PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS PORANG DAN PROPORSI TEPUNG SAGU:TEPUNG PORANG Oleh: BULQISIA CINDY HANDINI NIM. 105100101111038 Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
71
Embed
PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN
JENIS PORANG DAN PROPORSI TEPUNG SAGU:TEPUNG PORANG
Oleh:
BULQISIA CINDY HANDINI
NIM. 105100101111038
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Teknologi Pertanian
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Lamongan, pada tanggal 12 Agustus 1992. Penulis
merupakan putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Joni
Supriyanto dan Ibu Hartati Handayani. Penulis menjalani pendidikan Sekolah
Dasar di SD Negeri Ardirejo II pada tahun 1998-2004, Sekolah Menengah
Pertama Muhammadiyah 12 Sendangagung Paciran tahun 2004-2007, Sekolah
Menengah Atas Darul Ulum1 Unggulan BPPT 2007-2010.
Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan Strata I di jurusan
Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
Malang. Selama kuliah penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil
Pertanian (HIMALOGISTHA). Pada tahun 2017 penulis telah berhasil
menyelasaikan penelitian dengan judul ”Pembuatan Bihun Berbasis Sagu
(Metroxylon sp.) dengan Kajian Jenis Tepung Porang dan Proporsi Tepung
Sagu:Tepung Porang” dibawah bimbingan Dr. Ir. Aji Sutrisno, M.Sc.
Alhamdulillah...... Terimakasih Yaa Allah
Atas segala nikmat yang telah Engkau berikan..
Karya kecil ini aku persembahkan
kepada Ibunda dan Ayahanda serta Adik-adikku tercinta..
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Nama Mahasiswa : Bulqisia Cindy Handini
NIM : 105100101111038
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul Skripsi : Pembuatan Bihun Berbasis Sagu (Metroxylon sp.) dengan
Kajian Jenis Tepung Porang dan Proporsi Tepung Sagu dan
Tepung Porang
Menyatakan bahwa,
Skripsi dengan judul di atas merupakan karya asli penulis tersebut di atas.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, saya bersedia
dituntut sesuai hukum yang berlaku.
Malang, 26 Mei 2017
Pembuat Pernyataan,
Bulqisia Cindy Handini
NIM. 105100101111038
i
Bulqisia Cindy Handini. 105100101111038. PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS TEPUNG PORANG DAN PROPORSI TEPUNG SAGU:TEPUNG PORANG Pembimbing : Dr. Ir. Aji Sutrisno, M.Sc.
RINGKASAN
Konsumsi beras di Indonesia sangat tinggi namun hal tersebut tidak sejalan dengan produksi beras Indonesia. Produksi beras di Indonesia masih belum dapat memenuhi permintaan masyarakat sehingga mengharuskan pemerintah untuk mengimpor beras agar dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri (Maria, 2014). Pemanfaatan beras selain digunakan sebagai makanan pokok, juga dapat digukan sebagai bahan baku beberapa produk pangan lainnya. Salah satunya adalah pembuatan bihun. Pembuatan bihun dari sumber karbohidrat lain dapat dimanfaatkan untuk mengurangi konsumsi beras serta meningkatkan peluang pemanfaatan pangan sumber karbohidrat indigenous yang tersebar di Indonesia.
Tanaman sagu merupakan salah satu pangan lokal yang memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan. Pati sagu memiliki sifat yang hampir sama dengan beras yaitu memiliki amilosa tinggi berkisar 24-31% yang cocok untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan bihun (Astawan, 2009). Namun pati sagu kurang stabil terhadap panas dan saat dilakukan pencetakan masih belum dapat membentuk untaian-untaian bihun. Maka dari itu dalam pembuatan bihun ditambahkan porang yang berfungsi sebagai pengikat dan untuk memperkokoh bentuk bihun. Tepung porang dipilih karena memiliki sifat thermoirreversible, yaitu mampu mempertahankan bentuk saat diberi perlakuan panas sehingga mampu menjaga keutuhan bentuk bihun sagu. Porang yang digunakan adalah jenis Amorphophallus konjac dan Amorphophallus muelleri blume. Kedua jenis ini dipilih karena merupakan jenis porang yang banyak digunakan secara umum (Sumarwoto, 2005). Kedua porang tersebut akan dibandingkan untuk melihat jenis dan pada konsentrasi berapa yang mampu menghasilkan karakteristik bihun terbaik.
Penelitian ini menggunakan metode Nested Design terdiri dari 2 faktor
dengan 4 ulangan. Faktor pertama adalah jenis tepung porang yang terdiri dari 2 level, yaitu Amorphophallus konjac dan Amorphophallus muelleri blume. Faktor kedua adalah proporsi tepung sagu:porang yang terdiri dari 3 level, yaitu 96:4; 96:4; 92:8. Analisa data menggunakan ragam ANOVA diolah dengan Microsoft Excel. Apabila terdapat beda nyata dilakukan uji lanjut BNT taraf 5%. Hasil uji organoleptik dianalisa menggunakan uji mutu Hedonik. Pemilihan perlakuan terbaik dengan metode Multiple Attribute (Zeleny, 1982).
Hasil penelitian menunjukkanpPerlakuan terbaik bihun sagu diperoleh pada perlakuan bahan menggunakan tepung porang jenis A. konjac dengan proporsi 8% tepung konjac:92% tepung sagu dengan nilai kadar air 4,86%, daya putus 0,53N, waktu pemasakan 5,04 menit, kehilangan padatan 7,42%, daya serap air 210,1%, elongasi 70,83% dan kecerahan warna 59,95.
Kata Kunci: A.konjac, A.muelleri Blume, Bihun, Sagu
ii
Bulqisia Cindy Handini. 105100101111038. Vermicelli Made from Sagoo (Metroxylon sp.), Study: Type of Porang flour and Proportion of Sagoo:Porang Flour Pembimbing : Dr. Ir. Aji Sutrisno, M.Sc
SUMMARY
Indonesias rice consumption is very high, but the rice production is low. Indonesias rice production still unable to demand Indonesian comunity, thus requiring the government have to import rice in order to meet domestic demand (Maria, 2014). Besides being used as staple food, rice also used as raw material of other product, such as starch noodle. Starch noodle making from other carbohidrate can reduce rice consumption and can improve local carbohydrate source in Indonesia.
