LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIENNama:Ny. DUmur:41 TahunJenis
Kelamin:PerempuanSuku Bangsa:MakassarAgama:IslamAlamat:Pulau Komodo
No. 47Pekerjaan:IRTTanggal Pemeriksaan:15 Juli 2013No. Rekam
Medik:617196Tempat Pemeriksaan:RSWSPemeriksa:dr. A
II. ANAMNESISKeluhan utama:Rasa Mengganjal Pada Mata
KananAnamnesis Terpimpin:Dirasakan secara perlahan-lahan sampai
terasa ada sesuatu yang menutupi bola mata hitam sejak kurang lebih
9 bulan yang lalu, nyeri (-), Mata merah (-), rasa berpasir pada
mata (-), rasa mengganjal pada mata (-), air mata berlebih (-),
kotoran mata berlebih (-), rasa gatal (+) kadang-kadang, rasa silau
(-), penglihatan kabur (-), riwayat pasien sering terpapar sinar
matahari, debu atau asap kendaraan bermotor (+)Riwayat penggunaan
kacamata (-)Riwayat trauma (-)Riwayat Hipertensi (-),Diabetes
Melitus (-) Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya
(-)Riwayat penyakit yang sama pada keluarga (-)Riwayat pengobatan
(+) di Luwuk Bungai, Diberi Obat tetes mata ( pasien lupa akan nama
obatnya ).
III. PEMERIKSAANSTATUS GENERALISKeadaan Umum : Komposmentis,
Sakit Sedang, Gizi BaikTekanan darah : 120/80 mmHgPernapasan :
24x/menitNadi : 80x/ menit Suhu : 36,9oC
A. Inspeksi PEMERIKSAANODOS
PalpebraEdema (-)Edema (-)
Apparatus lakrimalisHiperlakrimasi (-)Hiperlakrimasi (-)
SiliaSekret (-)Sekret (-)
KongjungtivaTampak selaput berbentuk segitiga di bagian nasal
dengan apeks mencapai pupil, Hiperemis (-)Hiperemis (-)
Bola mataNormalNormal
KorneaJernihJernih
Bilik Mata DepanKesan NormalKesan Normal
IrisCoklat, Kripte (+)Coklat, Kripte (+)
PupilBulat, Sentral Bulat, Sentral
LensaJernihJernih
Mekanisme muscularKe segala ArahKe segala Arah
B. PalpasiPALPASIODOS
Tensi Okuler TnTn
Nyeri tekan (-)(-)
Massa tumor (-) (-)
Glandula preaurikuler Tidak ada pembesaranTidak ada
pembesaran
C. Tonometri Tidak dilakukan pemeriksaan
D. Visus VOD = 6/19 pH 6/19 ( tidak dapat dikoreksi )VOS =
6/6
E. Campus VisualTidak dilakukan pemeriksaan
F. Color Sense Tidak dilakukan pemeriksaan
G. Light SenseTidak dilakukan pemeriksaan
H. Penyinaran oblikODOS
KonjungtivaTampak selaput berbentuk segitiga di bagian nasal
dengan apeks mencapai pupil, Hiperemis (-)Hiperemis (-)
KorneaJernihJernih
Bilik Mata DepanKesan NormalKesan Normal
IrisCoklat, Kripte (+)Coklat, Kripte (+)
PupilBulat, Sentral, RC (+)Bulat, Sentral, RC (+)
LensaJernihJernih
I. Slit lampSLOD:Konjungtiva hiperemis (-), Tampak selaput
berbentuk segitiga di bagian nasal dengan apeks mencapai pupil,
komea jernih, BMD kesan normal, iris coklat kripte (+), pupil bulat
sentral RC (+), lensa jernih.SLOS:Konjungtiva hiperemis (-), kornea
jernih, BMD kesan normal, iris coklat kripte (+), pupil bulat
sentral RC (+), lensa jernih.
