PELAKSANAAN KONTRAK BAKU DALAM PEMBIAYAAN SYARI’AH MENURUT FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA (DSN-MUI) TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH (Studi Kasus pada Bank BJB Syariah Kantor Cabang Pembantu BSD) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: KHARISMA INGGIL WEKASANE 11140460000056 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/ 2019 M
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PELAKSANAAN KONTRAK BAKU DALAM PEMBIAYAAN SYARI’AH
MENURUT FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL MAJELIS ULAMA
INDONESIA (DSN-MUI) TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH
(Studi Kasus pada Bank BJB Syariah Kantor Cabang Pembantu BSD)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
KHARISMA INGGIL WEKASANE
11140460000056
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
ABSTRAK
Kharisma Inggil Wekasane. NIM 11140460000056. “Pelaksanaan Kontrak
Baku Dalam Pembiayaan Syari’ah Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Tentang Pembiayaan Mudharabah
(Studi Kasus Pada Bank BJB Syariah Kantor Cabang Pembantu BSD)”.
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/ 2018 M.
Bank BJB Syariah KCP BSD selalu menerapkan prinsip-prinsip syariah
dalam pelaksanaan operasionalnya, termasuk mengenai pembiayaan mudharabah.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan sesuai atau tidaknya akad mudharabah
yang dituangkan dalam kontrak bakunya.
Penelitian ini mengunakan metode kualitatif dengan pendekatan normatif
empiris dengan mengkaji peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penelitian
serta melakukan wawancara kepada pegawai Bank BJB Syariah KCP BSD
mengenai pelaksanaan kontrak baku dalam pembiayaan mudharabah.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa: Pertama, pelaksanaan kontrak baku
pada pembiayaan mudharabah bersifat final dan tidak bisa direvisi oleh nasabah,
hal tersebut belum sepenuhnya menerapkan asas kebebasan berkontrak karena
dalam hal pembuatan kontrak karena hampir semua klausul sudah dibakukan oleh
bank. Kedua, tinjauan hukum terhadap kontrak baku pembiayaan mudharabah di
Bank BJB Syariah KCP BSD belum sepenuhnya menerapkan peraturan Fatwa
DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah
mengenai bagi hasilnya. Bank menganggap bahwa semua mudharib memiliki
situasi dan kondisi yang sama serta di dalam klausul kontrak baku dan
penerapannya di lapangan tidak sesuai.
Kata Kunci : Kontrak Baku, Mudharabah, Fatwa DSN MUI
Dosen Pembimbing : Dr. Abdurrauf, Lc., M.A.
vi
KATA PENGANTAR
حيمبسم هللا الرحمن الر
Alhamdulillahirabil‟alamiin, Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan nikmat iman dan Islam serta melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada seluruh umatnya sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini
dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabatnya, dan para
pengikutnya.
Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, masih terdapat banyak
kekurangan di dalamnya. Namun, peneliti berharap semoga dengan adanya skripsi
ini dapat bermanfaat bagi semua orang yang membaca dan khususnya bagi
peneliti. Tidak lupa juga ucapan terima kasih untuk semua pihak yang telah
memberikan bantuan tanpa pamrih baik secara langsung maupun secara tidak
langsung. Oleh karena itu, dengan penuh rasa hormat, ucapan terima kasih ingin
penulis sampaikan kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. AM. Hasan Ali, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku Sekretaris Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidatullah
Jakarta dan selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan
waktu, perhatian, ilmu pengetahuan serta membimbing peneliti dengan
penuh kesabaran dan keikhlasan, sehingga peneliti dapat menyelesaikan
dan mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya;
4. Ibu Putri selaku Supervisor, Bapak Rizky dan Bapak Ridwan selaku
Marketing Pembiayaan Bank BJB Syariah KCP BSD yang sudah
menerima dan mengizinkan peneliti untuk mengambil data dan wawancara
dengan sepenuh hati;
vii
5. Ibu Hj. Heni selaku Ketua Koperasi Karyawan PDAM TKR Kab.
Tangerang yang sudah bersedia meluangkan waktunya di sela
kesibukannya untuk peneliti wawancara;
6. Ayah dan Ibu selaku orang tua peneliti yang selama ini mencurahkan kasih
sayangnya dan materi yang tak terhingga, serta kakak dan adik peneliti
yang selama ini memotivasi dan selalu memberikan hal positif kepada diri
peneliti;
7. Mutiara Azzahra selaku sepupu yang tak henti memberikan motivasi serta
hal-hal positif sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini;
8. Yessi Rachma Khasanah selaku teman peneliti dari semester 1 sampai
sekarang ini. Tempat mencurahkan isi hati, berbagi kebahagiaan,
kesedihan, membantu serta berjuang bersama untuk menyelesaikan skripsi
ini;
9. Arita Ambarani dan Elda Novira selaku teman sekaligus sahabat kecil
peneliti yang sudah menemani dan memotivasi peneliti dalam
Sistem perbankan yang selama ini dikenal di Indonesia adalah sistem bank
konvensional yaitu sistem perbankan yang berlaku secara menyeluruh di
belahan dunia manapun. Bank konvensional ini bersifat komersiil atau
mencari keuntungan sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga
keuangan seperti penyalur dana dan sebagainya, bank dapat keuntungan dari
bunga yang harus dibayar oleh nasabah.
Sejak tahun 1992 yaitu sejak dikeluarkannya Undang-Undang nomor 7
tahun 1992 diperkenalkan satu sistem perbankan yang sudah banyak
diterapkan di beberapa negara di Asia Tenggara yaitu perbankan syariah,
dimana bank diperkenankan untuk melakukan kegiatan usahanya berdasarkan
prinsip bagi hasil.
Lembaga keuangan syariah termasuk perbankan syariah hanya salah satu
aspek penunjang dalam sistem perekonomian Islam, yaitu sebagai lembaga
yang menyediakan jasa keuangan, menyalurkan pembiayaan, serta kelancaran
lalu lintas pembayaran dari kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi
tersebut.
Bank syariah merupakan suatu bank berasaskan antara lain: kemitraan,
keadilan, transparansi dan universal serta melakukan kegiatan usaha
perbankan berdasarkan prinsip syariah. Kegiatan perbankan syariah
merupakan implementasi dari prinsip ekonomi Islam dengan karakteristik
antara lain: pelarangan riba dalam berbagai bentuknya, tidak mengenal konsep
waktu dari uang (time-value of money); konsep uang sebagai alat tukar bukan
2
sebagai komoditas, tidak diperkenankan melakukan kegaitan yang bersifat
spekulatif.1
Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam prakteknya di lembaga
perbankan syariah telah membentuk suatu sub system, sistem pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah dilihat dari sudut pandang ekonomi bahwa
berdasarkan sifat penggunaannya dapat dibagi menjadi dua hal: Pertama,
pembiayaan produktif antara lai n pembiayaan usaha produksi terdiri dari
pembiayaan likuiditas, piutang dan persediaan modal, pembiayaan modal
kerja untuk perdagangan terdiri dari: perdagangan umum dan perdagangan
berdasarkan pesanan dan pembiayaan investasi. Kedua, pembiayaan konsumtif
baik sekunder maupun primer.
Sistem pembiayaan berdasarkan prinsip syariah menurut sudut pandang
yuridis adalah: pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah dan
prinsip musyarakah, pembiayaan jual beli berdasarkan prinsip murabahah,
prinsip istishna dan prinsip as-salam, pembiayaan sewa-menyewa berdasarkan
prinsip ijarah (sewa murni) dan ijarah al-muntahia bit-tamlik (sewa beli atau
sewa dengan hak opsi).2
Pembiayaan bagi hasil adalah pola pembiayaan yang mencerminkan spirit
perbankan syariah, dengan alasan adalah sebagai berikut: Pertama,
pembiayaabn bagi hasil dapat mengurangi peluang terjadinya resesi ekonomi
dan krisis keuangan. Hal ini dikarenakan bank syariah adalah institusi
keuangan yang berbasis asset (asset-based). Artinya, bank syariah bertransaksi
berdasarkan aset riil dan bukan mengandalkan pada kertas kerja semata.
Sementara disisi lain, bank konvensional hanya bertransaksi berdasarkan
paper work dan dokumen semata, kemudian membebankan bunga dengan
prosentase tertentu kepada calon investor. Kedua, investasi akan meningkat
yang disertai dengan pembukaan lapangan kerja baru. Akibatnya tingkat
1 Muhar Affandy Lubis, Aspek Hukum Perjanjian Baku dalam Pembiayaan Berdasarkan
Prinsip Syariah Ditinjau dari Undang-Undang Np. 10 Tahun 1998, (Jurusan Ilmu Hukum : skripsi Universitas Sumatera Utara, 2005), h. 3.
2 Ahmad Supriyadi, Sistem Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah (Suatu Tinjauan
Yuridis Terhadap Praktek Pembiayaan di Perbankan Syariah di Indonesia), (Jurnal Al-Mawarid Edisi X Tahun 2003), h. 42-43.
3
pengangguran akan dapat dikurangi dan pendapatan masyarakat akan
bertambah. Ketiga, pembiayaan bagi hasil akan mendorong tumbuhnya
pengusaha atau investor yang berani mengambil keputusan bisnis yang
berisiko. Hal ini akan menyebabkan berkembangnya pelbagai inovasi baru,
yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing bangsa ini. Bila ditinjau
dari sisi nasabah, nasabah akan membandingkan secara cermat antara expected
rate of return yang ditawarkan oleh bank syariah dengan tingkat suku bunga
yang ditawarkan oleh bank konvensional.3
Perjanjian merupakan suatu kegiatan untuk mengikat para pihak dalam
melakukan kerjasama. Perjanjian sering dijumpai dalam kehidpan sehari-hari
khususnya dalam kegiatan ekonomi bisnis. Perjanjian bisnis, di dalam bidang
perbankan dan ketenagakerjaan menjadi problematika tersendiri. Karena
perusahaan-perusahaan tersebut menggunakan kontrak standar dalam
mengikat kerjasamanya.
