PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS
Post on 22-Nov-2020
3 Views
Preview:
Transcript
PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN
JENIS PORANG DAN PROPORSI TEPUNG SAGU:TEPUNG PORANG
Oleh:
BULQISIA CINDY HANDINI
NIM. 105100101111038
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Teknologi Pertanian
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Lamongan, pada tanggal 12 Agustus 1992. Penulis
merupakan putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Joni
Supriyanto dan Ibu Hartati Handayani. Penulis menjalani pendidikan Sekolah
Dasar di SD Negeri Ardirejo II pada tahun 1998-2004, Sekolah Menengah
Pertama Muhammadiyah 12 Sendangagung Paciran tahun 2004-2007, Sekolah
Menengah Atas Darul Ulum1 Unggulan BPPT 2007-2010.
Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan Strata I di jurusan
Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
Malang. Selama kuliah penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil
Pertanian (HIMALOGISTHA). Pada tahun 2017 penulis telah berhasil
menyelasaikan penelitian dengan judul ”Pembuatan Bihun Berbasis Sagu
(Metroxylon sp.) dengan Kajian Jenis Tepung Porang dan Proporsi Tepung
Sagu:Tepung Porang” dibawah bimbingan Dr. Ir. Aji Sutrisno, M.Sc.
Alhamdulillah...... Terimakasih Yaa Allah
Atas segala nikmat yang telah Engkau berikan..
Karya kecil ini aku persembahkan
kepada Ibunda dan Ayahanda serta Adik-adikku tercinta..
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Nama Mahasiswa : Bulqisia Cindy Handini
NIM : 105100101111038
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul Skripsi : Pembuatan Bihun Berbasis Sagu (Metroxylon sp.) dengan
Kajian Jenis Tepung Porang dan Proporsi Tepung Sagu dan
Tepung Porang
Menyatakan bahwa,
Skripsi dengan judul di atas merupakan karya asli penulis tersebut di atas.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, saya bersedia
dituntut sesuai hukum yang berlaku.
Malang, 26 Mei 2017
Pembuat Pernyataan,
Bulqisia Cindy Handini
NIM. 105100101111038
i
Bulqisia Cindy Handini. 105100101111038. PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS TEPUNG PORANG DAN PROPORSI TEPUNG SAGU:TEPUNG PORANG Pembimbing : Dr. Ir. Aji Sutrisno, M.Sc.
RINGKASAN
Konsumsi beras di Indonesia sangat tinggi namun hal tersebut tidak sejalan dengan produksi beras Indonesia. Produksi beras di Indonesia masih belum dapat memenuhi permintaan masyarakat sehingga mengharuskan pemerintah untuk mengimpor beras agar dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri (Maria, 2014). Pemanfaatan beras selain digunakan sebagai makanan pokok, juga dapat digukan sebagai bahan baku beberapa produk pangan lainnya. Salah satunya adalah pembuatan bihun. Pembuatan bihun dari sumber karbohidrat lain dapat dimanfaatkan untuk mengurangi konsumsi beras serta meningkatkan peluang pemanfaatan pangan sumber karbohidrat indigenous yang tersebar di Indonesia.
Tanaman sagu merupakan salah satu pangan lokal yang memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan. Pati sagu memiliki sifat yang hampir sama dengan beras yaitu memiliki amilosa tinggi berkisar 24-31% yang cocok untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan bihun (Astawan, 2009). Namun pati sagu kurang stabil terhadap panas dan saat dilakukan pencetakan masih belum dapat membentuk untaian-untaian bihun. Maka dari itu dalam pembuatan bihun ditambahkan porang yang berfungsi sebagai pengikat dan untuk memperkokoh bentuk bihun. Tepung porang dipilih karena memiliki sifat thermoirreversible, yaitu mampu mempertahankan bentuk saat diberi perlakuan panas sehingga mampu menjaga keutuhan bentuk bihun sagu. Porang yang digunakan adalah jenis Amorphophallus konjac dan Amorphophallus muelleri blume. Kedua jenis ini dipilih karena merupakan jenis porang yang banyak digunakan secara umum (Sumarwoto, 2005). Kedua porang tersebut akan dibandingkan untuk melihat jenis dan pada konsentrasi berapa yang mampu menghasilkan karakteristik bihun terbaik.
Penelitian ini menggunakan metode Nested Design terdiri dari 2 faktor
dengan 4 ulangan. Faktor pertama adalah jenis tepung porang yang terdiri dari 2 level, yaitu Amorphophallus konjac dan Amorphophallus muelleri blume. Faktor kedua adalah proporsi tepung sagu:porang yang terdiri dari 3 level, yaitu 96:4; 96:4; 92:8. Analisa data menggunakan ragam ANOVA diolah dengan Microsoft Excel. Apabila terdapat beda nyata dilakukan uji lanjut BNT taraf 5%. Hasil uji organoleptik dianalisa menggunakan uji mutu Hedonik. Pemilihan perlakuan terbaik dengan metode Multiple Attribute (Zeleny, 1982).
Hasil penelitian menunjukkanpPerlakuan terbaik bihun sagu diperoleh pada perlakuan bahan menggunakan tepung porang jenis A. konjac dengan proporsi 8% tepung konjac:92% tepung sagu dengan nilai kadar air 4,86%, daya putus 0,53N, waktu pemasakan 5,04 menit, kehilangan padatan 7,42%, daya serap air 210,1%, elongasi 70,83% dan kecerahan warna 59,95.
Kata Kunci: A.konjac, A.muelleri Blume, Bihun, Sagu
ii
Bulqisia Cindy Handini. 105100101111038. Vermicelli Made from Sagoo (Metroxylon sp.), Study: Type of Porang flour and Proportion of Sagoo:Porang Flour Pembimbing : Dr. Ir. Aji Sutrisno, M.Sc
SUMMARY
Indonesias rice consumption is very high, but the rice production is low. Indonesias rice production still unable to demand Indonesian comunity, thus requiring the government have to import rice in order to meet domestic demand (Maria, 2014). Besides being used as staple food, rice also used as raw material of other product, such as starch noodle. Starch noodle making from other carbohidrate can reduce rice consumption and can improve local carbohydrate source in Indonesia.
Sagoo is one of local food that has very high potention to be used for making other product. Sagoo starch has similar characteristic as rice starch which is has high amylose 24-31% and is suitable to be raw material for making vermicelli (Astawan, 2009). But sagoo starch has low stable heat and when extruction procces is done, sagoo dough still can not form noodle strands. So in this research porang is added as binding agent in this starch noodle making. Porang is selected because it has thermoirreversible characteristic hich is can maintain the integrity of sagoo starch noodle form. The porang that used is Amorphophallus konjac and Amorphophallus muelleri Blume. Both types of porang were chosen because they are the most commonly used types (Sumarwoto, 2005). Both types of porang will be compared to see what type that can produce the best characteristic of vermicelli.
This research is using Nesteed Design method that has 2 factors with 4 repeat. The first factor is the type of the binding agent that has 2 levels, which is Amorphophallus konjac and Amorphophallus muelleri Blume. The second factor is the proportion of sagoo flour and binding agent with 3 levels: 96:4; 96:4; 92:8. Data analysis using ANOVA variety processed with Microsoft Excel. If there is a real difference made further test BNT standard of 5%. Best treatment is dermained by using Multiple Attribute (Zeleny, 1992).
Best treatment based on the physicochemical and organoleptic found in treatment that used Amorphophallus konjac 8% and sagoo starch 92%, with the water content 4,86%, tensile strength 0,53N, cooking time 5,04 minutes. Cooking loss 7,42%, rehydration 210,1%, elongation 70,83% and brigthness 59,95. Keyword: A. konjac, A. muelleri Blume, Sagoo, vermicelli
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan Skripsi berjudul “ Pembuatan Bihun Berbasis Sagu (Metroxylon Sp.)
Dengan Kajian: Jenis Porang Dan Proporsi Tepung Sagu:Tepung Porang” sebagai
salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknologi Pertanian.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Ibunda dan Ayahanda serta keluarga tercinta yang senantiasa memberikan
doa, perhatian, nasihat serta dukungan moral dan material kepada penulis.
2. Bapak Dr. Ir. Aji Sutrisnno, M.Sc., selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan dari awal penelitian hingga
selesainya penulisan skripsi ini.
3. Ibu Prof. Dr. Teti Estiasih, STP, MP., selaku ketua jurusan Teknologi Hasil
Pertanian yang telah memberikan arahan kepada penulis.
4. Laboran-laboran yang telah membantu dan memberikan arahan kepada
penulis.
5. Vii yang selalu memberikan dukungan serta motivasinya, yang selalu
meluangkan waktu untuk penulis, hingga penulis dapat menyelesaikan
pengerjaan skripsi ini.
6. Teman-teman seperjuangan THP’10 yang telah memberikan bantuan,
nasihat dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Segenap pihak-pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari adanya keterbatasan dan kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak untuk dapat memperbaiki skripsi ini mendatang. Akhirnya, penulis berharap
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi
penulis dan semua pihak.
Malang, Mei 2017
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN ............................................................................................. i SUMMARY ............................................................................................. ii KATA PENGANTAR .................................................................................. iii DAFTAR ISI ............................................................................................. iv DAFTAR TABEL ........................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x
I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 2 1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 2 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 3
2.1 Sagu ............................................................................................. 3 2.2 Tepung Porang ............................................................................. 5 2.3 Bihun ............................................................................................. 8 2.4 Interaksi Pati dan Tepung Porang ................................................ 10 2.5 Proses Pembuatan BIhun ............................................................. 12 2.6 Bahan Tambahan dalam Pembuatan Bihun ................................ 12 2.6.1 Air ............................................................................................. 12 2.6.2 Kalsium Hidroksida (Ca(OH)2) ...................................................... 13 2.6.3 Asam Sitrat .................................................................................... 14 2.7 Faktor yang Mempengaruhu Mutu BIhun ..................................... 14 III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ......................................... 16
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 16 3.2 Alat dan Bahan ............................................................................. 16 3.2.1 Alat ................................................................................................ 16 3.2.2 Bahan ............................................................................................ 16 3.3 Rancangan penelitian ................................................................... 16 3.4 Pelaksanaan penelitian ................................................................. 17 3.5 Pengamatan dan Analisis ............................................................. 18 3.5.1 Bahan Baku................................................................................... 18 3.5.2 Produk ........................................................................................... 18 3.6 Analisa Data .................................................................................. 18 3.7 Diagram Alir Penelitian ................................................................. 19 3.7.1 Diagram Alir Pembuatan Bihun Sagu ........................................... 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 20 4.1 Karakteristik Bahan Baku ............................................................. 20 4.2 Sifat Fisik dan Kimia Bihun Sagu ................................................ 22 4.2.1 Kadar Air ...................................................................................... 22 4.2.2 Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (Cooking Loss) ........... 25 4.2.3 Elongasi ....................................................................................... 27 4.2.4 Daya Putus (Tensile Strength) ..................................................... 29 4.2.5 Waktu Pemasakan (Cooking Time) .............................................. 32
4.2.6 Daya Serap Air (Rehidrasi) .......................................................... 35 4.2.7 Warna Bihun Sagu ....................................................................... 37
v
4.3 Uji Organoleptik Bihun Sagu ....................................................... 40 4.3.1 Rasa ............................................................................................. 40 4.3.2 Aroma ........................................................................................... 41 4.3.3 Tekstur ......................................................................................... 42 4.3.4 Warna ........................................................................................... 44 4.4 Perlakuan Terbaik ........................................................................ 46 V. PENUTUP ..................................................................................... 49 5.1 Kesimpulan .................................................................................. 49 5.2 Saran ............................................................................................ 49 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 51 LAMPIRAN ............................................................................................. 57
vi
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
2.1 Nilai Gizi sagu dan beberapa bahan pangan per 100 gram ........ 4
2.2 Standar Bihun menurut SNI 01-2975-1992 .................................. 9
3.1 Desain Perlakuan Penelitian ........................................................ 17
4.1 Data Analisa Bahan Baku ............................................................ 21
4.2 Rerata Kadar Air Bihun Sagu Akibat Perlakuan Proporsi Tepung
Sagu:Porang Dengan Jenis Porang Berbeda .............................. 23
4.3 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan
Pengikat Berbeda terhadap Cooking Loss Bihun Sagu 26
4.4 Hasil Uji BNT Jenis dan Perlakuan Proporsi Tepung Sagu:Bahan
Pengikat Berbeda terhadap Elongasi Bihun Sagu ......................... 28
4.5 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan
Pengikat Berbeda terhadap Daya Putus Bihun Sagu ................... 31
4.6 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan
Pengikat Berbeda terhadap Waktu Pemasakan Bihun Sagu ........ 34
4.7 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan
Pengikat Berbeda terhadap Daya Serap Air .................................. 36
4.8 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan
Pengikat Berbeda terhadap Kecerahan Warna Bihun Sagu .......... 38
4.9 Rerata Peringkat Kesukaan Tekstur Bihun Sagu Matang Akibat
Perlakuan Jenis dan Proporsi Bahan Pengikat Berbeda ............... 44
4.10 Rerata Peringkat Kesukaan Warna Bihun Sagu Akibat Perlakuan
Jenis dan Proporsi Bahan Pengikat Berbeda ................................. 45
4.11 Nilai Perlakuan Terbaik Bihun Sagu Setiap Perlakuan ................... 47
4.12 Perbandingan Perlakuan Terbaik Bihun Sagu dengan Bihun
Komersil ........................................................................................... 47
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
2.1 Pati Beras Tanpa KGM ................................................................. 11
2.2 Pati Beras dengan 0,5% KGM ..................................................... 11
3.1 Diagram Alir Pembuatan Bihun Sagu .......................................... 19
4.1 Proses Pembuatan Bihun Kering ................................................ 21
4.2 Rerata Kadar Air Bihun Sagu Akibat Perlakuan Proporsi
Tepung Sagu:Porang dan Jenis Porang Berbeda ....................... 22
4.3 Grafik Rerata Kehilangan Padatan Bihun Sagu pada Jenis
Tepung Porang dan Proporsi Tepung Sagu:Tepung Porang ...... 25
4.4 Grafik Rerata Nilai Elongasi Bihun Sagu pada Proporsi dan Jenis
Bahan Pengikat yang Berbeda ..................................................... 28
4.5 Grafik Daya Putus Bihun pada Proporsi dan Jenis Bahan
Pengikat yang Berbeda .............................................................. 30
4.6 Grafik Rerata Waktu Pemasakan Bihun Sagu Perlakuan Jenis
Bahan Pengikat dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan Pengikat ..... 33
4.7 Grafik Rerata Daya Serap Air Bihun Sagu pada Jenis Bahan
Pengikat dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan Pengikat................. 35
4.8 Grafik Tingkat Kecerahan Bihun Sagu Akibat Penambahan
Jenis dan Proporsi Bahan Pengikat yang Berbeda ..................... 38
4.9 Rerata Peringkat Kesukaan Rasa Bihun Sagu Akibat Perlakuan
Jenis dan Proporsi Bahan Pengikat yang Berbeda ..................... 40
4.10 Rerata Peringkat Kesukaan Aroma Bihun Sagu Akibat Perlakuan
Jenis dan Konsentrasi Bahan Pengikat yang Berbeda ............... 42
4.11 Rerata Peringkat Kesukaan Tekstur Bihun Sagu Akibat
Jenis dan Proporsi Bahan Pengikat yang Berbeda ..................... 43
4.12 Rerata Peringkat Kesukaan Warna Bihun Sagu Akibat Jenis dan
Proporsi Tepung:Bahan Pengikat yang Berbeda ........................ 45
4.13 Bihun Sagu Perlakuan Terbaik .................................................... 48
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Prosedur Analisa ............................................................... 57
Lampiran 2 Kuisioner Uji Organoleptik Bihun Sagu ............................ 61
Lampiran 3 Kuisioner Lembar Penilaian Tingkat Kepentingan
Parameter ........................................................................ . 62
Lampiran 4 Tabel Data Kadar Air Bihun Sagu ................................. . 63
Lampiran 5 Tabel Analisa Ragam Kadar Air Bihun Sagu ................. . 63
Lampiran 6 Uji BNT 5% Tingkat Kecerahan Warna Bihun Sagu ...... . 63
Lampiran 7 Tabel Data Kecerahan Warna Bihun Sagu .................... . 64
Lampiran 8 Tabel Analisa Ragam Kecerahan Warna Bihun Sagu ..... 64
Lampiran 9 Uji BNT 5% Tingkat Kecerahan Warna Bihun Sagu ........ 64
Lampiran 10 Tabel Data Elongasi Bihun Sagu ...................................... 65
Lampiran 11 Tabel Analisa Ragam Elongasi Bihun Sagu ..................... 65
Lampiran 12 Uji BNT 5% Nilai Elongasi Bihun Sagu ............................. 65
Lampiran 13 Tabel Data Nilai Daya Putus (Tensile Strength) Bihun
Sagu .................................................................................. 66
Lampiran 14 Tabel Analisa Ragam Nilai Daya Putus (Tensile
Strength) Bihun Sagu ....................................................... 66
Lampiran 15 Uji BNT 5% Nilai Daya Putus (Tensile Strength) Bihun
Sagu .................................................................................. 66
Lampiran 16 Tabel Data Waktu Pemasakan (Cooking Time) Bihun
Sagu .................................................................................. 67
Lampiran 17 Tabel Analisa Ragam Waktu Pemasakan (Cooking
Time) Bihun Sagu ............................................................ 67
Lampiran 18 Uji BNT 5% Waktu Pemasakan (Cooking Time) Bihun
Sagu .................................................................................. 67
Lampiran 19 Tabel Data Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan
(Cooking Loss) Bihun SAgu .............................................. 68
Lampiran 20 Tabel Analisa Ragam Kehilangan Padatan Akibat
Pemasakan (Cooking Loss) Bihun Sagu ......................... 68
Lampiran 21 Uji BNT 5% Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan
(Cooking Loss) Bihun Sagu .............................................. 68
Lampiran 22 Tabel Data Daya Serap Air (Rehidrasi) Bihun Sagu ....... 69
Lampiran 23 Tabel Analisa Ragam Daya Serap Air (Rehidrasi) Bihun
Sagu .................................................................................. 69
ix
Lampiran 24 Uji BNT 5% Daya Serap Air (Rehidrasi) Bihun Sagu ...... 69
Lampiran 25 Data Analisa Organoleptik Perameter Warna Bihun
Sagu ................................................................................. 70
Lampiran 26 Data Analisa Organoleptik Parameter Aroma Bihun
Sagu .................................................................................. 71
Lampiran 27 Data Analisa Organoleptik Parameter Rasa Bihun Sagu 72
Lampiran 28 Data Analisa Keragaman Organoleptik Parameter
Tekstur Bihun Sagu.......................................................... 73
Lampiran 29 Pemilihan Perlakuan Terbaik ............................................ 74
Lampiran 30 Grafik Normalitas Data Kadar Air ..................................... 78
Lampiran 31 Grafik Normalitas Data Cooking Loss .............................. 78
Lampiran 32 Grafik Uji Normalitas Data Elongasi ................................. 79
Lampiran 33 Grafik Uji Normalitas Data Daya Putus ............................ 79
Lampiran 34 Grafik Uji Normalitas Data Cooking Time ......................... 80
Lampiran 35 Grafik Uji Normalitas Data Daya Serap Air ...................... 80
Lampiran 36 Grafik Uji Normalitas Data Kecerahan Warna .................. 81
1
I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Konsumsi beras di Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan konsumsi
beras rata-rata di kawasan Asean yaitu 139 kg/kapita/tahun (Krisnamuthi, 2010).
Namun hal tersebut tidak sejalan dengan produksi beras Indonesia. Produksi
beras di Indonesia masih belum dapat memenuhi permintaan masyarakat
sehingga mengharuskan pemerintah untuk mengimpor beras agar dapat
memenuhi kebutuhan dalam negeri (Maria, 2014). Dalam Badan Pusat Statistik
(2014) dapat dilihat bahwa Indonesia mengimpor dari beberapa negara, antara
lain Vietnam dengan 171.286 ton atau senilai US$ 97,3 juta. Negara lain
pemasok beras adalah Thailand dengan 194.633 ton beras senilai US$ 61,7 juta
dan disusul India yang mengekspor 107.538 ton beras senilai US$ 44,9 juta ke
Indonesia.
Pemanfaatan beras selain digunakan sebagai makanan pokok, juga dapat
digukan sebagai bahan baku beberapa produk pangan lainnya. Salah satunya
adalah pembuatan bihun. Bihun merupakan salah satu pangan yang berbahan
baku beras yang juga banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Konsumsi bihun
di Indonesia berkembang dengan pesat. Selain itu industri bihun juga merupakan
salah satu peluang usaha yang menguntungkan dengan teknologi yang relatif
mudah dan sederhana. Pembuatan bihun dari sumber karbohidrat lain dapat
dimanfaatkan sebagai diversifikasi pangan nonberas serta meningkatkan
peluang pemanfaatan pangan sumber karbohidrat indigenous yang tersebar di
Indonesia.
Tanaman sagu merupakan salah satu pangan lokal yang memiliki potensi
besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan. Sebanyak 51,3% dari
2,2 juta ha areal lahan sagu terdapat di Indonesia (Sumaryono, 2007). Pati sagu
memiliki sifat yang hampir sama dengan beras yaitu memiliki amilosa tinggi
berkisar 24-31% yang cocok untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan
bihun (Astawan, 2009; Ahmad, 1999). Namun pati sagu kurang stabil terhadap
panas dan saat dilakukan pencetakan masih belum dapat membentuk untaian-
untaian bihun.
Maka dari itu dalam pembuatan bihun ditambahkan porang yang berfungsi
sebagai pengikat dan untuk memperkokoh bentuk bihun. Tepung porang dipilih
karena memiliki sifat thermoirreversible, yaitu mampu mempertahankan bentuk
2
saat diberi perlakuan panas sehingga mampu menjaga keutuhan bentuk bihun
sagu. Porang yang digunakan adalah jenis Amorphophallus konjac dan
Amorphophallus muelleri blume. Kedua jenis ini diilih karena merupakan jenis
porang yang banyak digunakan secara umum (Sumarwoto, 2005). Kedua porang
tersebut akan dibandingkan untuk melihat jenis porang dan pada konsentrasi
berapa yang mampu menghasilkan karakteristik bihun terbaik.
I.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh penambahan tepung porang yang berbeda
terhadap karakteristik bihun sagu?
2. Berapa jumlah penambahan tepung porang yang tepat terhadap
karakteristik bihun sagu?
3. Bagaimana formulasi terbaik untuk menghasilkan bihun sagu yang sesuai
dengan minat konsumen?
I.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh jenis tepung porang terhadap karakteristik bihun.
2. Mengetahui jumlah penambahan tepung porang yang tepat teradap
karakteristik bihun sagu.
3. Mengetahui formulasi terbaik proporsi pati sagu dan tepung porang
terhadap karakteristik bihun.
I.4 Manfaat Penelitian
1. Merupakan salah satu alternatif diversifikasi pangan non beras berbasis
sumber daya pangan lokal dalam upaya untuk membantu meningkatkan
ketahanan pangan.
2. Meningkatkan nilai ekonomi pati sagu dan tepung porang dengan
mengolahnya menjadi bihun.
3. Memberikan informasi mengenai proporsi pati sagu dan tepung porang
yang tepat yang sebaiknya digunakan ditinjau dari karakteristik bihun
yang dihasilkan.
3
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sagu
Tanaman sagu (Metroxylon sp.) banyak dijumpai diberbagai wilayah di
Indonesia, terutama Indonesia bagian timur dan masih tumbuh secara liar.
Indonesia memiliki luas lahan sagu terbesat di dunia, yaitu sekitar 1,128 juta ha,
yang banyak tersebar di wilayah Papua, Maluku, Sulawesi, Riau, dan daerah
lainnya. Sagu merupakan salah satu makanan pokok bagi penduduk Indonesia
Timur. Konsumsi sagu sebagai makanan pokok antara lain diolah menjadi
papeda, kapurung, sagu bakar, dan lain-lain. Saat ini, sekitar 30% masyarakat
Papua dan Maluku masih menggunakan sagu sebagai makanan pokok untuk
sehari-harinya, 50% mengunakan sagu dan umbi-umbian, sedangkan sisanya
terutama penduduk kota telah beralih mengkonsumsi beras (Wulan dan
Soenardi, 2009). Pohon sagu memiliki pertumbuhan yang cepat, dalam satu
tahun dapat bertambah tinggi lebih dari 1,5 meter pada kondisi optimal
(McClatchey et al., 2004). Tinggi pohon sagu yang sudah tua berkisar antara 9-
15 meter dengan umur maksimal adalah 15 tahun. Untuk kebutuhan komersial
pohon sagu yang dipilih biasanya berumur 8 tahun.
Komponen yang paling dominan dalam tanaman sagu adalah pati atau
kerbohidrat. Pati sagu berupa butiran yang berwarna putih mengkilat, tidak
berbau, dan tidak mempunyai rasa. Granula pati sagu berbentuk elips lonjong,
dan berukuran relatif lebih besar dari serealia (Papilaya, 2008). Jika dihitung dari
berat kering, empulur sagu mengandung 54-60% pati dan 40-46% ampas.
Sedangkan jumlah pati yang dihasilkan dari tiap pohon adalah berkisar antara
90-325 kg (Flach, 1983).
Pati sagu dihasilkan dari empulur batang sagu yang diekstrak. Hasil
ekstraksi empulur sagu diolah menjadi pati kering melalui proses pengeringan.
Pati sagu yang telah diekstrak selanjutnya dijemur di atas tampah atau
dikeringkan dengan alat pengering hingga mencapai kadar air kurang dari 13%
basis basah (bb) yang sesuai dalam SNI 01-3729-1995 (Tarigan and Ariningsih,
2007). Pati sagu yang telah kering akan gemerisik jika diremas-remas. Hasil
pengeringan ini disebut dengan pati kasar. Selanjutnya, pati kasar yang telah
dihasilkan ditumbuk atau digiling hingga sekurang-kurangnya 80 mesh sehingga
menjadi pati sagu bubuk atau lebih dikenal dengan tepung sagu.
4
Tabel 2.1 Nilai Gizi sagu dan beberapa bahan pangan per 100 gram
Komponen Sagu Beras
Giling
Kentang Tepung
jagung
Ubi
Kayu
Uwi/ ubi Ubi jalar
Kadar Air
(%)
14,00 13,00 77,80 12,00 62,50 75,00 68,00
Kalori (Kal) 343,00 349,00 85,00 367,00 146,00 89,00 125,00
Protein (g) 0,0 6,80 2,00 9,20 1,20 2,00 1,80
Lemak (g) 0,20 0,70 0,10 3,90 0,30 0,20 0,70
Karbohidra
t (g)
84,70 78,90 19,10 73,70 34,70 19,80 27,90
Mineral (g) 0,40 0,60 1,00 1,20 1,30 3,00 1,10
Kalsium
(mg)
11,00 10,00 11,00 10,00 33,00 45,00 30,00
Fosfor
(mg)
13,00 140,00 56,00 256,00 40,00 280,00 49,00
Besi (mg) 1,50 0,80 0,70 2,40 0,70 1,8 0,70
Sumber: Kam (1992)
Pati sagu merupakan salah satu bentuk karbohidrat yang dapat diaplikasikan
secara luas dalam berbagai industri. Namun, pemanfaatan tersebut sangat
bergantung pada sifat fisikokimia dan fungsionalnya. Karakteristik pati secara
spesifik bergantung pada sumber asal dan cara pengolahannya, misalnya bentuk
dan ukuran granula pati, warna, serta komposisi amilosa dan amilopektinnya.
Setiap jenis pati memiliki sifat yang berbeda tergantung dari panjang rantai C-
nya, apakah memiliki bentuk rantai molekul yang lurus atau bercabang. Pati
mempunyai dua fraksi, fraksi larut air panas yaitu amilosa dan fraksi yang tidak
larut dalam air panas yaitu amilopektin. Amilosa memiliki struktur lurus dengan
ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin memiliki cabang dengan ikatan α-
(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total. Pati sagu alami mengandung
amilosa 39,14% (Kusnandar, 2015).
Kandungan amilosa mempengaruhi tingkat pengembangan dan penyerapan
air dari pati. Semakin tinggi kandungan amilosa, maka kemampuan pati untuk
menyerap air dan mengembang menjadi lebih besar. Amilosa mempunyai
kemampuan membentuk ikatan hidrogen yang lebih besar daripada amilopektin.
Semakin tinggi amilosa pada pati, nilai kelarutannya dalam air juga tinggi, karena
amilosa memiliki sifat yang polar (Juliano, 1994). Kandungan amilosa tinggi
berpotensi digunakan sebagai bahan baku produk-produk instan. Salah satu
5
karakteristik penting dalam produk instan ialah kemampuan rehidrasi produk
(Swinkels, 1985).
Tanaman sagu dapat diolah menjadi bermacam-macam makanan. Salah
satunya adalah diolah menadi bentuk mie. Menurut Prabawati (2005), secara
kesehatan, mengkomsumsi mie sagu mendapat manfaatdari pati resisten (RS).
Pati ini tidak dapat tercerna dalam usus manusia oleh enzim-enzim pencernaan.
Pati resisten mampu mengikat asan empedu, meningkatkan volume feses dan
mempersingkat waktu transit. Kandungan pati resisten dalam mie sagu berkisar
45mg/g atau 4-5 kali lebih besar daripada mie instan dengan bahan baku tepung
terigu. Selain itu pati sagu mengandung serat pangan 3,69-5,96% (Ahmad et al,
1999) dan nilai Indeks Glikemik 28 yang termasuk dalam kategori rendah karena
kurang dari 55 (Pruwani et al., 2006).
2.2 Tepung Porang
Amorphophallus termasuk dalam famili Araceae dan kelas
Monocotyledonae. Tanaman ini diperkirakan memiliki jenis mencapai 170 di
dunia dan banyak dijumpai tumbuh dibeberapa negara di Asia. Di Indonesia
sendiri terdapat 20 jenis yang spesiesnya dikumpulkan dari berbagai tempat di
Indonesia berdasar koleksi di Herbarium Bogoriense dan di pulau Jawa terdapat
8 jenis Amorphophallus (Haryani, 2008).
Salah satu jenis Amorphophallus yang sangat potensial dan banyak
digunakan di Indonesia adalah Amorphophallus muelleri Blume. Dimana pada
beberapa daerah disebut dengan nama walur/suweg (Jawa), acung (Sunda), dan
kruwu (Madura). Amorphophallus muelleri Blume memiliki nama lain A.
Oncophyllus ini biasa tumbuh liar dan banyak ditemukan di hutan jati dan tepian
sungai dan hutan bambu (Santosa et al., 2000).
A. muelleri Blume banyak tumbuh di Indonesia dan hidup di dataran rendah
sampai 1000 mdpl dengan suhu antara 25-35°C dengan curah hujan antara 300-
500 mm pebulan selama periode petumbuhan (Perum Perhutani, 1995). Untuk
pembudidayaan tanaman ini masih terbatas di areal hutan milik Perum Perhutani,
terutama KPH Saradan dan KPH Nganjuk. Umbi porang biasa tumbuh alami di
daerah vegetasi sekunder di tepi-tepi hutan dan belukar, hutan jati, atau hutan
desa. Jenis tanah liat berpasir dengan pH 6-7,5 sangat cocok untuk
pertumbuhan porang.
6
Berbeda dengan Amorphophallus muelleri Blume, Amorphopallus konjac
banyak ditanam dibeberapa negara Asia termasuk China, Jepang dan Thailand
(Techapattaraporn,1992; Takigami, 2000; Li dan Xie, 2003). Umbi ini telah
dibudidayakan di China selama lebih dari 2000 tahun. Konjac merupakan
tanaman tahunan berbentuk umbi dengan daun berbentuk payung. Pada
umumnya konjac banyak ditanam pada musim semi dengan masa tumbuh
selama 6-7 bulan (Bown, 2000; Follett and Douglas, 2002).
Amorphophalus konjac adalah tanaman tahunan dan termasuk dalam
keluarga Araceae. Habitat asli dari tanaman konjac masih belum pasti, namun
dianggap berasal dari Asia Tenggara. Dalam puisi China, konjac telah ditemukan
sekitar abad ketiga. Pada abad keenam, konjac diperkenalkan dari Korea ke
Jepang sebagai obat. Pada abad ke-19 terdapat dua penemuan penting dalam
produksi tepung konjac oleh dua petani. Setelah itu gel konjac semakin populer
yang diolah menjadi makanan dan baru-baru ini ada empat jenis spesies A.
konjac yang dibiakkan secara selektif (Takigami, 2012). Tepung yang dihasilkan
dari jenis ini memiliki warna lebih putih.
Di Jepang maupun di restoran-restoran masakan Jepang banyak
ditemukan masakan berbasis tepung konjac misalnya shirataki ataupun
konnyaku. Shirataki merupakan mie tradisional yang berasal dari Jepang
berbentuk tipis, transparan, kenyal dan rendah kabohidrat. Shirataki berukuran
lebih tipis, tidak mudah putus dan memiliki tekstur yang berbeda dari mie
gandum. Shirataki mulai berkembang menjadi salah satu alternatif pilihan pasta
untuk diet di Eropa dan Amerika Utara (Almond, 2015). Sedangkan konnyaku
merupakan makanan tradisional Jepang yang berbentuk seperti jeli yang terbuat
dari tepung konjac dengan penambahan kalsium hidroksida dalam
pembuatannya.
Kandungan utama dalam tepung porang yaitu glukomannan. Glukomannan
merupakan salah satu polisakarida alami yang berasal dari umbi Amorphophallus
(Fang and Wu, 2004). Kandungan glukomanan dalam umbi porang bervariasi,
berkisar antara 5-65 persen. Untuk kadar mannan yang tumbuh di Indonesia
berkiar antara 14-35 persen (Koswara, 2006). Glukomanan adalah serat pangan
larut air yang bersifat hidrokoloid kuat dan rendah kalori serta merupakan salah
satu komponen kimia terpenting yang terdapat dalam umbi porang (Sood, 2008).
Konjac Glukomannan (KGM) merupakan polisakarida netral yang terdiri
dari mannosa dan glukosa pada rasio approximate 1,6-1,0 (Takigami, 2000).
7
Glukomanan merupakan polisakarida hidrokoloid gabungan glukosa dan
mannosa dengan ikatan β-1,4-glikosida dengan pola (GGMMGMMMMMGGM).
Glukomanan tersusun oleh satuan D-glukosa dan D-mannosa. Hasil analisa
dengan cara hidrolisa asetolisis dari mannan dihasilkan suatu trisakarida yang
tersusun oleh dua D-glukosa dan D-mannosa. Oleh karena itu, dalam satu
molekul mannan terdapat D-glukosa 33% dan D-mannosa 67%. Sedangkan hasil
analisa dengan cara metilasi menghasilkan 2,3,4-trimetilmannosa; 2,3,-
trimetilmannosa; dan 2,3,4-trimetilglukosa. Berdasar hal ini maka bentuk ikatan
yang menyusun polimer mannan adalah β-1,4-glikosida dan β-1,6-glikosida.
Kadar mannan dalam iles-iles ± 41,3 % (Ambarwati et al, 2000).
Konjak glukomannan (KGM) adalah polimer amorf dan memiliki berat
molekul di kisaran 1×105-1×106 Da (Li dan Xie, 2003). Glukomanan telah diakui
GRAS sejak tahun 1994 (Khanna and Tester, 2006). Glukomanan dapat
digolongkan sebagai jenis makanan nonkalori yang banyak diaplikasikan sebagai
dietary fiber, thickening agent, dan fat replacer (Charoenrein, et al., 2011;
Jimenez, et al., 2013).
Pemisahan glukomanan dari umbi pada umumnya dilakukan dengan cara
dicuci, diiris, dikeringkan dan kemudian digiling. Dengan cara ini kandungan
glukomanan yang dihasilkan berkisar antara 50-70% (Tatriat and Charoenrein,
2011). Untuk mendapatkan hasil yang glukomanan yang lebih baik, maka banyak
dilakukan penelitian dengan metode ekstraksi yaitu dengan cara dicuci dengan
air, ethanol dan larutan benzena-alkohol. Metode tersebut sering digunakan
untuk menghilangkan kotoran yang tidak larut (Chen et al., 2005; Zhu, et al.,
2001). Baru-baru ini metode sentrifugasi energi tinggi (1500g) dan kombinasi
perebusan dalam air mendidih dan oencucian dengan ethanol juga mulai diteliti
untuk mengisolasi glukomanan (Jianrong, et al., 2008; Charoenrein, 2011).
Tinggi rendahnya kandungan glukomanan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain: perlakuan pendahuluan (bentuk pengirisan), umur panen,
bagian-bagian yang digiling, alat yang digunakan, kecepatan putaran alat
penggiling dan ulangan waktu penggilingan (Wang and Jhonson, 2006). Warna
merupakan salah satu parameter mutu tepung glukomanan. Warna tepung
glukomanan adalah kuning kecoklatan. Terjadinya pencoklatan disebabkan oleh
reaksi antara gugus karboksil pada gula pereduksi dengan gugus amin pada
asam amino (Winarno, 1993).
8
Dalam proses pengolahan makanan, tepung porang banyak
dimanfaatkan sebagai bahan tambahan, salah satunya adalah sebagai bahan
pengikat. Dwiyanti (2015) dalam penelitian pembuatan krupuk puli, dilakukan
penambahan gel porang yang dimaksudkan sebagai binding agent atau bahan
pengikat untuk menggantikan penggunaan garam bleng dan STTP. Hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa perlakuan terbaik adalah dengan
penambahan gel porang sebanyak 15g mampu menghasilkan krupuk dengan
kadar air 5,77% dan daya kembang hingga mencapai 144,68%. Selain itu masih
banyak lagi pengaplikasian tepung porang dalam proses pembuatan makanan.
Seperti pada pembuatan beras tiruan, edible film, dan lain-lain.
2.3 Bihun
Mie memiliki berbagai jenis berdasar bahan bakunya, antara lain mie terigu
(wheat noodle), mi soba (buckwheat noodle), mi pati (starch noodle), dan mi
beras (rice noodle). Mie juga dapat dibedakan berdasar ketebalannya, antara lain
mi tebal dan mi tipis. Dalam kategori ini, bihun termasuk dalam kelompok mi
beruntaian tipis (Kim, 1999; Fong, 2003). Menurut SNI 01-2975-1992, bihun
adalah produk pangan kering yang dibuat dengan beras dengan atau tanpa
penambahan bahan tambahan pangan yang diizinkan dan berbentuk khas bihun.
Standar bihun menurut SNI 01-2975-1992 dapat dilihat pada Tabel 2.2.
9
Tabel 2.2 Standar Bihun menurut SNI 01-2975-1992
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan Normal
2 Bau Normal
3 Rasa Normal
4 Warna Tidak boleh ada
5 Benda asing
6 Daya tahan
Tidak hancur ika derendam dengan
air pada suhu kamar selama 10
menit
7 Air %b/b Maks 13
8 Abu %b/b Maks 1
9 Protein (Nx6,25) %b/b Min 4
10 Pemutih dan
pematang
Sesuai SNI 01-0222-
1995
11 Cemaran logam
a. Timbal (PB) mg/kg Maks 1,0
b. Tembaga (Cu) mg/kg Maks 10,0
c. Seng (Zn) mg/kg Maks 40,0
d. Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,00
e. Arsen (As) - -
12 Cemaran mikroba
Angkalempeng total Koloni/ram Maks 1,0x106
e. Coli APM/gram Maks 10
Kapang Koloni/gram Maks 1,0x104
Bihun telah dikenal diberbagai negara dengan berbagai istilah, seperti
bihon, bion, bifun, mehon, dan vercimicelli. Istilah bihun berasal dari bahasa
China, yaitu bie yang berarti beras dan hun yang berarti tepung. Dalam pasaran
terdapat dua jenis bihun, yaitu bihun kering dan bihun instan. Bihun kering dalam
penyajiannya hanya perlu direndam dalam air hangat yang selanjutnya dimasak,
dogoreng atau digunakan dalam campuran sup. Penyajian bihun instan berbeda
dengan bihun kering, yaitu dengan pemasakan dengan air mendidih paling lama
tiga menit untuk kemudian dicampur dengan bumbu serbuk seperti pembuatan
mi instan pada umumnya (Astawan, 2000; Koswara , 2006).
Konsumsi bihun di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Bihun merupakan salah satu jenis makanan alternatif utama selain nasi dan mi.
10
Bihun adalah mi yang terbuat dari tepung beras atau tepung lainnya sebagai
bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan lainnya, seperti diberi
perlakuan dengan bahan alkali. Dalam proses pembuatannya, perlu dilakukan
proses gelatinisasi dahulu sebelum bihun dikeringkan (SNI, 2000). Dalam
pembuatan bihun perlu digunakan pati tertentu agar dapat dihasilkan bihun
dengan kualitas yang baik. Sifat bahan baku sangat mempengaruhi kualitas dari
bihun (Wu, dkk., 2006).
Pati yang ideal dalam pembuatan bihun adalah yang memiliki kandungan
amilosa tinggi, derajat pembengkakan dan kelarutan viskositas terbatas serta
karakteristik tipe C (tidak memiliki puncak viskositas namun viskositas cenderung
tinggi dan tidak mengalami penurunan selama proses pengadukan) (Li dan
Vasanthan, 2003). Pati terdiri dari dua macam komponen, yaitu amilosa dan
amilopektin. Pati yang dibutuhkan dalam pembuatan bihun adalah yang
mengandung amilosa tinggi. Amilosa merupakan suatu rantai polisakarida yang
relatif lurus dan tidak bercabang. Ujung rantai yang satu bersifat pereduksi dan
ujung lain bersifat non-pereduksi. Molekul amilosa cenderung membentuk
susunan paralel melalui ikatan hidrogen (Meyer, 2006). Amilosa bersifat hidrofilik,
karena memiliki lebih banyak gugus hidroksil daripada amilopektin. Amilosa
dapat meningkatkan penyerapan air dan membentuk gel lebih mudah karena
rantai lurusnya mudah membentuk jaringan tiga dimensi (Hawab, 2003).
Menurut Rahmi et al. (2009) menyatakan bahwa pembuatan sohun
berbahan baku pati dan campuran air panas 1:0,75(v/v) dapat menghasilkan
sohun dengan kadara air 10,97%, kecepatan pemasakan 3,19 menit dan cooking
loss 2,13%. Menurut Munarso (2012), proses pembuatan sohun pada dasarnya
adalah pembuatan antara pati sagu dan air yang kemudian digelatinisasi yang
selanjutnya dilakukan pencetakan dan pengeringan.
2.4 Interaksi Pati dan Tepung Porang
Glukomanan merupakan salah satu hidrokolid yang banyak diaplikasikan
bersama dengan pati. Charoenrein, et al., (2011) dalam penelitiannya tentang
pengaruh glukomanan pada sineresis dan mikrostruktur dari pati beras,
melaporkan bahwa pada saat dilakukan pemanasan, granula pati mengalami
pembengkakan dan diduga molekul amilosa pada pati mengalami leaching dari
granula pati. Granula pati dengan adanya penambahan konjac glukomanan yang
telah membengkak dalam bentuk gel mempunyai ukuran yang lebih kecil
dibanding dengan gel pati yang tidak mengandung konjak glukomanan. Pati
11
dengan penambahan konjak glukomanan pada saat diamati dibawah mikroskop,
granula pati yang telah membengkak tersebut terlihat memiliki ikatan yang terikat
lebih merata daripada pati tanpa penambahan konjak glukomanan. Maka dari itu,
diduga bahwa bagian kental/gel yang terbentuk disekitar granula pati merupakan
konjac glukomanan yang berinteraksi dengan amilosa yang mengalami leaching.
Hasil tersebut berkorelasi dengan semakin rendahnya % sineresis dan
membentuk matriks yang lebih halus daripada gel pati tanpa penambahan konjac
glukomanan. Menurut Ferrero and Zaritzky (2000), ketika dilakukan pemanasan
antara hidrokolid dan suspensi pati, maka hidrokoloid akan berinteraksi dengan
amilosa yang keluar dari granula pati.
Gambar 2.1 Pati beras tanpa KGM Gambar 2.2 Pati beras dengan 0,5%
KGM
Sumber: Charoenrein, et al., (2011)
Telah ada beberapa penelitian terdahulu yang membahas tentang
pengaplikasian tepung porang dalam pembuatan produk berbasis pati, beberapa
diantaranya adalah Faridah (2014). Faridah dengan penelitiannya yaitu
penambahan porang dalam pembuatan mie basah memberikan pengaruh nyata
terhadap karakteristik pada parameter cooking time, cooking loss, kecerahan
warna, daya putus dan daya serap air. Perlakuan terbaik terdapat pada
penambahan tepung porang 4% yang menghasilkan mie dengan cooking time
2,13 menit, cooking loss 7,03%, daya putus 0,14 N, daya serap air 201,58%,
kecerahan warna 51,41. Selanjutnya yaitu pada pembuatan beras tiruan
(Rahmawati, 2012; Munif, 2016; Herlina, 2016) pembuatan mie (Rahma, 2012;
Purwandari, et al., 2014).
Penggunaan porang banyak digunakan untuk tambahan pada produk
pangan dikarenakan sifat gel porang yang memiliki sifat thermoirrversible. Konjac
glukomanan akan membentuk gel dengan adanya penambahan alkali. Alkali
12
tersebut menghilangkan gugus asetil dari glukomanan (Takigami, 2012). Brooks
(2012) menyebutkan gugus asetil pada porang terbentuk tiap 60-20 gugus gula.
Penghilangan gugus asetil dapat dilakukan dengan menaikkan pH menjadi 9,5
atau lebih tinggi sehingga dapat membentuk gel konjac yang irreversible.
2.5 Proses Pembuatan Bihun
Proses pembuatan bihun memiliki beberapa tahapan, meliputi pembuatan
binder adonan, pembuatan adonan, pencetakan bihun, pengukusan dan
pengeringan. Pembuatan binder diperlukan sebagai perekat pati agar dapat
membentuk adonan dengan baik. Binder selanjutnya dicampurkan pada pati dan
dicampur hingga merata. Penambahan binder harus dalam jumlah yang tepat.
Jumlah binder yang terlalu sedikit akan mengakibatkan adonan tidak terikat
dengan baik sehingga bihun yang dihasilkan rapuh dan mudah patah. Jika
jumlah binder yang ditambah terlalu banyak dapat menyebabkan adonan terlalu
lengket.
Tahap selanjutnya adalah pencetakan menggunakan alat pencetak bihun
atau ekstruder. Hasbullah (2001), menyatakan bahwa bihun dibuat dari beras
melalui proses ekstrusi sehingga memperoleh bentuk seperti benang. Untaian
bihun selanjutnya dimasak dalam air mendidih selama 2 hingga 3 menit,
kemudian direndam dengan air dingin. Tahap terakhir yaitu pengerikan pada
mesin pengering pada suhu 40°C (Collado, 2001; Susilawati, 2007; Ramadhan,
2009). Berikut adalah skema proses pembuatan bihun secara umum:
Pengepresan
Pemasakan tahap pertama: selama 1 jam
Pembentukan Lembaran
pencetakan bihun dengan ekstruder
pemasakan tahap kedua selama 1,5 jam
penjemuran
pengemasan
Tepung Beras+air
bihun kering (Biasa)
13
Pengepresan
Pemasakan tahap pertama: selama 1,5 jam
Pembentukan Lembaran
pencetakan bihun dengan ekstruder
pemasakan tahap kedua selama 2 jam
penjemuran
pengemasan
Gambar 2.3 Proses pembuatan bihun kering dan bihun instan (Koswara, 2006)
2.6 Bahan Tambahan dalam Pembuatan Bihun
2.6.1 Air
Secara umum air merupakan cairan yang tidak berasa, berwarna, dan tidak
berbau. Sedangkan secara kimia air merupakan suatu zat organik yang terdiri
dari dua molekul hidrogen dan mempunyai rumus molekul H2O (Winarno, 2002).
Air yang digunakan dalam proses pengolahan makanan dan minuman harus
memenuhi standar air minum, seperti tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa,
harus bersih, jernih, tidak mengandung logam-logam berat, dan kuman penyakit
(Rismunandar, 1996). Menurut Subarna (1992), air sangat menentukan
konsistensi dan karakteristik rheologi adonan. Selain itu, air juga berfungsi
sebagai pelarut bahan-bahan yang digunakan dalam pengolahan pangan,
sehingga bahan-bahan tersebut terdispersi secara merata.
Pada umumnya jumlah air yang ditambahkan sekitar 28-38% dari campuran
bahan yang akan digunakan. Jika air yang ditambahkan kurang dari 28%,
adonan yang dihasulkan akan menjadi rapuh sehingga akan sulit untuk dicetak
dan jika lebih dari 38% adonan akan menjadi sangat lengket (Widyaningsih dan
Murtini, 2006). Pada proses pembuatan bihun air berfungsi sebagai sarana
pendispersi bahan-bahan akan yang digunakan sehingga bahan-bahan
tercampur rata.
Tepung Beras+air kansui
bihun instan
14
2.6.2 Kalsium Hidroksida
Pembentukan kalsium hidoksida dihasilkan melalui reaksi antara kalsium
oksida (CaO) dengan air atau proses slaking. Larutan Ca(OH)2 termasuk dalam
basa sedang. Kalsium hidroksida dalam pengolahan termasuk bahan tambahan
pangan yang berfungsi sebagai firming agent, anticacking agent, dough
strengthening agent, neutralizing agent, general purpose additive, asidulan, dan
buffer. Kalsium hidroksida pada pangan dapat mempekokoh konsistensi produk
agar tidak hancur selama pemasakan (Anonim, 1997). Menurut Yoshimura dalam
Takigami (2000), glukomanan tidak akan membentuk gel tanpa adanya larutan
alkali, namun hanya menjadi larutan dengan viskositas tinggi.
Bryan dan Hamaker (1997) dalam penelitiannya tentang penggunaan
larutan alkali pada pati dan tepung jagung, menyatakan bahwa Ca(OH)2 akan
terionisasi menjadi Ca++ dan OH- pada pH larutan yang tinggi, kemudian
membentuk ikatan silang (crosslinking) dengan pati. Interaksi Ca++ dengan pati
akan menstabilkan granula pati sehingga granula pati akan lebih kuat dan keras.
Rodrigues, et. al. (1996) menjelaskan bahwa dengan adanya Ca++ dalam pati
akan merusak ikatan pati dengan molekul air. Ca++ akan berikatan silang dengan
molekul amilosa dan amilopektin yang ada dalam pati. Reaksi ini disebut dengan
jembatan kalsium.
Pada proses pembuatan bihun kalsium hidroksida berfungsi untuk
memperkokoh konsistensi bihun sehingga tidak mudah retak dan tidak hancur
pada saat pemasakan.
2.6.3 Asam Sitrat
Asam sitrat merupakan salah satu senyawa acidulant (senyawa asam yang
ditambahkan pada proses pengolahan makanan dengan tujuan tertentu). Asam
sitrat memiliki bentuk bubuk putih, tidak berbau dan larut cepat dalam air
(Pulungan, dkk., 2004). Asam sitrat juga memiliki fungsi sebagai chelating agent
yang dapat mengikat logam sehingga senyawa ini dapat menstabilkan warna,
cita rasa dan tekstur (Kharisma, 2002).
Dalam penelitian ini asam sitrat digunakan untuk mengurangi sifat rekat
glukomanan agar bihun tidak menempel satu sama lain. Menurut Oktsuki (1968)
dalam Syaefullah (1990), senyawa asam yang ditambahkan pada larutan
glukomanan akan menghlangkan sifat rekat glukomanan dalam air. Larutan
glukomanan dengan penambahan senyawa alkali akan membentuk gel
15
dikarenakan rantai gugus asetil terpecah sehingga sel dapat saling berikatan
kuat dalam air. Asam yang ditambahkan dapat membantu memperlambat proses
pemecahan gugus-gugus asetil, sehingga sifat saling merekat akan berkurang
dan bahkan hilang.
4.7 Faktor yang Mempengaruhi Mutu Bihun
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi sifat mie secara umum
antara lain:
1. Karakteristik Bahan Baku
Kandungan bahan seperti konsentrasi amilosa, protein, kekuatan adonan
merupakan faktor yang sangat krusial dalam menentukan kualitas mie.
Komponen-komponen yang ada pada bahan akan mempengaruhi pada proses
pemasakan dan sifat fungsional mie (Ishfak, 2016). Mie yang dibuat dengan
bahan beramilosa tinggi mampu membentuk struktur yang kuat. Kandungan
amilosa pada bahan memiliki hubungan yang erat terhadap tingkat daya terima
dari bihun (Yoenyongbuddhagal, S. & A. Noomhorm, 2002).
2. Kehilangan Padatan (Cooking Loss)
Cooking loss biasanya digunakan sebagai indikasi untuk menentukan
kualitas mie, baik oleh konsumen maupun oleh industri. Pada umumnya,
kehilangan padatan yang rendah menunjukkan bahwa mie tersebut memiliki
kualitas yang baik. Zhou dalam penelitiannya menyatakan bahwa dengan
adanya penambahan tepung konjac mampu mengurangi kehilangan padatan dari
produk (Zhou et al., 2013).
3. Waktu Pemasakan
Waktu pemasakan merupakan faktor yang penting dalam menentukan sifat
dari mie yang dihasilkan. Waktu masak yang cepat dan kehilangan padatan yang
rendah pada saat pemasakan merupakan faktor yang utama dalam menentukan
kualitas mie (Yadav, 2014). Penentuan waktu pemasakan dilakukan dengan
memotong mie yang kering ±2 cm yang selanjutnya dimasak pada air mendidih.
Penentuan waktu pemasakan yang optimum dilakukan dengan memencet
untaian dan dilihat waktu dimana sudah tidak terlihat warna putih pada tengah-
tengah sampel (Fari, et al., 2011; Ahmed, et al., 2015).
4. Tensile Strength
Tekstur mie dapat dilihat dengan pengujian Tensile Strength (kuat tarik). Nilai
tensile strenght dapat menentukan daya putus pada untaian mie. Sifat ini
16
menunjukkan tingkat resistensi mie terhadap kerusakan (Seib et al., 2000). Mie
yang terbuat dari bahan dengan kandungan amilosa tinggi mampu menghasilkan
tensile strength yang baik. Telah dilakukan penelitian bahwa tensile strength
memiliki korelasi yang positif terhadap konsentrasi amilosa. Semakin naiknya
konsentrasi amilosa, mie yang dihasilkan semakin susah untuk diputus dan
memiliki kekuatan meregang yang baik (Chen et al., 2002).
16
III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan dan
Biokimia Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Februari 2016-Oktober 2016.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat-alat yang digunakan adalah glassware, timbangan analitik merk XP-
1500 (Jerman), cabinet dryer, desikator (merk Simax), oven kadar air (merk
Memmert tipe U.30 kapasitas 220˚C, spectrophotometer (Unico UV-2100), kurs
porselin, kompor listrik (merk Maspion), color reader.
3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tepung sagu yang diperoleh
dari Giant swalayan dan tepung porang jenis Amorophallus konjac diperolej dari
CV. Tristar Chemical Surabaya dan Amorpophallus m. blume yang diperoleh dari
PT Ambico Japanan PAsuruan. Bahan tambahan yang digunakan adalah
Kalsium hidroksida (Ca(OH)2), asam sitrat yang diperoleh dari toko kimia Makmur
Sejati, Malang. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa adalah etanol, asam
format, NaOH, H2SO4, asam dinitro salisilat, K2SO4 yang diperoleh dari toko
Kimia Makmur Sejati.
3.3 Rancangan Penelitian
Desain penelitian menggunakan Rancangan Tersarang (Nesteed Design)
dengan dua faktor.
Faktor I: Jenis tepung porang yang terdiri dari 2 level:
C= Tepung Porang Coklat (Amorphophallus m.blume)
P= Tepung Porang Putih (Amorphophallus konjac)
Faktor II: Proporsi tepung sagu: tepung porang
1= 96% Tepung Sagu:4% Tepung Porang
2= 94% Tepung Sagu:6% Tepung Porang
3= 92% Tepung Sagu:8%Tepung Porang
17
Penentuan jumlah ulangan dihitung mengikuti rumus replikasi, yaitu:
(t-1) (r-1) ≥ 15
Keterangan : t = banyaknya taraf perlakuan
r = banyaknya ulangan
Dalam penelitian ini t= 6 (diperoleh dari kombinasi 2 faktor penelitian yaitu
faktor 1 terdiri dari 2 level dari faktor 2 terdiri dari 3 level, sehingga (6-1) (r-1) ≥ 15
dengan memakai rumus tersebut diperoleh jumlah r=4 yang artinya ulangan
dilakukan minimum empat kali, dan diperoleh 24 satuan percobaan. Desain
Perlakuan Penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Desain Perlakuan Penelitian
Jenis Tepung Porang Perlakuan Tepung Sagu
(%)
Tepung Porang
(%)
Tepung Porang Coklat (C) C1 96 4
C2 94 6
C3 92 8
Tepung Porang Putih (P) P1 96 4
P2 94 6
P3 92 8
3.4 Pelaksanaan Penelitian
Metode pembuatan bihun ini mengacu pada Collado et al (2001) dan
Ramadhan (2009) yang dimodifikasi. Pembuatan bihun kering dibuat dari
beberapa tahap, antara lain:
1. Pembautan binder adonan
Pembuatan binder dilakukan dengan perendaman tepung porang dengan
air dan ditambahkan 4ml CaOH2 agar menjadi gel sempurna.
Contoh: untuk pembuatan bihun dengan penambahan tepung porang 4%/100g
bahan, maka dicampurkan 4 gram tepung porang dan 90ml air kemudian
ditambahkan 4ml larutan CaOH2.
2. Pembuatan adonan
Adonan dibuat dengan mencampurkan binder yang telah dibuat dengan
pati kering. Adonan diaduk hingga merata yaitu ketika pati kering telah tercampur
merata dan terikat oleh binder sehingga menyatu saat digenggam.
3. Pencetakan bihun
Pencetakan dilakukan dengan alat pencetak bihun, yaitu adonan
dimasukkan pada alat dan kemudian ditekan hingga adonan terdorong keluar.
18
Lubang cetakan yang berukuran kecil akan menghasilkan untaian bihun yang
seragam.
4. Pemasakan untaian bihun
Untaian bihun kemudian dimasak pada suhu 70-75˚C selama 4 menit
hingga bihun tergelatinisasi.
5. Pengeringan
Bihun yang telah dimasak kemudian dikeringkan dengan pengering kabinet
pada suhu 40°C selama 5 jam.
3.5 Pengamatan dan Analisa
Pengamatan terhadap komposisi kimia tepung porang meliputi: kadar air
dengan Metode Oven (AOAC, 1970 dalam Sudarmadji dkk., 1997), kadar
glukomanan (Peiying et al, 2002). Pengamatan komposisi kimia tepung sagu
meliputi: kadar pati (Sudarmadji dkk, 1997), kadar air (Sudarmadji et al.,1997)
Pengamatan terhadap sifat fisik bihun antara lain penentuan cooking time,
cooking loss, elongasi, warna metode Colorimeter (Yuwono dan Susanto, 1998),
daya rehidrasi. Pengamatan terhadap komposisi kimia bihun meliputi: kadar air
dengan Metode Oven (AOAC, 1970 dalam Sudarmadji dkk., 1997). Pengujian
organoleptik yang dilakukan pada bihun sagu meliputi warna, aroma, rasa, dan
tekstur menggunakan uji sensoris kesukaan (uji hedonik) dengan skala 1-7
dimana semakin tinggi nilai menunjukkan tingkat kesukaan yang semakin tinggi.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisa dengan metode Analisis
Ragam (Analysis of Variant atau ANOVA) jika berbeda nyata dilanjutkan dengan
uji lanjutan BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan selang kepercayaan 5%. Data
hasil uji prganoleptik dianalisis menggunakan uji non parametrik Friedman.
Pemilihan perlakuan terbaik dilakukan dengan metode Multiple Attribute (Zeleny,
1982).
19
3.6 Diagram Alir Penelitian
3.7.1 Diagram Alir Pembuatan Bihun Sagu
Tepung Porang (gram) 4 ; 6 ; 8
Air matang 80 mL
direndam 1 jam
Ca(OH)2 2% 8mL
Tepung Sagu (gram)
96 ; 94 ; 98
diuleni
dicetak
direbus 75-800C selama 7 menit
ditiriskan
dikeringkan dengan pengering kabinet
t=5 jam, T= 60 0C
Bihun sagu
Analisa: - Daya putus - Cooking loss - Hidrasi - Cooking time - Elongasi
Analisa Organoleptik: Warna, rasa, aroma,
tekstur
Analisa :
Kecerahan warna (L*)
Kadar Air
Perebusan selama 5 menit
Bihun sagu masak
Direndam dalam larutan asam sitrat 0,02%, t=30 menit
20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah tepung sagu dan
tepung porang jenis Amorphophallus konjac dan Amorphophallus muelleri Blume
yang berfungsi sebagai bahan pengikat adonan. Pemilihan tepung sagu sebagai
bahan baku dalam pembuatan bihun karena pemanfaatan sagu pada umunya
terbatas sebagai bahan utama atau bahan campuran untuk pembuatan kue dan
makanan kecil. Padahal dengan melihat kandungannya, tepung sagu memiliki
potensi untuk dijadikan bahan baku pembuatan bihun untuk menggantikan
penggunaan beras. Dalam penelitian ini dilakukan penambahan tepung porang
yang digunakan sebagai bahan pengikat adonan. Untuk lebih memudahkan,
tepung porangAmorpophallus konjac disebut dengan porang putih (P) yang
didapatkan dari Tristar Chemical Surabaya dan Amorphophallus muelleri Blume
disebut dengan porang coklat (C) didapat dari PT Ambico Japanan, Pasuruan.
Tahapan proses dapat dilihat pada Gambar 4.1. Untuk hasil analisa bahan dapat
dilihat pada Tabel 4.1
Gambar 4.1. Proses Pembuatan Bihun Kering (Dokumentasi Pribadi)
21
Tabel 4.1 Data Analisa Bahan Baku
Komposisi Tepung sagu A.konjac A.muelleri Blume
Analisa Literatur
Analisa Literatur
Analisa Literatur
Kadar air (%) 9,13 9,6
a 9,58 11-13
c 8,81 9,82
e
Kecerahan warna L* 61,6 - 56,74 66-68
d 48,09 49,49
e
Amilosa (%) 34,15 36,12b - - - -
Kadar pati (%) 80,17 81
a 2,8 - 3,09 2,9
e
Kadar Glukomanan - - 63,75 ≥65
c 69,75 64,77
e
a= Richana and Sunarti, 2004 d=Takigami, 2010 b= Purwani et al., 2006 e= Kurniawati, 2010 c= Professional Standar of China, 2002
Pada pengujian kadar air, kadar air tepung sagu hasil analisa memiliki nilai
lebih rendah dibandingkan dengan literatur. Hal tersebut dapat dimungkinkan
karena tepung sagu yang digunakan dalam penelitian adalah tepung sagu
komersil. Dimana pada tiap industri memiliki syarat mutu tersendiri terhadap
standar pengujian yang digunakan. Namun, selisih dari keduanya tidak terlalu
besar sehingga hasil tersebut masih sesuai dengan literatur.
Dalam pengujian amilosa, tepung sagu bahan baku memiliki nilai yang
sedikit lebih rendah dibandingkan dengan literatur. Begitu pula dangan
kandungan pati bahan memiliki nilai lebih rendah. Menurut Purwani et al. (2006),
tepung sagu memiliki amilosa 36,12%. Perbedaan tersebut dapat dikarenakan
jenis bahan baku yang digunakan dengan literatur juga berbeda. Pati dengan
kandungan amilosa yang tinggi memiliki kekuatan ikatan hidrogen yang lebih
besar karena jumlah rantai lurus yang besar dalam granula. Perbedaan hasil
analisa dengan literatur tidak terlalu besar sehingga dapar disimpulkan bahwa
hasil analisa sesuai dengan literatur. Dengan kandungan amilosa yang tinggi
pada tepung sagu, maka tepung sagu telah memenuhi syarat untuk dapat
dijadikan sebagai bahan baku bihun.
Pengujian pada tepung porang masing-masing juga memiliki perbedaan
hasil dengan literatur. Hal ini dapat dimungkinkan karena perbedaan varietas
bahan baku, tempat tumbuh, iklim, kondisi lingkungan serta proses pengolahan
dari bahan baku menjadi tepung. Menurut Sumarwoto (2006), kadar glukomanan
dalam umbi yang bervariasi dipengaruhi oleh umur tanaman, jenis tanaman,
perlakuan pendahuluan sebelum dikeringkan, serta adanya pengolahan lanjutan.
22
4.2. Sifat Fisik dan Kimia Bihun Sagu
4.2.1 Kadar Air
Kadar air merupakan faktor penting dalam produk pangan yang berpengaruh
pada kenampakan, tekstur dan daya simpan produk. Kadar air berperan penting
dalam mempertahankan mutu bahan pangan (Badarudin, 2006). Kandungan air
menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan pangan. Besarnya
kandungan air dalam pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kecepatan dan aktifitas enzim, aktivitas mikroba dan aktivitas kimiawi, yaitu
proses oksidasi, reaksi non enzimatis, sehingga menimbulkan perubahan sifat-
sifat organoleptik seperti cita rasa, kenampakan dan tekstur bahan pangan
(Winarno, 2004). Menurut Kusnandar (2010), bila pangan dikeringkan maka
sebagian kadar air akan hilang yang menyebabkan tingkat keawetan pangan
meningkat.
Pada pengujian normalitas pada data, didapatkan hasil yang normal yang
dapat dilihat pada Lampiran 30. Data dikatakan normal jika nilai P-Value
menunjukkan hasil P-Value>0,05 dan pada data kadar air menunjukkan angka P-
Value>0,150 maka data dikatakan normal. Hasil penelitian menunjukkan kadar
air bihun sagu berkisar antara 3,68-5,39%. Rerata jumlah kadar air bihun sagu
dengan perlakuan proporsi tepung sagu:porang dengan jenis porang berbeda
dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar4.2 Rerata Kadar Air Bihun Sagu Akibat Perlakuan Proporsi Tepung
Sagu:Porang dan Jenis Porang Berbeda
Berdasarkan Gambar 4.2dapat diketahui bahwa rerata kadar air bihun sagu
secara keseluruhan berkisar antara 3,68-5,39%. Pada bihun sagu dengan
proporsi tepung sagu:porang putih (Amorphophallus konjac) memiliki nilai
2,00
2,50
3,00
3,50
4,00
4,50
5,00
5,50
6,00
(4:96) (6:94) (8:92)
Kad
ar A
ir (
%)
Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)
A. konjac
A.muelleri Blume
23
tertinggi sebesar 4,86% pada proporsi 92% tepung sagu:8% tepung porang dan
terendah pada proporsi 96% tepung sagu:4%% tepung porang dengan nilai
3,68%. Bihun sagu dengan perlakuan proporsi tepung sagu:porang coklat
(Amorphophallus muelleri Blume) menghasilkan nilai tertinggi pada porporsi 92%
tepung sagu:8%% tepung porang sebesar 5,38 dan terendah pada proporsi 96%
tepung sagu:4%% tepung porang dengan nilai kadar air 4,27%. Hasil analisa
sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa jenis bahan pengikat yang
berbeda meberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap kadar air bihun sagu,
begitu pula pada perlakuan perbedaan proporsi juga menunjukkan hasil yang
berbeda nyata pada α=0,05. Hasil uji BNT (α=0,05) jenis dan proporsi porang
yang berbeda terhadap kadar air disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan Pengikat Berbeda terhadap Kadar Air Bihun Sagu Jenis Porang Proporsi Tepung Sagu:
Tepung Porang Rerata Kadar Air BNT 5%
A.konjac 98 : 2 3,68a
0,84 96 : 4 4,38ab
94 : 6 4,86b
A.muelleri Blume 98 : 2 4,27a
0,84
96 : 4 4,77ab
94 : 6 5,39b
Keterangan: angka yang didampingi huruf yang tidak sama pada satu kolom
menunukkan berbeda nyata (α = 0,05)
Berdasar Tabel di atas dapat dilihat bahwa semakin besarnya proporsi
porang yang ditambahkan, kadar air dalam bihun juga meningkat. Peningkatan
kadar air tersebut berhubungan dengan kemampuan memerangkap air yang
tinggi oleh porang. Sehingga semakin banyak porang yang ditambah maka
kandungan air semakin tinggi pula. Seperti halnya Chen (2008) menyatakan
bahwa kelembaban pada film semakin meningkat seiring dengan semakin
besarnya kandungan KGM. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingginya kemampuan
KGM untuk menyerap air daripada pati.
Kemampuan glukomanan yang dapat menyerap air hingga mencapai 200
kali beratnya dan mampu menghambat sineresis, sehingga air yang telah terikat
sulit untuk terlepas kembali (Chan, 2005). Air dalam bahan pangan dibagi
menjadi dua jenis, yaitu air terikat dan air bebas. Air bebas dalam bahan pangan
dapat dengan mudah dihilangkan, misalnya dengan penguapan. Sedangkan air
terikat sulit untuk dihilangkan (Purnomo, 1995). Dengan kemampuan dari
24
glukomanan yang mampu menyerap air dengan baik, dapat dimungkinkan air
tersebut terperangkap dalam glukomanan, sehingga seiring dengan
bertambahnya proporsi tepung porang, kadar air bihun juga semakin tinggi.
Kandungan amilosa pada sagu yang tinggi juga mempengaruhi kadar air
dan daya serap air pada bihun. Semakin tinggi kadar amilosa pada tepung maka
daya serap air semakin tinggi (Kusnandar, 2011). Dalam penelitain Sede (2015)
menyatakan tingginya kadar amilosa maka menaikkan daya serap air, sehingga
jumlah air yang terbuang lebih banyak yang mengakibatkan kadar air beras
analog dari pati sagu lebih rendah. Ketika suatu produk dengan kandungan air
yang lebih tinggi dilakukan pengerigan, maka produk tersebut akan lebih banyak
kehilangan air. Hal tersebut dikarenakan semakin banyak air yang teruapkan
saat dilakukan pengeringan (Indraswari, 2003).
