nyeri kanker.doc
Post on 25-Oct-2015
19 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
Penderita penyakit kanker dapat menderita nyeri akut maupun kronik.WHO
menyebutkan bahwa dua pertiga dari penderita penyakit kanker akan meninggal
karena penyakitnya dan bahwa dalam perjalanan penyakitnya 45-100% dari mereka
akan mengalami nyeri yang ringan sampai berat.1 Nyeri yang dialami penderita akan
menyebabkan penderitaan, tidur , makan, pekerjaan serta kesempatan rekreasi
terganggu. Karena itu, penanggulangan nyeri menjadi prioritas.
Pada nyeri kanker juga ada faktor non somatik serta ada perubahan
penyesuaian fisiologik di susunan saraf, maka eradikasi nyeri ini tampaknya suatu hal
yang tidak realistik. Sehingga yang patut diusahakan adalah mengurangi frekuensi
dan intensitas nyeri yang diderita serta membantu penderita mengatasi nyeri dengan
menjelaskan bahwa nyeri yang diderita hanya akan mereda dan tidak akan hilang.
Dengan demikian maka pengelolaan nyeri kanker terutama ditujukan untuk
memperbaiki kualitas hidup penderita, agar penderita dapat menjadi lebih nyaman.1
Survei pada sekelompok dokter yang tergabung pada Eastern Cooperative
Oncology Group (ECOG), respon mereka adalah , 86 % pasien tidak mendapat
penanganan nyeri dengan baik dan hanya 51 % menyatakan telah menangani nyeri
kanker dengan baik.2 Beberapa batasan yang mempengaruhi keefektifan dari
manajemen nyeri kanker yaitu tidak adanya perlindungan nasional terhadap
perawatan paliatif dan penyembuhan kanker, kurangnya kepercayaan masyarakat
bahwa nyeri kanker dapat disembuhkan, kurangnya dana dan keterbatasan sistem dan
personil pelayanan kesehatan, kepercayaan masyrakat bahwa opioid dapat
menyebabkan ketergantungan dan penyalahgunaan obat.3
Penanganan dari nyeri kanker yang efektif, selain memerlukan medikasi, juga
memerlukan komponen lain dari manajemen komprehensif penanganan nyeri kanker,
seperti misalnya manajemen terhadap psikologisnya, sosial dan spiritual.3 Dengan
penanganan yang baik, sebenarnya 80-90% nyeri kanker dapat ditanggulangi jika hal
tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur pengelolaan penderita nyeri kanker yang
dianjurkan oleh WHO. 1
Tujuan dari kajian pustaka ini ialah memaparkan mengenai penanganan nyeri
kanker secara umum, melalui beberapa pendekatan, yang nantinya diharapkan dapat
memberikan informasi kepada pembaca mengenai penatalaksanaan nyeri kanker.
1
BAB 2
NYERI KANKER DAN PENATALAKSANAANNYA
2.1 Definisi
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri di definisikan
sebagai sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan, yang menyertai kerusakan jaringan .1 Berdasarkan definisi tersebut,
nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik
nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).
Tumor merupakan suatu pertumbuhan jaringan atau sel-sel diluar kendali,
yang sama sekali tidak bermanfaat. Disebut ganas karena menimbulkan kerusakan
jaringan sekitarnya.4
2.2 Penyebab Nyeri Kanker
Penyebab nyeri kanker ada 3 macam yaitu: 4
1. Penyebab langsung dari tumor (75-80%), misalnya penekanan massa tumor
pada tulang dan saraf, infiltrasi kanker pada jaringan lunak dan alat dalam,
peningkatan tekanan dalam rongga kepala, serta adanya tukak (luka).
2. pengobatan anti kanker (15-19%) misalnya nyeri pasca-operasi, pasca
kemoterapi, atau pasca radiasi.
3. Tidak berhubungan dengan kanker ataupun pengobatannya (3-5%) misalnya
penyakit lain yang menimbulkan nyeri yaitu gangguan pada otot dan tulang
arthritis, gangguan jantung, dan migrain
2
2.3 Tipe Nyeri Kanker 1,3
Nyeri kanker diklasifikasikan menjadi beberapa kategor berikut ini :
1. berdasarkan jenisnya
a) Nyeri nosiseptif
Gambar 1. Lintasan nyeri nosiseptif
Dikutip dari kepustakaan no 5
Nyeri nosiseptif dihasilkan ketika sensor nyeri lintasan nyeri distimulasi.
Khususnya reseptor pada ujung akhir akson saraf, nosiseptor (serabut A-
delta dan serabut C) terminal, mendeteksi rangsanagan mekanik, kimia
dan suhu, menghasilkan suatu aktivitas listrik pada saraf. Sinyal ini akan
ditransmisikan sepanjang lintasan saraf di otak. Di otak kemudian
diintegrasikan dengan aktivitas kortikal yang lain dan menghasilkan
persepsi nyeri pada penderita .
Nyeri nosiseptif dapat berasal dari somatik atau visceral atau keduanya.
Nyeri somatik dihasilkan dari kulit, otot, tulang serta fascia, dan dimediasi
oleh sistem saraf somatik. Inervasinya sangat spesifik, sehingga nyerinya
terlokalisir. Nyeri somatik ditandai dengan rasa nyeri yang tajam, sakit
berdenyut atau seperti ditekan. Sedangkan nyeri visceral berasal dari
struktur tubuh bagian dalam seperti organ – organ gastrointestinal. Nyeri
ini dimediasi oleh sistem saraf otonom. Kurangnya spesifisitas dari
inervasi dan adanya crosover saraf, menyebabkan nyeri visceral menjadi
sulit untuk dilokalisir. Nyeri visceral ditandai dengan rasa perih dan kram.
3
b) Nyeri Neuropati
Nyeri neuropati adalah nyeri yang disebabkan oleh lesi primer atau
disfungsi dari sistem sensor nyeri dari saraf. Lesinya dapat terjadi pada
sistem saraf visceral atau somatik (somatosensoris) perifer atau pusat.
Saraf tersebut rusak karena kompresi, infiltrasi, iskemia, kelainan
metabolik atau transeksi.