Standard contract bentuknya tertulis berupa formulir-formulir yang isinya
telah distandarisasi (dibakukan) terlebih dahulu secara sepihak oleh produsen,
serta bersifal masal, tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang
dimiliki oleh konsumen. Kontrak ini umumnya merupakan kontrak dengan
klausul eksonerasi, artinya membatasi/membebaskan tanggung jawab salah
satu pihak (kreditur). KUHPerdata melalui pasal 1493 mengenal klausul
eksonerasi dalam hubungannya dengan kontrak jual beli. Kontrak baku
merupakan kontrak tertulis yang sudah dibakukan secara sepihak oleh pihak
kreditur dengan klausul eksonerasi.
Kontrak baku akan sangat tidak cocok jika digunakan dalam perjanjian
kerja sama yang menggunakan prinsip syariah. Karena dalam prinsip syariah
kesepakatan tidak boleh ditetapkan sepihak, sehingga berapa nisbah bagi hasil
nasabah pembiayaan haruslah jelas disepakati. Besarnya rasio bagi hasil bisa
lebih besar untuk nasabah pembiayaan atau sebaliknya dan tidak menutup
3 A. Chairul Hadi, Problematika Pembiayaan Mudharabah di Perbankan Syariah
Indonesia, (Jurnal Al-Iqtishad Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Vol. III, No. 2, Juli 2011), h. 197-198
4
kemungkinan nisbah bagi hasil tersebut sama bagi kedua belah pihak. Dalam
prakteknya pembagian nisbah antara bank dan nasabah pada produk jasa bank
khususnya pembiayaan mudharabah ini, dimana bank membiayai 100%,
sehingga nisbah yang diterima bank relatif lebih besar dari nasabah.
Pembagian nisbah antara bank dan nasabah memang tidak terjadi perdebatan
dalam arti terjadi kesepakatan antara bank dan nasabah.4
Semakin maraknya kontrak baku yang dipergunakan dalam transaksi
bisnis tentu menimbulkan pro dan kontra antara pakar hukum. Bagi pihak
yang kontra, beberapa pakar hukum menolak kehadiran kontrak baku karena
hal tersebut dianggap sebagai paksaan dan negara-negara common law system
menerapkan doktrin unconscionability dimana memberikan wewenang kepada
perjanjian demi menghindari hal-hal yang dirasa bertentangan dengan hati
nurani. Perjanjian baku dianggap meniadakan keadilan, karena dalam
perjanjian baku hanya salah satu pihak yang membuat isi perjanjian,
sedangkan pihak lain hanya dapat menerima atau menolak isi perjanjian.
Melihat hal tersebut, tentu menyebabkan ketimpangan kedudukan dalam
masyarakat. Di satu sisi masyarakat sebagai debitur membutuhkan hal tersebut
(pekerjaan, barang dan atau jasa) dan disisi lainnya mereka ingin menolak tapi
tidak ada jalan lain kecuali menyetujui kontrak tersebut. Unsur keterpaksaaan
dan kebutuhan mendesak inilah yang menyebabkan kontak baku tidak dapat
dihindari dan semakin dibutuhkan.5
Kemudian, selain ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, peneliti
juga melakukan penelitian di Bank BJB Syariah KCP BSD terhadap kontrak
pembiayaan mudharabah. Peneliti melihat bahwa dalam praktiknya, setiap
transaksi pembiayaan mudharabah selalu diterapkan kontrak baku. Kontrak
tersebut telah disediakan bank untuk diiisi dan ditandatangani oleh nasabah.
4 Muhlishotu Jannati Na’im, Problematika Kontrak Baku Dalam Akad Mudharabah Di
Lembaga Perbankan Syariah, Jurnal An-Nisbah Fakultas Syariah IAIN Ponorogo, Vol. 03, No. 02, (April 2017), h. 372.
5 Rita Putri, Klausul-Klausul Kontrak Baku dan Model Kontrak dalam Perspektif Hukum
Islam, (Jurusan Muamalat: skripsi UIN Sunan Kalijaga, 2016), h. 3.
5
Nasabah diberi kesempatan untuk membaca setiap klausul yang ada dalam
kontrak tersebut.
Selain kontrak tersebut sudah di bakukan, terdapat pula klausul yang
kurang sesuai dengan teori pembiayaan mudharabah itu sendiri yaitu
mengenai klausul nisbah bagi hasil dan proyeksi bagi hasil dirasa tidak sejalan
dengan prinsip syariah, karena pada teorinya nisbah bagi hasil ditentukan
menggunakan prosentase dan tidak boleh ada perhitungan di awal modal.
Tetapi, pada praktiknya bank tidak mau rugi maka dari itu bank melakukan
perhitungan di awal dengan sebutan di dalam kontrak yaitu proyeksi bagi
hasil. Menurut klausul definisi dalam kontrak tersebut, pengertian proyeksi
bagi hasil itu sendiri adalah perkiraan pendapatan yang akan diterima Bank
dari Nasabah atas Pembiayaan Mudharabah setelah perhitungan Nisbah Bagi
Hasil. Pada praktiknya, tidak ada kata istilah perkiraan, semua yang sudah
diproyeksikan adalah hasil yang sebenarnya yang harus dibayarkan oleh
nasabah. Hal tersebut membuat nasabah menjadi ragu dengan nilai-nilai
syariah yang ditetapkan pada bank syariah tersebut. Hanya saja dalam hal ini
nasabah hanya diberi pilihan untuk melanjutkan atau meninggalkan.
Dalam Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 disebutkan bahwa
“bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan
dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi
(nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus
berdasarkan kesepakatan.” Begitu pula dalam Fatwa DSN MUI No. 115/DSN-
MUI/IX/2017 disebutkan juga bahwa “nisbah bagi hasil adalah nisbah atau
perbandingan yang dinyatakan dengan angka seperti persentase untuk
membagi hasil usaha”.6 Akad mudharabah tidak boleh ada prosentase yang
dihitung dari modal karena hal tersebut bisa dikatakan sama saja dengan
bunga/riba dan tidak boleh bagi hasil dengan hitungan angka yang pasti.
Sedangkan dalam proyeksi ini menyebabkan perhitungan angka yang pasti.
6 Lihat Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah dan
Fatwa DSN MUI No. 115/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Akad Mudharabah.
6
Didasari oleh latar belakang yang telah disebutkan, peneliti merasa perlu
dan tertarik untuk menganalisis berbagai ketentuan yang harus di cantumkan
dalam kontrak baku agar tidak menimbulkan ketidakjelasan maupun
ketidakadilan, yang dituangkan dalam kontrak pembiayaan mudharabah yang
akan ditinjau menurut Fatwa DSN MUI.
Diterapkannya kontrak baku di perbankan syariah khususnya di
pembiayaan mudharabah menjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat
terutama di kalangan para ahli hukum. Oleh karena itu, berdasarkan uraian
latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji mengenai permasalahan
dalam kontrak baku, dengan judul “Pelaksanaan Kontrak Baku Dalam
Pembiayaan Syari‟ah Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) Tentang Pembiayaan Mudharabah (Studi Kasus pada
Bank BJB Syariah KCP BSD).”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Masalah tentang pro dan kontra yang menimbulkan perbedaan
pendapat mengenai kontrak baku atau kontrak standar yang terjadi pada
pembiayaan mudharabah di Bank Syariah. Oleh karena itu, akan dikumpulkan
berbagai penyebab terjadinya masalah tersebut yang pada gilirannya nanti
akan diteliti sesuai dengan batasan kemampuan peneliti.
Masalah yang dapat diidentifikasikan peneliti adalah sebagai berikut:
a. Tidak diberikannya kesempatan terhadap nasabah untuk memahami lebih
dalam tentang isi kontrak
b. Terdapat ketidakjelasan mengenai klausul dalam kontrak baku pada
pembiayaan mudharabah
c. Keterbatasan pemahaman pihak bank dan nasabah terhadap pentingnya
perlindungan konsumen dalam pencantuman klausul baku
d. Kurangnya informasi yang jelas dan lengkap tentang klausula baku dari
pihak bank sebagai pihak dominan
7
e. Rendahnya tingkat kesadaran hukum dari pihak bank maupun nasabah
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, peneliti
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya akan lebih
jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan oleh peneliti. Dalam
penelitian ini, peneliti hanya akan membatasi penelitiannya pada kontrak baku
dalam perjanjian mudharabah di Bank BJB Syariah KCP BSD sebagai objek
dari penelitian. Adapun masalah yang akan diteliti adalah tentang analisis
kontrak baku dalam akad mudharabah dan ketentuan mengenai kontrak baku
itu sendiri.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah yang telah ditulis di
atas, maka peneliti merumuskan masalahnya yaitu kesesuaian syariah terhadap
kontrak baku pada akad mudharabah di Bank BJB Syariah KCP BSD.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut penulis menguraikannya dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut :
a. Bagaimana penerapan kontrak baku pada pembiayaan mudharabah di
Bank BJB Syariah KCP BSD?
b. Bagaimana tinjauan hukum mengenai kontrak baku pada pembiayaan
mudharabah di Bank BJB Syariah KCP BSD menurut Fatwa DSN
MUI?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut :
a. Untuk menjelaskan praktik penerapan kontrak baku pada pembiayaan
mudharabah di Bank BJB Syariah KCP BSD.
b. Untuk menjelaskan tinjauan hukum mengenai kontrak baku pada
pembiayaan mudharabah pada Bank BJB Syariah KCP BSD menurut
Fatwa DSN MUI.
2. Manfaat Penelitian
8
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini sebagai
berikut:
1) Memberikan pemikiran bagi bank syariah agar terus berkembang
sesuai dengan tuntutan masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan
nasabah.
2) Sebagai referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya yang
berhubungan dengan kontrak baku pada pembiayaan mudharabah
di bank syariah.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini sebagai
berikut :
1) Bagi Akademisi
Menambah pengetahuan, melengkapi, dan memberikan informasi
terkait analisis terhadap kontrak baku pada pembiayaan
mudharabah di Bank BJB Syariah KCP BSD.
2) Bagi Praktisi
Menambah pola pemikiran dan motivasi kepada praktisi dalam
mengevaluasi kontrak baku pada pembiayaan mudharabah di Bank
BJB Syariah KCP BSD.
3) Bagi Nasabah Bank Syari‟ah
Memberikan dan menambah pengetahuan para nasabah Bank
Syari‟ah, khususnya para nasabah yang melakukan pembiayaan
mudharabah agar dapat membaca dengan teliti isi kontrak yang
diberikan oleh pihak bank.
