Top Banner
PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS PORANG DAN PROPORSI TEPUNG SAGU:TEPUNG PORANG Oleh: BULQISIA CINDY HANDINI NIM. 105100101111038 Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
71

PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

Nov 22, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN

JENIS PORANG DAN PROPORSI TEPUNG SAGU:TEPUNG PORANG

Oleh:

BULQISIA CINDY HANDINI

NIM. 105100101111038

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Teknologi Pertanian

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017

Page 2: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS
Page 3: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS
Page 4: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Lamongan, pada tanggal 12 Agustus 1992. Penulis

merupakan putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Joni

Supriyanto dan Ibu Hartati Handayani. Penulis menjalani pendidikan Sekolah

Dasar di SD Negeri Ardirejo II pada tahun 1998-2004, Sekolah Menengah

Pertama Muhammadiyah 12 Sendangagung Paciran tahun 2004-2007, Sekolah

Menengah Atas Darul Ulum1 Unggulan BPPT 2007-2010.

Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan Strata I di jurusan

Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya

Malang. Selama kuliah penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil

Pertanian (HIMALOGISTHA). Pada tahun 2017 penulis telah berhasil

menyelasaikan penelitian dengan judul ”Pembuatan Bihun Berbasis Sagu

(Metroxylon sp.) dengan Kajian Jenis Tepung Porang dan Proporsi Tepung

Sagu:Tepung Porang” dibawah bimbingan Dr. Ir. Aji Sutrisno, M.Sc.

Page 5: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

Alhamdulillah...... Terimakasih Yaa Allah

Atas segala nikmat yang telah Engkau berikan..

Karya kecil ini aku persembahkan

kepada Ibunda dan Ayahanda serta Adik-adikku tercinta..

Page 6: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Nama Mahasiswa : Bulqisia Cindy Handini

NIM : 105100101111038

Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas : Teknologi Pertanian

Judul Skripsi : Pembuatan Bihun Berbasis Sagu (Metroxylon sp.) dengan

Kajian Jenis Tepung Porang dan Proporsi Tepung Sagu dan

Tepung Porang

Menyatakan bahwa,

Skripsi dengan judul di atas merupakan karya asli penulis tersebut di atas.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, saya bersedia

dituntut sesuai hukum yang berlaku.

Malang, 26 Mei 2017

Pembuat Pernyataan,

Bulqisia Cindy Handini

NIM. 105100101111038

Page 7: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

i

Bulqisia Cindy Handini. 105100101111038. PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS TEPUNG PORANG DAN PROPORSI TEPUNG SAGU:TEPUNG PORANG Pembimbing : Dr. Ir. Aji Sutrisno, M.Sc.

RINGKASAN

Konsumsi beras di Indonesia sangat tinggi namun hal tersebut tidak sejalan dengan produksi beras Indonesia. Produksi beras di Indonesia masih belum dapat memenuhi permintaan masyarakat sehingga mengharuskan pemerintah untuk mengimpor beras agar dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri (Maria, 2014). Pemanfaatan beras selain digunakan sebagai makanan pokok, juga dapat digukan sebagai bahan baku beberapa produk pangan lainnya. Salah satunya adalah pembuatan bihun. Pembuatan bihun dari sumber karbohidrat lain dapat dimanfaatkan untuk mengurangi konsumsi beras serta meningkatkan peluang pemanfaatan pangan sumber karbohidrat indigenous yang tersebar di Indonesia.

Tanaman sagu merupakan salah satu pangan lokal yang memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan. Pati sagu memiliki sifat yang hampir sama dengan beras yaitu memiliki amilosa tinggi berkisar 24-31% yang cocok untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan bihun (Astawan, 2009). Namun pati sagu kurang stabil terhadap panas dan saat dilakukan pencetakan masih belum dapat membentuk untaian-untaian bihun. Maka dari itu dalam pembuatan bihun ditambahkan porang yang berfungsi sebagai pengikat dan untuk memperkokoh bentuk bihun. Tepung porang dipilih karena memiliki sifat thermoirreversible, yaitu mampu mempertahankan bentuk saat diberi perlakuan panas sehingga mampu menjaga keutuhan bentuk bihun sagu. Porang yang digunakan adalah jenis Amorphophallus konjac dan Amorphophallus muelleri blume. Kedua jenis ini dipilih karena merupakan jenis porang yang banyak digunakan secara umum (Sumarwoto, 2005). Kedua porang tersebut akan dibandingkan untuk melihat jenis dan pada konsentrasi berapa yang mampu menghasilkan karakteristik bihun terbaik.

Penelitian ini menggunakan metode Nested Design terdiri dari 2 faktor

dengan 4 ulangan. Faktor pertama adalah jenis tepung porang yang terdiri dari 2 level, yaitu Amorphophallus konjac dan Amorphophallus muelleri blume. Faktor kedua adalah proporsi tepung sagu:porang yang terdiri dari 3 level, yaitu 96:4; 96:4; 92:8. Analisa data menggunakan ragam ANOVA diolah dengan Microsoft Excel. Apabila terdapat beda nyata dilakukan uji lanjut BNT taraf 5%. Hasil uji organoleptik dianalisa menggunakan uji mutu Hedonik. Pemilihan perlakuan terbaik dengan metode Multiple Attribute (Zeleny, 1982).

Hasil penelitian menunjukkanpPerlakuan terbaik bihun sagu diperoleh pada perlakuan bahan menggunakan tepung porang jenis A. konjac dengan proporsi 8% tepung konjac:92% tepung sagu dengan nilai kadar air 4,86%, daya putus 0,53N, waktu pemasakan 5,04 menit, kehilangan padatan 7,42%, daya serap air 210,1%, elongasi 70,83% dan kecerahan warna 59,95.

Kata Kunci: A.konjac, A.muelleri Blume, Bihun, Sagu

Page 8: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

ii

Bulqisia Cindy Handini. 105100101111038. Vermicelli Made from Sagoo (Metroxylon sp.), Study: Type of Porang flour and Proportion of Sagoo:Porang Flour Pembimbing : Dr. Ir. Aji Sutrisno, M.Sc

SUMMARY

Indonesias rice consumption is very high, but the rice production is low. Indonesias rice production still unable to demand Indonesian comunity, thus requiring the government have to import rice in order to meet domestic demand (Maria, 2014). Besides being used as staple food, rice also used as raw material of other product, such as starch noodle. Starch noodle making from other carbohidrate can reduce rice consumption and can improve local carbohydrate source in Indonesia.

Sagoo is one of local food that has very high potention to be used for making other product. Sagoo starch has similar characteristic as rice starch which is has high amylose 24-31% and is suitable to be raw material for making vermicelli (Astawan, 2009). But sagoo starch has low stable heat and when extruction procces is done, sagoo dough still can not form noodle strands. So in this research porang is added as binding agent in this starch noodle making. Porang is selected because it has thermoirreversible characteristic hich is can maintain the integrity of sagoo starch noodle form. The porang that used is Amorphophallus konjac and Amorphophallus muelleri Blume. Both types of porang were chosen because they are the most commonly used types (Sumarwoto, 2005). Both types of porang will be compared to see what type that can produce the best characteristic of vermicelli.

This research is using Nesteed Design method that has 2 factors with 4 repeat. The first factor is the type of the binding agent that has 2 levels, which is Amorphophallus konjac and Amorphophallus muelleri Blume. The second factor is the proportion of sagoo flour and binding agent with 3 levels: 96:4; 96:4; 92:8. Data analysis using ANOVA variety processed with Microsoft Excel. If there is a real difference made further test BNT standard of 5%. Best treatment is dermained by using Multiple Attribute (Zeleny, 1992).

Best treatment based on the physicochemical and organoleptic found in treatment that used Amorphophallus konjac 8% and sagoo starch 92%, with the water content 4,86%, tensile strength 0,53N, cooking time 5,04 minutes. Cooking loss 7,42%, rehydration 210,1%, elongation 70,83% and brigthness 59,95. Keyword: A. konjac, A. muelleri Blume, Sagoo, vermicelli

Page 9: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

Laporan Skripsi berjudul “ Pembuatan Bihun Berbasis Sagu (Metroxylon Sp.)

Dengan Kajian: Jenis Porang Dan Proporsi Tepung Sagu:Tepung Porang” sebagai

salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknologi Pertanian.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

1. Ibunda dan Ayahanda serta keluarga tercinta yang senantiasa memberikan

doa, perhatian, nasihat serta dukungan moral dan material kepada penulis.

2. Bapak Dr. Ir. Aji Sutrisnno, M.Sc., selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan dari awal penelitian hingga

selesainya penulisan skripsi ini.

3. Ibu Prof. Dr. Teti Estiasih, STP, MP., selaku ketua jurusan Teknologi Hasil

Pertanian yang telah memberikan arahan kepada penulis.

4. Laboran-laboran yang telah membantu dan memberikan arahan kepada

penulis.

5. Vii yang selalu memberikan dukungan serta motivasinya, yang selalu

meluangkan waktu untuk penulis, hingga penulis dapat menyelesaikan

pengerjaan skripsi ini.

6. Teman-teman seperjuangan THP’10 yang telah memberikan bantuan,

nasihat dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Segenap pihak-pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari adanya keterbatasan dan kekurangan dalam penyusunan

skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua

pihak untuk dapat memperbaiki skripsi ini mendatang. Akhirnya, penulis berharap

semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi

penulis dan semua pihak.

Malang, Mei 2017

Penulis

Page 10: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

iv

DAFTAR ISI

Halaman RINGKASAN ............................................................................................. i SUMMARY ............................................................................................. ii KATA PENGANTAR .................................................................................. iii DAFTAR ISI ............................................................................................. iv DAFTAR TABEL ........................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x

I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 2 1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 2 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 3

2.1 Sagu ............................................................................................. 3 2.2 Tepung Porang ............................................................................. 5 2.3 Bihun ............................................................................................. 8 2.4 Interaksi Pati dan Tepung Porang ................................................ 10 2.5 Proses Pembuatan BIhun ............................................................. 12 2.6 Bahan Tambahan dalam Pembuatan Bihun ................................ 12 2.6.1 Air ............................................................................................. 12 2.6.2 Kalsium Hidroksida (Ca(OH)2) ...................................................... 13 2.6.3 Asam Sitrat .................................................................................... 14 2.7 Faktor yang Mempengaruhu Mutu BIhun ..................................... 14 III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ......................................... 16

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 16 3.2 Alat dan Bahan ............................................................................. 16 3.2.1 Alat ................................................................................................ 16 3.2.2 Bahan ............................................................................................ 16 3.3 Rancangan penelitian ................................................................... 16 3.4 Pelaksanaan penelitian ................................................................. 17 3.5 Pengamatan dan Analisis ............................................................. 18 3.5.1 Bahan Baku................................................................................... 18 3.5.2 Produk ........................................................................................... 18 3.6 Analisa Data .................................................................................. 18 3.7 Diagram Alir Penelitian ................................................................. 19 3.7.1 Diagram Alir Pembuatan Bihun Sagu ........................................... 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 20 4.1 Karakteristik Bahan Baku ............................................................. 20 4.2 Sifat Fisik dan Kimia Bihun Sagu ................................................ 22 4.2.1 Kadar Air ...................................................................................... 22 4.2.2 Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (Cooking Loss) ........... 25 4.2.3 Elongasi ....................................................................................... 27 4.2.4 Daya Putus (Tensile Strength) ..................................................... 29 4.2.5 Waktu Pemasakan (Cooking Time) .............................................. 32

4.2.6 Daya Serap Air (Rehidrasi) .......................................................... 35 4.2.7 Warna Bihun Sagu ....................................................................... 37

Page 11: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

v

4.3 Uji Organoleptik Bihun Sagu ....................................................... 40 4.3.1 Rasa ............................................................................................. 40 4.3.2 Aroma ........................................................................................... 41 4.3.3 Tekstur ......................................................................................... 42 4.3.4 Warna ........................................................................................... 44 4.4 Perlakuan Terbaik ........................................................................ 46 V. PENUTUP ..................................................................................... 49 5.1 Kesimpulan .................................................................................. 49 5.2 Saran ............................................................................................ 49 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 51 LAMPIRAN ............................................................................................. 57

Page 12: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

vi

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

2.1 Nilai Gizi sagu dan beberapa bahan pangan per 100 gram ........ 4

2.2 Standar Bihun menurut SNI 01-2975-1992 .................................. 9

3.1 Desain Perlakuan Penelitian ........................................................ 17

4.1 Data Analisa Bahan Baku ............................................................ 21

4.2 Rerata Kadar Air Bihun Sagu Akibat Perlakuan Proporsi Tepung

Sagu:Porang Dengan Jenis Porang Berbeda .............................. 23

4.3 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan

Pengikat Berbeda terhadap Cooking Loss Bihun Sagu 26

4.4 Hasil Uji BNT Jenis dan Perlakuan Proporsi Tepung Sagu:Bahan

Pengikat Berbeda terhadap Elongasi Bihun Sagu ......................... 28

4.5 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan

Pengikat Berbeda terhadap Daya Putus Bihun Sagu ................... 31

4.6 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan

Pengikat Berbeda terhadap Waktu Pemasakan Bihun Sagu ........ 34

4.7 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan

Pengikat Berbeda terhadap Daya Serap Air .................................. 36

4.8 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan

Pengikat Berbeda terhadap Kecerahan Warna Bihun Sagu .......... 38

4.9 Rerata Peringkat Kesukaan Tekstur Bihun Sagu Matang Akibat

Perlakuan Jenis dan Proporsi Bahan Pengikat Berbeda ............... 44

4.10 Rerata Peringkat Kesukaan Warna Bihun Sagu Akibat Perlakuan

Jenis dan Proporsi Bahan Pengikat Berbeda ................................. 45

4.11 Nilai Perlakuan Terbaik Bihun Sagu Setiap Perlakuan ................... 47

4.12 Perbandingan Perlakuan Terbaik Bihun Sagu dengan Bihun

Komersil ........................................................................................... 47

Page 13: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

2.1 Pati Beras Tanpa KGM ................................................................. 11

2.2 Pati Beras dengan 0,5% KGM ..................................................... 11

3.1 Diagram Alir Pembuatan Bihun Sagu .......................................... 19

4.1 Proses Pembuatan Bihun Kering ................................................ 21

4.2 Rerata Kadar Air Bihun Sagu Akibat Perlakuan Proporsi

Tepung Sagu:Porang dan Jenis Porang Berbeda ....................... 22

4.3 Grafik Rerata Kehilangan Padatan Bihun Sagu pada Jenis

Tepung Porang dan Proporsi Tepung Sagu:Tepung Porang ...... 25

4.4 Grafik Rerata Nilai Elongasi Bihun Sagu pada Proporsi dan Jenis

Bahan Pengikat yang Berbeda ..................................................... 28

4.5 Grafik Daya Putus Bihun pada Proporsi dan Jenis Bahan

Pengikat yang Berbeda .............................................................. 30

4.6 Grafik Rerata Waktu Pemasakan Bihun Sagu Perlakuan Jenis

Bahan Pengikat dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan Pengikat ..... 33

4.7 Grafik Rerata Daya Serap Air Bihun Sagu pada Jenis Bahan

Pengikat dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan Pengikat................. 35

4.8 Grafik Tingkat Kecerahan Bihun Sagu Akibat Penambahan

Jenis dan Proporsi Bahan Pengikat yang Berbeda ..................... 38

4.9 Rerata Peringkat Kesukaan Rasa Bihun Sagu Akibat Perlakuan

Jenis dan Proporsi Bahan Pengikat yang Berbeda ..................... 40

4.10 Rerata Peringkat Kesukaan Aroma Bihun Sagu Akibat Perlakuan

Jenis dan Konsentrasi Bahan Pengikat yang Berbeda ............... 42

4.11 Rerata Peringkat Kesukaan Tekstur Bihun Sagu Akibat

Jenis dan Proporsi Bahan Pengikat yang Berbeda ..................... 43

4.12 Rerata Peringkat Kesukaan Warna Bihun Sagu Akibat Jenis dan

Proporsi Tepung:Bahan Pengikat yang Berbeda ........................ 45

4.13 Bihun Sagu Perlakuan Terbaik .................................................... 48

Page 14: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Prosedur Analisa ............................................................... 57

Lampiran 2 Kuisioner Uji Organoleptik Bihun Sagu ............................ 61

Lampiran 3 Kuisioner Lembar Penilaian Tingkat Kepentingan

Parameter ........................................................................ . 62

Lampiran 4 Tabel Data Kadar Air Bihun Sagu ................................. . 63

Lampiran 5 Tabel Analisa Ragam Kadar Air Bihun Sagu ................. . 63

Lampiran 6 Uji BNT 5% Tingkat Kecerahan Warna Bihun Sagu ...... . 63

Lampiran 7 Tabel Data Kecerahan Warna Bihun Sagu .................... . 64

Lampiran 8 Tabel Analisa Ragam Kecerahan Warna Bihun Sagu ..... 64

Lampiran 9 Uji BNT 5% Tingkat Kecerahan Warna Bihun Sagu ........ 64

Lampiran 10 Tabel Data Elongasi Bihun Sagu ...................................... 65

Lampiran 11 Tabel Analisa Ragam Elongasi Bihun Sagu ..................... 65

Lampiran 12 Uji BNT 5% Nilai Elongasi Bihun Sagu ............................. 65

Lampiran 13 Tabel Data Nilai Daya Putus (Tensile Strength) Bihun

Sagu .................................................................................. 66

Lampiran 14 Tabel Analisa Ragam Nilai Daya Putus (Tensile

Strength) Bihun Sagu ....................................................... 66

Lampiran 15 Uji BNT 5% Nilai Daya Putus (Tensile Strength) Bihun

Sagu .................................................................................. 66

Lampiran 16 Tabel Data Waktu Pemasakan (Cooking Time) Bihun

Sagu .................................................................................. 67

Lampiran 17 Tabel Analisa Ragam Waktu Pemasakan (Cooking

Time) Bihun Sagu ............................................................ 67

Lampiran 18 Uji BNT 5% Waktu Pemasakan (Cooking Time) Bihun

Sagu .................................................................................. 67

Lampiran 19 Tabel Data Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan

(Cooking Loss) Bihun SAgu .............................................. 68

Lampiran 20 Tabel Analisa Ragam Kehilangan Padatan Akibat

Pemasakan (Cooking Loss) Bihun Sagu ......................... 68

Lampiran 21 Uji BNT 5% Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan

(Cooking Loss) Bihun Sagu .............................................. 68

Lampiran 22 Tabel Data Daya Serap Air (Rehidrasi) Bihun Sagu ....... 69

Lampiran 23 Tabel Analisa Ragam Daya Serap Air (Rehidrasi) Bihun

Sagu .................................................................................. 69

Page 15: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

ix

Lampiran 24 Uji BNT 5% Daya Serap Air (Rehidrasi) Bihun Sagu ...... 69

Lampiran 25 Data Analisa Organoleptik Perameter Warna Bihun

Sagu ................................................................................. 70

Lampiran 26 Data Analisa Organoleptik Parameter Aroma Bihun

Sagu .................................................................................. 71

Lampiran 27 Data Analisa Organoleptik Parameter Rasa Bihun Sagu 72

Lampiran 28 Data Analisa Keragaman Organoleptik Parameter

Tekstur Bihun Sagu.......................................................... 73

Lampiran 29 Pemilihan Perlakuan Terbaik ............................................ 74

Lampiran 30 Grafik Normalitas Data Kadar Air ..................................... 78

Lampiran 31 Grafik Normalitas Data Cooking Loss .............................. 78

Lampiran 32 Grafik Uji Normalitas Data Elongasi ................................. 79

Lampiran 33 Grafik Uji Normalitas Data Daya Putus ............................ 79

Lampiran 34 Grafik Uji Normalitas Data Cooking Time ......................... 80

Lampiran 35 Grafik Uji Normalitas Data Daya Serap Air ...................... 80

Lampiran 36 Grafik Uji Normalitas Data Kecerahan Warna .................. 81

Page 16: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

1

I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Konsumsi beras di Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan konsumsi

beras rata-rata di kawasan Asean yaitu 139 kg/kapita/tahun (Krisnamuthi, 2010).

