Tugas Etprof Suku Nias
Post on 26-Dec-2015
121 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
MENGENAL SUKU-SUKU YANG ADA DI INDONESIA
(SUKU NIAS)
(TUGAS ETIKA PROFESI)
OLEH
NORIS HERLAMBANG1315051039
JURUSAN TEKNIK GEOFISIKAFAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG2014
Abstrak
Indonesia merupakan negara yang memiliki pluralitas yang tinggi. Keberagaman suku, bahasa, agama, ras, maupun golongan dapat menunjukan ciri khas bangsa indonesia. Potensi budaya yang besar merupakan sumber kekayaan budaya nasional. Tidak heran jika negara lain berusahan untuk memiliki kebudayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu kita sebagai warga indonesia harus terus menjaga kebudayaan bangsa indonesia salah sau caranya dengan terus melestarikannya. Seseorang yang merupakan penduduk Indonesia pasti masuk ke dalam suku tertentu. Suku yang terdapat di Indonesia sangat beragam, berjumlah ribuan.Dalam kebudayaan tersebut ada yang dikatakan sebuah kearifan lokal, yaitu pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta strategi kehidupan yang terwujud dalam aktivitas masyarakat setempat. Dalam makalah ini suku bangsa Nias adalah topik yang ingin kami kaji lebih lanjut mengenai kearifan lokal yang ada, dan juga mengenai etika lingkungan suku bangsa Nias. Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). Suku Nias merupakan suku yang menempati Pulau Nias, Sumatera, Indonesia.
BAB. IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki pluralitas yang tinggi. Keberagaman suku, bahasa, agama, ras, maupun golongan dapat menunjukan ciri khas bangsa indonesia. Potensi budaya yang besar merupakan sumber kekayaan budaya nasional. Tidak heran jika negara lain berusahan untuk memiliki kebudayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu kita sebagai warga indonesia harus terus menjaga kebudayaan bangsa indonesia salah sau caranya dengan terus melestarikannya. Agar kita lebih paham dan mengerti mengenai kebudayaan yang ada di indonesia maka penulis akan membahas salah satu budaya yang ada di indonesia, yaitu suku Nias. Hal ini dimaksudkan agar kita lebih mengetahui tentang budaya yang ada di indonesia khususnya suku Nias dan akan semakin mencintai kebudayaan bangsa Indonesia sendiri. Apabila kita mengikuti sejarah perkembangan bangsa Indonesia maka yang harus diangkat adalah kemajemukannya. Yaitu, keberagaman suku bangsa yang ada, dimana dinamika masyarakat dan kebudayaannya yang memiliki konsepsi-konsepsi khusus mengenai konsep suku bangsa di suatu daerah kebudayaan. Budaya merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.Seseorang yang merupakan penduduk Indonesia pasti masuk ke dalam suku tertentu. Suku yang terdapat di Indonesia sangat beragam, berjumlah ribuan.Dalam kebudayaan tersebut ada yang dikatakan sebuah kearifan lokal, yaitu pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta strategi kehidupan yang terwujud dalam aktivitas masyarakat setempat. Dalam makalah ini suku bangsa Nias adalah topik yang ingin kami kaji lebih lanjut mengenai kearifan lokal yang ada, dan juga mengenai etika lingkungan suku bangsa Nias.
BAB .II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian dan Letak Geografis
Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). Suku Nias merupakan suku yang menempati Pulau Nias, Sumatera, Indonesia.
2.2 Kependudukan Masyarakat Nias
Jumlah penduduk Kabupaten Nias tahun 2007 adalah 442.548 jiwa dengan kepadatan penduduk 127 jiwa/km² dan 85.361 rumahtangga. Keadaan penduduk menunjukan bahwasanya lebih banyak jumlah perempuan daripada laki-laki.