J. DiafanoskopiTidak dilakukan pemeriksaan
K. OftalmoskopiTidak dilakukan pemeriksaan
L. RESUMEPerempuan 41 tahun, datang ke poliklinik mata RSWS
dengan keluhan rasa mengganjal pada mata kanan yang dirasakan
secara perlahan- lahan sejak 9 bulan yang lalu, dan membesar secara
perlahan-laha, nyeri (-), Mata merah (-), rasa berpasir pada mata
(-), rasa mengganjal pada mata (-), air mata berlebih (-), kotoran
mata berlebih (-), rasa gatal (+) kadang-kadang, rasa silau (-),
penglihatan kabur (-), riwayat pasien sering terpapar sinar
matahari,debu dan asap kendaraan bermotor (+)Pada pemeriksaan
oftalmologi pada inspeksi tampak selaput berbentuk segitiga di
bagian nasal dengan apeks mencapai pupil pada Konjungtiva OD, pada
pemeriksaan visus VOD 6/19 dan VOS 6/6. Pada palpasi tidak
ditemukan kelainan. Penyinaran oblik dan Slit lamp pada OD
didapatkan pada konjungtiva hiperemis (-), tampak selaput berbentuk
segitiga di bagian nasal dengan apeks mencapai pupil, kornea
jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat,
sentral, RC (+), dan lensa jernih. Pada OS didapatkan konjungtiva
hiperemis (-), kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte
(+), pupil bulat, sentral, RC (+), dan lensa jernih
M. DiagnosaOD Pterigium Stadium III
N. TerapiRencana operasi OD Eksisi Pterigium O. Prognosis Quo ad
vitam: Bonam Quo ad sanationem: Bonam Quo ad visam : Bonam Quo ad
kosmeticum: Bonam
P. Diskusi Dari hasil anamnesis pada pasien ini didapatkan
keluhan rasa mengganjal pada mata kanan yang dirasakan secara
perlahan-lahan sejak kurang lebih 9 bulan yang lalu, ada rasa gatal
(+) kadang-kadang, riwayat pasien sering terpapar sinar
matahari,debu dan asap kendaraan bermotor (+)Pada pemeriksaan
oftalmologi pada inspeksi tampak selaput berbentuk segitiga di
bagian nasal dengan apeks mencapai pupil pada Konjungtiva OD, pada
pemeriksaan visus VOD 6/19 dan VOS 6/6. Pada palpasi tidak
ditemukan kelainan. Penyinaran oblik dan Slit lamp pada OD
didapatkan pada konjungtiva tampak selaput berbentuk segitiga di
bagian nasal dengan apeks melewati mencapai pupil.Berdasarkan hasil
anamnesis dan hasil pemeriksaan oftalmologi tersebut dapat
disimpulkan bahwa pasien menderita OD Pterigium Stadium
IIIPterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif, berbentuk segitiga yang tumbuh
mejalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea.Timbunan atau
benjolan ini membuat penderitanya agak kurang nyaman karena
biasanya akan berkembang dan semakin membesar kedaerah kornea.
Penyebab pterigitun belum dapat dipahami secara jelas,diduga
merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar
ultraviolet,pengeringan dan tingkungan dengan angin yang banyak.
Pterigium banyak dijumpai di daerah yang banyak terkena sinar
matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya
besar,sehingga kemungkinan pencetusnya adalah rangsangan dari udara
panas,juga bagi orang yang kering berkendaraan motor tanpa helm
penutup atau kacamata, nelayan, dan petani.Pada pasien ini
pterygium sudah mencapai stadium III karena pterygiumnya sudah
mencapai pupil Teknik operasi yang direncanakan pada pasien ini
adalah teknik graft konjungtiva dengan alasan karena teknik ini
dianggap paling bagus dalam menurunkan rekurensi
pterigium.Diharapkan agar pasien sedapat mungkin mengindari faktor
pencetus timbulnya pterigium seperti sinar matahari, angin dan debu
serta rajin merawat dan menjaga kebersihan kedua mata.Oleh sebab
itu, dianjurkan untuk selalu memakai kacamata pelindung atau topi
pelindung bila keluar rumah
PTERIGIUM
I. DEFENISIPterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium (L.
Pterygion = sayap) adalah lipatan sayap pada konjungtiva yang
merambah pada kornea dari kedua sisi dalam fisura intrapalpebra.
