PENERAPAN METODE PENYEIMBANGAN LINI LINE BALANCING) …
Post on 16-Oct-2021
4 Views
Preview:
Transcript
PENERAPAN METODE PENYEIMBANGAN LINI
(LINE BALANCING) PADA LINI PRODUKSI DI PT.
WAHYU KARTUMASINDO INTERNATIONAL
Oleh
Mario Gandama
NIM: 004200700110
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Akademik
Mencapai Gelar Strata Satu
pada Fakultas Teknik
Program Studi Teknik Industri
2015
iv
ABSTRAK
Persaingan bisnis yang semakin kompetitif dihadapi oleh semua pelaku bisnis.
Setiap perusahaan perlu untuk senantiasa melakukan inovasi dalam berbagai
bidang, termasuk bidang operasional. Konsep penyeimbangan lini (Line
Balancing) merupakan konsep yang berupaya melakukan penyeimbangan dalam
lini produksi agar tercipta kelancaran dalam suatu sistem produksi, dengan cara
mengelompokkan berbagai elemen kerja ke dalam beberapa stasiun kerja dengan
memperhatikan keseimbangan waktu. PT. Wahyu Kartumasindo International,
sebagai salah satu perusahaan percetakan kartu plastik dengan standard security
visa/mastercard memproduksi jutaan pcs kartu setiap bulannya. Dalam penelitian
ini, konsep penyeimbangan lini diterapkan pada sistem produksi bagian pre press
(pra cetak) dari PT. Wahyu Kartumasindo Intermational. Konsep penyeimbangan
lini dilakukan dengan metode Helgeson-Birnie dan Moodie Young.
Penyeimbangan lini diterapkan terpisah pada dua lini di bagian pre press, yaitu
pada lini proses pembuatan plate dan lini proses pembuatan screen. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa metode Helgeson-Birnie menghasilkan rancangan
penyeimbangan lini terbaik. Pada proses pembuatan plate tingkat efisiensi lini
mencapai 92,11%, balance delay 7,89%, smoothing index 2,24%, dan stasiun
kerja berjumlah 2. Dan pada proses pembuatan screen tingkat efisiensi lini
mencapai 87,50%, balance delay 12,50%, smoothing index 9%, dan stasiun kerja
berjumlah 3.
Keyword: Penyeimbangan Lini, Efisiensi Lini, Balance Delay, Smoothing Index,
Stasiun Kerja, idle time
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persaingan yang ketat antar industri manufaktur, khususnya di bidang
usaha percetakan, terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini membuat
para pelaku industri percetakan harus dapat mengeluarkan ide-ide inovatif dalam
usahanya untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia seoptimal
mungkin, baik dari sisi kuantitas maupun juga dari sisi kualitasnya. Untuk
melakukan hal itu semua dibutuhkan suatu perencanaan dalam mengelola setiap
proses produksinya. Suatu perencanaan yang baik bertujuan untuk membuat aliran
proses produksi yang lancar, dari satu proses ke proses berikutnya. Dengan
lancarnya aliran proses produksi tersebut, maka waktu penyelesaiannya dapat
sesuai dengan yang sudah direncanakan.
PT. Wahyu Kartumasindo International merupakan perusahaan security
printing yang bergerak dalam bidang percetakan kartu, baik kartu plastik, kartu
kertas sintetik, maupun kartu kertas yang dilengkapi juga dengan jasa
Personalisasi dan PIN Numbering. PT. Wahyu Kartumasindo International
dituntut untuk dapat menghasilkan produk pesanan yang sesuai dengan ketentuan
dan keinginan dari customer, baik dari sisi security serta kualitas dari produk yang
dihasilkan dan juga dari sisi waktu pengerjaan produk tersebut. Sebagai
perusahaan dengan tingkat kapasitas produksi yang tinggi dan jumlah pesanan
yang terus mengalami peningkatan, dibutuhkan strategi dan perencanaan yang
baik untuk lebih meningkatkan efisiensi lini pada setiap bagian produksinya.
Bagian pre press (pra cetak) adalah salah satu bagian dari departemen
produksi di PT. Wahyu Kartumasindo International. Proses pre press (pra cetak)
merupakan proses awal dari seluruh rangkaian proses percetakan. Pada bagian pre
press akan dilakukan proses pembuatan plate (untuk proses cetak offset) dan
pembuatan screen (untuk proses cetak sablon). Sebagai proses awal dari seluruh
2
rangkaian proses percetakan, maka bagian pre press dituntut untuk bisa terus
memproduksi plate dan screen untuk dilanjutkan ke proses berikutnya (cetak
offset dan sablon).
Seiring semakin banyaknya order yang diterima, maka dibutuhkan suatu
kelancaran pada setiap proses yang ada di bagian pre press. Permasalahan yang
dihadapi adalah tersendatnya hasil produksi di bagian pre press yang akan
diserahkan ke proses berikutnya. Hal ini akan berpengaruh pada proses-proses
produksi selanjutnya yang juga akan tertunda. Dan pada akhirnya akan berdampak
pula pada keterlambatan pengiriman hasil finish good ke customer.
Salah satu metode yang dapat diterapkan untuk permasalahan ini adalah
penerapan metode keseimbangan lini (line balancing). Keseimbangan lini
diperlukan guna memperoleh suatu arus produksi yang lancar, dari satu stasiun
kerja ke stasiun kerja berikutnya. Oleh karena itu, konsep penyeimbangan lini
(line balancing) perlu dilakukan untuk menciptakan keseimbangan dari setiap
stasiun kerja, sehingga proses produksi akan berjalan lancar. Dengan
diterapkannya konsep penyeimbangan lini, maka diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi lini produksi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan dari latar belakang, maka dapat disusun rumusan
masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana metode penyeimbangan lini dapat meningkatkan efisiensi lini pada
jalur produksi di PT. Wahyu Kartumasindo International.
b. Berapa peningkatan efisiensi lini pada jalur produksi di PT. Wahyu
Kartumasindo International setelah penerapan metode penyeimbangan lini?
c. Berapa besar pengaruh variabilitas waktu proses terhadap kinerja lini produksi
di PT. Wahyu Kartumasindo International?
3
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan diatas, maka penelitian ini
memiliki tujuan antara lain:
Meningkatkan efisiensi lini jalur produksi melalui penerapan metode
penyeimbangan lini.
Mendapatkan susunan jumlah stasiun kerja yang ideal pada lini produksi.
Menurunkan tingkat idle time setiap stasiun kerja pada lini produksi.
Mengevaluasi pengaruh variabilitas pada penyeimbangan lini produksi melalui
simulasi.
1.4 Batasan Masalah
Karena begitu luasnya sistem produksi secara keseluruhan, maka pada
penelitian ini akan diberikan pembatasan masalah sebagai berikut:
Penelitian dilakukan pada salah satu bagian produksi, yaitu bagian Pre Press
(Pra Cetak).
Proses pekerjaan yang diamati pada bagian Pre Press adalah pada pembuatan
plate untuk cetak offset, dan pembuatan screen untuk cetak sablon.
Proses produksi diasumsikan pada keadaan normal tanpa memperhitungkan
gangguan-gangguan yang ada seperti kerusakan mesin, atau kecelakaan kerja.
1.5 Asumsi
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Data yang digunakan adalah data deterministik.
Tidak terjadi kerusakan mesin/peralatan.
4
Tidak terdapat masalah dalam proses supply material.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
lima bab, yang terdiri dari:
Bab I Pendahuluan
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, batasan masalah, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II Landasan Teori
Bab ini berisi tentang berbagai macam landasan teori yang digunakan
dan terkait dalam penelitian ini.
Bab III Metodologi Penelitian
Bab ini berisi tentang metodologi yang digunakan untuk mencapai
tujuan penelitian, meliputi tahapan-tahapan penelitian dan penjelasan
tiap tahapannya.
Bab IV Data dan Analisis
Bab ini memaparkan tentang data dan analisis hasil-hasil rancangan
yang telah dilakukan. Pada bab ini juga disampaikan perbandingan
hasil-hasil rancangan yang dilakukan.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Merupakan bab yang merangkum keseluruhan dari hasil penelitian
menjadi kesimpulan dan saran yang dapat digunakan sebagai
pertimbangan kebijakan di kemudian hari.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Penyeimbangan Lini (Line Balancing)
2.1.1 Definisi penyeimbangan lini
Penyeimbangan lini merupakan suatu metode penugasan sejumlah
pekerjaan ke dalam stasiun-stasiun kerja yang saling berkaitan/berhubungan
dalam suatu lintasan atau lini produksi sehingga setiap stasiun kerja memiliki
waktu yang tidak melebihi waktu siklus dari stasiun kerja tersebut. Menurut
Boysen (2007), line balancing merupakan merupakan penyeimbangan penugasan
ke stasiun kerja untuk meminimumkan banyaknya jumlah stasiun kerja dan
meminimumkan idle time pada semua stasiun kerja.
2.1.2 Terminologi penyeimbangan lini
1. Elemen kerja (Work element)
Merupakan bagian dari seluruh pekerjaan yang harus dilakukan dalam suatu
kegiatan perakitan.
2. Waktu operasi (ti)
Merupakan waktu standar untuk menyelesaikan suatu operasi.
3. Stasiun kerja (Work station)
Merupakan tempat pada lini perakitan di mana proses perakitan dilakukan.
Setelah menentukan interval waktu siklus, maka jumlah stasiun kerja efisien
dapat ditetapkan dengan rumus berikut:
𝑲𝐦𝐢𝐧 = 𝒕𝒊𝒏
𝒊=𝟏
𝑪𝑻 (2-1)
Dimana:
6
Kmin : jumlah stasiun kerja minimal
n : jumlah elemen kerja
ti : waktu operasi
CT : waktu siklus
4. Waktu siklus (Cycle time)
Merupakan waktu yang diperlukan untuk membuat satu unit produk pada satu
stasiun kerja. Waktu siklus dapat diketahui dari hasil bagi waktu produksi dan
target produksi yang telah ditentukan. Waktu siklus harus sama atau lebih besar
dari waktu operasi terbesar yang merupakan penyebab terjadinya bottle neck
(kemacetan) dan waktu siklus juga harus sama atau lebih kecil dari jam kerja
efektif per hari dibagi dari jumlah produksi per hari, yang secara matematis
dinyatakan sebagi berikut:
𝒕𝒊 𝒎𝒂𝒙 ≤ 𝑪𝑻 ≤𝑷
𝑸 (2-2)
Dimana:
ti max : waktu operasi terbesar
CT : waktu siklus
P : jam kerja efektif per hari
Q : jumlah produksi per hari
5. Waktu stasiun kerja (STk)
Merupakan jumlah waktu sebuah stasiun kerja untuk mengerjakan semua
elemen kerja yang didistribusikan pada stasiun kerja tersebut
6. Idle time
7
Merupakan waktu menganggur yang terjadi pada setiap stasiun kerja. Besarnya
idle time dapat dihitung dengan cara mengurangi cycle time (CT) dan waktu
stasiun kerja (STk)
7. Precedende diagram
Merupakan gambaran secara grafis dari urutan kerja dan keterkaitan antar
elemen kerja dalam perakitan sebuah produk. Pendistribusian elemen kerja
pada setiap stasiun kerja harus memperhatikan precedence diagram.
Gambar 2.1 adalah contoh precedence diagram. Angka yang ada di dalam
lingkaran merupakan urutan tiap elemen kerja, sedangkan angka yang ada di
luar lingkaran merupakan waktu operasi tiap elemen kerja.
