Page 1
1
BAB I
P E N D A H U L U A N
1.1 Latar Belakang Permasalahan.
Pemerintah Indonesia senantiasa berharap untuk dapat mewujudkan
kemakmuran bagi masyarakatnya, sehingga dari waktu ke waktu berbagai
program pemberdayaan kepada masyarakat terus dilakukan. Hakikat
pemberdayaan dalam hal ini hendaknya dipahami sebagai pengembangan daya
potensi yang sesungguhnya telah ada pada masyarakat itu sendiri, yang
diupayakan dengan berbagai cara, sehingga kekuatan yang sifatnya potensial
tersebut menjadi lebih berdayaguna dan dapat dikembangkan secara optimal serta
diimplementasikan untuk meningkatkan kualitas hidup yang direncanakan sendiri
oleh masyarakat. Pada akhirnya nanti, pemerintah hanya sebagai fasilitator yang
menyediakan piranti-piranti yang diperlukan untuk mewujudkan peningkatan
kualitas hidup masyarakat. Artinya esensi pemberdayaan dalam hal ini bukanlah
suatu ketergantungan tetapi justru kemandirian.
Pemerintah mempunyai tujuan atas program pemberdayaan masyarakat
pengusaha Usaha Kecil dan Menengah (UKM), adalah kemandirian usaha ini,
dalam kiprahnya sebagai penyedia produk konsumsi masyarakat, penyedia
lapangan pekerjaan, mereduksi kesenjangan pendapatan, dan mengentaskan
kemiskinan. Bahkan lebih dari itu, pemerintah juga berharap agar UKM dapat
menghasilkan produk yang bisa merambah pasar internasional. Keberhasilan ini
akan sangat menopang peningkatan cadangan devisa negara, yang sangat
diperlukan untuk mendongkrak sustainabelitas perekonomian nasional.
Page 2
2
UKM merupakan sektor ekonomi yang terbukti mempunyai ketangguhan
luar biasa dalam menghadapi dan menangkal krisis ekonomi. Contoh paling nyata
adalah pada saat krisis ekonomi tahun 1998. Saat itu Indonesia mengalami krisis
moneter yang hampir melumpuhkan seluruh sendi-sendi perekonomian negara.
Pada saat itu banyak perusahaan besar yang terpaksa harus gulung tikar akibat
mengalami krisis meneter, menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-
besaran oleh Usaha Besar (UB), sehingga peningkatan jumlah penganngguran tak
terelakkan. Dalam hal inilah sektor UKM menjadi tempat pelarian para tenaga
kerja yang kehilangan mata pencaharian. Artinya, UKM sebagai sandaran tempat
mencari nafkah untuk menyambung hidup para karyawan yang mengalami
pemutusan hubungan kerja.
UKM perlu mendapat perhatian dari pemerintah, antara lain karena UKM
diharapkan sanggup menyerap banyak tenaga kerja dan mempunyai jumlah unit
usaha yang sangat banyak. Dengan kesanggupan menyerap tenaga kerja yang
banyak dan bersifat dominan dalam unit usaha ini memungkinkan UKM secara
intensif menggunakan sumber daya alam lokal. Dengan keberadaannya yang pada
umumnya tersebar di perdesaan, UKM diharapkan akan menimbulkan dampak
positif terhadap penyerapan tenaga kerja diperdesaan, pemerataan distribusi
pendapatan, yang secara tidak langsung dapat membantu pemerintah dalam
pengentasan kemiskinan masyarakat perdesaan, dan mengurangi arus urbanisasi
yang akhirnya secara tidak langsung pula dapat membantu pemerintah dalam
mengurangi kekumuhan wajah kota. Dengan kata lain UKM diharapkan mampu
menurunkan kesenjangan pendapatan di masyarakat (Tambunan,2012). Tetapi
Page 3
3
adanya fenomena berbeda ditunjukkan oleh data empirik dari perkembangan
UKM Indonesia Tahun 2008-2012 ini, disajikan pada Tabel 1.1 dan Tabel 1.2
Tabel 1.1 Perkembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
Indonesia Tahun 2008 -2012
No Indikator
Satuan 2008 2009 2010 2011 2012
1 Unit Usaha unit 561.481 587.808 616.232 646.475 678.415
2 Tn Kerja Ribu or 6.213.912 6.198.630 6.387.016 6.764.661 7.797.993
3 Eksport Juta rp 161.543.464 147.879.252 159.207.413 170.192.548 151.481,200
4 Investasi /brlk Milyar 538.663.6 706.794.0 776.239.0 837.022.6 1.075.272.0
5 Investasi/konst milyar 181.230,6 186.863,9 204.881,4 218.583.5 255.464,4
6 PDB/brlaku milyar 1.103.170,2 1.241.507,1 1.414.515,3 1.724.183,1 1.918.447,5
7 PDB/ konst milyar 510.049,3 530.339,5 563.501,6 608.097.2 660.634,6
Sumber: BPS dan Kementrian UMKM dan Koperasi 2013(diolah)
Tabel 1.2 Perkembangan Pangsa Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
Indonesia Tahun 2008 -2012 (data dalam persen)
No Indikator 2009 2010 2011 2012 Rata-rata
1 Unit Usaha (unit) 4.42 4.61 4.68 4.70 4.60
2 Tn Kerja/rb/or - 0.00 2.95 5.58 13.25 5.40
3 Eksport/rp/juta - 9.24 7.12 6.45 - 12.35 -2.00
4 Investasi /rp/mil/brlk 23.78 8.95 7.26 22.15 15.53
5 Investasi/rp/mil/kons 3.01 8.79 6.26 14.44 8.13
6 PDB/rp/mil/brlaku 11.14 12.23 17.96 10.13 12.89
7 PDB/rp/Mil/Konstan 3.83 5.88 7.33 7.95 6.25
Sumber: BPS dan Kementrian UMKM dan Koperasi 2013 (diolah).
Berdasarkan Tabel 1.1 dan Tabel 1.2 dapat dijelaskan bahwa, secara
progresif selama lima tahun terakhir perkembangan unit usaha UKM di Indonesia
mengalami peningkatan rata-tara pertahun sebesar 4.6 persen. Untuk penyerapan
tenaga kerja, walaupun tahun 2009 sempat mengalami penurunan, rata-rata
pertumbuhan mencapai 5.4 persen pertahun. Untuk nilai ekspor rata-rata
Page 4
4
pertumbuhan mencapai -2.0 persen. Sementara pada nilai investasi dengan harga
berlaku, tampak mengalami peningkatan dengan rara-rara 15,54 persen,
sedangkan dengan harga konstan nilai investasi hanya mengalami peningkatan
rata-rata 8.13 persen. Kontribusi pada pembentukan Produk Regional Domestik
Bruto (PDRB) dengan harga berlaku menunjukkna rata-rata 12.89 persen,
sedangkan dengan harga konstan hanya mencapai rata-rata 6,25 persen pertahun.