Pterigium juga suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan
fibrovaskular berbentuk segitiga (sayap) yang muncul pada
konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi permukaan kornea
antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman. Pterigium pertama
kali dijelaskan oleh Susruta ( India ), ahli bedah mata yang
pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi. Pterigium dapat
bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi
fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat
merusak topografi kornea dan dalam kasus lanjut mengaburkan pusat
optik kornea.(1-5)Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi
degeneratif, pterigium juga menampilkan ciri-ciri seperti tumor,
seperti kecenderungan untuk menginvasi jaringan normal dan tingkat
rekurensi yang tinggi setelah reseksi, dan dapat hidup berdampingan
dengan lesi premalignan sekunder.(6)Banyak literatur melaporkan
faktor-faktor etiologi berikut yang mungkin menjadi penyebab
terjadinya pterigium: radiasi ultraviolet (UV), radang mata kronis,
efek toksik zat kimia. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki
kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi.(7)
II. EPIDEMIOLOGIPterigium merupakan kelainan mata yang umum
dibanyak bagiandunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar
antara 0,3%-29%. Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi
terhadap paparan sinar matahari yang kronis, dengan meningkatnya
prevalensi geografis dalam peri-khatulistiwa garis lintang 37o
utara dan selatan khatulistiwa.(8)Sebuah studi epidemiologis oleh
Gazzard dkk (2002) melaporkan orang berkulit hitam (usia 40-84
tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13 utara
khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi
(23,4%) sedangkan tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan
(usia 40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari (1,2%).
Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40 tahun di
pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura
yang lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6,9%). Penelitian
ini juga melaporkan orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat
prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih tinggi daripada semua
ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali dengan
penduduk kulit hitam dari Barbados.(9)Secara umum studi lain
pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera meningkat seiring
bertambahnya usia. Hal yang jarang terjadi untuk seseorang
menderita pterigium sebelum usia 20 tahun. Pasien yang usianya
lebih dari 40 tahun memiliki prevalensi tertinggi untuk terjadinya
pterigium, sementara pasien berusia 20-40 tahun dilaporkan memiliki
insiden tertinggi terjadinya pterigium. Beberapa studi dimana
pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki.(9,10)Tingkat
rekurensi pada pasca ekstirpasi di Indonesia berkisar 35% - 52%.
Data di RSCM angka rekurensi pterigium mencapai 65,1% pada
penderita dibawah usia 40 tahun dan sebesar 12,5% diatas 40 tahun.
Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa
kekambuhan pasca transplantasi limbal sel sebesar 14% dan
kekambuhan pasca bare sclera sebesar 60%.(3)
III. ANATOMI KONJUNGTIVAKonjungtiva adalah membran mukosa tembus
cahaya yang melapisi permukaan aspek posterior dari kelopak mata
dan anterior bola mata. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang
dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi bola mata
terutama kornea.(1,2)
Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian: (2,11)1. Konjungtiva
palpebralis.Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata dan
melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni
konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal
membentang dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang
kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian
ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva lebih
tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak
mengandung vaskular. Konjungtiva orbital terletak longgar antara
tarsal dan forniks. 2. Konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris
melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat pada limbus
kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea.
Terdapat sebuah dataran tinggi 3 mm dari konjungtiva bulbaris
sekitar kornea disebut konjungtiva limbal.3. Konjungtiva
fornix.Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva
tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva
palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya. Konjungtiva
fornix ini melekat secara longgar dengan struktur dibawahnya yaitu
fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus.
Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix
dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut
berkontraksi.Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga
lapisan yaitu epitel, lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa.(2)1.
Epitel.Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada
masing-masing daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut:
Konjungtiva marginal memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat.
Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial
terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari
sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis
epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan
tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari
sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5
sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng.2. Lapisan adenoid. Lapisan
ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari retikulum
jaringan ikat halus dengan jerat dimana terdapat limfosit. Lapisan
ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak
ditemukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan
awal kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva
pada bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler.3. Lapisan fibrosa.
Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis. Lapisan
ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva
tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung
pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan
mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar.Konjungtiva
berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan
kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet
(kelenjar uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of
Henle (terdapat di konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan
dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mukus
yang penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar
lakrimalis aksesoris terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat pada
jaringan ikat sub conjunctival forniks, sekitar 42 buah di atas
forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring
(terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang
batas bawah tarsus inferior).(2)
Gambar 1.Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris,
konjungtiva forniks, konjungtiva palpebralis. (Dikutip dari
kepustakaan 11)
Gambar 2.Vaskularisasi Konjungtiva. (Dikutip dari kepustakaan
2)
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior
dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan
bersama dengan banyak vena kongjungtiva yang umumnya mengikuti pola
arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak
sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan
superfisial dan lapisan profunda dan bersambung dengan pembuluh
limfe kelopak mata hingga membentuk pleksus limfatikus yang kaya.
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus
yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang
relatif sedikit.(12)
IV. ETIOLOGIEtiologi pterigium sepenuhnya tidak diketahui.
Tetapi penyakit ini lebih sering pada orang tinggal di iklim panas.
Oleh karena itu, anggapan yang paling mungkin adalah pengaruh efek
berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar sinar matahari
(sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu. Baru-baru ini,
beberapa virus juga memiliki disebut-sebut sebagai faktor
etiologi.(1-3,7)Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan
sel induk limbal pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya
insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan faktor pertumbuhan
jaringan yang menginduksi angiogenesis dan proliferasi sel. Radiasi
cahaya UV tipe B menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan
dalam patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan
bahwa gen p53 dan human papilloma virus dapat juga terlibat dalam
patogenesis pterigium.(7,8)
V. FAKTOR RESIKOFaktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah
lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik
dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.(13)1. Radiasi
ultravioletFaktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium
adalah ekspoure sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea
dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan poliferasi sel.
Letak lintang, waktu diluar rumah, penggunaan kacamata dan topi
juga merupakan faktor penting.2. Faktor genetikBeberapa kasus
dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan
berdasarkan penilitian case control menunjukkan riwayat keluarga
dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.3. Faktor
lainIritasi kronik atau inflamasi terjadi di dareah limbus atau
perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis
kronik dan terjadi limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori
baru patogenesis pterigium.
VI. KLASIFIKASIPterigium dapat dibagi ke dalam beberapa
klasifikasi berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya dan
berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu:(13)1.
Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3:(13)a. Tipe I: Lesi
meluas 4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya
pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva
yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan
bola mata serta kebutaan.2. Berdasarkan stadium pterigium dibagai
ke dalam 4 stadium yaitu:(13,14)a. Stadium 1:Invasi minimum,
pertumbuhan lapisan yang transparan dan tipis, pertumbuhan pembuluh
darah yang tipis hanya terbatas pada limbus kornea.b. Stadium 2:
Lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan dan
menginvasi kornea tapi belum mencapai pupil.c. Stadium 3:Lapisan
tebal seperti daging yang menutupi pupil, vaskularisasi yang
jelas.d. Stadium 4:Pertumbuhan telah melewati pupil.3. Berdasarkan
perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:(2)a.
Pterigium progresif:Tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrate
di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)b.
Pterigium regresif:Tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya
menjadi bentuk membrane, tetapi tidak pernah hilang.4. Berdasarkan
terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus
diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3 yaitu:(13)a. T1
(atrofi):Pembuluh darah episkleral jelas terlihat.b. T2
(intermediet):Pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.c. T3
(fleshy, opaque): Pembuluh darah tidak jelas.5. Vaskuler :
Pterygium tebal,merah,progresif,ditemukan pada anak muda (tumbuh
cepat karena banyak pembuluh darah) Membrannaceus : Pterygium tipis
seperti plastik,tidak terlalu merah,terdapat pada orang tua.
Gambar 3. Pterigium. (Dikutip dari kepustakaan 10)
STADIUM ISTADIUM II
STADIUM IVSTADIUM III
Gambar 4. Stadium Pterigium. (Dikutip dari kepustakaan 11)VII.