Sagoo is one of local food that has very high potention to be used for making other product. Sagoo starch has similar characteristic as rice starch which is has high amylose 24-31% and is suitable to be raw material for making vermicelli (Astawan, 2009). But sagoo starch has low stable heat and when extruction procces is done, sagoo dough still can not form noodle strands. So in this research porang is added as binding agent in this starch noodle making. Porang is selected because it has thermoirreversible characteristic hich is can maintain the integrity of sagoo starch noodle form. The porang that used is Amorphophallus konjac and Amorphophallus muelleri Blume. Both types of porang were chosen because they are the most commonly used types (Sumarwoto, 2005). Both types of porang will be compared to see what type that can produce the best characteristic of vermicelli.
This research is using Nesteed Design method that has 2 factors with 4 repeat. The first factor is the type of the binding agent that has 2 levels, which is Amorphophallus konjac and Amorphophallus muelleri Blume. The second factor is the proportion of sagoo flour and binding agent with 3 levels: 96:4; 96:4; 92:8. Data analysis using ANOVA variety processed with Microsoft Excel. If there is a real difference made further test BNT standard of 5%. Best treatment is dermained by using Multiple Attribute (Zeleny, 1992).
Best treatment based on the physicochemical and organoleptic found in treatment that used Amorphophallus konjac 8% and sagoo starch 92%, with the water content 4,86%, tensile strength 0,53N, cooking time 5,04 minutes. Cooking loss 7,42%, rehydration 210,1%, elongation 70,83% and brigthness 59,95. Keyword: A. konjac, A. muelleri Blume, Sagoo, vermicelli
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan Skripsi berjudul “ Pembuatan Bihun Berbasis Sagu (Metroxylon Sp.)
Dengan Kajian: Jenis Porang Dan Proporsi Tepung Sagu:Tepung Porang” sebagai
salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknologi Pertanian.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Ibunda dan Ayahanda serta keluarga tercinta yang senantiasa memberikan
doa, perhatian, nasihat serta dukungan moral dan material kepada penulis.
2. Bapak Dr. Ir. Aji Sutrisnno, M.Sc., selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan dari awal penelitian hingga
selesainya penulisan skripsi ini.
3. Ibu Prof. Dr. Teti Estiasih, STP, MP., selaku ketua jurusan Teknologi Hasil
Pertanian yang telah memberikan arahan kepada penulis.
4. Laboran-laboran yang telah membantu dan memberikan arahan kepada
penulis.
5. Vii yang selalu memberikan dukungan serta motivasinya, yang selalu
meluangkan waktu untuk penulis, hingga penulis dapat menyelesaikan
pengerjaan skripsi ini.
6. Teman-teman seperjuangan THP’10 yang telah memberikan bantuan,
nasihat dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Segenap pihak-pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari adanya keterbatasan dan kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak untuk dapat memperbaiki skripsi ini mendatang. Akhirnya, penulis berharap
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi
penulis dan semua pihak.
Malang, Mei 2017
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN ............................................................................................. i SUMMARY ............................................................................................. ii KATA PENGANTAR .................................................................................. iii DAFTAR ISI ............................................................................................. iv DAFTAR TABEL ........................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x
I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 2 1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 2 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 3
2.1 Sagu ............................................................................................. 3 2.2 Tepung Porang ............................................................................. 5 2.3 Bihun ............................................................................................. 8 2.4 Interaksi Pati dan Tepung Porang ................................................ 10 2.5 Proses Pembuatan BIhun ............................................................. 12 2.6 Bahan Tambahan dalam Pembuatan Bihun ................................ 12 2.6.1 Air ............................................................................................. 12 2.6.2 Kalsium Hidroksida (Ca(OH)2) ...................................................... 13 2.6.3 Asam Sitrat .................................................................................... 14 2.7 Faktor yang Mempengaruhu Mutu BIhun ..................................... 14 III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ......................................... 16
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 16 3.2 Alat dan Bahan ............................................................................. 16 3.2.1 Alat ................................................................................................ 16 3.2.2 Bahan ............................................................................................ 16 3.3 Rancangan penelitian ................................................................... 16 3.4 Pelaksanaan penelitian ................................................................. 17 3.5 Pengamatan dan Analisis ............................................................. 18 3.5.1 Bahan Baku................................................................................... 18 3.5.2 Produk ........................................................................................... 18 3.6 Analisa Data .................................................................................. 18 3.7 Diagram Alir Penelitian ................................................................. 19 3.7.1 Diagram Alir Pembuatan Bihun Sagu ........................................... 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 20 4.1 Karakteristik Bahan Baku ............................................................. 20 4.2 Sifat Fisik dan Kimia Bihun Sagu ................................................ 22 4.2.1 Kadar Air ...................................................................................... 22 4.2.2 Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (Cooking Loss) ........... 25 4.2.3 Elongasi ....................................................................................... 27 4.2.4 Daya Putus (Tensile Strength) ..................................................... 29 4.2.5 Waktu Pemasakan (Cooking Time) .............................................. 32
4.2.6 Daya Serap Air (Rehidrasi) .......................................................... 35 4.2.7 Warna Bihun Sagu ....................................................................... 37
v
4.3 Uji Organoleptik Bihun Sagu ....................................................... 40 4.3.1 Rasa ............................................................................................. 40 4.3.2 Aroma ........................................................................................... 41 4.3.3 Tekstur ......................................................................................... 42 4.3.4 Warna ........................................................................................... 44 4.4 Perlakuan Terbaik ........................................................................ 46 V. PENUTUP ..................................................................................... 49 5.1 Kesimpulan .................................................................................. 49 5.2 Saran ............................................................................................ 49 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 51 LAMPIRAN ............................................................................................. 57
vi
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
2.1 Nilai Gizi sagu dan beberapa bahan pangan per 100 gram ........ 4
2.2 Standar Bihun menurut SNI 01-2975-1992 .................................. 9
Penggunaan porang banyak digunakan untuk tambahan pada produk
pangan dikarenakan sifat gel porang yang memiliki sifat thermoirrversible. Konjac
glukomanan akan membentuk gel dengan adanya penambahan alkali. Alkali
12
tersebut menghilangkan gugus asetil dari glukomanan (Takigami, 2012). Brooks
(2012) menyebutkan gugus asetil pada porang terbentuk tiap 60-20 gugus gula.
Penghilangan gugus asetil dapat dilakukan dengan menaikkan pH menjadi 9,5
atau lebih tinggi sehingga dapat membentuk gel konjac yang irreversible.
2.5 Proses Pembuatan Bihun
Proses pembuatan bihun memiliki beberapa tahapan, meliputi pembuatan
binder adonan, pembuatan adonan, pencetakan bihun, pengukusan dan
pengeringan. Pembuatan binder diperlukan sebagai perekat pati agar dapat
membentuk adonan dengan baik. Binder selanjutnya dicampurkan pada pati dan
dicampur hingga merata. Penambahan binder harus dalam jumlah yang tepat.