Gambar 2.1 Bentuk precedence diagram
Untuk mengukur performansi sebelum dan sesudah dilakukan penerapan
konsep penyeimbangan lini pada lintasan produksi dilakukan kriteria-kriteria
sebagai berikut:
1. Efisiensi lini (Line efficiency)
Efisiensi lini adalah rasio antara waktu yang digunakan dengan waktu
yang tersedia. Pendistribusian elemen kerja yang ada membentuk stasiun kerja
dilakukan berdasarkan waktu siklus. Efisiensi lini dapat dihitung dengan rumus
berikut:
8
𝑬𝒇𝒇 = 𝒕𝒊𝒏
𝒊=𝟏
𝑪𝑻 𝒙 𝒏𝒙𝟏𝟎𝟎% (2-3)
Dimana:
LE : efisiensi lini
ti : waktu operasi
CT : waktu siklus
n : jumlah stasiun kerja
2. Balance delay
Balance delay adalah rasio antara waktu menganggur (idle time) dalam
lintasan perakitan dengan waktu yang tersedia. Balance delay dari lini perakitan
dapat dihitung dengan rumus berikut:
𝑩𝑫 = 𝒏 𝒙 𝑪𝑻 – 𝒕𝒊𝒏
𝒊=𝟏
(𝒏 𝒙 𝑪𝑻)𝒙 𝟏𝟎𝟎% (2-4)
Dimana:
BD : balance delay (%)
n : jumlah stasiun kerja
CT : waktu siklus
∑ ti : jumlah waktu operasi dari semua operasi
ti : waktu operasi
3. Indeks penghalusan (smoothing index)
Indeks penghalusan adalah suatu indeks yang menunjukkan kelancaran
relatif dari penyeimbangan lini perakitan tertentu. Indeks penghalusan lini
perakitan dapat dihitung dengan rumus berikut:
𝑆𝐼 = (𝑆𝑇𝑖 𝑚𝑎𝑥 − 𝑆𝑇𝑖)2𝑛𝑖=1 (2-5)
9
Dimana:
SI : smoothing index
STi max : waktu maksimum di stasiun
STi : waktu stasiun di stasiun kerja ke-i
2.1.3 Tujuan penyeimbangan lini
Tujuan penyeimbangan lini adalah untuk memperoleh suatu arus produksi
yang lancar dengan menyamakan kapasitas dari setiap stasiun kerja. Dengan
adanya persamaan tersebut, maka hasil yang diharapkan dari penyeimbangan lini
adalah:
1. Meminimalkan penumpukan barang pada satu stasiun kerja.
2. Mengurangi waktu menganggur pada stasiun kerja lainnya.
3. Memperoleh efisiensi yang lebih tinggi.
4. Memenuhi rencana produksi yang ditetapkan.
2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi penyeimbangan lini
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat penyeimbangan lini
adalah:
1. Menumpuknya barang dalam proses pada tingkat proses tertentu
2. Keterlambatan bahan baku
3. Kondisi mesin yang sudah tua
4. Terjadinya kerusakan mesin
5. Kelemahan dalam merencanakan kapasitas mesin
6. Kualitas tenaga kerja yang kurang baik
7. Tata letak yang kurang baik
10
2.1.5 Permasalahan penyeimbangan lini
Permasalahan penyeimbangan lini bermula dari adanya kombinasi
penugasan elemen kerja (work element) kepada operator yang menempati stasiun
kerja tertentu. Karena penugasan elemen kerja yang berbeda akan menyebabkan
perbedaan dalam sejumlah waktu untuk menghasilkan output produksi tertentu
dalam suatu lini produksi. Tujuan dari penyeimbangan ini adalah untuk
menentukan jumlah stasiun kerja yang sesuai, sehingga dapat dicapai waktu
operasi sama dengan waktu siklus atau waktu stasiun dan meminimalkan waktu
menganggur.
Terdapat dua tipe permasalahan umum (tipe I dan tipe II) dalam
penyeimbangan lini. Pada masalah tipe I, tujuannya adalah untuk meminimalkan
jumlah stasiun kerja. Sebuah lini produksi dengan sedikit stasiun kerja akan
menghasilkan biaya tenaga kerja yang lebih rendah dan kebutuhan ruang
berkurang. Masalah tipe I umumnya terjadi pada saat merancang lini produksi
baru. Dalam masalah tipe II, ketika jumlah stasiun kerja adalah tetap, tujuannya
adalah untuk meminimalkan waktu siklus (cycle time). Masalah tipe II umumnya
terjadi ketika perusahaan ingin mandapatkan jumlah hasil yang lebih optimal
dengan menggunakan jumlah stasiun kerja yang ada tanpa membeli mesin-mesin
baru.
2.1.6 Beberapa cara mencapai penyeimbangan lini
Menurut Elwood S. Buffa dalam buku “Manajemen Operasi dan Produksi
Modern”, pada usaha pencapaian penyeimbangan lini terdapat beberapa cara yang
dikenal, antara lain:
1. Penumpukan material
Cara ini adalah dengan membuat penumpukan material pada stasiun kerja
yang lambat. Kemudian pada area ini harus dilakukan kerja lembur atau
menambah jumlah tenaga kerja. Cara ini mngkin merupakan cara yang paling
mudah, namun bukanlah cara yang terbaik, karena penumpukan material akan
mengakibatkan pemborosan ruangan.
11
2. Pergerakan operator
Cara ini dilakukan apabila seorang operator mempunyai waktu operasi
yang lebih singkat untuk membantu operator lainnya yang waktu operasinya lebih
lama.
3. Pemecahan elemen kerja
Cara ini dilakukan apabila suatu operasi membutuhkan waktu operasi yang
lebih singkat dari pada waktu operasi pada stasiun kerja lainnya. Operator tersebut
dapat menangani lebih dari satu operasi atau membantu operasi lainnya maupun
bekerja pada lini yang lain.
4. Perbaikan operasi
Cara ini dilakukan dengan perbaikan metode kerja pada operasi yang lebih
lama dibandingkan dengan operasi yang lainnya, dan juga memerlukan waktu set-
up yang lebih lama.
5. Perbaikan performansi operator
Penyeimbangan pada operasi yang mengalami kemacetan dapat dilakukan
melalui penambahan latihan pada operator yang bersangkutan. Selain itu bisa juga
dengan melakukan pergantian operator dengan operator yang bekerja lebih cepat
atau lebih baik.
6. Pengelompokkan operasi
Penyeimbangan dengan cara ini adalah dengan mengelompokkan beberapa
operasi atau elemen kerja hasil pembagian ke dalam stasiun-stasiun kerja secara
seimbang, sehingga setiap stasiun kerja memiliki waktu kerja yang sama.
7. Mengubah kecepatan mesin
Penyeimbangan ini dengan cara meningkatkan kecepatan mesin pada suatu
operasi agar setingkat dengan kecepatan operasi lainnya.
8. Aneka produk atau kombinasi lintasan
12
Penyeimbangan ini dengan mengelompokkan produk-produk yang serupa
dan memproduksinya dengan kombinasi lintasan. Waktu menganggur mesin pada
suatu produk dapat digunakan untuk membuat produk lainnya.
2.2 Metode Penyeimbangan Lini (Line Balancing)
Untuk melakukan penyeimbangan lini terdapat beberapa metode yang
dapat digunakan. Secara umum terdapat tiga metode dasar, yaitu:
1. Metode Heuristic
Heuristic berasal dari bahasa Yunani yang berarti menemukan. Simon and
Newll adalah yang pertama kali menggunakan metode ini, yaitu untuk
menggambarkan pendekatan tertentu dalam memecahkan masalah dan membuat
keputusan. Metode heuristic menggunakan aturan-aturan yang logis dalam
memecahkan masalah. Inti dari pendekatan secara heuristic adalah untuk
mengaplikasikan rutin secara selektif yang mengurangi bentuk permasalahan.
Bentuk lain dari pengurangan adalah digunakan pada aturan yang relatif
sederhana yaitu diterapkan secara berulang sampai semua hasil keputusan telah
dibuat.
Metode heuristic tidak menjamin hasil yang optimal, akan tetapi metode
ini dirancang untuk menghasilkan strategi yang relatif lebih baik dan mendekati
hasil yang optimum sesungguhnya.
Beberapa metode heuristic yang umum dikenal antara lain:
Metode pengurutan waktu terbesar (largest candidate rule)
Metode pendekatan daerah (region approach)
Metode bobot posisi peringkat (ranked positional weight)
2. Metode analitis
13
Metode dengan pendekatan sistematis yang memberikan solusi yang
optimal tetapi memerlukan perhitungan yang besar dan rumit.
3. Metode komputerisasi
Metode ini menggunakan bantuan komputer dalam menyeimbangkan
lintasan perakitan. Salah satu metode yang sering digunakan adalah COMSOAL
(Computer Method of Sequencing Operation for Assembly Line).
2.2.1 Metode Helgeson-Birnie
Metode ini sering disebut juga sebagai metode bobot posisi peringkat
(Rank Positional Weight). Sesuai dengan namanya, metode ini dikemukakan oleh
Helgeson dan Birnie. Pada metode ini, nilai RPW dihitung dari waktu proses
masing-masing operasi yang mengikutinya. Langkah-langkah dalam metode ini
adalah sebagai berikut :
1. Membuat precedence diagram untuk setiap proses sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya.
2. Menentukan posisi peringkat (positional weight) untuk masing-masing elemen
kerja yang berkaitan dengan waktu operasi untuk waktu pengerjaan yang
terpanjang mulai dari operasi permulaan hingga sisa operasi sesudahnya.
3. Membuat urutan elemen-elemen kerja berdasarkan posisi peringkat pada
langkah nomor 2. Elemen kerja yang mempunyai posisi peringkat paling
tinggi berada di urutan pertama.
4. Menentukan waktu siklus (CT)
5. Menempatkan elemen-elemen kerja ke setiap stasiun kerja, dimana elemen
kerja dengan posisi peringkat dan urutan paling tinggi yang ditempatkan
pertama sepanjang waktu stasiun < waktu siklus.
6. Jika pada stasiun kerja terdapat kelebihan waktu (waktu stasiun > waktu
siklus) ganti elemen kerja yang ada dalam stasiun kerja tersebut ke stasiun
kerja berikutnya.
14
7. Ulangi langkah 5 dan 6 sampai semua elemen kerja ditempatkan pada stasiun
kerja.
Untuk dapat memperjelas prosedur diatas, maka dapat dilihat pada contoh
masalah berikut. Sebuah jalur perakitan yang terdiri dari 12 elemen kerja dengan
precedence diagram seperti terlihat pada gambar 2.2. Terapkan metode Helgeson
Birnie untuk menyeimbangkan jalur perakitan tersebut.
Gambar 2.2 Precedence diagram lini perakitan
Penyelesaian:
Langkah 1, menghitung bobot setiap elemen kerja. Bobot elemen kerja 1
adalah jumlah waktu elemen kerja 1 dan seluruh operasi setelahnya yang
berhubungan (jumlah waktu elemen kerja 1,2,…,12), yaitu 34. Bobot elemen kerja
2 adalah 27 (jumlah waktu elemen kerja 2,3,…,12). Bobot elemen kerja 3 adalah
24 (jumlah waktu elemen kerja 2,3,…,12). Selengkapnya seperti dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 2.1 Bobot elemen kerja untuk contoh masalah
Elemen Kerja Bobot Elemen Kerja Bobot
1 34 7 15
2 27 8 13
3 24 9 8
4 29 10 15
15
Tabel 2.1 Bobot elemen kerja untuk contoh masalah (lanjutan)
Elemen Kerja Bobot Elemen Kerja Bobot
5 26 11 11
6 20 12 17
Langkah 2, mengurutkan elemen kerja berdasarkan bobot, dari bobot
tertinggi ke bobot terendah. Hasilnya terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.2 Rangking bobot elemen kerja untuk contoh masalah
Elemen Kerja, i Bobot Ti
1
34 5
4 29 3
2 27 3
5 26 6
3 24 4
6 20 5
7 15 2
10 15 4
8 13 6
11 11 4
9 8 1
12 7 7
Langkah 3, menentukan waktu siklus, misalkan 10.
Langkah 4, mengalokasikan elemen kerja pada stasiun kerja dengan tidak
melebihi waktu siklus. Untuk stasiun kerja I (WS1) dialokasikan elemen kerja
dengan bobot tertinggi, yaitu elemen kerja 1 (t1 = 5), sehingga sisa waktu menjadi
5 (CT – t1). Selanjutnya elemen kerja di rangking berikutnya, yaitu elemen kerja 4
(t4 = 3) dialokasikan ke stasiun kerja I, sehingga sisa waktu menjadi 2 (CT – t1-
16
t4). Selanjutnya elemen kerja di rangking berikutnya, yaitu elemen kerja 2
memiliki waktu operasi = 3, tidak dapat dialokasikan ke dalam stasiun kerja I
(akan membuat waktu stasiun kerja I > CT). Alokasikan elemen kerja 2 ke stasiun
kerja berikutnya.