Kenyataan empiris ini, justru menunjukkan bahwa apa yang menjadi
harapan pemerintah terhadap program pemberdayaan yang dilakukan selama ini
belum memberi hasil yang sesuai dengan apa yang diharapkan. Fenomena kinerja
UKM di Indonesia, dari perspektif pertumbuhan jumlah unit usaha, penyerapan
tenaga kerja, nilai ekspor, nilai investasi dan kontribusinya pada pembentukan
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) belum memberi hasil yang menggembirakan.
Walaupun pertumbuhannya menunjukkan kenaikan, tetapi pangsanya sangat
kecil. Hal ini mengindikasikan, bahwa untuk seluruh indikator makro, kinerja
UKM belum menunjukkan pertumbuhan kuantitas dan kualitas yang maksimal.
Data empiris ini mengindikasikan bahwa pemkembangan UKM di
Indonesia belum optimal. Karena sekalipun secara progresif selama lima tahun
terakhir menunjukkan peningkatan, tetapi pangsanya sangat kecil. Bahkan untuk
realisasi ekspor mengalami rata-rata kontraksi -2.00 persen pertahun.
Pertanyaannya : mengapa kondisi UKM Indonesia belum maksimal atau belum
menunjukkan perkembangan yang berarti. Artinya ada permasalahan mendasar
yang perlu mendapat perhatian serius yang harus dikaji secara ilmiah tentang
keberadaan UKM Indonesia.
Page 5
5
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mewujudkan harapan terhadap UKM.
Antara lain seperti; deregulasi sebagai penyesuaian struktural dan restrukturisasi
perekonomian mulai dilakukan dengan jalan menambah investasi melalui
pengucuran bantuan dana, menggagas pola kemitraan dengan perusahaan besar
dan melakukan pembinaan manajerial karena pemerintah mengetahui UKM
mempunyai keterbatasan dalam ketiga hal tersebut. Pencetusan pola kemitraan ini
dimaksudkan agar perusahaan besar dapat membina dan membantu UKM dalam
hal peningkatan kualitas manajemen dan memperluas penetrasi pasar. Tetapi
sampai sejauh ini, kebijakan pemerintah ini belum mampu menyentuh
kepentingan UKM, bahkan berdasarkan beberapa kajian empiris kebijakan ini
dinyatakan lebih menguntungkan para perusahaan besar dari pada
memberdayakan UKM (Mudrajat, 2010).
Hal yang ironis, sampai saat ini masih saja terdapat rumor bahwa UKM,
diistilahkan sebagai usaha ‘the small is beautiful’ atau “yang kecil itu indah”.
Artinya, sekali pun kecil jangan diabaikan, karena sesungguhnya semua prosesi
pembangunan atau pembenahan atas sesuatu yang dianggap belum maksimal
seharusnya dilakukan sesegera mungkin dan dimulai dari hal yang kecil. Tetapi
kenyataan, dalam implementasi intensitas perlakuan di masyarakat bahwa UKM
sering diabaikan dan sering mendapat perlakuan yang diskriminatif, walaupun
diakui mempunyai kemampuan dalam menyerap tenaga kerja yang besar dan
sanggup bertahan pada saat krisis ekonomi, berusaha dengan modal sendiri
sehingga tidak banyak membebani pemerintah dalam hal pembengkakan hutang
negara. Dalam hal ini, kajian ini, dimaksudkan untuk menjembatani dan
Page 6
6
mensinkrunkan antara kepentingan pengusaha UKM dengan pemerintah sehingga
tercipta suasana kerjasama yang kondusif untuk bersama-sama mewujudkan
kemakmuran masyarakat.
Secara umum, permasalahan UKM yang ada di Provinsi Bali, tidak jauh
berbeda dengan permasalahan yang dialami UKM yang ada di Indonesia, yaitu
rendahnya kemampuan manajerial (dalam hal produksi, bahan baku, administrasi
dan keuangan), rendahnya komitmen dalam memenuhi pesanan pelanggan (dalam
desain dan kualitas produk; ketidakstabilan pasokan dan harga bahan baku atau
bahan penolong lainnya); serta rendahnya akses terhadap sumber pembiayaan.
Pananganan terhadap hal ini juga sudah dilakukan oleh pemerintah melalui
berbagai program pemberdayaan UKM, dalam wujud kucuran dana, kemitraan,
pelatihan, pendampingan, dan lain-lainnya, Tetapi fakta empiris menunjukkan
tetap saja UKM Bali belum berkembang secara maksimal.
Keberadaan UKM Bali adalah sebagai salah satu pendukung sektor
pariwisata yang diunggulkan dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Peran
UKM dalam hal ini adalah memberi nilai tambah untuk meningkatkan daya tarik
pariwisata , membantu pemerintah dalam penyediaan sarana dan prasarana
kepariwisataan, yang akhirnya berkontribusi juga dalam meningkatkan pencitraan
pariwisata baik dalam maupun luar negeri. Pada umumnya, sebagaian besar UKM
menghasilkan produk-produk berupa souvenir untuk para wisatawan yang
berkunjung ke Bali. Seiring berjalannya waktu, produk-produk UKM ini
berkembang menjadi komoditas ekspor. Artinya, produk UKM Bali telah mampu
memasuki pasar internasional melalui kegiatan ekspor sehingga diharapkan dapat
Page 7
7
memberikan sumbangan yang berarti bagi peningkatan akumulasi cadangan
devisa, perkembangan industri nasional dan pendapatan masyarakat. Keberadaan
UKM Bali dari sisi pertumbuhan unit usaha, penyerapan tenaga kerja, nilai
investasi, nilai produksi serta nilai penggunaan bahan baku dan bahan penolong
lainnya selama lima tahun terakhir, disajikan pada Tabel 1.3.
Tabel 1.3
Perkembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Provinsi Bali Tahun 2009 – 2013
No Tahun Unit
Usaha
Tenaga Kerja
(Orang)
Nilai Investasi
(Juta)
Nilai Produksi
(Juta)
Nilai Bb/Bp (Juta)
1 2009 8.406 77.829 2.687.105 4.111.678 1.646.726
2 2010 8.706 79.280 3.654.509 7.164.493 1.554.551
3 2011 9.061 84.954 4.459.169 9.248.732 2.848.612
4 2012 9.418 87.784 6.339.054 9.445.561 3.338.890
5 2013 9.788 86.590 5.289.488 7.950.448 4.162.119
Sumber : Disperindag- Provinsi Bali (2014)
Berdasarkan Tabel 1.3, dapat dijelaskan bahwa, selama kurun waktu lima
tahun, jumlah unit usaha dan jumlah nilai pemakaian bahan baku/bahan penolong
terus mengalami peningkatan, sementara penyerapan tenaga kerja, nilai investasi,
dan nilai produksi pada tahun 2013 sedikit mengalami penurunan. Hal ini
mengindikasikan, secara umum kinerja UKM di Provinsi Bali mengalami
penurunan, sehingga perlu dicermati secara kritis dengan langkah antisipasi agar
tidak menimbulkan permasalahan yang lebih serius di kemudian hari.