Namun hal tersebut tidak sejalan dengan produksi beras Indonesia. Produksi

beras di Indonesia masih belum dapat memenuhi permintaan masyarakat

sehingga mengharuskan pemerintah untuk mengimpor beras agar dapat

memenuhi kebutuhan dalam negeri (Maria, 2014). Dalam Badan Pusat Statistik

(2014) dapat dilihat bahwa Indonesia mengimpor dari beberapa negara, antara

lain Vietnam dengan 171.286 ton atau senilai US$ 97,3 juta. Negara lain

pemasok beras adalah Thailand dengan 194.633 ton beras senilai US$ 61,7 juta

dan disusul India yang mengekspor 107.538 ton beras senilai US$ 44,9 juta ke

Indonesia.

Pemanfaatan beras selain digunakan sebagai makanan pokok, juga dapat

digukan sebagai bahan baku beberapa produk pangan lainnya. Salah satunya

adalah pembuatan bihun. Bihun merupakan salah satu pangan yang berbahan

baku beras yang juga banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Konsumsi bihun

di Indonesia berkembang dengan pesat. Selain itu industri bihun juga merupakan

salah satu peluang usaha yang menguntungkan dengan teknologi yang relatif

mudah dan sederhana. Pembuatan bihun dari sumber karbohidrat lain dapat

dimanfaatkan sebagai diversifikasi pangan nonberas serta meningkatkan

peluang pemanfaatan pangan sumber karbohidrat indigenous yang tersebar di

Indonesia.

Tanaman sagu merupakan salah satu pangan lokal yang memiliki potensi

besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan. Sebanyak 51,3% dari

2,2 juta ha areal lahan sagu terdapat di Indonesia (Sumaryono, 2007). Pati sagu

memiliki sifat yang hampir sama dengan beras yaitu memiliki amilosa tinggi

berkisar 24-31% yang cocok untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan

bihun (Astawan, 2009; Ahmad, 1999). Namun pati sagu kurang stabil terhadap

panas dan saat dilakukan pencetakan masih belum dapat membentuk untaian-

untaian bihun.

Maka dari itu dalam pembuatan bihun ditambahkan porang yang berfungsi

sebagai pengikat dan untuk memperkokoh bentuk bihun. Tepung porang dipilih

karena memiliki sifat thermoirreversible, yaitu mampu mempertahankan bentuk

Page 17: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

2

saat diberi perlakuan panas sehingga mampu menjaga keutuhan bentuk bihun

sagu. Porang yang digunakan adalah jenis Amorphophallus konjac dan

Amorphophallus muelleri blume. Kedua jenis ini diilih karena merupakan jenis

porang yang banyak digunakan secara umum (Sumarwoto, 2005). Kedua porang

tersebut akan dibandingkan untuk melihat jenis porang dan pada konsentrasi

berapa yang mampu menghasilkan karakteristik bihun terbaik.

I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh penambahan tepung porang yang berbeda

terhadap karakteristik bihun sagu?

2. Berapa jumlah penambahan tepung porang yang tepat terhadap

karakteristik bihun sagu?

3. Bagaimana formulasi terbaik untuk menghasilkan bihun sagu yang sesuai

dengan minat konsumen?

I.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh jenis tepung porang terhadap karakteristik bihun.

2. Mengetahui jumlah penambahan tepung porang yang tepat teradap

karakteristik bihun sagu.

3. Mengetahui formulasi terbaik proporsi pati sagu dan tepung porang

terhadap karakteristik bihun.

I.4 Manfaat Penelitian

1. Merupakan salah satu alternatif diversifikasi pangan non beras berbasis

sumber daya pangan lokal dalam upaya untuk membantu meningkatkan

ketahanan pangan.

2. Meningkatkan nilai ekonomi pati sagu dan tepung porang dengan

mengolahnya menjadi bihun.

3. Memberikan informasi mengenai proporsi pati sagu dan tepung porang

yang tepat yang sebaiknya digunakan ditinjau dari karakteristik bihun

yang dihasilkan.

Page 18: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

3

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sagu

Tanaman sagu (Metroxylon sp.) banyak dijumpai diberbagai wilayah di

Indonesia, terutama Indonesia bagian timur dan masih tumbuh secara liar.

Indonesia memiliki luas lahan sagu terbesat di dunia, yaitu sekitar 1,128 juta ha,

yang banyak tersebar di wilayah Papua, Maluku, Sulawesi, Riau, dan daerah

lainnya. Sagu merupakan salah satu makanan pokok bagi penduduk Indonesia

Timur. Konsumsi sagu sebagai makanan pokok antara lain diolah menjadi

papeda, kapurung, sagu bakar, dan lain-lain. Saat ini, sekitar 30% masyarakat

Papua dan Maluku masih menggunakan sagu sebagai makanan pokok untuk

sehari-harinya, 50% mengunakan sagu dan umbi-umbian, sedangkan sisanya

terutama penduduk kota telah beralih mengkonsumsi beras (Wulan dan

Soenardi, 2009). Pohon sagu memiliki pertumbuhan yang cepat, dalam satu

tahun dapat bertambah tinggi lebih dari 1,5 meter pada kondisi optimal

(McClatchey et al., 2004). Tinggi pohon sagu yang sudah tua berkisar antara 9-

15 meter dengan umur maksimal adalah 15 tahun. Untuk kebutuhan komersial

pohon sagu yang dipilih biasanya berumur 8 tahun.

Komponen yang paling dominan dalam tanaman sagu adalah pati atau

kerbohidrat. Pati sagu berupa butiran yang berwarna putih mengkilat, tidak

berbau, dan tidak mempunyai rasa. Granula pati sagu berbentuk elips lonjong,

dan berukuran relatif lebih besar dari serealia (Papilaya, 2008). Jika dihitung dari

berat kering, empulur sagu mengandung 54-60% pati dan 40-46% ampas.

Sedangkan jumlah pati yang dihasilkan dari tiap pohon adalah berkisar antara

90-325 kg (Flach, 1983).

Pati sagu dihasilkan dari empulur batang sagu yang diekstrak. Hasil

ekstraksi empulur sagu diolah menjadi pati kering melalui proses pengeringan.

Pati sagu yang telah diekstrak selanjutnya dijemur di atas tampah atau

dikeringkan dengan alat pengering hingga mencapai kadar air kurang dari 13%

basis basah (bb) yang sesuai dalam SNI 01-3729-1995 (Tarigan and Ariningsih,

2007). Pati sagu yang telah kering akan gemerisik jika diremas-remas. Hasil

pengeringan ini disebut dengan pati kasar. Selanjutnya, pati kasar yang telah

dihasilkan ditumbuk atau digiling hingga sekurang-kurangnya 80 mesh sehingga

menjadi pati sagu bubuk atau lebih dikenal dengan tepung sagu.

Page 19: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

4

Tabel 2.1 Nilai Gizi sagu dan beberapa bahan pangan per 100 gram

Komponen Sagu Beras

Giling

Kentang Tepung

jagung

Ubi

Kayu

Uwi/ ubi Ubi jalar

Kadar Air

(%)

14,00 13,00 77,80 12,00 62,50 75,00 68,00

Kalori (Kal) 343,00 349,00 85,00 367,00 146,00 89,00 125,00

Protein (g) 0,0 6,80 2,00 9,20 1,20 2,00 1,80

Lemak (g) 0,20 0,70 0,10 3,90 0,30 0,20 0,70

Karbohidra

t (g)

84,70 78,90 19,10 73,70 34,70 19,80 27,90

Mineral (g) 0,40 0,60 1,00 1,20 1,30 3,00 1,10

Kalsium

(mg)

11,00 10,00 11,00 10,00 33,00 45,00 30,00

Fosfor

(mg)

13,00 140,00 56,00 256,00 40,00 280,00 49,00

Besi (mg) 1,50 0,80 0,70 2,40 0,70 1,8 0,70

Sumber: Kam (1992)

Pati sagu merupakan salah satu bentuk karbohidrat yang dapat diaplikasikan

secara luas dalam berbagai industri. Namun, pemanfaatan tersebut sangat

bergantung pada sifat fisikokimia dan fungsionalnya. Karakteristik pati secara

spesifik bergantung pada sumber asal dan cara pengolahannya, misalnya bentuk

dan ukuran granula pati, warna, serta komposisi amilosa dan amilopektinnya.

Setiap jenis pati memiliki sifat yang berbeda tergantung dari panjang rantai C-

nya, apakah memiliki bentuk rantai molekul yang lurus atau bercabang. Pati

mempunyai dua fraksi, fraksi larut air panas yaitu amilosa dan fraksi yang tidak

larut dalam air panas yaitu amilopektin. Amilosa memiliki struktur lurus dengan

ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin memiliki cabang dengan ikatan α-

(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total. Pati sagu alami mengandung

amilosa 39,14% (Kusnandar, 2015).

Kandungan amilosa mempengaruhi tingkat pengembangan dan penyerapan

air dari pati. Semakin tinggi kandungan amilosa, maka kemampuan pati untuk

menyerap air dan mengembang menjadi lebih besar. Amilosa mempunyai

kemampuan membentuk ikatan hidrogen yang lebih besar daripada amilopektin.

Semakin tinggi amilosa pada pati, nilai kelarutannya dalam air juga tinggi, karena

amilosa memiliki sifat yang polar (Juliano, 1994). Kandungan amilosa tinggi

berpotensi digunakan sebagai bahan baku produk-produk instan. Salah satu

Page 20: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

5

karakteristik penting dalam produk instan ialah kemampuan rehidrasi produk

(Swinkels, 1985).

Tanaman sagu dapat diolah menjadi bermacam-macam makanan. Salah

satunya adalah diolah menadi bentuk mie. Menurut Prabawati (2005), secara

kesehatan, mengkomsumsi mie sagu mendapat manfaatdari pati resisten (RS).

Pati ini tidak dapat tercerna dalam usus manusia oleh enzim-enzim pencernaan.

Pati resisten mampu mengikat asan empedu, meningkatkan volume feses dan

mempersingkat waktu transit. Kandungan pati resisten dalam mie sagu berkisar

45mg/g atau 4-5 kali lebih besar daripada mie instan dengan bahan baku tepung

terigu. Selain itu pati sagu mengandung serat pangan 3,69-5,96% (Ahmad et al,

1999) dan nilai Indeks Glikemik 28 yang termasuk dalam kategori rendah karena

kurang dari 55 (Pruwani et al., 2006).

2.2 Tepung Porang

Amorphophallus termasuk dalam famili Araceae dan kelas

Monocotyledonae. Tanaman ini diperkirakan memiliki jenis mencapai 170 di

dunia dan banyak dijumpai tumbuh dibeberapa negara di Asia. Di Indonesia

sendiri terdapat 20 jenis yang spesiesnya dikumpulkan dari berbagai tempat di

Indonesia berdasar koleksi di Herbarium Bogoriense dan di pulau Jawa terdapat

8 jenis Amorphophallus (Haryani, 2008).

Salah satu jenis Amorphophallus yang sangat potensial dan banyak

digunakan di Indonesia adalah Amorphophallus muelleri Blume. Dimana pada

beberapa daerah disebut dengan nama walur/suweg (Jawa), acung (Sunda), dan

kruwu (Madura). Amorphophallus muelleri Blume memiliki nama lain A.

Oncophyllus ini biasa tumbuh liar dan banyak ditemukan di hutan jati dan tepian

sungai dan hutan bambu (Santosa et al., 2000).

A. muelleri Blume banyak tumbuh di Indonesia dan hidup di dataran rendah

sampai 1000 mdpl dengan suhu antara 25-35°C dengan curah hujan antara 300-

500 mm pebulan selama periode petumbuhan (Perum Perhutani, 1995). Untuk

pembudidayaan tanaman ini masih terbatas di areal hutan milik Perum Perhutani,

terutama KPH Saradan dan KPH Nganjuk. Umbi porang biasa tumbuh alami di

daerah vegetasi sekunder di tepi-tepi hutan dan belukar, hutan jati, atau hutan

desa. Jenis tanah liat berpasir dengan pH 6-7,5 sangat cocok untuk

pertumbuhan porang.

Page 21: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

6

Berbeda dengan Amorphophallus muelleri Blume, Amorphopallus konjac

banyak ditanam dibeberapa negara Asia termasuk China, Jepang dan Thailand

(Techapattaraporn,1992; Takigami, 2000; Li dan Xie, 2003). Umbi ini telah

dibudidayakan di China selama lebih dari 2000 tahun. Konjac merupakan

tanaman tahunan berbentuk umbi dengan daun berbentuk payung. Pada

umumnya konjac banyak ditanam pada musim semi dengan masa tumbuh

selama 6-7 bulan (Bown, 2000; Follett and Douglas, 2002).

Amorphophalus konjac adalah tanaman tahunan dan termasuk dalam

keluarga Araceae. Habitat asli dari tanaman konjac masih belum pasti, namun

dianggap berasal dari Asia Tenggara. Dalam puisi China, konjac telah ditemukan

sekitar abad ketiga. Pada abad keenam, konjac diperkenalkan dari Korea ke

Jepang sebagai obat. Pada abad ke-19 terdapat dua penemuan penting dalam

produksi tepung konjac oleh dua petani. Setelah itu gel konjac semakin populer

yang diolah menjadi makanan dan baru-baru ini ada empat jenis spesies A.

konjac yang dibiakkan secara selektif (Takigami, 2012). Tepung yang dihasilkan

dari jenis ini memiliki warna lebih putih.

Di Jepang maupun di restoran-restoran masakan Jepang banyak

ditemukan masakan berbasis tepung konjac misalnya shirataki ataupun

konnyaku. Shirataki merupakan mie tradisional yang berasal dari Jepang

berbentuk tipis, transparan, kenyal dan rendah kabohidrat. Shirataki berukuran

lebih tipis, tidak mudah putus dan memiliki tekstur yang berbeda dari mie

gandum. Shirataki mulai berkembang menjadi salah satu alternatif pilihan pasta

untuk diet di Eropa dan Amerika Utara (Almond, 2015). Sedangkan konnyaku

merupakan makanan tradisional Jepang yang berbentuk seperti jeli yang terbuat

dari tepung konjac dengan penambahan kalsium hidroksida dalam

pembuatannya.

Kandungan utama dalam tepung porang yaitu glukomannan. Glukomannan

merupakan salah satu polisakarida alami yang berasal dari umbi Amorphophallus

(Fang and Wu, 2004). Kandungan glukomanan dalam umbi porang bervariasi,

berkisar antara 5-65 persen. Untuk kadar mannan yang tumbuh di Indonesia

berkiar antara 14-35 persen (Koswara, 2006). Glukomanan adalah serat pangan

larut air yang bersifat hidrokoloid kuat dan rendah kalori serta merupakan salah

satu komponen kimia terpenting yang terdapat dalam umbi porang (Sood, 2008).

Konjac Glukomannan (KGM) merupakan polisakarida netral yang terdiri

dari mannosa dan glukosa pada rasio approximate 1,6-1,0 (Takigami, 2000).

Page 22: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

7

Glukomanan merupakan polisakarida hidrokoloid gabungan glukosa dan

mannosa dengan ikatan β-1,4-glikosida dengan pola (GGMMGMMMMMGGM).

Glukomanan tersusun oleh satuan D-glukosa dan D-mannosa. Hasil analisa

dengan cara hidrolisa asetolisis dari mannan dihasilkan suatu trisakarida yang

tersusun oleh dua D-glukosa dan D-mannosa. Oleh karena itu, dalam satu

molekul mannan terdapat D-glukosa 33% dan D-mannosa 67%. Sedangkan hasil

analisa dengan cara metilasi menghasilkan 2,3,4-trimetilmannosa; 2,3,-

trimetilmannosa; dan 2,3,4-trimetilglukosa. Berdasar hal ini maka bentuk ikatan

yang menyusun polimer mannan adalah β-1,4-glikosida dan β-1,6-glikosida.

Kadar mannan dalam iles-iles ± 41,3 % (Ambarwati et al, 2000).