Nyeri ini juga dapat disebabkan karena disfungsi saraf seperti misalnya
nyeri nosiseptif kronik yang dapat meningkatkan sensitifitas saraf spinal,
dimana prosesnya disebut fasilitasi sentral atau ”wind up”. Walaupun
sarafnya tidak rusak, terjadi sistem sinyal yang abnormal pada saraf yang
membentuk stimulus noksius, dan menghasilkan nyeri yang lebih hebat
dari normal, atau stimulus non noksius, menghasilkan nyeri. Hal tersebut
juga dapat menyebabkan alodinia, dimana tekanan/ sentuhan yang ringan
dapat menyebabakan nyeri.
Enzim siklooksigenase (COX) dan neurotransmiter glutamat, serta reseptor
N-methyl-D-aspartate (NMDA) berpengaruh terhadap terjadinya nyeri.
Nyeri neuropati digambarkan sebagai nyeri terbakar, menusuk , seperti
tersengat listrik.
c) Nyeri idiopatik / nyeri total
Nyeri idiopatik pada umumnya digunakan bila keluhan nyeri tidak dapat
diterangkan secara adekuat dengan proses patologis, diperkirakan
disebabkan oleh proses organik tersembunyi atau faktor non fisik yang
menghasilkan nyeri. Misalnya, Faktor psikologis (cemas, depresi), faktor
sosial (dijauhi keluarga), faktor spiritual atau eksistensi (takut mati,
hilangnya harapan hidup), sehingga sangat sulit untuk mengontrol nyeri
jika hal ini juga tidak kita tangani.
2. berdasarkan timbulnya nyeri
a) nyeri akut
nyeri yang timbul mendadak dan sementara dan ditandai aktivitas saraf
otonom berupa takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat, dan midriasis
b) nyeri kronis
nyeri berkepanjangan , dapat berbulan-bulan tanpa adanya aktivitas
otonom.
4
3. berdasarkan penyebabnya
a) nyeri karena penyakit kankernya
b) nyeri karena pengobatan kankernya
4. berdasarkan derajat nyeri
a) nyeri ringan
nyeri yang hilang timbul terutama saat beraktivitas sehari-hari dan
menghilang bila tidur
b) nyeri sedang
nyeri teru menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang apabila
penderita tidur
c) nyeri berat
nyeri teru menerus sepanjang hari dan penderita tidak dapat tidur, serta
sering terjaga karena nyeri
2.4 Patofisiologi 1
Tiga faktor utama yang berperan pada patogenesis nyeri pada penderita kanker ialah
mekanisme nosiseptif, neuropati dan proses psikologis. Lesi nervus perifer oleh
karena tumor, pembedahan artau kemoterapi merupakan tipe yang paling sering dari
nyeri neuropati pada penderita kanker.
Proses nyeri merupakan interaksi yang sangat komplek dari struktur sistem
saraf pusat maupun saraf perifer mulai dari kulit sampai korteks serebri. Blokade dari
tiap jalur ini atau penggunaan antagonis neurotransmiter yang terlibat secara rasional
dianggap dapat menanggulangi masalah nyeri. Bila rangsang kerusakan jaringan yang
potensial diletakkan pada daerah yang sensitif maka akan menghasilkan identifikasi
sebagai nyeri. Tiap deskripsi nervus perifer menunjukkan bahwa tiap kelas serabut
saraf bertanggung jawab terhadap satu sensor. Kerja neurofisiologis telah menetapkan
adanya saraf aferen primer yang spesifik untuk menandai rangsang berbahaya.
Nervus ini disebut nosiseptor yang diaktivasi oleh beberapa bentuk energi (mekanik,
suhu, atau kimia). Mereka mengubah energi itu menjadi impuls elektrik yang
diteruskan melalui akson menuju otak. Fungsi nosiseptor adalah transduser
(meneruskan) merubah energi energi mekanik, termal, kimia menjadi sinyal elektrik
yang kemudian ditransmisikan ke spinal cord melalui serabut saraf aferen primer.
Mekanisme aktivasi nosiseptor ini belum diketahui, tetapi rangsangan harus
merubah fungsi membran reseptor agar membran mengalami depolarisasi dan
5
menghasilkan aksi potensial pada serabut saraf aferen. Pada keadaan lain , kerusakan
jaringan bisa melepaskan bahan kimia yang merubah keadaan membran. Semakin
besar rangsangan , semakin besar pula respon frekuensi menghasilkan aksi potensial.
Nosiseptor telah ditemukan pada semua jaringan kecuali sistem saraf pusat,
dan terdapat perbedaan klinis antara nosiseptor kutaneus dan visceral. Visceral
memiliki nosiseptor yang lebih sedikit daripada kulit, dengan profil aktivasi yang
berbeda pula, Serabut saraf aferen viseral yang membawa informasi nosiseptif harus
melalui spinal cord dengan serabut simpatis. Informasi nosiseptif ditransmisikan ke
sentral melalui serabut C yang tidak terbungkus mielin dan serabut A delta.
Skema patofisiologi nyeri kanker :
Dikutip dari kepustakaan no 1
Kerusakan jaringan
Pelepasan zat-zat kimia:prostaglandinbradikininserotoninhistaminezat algesik
Medulla spinalis
Impuls nyeri Stimulasi reseptor
Kornu dorsalis medulla spinalis
Traktus spinotalamikus
talamus
Pengalaman subyektif dan emosional
Korteks serebri
6
nyeri
2.5 Respon Tubuh Terhadap Nyeri 6,7
Rangsangan nyeri pada penderita kanker akan mempengaruhi sistem organ dalam
tubuh, diantaranya :
1. Sistem kardiovaskuler
Efek nyeri terhadap kardiovaskuler berupa peningkatan produksi kotekolamin,
angiotensin 2,dan hormon anti diuretik (ADH) sehingga mempengaruhi
hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi, an peningkatan resistensi
pembuluh darah secara sistemik. Pada orang normal cardiac output akan
meningkat, tetapi pada pasien dengan gangguan fungsi jantung akan
mengalami penurunan cadiac out put dan hal ini akan membahayakan
keadaannya. Nyeri juga menyebabkan terjadinya iskemia myocad, karena
terjadi peningkatan kebutuhan oksigen pada otot jantung.