2.3 Sistem Kemasyarakatan
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
2.4 Asal Usul
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
2.5 Marga dan Kekerabatan Nias
Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.Berikut beberapa Marga yang ada di dalam suku Nias :
Amazihönö, Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö, Bali, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawölö, Bulu'aro, Bago, Bawa'ulu, Bidaya, Bazikho, Dakhi, Daeli, Daya, Dohare, Dohöna, Duha, Duho, Dohude, Fau, Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana,Famaugu, Fanaetu, Falakhi, Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari, Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura, Hoya, Harimao, Lafau, Lahagu, Lahömi, La'ia, Luaha, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lo'i, Lömbu, Lamölö, Lature, Luahambowo, Lazira, Lawelu, Laweni, Lasara, Laeru, Löndu go'o,Larosa, Maduwu, Manaö, Maru'ao, Maruhawa, Marulafau, Mendröfa, Maruabaya, Möhö, Marundruri, Mölö, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe, Nadoya, Ote, Sadawa, Sa'oiagö, Sarumaha, Saro, Sihönö, Sihura, Sisökhi, Saota, Taföna'ö, Telaumbanua, Talunohi, Tajira, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö, Warasi, Warae, Wohe, Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö, Zidomi, Ziliwu, Ziraluo, Zörömi, Zalögö, Zamago zamauze
2.6 Kepercayaan Asli Suku Nias
Terjadi komplikasi dalam pengertian orang-orang di Nias Selatan mengenai keaslian agama kuno mereka sebagaimana telah disinggung di atas mereka dengan sederhana dewasa ini mengatakan bahwa Lowalani adalah pencipta atau pemerintah yang mempunyai hubunganerat dengan dunia atas, sedangkan Lature Dano adalah pembela, penjaga, dan pemerintah Dunia bawah. Di antara dewa atas dan dewa bawah, ada lagi dewi yang disebut Nazariya Mbanua, istilah orang Nias Selatan untuk menyebut dewi Silewe Nazarata. Silewe Nazarata(istilah Nias Utara yang dipakai sekarang adalah dewi penghubung di antara Lowalani (dewa dunia atas) dan Lature Danö (dewa dunia bawah) dan juga sebagai dewi penghubung di antara kaum dewa dan ummat manusia. Maka boleh dikatakan bahwa agama kuno Nias termasuk agama Polythesis.
BAB.III
PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Perkembangan Masyarakat Nias
Suku Nias adalah sekelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam
bahasa aslinya, masyarakat Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono =
anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö
= tanah Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan
kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut
“FONDRAKÖ” yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran
sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik (batu
besar) dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu
besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk
Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat)dan di tempat-tempat lain
sampai sekarang.
Menurut Mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang
disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama
"Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas dikatakan bahwa kedatangan
manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang
memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena
memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi
orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
Sedangkan berdasarkan penelitian Arkeologi yang telah dilakukan di Pulau
Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif,
Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik
Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000
tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa
paleolitikum, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry
Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta.
Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya
yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal
dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut
Vietnam
3.2 Letak Geografis Pulau Nias
Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Pulau Nias merupakan salah satu pulau yang ada di provinsi Sumatra Utara. Nias (bahasa Nias Tano Niha) adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera, Indonesia. Pulau ini dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Niha) yang masih memiliki budaya megalitik. Daerah ini merupakan obyek wisata penting seperti selancar (surfing), rumah tradisional, penyelaman, fahombo (lompat batu). Pulau dengan luas wilayah 5.625 km² ini berpenduduk 700.000 jiwa. Agama mayoritas daerah ini adalah Kristen Protestan. Nias saat ini telah dimekarkan menjadi empat kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli.Lokasi Pulau Nias
GeografiLokasi Asia TenggaraKoordinat 1°6′LU 97°32′BTLuas 4.771 km²NegaraIndonesiaProvinsi Sumatera Utara
KabupatenNias, Nias Selatan, Nias Barat, Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli
3.3 Kearifan Lokal dalam “keragaman”
Masyarakat Nias sangatlah sejalanan pada kehidupan majemuk. Memang pada
perkembangan sejarahnya, dalam sistem kemasyarakatan tradisional dikenal
istilah “sowanua” (orang dalam) dan “sifatewu” (Masyarakat pendatang).