Jumlah binder yang terlalu sedikit akan mengakibatkan adonan tidak terikat
dengan baik sehingga bihun yang dihasilkan rapuh dan mudah patah. Jika
jumlah binder yang ditambah terlalu banyak dapat menyebabkan adonan terlalu
lengket.
Tahap selanjutnya adalah pencetakan menggunakan alat pencetak bihun
atau ekstruder. Hasbullah (2001), menyatakan bahwa bihun dibuat dari beras
melalui proses ekstrusi sehingga memperoleh bentuk seperti benang. Untaian
bihun selanjutnya dimasak dalam air mendidih selama 2 hingga 3 menit,
kemudian direndam dengan air dingin. Tahap terakhir yaitu pengerikan pada
mesin pengering pada suhu 40°C (Collado, 2001; Susilawati, 2007; Ramadhan,
2009). Berikut adalah skema proses pembuatan bihun secara umum:
Pengepresan
Pemasakan tahap pertama: selama 1 jam
Pembentukan Lembaran
pencetakan bihun dengan ekstruder
pemasakan tahap kedua selama 1,5 jam
penjemuran
pengemasan
Tepung Beras+air
bihun kering (Biasa)
13
Pengepresan
Pemasakan tahap pertama: selama 1,5 jam
Pembentukan Lembaran
pencetakan bihun dengan ekstruder
pemasakan tahap kedua selama 2 jam
penjemuran
pengemasan
Gambar 2.3 Proses pembuatan bihun kering dan bihun instan (Koswara, 2006)
2.6 Bahan Tambahan dalam Pembuatan Bihun
2.6.1 Air
Secara umum air merupakan cairan yang tidak berasa, berwarna, dan tidak
berbau. Sedangkan secara kimia air merupakan suatu zat organik yang terdiri
dari dua molekul hidrogen dan mempunyai rumus molekul H2O (Winarno, 2002).
Air yang digunakan dalam proses pengolahan makanan dan minuman harus
memenuhi standar air minum, seperti tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa,
harus bersih, jernih, tidak mengandung logam-logam berat, dan kuman penyakit
(Rismunandar, 1996). Menurut Subarna (1992), air sangat menentukan
konsistensi dan karakteristik rheologi adonan. Selain itu, air juga berfungsi
sebagai pelarut bahan-bahan yang digunakan dalam pengolahan pangan,
sehingga bahan-bahan tersebut terdispersi secara merata.
Pada umumnya jumlah air yang ditambahkan sekitar 28-38% dari campuran
bahan yang akan digunakan. Jika air yang ditambahkan kurang dari 28%,
adonan yang dihasulkan akan menjadi rapuh sehingga akan sulit untuk dicetak
dan jika lebih dari 38% adonan akan menjadi sangat lengket (Widyaningsih dan
Murtini, 2006). Pada proses pembuatan bihun air berfungsi sebagai sarana
pendispersi bahan-bahan akan yang digunakan sehingga bahan-bahan
tercampur rata.
Tepung Beras+air kansui
bihun instan
14
2.6.2 Kalsium Hidroksida
Pembentukan kalsium hidoksida dihasilkan melalui reaksi antara kalsium
oksida (CaO) dengan air atau proses slaking. Larutan Ca(OH)2 termasuk dalam
basa sedang. Kalsium hidroksida dalam pengolahan termasuk bahan tambahan
pangan yang berfungsi sebagai firming agent, anticacking agent, dough
strengthening agent, neutralizing agent, general purpose additive, asidulan, dan
buffer. Kalsium hidroksida pada pangan dapat mempekokoh konsistensi produk
agar tidak hancur selama pemasakan (Anonim, 1997). Menurut Yoshimura dalam
Takigami (2000), glukomanan tidak akan membentuk gel tanpa adanya larutan
alkali, namun hanya menjadi larutan dengan viskositas tinggi.
Bryan dan Hamaker (1997) dalam penelitiannya tentang penggunaan
larutan alkali pada pati dan tepung jagung, menyatakan bahwa Ca(OH)2 akan
terionisasi menjadi Ca++ dan OH- pada pH larutan yang tinggi, kemudian
membentuk ikatan silang (crosslinking) dengan pati. Interaksi Ca++ dengan pati
akan menstabilkan granula pati sehingga granula pati akan lebih kuat dan keras.
Rodrigues, et. al. (1996) menjelaskan bahwa dengan adanya Ca++ dalam pati
akan merusak ikatan pati dengan molekul air. Ca++ akan berikatan silang dengan
molekul amilosa dan amilopektin yang ada dalam pati. Reaksi ini disebut dengan
jembatan kalsium.
Pada proses pembuatan bihun kalsium hidroksida berfungsi untuk
memperkokoh konsistensi bihun sehingga tidak mudah retak dan tidak hancur
pada saat pemasakan.
2.6.3 Asam Sitrat
Asam sitrat merupakan salah satu senyawa acidulant (senyawa asam yang
ditambahkan pada proses pengolahan makanan dengan tujuan tertentu). Asam
sitrat memiliki bentuk bubuk putih, tidak berbau dan larut cepat dalam air
(Pulungan, dkk., 2004). Asam sitrat juga memiliki fungsi sebagai chelating agent
yang dapat mengikat logam sehingga senyawa ini dapat menstabilkan warna,
cita rasa dan tekstur (Kharisma, 2002).
Dalam penelitian ini asam sitrat digunakan untuk mengurangi sifat rekat
glukomanan agar bihun tidak menempel satu sama lain. Menurut Oktsuki (1968)
dalam Syaefullah (1990), senyawa asam yang ditambahkan pada larutan
glukomanan akan menghlangkan sifat rekat glukomanan dalam air. Larutan
glukomanan dengan penambahan senyawa alkali akan membentuk gel
15
dikarenakan rantai gugus asetil terpecah sehingga sel dapat saling berikatan
kuat dalam air. Asam yang ditambahkan dapat membantu memperlambat proses
pemecahan gugus-gugus asetil, sehingga sifat saling merekat akan berkurang
dan bahkan hilang.
4.7 Faktor yang Mempengaruhi Mutu Bihun
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi sifat mie secara umum
antara lain:
1. Karakteristik Bahan Baku
Kandungan bahan seperti konsentrasi amilosa, protein, kekuatan adonan
merupakan faktor yang sangat krusial dalam menentukan kualitas mie.
Komponen-komponen yang ada pada bahan akan mempengaruhi pada proses
pemasakan dan sifat fungsional mie (Ishfak, 2016). Mie yang dibuat dengan
bahan beramilosa tinggi mampu membentuk struktur yang kuat. Kandungan
amilosa pada bahan memiliki hubungan yang erat terhadap tingkat daya terima
dari bihun (Yoenyongbuddhagal, S. & A. Noomhorm, 2002).
