikasi oleh FAO mengalami kepunahan (Ruane et al. 2006). Banyak breed
lokal yang penting untuk ketahanan pangan tidak diperhatikan dan ditingkatkan
pemanfaatannya secara berkesinambungan sehingga berada dalam bahaya
kepunahan atau tersingkirkan oleh perkawinan silang atau crossbreeding.
Perlindungan dan pengembangan breed lokal sangat penting disebabkan
karena breed lokal ini dapat memanfaatkan pakan mutu rendah serta lebih tahan
terhadap stress lingkungan dan penyakit. Selain itu, mereka sangat baik
beradaptasi terhadap lingkungan, dengan sumberdaya alam yang sangat terbatas
dan manajemen yang sangat rendah. Hewan secara genetik menyesuaikan diri
dengan kondisi ini yang diharapkan menjadi lebih produktif dengan biaya yang
relatif rendah, mendukung pangan, pertanian dan keragaman budaya, dan menjadi
efektif untuk mendukung tujuan dari ketahanan pangan lokal.
Keadaan yang sama juga akan berdampak pada jenis kambing lokal
(kambing kacang) di Indonesia. Dengan keinginan untuk mempercepat
produktivitasnya, dilakukan kawin silang dengan breed jenis lain yang diimpor
dari luar. Kondisi ini diperparah dengan minimnya penelitian genetik pada
kambing di Indonesia.
Di Indonesia, kambing kacang memiliki nilai ekonomi yang penting dan
disukai oleh masyarakat dan tersebar luas di tangan petani penggarap. Kenyataan
ini menunjukkan peranan yang sangat penting dari ternak kambing untuk petani
penggarap. Kontribusi dari ternak kambing dari total pendapatan pertanian untuk
ruminansia kecil sangat substansial. Produksinya juga memegang peranan penting
2
untuk menumbuhkan aktivitas pendapatan sebagian besar petani kecil disamping
menjadi sumber protein hewani yang menunjang ketahanan pangan nasional.
Hampir 50.3% populasi kambing di Indonesia terdapat di pulau Jawa. Dari
13 182 064 ekor kambing di seluruh Indonesia, sekitar 6 626 653 ekor kambing
berada di pulau Jawa (Ditjen Peternakan 2005). Di luar Jawa, provinsi yang
memiliki populasi kambing terbanyak adalah Lampung (868 133 ekor), Sumatera
Utara (72 858 ekor), Nangroe Aceh Darussalam (655 242 ekor) , Sulawesi Selatan
(511 895 ekor) dan sisanya 3 798 283 ekor tersebar di provinsi lainnya. Apabila
dibandingkan dengan domba, populasi kambing jauh lebih tinggi. Namun data
yang berkenaan tentang kambing sangat minim, padahal data ini sangat diperlukan
dalam rangka pelaksanaan usaha pemuliaan serta pengembangannya. Disamping
itu, pengaruh iklim, topografi maupun vegetasi menyebabkan penampilan
kambing yang dipelihara di satu wilayah dengan wilayah lain berbeda. Perbedaan
ini diperbesar dengan terjadinya kawin silang dengan kambing jenis yang berbeda
(misalnya etawah maupun peranakan etawah) maupun frekwensi pemindahan
antar pulau kambing lokal pada wilayah yang pulaunya sangat berdekatan. Hal ini
dapat dilihat dari bentuk dan performance ternak kambing kacang di beberapa
pulau yang mempunyai karakter sangat beragam seperti di provinsi Maluku Utara
yang dikenal sebagai Provinsi Kepulauan.
Provinsi Maluku Utara yang terbentuk dengan Undang-Undang No.46
tahun 1999 adalah daerah kepulauan yang terdiri atas 395 pulau besar kecil,
sebanyak 64 pulau dihuni dan 331 pulau tidak berpenghuni, dengan luas 33 278
km2 (23.73%) yang tersebar di atas perairan seluas 106 977.32 km2 (76.27%).
Luas wilayah seluruhnya 140 255.36 km2 dengan hamparan topografi yang
berbukit dengan bergunung-gunung dengan ketinggian tempat yang bervariasi
antara 25 sampai 1000 di atas permukaan laut (dpl). Mata pencaharian sebagian
besar penduduknya adalah bertani tanaman pangan, berkebunan dan nelayan dan
sebagian lainnya melakukan kegiatan usaha sampingan seperti memelihara ternak
sapi, kambing dan unggas (ayam buras, ras dan itik).
Populasi kambing kacang tahun 2005 di provinsi Maluku Utara adalah
101 962 ekor (Badan Pusat Statistik Maluku Utara 2006) dan seluruhnya berpola
peternakan rakyat ekstensif dan diusahakan secara tradisional. Pemeliharaan
3
ternak secara tradisional ini menggunakan ketrampilan yang sederhana dan
menggunakan bibit lokal dalam jumlah dan mutu yang relatif terbatas. Ternak
kambing digembalakan di padang penggembalaan umum, pinggir jalan dan
sawah, pinggir sungai, atau tegalan. Kalau siang hari ternak dibiarkan mencari
makan sendiri dan diberi minum dan dimandikan seperlunya, lalu dimasukkan ke
dalam kandang pada sore hari. Pemeliharaan dengan cara ini dilakukan setiap hari
dan dikerjakan oleh anggota keluarga peternak dengan jumlah kepemilikan rata-
rata 5-10 ekor ternak kambing. Persoalan mendasar yang dijumpai adalah
pengetahuan dan ketrampilan peternak yang masih rendah, akibatnya mereka
mengalami kesulitan mengadopsi teknologi baru, yang konsekuensinya adalah
rendahnya produktivitas ternak kambing di Maluku Utara.
Sehubungan dengan berbagai permasalahan di atas, studi untuk mengamati
dan mempelajari karakterisasi, produktivitas dan dinamika populasi ternak
kambing kacang di provinsi Maluku Utara perlu dilakukan sehingga diperoleh
data dasar yang dapat digunakan untuk landasan bagi pengembangan program
pemuliaan kambing kacang di wilayah ini. Dengan demikian usaha pelestarian
sumber genetik ternak asli khususnya ternak lokal dapat dilakukan dengan tetap
memanfaatkannya secara optimal.
Tujuan Penelitian
Merancang pola pemuliaan dan pengembangan ternak kambing kacang di
provinsi Maluku Utara. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian dilakukan
untuk:
1. Memahami karkateristik petani-ternak khususnya peternak kambing di
Maluku Utara sebagai informasi dasar untuk pengembangan program
pemuliaan ternak kambing di Maluku Utara
2. Melakukan karakterisasi kambing kacang meliputi karakterisasi fenotip
kualitatif, karakterisasi fenotip kuantitatif dan karakterisasi genotip dengan
tujuan untuk menentukan tingkat keragaman dan jarak genetik dalam
populasi pada masing-masing wilayah sebagai database genetik untuk
menentukan arah pengembangan program pemuliaan kambing kacang di
wilayah tersebut.
4
3. Mengkaji penampilan produktivitas kambing kacang serta pola
pertumbuhan anak kambing dengan umur tetua yang berbeda yang
dikawinkan secara acak (tanpa melihat umur serta bobot ) dan tetua yang
terseleksi dan dikawinkan tidak secara acak (terpilih) baik pada ternak
kambing yang dipelihara di stasiun percobaan maupun yang di pelihara
secara tradisional di pedesaan untuk mendapatkan pola pertumbuhannya.
4. Mempelajari dinamika populasi kambing kacang yang meliputi struktur
populasi, gambaran tentang sifat-sifat dasar kambing kacang, tingkat
mortalitas untuk menentukan besaran populasi secara berkesinambungan.
5. Menentukan pola dan program pemuliaan yang berkelanjutan untuk
menghasilkan ternak kambing unggul di Maluku Utara.
Manfaat Penelitian
1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang
berarti bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan peternakan
kambing khususnya berkaitan dengan upaya pelestarian plasma nutfahnya
di Maluku Utara.
2. Diharapkan hasil penelitian ini juga akan memberi petunjuk bagi
pengembangan suatu model dalam rangka pemeliharaan dan pembinaan
kelestarian sumberdaya genetik ternak kambing kacang dalam lingkungan
pedesaan di Provinsi Maluku Utara yang bersifat aplikatif bagi peternak.
5
Kondisi Saat ini - Populasi
relatif tinggi - Produksi
daging saja - Pemeliharaan
tradisional - Jarang
menggunakan kandang
- Sebagai usaha sambilan
- Sering dijangkiti penyakit menular
- Ternak dibiarkan cari makan sendiri
- Tidak ada program pemuliaan
Peluang - Sumberdaya lahan tersedia - Ketersediaan pakan tinggi - Adanya political will
pemerintah daerah - Keragaman breed tinggi - Sosial budaya masyarakat
mendukung
Kambing kacang merupakan
plasma nutfah ternak potensial
Tantangan - Kondisi geografis provinsi
kepulauan - SDM peternak rendah - Skala usaha kecil dan menyebar - Kualitas dan mutu bibit rendah - Perkawinan inbreeding - Tidak jelas pola pengembangan - Data dasar molekuler tidak ada
DINAMIKA POPULASI
- Struktur Populasi
- Sifat-sifat dasar Populasi
Produktivitas dan Pola Pertumbuhan
ASPEK GENETIK - Karakt.