Proses dalam pembuatan bihun dapat juga menjadi faktor yang
berpengaruh dalam kandungan air produk. Menurut Rosdaneli (2005) kadar air
dipengaruhi oleh pengeringan. Proses pengeringan berlangsung dengan
memecahkan ikatan-ikatan air yang terdapat dalam bahan. Apabila ikatan
molekul-molekul air yang terdiri dari unsur-unsur dasar oksigen dan hidrogen
dipecahkan, maka molekul tersebut akan keluar dari bahan. Akibatnya bahan
tersebut akan kehilangan air yang dikandungnya yang mengakibatkan kadar air
menjadi rendah.
4.2.2 Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (Cooking Loss)
Cooking loss atau kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)
merupakan salah satu parameter penting pada bihun. Kehilangan padatan
merupakan jumlah substansi padatan yang hilang bersama air hasil dari
pemasakan mie (Basman and Yalcin, 2008). Semakin besar nilai KPAP
menunjukkan semakin banyaknya padatan yan terlepas dari permukaan bihun
selama pemasakan. Pada produk bihun diharapkan memiliki nilai kehilanggan
padatan yang rendah agar tidak mengurangi massa bihun yang sudah matang.
Menurut Yadav ( 2014), cooking loss merupakan salah satu faktor yang sangat
penting untuk menentukan kualitas mie.
Pada pengujian normalitas pada data, didapatkan hasil yang normal yang
dapat dilihat pada Lampiran 31. Data dikatakan normal jika nilai P-Value
menunjukkan hasil P-Value>0,05 dan pada data kehilangan padatan
menunjukkan angka P-Value>0,150 maka data dikatakan normal. Rerata nilai
kehilangan padatan pada bihun dapat dilihat pada Gambar 4.3.
25
Gambar 4.3 Grafik Rerata Kehilangan Padatan Bihun Sagu pada Jenis Tepung
Porang dan Proporsi Tepung Sagu:Tepung Porang
Pada Gambar 4.3 menunukkan bahwa rerata kehilangan padatan bihun
semakin menurun seiring dengan bertambahnya proporsi porang. Nilai
kehilangan padatan bihun dengan pelakuan proporsi tepung sagu:tepung porang
jenis A.konjac berkisar antara 8,28-11,79%. Untuk proporsi tepung sagu:tepung
porang jenis A. muelleri Blume berkisar 9,27%-15,38%. Nilai tertinggi terdapat
pada bihun sagu pada perlakuan proporsi tepung sagu (96%):tepung porang
jenis A.muelleri Blume (4%) dengan nilai 15,38%. Nilai kehilangan padatan
paling rendah terjadi pada perlakuan proporsi tepung sagu (92%):tepung porang
jenis A.konjac (8%) sebesar 8,28%. Nilai kehilangan padatan tertinggi terdapat
pada bihun dengan perlakuan proporsi tepung sagu:tepung porang coklat, yang
dimungkinkan karena ukuran tepung porang yang lebih besar daripada tepung
sagu.
Menurut Danajaya (2010), tepung porang pada umumnya memiliki ukuran
250-475 µm atau setara dengan 45-60 mesh. Hal tersebut menunjukkan bahwa
tepung porang memiliki ukuran yang lebih besar daripada tepung sagu yang
berukuran 100 mesh (Saripudin, 2006). Ukuran yang berbeda dimungkinkan
akan menjadikan adonan yang terbentuk kurang sempurna sehingga ketika
dilakukan pemasakan terdapat partikel-partikel yang terlepas larut dalam air yang
mengakibatkan persen kehilangan padatan semakin tinggi.
Karakteristik dari pati sagu juga berpengaruh terhadap nilai kehilangan
padatan pada bihun. Pada konsentrasi tepung sagu yang tinggi menghasilkan
bihun dengan kehilangan padatan yang lebih tinggi pula. Menurut Leach (1965)
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
18,00
(4:96) (6:94) (8:92)
Co
kin
g Lo
ss (
%)
Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)
A. konjac
A.muelleri Blume
26
dalam Sede et al. (2015) menyatakan bahwa pada umumnya pati dari akar atau
batang memiliki suhu gelatinisasi lebih rendah daripada pati serelia dan biji-bijian.
Granula pati mudah mengalami pengembangan dan memiliki tingkat pelarutan
pati yang lebih besar. Hal tersebut disebabkan pati dari akar atau batang
mempunyai derajat ikatan antar molekul yang lebih rendah daripada pati yang
berasal dari serealia.
Hasil analisa ragam (lampiran 18) menunukkan bahwa proporsi tepung
sagu:tepung porang (96:4; 94:6; 92:8) berpengaruh nyata terhadap persen
cooking loss bihun sagu (α=5%). Begitu juga perlakuan jenis tepung porang
menunjukkan pengaruh nyata (α=5%) terhadap persen cooking loss bihun sagu.
Untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan perbedaan nyata maka
dilakukan uji BNT yang hasilnya dapat dilijat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan
Pengikat Berbeda terhadap Cooking Loss Bihun Sagu
Jenis Tepung Porang Proporsi Tepung Sagu: Tepung Porang
Rerata cooking loss BNT 5%
A.konjac 96:4 11,79b
2,27 94:6 9,76a
92:8 8,28a
A.muelleri Blume 96:4 15,38b
2,27 94:6 11,13
a
92:8 9,27b
Keterangan: Nilai yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada (α=0,05).
Pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa rerata persen kehilangan padatan
pada bihun semakin berkurang seiring dengan naiknya proporsi tepung porang.
Dalam pembuatan bihun sagu tepung porang memiliki peranan sebagai binder
adonan. Jumlah binder dalam pembuatan bihun memiliki pengaruh yang sangat
penting terhadap kualitas dan tekstur bihun sagu kering. Semakin banyak jumlah
binder yang digunakan, maka semakin kuat ikatan matriks bihun sehingga
padatan tidak mudah terlepas dari matriks bihun saat dilakukan pemasakan.
Menurut Handy (2010) perubahan jumlah binder yang digunakan dalam
pembuatan bihun memiliki pengaruh yang signifikan pada pembuatan bihun
sagu.
Pada gambar 4.3 menunjukkan bahwa seiring naiknya konsentrasi tepung
porang, nilai kehilangan padatan akibat pemasakan semakin menurun. Hal ini
dapat disebabkan karena kuatnya ikatan yang terjadi antara pati dan porang.
27
Dengan semakin kuatnya ikatan yang terbentuk, maka ketika dilakukan
pemanasan pun komponen-komponen yang larut dapat berkurang. Selain itu,
porang sendiri juga memiliki sifat thermoirreversible, dimana porang dapat
mempertahankan bentuknya meskipun dilakukan pemanasan berulang. Sesuai
dalam Herranz (2012), glukomanan dengan penambahan alkali bersifat Themo-
irreversible dengan terbentuknya jaringan yang terikat secara permanen
4.2.3 Elongasi
Elongasi (pemanjangan) merupakan presentase perubahan panjang pada
saat dilakukan penarikan hingga putus (Krochta an de Mulder Johnson, 1997).
Elongasi merupakan salah satu sifat fisik dari mie untuk mengetahui tingkat
elastisitas dari mie yang dihasilkan. Nilai elongasi dapat digunakan untuk
mengetahui sifat kelenturan suatu bahan sehingga dapat diketahui kemampuan
maksimal suatu bahan untuk memanjang (Indraryani, 2003). Elastisitas
didefinisikan sebagai laju bahan yang ketika diubah bentuknya, akan lembali ke
bentuk asal setelah gaya ditiadakan. Pengukuran elongasi dilaukan dengan
memanangkan mie sampai pada titik dimana mie putus atau patah (De man,
1998). Nilai elongasi yang semakin tinggi menunjukkan tingkat elastisitas yang
semakin tinggi.
Pada pengujian normalitas pada data, didapatkan hasil yang normal yang
dapat dilihat pada Lampiran 32. Data dikatakan normal jika nilai P-Value
menunjukkan hasil >0,05 dan pada data elongasi menunjukkan angka P-
Value>0,150 maka data dikatakan normal. Hasil analisa elongasi bihun sagu
dengan perlakuan proporsi tepung sagu:tepung porang dengan dua jenis porang
yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.4.
28
Gambar4.4. Grafik Rerata Nilai Elongasi Bihun Sagu pada Proporsi dan Jenis
Porang yang Berbeda
Gambar 4.4 menunjukkan bahwa nilai elongasi yang dihasilkan berkisar
antara 35,83-70,83. Pembuatan bihun sagu dengan perbandingan tepung
sagu:tepung porang memberikan pengaruh terhadap nilai persen elongasi bihun
sagu yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi tepung porang meningkatkan
nilai persen elongasi bihun sagu. Rerata nilai elongasi tertinggi pada bihun sagu
dengan perlakuan tepung sagu 92%:tepung porang jenis A.konjac 8%, rerata
paling kecil terdapat pada bihun sagu dengan perlakuan tepung sagu
96%:tepung porang jenis A.muelleri Blume 4%.
Hasil analisa ragam (lampiran 10) menunjukkan bahwa jenis tepung porang
yang digunakan berpengaruh nyata terhadap nilai elongasi bihun (α=0,05).
Begitu pula pada perlakuan proporsi tepung sagu:tepung porang 96:4; 94:6; 92:8
memberkan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap nilai elongasi bihun. Untuk
mengetahui tiap perlakuan yang memberikan pengaruh nyata maka dilakukan uji
BNT yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis Proporsi Tepung Sagu:Bahan Pengikat Berbeda terhadap Bihun Sagu Jenis Porang Proporsi Tepung Sagu:
Tepung Porang Rerata Elongasi BNT 5%
A.konjac 96:4 40,83a
13,860 94:6 58,33b
92:8 70,83b
A.muelleri Blume 96:4 35,83a
13,860 94:6 47,50ab
92:8 61,67b
Keterangan: Nilai yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak adanya beda nyata (α=0,05)
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
(4:96) (6:94) (8:92)
Elo
nga
si (
%)
Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)
A.konjac
A.muelleri Blume
29
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa dengan semakin banyaknya proporsi
porang yang digunakan, nilai elongasi bihun sagu semakin meningkat. Baik itu
porang berjenis A.konjac maupun A.muelleri Blume. Seperti yang diungkapkan
oleh Carvalho & Grosso (2006) bahwa porang memiliki interaksi yang bersinergi
dengan pati. Interaksi antara porang dan pati mampu memperbaiki tensile
strength dan juga elongasi pada produk.
Hal lain yang berpengaruh adalah kandungan amilosa bahan. Sagu sendiri
memiliki kandungan amilosa 34,15 yang termasuk cukup tinggi. Interaksi yang
terjadi antara amilosa dan porang mampu meningkatkan elongasi pada bihun.
Pada penelitian ini, semakin tinggi proporsi porang yang ditambahkan maka akan
semakin banyak pula porang yang berikatan dengan amilosa yang ada pada
sagu. Averous & Boquillon (2004) dan Cao et al. (2007) melaporkan bahwa
interaksi yang dihasilkan antara amilosa dan molekul KGM (konjac glukomanan)
lebih kuat jika dibandingkan ikatan antara amilopektin dan KGM. Amilosa lebih
mudah untuk bercampur dengan KGM daripada amilopektin. Jianguang, et al.
(2008) dalam penelitiannya menyatakan, amilosa pada pati memliki struktur yang
mirip dengan KGM, dimana jika keduanya dicampurkan memiliki efek yang
kompatibel dengan KGM. Hal tersebut yang mampu memperbaiki tensile strenght
dan elongasi, yang mana dalam penelitiaannya dalam pembuatan film.
Tepung porang mampu membentuk gel dengan penambahan alkali.
Sehingga dimungkinkan dengan penambahan porang maka nilai elongasi
semakin tinggi yang menjadikan bihun lebih elastis. Sesuai dalam Herranz
(2012), glukomanan dengan penambahan alkali membentuk gel yang
themoirreversible dengan terbentuknya jaringan yang terikat secara permanen.
Maka dengan semakin banyaknya porang yang digunakan dapat menaikkan
tingkat keelastisitas dari bihun sagu yang dihasilkan.
4.2.4 Daya Putus (Tensile Strength)
Daya putus (Tensile Strength) merupakan nilai gaya yang diperlukan untuk
memutus untaian mie. Tensile strength sangat cocok digunakan sebagai
parameter kekuatan mie (Chansri et al., 2005). Nilai yang dihasilkan merupakan
gaya yang diperlukan untuk memutuskan untaian mie. Semakin besar gaya yang
dibutuhkan maka semakin panjang aatau elastis mie tersebut.
Pada pengujian normalitas pada data, didapatkan hasil yang normal yang
dapat dilihat pada Lampiran 33. Data dikatakan normal jika nilai P-Value
menunjukkan hasil>0,05. Pada data Tensile Strength menunjukkan angka P-
30
Value 0,083 maka data dikatakan normal. RetataTensile strength bihun sagu
akibat pelakuan jenis tepung porang dan perbandingan jenis tepung
porang:tepung sagu dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Gambar 4.5Grafik Daya Putus Bihun Akibat Pengaruh Jenis Tepung Porang dan
Proporsi Tepung Sagu:Tepung Porang
Gambar 4.5 dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi konsentrasi jenis
porang (A.konjac dan A.muelleri Blume) cenderung akan menaikkan kuat tarik
dari bihun sagu. Nilai tensile strength yang dihasilkan berkisar antara 0,13-0,53.
Pembuatan bihun sagu dengan perbandingan tepung sagu:tepung porang
memberikan pengaruh terhadap nilai daya putus bihun sagu yang dihasilkan.
Amilosa yang tinggi yang dikandung pada pati sagu dan dengan penambahan
gel glukomanan yang berfungsi sebagai binder bihun sagu menjadikan nilai daya
putus bihun sagu semakin meningkat seiring dengan naiknya konsentrasi gel
porang yang digunakan.
Semakin tingginya daya putus menunjukkan bahwa ikatan dalam bihun
semakin kompak dan kuat. Daya putus terendah terdapat pada bihun sagu
dengan perlakuan penambahan tepung porang A.muelleri Blume pada
konsentrasi 4%. Hal tersebut dapat dikarenakan lemahnya ikatan yang ada pada
bihun sagu. Dalam penelitian Ramadhan (2009), sampel bihun tanpa bahan
pengatur tekstur memiliki nilai kekerasan paling rendah, sehingga ketika
dilakukan pengujian daya putus, nilai yang dihasilkanpun rendah.
Hasil analisa ragam (lampiran 13) menunjukkan bahwa jenis tepung porang
yang digunakan berpengaruh nyata terhadap nilai Tensile Strength bihun
0,000,050,100,150,200,250,300,350,400,450,500,550,600,650,70
(4:96) (6:94) (8:92)
Day
a P
utu
s (N
)
Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)
A. konjac
A.muelleri Blume
31
(α=0,05). Begitu pula pada perlakuan proporsi tepung sagu:tepung porang 96:4;
94:6; 92:8 memberkan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap nilai daya putus bihun.
Untuk mengetahui tiap perlakuan yang memberikan pengaruh nyata maka
dilakukan uji BNT yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan
Pengikat Berbeda terhadap Daya Putus Bihun Sagu
Jenis Porang Proporsi Tepung Sagu: Tepung Porang
Rerata Daya Putus
BNT 5%
A.konjac 96:4 0,18a
0,22 94:6 0,33ab
92:8 0,35b
A.muelleri Blume 96:4 0,13a
0,22 94:6 0,25
a
92:8 0,30a
Keterangan: angka yang didampingi huruf yang tidak sama pada satu kolom
menunukkan berbeda nyata (α = 0,05)
Daya putus tertinggi terdapat pada perlakuan penambahan porang
A.konjac dengan konsentrasi proporsi 8%. Salah satu faktor yang mempengaruhi
tingkat kekerasan bihun adalah kandungan amilosa pada bahan. Amilosa
merupakan faktor penting yang mempengaruhi kekuatan gel pati yang mampu
membuat struktus gel menjadi keras. Amilosa dapat membentuk struktur kristal
karena memiliki struktur rantai polimer yang sederhana sehingga dapat terjadi
interaksi antar molekul yang kuat. Sebagaimana diketahaui pati sagu memiliki
amilosa 34,12. Menurut Kusnandar (2010), pati dengan kandungan amilosa 25-
30% umumnya dapat memberikan karakter gel yang kompak. Maka dengan
kandungan amilosa yang tinggi dapat berpengaruh pada kekuatan tekstur gel.
Selain amilosa, penyebab lain yang mempengaruhi daya putus yaitu
kekompakan ikatan pada campuran pati dan tepung porang. Pada penelitian ini,
adonan yang menggunakan A.muelleri Blume memiliki daya putus yang lebih
rendah dibandingkan dengan A.konjac. Dalam proses pembuatan bihun terdapat
proses mixing, dimana dalam proses ini keseragaman ukuran bahan merupakan
faktor yang penting. Djuragic et al. (2009) menyatakan bahwa keseragaman
ukuran bahan merupakan faktor yang sangat penting dalam proses mixing.
Menurut Chen et al. (2011), ukuran partikel memiliki peranan penting untuk
mendapatkan adonan pasta yang baik. Perbedaan ukuran partikel yang terlalu
besar mengakibatkan adonan menjadi kurang homogen. Diharapkan ukuran
partikel dari bahan memiliki rentang perbedaan ukuran yang seminimal mungkin.
32
Dalam penelitian ini menggunakan dua jenis tepung porang yaitu
Amorphophallus konjac dan Amorphophallus muelleri blume. Berdasar
ukurannya, tepung porang A.konjac memiliki ukuran 80-100 sedangkan tepung
porang lokal pada umumnya memiliki ukuran 250-475 µm atau setara dengan
45-60 mesh (Danajaya 2010). Dengan ukuran A.konjac yang lebih kecil tersebut
menjadikan ikatan yang terbentuk semakin kompak dan kokoh sehingga nilai dari
daya putusnya pun semakin tinggi.