Langkah 5, mengalokasikan elemen kerja 2 (t2 = 3) pada stasiun kerja II
(WS2), sehingga sisa waktu menjadi 7 (CT – t2). Selanjutnya elemen kerja
rangking berikutnya, yaitu elemen kerja 5 (t5 = 6) dialokasikan ke stasiun kerja II,
sehingga sisa waktu menjadi 1 (CT – t2-t5). Selanjutnya elemen kerja di rangking
berikutnya, yaitu elemen kerja 3 yang memiliki waktu operasi = 4, tidak dapat
dialokasikan ke dalam stasiun kerja II, karena akan membuat waktu stasiun kerja
II > CT. Alokasikan elemen kerja 3 ke stasiun kerja berikutnya. Demikian
seterusnya. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.3 Hasil alokasi elemen kerja dengan metode Helgeson-Birnie untuk contoh
masalah
Stasiun Kerja, K Elemen Kerja, i ti STk Idle
I 1 5 8 2
4 3
II 2 3
9 1 5 6
III
3 4
10 0 6 5
9 1
IV
7 2
10 0 10 4
11 4
V 8 6 6 4
VI 12 7 7 3
17
Untuk mengukur performansi dari pengelompokkan elemen kerja ke
dalam stasiun kerja ini apakah sudah baik atau belum, perlu dihitung nilai efisiensi
lini, balance delay, dan smoothing index.
Efisiensi Lini:
𝐸𝑓𝑓 = 𝑆𝑇𝑖𝑛
𝑖=1
𝐶𝑇 𝑥 𝑛× 100%
=(8 + 9 + 10 + 10 + 6 + 7)
10 𝑥 6𝑥 100%
= 83,33%
Balance Delay:
𝐵𝐷 = 𝑛 𝑥 𝐶𝑇 – 𝑡𝑖𝑛
𝑖=1
(𝑛 𝑥 𝐶𝑇)𝑥 100%
=60 − 50
60𝑥 100%
= 16,67%
Smoothing Index:
𝑆𝐼 = 𝑆𝑇𝑖𝑚𝑎𝑥 − 𝑆𝑇𝑖 2𝑛𝑖=1
= 22 + 12 + 02 + 02 + 42 + 32
= 5,48
2.2.2 Metode Moodie Young
Metode Moodie-Young memiliki dua fase analisis. Fase satu adalah
membuat pengelompokan stasiun kerja berdasarkan matriks hubungan antar
elemen kerja, tidak dirangking seperti metode Helgeson-Birnie. Elemen kerja
ditempatkan pada stasiun kerja yang berurutan dalam lini perakitan dengan
menggunakan aturan largest-candidate. Bila terdapat dua elemen kerja yang bisa
dipilih maka elemen kerja yang mempunyai waktu lebih besar ditempatkan yang
18
pertama. Pada fase ini precedence diagram pula dibuat matriks P dan F, yang
menggambarkan elemen kerja pendahulu (P) dan elemen kerja yang mengikuti (F)
untuk semua elemen kerja yang ada.
Pada fase dua mencoba untuk mendistribusikan waktu menganggur (idle)
secara merata untuk tiap-tiap stasiun melalui mekanisme jual dan transfer elemen
antarstasiun. Langkah-langkah pada fase dua ini adalah sebagai berikut:
1. Menentukan waktu stasiun kerja terbesar dan waktu stasiun kerja terkecil.
2. Menentukan setengah dari perbedaan kedua nilai tujuan (GOAL), dengan
rumus:
𝐺𝑂𝐴𝐿 =𝑆𝑇 max − 𝑆𝑇 min
2 (2-6)
3. Identifikasi elemen kerja yang terdapat dalam stasiun kerja dengan waktu
yang paling maksimum, yang mempunyai waktu lebih kecil dari GOAL,
apabila elemen kerja tersebut dipindah ke stasiun kerja dengan waktu yang
paling minimum tidak melanggar precedence diagram.
4. Pindahkan elemen kerja tersebut
5. Ulangi evaluasi sampai tidak ada lagi elemen kerja yang dapat dipindah.
Untuk menjelaskan metode diatas, akan diterapkan kembali pada contoh
penerapan metode Helgeson-Birnie.
Penyelesaian:
Fase pertama adalah dengan membuat matriks P dan F. Tabel dibawah
menunjukkan matriks P dan F dari contoh kasus sebelumnya.
Kolom 1 dalam matriks P menunjukkan nomor elemen kerja. Kolom 2, 3,
dan 4 pada matriks P menunjukkan elemen kerja yang pengerjaannya mendahului
elemen kerja pada kolom 1. Kolom 2, 3, dan 4 pada matriks F menunjukkan
elemen kerja yang pengerjaannya mengikuti oleh elemen kerja pada kolom 1.
Jumlah kolom dalam kasus lain tidak harus tiga, tergantung pada jumlah elemen
19
kerja yang mendahului (untuk matriks P) dan jumlah elemen kerja yang mengikuti
(untuk matriks F). Dalam contoh ini, jumlah kolom untuk matriks P adalah 3
(elemen terbanyak yang mendahului ada pada elemen 12, yaitu 3 elemen). Jumlah
kolom untuk matriks F adalah 3, karena elemen 6 memiliki 3 elemen (terbanyak)
yang mengikutinya.
Tabel 2.4 Matriks P dan F untuk contoh masalah
Elemen Kerja, i Matriks P Ti Elemen Kerja, i Matriks F
1 0 0 0 5 1 2 4 0
2 1 0 0 3 2 3 0 0
3 2 0 0 4 3 6 0 0
4 1 0 0 3 4 5 0 0
5 4 0 0 6 5 6 0 0
6 3 5 0 5 6 7 9 10
7 6 0 0 2 7 8 0 0
8 7 0 0 6 8 12 0 0
9 6 0 0 1 9 12 0 0
10 6 0 0 4 10 11 0 0
11 10 0 0 4 11 12 0 0
12 8 9 11 7 12 0 0 0
Misalkan ditentukan waktu siklus = 10, maka elemen-elemen kerja ini akan
digabungkan (dengan algoritma Moodie Young) dengan syarat jumlah waktu di
setiap stasiun kerja tidak lebih dari 10
Langkah 1, pilihlah elemen kerja yang memiliki nilai 0 semua pada
matriks P, pilih elemen kerja dengan waktu operasi terbesar bila ada lebih dari
satu elemen kerja yang matriks P-nya 0 semua. Dalam contoh ini berarti elemen
kerja 1 yang dipilih, waktu operasinya = 5.
Langkah 2, tentukan elemen kerja di matriks F yang berhubungan dengan
elemen kerja 1 yang terpilih di langkah 1. Elemen kerja yang berhubungan dengan
20
elemen kerja 1 dalam matriks F adalah elemen kerja 2 dan elemen kerja 4. Dipilih
yang memiliki waktu operasi terbesar dahulu. Jika waktu stasiun kerja
ditambahkan dengan waktu operasi elemen kerja yang terpilih di langkah
sebelumya kurang dari waktu siklus yang ditentukan, pilihlah elemen kerja
berikutnya (lihat waktu siklusnya, apa masih mungkin, dalam kasus ini maksimal
10). Elemen kerja 2 waktu operasinya = 3 dan elemen kerja 4 waktu operasinya =
3. Bila sama, dapat dipilih salah satu tanpa aturan. Misal dipilih elemen kerja 2,
dasar pemilihan ini akan konsisten untuk langkah selanjutnya, yaitu “Memilih
elemen kerja dengan nomor elemen kerja terkecil bila waktu operasinya sama”.
Pada stasiun kerja I, elemen kerja 1 waktu operasinya = 5, dan elemen
kerja 2 waktu operasinya = 3, jumlahnya 8. Elemen kerja 4 tidak mungkin
digabung pada stasiun kerja I, karena total waktu stasiun kerja akan > 10. Maka
elemen kerja 1 dan elemen kerja 2 digabung dalam stasiun kerja I, sedangkan
elemen kerja 4 dialihkan ke stasiun kerja II.
Pada stasiun kerja II sudah ada elemen kerja 4 dengan waktu operasinya =
3, masih ada sisa waktu operasi = 7. Langkah berikutnya kembali ke langkah 1
dan 2. Di matriks F, elemen kerja yang berhubungan dengan elemen kerja 4
adalah elemen kerja 5 (waktu operasi = 6) dan elemen kerja 3 (waktu operasi = 4),
dipilih elemen kerja dengan waktu operasi terbesar, yaitu elemen kerja 5.
Penambahan elemen kerja membuat waktu stasiun kerja II = 9, maka elemen kerja
3 tidak dapat digabung karena waktu operasinya = 4. Penambahan elemen kerja 3
akan membuat waktu stasiun kerja II menjadi 13 (9 + 4), maka elemen kerja 3
dialihkan ke stasiun kerja III.
Pada stasiun kerja III, lihat matriks P dan F. Elemen kerja yang
berhubungan dengan Elemen kerja 3 di matriks P adalah elemen kerja 2 (sudah
teralokasi), sedangkan di matriks F adalah elemen kerja 6 (waktu operasi = 5),
gabungkan ke elemen kerja 3, waktu stasiun kerja III menjadi 9 (4 + 5). Cari
elemen kerja yang berhubungan dengan elemen kerja 6. Di matriks P adalah
elemen kerja 3 dan elemen kerja 5 (sudah teralokasi), sedangkan di matriks F
terdapat tiga elemen, yaitu elemen kerja 7, 9, dan 10 (waktu operasi = 2, 1, dan 4).
Semestinya elemen kerja 10 menjadi kandidat terbesar, namun tidak dapat karena
21
dengan penyertaan elemen kerja 10 ke stasiun kerja III akan membuat waktu
stasiun kerja III > 10. Begitu juga dengan elemen kerja 7, akan membuat waktu
stasiun kerja III > 10. Maka dipilih elemen kerja 9, total waktu stasiun kerja III
menjadi 10 (9 + 1). Sementara untuk elemen kerja 7 dan 10 dialihkan ke stasiun
kerja berikutnya.
Pada stasiun kerja IV, lihat matriks P dan F. Elemen kerja yang
berhubungan dengan Elemen kerja 10 (elemen kerja 7 dikesampingkan dulu) di
matriks P adalah elemen kerja 6 (sudah teralokasi), sedangkan di matriks F adalah
elemen kerja 11 (waktu operasi = 4). Maka dipilih elemen kerja 11, total waktu
stasiun kerja IV menjadi 8 (4 + 4). Elemen kerja yang berhubungan dengan
Elemen kerja 11 adalah elemen kerja 10 (sudah teralokasi) dan elemen kerja 12
(waktu operasi = 7). Elemen kerja 12 tidak digabung pada stasiun kerja IV, karena
akan membuat waktu stasiun kerja IV > 10. Maka elemen kerja 12 dialihkan ke
stasiun kerja berikutnya.
Karena elemen kerja 12 adalah elemen kerja yang terakhir, sementara di
stasiun kerja III terdapat elemen kerja yang belum teralokasi, yaitu elemen kerja 7
(waktu operasi = 2). Elemen kerja yang berhubungan dengan elemen kerja 7 di
matriks P adalah elemen kerja 6 (sudah teralokasi), sedangkan di matriks F adalah
elemen kerja 8 (waktu operasi = 6). Maka elemen kerja 7 dan elemen kerja 8
digabung, total waktu stasiun kerja V menjadi 8 (2 + 6). Elemen kerja yang
berhubungan dengan elemen kerja 8 adalah elemen kerja 12, namun tidak dapat
digabungkan pada stasiun kerja V (akan membuat waktu stasiun kerja V > 10).