4) Bagi Masyarakat
Menambah pengetahuan masyarakat dan memberikan informasi
mengenai isi kontrak baku pada pembiayaan mudharabah di Bank
BJB Syariah KCP BSD.
9
D. Metode Penulisan Skripsi
Dalam penyusunan penelitian ini, peneliti mengacu kepada Buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2017.
E. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Dalam suatu penelitian diperlukan suatu kerangka berfikir secara
ilmiah, dan dilandasi oleh pola fikir yang mengarah pada suatu
pemahaman yang sama. Teori merupakan pengarah atau petunjuk dalam
penentuan tujuan dan arahan penelitian.7 Oleh karena itu untuk
memudahkan penulis ada beberapa yang harus penulis jelaskan sebagai
berikut:
Kontrak baku dalam bahasa inggris disebut dengan standard
contract yang berarti standard (tiang, kelas atau ukuran) dan contract
(perjanjian atau hubungan). Sehingga diperoleh arti bahwa kontrak baku
(standard contract) adalah perjanjian dengan menggunakan ukuran
tertentu. Ahmadi Miru berpendapat bahwa, perjanjian baku adalah
perjanjian yang klausul-klausulnya telah ditetapkan atau dirancang salah
satu pihak. Hondius memberikan definisi perjanjian baku yaitu perjanjian
dengan syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam perjanjian yang
masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan
isinya terlebih dahulu.8
Akad mudharabah menurut Fatwa DSN MUI No. 115/DSN-
MUI/IX/2017 yaitu akad kerja sama suatu usaha antara pemilik modak
(malik/shahib al-mal) yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola
7 Sri Mamudji, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Fakultas Hukum: Universitas
Indonesia, 2005), h. 17. 8 Nurul Hijri, Analisis Penerapan Kontrak Baku pada Pembiayaan Musyarakah menurut
Hukum Islam (Studi Kasus Pada Bank Syari’ah Mandiri Cabang Banda Aceh), (Jurusan Hukum Ekonomi Syariah: skripsi UIN Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh, 2017), h. 7.
10
(„amil/mudharib) dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai
nisbah yang disepakati dalam akad.9
Pembiayaan Syariah menurut POJK No. 31/POJK.05/2014 yaitu
penyaluran pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
Prinsip syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau
pernyataan kesesuaian syariah dan Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia.10
Pembiayaan Mudharabah menurut Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-
MUI/IV/2000 yaitu pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak
lain untuk suatu usaha yang produktif. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai
shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek
(usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau
pengelola usaha.11
Perbankan Syariah menurut UU No. 21 Tahun 2008 yaitu segala
sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.12
Untuk memudahkan dalam penelitian ini, peneliti membuat satu
kesatuan konsep rangkaian penelitian dari awal hingga akhir terhadap
masalah yang akan diteliti dengan tujuan untuk mendapatkan jawaban dari
hasil penelitian yang sesuai dengan UU dan Fatwa DSN.
2. Kerangka Konseptual
9 Fatwa DSN MUI No. 115/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Akad Mudharabah, h. 3.
10 POJK No. 31/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah,
Pasal 1 Ayat 5 dan 6 11
Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), h. 3.
12 UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Pasal 1 Ayat 1
KONTRAK
BAKU AKAD
MUDHARABAH
BANK SYARIAH
Kesesuaian syariah menurut
Peraturan Per Undang-Undangan,
dan Fatwa DSN MUI
11
Gambar 1. 1 Kerangka Konseptual
F. Sistematika Penulisan
Penulisan disusun secara sistematis menjadi lima bab yang terdiri dari
sub-sub dengan rincian sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Pada bab ini terdiri latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah; manfaat dan tujuan penelitian; kerangka
teori dan konseptual; dan sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka
Pada bab ini diawali dengan pemaparan teori-teori yang berkaitan dengan
penelitian agar tidak terjadi kerancuan pemahaman terhadap istilah-istilah dan
teori yang berkaitan dengan penelitian ini.
Bagian kedua pada bab ini yaitu pemaparan tentang studi review terdahulu
yang bertujuan untuk melihat hasil penelitian terdahulu yang pembahasannya
sama dengan penelitian ini dan untuk mencari perbedaan pada masalah yang
diangkat.
BAB III Metodologi Penelitian
Pada bagian awal bab ini memaparkan tentang berbagai metode yang
digunakan sehubungan dengan penelitian ini.
Pada bagian kedua menjelaskan secara singkat profil perusahaan, sejarah
perkembangan perusahaan, dan ketentuan-ketentuan
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada bagian awal bab ini yaitu mengenai analisis secara rinci temuan-
temuan lapangan untuk dapat mengidentifikasikan praktik kontrak baku pada
pembiayaan mudharabah menurut kententuan Fatwa DSN MUI.
BAB V Penutup
Pada bab ini terdiri dari simpulan dan saran.
Kesimpulan
12
13
BAB II
RUANG LINGKUP KONTRAK BAKU PEMBIAYAAN MUDHARABAH
A. Konsep Kontrak
1. Pengertian Kontrak
Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. Sedangkan
dalam bahasa Belanda, disebut dengan overeenkomst (perjanjian). Begitu juga
dalam Burgerlijk Wetboek (BW) istilah overeenkomst dan contract
mengandung pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak dari
judul Buku III titel Kedua Tentang “Perikatan-Perikatan yang Lahir dari
Kontrak dan Perjanjian”.1
Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang
berjanji kepada seseorang yang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal.2 Bahwa kontrak atau perjanjian mempunyai
arti yang hampir sama. Secara singkat kontrak merupakan hukum atau kaidah
yang mengatur hubungan antara kedua belah pihak atau lebih dalam sebuah
perjanjian untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Pengertian kontrak atau perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata
yang berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Namun istilah
“perbuatan” dalam kalimat tersebut dirasa belum lengkap karena perbuatan
sangat luas artinya dan bisa mencakup perbuatan melawan hukum. Untuk
memperjelas pengertian tersebut maka di cari dalam doktrin bahwa perjanjian
adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum. Kemudian Salim H.S mengatakan bahwa, “kontrak adalah hubungan
hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam
1 Agus Yudha Hernoka, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, (Jakarta: Kencana, 2014), Cet. 4, h. 13. 2 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2005), Cet. 21, h. 1.
14
bidang harta kekayaan, di mana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi
dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan
prestasinya sesuai dengan yang telah disepakati.”3
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kontrak dalam hal ini menimbulkan
suatu hak dan kewajiban yang telah disepakati kedua belah pihak untuk
melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu, perjanjian juga
mengikatkan para pihak ke dalam suatu hubungan hukum yang dalam
praktiknya, kontrak biasanya sering digunakan dalam suatu bisnis dan dibuat
secara tertulis.
Dalam perjanjian, para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang
diperjanjikan, berkewajiban untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga
perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut perikatan
(verbintenis).4 Menurut Subekti, “perikatan adalah suatu hubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak, pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal
dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”5
Kedua belah pihak memiliki keterikatan satu sama lainnya untuk saling
memenuhi dalam suatu perjanjian.
Kontrak mencakup nilai-nilai, asas-asas, konsep-konsep dan norma-
norma, baik yang tertulis (dalam aturan hukum positif) maupun tidak tertulis
(dalam wujud kebiasaan dan kepatutan dalam praktisi bisnis pada umumnya).6
Dalam suatu kontrak bisnis, ikatan kesepakatan di tuangkan dalam suatu
perjanjian yang bentuknya tertulis. Hal ini untuk kepentingan kelak, jika di
3 Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), h. 25. 4 Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,
(Jakarta: Kencana, 2014), Cet. 8, h. 39. 5 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2005), Cet. 21, h. 1.
6 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak: Memahami Hukum Kontrak dalam Perspektif
Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), (Bandung: CV. Mandar Maju, 2012), h. 27.
15
kemudian hari terjadi sengketa berkenaan dengan kontrak itu sendiri, maka
para pihak dapat mengajukan kontrak tersebut sebagai salah satu alat bukti.7
Dalam hukum Islam, ada 2 (dua) istilah yang berkaitan dengan kontrak
(perjanjian), yaitu akad (al-aqdu‟) dan kata „ahd (al-„ahdu). Al-Qur‟an
memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kata
yang kedua dalam Al-Qur‟an berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji
atau perjanjian.8 Perikatan dapat diartikan bahwa perikatan timbul akibat
adanya perjanjian, maka akad di sini lebih tepat pada suatu perjanjian.
Kemudian kata „ahdu yang berarti keinginan para pihak untuk melakukan hak
dan kewajiban yang suda di tetapkan.
Akad dalam pandangan Islam merupakan hubungan hukum yang
mencakup semua objek akad dan tidak membedakan asal-usul akad selama
akad tersebut dibenarkan oleh hukum Islam. Oleh karena itu, istilah akad
dapat mencakup pengertian perikatan dan juga perjanjian. Namun, apabila
dicermati lebih tepat, seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya bahwa akad
merupakan perikatan yang lahir dari perjanjian, karena akad menimbulkan
hubungan hukum yang memberikan hak dan meletakkan kewajiban kepada
para pihak yang membuat perjanjian, serta mengikat bagi para pihak yang
bersangkutan.9
Hukum perikatan Islam memberikan perlindungan kepada manusia
terhadap kelemahan sifat-sifat manusia yang berpotensi untuk saling
menguasai atau melampaui batas-batas hak orang lain. Menurut pasal 1 angka
13 UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, akad adalah
kesepakatan tertulis antara bank Syariah atau UUS (Unit Usaha Syariah) dan
pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban masing-masing pihak
sesuai dengan prinsip Syariah. Hal tersebut menjelaskan bahwa hukum
7 H.U. Adil Samadani, Dasar-Dasar Hukum Bisnis, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013),
h. 25. 8 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan
Implementasi), (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), h. 22. 9 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), Cet. 2, h. 14.