Fenotipe - Karakt.
Genotip
PROGRAM PEMULIAAN
TERNAK KAMBING
Keadaan Umum : - Peternak - Kelembagaan - Aspek sosial
Gambar 1. Kerangka berpikir dalam penelitian ini.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Karakterstik Wilayah Penelitian
Geografi dan Wilayah Administratif
Provinsi Maluku Utara merupakan hasil pemekaran dari wilayah provinsi
Maluku. Ibukota Provinsi Maluku Utara yang definitif adalah di Sofifi.
Mempertimbangkan berbagai aspek daya dukung prasarana dan sarana
pemerintahan yang ada di Sofifi belum memadai untuk menjalankan
pemerintahan, maka dalam rangka menjalankan roda pemerintahan provinsi,
untuk sementara ditempatkan di kota Ternate dan berjalan sampai dengan saat ini.
Secara geografis wilayah Provinsi Maluku Utara berada pada posisi
koordinat 30 Lintang Utara sampai 30 Lintang Selatan dan 1240 sampai 1290
Bujur Timur, dengan batas – batas wilayah sebagai berikut :
• Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Halmahera
• Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Maluku
• Sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Seram (Maluku).
Luas total wilayah provinsi Maluku Utara mencapai 140 255.36 km2,
dengan luas wilayah perairan 106 977.32 km2 (76.27%), dan daratan seluas 33
278 km2 (23.73 %). Terdiri dari 395 buah pulau besar dan kecil. Dari jumlah itu,
sebanyak 64 pulau telah di huni, sedangkan 331 pulau lainnya tidak dihuni.
Jumlah penduduk tahun 2004 sebanyak 910 656 jiwa, rata-rata laju pertumbuhan
sebesar 2.16% per tahun.
Sebagai wilayah kepulauan, provinsi Maluku Utara terdiri dari pulau besar
dan pulau kecil. Pulau yang tergolong relatif besar ialah Pulau Halmahera (18
000 km2), Pulau-pulau yang relatif sedang besar ialah Pulau Obi (3 900 km2),
Pulau Taliabu (3 295 km2), Pulau Bacan (2 878 km2) dan Pulau Morotai (2 325
km2) dan pulau – pulau yang relatif kecil antara lain pulau Ternate, Tidore, Moti,
Makian, Kayoa, Gebe dan sebagainya.
7
Secara administratif pemerintahan, provinsi Maluku Utara terdiri dari 6
Kabupaten dan 2 Kota, yaitu Kabupaten Halmahera Tengah, Kota Ternate,
Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera
Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota
Tidore Kepulauan (Tabel 1).
Tabel 1 Luas wilayah kabupaten/kota di provinsi Maluku Utara
No. Kabupaten/Kota Jumlah kecamatan
Jumlah desa/kelurahan Luas wilayah (km2) Desa Kelurahan
1 2 3 4 5 6 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Halmahera Tengah Kota Ternate Halmahera Barat Halmahera Utara Halmahera Selatan Kepulauan Sula Halmahera Timur Tidore Kepulauan
3 4 5 9 9 6 4 6
31 -
130 174 194 86 41 21
- 63 - - - - -
20
2 276.65 1 122.98
2 897 575 10 493.73 8 977 497 4 977 497
6 506.20 1 797.18
Total 45 676 83 140 255.36 Sumber : Bappeda Provinsi Maluku Utara (2006) Geologi dan Fisiografi
Berdasarkan struktur dan tektonik serta litologinya, geologi sebagian besar
Provinsi Maluku Utara bagian Tengah dan Utara merupakan daerah pegunungan
dengan bahan induk bervariasi. Bagian Utara dan Timur Laut semenanjung
Halmahera didominasi oleh pegunungan, semenanjung Utara disusun oleh formasi
gunung api (Andesit dan bahan batuan beku Andesit). Pada semanjung Timur
Laut ditemukan batuan beku asam, basa, dan ultra basa serta bahan sedimen.
Di semenanjung utara Halmahera terdapat barisan gunung api aktif
dengan bentuk dan struktur yang sangat khas. Pada bagian ini, dataran alluvial
tidak ditemukan, tetapi memasuki daerah Kao ditemukan dataran alluviasi yang
luas pada daerah pedalaman, dataran vulkanik yang berombak dan dataran berawa
secara lokal. Pulau Morotai memiliki banyak kesamaan dengan Pulau Halmahera
bagian Utara dan Timur yang dicirikan oleh gunung-gunung yang berkembang
dari batuan sediment dan batuan beku basa. Pada semenanjung bagian Selatan
Halmahera lebih didominasi oleh daerah gunung yang terutama berkembang dari
8
bahan-bahan sedimentasi dan batu gamping , dimana bagian ini terbentang dataran
sempit alluvial arah Timur-Barat.
Kawasan sepanjang pantai Barat Halmahera terbentang sejumlah pulau-
pulau besar dan kecil yang dimulai dari pulau Ternate bagian Utara sampai Obi di
bagian Selatan. Pulau-pulau kecil di bagian Utara umumnya merupakan daerah
vulkanik yang tersusun dari bahan andesit, dan batuan beku basaltik dengan
lereng curam (30 – 45 %) sampai sangat curam (> 45%).
Kelompok pulau-pulau Bacan mempunyai bentangan lahan pegunungan
yang sama dengan Halmahera Utara yaitu batuan beku basa dan batuan
metamorfik. Batuan metamorfik walaupun menyebar secara lokal tetapi
merupakan batuan induk dominan pada daerah ini. Sepanjang pesisir terdapat
dataran pantai yang sempit, dan bagian tengah dari pusat pulau Bacan dibentuk
oleh daratan alluvial.
Bentang lahan pulau Obi mengikuti pola yang sama, dimana bagian tengah
didominasi oleh daerah pegunungan dengan bahan penyusunnya batuan beku basa
dan diapit oleh deretan perbukitan dari batuan sediment.
Kelompok kepulauan Sulabesi mempunyai struktur yang sama tetapi memiliki
susunan bahan induk yang berbeda sebagian besar pulau. Taliabu dan Pulau
Sanana merupakan daerah pegunungan dengan puncak tajam dan lereng yang
curam, berkembang terutama dari batuan metamorfik. Bagian Barat pulau Sanana
juga ditemukan bahan induk granit.
Topografi
Provinsi Maluku Utara dibentangkan oleh relief-relief besar dimana
palung Oceanis dan punggung pengunungannya saling bergantungan dengan
kemiringan lahannya. Sebagian besar bergunung – gunung dan berbukit – bukit
yang terdiri dari pulau – pulau Vulkanis dan pulau karang, sedangkan sebagian
lainnya merupakan hamparan dataran. Pulau Halmahera mempunyai banyak
pegunungan yang rapat mulai dari teluk Kao, teluk Buli, teluk Weda, teluk
Payahe dan Dodinga. Di setiap daerah terdapat punggung gunung yang merapat
ke pesisir, sedangkan pada daerah sekitar teluk Buli, pesisir barat mulai dari
9
teluk Jailolo ke Utara dan teluk Weda ke Selatan ditemui daerah hamparan
dataran yang luas. Pada bagian lainnya terdapat deretan pegunungan yang
melandai dengan arah pesisir. Pulau – pulau yang relatif sedang (Obi, Morotai,
Taliabu dan Bacan) umumnya memiliki dataran luas yang diselingi pegunungan
yang bervariasi.
Jenis Tanah
Tanah yang terdapat di wilayah provinsi Maluku Utara menunjukkan
sifat–sifat yang berbeda, mulai dari pulau Morotai di bagian Utara sampai pulau
Sulabesi di bagian selatan perbedaan ini disebabkan oleh faktor klimatologi
(curah hujan, suhu dan angin ) yang tinggi.
Selain itu, yang membedakan sifat-sifat tanah adalah tipe batuan/bahan
induk dan kemiringan lereng yang berkorelasi dengan kedalaman efektif
perakaran serta vegetasi dimana tanah itu berkembang. Selain iklim dan vegetasi,
kompleks geologi provinsi Maluku Utara sangat erat hubungannya dengan
penyebaran sifat-sifat tanah. Keadaan geologi dibarengi pula dengan proses
pelapukan dan pencucian di bawah kondisi suhu dan curah hujan yang
bervariasi. Oleh karena itu, tanah di daerah Maluku Utara berada dalam suatu
perkembangan dan kedalaman yang bervariasi dengan drainasi baik, tekstur
tanah halus, kesuburan yang relatif rendah pada daerah-daerah perbukitan dan
pegunungan yang berlereng curam sampai sangat curam dengan penutupan
vegetasi yang jarang. Ini secara relatif juga mempengaruhi erosi permukaan,
sehingga sering ditemukan tanah-tanah dengan kedalaman solum dangkal sampai
sedang dengan tingkat perkembangan lemah sampai sedang. Adapun jenis tanah
yang tersebar di daerah Maluku Utara antara lain, adalah:
1. Jenis tanah mediteran terdapat di pulau Morotai bagian Barat, Timur dan
Selatan, pulau Doi, dan kecamatan Loloda .