Konjak glukomannan (KGM) adalah polimer amorf dan memiliki berat

molekul di kisaran 1×105-1×106 Da (Li dan Xie, 2003). Glukomanan telah diakui

GRAS sejak tahun 1994 (Khanna and Tester, 2006). Glukomanan dapat

digolongkan sebagai jenis makanan nonkalori yang banyak diaplikasikan sebagai

dietary fiber, thickening agent, dan fat replacer (Charoenrein, et al., 2011;

Jimenez, et al., 2013).

Pemisahan glukomanan dari umbi pada umumnya dilakukan dengan cara

dicuci, diiris, dikeringkan dan kemudian digiling. Dengan cara ini kandungan

glukomanan yang dihasilkan berkisar antara 50-70% (Tatriat and Charoenrein,

2011). Untuk mendapatkan hasil yang glukomanan yang lebih baik, maka banyak

dilakukan penelitian dengan metode ekstraksi yaitu dengan cara dicuci dengan

air, ethanol dan larutan benzena-alkohol. Metode tersebut sering digunakan

untuk menghilangkan kotoran yang tidak larut (Chen et al., 2005; Zhu, et al.,

2001). Baru-baru ini metode sentrifugasi energi tinggi (1500g) dan kombinasi

perebusan dalam air mendidih dan oencucian dengan ethanol juga mulai diteliti

untuk mengisolasi glukomanan (Jianrong, et al., 2008; Charoenrein, 2011).

Tinggi rendahnya kandungan glukomanan dipengaruhi oleh beberapa

faktor, antara lain: perlakuan pendahuluan (bentuk pengirisan), umur panen,

bagian-bagian yang digiling, alat yang digunakan, kecepatan putaran alat

penggiling dan ulangan waktu penggilingan (Wang and Jhonson, 2006). Warna

merupakan salah satu parameter mutu tepung glukomanan. Warna tepung

glukomanan adalah kuning kecoklatan. Terjadinya pencoklatan disebabkan oleh

reaksi antara gugus karboksil pada gula pereduksi dengan gugus amin pada

asam amino (Winarno, 1993).

Page 23: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

8

Dalam proses pengolahan makanan, tepung porang banyak

dimanfaatkan sebagai bahan tambahan, salah satunya adalah sebagai bahan

pengikat. Dwiyanti (2015) dalam penelitian pembuatan krupuk puli, dilakukan

penambahan gel porang yang dimaksudkan sebagai binding agent atau bahan

pengikat untuk menggantikan penggunaan garam bleng dan STTP. Hasil

penelitiannya menyebutkan bahwa perlakuan terbaik adalah dengan

penambahan gel porang sebanyak 15g mampu menghasilkan krupuk dengan

kadar air 5,77% dan daya kembang hingga mencapai 144,68%. Selain itu masih

banyak lagi pengaplikasian tepung porang dalam proses pembuatan makanan.

Seperti pada pembuatan beras tiruan, edible film, dan lain-lain.

2.3 Bihun

Mie memiliki berbagai jenis berdasar bahan bakunya, antara lain mie terigu

(wheat noodle), mi soba (buckwheat noodle), mi pati (starch noodle), dan mi

beras (rice noodle). Mie juga dapat dibedakan berdasar ketebalannya, antara lain

mi tebal dan mi tipis. Dalam kategori ini, bihun termasuk dalam kelompok mi

beruntaian tipis (Kim, 1999; Fong, 2003). Menurut SNI 01-2975-1992, bihun

adalah produk pangan kering yang dibuat dengan beras dengan atau tanpa

penambahan bahan tambahan pangan yang diizinkan dan berbentuk khas bihun.

Standar bihun menurut SNI 01-2975-1992 dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Page 24: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

9

Tabel 2.2 Standar Bihun menurut SNI 01-2975-1992

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan Normal

2 Bau Normal

3 Rasa Normal

4 Warna Tidak boleh ada

5 Benda asing

6 Daya tahan

Tidak hancur ika derendam dengan

air pada suhu kamar selama 10

menit

7 Air %b/b Maks 13

8 Abu %b/b Maks 1

9 Protein (Nx6,25) %b/b Min 4

10 Pemutih dan

pematang

Sesuai SNI 01-0222-

1995

11 Cemaran logam

a. Timbal (PB) mg/kg Maks 1,0

b. Tembaga (Cu) mg/kg Maks 10,0

c. Seng (Zn) mg/kg Maks 40,0

d. Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,00

e. Arsen (As) - -

12 Cemaran mikroba

Angkalempeng total Koloni/ram Maks 1,0x106

e. Coli APM/gram Maks 10

Kapang Koloni/gram Maks 1,0x104

Bihun telah dikenal diberbagai negara dengan berbagai istilah, seperti

bihon, bion, bifun, mehon, dan vercimicelli. Istilah bihun berasal dari bahasa

China, yaitu bie yang berarti beras dan hun yang berarti tepung. Dalam pasaran

terdapat dua jenis bihun, yaitu bihun kering dan bihun instan. Bihun kering dalam

penyajiannya hanya perlu direndam dalam air hangat yang selanjutnya dimasak,

dogoreng atau digunakan dalam campuran sup. Penyajian bihun instan berbeda

dengan bihun kering, yaitu dengan pemasakan dengan air mendidih paling lama

tiga menit untuk kemudian dicampur dengan bumbu serbuk seperti pembuatan

mi instan pada umumnya (Astawan, 2000; Koswara , 2006).

Konsumsi bihun di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Bihun merupakan salah satu jenis makanan alternatif utama selain nasi dan mi.

Page 25: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

10

Bihun adalah mi yang terbuat dari tepung beras atau tepung lainnya sebagai

bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan lainnya, seperti diberi

perlakuan dengan bahan alkali. Dalam proses pembuatannya, perlu dilakukan

proses gelatinisasi dahulu sebelum bihun dikeringkan (SNI, 2000). Dalam

pembuatan bihun perlu digunakan pati tertentu agar dapat dihasilkan bihun

dengan kualitas yang baik. Sifat bahan baku sangat mempengaruhi kualitas dari

bihun (Wu, dkk., 2006).

Pati yang ideal dalam pembuatan bihun adalah yang memiliki kandungan

amilosa tinggi, derajat pembengkakan dan kelarutan viskositas terbatas serta

karakteristik tipe C (tidak memiliki puncak viskositas namun viskositas cenderung

tinggi dan tidak mengalami penurunan selama proses pengadukan) (Li dan

Vasanthan, 2003). Pati terdiri dari dua macam komponen, yaitu amilosa dan

amilopektin. Pati yang dibutuhkan dalam pembuatan bihun adalah yang

mengandung amilosa tinggi. Amilosa merupakan suatu rantai polisakarida yang

relatif lurus dan tidak bercabang. Ujung rantai yang satu bersifat pereduksi dan

ujung lain bersifat non-pereduksi. Molekul amilosa cenderung membentuk

susunan paralel melalui ikatan hidrogen (Meyer, 2006). Amilosa bersifat hidrofilik,

karena memiliki lebih banyak gugus hidroksil daripada amilopektin. Amilosa

dapat meningkatkan penyerapan air dan membentuk gel lebih mudah karena

rantai lurusnya mudah membentuk jaringan tiga dimensi (Hawab, 2003).

Menurut Rahmi et al. (2009) menyatakan bahwa pembuatan sohun

berbahan baku pati dan campuran air panas 1:0,75(v/v) dapat menghasilkan

sohun dengan kadara air 10,97%, kecepatan pemasakan 3,19 menit dan cooking

loss 2,13%. Menurut Munarso (2012), proses pembuatan sohun pada dasarnya

adalah pembuatan antara pati sagu dan air yang kemudian digelatinisasi yang

selanjutnya dilakukan pencetakan dan pengeringan.

2.4 Interaksi Pati dan Tepung Porang

Glukomanan merupakan salah satu hidrokolid yang banyak diaplikasikan

bersama dengan pati. Charoenrein, et al., (2011) dalam penelitiannya tentang

pengaruh glukomanan pada sineresis dan mikrostruktur dari pati beras,

melaporkan bahwa pada saat dilakukan pemanasan, granula pati mengalami

pembengkakan dan diduga molekul amilosa pada pati mengalami leaching dari

granula pati. Granula pati dengan adanya penambahan konjac glukomanan yang

telah membengkak dalam bentuk gel mempunyai ukuran yang lebih kecil

dibanding dengan gel pati yang tidak mengandung konjak glukomanan. Pati

Page 26: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

11

dengan penambahan konjak glukomanan pada saat diamati dibawah mikroskop,

granula pati yang telah membengkak tersebut terlihat memiliki ikatan yang terikat

lebih merata daripada pati tanpa penambahan konjak glukomanan. Maka dari itu,

diduga bahwa bagian kental/gel yang terbentuk disekitar granula pati merupakan

konjac glukomanan yang berinteraksi dengan amilosa yang mengalami leaching.

Hasil tersebut berkorelasi dengan semakin rendahnya % sineresis dan

membentuk matriks yang lebih halus daripada gel pati tanpa penambahan konjac

glukomanan. Menurut Ferrero and Zaritzky (2000), ketika dilakukan pemanasan

antara hidrokolid dan suspensi pati, maka hidrokoloid akan berinteraksi dengan

amilosa yang keluar dari granula pati.

Gambar 2.1 Pati beras tanpa KGM Gambar 2.2 Pati beras dengan 0,5%

KGM

Sumber: Charoenrein, et al., (2011)

Telah ada beberapa penelitian terdahulu yang membahas tentang

pengaplikasian tepung porang dalam pembuatan produk berbasis pati, beberapa

diantaranya adalah Faridah (2014). Faridah dengan penelitiannya yaitu

penambahan porang dalam pembuatan mie basah memberikan pengaruh nyata

terhadap karakteristik pada parameter cooking time, cooking loss, kecerahan

warna, daya putus dan daya serap air. Perlakuan terbaik terdapat pada

penambahan tepung porang 4% yang menghasilkan mie dengan cooking time

2,13 menit, cooking loss 7,03%, daya putus 0,14 N, daya serap air 201,58%,

kecerahan warna 51,41. Selanjutnya yaitu pada pembuatan beras tiruan

(Rahmawati, 2012; Munif, 2016; Herlina, 2016) pembuatan mie (Rahma, 2012;

Purwandari, et al., 2014).

Penggunaan porang banyak digunakan untuk tambahan pada produk

pangan dikarenakan sifat gel porang yang memiliki sifat thermoirrversible. Konjac

glukomanan akan membentuk gel dengan adanya penambahan alkali. Alkali

Page 27: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

12

tersebut menghilangkan gugus asetil dari glukomanan (Takigami, 2012). Brooks

(2012) menyebutkan gugus asetil pada porang terbentuk tiap 60-20 gugus gula.

Penghilangan gugus asetil dapat dilakukan dengan menaikkan pH menjadi 9,5

atau lebih tinggi sehingga dapat membentuk gel konjac yang irreversible.

2.5 Proses Pembuatan Bihun

Proses pembuatan bihun memiliki beberapa tahapan, meliputi pembuatan

binder adonan, pembuatan adonan, pencetakan bihun, pengukusan dan

pengeringan. Pembuatan binder diperlukan sebagai perekat pati agar dapat

membentuk adonan dengan baik. Binder selanjutnya dicampurkan pada pati dan

dicampur hingga merata. Penambahan binder harus dalam jumlah yang tepat.

Jumlah binder yang terlalu sedikit akan mengakibatkan adonan tidak terikat

dengan baik sehingga bihun yang dihasilkan rapuh dan mudah patah. Jika

jumlah binder yang ditambah terlalu banyak dapat menyebabkan adonan terlalu

lengket.

Tahap selanjutnya adalah pencetakan menggunakan alat pencetak bihun

atau ekstruder. Hasbullah (2001), menyatakan bahwa bihun dibuat dari beras

melalui proses ekstrusi sehingga memperoleh bentuk seperti benang. Untaian

bihun selanjutnya dimasak dalam air mendidih selama 2 hingga 3 menit,

kemudian direndam dengan air dingin. Tahap terakhir yaitu pengerikan pada

mesin pengering pada suhu 40°C (Collado, 2001; Susilawati, 2007; Ramadhan,

2009). Berikut adalah skema proses pembuatan bihun secara umum:

Pengepresan

Pemasakan tahap pertama: selama 1 jam

Pembentukan Lembaran

pencetakan bihun dengan ekstruder

pemasakan tahap kedua selama 1,5 jam

penjemuran

pengemasan

Tepung Beras+air

bihun kering (Biasa)

Page 28: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

13

Pengepresan

Pemasakan tahap pertama: selama 1,5 jam

Pembentukan Lembaran

pencetakan bihun dengan ekstruder

pemasakan tahap kedua selama 2 jam

penjemuran

pengemasan

Gambar 2.3 Proses pembuatan bihun kering dan bihun instan (Koswara, 2006)

2.6 Bahan Tambahan dalam Pembuatan Bihun

2.6.1 Air

Secara umum air merupakan cairan yang tidak berasa, berwarna, dan tidak

berbau. Sedangkan secara kimia air merupakan suatu zat organik yang terdiri

dari dua molekul hidrogen dan mempunyai rumus molekul H2O (Winarno, 2002).

Air yang digunakan dalam proses pengolahan makanan dan minuman harus

memenuhi standar air minum, seperti tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa,

harus bersih, jernih, tidak mengandung logam-logam berat, dan kuman penyakit

(Rismunandar, 1996). Menurut Subarna (1992), air sangat menentukan

konsistensi dan karakteristik rheologi adonan. Selain itu, air juga berfungsi

sebagai pelarut bahan-bahan yang digunakan dalam pengolahan pangan,

sehingga bahan-bahan tersebut terdispersi secara merata.

Pada umumnya jumlah air yang ditambahkan sekitar 28-38% dari campuran

bahan yang akan digunakan. Jika air yang ditambahkan kurang dari 28%,

adonan yang dihasulkan akan menjadi rapuh sehingga akan sulit untuk dicetak

dan jika lebih dari 38% adonan akan menjadi sangat lengket (Widyaningsih dan

Murtini, 2006). Pada proses pembuatan bihun air berfungsi sebagai sarana

pendispersi bahan-bahan akan yang digunakan sehingga bahan-bahan

tercampur rata.

Tepung Beras+air kansui

bihun instan

Page 29: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

14

2.6.2 Kalsium Hidroksida

Pembentukan kalsium hidoksida dihasilkan melalui reaksi antara kalsium

oksida (CaO) dengan air atau proses slaking. Larutan Ca(OH)2 termasuk dalam

basa sedang. Kalsium hidroksida dalam pengolahan termasuk bahan tambahan

pangan yang berfungsi sebagai firming agent, anticacking agent, dough

strengthening agent, neutralizing agent, general purpose additive, asidulan, dan

buffer. Kalsium hidroksida pada pangan dapat mempekokoh konsistensi produk

agar tidak hancur selama pemasakan (Anonim, 1997). Menurut Yoshimura dalam

Takigami (2000), glukomanan tidak akan membentuk gel tanpa adanya larutan

alkali, namun hanya menjadi larutan dengan viskositas tinggi.

Bryan dan Hamaker (1997) dalam penelitiannya tentang penggunaan

larutan alkali pada pati dan tepung jagung, menyatakan bahwa Ca(OH)2 akan

terionisasi menjadi Ca++ dan OH- pada pH larutan yang tinggi, kemudian

membentuk ikatan silang (crosslinking) dengan pati. Interaksi Ca++ dengan pati

akan menstabilkan granula pati sehingga granula pati akan lebih kuat dan keras.

Rodrigues, et. al. (1996) menjelaskan bahwa dengan adanya Ca++ dalam pati

akan merusak ikatan pati dengan molekul air. Ca++ akan berikatan silang dengan

molekul amilosa dan amilopektin yang ada dalam pati. Reaksi ini disebut dengan

jembatan kalsium.

Pada proses pembuatan bihun kalsium hidroksida berfungsi untuk

memperkokoh konsistensi bihun sehingga tidak mudah retak dan tidak hancur

pada saat pemasakan.

2.6.3 Asam Sitrat

Asam sitrat merupakan salah satu senyawa acidulant (senyawa asam yang

ditambahkan pada proses pengolahan makanan dengan tujuan tertentu). Asam

sitrat memiliki bentuk bubuk putih, tidak berbau dan larut cepat dalam air

(Pulungan, dkk., 2004). Asam sitrat juga memiliki fungsi sebagai chelating agent

yang dapat mengikat logam sehingga senyawa ini dapat menstabilkan warna,

cita rasa dan tekstur (Kharisma, 2002).

Dalam penelitian ini asam sitrat digunakan untuk mengurangi sifat rekat

glukomanan agar bihun tidak menempel satu sama lain. Menurut Oktsuki (1968)

dalam Syaefullah (1990), senyawa asam yang ditambahkan pada larutan

glukomanan akan menghlangkan sifat rekat glukomanan dalam air. Larutan

glukomanan dengan penambahan senyawa alkali akan membentuk gel

Page 30: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

15

dikarenakan rantai gugus asetil terpecah sehingga sel dapat saling berikatan

kuat dalam air. Asam yang ditambahkan dapat membantu memperlambat proses

pemecahan gugus-gugus asetil, sehingga sifat saling merekat akan berkurang

dan bahkan hilang.

4.7 Faktor yang Mempengaruhi Mutu Bihun

Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi sifat mie secara umum

antara lain:

1. Karakteristik Bahan Baku

Kandungan bahan seperti konsentrasi amilosa, protein, kekuatan adonan

merupakan faktor yang sangat krusial dalam menentukan kualitas mie.

Komponen-komponen yang ada pada bahan akan mempengaruhi pada proses

pemasakan dan sifat fungsional mie (Ishfak, 2016). Mie yang dibuat dengan

bahan beramilosa tinggi mampu membentuk struktur yang kuat. Kandungan

amilosa pada bahan memiliki hubungan yang erat terhadap tingkat daya terima

dari bihun (Yoenyongbuddhagal, S. & A. Noomhorm, 2002).