16
perikatan islam bagian dari hukum islam di bidang muamalah, yang berarti
segala sesuatu di bidang muamalah adalah boleh diadakan modifikasi selama
tidak bertentangan atau melanggar larangan yang sudah ditetapkan dalam Al-
Qur‟an dan sunah Nabi Muhammad SAW.10
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kontrak adalah suatu
perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih mengenai kesepakatan
dalam hal tertentu dan dibuat secara tertulis yang mengikatkan kedua belah
pihak. Sedangkan kontrak dalam hukum Islam adalah perjanjian yang dibuat
secara tertulis dan mengikat bagi kedua belah pihak berdasarkan prinsip-
prinsip syariah.
2. Rukun dan Syarat Kontrak
Dalam pembuatan suatu kontrak ada beberapa hal yang harus dipenuhi
yaitu rukun dan syarat. Menurut KUH Perdata rukun dan syarat tertuang
dalam syarat sahnya kontrak yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata
yaitu:
a. Kesepakatan Kedua Belah Pihak
Kesepakatan adalah kesesuaian pernyataan kehendak antara satu orang
atau lebih dengan pihak lainnya.11
Kesesuaian yang dimaksud mengenai
suatu pernyataan, karena kehendak itu tidak dapat dilihat atau diketahui
orang lain. Pernyataan yang baik yaitu dengan bahasa yang sempurna
secara lisan ataupun secara tertulis agar perjanjian yang dilakukan
memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang nantinya bisa
dijadikan sebagai alat bukti apabila timbul sengketa di kemudian hari.
10
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. 3, h. 4.
11 Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), h. 33.
17
Para pihak yang membuat perjanjian itu pada suatu saat bersama-sama
berada di satu tempat dan di situlah terjadi kata sepakat.12
Namun, banyak
perjanjian terjadi antara para pihak melalui surat menyurat, hal tersebut
membuat kesepakatan terjadi saat perjanjian juga terjadi.
b. Kecakapan Bertindak
Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai
kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang
mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat. Kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar berikut
ini:13
1) Person (pribadi), diukur dari standar usia kedewasaan. Ukuran
kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun.
2) Rechtsperson, (badan hukum), diukur dari aspek kewenangan.
Sedangkan orang yang tidak berwenang untuk melakukan
perbuatan hukum yaitu anak di bawah umur dan orang yang berada di
bawah pengampuan.
c. Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek
suatu perjanjian.14
Obyek perjanjian yang dimaksud ialah suatu barang
tertentu yang harus ditentukan jenisnya. Di dalam berbagai literatur
disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok
perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa
yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan
12
Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2010), h. 206.
13 Agus Yudha Hernoka, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, (Jakarta: Kencana, 2014), Cet. 4, h. 184. 14
Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2010), h. 211.
18
negatif. Prestasi terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan
tidak berbuat sesuatu.15
d. Suatu Sebab yang Halal
Menurut Pasal 1335 KUH Perdata menjelaskan bahwa “suatu
perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat dengan sebab yang palsu
atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”. Serta menurut pasal 1337
KUH Perdata menjelaskan bahwa “suatu sebab adalah terlarang apabila
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.”
Maksud dari kedua pasal tersebut adalah bahwa suatu sebab dapat
dicapai dengan suatu itikad baik dan tidak bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Apabila hal tersebut tidak
tercapai maka perjanjian tidak akan sah dan tidak mempunyai kekuatan di
mata hukum.
Dalam ajaran Islam untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi rukun
dan syarat dari suatu akad. Rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi untuk
sahnya suatu pekerjaan, sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan atau
petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan).16
Rukun lebih kepada unsur
yang mutlak harus dipenuhi dalam sesuatu hal, peristiwa dan tindakan.
Sedangkan syarat tertuang dalam rukun-rukun yang harus ada pada setiap
akad dan tidak dilarang oleh syara‟.
Menurut Jumhur ulama, bahwa rukun akad yaitu kesepakatan untuk
mengikatkan diri (shighat al‟aqd), pihak-pihak yang berakad (al-
muta‟aqidain/al „aqidain), objek akad (al-ma‟qud alaih/mahal al-„aqd), dan
tujuan akad (maudhu‟ al-„aqd).
a. Kesepakatan untuk mengikatkan diri (Shighat al-aqd)
15
Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 34.
16 Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet.
3, h. 49.
19
Shighat al-aqd adalah cara bagaimana pernyataan pengikatan diri itu
dilakukan. Dalam literatur fiqh, shighat al-aqd biasanya diwujudkan
dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pihak pertama
mengenai isi perikatan yang diinginkan. Sedangkan qabul adalah
pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.17
Ijab dan qabul juga bisa
tertuang dalam suatu akad. Dalam hal pelaksanaan akad maka para pihak
harus menyampaikannya secara lisan atau tertulis karena akad tersebut
dapat menimbulkan akibat hukum.
b. Pihak-pihak yang berakad (al-muta‟aqidain/al-„aqidain)
Pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha
yang memiliki kecakapan dalam melaksanakan perbuatan hukum. Menurut
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ketentuan mengenai kecakapan
hukum diatur dalam pasal 2 sampai pasal 5 sebagai berikut:18
1) Seseorang dipandang memiliki kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum dalam hal mencapai umur paling rendah 18 tahun
atau pernah menikah
2) Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum,
dapat melakukan perbuatan hukum dalam hal tidak dinyatakan
taflis atau pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
3) Dalam hal seseorang anak belum berusia 18 tahun dapat
mengajukan permohonan pengakuan cakap melakukan perbuatan
hukum kepada pengadilan
4) Pengadilan dapat mengabulkan dan atau menolak permohonan
pengakuan cakap melakukan pebuatan hukum.
5) Orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum berhak
mendapat perwalian
17
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), Cet. 2, h. 28.
18 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Bandung: Fokusmedia, 2008), h. 8.
20
6) Dalam hal seseorang sudah berumur 18 tahun atau pernah
menikah, namun tidak cakap melakukan perbuatan hukum, maka
pihak keluarga dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan
untuk menetapkan wali bagi yang bersangkutan
7) Dalam hal badan hukum terbukti tidak mampu lagi berprestasi
sehingga menghadapi kepailitan, atau tidak mampu membayar
utang dan meminta permohonan penundaan kewajiban membayar
utang, maka pengadilan dapat menetapkan kurator atau pengurus
badan hukum tersebut atas permohonan pihak yang
berkepentingan.
Selain kecakapan, adapun beberapa faktor penghalang seseorang
melakukan perbuatan hukum (melakukan kontrak Syariah) yaitu gila,
rusak akal, mabuk, tidur, pingsan, pemboros, dungu, dan utang.19
Oleh
karena itu pihak-pihak yang melakukan akad menjadi faktor utama dalam
pembuatan suatu perjanjian.
c. Objek akad (al-ma‟qud alaih/mahal al-„aqd)
Al-ma‟qud alaih/mahal al-„aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek
akad dan dapat menimbulkan akibat hukum. Bentuk objek akad dapat
berupa benda berwujud maupun tidak berwujud. Bentuk benda berwujud
seperti mobil, motor, dll. Sedangka bentuk benda tidak berwujud seperti
manfaat.20
Fathurrahman Djamil menyebutkan syarat-syarat yang harus
terpenuhi dalam objek akad, yakni telah ada pada waktu akad diadakan,
dibenarkan oleh Nash, dapat diketahui dan ditentukan oleh para pihak
yang berakad, serta dapat diserahkan pada waktu akad terjadi.21
Dalam
suatu perjanjian, objek akad biasa dikenal dengan prestasi. Di mana
terdapat hak dan kewajiban berupa hal positif dan negatif yang harus
dilakukan dan tidak dilakukan oleh orang yang berakad.
19
Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 55. 20
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. 3, h. 60.
21 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), Cet. 2, h. 35.
21
d. Tujuan akad (maudhu‟ al‟aqd)
Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan
usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.22
Dalam hukum
positif yang menentukan tujuan dalam berakad adalah undang-undang itu
sendiri, sedangkan menurut Syariah Islam, yang menentukan tujuan akad
adalah yang memberi syara‟ (al-syari‟), yaitu Allah SWT. Menurut ulama
fiqh, tujuan setiap akad hanya diketahui melalui syara‟ dan harus sejalan
dengan kehendak syara‟. Tujuan akad memperoleh tempat penting dalam
menentukan apakah suatu akad dipandang sah atau tidak.23
3. Asas-Asas Kontrak
Menurut KUH Perdata, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima)
asas. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak, asas
konsensualisme, asas kepastian hukum, asas itikad baik, dan asas kepribadian.
Berikut adalah penjelasan mengenai asas-asas yaitu:
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.”
Asas ini mengandung makna bahwa kedua pihak bebas dalam
menentukan isi perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan dan peraturan perundangan.24
Asas kebebasan
berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan
perjanjian dengan siapa pun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
22
Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 56. 23
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), Cet. 2, h. 38.
24 Ah. Azharudin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif
& Hukum Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 43.
22
persyaratan, dan menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau
lisan. 25
Dalam hukum Islam juga dikenal dengan asas al-hurriyah, asas ini
merupakan prinsip dasar dalam hukum perjanjian Islam, dalam artian para
pihak bebas membuat suatu perjanjian atau akad (freedom of making
contract). Bebas dalam menentukan objek perjanjian dan bebas
menentukan dengan siapa ia akan membuat perjanjian, serta bebas
menentukan bagaimana cara menentukan penyelesaian sengketa jika
terjadi di kemudian hari.26
Islam memberikan kebebasan bagi para pihak
untuk melakukan suatu perjanjian. Kedua belah pihak ikut serta dalam
menentukan Bentuk dan isi perjanjian. Setelah itu apabila telah disepakati
bentuk dan isinya maka perjanjian mengikat para pihak yang menyepakati
dan harus dilaksanakan hak dan kewajibannya.
Menurut Fathurrahman Djamil bahwa, “Syariah Islam memberikan
kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang
diinginkan, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah ajaran
agama.”27
Dapat disimpulkan bahwa, dalam melakukan perjanjian kedua
belah pihak bebas menentukan segala sesuatunya, namun kebebasan
tersebut tidaklah sepenuhnya bebas, melainkan selama tidak bertentangan
dengan Syariah Islam.
b. Asas Konsensualisme
Pemahaman asas konsensualisme yang menekankan pada “sepakat”
para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang berhadapan dalam
kontrak itu adalah orang yang menjunjung tinggi komitmen dan tanggung
25
Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 9.