2. Jenis tanah podsolik merah kuning terdapat di pulau Halmahera dari Utara ke
Selatan, Tobelo, Ibu, Obi, bagian Timur, Sanana, pulau Taliabu, Oba, Weda,
Patani dan Maba.
10
3. Jenis tanah kompleks terdapat di pulau Morotai bagian Barat dan Timur ,Obi
bagian tengah , pulau Halmahera bagian Tengah sampai Timur.
4. Jenis tanah latosol terdapat di Loloda, Jailolo bagian Selatan, Gane Timur,
Gane Barat, Bacan, Oba, Wasile, Weda dan Maba
5. Jenis tanah regosol terdapat Loloda, Galela, Sahu, Kao, pulau Ternate, pulau
Makian, Pulau Obi di pesisir Utara .
6. Jenis tanah alluvial terdapat di pulau Obi bagian Barat, pulau Taliabu, bagian
Utara dan Tenggara, Oba, Wasile, Weda, Patani dan Maba.
Klimatologi
Secara Umum iklim di kepulauan Maluku Utara hampir sama. Temperatur
rata-rata tahunan yang diukur dari stasiun Duma Galela, Ternate dan Tobelo
antara 25.60 C – 26.10 C dengan curah hujan rata-rata tahunan antara 2.138 mm –
3.693 mm.
Wilayah Maluku Utara dipengaruhi oleh iklim laut tropis dan iklim
musim. Oleh karena itu iklimnya sangat dipengaruhi oleh lautan dan bervariasi
antara tiap bagian wilayah, yaitu Halmahera Utara, Halmahera Tengah/Barat,
Bacan dan Kepulauan Sula.
a. Daerah iklim Halmahera Utara terdiri atas dua musim yaitu :
● Musim hujan pada bulan Desember sampai Februari
● Musim kemarau pada bulan Agustus sampai dengan bulan Desember, yang
diselingi pancaroba pada bulan November – Desember.
b. Daerah iklim Halmahera Tengah/Barat yang dipengaruhi oleh dua musim
yaitu :
● Musim Utara pada bulan Oktober – Maret dan musim pancaroba pada bulan
April.
● Musim Selatan pada bulan April – September yang diselingi angin Timur
dan pancaroba pada bulan September.
c. Daerah iklim Bacan yang dipengaruhi oleh dua musim yaitu :
● Musim Utara pada bulan Oktober – Maret yang diselingi angin Barat dan
pancaroba pada bulan April.
11
● Musim Selatan pada bulan September diselingi angin Timur dan pancaroba
pada bulan September.
d. Daerah iklim kepulauan Sula yang terdiri dari dua musim yaitu :
● Musim Utara pada bulan Oktober – Maret diselingi angin barat dan
pancaroba pada bulan April.
Sebagaimana umumnya daerah Maluku Utara yang didominasi wilayah
laut. Kota Ternate sangat dipengaruhi oleh iklim laut karena mempunyai tipe
iklim tropis yang terdiri dari dua musim (Utara-Barat dan Timur-Selatan), yang
seringkali diselingi dengan dua kali masa pancaroba disetiap tahunnya.
Temperatur rata bulanan 26.96°C (maksimum 30.68 °C – minimum 24.12 °C),
dengan rata-rata kelembaban 86.42 % dan penyinaran matahari 54.42 % dengan
kecepatan angin 4.25 km/jam.
Berdasarkan klasifikasi iklim Schimdt dan Ferguson, daerah Maluku Utara
umumnya bertipe iklim B, dengan rata-rata curah hujan per tahun 1869.4 mm.
Bulan basah adalah bulan dengan curah hujan lebih tinggi atau sama dengan 1000
mm dan bulan kering adalah bulan dengan curah hujan lebih rendah atau sama
dengan 600 mm. Bulan November dan bulan Agustus adalah bulan dengan curah
hujan yang tertinggi selain itu bulan April juga bulan dengan curah hujan yang
tinggi yaitu 293.3 mm (Tabel 2). Periode curah hujan rendah berlangsung pada
bulan September dan Oktober dengan curah hujan terendah 50.8 mm pada bulan
September lihat Tabel 3.
Adapun curah hujan di propinsi Maluku Utara adalah sebagai berikut :
● Curah hujan antara 1000 – 2000 mm, meliputi Pulau Tobelo, Pulau Mangole,
Pulau Sulabesi, Pulau Obi dan sekitarnya, Pulau Bacan dan sekitarnya dan
Pulau Halmahera bagian Selatan.
● Curah hujan antara 2500 – 3000 mm, meliputi Pulau Halmahera bagian Utara,
sebagian Kecamatan Ibu, Galela dan Loloda.
● Sedangkan lainnya adalah curah hujan antara 2000 – 2500 mm per tahun.
12
Tabel 2 Curah hujan, bulan basah dan bulan kering di provinsi Maluku Utara
Kabupaten Curah Hujan per Tahun Pola Tipe Iklim Bulan Hujan Kota Ternate 3000 - 4000 Berfluktuasi Basah CH ≤ 100 = 0 mm/bln
Dinamika populasi menjelaskan suatu keragaman di dalam ukuran
populasi serta komposisi umur-kelamin, laju reproduksi dan mortalitas di dalam
suatu populasi satwa. Dinamika populasi mempelajari bagaimana keragaman
tersebut muncul akibat adanya interaksi antara individu maupun individu dengan
lingkungannya (Bailey 1984).
Berbagai populasi satwa liar sebagai contoh dapat berubah ukurannya
dalam jangka waktu tertentu (satu musim, satu tahun, ataupun beberapa tahun).
Perubahan-perubahan anggota populasi ini sangat penting diketahui agar dapat
mengatur populasi untuk memperoleh suatu jumlah yang optimum sesuai dengan
daya dukung habitatnya. Perubahan ukuran populasi yang tidak beraturan menurut
skala waktunya (irregular) disebut fluktuasi, sedangkan perubahan yang
beraturan dan tetap skala waktunya (regular) disebut siklis. Fluktuasi dapat
disebabkan karena adanya perubahan cuaca, perubahan ketersediaan makanan,
ataupun karena adanya pengaruh perburuan untuk konsumsi manusia. Menurut
Sihombing (1977) bahwa semua makhluk hidup dalam populasi akan berubah
karena pengaruh perubahan lingkungannya.
Menurut Krebs (1978), populasi dapat dikelompokkan ke dalam deme-
deme atau populasi lokal, yang dapat melakukan perkawinan antara organisme.
Setiap populasi memiliki karakteristik kelompok yang beragam. Secara umum,
karakteristik populasi yang paling mendasar adalah ukuran atau kepadatan. Empat
parameter yang mempengaruhi kepadatan adalah natalitas, mortalitas, emigrasi
dan imigrasi. Karakteristik sekunder dari populasi adalah sebaran umur,
komposisi genetik, dan pola sebaran (penyebaran secara individu di dalam suatu
ruang). Karakteristik yang terakhir adalah karakteristik yang dimiliki secara
individual.
Parameter populasi yang utama adalah struktur populasi, yang terdiri dari
seks rasio, distribusi kelas umur, tingkat kepadatan dan kondisi fisik (Van
Lavieren 1982). Kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu unit
luas atau volume. Nilai kepadatan diperlukan untuk menunjukkan kondisi daya
dukung habitatnya.
32
Natalitas merupakan jumlah individu baru (anak) yang lahir dalam suatu
populasi, yang dapat dinyatakan dalam beberapa cara yaitu produksi individu baru
dalam suatu populasi (Odum 1971). Natalitas juga dapat dinyatakan dalam laju
kelahiran kasar (crude birth rate), yaitu perbandingan antara jumlah individu yang
dilahirkan dengan jumlah seluruh anggota populasi pada suatu periode waktu.
Keanekaragaman Genetik
Keanekaragaman genetik seringkali dihubungkan dengan tingkah laku
reproduktif dari individu dalam suatu populasi. Populasi adalah satu kelompok
individu yang kawin satu sama lain dengan menghasilkan keturunan; satu spesies
mungkin mencakup satu atau lebih populasi yang terpisah. Populasi mungkin
terdiri dari satu individu atau jutaan individu (Primack et al. 1998).