Namun sistem keterbukaan kepada sifatewu-pun masih ada. Apabila
“sifatewu” menyatakan diri sebagai anggota komunitas banua melalui upacara
adat, maka sifatewu menjadi bagian dari banua.
Lebih jauh ke belakang, kalau mengkaji asal-usul “Ono Niha”, maka mitos
melalui syair mengungkapkan keragaman leluhur yang diperkirakan datang
bergelombang di kepulauan Nias. Misalnya, syair: “Nidada raya Hia, nifailo
yöu Gözö – ba no mamuko danö niha mohulu gotou, mohulu guro. Andrö
dania ladaya Hulu Mbörö danötanö ba mafi gaekhula, ba no manaere danö
niha mo’afi zumbila, mo’afi moyo. Awena ladada Daeli Sanau Talinga, ba
awena sibai alo’o ba fadaya danö Niha.”
Kalau melakukan pengkajian syair tersebut secara mendalam dengan analisa
etno-sosiologis, maka memberi indikasi bahwa leluhur Nias datang ke Tanö
Niha bergelombang atau bertahap, lalu mengalami asimilasi-bertahap atau
pembaruan antar-etnik dalam rentang waktu yang cukup panjang, termasuk
dalam sistem sosio-kulturalnya, bahasa yang melahirkan berbagai logat
(idiom), perubahan bentuk fisik dan sistem kepercayaan lainnya.
Namun perlu dicatat bahwa “kesatuan antar etnik” bukan tanpa ketegangan dan
peperangan. Masalahnya bahwa leluhur-leluhur Nias yang datang ke daerah
ini, karena sifatnya bertahap maka bentukan budayanya juga mengalami
perkembangan. Mulai dari kehidupan yang bergantung pada alam
(mengumpulkan hasil alam) hingga pada pengolahan hasil alam (pertanian,
peternakan). Lebih dari itu, kelompok-kelompok yang datang dari luar tersebut
telah memiliki kebudayaan sendiri dari daerah asalnya. Bagi kelompok pertama
yang datang, tradisi dari daerah asal tersebut diteruskan dan disesuaikan
dengan konteks keberadaan mereka di kepulauan Nias. Ketika kelompok etnis
lain datang dan bertemu dengan kelompok sebelumnya, maka di sini terjadi
interaksi dan akulturasi antar etnik/kebudayaan. Menurut Garang bahwa
interaksi itu terjadi antara kelompok yang telah ada di Nias pada masa
mesolitikum atau neo-megalitik dengan kelompok yang datang pada masa
paleo-mongolide, disusul oleh kelompok yang disebut kelompok neo-litikum,
serta kelompok mongolide. Interaksi dan akulturasi tersebut terjadi sekitar
empat ribuan tahun yang silam. Pada perjumpaan tersebut, masing-masing
kelompok tentu berusaha mengalahkan kelompok lainnya (disini dikenal
“perang antar banua”), saling berusaha mempertahankan identitas dan
tradisinya masing-masing sehingga terjadi sikap saling menolak atau saling
menaklukan yang lain, ataupun juga saling menerima. Perjumpaan dalam
jangka panjang ini, melahirkan minimal tiga hal: (1) Tradisi kelompok tertentu
hilang karena mengikuti tradisi kelompok lain; (2) tradisi masing-masing
masih terus hidup dan tidak ada titik temu satu dengan yang lain, dan (3)
menghasilkan dan menyepakati system baru, hukum baru, tradisi baru dalam
hidup bersama, walaupun tradisi masing-masing masih hidup dalam kelompok
masing-masing.