26 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan
Implementasi), (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), h. 32. 27
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), Cet. 2, h. 15.
23
jawab dalam lalu lintas hukum, orang yang beritikad baik, yang
berlandaskan pada “satunya kata satunya perbuatan”.28
Asas konsesnsualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya
perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas
konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada
umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian
antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. 29
Dalam hukum Islam dikenal dengan asas kerelaan (al-ridha). Dalam
melakukan suatu transaksi hendaknya atas dasar suka sama suka atau rela
sama rela. Tidaklah dibenarkan dalam suatu perbuatan muamalah
dilakukan pemaksaan atau penipuan.30
Asas ini menyatakan bahwa kedua
belah pihak harus menyertakan unsur kerelaan di antara mereka dan bahwa
segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antara masing-
masing pihak, adanya kesepakatan dan tidak boleh ada tekanan atau
paksaan.
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas Pacta Sunt Servanda atau disebut juga dengan asas kepastian
hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas Pacta Sunt
Servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana
layaknya undang-undang.
28
Agus Yudha Hernoka, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana, 2014), Cet. 4, h. 122.
29 Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), h. 10. 30
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. 3, h. 36.
24
Asas Pacta Sunt Servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Bahwa jika suatu kontrak sudah dibuat secara sah oleh para pihak,
maka kontrak tersebut sudah mengikat para pihak bahkan mengikatnya
kontrak yang dibuat oleh para pihak sama kekuatannya dengan
mengikatnya sebuah undang-undang yang dibuat parlemen dan
pemerintah.31
Dalam hukum Islam dikenal dengan asas Tertulis (Al-Kitabah), bahwa
setiap perjanjian hendaknya dibuat secara tertulis, lebih berkaitan dengan
kepentingan pembuktian jika dikemudian hari terjadi sengketa. Akad yang
dilakukan harus benar-benar berada kebaikan bagi pihak yang melakukan
akad, sehingga akad itu harus dilakukan secara tertulis (kitabah). Asas ini
terutama dianjurkan untuk transaksi dalam bentuk tidak tunai (kredit). Di
samping itu dalam suatu akad diperlukannya saksi-saksi, rahn (gadai,
untuk kasus tertentu), dan prinsip tanggung jawab individu.32
Dalam hal
pembuatan perjanjian tertulis, maka perjanjian tersebut akan mengikat
untuk kedua belah pihak dan akan menimbulkan kepastian hukum.
d. Asas Iktikad Baik
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad
baik.” Asas iktikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur
dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para
pihak.
31
Ah. Azharudin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif & Hukum Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 44.
32 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), Cet. 2, h. 27.
25
Terkait dengan keberlakuan asas itikad baik pada tahap pembuatan
kontrak, dapat dijelaskan bahwa jika pelaksanaan suatu kontrak
menimbulkan ketidakseimbangan atau melanggar perasaan keadilan, maka
hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang
tercantum dalam kontrak tersebut.
Dalam praktik hukum kontrak, hakim memang menggunakan
kewenangannya untuk mencampuri isi kontrak, sehingga tampaknya itikad
baik harus ada, tidak hanya pada tahap pembuatan (penandatanganan) dan
tahap pelaksanaan kontrak, tetapi juga tahap perancangan kontrak.33
Dalam hukum Islam dikenal dengan asas kebenaran dan kejujuran
(Ash-Shidq). Perbuatan muamalah dikatakan benar apabila mendatangkan
manfaat bagi kedua belah pihak yang melakukan akad, serta bagi
masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan yang di maksud dengan
kejujuran, bahwa para pihak yang melakukan akad wajib bersikap jujur,
tidak ada penipuan dan manipulasi.34
Kejujuran merupakan hal yang harus
dilakukan oleh manusia dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam
pelaksanaan muamalah. Jika kejujuran tidak diterapkan dalam suatu akad
atau perjanjian, maka akan merusak legalitas perjanjian itu sendiri. Selain
itu jika terdapat ketidakjujuran dalam perjanjian, akan menimbulkan
perselisihan antara para pihak.35
e. Asas Kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja.
33
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak: Memahami Hukum Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), (Bandung: CV. Mandar Maju, 2012), h. 96.
34 Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 28.
35 Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet.
3, h. 37.
26
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.
Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya seseorang tidak dapat
mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Pasal
1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya.” Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana
yang dimaksud m dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang berbunyi: “Dapat
pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Sedangkan dalam
Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri
sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang
yang memperoleh hak dari padanya.
Terlepas dari hal di atas, asas-asas dalam hukum Islam yang juga
diketahui yaitu asas Persamaan atau kesetaraan (Al-Musawah) dan asas
keadilan („adalah). Namun seluruh asas-asas dalam akad tidak berdiri
sendiri melainkan saling berkaitan antara satu dan lainnya.36
Asas
musawah adalah asas kesamaan atau kesederajatan para pihak yang
melakukan akad atau perjanjian Syariah. Di mana asas ini mengandung
pengertian bahwa para pihak mempunyai kedudukan yang sama, sehingga
dalam menentukan bagian dan isi dari suatu akad atau perjanjian setiap
pihak mempunyai kesetaraan atau kedudukan yang seimbang. Dalam
melakukan perjanjian para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-
masing di dasarkan pada asas persamaan atau kesetaraan ini. Tidak boleh
ada kezaliman yang dilakukan dalam perjanjian tersebut.37
Bahwa dalam
setiap perbuatan bermuamalah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup setiap manusia. Serta dapat diketahui bahwa di antara sesama
manusia, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena
36
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), Cet. 2, h. 14.
37 Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet.
3, h. 33.
27
itu, setiap manusia harus saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari
kelebihan yang dimilikinya.
Sedangkan, asas keadilan („adalah), di mana para pihak yang
melakukan kontrak Syariah tidak boleh ada yang terzalimi.38
Salah satu
bentuk kezalimannya ialah mencabut hak-hak kemerdekaan orang lain,
dan tidak memenuhi kewajiban terhadap akad yang dibuat. Pelaksanaan
asas ini dalam suatu akad di mana para pihak yang melakukan akad
dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan,
memenuhi perjanjian yang mereka buat, dan memenuhi semua
kewajibannya.39
Perjanjian yang dilakukan haruslah mendatangkan
keuntungan yang adil dan seimbang bagi kedua belah pihak, serta tidak
boleh mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak.
B. Kontrak Baku
1. Pengertian Kontrak Baku
Kontrak baku dalam bahasa inggris disebut dengan standard contract yang
berarti standard (tiang, kelas atau ukuran) dan contract (perjanjian atau
hubungan). Sehingga dapat diartikan bahwa kontrak baku (standard contract)
adalah perjanjian yang dirancang dengan menggunakan suatu ukuran tertentu.
Ahmadi Miru berpendapat bahwa, kontrak baku adalah kontrak yang klausul-
klausulnya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak.40
Kontrak
baku juga disebut sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausulnya
dibakukan dan dibuat dalam bentuk formulir.41
Sehingga dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak menjadi tidak
seimbang. Biasanya pihak lemah tidak berada dalam keadaan yang betul-betul
38
Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 24. 39
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), Cet. 2, h. 20.
40 Ahmad Miru, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012),
h. 57. 41
Ah. Azharudin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 46
28
bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam suatu perjanjian karena
hampir seluruh klausulnya sudah ditetapkan oleh satu pihak yaitu pihak yang
memiliki posisi lebih kuat.
Kontrak baku dibuat karena tidak memerlukan waktu yang lama untuk
melakukan negosiasi. Kontrak baku muncul dengan latar belakang sosial,
ekonomi, dan praktis.42
Sejauh ini kontrak baku diterima oleh masyarakat
karena memang keberadaannya sangat dibutuhkan, terutama dalam dunia
bisnis. Dengan penggunaan kontrak baku ini, pengusaha akan memperoleh
efisiensi dalam penggunaan biaya, tenaga, dan waktu.43
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam kontrak baku
adanya tahap negosiasi sebelum masuk ke dalam pembuatan kontrak. Di
dalam kontrak-kontrak yang bersifat standar ini pihak yang mempunyai posisi
yang lebih kuat yang telah merancang kontrak tersebut. Pihak yang lebih
lemah dihadapkan pada situasi take it or leave it.44
Artinya, pihak
konsumen/nasabah diberi pilihan untuk menyetujui (take it) atau menolak
kontrak yang diajukannya (leave it).
Sebagai perwujudan tertulis dari perjanjian, kontrak adalah salah satu dari
dua dasar hukum yang ada selain undang-undang yang dapat menimbulkan
perikatan.45
Penggunaan kontrak baku dalam setiap kontrak-kontrak yang
biasanya dilakukan, didasarkan pada Pasal 1338 (1) BW bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
Pengertian kontrak baku ini juga terdapat dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan (SEOJK) No. 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku, bahwa
kontrak/perjanjian baku adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara
sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dan memuat klausul baku
42
Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 79. 43
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), h. 149
44 Hasanudin Rahman, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis (Contract Drafting),
(PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h. 195. 45
Budiman Sinaga, Hukum Kontrak & Pernyelesaian Sengketa dari Perspektif Sekretaris, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 12.
29
tentang isi, bentuk, maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk
menawarkan produk dan/atau layanan kepada konsumen secara massal.46
Bahwa dalam dunia perbankan, pihak bank sebagai posisi yang lebih kuat dan
nasabah ada posisi yang lemah. Nasabah hanya menerima perjanjian yang
sudah dibuat oleh bank dan nasabah diberikan pilihan untuk melanjutkan atau
meninggalkan.
Dalam kontrak baku juga mengenal adanya klausul eksonerasi. Klausula
eksonerasi adalah klausul yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan
mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya
membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji
atau perbuatan melanggar hukum. Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat
dalam perjanjian sebagai klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu
perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku.47
Klausul
tersebut merupakan klausul yang bisa dibilang merugikan konsumen yang
pada umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen,
karena beban harusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya klausul tersebut
menjadi beban konsumen.