Maka elemen kerja dialihkan ke stasiun kerja VI (stasiun kerja terakhir). Hasil
alokasi elemen kerja pada fase satu dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.5 Hasil alokasi elemen kerja fase satu dengan metode Moodie Young untuk
contoh masalah
Stasiun Kerja, K Elemen Kerja, i ti STk Idle
I 1 5
8 2 2 3
22
Tabel 2.5 Hasil alokasi elemen kerja fase satu dengan metode Moodie Young untuk
contoh masalah (lanjutan)
Stasiun Kerja, K Elemen Kerja, i ti STk Idle
II 4 3
9 1 5 6
III
3 4
10 0 6 5
9 1
IV 10 4
8 2 11 4
V 7 2
8 2 8 6
VI 12 7 7 3
Untuk mengukur performansi dari pengelompokkan elemen kerja ke
dalam stasiun kerja ini apakah sudah baik atau belum, perlu dihitung nilai efisiensi
lini, balance delay, dan smoothing index.
Efisiensi Lini:
𝐸𝑓𝑓 = 𝑆𝑇𝑖𝑛
𝑖=1
𝐶𝑇 𝑥 𝑛× 100%
=(8 + 9 + 10 + 8 + 8 + 7)
10 𝑥 6𝑥 100%
= 83,33%
Balance Delay:
𝐵𝐷 = 𝑛 𝑥 𝐶𝑇 – 𝑡𝑖𝑛
𝑖=1
(𝑛 𝑥 𝐶𝑇)𝑥 100%
=60 − 50
60𝑥 100%
23
= 16,67%
Smoothing Index:
𝑆𝐼 = 𝑆𝑇𝑖𝑚𝑎𝑥 − 𝑆𝑇𝑖 2𝑛𝑖=1
= 22 + 12 + 02 + 22 + 22 + 32
= 4,69
Fase kedua merupakan perbaikan hasil dari fase pertama. Langkah
pertama adalah mengidentifikasi waktu stasiun kerja maksimal dan waktu stasiun
kerja minimal. Stasiun kerja dengan waktu stasiun maksimal adalah stasiun kerja
III (10), sedangkan stasiun kerja dengan waktu stasiun minimal adalah stasiun
kerja VI (7), sehingga GOAL menjadi 1,5. Selanjutnya salah satu elemen kerja di
stasiun kerja III akan dialokasikan ke stasiun kerja VI. Elemen kerja yang dipilih
ini harus berhubungan (sesuai matriks P dan F) dengan elemen kerja di stasiun
kerja VI, yaitu elemen kerja 12. Maka dipilih elemen kerja di stasiun kerja III
yang berhubungan dengan elemen kerja 12. Pada matriks P dan F elemen kerja
yang berhubungan dengan elemen kerja 12 dan terdapat pada stasiun kerja III
adalah elemen kerja 9 (waktu operasi = 1). Maka elemen kerja 9 dipindahkan ke
stasiun kerja VI.
Karena elemen kerja 9 dipindahkan ke stasiun kerja VI, maka stasiun kerja
III yang waktu stasiunnya 10 (terbesar) menjadi berkurang 1. Waktu stasiun kerja
yang terbesar dijadikan waktu siklus, maka waktu siklus menjadi 9. Dengan
demikian efisiensi lini, balance delay, dan smoothing index dihitung dengan
waktu siklus = 9 tersebut. Hasil alokasi elemen kerja pada fase dua dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.6 Hasil alokasi elemen kerja fase dua dengan metode Moodie Young untuk
contoh masalah
Stasiun Kerja, K Elemen Kerja, i ti STk Idle
I 1 5
8 1 2 3
24
Tabel 2.6 Hasil alokasi elemen kerja fase dua dengan metode Moodie Young untuk
contoh masalah (lanjutan)
Stasiun Kerja, K Elemen Kerja, i ti STk Idle
II 4 3
9 0 5 6
III 3 4
9 0 6 5
IV 10 4
8 1 11 4
V 7 2
8 1 8 6
VI 12 7
8 1 9 1
Untuk mengukur performansi dari pengelompokkan elemen kerja ke
dalam stasiun kerja ini apakah sudah baik atau belum, perlu dihitung nilai efisiensi
lini, balance delay, dan smoothing index.
Efisiensi Lini:
𝐸𝑓𝑓 = 𝑆𝑇𝑖𝑛
𝑖=1
𝐶𝑇 𝑥 𝑛× 100%
=(8 + 9 + 9 + 8 + 8 + 8)
9 𝑥 6𝑥 100%
= 92,59%
Balance Delay:
𝐵𝐷 = 𝑛 𝑥 𝐶𝑇 – 𝑡𝑖𝑛
𝑖=1
(𝑛 𝑥 𝐶𝑇)𝑥 100%
=54 − 50
54𝑥 100%
25
= 7,41%
Smoothing Index:
𝑆𝐼 = 𝑆𝑇𝑖𝑚𝑎𝑥 − 𝑆𝑇𝑖 2𝑛𝑖=1
= 12 + 02 + 02 + 12 + 12 + 12
= 2
2.3 Promodel
2.3.1 Definisi promodel
Promodel adalah suatu software untuk mensimulasikan berbagai macam
jenis sistem produksi. Promodel merupakan tolls yang sangat baik karena
memiliki fleksibilitas, menyajikan kombinasi yang paling tepat dalam
memodelkan segala kondisi. Promodel berfokus pada kapasitas produksi,
produktifitas, bottleneck, waktu baku, utilisasi resource, inventory levels, dan lain
sebagainya.
2.3.2 Kelebihan dan kekurangan promodel
Kelebihan promodel dibandingkan dengan software simulasi yang lainnya
adalah:
Memiliki banyak kriteria-kriteria yang diperlukan dalam menjalankan dab
memecahkan masalah simulasi.
Hasil yang diperoleh sangat akurat dengan tingkat ketelitian yang sangat baik.
Output dari promodel dalam bentuk animasi, sehingga sangat mudah
dimengerti dan dianalisa.
Promodel membuat laporan dari data-data yang disimulasikan.
Untuk kekurangan promodel adalah:
26
Banyak menghabiskan memory dari komputer.
2.3.3 Elemen-elemen dasar promodel
a. Location
Dalam promodel, location merepresentasikan sebuah area tetap dimana bahan
baku, bahan setengah jadi, ataupun bahan jadi mengalami atau menunggu
proses, menunggu, dan aktifitas lainnya.
b. Entities
Adalah setiap bahan yang akan diproses dalam sistem. Entities dapat berupa
produk, bahan baku, bahan setengah jadi, bahan jadi, atau bahkan manusia.
c. Arrivals
Merupakan mekanisme bagaimana masuknya entities ke dalam sistem, baik
banyaknya lokasi tempat kedatangan ataupun frekuensi serta waktu
kedatangannya secara periodik menurut interval tertentu.
d. Processing
Merupakan operasi yang dilakukan entitties dalam location. Processing
menggambarkan apa yang dialami entities mulai dari saat pertama entities
memasuki sistem sampai keluar dari sistem.
e. Resources
Merupakan sumber daya yang digunankan untuk melakukan operasi tertentu
dalam suatu sistem. Dengan kata lain, resources adalah peralatan,
perlengkapan, kendaraan, ataupun orang yang digunakan untuk memindahkan
entities, melakukan operasi, atau melakukan maintenance pada lokasi-lokasi.
f. Path Networks
Path Networks digunakan untuk menentukan arah dan jalur yang ditempuh
entities ataupun resources yang mengiringi entities ketika bergerak dari satu
lokasi ke lokasi lainnya. Path Networks merupakan suatu hal yang menjadi
keharusan jika ingin memakai resources ataupun entities yang bergerak.
27
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian adalah tata cara yang lebih terperinci mengenai
rangkaian proses melakukan sebuah penelitian. Rangkaian proses digambarkan
dalam tahapan penelitian, dan tiap tahapan penelitian merupakan bagian yang
menentukan di tahapan selanjutnya sehingga harus dilakukan dengan cermat.
Gambar 3.1 Diagram alir metodologi penelitian
Observasi Awal
Identifikasi Masalah
Studi Literatur
Pengumpulan Data
Analisis Masalah dan Tindakan Perbaikan
Kesimpulan dan Saran
28
3.1 Observasi Awal
Observasi awal bertujuan untuk dapat mengetahui proses produksi secara
aktual dan dapat mengetahui kondisi di lini produksi bagian pre press yang
nantinya akan digunakan dalam penelitian ini. Pada tahap awal ini juga dilakukan
wawancara kepada pimpinan dan karyawan dengan melakukan tanya jawab dan
diskusi secara langsung mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan
mereka di bagian pre press, yaitu dalam hal proses pembuatan plate dan screen.
3.2 Identifikasi Masalah
Dari wawancara dan observasi yang dilakukan pada tahap awal penelitian,
maka kemudian dari hasil wawancara dan observasi tersebut dilakukan
identifikasi masalah berdasarkan data dan fakta yang ada di lapangan. Identifikasi
masalah meliputi penguraian masalah-masalah yang dihadapi bagian pre press
saat ini. Masalah tersebutlah yang akan menjadi objek dari penelitian ini untuk
bisa diperbaiki. Masalah yang ditemukan dalam proses produksi di bagian pre
press adalah rendahnya efisiensi lini produksi di bagian pre press.
3.3 Studi Literatur
Studi literatur adalah mencari referensi teori yang terkait dengan
permasalahan yang ditemukan. Referensi ini dapat dicari dari buku, jurnal, artikel,
maupun laporan penelitian lainnya. Output dari studi literatur ini adalah
terkoleksinya referensi yang terkait dengan permasalahan yang ditemukan. Studi
literatur selain membantu menambah referensi yang terkait terhadap permasalahan
yang diteliti, juga dapat membantu dalam mengatasi permasalahan yang diteliti.
3.4 Pengumpulan Data
29
Pengumpulan data dilakukan dari hasil observasi dan wawancara,
kemudian dijadikan dasar pada proses analisis masalah dan tindakan perbaikan.
Data yang diambil adalah data aktual pada proses produksi pembuatan plate dan
screen yang ada di bagian pre press. Selain itu juga diambil saat sebelum
perbaikan dan data setelah perbaikan. Hal ini bertujuan agar setelah dilakukan
perbaikan dapat dievaluasi apakah hasil perbaikan tersebut dinyatakan berhasil
atau tidak.
3.5 Analisis Masalah dan Tindakan Perbaikan
Langkah selanjutnya adalah mencari penyebab permasalah rendahnya
efisiensi lini produksi di bagian pre press. Berdasarkan data yang diperoleh,
didapati bahwa jumlah idle time (waktu menganggur) yang besar dan ada di setiap
stasiun kerja. Dengan besarnya jumlah idle time, maka akan memberi dampak
pada rendahnya efisiensi lini produksi di bagian pre press.
Tindakan perbaikan yang dilakukan untuk meningkatkan efisiensi lini
produksi di bagian pre press adalah dengan menerapkan metode penyeimbangan
lini (line balancing). Untuk mengukur tindakan perbaikan yang dilakukan, maka
dilakukan evaluasi. Data hasil setelah tindakan perbaikan akan dibandingkan
dengan data sebelum tindakan perbaikan. Kemudian dapat ditarik kesimpulan
apakah tindakan perbaikan yang telah dilakukan sudah sesuai atau perlu dilakukan
perbaikan lebih lanjut.
3.6 Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan didapatkan dari hasil analisis masalah yang telah dibuat dan
tindakan perbaikan yang telah dilakukan. Kesimpulan berisi tentang hasil akhir
penelitian, dengan melihat hasil dari evaluasi perbaikan dan tujuan awal penelitian
ini. Kemudian diberikan pula saran sebagai bahan pertimbangan agar hasil
perbaikan dapat diterapkan.
30
BAB IV
DATA DAN ANALISIS
4.1 Kegiatan operasi secara umum
Kegiatan operasi di PT. Wahyu Kartumasindo International dimulai dari
menerima order dari customer yang kemudian akan dibuatkan design berupa
Artwork Confirmation Sheet untuk disetujui oleh customer. Artwork Confirmation
Sheet yang telah disetujui customer akan dijadikan acuan pada proses setiap
produksi.