Individu di dalam suatu populasi biasanya berbeda secara genetik satu
sama lain. Variasi genetik muncul karena individu memiliki gen yang berbeda,
unit kromosom yang memberi kode untuk protein tertentu. Perbedaan bentuk dari
suatu gen disebut alel, dan perbedaan ini muncul karena mutasi yang terjadi di
dalam deoxyribonucleic acid (DNA) yang membentuk komponen-komponen
individu kromosom. Beragam alel dari satu gen mungkin akan mempengaruhi
perkembangan dan fisiologis suatu organisme secara berbeda. Pengembangbiakan
tanaman dan hewan mengambil keuntungan dari variasi genetik ini untuk
menghasilkan strain yang lebih tahan penyakit terutama untuk spesies yang sudah
dipelihara seperti gandum, jagung dan ternak.
Variasi genetik meningkat sewaktu keturunan menerima kombinasi unik
gen dan kromosom dari induknya melalui rekombinasi gen yang muncul selama
reproduksi seksual. Gen dipertukarkan antara kromosom selama miosis, dan
kombinasi baru diciptakan sewaktu kromosom dari kedua induk dikombinasikan
untuk membentuk keturunan yang unik secara genetik.Walaupun mutasi memberi
materi dasar bagi variasi genetik, namun kemampuan untuk menghasilkan spesies
secara seksual menjadi alel yang disusun secara acak di dalam kombinasi yang
berbeda-beda meningkatkan potensi untuk variasi genetik (Primack et al. 1998).
Lebih jauh dikatakannya, bahwa jumlah variabilitas genetik di dalam suatu
33
populasi ditentukan oleh jumlah gen pool (larikan total gen dan alel di dalam
suatu populasi) yang memiliki lebih dari satu alel (disebut juga gen polymorphik)
dan oleh jumlah alel dari setiap gen yang bersifat polimorfik. Keberadaan gen
polimorfik memungkinkan individu di dalam populasi menjadi heterozygous bagi
gen tersebut untuk menerima alel gen yang berbeda dari setiap induknya.
Pelestarian Sumberdaya Genetik Ternak
FAO memprediksi bahwa paling sedikit satu bangsa ternak tradisional
punah setiap minggu dan lebih dari 30% ternak Eropa sekarang ini diperkirakan
dalam keadaan terancam kepunahan (FAO 1995). Banyak bangsa ternak
tradisional sudah menghilang karena para petani lebih fokus pada bangsa/breed
baru. Sekitar 16% dari bangsa sapi tradisional telah punah dan kurang dari 15%
bersifat jarang (FAO 2000) Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi pemuliaan ternak, bioteknologi, permintaan pasar, mekanisme pertanian
dan produksi ternak, akan mendorong eksploitasi ternak melalui persilangan,
penggantian breed baru (Subandriyo dan Setiadi 2003; Sodhi et al. 2006), maupun
pengurasan stock secara berlebihan, dan pada gilirannya akan mengancam
keragaman genetik ternak. Di lain pihak pelestarian keragaman genetik ternak
akan selalu diperlukan dalam pemuliaan di masa datang, karena tanpa adanya
keragaman genetik, pemuliaan ternak tidak mungkin dilaksanakan untuk
mengantisipasi keperluan di masa mendatang (Subandriyo dan Setiadi 2003)
Pelestarian terhadap sumberdaya genetik ternak lokal sebagai bagian dari
komponen keanekaragaman hayati adalah penting untuk memenuhi kebutuhan
pangan, pertanian dan perkembangan sosial masyarakat di masa yang akan
datang. Ada beberapa alasan untuk ini, antara lain (1) lebih dari 60 persen dari
bangsa-bangsa ternak di dunia berada di negara-negara sedang berkembang; (2)
konservasi bangsa ternak lokal tidak menarik bagi petani; (3) secara umum tidak
ada program monitoring yang sistematis dan tidak tersedianya informasi deskriptif
dasar sebagian besar sumber daya genetik hewan ternak; serta (4) sedikit sekali
bangsa-bangsa ternak asli yang telah digunakan dan dikembangkan secara aktif
(FAO 2001).
34
Ada tiga metode utama program pelestarian plasma nutfah ternak yang
telah dilaksanakan masyarakat atau pemulia: (1) mempertahankan populasi ternak
hidup, (2) penyimpanan beku materi genetik berupa haploid (n) seperti gamet
yakni semen dan oocyte atau berupa diploid (2n) seperti embrio, dan (3)
penyimpanan DNA (deoxyrybonucleic acid). Metode bioteknologi dapat
digunakan untuk mengkarakterisasi gen-gen ternak dan plasma nutfah suatu
populasi. Metode ini akan membantu dalam pembuatan keputusan tentang
pelestarian plasma nutfah yang unik. Studi mengenai struktur dan fungsi gen-gen
pada tingkat molekuler suatu populasi ternak dapat membantu menentukan
kesamaan material genetik yang dibawa oleh dua atau lebih populasi dan
keragaman genetik dalam populasi ternak yang diamati. Identifikasi gen-gen dari
individu ternak akan membantu program pemuliaan (genetik) ternak, yang
membedakan dari penampilan (fenotipe) yang tampak, yang dapat menentukan
proses pemilihan tetua untuk generasi yang akan datang (seleksi buatan). Jika gen-
gen untuk sifat produksi dapat diidentifikasi, ternak-ternak tersebut dapat diseleksi
walaupun tidak diekspresikan oleh individu ternak yang bersangkutan. Sebagai
alternatif, jika mereka dapat diikatkan dengan gen-gen yang diketahui lokasinya
dalam kromosom (marker lokus-lokus), seleksi dapat dilaksanakan berdasarkan
acuan tersebut (Subandriyo dan Setiadi 2003).
Filogeografi Intraspesies
Sebagai prinsip atau proses yang mengarahkan distribusi geografi spesies
tertentu, filogeografi menekankan pada kajian variasi geografi yang mencakup
berbagai tipe karakter seperti morfologi, fisiologi, etologi dan genetik (Lougheed
and Handford 1993). Kajian tersebut memegang peranan penting dalam
memahami proses-proses evolusi, karena variasi-variasi yang bersifat menurun
adalah materi dasar yang terlibat dalam proses seleksi alam dan adaptasi.
Penyebaran populasi suatu spesies dimulai dari variasi-variasi geografi yang
semakin lama semakin berkembang. Filogeografi pada tingkat intraspesies dapat
mengungkap keragaman di dalam spesies, mulai dari tingkat populasi,
subpopulasi, subspesies sampai spesies.
35
Selain dapat menjelaskan pola-pola biogeografi (Mustrangi dan Patton
1997), filogeografi juga memberikan kontribusi pada pemahaman respon populasi
terhadap perubahan lingkungan yang sangat cepat (Avise 1997). Pertama,
populasi konspesies yang berbeda (khususnya yang terpisah dalam kurun waktu
panjang) kemungkinan memberikan respon yang tidak sama terhadap perubahan
lingkungan. Adaptasi terhadap lingkungan menyebabkan gen-gen yang
terakumulasi berbeda antara populasi satu dengan populasi lainnya. Kedua,
perkembangan pesat dalam metode analisis genetik memungkinkan dilakukannya
identifikasi respon populasi terhadap modifikasi lingkungan pada tingkat
intraspesies. Ketiga, analisis filogeografi dapat membuktikan hubungan dekat
antara demografi populasi dan genetik. Hal ini akan berimplikasi pada konservasi
khususnya dalam periode perubahan lingkungan yang sangat cepat. Keempat,
analisis filogeografi dapat menunjukkan catatan-catatan perubahan genetik
sebagai akibat dari perubahan kejadian demografi yang aneh.
Gambar 5 terlihat hubungan asal-usul genetik antara dua populasi
konspesies yang semula berasal dari satu daerah geografi tetapi kemudian terpisah
dalam dua daerah geografi ( daerah I dan II). Adanya Barrier menyebabkan tidak
adanya aliran gen antara populasi B dan C. Filogeni antara keturunan populasi B
dan C semakin berbeda akibat kurun waktu isolasi yang semakin lama. Perbedaan
tersebut dapat ditunjukkan dengan jarak genetik (genetic disttance) yaitu ukuran
perbedaan genetik dari dua takson ( Hillis et al. 1996).
Masa lalu, perspektif filogeografi intraspesies jarang diaplikasikan karena
kekurangan pendekatan genetik molekuler untuk mendapatkan hubungan historis.
Selain itu, juga masih terdapat persepsi luas bahwa pada populasi-populasi yang
masing-masing dapat melakukan silang antar (interbreding), filogeni tidak
memiliki pengertian yang nyata (Avise 1979). Hal tersebut disebabkan analisis
filogeografi dilakukan berdasarkan karakter morfolgi saja sehingga hanya sedikit
dapat menunjukkan keragaman intraspesies.
36
Gambar 5 Hipotesis Avise tentang asal-usul DNA (Avise 1997 dalam Surata
2000). (A) populasi nenek moyang ; (B) populasi yang merupakan keturunan dari populasi A pada daerah I; (C) populasi yang merupakan keturunan dari populasi A pada daerah II ; ( → ) arah divergensi dari populasi induk kepada populasi-populasi keturunannya.