2. Kehilangan Padatan (Cooking Loss)
Cooking loss biasanya digunakan sebagai indikasi untuk menentukan
kualitas mie, baik oleh konsumen maupun oleh industri. Pada umumnya,
kehilangan padatan yang rendah menunjukkan bahwa mie tersebut memiliki
kualitas yang baik. Zhou dalam penelitiannya menyatakan bahwa dengan
adanya penambahan tepung konjac mampu mengurangi kehilangan padatan dari
produk (Zhou et al., 2013).
3. Waktu Pemasakan
Waktu pemasakan merupakan faktor yang penting dalam menentukan sifat
dari mie yang dihasilkan. Waktu masak yang cepat dan kehilangan padatan yang
rendah pada saat pemasakan merupakan faktor yang utama dalam menentukan
kualitas mie (Yadav, 2014). Penentuan waktu pemasakan dilakukan dengan
memotong mie yang kering ±2 cm yang selanjutnya dimasak pada air mendidih.
Penentuan waktu pemasakan yang optimum dilakukan dengan memencet
untaian dan dilihat waktu dimana sudah tidak terlihat warna putih pada tengah-
tengah sampel (Fari, et al., 2011; Ahmed, et al., 2015).
4. Tensile Strength
Tekstur mie dapat dilihat dengan pengujian Tensile Strength (kuat tarik). Nilai
tensile strenght dapat menentukan daya putus pada untaian mie. Sifat ini
16
menunjukkan tingkat resistensi mie terhadap kerusakan (Seib et al., 2000). Mie
yang terbuat dari bahan dengan kandungan amilosa tinggi mampu menghasilkan
tensile strength yang baik. Telah dilakukan penelitian bahwa tensile strength
memiliki korelasi yang positif terhadap konsentrasi amilosa. Semakin naiknya
konsentrasi amilosa, mie yang dihasilkan semakin susah untuk diputus dan
memiliki kekuatan meregang yang baik (Chen et al., 2002).
16
III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan dan
Biokimia Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Februari 2016-Oktober 2016.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat-alat yang digunakan adalah glassware, timbangan analitik merk XP-
1500 (Jerman), cabinet dryer, desikator (merk Simax), oven kadar air (merk
Memmert tipe U.30 kapasitas 220˚C, spectrophotometer (Unico UV-2100), kurs
porselin, kompor listrik (merk Maspion), color reader.
3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tepung sagu yang diperoleh
dari Giant swalayan dan tepung porang jenis Amorophallus konjac diperolej dari
CV. Tristar Chemical Surabaya dan Amorpophallus m. blume yang diperoleh dari
PT Ambico Japanan PAsuruan. Bahan tambahan yang digunakan adalah
Kalsium hidroksida (Ca(OH)2), asam sitrat yang diperoleh dari toko kimia Makmur
Sejati, Malang. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa adalah etanol, asam
format, NaOH, H2SO4, asam dinitro salisilat, K2SO4 yang diperoleh dari toko
Kimia Makmur Sejati.
3.3 Rancangan Penelitian
Desain penelitian menggunakan Rancangan Tersarang (Nesteed Design)
dengan dua faktor.
Faktor I: Jenis tepung porang yang terdiri dari 2 level:
C= Tepung Porang Coklat (Amorphophallus m.blume)
P= Tepung Porang Putih (Amorphophallus konjac)
Faktor II: Proporsi tepung sagu: tepung porang
1= 96% Tepung Sagu:4% Tepung Porang
2= 94% Tepung Sagu:6% Tepung Porang
3= 92% Tepung Sagu:8%Tepung Porang
17
Penentuan jumlah ulangan dihitung mengikuti rumus replikasi, yaitu:
(t-1) (r-1) ≥ 15
Keterangan : t = banyaknya taraf perlakuan
r = banyaknya ulangan
Dalam penelitian ini t= 6 (diperoleh dari kombinasi 2 faktor penelitian yaitu
faktor 1 terdiri dari 2 level dari faktor 2 terdiri dari 3 level, sehingga (6-1) (r-1) ≥ 15
dengan memakai rumus tersebut diperoleh jumlah r=4 yang artinya ulangan
dilakukan minimum empat kali, dan diperoleh 24 satuan percobaan. Desain
Perlakuan Penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Desain Perlakuan Penelitian
Jenis Tepung Porang Perlakuan Tepung Sagu
(%)
Tepung Porang
(%)
Tepung Porang Coklat (C) C1 96 4
C2 94 6
C3 92 8
Tepung Porang Putih (P) P1 96 4
P2 94 6
P3 92 8
3.4 Pelaksanaan Penelitian
Metode pembuatan bihun ini mengacu pada Collado et al (2001) dan
Ramadhan (2009) yang dimodifikasi. Pembuatan bihun kering dibuat dari
beberapa tahap, antara lain:
1. Pembautan binder adonan
Pembuatan binder dilakukan dengan perendaman tepung porang dengan
air dan ditambahkan 4ml CaOH2 agar menjadi gel sempurna.
Contoh: untuk pembuatan bihun dengan penambahan tepung porang 4%/100g
bahan, maka dicampurkan 4 gram tepung porang dan 90ml air kemudian
ditambahkan 4ml larutan CaOH2.
2. Pembuatan adonan
Adonan dibuat dengan mencampurkan binder yang telah dibuat dengan
pati kering. Adonan diaduk hingga merata yaitu ketika pati kering telah tercampur
merata dan terikat oleh binder sehingga menyatu saat digenggam.
3. Pencetakan bihun
Pencetakan dilakukan dengan alat pencetak bihun, yaitu adonan
dimasukkan pada alat dan kemudian ditekan hingga adonan terdorong keluar.
18
Lubang cetakan yang berukuran kecil akan menghasilkan untaian bihun yang
seragam.
4. Pemasakan untaian bihun
Untaian bihun kemudian dimasak pada suhu 70-75˚C selama 4 menit
hingga bihun tergelatinisasi.
5. Pengeringan
Bihun yang telah dimasak kemudian dikeringkan dengan pengering kabinet
pada suhu 40°C selama 5 jam.