Klausul baku dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian. Serta
dalam pembuatan klausul baku tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban umum, dan kesusilaan yang baik48
. Dari berbagai pendapat
dan penjelasan, penulis menyimpulkan bahwa kontrak baku itu sendiri
merupakan perjanjian yang terjadi antara kedua belah pihak yang dibuat dalam
bentuk atau format yang sudah ditentukan oleh salah satu pihak di mana pihak
yang satu itu umumnya mempunyai kedudukan ekonomi yang lebih kuat,
sehingga pihak kedua tidak bisa melakukan negosiasi dan hanya di berikan
pilihan untuk menyetujui atau menolak bentuk dan isi kontrak. Namun
46
SEOJK No. 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku 47
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), h. 57
48 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2007), h. 158
30
kontrak yang dibuat sah selama tidak bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan.
2. Ciri-Ciri Kontrak Baku
Kontrak baku lahir dari kebutuhan aktivitas kerja dan mengikuti
perkembangan masyarakat. Kontrak baku berbeda dari kontrak yang lain
karena isi kontrak baku sudah di standarisasi. Dalam hal ini debitur sama
sekali tidak menentukan isi kontrak tersebut dan tidak melalui proses
perundingan terlebih dahulu.
Dari penjelasan tersebut bahwa kontrak baku memiliki ciri-ciri yaitu:49
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)
kuat.
Dalam suatu kontrak baku, pihak yang posisinya lebih kuat adalah
pihak kreditur. Dalam suatu kontrak baku syarat-syarat perjanjian yang
merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara sepihak oleh
kreditur. Maka sifatnya cenderung lebih menguntungkan pihak kreditur
dari pada debitur. Penentuan secara sepihak oleh kreditur dapat diketahui
melalui format perjanjian yang sudah siap pakai, jika debitur setuju, maka
di tanda tangani perjanjian tersebut.
2. Nasabah (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian.
Pembuatan perjanjian baku dibuat dalam bentuk tertulis. Hal ini yang
mendorong pihak kreditur untuk menjadi lebih kuat kedudukannya dalam
menentukan perjanjian tertulis tanpa ada campur tangan dari debitur.
Dalam hal ini syarat kesepakatan sebagai syarat perjanjian diwujudkan
dalam bentuk tanda tangan dari debitur walaupun mereka tidak ikut serta
menetukan isi perjanjian.
49
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), h. 146
31
3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian
itu.
Sebagi pihak yang mempunyai posisi tawar yang lemah maka debitur
tidak dapat mengajukan tawaran dan perubahan terhadap isi kontrak baku
tersebut. Jika debitur bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang
diberikan kepadanya, maka di tanda tangani perjanjian itu. Debitur hanya
diberikan pilihan untuk menyetujui atau menolak perjanjian itu.
4. Bentuk tertentu (tertulis).
Sering kali kontrak baku dibuat dalam bentuk tertulis. Bentuk ini
memudahkan para pihak yang melakukan perjanjian untuk memutuskan
kesepakatan. Dengan bentuk tertulis kesepakatan hanya perlu dibuktikan
dari tanda tangan dalam kontrak baku tersebut. Hal tersebut juga dilakukan
agar jika suatu hari nanti terjadi konflik atau perselisihan dapat dibuktikan
secara hukum.
5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.
Isi dan format kontrak baku biasanya sudah dibuat dalam bentuk yang
sama artinya sudah ditentukan model, rumusan dan ukurannya, sehingga
tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah
dicetak.
Oleh karena perjanjian baku ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang
secara teoretis masih mengandung perdebatan, khususnya dalam kaitan
dengan asas kebebasan berkontrak dan syarat sahnya perjanjian.50
Namun
dalam dunia bisnis, kontrak baku justru sangat diandalkan karena dapat
mengefisiensi biaya, waktu dan tenaga. Selain itu kontrak baku juga praktis
karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang
siap diisi dan ditandatangani. Penyelesaiannya pun cepat karena konsumen
hanya menyetujui atau menandatangani perjanjian yang diberikan kepadanya.
50
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), h. 60.
32
3. Hukum Kontrak Baku Pada Pembiayaan Syariah
Bersikap tegas mengenai sah atau tidaknya kontrak, Ibnu Taimiyyah
berpendapat bahwa “Prinsip yang melandasi kontrak dan persyaratannya
adalah sifat kebolehan (ibaha) dan keabsahan. Setiap (kontrak atau
persyaratan) dilarang dan batal selama ada ayat yang tegas (dari al-Qur‟an,
Sunnah, atau ijma‟) atau qiyas [analogi] (bagi pihak yang menerima qiyas)
yang menunjukan pelarangan atau pembatalannya.”51
Hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa bolehnya melakukan kontrak apabila tidak bertentangan
dengan syariat Islam.
Syariat Islam berkaitan pula dengan prinsip syariah di mana prinsip
syariah yang digunakan berkaitan dengan kontrak yang terdapat pada fatwa
diatur secara tersendiri pada tiap produk dan jasa yang terdapat pada
perbankan syariah. Saat ini, kebanyakan kontrak yang terdapat pada
perbankan syariah dibuat secara baku di mana beberapa klausul yang terdapat
pada kontrak tersebut dapat memberatkan salah satu pihak saja.52
Hal tersebut
dikarenakan pihak nasabah tidak ikut andil dalam pembuatan kontrak. Kontrak
baku sudah dibuat oleh pihak bank sesuai dengan ketentuan bank itu sendiri.
Apabila melihat kembali pada asas-asas perjanjian menurut hukum Islam,
maka dapat diketahui bahwa tidak adanya kebebasan dalam melakukan
kontrak, termasuk melanggar asas kebebasan berkontrak. Pada asas kebebasan
berkontrak, para pihak yang melakukan akad harus memiliki dasar suka sama
suka atau kerelaan antara masing-masing pihak, tidak boleh ada tekanan,
paksaan, serta penipuan.
Dalam konteks hukum Islam kontrak baku sebagai suatu perjanjian yang
mengikat para pihak dianggap sah selama tidak ada melanggar ketentuan
syariah lainnya. Selain karena ini sudah menjadi kebiasaan, hal ini juga agar
wujud efisiensi dalam melakukan transaksi. Islam tidak melarang kebiasaan
51
Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Hukum Keuangan Islam: Konsep, Teori dan Praktik, (Bandung: Nusamedia, 2007), h. 124.
52 Dwi Fidhayanti, Perjanjian Baku Menurut Prinsip Syariah (Tinjauan Yuridis Praktik
Pembiayaan di Perbankan Syariah), (de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 6 No. 2, Desember 2014), h. 130.
33
selama kebiasaan itu tidak melanggar ketentuan yang telah ditetapkan.
Perjanjian baku dalam Islam boleh digunakan dengan memperhatikan
beberapa prinsip, salah satunya kesepakatan. Kesepakatan dalam hukum Islam
berawal dari pengakuan prinsip “an taradin” yaitu saling ridha. 53
Keridhaan
bukan hanya mengatakan ”sepakat”, melainkan adanya suatu tindakan yang
mencerminkan bahwa kesepakatan yang dilakukan kedua belah pihak
didasarkan dengan keadaan sadar maka kesepakatan (perjanjian) tersebut
boleh dan dianggap sah. Dalam kontrak baku juga dikenal dengan adanya
tahap negosiasi, di mana nasabah dapat melakukan negosiasi pada beberapa
klausul dalam kontrak baku, walaupun tidak pada semua klausul.
Dalam Qawa‟id fiqhiyah dikenal dengan kaidah
ق اصده ا ألمور ا بم
“setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya”
Maksudnya ialah semua perbuatan tergantung kepada niat si pelaku.
Apabila niat yang dilakukan baik maka hukumnya adalah boleh dan sah.
Seperti halnya kontrak baku, apabila kontrak tersebut tidak merugikan
siapapun maka dibolehkan dan sah selama tidak bertentangan dengan syariah
Islam. Adanya kontrak baku adalah untuk mengefesiensi pengerjaan dari
lembaga keuangan itu sendiri, dalam halnya bank tidak hanya mengurusi satu
nasabah saja melainkan beribu ribu nasabah dan adanya kontrak baku ini
sangat membantu pihak bank dalam hal pembiayaan yang dilakukan. Apabila
kontrak baku tidak disiapkan maka akan memperlambat perkembangan
ekonomi karena membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan negosiasi
pada semua klausul.
Dalam perkembangannya kontrak baku menjadi salah satu alternatif untuk
memudahkan nasabah dalam mengajukan pembiayaan di lembaga keuangan
salah satunya bank syariah. Kebanyakan masyarakat menilai kontrak baku
53
Abdul Karim Muanthe, Penggunaan Perjanjian Baku dalam Transaksi Bisnis Menurut Hukum Islam, (Jurnal Ahkam: Vol. XV, No. 2, Juli 2015), h. 216.
34
sangat dibutuhkan karena mudah dan cepat sehingga masyarakat atau nasabah
menerima dan menjadikan kontrak baku sebagai tradisi yang dikenal ketika
melakukan pembiayaan di bank syariah. Seperti yang terdapat dalam kaidah
berikut:
ة اد ت ا لع م ك مح
“adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”
Bahwa kontrak baku itu sendiri bisa dijadikan sebagai kebiasaan dalam
masyarakat dalam mengajukan pembiayaan dalam arti masyarakat sudah
menerima kontrak baku karena hal tersebut termasuk fasilitas atau kemudahan
yang diberikan bank. Kontrak baku dapat ditetapkan sebagai suatu hukum
yang sah karena sudah diterima oleh masyarakat dan menjadi suatu tradisi
atau kebiasaan. Selama kontrak baku tidak melanggar ketentuan Undang-
Undangn dan Syariat Islam, maka kontrak baku dibolehkan dan sah menurut
hukum.
C. Pembiayaan Mudharabah
1. Pengertian Pembiayaan
Pengertian kata biaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah uang yang dikeluarkan untuk mengadakan atau melakukan hal tertentu.
Sedangkan kata pembiayaan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
biaya.54
Pembiayaan biasanya di lakukan untuk hal-hal yang bersifat produktif
maupun konsumtif. Produktif ialah untuk hal perluasan usaha, pergadangan,
dan investasi. Sedangkan, konsumtif biasanya dalam hal pemenuhan
kebutuhan.