Seleksi dan Breeding
Seleksi dari segi genetik diartikan sebagai suatu tindakan untuk
membiarkan ternak-ternak tertentu berproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak
diberi kesempatan berproduksi (Noor 2004). Lebih jauh dikatakannya bahwa
terdapat dua kekuatan yang menentukan apakah ternak-ternak pada generasi
tertentu bisa menjadi tetua pada generasi selanjutnya. Kedua kekuatan itu adalah
seleksi alam dan seleksi buatan.
Seleksi dalam pemuliaan ternak adalah memilih ternak yang baik untuk
digunakan sebagai bibit yang menghasilkan generasi yang akan datang. Untuk
bidang peternakan, yang diseleksi adalah sifat-sifat terukur seperti kecepatan
pertumbuhan, bobot lahir, produksi susu dan bobot sapih (Falconer 1972). Sifat-
sifat ini memberikan manfaat secara ekonomi disamping harus mempunyai
kemampuan mewarisi yang tinggi yang dapat ditentukan dari nilai
heritabilitasnya.
B1
A
B14 B11 B13 B12
B2
B C
C14 C13 C12 C11
C2 C1
Barrier
Waktu
37
Falconer (1972) yang dikutip oleh Hardjosubroto (1994) mengemukakan
bahwa ada tiga metode seleksi yang sederhana, yaitu:
1. Seleksi individu (individual selection) adalah seleksi per ternak sesuai
dengan nilai fenotipe yang dimilikinya. Metode ini adalah yang paling
sederhana daripada umumnya dan menghasilkan respon seleksi yang
cepat.
2. Seleksi keluarga ( family selection) adalah seleksi keluarga per keluarga
sebagai kesatuan unit sesuai dengan fenotip yang dimiliki oleh keluarga
yang bersangkutan. Individu tidak berperan dalam metode seleksi ini.
3. Seleksi dalam keluarga (within-family selection) adalah seleksi tiap
individu di dalam keluarga berdasarkan nilai rata-rata fenotip dari keluarga
asal individu bersangkutan.
Dasar pemilihan dan penyingkiran yang digunakan dalam seleksi adalah
mutu genetik seekor ternak. Mutu genetik ternak tidak tampak dari luar, yang
tampak dan dapat diukur dari luar adalah performansnya. Performans ini sangat
ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor genetik dan lingkungan. Oleh karena itu,
harus dilakukan suatu pendugaan atau penaksiran terlebih dahulu terhadap mutu
genetiknya atas dasar performnsnya (Hardjosubroto 1994).
Menurut Widodo dan Hakim (1981) dalam Rahmat (2006), pada saat
melakukan seleksi, ternak yang mempunyai performans di atas dari performans
yang telah ditentukan terlebih dahulu akan dipilih, sedangkan yang lebih rendah
dari performans tadi akan disingkirkan. Ternak yang terpilih akan memiliki nilai
rerata performans yang lebih tinggi dari performans keseluruhan sebelum
seleksi. Menurut Hadjosubroto (1994), perbedaan antara rerata performans dari
ternak yang terseleksi dengan rerata performans populasi sebelum seleksi disebut
sebagai diferensial seleksi (selection differential) yang dirumuskan sebagai:
S = ( s - )
Keterangan : S = Diferensial seleksi (selection differential)
= rerata fenotip populasi
s= rerata fenotip sesudah adanya seleksi.
Selanjutnya dikatakan bahwa proporsi dari diferensial seleksi yang dapat
diwariskan kepada generasi berikutnya adalah hanya yang bersifat genetik saja,
38
yaitu sebesar angka pewarisannya (heritability). Jadi, besarnya differensial seleksi
yang diwariskan adalah sebesar h2S dan ini disebut sebagai tanggapan (respon)
seleksi yang akan muncul pada generasi berikutnya.
Pola Pemuliaan (Breeding Scheme)
Pemuliaan ternak adalah usaha jangka panjang dengan suatu tantangan
utamanya adalah memperkirakan ternak macam apa yang menjadi permintaan di
masa mendatang serta merencanakan untuk menghasilkan ternak-ternak yang
diharapkan tersebut (Warwick et al. 1990). Peran pemuliaan dalam kegiatan
produksi ternak sangat penting diantaranya untuk menghasilkan ternak-ternak
yang efisien dan adaptif terhadap lingkungan. Produksi ternak yang efisien
bergantung pada keberhasilan memadu sisitem manajemen, makanan, kontrol
penyakit, dan perbaikan genetik.
Salah satu cara untuk perbaikan genetik pada ternak dilakukan melalui
seleksi dalam kelompok ternak lokal dengan tujuan untuk meningkatkan frekuensi
gen yang diinginkan. Kegiatan seleksi akan efektif bila jumlah ternak yang
diseleksi banyak, walaupun catatan performan individu dari jumlah yang banyak
akan sangat mahal. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah, seleksi atau
peningkatan mutu genetik dilakukan pada kelompok-kelompok tertentu kemudian
disebarkan pada kelompok lain (Wiener 1999). Struktur ternak bibit umumnya
berbentuk piramida yang terbagi menjadi tiga strata (tiers) yaitu pada puncak
piramida kelompok elite (nucleus), kelompok pembiak (multiplier), dan paling
bawah kelompok niaga (Nicholas 1993; Warwick et al. 1990; Wiener 1999).
Pola pemuliaan pada dasarnya ada dua bentuk yaitu pola inti tertutup
(Closed nucleus breeding scheme) dan pola inti terbuka (Open nucleus breeding
scheme). Pada pola tertutup aliran gen hanya berlangsung satu arah dari puncak
(nucleus) ke bawah tidak ada gen yang mengalir dari bawah ke nucleus. Perbaikan
genetik pada commercial stock terjadi bila ada perbaikan pada nucleus.
Peningkatan mutu genetik pada nucleus tidak segera tampak pada strata di
bawahnya. Perlu waktu untuk meneruskan kemajuan genetik pada suatu strata ke
strata berikutnya. Perbedaan performans antara dua strata yang berdekatan
39
biasanya diekspresikan dengan jumlah tahun terjadinya perubahan genetik yang
ditunjukkan oleh perbedaan performan antara strata yang berdekatan (Nicholas
1993).
Pola inti terbuka adalah suatu sistem dimana inti (nucleus) tidak tertutup.
Oleh karena itu, aliran gen tidak hanya dari strata atas ke bawah saja tetapi juga
dari bawah ke atas. Karena itu setiap perbaikan genetik yang diperoleh dari hasil
seleksi di tingkat dasar akan memberikan kontribusi pada peningkatan genetik
inti, yang besarnya kontribusi bergantung pada laju aliran gen dari dasar ke inti.
Dengan masuknya ternak bibit dari kelompok lain ke inti, hubungan kekerabatan
antara induk dengan jantan makin jauh sehingga laju inbreeding berkurang. James
(1979) mengemukakan bahwa kemajuan genetik pada sistem terbuka lebih tinggi
dibandingkan dengan sistem tertutup. Pada sistem terbuka respon seleksi
meningkat 10 sampai 15%, dengan laju inbreeding lebih rendah 50% bila
dibandingkan dengan sistem tertutup pada kondisi dan ukuran sama.
Kosgey (2004) mengemukakan bahwa pola inti terbuka cocok digunakan
untuk pemuliaan domba di negara berkembang (tropik). Selanjutnya dinyatakan
bahwa pola pemuliaan yang digunakan di negara berkembang berbeda-beda sesuai
dengan kondisi lingkungan dan sosial budaya setempat Pola-pola tersebut antara
lain pola tiga strata terdiri atas inti (nucleus), kelompok pembiak (multiplier) dan
populasi dasar; pola dua strata (inti dan peternak); dan pola hanya inti saja, yang
programnya hanya menyeleksi jantan saja serta program seleksi jantan dan
betina.
Karakteristik Ternak
Setiap sifat yang diekspresikan seekor hewan disebut fenotipe. Seekor
hewan atau ternak menunjukkan fenotipenya (P) sebagai hasil pengaruh seluruh
gen atau genotipenya (G), lingkungan (E) dan interaksi antara genotype dan
lingkungan (IGE) (Martojo 1992; Hardjosubroto 1994) Sifat kuantitatif dan
kualitatif pada hewan atau ternak merupakan fenotipe.
Pada program pemuliaan, prediksi perbedaan genetic di antara hewan
dapat berdasarkan observasi fenotipe yang bergantung pada faktor genetik dan
40
lingkungan (Muladno 2006). Fenotipe ternak dapat diketahui melalui ukuran-
ukuran tubuh (Otsuka et al. 1980; Karthickeyan et al. 2006), warna dan pola
warna tubuh, pertumbuhan tanduk (Wiley 1981; Warwick et al. 1990). Warna
termasuk sifat kualitatif seekor ternak. Warna tubuh ternak dianggap sebagai
character displacement untuk membewdakan satu bangsa dengan bangsa lainnya.