PATOFISIOLOGI Patogenesis pterigium ditandai dengan degenerasi
kolagen dan elastotic proliferasi fibrovaskular yang menutupi
epitel. Radiasi sinar UV dapat menyebabkan mutasi pada gen seperti
gen supresor tumor p53, sehingga berakibat pada terekspresinya gen
ini secara abnormal pada epitel pterigium. Temuan ini menunjukkan
bahwa pterigium bukan hanya lesi degeneratif, tetapi bisa menjadi
manifestasi dari proliferasi sel yang tak terkendali. Matriks
metalloproteinase (MMP) dan jaringan inhibitor MMPs (TIMPs) pada
pinggir pterigium mungkin bertanggung jawab untuk proses inflamasi,
tissue remodeling, dan angiogenesis yang menjadi ciri pterigium,
serta perusakan lapisan Bowmandan invasi pterigium ke dalam
kornea.(1,5,6,8)Sinar UV menyebabkan mutasi pada gene suppressor
tumor P53 di sel basal limbal dan fibroblast elastic gene di epitel
limbal.(13)Mutasi pada gen P53 atau family P53 pada sel basal
limbal juga menyebabkan terjadinya produksi berlebih dari TGF-
melalui jalur p53-Rb-TGF-. Oleh karena itu, pterigium merupakan
tumor secreting TGF-. Banyaknya sekresi TGF- oleh sel pterigium
dapat menjelaskan macam-macam perubahan jaringan dan ekspresi MMP
yang terjadi pada pterigium. Pertama, sel pterigium (sel epitel
basal limbal) menghasilkan peningkatan MMP-2, MMP-9, MTI-MMP, dan
MT2-MMP, yang menyebabkan terputusnya perlekatan hemidesmosom.
Awalnya, sel pterigium akan bermigrasi secara sentrifugal ke segala
arah menuju ke adjacent dan limbal corneal, limbus, dan membrane
konjungtiva. Karena produksi TGF- oleh sel ini, terjadi penipisan
jumlah lapisan pada daerah di atas, dan tidak ada massa tumor yang
nampak tapi sebagai tumor yang tidak kelihatan. Selanjutnya,
setelah perubahan pada seluruh sel basal limbus berkembang dan
semua hemidesmosom lepas dari sel-sel ini, terjadi migrasi sel ke
kornea diikuti oleh epitel konjungtiva, yang mengekspresikan 6
jenis MMP dan berkontribusi terhadap penghancuran lapisan bowman
pada kornea. Sebagai tambahan, TGF- yang diproduksi oleh sel
pterigium menyebabkan peningkatan monosit dan pembuluh darah
kapiler dalam lapisan epitel dan stroma. Kemudian, sekelompok
fibroblast normal berkumpul dibawah invasive epitel limbus di depan
tepi yang rusak dari lapisan Bowman dan diaktivasi oleh jalur
TGF--bFGF untuk memproduksi MMP-1 dan MMP-3 yang juga membantu
dalam penghancuran lapisan bowman. Beberapa sitokin-sitokin ini
mengaktivasi fibroblast untuk bermigrasi untuk membentuk pulau
kecil fibroblast yang memproduksi MMP 1 dan juga berperan dalam
penghancuran membran bowman.(15)Tseng dkk (1990) juga berspekulasi
bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada daerah yang kekurangan
limbal stem sel. Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel
kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem sel, terjadi
conjungtivalization pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi
limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi
inflamasi kronis, kerusakan membrane basement dan pertumbuhan
jaringan fibrotic. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan
karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral
limbal stem sel. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem
sel di daerah interpalpebra.(8,13)
VIII. GAMBARAN KLINISPterigium lebih sering terjadi pada pria
tua yang melakukan pekerjaan di luar rumah. Pterigium mungkin
terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini muncul sebagai
lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di sisi
nasal, tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi
kadang-kadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut garis
Stocker. Pterigium terdiri dari tiga bagian : (2)a. Apeks (bagian
apikal pada kornea),b. Collum (bagian limbal), danc. Corpus (bagian
scleral) membentang antara limbus dan yang canthusPterigium hanya
akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian tengah
kornea. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan
astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada
jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu
motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda
atau diplopia.(2,11)
IX. DIAGNOSIS 1. Anamnesis. Pada anamnesis didapatkan adanya
keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair,
gangguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya
riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan
pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat
pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.(13)2. Pemeriksaan
fisik.Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan
fibrovaskuler pada permukaan kojungtiva. Pterigium dapat memberikan
gambaran vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang
avaskuler dan flat. Pterigium paling sering ditemukan pada
konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat
pula ditemukan pterigium pada daerah temporal.(2,13)3. Pemeriksaan
penunjang.Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium
adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi
berupa astigmtisme ireguler yang di sebabkan oleh
pterigium.(13)
X. PENATALAKSANAANKarena kejadian pterigium berkaitan dengan
aktivitas lingkungan, penanganan pterigium asimptomatik atau dengan
iritasi ringan dapat diobati dengan kacamata sinar UV-blockking dan
salep mata. Anjurkan pasien untuk menghindari daerah berasap atau
berdebu sebisa mungkin. Pengobatan pterigium yang meradang atau
iritasi dengan topikal dekongestan atau kombinasi antihistamin atau
kortikosteroid topikal ringan empat kali sehari.(5)Bedah eksisi
adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang dapat
diindikasikan untuk: (1) alasan kosmetik, (2) perkembangan lanjutan
yang mengancam daerah pupil (sekali pterigium telah mencapai daerah
pupil, tunggu sampai melintasi disisi lain), (3) diplopia karena
gangguan digerakan okular.(2)Tujuan utama pembedahan adalah untuk
sepenuhnya mengeluarkan pterigium dan untuk mencegah terjadinya
rekurensi.(8) Indikasi pembedahan pterigium McReynold,
yaitu:(10,16)a. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm.b.
Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vaskular.c.
Mata terus berair dan terasa mengganjal.d. Visus menurun.e. Telah
memasuki daerah pupil atau melewati limbus.f. Alasan kosmetik.g.
Mengganggu pergerakan bola mata.h. Mendahului operasi intra
okuler.
Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan
pterigium.(2,4,8,13)1. Bare sclera: Pada teknik ini tidak ada
jahitan atau benang absorable yang digunakan untuk melekatkan
konjungtiva ke superfisial sklera dan meninggalkan suatu daerah
sclera terbuka. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat
rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 60%.2. Simple
closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana
teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relative kecil.3.
Sliding flap: dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas
eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.4.
Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka
bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang
kemudian diletakkan pada bekas eksisi.5. Conjungtival graft:
menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi
bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian
dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan.
Gambar 5.Tehnik operasi pada pterigium.A. Bare sclera, B. Simple
closure, C. Sliding Flaf, D. Rotation Flap, E. Conjungtival
graf(Dikutip dari kepustakaan 2)
Rekurensi menjadi masalah setelah dilakukan bedah eksisi yakni
sekitar 30-50%. Tapi hal ini dapat di minimalisir dengan cara
berikut:(2,8)1. Penggunaan mitomicin C intra dan post operasi.2.
Post poerasi beta iradiasi.3. Conjungtival autograft.4. Limbal and
limbalconjunctival transplantation.5. Amniotic membrane
transplantation.6. Cultivated conjunctival transplantation.7.
Lamellar keratoplasty.8. Fibrin glue.
XI. DIAGNOSIS BANDINGPterigium harus dibedakan dari
pseudopterigium. Pseudopterigiumadalah lipatan konjungtiva bulbar
yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk karena adhesi dari
konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya
terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada mata.(2)Sering
pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea,
sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering
dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea.