4.2.5 Waktu Pemasakan (Cooking Time)
Cooking time atau waktu pemasakan merupakan waktu yang dibutuhkan
agar bihun tergelatinisasi sempurna saat dimasak. Lama pemasakan ditandai
dengan hilangnya titik putih di bagian tengah untaian saat dilakukan pemasakan
(Basman and Yalchin, 2011). Waktu pemasakan berkaitan erat dengan mutu
bihun yang dihasilkan. Dalam produk bihun, waktu pemasakan yang diharapkan
adalah yang tidak terlalu lama.
Pada pengujian normalitas pada data, didapatkan hasil yang normal yang
dapat dilihat pada Lampiran 34. Data dikatakan normal jika nilai P-Value
menunjukkan hasil >0,05. Pada data Cooking Time menunjukkan angka P-
Value>0,150 maka data dikatakan normal. Rerata waktu pemasakan bihun sagu
dengan perlakukan proporsi tepung sagu:tepung porang dan jenis porang yang
digunakan dapat dilihat pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6. Grafik Rerata Waktu Pemasakan Bihun Sagu Dengan Perlakuan Perpedaan Proporsi Tepung Sagu:Tepung Porang dan Jenis Porang
3,00
3,70
4,40
5,10
5,80
6,50
7,20
7,90
8,60
9,30
(4:96) (6:94) (8:92)
Lam
a w
aktu
Pem
asak
an (m
enit
)
Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)
A. konjac
A.muelleri Blume
33
Gambar 4.6 menunjukkan bahwa rerata cooking time semakin menurun
seiring dengan penambahan tepung porang. Cooking time bihun sagu dengan
penambahan A.konjac sebagai bahan pengikatnya memiliki waktu pemasakan
berkisar 5,59-7,31 menit. Untuk bihun sagu dengan perlakuan menggunakan
A.muelleri Blume memiliki rata-rata waktu 6,23-7,89 menit. Dengan demikian
lama waktu pemasakan terlama adalah pada bihun dengan menggunakan
A.muelleri Blume dengan proporsi tepung sagu 96%:porang 4%. Sedangkan
untuk waktu pemasakan tersingkat terjadi pada bihun dengan A.konjac pada
proporsi tepung sagu 92%:porang 8%.
Berdasar pada grafik di atas, menunjukkan bahwa penggunaan tepung
porang jenis A.konjac memiliki rerata waktu pemasakan yang cenderung lebih
cepat. Hal tersebut dapat terjadi karena porang jenis ini memiliki ukuran partikel
yang lebih kecil jika dibandingkan dengan A.muelleri Blume. Dengan ukuran
partikel yang lebih kecil dapat menyebabkan tingginya tingkat penyerapan air,
sehingga menjadikan waktu pemasakan bihun cenderung lebih singkat. Seperti
diungkapkan oleh Huang dan Lai (2010) bahwa lama waktu pemasakan
dipengaruhi oleh indeks penyerapan air pada mie tersebut. Semakin kecil ukuran
maka meningkatkan luas permukaan dalam penyerapan air dan mampu
mengurangi waktu pemasakan. Choy et al. (2013) juga mengungkapkan bahwa
semakin tinggi daya serap air menyebabkan mi yang dihasilkan menjadi mudah
lunak saat dilakukan pemasakan.
Jika dibandingakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu 3,31
menit (Rahim, 2008); 3,29 menit (Rahim et al.,2009), lama waktu pemasakan
bihun ini cenderung sedikit lebih lama. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh
ukuran dari bihun yang dihasilkan. Pada bihun sagu ini yang sedikit lebih besar
jika dibandingkan dengan bihun-bihun pada umumnya. Dengan ukuran yang
lebih besar ini dapat menjadikan lama waktu pemasakan bihun sedikit lebih lama.
Yoenyongbuddhagal & Noomhorm (2002) dan Huang & Lai (2010)
mengungkapkan bahwa ukuran mie yang lebih tipis memiliki waktu pemasakan
yang singkat karena memiliki luas permukaan yang lebih besar untuk difusi air.
Hasil analisa ragam (lampiran 16) menunjukkan bahwa jenis tepung porang
yang digunakan berpengaruh nyata terhadap waktu pemasakan bihun (α=0,05).
Begitu pula pada perlakuan proporsi tepung sagu:tepung porang 96:4; 94:6; 92:8
memberkan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap waktu pemasakan bihun. Untuk
34
mengetahui tiap perlakuan yang memberikan pengaruh nyata maka dilakukan uji
BNT yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.6 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis Proporsi Tepung Sagu:Bahan Pengikat
Berbeda terhadap Waktu Pemasakan Bihun Sagu
Jenis Porang Proporsi Tepung Sagu: Tepung Porang
Rerata Waktu Pemasakan
BNT 5%
A.konjac 96:4 7,31b
1,33 94:6 5,84a
92:8 5,59a
A.muelleri Blume 96:4 7,89b
1,33 94:6 7,21a
92:8 6,23a
Keterangan: angka yang didampingi huruf yang tidak sama pada satu kolom
menunukkan berbeda nyata (α = 0,05)
Berdasar Tabel 4.6 dapat dijelaskan bahwa semakin banyaknya proporsi
tepung porang yang digunakan maka waktu pemasakan bihun semakin cepat.
Hal tersebut dapat terjadi karena porang sendiri memiliki kemampuan menyerap
air yang tinggi yang mencapai 200 kali lipat serta porang juga memiliki
kemampuan gelatinisasi lebih tinggi daripada tepung lainnya. Seperti yang
terdapat dalam Food Chemical Codex di AS bahwa tepung porang dapat
digunakan sebagai agen pembuatan gel, pengental, pembentuk film, pembuat
emulsi dan stabilisator, sehingga dengan adanya penambahan tepung porang
pada pembuatan bihun mampu mempercepat waktu pemasakan. Khana dan
Tester (2006) mengungkapkan bahwa suhu dan lama gelatinisasi bergantung
pada kandungan air dan banyaknya PKG (Purified Konjac Glucomannan) yang
digunakan. Dengan semakin banyaknya tepung porang yang digunakan maka
mampu mempersingkat waktu pemasakan, dikarenakan kemampuannya
menyerap air yang tinggi sehingga dapat mempercepat waktu pemasakan.
Menurut Kubota, et al. (2003) porositas gel dapat meningkat dengan jumlah
air yang rendah. Selain itu juga ada kaitannya dengan kandungan
amilosa/amilopektin yang dimiliki pati sagu. Pati yang memiliki amilosa tinggi
bersifat kering, kurang lekat dan cenderung mengikat air lebih banyak. Makin
tinggi amilosa, kemampuan pati untuk menyerap dan mengembang menjadi lebih
besar. Amilosa mempunyai kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen yang
lebih besar dari amilopektin (Alam, et al., 2007).
35
4.2.6 Daya Serap Air (Rehidrasi)
Daya serap air merupakan kemampuan bihun untuk menyerap air secara
maksimal. Semakin tinggi nilai daya serap air menyebabkan mie yang dihasilkan
akan mudah lunak saat direbus (Choy et.al, 2013). Semakin tinggi daya rehidrasi
maka penyajian beras berlangsung lebih singkat. Pada pengujian normalitas
pada data, didapatkan hasil yang normal yang dapat dilihat pada Lampiran 35.
Data dikatakan normal jika nilai P-Value menunjukkan hasil >0,05. Pada data
daya serap air menunjukkan angka P-Value>0,150 maka data dikatakan normal.
Rerata daya rehidrasi bihun sagu dengan perlakuan proporsi tepung sagu:tepung
porang dan jenis porang yang berbeda berkisar antara 138,45-210,10%.
Pengaruh jenis tepung porang dengan proporsi tepung sagu:tepung porang
terhadap daya rehidrasi bihun dapat dilihat pada Gambar 4.7.
Gambar 4.7 Grafik Rerata Daya Serap Air Bihun Sagu pada Jenis Bahan
Pengikat dan Proporsi Tepung Sagu:Bbahan Pengikat
Pada Gambar 4.7 dapat dilihat bahwa rerata daya serap air bihun sagu
meningkat pada masing-masing jenis porang seiring dengan meningkatnya
proporsi tepung porang yang ditambahkan. Daya serap air bihun pada
penggunaan tepung porang jenis Amorphophallus konjac berksar pada 160,65-
210,10%. Daya serap air dengan penambahan tepung porang jenis
Amorphophallus muelleri Blume berkisar pada 138,45-181,29%.
Nilai daya serap air terendah terdapat pada penggunaan tepung porang
jenis Amorphophallus muelleri Blume dengan proporsi penambahan sebanyak
4% (b/b). Hal ini mungkin disebabkan dari ukuran dari tepung porang yang lebih
besar dibanding tepung porang jenis A.konjac. Dengan ukurannya yang besar
maka kemampuan dalam penyerapan airnya juga rendah, sehingga menjadikan
bihun dengan perlakuan menggunakan tepung porang Amorpophallus
100,00115,00130,00145,00160,00175,00190,00205,00220,00235,00
(4:96) (6:94) (8:92)
Day
a Se
rap
Air
(%
)
Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu
A. konjac
A.muelleri Blume
36
muelleriBlume memiliki nilai serap air yang lebih rendah. Berdasar ukurannya,
tepung porang A.konjac memiliki ukuran 80-100 sedangkan tepung porang lokal
pada umumnya memiliki ukuran 250-475 µm atau setara dengan 45-60 mesh
(Danajaya 2010).
Nilai analisa ragam (Lampiran 23) menunjukkan bahwa jenis tepung
porang berpengaruh nyata terhadap daya serap air bihun sagu (α=5%). Begitu
pula dengan perlakuan proporsi tepung sagu:tepung porang (96:4; 94:6; 92:8
(b/b)) memberikan perbedaan nuata (α=5%) terhadap daya serap air bihun sagu.
Hasil yang didapat adalah beda nyata, maka perlu dilakukan pengujian lanjut
yaitu uji BNT. Tabel hasil uji BNT dapat dilihat pada Tabel 4.7
Tabel 4.7 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan
Berbeda terhadap Daya Serap Air Bihun Sagu
Jenis Porang Proporsi Tepung Sagu: Tepung Porang
Rerata Daya Serap Air
BNT 5%
A.konjac 96:4 160,653a
26,871 94:6 182,023
a
92:8 210,101b
A.muelleri Blume 96:4 138,453a
26,871 94:6 177,088
b
92:8 181,292b
Keterangan: angka yang didampingi huruf yang tidak sama pada satu kolom
menunukkan berbeda nyata (α = 0,05)
Pada masing-masing tepung porang yang digunakan menunjukkan semakin
besar konsentrasi tepung porang maka semakin tinggi daya serap air. Semakin
tinggi konsentrasi jenis tepung porang (Amorphophallus konjac dan
Amorphophallus muelleri Blume) maka daya serap air semakin meningkat karena
sifat dari tepung porang yang mudah menyerap air. Seperti yang diungkapkan
oleh Hou (2010), bahwa penambahan hidrokoloid dalam pembuatan mie mampu
meningkatkan daya serap air. Menurut Muhamed et al. (2005), jenis polisakarida
larut air ketika ditambahkan maka dapat meningkatkan daya serap air produk.
Dengan adanya penambahan tepung porang yang mengandung glukomannan
dalam pembuatan mie akan meningkatkan daya serap air dari mie tersebut.
Glukomanan yang ada pada porang mempunyai kemampuan menyerap air yang
tinggi. Glukomanan mampu menyerap air hingga 200 kali beratnya dan mampu
menghambat sineresis (Brooks, 2012).
37
4.2.7 Warna Bihun Sagu
.Warna merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi
kenampakan suatu produk. Warna sering kali diperhitungkan secara fisik untuk
menarik minat konsumen. Pengukuran warna pada produk bihun sagu diuji
dengan menggunakan colour reader dengan parameter uji adalah kecerahan
(L*). Tingkat kecerahan warna gelap atau terang ditunjukkan dengan nilai antara
0-100. Nilai 0 menyatakan sangat gelap atau hitam, dengan semakin tinggi
angka maka menunjukkan semakin terang atau putih.
Pada pengujian normalitas pada data, didapatkan hasil yang normal yang
dapat dilihat pada Lampiran 36. Data dikatakan normal jika nilai P-Value
menunjukkan hasil P-Value>0,05. Pada data kecerahan warna menunjukkan
angka P-Value>0,150 maka data dikatakan normal. Tingkat kecerahan bihun
sagu berkisar 50,14-59,95. Rerata nilai kecerahan akibat penambahan jenis
bahan pengikat yang berbeda dengan proporsi yang berbeda dapat dilihat pada
Gambar 4.8.
Gambar4.8 Grafik Tingkat Kecerahan Bihun Sagu Akibat Penambahan Jenis
dan Proporsi Bahan Pengikat yang Berbeda
Berdasarkan Gambar 4.8 dapat dilihat bahwa semakin tinggi perlakuan
penambahan tepung porang memiliki efek perubahan warna yang berbeda. Pada
perlakuan menggunakan A.konjac, kecerahan tertinggi didapat pada proporsi
A.konjac 8% dan tepung sagu 92% sebesar 59,95. Untuk nilai kecerahan
terendah terjadi pada perlakuan A.konjac 4% dan tepung sagu 96% dengan nilai
kecerahan 57,11. Untuk perlakuan menggunakan A.muelleri Blume diperoleh
nilai tertinggi pada proporsi A.muelleri Blume 4% dan tepung sagu 96% dengan
40,00
42,00
44,00
46,00
48,00
50,00
52,00
54,00
56,00
58,00
60,00
62,00
(4:96) (6:94) (8:92)
KEc
era
han
War
na
Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)
A. konjac
A.muelleri Blume
38
nilai 53,65. Nilai terendahnya diperoleh nilai 50,14 pada proporsi A.muelleri
Blume 8% dan tepung sagu 92%. Dari hasil analisa ragam (α=0,05) didapatkan
hasil bahwa perlakuan jenis tepung porang memberikan pengaruh nyata pada
nilai kecerahan bihun. Begitu pula pada perlakuan proporsi tepung sagu dan
porang (96:4; 94:6; 92:8 (b/b)) menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap
warna bihun sagu yang dihasilkan (α=0,05). Rerata kecerahan warna dapat
dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel4.8Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan
Pengikat Berbeda terhadap Kecerahan Warna Bihun Sagu
Jenis Porang Proporsi Tepung Sagu: Tepung Porang
Rerata Kecerahan Warna
BNT 5%
A.konjac 96:4 57,11a
1,26
94:6 58,19a
92:8 59,95b
A.muelleri Blume 96:4 53,65b
1,26
94:6 52,39b
92:8 50,14a
Keterangan: angka yang didampingi huruf yang tidak sama pada satu kolom
menunukkan berbeda nyata (α = 0,05)
Dalam Tabel 4.8 diketahui bahwa perlakuan menggunakan A.konjac
memiliki tingkat kecerahan lebih tinggi daripada tepung porang jenis A.muelleri
Blume. Pada penggunaan A.konjac menunjukkan nilai semakin meningkat,
sedangkan bihun yang menggunakan A.muelleri Blume menunjukkan nilai
kecerahan yang semakin menurun seiring peningkatan proporsi porang yang
ditambahkan. Hal tersebut dipengaruhi karena secara visual kedua porang
tersebut memiliki warna yang berbeda. A.konjac memiliki warna yang putih,
sedangkan A.muelleri Blume memiliki warna yang cenderung kecoklatan.
Berdasar analisa bahan baku juga sudah dapat dilihat adanya perbedaan warna.
Ketika dilakukan pengujian menggunakan colour reader, porang jenis A.konjac
memiliki tingkat kecerahan sebesar 63,74 dan A.muelleri Blume dengan tingkat
kecerahan 48,09.
Seperti disebutkan dalam Takigami (2000), bahwa perbedaan kecerahan
warna tepung porang dipengaruhi oleh tempat tumbuhnya tanaman. Porang
yang tumbuh di Indonesia memiliki warna yang kuning dimana dalam penelitian
ini yang digunakan adalah A.muelleri Blume, sedangkan porang yang berasal
dari Jepang maupun China memiliki warna putih dimana dalam penelitian ini
adalah A.konjac. Porang yang tumbuh dan dibudidayakan di Jepang memiliki
39
derajat putih 66,00-68,00. Untuk porang dari China memiliki derajat putih
mencapai 69,00. Dengan demikian, maka bihun yang menggunakan a.mulleri
Blume memiliki tingkat kecerahan yang semakin menurun seiring bertambahnya
porang yang digunakan. Untuk bihun yang menggunakan A.konjac cenderung
memiliki warna yang cerah. Karena kecerahan warna pada produk pangan
sangat dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan.
Derajat warna putih pada tepung dapat juga dipengaruhi oleh kadar pati,
kalsium oksalat dan suhu. Warna kuning kecoklatan pada porang bisa terjadi
karena adanya reaksi pencoklatan antara gugus karboksil pada gula reduksi
dengan gugus amin pada asam amino (Winarno, 1988). Selain itu, reaksi
enzimatis dapat pula menjadi pemicu terbentuknya warna coklat. Menurut Zhao
et al. (2010) reaksi enzimatis dapat terjadi karena tepung mengandung
polifenoloksidase dan tannin yang mudah sekali berinteraksi selama proses
sehingga terbentuklah warna coklat.
4.3 Uji Organoleptik Bihun Sagu
Uji organoleptik bihun sagu dilakukan dengan menggunakan metode uji
kesukaan (Hedonik Scale Scoring), yaitu merupakan salah satu uji penerimaan.
Pengujian organoleptik digunakan untuk mengetahui penilaian subyektif oleh
konsumen dan dapat digunakan untuk mengetahui kualitas mie (Li, et al., 2012).
Panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapannya terhadap produk bihun
sagu. Tingkat kesukaan ini disebut dengan skala hedonik yang dalam
penguijaannya digunakan skala 1-7 dengan kriteria sangat tidak menyukai
hingga sangat menyukai, dengan rincian nilai sebagai berikut:
1 : sangat tidak menyukai
2 : tidak menyukai
3 : kurang menyukai
4 : netral
5 : agak menyukai
6 : menyukai
7 : sangat menyukai
Uji organoleptik dilakukan menggunakan 20 panelis untuk menyatakan
tanggapan pribadinya tentang tingkat kesukaan terhadap rasa, aroma, tekstur
serta warna pada bihun sagu. Skala hedonik yang digunakan ditransformasikan
menjadi skala numerik dengan angka. Angka terendah dinyatakan dengan tidak
menyukai, dan dengan semakin tingginya angka maka dinyatakan semakin
40
menyukai. Hal ini dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat
kesukaan antar perlakuan yang ada, dengan hasil pengamatan meliputi rasa,
aroma, tekstur dan warna.
4.3.1.Rasa
Uji organoleptik rasa dimaksudkan untuk mengetahui rerata skor
kesukaan panelis terhadap rasa bihun sagu. Rasa makanan atau minumana
adalah turunan dari sebagian komponen pangan yang terlarut dalam air liur
selama makanan dicerna secara mekanis dalam mulut. Rasa merupakan
komponen sensori yang penting dalam makanan karena konsumen cenderung
menyukai makanan dengan citarasa yang enak. Rerata tingkat kesukaan
terhadap rasa bihun sagu berkisar antara 4,4-4,7. Grafik rerata nilai panelis
terhadap bihun sagu yang dihasilkan disaikan pada Gambar 4.9.
Gambar 4.9Rerata Peringkat Kesukaan Rasa Bihun Sagu Akibat Perlakuan
Jenis dan Proporsi Bahan Pengikat yang Berbeda
Berdasar Gambar 4.9dapat diketahui bahwa perlakuan jenis dan proporsi
bahan pengikat tidak memberikan perbedaan kesukaan rasa yang signifikan.
Perlakuan A.konjac mendapatkan nilai tertinggi pada proporsi sagu 96%:porang
4% dengan skor 4,7 dan terendah pada proporsi sagu 94%:porang 6%.
Perlakuan A.muelleri Blume mendapat skor tertinggi pada proporsi 94% tepung
sagu:6% porang sebesar 4,7 dan terendah pada proporsi 94% tepung sagu: 6%
tepung porang sebesar 4,4.
Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis dan
proporsi bahan pengikat tidak memberikan pengaruh berbeda nyata (α=0,05)
4
4,1
4,2
4,3
4,4
4,5
4,6
4,7
4,8
4,9
(4:96) (6:94) (8:92)
Per
ingk
at K
esu
kaan
Ras
a
Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)
A.konjac
A.muelleri blume
41
terhadap tingkat kesukaan rasa bihun sagu oleh panelis. Bihun yang dihasilkan
memberikan rasa yang netral seperti bihun pada umumnya. Adanya
penembahan porang tidak memberikan efek yang signifikan pada tingkat
kesukaan rasa oleh panelis.
4.3.2 Aroma
Aroma merupakan komponen bau yang dirimbulkan oleh suatu produk
yang terindikasi oleh indera pencium. Uji aroma organoleptik dilakukan untuk
mengetahui rerata skor kesukaan panelis terhadap aroma dari bihun sagu.
Berdasar kuisioner penelitian, peringkat kesukaan aroma bihun sagu oleh panelis
berkisa antara 4,5-5,0. Rerata peringkat kesukaan aroma bihun sagu dapat
dilihat pada Gambar 4.10.
Gambar 4.10 Rerata Peringkat Kesukaan Aroma Bihun Sagu Akibat Perlakuan
Jenis dan Konsentrasi Bahan Pengikat yang Berbeda
Berdasar Gambar 4.10 dapat diketahui bahwa perlakuan jenis dan
konsentrasi bahan pengisi tidak memberikan perbedaan pada kesukaan aroma
yang signifikan. Perlakuan A.konjac tertinggi pada konsentrasi 4% sebesar 5,0
dan terendah pada 8% dengan skor sebesar 4,5. Penambahan porang A.muelleri
Blume, mendapat skor tertinggi pada konsentrasi 4% dengan skor sebesar 4,9
dan terendah pada konsentrasi porang 8% dengan skor sebesar 4,6.
Aroma merupakan salah satu faktor penunjang dalam produk pangan.
Aroma yang didapat dipengaruhi oleh komposisi bahan yang digunakan. Secara
keseluruhan aroma bihun kering yang telah direhidrasi masih menampakkan
aroma dari sagu. Untuk aroma dari porang sendiri tidak begitu tercium. Porang
3,8
4
4,2
4,4
4,6
4,8
5
5,2
5,4
(4:96) (6:94) (8:92)
Per
ingk
at K
esu
kaan
Aro
ma
Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)
A.konjac
A.muelleri blume
42
sendiri memiliki aroma yang khas atau biasa disebut dengan fishy smell. Seperti
yang disebutkan dalam Xu, et al. (2014), tepung porang komersial memiliki
aroma seperti ikan atau fishy smell yang disebabkan oleh adanya komonen
volatil seperti amine, fenol, alkohol, hydrokarbon, dll. Namun, dalam pembuatan
bihun ini, aroma dari porang yang khas tersebut tidak nampak, karena
penambahan porang yang cukup sedikit jika dibandingkan dengan proporsi sagu.
Maka dari itu, pada bihun sagu ini, aroma yang masih dominan adalah aroma
khas sagu.
4.3.3 Tekstur
Karakteristik umum yang diinginkan pada bihun adalah bersifat elastis,
tidak keras dan tidak lengket. Penguian tekstur secara organoleptik dimaksudkan
untuk mengetahui rerata kesukaan panelis terhadap bihun sagu. Parameter uji
tekstur dilakukan dengan melakukan skoring dimulai dengan sangat tidak suka
(1) hingga sangat suka (7). Tekstur merukapakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pilihan konsumen terhadap suatu produk. Berdasar kuisioner
penelitian, peringkat kesukaan tekstur bihun sagu berkisar antara 3,1-4,7. Rerata
peringkat kesukaan tekstur bihun sagu oleh panelis disajikan pada Gambar 4.11.
Gambar 4.11Rerata Peringkat Kesukaan Tekstur Bihun Sagu Akibat Jenis dan
Proporsi Tepung Porang yang Berbeda
Berdasar Gambar 4.11dapat diketahui bahwa perlakuan jenis dan
perbedaan proporsi bahan pengikat memberikan perbedaan kesukaan terhadap
bihun sagu. Perlakuan A.konjac mendapat nilai tertinggi pada konsentrasi 6%
sebesar 4,7 dan terendah pada konsentrasi 8% sebesar 4,4. Pada perlakuan
0
1
2
3
4
5
6
(4:96) (6:94) (8:92)
Per
ingk
at K
esu
kaan
Tek
stu
r
Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)
A.konjac
A.muelleri blume
43
menggunakan A.muelleri Blume mendapat skor tertinggi pada konsentrasi 4%
sebesar 4,4 dan terendah pada 8% dengan skor sebesar 3,1.
Hasil analisa sidik ragam (Lampiran 36) menunjukkan bahwa perlakuan
jenis dan proporsi bahan pengikat memberikan pengaruh berbeda nyata (α=0,05)
terhadap tingkat kesukaan tekstur pada bihun sagu yang dihasilkan. Hasil uji
DMRT (α=0,05) perlakuan jenis dan proporsi bahan pengikat terhadap tekstur
bihun sagu matang disajikan pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9Uji Lanjut Kesukaan Tekstur Bihun Sagu Matang Akibat Perlakuan
Jenis dan Proporsi Bahan Pengikat yang Berbeda
Jenis Porang Konsentrasi Nilai Kesukaan
A.konjac 4% 4,5a
6% 4,7
a
8% 3,6
bc
A.muelleri Blume 4% 4,4ab
6% 3,5
c
8% 3,1
c
Keterangan: notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata (α=0,05).
Berdasar uji lanjut pada Tabel 4.9 dapat diketahui bahwa perlakuan
perlakuan A.konjac 8% berbeda nyata (α=0,05) dengan A.konjac 4% dan 6%.
Untuk perlakuan A.muelleri Blume pada proporsi 4% berbeda nyata dengan
proporsi 6% dan 8%. Tekstur yang yang paling disukai panelis terdapat pada
perlakuan A.konjac dengan proporsi 6% sebesar 4,7. Hal tersebut dimungkinkan
pada perlakuan ini bihun memiliki tekstur dengan tingkat kekenyalan yang pas.
Dalam penilaian tekstur oleh panelis, pada perlakuan menggunakan
A.konjac dan perlakuan menggunakan A.muelleri Blume, nilai kesukaan panelis
cenderung menurun seiring dengan naiknya proporsi porang yang digunakan.
Nilai kesukaan terhadap tekstur bihun dimungkinkan karena adanya pengaruh
proporsi porang yang digunakan. Semakin besarnya proporsi porang,
mengakibatkan semakin kenyalnya bihun sagu yang dihasilkan. Seperti yang
diungkapkan oleh Zhou, et al. (2013), adanya penambahan KGM menaikkan
tingkat kekerasan mie yang dihasilkan. Kemungkinan tekstur yang terlalu kenyal
kurang sesuai dengan masyarakat Indonesia.
4.3.4 Warna
Warna merupakan visualisasi suatu produk yang langsung terlihat lebih
dahulu dibandingkan dengan variabel lainnya. Warna secara langsung akan
mempengaruhi persepsi panelis. Secara visual faktor warna akan tampil terlebih
44
dahulu dan sering kali menentukan nilai dari suatu produk (Winarno, 2002).
Warna menjadi salah satu faktor penting dalam pangan yang digunakan
konsumen untuk memberi gambaran mengenai produk pangan. Pengujian warna
secara organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis
terhadap bihun sagu. Berdasar kuisioner penelitian, peringkat kesukaan warna
bihun sagu oleh panelis berkisar antara 2,8 (tidak menyukai)-6,1 (menyukai).
Rerata peringkat kesukaan warna bihun sagu oleh panelis disaikan pada
Gambar 4.12.
Gambar 4.12Rerata Peringkat Kesukaan Warna Bihun Sagu Akibat Jenis dan
Proporsi Tepung:Bahan Pengikat yang Berbeda
Berdasar Gambar 4.12 menunjukkan peringkat kesukaan warna oleh 20
panelis. Dapat diketahui bahwa peringkat kesukaan bihun sagu dengan
perlakuan jenis dan proporsi yang berbeda antara tepung sagu dan tepung
porang tertinggi pada proporsi 96:4. Nilai tertinggi didapat pada perlakuan
dengan menggunakan A.konjac dengan nilai sebesar 6,1 Sedangkan nilai
terendah menunjukkan angka 2,8 pada proporsi 92:8 dengan menggunakan
A.muelleri Blume.
Hasil analisa sidik ragam (Lampiran 27) menunjukkan bahwa jenis dan
proporsi bahan pengikat memberikan pengaruh yan beda nyata (α=0,05)
terhadap tingkat kesukaan warna bihun sagu oleh panelis. Hasil uji lanjut
(α=0,05) perlakuan jenis dan proporsi bahan pengikat terhadap warna bihun
sagu dapat dilihat pada Tabel 4.10.
0
1
2
3
4
5
6
7
(4:96) (6:94) (8:92)
Per
ingk
at K
esu
kaan
War
na
Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)
A.konjac
A.muelleri blume
45
Tabel 4.10 Rerata Peringkat Kesukaan Warna Bihun Sagu Akibat Perlakuan
Jenis dan Proporsi Bahan Pengikat yang berbeda
Jenis Porang Konsentrasi Rerata
A.konjac 4% 6,1a
6% 5,6
a
8% 5,6
a
A.muelleri Blume 4% 4,1b
6% 3,1
c
8% 2,8
c
Ketarangan: notasi huruf yang berbeda menunukkan berbeda nyata pada uji
Lanjut (α=0,05)
Berdasar uji lanjut pada Tabel 4.10dapat diketahui bahwa perlakuan
dengan menggunakan A.konjac memiliki warna yang tidak berbeda nyata
(α=0,05) dengan A.konjac 6% dan 8%. Untuk perlakuan dengan menggunakan
A.muelleri Blume pada proporsi 4% berbeda nyata pada (α=0,05) dengan 6%
dan 8%. Warna yang paling disukai oleh panelis adalah pada perlakuan A.konjac
prporsi penambahan 4% dengan warna putih.
Warna yang dihasilkan akibat adanya penambahan porang ini memiliki
perpedaan. Bihun yang menggunakan A.konjac memiliki warna yang putih dan
cerah. Sedangkan bihun dengan menggunakan A.muelleri Blume berwarna lebih
kecoklatan. Hal tersebut dipengaruhi oleh karakteristik dari bahan baku yang
digunakan. Tepung sagu yang putih ketika dipadukan dengan A.konjac yang
memiliki warna putih juga menghasilkan produk yang lebih cerah. Begitu juga
sebaliknya untuk penggunaan A.muelleri Blume. Meskipun tepung sagu yang
digunakan adalah berarna putih, ketika ditambahkan dengan porang yang
cenderung berwarna coklat, maka bihun yang dihasilkan pun memiliki warna
yang sedikit lebih gelap. Menurut Ramadhia et al. (2012), bahan baku atau
bahan tambahan dari luar mampu mempengaruhi karakteristik produk yang
dihasilkan.
4.4. Perlakuan Terbaik
Pemilihan perlakuan terbaik bihun sagu dilakukan dengan menggunakan
metode multiple atribute. Metode ini bertujuan untuk membantu dan
mengembangkan kepercayaan bagi pengambil keputusan untuk memikirkan
penyelesaian yang terbaik (Zeleny, 1992). Perlakuan terbaik diperoleh dengan
cara menentukan nilai ideal dari masing-masing parameter yang telah ditentukan,
serta menghitung nilai derajat dan jarak kerapatan. Perlakuan terbaik merupakan
46
perlakuan yang memiliki nilai L1, L2, dan L maksimal terendah. Parameter yang
digunakan untuk menentukan perlakuan terbaik pada penelitian ini adalah
fisikimia dan organoleptik yang meliputi kadar air, daya putus, daya serap air,
cooking time, cooking loss, elongasi dan kecerahan warna. Untuk parameter
organoleptik meliputi warna, aroma, tekstur dan rasa. Berdasar hasil perhitungan
perlakuan terbaik, perlakuan terbaik dari bihun sagu terdapat pada perlakuan
tepung poran dengan jenis A.konjac dan 92% tepung sagu. Nilai parameter uji
perlakuan terbaik pada bihun sagu dapat dilihat pada Tabel 4.11 yang
selanjutnya dibandingkan dengan produk komersil yang dapat dilihat pada Tabel
4.12.
Tabel 4.11 Nilai Perlakuan Terbaik Bihun Sagu
Jenis Porang Konsentrasi (%) Perlakuan terbaik
A.konjac 4 0,361 6 0,237 8 0,129*
A.muelleri Blume 4 0,583 6 0,515 8 0,451
Keterangan : *) menunjukkan perlakuan terbaik
Tabel 4.12 Perbandingan Perlakuan Terbaik Bihun Sagu dengan Bihun Komersil
Parameter Perlakuan Terbaik Bihun Komersial
Kadar air (%) 4,86 11,10
Warna 59,95 55,83
Daya serap air(%) 210,1 142,89
Waktu pemasakan(%) 5,04 4,39
Daya putus 0,53 0,18
Elongasi (%) 70,83 36,33
Kehilangan Padatan(%) 7,42 9,32
Pada bihun sagu perlakuan terbaik memiliki kadar air lebih rendah
daripada bihun komersial. Semakin besar kandungan air maka semakin mudah
rusak pula produk pangan tersebut. Kadar air bihun sagu perlakuan terbaik
adalah 4,86% yang artinya masih dalam standar SNI 01-2975-1992 yaitu
maksimal 13%. Perbedaan dapat dimungkinkan karena bahan yang digunakan
pada pembuatan bihun berbeda. Semakin tinggi amilosa yang dikandung suatu
bahan maka mempengaruhi daya serap air. Produk dengan kandungan air yang
lebih tinggi dilakukan pengeringan maka semakin banyak air yang diuapkan,
sehingga kadar air semakin rendah (Sede, 2015).
47
Pada perlakuan warna, baik bihun perlakuan terbaik maupun bihun
komersial memiliki tingkat kecerahan yang hampir sama. Yaitu sama-sama
memiliki warna yang cenderung putih. Pada pengujian daya serap air, bihun
perlakuan terbaik memiliki daya serap yang lebih tinggi daripada bihun komersial.
Hal tersebut dapat dimungkinkan karena pada proses pembuatan bihun sagu
terdapat penambahan porang. Dimana porang memiliki sifat mampu berperan
sebagai water holding capacity dengan menyerap air hingga 200 kali lipat dari
berat awalnya (Wen, et al., 2008). Sehingga pada bihun sagu perlakuan terbaik
memiliki daya serap air yang lebih tinggi daripada bihun komersial.
Waktu pemasakan bihun perlakuan terbaik berbeda dengan bihun
komersial. Bihun perlakuan terbaik memiliki waktu yang sedikit lebih lama
dibandingkan dengan bihun komersil. Hal tersebut dapat dimungkinkan karena
ukuran dari bihun perlakuan terbaik lebih besar daripada bihun komersil.
Yoenyongbuddhagal & Noomhorm (2002) dan Huang & Lai (2010)
mengungkapkan bahwa ukuran mie yang lebih tipis memiliki waktu pemasakan
yang singkat karena memiliki luas permukaan yang lebih besar untuk difusi air.
Pada pengujian daya putus dan elongasi, bihun sagu perlakuan terbaik
memiliki nilai yang lebih tinggi. Nilai yang lebih rendah pada bihun komersil
dimungkinkan karena tidak adanya hidrokoloid atau pengatur tekstur yang
ditambahkan. Fu (2008) menyatakan bahwa hidrokoloid dan poliphospat banyak
digunakan untuk memperbaiki kualitas mie. Interaksi pati dan hidrokoloid dalam
bahan pangan bersifat unik karena dapat memodifikasi tekstur dan reologi dari
bahan pangan. Untuk produk terbaik dapat dilihat pada Gambar 4.13.
Gambar 4.13 Bihun Sagu Perlakuan Terbaik
Sumber: Dokumentasi Pribadi
49
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis bahan pengikat dan proporsi yang
berbeda berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap kadar air, elongasi, daya putus,
daya serap air, waktu pemasakan, kehilangan padatan saat pemasakan dan
warna bihun yang dihasilkan.
2. Dengan semakin naiknya proporsi bahan pengikat yang digunakan
memberikan hasil semakin menurunnya kadar air, kehilangan padatan dan
mempercepat waktu pemasakan. Untuk nilai elongasi, daya putus dan rehidrasi
menghasilkan nilai yang semakin meningkat. Sedangkan untuk warna pada
perlakuan menggunakan A. konjac memberikan hasil yang semakin cerah dan
pada penggunaan A. muelleri Blume menghasilkan nilai kecerahan yang
semakin menurun.
3. Perlakuan terbaik bihun sagu diperoleh pada perlakuan bahan pengikat A.
konjac dengan proporsi 8% tepung konjac:92% tepung sagu dengan nilai kadar
air 4,86%, daya putus 0,53N, waktu pemasakan 5,04 menit, kehilangan padatan
7,42%, daya serap air 210,1%, elongasi 70,83% dan kecerahan warna 59,95.
5.2 Saran
1. Pada penelitian ini ukuran bihun sagu yang dihasilkan berikisar ± 2mm yang
jika dibandingkan dengan bihun komersil masih lebih besar. Ukuran yang lebih
besar mempengaruhi waktu pemasakan bihun sagu. Sehingga perlu dilakukan
pengecilan ukuran lagi agar dihasilkan bihun dengan waktu pemasakan yang
lebih singkat
2. Perlu dilakukan pengecilan ukuran pada porang Amorphophallus muelleri
Blume, agar dihasilkan adonan bihun yang lebih homogen dan dapat dihasilkan
untaian-untaian bihun dengan permukaan yang halus sehingga dapat
menghasilkan daya putus, elongasi serta cooking loss yang lebih baik pada
produk.
50
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, B., williams, P., Doublier, J., Durand, S., and Buleon. 1999.
Physicochemical characterization of Sago Starch. Carbohydrate
Polymer. 361-370.
Ahmed, I., I.M. Qazi and S. Jamal. 2015. Quality Evaluation of Noodles
Prepared from Blending of Broken Rice and Wheat Flour. Starch/
Starke 67: 905-912
Almond, Heidi. 2015. Shirataki Noodle and Nutrition. http://www.livestrong.com
. Tanggal akses 6 Agustus 2015
Anonim. 1997. Makanan Tradisional Jawa Timur. Lembaga Penelitian Universitas
Brawijaya. Malang.
Anonim. 2015. https://en.wikipedia.org/wiki/Calcium_hydroxide. Tanggal akses 4
Agustus 2015.
Astawan, Made and Leomitro, Andreas. 2009. Khasiat Whole Grain. Makanan
Berserat Untuk Hidup Sehat. Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI.
Jakarta.
Averous, L, and Boquillon, N. 2004. Biocomposites Based on Plasticized
Starch: Thermal and Mechanical Behaviors. Carbohydrate Polymers. 56,
111-122.
Bhattacharya, M., Zeem S.Y. and Harold, C. 1999. Phsycochemical Properties
Related to Quality of Rice Noodles. Cereal Chemistry 76(6): 861-867.
Bown, D. 2000. Aroids, Plants of the Arum Family. Timber Press, Portland,
Oregon, USA.
Brooks, Joshua. 2012. Food Product Design. Do You Know Konjac?. Vol. 22
No.3. Www.foodproductdesign.com. Diakses pada 11 September 2015.
Bryant, C.M. and Hamaker, B.R. 1997. Effect of Lime Gelatinization of Con
Flour and Stach. Ceral Chem 74(2): 171-175.
Cao. X. D., Chen, Y., Chang, P.R., and Huneault, M.A. 2007. Preparation and
Properties of Plasticized Starch/Multiwalled Carbon Nanotubes
Composites. Journal of Applied Polymer Science. 106, 1431-1437.
Carvalho, R.A and Grosso, C. 2006. Edible Peliculas Producidas Con Gelatina
y Casein Cross-linked Con Transglutaminasa. Food Research
Internatioal. 39:458-466.
51
Chan and Albert. 2005. Konjac Glucomanan Extraction Application in Foods
and Their Therapentic Effect. Seminar “9” ASEAN Food Conferrence.
Jakarta.
Charoenrein, S., Tatriat, O., Rengsutthi, K., Thongngam, M. 2011. Effect of
Konjac Glucomannan on Syneresis, Textural Properties and the
Microstructure of Frozen Rice Starch Gels. Carbohydrate Polymers. 83:
291-296.
Chen, J., Changhua, L., Yanqing, C., Yun, C., Peter, R. C. 2008. Structural
Characterization and Properties of Starch/Konjac Glucomannan Blend
Films. Carbohydrate Polymers. 74: 946-952.
Chen, L. G., Lium Z.L.,& Zhuo, R.X. 2005. Synthesis and Properties of
Degradable Hydrogels of Konjac Glucomannan Graften Acrylic Acid
for Colon-specific Drug Delivery. Polymer 46(16), 6274-6281.
Chen, Z., L. Sagis, A. Legger, J.P.H. Linssen, H.A. Schols A.G.J. Voragen. 2002.
Evaluation of Starch Noodles Made from Three Typical Chinese Sweet
Potato Starches. Journal of Food Science 67(9): 3342-3347
Choy A., Morrison PD, Hughes J. G., Marriot, P.J., Small D.M. 2013. Quality of
Antioxidant Properties of Instant Noodles Enhanched with Common
Buckwheat Flour. Journal Cereal Science 57:281-287.
Dananjaya, N. O. S. 2010. Optimasi Proses Penepungan dengan Metode
“Stamp Mill” dan Pemurnian Tepung Porang dengan Metode Ekstraksi
Etanol Bertingkat untuk Pengembangan Industri Tepung Porang
(Amorphophallus oncopylus). Skripsi. FTP. Universitas Baijaya. Malang.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1990. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Bharata Karya Aksara. Jakarta.
Fang, W., & Wu, P. 2004. Variations of Konjac Glucomannan (KGM) from
Amorphophallus Konjac and its Refined Powder in China. Food
Hydocolloids, 18 (1), 167-170.
Fari, M.J.M., D. Rajapaksa and K.K.D.S. Ranaweera. 2011. Quality
Characteristics of Noodles Made from Selected Varieties of Sri Lankan
Rice with Different Physicochemical Characteristics. Journal of
National Science Foundation Sri Lanka 39:53-60
Ferrero, C., and Zaritzky, N.E. 2000. Effect of Freezing Rate and Frozen
Storage on Starch Sucrose-hydrocolloid System. Journal of Science
and Food Agricultural. 80. 2149-2158.
52
Follett, J. M., and J. A. Douglas. 2002. Konjac Production in Japan and
Potential for New Zealand. Combined Proceedings of the International
Plant Propagators Society. 52:186–190
Fu, B.X. 2008. Asian Noodles: History, Classification, Raw Materials and
Processing. Food Research International 41:888-902
Handy, S. G. 2010. Produksi Bihun Kering dari Sagu (Metroxylon sp.) yang
Disubstitusi Pati Termodifikasi Heat Moisture Treatment pada Skala
2,5 Kilogram. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Hasbullah. 2001. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatera Barat.
Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatera Barat, Padang.
Hayakawa, T.1985. Manufacturing of Instant Noodle. PT. Sanmaru Food Corp
Herranz, B., A.J. Borderias, B., S., de-Zaldivar, M.T. Solas, and C.A. Tovar.
2012. Thermostability Analyses of Glucomannan Gels. Concentration
Influence. Food Hydrocolloids 29:85-92
Huang, Y. C. and H. M. Lai. 2010. Noodle Quality Affected by Different Cereal
Starches. Journal of Food Engineering 97:135-13
Indraswari,Hanny. 2003. Teknologi Pengolahan Pangan Krupuk Puli Masa
Kini. Aksara. Jakarta.
Jianrong, Z., Donghua, Z., Srzednicki, G., Kanlayanarat, S.,&
Borompichaichartkul, C. 2008. A Simplified Method of Purifying Konjac
Glucomannan. In Asia Pasific Symposium on Assuring Quality and
Safety of Agri-Foods 837 (pp. 345-350).
Jimenez-Colmenero, F., Cofrades, S., Herrero, A., Solas, M.,& Rulz-Capillas, C.
2013. Konjac Gel for Use as Potential Fat Analogue for Helthier Meat
Product Development. Effect of Chilles and Frozen Storage, Food
Hydrocolloids, 30(1), 351-357.
Kam, N. O. 1992. Daftar Analisis Bahan Makanan. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
Khanna, S., & Testes, R. F., 2006. Influence of Purified Konjac Glucomannan
on the Gelatinisation and Retorgradation Properties of Maize and
Potato Starches. Food Hydrocolloids, 20 (5), 567-576.
Kim, Y.S., Dennis, P.W., Jamnes, H.L., and Patrizia, B. 1996. Suitability of
Edible Bean and Potato Starches for Starch Noodles. Cereal Chemistry
73((3): 302-308.
53
Koswara, S (2006). Iles-iles dan Hasil Olahannya. E-book pangan.com
http://www.e-bookpangan.com.
Kurniawati, A.D. 2010. Pengaruh Tingkat Pencucian dan Lama Kontak
dengan Etanol Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tepung Porang
(Amorphophallus oncophyllus). Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.
Kusnandar, F., Hastuti, H.P., and Syamsir, E. 2015. Pati Resisten Sagu Hasil
Proses Hidrolisis Asam dan Autoclaving-Cooling. Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan. Vol. 2(1): 52-62 th.2015ISSN: 1979-7788.
Kusnandar, Feri. 2011. Kimia Pangan Komponen Makro. Penerbit: PT Dian
Rakyat. Jakarta.
Li, B. And B. J. Xie. 2003. Study on Gel Formation Mechanism of Konjac
Glucomannan. Agri. Sci. In China. 2: 424-428.
Li, B.,& Xie, B. 2002. Study on the Gelatin Mechanism of Konjac
Glucomannans Scientia Agricultura Sinica, 35(11), 1411-1415.
Li, J. H. dan Vasanthan, T. 2003. Hipochrlorite Oxidation of Field Pea Starch
and its Suitability for Noodle Making Using an Extrussion Cooker.
Food Research International 36: 381-386
Munarso, S.J. and Haryanto, B. 2012. Perkembangan Teknologi Pengolahan
Mi. http://www.iptek.net.id. (Diakses 3 Desember 2016).
Prabawati, S. And Suismono. 2005. Mendongkrak Pemanfaatan Sumber
Pangan dengan Sentuhan Teknologi. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Vol. 27 No. 6. ISSN 0216-4427.
http://pustaka.litbang.deptan.go.id. (Diakses 9 Desember 2016)
Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Purwani, E.Y., Widaningrum, H. Setiyanto, E. Savitri, and R. Tahir. 2006.
Teknologi Pengolahan Mie Sagu. Balai Besar PPP-BPPT.
Rahim, A., Mappiratu, and Amalia, N. 2009. Sifat Fisikokimia dan Sensoris
Sohun Instan dari Pati Sagu. Jurnal Agroland 16 (2): 124-129
Rahim, Abdul. 2008. Pengaruh Cara Bihun Terhadap Sifat Fisikokimia pada
Pembuatan Instant Starch Noodle dari Pati Aren. Jurnal Agroland 15
(2): 101-105
Rahmi, A., Mappiratu and A.Noviyanty. 2009. Sifat Fisikokimia dan Sensoris
Sohun Instan dari Pati Sagu. Jurnal Agroland 16 (2): 124-129. ISSN:
0854-641X.
54
Ramadhan, Kurnia. 2009. Aplikasi Pati Sagu Termodifikasi heat Moisture
Treatment untuk Pembuatan Bihun Instan. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Rodrigues, M.et.al. 1996. Influence of The Structural Changes During
Alkaline Cooking on the Thermal, Rheological and Dielectric
Properties of Con Tortillas. Cereal Chemistry. 73(5): 593-601.
Sede, V.J., Christine, F.M. and Gregoria, S.S.D. 2015. Kajian Sifat Fisik Kimia
Beras Analog Pati Sagu Baruk Modifikasi HMT (Heat Modified
Treatment) dengan Penambahan Tepung Komposit. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Pangan,Vol 3. No. 2.
Seib, P.A., X. Liang, F. Guan, F.T. Liang and H.C. Yang. 2000. Comparison of
Asian Noodles from Some Hard White and Hard Red Wheat Flour.
Cereal Chemistry 77(6): 816-822
Sood, N., W. L. Baker and C. I. Coleman. 2008. Effect of glucomannan on
plasma lipid and glucose concentrations, body weight, and bloos
pressure: systematic review and meta-analysis. The American Journal
of Clinical Nutrition
Sumaroto. 2006. Review: Kandungan Mannan pada Tanaman Iles-iles
(Amorphophallus muelleri Blume). Jurusan Agronomi. Fakultas
Pertanian. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran. Yogyakarta
Sumarwoto. 2005. Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume) Deskripsi dan
Sifat-sifat Lainnya. Biodiversitas 6 (3) : 185-190.
Susilawati, I. 2007. Mutu Fisik dan Organoleptik Mi Basah Jagung dengan
Teknik Ekstrusi. Skripsi. Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Swinkels, J. J. M. 1985. Source of Starch, Its Chemistry and Physics. Di
dalam: G. m. a. V. Beydum dan J. A. Roles. Editors. Starch Conversion and
Technology. Marcel Dekker, Inc. New York.
Syaefullah, M.1990. Studi Karakteristik Glukomannan dari Sumber
Indegeneous Amorphophallus oncophyllus Dengan Variasi Proses
Pengeringan dan Dosis Perendaman. Thesis Fakultas Pascasarjana
IPB.Bogor.71 h.
Takigami, S. 2000. Konjac Mannan. Dalam G.O. Phillips and P.A. Williams, Eds.
Handbook of Hydrocolloids, pp. Woodhead. Cambridge
55
Takigami, Shoji. 2012. History and use of Konjac Glucomannan in Japan and
Future View. Foods & Food Ingredients J. Jpn., Vol. 217, No.1
Tarigan, H, dan Ariningsih, E,. 2007. Peluang dan Kendala Pengembangan
Agroindustri Sagu di Kabupaten Jayapura. Prosiding Seminar Nasional,
Bogor.
Tatriat, O., Charonrein, S. 2011. Physicochemical properties of konjac
Glucomannan Extracted from Konjac Flour by a Simple Centrifugation
Process. LWT-Food Science and Technology, 44 (10), 2059-2063.
Tester, R.F., Debon, S.J.J, Sommerville, M.D. 2000. Annealing of Maize Starch.
Carbohydrate Polymers. 42: 287-299. DOI: 10.1016/SO 144-8617(99)
00170-8.
Wen, X., Wang,T., Wang, Z., Li, L., Zhao, C. 2008. Preparation of Konjac
Glucomannan Hydrogels as DNA-controlledrelease Matrik
International. International Journal Biol Macromol 42:256-263.
Wu, J., Aluko R.E., dan Corke, H.. 2006. Partial Least Squares Regression of
The Effect of Wheat Composition, Protein and Starch Quality
Characteristics on Oil Content of Steamed-andFriean Instant Noodles.
Journal of Cereal Science 44: 117-126.
Wulan, S. dan Soenardi, T. 2009. Hidangan Nikmat Bergizi dari Bumi
Indonesia: Aneka Sajian Mi dan Olahan Lain. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Xu, W., Sujan, W., Ting, Y., Weiping, J., Jinjin, L., Jieqiong, L., Bin, L., and Chao,
W. 2014. A Simple and Feasible Approach to Purify Konjac
Glucomannan from Konjac Flour-Temperature Effect. Food Chemistry
158:171-176
Yadav, B.S., R.B. yadav, M.Kumar and B.S. Khatkar. 2014. Studies on
Suitability of Wheat Flour Blends with Sweet Potato, Colocasia and
Water Chestnut Flours for Noodle Making. Learning with Technologies
Food Science and Technology. 1-7.
Yalcin, S., and A. basman. 2008. Effect of Gelatinization Level, Gum and
Trasglutaminase on the Quality Characteristic of Rice Noodle.
International Journal of Food Science and Tecgnology. 43:1637-1644
Yoenyongbuddhagal, S and A. Noomhorm. 2002. Effect of Raw Material
Preparation o Rice Vermicelli Quality. Starch/Starke 54:534-539.
56
Zhao J, Zhang D, Srzednicki G, Kanlayanarat S, and Borompichaichartkul C.
2010. Development of a low-cost two-stage technique for production
of low sulphur purified konjac flour. International Food Research Journal
17: 1113-1124
Zhou, Y., Hui, C., Man, H., Satoru, S., Eizo, T., Tim, .F., Yongqiang, C. 2013.
Effect of Konjac Glucomannan on Physical and Sensory Properties of
Noodle from Low-Protein Wheat Flour. Food Research International 1:
876-855
top related