Kinerja UKM biasanya selalu dikaitkan dengan kinerja ekspor non migas
suatu negara atau daerah, di mana UKM tersebut berada. Hal ini karena hampir
Page 8
8
semua produk UKM adalah komoditi non migas. Apalagi dalam hal ini Provinsi
Bali, boleh dikatakan bahwa nilai ekspor Bali seluruhnya adalah dari komoditi
non migas. Realisasi ekspor Bali, pada kenyataannya juga berfluktuasi dan
cenderung mengalami penurunan. Berdasarkan laporan Dinas Perindustrian dan
Perdagangan (Disperindag) Provinsi Bali, yang menyajikan pencapaian nilai
ekspor dari tahun 2009 -2013, tampak seperti tersaji pada Tabel 1.4.
Tabel 1.4 Realisasi Ekspor Daerah Bali dalam 5 (lima) Tahun Terakhir
Tahun 2009-2013 (juta dolar AS)
No Tahun 2009 2010 2011 2012 2013
1 Kerajinan 224,098,540 215,288,407 197,455,925 202,069,116 200,661,591
2 Industri 170,473,759 180,215,611 192,131,342 157,026,398 164,482,857
3 Pertanian 104,542,168 119,769,734 102,555,224 114,892,477 114,800,625
4 Perkebunan 961,740 887,631 903,531 736,115 1,610,641
5 Lainnya 2,465,620 3,751,124 4,818,340 7,114,782 4,507,941
Total: 502,541,826 519,912,507 497,864,362 481,838,888 486,063,655
Sumber : Disperindag Bali (2014).
Berdasarkan sajian data pada Tabel 1.4, bahwa realisasi ekspor daerah Bali
selama kurun lima tahun terakhir, secara progresif juga mengalami fluktuasi dan
cenderung mengalami penurunan, dengan data perubahan; dari 2009 ke 2010
mengalami peningkatan: 3.46 persen., sedangkan dari 2010 ke 2011 mengalami
penurunan 4.24 persen. Dari 2011 ke 2012 mengalami penurunan lagi 3,22
persen. Sedangkan dari 2012 ke 2013 realisasi ekspor mengalami peningkatan
0.88 persen. Artinya: selama kurun waktu lima tahun, realisasi ekspor Bali
mengalami rata-rata penurunan 0,78 persen.
Tidak demikian halnya dengan UKM Kerajinan Kayu. Dalam kondisi
perekonomian Bali mengalami penurunan dimana realisasi ekspor, penyerapan
Page 9
9
tenaga kerja,dan nilai investasi yang kian menurun dalam beberapa tahun terakhir
ini, UKM Kerajinan Kayu justru sanggup membuktikan eksistensinya. Selama
lima tahun terakhir, walaupun sedikit mengalami fluktuasi, industri kerajinan
kayu ini tetap menduduki peringkat teratas dari sepuluh komoditas yang
mendukung realisasi ekspor hasil kerajinan Bali. Realisasi Ekspor Sepuluh Besar
Komoditas Hasil Kerajinan Provinsi Bali Tahun 2009-2013, tersaji padaTabel 1.5.
Tabel 1.5 Realisasi Ekspor Sepuluh Besar Komoditas Hasil Kerajinan
di Privinsi BaliTahun 2009 – 2013(USD)
No Komoditas 2009 2010 2011 2012 2013
1 Ker Kayu 82,479,630 77,805,653 63,341,444 71,493,260 90,618,137 2 Ker Furniture 40,716,453 30,804,932 41,455,772 39,107,513 28,205,088
3 Ker Perak 24,556,428 27,288,654 23,422,569 22,375,764 24,235,062 4 Ker Bt Padas 21,081.293 18.506.462 15.359.503 11.484.690 10.265.244 5 Ker Bambu 11,349,305 9,542,874 10,475,545 12,864,022 9,486,097
6 Ker Logam 8,637,234 11,914,775 11,652,365 9,741,524 11,228,568 7 Ker Kulit 6.616.092 9.901.719 8.484.869 9.705.384 9.236.328 8 Ker Rotan 5.880.604 5.354.023 4.175.064 1.586.506 4.024.449 9 Ker Terracotta 3.008.013 7.201.117 4.020.457 3.410.240 2.334.873 10 Ker Lukisan 2.427.735 1.206.651 1.386.298 1.602.759 2.215.993
Sumber : Disperindag Prov Bali (2014).
Berdasarkan Tabel 1.5, dapat dijelaskan bahwa produk industri hasil
kerajinan kayu Bali tetap menjadi primadona diantara hasil kerajinan lainnya
seperti: furniture, perak, batu padas, bambu,logam, kulit, rotan, terra cotta dan
lukisan yang menjadi komoditas ekspor Bali. Bahkan selama lima tahun terakhir
ini, nilai eksport kerajinan kayu juga menunjukkan peningkatan secara terus
menerus. Yang menarik dalam hal ini, adalah potensi kerajinan kayu, yang
mengalami peningkatan, justru pada saat realisasi ekspor Bali yang kian menurun.
Temuan Azzam Manan dkk, (2012), bahwa secara umum UKM Kerajinan
Kayu di Provinsi Bali masih mengalami permasalahan dalam hal pemasaran,
Page 10
10
desain , produksi, bahan baku dan modal. Oleh pihak pemerintah, permasalahan
ini telah ditangani melalui kebijakan lintas sektoral. Sebagai contoh untuk
masalah akses pasar, ditangani dengan cara memberi kesempatan kepada UKM
Kerajinan Kayu untuk mengikuti pameran, seperti “inacraft” yang berlangsung
setiap tahun di Jakarta. Ajang pameran ini kurang efektif, karena selain tidak
sanggup mengakomodasi kepentingan promosi seluruh UKM, juga berpotensi
menimbulkan kompetisi yang tidak sehat antar sesama UKM. Untuk masalah
desain, penanganannya dilakukan dengan cara memberi pelatihan kepada para
perajin/pengusaha. Sementara untuk memantapkan pasokan bahan baku kayu
dilakukan dengan mengkoordinasikan perajin kayu untuk menanam pohon
Jempinis dan Sengon sebagai sumber bahan baku kayu yang diperlukan.
Sedangkan untuk permodalan, oleh pemerintah telah dikucurkan berbagai jenis
bantuan dana kepada UKM, antara lain seperti KUR, KTA, bantuan dana
Bergulir, dan lain-lainnya. Hanya saja implementasi program pemberdayaan
masih mengalami banyak kendala, dan akhirnya menjadi tidak maksimal atau
tidak tepat sasaran. Yang disinyalir sebagai pemicu, karena masih tumpang
tindihnya penanganan dari masing-masing instansi pemerintah terhadap UKM
serta kurangnya partisipasi dan kreativitas secara lebih kritis dan rasional pelaku
UKM dalam memanfaatkan program pemberdayaan ini.