2. Sistem respirasi
Nyeri yang mempengaruhi peningkatan laju metabolisme, mempengaruhi
reflek segmental dan hormon seperti bradikinin dan prostaglandin
menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen tubuh dan produksi
karbondioksida, mengharuskan terjadinya peningkatan ventilasi permenit
sehingga meningkatkan kerja pernapasan. Hal ini menyebabkan peningkatan
kerja sistem pernapasan, khususnya pada pasien dengan penyakit paru.
Penurunan gerakan dinding torak menurunkan volume tidal dan kapasitas
residu fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis,
intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi
hipoventilasi.
3. Sistem gastrointestinal dan ginjal
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfingter dan menurunkan
motilitas saluran cerna dan saluran kemih yang menyebabkan ulkus dan
bersamaan dengan penurunan motilitas usus, potensial menyebabkan pasien
mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah dan konstipasi sering terjadi.
Distensi abdomen memperberat hilangnya volume paru dan disfungsi paru.
4. Sistem metabolisme dan endokrin
Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan hormon-hormon katabolik
seperti katekolamin, kortisol, dan glukagon. Hal ini menyebabkan penurunan
hormon anabolik seperti insulin dan testosteron. Pasien yang mengalami nyeri
akan menimbulkan keseimbangan nitrogen yang negatif, intoleransi
7
karbohidrat dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol
bersamaan dengan peningkatan renin, aldosteron, angiotensin,dan hormon anti
diuretik yang menyebabkan retensi natrium, retensi air dan ekspansi sekunder
dari ruangan ekstraselular.
5. Sistem hematologi
Nyeri menyebabkan peningkatan adesi platelet, meningkatkan fibrinolisis dan
hiperkoagulopati.
6. Sistem imunitas
Nyeri merangsang produksi leukosit dengan limpopenia dan nyeri dapat
mendepresi sistem retikuloendotelial, yang pada akhirnya menyebabakan
pasien beresiko menjadi mudah terinfeksi.
7. Psikologis
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri berupa kecemasan, ketakutan,
agitasi, dan dapat menyababkan gangguan tidur. Jika nyeri berkepanjangan
akan menyebabkan depresi.
8. Homeostasis cairan dan elektrolit
Efek yang ditimbulkan akibat peningkatan pelepasan hormon aldosteron
berupa retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi
cairan dan penurunan produksi urin. Hormon katekolamin dan kortisol
menyebabkan berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.
2.6 Diagnosis Nyeri
2.6.1 Pemeriksaan Nyeri 6.8
Pemeriksaan terhadap nyeri harus dilakukan dengan seksama, yang dilakukan
sebelum pengobatan dimulai, secara teratur pengobatan dimulai, setiap saat bila ada
laporan nyeri baru dan setelah interval terapi 15-30 menit setelah pemberian
parenteral dan 1 jam setelah pemberian peroral
1. Anamnesis yang teliti
Dalam melakukan anamnesis terhadap nyeri, kita harus mengetahui
bagaimana kualitas nyeri yang diderita, meliputi waktu muncul, lama dan
variasi yang ditimbulkan untuk mengetahui penyebab nyeri. Selain itu kita
juga harus mengetahui lokasi dari nyeri yang diderita, apakah diseluruh tubuh
atau hanya pada bagian tubuh tertentu saja. Intensitas nyeri juga penting
8
ditanyakan untuk menetapkan derajat nyeri. Tanyakan pula tentang
penyakitnya dan pemngobatan yang pernah dijalani serta alergi obat.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan
patofisiologi nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk
mendapatkan hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri menyebabkan
stimulus simpatik seperti hipoksia, hiperkarbia,dan hipertensi. Pemeriksaan
glasgow coma scale rutin dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada proses
patologi di intracranial. Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya angguan
sensorik sangat penting dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya
hipoastesia, hiperestesia, hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang
penting menggambarkan kemungkinan nyeri neurogenik.
3. Pemeriksaan psikologis
Mengingat faktor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri
yang subyektif, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang
harus dilakukan dengan seksama agar dapat menguraikan faktor-faktor
kejiwaan yang menyertai. Tes yang biasanya digunakan untuk menilai
psikologis pasien berupa The minnesota Multiphasic Personality inventory
(MMPI). Dalam mengatahui permasalahan psikologis yang ada, maka akan
memudahkan dalam pemulihan obat yang tepat untuk penanggulangan nyeri.
4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui penyebab
dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan
imaging seperti foto polos, ct scan, MRI atau bone scan.
2.6.2 Pengukuran intensitas nyeri 6,7,9
Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif, yang dipengaruhi oleh psikologis,
kebudayaan dan hal-hal lainnya, karena itu mengukur intensitas nyeri merupakan
masalah yang relatif sulit. Pengukuran kualitas nyeri menolong dalam hal terapi yang
diberikan dan penilaian efektifitas pengobatan. Definisi nyeri yang jelas sangat
diperlukan, karena nyeri memberikan gambaran kerusakan jaringan atau kerusakan
organ atau reaksi emosional.
Ada beberapa macam metode yang umumnya dipakai untuk menilai intensitas
nyeri antara lain:
9
1. Verbal rating Scale(VRSs)
Metode ini menggunakan suatu word list untuk mendeskripsikan nyeri yang
dirasakan pasien. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang
menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada.
Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat
pertama kali nyeri dirasakan sampai saat tahap penyambuhan. Penilaian dari
nyeri berdasarkan metode ini adalah:
- Tidak nyeri (none)
- Nyeri ringan (mild)
- Nyeri sedang (severe)
- Nyeri sangat berat (very severe)
2. Numerical rating Scale (NRSs)
Metode ini menggunakan angka-angka dengan bantuan kata-kata untuk
menggambarkan range dari intensitas nyeri yang dirasakan. Umumnya pasien
menggambarkan nyeri dari 0-10, 0-20, atau dari 1-100. ”0” menggambarkan
tidak nyeri, sedangkan ”10,20,100’ menggambarkan nyeri yang hebat. Metode
ini dapat diaplikasikan secara verbal maupun melalui tulisan, sangat mudah
dimengerti dan mudah dilaksanakan.