3.5 Pengamatan dan Analisa
Pengamatan terhadap komposisi kimia tepung porang meliputi: kadar air
dengan Metode Oven (AOAC, 1970 dalam Sudarmadji dkk., 1997), kadar
glukomanan (Peiying et al, 2002). Pengamatan komposisi kimia tepung sagu
meliputi: kadar pati (Sudarmadji dkk, 1997), kadar air (Sudarmadji et al.,1997)
Pengamatan terhadap sifat fisik bihun antara lain penentuan cooking time,
cooking loss, elongasi, warna metode Colorimeter (Yuwono dan Susanto, 1998),
daya rehidrasi. Pengamatan terhadap komposisi kimia bihun meliputi: kadar air
dengan Metode Oven (AOAC, 1970 dalam Sudarmadji dkk., 1997). Pengujian
organoleptik yang dilakukan pada bihun sagu meliputi warna, aroma, rasa, dan
tekstur menggunakan uji sensoris kesukaan (uji hedonik) dengan skala 1-7
dimana semakin tinggi nilai menunjukkan tingkat kesukaan yang semakin tinggi.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisa dengan metode Analisis
Ragam (Analysis of Variant atau ANOVA) jika berbeda nyata dilanjutkan dengan
uji lanjutan BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan selang kepercayaan 5%. Data
hasil uji prganoleptik dianalisis menggunakan uji non parametrik Friedman.
Pemilihan perlakuan terbaik dilakukan dengan metode Multiple Attribute (Zeleny,
1982).
19
3.6 Diagram Alir Penelitian
3.7.1 Diagram Alir Pembuatan Bihun Sagu
Tepung Porang (gram) 4 ; 6 ; 8
Air matang 80 mL
direndam 1 jam
Ca(OH)2 2% 8mL
Tepung Sagu (gram)
96 ; 94 ; 98
diuleni
dicetak
direbus 75-800C selama 7 menit
ditiriskan
dikeringkan dengan pengering kabinet
t=5 jam, T= 60 0C
Bihun sagu
Analisa: - Daya putus - Cooking loss - Hidrasi - Cooking time - Elongasi
Analisa Organoleptik: Warna, rasa, aroma,
tekstur
Analisa :
Kecerahan warna (L*)
Kadar Air
Perebusan selama 5 menit
Bihun sagu masak
Direndam dalam larutan asam sitrat 0,02%, t=30 menit
20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah tepung sagu dan
tepung porang jenis Amorphophallus konjac dan Amorphophallus muelleri Blume
yang berfungsi sebagai bahan pengikat adonan. Pemilihan tepung sagu sebagai
bahan baku dalam pembuatan bihun karena pemanfaatan sagu pada umunya
terbatas sebagai bahan utama atau bahan campuran untuk pembuatan kue dan
makanan kecil. Padahal dengan melihat kandungannya, tepung sagu memiliki
potensi untuk dijadikan bahan baku pembuatan bihun untuk menggantikan
penggunaan beras. Dalam penelitian ini dilakukan penambahan tepung porang
yang digunakan sebagai bahan pengikat adonan. Untuk lebih memudahkan,
tepung porangAmorpophallus konjac disebut dengan porang putih (P) yang
didapatkan dari Tristar Chemical Surabaya dan Amorphophallus muelleri Blume
disebut dengan porang coklat (C) didapat dari PT Ambico Japanan, Pasuruan.
Tahapan proses dapat dilihat pada Gambar 4.1. Untuk hasil analisa bahan dapat
dilihat pada Tabel 4.1
Gambar 4.1. Proses Pembuatan Bihun Kering (Dokumentasi Pribadi)
21
Tabel 4.1 Data Analisa Bahan Baku
Komposisi Tepung sagu A.konjac A.muelleri Blume
Analisa Literatur
Analisa Literatur
Analisa Literatur
Kadar air (%) 9,13 9,6
a 9,58 11-13
c 8,81 9,82
e
Kecerahan warna L* 61,6 - 56,74 66-68
d 48,09 49,49
e
Amilosa (%) 34,15 36,12b - - - -
Kadar pati (%) 80,17 81
a 2,8 - 3,09 2,9
e
Kadar Glukomanan - - 63,75 ≥65
c 69,75 64,77
e
a= Richana and Sunarti, 2004 d=Takigami, 2010 b= Purwani et al., 2006 e= Kurniawati, 2010 c= Professional Standar of China, 2002
Pada pengujian kadar air, kadar air tepung sagu hasil analisa memiliki nilai
lebih rendah dibandingkan dengan literatur. Hal tersebut dapat dimungkinkan
karena tepung sagu yang digunakan dalam penelitian adalah tepung sagu
komersil. Dimana pada tiap industri memiliki syarat mutu tersendiri terhadap
standar pengujian yang digunakan. Namun, selisih dari keduanya tidak terlalu
besar sehingga hasil tersebut masih sesuai dengan literatur.
Dalam pengujian amilosa, tepung sagu bahan baku memiliki nilai yang
sedikit lebih rendah dibandingkan dengan literatur. Begitu pula dangan
kandungan pati bahan memiliki nilai lebih rendah. Menurut Purwani et al. (2006),
tepung sagu memiliki amilosa 36,12%. Perbedaan tersebut dapat dikarenakan
jenis bahan baku yang digunakan dengan literatur juga berbeda. Pati dengan
kandungan amilosa yang tinggi memiliki kekuatan ikatan hidrogen yang lebih
besar karena jumlah rantai lurus yang besar dalam granula. Perbedaan hasil
analisa dengan literatur tidak terlalu besar sehingga dapar disimpulkan bahwa
hasil analisa sesuai dengan literatur. Dengan kandungan amilosa yang tinggi
pada tepung sagu, maka tepung sagu telah memenuhi syarat untuk dapat
dijadikan sebagai bahan baku bihun.
Pengujian pada tepung porang masing-masing juga memiliki perbedaan
hasil dengan literatur. Hal ini dapat dimungkinkan karena perbedaan varietas
bahan baku, tempat tumbuh, iklim, kondisi lingkungan serta proses pengolahan
dari bahan baku menjadi tepung. Menurut Sumarwoto (2006), kadar glukomanan
dalam umbi yang bervariasi dipengaruhi oleh umur tanaman, jenis tanaman,
perlakuan pendahuluan sebelum dikeringkan, serta adanya pengolahan lanjutan.
22
4.2. Sifat Fisik dan Kimia Bihun Sagu
4.2.1 Kadar Air
Kadar air merupakan faktor penting dalam produk pangan yang berpengaruh
pada kenampakan, tekstur dan daya simpan produk. Kadar air berperan penting
dalam mempertahankan mutu bahan pangan (Badarudin, 2006). Kandungan air
menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan pangan. Besarnya
kandungan air dalam pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kecepatan dan aktifitas enzim, aktivitas mikroba dan aktivitas kimiawi, yaitu
proses oksidasi, reaksi non enzimatis, sehingga menimbulkan perubahan sifat-
sifat organoleptik seperti cita rasa, kenampakan dan tekstur bahan pangan
(Winarno, 2004). Menurut Kusnandar (2010), bila pangan dikeringkan maka
sebagian kadar air akan hilang yang menyebabkan tingkat keawetan pangan
meningkat.