Realitas empiris yang menunjukkan eksistensi UKM kerajinan Kayu
Provinsi Bali, masih sangat potensial untuk dikembangkan adalah kemampuan
menyerap tenaga kerja, mengakumulasikan investasi dan realisasi ekspor. Dalam
kaitan ini; kemampuan menyerap tenaga kerja dipahami sebagai kemampuan
Page 11
11
UKM Kerajinan Kayu dalam memberi kemakmuran dan mendistribusikan
pendapatan secara lebih merata. Sementara akumulasi investasi, akan
mencerminkan kesanggupan industri tersebut dalam menjamin keberlanjutan
kehidupan yang lebih sejahtera bagi pekerjanya. Realisasi ekpor memcerminkan
kesanggupan produk kerajinan ini dalam berkiprah di pasar internasional. Data
tentang kemampuan menyerap tenga kerja, akumulasi Invertasi dan realisasi
ekspor UKM Kerajinan Kayu, tersaji pada Tabel 1.6
Tabel 1.6 Penyerapan Tenaga Kerja, Nilai Investasi dan Realisasi Ekspor
UKM Kerajinan Kayu Provinsi Bali Tahun 2009 -2013
No Tahun Tenaga
Kerja (Or) Nilai
Investasi (Rp) Realisasi
Ekspor (USD) 1 2009 12.282 80.141.661.000 82.479.630,19 2 2010 12.858 270.545.293.000 77.805.653,04 3 2011 12.747 329.976.528.000 63.341.443,77 4 2012 13.083 993.933.759.000 71.492.259,98 5 2013 14.381 1.159.101.036.000 90.618.136,91 Sumber : Disperindag Provinsi Bali (2014).
Berdasarkan Tabel 1.6, dapat dijelaskan bahwa UKM Kerajinan Kayu rata-
rata mempekerjakan 13.070 orang, atau sekitar 16 persen pertahun dari total
tenaga kerja yang bekerja di sektor industri Bali. Jumlah nilai investasi yang terus
meningkat salama lima tahun terakhir ini. Sementara nilai realisasi ekspor,
walaupun sedikit berfluktuasi, tetapi tetap menunjukkan kronologis yang
mengalami peningkatan. Artinya; sekalipun realisasi ekspor Bali mengalami
penurunan tetapi kondisi pada industri kerajinan kayu, justru mengalami
peningkatan.
Potensi sumber daya perajin yang bersifat hereditas adalah hal tidak dapat
diabaikan. Potensi seni murni yang bersifat turun-menurun ini, yang dimiliki oleh
Page 12
12
perajin Bali, merupakan potensi kearifan lokal yang bagaikan harta karun dan
tidak pernah kandas dalam perjalanan perubahan ruang dan waktu. Dalam hal ini
diperlukan pola orientasi kewirausahaan yang sanggup mengoptimalkan potensi
ini. Kemampuan perajin yang begitu ekspresif, inspiratif dan penuh imajinatif ini
memerlukan perilaku kewirausahaan yang tidak saja inovatif dan kreatif, tetapi
harus didasari oleh jiwa kebersamaan, kohesifitas dengan sesama pengusaha
UKM Karajinan Kayu, yang direfleksikan dalam bentuk jaringan sosial
kewirausahaan yang partisipatif.
Sebagai wujud fenomena belum difungsikannya dengan benar modal sosial
pada UKM Kerajinan Kayu di Provinsi Bali adalah ketidakmampuannya dalam
mengorganisasikan diri, sehingga tidak mampu untuk melakukan tindakan
kolektif yang lebih produktif, efektif dan efisien (Azzan Manan 2012).
Ketidakmampuan ini lebih disebabkan oleh lemahnya kemampuan manajerial dan
kultur budaya dari pengusaha Kerajinan Kayu itu sendiri. Pengorganisasian yang
dilakukan selama ini dimaknai dengan sangat sempit, hanya sebagai wadah dan
prosedur administrasi yang kaku, tanpa mengimplementasikan manfaat esensi
kelembagaan yang dibentuk. Artinya: apabila pengorganisasian antar sesama
pengusaha kerajinan kayu dijalankan dengan baik dan benar, maka tidak menutup
kemungkinan hal ini dapat dijadikan kekuatan lobi yang sangat baik, dan sesama
pengusaha Kerajinan Kayu dapat menyatukan kekuatan, dengan jalan membentuk
jaringan usaha untuk paling tidak melakukan pembelian dan atau penjualan secara
bersama-sama (Azzan Manan, 2012). Kegagalan pemaknaan terhadap
Page 13
13
kelembagaan sangat penting untuk dicermati, dan dalam kajian ini dianggap
sebagai disfungsi sosial yang menghambat kinerja ekonomi.
Era globalisasi dengan segala konsekuensinya adalah suatu keniscayaan
yang mau-tidak mau, siap tidak siap harus diterima dan disikapi secara arif dan
bijaksana. Dalam ranah inilah para pengusaha UKM Kerajinan Kayu Bali harus
dapat tumbuh secara berkelanjutan. Sebagai entitas yang ingin hidup secara
kondusif pada era ini, pengusaha UKM Kerajinan Kayu tidak saja memerlukan
modal ekonomi (economic capital), modal insani (human capital), modal sumber
daya alam dan budaya (natural capital), tetapi juga memerlukan modal sosial
(sosial kapital). Economic capital ( seperti; uang, tanah, teknologi), humancapital
(dari solfskill, sampai hardskill), nature and cultural capital (sumberdaya alam
dan budaya), dan social capital (interaksi sosial: partisipasi, kepercayaan, norma,
nilai dan tindak proaktif). Integrasi keempat modal ini yang diyakini akan
membuat sebuah entitas dapat hidup sustainabel pada era global yang diwarnai
persaingan ganas dan penuh ketidakpastian(Bagus Takwin - 2012). Refleksi
paparan ini, adalah dalam era global ini, para pengusaha UKM Kerajinan Kayu di
Provinsi Bali, harus merapat, membentuk suatu komunitas, bekerjasama, demi
kepentingan bersama yaitu untuk dapathidup layak (surfive) pada era ini.
Eksistensi modal sosial memang berbeda dengan dua modal lainnya yang
lebih dulu pepuler dalam bidang ilmu sosial, yakni modal sumberdaya alam,
modal ekonomi dan modal manusia yang keberadaannya melekat pada tenaga
kerja, dalam hal ini justru modal sosial baru eksis apabila berinteraksi dengan
struktur sosial (Yustika, 2008). Dengan modal ekonomi atau modal manusia yang
Page 14
14
dimiliki, seseorang atau perusahaan yang melakukan kegiatan ekonomi pasti
terpengaruh oleh struktur sosial dimana seseorang atau perusahaan tersebut
tumbuh/beraktivitas. Untuk menguatkan hal tersebut, Coleman (1988)
mendefinisikan modal sosial berdasarkan fungsinya. Menurut Coleman, modal
sosial bukanlah entitas tunggal, tetapi entitas majemuk, yang mengandung dua
elemen; i) modal sosial mencakup beberapa aspek dari struktur sosial, dan ii)
modal sosial memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku (aktor) baik sebagai
individu maupun sebagai perusahaan dalam struktur sosial tersebut. Dari
perspektif ini, modal sosial dijustifikasi bersifat produktif, yaitu membuat
pencapaian tujuan tertentu tidak akan tercapai tanpa keberadaannya. Karena
eksistensi modal sosial baru terasa apabila telah terjadi interaksi dengan orang lain
yang dipandu oleh struktur sosial.
Dalam konteks modal sosial, dimana dalam sajian ini UKM Kerajinan Kayu
dilihat sebagai komunitas yang dianggap harus memiliki modal sosial yang cukup
untuk dapat tumbuh optimal di era pemerintahan desentralisasi. Era desentralisasi
ini masih tidak luput dari perilaku oportunis dari beberapa oknum yang ditengarai
menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Misalnya, dalam hal pengurusan ijin usaha,
mencarian faktor-faktor produksi, dalam pengambilan keputusan manajerial,
termasuk bagaimana perusahaan (UKM) mendekatkan produk-produknya ke
tangan konsumen. Dalam hal ini modal sosial dapat merujuk kepada norma-norma
atau jaringan yang memungkinkan seseorang/perusahaan untuk melakukan
tindakan efisiensi kolektif, yang pemaknaannya terhadap modal sosial lebih
spesifik sebagai sumber daya daripada konsekuensinya. Sehingga deskripsi modal
Page 15
15
sosial sebagai kepercayaan, jaringan, hubungan timbal balik, kerekatan dalam
kehidupan sebagai komunitas harus dikembangkan dalam sebuah proses yang
terus-menerus (Jaya Wihana, 2010) .
Selama ini, permasalahan UKM Kerajinan Kayu di Bali selalu diposisikan
pada; keterbatasan akses modal, keterbatasan pangsa pasar, rendahnya kualitas
manajemen dan belum memadainya kompetensi SDM, baik dikalangan perajin
maupun pengusaha. Memposisikan permasalahan UKM Kerajinan Kayu pada
tuduhan klasik tersebut sangat tidak proporsional, karena terdapat pembuktian
dengan beberapa fakta empiris bahwa permasalahan UKM Karajinan Kayu secara
mendasar bukan pada ranah tersebut. Terdapat aspek kapabilitas tambahan, yaitu
OrientasiKewirausahaan yang harus dibenahi, yang dalam konteks ini akan
berfungsi untuk mengoptimalisasi dan mengkolaborasikan sumberdaya-
sumberdaya lainnya yang ada pada UKM kerajinan Kayu di Provinsi Bali.
Fenomena rendahnya jiwa kewirausahaan UKM Kerajinan Kayu di Provinsi
Bali dijustifikasi oleh kajian Surhartono (2008) yang menemukan bahwa salah
satu hal “unik” dan menarik dari fenomena UKM Karajinan Kayu di Bali adalah
kemampuannya untuk terus tumbuh, tetapi pertumbuhan ini tidak disertai dengan
pertumbuhan penyerapan modal yang disalurkan. Artinya pertumbuhan UKM
Kerajinan Kayu Bali tidak seimbang dengan kemampuannya menyerap modal
yang disalurkan. Masalah permodalan yang tercermin dari rendahnya daya serap
UKM Karajinan Kayu terhadap modal yang disalurkan adalah karena UKM
Kerajinan Kayu tidak memiliki asset yang cukup sebagai jaminan. Hal ini dapat
menurunkan upaya peningkatan kapasitas produksi UKM Kerajinan Kayu sesuai
Page 16
16
dengan permintaan pasar. Selanjutnya, dalam kajian tersebut juga disampaikan
bahwa sebenarnya kemampuan UKM Kerajinan Kayu dari sisi internal memiliki
tanggung jawab yang baik dalam pengembalian dana yang dipinjam, tetapi masih
melekatnya budaya usaha tradisional atau yang sering disebut sebagai “jiwa
kewirausahaan” untuk mengembangkan usaha masih sangat rendah. Oleh sebab
itu, peningkatan skala usaha UKM Kerajinan Kayu di Provinsi Bali lebih
mengandalkan modal sendiri daripada menggunakan modal pinjaman pada
lembaga keuangan. Masih melekat budaya atau tradisi yang beranggapan bahwa
“berhutang itu sebagai sesuatu yang tidak terhormat” dalam pengembangan usaha.
Pelaku UKM Kerajinan Kayu di Provinsi Bali, juga melihat bahwa resiko dari
pinjamam akan membebani pengusaha dalam mengembangkan usahanya. Dalam
hal ini, dilihat dari sisi perilaku keberanian mengambil resiko, yang menjadi ciri
khas dunia usaha ternyata masih rendah.
Dalam pendekatan Resource Based View (RBV), dinyatakan bahwa
tindakan kewirausahaan sebagai kapabilitas tambahan yang dapat memperkaya
keragaman sumberdaya dan nilai bagi perusahaan, serta dapat memberikan
kontribusi penting bagi terciptanya keunggulan kompetitif perusahaan (Penrose
1959, dalam Alvarez & Busenitz, 2001). Artinya, tindakan kewirausahaan
dalam hal ini diwujudkan sebagai orientasi kewirausahaan yang merupakan
perilaku perusahaan sebagai cerminan perilaku pemilik atau pengelola perusahaan
dalam proses pengambilan keputusan strategis melalui; tindakan perusahaan
dalam melakukan inovasi, memiliki keberanian mengambil resiko serta bersikap
Page 17
17
proaktif dalam mencari sumber daya input dan informasi-informasi yang berguna
bagi kemajuan perusahaan (Miller &Friesen, 1982).
Sesuatu yang sangat penting sebagai dunia nyata yang juga dinyatakan
sebagai fakta empiris adalah keberadaan Informasi. Setiap pihak yang melakukan
aktivitas memiliki informasi atau membutuhkan informasi yang cukup sehingga
tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Demikian halnya dalam kegiatan ekonomi.
Kesempurnaan informasi sangatlah dibutuhkan demi kelancaran suatu kegiatan
ekonomi, sebab secara tidak langsung sangatlah berkaitan dengan efisiensi suatu
kegiatan ekonomi. Artinya ada atau tidaknya informasi dapat menimbulkan biaya
tersendiri, sehingga tidak heran jika terdapat tindakan pihak yang sengaja
menyembunyikan informasi dari pihak lain. Atau ada pihak yang sengaja menjual
informasi sehingga beberapa pihak mungkin mendapatkan informasi yang lebih
dari pada pihak yang lainnya, hal inilah yang disebut informasi asimetris.
Pada umumnya, informasi asimetris terjadi jika pihak penjual yang memiliki
informasi lebih banyak tentang produk, dibandingkan dengan pembeli, tetapi
kondisi sebaliknya pun dapat saja terjadi. Akerlof, 1970 (dalam Barkley, tt ),
dengan tulisannya yang berjudul “The Market for Lemons” yang melakukan
penelitian pada pasar barang-barang kelas rendahan, mengatakan dalam pasar
seperti itu nilai rata-rata komoditi cenderung turun, bahkan dapat saja terjadi pada
barang yang tergolong bagus di pasar barang itu akibat informasi yang asimetris.
Penjual yang punya niat tidak baik, akan menipu pembeli dengan cara memberi
kesan seakan-akan barang yang dijualnya bagus. Menurut Akerlof, hal seperti ini
akan menimbulkan pilihan yang tidak menguntungkan, dimana pembeli
Page 18
18
mengalami keragu-raguan karena harus mengambil keputusan berdasarkan
informasi yang asimetris dan lemah. Kondisi semacam ini akan mengakibatkan
pembeli menghindari penipuan dan menolak untuk melakukan transaksi dalam
pasar seperti ini. Yang paling dirugikan dalam hal ini, adalah penjual yang
barangnya benar-benar bagus menjadi tidak laku, karena dinilai sebagai barang
murahan oleh pembeli.
Pandangan teori ekonomi konvensional Neo-Klasik, beranggapan bahwa
pasar selalu berjalan secara sempurna tanpa biaya apapun, karena pembeli atau
konsumen mendapat informasi yang sempurna dan penjual akan saling
berkompetisi sehingga menyebabkan harga pasar menjadi relatif rendah. Fakta
empiris sebagai dunia nyata adalah sebaliknya, dimana informasi, kondisi
persaingan, sistem kesepakatan-kesepakatan, proses jual-beli ternyata sangat
asimetris. Hal inilah yang menimbulkan adanya biaya transaksi, yang dalam hal
ini didefinisikan sebagai biaya untuk melakukan negosiasi, pengambilan
keputusan, pengukuran dan pemaksaan pertukaran. Artinya ditegaskan disini,
bahwa teori Neo-Klasik menggunakan biaya produksi sebagai dasar analisis dan
interpretasi, sedangkan teori Biaya Transaksi menggunakan biaya transaksi
sebagai basis analisis dan interpretasi (Greif, 1998 dalam Yustika, 2012 ).
Yustika (2008) yang melakukan riset pada pabrik gula, menyatakan bahwa
sebagian besar sumber inefisiensi industri gula di Indonesia adalah berasal dari
sisi biaya transaksi. Biaya transaksi yang tinggi di Pabrik Gula (PG) berasal dari
manajemen yang lemah, baik secara internal maupun eksternal. Biaya transaksi
yang muncul akibat penggunaan pasar antara lain karena PG harus menanggung
Page 19
19
biaya membuat kontrak, proses lelang gula, dan lain-lainnya. Kemudian biaya
transaksi yang berkaitan dengan model manajemen perusahaan yaitu PG dibebani
ongkos yang muncul akibat hirarki pengambilan keputusan yang berjenjang dan
alot, biaya oportunitas, dan lainnya. Secara lebih spesifik, hasil riset tersebut
menunjukkan temuan yaitu: biaya transaksi (petani tebu) menyumbangkan
sekitar 42 persen dari total biaya, dan sisanya 58 persen berupa biaya produksi.
Dengan menyimak temuan empiris ini, dapat dipahami bahwa informasi
yang asimetris pada kenyataan transaksi pasar memicu timbulnya ekonomi biaya
tinggi, yang akan mengganggu efisiensi aktivitas pelaku UKM Kerajinan Kayu di
Provinsi Bali. Apalagi dengan pola pemerintahan yang bersifat desentralisasi,
yang berdasarkan kajian empiris ditemukan bahwa era ini masih tidak luput dari
perilaku opotunis yang disinyalir juga menyebabkan timbulnya ekonomi biaya
tinggi yang menghambat maksimalisasi kinerja usaha pelaku UKM Kerajinan
Kayu di Provinsi Bali. Masih maraknya aktivitas pelaku pengambil kesempatan
yang disinyalir sebagai pemicu timbulnya biaya ekonomi tinggi, dalam tulisan ini
menjustifikasi terjadinya fenomena peningkatan biaya transaksi yang tidak bisa
dihindari, yang pada gilirannya nanti akan menjadi penghambat kinerja ekonomi.
Secara konsepsional, Carton & Hofer (2006) menyatakan bahwa konsepsi
kinerja organisasi atau perusahaan didasarkan pada gagasan yang menyatakan
bahwa organisasi atau perusahaan merupakan sekumpulan asset produktif yang
meliputi sumberdaya manusia, sumber daya fisik dan modal untuk mencapai
tujuan bersama. Sehingga dalam konteks ini, kinerja usaha adalah
menggambarkan hasil yang dicapai perusahaan dari serangkaian pelaksanaan
Page 20
20
fungsi kerja atau aktivitas perusahaan dalam periode waktu tertentu. Oleh sebab
itu, kinerja usaha adalah cerminan keberhasilan atau kegagalan suatu perusahaan.
Lebih jauh dikatakannya (Carton & Hofer, 2006), bahwa; “Kinerja perusahaan
atau organisasi adalah konstruk multi-dimensi yang unsur-unsur pokoknya
meliputi dimensi; profiability, operasional market based, growth, efficiency,
liquidity, size, survival dan lain-lainnya, dimana masing-masing dimensi ini masih
mengandung sejumlah indikator.”
Melakukan penilaian terhadap kinerja perusahaan adalah hal yang sangat
penting. Keats & Hitt (1988), menyatakan bahwa penilaian terhadap kinerja
perusahaan memiliki nilai penting karena, selain dapat dipergunakan sebagai
ukuran keberhasilan perusahaan dalam periode tertentu, penilaian kinerja dapat
juga dijadikan umpan balik untuk perbaikan atau peningkatan kinerja di masa
yang akan datang. Oleh karena itu, penilaian terhadap kinerja suatu perusahaan
harus dilakukan, karena hasil penilaian ini dapat dijadikan dasar informasi untuk
melakukan perbaikan kinerja usaha untuk masa-masa kedepannya.
Dewasa ini, era globalisasi dimana arus informasi yang menyebabkan
persaingan semakin ketat, dan tingkat ketangguhan perusahaan dalam menghadapi
pesaing mulai berubah. Crossan & Berdrov 2003 (dalam Casson 2011)
menyatakan bahwa: “Peningkatan persaingan, globalisasi dan ledakan teknologi,
kapabilitas inovasi dan penciptaan pengetahuan muncul sebagai faktor dominan
dari keunggulan bersaing”. Oleh sebab itu, pengusaha UKM Kerajinan Kayu
harus benar-benar dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya perusahaan,
dapat melakukan efisiensi, kreatif dalam melakukan inovasi, lebih berani
Page 21
21
mengambil resiko, dan memanfaatkan modal sosial; kepercayaan, hubungan
harmonis antar pengusaha, dan proaktif mencari sumber permodalan dan
perluasan pasar untuk meningkatkan kinerja usaha.