Gambar 2. Numerical rating Scale (NRSs)Dikutip dari kepustakaan no. 10
3. Visual Analogue Scale (VASs)
Metode ini yang paling sering digunakan untuk mengeahui intensitas nyeri.
Metode ini menggunakan garis dengan panjang 10 cm yang menggambarkan
keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka
pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan
menggunakan metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan
intensitas nyeri, sangat mudah dikerjakan, mudah dimengerti dan dapat
digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat
digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun.
10
Gambar 3. Visual Analogue Scale (VASs)Dikutip dari kepustakaan no 10
4. McGill Poin Questionaire (MPQ)
Metode ini menggunakan check list untuk mendeskripsikan gejal-gejala nyeri
yang dirasakan. Metode ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara
lain dari sensorik afektif dan kognitif. Pasien memilih kata-kata yang
menggambarkan nyeri yang dirasakan dan nyeri yang dirasakan dimasukkan
kedalam indeks yang menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan. Intensitas
nyeri digambarkan dengan merengkingnya dari ”0” tidak ada nyeri sampai ”3”
nyeri hebat.
5. Behavioral rating scale (BRS)
Metode ini digunakan untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak 8 tahun
Gambar 4. Behavioral rating scale (BRS)Dikutip dari kepustakaan no. 10
Skala nyeri berdasarkanekpresi wajah
Skala nyeri numerik 0 - 10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak Nyeri
Nyeri Menggangu
NyeriBera
t
11
Beberpa faktor yang dapat menambah berat rasa nyeri adalah rasa cemas,
marah dan depresi. Rasa cemas dapat ditimbulkan oleh rasa takut (karena kankernya,
takut sakit, dan taut mati), keuangan, keluarga dan masa depan. Rasa marah dapat
ditimbulkan karena merasa lambat untuk ditangani, hasil pengobatan yang tidak
memuaskan, teman atau keluarga yang menjauh, sikap dokter atau perawat yang
kurang menunjukkan empati, dan faktor spiritual.
2.7 Penatalaksanaan Nyeri Kanker
Kesuksesan dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri kanker tergantung pada
kemampuan klinisi untuk menilai problem dasarnya, mengidentifikasi dan
mengevaluasi sindroma nyeri serta membuat rencana untuk memberikan perawatan
kontinyu yang diperlukan penderita dan keluarganya.11 Hal yang penting untuk
dipahami pada nyeri kanker, bahwa dalam usaha menanggulangi nyeri kanker, ada
tahapan yang ingin dicapai untuk meningkatkan kualitas hidup penderita nyeri kanker,
seperti:4
1. nyeri berkurang / teratasi pada malam hari, sehingga penderita dapat
kesempatan tidur.
2. nyeri dapat diatasi pada siang hari, sehingga penderita dapat istirahat
3. nyeri dapat diatasi saat penderita bekerja atau melakukan aktifitas
Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, diperlukan pendekatan multi disiplin
dalam menangani pasien dengan nyeri kanker, yang meliputi :4,11
1. usaha untuk mengatasi penyebabnya dengan modifikasi proses patologis dari
kankernya, berupa:
a. pembedahan
Pembedahan dapat juga berperan dalam menurunkan gejala yang
disebabkan oleh problem spesifik, seperti struktur tulang yang tidak
stabil ataupun kompresi saraf. Pembedahan ada berbagai macam
(misal, bedah umum, ortopedi, ginekologi, bedah saraf, bedah plastik
dan rekonstruktif) yang dapat digunakan dalam merawat pasien dengan
kanker. Pembedahan secara konservatif dilakukan pada kanker yang
bermetastase melalui kelenjar getah bening. Ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi dalam pembedahan pada kanker yang telah
bermetastase yaitu: lesi primernya harus terkontrol, reseksi harus
12
komplit, tumor tidak efektif terhadap pengobatan dengan anti kanker,
tumor bermetastase pada satu organ, dapat menjaga fungsi organ
setelah operasi, setelah pembedahan pasien dapat bertahan hidup
dibanding tidak dilakukan pembedahan, dan pasien mau menuruti
prosedur pembedahan.
b. kemoterapi
Nyeri sering berkurang setelah kemoterapi, terutama untuk tumor yang
responsif seperti limpoma, karsinoma paru sel kecil, tumor germ sel
dan kanker payudara. Kombinasi kemoterapi dengan bahan yang
memiliki bentuk aksi berbeda dan dengan toksisitas yang berbeda lebih
baik daripada terapi dengan satu bahan saja, karena perubahan
resistensi 2 obat lebih rendah resikonya daripada resistensi satu obat.
Dosis toleransi maksimum diindikasikan proporsional dalam
mambunuh sel kanker dengan dosis tersebut. Dosis tunggal, dosis
rendah dan interval yang panjang antara kemoterapi mempengaruhi
perkembangan resistensi klon sel tumor.
c. Radiasi
Terapi radiasi adalah salah satu terapi untuk kanker. DNA sel kanker
merupakan target dari efek sitotoksik dari radiasi. Terapi radiasi
biasanya dilakukan pada nyeri kanker yang disebabkan oleh tumor
yang bermetastase ke tulang, tumor epidural, tumor yang bermetastase
ke serebral. Kombinasi antara terapi radiasi dengan kemoterapi, bedah
eksisi terbatas, atau keduanya, dapat mengontrol penyakit pada tempat
primernya dan tanpa perlu melakukan ekstirpasi pada limfonodi
regional. Hal ini sering dilakukan saat ini. Kira-kira 40% pasien
terbantu dengan terapi radiasi, untuk kanker yang tidak berespon
terhadap terapi kuratif dan disertai nnyeri. Rutten dkk mengevaluasi
karakteristik nyeri pada 51 pasien yang membantu untuk memprediksi
kesembuhan nyeri pada terapi radiasi untuk kanker, didapatkan
hubungan yang signifikan antara karakteristik nyeri dan respon
komplit pada terapi radiasi paliatif. Respon komplit terjadi kurang
lebih 21 hari sejak mulai radiasi.