Pada pengujian normalitas pada data, didapatkan hasil yang normal yang
dapat dilihat pada Lampiran 30. Data dikatakan normal jika nilai P-Value
menunjukkan hasil P-Value>0,05 dan pada data kadar air menunjukkan angka P-
Value>0,150 maka data dikatakan normal. Hasil penelitian menunjukkan kadar
air bihun sagu berkisar antara 3,68-5,39%. Rerata jumlah kadar air bihun sagu
dengan perlakuan proporsi tepung sagu:porang dengan jenis porang berbeda
dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar4.2 Rerata Kadar Air Bihun Sagu Akibat Perlakuan Proporsi Tepung
Sagu:Porang dan Jenis Porang Berbeda
Berdasarkan Gambar 4.2dapat diketahui bahwa rerata kadar air bihun sagu
secara keseluruhan berkisar antara 3,68-5,39%. Pada bihun sagu dengan
proporsi tepung sagu:porang putih (Amorphophallus konjac) memiliki nilai
2,00
2,50
3,00
3,50
4,00
4,50
5,00
5,50
6,00
(4:96) (6:94) (8:92)
Kad
ar A
ir (
%)
Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)
A. konjac
A.muelleri Blume
23
tertinggi sebesar 4,86% pada proporsi 92% tepung sagu:8% tepung porang dan
terendah pada proporsi 96% tepung sagu:4%% tepung porang dengan nilai
3,68%. Bihun sagu dengan perlakuan proporsi tepung sagu:porang coklat
(Amorphophallus muelleri Blume) menghasilkan nilai tertinggi pada porporsi 92%
tepung sagu:8%% tepung porang sebesar 5,38 dan terendah pada proporsi 96%
tepung sagu:4%% tepung porang dengan nilai kadar air 4,27%. Hasil analisa
sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa jenis bahan pengikat yang
berbeda meberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap kadar air bihun sagu,
begitu pula pada perlakuan perbedaan proporsi juga menunjukkan hasil yang
berbeda nyata pada α=0,05. Hasil uji BNT (α=0,05) jenis dan proporsi porang
yang berbeda terhadap kadar air disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan Pengikat Berbeda terhadap Kadar Air Bihun Sagu Jenis Porang Proporsi Tepung Sagu:
Tepung Porang Rerata Kadar Air BNT 5%
A.konjac 98 : 2 3,68a
0,84 96 : 4 4,38ab
94 : 6 4,86b
A.muelleri Blume 98 : 2 4,27a
0,84
96 : 4 4,77ab
94 : 6 5,39b
Keterangan: angka yang didampingi huruf yang tidak sama pada satu kolom
menunukkan berbeda nyata (α = 0,05)
Berdasar Tabel di atas dapat dilihat bahwa semakin besarnya proporsi
porang yang ditambahkan, kadar air dalam bihun juga meningkat. Peningkatan
kadar air tersebut berhubungan dengan kemampuan memerangkap air yang
tinggi oleh porang. Sehingga semakin banyak porang yang ditambah maka
kandungan air semakin tinggi pula. Seperti halnya Chen (2008) menyatakan
bahwa kelembaban pada film semakin meningkat seiring dengan semakin
besarnya kandungan KGM. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingginya kemampuan
KGM untuk menyerap air daripada pati.
Kemampuan glukomanan yang dapat menyerap air hingga mencapai 200
kali beratnya dan mampu menghambat sineresis, sehingga air yang telah terikat
sulit untuk terlepas kembali (Chan, 2005). Air dalam bahan pangan dibagi
menjadi dua jenis, yaitu air terikat dan air bebas. Air bebas dalam bahan pangan
dapat dengan mudah dihilangkan, misalnya dengan penguapan. Sedangkan air
terikat sulit untuk dihilangkan (Purnomo, 1995). Dengan kemampuan dari
24
glukomanan yang mampu menyerap air dengan baik, dapat dimungkinkan air
tersebut terperangkap dalam glukomanan, sehingga seiring dengan
bertambahnya proporsi tepung porang, kadar air bihun juga semakin tinggi.
Kandungan amilosa pada sagu yang tinggi juga mempengaruhi kadar air
dan daya serap air pada bihun. Semakin tinggi kadar amilosa pada tepung maka
daya serap air semakin tinggi (Kusnandar, 2011). Dalam penelitain Sede (2015)
menyatakan tingginya kadar amilosa maka menaikkan daya serap air, sehingga
jumlah air yang terbuang lebih banyak yang mengakibatkan kadar air beras
analog dari pati sagu lebih rendah. Ketika suatu produk dengan kandungan air
yang lebih tinggi dilakukan pengerigan, maka produk tersebut akan lebih banyak
kehilangan air. Hal tersebut dikarenakan semakin banyak air yang teruapkan
saat dilakukan pengeringan (Indraswari, 2003).
Proses dalam pembuatan bihun dapat juga menjadi faktor yang
berpengaruh dalam kandungan air produk. Menurut Rosdaneli (2005) kadar air
dipengaruhi oleh pengeringan. Proses pengeringan berlangsung dengan
memecahkan ikatan-ikatan air yang terdapat dalam bahan. Apabila ikatan
molekul-molekul air yang terdiri dari unsur-unsur dasar oksigen dan hidrogen
dipecahkan, maka molekul tersebut akan keluar dari bahan. Akibatnya bahan
tersebut akan kehilangan air yang dikandungnya yang mengakibatkan kadar air
menjadi rendah.
4.2.2 Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (Cooking Loss)
Cooking loss atau kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)
merupakan salah satu parameter penting pada bihun. Kehilangan padatan
merupakan jumlah substansi padatan yang hilang bersama air hasil dari
pemasakan mie (Basman and Yalcin, 2008). Semakin besar nilai KPAP
menunjukkan semakin banyaknya padatan yan terlepas dari permukaan bihun
selama pemasakan. Pada produk bihun diharapkan memiliki nilai kehilanggan
padatan yang rendah agar tidak mengurangi massa bihun yang sudah matang.
Menurut Yadav ( 2014), cooking loss merupakan salah satu faktor yang sangat
penting untuk menentukan kualitas mie.
Pada pengujian normalitas pada data, didapatkan hasil yang normal yang
dapat dilihat pada Lampiran 31. Data dikatakan normal jika nilai P-Value
menunjukkan hasil P-Value>0,05 dan pada data kehilangan padatan
menunjukkan angka P-Value>0,150 maka data dikatakan normal. Rerata nilai
kehilangan padatan pada bihun dapat dilihat pada Gambar 4.3.