Sifat kuantitatif adalah kharakteristik dari makhluk hidup yang dapat
diukur, dihitung atau diskors. Karakter ini ditentukan oleh banyak pasang gen
(poligenik) dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Wiley 1981). Sedangkan
sifat kualitatif seperti warna, pola warna, sifat bertanduk atau tidak bertanduk
dapat dibedakan tanpa harus mengukurnya. Sifat kualitatif biasanya hanya
dikontrol oleh sepasang gen (Noor 2004).
Sifat-sifat kualitatif adalah karakteristik yang pada umumnya dijelaskan
dengan kata-kata atau gambar (Warwic et al. 1990). Spesies-spesies sering
ditandai oleh warna atau pola warna tertentu. Pola warna apabila ada
kemungkinan lebih berguna daripada warna itu sendiri. Hal ini biasanya dianggap
sebagai character displacement untuk menghindari kesalahan saat membedakan
bangsa ternak (Wiley 1981).
Balai Penelitian Ternak Ciawi sudah memulai mengkarakterisasi kambing
Kosta (tahun 1995) dan Gembrong (tahun 1997) serta dilanjutkan oleh Loka
Penelitian Kambing Potong Sei Putih pada tahun 2000-2006 untuk
penelitian/karakterisasi kambing Marica (Sulawesi Selatan), kambing Muara
(Kabupaten Tapanuli Utara-Propinsi Sumatera Utara) dan kambing Samosir
(Kabupaten Samosir- Propinsi Sumatera Utara). Sampai saat ini sudah 7 bangsa
kambing yang sudah dikarakterisasi karakteristik penotipenya, dan akan
dilanjutkan untuk melaksanakan penelitian di beberapa daerah lain lagi (seperti
kambing Benggala- Propinsi Nusa Tenggara Timur, Kambing Wetar- Propinsi
Maluku). Diperkirakan masih banyak lagi bangsa kambing lokal Indonesia yang
belum dapat dikarakterisasi dan sebagian mungkin sudah hampir punah atau
jumlah populasinya sudah mendekati punah padahal kita belum sempat
mengekplorasi potensi keragaman genetiknya untuk dimanfaatkan sebagai sumber
peningkatan mutu genetik kambing di Indonesia
41
Struktur Kimia DNA
Setiap nukleotida tersusun oleh tiga komponen, yaitu molekul gula pentosa
(deoxyribose untuk DNA dan ribose untuk RNA), gugus phospat, dan basa
nitrogen. Dua komponen pertama terdapat di semua nukleotida dengan susunan
dan bentuk yang identik, sedangkan komponen ketiga (basa nitrogen) mempunyai
susunan dan bentuk yang berbeda di dalam suatu nukleotida dengan nukleotida
lainnya. Namun demikian, hanya terdapat macam basa nitrogen penyusun setiap
nukleotida (Muladno 2002).
Berdasarkan bentuk molekulnya basa nitrogen dikelompokan menjadi dua,
yaitu purin dan pyrimidin. Basa purin terdiri atas basa Adenin (A) dan Guanin
(G), sedangkan basa pyrimidin terdiri atas basa Cytosin (C), Uracyl (U) dan
Thymin (T). Perbedaan struktur molekul lima basa nitrogen tersebut disajikan
pada Gambar 6.
Gambar 6 Struktur kimia nukleotida pembawa basa nitrogen adenine (A), guanine (G), citosine (C), thymine (T) dan uracil (U) (Alberts et al. 1994).
Untai ganda DNA tersusun oleh dua rantai polinukleotida yang berpilin.
Kedua rantai mempunyai orientasi yang berlawanan (antiparalel), rantai yang satu
mempunyai orientasi 5’ 3’, sedangkan rantai yang lain berorientasi 3’ 5’.
Kedua rantai tersebut berikatan dengan adanya ikatan hidrogen antara basa
42
adenine (A) dengan thymine (T), dan antara guanine (G) dengan cytosine (C).
Ikatan antara A dan T berupa dua ikatan hidrogen, sedangkan antara G dan C
berupa tiga ikatan hidrogen sehingga ikatan G dan C lebih kuat (Gambar 7).
Spesifitas pasangan basa semacam ini disebut sebagai komplementaritas.
Proporsi basa A dan T serta G dan C selalu sama sehingga komposisi DNA dapat
dinyatakan dengan kandungan G + C (G + C content) yang berkisar dari 26%
sampai 74%. Hal ini dikenal sebagai hukum Chargaff.
Gambar 7 Ikatan hidrogen antarnukleotida. Ikatan antara adenine
(A) dengan thymine (T) dilakukan melalui dua ikatan hidrogen, sedangkan pada ikatan antara guanine (G) dan cytosine (C) ada tiga ikatan hidrogen sehingga ikatan G-C lebih kuat diabandingkan dengan ikatan A-T.
Berkembangnya biologi molekuler dan teknik DNA rekombinan
menjadikan DNA inti dan mitokondria semakin banyak dapat diungkapkan.
Sejalan dengan itu, penggunaan kajian genetika molekul telah mulai banyak
dilakukan dalam dunia Genetika Populasi. Genom mitokondria akhir-akhir ini
sering dijadikan alat dalam genetika populasi seperti penelusuran perjalanan
kolonisasi populasi, pemisahan biogeografi populasi, hubungan filogeni, dan
penelusuran asal-usul hewan (Hayashi et al. 1995; Harihara et al. 1996; Ming
1999; Perwitasari-Parajallah 1999). Selain itu, beberapa penyakit degeneratif,
penuaan, dan kanker sering diimplikasikan dari kerusakan (defek) mitokondria
43
(Wallace, 1999). Cukup strategisnya eksistensi genom mitokondria menyebabkan
biologi mitokondria perlu dipahami secara lebih mendalam.
Penciri DNA
Sejak era Mendel sampai tahun 1980-an, para ahli genetika hanya
mendapatkan penciri genetik lokus tunggal berupa tampilan fenotipe (Crawford
et al. 2000 dalam Margawati 2005). Penciri tersebut diantaranya seperti warna
mata Drosophila atau polimorfisme protein seperti dalam penggolongan darah.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa penciri tersebut pada beberapa peta keterpautan
genetik secara rinci telah dikembangkan pada model jenis seperti mencit dan
drosophila. Namun demikian terdapat beberapa keterbatasan untuk penyusunan
peta keterpautan pada persilangan jenis hewan domestik. Kehadiran teknologi
DNA rekombinan, terutama teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) telah
mengubah secara mendadak hambatan dalam penyediaan penciri DNA. Dengan
demikian seperti sekarang ini dapat dilihat banyak proyek pemetaan keterpautan
untuk jenis ternak apapun dapat direncanakan dan diimplementasikan. Selama
lebih dari satu dasawarsa terakhir ini, terdapat sejumlah penciri DNA yang secara
rinci telah dideskripsikan dalam hubungannya dengan pencarian Quantitative
Trait Loci (QTL), peta keterpautan perbandingan (comparative linkage mapping)
dan pengukuran keragaman genetik dan pengukuran keragaman genetik.
Secara garis besar penciri DNA ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
Multilocus marker dan single locus marker (Crawford et al. 2000 dalam
Margawati 2005). Termasuk dalam multilocus marker yaitu minisatelit atau
variable number tandem reapeat (VNTR), randem amplified polymorphic DNA
fragment (RAPD) dan amplified fragment length polymorphisms (AFLP).
Sedangkan yang termasuk single locus markers adalah restriction fragment
lenghth polymorphisms (RFLPs), Mikrosatelit dan single nucleotide
polymorphisms (SNPs).
44
DNA Mitokondria
Organisme eukariot termasuk ternak domestik, sumber DNA dapat
diperoleh dari organel-organel sitoplasmik antara lain DNA mitokondria
(mtDNA). DNA mitokondria memiliki karakteristik sebagai molekul DNA yang
diturunkan secara utuh tanpa adanya rekombinasi, memiliki molekul dengan
ukuran kecil/pendek yang susunannya berbeda dengan DNA inti, dan memiliki
variasi basa nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan DNA inti. Tingginya
variasi basa nukleotida disebabkan DNA mitokondria memiliki laju perubahan 5 –
10 kali lebih tinggi dibandingkan DNA inti (Muladno 2006).
DNA mitokondria mempunyai beberapa kelebihan yang menjadikannya
banyak digunakan untuk mengidentifikasi keragaman genetik dan dinamika
populasi . Beberapa kelebihan tersebut adalah: (1) memiliki ukuran yang kompak
dan relatif kecil (16 000 - 20 000 pasang basa), tidak sekompleks DNA inti
sehingga dapat dipelajari sebagai satu kesatuan yang utuh; (2) berevolusi lebih
cepat dibandingkan dengan DNA inti; (3) hanya sel telur yang menyumbangkan
material mitokondria sehingga mitokondria DNA hanya diturunkan dari induk
betina; dan (4) bagian-bagian dari genom mitokondria berevolusi dengan laju
yang berbeda, sehingga dapat berguna untuk studi sistematika dan penelusuran
kesamaan asal-usul (Park dan Moran 1995).