13
d. Pemberian antibiotika
Tujuan pemberian antibiotik pada pasien kanker stadium terminal
terkadang untuk jangka panjang dan untuk menurunkan gejala.
Penanganan untuk sistitis tidak selalu perlu waktu yang lama, tetapi
dapat menurunkan nyeri saat kencing (disuria). Antibiotik juga
memiliki efek menyembuhkan nyeri jika nyeri tersebut disebabkan
karena infeksi contohnya pyonefrosis dan osteitis pubis.
2. usaha untuk mengatasi nyeri yang terjadi
a. pemakaian obat-obatan
b. tindakan blok saraf
c. tindakan neurodestruksi
3. memperbaiki keadaan umum penderita
Penderita kanker stadium lanjut, mengalami katabolisme yang sangat tinggi,
selera makan menurun serta malnutrisi berat. Topangan nutrisi secara artifisial
(utamakan per-enteral) sangat diperlukan.
4. usaha memulihkan semangat penderita
karena penyakit yang tidak kunjung bsembuh, nyeri yang kronis, kehilangan
pekerjaan, kehilangan peran penting dalam keluarga , akhirnya muncul
problem psikologik. Penderita akan mengalami kehilangan semangat hidup.
Dibutuhkan dukungan semangat oleh semua pihak diluar pemberian obat-
obatan antidepresan agar semangat hidup penderita pulih kembali.
5. usaha fisikoterapi
Sangat membantu memulihkan fungsi sistem organ tubuh penderita,
membantu memulihkan kemampuan aktifitas penderita.
2.7.1. WHO analgesic ladder
WHO merekomendasikan ” WHO analgesic ladder” untuk penatalaksanaan nyeri
kanker. Tahapan tersebut digunakan untuk mmengklasifikasikan jenis analgesia yang
nantinya akan diberikan kepada pasien dengan nyeri kanker, sesuai dengan derajat
nyerinya. .
14
Gambar 5. Three step ladder WHO analgesic
Dikutip dari kepustakaan no 10
Pembagian WHO analgesic ladder adalah sebagai berikut: 1,3,11,12
1. Step I
Penderita dengan nyeri kanker ringan harus diobati dengan analgesia non opioid,
yang harus dikombinasi dengan obat-obat tambahan jika ada indikasi.
Asetaminofen dan non steroidal anti inflamatory drugs (NSAID) meliputi asam
asetil salisilat merupakan step 1 untuk ”WHO analgesic ladder” untuk
penatalaksanaan nyeri ringan. 3
Tabel 1. Analgesia Non Opioid
Obat
dosis untuk dewasa dan anak-anak ≥50 kg
Dosis untuk dewasa dan anak-anak <50 kg
Acetaminophen dan NSAID oral
acetaminophen 650 mg / 4 jam 10-15 mg/kg / 4 jam
975 mg / 6 jam 15-20 mg/kg / 4 jam (rectal)
aspirin 650 mg / 4 jam 10-15 mg/kg / 4 jam
975 mg / 6 jam 15-20 mg/kg / 4 jam (rectal)
ibuprophen (Motrin, Advil) 400-600 mg / 6 jam 5-10 mg/kg / 4-6 jam
15
Obat
dosis untuk dewasa dan anak-anak ≥50 kg
Dosis untuk dewasa dan anak-anak <50 kg
magnesium salisilat (Doan’s, Magan, Mobidin)
650 mg / 4 jam
naproxen (Naprosyn, Aleve) 250-275 mg / 6-8 jam 5 mg/kg / 8 jam
naproxen sodium (Anaprox) 275 mg / 6-8 jam
NSAID dengan resep dokter
carprofen (Rimadyl) 100 mg tid
choline magnesium trisalicylate (Trilisate)
1,000-1,500 mg / 6-8 jam 25 mg/kg / 6-8 jam
choline salicylate (Arthropan) 870 mg / 3-4 jam
diflunisal (Dolobid) 500 mg / 12 jam
etodolac (Lodine) 200-400 mg / 6-8 jam
fenoprofen calcium (Nalfon) 300-600 mg / 6 jam
ketoprofen (Orudis) 25-60 mg / 6-8 jam
ketorolac tromethamine (Toradol)
10 mg / 4-6 jam - maksimum sampai 40 mg/hari
IV , tidak boleh lebih dari 5 hari
meclofenamate sodium (Meclomen)
50-100 mg / 6 jam
mefenamic acid (Ponstel) 250 mg / 6 jam
sodium salicylate (Anacin, Bufferin)
325-650 mg / 3-4 jam
NSAID parenteral
ketorolac tromethamine (Toradol)
60 mg inisial, kemudian 30 mg / 6 jam
IV , tidak boleh lebih dari 5 hari
Dikutip dari kepustakaan no 12
2. Step II
Penderita yang relatif tidak toleran dan menderita nyeri sedang, atau yang gagal
mendapat perbaikan setelah percobaan dengan analgesia non opioid harus diobati
dengan opioid konvensional yang digunakan untuk nyeri sedang (opiod lemah).
Termasuk dalam golongan ini adalah Codein, Hydrocodone dan Tramadol. Obat-
16
obatan ini umumnya dikombinasi dengan non opioid dan dapat diberikan
bersama-sama dengan analgesia adjuvant. 2,3
Tabel 2. Analgesia Opioid Lemah
Drug Dosis Oral dose (mg) Dosis Parenteral
Codeine 200 mg / 3-4 jam 100 mg/ 3-4 jam
Hydrocodone
30-45 mg/ 3-4 jam -
Tramadol - 50 mg
Dikutip dari kepustakaan no 12
3. Step III
Pada tingkat ini, penderita yang menderita nyeri yang berat atau gagal
mendapatkan perbaikan yang adekuat setelah pemberian obat pada tangga kedua,
harus menerima opioid konvensional untuk nyeri berat (opioid kuat). Yang
termasuk obat-obatan yaitu morfin, fentanil, hidromorfon, levorfanol, metadon,
oksikodon, dan oksimorfon. Dengan petunjuk dosis yang sesuai, pengobatan ini
dapat memberikan kesembuhan pada 70-90% penderita. 2,3
Tabel 3. Analgesia Opioid Kuat
Drug Oral dose (mg) Parenteral dose
Morphine 30 mg/3-4 jam 10 mg/3-4 jam
Fentanyl - 100 μg
Hydromorphone 8 mg 2 mg
Levorphanol 4 2 mg
Methadone 20 mg/6-8 jam 10 mg/6-8 jam
Oxycodone 20-30 10-15 mg
Oxymorphone - 1 mg
Dikutip dari kepustakaan no 12
4. Step IV
Beberapa literatur mengenai WHO three step ladder, menyatakan bahwa apikasi
dari cara tersebut menghasilkan kontrol yang adekuat, mencapai 90%, dalam
menangani nyeri kanker. Beberap penulis juga menginformasikan tentang step ke-
17
4, yang digunakan dalam pendekatan menangani pasien dengan nyeri kanker yang
tidak terkontrol oleh komponen analgesia yang digunakan sebelumnya. Secara
umum, step ke-4, merupakan pendekatan invasif dalam meringankan nyeri.
Teknik intervensi pada nyeri kanker hanya akan dilakukan jika manajemen
dengan pengobatan, gagal dalam mengatasi nyeri. Kegagalan terapi terjadi ketika
penyembuhan nyeri tidak adekuat (kembali kambuh) ataupun sama sekali nyeri
tersebut tidak teratasi. Pada beberapa situasi, penggunaan teknik intervensi ini
dapat menurunkan masalah pada pasien yang mendapat pengobatan agresif yang
kontinyu. Tindakan ini berupa pemberian analgesia opioid melalui subkutan
ataupun intravena, intraspinal, epidural atau intratekal dan intraventrikular. Bila
perlu tambahkan adjuvan. 2,3
Teknik intervensi ini dibagi menjadi 2 yaitu :
a) Pendekatan neuroablatif 11
Teknik ini dilakukan dengan cara memblok transmisi nosiseptif dengan
suntikan neurolitik atau bedah lesi (blokade saraf). Tujuannya adalah merusak
lintasan nosiseptif menggunakan bahan kimia (misal: fenol, alkohol),
rangsangan panas atau dingin, atau menggunakan skalpel, sehingga nyeri
menghilang. Teknik ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya:
Peripheral neurolytic blokade
Ganglionic blokade
Cordotomy
Cingulotomy
b) Teknik augmentatif 1,11
Teknik ini menggunakan cara stimulasi elektrik dan metode infus. Metode
infus banyak digunakan untuk pengobatan nyeri kanker, sedang metode
stimulasi elektrik, lebih jarang. Adanya terapi dengan metode infus merupakan
hasil dari perkembangan teknologi untuk infus kontinyu melalui epidural,
intratekal, atau intraserebroventrikular (ICV) kateter, yang dihubungkan
dengan pompa infus eksternal, subcutaneous injection reservoirs atau
implanted programmable infusion pumps.
Beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu,
18
Metode infus
Terapi opioid intravena
Dipilih untuk penderita yang memerlukan onset analgesik segera dosis
yang sangat tinggi atau penderita yang tidak bisa menelan atau terdapat
obstruksi gastrointestinal. Penggunaan opioid intravena dengan
pemberian injeksi intermiten seperti juuga infus kontinyu, memberi efek
analgesik yang cepat dan efektif karena langsung ke peredaran darah ,
tanpa perlu diabsorbsi dulu. Pemberian ini dapat mempertahankan efek
analgesik sepanjang konsentrasi opioid dalam darah tetap diatas
konsentrasi minimum efektif. Namun pemberian secara intravena
durasinya singkat, sehingga dianjurkan untuk memberikan secara infus
kontinyu, dosis bolus atau melalui ”patient controlled analgesia (PCA).
Onset yang cepat juga menghasilkan efek yang cepat pula dalam
mengatasi nyeri yang berat. Pemberian dengan cara ini mahal dan perlu
keterampilan khusus dalam memasang IV line.13
Infus intravena kontinyu mungkin merupakan cara pemberian opioid
paling tepat bila terdapat keperluan untuk memberikan preparat dalam
jumlah besar, karena level analgesianya konstan Pada pemberian infus
intravena yang lama dianjurkan dibuat jalur vena sentral permanen. 1
Pada terapi ini, opioid yang digunakan yaitu morfin, hidromorfon,
fentanil,dan metadon. Penggunaan metadon dengan reseptor NMDA
antagonis dapat meningkatkan kontrol terhadap nyeri, tidak
menimbulkan toleransi dan dosis pengobatan yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan menggunakan morfin. 3
Terapi opioid sistemik memiliki keterbatasan, yaitu timbul rasa
mengantuk, Terkadang dapat juga timbul efek samping pada CNS,
karena dosis tang tinggi. Kelainannya berupa hipereksitabilitas,
myoklonus, konfulsi, dan hiperalgesia.
19
Patient Controlled Analgesia
Gambar 6. PCA pump
Dikutip dari kepustakaan no 13
Patient-controlled analgesia (PCA) melibatkan pasien dalam
memberikan medikasi pada nyeri yang dideritanya. PCA digunakan bila
opioid parenteral harus diberikan lebih dari 24 jam. Jika kadar analgesia
berada di bawah ambang plasma, pasien dapat mentitrasi sendiri opioid
pada kadar analgesia yang mereka perlukan (selama masih dalam
batasan terapi). Pemberian dengan cara ini sangat efektif, mencegah
kekambuhan nyeri dan menurunkan kecemasan pasien terhadap nyerinya
karena mereka dapat memanajemen pemberian obat untuk diri mereka
sendiri. 12 Dosis PCA biasanya antara 25%-50%kecepatan infus perjam
tiap 10-15 menit.11
Terapi opioid subkutan
Pemberian opioid subkutan telah lama dilakukan. Perhatian telah
ditujukan pada teknik ini dengan infussion pump kecil untuk
memberikan opioid secara kontinyu untuk penderita rawat jalan. Opioid
yang cocok untuk teknik ini harus solubel, diabsorbsi dengan baik dan
tidak menimbulkan iritasi. Beberapa obat yang sering digunakan yaitu
morfin, hidromorfin, fentanil, oksimorfon. Sedangkan metadon tidak
dipilih karena iritatif. Absorbsi opioid melalui cara ini, dari subkutan ke
sirkulasi sistemik berlangsung lama, namun tidak demikian dengan
morfin. 11 Absorbsi obat tergantung pada aliran darah local dan
kecepatan difusi obat dari tempat suntikan. 1 Terapi dengan cara ini ,
20
aman, mudah dan efektif jika dibandingkan dengan intravena, namun
penyembuhan nyeri, mood, dan efek sedasinya tidak berbeda.