25
Gambar 4.3 Grafik Rerata Kehilangan Padatan Bihun Sagu pada Jenis Tepung
Porang dan Proporsi Tepung Sagu:Tepung Porang
Pada Gambar 4.3 menunukkan bahwa rerata kehilangan padatan bihun
semakin menurun seiring dengan bertambahnya proporsi porang. Nilai
kehilangan padatan bihun dengan pelakuan proporsi tepung sagu:tepung porang
jenis A.konjac berkisar antara 8,28-11,79%. Untuk proporsi tepung sagu:tepung
porang jenis A. muelleri Blume berkisar 9,27%-15,38%. Nilai tertinggi terdapat
pada bihun sagu pada perlakuan proporsi tepung sagu (96%):tepung porang
jenis A.muelleri Blume (4%) dengan nilai 15,38%. Nilai kehilangan padatan
paling rendah terjadi pada perlakuan proporsi tepung sagu (92%):tepung porang
jenis A.konjac (8%) sebesar 8,28%. Nilai kehilangan padatan tertinggi terdapat
pada bihun dengan perlakuan proporsi tepung sagu:tepung porang coklat, yang
dimungkinkan karena ukuran tepung porang yang lebih besar daripada tepung
sagu.
Menurut Danajaya (2010), tepung porang pada umumnya memiliki ukuran
250-475 µm atau setara dengan 45-60 mesh. Hal tersebut menunjukkan bahwa
tepung porang memiliki ukuran yang lebih besar daripada tepung sagu yang
berukuran 100 mesh (Saripudin, 2006). Ukuran yang berbeda dimungkinkan
akan menjadikan adonan yang terbentuk kurang sempurna sehingga ketika
dilakukan pemasakan terdapat partikel-partikel yang terlepas larut dalam air yang
mengakibatkan persen kehilangan padatan semakin tinggi.
Karakteristik dari pati sagu juga berpengaruh terhadap nilai kehilangan
padatan pada bihun. Pada konsentrasi tepung sagu yang tinggi menghasilkan
bihun dengan kehilangan padatan yang lebih tinggi pula. Menurut Leach (1965)
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
18,00
(4:96) (6:94) (8:92)
Co
kin
g Lo
ss (
%)
Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)
A. konjac
A.muelleri Blume
26
dalam Sede et al. (2015) menyatakan bahwa pada umumnya pati dari akar atau
batang memiliki suhu gelatinisasi lebih rendah daripada pati serelia dan biji-bijian.
Granula pati mudah mengalami pengembangan dan memiliki tingkat pelarutan
pati yang lebih besar. Hal tersebut disebabkan pati dari akar atau batang
mempunyai derajat ikatan antar molekul yang lebih rendah daripada pati yang
berasal dari serealia.
Hasil analisa ragam (lampiran 18) menunukkan bahwa proporsi tepung
sagu:tepung porang (96:4; 94:6; 92:8) berpengaruh nyata terhadap persen
cooking loss bihun sagu (α=5%). Begitu juga perlakuan jenis tepung porang
menunjukkan pengaruh nyata (α=5%) terhadap persen cooking loss bihun sagu.
Untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan perbedaan nyata maka
dilakukan uji BNT yang hasilnya dapat dilijat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan
Pengikat Berbeda terhadap Cooking Loss Bihun Sagu
Jenis Tepung Porang Proporsi Tepung Sagu: Tepung Porang
Rerata cooking loss BNT 5%
A.konjac 96:4 11,79b
2,27 94:6 9,76a
92:8 8,28a
A.muelleri Blume 96:4 15,38b
2,27 94:6 11,13
a
92:8 9,27b
Keterangan: Nilai yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada (α=0,05).
Pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa rerata persen kehilangan padatan
pada bihun semakin berkurang seiring dengan naiknya proporsi tepung porang.
Dalam pembuatan bihun sagu tepung porang memiliki peranan sebagai binder
adonan. Jumlah binder dalam pembuatan bihun memiliki pengaruh yang sangat
penting terhadap kualitas dan tekstur bihun sagu kering. Semakin banyak jumlah
binder yang digunakan, maka semakin kuat ikatan matriks bihun sehingga
padatan tidak mudah terlepas dari matriks bihun saat dilakukan pemasakan.
Menurut Handy (2010) perubahan jumlah binder yang digunakan dalam
pembuatan bihun memiliki pengaruh yang signifikan pada pembuatan bihun
sagu.
Pada gambar 4.3 menunjukkan bahwa seiring naiknya konsentrasi tepung
porang, nilai kehilangan padatan akibat pemasakan semakin menurun. Hal ini
dapat disebabkan karena kuatnya ikatan yang terjadi antara pati dan porang.
27
Dengan semakin kuatnya ikatan yang terbentuk, maka ketika dilakukan
pemanasan pun komponen-komponen yang larut dapat berkurang. Selain itu,
porang sendiri juga memiliki sifat thermoirreversible, dimana porang dapat
mempertahankan bentuknya meskipun dilakukan pemanasan berulang. Sesuai
dalam Herranz (2012), glukomanan dengan penambahan alkali bersifat Themo-
irreversible dengan terbentuknya jaringan yang terikat secara permanen
4.2.3 Elongasi
Elongasi (pemanjangan) merupakan presentase perubahan panjang pada
saat dilakukan penarikan hingga putus (Krochta an de Mulder Johnson, 1997).
Elongasi merupakan salah satu sifat fisik dari mie untuk mengetahui tingkat
elastisitas dari mie yang dihasilkan. Nilai elongasi dapat digunakan untuk
mengetahui sifat kelenturan suatu bahan sehingga dapat diketahui kemampuan
maksimal suatu bahan untuk memanjang (Indraryani, 2003). Elastisitas
didefinisikan sebagai laju bahan yang ketika diubah bentuknya, akan lembali ke
bentuk asal setelah gaya ditiadakan. Pengukuran elongasi dilaukan dengan
memanangkan mie sampai pada titik dimana mie putus atau patah (De man,
1998). Nilai elongasi yang semakin tinggi menunjukkan tingkat elastisitas yang
semakin tinggi.
Pada pengujian normalitas pada data, didapatkan hasil yang normal yang
dapat dilihat pada Lampiran 32. Data dikatakan normal jika nilai P-Value
menunjukkan hasil >0,05 dan pada data elongasi menunjukkan angka P-
Value>0,150 maka data dikatakan normal. Hasil analisa elongasi bihun sagu
dengan perlakuan proporsi tepung sagu:tepung porang dengan dua jenis porang
yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.4.