2. Kehilangan Padatan (Cooking Loss)

Cooking loss biasanya digunakan sebagai indikasi untuk menentukan

kualitas mie, baik oleh konsumen maupun oleh industri. Pada umumnya,

kehilangan padatan yang rendah menunjukkan bahwa mie tersebut memiliki

kualitas yang baik. Zhou dalam penelitiannya menyatakan bahwa dengan

adanya penambahan tepung konjac mampu mengurangi kehilangan padatan dari

produk (Zhou et al., 2013).

3. Waktu Pemasakan

Waktu pemasakan merupakan faktor yang penting dalam menentukan sifat

dari mie yang dihasilkan. Waktu masak yang cepat dan kehilangan padatan yang

rendah pada saat pemasakan merupakan faktor yang utama dalam menentukan

kualitas mie (Yadav, 2014). Penentuan waktu pemasakan dilakukan dengan

memotong mie yang kering ±2 cm yang selanjutnya dimasak pada air mendidih.

Penentuan waktu pemasakan yang optimum dilakukan dengan memencet

untaian dan dilihat waktu dimana sudah tidak terlihat warna putih pada tengah-

tengah sampel (Fari, et al., 2011; Ahmed, et al., 2015).

4. Tensile Strength

Tekstur mie dapat dilihat dengan pengujian Tensile Strength (kuat tarik). Nilai

tensile strenght dapat menentukan daya putus pada untaian mie. Sifat ini

Page 31: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

16

menunjukkan tingkat resistensi mie terhadap kerusakan (Seib et al., 2000). Mie

yang terbuat dari bahan dengan kandungan amilosa tinggi mampu menghasilkan

tensile strength yang baik. Telah dilakukan penelitian bahwa tensile strength

memiliki korelasi yang positif terhadap konsentrasi amilosa. Semakin naiknya

konsentrasi amilosa, mie yang dihasilkan semakin susah untuk diputus dan

memiliki kekuatan meregang yang baik (Chen et al., 2002).

Page 32: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

16

III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan dan

Biokimia Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi

Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Februari 2016-Oktober 2016.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1. Alat

Alat-alat yang digunakan adalah glassware, timbangan analitik merk XP-

1500 (Jerman), cabinet dryer, desikator (merk Simax), oven kadar air (merk

Memmert tipe U.30 kapasitas 220˚C, spectrophotometer (Unico UV-2100), kurs

porselin, kompor listrik (merk Maspion), color reader.

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tepung sagu yang diperoleh

dari Giant swalayan dan tepung porang jenis Amorophallus konjac diperolej dari

CV. Tristar Chemical Surabaya dan Amorpophallus m. blume yang diperoleh dari

PT Ambico Japanan PAsuruan. Bahan tambahan yang digunakan adalah

Kalsium hidroksida (Ca(OH)2), asam sitrat yang diperoleh dari toko kimia Makmur

Sejati, Malang. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa adalah etanol, asam

format, NaOH, H2SO4, asam dinitro salisilat, K2SO4 yang diperoleh dari toko

Kimia Makmur Sejati.

3.3 Rancangan Penelitian

Desain penelitian menggunakan Rancangan Tersarang (Nesteed Design)

dengan dua faktor.

Faktor I: Jenis tepung porang yang terdiri dari 2 level:

C= Tepung Porang Coklat (Amorphophallus m.blume)

P= Tepung Porang Putih (Amorphophallus konjac)

Faktor II: Proporsi tepung sagu: tepung porang

1= 96% Tepung Sagu:4% Tepung Porang

2= 94% Tepung Sagu:6% Tepung Porang

3= 92% Tepung Sagu:8%Tepung Porang

Page 33: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

17

Penentuan jumlah ulangan dihitung mengikuti rumus replikasi, yaitu:

(t-1) (r-1) ≥ 15

Keterangan : t = banyaknya taraf perlakuan

r = banyaknya ulangan

Dalam penelitian ini t= 6 (diperoleh dari kombinasi 2 faktor penelitian yaitu

faktor 1 terdiri dari 2 level dari faktor 2 terdiri dari 3 level, sehingga (6-1) (r-1) ≥ 15

dengan memakai rumus tersebut diperoleh jumlah r=4 yang artinya ulangan

dilakukan minimum empat kali, dan diperoleh 24 satuan percobaan. Desain

Perlakuan Penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Desain Perlakuan Penelitian

Jenis Tepung Porang Perlakuan Tepung Sagu

(%)

Tepung Porang

(%)

Tepung Porang Coklat (C) C1 96 4

C2 94 6

C3 92 8

Tepung Porang Putih (P) P1 96 4

P2 94 6

P3 92 8

3.4 Pelaksanaan Penelitian

Metode pembuatan bihun ini mengacu pada Collado et al (2001) dan

Ramadhan (2009) yang dimodifikasi. Pembuatan bihun kering dibuat dari

beberapa tahap, antara lain:

1. Pembautan binder adonan

Pembuatan binder dilakukan dengan perendaman tepung porang dengan

air dan ditambahkan 4ml CaOH2 agar menjadi gel sempurna.

Contoh: untuk pembuatan bihun dengan penambahan tepung porang 4%/100g

bahan, maka dicampurkan 4 gram tepung porang dan 90ml air kemudian

ditambahkan 4ml larutan CaOH2.

2. Pembuatan adonan

Adonan dibuat dengan mencampurkan binder yang telah dibuat dengan

pati kering. Adonan diaduk hingga merata yaitu ketika pati kering telah tercampur

merata dan terikat oleh binder sehingga menyatu saat digenggam.

3. Pencetakan bihun

Pencetakan dilakukan dengan alat pencetak bihun, yaitu adonan

dimasukkan pada alat dan kemudian ditekan hingga adonan terdorong keluar.

Page 34: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

18

Lubang cetakan yang berukuran kecil akan menghasilkan untaian bihun yang

seragam.

4. Pemasakan untaian bihun

Untaian bihun kemudian dimasak pada suhu 70-75˚C selama 4 menit

hingga bihun tergelatinisasi.

5. Pengeringan

Bihun yang telah dimasak kemudian dikeringkan dengan pengering kabinet

pada suhu 40°C selama 5 jam.

3.5 Pengamatan dan Analisa

Pengamatan terhadap komposisi kimia tepung porang meliputi: kadar air

dengan Metode Oven (AOAC, 1970 dalam Sudarmadji dkk., 1997), kadar

glukomanan (Peiying et al, 2002). Pengamatan komposisi kimia tepung sagu

meliputi: kadar pati (Sudarmadji dkk, 1997), kadar air (Sudarmadji et al.,1997)

Pengamatan terhadap sifat fisik bihun antara lain penentuan cooking time,

cooking loss, elongasi, warna metode Colorimeter (Yuwono dan Susanto, 1998),

daya rehidrasi. Pengamatan terhadap komposisi kimia bihun meliputi: kadar air

dengan Metode Oven (AOAC, 1970 dalam Sudarmadji dkk., 1997). Pengujian

organoleptik yang dilakukan pada bihun sagu meliputi warna, aroma, rasa, dan

tekstur menggunakan uji sensoris kesukaan (uji hedonik) dengan skala 1-7

dimana semakin tinggi nilai menunjukkan tingkat kesukaan yang semakin tinggi.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisa dengan metode Analisis

Ragam (Analysis of Variant atau ANOVA) jika berbeda nyata dilanjutkan dengan

uji lanjutan BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan selang kepercayaan 5%. Data

hasil uji prganoleptik dianalisis menggunakan uji non parametrik Friedman.

Pemilihan perlakuan terbaik dilakukan dengan metode Multiple Attribute (Zeleny,

1982).

Page 35: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

19

3.6 Diagram Alir Penelitian

3.7.1 Diagram Alir Pembuatan Bihun Sagu

Tepung Porang (gram) 4 ; 6 ; 8

Air matang 80 mL

direndam 1 jam

Ca(OH)2 2% 8mL

Tepung Sagu (gram)

96 ; 94 ; 98

diuleni

dicetak

direbus 75-800C selama 7 menit

ditiriskan

dikeringkan dengan pengering kabinet

t=5 jam, T= 60 0C

Bihun sagu

Analisa: - Daya putus - Cooking loss - Hidrasi - Cooking time - Elongasi

Analisa Organoleptik: Warna, rasa, aroma,

tekstur

Analisa :

Kecerahan warna (L*)

Kadar Air

Perebusan selama 5 menit

Bihun sagu masak

Direndam dalam larutan asam sitrat 0,02%, t=30 menit

Page 36: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

20

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah tepung sagu dan

tepung porang jenis Amorphophallus konjac dan Amorphophallus muelleri Blume

yang berfungsi sebagai bahan pengikat adonan. Pemilihan tepung sagu sebagai

bahan baku dalam pembuatan bihun karena pemanfaatan sagu pada umunya

terbatas sebagai bahan utama atau bahan campuran untuk pembuatan kue dan

makanan kecil. Padahal dengan melihat kandungannya, tepung sagu memiliki

potensi untuk dijadikan bahan baku pembuatan bihun untuk menggantikan

penggunaan beras. Dalam penelitian ini dilakukan penambahan tepung porang

yang digunakan sebagai bahan pengikat adonan. Untuk lebih memudahkan,

tepung porangAmorpophallus konjac disebut dengan porang putih (P) yang

didapatkan dari Tristar Chemical Surabaya dan Amorphophallus muelleri Blume

disebut dengan porang coklat (C) didapat dari PT Ambico Japanan, Pasuruan.

Tahapan proses dapat dilihat pada Gambar 4.1. Untuk hasil analisa bahan dapat

dilihat pada Tabel 4.1

Gambar 4.1. Proses Pembuatan Bihun Kering (Dokumentasi Pribadi)

Page 37: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

21

Tabel 4.1 Data Analisa Bahan Baku

Komposisi Tepung sagu A.konjac A.muelleri Blume

Analisa Literatur

Analisa Literatur

Analisa Literatur

Kadar air (%) 9,13 9,6

a 9,58 11-13

c 8,81 9,82

e

Kecerahan warna L* 61,6 - 56,74 66-68

d 48,09 49,49

e

Amilosa (%) 34,15 36,12b - - - -

Kadar pati (%) 80,17 81

a 2,8 - 3,09 2,9

e

Kadar Glukomanan - - 63,75 ≥65

c 69,75 64,77

e

a= Richana and Sunarti, 2004 d=Takigami, 2010 b= Purwani et al., 2006 e= Kurniawati, 2010 c= Professional Standar of China, 2002

Pada pengujian kadar air, kadar air tepung sagu hasil analisa memiliki nilai

lebih rendah dibandingkan dengan literatur. Hal tersebut dapat dimungkinkan

karena tepung sagu yang digunakan dalam penelitian adalah tepung sagu

komersil. Dimana pada tiap industri memiliki syarat mutu tersendiri terhadap

standar pengujian yang digunakan. Namun, selisih dari keduanya tidak terlalu

besar sehingga hasil tersebut masih sesuai dengan literatur.

Dalam pengujian amilosa, tepung sagu bahan baku memiliki nilai yang

sedikit lebih rendah dibandingkan dengan literatur. Begitu pula dangan

kandungan pati bahan memiliki nilai lebih rendah. Menurut Purwani et al. (2006),

tepung sagu memiliki amilosa 36,12%. Perbedaan tersebut dapat dikarenakan

jenis bahan baku yang digunakan dengan literatur juga berbeda. Pati dengan

kandungan amilosa yang tinggi memiliki kekuatan ikatan hidrogen yang lebih

besar karena jumlah rantai lurus yang besar dalam granula. Perbedaan hasil

analisa dengan literatur tidak terlalu besar sehingga dapar disimpulkan bahwa

hasil analisa sesuai dengan literatur. Dengan kandungan amilosa yang tinggi

pada tepung sagu, maka tepung sagu telah memenuhi syarat untuk dapat

dijadikan sebagai bahan baku bihun.

Pengujian pada tepung porang masing-masing juga memiliki perbedaan

hasil dengan literatur. Hal ini dapat dimungkinkan karena perbedaan varietas

bahan baku, tempat tumbuh, iklim, kondisi lingkungan serta proses pengolahan

dari bahan baku menjadi tepung. Menurut Sumarwoto (2006), kadar glukomanan

dalam umbi yang bervariasi dipengaruhi oleh umur tanaman, jenis tanaman,

perlakuan pendahuluan sebelum dikeringkan, serta adanya pengolahan lanjutan.

Page 38: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

22

4.2. Sifat Fisik dan Kimia Bihun Sagu

4.2.1 Kadar Air

Kadar air merupakan faktor penting dalam produk pangan yang berpengaruh

pada kenampakan, tekstur dan daya simpan produk. Kadar air berperan penting

dalam mempertahankan mutu bahan pangan (Badarudin, 2006). Kandungan air

menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan pangan. Besarnya

kandungan air dalam pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

kecepatan dan aktifitas enzim, aktivitas mikroba dan aktivitas kimiawi, yaitu

proses oksidasi, reaksi non enzimatis, sehingga menimbulkan perubahan sifat-

sifat organoleptik seperti cita rasa, kenampakan dan tekstur bahan pangan

(Winarno, 2004). Menurut Kusnandar (2010), bila pangan dikeringkan maka

sebagian kadar air akan hilang yang menyebabkan tingkat keawetan pangan

meningkat.

Pada pengujian normalitas pada data, didapatkan hasil yang normal yang

dapat dilihat pada Lampiran 30. Data dikatakan normal jika nilai P-Value

menunjukkan hasil P-Value>0,05 dan pada data kadar air menunjukkan angka P-

Value>0,150 maka data dikatakan normal. Hasil penelitian menunjukkan kadar

air bihun sagu berkisar antara 3,68-5,39%. Rerata jumlah kadar air bihun sagu

dengan perlakuan proporsi tepung sagu:porang dengan jenis porang berbeda

dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar4.2 Rerata Kadar Air Bihun Sagu Akibat Perlakuan Proporsi Tepung

Sagu:Porang dan Jenis Porang Berbeda

Berdasarkan Gambar 4.2dapat diketahui bahwa rerata kadar air bihun sagu

secara keseluruhan berkisar antara 3,68-5,39%. Pada bihun sagu dengan

proporsi tepung sagu:porang putih (Amorphophallus konjac) memiliki nilai

2,00

2,50

3,00

3,50

4,00

4,50

5,00

5,50

6,00

(4:96) (6:94) (8:92)

Kad

ar A

ir (

%)

Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)

A. konjac

A.muelleri Blume

Page 39: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

23

tertinggi sebesar 4,86% pada proporsi 92% tepung sagu:8% tepung porang dan

terendah pada proporsi 96% tepung sagu:4%% tepung porang dengan nilai

3,68%. Bihun sagu dengan perlakuan proporsi tepung sagu:porang coklat

(Amorphophallus muelleri Blume) menghasilkan nilai tertinggi pada porporsi 92%

tepung sagu:8%% tepung porang sebesar 5,38 dan terendah pada proporsi 96%

tepung sagu:4%% tepung porang dengan nilai kadar air 4,27%. Hasil analisa

sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa jenis bahan pengikat yang

berbeda meberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap kadar air bihun sagu,

begitu pula pada perlakuan perbedaan proporsi juga menunjukkan hasil yang

berbeda nyata pada α=0,05. Hasil uji BNT (α=0,05) jenis dan proporsi porang

yang berbeda terhadap kadar air disajikan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan Pengikat Berbeda terhadap Kadar Air Bihun Sagu Jenis Porang Proporsi Tepung Sagu:

Tepung Porang Rerata Kadar Air BNT 5%

A.konjac 98 : 2 3,68a

0,84 96 : 4 4,38ab

94 : 6 4,86b

A.muelleri Blume 98 : 2 4,27a

0,84

96 : 4 4,77ab

94 : 6 5,39b

Keterangan: angka yang didampingi huruf yang tidak sama pada satu kolom

menunukkan berbeda nyata (α = 0,05)

Berdasar Tabel di atas dapat dilihat bahwa semakin besarnya proporsi

porang yang ditambahkan, kadar air dalam bihun juga meningkat. Peningkatan

kadar air tersebut berhubungan dengan kemampuan memerangkap air yang

tinggi oleh porang. Sehingga semakin banyak porang yang ditambah maka

kandungan air semakin tinggi pula. Seperti halnya Chen (2008) menyatakan

bahwa kelembaban pada film semakin meningkat seiring dengan semakin

besarnya kandungan KGM. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingginya kemampuan

KGM untuk menyerap air daripada pati.

Kemampuan glukomanan yang dapat menyerap air hingga mencapai 200

kali beratnya dan mampu menghambat sineresis, sehingga air yang telah terikat

sulit untuk terlepas kembali (Chan, 2005). Air dalam bahan pangan dibagi

menjadi dua jenis, yaitu air terikat dan air bebas. Air bebas dalam bahan pangan

dapat dengan mudah dihilangkan, misalnya dengan penguapan. Sedangkan air

terikat sulit untuk dihilangkan (Purnomo, 1995). Dengan kemampuan dari

Page 40: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

24

glukomanan yang mampu menyerap air dengan baik, dapat dimungkinkan air

tersebut terperangkap dalam glukomanan, sehingga seiring dengan

bertambahnya proporsi tepung porang, kadar air bihun juga semakin tinggi.

Kandungan amilosa pada sagu yang tinggi juga mempengaruhi kadar air

dan daya serap air pada bihun. Semakin tinggi kadar amilosa pada tepung maka

daya serap air semakin tinggi (Kusnandar, 2011). Dalam penelitain Sede (2015)

menyatakan tingginya kadar amilosa maka menaikkan daya serap air, sehingga

jumlah air yang terbuang lebih banyak yang mengakibatkan kadar air beras

analog dari pati sagu lebih rendah. Ketika suatu produk dengan kandungan air

yang lebih tinggi dilakukan pengerigan, maka produk tersebut akan lebih banyak

kehilangan air. Hal tersebut dikarenakan semakin banyak air yang teruapkan

saat dilakukan pengeringan (Indraswari, 2003).