Idealnya kecepatan pemberian opioid melalui subkutan tidak melebihi 2
ml/jam. Dosis masing-masing tergantung jenis opioid yang digunakan.
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu edema, eritema, abses steril, pada
pasien dengan gangguan koagulasi dan sirkulasi perifer yang sedikit. 11
Terapi opioid intracerebroventrikular
Morfin sulfat merupakan bahan yang biasanya digunakan pada
intracerebralventrikular (ICV) kateter, untuk mendapatkan efek analgesia
pada lintasan supraspinal. Dosisnya antara 50-700 mcg perhari.
Umumnya implanted infusion pump ditempatkan subkutan pada diding
abdomen anterior dan disambungkan dengan tube subkutan ke implanted
ventricular catheter untuk mendistribusikan obat.. cara ini diindikasikan
untuk nyeri kanker pada kepala dan leher .Efek sampingnya berupa
depresi napas jika penggunaannya lebih dari 3 hari.
Terapi opioid intraspinal (epidural atau intratekal)
Gambar 7. Pemberian analgesia melalui intraspinalDikutip dari kepustakaan no 13
Spinal opioid telah lama digunakan untuk nyeri akut. Cara ini merupakan
cara pemberian langsung ke reseptor dalam spinal cord melalui
transportasi lokal dari rongga epidural atau subaraknoid. penghilangan
nyeri dari opioid spinal ini telah ditujukan untuk nyeri pada dermatom
serviks dan bahkan untuk sistem trigeminal.1 Cara ini meliputi
pemberian secara intratekal dan epidural, dimana kateter diinsersikan
pada ruang epidural atau subaraknoid. Analgesia intraspinal digunakan
21
ketika terjadi efek samping depresi napas sedasi saat menggunakan cara
non invasif atau parenteral. Penggunaan secara intratekal lebih efisien
karena distribusinya lebih baik ke target organ untuk mengatasi nyeri
dan lebih murah daripada epidural, namun jarang digunakan karena
beresiko tinggi untuk menimbulkan meningitis, fistula dan higroma
dibandingkan epidural kateter. 11
Tabel 4. Keuntungan dan Kerugian Pemberian Analgesia melalui Intraspinal
Sistem Keuntungan Kerugian
Percutaneous temporary catheter
Dapat digunakan pada saat operasi dan pasca operasi
Problem mekanik meliputi perubahan posisi kateter , kinking
Dapat digunakan ketika prognosis terbatas (< 1 bulan)
Meningkatkan resiko infeksi
Permanent silicone-rubber epidural
Implanasi kateter merupakan prosedur minor
Lebih mahal dibanding temporary catheter
Resiko infeksi dan berpindahnya kateter lebih jarang daripada temporary catheters.
Dapat digunakan untuk injeksi bolus, atau PCA (dengan atau tanpa titrasi kontinyu)
Subcutaneous implanted injection port
Meningkatkan stabilitas, menurunkan resiko perubahan posisi implant
Implanasinya lebih invasive daripada eksternal kateter
Dapat digunakan untuk injeksi bolus atau infuse kontinyu (dengan atau tanpa PCA)
Hanya untuk kateter epidural di USA
Potensial meningkatkan infeksi karena meningkatnya frekuensi injeksi
Subcutaneous reservoir
Potensial menurunkan infeksi dibandingkan dengan system eksternal
Sulit untuk mengakses, dan fibrosis dapat terjadi setelah injeksi
22
Sistem Keuntungan Kerugian
Implanted pumps (continuous and programmable)
Potensial menurunkan resiko infeksi
Perlu prosedur operasi yang ekstensif.
Perlu spesialisasi perlengkapan dengan system terprogram
Dikutip dari kepustakaan no 12
Metode stimulasi elektrik
Akupuntur
Teknik ini menggunakan perangsangan sisi tubuh dengan rotasi jarum
secara manual untuk menghasilkan sensasi yang dikenal dengan ”the
chi” dengan menggunakan rangsang frekuensi rendah (< 5 Hz).
Akupuntur menghasilkan rangsang intensitas tinggi yang dipercaya akan
menginduksi modulasi kimiawi dari nyeri.1
Rangsangan kolumna dorsalis
Beberapa penderita dengan nyeri di aferen merupakan indikasi
penanganan dengan perangsangan kolumna dorsalis. Teknik ini
menggunakan elektrik yang diletakkan perkutan sehingga menghasilkan
frekuensi tinggi pada medula spinalis dorsalis dalam usaha untuk
merangsang jalur analgesik desenden. 1
2.7.2 Medikamentosa yang Dipergunakan dalam Penatalaksanaan Nyeri Kanker
2.7.2.1 Asetaminofen
Asetaminofen merupakan analgesia dan anti piretik. Tidak memiliki efek anti
inflamasi dan juga tidak memiliki efek anti platelet, sehingga diindikasikan untuk
nyeri non infamasi dan penurun demam.11 Untuk meningkatkan efek analgesiknya,
sering dikombinasi dengan NSAID dan opioid. Asetaminofen dapat menyebabkan
toksisitas pada hepar, sehingga secara umum dosis yang direkomendasikan tidak
boleh melebihi 4 gr/24 jam. 3 Dosis yang biasanya digunakan adalah 650 mg/6 jam. 11
2.7.2.2 Aspirin
23
Aspirin adalah ester salisilat atau asam asetik. Aspirin bekerja dengan mengaktivasi
siklooksigenase. Efeknya sebagai antipiretik muncul saat terjadi inhibisi sekunder dari
pirogen yang menyebabkan releasenya prostaglandin pada CNS dan memediasi
vasodilatasi perifer. Aspirin juga dapat mencegah sintesis tromboksan A2 ,
vasokonstriktor poten dan penginduksi agregasi platelet. Dosis standarnya 500-
600mg setiap 4-6 jam. Pemberian lebih dari 4 gr/hari dapat menyebabkan toksisitas. 11
2.7.2.3 NSAID
Pengaruh NSAID dalam penatalaksanaan nyeri kanker adalah untuk menghambat
enzim siklooksigenase dan akibatnya akan menghambat sintesis prostaglandin.