Banyak tahapan proses produksi yang dilakukan di PT. Wahyu
Kartumasindo International. Tahapan proses produksi tersebut juga akan
dibedakan sesuai dengan produk yang akan diproses. Untuk produk kartu plastik
secara umum dikerjakan oleh bagian produksi, mulai dari design hingga packing.
Sementara untuk jenis produk yang lain bagian produksi akan menyelesaikan
sampai tahapan sortir. Setelah itu akan diserahkan kepada bagian lain untuk
dilanjutkan tahapan proses berikutnya sesuai dengan jenis produknya. Berikut
adalah tahapan proses produksi di PT. Wahyu Kartumasindo International yang
dibagi menurut jenis produknya:
Gambar 4.1 Proses produksi kartu plastik
31
Gambar 4.2 Proses produksi kartu GSM
Gambar 4.3 Proses produksi kartu personalisasi
32
Gambar 4.4 Proses produksi kartu voucher
4.2 Sistem Produksi Proses Pra Cetak (Pre Press)
Proses pra cetak (pre press) merupakan proses awal dari proses
percetakan. Proses pertama dari bagian pre press adalah dengan mengolah file
design yang akan dikirimkan ke bagian pre press berupa file digital. Melalui file
digital tersebut selanjutnya akan dilakukan pembuatan plate, film, dan screen.
Hasil output dari bagian pre press adalah plate (untuk bagian cetak offset) dan
screen (untuk bagian cetak sablon).
PT. Wahyu Kartumasindo International sebagai perusahaan yang memiliki
standard sekuriti Visa/Mastercard menyediakan tempat khusus penyimpanan film,
plate, dan screen yang terpisah. Bagian pre press merupakan tempat penyimpanan
khusus untuk film, plate, dan screen setelah selesai penggunaannya dari bagian
produksi
.
33
4.2.1 Pembuatan plate cetak
Plate cetak offset adalah keping atau lembaran logam tipis (Zn) yang salah
satu permukaannya atau dua permukaannya dilapisi dengan bahan peka cahaya.
plate yang digunakan untuk mencetak memiliki permukan yang terbagi dua
daerah, yaitu daerah yang tidak ada gambarnya (non image area) dan daerah yang
bergambar (image area). Daerah yang bersih atau tidak mencetak dari plate itu
tidak mengandung gambar, teks, atau perwujudan yang lain. Karena mempunyai
sifat mengandung air, daerah ini menyerap air dan mengandung lapisan air yang
tipis pada permukaannya. Ini akan menolak masuknya tinta bila rol bergulung
diatasnya. Daerah bergambar atau perwujudan lain pada plate merupakan daerah
cetak, yang sedikit berminyak sifatnya sehingga menolak melekatnya air, tetapi
menerima melekatnya tinta.
Proses pembuatan plate cetak offset dilakukan menggunakan mesin CTP
(Computer to Plate). Mesin CTP akan menerima data file digital yang telah diolah
sebelumnya, dan melakukan proses penyinaran pada permukaan plate cetak.
Setelah proses penyinaran dilakukan, gambar, teks, atau perwujudan lainnya.
Namun setelah dilakukan pencucian plate cetak, maka akan dapat terlihat gambar,
teks, atau perwujudan lainnya pada plate cetak, sesuai dengan pembagian pada
masing-masing warnanya. Setelah selesai pencucian, plate cetak tersebut harus
dilakukan pengeringan terlebih dahulu sebelum digunakan pada mesin cetak.
4.2.2 Pembuatan film
Proses pembuatan film dimulai dengan membuat layout dan imposisi
design dari file digital. Layout dan imposisi yang dibuat sesuai dengan keterangan
yang tertera dalam SPK (Surat Perintah Kerja). Hasilnya adalah berupa data
digital yang selanjutnya akan dikirimkan melalui media yang bernama RIP atau
raster image processor. RIP ini sebagai penerjemah bahasa yang ada di komputer
yang berupa data digital menjadi terbaca oleh Imagesetter. Imagesetter adalah
sebuah mesin yang berfungsi sebagai output film yang bisa menghasilkan film
positif atau negatif dengan kehalusan raster sesuai dengan yang diinginkan.
34
Pada file digital tersebut dapat ditemukan dua jenis warna, yaitu: RGB
(Red, Green, Blue) dan CMYK (Cyan, Magenta, Yellow, Black). Warna dalam
dunia percetakan berbeda dengan warna tampilan di monitor. Perbedaan inilah
yang kemudian menyebabkan seringnya terjadi kesalahan atau hasil yang tidak
diinginkan dari warna akhir melalui proses cetak. Warna RGB biasanya lebih
terang dan jelas, biasanya menghasilkan besar kapasitas file yang lebih kecil.
Warna RGB sangat cocok untuk presentasi visual dalam tampilan monitor seperti
desain halaman web/situs. Ketika suatu karya desain dalam format RGB akan
melalui suatu proses cetak, maka warna RGB harus dikonversi dahulu ke dalam
model warna CMYK. Hal ini karena printer dan mesin percetakan hanya
mengenal warna CMYK sebagai model warna dari kalibrasi di mesin cetak.
Gambar 4.5 Konsep warna RGB dan CMYK
Setiap film yang telah dihasilkan melalui Imagesetter selanjutnya akan
dilakukan montase film. Montase adalah suatu proses menempatkan dan
melekatkan secara tepat dan seksama satu atau lebih film positif atau negatif di
atas landasan montase yang transparan. Dengan demikian teks dan/atau gambar
pada film dapat disinari pada posisi yang dikehendaki.
35
4.2.3 Pembuatan screen
Screen merupakan acuan cetak yang digunakan pada teknik cetak sablon.
Sama seperti proses pembuatan plate cetak, proses pembuatan screen juga akan
melalui tahapan proses penyinaran dan pencucian screen. Proses penyinaran
dilakukan dengan meletakkan film pada mesin penyinaran dan memposisikan
screen sesuai yang diinginkan dan berhadapan dengan film. Pada saat penyinaran
image area akan terkena sinar dan non image area tidak terkena sinar.
Gambar 4.6 Bingkai screen (screen frames)
Proses pencucian dilakukan dengan menyemprotkan air ke permukaan
screen. Pada proses ini non image area (bagian yang terkena sinar) akan rontok
terkena air, sedangkan pada image area (bagian yang tidak terkena sinar) akan
tetap ada. Kemudian screen akan dikeringkan dari air yang ada di screen tersebut.
Proses terakhir adalah tusir, yaitu menutup kembali image area yang ikut rontok
pada saat pencucian. Hal ini dilakukan untuk memastikan screen sudah siap
digunakan.
36
4.3 Pengumpulan Data
4.3.1 Elemen kerja
Elemen kerja adalah bagian dari waktu kerja yang dilaksanakan secara
berurutan dalam suatu siklus kerja. Di bawah ini adalah daftar elemen kerja
disertai urutannya pada proses pembuatan plate dan screen.
Tabel 4.1 Daftar elemen kerja pada proses pembuatan plate dan screen
Proses Pembuatan Plate Proses Pembuatan Screen
No Elemen Kerja No Elemen Kerja
1 Layout design 1 Layout design
2 Computer to plate 2 Imagesetter
3 Pencucian plate 3 Penyinaran film
4 Pengeringan plate 4 Pencucian screen
5 Pengeringan screen
6 Tusir
4.3.2 Pengukuran waktu elemen kerja
Pengukuran waktu elemen kerja dilakukan dengan menggunakan metode
pengukuran waktu kerja henti. Pengukuran ini melalui pengamatan langsung
terhadap proses kerja dari tiap elemen kerja.
Untuk mengetahui nilai rata-rata waktu elemen kerja, maka dilakukan
pengamatan terhadap beberapa jenis pekerjaan yang berbeda pada masing-masing
elemen kerja. Nilai rata-rata dari hasil pengamatan tersebut kemudian dijadikan
nilai waktu rata-rata pengerjaan elemen kerja dari masing-masing elemen kerja
yang diamati. Berikut adalah waktu pengerjaan elemen kerja untuk pembuatan
plate dan screen.
37
Tabel 4.2 Waktu rata-rata elemen kerja pada proses pembuatan plate dan screen
Proses Pembuatan Plate
No Elemen Kerja Waktu Rata-Rata
1 Layout design 18 menit
2 Computer to plate 5 menit
3 Pencucian plate 2 menit
4 Pengeringan plate 10 menit
Proses Pembuatan Screen
No Elemen Kerja Waktu Rata-Rata
1 Layout design 20 menit
2 Imagesetter 3 menit
3 Penyinaran film 7 menit
4 Pencucian screen 5 menit
5 Pengeringan screen 12 menit
6 Tusir 15 menit
4.3.3 Penghitungan waktu siklus (cycle time)
Waktu siklus (cycle time) merupakan waktu yang diperlukan untuk
membuat satu unit produk pada satu stasiun kerja. Waktu siklus dapat diketahui
dari hasil bagi waktu produksi dan target produksi yang telah ditentukan.
Waktu siklus =Waktu tersedia untuk produksi
Jumlah target 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡
Pada bagian pre press bekerja dalam 2 shift kerja (14 jam). Untuk
kebutuhan produksi setiap hari, bagian pre press memproses rata-rata 45 buah
plate setiap harinya. Maka, waktu siklus proses pembuatan plate adalah:
Waktu siklus (𝑝𝑙𝑎𝑡𝑒) =(14 x 60)
45
38
Waktu siklus 𝑝𝑙𝑎𝑡𝑒 =840 menit
45= 18,67 = 19 menit
Sedangkan untuk pembuatan screen, bagian pre press memproses rata-rata
35 buah screen setiap harinya. Maka, waktu siklus proses pembuatan screen
adalah:
Waktu siklus (𝑠𝑐𝑟𝑒𝑒𝑛) =(14 x 60)
35
Waktu siklus 𝑠𝑐𝑟𝑒𝑒𝑛 =840 menit
35= 24 menit
4.3.4 Penyusunan precedence diagram
Merupakan gambaran secara grafis dari urutan kerja dan keterkaitan antar
elemen kerja dalam perakitan sebuah produk. Berdasarkan data dari daftar elemen
kerja, maka precedence diagram dapat dibuat sebagai berikut:
Diagram presedensi dari tugas produksi proses pembuatan plate
Diagram presedensi dari tugas produksi proses pembuatan screen
4.4 Analisis Kondisi Aktual
Kondisi aktual pada bagian pre press di PT. Wahyu Kartumasindo
International saat ini adalah terdapat 4 elemen kerja untuk proses pembuatan
plate. Sedangkan untuk proses pembuatan screen terdapat 6 elemen kerja. Semua
elemen kerja tersebut masing-masing terbagi dalam satu stasiun kerja. Berikut
adalah alokasi elemen kerja untuk masing-masing stasiun kerja saat ini.
1 2 3 4
1 2 3 4 5 6
39
Tabel 4.3 Alokasi elemen kerja pada kondisi aktual
Proses Pembuatan Plate
Stasiun Kerja, K Elemen Kerja, i ti (menit) STk (menit) Idle (menit)
I Layout design 18 18 1
II Computer to plate 5
7 12 Pencucian plate 2
III Pengeringan plate 10 10 9
Proses Pembuatan Screen
Stasiun Kerja, K Elemen Kerja, i ti (menit) STk (menit) Idle (menit)
I Layout design 20 20 4
II Imagesetter 4 4 20
III Penyinaran film 7
12 12 Pencucian screen 5
IV Pengeringan screen 12 12 12
V Tusir 15 15 9
Untuk mengukur performansi dari pengelompokkan elemen kerja ke
dalam stasiun kerja pada kondisi aktual saat ini apakah sudah baik atau belum,
perlu dihitung nilai efisiensi lini, balance delay, dan smoothing index.