Pseudopterigium dapat ditemukan di bagian apapun pada kornea dan
biasanya berbentuk obliq, sedangkan pterigium ditemukan secara
horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9. Pterigium juga dapat
didiagnosa banding dengn pinguikula yang memiliki gambaran klinis
lesi kekuningan menyerupai lemak dengan perkembangan yang stasioner
berbentuk segitiga dari nasal ke temporal limbus.(16,17)
XII. KOMPLIKASIKomplikasi pterigium meliputi iritasi, kemerahan,
diplopia, distorsi penurunan visus dan skar pada konjungtiva,
kornea dan otot rektus medial. Komplikasi pasca operasi termasuk
infeksi, diplopia dan terbentuknya jaringan parut. Retina
detachment, perdarahan vitreous dan perforasi bola mata meskipun
jarang terjadi.(4,10)Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta
pterygia dapat meliputi: Sclera dan / atau kornea yang menipis atau
ektasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun
setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk
ditangani.(10)Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium
adalah rekurensi. Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi
tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi
sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft konjungtiva/limbal atau
transplantasi membran amnion pada saat eksisi. Pada kesempatan
langka, degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah
pterigium yang ada dapat terjadi.(10)
XIII. PROGNOSISPenglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi
adalah baik. Rasa tidak nyaman pada hari pertama post operasi dapat
ditoleransi. Kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat
beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat
dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau
transplantasi membran amnion.(13)Pesien dengan resiko tinggi
timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga atau karena terpapar
sinar matahri yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan
mengurangi terpapar sinar matahari.(13)
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. p: 2-10, 116-72.
Khurana KA. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA, editors.
Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age
International. 2007. p. 51 - 82.3. Swastika AM, Inakawati S.
Perbedaan Kekambuhan Paska Ekstirpasi Pterigium Metode Bare Sclera
Dengan Transpalantasi Limbal Stem Sel. Medical Faculty of
Diponegoro University. 2008; p:1-18.4. Raju KV, Chandra A, Doctor
R. Management of Pterigium- A Brief Review. Kerala Journal of
Ophthamology. 2008;10(4):63-5.5. Jharmarwala M, Jhaveri R.
Pterigium: A New Surgical Technique. Journal Of The Bombay
Ophthamologists Association. 2008;11(4):129-30.6. Chui J, Coroneo
TM, et al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder with
Premalignant Features. The American Journal of Pathology.
2011;178(2):817-27.7. Dzunic B, Jovanovic P, et al.Analysis of
pathohistologicalcharacteristics of pterigium. BOSNIAN JOURNAL OF
BASIC MEDICAL SCIENCE. 2010;10(4):308-13.8. Ang KPL, Chua LLJ, Dan
HTD. Current concepts and techniques in pterigium treatment. Curr
Opin Ophthalmol. 2006;18: 308313.9. Gazzard G, Saw MS, et al.
Pterigium in Indonesia: prevalence, severity, and risk factors.Br J
Ophthalmol .2002;86:134146.10. Fisher PJ. Pterigium. Updated: 2012.
Available from:
URL:http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview.
Accessed June 15, 201311. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang
KG, Gareis O, Lang EG, Recker D, Wagner P, editors. Ophthalmology:
A Pocket Textbook Atlas 2nd ed. New York: Thieme Stuttgart. 2006.
p. 67 - 72.12. Riordan P, Eva. Anatomi & Embriologi Mata.
Oftalmologi Umum. Edisi 17. Penerbit Widya Medika. Jakarta. 2007.
p: 1-27, 11913. Laszuarni.Prevalensi Pterigium di Kabupaten
Langkat. Updated : 2009. Available from: URL:
repository.usu.ac.id.Accessed July 15 ,2012.14. Sharma KA, Wali V,
Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting in Pterigium Surgery.
Postgraduate Department of Opthalmology, Govt. Medical College,
Jammu. 2004;6(3):149-52.15. Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT.
Pterygia Pathogenesis: Corneal Invasion by Matrix Metalloproteinase
Expressing Altered Limbal Ephitelial Basal Cells. Arch Ophthamol.
2001;119:695-706.16. Drakeiron. Pterigium. 2008 December. [cited
2013 15 Juli]. Available from:
http://drakeiron.wordpress.com/prosedures/pterigium.html.17. Jacobs
JM, Hawes MJ. Ophthalmic Pathology and Intraocular Tumors. Section
4. American Academy Of Ophthalmology; 2011-2012.p.58
13