Hasil interaksi/pembaruan panjang tersebut di atas, telah menampilkan
penduduk Nias yang sekarang, yang pada dasarnya beraneka-ragam dalam
banyak hal, namun tetap memiliki kultur dasar, baik dalam hal bahasa maupun
adat-istiadat, sistem kepercayaan dan tradisi lainnya. Keragaman dan Asimilasi
inilah yang melatar-belakangi ungkapan “amakhoita zatua” (tradisi etnik) dan
“amakhoita mbanua” (kesepakatan bersama yang telah berasimilasi “antar-
etnik”), yang di belahan tengah, timur, barat dan utara dikenal dengan nama
“Fondrako”. Kesadaran akan kesatuan dalam keragaman ini, juga tampak
dalam komunikasi antar banua dalam kegiatan adat-istiadat, yang selalu
dimulai dengan perkataan: “Sara nidanö, sambua ugu’ugu, sambua mbanua
sambua mbuabua/mböwö”. Dan demi kebersamaan, maka kedua belah-pihak
biasanya mencari titik-temu untuk saling bekerjasama dan saling menutupi
kelemahan. Dalam konteks itulah muncul ungkapan (amaedola): “Undu ita,
la’iju ita, faoma tabalugö mbua nawöda.”
Keterangan di atas menguatkan argumentasi tentang keragaman kedatangan
leluhur Nias (baik dari segi waktu maupun tempat, dan setelah mengalami
interaksi antar masyarakat yang begitu lama, maka melahirkan kesamaan-
kesamaan tradisi, pola pikir dan tindak, bahasa (walaupun ada variasi-variasi),
warna kulit (juga bervariasi) dan unsur-unsur kebudayaan Ono Niha.
Latar belakang “keragaman dan kesatuan” ini memberikan pengalaman
(kearifan) masyarakat Nias dalam berinteraksi atau berjumpa dengan pihak lain
yang terbuka atau inklusive. Ini merupakan kekuatan lokal bagi zaman ini
dalam hal hidup dalam keragaman atau kemajemukan. Namun, tidak dapat
disembunyikan bahwa “kearifan lokal” tersebut banyak mengalami pergeseran,
bahkan telah melahirkan sikap eksklusive bagi masyarakat Nias, karena
pengalaman pahit dalam perjumpaan dengan kelompok lain yang datang
kemudian, tertutama ketika praktik “jual-beli tenaga kerja” oleh kelompok
Aceh dan kemudian kelompok VOC (Gombani), yang memunculkan sikap
“oportunis” dan sikap “alergi bahkan anti-pati” terhadap kelompok luar.
Pengalaman pahit inilah yang melahirkan sikap “curiga” terhadap pendatang
baru, namun kalau sudah diketahui bukan “musuh”, masyarakat Nias juga
terbuka menerimanya. Ungkapan “Emali niha fatua baewali so, ono luo na so
yomo” yang biasa digunakan dalam pembicaraan adat perkawinan adalah juga
kearifan dalam perjumpaan dengan pihak lain. Itulah pengalaman ketika
kekristenan tiba di Nias ini 147 tahun silam. Dimana Ono Niha “terbuka
menerima misionaris”, bahkan bersedia meninggalkan “kepercayaan lamanya”
dan mengikuti ajaran agama baru yang diperkenalkan kepada mereka.
Karena keragaman tersebut, maka terdapat prinsip “jangan biarkan ada yang
terlewatkan” (tidak diperhitungkan), baik dalam pembagian “material”, dalam
penyebutan, dan dalam kepemimpinan (terutama bagi mereka dalam strata/bosi
wa’asalawa). Dalam hal inilah muncul ungkapan: “Tefengo nono gae si lö
mu’erai”. Ini semua demi kebersamaan dan kesatuan dalam keragaman. Dalam
proses sejarah mereka merasakan bahwa jauh lebih menguntungkan kesatuan
dari pada peperangan. Makanya muncul berbagai ungkapan yang menunjang
kesatuan, seperti: “Ebua hugöhugö zato”, atau “Na ha sara li da, na ha sambua
zondra, tola ta’olikhe gawoni ba tola ta’olae gulinasi”.
3.4 Kearifan Lokal dalam “Adat-Istiadat selingkaran hidup”
Pokok yang penting dicatat bahwa bagi masyarakat Nias ada beberapa istilah
yang berkaitan dengan adat, yakni hada (hada zatua), huku hada, amakhoita
(goigoi), fondrako, bowo, dan lainnya (menurut wilayah masing-masing).
Menurut pemahaman Ono Niha (dahulu) bahwa adat-istiadat itu tidak hanya
sebatas bentukan tataan sistem kemasyarakatan yang harmoni dan tata hidup
menjawab tantangan di sekitarnya, melainkan dipahami sebagai amanah
leluhur bahkan amanah dewa yang dipercayaai saat itu.
Dalam mite dijelaskan bahwa ketika leluhur Nias diturunkan dari Teteholi
Ana’a, diikut-sertakan kepada mereka segala yang dibutuhkan, yakni rumah
lengkap dengan peralatannya, semua alat ukur atau timbangan (Afore = alat
ukur babi, Lauru = alat timbangan padi/beras, Fali’era = alat timbang emas);
semua jenis tanaman, binatangbinatang, termasuk pinang, gambir dan sirih.
Demikian juga segenap perhiasan, termasuk bait (osali) serta berbagai macam
Adu (patung).5 Mite tersebut hendak mengungkapkan bahwa manusia yang
diturunkan dari Teteholi Ana’a itu telah mempersiapkan segenap kebutuhan,
termasuk sistem hukum adat dan religinya. Hal ini penting untuk menjaga
hubungan di antara mereka dan relasi dengan allah atau leluhurnya, sehingga
manusia yang ada di bumi ini tetap hidup dalam kesejahteraan. Ini sangat
penting karena bagi Ono Niha keharmonisan hubungan, apalagi dengan
leluhurnya (allahnya) sangat penting agar lepas dari berbagai penyakit dan
bencana, serta memperoleh berkat dalam kehidupan di dunia ini. Mendapatkan
berkat adalah tujuan hidup. Berkat yang dimaksud adalah Lakhömi, yakni
kekayaan, keturunan, dan kehormatan serta terlepas dari berbagai kutukan.
Untuk mendapatkan Lakhömi maka Ono Niha menjaga hubungan dengan para
dewa dan leluhur pada satu sisi, dan dengan masyarakat pada sisi lain, dan
untuk itulah maka sepanjang hidup Ono Niha, mulai dari “sebelum kelahiran
hingga sesudah kematian” dijalani dengan ketaatan pada religi dan
kepercayaannya serta pada adat-istiadat.
Bila melakukan analisa tentang Adat-istiadat di selingkaran hidup di Nias
tampak sangat menekankan bagaimana supaya sistem hidup yang dibawa di
negeri asal leluhur, dan itu harus terus dipelihara dan diwariskan, di tengah
realitas berhadapan dengan masyarakat lain dengan kebudayaannya sendiri.
Perjumpaan itu, di satu sisi, memperlihatkan eksklusifisme terhadap
kebudayaan yang sudah mengakar. Oleh karena itu, kelahiran anak laki-laki
dalam keluarga sangat penting, sebagai famatohu nga’õtõ (penerus keturunan);
pemberian nama menjadi urusan para pemimpin kampung; bahkan ada upacara
lainnya, yakni: mengasah gigi sebagai tanda-tanda bagi anak-anak kaum
bangsawan; menjalani ritus-ritus tertentu seperti mengasah gigi, sunat,
menikah, dan menyelenggarakan pesta-pesta jasa tahap-tahap menuju
kedewasaan sosial; memahami kematian sebagai jalan untuk kembali ke negeri
asal. Sikap eksklusif itu adalah oroisa (amanah), sehingga ketika tidak
dilaksanakan dapat menimbulkan amarah/kutukan dari para leluhur.
Persoalan yang muncul kini ialah bahwa adat-istiadat Nias telah banyak
mengalami perobahan, baik karena perjumpaan dengan suku-bangsa lain,
dengan agama-agama, dengan modernisasi dan globalisasi. Unsur-unsur adat
yang berkaitan dengan agama suku dulunya, banyak digantikan oleh agama-
agama, terutama oleh Kristen. Namun, nilai-nilainya masih saja hidup.
3.5 Kearifan Lokal dalam Sistem Kepercayaan Asli
Sebelum datangnya agama Kristenan, Islam, Hindu, dan Buddha ke Pulau Nias
dan Pulaupulau Batu, orang Nias sebagai salah satu suku yang tergolong tua
telah memiliki sistem kepercayaan tersendiri. Para peneliti, menyebut agama
asli Nias dengan istilah “penyembah ruh” atau Agama Pelebegu atau
Penyembah Patung (Molohe Adu). Ada juga yang menyebut sebagai
penyembah dewa-dewa.
Saya tidak mengulas secara mendalam sistem kepercayaan Nias disini, tetapi
yang jelas melalui mitos dikenal dewa-dewa dunia atas dengan nama Teteholi
Ana’a (Lowalangi, Sihai, atau di Nias Selatan dikenal Inada Samihara Luo,
dan PP. Batu dikenal Inada Dao), dan dewa-dewi dunia bawah (lature danö
atau Bauwa danö). Dikenal juga dewa yang sangat jahat yakni Nadaoya dan
Afökha dan berbagai dewa rendah (roh halus) yang disebut "bekhu", yakni:
Bekhu Gatua (hantu hutan), Bekhu Dalu Mbanua (Roh yang bergentayangan di
langit); Zihi (hantu laut), Simalapari (hantu sungai), Bela (hantu yang berdiam
di atas pohon, pemilik semua binatang di hutan), Matiana, roh wanita yang
mati ketika melahirkan bayi, lalu roh ini menjadi pengganggu para wanita yang
mau melahirkan; Tuha zangarofa (penguasa ikan di sungai), Salöfö, yakni roh
orang yang pandai berburu, dan berbagai roh jahat yang tinggal di gua, yang
tinggal pohon besar, sungai dan muara sungai, dan Ono Niha juga takut dan
menghormat roh nenek moyang atau sering disebut “malaika zatua”.
Semua roh-roh halus tersebut ditakuti oleh Ono Niha dan mereka berusaha
menghindarinya dengan menaati tabu (famoni) atau menenangkannya melalui
ritus-ritus penyembahan. Berdasarkan itulah misionaris Wagner dengan
pandangan yang sedikit negatif menyimpulkan bahwa poros agama asli Nias
adalah ketakutan. Segala sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat Nias dalam
kehidupannya tidak jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan
mereka. Apa yang mereka percayai, turut mempengaruhi tindakan mereka,
sehingga ketika melakukan sesuatupun mereka harus melihat hari baik, dan
agar mereka terhindar dari segala macam pernyakit yang diakibatkan oleh roh
jahat, mereka memakai jimat-jimat agar kebal. Ada hari-hari mujur dan hari-
hari tidak mujur untuk membangun rumah, untuk menanam padi, untuk
perkawinan, dan selanjutnya. Ada jimat-jimat yang membuat kekebalan
sehingga tidak dapat melukai, dan lain-lain. Semua ini merupakan upaya
mengindari ancaman roh-roh tersebut. Lebih dari itu, untuk menjaga
keserasian hidup dan kelangsungan hidup alam semesta, masyarakat Nias
harus memberikan persembahan-persembahan kepada dewa-dewa. Di sinilah
Ere (imam) berfungsi melaksanakan ritus-ritus memberi persembahan melalui
Adu sebagai media. Itulah sebabnya ada banyak adu (patung) di Nias pada
waktu misionaris datang, dan mereka mengatakan bahwa musuh utama dari
misi adalah adu dan oleh karenanya harus dihancurkan oleh kekuatan Salib
Kristus.
3.6 Kearifan Lokal dalam Seni
Di samping itu masyarakat Nias juga banyak memiliki corak kebudayaan
diantaranya Omo ni Oniha (Rumah Adat), Maena (Tarian) seperti Tari Moyo
(Rajawali), tari mogaele, (Baluse) tari Perang dan lain-lain.
a) Hombo Batu (Lompat Batu)
Gambar 1. Lompat Batu
yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian
adat Nias dan meloncati susunan batu yang setinggi lebih dari 2 (dua)
meter. Ajang tersebut diciptakan untuk menguji fisik dan mental para
remaja pria Nias menjelang usia dewasa yang akan ikut berperang
melawan penjajah karena pertahanan musuh sangat kuat jadi untuk
memasuki area musuh tidak selalu mudah apalagi untuk mengalahkannya
sebab di beberapa wilayah, musuh memiliki kubu pertahanan yang sangat
kuat di antara beberapa titik yaitu bambu runcing yang merupakan benteng
pertahanan, sehingga dengan ketangkasan para leluhur melalui latihan
lompat batu dengan penuh semangat dan percaya diri sehingga kubu
pertahanan musuh dapat di lalui dengan lompatan yang sangat tinggi, dan
akhirnya benteng pertahanan musuh menjadi rubuh dan setelah itu musuh
di kalahkan. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual
lompat batu.
Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan
permukaan bagian atas datar. Tingginya tidak kurang dari 2 (dua) meter
dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang tolakan dari permukaan tanah
60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu
tersebut, tapi ia juga harus memiliki teknik seperti saat mendarat, karena jika
dia mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan cedera otot atau
patah tulang.
b) Maena(Tari).
Gambar 2. Tari maena
Maena adalah sebuah tarian yang sangat simpel dan sederhana, tetapi
mengandung makna kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan, yang tak kalah
menariknya dengan tarian-tarian yang ada di Nusantara. Dibandingkan dengan
tari moyo, tari baluse/tari perang (masih dari Nias), maena tidak memerlukan
keahlian khusus. Gerakannya yang sederhana telah membuat hampir semua
orang bisa melakukannya. Kendala atau kesulitan satu-satunya adalah terletak
pada rangkaian pantun-pantun maena (fanutunõ maena), supaya bisa sesuai
dengan event dimana maena itu dilakukan. Pantun maena (fanutunõ maena)
biasanya dibawakan oleh satu orang atau dua orang dan disebut sebagai
sanutunõ maena, sedangkan syair maena (fanehe maena) disuarakan oleh orang
banyak yang ikut dalam tarian maena dan disebut sebagai sanehe maena/ono
maena. Syair maena bersifat tetap dan terus diulang-ulang/disuarakan oleh
peserta maena setelah selesai dilantunkannya pantun-pantun maena, sampai
berakhirnya sebuah tarian maena. Pantun maena dibawakan oleh orang yang
fasih bertuntun bahasa Nias (amaedola/duma-duma), namun seiring oleh
perkembangan peradaban yang canggih dan modern, pantun-pantun maena
yang khas li nono niha (bahasa asli Nias) sudah banyak menghilang, bahkan
banyak tercampur oleh bahasa Indonesia dalam penuturannya, ini bisa kita
dengarkan kalau ada acara-acara maena dikota-kota besar. Maena boleh
dibilang sebuah tarian seremonial dan kolosal dari Suku Nias, karena tidak ada
batasan jumlah yang boleh ikut dalam tarian ini. Semakin banyak peserta tari
maena, semakin semangat pula tarian dan goyangan (fataelusa) maenanya.
Maena biasanya dilakukan dalam acara perkawinan (fangowalu), pesta
(falõwa/owasa/folau õri), bahkan ada maena Golkar pada pemilu tahun 1971,
menandakan betapa tari maena sudah membudaya dan fleksibel, bisa diadakan
dalam acara-acara apa saja. Tidak salah lagi maena merupakan tarian khas
yang mudah dikenali dan dilakukan oleh ono niha maupun oleh orang diluar
Nias yang tiada duanya dengan tarian poco-poco (Sulawesi) atau tarian Sajojo
(Irian), yang telah memperkaya panggung budaya nasional. Di Nias maupun di
kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Batam, Surabaya, Bandung, Padang,
Sibolga, sering dijumpai maena pada acara pernikahan orang-orang Nias.