Menghitung efisiensi lini (plate):
𝐸𝑓𝑓 = 𝑆𝑇𝑖𝑛
𝑖=1
𝐶𝑇 𝑥 𝑛× 100%
=(18 + 7 + 10)
19 𝑥 3𝑥 100%
= 61,40%
Menghitung efisiensi lini (screen):
𝐸𝑓𝑓 = 𝑆𝑇𝑖𝑛
𝑖=1
𝐶𝑇 𝑥 𝑛× 100%
40
=(20 + 4 + 12 + 12 + 15)
24 𝑥 5𝑥 100%
= 52,50%
Menghitung Balance Delay (plate):
𝐵𝐷 = 𝑛 𝑥 𝐶𝑇 – 𝑡𝑖𝑛
𝑖=1
(𝑛 𝑥 𝐶𝑇)𝑥 100%
=57 − 35
57𝑥 100%
= 38,60%
Menghitung Balance Delay (screen):
𝐵𝐷 = 𝑛 𝑥 𝐶𝑇 – 𝑡𝑖𝑛
𝑖=1
(𝑛 𝑥 𝐶𝑇)𝑥 100%
=120 − 63
120𝑥 100%
= 47,50%
Menghitung Smoothing Index (plate):
𝑆𝐼 = 𝑆𝑇𝑖𝑚𝑎𝑥 − 𝑆𝑇𝑖 2𝑛𝑖=1
= 12 + 122 + 92
= 15,03
Menghitung Smoothing Index (screen):
𝑆𝐼 = 𝑆𝑇𝑖𝑚𝑎𝑥 − 𝑆𝑇𝑖 2𝑛𝑖=1
= 42 + 202 + 122 + 122 + 92
= 28,01
41
Gambar 4.7 Grafik performansi pada kondisi aktual
Dari hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa performansi
pengelompokkan elemen kerja pada bagian pre press (pembuatan plate dan
screen) memiliki kondisi yang kurang baik. Sebagaimana telah diketahui bahwa
keseimbangan lini yang baik memiliki efisiensi lini yang tinggi, balance delay
yang rendah, dan smoothing index yang mendekati angka 0. Sementara itu hasil
perhitungan memperlihatkan performansi pada bagian pre press memiliki nilai
efisiensi yang rendah, balance delay dan smoothing index yang tinggi.
4.4.1 Analisis penyebab ketidakseimbangan lini
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, yang menjadi
penyebab utama terjadinya ketidakseimbangan lini pada bagian pre press adalah
adanya waktu menganggur pada semua stasiun kerja. Waktu menganggur pada
kondisi aktual untuk masing-masing stasiun kerja bisa dilihat pada tabel di bawah
ini.
61,4 %
52,5 %
38,6 %
47,5 %
15,03
28,01
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
Plate Screen
Efisiensi Lini
Balance Delay
Smoothing Index
42
Tabel 4.4 Daftar waktu menunggu bagian pre press pada kondisi aktual
Proses Pembuatan Plate
Stasiun Kerja, K Elemen Kerja, i Idle (menit)
I Layout design 1
II Computer to plate
12 Pencucian plate
III Pengeringan plate 9
Proses Pembuatan Screen
Stasiun Kerja, K Elemen Kerja, i Idle (menit)
I Layout design 4
II Imagesetter 20
III Penyinaran film
12 Pencucian screen
IV Pengeringan screen 12
V Tusir 9
Dari tabel tersebut dapat dilihat pada proses pembuatan plate waktu
menunggu yang terbesar terdapat pada stasiun kerja II (12 menit) dan waktu
menunggu terkecil terdapat pada stasiun kerja I (1 menit). Sedangkan pada proses
pembuatan screen waktu menunggu terbesar terdapat pada stasiun kerja II (20
menit) dan waktu menunggu terkecil terdapat pada stasiun kerja I (4 menit). Hal
ini disebabkan oleh beban kerja yang tidak merata pada masing-masing stasiun
kerja.
4.5 Pembentukan Rancangan Penyeimbangan Lini
4.5.1 Pembentukan rancangan penyeimbangan lini dengan metode
Helgeson-Birnie
Dengan menggunakan metode Helgeson-Birnie, langkah pertama yang
dilakukan adalah menghitung bobot setiap elemen kerja pada kedua proses
43
(pembuatan plate dan screen). Selanjutnya mengurutkan elemen kerja berdasarkan
bobot, dari bobot tertinggi ke bobot terendah. Hasilnya terlihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 4.5 Waktu rata-rata elemen kerja pada proses pembuatan plate dan screen
Proses Pembuatan Plate
Rangking Elemen Kerja Bobot Ti
1 Layout design 35 18
2 Computer to plate 17 5
3 Pencucian plate 12 2
4 Pengeringan plate 10 10
Proses Pembuatan Screen
Rangking Elemen Kerja Bobot Ti
1 Layout design 62 20
2 Imagesetter 42 4
3 Penyinaran film 39 7
4 Pencucian screen 32 5
5 Pengeringan screen 27 12
6 Tusir 15 15
Langkah selanjutnya mengalokasikan elemen kerja pada stasiun kerja
dengan tidak melebihi waktu siklus. Untuk proses pembuatan plate (CT = 19),
pada stasiun kerja I (WS1) dialokasikan elemen kerja dengan bobot tertinggi,
yaitu elemen kerja layout design (t1 = 18), sehingga sisa waktu menjadi 1 (CT –
t1). Elemen kerja di rangking berikutnya, yaitu elemen kerja computer to plate (t2
= 5), tidak dapat dialokasikan ke dalam stasiun kerja I, karena akan membuat
waktu stasiun kerja I > CT. Elemen kerja computer to plate dialihkan ke stasiun
kerja II (WS2), sehingga sisa waktu menjadi 14 (CT – t2). Elemen kerja di
rangking berikutnya, yaitu elemen kerja pencucian plate (t3 = 2), dapat
dialokasikan ke dalam stasiun kerja II, sehingga sisa waktu menjadi 12 (CT – t2 –
t3). Elemen kerja di rangking berikutnya, yaitu elemen kerja pengeringan plate (t4
44
= 10), dapat dialokasikan ke stasiun kerja II, sehingga sisa waktu menjadi 2 (CT –
t2 – t3 – t4).
Sedangkan untuk proses pembuatan screen (CT = 24), pada stasiun kerja I
(WS1) dialokasikan elemen kerja dengan bobot tertinggi, yaitu elemen kerja
layout design (t1 = 20), sehingga sisa waktu menjadi 4 (CT – t1). Elemen kerja di
rangking berikutnya, yaitu elemen kerja imagesetter (t2 = 3), dapat dialokasikan
ke stasiun kerja I, sehingga sisa waktu menjadi 1 (CT – t1 – t2). Elemen kerja di
rangking berikutnya, yaitu elemen kerja penyinaran film (t3 = 7), tidak dapat
dialokasikan ke dalam stasiun kerja I, karena akan membuat waktu stasiun kerja I
> CT. Elemen kerja penyinaran film dialihkan ke stasiun kerja II (WS2), sehingga
sisa waktu menjadi 17 (CT – t3). Elemen kerja di rangking berikutnya, yaitu
elemen kerja pencucian screen (t4 = 5), dapat dialokasikan ke stasiun kerja II,
sehingga sisa waktu menjadi 12 (CT – t3 – t4). Elemen kerja di rangking
berikutnya, yaitu elemen kerja pengeringan screen (t5 = 12), dapat dialokasikan
ke dalam stasiun kerja II, sehingga sisa waktu menjadi 0 (CT – t3 – t4 – t5).
Elemen kerja di rangking berikutnya, yaitu elemen kerja tusir (t6 = 15), tidak
dapat dialokasikan ke dalam stasiun kerja II, karena akan membuat waktu stasiun
kerja II > CT. Elemen kerja tusir dialihkan ke stasiun kerja III (WS3), sehingga
sisa waktu menjadi 9 (CT – t6). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 4.6 Hasil alokasi elemen kerja pada proses pembuatan plate dan
screen dengan metode Helgeson-Birnie
Proses Pembuatan Plate
Stasiun Kerja, K Elemen Kerja, i ti (menit) STk (menit) Idle (menit)
I Layout design 18 18 1
II
Computer to plate 5
17 2 Pencucian plate 2
Pengeringan plate 10
45
Tabel 4.6 Hasil alokasi elemen kerja pada proses pembuatan plate dan
screen dengan metode Helgeson-Birnie (lanjutan)
Proses Pembuatan Screen
Stasiun Kerja, K Elemen Kerja, i ti (menit) STk (menit) Idle (menit)
I Layout design 20 24 0
Imagesetter 4
II
Penyinaran film 7
24 0 Pencucian screen 5
Pengeringan screen 12
III Tusir 15 15 9
Untuk mengukur performansi dari pengelompokkan elemen kerja ke
dalam stasiun kerja ini apakah sudah baik atau belum, perlu dihitung nilai efisiensi
lini, balance delay, dan smoothing index.
Menghitung efisiensi lintasan (plate):
𝐸𝑓𝑓 = 𝑆𝑇𝑖𝑛
𝑖=1
𝐶𝑇 𝑥 𝑛× 100%
=(18 + 17)
19 𝑥 2𝑥 100%
= 92,11%
Menghitung efisiensi lintasan (screen):
𝐸𝑓𝑓 = 𝑆𝑇𝑖𝑛
𝑖=1
𝐶𝑇 𝑥 𝑛× 100%
=(24 + 24 + 15)
24 𝑥 3𝑥 100%
= 87,50%
Menghitung Balance Delay (plate):
46
𝐵𝐷 = 𝑛 𝑥 𝐶𝑇 – 𝑡𝑖𝑛
𝑖=1
(𝑛 𝑥 𝐶𝑇)𝑥 100%
=38 − 35
38𝑥 100%
= 7,89%
Menghitung Balance Delay (screen):
𝐵𝐷 = 𝑛 𝑥 𝐶𝑇 – 𝑡𝑖𝑛
𝑖=1
(𝑛 𝑥 𝐶𝑇)𝑥 100%
=72 − 63
72𝑥 100%
= 12,50%
Menghitung Smoothing Index (plate):
𝑆𝐼 = 𝑆𝑇𝑖𝑚𝑎𝑥 − 𝑆𝑇𝑖 2𝑛𝑖=1
= 12 + 22
= 2,24
Menghitung Smoothing Index (screen):
𝑆𝐼 = 𝑆𝑇𝑖𝑚𝑎𝑥 − 𝑆𝑇𝑖 2𝑛𝑖=1
= 02 + 02 + 92
= 9
47
Gambar 4.8 Grafik performansi dengan metode Helgeson-Birnie
4.5.2 Pembentukan rancangan penyeimbangan lini dengan metode Moodie
Young
Dengan menggunakan metode Moodie Young, langkah pertama yang
dilakukan adalah membuat pengelompokan stasiun kerja berdasarkan matriks
hubungan antar elemen kerja. Bila terdapat dua elemen kerja yang bisa dipilih
maka elemen kerja yang mempunyai waktu lebih besar ditempatkan yang
pertama. Pada fase ini precedence diagram pula dibuat matriks P dan F, yang
menggambarkan elemen kerja pendahulu (P) dan elemen kerja yang mengikuti (F)
untuk semua elemen kerja yang ada. Pada tabel di bawah ini dapat dilihat matriks
P dan F dari precedence diagram.