28
Gambar4.4. Grafik Rerata Nilai Elongasi Bihun Sagu pada Proporsi dan Jenis
Porang yang Berbeda
Gambar 4.4 menunjukkan bahwa nilai elongasi yang dihasilkan berkisar
antara 35,83-70,83. Pembuatan bihun sagu dengan perbandingan tepung
sagu:tepung porang memberikan pengaruh terhadap nilai persen elongasi bihun
sagu yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi tepung porang meningkatkan
nilai persen elongasi bihun sagu. Rerata nilai elongasi tertinggi pada bihun sagu
dengan perlakuan tepung sagu 92%:tepung porang jenis A.konjac 8%, rerata
paling kecil terdapat pada bihun sagu dengan perlakuan tepung sagu
96%:tepung porang jenis A.muelleri Blume 4%.
Hasil analisa ragam (lampiran 10) menunjukkan bahwa jenis tepung porang
yang digunakan berpengaruh nyata terhadap nilai elongasi bihun (α=0,05).
Begitu pula pada perlakuan proporsi tepung sagu:tepung porang 96:4; 94:6; 92:8
memberkan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap nilai elongasi bihun. Untuk
mengetahui tiap perlakuan yang memberikan pengaruh nyata maka dilakukan uji
BNT yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis Proporsi Tepung Sagu:Bahan Pengikat Berbeda terhadap Bihun Sagu Jenis Porang Proporsi Tepung Sagu:
Tepung Porang Rerata Elongasi BNT 5%
A.konjac 96:4 40,83a
13,860 94:6 58,33b
92:8 70,83b
A.muelleri Blume 96:4 35,83a
13,860 94:6 47,50ab
92:8 61,67b
Keterangan: Nilai yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak adanya beda nyata (α=0,05)
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
(4:96) (6:94) (8:92)
Elo
nga
si (
%)
Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)
A.konjac
A.muelleri Blume
29
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa dengan semakin banyaknya proporsi
porang yang digunakan, nilai elongasi bihun sagu semakin meningkat. Baik itu
porang berjenis A.konjac maupun A.muelleri Blume. Seperti yang diungkapkan
oleh Carvalho & Grosso (2006) bahwa porang memiliki interaksi yang bersinergi
dengan pati. Interaksi antara porang dan pati mampu memperbaiki tensile
strength dan juga elongasi pada produk.
Hal lain yang berpengaruh adalah kandungan amilosa bahan. Sagu sendiri
memiliki kandungan amilosa 34,15 yang termasuk cukup tinggi. Interaksi yang
terjadi antara amilosa dan porang mampu meningkatkan elongasi pada bihun.
Pada penelitian ini, semakin tinggi proporsi porang yang ditambahkan maka akan
semakin banyak pula porang yang berikatan dengan amilosa yang ada pada
sagu. Averous & Boquillon (2004) dan Cao et al. (2007) melaporkan bahwa
interaksi yang dihasilkan antara amilosa dan molekul KGM (konjac glukomanan)
lebih kuat jika dibandingkan ikatan antara amilopektin dan KGM. Amilosa lebih
mudah untuk bercampur dengan KGM daripada amilopektin. Jianguang, et al.
(2008) dalam penelitiannya menyatakan, amilosa pada pati memliki struktur yang
mirip dengan KGM, dimana jika keduanya dicampurkan memiliki efek yang
kompatibel dengan KGM. Hal tersebut yang mampu memperbaiki tensile strenght
dan elongasi, yang mana dalam penelitiaannya dalam pembuatan film.
Tepung porang mampu membentuk gel dengan penambahan alkali.
Sehingga dimungkinkan dengan penambahan porang maka nilai elongasi
semakin tinggi yang menjadikan bihun lebih elastis. Sesuai dalam Herranz
(2012), glukomanan dengan penambahan alkali membentuk gel yang
themoirreversible dengan terbentuknya jaringan yang terikat secara permanen.
Maka dengan semakin banyaknya porang yang digunakan dapat menaikkan
tingkat keelastisitas dari bihun sagu yang dihasilkan.
4.2.4 Daya Putus (Tensile Strength)
Daya putus (Tensile Strength) merupakan nilai gaya yang diperlukan untuk
memutus untaian mie. Tensile strength sangat cocok digunakan sebagai
parameter kekuatan mie (Chansri et al., 2005). Nilai yang dihasilkan merupakan
gaya yang diperlukan untuk memutuskan untaian mie. Semakin besar gaya yang
dibutuhkan maka semakin panjang aatau elastis mie tersebut.
Pada pengujian normalitas pada data, didapatkan hasil yang normal yang
dapat dilihat pada Lampiran 33. Data dikatakan normal jika nilai P-Value
menunjukkan hasil>0,05. Pada data Tensile Strength menunjukkan angka P-
30
Value 0,083 maka data dikatakan normal. RetataTensile strength bihun sagu
akibat pelakuan jenis tepung porang dan perbandingan jenis tepung
porang:tepung sagu dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Gambar 4.5Grafik Daya Putus Bihun Akibat Pengaruh Jenis Tepung Porang dan
Proporsi Tepung Sagu:Tepung Porang
Gambar 4.5 dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi konsentrasi jenis
porang (A.konjac dan A.muelleri Blume) cenderung akan menaikkan kuat tarik
dari bihun sagu. Nilai tensile strength yang dihasilkan berkisar antara 0,13-0,53.
Pembuatan bihun sagu dengan perbandingan tepung sagu:tepung porang
memberikan pengaruh terhadap nilai daya putus bihun sagu yang dihasilkan.
Amilosa yang tinggi yang dikandung pada pati sagu dan dengan penambahan
gel glukomanan yang berfungsi sebagai binder bihun sagu menjadikan nilai daya
putus bihun sagu semakin meningkat seiring dengan naiknya konsentrasi gel
porang yang digunakan.
Semakin tingginya daya putus menunjukkan bahwa ikatan dalam bihun
semakin kompak dan kuat. Daya putus terendah terdapat pada bihun sagu
dengan perlakuan penambahan tepung porang A.muelleri Blume pada
konsentrasi 4%. Hal tersebut dapat dikarenakan lemahnya ikatan yang ada pada
bihun sagu. Dalam penelitian Ramadhan (2009), sampel bihun tanpa bahan
pengatur tekstur memiliki nilai kekerasan paling rendah, sehingga ketika
dilakukan pengujian daya putus, nilai yang dihasilkanpun rendah.
Hasil analisa ragam (lampiran 13) menunjukkan bahwa jenis tepung porang
yang digunakan berpengaruh nyata terhadap nilai Tensile Strength bihun