UKM mempunyai karakteristik sangat spesifik. Sifatnya yang fleksibel,
sangat dinamis termasuk keterbatasan dan kelemahan yang melekat padanya,
seperti kualitas manajemen yang masih sangat rendah, kurun waktu usaha yang
relatif singkat, dan sering berpindah-pindah lokasi, menyebabkan dalam penilaian
kinerjanya pun harus menggunakan pola tersendiri. Camison (dalam Sanchez &
Marin, 2005), yang mengukur kinerja Small-Medium Enterprise (SMEs) dengan
mengacu pada tiga aspek yaitu; aspek profitabilitas, produktivitas dan aspek pasar.
Acuan aspek profitabilitas, melihat kinerja usaha dari sudut tercapainya
target keuangan sebagaimana yang telah direncanakan oleh perusahaan. Tujuan
finansial perusahaan pada umumnya ditekankan pada pencapaian pendapatan,
keuntungan, arus kas, tingkat pengembalian modal yang digunakan, tingkat
pengembalian investasi atau nilai tambah ekonomis. Aspek produktivitas, dalam
hal ini didasarkan pada pencapaian perusahaan dalam aktivitas-aktivitas usahanya
untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan pelanggan serta produktivitas
pegawainya. Aspek pasar, dalam hal ini ditinjau dari pencapaian penjualan
produk, posisi pasar dan pangsa pasar.
Penelitian-penelitian pada UKM, untuk penilaian kinerja usaha biasanya
menggunakan pendekatan campuran (finansial dan non-finansial) untuk mengukur
sajauhmana suatu usaha dapat mencapai tujuan-tujuannya (Chong, 2008). Terkait
pendekatan ini, Norton and Kaplan (1992) mengemukakan teknik penilaian
Page 22
22
terhadap kinerja perusahaan yang lebih bersifat komprehensif dengan memadukan
aspek finansial dan non finansial, karena diyakini bahwa sesungguhnya ada
perspektif non keuangan yang lebih penting yang dapat dipergunakan dalam
mengukur kinerja perusahaan. Hal inilah yang mendasari awal terciptanya konsep
Balanced Scorecard, yang melihat kinerja perusahaan melalui empat perspektif
yaitu: perspektif keuangan, pelanggan, internal perusahaan, dan pembelajaran
(Rangkuti, 2012).
Tetapi kenyataan empiris, tidak semua usaha kecil, terutama usaha mikro
mempunyai pembukuan yang teratur. Beal (2000), menyatakan bahwa
“adakalanya terdapat kesulitan yang muncul pada saat manajer atau pemilik
UKM, tidak bersedia atau keberatan memberikan informasi dan data
keuangannya.“ Dalam konteks ini, Dess & Beard (1984) merekomendasikan
bahwa; “Untuk mengantisipasi tidak tersedianya data kinerja yang riil, masih
memungkinkan digali dengan pendekatan persepsi dari pemilik atau pengelola
UKM tersebut.” Selanjutnya ditegaskannya kembali, bahwa “kondisi ini dianggap
relevan untuk mengukur kinerja suatu perusahaan dengan menggunakan
“persepsi”, apalagi usaha kecil biasanya jarang membuat laporan keuangan
dengan benar yang tidak memungkinkan untuk dipublikasikan.”
Akhirnya, berdasarkan seperangkat latar belakang yang telah dipaparkan di
atas, dapat disarikan bahwa kajian ini mempostulasikan bahwa dengan
bekerjanya secara optimal Modal Sosial pada UKM di tingkat mikro akan dapat
menjelaskan kinerja ekonomi di tingkat makro ( kabupaten, provinsi, nasional,
regional, internasional) melalui kesanggupannya dalam mempertajaman orientasi
Page 23
23
kewirausahaan dan mewujudkan efisiensi biaya transaksi pada saat mekanisme
pasar dan tatanan kelembagaan tidak sanggup melakukannya.
1.2 Rumusan Masalah
Kinerja Usaha adalah titik kiblat kemana seluruh aktivitas perusahaan
diarahkan, yang sasaran akhirnya adalah untuk mencapai tujuan-tujuan
perusahaan. Wujud kinerja perusahaan akan dievaluasi melalui perpaduan antara
kinerja keuangan dan non keuangan. Dalam hal ini untuk dapat menjalankan
aktivitas-aktivitasnya, perusahaan memerlukan beragam sumberdaya seperti asset
berwujud dan asset tak berwujud . Modal finansial, teknologi, sarana-prasana dan
tenaga kerja adalah wujud sumberdaya kasat mata yang dimiliki perusahaan, yang
dalam aktivitasnya dikerahkan untuk mencapai tujuan. Sumberdaya yang tak
kasat mata seperti; pengetahuan, pengalamam dan keahlian karyawan adalah asset
manusia yang melekat pada tenaga kerja juga turut menentukan kenerja
perusahaan. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah sumberdaya jalinan sosial
berupa; partisipasi, norma-norma, anutan nilai, rasa saling percaya, inisiatif, dan
kerjasama antar karyawan diakui turut berkontribusi terhadap kinerja perusahaan.
Sumberdaya kapabilitas yaitu Orientasi Kewirausahaan seperti;
kemandirian, kreatif dan inovatif, berani mengambil resiko, proaktif dan agresif,
adalah perilaku kewirausahaan yang diakui sebagai sumberdaya yang sanggup
memadukan beraneka sumberdaya yang dimiliki perusahaan untuk menghasilkan
sumberdaya baru dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembiayaan
perusahaan. Kompetensi sumberdaya kapabilitas ini, pada akhirnya juga
dimaksudkan untuk mewujudkan pencapaian kinerja usaha yang optimal.
Page 24
24
Informasi yang asimetris cenderung menyodorkan pilihan yang tidak
menguntungkan kepada pelanggan. Hal ini menyebabkan timbulnya biaya
ekonomi tinggi. Biaya transaksi yang tinggi tak terelakkan sehingga terjadi
inefisiensi. Kehadiran Modal Sosial dalam hal ini menjadi sangat penting karena
diakui dapat mereduksi tingginya biaya transaksi.
Melalui paradigma positivistik, penelitian ini dimaksudkan untuk dapat
mengungkap hubungan kausalitas antara Modal Sosial, Orientasi Kewirausahaan
dan efisiensi Biaya Transaksi dalam mewujudkan optimalisasi Kinerja Usaha,
dengan mengaplikasikannya pada UKM Kerajinan Kayu di Provinsi Bali. Secara
eksplisit, permasalahan penelitian dirumuskan seperti berikut ini :
1. Bagaimana pengaruh Modal Sosial terhadap Orientasi Kewirausahaan
pada pengusaha UKM Kerajinan Kayu di Provinsi Bali?