Proses dalam pembuatan bihun dapat juga menjadi faktor yang

berpengaruh dalam kandungan air produk. Menurut Rosdaneli (2005) kadar air

dipengaruhi oleh pengeringan. Proses pengeringan berlangsung dengan

memecahkan ikatan-ikatan air yang terdapat dalam bahan. Apabila ikatan

molekul-molekul air yang terdiri dari unsur-unsur dasar oksigen dan hidrogen

dipecahkan, maka molekul tersebut akan keluar dari bahan. Akibatnya bahan

tersebut akan kehilangan air yang dikandungnya yang mengakibatkan kadar air

menjadi rendah.

4.2.2 Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (Cooking Loss)

Cooking loss atau kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)

merupakan salah satu parameter penting pada bihun. Kehilangan padatan

merupakan jumlah substansi padatan yang hilang bersama air hasil dari

pemasakan mie (Basman and Yalcin, 2008). Semakin besar nilai KPAP

menunjukkan semakin banyaknya padatan yan terlepas dari permukaan bihun

selama pemasakan. Pada produk bihun diharapkan memiliki nilai kehilanggan

padatan yang rendah agar tidak mengurangi massa bihun yang sudah matang.

Menurut Yadav ( 2014), cooking loss merupakan salah satu faktor yang sangat

penting untuk menentukan kualitas mie.

Pada pengujian normalitas pada data, didapatkan hasil yang normal yang

dapat dilihat pada Lampiran 31. Data dikatakan normal jika nilai P-Value

menunjukkan hasil P-Value>0,05 dan pada data kehilangan padatan

menunjukkan angka P-Value>0,150 maka data dikatakan normal. Rerata nilai

kehilangan padatan pada bihun dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Page 41: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

25

Gambar 4.3 Grafik Rerata Kehilangan Padatan Bihun Sagu pada Jenis Tepung

Porang dan Proporsi Tepung Sagu:Tepung Porang

Pada Gambar 4.3 menunukkan bahwa rerata kehilangan padatan bihun

semakin menurun seiring dengan bertambahnya proporsi porang. Nilai

kehilangan padatan bihun dengan pelakuan proporsi tepung sagu:tepung porang

jenis A.konjac berkisar antara 8,28-11,79%. Untuk proporsi tepung sagu:tepung

porang jenis A. muelleri Blume berkisar 9,27%-15,38%. Nilai tertinggi terdapat

pada bihun sagu pada perlakuan proporsi tepung sagu (96%):tepung porang

jenis A.muelleri Blume (4%) dengan nilai 15,38%. Nilai kehilangan padatan

paling rendah terjadi pada perlakuan proporsi tepung sagu (92%):tepung porang

jenis A.konjac (8%) sebesar 8,28%. Nilai kehilangan padatan tertinggi terdapat

pada bihun dengan perlakuan proporsi tepung sagu:tepung porang coklat, yang

dimungkinkan karena ukuran tepung porang yang lebih besar daripada tepung

sagu.

Menurut Danajaya (2010), tepung porang pada umumnya memiliki ukuran

250-475 µm atau setara dengan 45-60 mesh. Hal tersebut menunjukkan bahwa

tepung porang memiliki ukuran yang lebih besar daripada tepung sagu yang

berukuran 100 mesh (Saripudin, 2006). Ukuran yang berbeda dimungkinkan

akan menjadikan adonan yang terbentuk kurang sempurna sehingga ketika

dilakukan pemasakan terdapat partikel-partikel yang terlepas larut dalam air yang

mengakibatkan persen kehilangan padatan semakin tinggi.

Karakteristik dari pati sagu juga berpengaruh terhadap nilai kehilangan

padatan pada bihun. Pada konsentrasi tepung sagu yang tinggi menghasilkan

bihun dengan kehilangan padatan yang lebih tinggi pula. Menurut Leach (1965)

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

14,00

16,00

18,00

(4:96) (6:94) (8:92)

Co

kin

g Lo

ss (

%)

Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)

A. konjac

A.muelleri Blume

Page 42: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

26

dalam Sede et al. (2015) menyatakan bahwa pada umumnya pati dari akar atau

batang memiliki suhu gelatinisasi lebih rendah daripada pati serelia dan biji-bijian.

Granula pati mudah mengalami pengembangan dan memiliki tingkat pelarutan

pati yang lebih besar. Hal tersebut disebabkan pati dari akar atau batang

mempunyai derajat ikatan antar molekul yang lebih rendah daripada pati yang

berasal dari serealia.

Hasil analisa ragam (lampiran 18) menunukkan bahwa proporsi tepung

sagu:tepung porang (96:4; 94:6; 92:8) berpengaruh nyata terhadap persen

cooking loss bihun sagu (α=5%). Begitu juga perlakuan jenis tepung porang

menunjukkan pengaruh nyata (α=5%) terhadap persen cooking loss bihun sagu.

Untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan perbedaan nyata maka

dilakukan uji BNT yang hasilnya dapat dilijat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan

Pengikat Berbeda terhadap Cooking Loss Bihun Sagu

Jenis Tepung Porang Proporsi Tepung Sagu: Tepung Porang

Rerata cooking loss BNT 5%

A.konjac 96:4 11,79b

2,27 94:6 9,76a

92:8 8,28a

A.muelleri Blume 96:4 15,38b

2,27 94:6 11,13

a

92:8 9,27b

Keterangan: Nilai yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda

nyata pada (α=0,05).

Pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa rerata persen kehilangan padatan

pada bihun semakin berkurang seiring dengan naiknya proporsi tepung porang.

Dalam pembuatan bihun sagu tepung porang memiliki peranan sebagai binder

adonan. Jumlah binder dalam pembuatan bihun memiliki pengaruh yang sangat

penting terhadap kualitas dan tekstur bihun sagu kering. Semakin banyak jumlah

binder yang digunakan, maka semakin kuat ikatan matriks bihun sehingga

padatan tidak mudah terlepas dari matriks bihun saat dilakukan pemasakan.

Menurut Handy (2010) perubahan jumlah binder yang digunakan dalam

pembuatan bihun memiliki pengaruh yang signifikan pada pembuatan bihun

sagu.

Pada gambar 4.3 menunjukkan bahwa seiring naiknya konsentrasi tepung

porang, nilai kehilangan padatan akibat pemasakan semakin menurun. Hal ini

dapat disebabkan karena kuatnya ikatan yang terjadi antara pati dan porang.

Page 43: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

27

Dengan semakin kuatnya ikatan yang terbentuk, maka ketika dilakukan

pemanasan pun komponen-komponen yang larut dapat berkurang. Selain itu,

porang sendiri juga memiliki sifat thermoirreversible, dimana porang dapat

mempertahankan bentuknya meskipun dilakukan pemanasan berulang. Sesuai

dalam Herranz (2012), glukomanan dengan penambahan alkali bersifat Themo-

irreversible dengan terbentuknya jaringan yang terikat secara permanen

4.2.3 Elongasi

Elongasi (pemanjangan) merupakan presentase perubahan panjang pada

saat dilakukan penarikan hingga putus (Krochta an de Mulder Johnson, 1997).

Elongasi merupakan salah satu sifat fisik dari mie untuk mengetahui tingkat

elastisitas dari mie yang dihasilkan. Nilai elongasi dapat digunakan untuk

mengetahui sifat kelenturan suatu bahan sehingga dapat diketahui kemampuan

maksimal suatu bahan untuk memanjang (Indraryani, 2003). Elastisitas

didefinisikan sebagai laju bahan yang ketika diubah bentuknya, akan lembali ke

bentuk asal setelah gaya ditiadakan. Pengukuran elongasi dilaukan dengan

memanangkan mie sampai pada titik dimana mie putus atau patah (De man,

1998). Nilai elongasi yang semakin tinggi menunjukkan tingkat elastisitas yang

semakin tinggi.

Pada pengujian normalitas pada data, didapatkan hasil yang normal yang

dapat dilihat pada Lampiran 32. Data dikatakan normal jika nilai P-Value

menunjukkan hasil >0,05 dan pada data elongasi menunjukkan angka P-

Value>0,150 maka data dikatakan normal. Hasil analisa elongasi bihun sagu

dengan perlakuan proporsi tepung sagu:tepung porang dengan dua jenis porang

yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.4.

Page 44: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

28

Gambar4.4. Grafik Rerata Nilai Elongasi Bihun Sagu pada Proporsi dan Jenis

Porang yang Berbeda

Gambar 4.4 menunjukkan bahwa nilai elongasi yang dihasilkan berkisar

antara 35,83-70,83. Pembuatan bihun sagu dengan perbandingan tepung

sagu:tepung porang memberikan pengaruh terhadap nilai persen elongasi bihun

sagu yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi tepung porang meningkatkan

nilai persen elongasi bihun sagu. Rerata nilai elongasi tertinggi pada bihun sagu

dengan perlakuan tepung sagu 92%:tepung porang jenis A.konjac 8%, rerata

paling kecil terdapat pada bihun sagu dengan perlakuan tepung sagu

96%:tepung porang jenis A.muelleri Blume 4%.

Hasil analisa ragam (lampiran 10) menunjukkan bahwa jenis tepung porang

yang digunakan berpengaruh nyata terhadap nilai elongasi bihun (α=0,05).

Begitu pula pada perlakuan proporsi tepung sagu:tepung porang 96:4; 94:6; 92:8

memberkan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap nilai elongasi bihun. Untuk

mengetahui tiap perlakuan yang memberikan pengaruh nyata maka dilakukan uji

BNT yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis Proporsi Tepung Sagu:Bahan Pengikat Berbeda terhadap Bihun Sagu Jenis Porang Proporsi Tepung Sagu:

Tepung Porang Rerata Elongasi BNT 5%

A.konjac 96:4 40,83a

13,860 94:6 58,33b

92:8 70,83b

A.muelleri Blume 96:4 35,83a

13,860 94:6 47,50ab

92:8 61,67b

Keterangan: Nilai yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak adanya beda nyata (α=0,05)

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

(4:96) (6:94) (8:92)

Elo

nga

si (

%)

Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)

A.konjac

A.muelleri Blume

Page 45: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

29

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa dengan semakin banyaknya proporsi

porang yang digunakan, nilai elongasi bihun sagu semakin meningkat. Baik itu

porang berjenis A.konjac maupun A.muelleri Blume. Seperti yang diungkapkan

oleh Carvalho & Grosso (2006) bahwa porang memiliki interaksi yang bersinergi

dengan pati. Interaksi antara porang dan pati mampu memperbaiki tensile

strength dan juga elongasi pada produk.

Hal lain yang berpengaruh adalah kandungan amilosa bahan. Sagu sendiri

memiliki kandungan amilosa 34,15 yang termasuk cukup tinggi. Interaksi yang

terjadi antara amilosa dan porang mampu meningkatkan elongasi pada bihun.

Pada penelitian ini, semakin tinggi proporsi porang yang ditambahkan maka akan

semakin banyak pula porang yang berikatan dengan amilosa yang ada pada

sagu. Averous & Boquillon (2004) dan Cao et al. (2007) melaporkan bahwa

interaksi yang dihasilkan antara amilosa dan molekul KGM (konjac glukomanan)

lebih kuat jika dibandingkan ikatan antara amilopektin dan KGM. Amilosa lebih

mudah untuk bercampur dengan KGM daripada amilopektin. Jianguang, et al.

(2008) dalam penelitiannya menyatakan, amilosa pada pati memliki struktur yang

mirip dengan KGM, dimana jika keduanya dicampurkan memiliki efek yang

kompatibel dengan KGM. Hal tersebut yang mampu memperbaiki tensile strenght

dan elongasi, yang mana dalam penelitiaannya dalam pembuatan film.

Tepung porang mampu membentuk gel dengan penambahan alkali.

Sehingga dimungkinkan dengan penambahan porang maka nilai elongasi

semakin tinggi yang menjadikan bihun lebih elastis. Sesuai dalam Herranz

(2012), glukomanan dengan penambahan alkali membentuk gel yang

themoirreversible dengan terbentuknya jaringan yang terikat secara permanen.

Maka dengan semakin banyaknya porang yang digunakan dapat menaikkan

tingkat keelastisitas dari bihun sagu yang dihasilkan.

4.2.4 Daya Putus (Tensile Strength)

Daya putus (Tensile Strength) merupakan nilai gaya yang diperlukan untuk

memutus untaian mie. Tensile strength sangat cocok digunakan sebagai

parameter kekuatan mie (Chansri et al., 2005). Nilai yang dihasilkan merupakan

gaya yang diperlukan untuk memutuskan untaian mie. Semakin besar gaya yang

dibutuhkan maka semakin panjang aatau elastis mie tersebut.

Pada pengujian normalitas pada data, didapatkan hasil yang normal yang

dapat dilihat pada Lampiran 33. Data dikatakan normal jika nilai P-Value

menunjukkan hasil>0,05. Pada data Tensile Strength menunjukkan angka P-

Page 46: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

30

Value 0,083 maka data dikatakan normal. RetataTensile strength bihun sagu

akibat pelakuan jenis tepung porang dan perbandingan jenis tepung

porang:tepung sagu dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5Grafik Daya Putus Bihun Akibat Pengaruh Jenis Tepung Porang dan

Proporsi Tepung Sagu:Tepung Porang

Gambar 4.5 dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi konsentrasi jenis

porang (A.konjac dan A.muelleri Blume) cenderung akan menaikkan kuat tarik

dari bihun sagu. Nilai tensile strength yang dihasilkan berkisar antara 0,13-0,53.

Pembuatan bihun sagu dengan perbandingan tepung sagu:tepung porang

memberikan pengaruh terhadap nilai daya putus bihun sagu yang dihasilkan.

Amilosa yang tinggi yang dikandung pada pati sagu dan dengan penambahan

gel glukomanan yang berfungsi sebagai binder bihun sagu menjadikan nilai daya

putus bihun sagu semakin meningkat seiring dengan naiknya konsentrasi gel

porang yang digunakan.

Semakin tingginya daya putus menunjukkan bahwa ikatan dalam bihun

semakin kompak dan kuat. Daya putus terendah terdapat pada bihun sagu

dengan perlakuan penambahan tepung porang A.muelleri Blume pada

konsentrasi 4%. Hal tersebut dapat dikarenakan lemahnya ikatan yang ada pada

bihun sagu. Dalam penelitian Ramadhan (2009), sampel bihun tanpa bahan

pengatur tekstur memiliki nilai kekerasan paling rendah, sehingga ketika

dilakukan pengujian daya putus, nilai yang dihasilkanpun rendah.

Hasil analisa ragam (lampiran 13) menunjukkan bahwa jenis tepung porang

yang digunakan berpengaruh nyata terhadap nilai Tensile Strength bihun

0,000,050,100,150,200,250,300,350,400,450,500,550,600,650,70

(4:96) (6:94) (8:92)

Day

a P

utu

s (N

)

Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)

A. konjac

A.muelleri Blume

Page 47: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

31

(α=0,05). Begitu pula pada perlakuan proporsi tepung sagu:tepung porang 96:4;

94:6; 92:8 memberkan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap nilai daya putus bihun.

Untuk mengetahui tiap perlakuan yang memberikan pengaruh nyata maka

dilakukan uji BNT yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.5.

Tabel 4.5 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan

Pengikat Berbeda terhadap Daya Putus Bihun Sagu

Jenis Porang Proporsi Tepung Sagu: Tepung Porang

Rerata Daya Putus

BNT 5%

A.konjac 96:4 0,18a

0,22 94:6 0,33ab

92:8 0,35b

A.muelleri Blume 96:4 0,13a

0,22 94:6 0,25

a

92:8 0,30a

Keterangan: angka yang didampingi huruf yang tidak sama pada satu kolom

menunukkan berbeda nyata (α = 0,05)

Daya putus tertinggi terdapat pada perlakuan penambahan porang

A.konjac dengan konsentrasi proporsi 8%. Salah satu faktor yang mempengaruhi

tingkat kekerasan bihun adalah kandungan amilosa pada bahan. Amilosa

merupakan faktor penting yang mempengaruhi kekuatan gel pati yang mampu

membuat struktus gel menjadi keras. Amilosa dapat membentuk struktur kristal

karena memiliki struktur rantai polimer yang sederhana sehingga dapat terjadi

interaksi antar molekul yang kuat. Sebagaimana diketahaui pati sagu memiliki

amilosa 34,12. Menurut Kusnandar (2010), pati dengan kandungan amilosa 25-

30% umumnya dapat memberikan karakter gel yang kompak. Maka dengan

kandungan amilosa yang tinggi dapat berpengaruh pada kekuatan tekstur gel.

Selain amilosa, penyebab lain yang mempengaruhi daya putus yaitu

kekompakan ikatan pada campuran pati dan tepung porang. Pada penelitian ini,

adonan yang menggunakan A.muelleri Blume memiliki daya putus yang lebih

rendah dibandingkan dengan A.konjac. Dalam proses pembuatan bihun terdapat

proses mixing, dimana dalam proses ini keseragaman ukuran bahan merupakan

faktor yang penting. Djuragic et al. (2009) menyatakan bahwa keseragaman

ukuran bahan merupakan faktor yang sangat penting dalam proses mixing.

Menurut Chen et al. (2011), ukuran partikel memiliki peranan penting untuk

mendapatkan adonan pasta yang baik. Perbedaan ukuran partikel yang terlalu

besar mengakibatkan adonan menjadi kurang homogen. Diharapkan ukuran

partikel dari bahan memiliki rentang perbedaan ukuran yang seminimal mungkin.

Page 48: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

32

Dalam penelitian ini menggunakan dua jenis tepung porang yaitu

Amorphophallus konjac dan Amorphophallus muelleri blume. Berdasar

ukurannya, tepung porang A.konjac memiliki ukuran 80-100 sedangkan tepung

porang lokal pada umumnya memiliki ukuran 250-475 µm atau setara dengan

45-60 mesh (Danajaya 2010). Dengan ukuran A.konjac yang lebih kecil tersebut

menjadikan ikatan yang terbentuk semakin kompak dan kokoh sehingga nilai dari

daya putusnya pun semakin tinggi.