Dewasa ini sekuen lengkap basa-basa penyusun genom mitokondria
beberapa jenis organisme, terutama hewan, telah banyak diketahui. Beberapa
diantaranya, bahkan telah banyak dimanfaatkan dalam analisis keragaman genetik
dan biologi populasi pada hewan. Selain dapat melahirkan suatu rekonstruksi
filogenetik dari beberap spesies yang saling berdekatan, hasil analisis tersebut
juga dapat digunakan untuk menelusuri proses pemecahan dari spesies yang satu
terhadap spesies lainnya.
Umumnya DNA mitokondria hewan berbentuk sirkuler dan berutas ganda,
yakni terdiri dari utas berat (Heavy strand) dan utas ringan (Light strand).
Berdasarkan jenis gennya, genom mitokondria ini dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu: daerah penyandi (coding region) dan daerah bukan penyandi
(noncoding region). Daerah penyandi terdiri dari 37 gen, yaitu: 13 gen penyandi
45
protein, 2 gen penyandi rRNA dan 22 gen penyandi tRNA. Gen-gen tersebut
tersebar pada kedua utas mtDNA. Utas ringan dari mtDNA hewan umumnya
terdiri dari : 1 gen penyandi protein yaitu NADH Dehydrogenase 6 (ND.6) dan 8
gen penyandi tRNA yaitu Glutamic acid (tRNAGlu ), Proline (tRNAPro), Serine
(tRNALeu) dan Threonine (tRNAThr). Sebaliknya daerah bukan penyandi, hanya
terdiri daerah control (control region), yang memegang peranan penting dalam
proses transkripsi dan replikasi genom mitokondria (Anderson et al. 1981).
Daerah D-Loop
Daerah bukan penyandi (non coding region) merupakan genom yang tidak
membawa urutan informasi untuk pembentukan protein maupun RNA. Tingginya
angka dari polimorfisme nukleotida atau adanya perbedaan runutan pada kedua
bagian hipervariabel dari non coding region digunakan untuk membedakan di
antara individu dan atau sampel biologis (Melton 1999).
Daerah bukan penyandi (non coding region) atau disebut juga daerah
kontrol (control region) atau D-loop terletak di antara gen penyandi tRNAPro (di
sebelah kiri atau depan) dan gen penyandi tRNAPhe (di sebelah kanan atau
belakang). Daerah ini juga mengandung titik awal replikasi utas berat (H-strand
replication region) dan derah promotor untuk transkripsi pada masing-masing
utas DNA-nya, yaitu : LSP (Light Strand Promoter) dan HSP (Heavy Strand
Promoter).
46
Pada proses awal replikasi mtDNA, ternyata utas berat mtDNA yang
sementara belum bereplikasi, digantikan oleh utas DNA yang berkomplementer
dengan utas ringan (leading strand), sehingga di daerah tersebut terbentuk
struktur tiga rantai seperti gelembung (Clyton 1982 yang dikutip Widayanti
2006). Oleh sebab itu, maka daerah control mtDNA dikenal juga dengan nama D-
loop (Displacement-loop).
D-loop merupakan bagian dari mtDNA yang sangat variatif dalam
subtitusi nukleotida, insersi atau delesi pendek (indels) dan memeliki variabel
number tandem repeat (VNTRs) yang dinamis yang terletak pada bagian yang
hipervariatif dan domain yang khusus (Fumagalli et al. 1996). Daerah D-loop
dibagi menjadi 3 domain, yaitu domain I yang berbatasan dengan tRNAPro, terdiri
dari runutan yang diasosiasikan dengan termination of H-strand replication (TAS)
yang sering mengandung VNTRs (R1 repeats), domain II yang terdapat di bagian
sentral dan bersifat kekal, terdapat conserved sequence block (CSB B, C, D, E dan
F) dan domain III yang berbatasan dengan tRNAPhe, terdiri dari runutan yang
variabilitasnya tinggi karena subtitusi nukleotida, insersi dan delesi (indels) serta
VNTRs (R2 repeat) dan runutan nukleotida bersifat kekal yang merupakan
promotor untuk transkripsi untai berat (heavy strand) dan untai ringan (light
strand) berturut-turut HSP dan LSP, titik awal replikasi strand H (OH) dan daerah
blok runutan pendek yang kekal (Conserved sequence block) CSB1, CSB2, dan
CSB3 (Randi dan Luchini 1998).
Menurut Southern et al.(1998), blok runutan kekal (Conserved sequence
block, CSB) merupakan daerah yang homologinya tinggi yang ditemukan pada
mtDNA lumba-lumba, sapi, manusia dan tikus. Variasi ukuran panjang dari D-
loop mtDNA disebabkan oleh variasi jumlah runutan kopi berulang (sequence
tandem repeat). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Wilkinson dan
Chapman (1991) bahwa adanya runutan nukleotida yang berbeda panjanngnya
antara anak dan induk evening bat disebabkan oleh duplikasi atau delesi runutan
sebesar 81 pb yang berulang dengan kopi sebanyak 5-8 kali di daerah D-loop.
Demikian juga menurut Greenberg et al. (1983), runutan nukleotida di sekitar
daerah awal replikasi untai H pada manusia lebih dari 96% perubahan basanya
adalah transisi dan variasi panjang nukleotida dalam repeat yang berurutan.
47
Pada vertebrata, susunan dari repeat tersebut ditemukan dalam 5 posisi,
dinyatakan sebagai runutan berulang (repetitive sequence) (RS) 1-5 (Hoelzel et
al.1994) dan semua terletak di region replikasi untai H (Gambar 8). RS1 dan RS2
berada di ujung 5’ dari CR dimana replikasi untai H berhenti sebentar,
membentuk untai tiga D-loop. RS3, RS4 dan RS5 berada di ujung 3’ dari CR
upstream dari titik awal replikasi untai H (Hoelzel et al. 1994).
▌ ▌ ▌
Gambar 8 Skema organisasi daerah control mtDNA pada mamalia.
CSB1, CSB2, CSB3: blok runutan berulang; OH : titik awal replikasi untai H; HSP: promotor replikasi untai H; LSP: promotor transkripsi untai L; RS1-RS5: lokasi runutan kopi berulang pada spesies yang berbeda (Savolainen et al.2000).
Prinsip Dasar Penelitian DNA
DNA terdapat di dalam sel organisme, oleh karena itu seluruh bagian
tubuh maupun organ organism dapat dijadikan sebagai sumber untuk
mendapatkan dan mengisolasi DNA. Pada prinsipnya, untuk mendapatkan DNA
dimulai dari ekstraksi dan purifikasi DNA, pengecekan kualitas (konsentrasi) dan
kuantitas DNA melalui alat spektrofotometer. Evaluasi kualitas DNA hasil
purifikasi dapat pula dilakukan dengan gel agarose (Duryadi 2005) dengan standar
konsentrasi tertentu. Menurut Muladno (2002), molekul DNA dikatakan murni
apabila rasio antara nilai OD260 dan nilai OD280 pada sampel DNA diukur melalui
spektrofotometer berkisar antara 1.8 – 2.0. Apabila konsentrasi DNA yang diukur
terlalu kecil, seringkali nilai rasio tersebut sulit digunakan sebagai patokan dalam
menentukan tingkat kemurniannya.
Control region
Cyt b
tRNAPro
tRNAThr
12 sRNA
CSB1 CSB2 CSB3
RS1 RS2 RS3 RS4 RS5
LSP
HSP
OH
48
Ekstraksi DNA pada organisme eukariot (manusia, hewan dan tumbuhan)
dilakukan melalui proses penghancuran dinding sel (lysis of cell walls),
penghilangan protein dan RNA (cell digestion), pengendapan DNA (precipitation
of DNA) dan pemanenan. Prinsip dasar ekstraksi DNA adalah serangkaian proses
untuk memisahkan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Hasil ekstraksi
tersebut merupakan tahapan penting untuk langkah berikutnya (Sulandari dan
Zein 2003).
Memperbanyak DNA target salah satunya melalui teknik PCR
(Polymerase Chain Reaction) PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk
menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis
molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut
dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu
thermocycler (Muladno 2002). Pada suhu 94-950C, DNA mengalami denaturasi.
Apabila suhunya diturunkan antara 36-720C terjadi proses penempelan primer
(annealing). Pada suhu berkisar antara (biasanya) 500C sampai 600C, primer
forward yang runutan nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai
tunggal akan menempel pada komposisi komplemennya, demikian juga primer
reversenya akan menempel pada basa tunggal lainnya. Setelah kedua primer
tersebut menempel pada posisinya masing-masing, enzim polymerase mulai
mensintesis molekul DNA baru (ekstensi) ini terjadi pada suhu 720C. Proses dari
denaturasi-penempelan-ekstensi disebut sebagai satu siklus. Proses PCR biasanya
berlangsung 35-40 siklus (Muladno 2002). Umumnya setelah proses siklus PCR
selesai, ditambah post elongasi selama 5-10 menit pada suhu 720C agar semua
hasil PCR berbentuk untai ganda (Sulandari dan Zein 2003).