54
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pembiayaan, diakses tanggal 26 September 2018, 06.30 WIB
Menurut pasal 1 ayat 25 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, bahwa pembiayaan ialah penyediaan dana atau tagihan
yang dipersamakan dengan itu berupa:55
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
istishna‟;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa
Berdasarkan keputusan dan persetujuan Bank Syariah dengan Unit Usaha
Syariah (UUS) serta pihak lainnya yang terkait, mewajibkan pihak yang
dibiayai dan diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut sesuai
dengan jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, ataupun
bagi hasil. Pembiayaan biasanya berkaitan dengan aktivitas bisnis.
Dalam hal ini dijelaskan pula Pembiayaan Syariah menurut POJK No.
31/POJK.05/2014 yaitu penyaluran pembiayaan yang dilakukan berdasarkan
prinsip syariah. Prinsip syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan
fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dan Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia.56
Pembiayaan syariah dituangkan dalam suatu perjanjian atau akad yang
mempunyai peranan dalam pembiayaan yang menjadi dasar dalam aktivitas
pembiayaan tersebut. Akad Pembiayaan Syariah memfasilitasi setiap orang
dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang tidak dapat
55
Lihat Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. 56
POJK No. 31/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah, Pasal 1 Ayat 5 dan 6
36
dipenuhinya sendiri tanpa bantuan dari orang lain.57
Istilah pembiayaan pada
intinya berarti I believe, I trust, saya percaya dan saya menaruh kepercayaan.
Pengertian pembiayaan ini berarti lembaga pembiayaan selaku shahibul mal
menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang
diberikan. Dana tersebut harus digunakan dengan benar, adil, dan harus
disertai dengan ikatan dan syarat-syarat yang jelas dan saling menguntungkan
bagi kedua belah pihak.58
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembiayaan adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lan yang mewajibkan
pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah
jangka waktu tertentu. Sedangkan pembiayaan syariah ialah pembiayaan
berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang dimana pengembalian uang atau
tagihn tersebut berupa imbalan atau bagi hasil.
2. Pengertian Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata al-dharb, yang berarti secara harfiah adalah
bepergian atau berjalan.59
Pengertian bepergian di sini adalah bepergian untuk
berdagang. Istilah tersebut digunakan oleh penduduk Irak. Sedangkan
penduduk Hijaz menggunakan istilah qiradh, yang diambil dari kata qardh
yang artinya memotong. Dinamakan demikian, karena pemilik modal
memotong sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan oleh „amil (pengelola
modal) dan memotong sebagian dari keuntungannya.60
Menurut Sayyid Sabiq bahwa, “mudharabah adalah akad antara dua pihak
yang mengharuskan salah satu dari keduanya untuk menyerahkan sejumlah
57
Lukmanul Hakim dan Amelia Anwar, Pembiayaan Murabahah Pada Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum Di Indonesia, (Universitas Bandar Lampung, STIE Mitra Lampung AL-URBAN: Jurnal Ekonomi Syariah dan Filantropi Islam, Vol. 1, No. 2, Desember 2017), h. 214.
58 Rahmat Ilyas, Konsep Pembiayaan Dalam Perbankan Syari’ah, (STAIN Syaikh
Abdurrahman Siddik Bangka Belitung: Jurnal Penelitian, Vol. 9, No. 1, Februari 2015), h. 186. 59
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2002), h. 135. 60
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013), Cet. 2, h. 366.
37
uang kepada yang lain untuk diperdagangkan, dengan catatan keuntungannya
dibagi sesuai dengan kesepakatan keduanya.”61
Secara teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak
di mana pihak pertama selaku pemilik modal (shahibul maal) menyediakan
seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola modal
(mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si
pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau
kelalian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian
tersebut.62
Sehingga dapat disimpulkan bahwa mudharabah merupakan bentuk kerja
sama, di mana salah satu pihak menyerahkan sebagian hartanya untuk
dijadikan modal. Sedangkan pihak lainnya menjalankan suatu usaha. Hasil
dari usaha tersebut akan dibagi keuntungannya sesuai kesepakatan kedua
belah pihak. Apabila usaha tersebut mengalami kerugian, maka kerugian
sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal. Akan tetapi, jika kerugian terjadi
akibat kelalaian pengelola modal, maka kerugian menjadi tanggung jawab
pengelola modal.
Mudharabah adalah suatu produk finansial syariah yang berbasis
kemitraan (partnership). Dapat diketahui pula bahwa mudharabah terdapat
dua pihak yang berjanji melakukan kerja sama dalam suatu ikatan kemitraan.63
Di mana satu pihak memberi modal dan pihak lain yang menjalankan usaha.
Mudharabah suatu bentuk kontrak yang lahir sejak zaman Rasulullah SAW
sejak zaman jahiliah/sebelum Islam dan Islam menerimanya dalam bentuk
bagi hasil dan investasi.64
61
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 5, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013), h. 163. 62
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 95.
63 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk dan Aspek-Aspek
Hukumnya, (Jakarta; Kencana: 2015), Cet. 2, h. 291. 64
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Kencana, 2013), h. 195.
38
Akad mudharabah dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling
membantu antara pemilik modal dengan seorang yang sudah ahli dalam
memutarkan uang. Banyak di antara pemilik modal yang tidak ahli dalam
mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara pula banyak juga para
ahli di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. 65
Hal tersebut disimpulkan bahwa atas dasar saling menolong dalam
pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk setiap manusia
saling bekerjasama, yaitu antara pemilik modal dengan seseorang yang
terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Hal tersebut diatur dalam firman Allah SWT:
رون ي ضربون في األ آخ هللا... ي بت غون مه ف ضل رض و
“dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah...”
(Q.S Al-Muzamil (73): 20)
ل يكم جن ا ح أ ن ت بت غو بكم...ا ف ضال م ل يس ع ه ر
“tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan)
dari Tuhanmu...” (Q.S Al-Baqarah (2): 198)
Kedua ayat diatas secara umum menjelaskan bahwa bolehnya melakukan
perjalanan (mencari sebagian karunia Allah) dalam rangka mencari rezeki-
Nya melalui berniaga dan lain-lainya. Namun, berniagalah dengan cara
bekerja sama yang disyariatkan karena sesungguhnya Allah SWT sudah
menebarkan karunia-Nya (rezeki-Nya) di atas bumi. Hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa bolehnya melakukan akad mudharabah, dengan cara
bekerja sama (bagi hasil) dan melakukan perjalanan untuk mencari rezeki
yang sudah Allah SWT tebarkan di atas bumi.
3. Jenis-Jenis Mudharabah
Secara umum mudharabah terbagi kepada dua jenis yaitu mudharabah
muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Berikut adalah penjelasan tentang
jenis-jenis mudharabah:
65
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), Cet. 2, h. 176.
39
a. Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal
(pemilik modal) dan mudharib (pengelola modal), di mana pemilik modal
memberikan modal kepada pengelola tanpa disertai dengan pembatasan.66
Pembatasan yang dimaksud ialah tidak adanya ketentuan mengenai
spesifikasi objek usaha, jenis usaha, waktu, daerah bisnis dan ketentuan-
ketentuan lainnya. Akad ini dapat diartikan bahwa pemilik modal
memberikan kebebasan kepada pengelola modal untuk melakukan
usahanya.
b. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah adalah bentuk kerja sama antara shahibul
maal (pemilik modal) dan mudharib (pengelola modal), di mana pemilik
modal memberikan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha kepada
si pengelola.67
Dalam hal ini jika suatu usaha dipandang bahwa pemilik modal harus
mengajukan syarat-syarat kepada si pengelola maka pengelola harus
memenuhi syarat-syarat tersebut. Apabila syarat-syarat atau batasan
tersebut tidak terpenuhi dan mengalami kerugian, maka pengelola
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
4. Rukun dan Syarat Akad Mudharabah
Terdapat perbedaan pandangan ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama
dalam menetapkan rukun akad mudharabah. Menurut Ulama Hanafiyah,
bahwa yang menjadi rukun dalam akad mudharabah adalah ijab (ungkapan
penyerahan modal dari pemiliknya) dan qabul (ungkapan menerima modal
dan persetujuan mengelola modal dari pengelola modal). Jika pemilik modal
66
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013), Cet. 2, h. 372. 67
Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia,, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 172.
40
dengan pengelola modal telah melafalkan ijab dan qabul, maka akad itu telah
memenuhi rukunnya dan sah.68
Menurut jumhur ulama bahwa rukun mudharabah ada 3 (tiga) yaitu:
a. „aqidain, yaitu pemilik modal dan pengelola
b. ma‟qud „alaih, yaitu modal, tenaga (pekerjaan) dan keuntungan
c. shighat, yaitu ijab dan qabul
Sedangkan Syafi‟iyah menyatakan bahwa rukun mudharabah terdiri atas 5
(lima) yaitu:
a. modal
b. tenaga (pekerjaan)
c. keuntungan
d. shighat
e. „aqidain69
Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan rukun di atas adalah:70
1. Pemilik modal dan pengelola modal („aqidain)
Pemilik modal dan pengelola harus mampu melakukan transaksi dan
sah secara hukum. Kedua belah pihak harus mampu bertindak sebagai
wakil dan kafil dari masing-masing pihak.
2. Modal
Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh pemilik dana kepada
pengelola untuk tujuan menginvestasikan hartanya dalam aktivitas
mudharabah. Modal harus dinyatakan dengan jelas jumlahnya dan jenis
68
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), Cet. 2, h. 177. 69
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013), Cet. 2, h. 371. 70
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), Cet. 2, h. 175.
41
mata uangnya. Apabila modal berbentuk barang, maka barang tersebut
harus dihargakan dengan harga semasa dalam uang yang beredar (atau
sejenisnya).
3. Keuntungan
Keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal.
Keuntungan adalah tujuan akhir mudharabah. Syarat keuntungan dalam
mudharabah yaitu:
1) Harus dibagi untuk kedua belah pihak
2) Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam persentase dari
keuntungan yang mungkin dihasilkan nanti
3) Rasio persentase (nisbah) harus dicapai melalui negosiasi dan
dituangkan dalam kontrak
4) Waktu pembagian keuntungan dilakukan setelah mudharib
mengembalikan seluruh (atau sebagian) modal kepada shahibul
maal
5) Jika jangka waktu mudharabah relatif lama, nisbah keuntungan
dapat disepakati untuk ditinjau dari waktu ke waktu
6) Jika penentuan keuntungan dihitung berdasarkan keuntungan kotor
(Gross profit), biaya yang timbul disepakati oleh kedua belah
pihak, karena dapat mempengaruhi nilai keuntungan.