Maena, tari moyo, tari baluse, hombo batu, li niha, amaedola adalah merupakan
kekayaan budaya ono niha yang seharusnya terus berkembang.
3.7 Bahasa
Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah bahasa yang
dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu
bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis dari mana asalnya.
Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga
sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta orang. Bahasa ini
dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya
bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal.Bahasa
Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a,e,i,u,o dan ditambah dengan ö
(dibaca dengan "e" seperti dalam penyebutan "enam" ).
BAB.IVPENUTUP
4.1 KesimpulanKesimpulan yang dapat diambil bahwa keanekragaman suku yang ada di
Indonesia itu beragam. Perbedaan ras termasuk ke dalam diferensasi sosial, sehingga tidak ada ras yang lebih tinggi kedudukannya di suatu tempat. Jadi, sudah sebaiknya tidak terjadi konflik sosial yang timbul atas dasar primordialisme. Selain itu kita sebagai warga negara indonesia harus tetap menjaga dan melestarikan budaya bangsa indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Citra
Amri Marzali, 2009. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Kencana
Miriam Budiarjo, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
2011, ( http://id.wikipedia.org/wiki/Nias. Diakses tanggal 15 Desember 2012 jam
18:00)
Garang. 2007. Membangun Harapan Menapaki Masa Depan (Studi tentang
Perubahan Sosial dan Kultural). Jakarta: YTBI.
TUGAS 2 PELANGGARAN ETIKA DAN ETIKET
Pelanggaran etika
1. Lupa mengembalikan barang yang dipinjam kepada seseorang walupun orang tersebut telah lupa
2. Mencuri3. Berbohong4. Membunuh5. Membunuh6. Bersifat munafik7. Tidak berkata dan berbuat jujur8. Tidak menghargai hak orang lain9. Tidak menghormati orangtua dan guru10. Tidak membela kebenaran dan keadilan11. Tidak menyantuni anak yatim/piatu12. Memperkosa
13. Orang yang berhubungan intim di tempat umum14. Tidak meludah di sembarang tempat15. Melecehkan wanita atau laki-laki di depan orang16. Berbicara dengan suara lantang (membentak) kepada orang tua17. Mengucap “permisi” ketika kita melewati tempat umum atau
melewati seseorang didepannya.18. Tidak Menutup mulut dengan tangan ketika menguap19. Ketika ada orang yang mengajak berbicara kita harus
mendengarkan dan memperhatikannya20. Menghormati orang yang sedang beribadah
21. Membeda-bedakan teman22. Mengkonsumsi narkoba23. Berpakaian tidak pantas
Pelanggaran etiket
1. Di indonesia menyerahkan sesuatu dengan tangan kiri2. Penipu
3. seseorang menaruh kakinya di atas meja sementara ia duduk di atas kursi dan orang lain sama-sama duduk dengannya
4. tidak Menjabat tangan seseorang yang kita sudah kenal atau akan kita kenal pada saat berjumpa
5. tidak Mengucapkan ‘terima kasih’ kepada orang lain yang memberikan sesuatu
6. Sebagai anggota dewan, sang pejabat tersebut melakukan korupsi.7. Menyalahgunakan jabatan hanya untuk mendapatkan kenikmatan diri
sendiri.8. Seorang akuntan yang bekerja tidak sesuai dengan pedoman kode etik
profesi akuntan publik.9. Bersikap tidak adil sebagai seorang pengacara.10. Sekretaris dalam melayani tamunya tidak bersikap sopan dan ramah, tidak
menunjukkan muka yang manis11. Sekretaris tidak berpakaian rapi dan sopan12. Bila anda diundang oleh atasan anda untuk makan bersama, tidak menggunakan
sendok13. Seorang guru yang tidak mengajar dengan baik14. Kentut di khalayak ramai15. Memberi sesuatu dengan tangan kiri16. Membuang muka17. Membuang sampah sembarangan18. Membanting benda di depan orang19. Tidur ketika dosen mengajar20. Ribut dikelas waktu belajar
top related