Hasil PCR dapat dilihat dengan melakukan elektroforesis pada gel agarose
untuk memisahkan dan mengidentifikasi fragmen DNA sesuai dengan ukurannya.
Prinsip dasarnya adalah jika molekul DNA, yang bermuatan negatif, ditempatkan
pada penghantar listrik (buffer), molekul tersebut akan bergerak menuju ke
muatan positif. Molekul DNA yang berukuran kecil akan bergerak lebih cepat dari
pada yang berukuran besar. Ukuran fragmen DNA hasil elektroforesis dapat
diketahui dengan menggunakan penanda ukuran (marker) yang salah satunya
didapat dari yang telah dipotong oleh enzim restriksi (Dawson et al. 1996).
49
Suatu terobosan utama dalam genetika molekuler adalah perkembangan
metode mensekuens potongan DNA secara cepat (Muladno 2002). Ada dua
metode dalam sekuensing: metode anger atau dideoxy atau Chain-terminating dan
metode Maxam-Gilbert atau chemical, dengan metode yang pertama lebih umum
digunakan (Nicholas 1996). Tiap metode meliputi pembuatan serangkaian
rangkaian tunggal berlabel dengan panjang bervariasi, yang dimulai dari salah
satu ujung fragmen yang sedang disekuens (Nicholas 1996; Duryadi 2005).
Elektroforesis dari rangkaian-rangkaian tersebut berdasarkan ukuran, yang
menghasilkan tangga pita (ladder) berlabel, dengan tiap pita mewakili
tersekuensnya satu basa. Jika pelabelan bersifat radioaktif, gel tersebut kemudian
dikeringkan dan dilekatkan pada film X-ray, yang mencatat keberadaan tiap pita
pada autoradiograf yang dihasilkan (Nicholas 1996). Belakangan ini penggunaan
label memakai bahan fluoresen yang diaktifkan dengan sinar laser akan
menggantikan pelabelan dengan bahan radioaktif.
50
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dibagi dalam dua kegiatan yaitu kegiatan lapangan dilakukan
di Provinsi Maluku Utara selama duabelas bulan mulai Januari s/d Desember
2007 (Lampiran 1). Pertimbangan pemilihan Provinsi Maluku Utara sebagai
lokasi penelitian adalah (1) ada kebijakan pemerintah daerah setempat yang
menetapkan salah satu wilayah menjadi pusat pembibitan ternak kambing kacang,
(2) Secara geografis provinsi Maluku Utara merupakan daerah kepulauan dengan
jumlah ternak kambing yang terbanyak dibandingkan dengan ternak ruminansia
lainnya, (3) tingginya ternak kambing yang diantarpulaukan sehingga terjadi
persilangan dalam yang akan berdampak pada penurunan mutu genetik kambing
di wilayah ini, dan (4) adanya kebijakan pemerintah setempat untuk
mengembangkan sentra pengembangan ternak kambing tipe daging dan perah.
Kegiatan laboratorium untuk analisis DNA dilaksanakan pada bulan
Januari-Maret 2008 di Laboratorium Genetika Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Cibinong kabupaten Bogor.
Bahan dan Alat
Ternak
Karakterisasi fenotip, digunakan 712 ekor kambing kacang dari beberapa
pulau yang mewakili kabupaten/kota yaitu pulau Jailolo (kabupaten Halmahera
Barat), pulau Sofifi (Kota Tidore Kepulauan), pulau Morotai (kabupaten
Halmahera Utara), pulau Bacan (kabupaten Halmahera Selatan) pulau Ternate
(Kota Ternate) dan pulau Sananan (kabupaten Kepulauan Sula). Untuk
karakterisasi genotipe, sampel darah dari 180 ekor kambing diambil secara
intravenus menggunakan venoject dengan tabung vacum 10 ml yang lebih dulu
diisi dengan heparin/etanol. Seluruh sampel darah tersebut merupakan sumber
DNA yang akan dianalisis selanjutnya. Jumlah dan asal masing-masing asal
kambing yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 14.
51
Tabel 14 Jumlah dan lokasi kambing kacang yang diambil darahnya untuk penelitian laboratorium.
Sub-Kelompok Betina : B-2-A, B-4-A, B-6-A, B-8-A dan B-2-B, B-4-B,
B-6-B, B-8-B
64
Diadakan penyilangan (perkawinan) yang tergabung dalam perkawinan setara
antara sub-sub kelompok jantan dan betina dengan metode sebagai berikut:
1. J-2-A x B-2-A 2. J-2-B x B-2-B
3. J-4-A x B-4-A 4. J-4-B x B-4-B
5. J-6-A x B-6-A 6. J-6-B x B-6-B
7. J-8-A x B-8-A 8. J-8-B x B-8-B
Memastikan bahwa anak yang dikandung benar-benar berasal dari jantan
yang terpilih maka baik jantan dan betina ditempatkan dalam satu kandang
yang sama selama tiga bulan setelah terlebih dahulu induk disterilkan dari
jantan yang lain.
Seluruh turunan kambing diikuti pertumbuhan hariannya dengan cara
menimbang mulai dari lahir sampai berumur 90 hari. Penimbangan dilakukan
setiap bulan (30 hari) pada pagi hari sebelum diberi makan. Seluruh kambing
yang diteliti diberi identitas berupa kalung leher yang diberi nomor. Sebagai
kontrol juga diamati kambing-kambing yang melakukan perkawinan secara
acak tanpa seleksi dengan memperhatikan rataan bobot badan dalam
populasinya.
f) Menentukkan pola pemuliaan dilakukan melalui diskusi terfokus untuk
menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegiatan pemuliaan
dengan memilih responden ahli. Kemudian faktor-faktor ini dilakukan
pembobotan dengan menyebarkan kuesioner kepada responden terpilih dalam
merumuskan pola pemuliaan ternak kambing yang paling cocok diantara pola
yang ada dengan menggunakan proses analisis hirarki (Analitical Hierarchy
Process) menurut Saaty (1983).
65
Analisis Data
1) Data karakteristik usaha peternakan kambing kacang maupun parameter-
parameter untuk dinamika populasinya (struktur populasi, seks rasio, distribusi
kelas umur, angka mortalitas, angka natalitas) ditabulasi silang dengan analisis
rataan kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif.
2) Struktur populasi ternak kambing kacang dianalisis dengan menduga umur
ternak melalui pengamatan terhadap pertumbuhan gigi serinya dengan
berpedoman pada Tabel 16 di bawah ini:
Tabel 16 Pergantian gigi seri kambing
Sumber: Ensminger (2002).
3) Karakterisasi Kambing Kacang
Hasil pengamatan dari seluruh karakter fenotip kualitatif dihitung
frekuensinya, sehingga diperoleh karakter fenotip kualitatif yang dominan dari
setiap populasi kambing yang diamati. Untuk mendapatkan karakter fenotip
kuantitatif, nilai dari setiap karakter yang diperoleh dari hasil pengukuran
dihitung rata-rata dan standar deviasinya. Untuk menentukan jarak genetik
digunakan fungsi diskriminan sederhana seperti yang dijelaskan oleh Herrera et
al. (1996). Fungsi diskriminan yang digunakan melalui pendekatan sidik jari
Mahalanobis seperti yang dijelaskan oleh Nei (1987), dimana matrik ragam antar
peubah dari masing-masing populasi kambing yang diamati digabung menjadi
sebuah matrik.
Menghitung jarak kuadrat genetik digunakan rumus sesuai petunjuk Nei
(1987) sebagai berikut :
Umur Gigi Seri yang berganti
Umur kurang dari 1 tahun Umur 1 – 1.5 tahun Umur 1.5 – 2 tahun Umur 2.5 – 3 tahun Umur 3 – 4 tahun
Lebih dari 4 tahun
Gigi seri belum ada yang berganti Gigi seri dalam (I1) berganti Gigi seri tengah dalam (I2) berganti Gigi seri tengah luar (I3) berganti Gigi seri luar (I4) berganti atau semua (8) gigi seri telah berganti Gigi tetap aus dan mulai lepas
66
D2(i/j) = ( Xi – Xj) Cov-1 (Xi – Xj)
Keterangan:
D2(i/j) = Nilai statistik Mahalonobis sebagai ukuran jarak kuadrat genetik antar
Kriteria/Alternatif A sama penting dengan Kriteria/Alternatif B A Sedikit lebih penting dari B A Jelas lebih penting dari B A sangat jelas lebih penting dari B Mutlak lebih penting dari B Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Penentuan prioritas, untuk setiap kriteria dan alternatif perlu dilakukan