4.2.5 Waktu Pemasakan (Cooking Time)

Cooking time atau waktu pemasakan merupakan waktu yang dibutuhkan

agar bihun tergelatinisasi sempurna saat dimasak. Lama pemasakan ditandai

dengan hilangnya titik putih di bagian tengah untaian saat dilakukan pemasakan

(Basman and Yalchin, 2011). Waktu pemasakan berkaitan erat dengan mutu

bihun yang dihasilkan. Dalam produk bihun, waktu pemasakan yang diharapkan

adalah yang tidak terlalu lama.

Pada pengujian normalitas pada data, didapatkan hasil yang normal yang

dapat dilihat pada Lampiran 34. Data dikatakan normal jika nilai P-Value

menunjukkan hasil >0,05. Pada data Cooking Time menunjukkan angka P-

Value>0,150 maka data dikatakan normal. Rerata waktu pemasakan bihun sagu

dengan perlakukan proporsi tepung sagu:tepung porang dan jenis porang yang

digunakan dapat dilihat pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6. Grafik Rerata Waktu Pemasakan Bihun Sagu Dengan Perlakuan Perpedaan Proporsi Tepung Sagu:Tepung Porang dan Jenis Porang

3,00

3,70

4,40

5,10

5,80

6,50

7,20

7,90

8,60

9,30

(4:96) (6:94) (8:92)

Lam

a w

aktu

Pem

asak

an (m

enit

)

Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)

A. konjac

A.muelleri Blume

Page 49: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

33

Gambar 4.6 menunjukkan bahwa rerata cooking time semakin menurun

seiring dengan penambahan tepung porang. Cooking time bihun sagu dengan

penambahan A.konjac sebagai bahan pengikatnya memiliki waktu pemasakan

berkisar 5,59-7,31 menit. Untuk bihun sagu dengan perlakuan menggunakan

A.muelleri Blume memiliki rata-rata waktu 6,23-7,89 menit. Dengan demikian

lama waktu pemasakan terlama adalah pada bihun dengan menggunakan

A.muelleri Blume dengan proporsi tepung sagu 96%:porang 4%. Sedangkan

untuk waktu pemasakan tersingkat terjadi pada bihun dengan A.konjac pada

proporsi tepung sagu 92%:porang 8%.

Berdasar pada grafik di atas, menunjukkan bahwa penggunaan tepung

porang jenis A.konjac memiliki rerata waktu pemasakan yang cenderung lebih

cepat. Hal tersebut dapat terjadi karena porang jenis ini memiliki ukuran partikel

yang lebih kecil jika dibandingkan dengan A.muelleri Blume. Dengan ukuran

partikel yang lebih kecil dapat menyebabkan tingginya tingkat penyerapan air,

sehingga menjadikan waktu pemasakan bihun cenderung lebih singkat. Seperti

diungkapkan oleh Huang dan Lai (2010) bahwa lama waktu pemasakan

dipengaruhi oleh indeks penyerapan air pada mie tersebut. Semakin kecil ukuran

maka meningkatkan luas permukaan dalam penyerapan air dan mampu

mengurangi waktu pemasakan. Choy et al. (2013) juga mengungkapkan bahwa

semakin tinggi daya serap air menyebabkan mi yang dihasilkan menjadi mudah

lunak saat dilakukan pemasakan.

Jika dibandingakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu 3,31

menit (Rahim, 2008); 3,29 menit (Rahim et al.,2009), lama waktu pemasakan

bihun ini cenderung sedikit lebih lama. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh

ukuran dari bihun yang dihasilkan. Pada bihun sagu ini yang sedikit lebih besar

jika dibandingkan dengan bihun-bihun pada umumnya. Dengan ukuran yang

lebih besar ini dapat menjadikan lama waktu pemasakan bihun sedikit lebih lama.

Yoenyongbuddhagal & Noomhorm (2002) dan Huang & Lai (2010)

mengungkapkan bahwa ukuran mie yang lebih tipis memiliki waktu pemasakan

yang singkat karena memiliki luas permukaan yang lebih besar untuk difusi air.

Hasil analisa ragam (lampiran 16) menunjukkan bahwa jenis tepung porang

yang digunakan berpengaruh nyata terhadap waktu pemasakan bihun (α=0,05).

Begitu pula pada perlakuan proporsi tepung sagu:tepung porang 96:4; 94:6; 92:8

memberkan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap waktu pemasakan bihun. Untuk

Page 50: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

34

mengetahui tiap perlakuan yang memberikan pengaruh nyata maka dilakukan uji

BNT yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.6.

Tabel 4.6 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis Proporsi Tepung Sagu:Bahan Pengikat

Berbeda terhadap Waktu Pemasakan Bihun Sagu

Jenis Porang Proporsi Tepung Sagu: Tepung Porang

Rerata Waktu Pemasakan

BNT 5%

A.konjac 96:4 7,31b

1,33 94:6 5,84a

92:8 5,59a

A.muelleri Blume 96:4 7,89b

1,33 94:6 7,21a

92:8 6,23a

Keterangan: angka yang didampingi huruf yang tidak sama pada satu kolom

menunukkan berbeda nyata (α = 0,05)

Berdasar Tabel 4.6 dapat dijelaskan bahwa semakin banyaknya proporsi

tepung porang yang digunakan maka waktu pemasakan bihun semakin cepat.

Hal tersebut dapat terjadi karena porang sendiri memiliki kemampuan menyerap

air yang tinggi yang mencapai 200 kali lipat serta porang juga memiliki

kemampuan gelatinisasi lebih tinggi daripada tepung lainnya. Seperti yang

terdapat dalam Food Chemical Codex di AS bahwa tepung porang dapat

digunakan sebagai agen pembuatan gel, pengental, pembentuk film, pembuat

emulsi dan stabilisator, sehingga dengan adanya penambahan tepung porang

pada pembuatan bihun mampu mempercepat waktu pemasakan. Khana dan

Tester (2006) mengungkapkan bahwa suhu dan lama gelatinisasi bergantung

pada kandungan air dan banyaknya PKG (Purified Konjac Glucomannan) yang

digunakan. Dengan semakin banyaknya tepung porang yang digunakan maka

mampu mempersingkat waktu pemasakan, dikarenakan kemampuannya

menyerap air yang tinggi sehingga dapat mempercepat waktu pemasakan.

Menurut Kubota, et al. (2003) porositas gel dapat meningkat dengan jumlah

air yang rendah. Selain itu juga ada kaitannya dengan kandungan

amilosa/amilopektin yang dimiliki pati sagu. Pati yang memiliki amilosa tinggi

bersifat kering, kurang lekat dan cenderung mengikat air lebih banyak. Makin

tinggi amilosa, kemampuan pati untuk menyerap dan mengembang menjadi lebih

besar. Amilosa mempunyai kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen yang

lebih besar dari amilopektin (Alam, et al., 2007).

Page 51: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

35

4.2.6 Daya Serap Air (Rehidrasi)

Daya serap air merupakan kemampuan bihun untuk menyerap air secara

maksimal. Semakin tinggi nilai daya serap air menyebabkan mie yang dihasilkan

akan mudah lunak saat direbus (Choy et.al, 2013). Semakin tinggi daya rehidrasi

maka penyajian beras berlangsung lebih singkat. Pada pengujian normalitas

pada data, didapatkan hasil yang normal yang dapat dilihat pada Lampiran 35.

Data dikatakan normal jika nilai P-Value menunjukkan hasil >0,05. Pada data

daya serap air menunjukkan angka P-Value>0,150 maka data dikatakan normal.

Rerata daya rehidrasi bihun sagu dengan perlakuan proporsi tepung sagu:tepung

porang dan jenis porang yang berbeda berkisar antara 138,45-210,10%.

Pengaruh jenis tepung porang dengan proporsi tepung sagu:tepung porang

terhadap daya rehidrasi bihun dapat dilihat pada Gambar 4.7.

Gambar 4.7 Grafik Rerata Daya Serap Air Bihun Sagu pada Jenis Bahan

Pengikat dan Proporsi Tepung Sagu:Bbahan Pengikat

Pada Gambar 4.7 dapat dilihat bahwa rerata daya serap air bihun sagu

meningkat pada masing-masing jenis porang seiring dengan meningkatnya

proporsi tepung porang yang ditambahkan. Daya serap air bihun pada

penggunaan tepung porang jenis Amorphophallus konjac berksar pada 160,65-

210,10%. Daya serap air dengan penambahan tepung porang jenis

Amorphophallus muelleri Blume berkisar pada 138,45-181,29%.

Nilai daya serap air terendah terdapat pada penggunaan tepung porang

jenis Amorphophallus muelleri Blume dengan proporsi penambahan sebanyak

4% (b/b). Hal ini mungkin disebabkan dari ukuran dari tepung porang yang lebih

besar dibanding tepung porang jenis A.konjac. Dengan ukurannya yang besar

maka kemampuan dalam penyerapan airnya juga rendah, sehingga menjadikan

bihun dengan perlakuan menggunakan tepung porang Amorpophallus

100,00115,00130,00145,00160,00175,00190,00205,00220,00235,00

(4:96) (6:94) (8:92)

Day

a Se

rap

Air

(%

)

Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu

A. konjac

A.muelleri Blume

Page 52: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

36

muelleriBlume memiliki nilai serap air yang lebih rendah. Berdasar ukurannya,

tepung porang A.konjac memiliki ukuran 80-100 sedangkan tepung porang lokal

pada umumnya memiliki ukuran 250-475 µm atau setara dengan 45-60 mesh

(Danajaya 2010).

Nilai analisa ragam (Lampiran 23) menunjukkan bahwa jenis tepung

porang berpengaruh nyata terhadap daya serap air bihun sagu (α=5%). Begitu

pula dengan perlakuan proporsi tepung sagu:tepung porang (96:4; 94:6; 92:8

(b/b)) memberikan perbedaan nuata (α=5%) terhadap daya serap air bihun sagu.

Hasil yang didapat adalah beda nyata, maka perlu dilakukan pengujian lanjut

yaitu uji BNT. Tabel hasil uji BNT dapat dilihat pada Tabel 4.7

Tabel 4.7 Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan

Berbeda terhadap Daya Serap Air Bihun Sagu

Jenis Porang Proporsi Tepung Sagu: Tepung Porang

Rerata Daya Serap Air

BNT 5%

A.konjac 96:4 160,653a

26,871 94:6 182,023

a

92:8 210,101b

A.muelleri Blume 96:4 138,453a

26,871 94:6 177,088

b

92:8 181,292b

Keterangan: angka yang didampingi huruf yang tidak sama pada satu kolom

menunukkan berbeda nyata (α = 0,05)

Pada masing-masing tepung porang yang digunakan menunjukkan semakin

besar konsentrasi tepung porang maka semakin tinggi daya serap air. Semakin

tinggi konsentrasi jenis tepung porang (Amorphophallus konjac dan

Amorphophallus muelleri Blume) maka daya serap air semakin meningkat karena

sifat dari tepung porang yang mudah menyerap air. Seperti yang diungkapkan

oleh Hou (2010), bahwa penambahan hidrokoloid dalam pembuatan mie mampu

meningkatkan daya serap air. Menurut Muhamed et al. (2005), jenis polisakarida

larut air ketika ditambahkan maka dapat meningkatkan daya serap air produk.

Dengan adanya penambahan tepung porang yang mengandung glukomannan

dalam pembuatan mie akan meningkatkan daya serap air dari mie tersebut.

Glukomanan yang ada pada porang mempunyai kemampuan menyerap air yang

tinggi. Glukomanan mampu menyerap air hingga 200 kali beratnya dan mampu

menghambat sineresis (Brooks, 2012).

Page 53: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

37

4.2.7 Warna Bihun Sagu

.Warna merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi

kenampakan suatu produk. Warna sering kali diperhitungkan secara fisik untuk

menarik minat konsumen. Pengukuran warna pada produk bihun sagu diuji

dengan menggunakan colour reader dengan parameter uji adalah kecerahan

(L*). Tingkat kecerahan warna gelap atau terang ditunjukkan dengan nilai antara

0-100. Nilai 0 menyatakan sangat gelap atau hitam, dengan semakin tinggi

angka maka menunjukkan semakin terang atau putih.

Pada pengujian normalitas pada data, didapatkan hasil yang normal yang

dapat dilihat pada Lampiran 36. Data dikatakan normal jika nilai P-Value

menunjukkan hasil P-Value>0,05. Pada data kecerahan warna menunjukkan

angka P-Value>0,150 maka data dikatakan normal. Tingkat kecerahan bihun

sagu berkisar 50,14-59,95. Rerata nilai kecerahan akibat penambahan jenis

bahan pengikat yang berbeda dengan proporsi yang berbeda dapat dilihat pada

Gambar 4.8.

Gambar4.8 Grafik Tingkat Kecerahan Bihun Sagu Akibat Penambahan Jenis

dan Proporsi Bahan Pengikat yang Berbeda

Berdasarkan Gambar 4.8 dapat dilihat bahwa semakin tinggi perlakuan

penambahan tepung porang memiliki efek perubahan warna yang berbeda. Pada

perlakuan menggunakan A.konjac, kecerahan tertinggi didapat pada proporsi

A.konjac 8% dan tepung sagu 92% sebesar 59,95. Untuk nilai kecerahan

terendah terjadi pada perlakuan A.konjac 4% dan tepung sagu 96% dengan nilai

kecerahan 57,11. Untuk perlakuan menggunakan A.muelleri Blume diperoleh

nilai tertinggi pada proporsi A.muelleri Blume 4% dan tepung sagu 96% dengan

40,00

42,00

44,00

46,00

48,00

50,00

52,00

54,00

56,00

58,00

60,00

62,00

(4:96) (6:94) (8:92)

KEc

era

han

War

na

Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)

A. konjac

A.muelleri Blume

Page 54: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

38

nilai 53,65. Nilai terendahnya diperoleh nilai 50,14 pada proporsi A.muelleri

Blume 8% dan tepung sagu 92%. Dari hasil analisa ragam (α=0,05) didapatkan

hasil bahwa perlakuan jenis tepung porang memberikan pengaruh nyata pada

nilai kecerahan bihun. Begitu pula pada perlakuan proporsi tepung sagu dan

porang (96:4; 94:6; 92:8 (b/b)) menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap

warna bihun sagu yang dihasilkan (α=0,05). Rerata kecerahan warna dapat

dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel4.8Hasil Uji BNT Perlakuan Jenis dan Proporsi Tepung Sagu:Bahan

Pengikat Berbeda terhadap Kecerahan Warna Bihun Sagu

Jenis Porang Proporsi Tepung Sagu: Tepung Porang

Rerata Kecerahan Warna

BNT 5%

A.konjac 96:4 57,11a

1,26

94:6 58,19a

92:8 59,95b

A.muelleri Blume 96:4 53,65b

1,26

94:6 52,39b

92:8 50,14a

Keterangan: angka yang didampingi huruf yang tidak sama pada satu kolom

menunukkan berbeda nyata (α = 0,05)

Dalam Tabel 4.8 diketahui bahwa perlakuan menggunakan A.konjac

memiliki tingkat kecerahan lebih tinggi daripada tepung porang jenis A.muelleri

Blume. Pada penggunaan A.konjac menunjukkan nilai semakin meningkat,

sedangkan bihun yang menggunakan A.muelleri Blume menunjukkan nilai

kecerahan yang semakin menurun seiring peningkatan proporsi porang yang

ditambahkan. Hal tersebut dipengaruhi karena secara visual kedua porang

tersebut memiliki warna yang berbeda. A.konjac memiliki warna yang putih,

sedangkan A.muelleri Blume memiliki warna yang cenderung kecoklatan.

Berdasar analisa bahan baku juga sudah dapat dilihat adanya perbedaan warna.

Ketika dilakukan pengujian menggunakan colour reader, porang jenis A.konjac

memiliki tingkat kecerahan sebesar 63,74 dan A.muelleri Blume dengan tingkat

kecerahan 48,09.

Seperti disebutkan dalam Takigami (2000), bahwa perbedaan kecerahan

warna tepung porang dipengaruhi oleh tempat tumbuhnya tanaman. Porang

yang tumbuh di Indonesia memiliki warna yang kuning dimana dalam penelitian

ini yang digunakan adalah A.muelleri Blume, sedangkan porang yang berasal

dari Jepang maupun China memiliki warna putih dimana dalam penelitian ini

adalah A.konjac. Porang yang tumbuh dan dibudidayakan di Jepang memiliki

Page 55: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

39

derajat putih 66,00-68,00. Untuk porang dari China memiliki derajat putih

mencapai 69,00. Dengan demikian, maka bihun yang menggunakan a.mulleri

Blume memiliki tingkat kecerahan yang semakin menurun seiring bertambahnya

porang yang digunakan. Untuk bihun yang menggunakan A.konjac cenderung

memiliki warna yang cerah. Karena kecerahan warna pada produk pangan

sangat dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan.

Derajat warna putih pada tepung dapat juga dipengaruhi oleh kadar pati,

kalsium oksalat dan suhu. Warna kuning kecoklatan pada porang bisa terjadi

karena adanya reaksi pencoklatan antara gugus karboksil pada gula reduksi

dengan gugus amin pada asam amino (Winarno, 1988). Selain itu, reaksi

enzimatis dapat pula menjadi pemicu terbentuknya warna coklat. Menurut Zhao

et al. (2010) reaksi enzimatis dapat terjadi karena tepung mengandung

polifenoloksidase dan tannin yang mudah sekali berinteraksi selama proses

sehingga terbentuklah warna coklat.

4.3 Uji Organoleptik Bihun Sagu

Uji organoleptik bihun sagu dilakukan dengan menggunakan metode uji

kesukaan (Hedonik Scale Scoring), yaitu merupakan salah satu uji penerimaan.

Pengujian organoleptik digunakan untuk mengetahui penilaian subyektif oleh

konsumen dan dapat digunakan untuk mengetahui kualitas mie (Li, et al., 2012).

Panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapannya terhadap produk bihun

sagu. Tingkat kesukaan ini disebut dengan skala hedonik yang dalam

penguijaannya digunakan skala 1-7 dengan kriteria sangat tidak menyukai

hingga sangat menyukai, dengan rincian nilai sebagai berikut:

1 : sangat tidak menyukai

2 : tidak menyukai

3 : kurang menyukai

4 : netral

5 : agak menyukai

6 : menyukai

7 : sangat menyukai

Uji organoleptik dilakukan menggunakan 20 panelis untuk menyatakan

tanggapan pribadinya tentang tingkat kesukaan terhadap rasa, aroma, tekstur

serta warna pada bihun sagu. Skala hedonik yang digunakan ditransformasikan

menjadi skala numerik dengan angka. Angka terendah dinyatakan dengan tidak

menyukai, dan dengan semakin tingginya angka maka dinyatakan semakin

Page 56: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

40

menyukai. Hal ini dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat

kesukaan antar perlakuan yang ada, dengan hasil pengamatan meliputi rasa,

aroma, tekstur dan warna.

4.3.1.Rasa

Uji organoleptik rasa dimaksudkan untuk mengetahui rerata skor

kesukaan panelis terhadap rasa bihun sagu. Rasa makanan atau minumana

adalah turunan dari sebagian komponen pangan yang terlarut dalam air liur

selama makanan dicerna secara mekanis dalam mulut. Rasa merupakan

komponen sensori yang penting dalam makanan karena konsumen cenderung

menyukai makanan dengan citarasa yang enak. Rerata tingkat kesukaan

terhadap rasa bihun sagu berkisar antara 4,4-4,7. Grafik rerata nilai panelis

terhadap bihun sagu yang dihasilkan disaikan pada Gambar 4.9.

Gambar 4.9Rerata Peringkat Kesukaan Rasa Bihun Sagu Akibat Perlakuan

Jenis dan Proporsi Bahan Pengikat yang Berbeda

Berdasar Gambar 4.9dapat diketahui bahwa perlakuan jenis dan proporsi

bahan pengikat tidak memberikan perbedaan kesukaan rasa yang signifikan.

Perlakuan A.konjac mendapatkan nilai tertinggi pada proporsi sagu 96%:porang

4% dengan skor 4,7 dan terendah pada proporsi sagu 94%:porang 6%.

Perlakuan A.muelleri Blume mendapat skor tertinggi pada proporsi 94% tepung

sagu:6% porang sebesar 4,7 dan terendah pada proporsi 94% tepung sagu: 6%

tepung porang sebesar 4,4.

Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis dan

proporsi bahan pengikat tidak memberikan pengaruh berbeda nyata (α=0,05)

4

4,1

4,2

4,3

4,4

4,5

4,6

4,7

4,8

4,9

(4:96) (6:94) (8:92)

Per

ingk

at K

esu

kaan

Ras

a

Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)

A.konjac

A.muelleri blume

Page 57: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

41

terhadap tingkat kesukaan rasa bihun sagu oleh panelis. Bihun yang dihasilkan

memberikan rasa yang netral seperti bihun pada umumnya. Adanya

penembahan porang tidak memberikan efek yang signifikan pada tingkat

kesukaan rasa oleh panelis.

4.3.2 Aroma

Aroma merupakan komponen bau yang dirimbulkan oleh suatu produk

yang terindikasi oleh indera pencium. Uji aroma organoleptik dilakukan untuk

mengetahui rerata skor kesukaan panelis terhadap aroma dari bihun sagu.

Berdasar kuisioner penelitian, peringkat kesukaan aroma bihun sagu oleh panelis

berkisa antara 4,5-5,0. Rerata peringkat kesukaan aroma bihun sagu dapat

dilihat pada Gambar 4.10.

Gambar 4.10 Rerata Peringkat Kesukaan Aroma Bihun Sagu Akibat Perlakuan

Jenis dan Konsentrasi Bahan Pengikat yang Berbeda

Berdasar Gambar 4.10 dapat diketahui bahwa perlakuan jenis dan

konsentrasi bahan pengisi tidak memberikan perbedaan pada kesukaan aroma

yang signifikan. Perlakuan A.konjac tertinggi pada konsentrasi 4% sebesar 5,0

dan terendah pada 8% dengan skor sebesar 4,5. Penambahan porang A.muelleri

Blume, mendapat skor tertinggi pada konsentrasi 4% dengan skor sebesar 4,9

dan terendah pada konsentrasi porang 8% dengan skor sebesar 4,6.

Aroma merupakan salah satu faktor penunjang dalam produk pangan.

Aroma yang didapat dipengaruhi oleh komposisi bahan yang digunakan. Secara

keseluruhan aroma bihun kering yang telah direhidrasi masih menampakkan

aroma dari sagu. Untuk aroma dari porang sendiri tidak begitu tercium. Porang

3,8

4

4,2

4,4

4,6

4,8

5

5,2

5,4

(4:96) (6:94) (8:92)

Per

ingk

at K

esu

kaan

Aro

ma

Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)

A.konjac

A.muelleri blume

Page 58: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

42

sendiri memiliki aroma yang khas atau biasa disebut dengan fishy smell. Seperti

yang disebutkan dalam Xu, et al. (2014), tepung porang komersial memiliki

aroma seperti ikan atau fishy smell yang disebabkan oleh adanya komonen

volatil seperti amine, fenol, alkohol, hydrokarbon, dll. Namun, dalam pembuatan

bihun ini, aroma dari porang yang khas tersebut tidak nampak, karena

penambahan porang yang cukup sedikit jika dibandingkan dengan proporsi sagu.

Maka dari itu, pada bihun sagu ini, aroma yang masih dominan adalah aroma

khas sagu.

4.3.3 Tekstur

Karakteristik umum yang diinginkan pada bihun adalah bersifat elastis,

tidak keras dan tidak lengket. Penguian tekstur secara organoleptik dimaksudkan

untuk mengetahui rerata kesukaan panelis terhadap bihun sagu. Parameter uji

tekstur dilakukan dengan melakukan skoring dimulai dengan sangat tidak suka

(1) hingga sangat suka (7). Tekstur merukapakan salah satu faktor yang

mempengaruhi pilihan konsumen terhadap suatu produk. Berdasar kuisioner

penelitian, peringkat kesukaan tekstur bihun sagu berkisar antara 3,1-4,7. Rerata

peringkat kesukaan tekstur bihun sagu oleh panelis disajikan pada Gambar 4.11.

Gambar 4.11Rerata Peringkat Kesukaan Tekstur Bihun Sagu Akibat Jenis dan

Proporsi Tepung Porang yang Berbeda

Berdasar Gambar 4.11dapat diketahui bahwa perlakuan jenis dan

perbedaan proporsi bahan pengikat memberikan perbedaan kesukaan terhadap

bihun sagu. Perlakuan A.konjac mendapat nilai tertinggi pada konsentrasi 6%

sebesar 4,7 dan terendah pada konsentrasi 8% sebesar 4,4. Pada perlakuan

0

1

2

3

4

5

6

(4:96) (6:94) (8:92)

Per

ingk

at K

esu

kaan

Tek

stu

r

Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)

A.konjac

A.muelleri blume

Page 59: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

43

menggunakan A.muelleri Blume mendapat skor tertinggi pada konsentrasi 4%

sebesar 4,4 dan terendah pada 8% dengan skor sebesar 3,1.

Hasil analisa sidik ragam (Lampiran 36) menunjukkan bahwa perlakuan

jenis dan proporsi bahan pengikat memberikan pengaruh berbeda nyata (α=0,05)

terhadap tingkat kesukaan tekstur pada bihun sagu yang dihasilkan. Hasil uji

DMRT (α=0,05) perlakuan jenis dan proporsi bahan pengikat terhadap tekstur

bihun sagu matang disajikan pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9Uji Lanjut Kesukaan Tekstur Bihun Sagu Matang Akibat Perlakuan

Jenis dan Proporsi Bahan Pengikat yang Berbeda

Jenis Porang Konsentrasi Nilai Kesukaan

A.konjac 4% 4,5a

6% 4,7

a

8% 3,6

bc

A.muelleri Blume 4% 4,4ab

6% 3,5

c

8% 3,1

c

Keterangan: notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata (α=0,05).

Berdasar uji lanjut pada Tabel 4.9 dapat diketahui bahwa perlakuan

perlakuan A.konjac 8% berbeda nyata (α=0,05) dengan A.konjac 4% dan 6%.

Untuk perlakuan A.muelleri Blume pada proporsi 4% berbeda nyata dengan

proporsi 6% dan 8%. Tekstur yang yang paling disukai panelis terdapat pada

perlakuan A.konjac dengan proporsi 6% sebesar 4,7. Hal tersebut dimungkinkan

pada perlakuan ini bihun memiliki tekstur dengan tingkat kekenyalan yang pas.

Dalam penilaian tekstur oleh panelis, pada perlakuan menggunakan

A.konjac dan perlakuan menggunakan A.muelleri Blume, nilai kesukaan panelis

cenderung menurun seiring dengan naiknya proporsi porang yang digunakan.

Nilai kesukaan terhadap tekstur bihun dimungkinkan karena adanya pengaruh

proporsi porang yang digunakan. Semakin besarnya proporsi porang,

mengakibatkan semakin kenyalnya bihun sagu yang dihasilkan. Seperti yang

diungkapkan oleh Zhou, et al. (2013), adanya penambahan KGM menaikkan

tingkat kekerasan mie yang dihasilkan. Kemungkinan tekstur yang terlalu kenyal

kurang sesuai dengan masyarakat Indonesia.

4.3.4 Warna

Warna merupakan visualisasi suatu produk yang langsung terlihat lebih

dahulu dibandingkan dengan variabel lainnya. Warna secara langsung akan

mempengaruhi persepsi panelis. Secara visual faktor warna akan tampil terlebih

Page 60: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

44

dahulu dan sering kali menentukan nilai dari suatu produk (Winarno, 2002).

Warna menjadi salah satu faktor penting dalam pangan yang digunakan

konsumen untuk memberi gambaran mengenai produk pangan. Pengujian warna

secara organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis

terhadap bihun sagu. Berdasar kuisioner penelitian, peringkat kesukaan warna

bihun sagu oleh panelis berkisar antara 2,8 (tidak menyukai)-6,1 (menyukai).

Rerata peringkat kesukaan warna bihun sagu oleh panelis disaikan pada

Gambar 4.12.

Gambar 4.12Rerata Peringkat Kesukaan Warna Bihun Sagu Akibat Jenis dan

Proporsi Tepung:Bahan Pengikat yang Berbeda

Berdasar Gambar 4.12 menunjukkan peringkat kesukaan warna oleh 20

panelis. Dapat diketahui bahwa peringkat kesukaan bihun sagu dengan

perlakuan jenis dan proporsi yang berbeda antara tepung sagu dan tepung

porang tertinggi pada proporsi 96:4. Nilai tertinggi didapat pada perlakuan

dengan menggunakan A.konjac dengan nilai sebesar 6,1 Sedangkan nilai

terendah menunjukkan angka 2,8 pada proporsi 92:8 dengan menggunakan

A.muelleri Blume.

Hasil analisa sidik ragam (Lampiran 27) menunjukkan bahwa jenis dan

proporsi bahan pengikat memberikan pengaruh yan beda nyata (α=0,05)

terhadap tingkat kesukaan warna bihun sagu oleh panelis. Hasil uji lanjut

(α=0,05) perlakuan jenis dan proporsi bahan pengikat terhadap warna bihun

sagu dapat dilihat pada Tabel 4.10.

0

1

2

3

4

5

6

7

(4:96) (6:94) (8:92)

Per

ingk

at K

esu

kaan

War

na

Proporsi Tepung Porang:Tepung Sagu (%)

A.konjac

A.muelleri blume

Page 61: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

45

Tabel 4.10 Rerata Peringkat Kesukaan Warna Bihun Sagu Akibat Perlakuan

Jenis dan Proporsi Bahan Pengikat yang berbeda

Jenis Porang Konsentrasi Rerata

A.konjac 4% 6,1a

6% 5,6

a

8% 5,6

a

A.muelleri Blume 4% 4,1b

6% 3,1

c

8% 2,8

c

Ketarangan: notasi huruf yang berbeda menunukkan berbeda nyata pada uji

Lanjut (α=0,05)

Berdasar uji lanjut pada Tabel 4.10dapat diketahui bahwa perlakuan

dengan menggunakan A.konjac memiliki warna yang tidak berbeda nyata

(α=0,05) dengan A.konjac 6% dan 8%. Untuk perlakuan dengan menggunakan

A.muelleri Blume pada proporsi 4% berbeda nyata pada (α=0,05) dengan 6%

dan 8%. Warna yang paling disukai oleh panelis adalah pada perlakuan A.konjac

prporsi penambahan 4% dengan warna putih.

Warna yang dihasilkan akibat adanya penambahan porang ini memiliki

perpedaan. Bihun yang menggunakan A.konjac memiliki warna yang putih dan

cerah. Sedangkan bihun dengan menggunakan A.muelleri Blume berwarna lebih

kecoklatan. Hal tersebut dipengaruhi oleh karakteristik dari bahan baku yang

digunakan. Tepung sagu yang putih ketika dipadukan dengan A.konjac yang

memiliki warna putih juga menghasilkan produk yang lebih cerah. Begitu juga

sebaliknya untuk penggunaan A.muelleri Blume. Meskipun tepung sagu yang

digunakan adalah berarna putih, ketika ditambahkan dengan porang yang

cenderung berwarna coklat, maka bihun yang dihasilkan pun memiliki warna

yang sedikit lebih gelap. Menurut Ramadhia et al. (2012), bahan baku atau

bahan tambahan dari luar mampu mempengaruhi karakteristik produk yang

dihasilkan.

4.4. Perlakuan Terbaik

Pemilihan perlakuan terbaik bihun sagu dilakukan dengan menggunakan

metode multiple atribute. Metode ini bertujuan untuk membantu dan

mengembangkan kepercayaan bagi pengambil keputusan untuk memikirkan

penyelesaian yang terbaik (Zeleny, 1992). Perlakuan terbaik diperoleh dengan

cara menentukan nilai ideal dari masing-masing parameter yang telah ditentukan,

serta menghitung nilai derajat dan jarak kerapatan. Perlakuan terbaik merupakan

Page 62: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

46

perlakuan yang memiliki nilai L1, L2, dan L maksimal terendah. Parameter yang

digunakan untuk menentukan perlakuan terbaik pada penelitian ini adalah

fisikimia dan organoleptik yang meliputi kadar air, daya putus, daya serap air,

cooking time, cooking loss, elongasi dan kecerahan warna. Untuk parameter

organoleptik meliputi warna, aroma, tekstur dan rasa. Berdasar hasil perhitungan

perlakuan terbaik, perlakuan terbaik dari bihun sagu terdapat pada perlakuan

tepung poran dengan jenis A.konjac dan 92% tepung sagu. Nilai parameter uji

perlakuan terbaik pada bihun sagu dapat dilihat pada Tabel 4.11 yang

selanjutnya dibandingkan dengan produk komersil yang dapat dilihat pada Tabel

4.12.

Tabel 4.11 Nilai Perlakuan Terbaik Bihun Sagu

Jenis Porang Konsentrasi (%) Perlakuan terbaik

A.konjac 4 0,361 6 0,237 8 0,129*

A.muelleri Blume 4 0,583 6 0,515 8 0,451

Keterangan : *) menunjukkan perlakuan terbaik

Tabel 4.12 Perbandingan Perlakuan Terbaik Bihun Sagu dengan Bihun Komersil

Parameter Perlakuan Terbaik Bihun Komersial

Kadar air (%) 4,86 11,10

Warna 59,95 55,83

Daya serap air(%) 210,1 142,89

Waktu pemasakan(%) 5,04 4,39

Daya putus 0,53 0,18

Elongasi (%) 70,83 36,33

Kehilangan Padatan(%) 7,42 9,32

Pada bihun sagu perlakuan terbaik memiliki kadar air lebih rendah

daripada bihun komersial. Semakin besar kandungan air maka semakin mudah

rusak pula produk pangan tersebut. Kadar air bihun sagu perlakuan terbaik

adalah 4,86% yang artinya masih dalam standar SNI 01-2975-1992 yaitu

maksimal 13%. Perbedaan dapat dimungkinkan karena bahan yang digunakan

pada pembuatan bihun berbeda. Semakin tinggi amilosa yang dikandung suatu

bahan maka mempengaruhi daya serap air. Produk dengan kandungan air yang

lebih tinggi dilakukan pengeringan maka semakin banyak air yang diuapkan,

sehingga kadar air semakin rendah (Sede, 2015).

Page 63: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

47

Pada perlakuan warna, baik bihun perlakuan terbaik maupun bihun

komersial memiliki tingkat kecerahan yang hampir sama. Yaitu sama-sama

memiliki warna yang cenderung putih. Pada pengujian daya serap air, bihun

perlakuan terbaik memiliki daya serap yang lebih tinggi daripada bihun komersial.

Hal tersebut dapat dimungkinkan karena pada proses pembuatan bihun sagu

terdapat penambahan porang. Dimana porang memiliki sifat mampu berperan

sebagai water holding capacity dengan menyerap air hingga 200 kali lipat dari

berat awalnya (Wen, et al., 2008). Sehingga pada bihun sagu perlakuan terbaik

memiliki daya serap air yang lebih tinggi daripada bihun komersial.

Waktu pemasakan bihun perlakuan terbaik berbeda dengan bihun

komersial. Bihun perlakuan terbaik memiliki waktu yang sedikit lebih lama

dibandingkan dengan bihun komersil. Hal tersebut dapat dimungkinkan karena

ukuran dari bihun perlakuan terbaik lebih besar daripada bihun komersil.

Yoenyongbuddhagal & Noomhorm (2002) dan Huang & Lai (2010)

mengungkapkan bahwa ukuran mie yang lebih tipis memiliki waktu pemasakan

yang singkat karena memiliki luas permukaan yang lebih besar untuk difusi air.

Pada pengujian daya putus dan elongasi, bihun sagu perlakuan terbaik

memiliki nilai yang lebih tinggi. Nilai yang lebih rendah pada bihun komersil

dimungkinkan karena tidak adanya hidrokoloid atau pengatur tekstur yang

ditambahkan. Fu (2008) menyatakan bahwa hidrokoloid dan poliphospat banyak

digunakan untuk memperbaiki kualitas mie. Interaksi pati dan hidrokoloid dalam

bahan pangan bersifat unik karena dapat memodifikasi tekstur dan reologi dari

bahan pangan. Untuk produk terbaik dapat dilihat pada Gambar 4.13.

Gambar 4.13 Bihun Sagu Perlakuan Terbaik

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Page 64: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

49

V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis bahan pengikat dan proporsi yang

berbeda berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap kadar air, elongasi, daya putus,

daya serap air, waktu pemasakan, kehilangan padatan saat pemasakan dan

warna bihun yang dihasilkan.

2. Dengan semakin naiknya proporsi bahan pengikat yang digunakan

memberikan hasil semakin menurunnya kadar air, kehilangan padatan dan

mempercepat waktu pemasakan. Untuk nilai elongasi, daya putus dan rehidrasi

menghasilkan nilai yang semakin meningkat. Sedangkan untuk warna pada

perlakuan menggunakan A. konjac memberikan hasil yang semakin cerah dan

pada penggunaan A. muelleri Blume menghasilkan nilai kecerahan yang

semakin menurun.

3. Perlakuan terbaik bihun sagu diperoleh pada perlakuan bahan pengikat A.

konjac dengan proporsi 8% tepung konjac:92% tepung sagu dengan nilai kadar

air 4,86%, daya putus 0,53N, waktu pemasakan 5,04 menit, kehilangan padatan

7,42%, daya serap air 210,1%, elongasi 70,83% dan kecerahan warna 59,95.

5.2 Saran

1. Pada penelitian ini ukuran bihun sagu yang dihasilkan berikisar ± 2mm yang

jika dibandingkan dengan bihun komersil masih lebih besar. Ukuran yang lebih

besar mempengaruhi waktu pemasakan bihun sagu. Sehingga perlu dilakukan

pengecilan ukuran lagi agar dihasilkan bihun dengan waktu pemasakan yang

lebih singkat

2. Perlu dilakukan pengecilan ukuran pada porang Amorphophallus muelleri

Blume, agar dihasilkan adonan bihun yang lebih homogen dan dapat dihasilkan

untaian-untaian bihun dengan permukaan yang halus sehingga dapat

menghasilkan daya putus, elongasi serta cooking loss yang lebih baik pada

produk.

Page 65: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

50

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, B., williams, P., Doublier, J., Durand, S., and Buleon. 1999.

Physicochemical characterization of Sago Starch. Carbohydrate

Polymer. 361-370.

Ahmed, I., I.M. Qazi and S. Jamal. 2015. Quality Evaluation of Noodles

Prepared from Blending of Broken Rice and Wheat Flour. Starch/

Starke 67: 905-912

Almond, Heidi. 2015. Shirataki Noodle and Nutrition. http://www.livestrong.com

. Tanggal akses 6 Agustus 2015

Anonim. 1997. Makanan Tradisional Jawa Timur. Lembaga Penelitian Universitas

Brawijaya. Malang.

Anonim. 2015. https://en.wikipedia.org/wiki/Calcium_hydroxide. Tanggal akses 4

Agustus 2015.

Astawan, Made and Leomitro, Andreas. 2009. Khasiat Whole Grain. Makanan

Berserat Untuk Hidup Sehat. Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI.

Jakarta.

Averous, L, and Boquillon, N. 2004. Biocomposites Based on Plasticized

Starch: Thermal and Mechanical Behaviors. Carbohydrate Polymers. 56,

111-122.

Bhattacharya, M., Zeem S.Y. and Harold, C. 1999. Phsycochemical Properties

Related to Quality of Rice Noodles. Cereal Chemistry 76(6): 861-867.

Bown, D. 2000. Aroids, Plants of the Arum Family. Timber Press, Portland,

Oregon, USA.

Brooks, Joshua. 2012. Food Product Design. Do You Know Konjac?. Vol. 22

No.3. Www.foodproductdesign.com. Diakses pada 11 September 2015.

Bryant, C.M. and Hamaker, B.R. 1997. Effect of Lime Gelatinization of Con

Flour and Stach. Ceral Chem 74(2): 171-175.

Cao. X. D., Chen, Y., Chang, P.R., and Huneault, M.A. 2007. Preparation and

Properties of Plasticized Starch/Multiwalled Carbon Nanotubes

Composites. Journal of Applied Polymer Science. 106, 1431-1437.

Carvalho, R.A and Grosso, C. 2006. Edible Peliculas Producidas Con Gelatina

y Casein Cross-linked Con Transglutaminasa. Food Research

Internatioal. 39:458-466.

Page 66: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

51

Chan and Albert. 2005. Konjac Glucomanan Extraction Application in Foods

and Their Therapentic Effect. Seminar “9” ASEAN Food Conferrence.

Jakarta.

Charoenrein, S., Tatriat, O., Rengsutthi, K., Thongngam, M. 2011. Effect of

Konjac Glucomannan on Syneresis, Textural Properties and the

Microstructure of Frozen Rice Starch Gels. Carbohydrate Polymers. 83:

291-296.

Chen, J., Changhua, L., Yanqing, C., Yun, C., Peter, R. C. 2008. Structural

Characterization and Properties of Starch/Konjac Glucomannan Blend

Films. Carbohydrate Polymers. 74: 946-952.

Chen, L. G., Lium Z.L.,& Zhuo, R.X. 2005. Synthesis and Properties of

Degradable Hydrogels of Konjac Glucomannan Graften Acrylic Acid

for Colon-specific Drug Delivery. Polymer 46(16), 6274-6281.

Chen, Z., L. Sagis, A. Legger, J.P.H. Linssen, H.A. Schols A.G.J. Voragen. 2002.

Evaluation of Starch Noodles Made from Three Typical Chinese Sweet

Potato Starches. Journal of Food Science 67(9): 3342-3347

Choy A., Morrison PD, Hughes J. G., Marriot, P.J., Small D.M. 2013. Quality of

Antioxidant Properties of Instant Noodles Enhanched with Common

Buckwheat Flour. Journal Cereal Science 57:281-287.

Dananjaya, N. O. S. 2010. Optimasi Proses Penepungan dengan Metode

“Stamp Mill” dan Pemurnian Tepung Porang dengan Metode Ekstraksi

Etanol Bertingkat untuk Pengembangan Industri Tepung Porang

(Amorphophallus oncopylus). Skripsi. FTP. Universitas Baijaya. Malang.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1990. Daftar Komposisi Bahan

Makanan. Bharata Karya Aksara. Jakarta.

Fang, W., & Wu, P. 2004. Variations of Konjac Glucomannan (KGM) from

Amorphophallus Konjac and its Refined Powder in China. Food

Hydocolloids, 18 (1), 167-170.

Fari, M.J.M., D. Rajapaksa and K.K.D.S. Ranaweera. 2011. Quality

Characteristics of Noodles Made from Selected Varieties of Sri Lankan

Rice with Different Physicochemical Characteristics. Journal of

National Science Foundation Sri Lanka 39:53-60

Ferrero, C., and Zaritzky, N.E. 2000. Effect of Freezing Rate and Frozen

Storage on Starch Sucrose-hydrocolloid System. Journal of Science

and Food Agricultural. 80. 2149-2158.

Page 67: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

52

Follett, J. M., and J. A. Douglas. 2002. Konjac Production in Japan and

Potential for New Zealand. Combined Proceedings of the International

Plant Propagators Society. 52:186–190

Fu, B.X. 2008. Asian Noodles: History, Classification, Raw Materials and

Processing. Food Research International 41:888-902

Handy, S. G. 2010. Produksi Bihun Kering dari Sagu (Metroxylon sp.) yang

Disubstitusi Pati Termodifikasi Heat Moisture Treatment pada Skala

2,5 Kilogram. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian

Bogor. Bogor.

Hasbullah. 2001. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatera Barat.

Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatera Barat, Padang.

Hayakawa, T.1985. Manufacturing of Instant Noodle. PT. Sanmaru Food Corp

Herranz, B., A.J. Borderias, B., S., de-Zaldivar, M.T. Solas, and C.A. Tovar.

2012. Thermostability Analyses of Glucomannan Gels. Concentration

Influence. Food Hydrocolloids 29:85-92

Huang, Y. C. and H. M. Lai. 2010. Noodle Quality Affected by Different Cereal

Starches. Journal of Food Engineering 97:135-13

Indraswari,Hanny. 2003. Teknologi Pengolahan Pangan Krupuk Puli Masa

Kini. Aksara. Jakarta.

Jianrong, Z., Donghua, Z., Srzednicki, G., Kanlayanarat, S.,&

Borompichaichartkul, C. 2008. A Simplified Method of Purifying Konjac

Glucomannan. In Asia Pasific Symposium on Assuring Quality and

Safety of Agri-Foods 837 (pp. 345-350).

Jimenez-Colmenero, F., Cofrades, S., Herrero, A., Solas, M.,& Rulz-Capillas, C.

2013. Konjac Gel for Use as Potential Fat Analogue for Helthier Meat

Product Development. Effect of Chilles and Frozen Storage, Food

Hydrocolloids, 30(1), 351-357.

Kam, N. O. 1992. Daftar Analisis Bahan Makanan. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta.

Khanna, S., & Testes, R. F., 2006. Influence of Purified Konjac Glucomannan

on the Gelatinisation and Retorgradation Properties of Maize and

Potato Starches. Food Hydrocolloids, 20 (5), 567-576.

Kim, Y.S., Dennis, P.W., Jamnes, H.L., and Patrizia, B. 1996. Suitability of

Edible Bean and Potato Starches for Starch Noodles. Cereal Chemistry

73((3): 302-308.

Page 68: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

53

Koswara, S (2006). Iles-iles dan Hasil Olahannya. E-book pangan.com

http://www.e-bookpangan.com.

Kurniawati, A.D. 2010. Pengaruh Tingkat Pencucian dan Lama Kontak

dengan Etanol Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tepung Porang

(Amorphophallus oncophyllus). Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Kusnandar, F., Hastuti, H.P., and Syamsir, E. 2015. Pati Resisten Sagu Hasil

Proses Hidrolisis Asam dan Autoclaving-Cooling. Jurnal Teknologi dan

Industri Pangan. Vol. 2(1): 52-62 th.2015ISSN: 1979-7788.

Kusnandar, Feri. 2011. Kimia Pangan Komponen Makro. Penerbit: PT Dian

Rakyat. Jakarta.

Li, B. And B. J. Xie. 2003. Study on Gel Formation Mechanism of Konjac

Glucomannan. Agri. Sci. In China. 2: 424-428.

Li, B.,& Xie, B. 2002. Study on the Gelatin Mechanism of Konjac

Glucomannans Scientia Agricultura Sinica, 35(11), 1411-1415.

Li, J. H. dan Vasanthan, T. 2003. Hipochrlorite Oxidation of Field Pea Starch

and its Suitability for Noodle Making Using an Extrussion Cooker.

Food Research International 36: 381-386

Munarso, S.J. and Haryanto, B. 2012. Perkembangan Teknologi Pengolahan

Mi. http://www.iptek.net.id. (Diakses 3 Desember 2016).

Prabawati, S. And Suismono. 2005. Mendongkrak Pemanfaatan Sumber

Pangan dengan Sentuhan Teknologi. Warta Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Vol. 27 No. 6. ISSN 0216-4427.

http://pustaka.litbang.deptan.go.id. (Diakses 9 Desember 2016)

Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan.

Universitas Indonesia. Jakarta.

Purwani, E.Y., Widaningrum, H. Setiyanto, E. Savitri, and R. Tahir. 2006.

Teknologi Pengolahan Mie Sagu. Balai Besar PPP-BPPT.

Rahim, A., Mappiratu, and Amalia, N. 2009. Sifat Fisikokimia dan Sensoris

Sohun Instan dari Pati Sagu. Jurnal Agroland 16 (2): 124-129

Rahim, Abdul. 2008. Pengaruh Cara Bihun Terhadap Sifat Fisikokimia pada

Pembuatan Instant Starch Noodle dari Pati Aren. Jurnal Agroland 15

(2): 101-105

Rahmi, A., Mappiratu and A.Noviyanty. 2009. Sifat Fisikokimia dan Sensoris

Sohun Instan dari Pati Sagu. Jurnal Agroland 16 (2): 124-129. ISSN:

0854-641X.

Page 69: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

54

Ramadhan, Kurnia. 2009. Aplikasi Pati Sagu Termodifikasi heat Moisture

Treatment untuk Pembuatan Bihun Instan. Skripsi. Fakultas Teknologi

Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Rodrigues, M.et.al. 1996. Influence of The Structural Changes During

Alkaline Cooking on the Thermal, Rheological and Dielectric

Properties of Con Tortillas. Cereal Chemistry. 73(5): 593-601.

Sede, V.J., Christine, F.M. and Gregoria, S.S.D. 2015. Kajian Sifat Fisik Kimia

Beras Analog Pati Sagu Baruk Modifikasi HMT (Heat Modified

Treatment) dengan Penambahan Tepung Komposit. Jurnal Ilmu dan

Teknologi Pangan,Vol 3. No. 2.

Seib, P.A., X. Liang, F. Guan, F.T. Liang and H.C. Yang. 2000. Comparison of

Asian Noodles from Some Hard White and Hard Red Wheat Flour.

Cereal Chemistry 77(6): 816-822

Sood, N., W. L. Baker and C. I. Coleman. 2008. Effect of glucomannan on

plasma lipid and glucose concentrations, body weight, and bloos

pressure: systematic review and meta-analysis. The American Journal

of Clinical Nutrition

Sumaroto. 2006. Review: Kandungan Mannan pada Tanaman Iles-iles

(Amorphophallus muelleri Blume). Jurusan Agronomi. Fakultas

Pertanian. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran. Yogyakarta

Sumarwoto. 2005. Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume) Deskripsi dan

Sifat-sifat Lainnya. Biodiversitas 6 (3) : 185-190.

Susilawati, I. 2007. Mutu Fisik dan Organoleptik Mi Basah Jagung dengan

Teknik Ekstrusi. Skripsi. Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi

Manusia. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Swinkels, J. J. M. 1985. Source of Starch, Its Chemistry and Physics. Di

dalam: G. m. a. V. Beydum dan J. A. Roles. Editors. Starch Conversion and

Technology. Marcel Dekker, Inc. New York.

Syaefullah, M.1990. Studi Karakteristik Glukomannan dari Sumber

Indegeneous Amorphophallus oncophyllus Dengan Variasi Proses

Pengeringan dan Dosis Perendaman. Thesis Fakultas Pascasarjana

IPB.Bogor.71 h.

Takigami, S. 2000. Konjac Mannan. Dalam G.O. Phillips and P.A. Williams, Eds.

Handbook of Hydrocolloids, pp. Woodhead. Cambridge

Page 70: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

55

Takigami, Shoji. 2012. History and use of Konjac Glucomannan in Japan and

Future View. Foods & Food Ingredients J. Jpn., Vol. 217, No.1

Tarigan, H, dan Ariningsih, E,. 2007. Peluang dan Kendala Pengembangan

Agroindustri Sagu di Kabupaten Jayapura. Prosiding Seminar Nasional,

Bogor.

Tatriat, O., Charonrein, S. 2011. Physicochemical properties of konjac

Glucomannan Extracted from Konjac Flour by a Simple Centrifugation

Process. LWT-Food Science and Technology, 44 (10), 2059-2063.

Tester, R.F., Debon, S.J.J, Sommerville, M.D. 2000. Annealing of Maize Starch.

Carbohydrate Polymers. 42: 287-299. DOI: 10.1016/SO 144-8617(99)

00170-8.

Wen, X., Wang,T., Wang, Z., Li, L., Zhao, C. 2008. Preparation of Konjac

Glucomannan Hydrogels as DNA-controlledrelease Matrik

International. International Journal Biol Macromol 42:256-263.

Wu, J., Aluko R.E., dan Corke, H.. 2006. Partial Least Squares Regression of

The Effect of Wheat Composition, Protein and Starch Quality

Characteristics on Oil Content of Steamed-andFriean Instant Noodles.

Journal of Cereal Science 44: 117-126.

Wulan, S. dan Soenardi, T. 2009. Hidangan Nikmat Bergizi dari Bumi

Indonesia: Aneka Sajian Mi dan Olahan Lain. Gramedia Pustaka Utama.

Jakarta.

Xu, W., Sujan, W., Ting, Y., Weiping, J., Jinjin, L., Jieqiong, L., Bin, L., and Chao,

W. 2014. A Simple and Feasible Approach to Purify Konjac

Glucomannan from Konjac Flour-Temperature Effect. Food Chemistry

158:171-176

Yadav, B.S., R.B. yadav, M.Kumar and B.S. Khatkar. 2014. Studies on

Suitability of Wheat Flour Blends with Sweet Potato, Colocasia and

Water Chestnut Flours for Noodle Making. Learning with Technologies

Food Science and Technology. 1-7.

Yalcin, S., and A. basman. 2008. Effect of Gelatinization Level, Gum and

Trasglutaminase on the Quality Characteristic of Rice Noodle.

International Journal of Food Science and Tecgnology. 43:1637-1644

Yoenyongbuddhagal, S and A. Noomhorm. 2002. Effect of Raw Material

Preparation o Rice Vermicelli Quality. Starch/Starke 54:534-539.

Page 71: PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN ...repository.ub.ac.id/3545/1/Bulqisia Cindy Handini.pdf · PEMBUATAN BIHUN BERBASIS SAGU (Metroxylon sp.) DENGAN KAJIAN JENIS

56

Zhao J, Zhang D, Srzednicki G, Kanlayanarat S, and Borompichaichartkul C.

2010. Development of a low-cost two-stage technique for production

of low sulphur purified konjac flour. International Food Research Journal

17: 1113-1124

Zhou, Y., Hui, C., Man, H., Satoru, S., Eizo, T., Tim, .F., Yongqiang, C. 2013.

Effect of Konjac Glucomannan on Physical and Sensory Properties of

Noodle from Low-Protein Wheat Flour. Food Research International 1:

876-855