Tabel 4.7 Matriks P dan F untuk metode Moodie Young
Proses Pembuatan Plate
Elemen Kerja, i Matriks P ti (menit) Elemen Kerja, i Matriks F
Layout design 0 18 Layout design 2
Computer to plate 1 5 Computer to plate 3
Pencucian plate 2 2 Pencucian plate 4
Pengeringan plate 3 10 Pengeringan plate 0
92,11 %87,5 %
7,89 %12,5 %
2,24
9,00
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
Plate Screen
Efisiensi Lini
Balance Delay
Smoothing Index
48
Tabel 4.7 Matriks P dan F untuk metode Moodie Young (lanjutan)
Proses Pembuatan Screen
Elemen Kerja, i Matriks P ti (menit) Elemen Kerja, i Matriks F
Layout design 0 20 Layout design 2
Imagesetter 1 4 Imagesetter 3
Penyinaran film 2 7 Penyinaran film 4
Pencucian screen 3 5 Pencucian screen 5
Pengeringan screen 4 12 Pengeringan screen 6
Tusir 5 15 Tusir 0
Langkah pertama, memilih elemen kerja yang memiiki nilai 0 semua pada
matriks P dan dengan waktu operasi terbesar, bila ada lebih dari satu elemen kerja
yang matriks P-nya 0 semua. Dari tabel diatas, untuk pembuatan plate hanya ada
satu elemen kerja dengan nilai matriks 0, yaitu elemen kerja layout design (t1 =
18). Maka elemen kerja layout design dialokasikan ke stasiun kerja I (WS1),
sehingga sisa waktu menjadi 1 (CT – t1). Langkah kedua, menentukan elemen
kerja di matriks F yang berhubungan dengan elemen kerja yang terpilih di langkah
pertama. elemen kerja yang berhubungan dengan elemen kerja layout design
adalah elemen kerja computer to plate (t2 = 5). Elemen kerja computer to plate
tidak dapat dialokasikan ke dalam stasiun kerja I, karena akan membuat waktu
stasiun kerja I > CT. Elemen kerja computer to plate dialihkan ke stasiun kerja II
(WS2), sehingga sisa waktu menjadi 14 (CT – t2). Elemen kerja yang
berhubungan dengan elemen kerja computer to plate di matriks F adalah elemen
kerja pencucian plate (t3 = 2), dapat dialokasikan ke dalam stasiun kerja II,
sehingga sisa waktu menjadi 12 (CT – t2 – t3). Elemen kerja yang berhubungan
dengan elemen kerja pencucian plate di matriks F adalah elemen kerja
pengeringan plate (t4 = 10), dapat dialokasikan ke stasiun kerja II, sehingga sisa
waktu menjadi 2 (CT – t2 – t3 – t4).
Sementara untuk pembuatan screen juga hanya ada satu elemen kerja
dengan nilai matriks P = 0, yaitu elemen kerja layout design (t1 = 20). Maka
elemen kerja layout design dialokasikan ke stasiun kerja I, sehingga sisa waktu
49
menjadi 4 (CT – t1). Elemen kerja yang berhubungan dengan elemen kerja layout
design di matriks F adalah elemen kerja elemen kerja imagesetter (t2 = 3), dapat
dialokasikan ke stasiun kerja I, sehingga sisa waktu menjadi 1 (CT – t1 – t2).
Elemen kerja yang berhubungan dengan elemen kerja imagesetter di matriks F
adalah elemen kerja penyinaran film (t3 = 7), tidak dapat dialokasikan ke dalam
stasiun kerja I, karena akan membuat waktu stasiun kerja I > CT. Elemen kerja
penyinaran film dialihkan ke stasiun kerja II (WS2), sehingga sisa waktu menjadi
17 (CT – t3). Elemen kerja yang berhubungan dengan elemen kerja penyinaran
film di matriks F adalah elemen kerja pencucian screen (t4 = 5), dapat
dialokasikan ke stasiun kerja II, sehingga sisa waktu menjadi 12 (CT – t3 – t4).
Elemen kerja yang berhubungan dengan elemen kerja pencucian screen di matriks
F adalah elemen kerja pengeringan screen (t5 = 12), dapat dialokasikan ke dalam
stasiun kerja II, sehingga sisa waktu menjadi 0 (CT – t3 – t4 – t5).
Elemen kerja yang berhubungan dengan elemen kerja pencucian screen di
matriks F adalah elemen kerja tusir (t6 = 15), tidak dapat dialokasikan ke dalam
stasiun kerja II, karena akan membuat waktu stasiun kerja II > CT. Elemen kerja
tusir dialihkan ke stasiun kerja III (WS3), sehingga sisa waktu menjadi 9 (CT –
t6). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.8 Hasil alokasi elemen kerja pada proses pembuatan plate dan screen
dengan metode Moodie Young
Proses Pembuatan Plate
Stasiun Kerja, K Elemen Kerja, i ti (menit) STk (menit) Idle (menit)
I Layout design 18 18 1
II
Computer to plate 5
17 2 Pencucian plate 2
Pengeringan plate 10
50
Tabel 4.8 Hasil alokasi elemen kerja pada proses pembuatan plate dan screen
dengan metode Moodie Young (lanjutan)
Proses Pembuatan Screen
Stasiun Kerja, K Elemen Kerja, i ti (menit) STk (menit) Idle (menit)
I Layout design 20 24 0
Imagesetter 4
II
Penyinaran film 7
24 0 Pencucian screen 5
Pengeringan screen 12
III Tusir 15 15 9
Selanjutnya pada fase kedua merupakan perbaikan hasil dari fase pertama.
Langkah pertama adalah mengidentifikasi waktu stasiun kerja maksimal dan
waktu stasiun kerja minimal. Pada proses pembuatan plate stasiun kerja dengan
waktu stasiun maksimal adalah stasiun kerja I (ST1 = 18), sedangkan stasiun kerja
dengan waktu stasiun minimal adalah stasiun kerja II (ST2 = 17). Sehingga GOAL
menjadi 0,5. Sedangkan pada proses pembuatan screen stasiun kerja dengan
waktu stasiun maksimal adalah stasiun kerja I dan II (ST1 dan 2 = 24), sedangkan
stasiun kerja dengan waktu stasiun minimal adalah stasiun kerja III (ST3 = 15).
Sehingga GOAL menjadi 4,5
Pada proses pembuatan plate tidak ada elemen kerja yang mempunyai
waktu lebih kecil dari GOAL. Sedangkan pada proses pembuatan screen terdapat
salah satu elemen kerja mempunyai waktu lebih kecil dari GOAL dan berada di
stasiun kerja I, yaitu elemen kerja imagesetter (t2 = 4). Namun elemen kerja
tersebut tidak dapat dipindahkan ke stasiun kerja III, karena melanggar
precedence diagram.
Dengan demikian proses alokasi elemen kerja dihentikan, dan alokasi
elemen kerja pada fase kedua tidak mengalami perubahan dari fase pertama.
Untuk mengukur performansi dari pengelompokkan elemen kerja ke dalam
51
stasiun kerja ini apakah sudah baik atau belum, perlu dihitung nilai efisiensi lini,
balance delay, dan smoothing index.
Menghitung efisiensi lintasan (plate):
𝐸𝑓𝑓 = 𝑆𝑇𝑖𝑛
𝑖=1
𝐶𝑇 𝑥 𝑛× 100%
=(18 + 17)
19 𝑥 2𝑥 100%
= 92,11%
Menghitung efisiensi lintasan (screen):
𝐸𝑓𝑓 = 𝑆𝑇𝑖𝑛
𝑖=1
𝐶𝑇 𝑥 𝑛× 100%
=(24 + 24 + 15)
24 𝑥 3𝑥 100%
= 87,50%
Menghitung Balance Delay (plate):
𝐵𝐷 = 𝑛 𝑥 𝐶𝑇 – 𝑡𝑖𝑛
𝑖=1
(𝑛 𝑥 𝐶𝑇)𝑥 100%
=38 − 35
38𝑥 100%
= 7,89%
Menghitung Balance Delay (screen):
𝐵𝐷 = 𝑛 𝑥 𝐶𝑇 – 𝑡𝑖𝑛
𝑖=1
(𝑛 𝑥 𝐶𝑇)𝑥 100%
=72 − 63
72𝑥 100%
= 12,50%
52
Menghitung Smoothing Index (plate):
𝑆𝐼 = 𝑆𝑇𝑖𝑚𝑎𝑥 − 𝑆𝑇𝑖 2𝑛𝑖=1
= 12 + 22
= 2,24
Menghitung Smoothing Index (screen):
𝑆𝐼 = 𝑆𝑇𝑖𝑚𝑎𝑥 − 𝑆𝑇𝑖 2𝑛𝑖=1
= 02 + 02 + 92
= 9
Gambar 4.9 Grafik performansi dengan metode Moodie Young
4.6 Analisis Penanggulangan Ketidakseimbangan Lini
Penyeimbangan waktu antar stasiun kerja dibutuhkan dalam hal
menciptakan suatu keseimbangan pada lini produksi. Dalam menyeimbangkan
waktu antar stasiun kerja dapat dilakukan dengan metode konsep penyeimbangan
92,11 %87,5 %
7,89 %12,5 %
2,24
9,00
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
Plate Screen
Efisiensi Lini
Balance Delay
Smoothing Index
53
lini (line balancing), dan menerapkan hasil dari metode konsep penyeimbangan
lini yang telah dilakukan. Hasil yang diperoleh dalam penerapan konsep
penyeimbangan lini tidak benar-benar sempurna, namun diharapkan performansi
lini produksi perusahaan dapat lebih baik setelah penerapan konsep
penyeimbangan lini.
4.7 Analisis Hasil Rancangan Metode Penyeimbangan Lini
Setelah dilakukan proses penyeimbangan lini dengan dua metode, yaitu
metode Helgeson-Birnie dan metode Moodie Young, maka dilakukan pemilihan
metode konsep penyeimbangan lini dengan hasil yang terbaik. Pemilihan metode
konsep penyeimbangan lini yang terbaik berdasarkan kriteria performansi, seperti
efisiensi lini, balance delay, dan smoothing index. Selain itu pemilihan solusi
terbaik juga berdasarkan jumlah stasiun kerja minimum. Perbandingan kriteria
performansi berdasarkan metode Helgeson-Birnie dan metode Moodie Young
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.9 Perbandingan kriteria performansi
Proses Pembuatan Plate
Kriteria Performansi Helgeson-Birnie Moodie Young
Efisiensi Lini 92,11% 92,11%
Balance Delay 7,89% 7,89%
Smoothing Index 2,24 2,24
Jumlah Stasiun Kerja 2 2
Proses Pembuatan Screen
Kriteria Performansi Helgeson-Birnie Moodie Young
Efisiensi Lini 87,50% 87,50%
Balance Delay 12,50% 12,50%
Smoothing Index 9 9
Jumlah Stasiun Kerja 3 3
54
Berdasarkan tabel diatas, perbandingan kriteria performansi dan jumlah
lintasan pada kedua metode memiliki hasil yang sama. Hal ini disebabkan oleh
karena pada penerapan penyeimbangan lini metode Moodie Young tidak bisa
dilanjutkan pada fase 2. Setelah nilai GOAL diperoleh, tidak bisa didapatkan
elemen kerja yang berada pada stasiun kerja dengan waktu stasiun minimal dan
dengan waktu operasi lebih kecil dari nilai GOAL, serta tidak melanggar
precedence diagram. Dengan kata lain metode Moodie Young tidak cocok
digunakan untuk model precedence diagram seperti pada penelitian ini. Maka
dapat dinyatakan bahwa hasil konsep penyeimbangan lini metode Helgeson-
Birnie memiliki hasil yang terbaik. Dimana efisiensi lini mencapai 92,11% dan
87,50%, balance delay sebesar 7,89% dan 12,50%, smoothing index sebesar 2,24
dan 9, serta stasiun kerja berjumlah 2 dan 3.
Untuk alokasi elemen kerja pada masing-masing stasiun kerja dengan
metode terpilih (metode Helgeson-Birnie) dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.10 Alokasi elemen kerja metode terpilih
Proses Pembuatan Plate
Stasiun Kerja Elemen Kerja STk (menit) Idle (menit)
I Layout design 18 1
II
Computer to plate
17 2 Pencucian plate
Pengeringan plate
Proses Pembuatan Screen
Stasiun Kerja, K Elemen Kerja, i STk (menit) Idle (menit)
I Layout design
24 0 Imagesetter
II
Penyinaran film
24 0 Pencucian screen
Pengeringan screen
III Tusir 15 9
55
4.8 Analisis Perbandingan Kondisi Aktual dan Hasil Rancangan
Perbandingan kondisi aktual dengan hasil rancangan dapat dilakukan
dengan membandingkan kriteria performansi, seperti yang dapat dilihat pada
grafik dibawah ini.