4. Sighat (ijab dan qabul)
Shiqhat harus dilakukan dengan cara tegas dan jelas yang
menunjukkan tujuan akad. Jika sudah sah sesuai dengan syarat-syarat yang
diajukan dalam penawaran, akad bisa dilakukan secara lisan atau verbal,
secara tertulis maupun ditandatangani
Pemilik modal melafazhkan ijab, seperti “aku serahkan modal ini
kepadamu untuk usaha, jika terdapat keuntungan akan dibagi dua”,
42
kemudian pengelola modal mengucapkan persetujuannya yang disebut
qabul.71
D. Review Studi Terdahulu
Dalam upaya meneliti tinjauan hukum pada klausul dalam kontrak
pembiayaan mudharabah di bank syariah yang sesuai dengan Fatwa DSN
MUI, perlu dilakukan kajian pustaka sebagai salah satu dari penerapan metode
penelitian yang akan dilakukan. Selanjutnya peneliti akan menganalisis
mengenai aspek pembahasan dan aspek pembeda dari penelitian sebelumnya
yang bersumber dari jurnal, skripsi, dan tesis. Oleh karena itu di bawah ini
merupakan kesimpulan dari apa yang sudah peneliti dapatkan, yaitu
Muhar Affandy Lubis, skripsi Universitas Sumatera Utara, tahun 2005
yang berjudul “Aspek Hukum Perjanjian Baku dalam Pembiayaan
Berdasarkan Prinsip Syariah Ditinjau dari Undang-Undang No. 10 Tahun
1998”,72
menjelaskan bahwa teknik operasional perbankan Syariah belum
menerapkan Syariah Islam sepenuhnya dan masih tunduk pada kebijakan-
kebijakan teknis perbankan konvensional. Terdapat klausul-klausul yang
bersifat baku yang dibahas adalah mengenai klausul jaminan dalam
pembiayaan mudharabah, legalitas atau pembenahan dalam syariah Islam, dan
membicarakan tentang akibat hukum yang timbul apabila perjanjian
dibatalkan. Serta tinjauan hukum yang dipakai adalah berdasarkan Undang-
Undang tentang Perbankan. Hal yang membedakan dengan penelitian tersebut
adalah peneliti fokus terhadap analisis kontrak baku dalam pembiayaan
mudharabah dan kesesuaiannya terhadap Fatwa DSN MUI.
71
Inawati Rais dan Hasanudin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 122.
72 Muhar Affandy Lubis, Aspek Hukum Perjanjian Baku dalam Pembiayaan Berdasarkan
Prinsip Syariah Ditinjau dari Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, (Jurusan Ilmu Hukum: skripsi Universitas Sumatera Utara, 2005)
43
A. Chairul Hadi, jurnal Al-Iqtishad: Vol. III, No. 2, Juli 2011,
“Problematika Pembiayaan Mudhârabah Di Perbankan Syariah Indonesia”73
,
membahas tentang persoalan bagi hasil yang belum menjadi bisnis utama bank
Syariah. Padahal, secara teoritis dalam skema pembiayaan bagi hasil dapat
lebih menyejahterakan ekonomi masyarakat. Keharusan adanya garansi
(jaminan) atau agunan berupa fixed asset dan menetapkan rasio maksimal
biaya operasional serta pembagian keuntungan berdasarkan profit and loss
sharing. Serta membahas mengenai solusi sistem bagi hasil (mudharbah)
dalam skema pembiayaan di Perbankan Syariah di Indonesia. Hal yang
membedakan pada penelitian saya adalah meneliti analisis kontrak baku yang
terjadi pada pembiayaan mudharabah tentang proyeksi bagi hasil dan klausul-
klausul yang masih kurang jelas penjelasannya, serta penelitian ini lebih di
khususkan kepada Bank BJB Syariah KCP BSD .
Try Subakty, tesis UIN Sunan Kalijaga, tahun 2016 yang berjudul
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Akad Pembiayaan
Mudharabah di Bank Syariah Mandiri Cabang Sumenep”74
, membahas
mengenai pelaksanaan akad pembiayaan mudharabah yang di mana lebih
unggul dari akad pembiayaan lainnya, dikarenakan akad yang digunakan
adalah akad payung (Mudharabah Wal-Murabahah). Dalam perspektif hukum
Islam, akad payung tersebut tidak diperbolehkan karena terjadi dua akad
dalam satu transaksi, yakni akad Mudharabah dan Murabahah yang
digabungkan menjadi satu transaksi. Serta upaya yang dilakukan oleh Bank
dalam menyelesaikan risikonya. Hal yang membedakan pada penelitian saya
adalah meneliti analisis kontrak baku yang terjadi pada pembiayaan
mudharabah tentang proyeksi bagi hasil serta penelitian ini lebih di khususkan
kepada Bank BJB Syariah KCP BSD .
73
A. Chairul Hadi, Problematika Pembiayaan Mudhârabah Di Perbankan Syariah Indonesia, (jurnal Al-Iqtishad: Vol. III, No. 2, Juli 2011)
74 Try Subakty, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Akad Pembiayaan
Mudharabah di Bank Syariah Mandiri Cabang Sumenep, (Jurusan Hukum Bisnis Syariah: tesis UIN Sunan Kalijaga, 2016)
44
Muhlishotu Jannati Na‟im, Jurnal An-Nisbah, Vol. 03, No. 02, April
tahun 2017 yang berjudul “Problematika Kontrak Baku dalam Akad
Mudharabah di Lembaga Perbankan Syariah”,75
membahas tentang
ketidakselarasan aplikasi kontrak baku pada pembiayaan mudharabah yang
biasanya akad ini memerlukan musyawarah dan efek yang terjadi pada
nasabah dalam kehidupan di masyarakat. Serta tidak seimbangnya antara porsi
nasabah dan pihak bank. Peneliti juga lebih luas membahas terhadap
Perbankan Syariah. Hal yang membedakan pada penelitian saya adalah
meneliti analisis kontrak baku yang terjadi pada pembiayaan mudharabah
tentang proyeksi bagi hasil serta penelitian ini lebih di khususkan kepada
Bank BJB Syariah KCP BSD .
Ahmad Jahri, Fiat Justisia Journal of Law Volume 10 Issue 2, April-
June 2016, “Perlindungan Nasabah Debitur Terhadap Perjanjian Baku Yang
Mengandung Klausula Eksonerasi Pada Bank Umum Di Bandarlampung”76
,
membahas tentang kontrak kredit bank komersial di Bandar Lampung yang
masih mengandung pembebasan dari tuduhan klausul yang melarang UU
Penetapan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dan Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan. Ada klausul yang memerlukan debitur untuk
menyerahkan bimbingan dan peraturan semua bank, baik yang sudah ada atau
akan ditetapkan kemudian. Hal ini juga di atur oleh SEOJK Nomor
13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku. Hanya saja yang membedakan
pada penelitian saya adalah objek penelitian ini terhadap bank konvensional
sedangkan penulis pada bank Syariah. Lalu klausul yang diteliti lebih kepada
proyeksi bagi hasil dan dalam tinjauan hukum menurut Fatwa DSN MUI.
75
Muhlishotu Jannati Na’im, Problematika Kontrak Baku dalam Akad Mudharabah di Lembaga Perbankan Syariah, (Fakultas Syariah IAIN Ponorogo, Jurnal An-Nisbah, Vol. 03, No. 02, April 2017)
76 Ahmad Jahri, Perlindungan Nasabah Debitur Terhadap Perjanjian Baku Yang
Mengandung Klausula Eksonerasi Pada Bank Umum Di Bandarlampung, (Fiat Justisia Journal of Law Volume 10 Issue 2, April-June 2016)
45
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian terdahulu bahwa terdapat
klausul-klausul yang bersifat baku mengenai klausul jaminan dalam
pembiayaan mudharabah, legalitas atau pembenahan dalam syariah Islam,
dan membicarakan tentang akibat hukum yang timbul apabila perjanjian
dibatalkan serta tinjauan hukum yang dipakai adalah berdasarkan Undang-
Undang tentang Perbankan; membahas tentang persoalan bagi hasil yang
belum menjadi bisnis utama bank Syariah; pelaksanaan akad pembiayaan
mudharabah yang di mana lebih unggul dari akad pembiayaan lainnya;
ketidakselarasan aplikasi kontrak baku pada pembiayaan mudharabah;
dan kontrak kredit bank komersial di Bandar Lampung yang masih
mengandung pembebasan dari tuduhan klausul yang melarang UU. Dari
masalah-masalah yang ditemukan, peneliti merucut kepada pembahsaan
tentang ketidakadilan dari kontrak baku, sistem bagi hasil dan proyeksi
bagi hasil yang dilihat dari perspektif Fatwa DSN MUI.
46
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Dalam mendapatkan data dan mengolahnya secara tepat diperlukan
metodologi penelitian agar hasil penelitian ini menjadi sebuah karya ilmiah
yang baik. Data yang dihasilkan dari metode penelitian menghasilkan sebuah
karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu keberadaan
sebuah metode penelitian akan memberikan petunjuk dalam pelaksanaan
penelitian. Metode penelitian ini akan diuraikan dalam beberapa tahapan,
mulai dari cara dan proses yang meliputi :
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu penelitian
yang mencoba memahami fenomena dalam seting dan konteks naturalnya
(bukan di dalam laboratorium) di mana peneliti tidak berusaha untuk
memanipulasi fenomena yang diamati.1 Metode penelitian kualitatif dibedakan
dengan metode penelitian kuantitatif dalam arti metode penelitian kualitatif
tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka, atau
metode statistik. Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan
isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya.2
Dalam penelitian ini peneliti memecahkan suatu kasus analisis terhadap
kontrak baku dalam pembiayaan mudharabah di Bank BJB Syariah KCP
BSD.
2. Jenis Data
Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti menggunakan dua jenis data, yaitu:
a. Data Primer, merupakan data yang didapat dari peraturan-peraturan.
Beberapa peraturan yang terkait dengan penelitian ini yaitu:
1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah