Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Campak dalam sejarah anak telah dikenal sebagai pembunuh terbesar,
meskipun adanya vaksin telah dikembangkan lebih dari 30 tahun yang lalu, virus
campak ini menyerang 50 juta orang setiap tahun dan menyebabkan lebih dari 1 juta
kematian. Campak merupakan penyakit endemik pada sebagian besar penduduk
dunia. Insiden terbanyak berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas penyakit
campak yaitu pada negara berkembang, meskipun masih mengenai beberapa negara
maju seperti Amerika Serikat. Sekarang di Amerika Serikat, campak terjadi paling
sering pada anak umur sekolah yang belum di imunisasi dan pada remaja dan orang
dewasa muda yang telah di imunisasi
Campak adalah salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan
imunisasi dan masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Penyakit ini umumnya
menyerang anak umur di bawah lima tahun (Balita) akan tetapi campak bisa
menyerang semua umur. Campak telah banyak diteliti, namun masih banyak terdapat
perbedaan pendapat dalam penanganannya. Imunisasi yang tepat pada waktunya dan
penanganan sedini mungkin akan mengurangi komplikasi penyakit ini.
Campak adalah penyakit infeksi virus akut, menular yang ditandai dengan tiga
stadium, yaitu stadium kataral, stadium erupsi, dan stadium konvalesensi. Nama lain
penyakit ini adalah campak, measles, atau rubeola. Penularan terjadi secara droplet
dan kontak langsung dengan pasien. Virus morbili terdapat dalam sekret nasofaring
dan darah selama stadium kataral sampai 24 jam setelah timbul bercak di kulit.
Banyak kesamaan antara tanda-tanda biologis campak dan cacar memberi
kesan kemungkinan bahwa campak dapat diberantas. Tanda-tanda ini adalah ruam
khas, tidak ada reservoir binatang, tidak ada vektor, kejadian musiman dengan masa
bebas penyakit, virus laten tidak dapat ditularkan, satu serotip dan vaksin efektif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan rubeola
(bahasa Latin), yang kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan nama
masern, dalam bahasa Islandia dikenal dengan nama mislingar dan measles dalam
bahasa Inggris. Campak adalah penyakit infeksi yang sangat menular yang
disebabkan oleh virus jenis paramixovirus, dengan gejala-gejala eksantem akut,
demam, kadang kataral selaput lendir dan saluran pernapasan, gejala-gejala mata,
kemudian diikuti erupsi makulopapula yang berwarna merah dan diakhiri dengan
deskuamasi dari kulit. Sering menyerang anak-anak. Penyakit ini ditularkan dari
orang ke orang melalui percikan liur (droplet) yang terhirup
Campak adalah suatu penyakit infeksi virus aktif menular, ditandai oleh
tiga stadium : 1. stadium inkubasi atau kataral sekitar 10-12 hari dengan sedikit,
jika ada, tanda-tanda atau gejala-gejala, 2. stadium prodromal dengan enantem
(bercak koplik) pada mukosa bukal dan faring, demam ringan sampai sedang,
konjungtivitis ringan, koryza, dan batuk yang semakin berat, dan 3. stadium akhir
atau konvalesen dengan ruam makuler yang muncul berturut-turut pada leher dan
muka, tubuh, lengan dan kaki dan disertai oleh demam tinggi.
Campak, juga dikenal sebagai rubeola, merupakan salah satu penyakit
menular yang paling menular, dengan setidaknya 90% tingkat infeksi sekunder
dalam kontak domestik rentan. Hal ini dapat mempengaruhi orang dari segala
usia, meskipun dianggap terutama penyakit masa kanak-kanak. Campak ditandai
dengan demam prodromal, batuk, coryza, konjungtivitis, dan patognomonik
enanthem (yaitu, bintik Koplik), diikuti oleh ruam makulopapular eritematosa
pada ketiga untuk hari ketujuh. Infeksi menganugerahkan kekebalan seumur
hidup.
Sebuah imunosupresi umum yang mengikuti campak akut sering predisposisi
pasien untuk otitis media bakteri dan bronkopneumonia. Di sekitar 0,1% dari
kasus, campak menyebabkan ensefalitis akut. Subakut sclerosing panencephalitis
(SSPE) adalah penyakit degeneratif yang langka kronis yang terjadi beberapa
tahun setelah infeksi campak.
Setelah vaksin campak efektif diperkenalkan pada tahun 1963, insidensi
campak menurun secara signifikan. Namun demikian, campak tetap penyakit
yang umum di daerah tertentu dan terus account untuk hampir 50% dari 1,6 juta
kematian disebabkan setiap tahun oleh dicegah dengan vaksin penyakit anak.
Kejadian campak di Amerika Serikat dan seluruh dunia meningkat, dengan wabah
dilaporkan terutama di populasi dengan tingkat vaksinasi yang rendah.
Antibodi ibu memainkan peran penting dalam perlindungan terhadap
infeksi pada bayi kurang dari 1 tahun dan dapat mengganggu hidup yang
dilemahkan vaksinasi campak. Sebuah dosis tunggal vaksin campak diberikan
pada anak yang lebih tua dari 12 bulan menginduksi kekebalan protektif pada
95% dari penerima. Karena virus campak sangat menular, populasi rentan 5%
sudah cukup untuk mempertahankan wabah periodik pada populasi lain yang
sangat divaksinasi.
Dosis kedua vaksin, sekarang direkomendasikan untuk semua anak usia
sekolah di Amerika Serikat menginduksi kekebalan pada sekitar 95% dari 5%
yang tidak merespon terhadap dosis pertama. Variasi genotipik sedikit baru-baru
ini strain beredar tidak mempengaruhi efektivitas perlindungan vaksin hidup yang
dilemahkan campak.
Kebenarannya yang menunjukkan hubungan antara vaksin campak dan
autisme telah mengakibatkan menggunakan vaksin berkurang dan berkontribusi
terhadap kebangkitan baru-baru ini campak di negara-negara dimana tingkat
imunisasi telah jatuh di bawah tingkat yang diperlukan untuk mempertahankan
kekebalan kawanan.
Menimbang bahwa untuk negara-negara industri seperti Amerika Serikat,
transmisi endemik campak dapat dibangun kembali jika kekebalan campak jatuh
kurang dari 93-95%, upaya untuk memastikan tingkat imunisasi yang tinggi
antara orang-orang di kedua negara maju dan berkembang harus dipertahankan.
Perawatan suportif biasanya semua yang diperlukan untuk pasien dengan
campak. Suplementasi vitamin A pada campak akut secara signifikan mengurangi
risiko morbiditas dan mortalitas.
B. ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh golongan paramyxovirus yaitu measles virus
yang merupakan virus RNA dari famili paramyxoviridae, genus morbillivirus.
Hanya satu tipe antigen yang diketahui. Selama masa prodromal dan selama
waktu singkat sesudah ruam tampak, virus ditemukan dalam sekresi nasofaring,
darah dan urin. Virus campak sangat sensitif terhadap temperatur sehingga virus
ini menjadi tidak aktif pada suhu 37 derajat Celcius atau bila dimasukkan ke
dalam lemari es selama beberapa jam. Dengan pembekuan lambat maka
infektivitasnya akan hilang. Virus dapat tetap aktif selama sekurang-kurangnya 34
jam dalam suhu kamar.
Virus campak dapat diisolasi dalam biakan embrio manusia atau jaringan
ginjal kera rhesus. Perubahan sitopatik, tampak dalam 5-10 hari, terdiri dari sel
raksasa multinukleus dengan inklusi intranuklear. Antibodi dalam sirkulasi dapat
dideteksi bila ruam muncul. Penyebaran virus maksimal adalah melalui percikan
ludah (droplet) dari mulut selama masa prodormal (stadium kataral). Penularan
terhadap penderita rentan sering terjadi sebelum diagnosis kasus aslinya. Orang
yang terinfeksi menjadi menular pada hari ke 9-10 sesudah pemajanan, pada
beberapa keadaan dapat menularkan hari ke 7. Tindakan pencegahan dengan
melakukan isolasi terutama di rumah sakit atau institusi lain, harus dipertahankan
dari hari ke 7 sesudah pemajanan sampai hari ke 5 sesudah ruam muncul.
Penyebab campak adalah measles virus (MV), genus virus morbili, famili
paramyxoviridae. Virus ini menjadi tidak aktif bila terkena panas, sinar, pH asam,
ether, dan trypsin dan hanya bertahan kurang dari 2 jam di udara terbuka. Virus
campak ditularkan lewat droplet, menempel dan berbiak pada epitel nasofaring.
Virus ini masuk melalui saluran pernafasan terutama bagian atas, juga
kemungkinan melalui kelenjar air mata. Dua sampai tiga hari setelah invasi,
replikasi dan kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe regional dan terjadi viremia
yang pertama. Virus menyebar pada semua sistem retikuloendotelial dan
menyusul viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya giant cells dan
proses keradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronchial
paru. Juga terdapat udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak.
Kolonisasi dan penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata
merah (3 C : coryza, cough and conjuctivitis) dan demam yang makin lama makin
tinggi. Gejala panas, batuk, pilek makin lama makin berat dan pada hari ke 10
sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak dengan sumber infeksi) mulai
timbul ruam makulopapuler warna kemerahan. Virus dapat berbiak juga pada
susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik encefalitis. Setelah masa
konvelesen pada turun dan hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam
menjadi makin gelap, berubah menjadi desquamasi dan hiperpigmentasi. Proses
ini disebabkan karena pada awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan
infiltrasi limfosit. (2)
Faktor risiko untuk infeksi virus campak meliputi:
1. Anak-anak dengan imunodefisiensi terkait HIV atau AIDS, leukemia,
alkylating agen, atau kortikosteroid immunodeficiency, tanpa melihat status
imunisasi
2. Perjalanan ke daerah di mana campak adalah endemik atau kontak dengan
wisatawan di daerah endemik
3. Bayi yang kehilangan antibodi pasif sebelum usia imunisasi rutin
Faktor risiko untuk campak berat dan komplikasinya meliputi:
1. Malnutrisi
2. Underlying imunodefisiensiensi
3. Kehamilan
4. Defisiensi vitamin A
C. EPIDEMIOLOGI CAMPAK
Biasanya penyakit ini timbul pada masa anak dan kemudian menyebabkan
kekebalan seumur hidup. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pernah menderita
morbili akan mendapatkan kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai umur
4-6 bulan dan setelah umur tersebut kekebalan akan menurun sehingga si bayi
dapat menderita morbili. Bila si ibu belum pernah menderita dan kemudian
menderita morbili ketika hamil usia kandungan 1 atau 2 bulan, maka 50%
kemungkinan akan mengalami abortus, bila ia menderita morbili pada trimester
kedua atau ketiga maka ia mungkin melahirkan seorang anak dengan kelainan
bawaan atau seorang anak dengan berat badan lahir rendah atau lahir mati atau
anaknya kemudian meninggal sebelum usia 1 tahun.
Distribusi dan frekuensi Penyakit Campak
1. Menurut Orang
Campak adalah penyakit yang sangat menular yang dapat menginfeksi
anak-anak pada usia dibawah 15 bulan, anak usia sekolah atau remaja dan
kadang kala orang dewasa. Campak endemis di masyarakat metropolitan dan
mencapai proporsi untuk menjadi epidemi setiap 2-4 tahun ketika terdapat 30-
40% anak yang rentan atau belum mendapat vaksinasi. Pada kelompok dan
masyarakat yang lebih kecil, epidemi cenderung terjadi lebih luas dan lebih
berat. Setiap orang yang telah terkena campak akan memiliki imunitas seumur
hidup.
2. Menurut Tempat
Penyakit campak dapat terjadi dimana saja kecuali di daerah yang
sangat terpencil. Vaksinasi telah menurunkan insiden morbili tetapi upaya
eradikasi belum dapat direalisasikan. Di Amerika Serikat pernah ada
peningkatan insidensi campak pada tahun 1989-1991. Kebanyakan kasus
terjadi pada anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi, termasuk anak-
anak di bawah umur 15 bulan. Di Afrika dan Asia, campak masih dapat
menginfeksi sekitar 30 juta orang setiap tahunnya dengan tingkat kefatalan
900.000 kematian.
Berdasarkan data yang dilaporkan ke WHO, terdapat sekitar 1.141
kasus campak di Afganistan pada tahun 2007. Di Myanmar tercatat sebanyak
735 kasus campak pada tahun 2006.
3. Menurut Waktu
Virus penyebab campak mengalami keadaan yang paling stabil pada
kelembaban dibawah 40%. Udara yang kering menimbulkan efek yang positif
pada virus dan meningkatkan penyebaran di rumah yang memiliki alat
penghangat ruangan seperti pada musim dingin di daerah utara. Sama halnya
dengan udara pada musim kemarau di Persia atau Afrika yang memiliki
insiden kejadian campak yang relatif tinggi pada musim-musim tersebut.
Bagaimanapun, kejadian campak akan meningkat karena kecenderungan
manusia untuk berkumpul pada musim-musim yang kurang baik tersebut
sehingga efek dari iklim menjadi tidak langsung dikarenakan kebiasaan
manusia.
Kebanyakan kasus campak terjadi pada akhir musim dingin dan awal
musim semi di negara dengan empat musim dengan puncak kasus terjadi pada
bulan Maret dan April. Lain halnya dengan di negara tropis dimana
kebanyakan kasus terjadi pada musim panas. Ketika virus menginfeksi
populasi yang belum mendapatkan kekebalan atau vaksinasi maka 90-100%
akan menjadi sakit dan menunjukkan gejala klinis.
D. PATOFISIOLOGI
Campak ditularkan melalui penyebaran droplet, kontak langsung, melalui
sekret hidung atau tenggorokan dari orang yang terinfeksi. Masa penularan
berlangsung mulai dari hari pertama sebelum munculnya gejala prodormal
biasanya sekitar 4 hari sebelum timbulnya ruam, minimal hari kedua setelah
timbulnya ruam.
Lesi campak terdapat di kulit, membran mukosa nasofaring, bronkus, dan
saluran cerna dan pada konjungtiva. Eksudat serosa dan proliferasi sel
mononuklear dan beberapa sel polimorfonuklear terjadi disekitar kapiler. Ada
hiperplasi limfonodi, terutama pada apendiks. Pada kulit, reaksi terutama
menonjol sekitar kelenjar sebasea dan folikel rambut. Bercak koplik pada mukosa
bukal pipi berhadapan dengan molar II terdiri dari eksudat serosa dan proliferasi
sel endotel serupa dengan bercak pada lesi kulit. Bronkopneumonia dapat
disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder. Pada kasus ensefalomielitis yang
mematikan, terjadi demielinisasi pada daerah otak dan medulla spinalis. Pada
SSPE (Subacute Sclerosing Panencephalitis) dapat terjadi degenerasi korteks dan
substansia alba. (3)
Di kulit, reaksi terutama disekitar kelenjar sebasea dan folikel rambut.
Bercak koplik terdiri dari eksudat serosa dan proliferasi sel endotel serupa dengan
bercak pada lesi kulit. Reaksi radang menyeluruh pada mukosa bukal dan faring
meluas kedalam jaringan limfoid dan membran mukosa trakeobronkial.
Pneumonitis interstisial akibat dari virus campak berupa pneumonia sel raksasa
Hecht. Bronkopneumoni dapat disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder.
Tabel 1. Patogenesis infeksi campak tanpa penyulit
Hari Manifestasi
0 Virus campak dalam droplet kontak dengan permukaan epitel nasofaring
atau kemungkinan konjungtiva
Infeksi pada sel epitel dan multiplikasi virus
1-2 Penyebaran infeksi ke jaringan limfatik regional
2-3 Viremia primer
3-5 Multiplikasi virus campak pada epitel saluran nafas di tempat infeksi
pertama, dan pada RES regional maupun daerah yang jauh
5-7 Viremia sekunder
7-11 Manifestasi pada kulit dan tempat lain yang bervirus, termasuk saluran
nafas
11-14 Virus pada darah, saluran nafas dan organ lain
15-17 Viremia berkurang lalu hilang, virus pada organ menghilang
E. MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi sekitar 10-12 hari jika gejala-gejala prodromal pertama
dipilih sebagai waktu mulai, atau sekitar 14 hari jika munculnya ruam yang
dipilih, jarang masa inkubasi dapat sependek 6-10 hari. Kenaikan ringan pada
suhu dapat terjadi 9-10 hari dari hari infeksi dan kemudian menurun selama
sekitar 24 jam.
Penyakit ini dibagi dalam 3 stadium:
1. Stadium Kataral (Prodormal)
Biasanya stadium ini berlangsung selama 4- 5 hari disertai panas
(38,5ºC), malaise, batuk, nasofaringitis, fotofobia, konjungtivitis dan koriza.
Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul enantema, timbul
bercak koplik yang patognomonik bagi morbili, tetapi sangat jarang dijumpai.
Bercak koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh
eritema. Lokalisasinya di mukosa bukalis berhadapan dengan molar bawah.
Jarang ditemukan di bibir bawah tengah atau palatum. Kadang-kadang
terdapat makula halus yang kemudian menghilang sebelum stadium erupsi.
Gambaran darah tepi ialah limfositosis dan leukopenia. Secara klinis,
gambaran penyakit menyerupai influenza dan sering didiagnosis sebagai
influenza. Diagnosis perkiraan yang besar dapat dibuat bila ada bercak koplik
dan penderita pernah kontak dengan penderita morbili dalam waktu 2 minggu
terakhir.
Koplik spot
Measles Conjungtivitis
2. Stadium Erupsi
Koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul enantema atau titik merah
di palatum durum dan palatum mole. Kadang-kadang terlihat pula bercak
koplik. Terjadinya eritema yang berbentuk makula-papula disertai menaiknya
suhu badan. Diantara makula terdapat kulit yang normal. Mula-mula eritema
timbul dibelakang telinga, di bagian atas lateral tengkuk, sepanjang rambut
dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat perdarahan ringan pada
kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam mencapai anggota bawah pada hari
ketiga dan akan menghilang dengan urutan seperti terjadinya. Terdapat
pembesaran kelenjar getah bening di sudut mandibula dan di daerah leher
belakang. Terdapat pula sedikit splenomegali. Tidak jarang disertai diare dan
muntah. Variasi dari morbili yang biasa ini adalah “black measles”, yaitu
morbili yang disertai perdarahan pada kulit, mulut, hidung dan traktus
digestivus.
Morbiliform rash
3. Stadium Konvalesensi
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua
(hiperpigmentasi) yang lama-kelamaan akan hilang sendiri. Selain
hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang
bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan gejala patognomonik untuk morbili.
Pada penyakit-penyakit lain dengan eritema dan eksantema ruam kulit
menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai menjadi normal
kecuali bila ada komplikasi.
Diagnosis didasarkan atas gejala dan tanda sebagai berikut:
Anamnesis :
1. Anak dengan panas 3-5 hari (biasanya tinggi, mendadak), batuk, pilek harus
dicurigai atau di diagnosis banding morbili.
2. Mata merah, tahi mata, fotofobia, menambah kecurigaan.
3. Dapat disertai diare dan muntah.
4. Dapat disertai dengan gejala perdarahan (pada kasus yang berat) : epistaksis,
petekie, ekimosis.
5. Anak resiko tinggi adalah bila kontak dengan penderita morbili (1 atau 2
minggu sebelumnya) dan belum pernah vaksinasi campak.
Pemeriksaan fisik :
1. Pada stadium kataral manifestasi yang tampak mungkin hanya demam
(biasanya tinggi) dan tanda-tanda nasofaringitis dan konjungtivitis
2. Pada umunya anak tampak lemah.
3. Koplik spot pada hari ke 2-3 panas (akhir stadium kataral).
4. Pada stadium erupsi timbul ruam (rash) yang khas : ruam makulopapular yang
munculnya mulai dari belakang telinga, mengikuti pertumbuhan rambut di
dahi, muka, dan kemudian seluruh tubuh.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan darah didapatkan jumlah leukosit normal atau
meningkat apabila ada komplikasi infeksi bakteri. Pemeriksaan antibodi IgM
merupakan cara tercepat untuk memastikan adanya infeksi campak akut. Karena
IgM mungkin belum dapat dideteksi pada 2 hari pertama munculnya rash, maka
untuk mengambil darah pemeriksaan IgM dilakukan pada hari ketiga untuk
menghindari adanya false negative. Titer IgM mulai sulit diukur pada 4 minggu
setelah muncul rash. Sedangkan IgG antibodi dapat dideteksi 4 hari setelah rash
muncul, terbanyak IgG dapat dideteksi 1 minggu setelah onset sampai 3 minggu
setelah onset. IgG masih dapat ditemukan sampai beberapa tahun kemudian.
Virus measles dapat diisolasi dari urine, nasofaringeal aspirat, darah yang diberi
heparin, dan swab tenggorok selama masa prodromal sampai 24 jam setelah
timbul bercak-bercak. Virus dapat tetap aktif selama sekurang-kurangnya 34 jam
dalam suhu kamar.
G. DIAGNOSIS BANDING
1. German Measles.
Penyebab rubella atau campak Jerman adalah virus rubella. Meski virus
penyebabnya berbeda, namun rubella dan campak (rubeola) mempunyai
beberapa persamaan. Rubella dan campak merupakan infeksi yang
menyebabkan kemerahan pada kulit pada penderitanya.
Perbedaannya, rubella atau campak Jerman tidak terlalu menular
dibandingkan campak yang cepat sekali penularannya. Penularan rubella dari
penderitanya ke orang lain terjadi melalui percikan ludah ketika batuk, bersin
dan udara yang terkontaminasi. Virus ini cepat menular, penularan dapat
terjadi sepekan (1 minggu) sebelum timbul bintik-bintik merah pada kulit si
penderita, sampai lebih kurang sepekan setelah bintik tersebut menghilang.
Namun bila seseorang tertular, gejala penyakit tidak langsung tampak. Gejala
baru timbul kira-kira 14 – 21 hari kemudian. Selain itu, campak lebih lama
proses penyembuhannya sementara rubella hanya 3 hari, karena itu pula
rubella sering disebut campak 3 hari.
Pada penyakit ini tidak ada bercak koplik, tetapi ada pembesaran kelenjar di
daerah suboksipital, servikal bagian posterior, belakang telinga.
2. Eksantema Subitum
Ruam akan muncul bila suhu badan menjadi normal. Rubeola infantum
(eksantema subitum) dibedakan dari campak dimana ruam dari roseola
infantum tampak ketika demam menghilang. Ruam rubella dan infeksi
enterovirus cenderung untuk kurang mencolok daripada ruam campak,
sebagaimana tingkat demam dan keparahan penyakit. Walaupun batuk ada
pada banyak infeksi ricketsia, ruam biasanya tidak melibatkan muka, yang
pada campak khas terlibat. Tidak adanya batuk atau riwayat injeksi serum
atau pemberian obat biasanya membantu mengenali penyakit serum atau
ruam karena obat. Meningokoksemia dapat disertai dengan ruam yang agak
serupa dengan ruam campak, tetapi batuk dan konjungtivitis biasanya tidak
ada. Pada meningokoksemia akut ruam khas purpura petekie. Ruam papuler
halus difus pada demam skarlet dengan susunan daging angsa di atas dasar
eritematosa relatif mudah dibedakan.
H. KOMPLIKASI
Bila ada, berupa komplikasi segera :
1. Trakeobronkitis dan laringotrakeitis biasanya telah ada, merupakan sebagian
dari manifestasi morbili.
2. Otitis media merupakan komplikasi paling sering terjadi, harus dicurigai bila
demam tetap tinggi pada hari ketiga atau keempat sakit.
3. Bronkopneumonia / bronkiolitis oleh virus morbili sendiri atau infeksi
sekunder (oleh pneumokokus, hemofilus influenzae) dengan gejala batuk
menghebat, timbul sesak nafas.
Dapat disebabkan oleh virus morbilia atau oleh Pneuomococcus,
Streptococcus, Staphylococcus. Bronkopneumonia ini dapat menyebabkan
kematian bayi yang masih muda, anak dengan malnutrisi energi protein,
penderita penyakit menahun misalnya tuberkulosis, leukemia dan lain-lain.
4. Aktivasi tuberkulosis laten.
5. Kebutaan
Terjadi karena virus campak mempercepat episode defisiensi vitamin
A yang akhirnya dapat menyebabkan xeropthalmia atau kebutaan.
6. Ensefalitis
Dapat terjadi sebagai komplikasi pada anak yang sedang menderita
campak atau dalam satu bulan setelah mendapat imunisasi dengan vaksin
virus campak hidup, pada penderita yang sedang mendapat pengobatan
imunosupresif dan sebagai Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE).
Angka kejadian ensefalitis setelah infeksi campak adalah 1 : 1.000 kasus,
sedangkan ensefalitis setelah vaksinasi dengan virus campak hidup adalah
1,16 tiap 1.000.000 dosis.
SSPE jarang terjadi hanya sekitar 1 per 100.000 dan terjadi beberapa
tahun setelah infeksi dimana lebih dari 50% kasus-kasus SSPE pernah
menderita campak pada 2 tahun pertama umur kehidupan. Penyebabnya tidak
jelas tetapi ada bukti-bukti bahwa virus campak memegang peranan dalam
patogenesisnya. SSPE yang terjadi setelah vaksinasi campak didapatkan kira-
kira 3 tahun kemudian.
7. Lain-lain (jarang) : miokarditis, tromboflebitis, sindrom Guillain-Barre, dan
lain-lain.
I. PENATALAKSANAAN
Terapi pada campak bersifat suportif, terdiri dari:
1. Pemberian cairan yang cukup, misal air putih, jus buah segar, teh, dll untuk
mengembalikan cairan tubuh yang hilang karena panas dan berkeringat karena
demam.
2. Kalori yang sesuai dan jenis makanan yang disesuaikan dengan tingkat
kesadaran dan adanya komplikasi
3. Suplemen nutrisi
4. Antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder
5. Anti konvulsi apabila terjadi kejang
6. Anti piretik bila demam, yaitu non-aspirin misal acetaminophen.
7. Pemberian vitamin A
Terapi vitamin A untuk anak-anak dengan campak di negara-negara
berkembang terbukti berhubungan dengan penurunan angka kejadian
morbiditas dan mortalitas.
Dosis 6 bulan – 1 tahun : 100.000 IU per oral sebagai dosis tunggal
1 tahun : 200.000 IU per oral sebagai dosis tunggal
Ulangi dosis hari berikutnya dan minggu ke-4 bila didapatkan keluhan
oftalmologi sehubungan dengan defisiensi vitamin A
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan pemberian vitamin A
untuk semua anak dengan campak akut, terlepas dari negara mereka tinggal.
Dari catatan, konsentrasi serum rendah vitamin A yang ditemukan pada anak
dengan campak yang parah di Amerika Serikat. Jadi, dirokemdasikan dua
dosis vitamin A yang diberikan 24 jam terpisah. Dosis spesifik harus
diberikan 2 sampai 4 minggu kemudian untuk anak-anak dengan tanda-tanda
klinis dan gejala kekurangan vitamin A..
8. Antivirus
Antivirus seperti ribavirin (dosis 20-35 mg/kgBB/hari i.v) telah dibuktikan
secara in vitro terbukti bermanfaat untuk penatalaksanaan penderita campak
berat dan penderita dewasa yang immunocompromissed. Namun penggunaan
ribavirin ini masih dalam tahap penelitian dan belum digunakan untuk
penderita anak.
9. Pengobatan komplikasi
Simtomatik yaitu antipiretika bila suhu tinggi, sedativum, obat batuk, dan
memperbaiki keadaan umum. Tindakan yang lain ialah pengobatan segera
terhadap komplikasi yang timbul:
1. Istirahat.
2. Pemberian makanan atau cairan yang cukup dan bergizi..
3. Medikamentosa :
a. Antipiretik : parasetamol 7,5 – 10 mg/kgBB/kali, interval 6-8 jam.
b. Ekspektoran : gliseril guaiakolat anak 6-12 tahun : 50 – 100 mg tiap 2-6
jam, dosis maksimum 600 mg/hari.
c. Antitusif perlu diberikan bila batuknya hebat/mengganggu, narcotic
antitussive (codein) tidak boleh digunakan.
d. Mukolitik bila perlu.
e. Vitamin terutama vitamin A dan C. Vitamin A pada stadium kataral
sangat bermanfaat.
J. PROGNOSIS
Baik pada anak dengan keadaan umum yang baik, tetapi prognosis buruk
bila keadaan umum buruk, anak yang sedang menderita penyakit kronis atau bila
ada komplikasi.
Prognosis untuk campak umumnya baik, dengan infeksi hanya kadang-
kadang menjadi fatal. CDC melaporkan tingkat kematian anak dari infeksi
campak di Amerika Serikat untuk menjadi 0,1-0,2%. Namun, banyak komplikasi
dan gejala sisa dapat muncul, dan campak merupakan penyebab utama kebutaan
pada anak di negara berkembang.
Secara global, campak tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian
pada anak-anak. Menurut CDC, campak menyebabkan 197.000 kematian
diperkirakan seluruh dunia pada 2007. Sebuah penelitian memperkirakan 85%
dari kematian ini terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Dari 2000-2007, kematian
di seluruh dunia turun 74% (197.000 dari perkiraan 750.000), berkat kemitraan
beberapa organisasi global.
Kasus fatalitas tingkatanya lebih tinggi pada anak di bawah 5 tahun.
Tingkat kematian tertinggi di antara bayi usia 4-12 bulan dan pada anak-anak
yang immunocompromised karena human immunodeficiency virus (HIV) infeksi
atau penyebab lain.
Komplikasi campak lebih mungkin terjadi pada orang muda dari 5 tahun
atau lebih tua dari 20 tahun, dan morbiditas dan mortalitas meningkat pada orang
dengan gangguan defisiensi imun, malnutrisi, defisiensi vitamin A, dan vaksinasi
tidak memadai.
Croup, ensefalitis, dan pneumonia adalah penyebab kematian yang paling
umum yang berhubungan dengan campak. Campak ensefalitis, suatu komplikasi
yang jarang namun serius, memiliki tingkat kematian 10%
K. PENCEGAHAN
1. Pencegahan Tingkat Awal (Premordial Prevention)
Pencegahan tingkat awal berhubungan dengan keadaan penyakit yang
masih dalam tahap prepatogenesis atau penyakit belum tampak yang dapat
dilakukan dengan memantapkan status kesehatan balita dengan memberikan
makanan bergizi sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh
2. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mencegah seseorang
terkena penyakit campak, yaitu:
a. Memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya
pelaksanaan imunisasi campak untuk semua bayi.
b. Imunisasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan, yang diberikan
pada semua anak berumur 9 bulan sangat dianjurkan karena dapat
melindungi sampai jangka waktu 4-5 tahun.
3. Pencegahan Tinkat Kedua (Secondary Prevention)
Pencegahan tingkat kedua ditujukan untuk mendeteksi penyakit sedini
mungkin untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Dengan demikian
pencegahan ini sekurang-kurangnya dapat menghambat atau memperlambat
progrefisitas penyakit, mencegah komplikasi, dan membatasi kemungkinan
kecatatan, yaitu :
4. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Imunisasi aktif : ini dilakukan dengan menggunakan strain Schwarz dan
Moraten. Vaksin tersebut diberikan secara subkutan dan menyebabkan
imunitas yang berlangsung lama. Pencegahan juga dengan imunisasi pasif.
L. IMUNISASI CAMPAK
1. Imunisasi Aktif
Termasuk dalam Program Imunisasi Nasional. Dianjurkan pemberian vaksin
campak dengan dosis 1000 TCID50 atau sebanyak 0,5 ml secara subkutan pada
usia 9 bulan. Imunisasi ulangan diberikan pada usia 6-7 tahun melalui
program BIAS.
2. Imunisasi Pasif (Imunoglobulin)
Indikasi
a. Anak usia > 12 bulan dengan immunocompromised belum mendapat
imunisasi, kontak dengan pasien campak, dan vaksin MMR merupakan
kontraindikasi.
b. Bayi berusia < 12 bulan yang terpapar langsung dengan pasien campak
mempunyai resiko yang tinggi untuk berkembangnya komplikasi penyakit
ini, maka harus diberikan imunoglobulin sesegera mungkin dalam waktu 7
hari paparan. Setelah itu vaksin MMR diberikan sesegera mungkin sampai
usia 12 bulan, dengan interval 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin.
Dosis anak : 0,2 ml/kgBB IM pada anak sehat
0,5 ml/kgBB untuk pasien dengan HIV maksimal 15 ml/dose
IM.
Sebuah penelitian di China pada tahun 2010 menunjukkan bahwa bayi
yang lahir dari ibu yang mendapat kekebalan terhadap campak dengan
vaksinasi memiliki jumlah antibodi terhadap campak yang relatif lebih kecil
dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang sebelumnya pernah
menderita sakit campak. Hal ini mengakibatkan hilangnya kekebalan terhadap
campak sebelum usia vaksinasi. Hal yang mungkin dapat dilakukan adalah
dengan memberi vaksin campak pada wanita sebelum hamil sehingga bayinya
kelak akan mendapatkan lebih banyak IgG campak secara maternal dan
memiliki durasi perlindungan terhadap campak lebih lama. (1)
Vaksin Measles, Mumps, Rubella (MMR)
Vaksin MMR adalah campuran dari tiga jenis virus yang dilemahkan
yang disuntik untuk imunisasi melawan demam campak, beguk dan rubela.
MMR umumnya diberikan kepada anak-anak yang berumur 1 tahun dengan
dosis penguat diberikan sebelum memasuki umur sekolah (sekitar umur 4 atau
5). Di Amerika Serikat, vaksin MMR diijinkan pada tahun 1963 dan
penguatnya dimulai pada pertengahan tahun 1990-an. Vaksin MMR
digunakan secara luas di seluruh dunia sejak diperkenalkan pada awal 1970-
an.
Kebanyakan anak mendapatkan imunisasi measles (campak), mumpus
(gelondongan), dan Rubella (campak jerman) sekaligus dalam satu suntikan
yaitu MMR. Ketiga vaksin ini bekerja dengan baik, dan akan melindungi
sebagian besar anak seumur hidupnya. Anak sebaiknya mendapatkan 2 kali
vaksin MMR. Dosis pertama diberikan diantara usia 12 – 15 bulan, sedang
dosis kedua dapat diberikan pada usia 4 -6 tahun sebelum anak masuk SD.
Apabila ketika terjadi wabah, vaksin MMR dapat diberikan sebelimberusia 1
tahun. Ini diberikan sebagai pencegahan jangka pendek saja, nantinya tetap
harus diberikan 2 dosis vaksin ini pada jadwal seperti disebutkan diatas.
Efek samping imunisasi MMR dapet berupa demam dan bercak
kemerahan yang timbul sekitar 1-2 minggu setelah imunisasi. Reaksi ini akan
menghilang dalam beberapa hari. Kejang demam kadang dapat terjadi pada
anak yang diberikan imunisasi MMR. Anak yang diketahui alergi berat
terhadap gelatin atau neomycin antibiotik tidak boleh diberikan imunisasi
MMR. Demikian juga anak yang mempunyai reaksi alergi berat setelah vaksin
MMR tidak boleh diberikan vaksin MMR ulangan. Anak yang kekebalan
tubuhnya ditekan (karena mempunyai penyakit seperti kanker atau infeksi
HIV, atau pengobatan semacam steroid) sebaiknya dievaluasi oleh dokter
sebelum diberikan vaksin MMR. Anak yang baru mandapatkan transfusi atau
produk darahlainnya sebaiknya menunggu beberapa bulan sebelum
mendapatkan MMR.
Hubungan MMR dengan Autisme
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasive pada anak yang
ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif,
bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi social. Perdebatan yang terjadi
akhir-akhr ini berkisar pada gan autism dengan imunisasi MMR. Banyak
orang tua menolak imunisasi karena mendapatkan informasi bahwa imunisasi
MMR dapat menyebabkan autisme. Akibatnya anak tidak mendtrapatkan
perlindungan imunisasi untuk menghindari penyakit-penyakit yang lebih
berbahaya, Difteri, Tetanus, pertusis, TBC dan sebagainya. Banyak penelitian
yang dilakukan secara luas ternyata membuktikan bahwa autisme tidak
berkaitan dengan imunisasi MMR. Tetapi memang terdapat penelitian yang
menunjukkan bahwa autisme dan imunisasi MMR berhubungan.
Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah
penyakit Campak, Mumps, dan rubella. Pemberian vaksin MMR biasanya
diberikan pada usia anak 16 bulan. Vaksin ini adalah gabungan vaksin hidup
yang dilemahkan. Semula vaksin ini ditemukan secara terpisah, tetapi dalam
beberapa tahun kemudian digabng menjadi vaksin kombinasi. Kombinasi
tersebut terdiri dari virus hidup campak galur Edmonton atau Schwarz yang
telah dilemahkan, komponen antigen rubella dari virus hidup Wistar RA 27/3
yang dilemahkan dan antigen gondongan dari virus hidup galur Jerry Lynn
atau Urabe AM-9.
Pendapat yang mendukung autisme berkaitan dengan imunisasi:
Terdapat beberapa penelitian dan beberapa kesaksian yang mengungkapkan
autisme mungkin berhubungan dengan imunisasi MMR. Reaksi imunisasi
MMR secara umum ringan, pernah dilaporkan kasus meningoensefalitis pada
minggu 3-4 setelah imunisasi di Inggris dan beberapa tempat lainnya. Reaksi
klinis yang pernah dilaporkan meliputi kekakuan leher, iritabilitas hebat,
kejang, gangguan kesadaran, serangan ketakutan yang tidak beralasan dan
tidak dapat dijelaskan, deficit motorik/sensorik, gangguan penglihatan, deficit
visual atau bicara yang serupa dengan gejala pada anak autisme.
Andrew Wakefield dari Ingris melakukan penelitian terhadap 12 anak,
ternyata terdapat gangguan Inflamatorry Bowel Disease pada anak autisme.
Hal ini berkaitan dengan setelah diberikan imunisasi MMR. Bernarld Rimland
dari Amerika juga mengadakan penelitian mngenai hubungan antara vaksinasi
terutama MMR dan autisme. Wakefield dan Montgomery melaporkan adanya
virus morbili dengan 70 anak dari 90 anak autisme dibandingkan dengan 5
anak dari 70 anak yang tidak autisme. Hal ini hanya menunjukkan hubungan,
belum membuktikan adanya sebab akibat.
Pendapat yang menentang bahwa imunisasi MMR menyebabkan autisme
Sedangkan penelitian yang mengungkapkan bahwa MMR tidak
mengakibatakan autisme lebih banyak lagi dan lebih sistematis. Brent Taylor,
melakukan penelitian epidemiologic dengan menilai 498 anak dengan
autisme. Didapatkan kesimpulan terjadi kenaikan tajam penderita autismnge
pada tahun 1979, namun tidak ada peningkatan kasus autisme pada tahun
1988 saat MMR mulai digunakan. Didapatkan kesimpulan bahwa kelompok
anak yang tidak mendapatkan MMR juga terdapat kenaikan kasus autisme
yang sama dengan kelompok yang diimunisasi MMR.
Dales dkk sperti yang dikutip dari JAMA 2001, mengamati anak yang lahir
sejak tahun 1980 hingga 1994 di California, sejak tahun 1979 diberikan
imunisasi MMR. Menyimpulakn bahwa kenaikan angka kasus autisme di
California, tidak berkaitan dengan mulainya pemberian MMR.
Institute of Medicine, suatu badan yang mengkaji keamanan vakasin telah
melakukan kajian yang mendalam antara hubungan autisme dengan MMR.
Badan itu melaporkan bahwa secara epidemiologis tidak terdapat hubungan
antara MMR dengan ASD. The British Journal of General Practice
mempublikasikan penelitian De Wilde, pada bulan Maret 2001. Meneliti anak
dalam 6 buln setelah imunisasi MMR dibndingkan dengn anak tanpa autisme.
Menyimpulkan tidak terdapat perubahan perilaku anak secara bermakna
antara kelompok kontrol dan kasus.
Rekomendasi Institusi atau Badan Kesehatan Dunia
Beberapa institusi atau badan kesehatan yang independen dan sudah diakui
kredibilitasnya juga melakukan kajian ilmiah dan penelitian tentang tidak
adanya hubungan imunisasi dengan autisme. Dari hasil kajian tersebut,
dikeluarkan rekomdasi untuk tenaga professional untuk tetap menggunakan
imunisasi MMR dan thimerosal karena tidak terbukti mengakibatkan autisme.
The All party Parlimentary Group on Primary care and Public Health pada
bulan agustus 2000, menegaskan bahwa MMR aman. Dengan
mmemperhatikan hubungan yang tidak terbukti antara beberapa kondisi
seperti IBS dan autisme adalah tidak berdasar.
WHO pada bulan januari 2001 menyatakan mendukung sepenuhnya
penggunaan imunisasi MMR dengan didasarkan kajian tentang keamanan dan
efikasinya.
DAFTAR PUSTAKA
imuunisasi
1. Zhao et al., 2010. Low Titers of Measles Antibody in Mothers Whose Infants
Suffered from Measles Before Eligible Age for Measles Vaccination. Virology
Journal 2010, 7:87.
2. Nicola P. Klein et al, Measles-Mumps-Rubella-Varicella Combination Vaccine
and the Risk of Febrile Seizures. PEDIATRICS Volume 126, Number 1, July
2010.
3. Irja Davidkin et al, Persistence of Measles, Mumps, and Rubella Antibodies in an MMR-Vaccinated Cohort: A 20-Year Follow-up. JID 2008:197 (1 April.)
4. James A. Wright et al , Understanding variation in measles–mumps–rubella immunization coverage—a population-based study. European Journal of Public Health, Vol. 16, No. 2, 137–142
5. Michiel van Boven et al, Estimation of measles vaccine efficacy and critical vaccination coverage in a highly vaccinated population. J. R. Soc. Interface (2010) 7, 1537–1544.
6. H Campbell et al, Review of the effect of measles vaccination on the epidemiology of SSPE. International Journal of Epidemiology 2007;36:1334–1348
7. Helen Rosenlund et al, Allergic Disease and Atopic Sensitization in Children in
Relation to Measles Vaccination and Measles Infection. PEDIATRICS Volume
123, Number 3, March 2009.
8. Eric K. France et al, Risk of Immune Thrombocytopenic Purpura After Measles-
Mumps-Rubella Immunization in Children. PEDIATRICS Volume 121, Number
3, March 2008.
9. Carl T. D'Angio et al, Measles-Mumps-Rubella and Varicella Vaccine
Responses in Extremely Preterm. PEDIATRICS Volume 119, Number 3, March
2007.
10. Anders Hviid et al, Measles-Mumps-Rubella Vaccination and Asthma-like
Disease in Early Childhood. Am J Epidemiol 2008;168:1277–1283.
etiologi
11. Nakatsu Y et al., 2008. Measles Virus Circumvents the Host Interferon Response
by Different Actions of the C and V Proteins. Journal of Virology 2008, Vol.82,
No.17.
12. Melinda A. Briendley et al, Blue Native PAGE and Biomolecular Complementation Reveal a Tetrameric or Higher-Order Oligomer Organization of the Physiological Measles Virus Attachment Protein H. Journal of Virology, Dec. 2010, p. 12174–12184
13. Elits Avota et al, Cytoskeletal Dynamics: Concepts in Measles Virus Replication and Immunomodulation. Viruses 2011, 3, 102-117.
14. Ambroise Desfosses et al, Nucleoprotein-RNA Orientation in the Measles Virus Nucleocapsid by Three-Dimensional Electron Microscopy. Journal of Virology, Feb. 2011, p. 1391–1395.
15. Radolphe Suspene et al, Double-Stranded RNA Adenosine Deaminase ADAR-1-Induced Hypermutated Genomes among Inactivated Seasonal Influenza and Live Attenuated Measles Virus Vaccines. Journal of Virology, Mar. 2011, p. 2458–2462
16. Simone V. Ward et al, RNA editing enzyme adenosine deaminase is a restriction factor for controlling measles virus replication that also is required for embryogenesis. PNAS | January 4, 2011 | vol. 108 | no. 1 | 331–336
17. Richard K. Plemper et al, Structural and Mechanistic Studies of Measles Virus
Illuminate Paramyxovirus Entry. PLoS Pathogens June 2011 | Volume 7 | Issue 6
|
patofisiologi
18. Kouadio et al., Measles Outbreaks in Displaced Populations: a Review of
Transmission, Morbidity and Mortality Associated factors. BioMedicalCentral
International Health and Human Rights 2010 10:5.
19. Takeda Makoto, Measles virus breaks through epithelial cell barriers to achieve transmission. The Journal of Clinical Investigation Volume 118 Number 7 July 2008
20. Samantha R et al. T Cell-, Interleukin-12-, and Gamma Interferon-Driven Viral
Clearance in Measles Virus-Infected Brain Tissue. Journal of Virology, Apr.
2011, p. 3664–3676.
epidemiologi
21. Susana Scott et al, Predicted impact of the HIV-1 epidemic on measles in developing countries: results from a dynamic age-structured model. International Journal of Epidemiology 2008;37:356–367
22. Andrew J. K. Conlan et al, Seasonality and the persistence and invasion of measles. Proc. R. Soc. B (2007) 274, 1133–1141
23. E. O. Ohuma et al, Evaluation of a measles vaccine campaign by oral-fluid surveys in a rural Kenyan district: interpretation of antibody prevalence data using mixture models. Epidemiol. Infect. (2009), 137, 227–233.
Terapi24. Christopher R Sudfeld et al, Effectiveness of measles vaccination and vitamin A
treatment. International Journal of Epidemiology 2010;39:i48–i5525. Chunsheng Liu et al, Systemic Therapy of Disseminated Myeloma in Passively
Immunized Mice Using Measles Virus-infected Cell Carriers. Molecular Therapy vol. 18 no. 6, 1155–1164 june 2010.
26. Richard K Plemper et al, Measles control – Can measles virus inhibitors make a
difference?. Curr Opin Investig Drugs. 2009 August ; 10(8): 811–820.
27. Jeong-Joong Yoon et al, Target Analysis of the Experimental Measles
Therapeutic AS-136A. ANTIMICROBIAL AGENTS AND CHEMOTHERAPY,
Sept. 2009, p. 3860–3870 Vol. 53, No. 9.
top related