Gambar 4.10 Grafik perbandingan kondisi aktual dan hasil rancangan
4.9 Analisis Pengaruh Variabilitas Pada Penyeimbangan Lini Produksi
Melalui Simulasi
Pada penghitungan dengan menggunakan metode-metode penyeimbangan
lini diatas menggunakan data-data yang bersifat statis (deterministik). Sedangkan
pada keadaan aktual data-data tersebut tidak selalu sama, dengan kata lain
terdapat variabilitas data atau data probabilistik. Kali ini data probabilistik
tersebut akan dimasukkan dan dibuatkan dalam sebuah simulasi untuk melihat
seberapa besar pengaruhnya dibandingkan dengan penghitungan menggunakan
61
,4 %
52
,5 %
92
,11
%
87
,5 %
38
,6 % 4
7,5
%
7,8
9 %
12
,5 %
15
,03
28
,01
2,2
4 9,0
0
3,0
0
5,0
0
2,0
0
3,0
00,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
Plate (Kondisi Aktual)
Screen (Kondisi Aktual)
Plate (Rancangan
Metode)
Screen (Rancangan
Metode)
Efisiensi Lini
Balance Delay
Smoothing Index
Stasiun Kerja
56
metode penyeimbangan lini. Simulasi akan dilakukan menggunakan software
promodel.
4.9.1 Simulasi dengan data metode penyeimbangan lini
Tahap pertama adalah dengan membuatkan simulasi berdasarkan data
penghitungan metode penyeimbangan lini. Waktu operasi dan jumlah stasiun
kerja yang digunakan adalah sama dengan penghitungan metode penyeimbangan
lini.
Gambar 4.11 Simulasi promodel pembuatan plate dengan data metode
penyeimbangan lini
57
Gambar 4.12 Simulasi promodel pembuatan screen dengan data metode
penyeimbangan lini
Selanjutnya akan dilakukan proses simulasi (run) dengan pengaturan
waktu simulasi selama 14 jam. Hasilnya adalah seperti gambar di bawah ini.
Gambar 4.13 Hasil simulasi promodel pembuatan plate dengan data metode
penyeimbangan lini
58
Gambar 4.14 Hasil simulasi promodel pembuatan screen dengan data metode
penyeimbangan lini
Dari hasil simulasi tersebut, didapatkan nilai idle time dalam proses
pembuatan plate pada stasiun kerja I adalah 10,95%, dan pada stasiun kerja II
adalah 17,62%, sehingga jika dirata-rata menjadi 14,29%. Sedangkan nilai idle
time dalam proses pembuatan screen pada stasiun kerja I adalah 4,52%, pada
stasiun kerja II adalah 7,26%, dan pada stasiun kerja III adalah 43,21%, sehingga
jika dirata-rata menjadi 18,33%.
4.9.2 Simulasi dengan data probabilistik
Data probabilistik diambil dari 50 sample data waktu proses pengerjaan
pada masing-masing stasiun kerja. Data tersebut dimasukkan dalam program
statfit yang ada di software promodel. Hal ini dilakukan untuk mengetahui nilai
distribusi yang akan dipakai dalam simulasi dengan data probabilistik.
4.9.2.1 Nilai distribusi proses pembuatan plate
Berdasarkan hasil uji distribusi data dengan menggunakan software
promodel (statfit) dapat disimpulkan bahwa untuk proses pembuatan plate pada
stasiun kerja I data berdistribusi Normal (rank 99,7), Lognormal (rank 83), dan
Uniform (rank 18,5). Untuk proses simulasi dipilih nilai distribusi Uniform,
karena sesuai dengan hasil analisis statfit (rank 18.5 / do not reject) seperti
ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
59
Gambar 4.15 Hasil uji distribusi stasiun kerja I proses pembuatan plate
Sementara pada stasiun kerja II hasil uji distribusi data dengan
menggunakan software promodel (statfit) dapat disimpulkan bahwa data
berdistribusi Lognormal (rank 100), Normal (rank 99,9), dan Uniform (rank
17,7). Untuk proses simulasi dipilih nilai distribusi Uniform, karena sesuai dengan
hasil analisis statfit (rank 17.7 / do not reject) seperti ditunjukkan pada gambar di
bawah ini.
Gambar 4.16 Hasil uji distribusi stasiun kerja II proses pembuatan plate
60
4.9.2.2 Nilai distribusi proses pembuatan screen
Berdasarkan hasil uji distribusi data dengan menggunakan software
promodel (statfit) dapat disimpulkan bahwa untuk proses pembuatan screen pada
stasiun kerja I data berdistribusi Lognormal (rank 92,8), Normal (rank 91,4), dan
Uniform (rank 24,3). Untuk proses simulasi dipilih nilai distribusi Uniform,
karena sesuai dengan hasil analisis statfit (rank 24.3 / do not reject) seperti
ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.17 Hasil uji distribusi stasiun kerja I proses pembuatan screen
Sementara pada stasiun kerja II hasil uji distribusi data dengan
menggunakan software promodel (statfit) dapat disimpulkan bahwa data
berdistribusi Normal (rank 97,3), Lognormal (rank 90,2), dan Uniform (rank
24,4). Untuk proses simulasi dipilih nilai distribusi Uniform, karena sesuai dengan
hasil analisis statfit (rank 24.4 / do not reject) seperti ditunjukkan pada gambar di
bawah ini.
61
Gambar 4.18 Hasil uji distribusi stasiun kerja II proses pembuatan screen
Sedangkan pada stasiun kerja III hasil uji distribusi data dengan
menggunakan software promodel (statfit) dapat disimpulkan bahwa data
berdistribusi Normal (rank 100), Lognormal (rank 95,9), dan Uniform (rank
15,6). Untuk proses simulasi dipilih nilai distribusi Uniform, karena sesuai dengan
hasil analisis statfit (rank 15.6 / do not reject) seperti ditunjukkan pada gambar di
bawah ini.
Gambar 4.19 Hasil uji distribusi stasiun kerja III proses pembuatan screen
62
4.9.2.3 Hasil simulasi proses pembuatan plate dengan data probabilistik
Setelah didapatkan nilai distribusi menggunakan program statfit, maka
selanjutnya nilai distribusi tersebut akan dimasukkan dalam simulasi. Pada proses
pembuatan plate, nilai distribusi di stasiun kerja I adalah 18.5, dan stasiun kerja II
adalah 17.7. Pada proses simulasi, waktu proses pengerjaannya diganti dengan
menggunakan distribusi Uniform (U) pada masing-masing stasiun kerja. Seperti
ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.20 Simulasi proses pembuatan plate dengan data probabilistik
Selanjutnya akan dilakukan proses simulasi (run) dengan pengaturan
waktu simulasi selama 14 jam. Hasilnya adalah seperti gambar di bawah ini.
63
Gambar 4.21 Hasil simulasi proses pembuatan plate dengan data probabilistik
Dari hasil simulasi tersebut, didapatkan nilai idle time dalam proses
pembuatan plate pada stasiun kerja I adalah 21,31%, dan pada stasiun kerja II
adalah 28,05%, sehingga jika dirata-rata menjadi 24,68%.
4.9.2.4 Hasil simulasi proses pembuatan screen dengan data probabilistik
Setelah didapatkan nilai distribusi menggunakan program statfit, maka
selanjutnya nilai distribusi tersebut akan dimasukkan dalam simulasi. Pada proses
pembuatan screen, nilai distribusi di stasiun kerja I adalah 24.3, stasiun kerja II
adalah 24.4, dan di stasiun kerja III adalah 15.6. Pada proses simulasi, waktu
proses pengerjaannya diganti dengan menggunakan distribusi Uniform (U) pada
masing-masing stasiun kerja. Seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
64
Gambar 4.22 Simulasi proses pembuatan screen dengan data probabilistik
Selanjutnya akan dilakukan proses simulasi (run) dengan pengaturan
waktu simulasi selama 14 jam. Hasilnya adalah seperti gambar di bawah ini.
Gambar 4.23 Hasil Simulasi proses pembuatan plate dengan data probabilistik
65
Dari hasil simulasi tersebut, didapatkan nilai idle time dalam proses
pembuatan screeen pada stasiun kerja I adalah 9,36%, pada stasiun kerja II adalah
12,63%, dan pada stasiun kerja III adalah 50,68%, sehingga jika dirata-rata
menjadi 24,42%.
4.9.2.5 Perbandingan hasil simulasi data probabilistik dengan data metode
penyeimbangan lini
Dari hasil kedua simulasi diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor
variabilitas waktu proses mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap idle
time. Pada waktu proses dengan data deterministik, idle time pada proses
pembuatan plate adalah 14,29%. Sedangkan dengan memasukkan faktor
variabilitas waktu proses, idle time pada proses pembuatan plate mengalami
peningkatan menjadi 24,68%
Begitu pula pada proses pembuatan screen, idle time dengan waktu proses
menggunakan data deterministik adalah 18,33%. Sedangkan dengan memasukkan
faktor variabilitas waktu proses, idle time pada proses pembuatan screen
mengalami peningkatan menjadi 24,42%.
66
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari seluruh kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini mengenai
penerapan konsep penyeimbangan lini (Line Balancing) pada sistem produksi
bagian pra cetak (pre press) di PT. Wahyu Kartumasindo International dapat
diambil kesimpulan bahwa:
Pada bagian pre press di PT. Wahyu Kartumasindo International penerapan
konsep penyeimbangan lini dilakukan dengan dua metode, yaitu metode
Helgeson-Birnie dan metode Moodie Young. Perbandingan rancangan
penyeimbangan lini dengan kedua metode tersebut memiliki hasil yang sama.
Rancangan penyeimbangan lini dengan metode Moodie Young tidak dapat
dilanjutkan pada fase 2, karena tidak bisa didapatkan elemen kerja yang
berada pada stasiun kerja dengan waktu stasiun minimal dan dengan waktu
operasi lebih kecil dari nilai GOAL, serta tidak melanggar precedence
diagram. Rancangan penyeimbangan lini dengan metode Moodie Young tidak
cocok diterapkan untuk model precedence diagram seperti pada penelitian ini.
Rancangan penyeimbangan lini dengan metode Helgeson-Birnie memiliki
hasil yang terbaik. Dimana efisiensi lini mencapai 92,11% dan 87,50%,
balance delay sebesar 7,89% dan 12,50%, smoothing index sebesar 2,24 dan
9, serta stasiun kerja berjumlah 2 dan 3. Hasil tersebut mengalami peningkatan
jika dibandingkan dengan kondisi aktual. Dimana efisiensi lini mencapai
61,40% dan 52,50%, balance delay sebesar 38,60% dan 47,50%, smoothing
index sebesar 15,03 dan 28,01, serta stasiun kerja berjumlah 3 dan 5.
Data waktu proses dengan variabilitas mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap peningkatan idle time. Hasil simulasi dengan data deterministik, idle
time pada proses pembuatan plate adalah 14,29% dan idle time pada proses
pembuatan screen adalah 18,33%. Sedangkan dengan data probabilistik
67
hasilnya mengalami peningkatan, idle time pada proses pembuatan plate
menjadi 24,68% dan idle time pada proses pembuatan screen adalah 24,42%
5.2 Saran
Penerapan konsep penyeimbangan lini yang dilakukan di bagian pre press
memerlukan keahlian dari operator dalam menyesuaikan peran dan tugasnya
yang baru, sesuai dengan jumlah stasiun kerja yang baru. Keahlian tersebut
bisa melalui pelatihan-pelatihan pada operator tersebut. Hal ini bertujuan
menghindari kesalahan-kesalahan yang timbul dan dapat menghambat
kelancaran dalam proses produksi.
Pada penelitian ini hanya mengambil aspek waktu proses, dan belum
menyentuh aspek dari tata letak lini perakitan perusahaan. Oleh karena itu
disarankan agar penelitian ini dilanjutkan dengan memasukkan faktor tata
letak agar hasil atau rekomendasi dari penelitian ini menjadi lengkap dan siap
diaplikasikan.
Mengurangi variabilitas waktu proses produksi pada setiap stasiun kerja,
karena mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam peningkatan idle time.
Variabilitas waktu proses produksi dapat dikurangi dengan cara meningkatkan
keahlian operator, memperlancar supply bahan baku yang lancar, melakukan
perawatan mesin secara berkala, dan lain sebagainya.
top related