2. Bagaimana pengaruh Orientasi Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha
pada pengusaha UKM Kerajinan Kayudi Provinsi Bali?
3. Bagaimana pengaruh Modal Sosial terhadap Kinerja Usaha pada
pengusaha UKM Kerajinan Kayu di Provinsi Bali?
4. Bagaimana pengaruh Orientasi Kewirausahaan yang dimediasi oleh Biaya
Transaksi terhadap Kinerja Usaha pada pengusaha UKM Kerajinan Kayu
di Provinsi Bali?
5. Bagaimana pengaruh Modal Sosial yang dimediasi oleh Biaya Transaksi
terhadap Kinerja Usaha pada pengusaha UKM Kerajinan Kayu di
Provinsi Bali?
Page 25
25
6. Bagaimana pengaruh Modal Sosial yang dimediasi oleh Orientasi
Kewirausahaan terhadap efisiensi Biaya Transaksi pada pengusaha UKM
Kerajinan Kayu di Provinsi Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang permasalahan dan rumusan masalah
penelitian, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui kajian ini yaitu:
1. Untuk menganalisis pengaruh Modal Sosial terhadap Orientasi
Kewirausahaan pada pengusaha UKM Kerajinan Kayu di Provinsi Bali.
2 Untuk menganalisis pengaruh Orientasi Kewirausahaan terhadap Kinerja
Usaha pada pengusaha UKM Karajinan Kayu di Provinsi Bali.
3 Untuk menganalisis pengaruh Modal Sosial terhadap Kinerja Usaha pada
pengusaha UKM Kerajinan Kayu di Provinsi Bali.
4 Untuk menganalisis pengaruh Orietasi Kewirausahaan yang dimediasi oleh
Biaya Transaksi terhadap Kinerja Usaha pada pengusaha UKM Kerajinan
Kayu di Provinsi Bali.
5 Untuk menganalisis pengaruh Modal Sosial yang dimediasi oleh Biaya
Transaksi, terhadap Kinerja Usaha pada pengusaha UKM Kerajinan kayu
di Provinsi Bali.
6 Untuk menganalisis pengaruh Modal Sosial yang dimediasi Orientasi
Kewirausahaan terhadap efisiensi Biaya Transaksi pada pengusaha UKM
Kerajinan Kayu di Provinsi Bali.
Page 26
26
1.4 Manfaat Penelitian
Secara umum, manfaat penelitian ini adalah berupa dukungan terhadap
konsep Ekonomi Kerakyatan di Indonesia, yang dijiwai oleh Pancasila dan UUD
1945, dengan konsekuensi diterapkannya pola perekonomiam yang disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan, sehingga amanat konstitusi
tersebut menjadi lebih membumi dan dapat dilestarikan. Dan untuk Provinsi Bali
khususnya, penelitian ini dimaksudkan untuk dapat menanamkan pola Orientasi
Kewirausahaan kepada masyarakat pengusaha UKM yang bergerak pada industri
kerajinan kayu, untuk lebih kreatif, inovatif, proaktif mendasarkan pola usahanya
pada aspek kebersamaan, kejujuran, saling membantu, dan mengedepankan nilai
kebersamaan.
Secara lebih spesifik manfaat yang dapat diberikan oleh hasil penelitian
ini, yang lazim disebut manfaat teoritis atau manfaat keilmuan dan manfaat
praktis, yaitu:
1. Sebagai manfaat teoritis, temuan penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di
bidang Ilmu Ekonomi Kelembagaan terutama tentang permodelan
kausalitas tentang aspek; modal sosial, orientasi kewirausahaan, efisiensi
biaya transaksi terhadap kinerja usaha, pada UKM Kerajinan kayu.
2. Penelitian ini masih bersifat eksploratif (dalam taraf pengembangan),
sehingga secara teoritis juga diharapkan akan dapat memberikan dasar
informasi kepada peneliti berikutnya untuk melakukan kajian yang lebih
mendalam dengan pendekatan-pendekatan yang lebih representatif
Page 27
27
terutama tentang peranan modal sosial, orientasi kewirausahaan, biaya
trasaksi, dan kinerja usaha sebagai konsep dasar yang ikut menentukan
keberhasilan pembangunan ekonomi suatu masyarakat.
3. Sebagai manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi
masukan dalam rangka memperluas wawasan yang dapat memperkaya
strategi dan taktis untuk melakukan kebijakan yang tepat, terutama
tentang kontribusi modal sosial, orientasi kewirausahaan, efisiensi biaya
transaksi, yang dapat meningkatkan kinerja usaha, sehingga perusahaan
dapat bersaing dengan harga yang lebih murah. Kesanggupan tampil
sebagai perusahaan yang unggul dalam kepemimpinan biaya, adalah
modal dasar untuk mempertahankan keunggulan kompetitif dan
keunggulan bersaing di pasar.
4. Secara praktis pula, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi
sumbangan pemikiran kepada para pelaku UKM di seluruh
Kabupaten/kota di Provinsi Bali, tentang peranan dan manfaat modal
sosial yang dalam hal ini; saling percaya antar sesama pelaku usaha, saling
membantu dan bekerjasama, hubungan/jaringan antar sesama pelaku
usaha, kelekatan antar sesama pelaku usaha yang dibimbing oleh norma-
norma formal dan informal yang sudah diakui sebagai tradisi yang
diturunkan dari nilai-nilai agama akan sangat membantu dalam
menciptakan efisiensi yang akhirnya muncul sebagai pendukung
terciptanya keunggulan bersaing bagi UKM Kerajinan Kayu di Provinsi
Bali.
Page 28
28
5. Terbukanya orientasi kewirausahaan; yang muncul dalam bentuk perilaku
lebih berani mengambil resiko, lebih kreatif dalam melakukan inovasi dan
berperilaku proaktif dalam usaha mencari input produksi, informasi pasar
dan perluasan pasar bagi pelaku UKM di Provinsi Bali juga merupakan
manfaat praktis dari hasil penelitian ini. Terbentuknya anutan ‘nilai
kebersamaan’ dalam komunitas UKM di Provinsi Bali yang diharapkan
dapat menghasilkan pedomam tentang tata aturan melakukan usaha, yang
tidak hanya dapat melihat sesuatu yang kasat mata saja sebagai norma
yang membimbing perilaku dalam berusaha, tetapi merupakan rangkuman
serangkaian nilai agama yang akhirnya menghasilkan sesuatu yang dapat
diakui sebagai konsep‘jaringan sosial kewirausahaan’yang berbasis
‘Budaya Bali’ , terutama bagi pengusaha yang bergerak pada UKM
Kerajinan Kayu di Provinsi Bali.