Prostaglandin merupakan mediator inflamasi yang dibentuk dalam jaringan rusak dan
tampaknya terlibat dalam mensensitisasi nosiseptor perifer, sehingga menghasilkan
nyeri. Prostaglandin , leukotrin dan trombaksan, semuanya merupakan derivat asam
arakidonat yang teroksigenasi, suatu lemak poly unsaturated essensial. NSAID
membuat siklooksigenase tidak aktif, dimana tugas siklooksigenase adalah
mengkatalisis pembentukan siklik endoperoksida dari asam arakidonat.
NSAID dapat dikelompokkan dalam 2 kelompok berdasarkan waktu
paruhnya, yaitu NSAID dengan waktu paruhnya, yaitu NSAID dengan waktu paruh 2-
4 jam (parasetamol, aspirin, salisilat, diklofenat, ibuprofen, asam mefenamat,
ketoprofen) dan NSAID dengan waktu paruh 6-60 jam (naproksen, indometasin,
piroksikam, asamflufenamik).1
Kesuksesan penggunaan NSAID dalam menangani nyeri kanker
membutuhkan strategi yang meliputi dosis inisial yang rendah dan dosis titrasi. Dalam
mengatasi nyeri kanker, dapat digunakan singe dose ataupun multiple doses. Multiple
doses secara umun membuat lebih banyak efek samping daripada single doses.
NSAID dapat menyebabkan perdarahan, gangguan fungsi platelet, atau iritasi gastric,
sedasi, tremor, nyeri perut,diare, dan insufisiensi renal.11
2.7.2.4 Opioid
Opioid merupakan bahan yang paling efektif dalam mengobati komponen nosiseptor
dari nyeri akut. Analgesia opioid bekerja dengan berikanat pada reseptor opioid (mu,
kappa,dan delta) di sentral dan perifer. Reseptor sentral pada spinal cord dan otak
sangat penting untuk mediasi analgesia. Analgesia yang sering digunakan dibagi
menjadi 3 bagian yaitu opioid agonis, parsial agonis opioid (buprenorfin) dan agonis
antagonia opioid (pentasosin, butorfanol, nalbufin). Parsial agonis dan agonis
antagonis opioid tidak bagus untuk mengatasi nyeri yang berat, bahkan selain
24
menghasilkan ceiling efek, juga memiliki kerugian yang signifikan jika dikombinasi
negan opioid agonis yaitu menimbulkan nyeri akut dan gejala opioid withdrawal.3
WHO menyatakan bahwa Codein (opioid lemah) sebagai opioid dasar untuk
mengatasi nyeri sedang, dan obat alternatifnya yaitu dihidrokodein,
dekstropropoksifen, dan tramadol. Sedangkan untuk nyeri berat, obat dasarnta adalah
morfin. Obat alternatifnya metadon, hidromorfon,oksikodon, levorfanol, meperidin,
buprenorfin. 3
Derajat penyembuhan nyeri setelah pemberian opioid tergantung pada
intaindividual dan interindividual, tergantung pada tipe dan waktu terjadinya nyeri,
obat dan karakteristiknya, cara pemberian. Pada nyeri neuropati, kasiat dari opioid
tidak begitu efektif.11
Opioid harus diberikan dengan cara yang aman, yang dapat memberikan efek
analgesik yang adekuat. Bererapa cara pemberian opioid:
1. Oral
Pemberian opioid oral tetap merupakan pemberian paling sesuai dalam praktik
klinis. Pemberian oral memiliki onset kerja yang lebih lama dan waktu puncak
dicapai lebih lama daripada parenteral. Pemberian opioid secara oral tidak sesuai
untuk penderita yang mengalami kesulitan menelan atau menderita obstruksi
gastrointestinal, dan untuk penderita yang memerlukan onset analgesik yang
cepat. Pada pemberian oral, opioid diabsorbsi dari saluran cerna langsung ke
sirkulasi portal, dimana kemudian diangkut ke hati. Obat ini dimetabolisme
menjadi produk inaktif sebelum mencapai sirkulasi sistemik yang dikenal
sebagai hepatic first pass effect. Efek ini menyebabkan timbul persepsi bahwa
pemberian opioid oral tidak efektif.
2. Rektal
Cara pemberian melalui rektal merupakan pilihan noninvasif pada penderita
yang tidak mungkin menggunakan opioid oral. Potensi yang dicapai oleh opioid
per rektal kira-kira sama dengan yang dicapai dengan pemberian oral.
Pemberian opioid rektal telah dianjurkan untuk penderita yang tidak bisa
menelan atau mual muntah. Pada beberapa penelitian, bioavailabilitas
pemberian rektal serupa dengan pemberian oral.1 Absorbsi dari pemberian
opioid secara rektal, absorbsinya lambat sehingga tidak cocok untuk
penyembuhan nyeri akut. Biasanya pasien merasa tidak nyaman dengan
25
pemberian opioid dengan cara ini. Pemberian per rektal, kontra indikasi jika ada
lesi pada anus atau rektum.13
3. Transdermal
Gambar 8. Pemberian analgesia opioid melalui transdermalDikutip dari kepustakaan no 13
Tersedia formula transdermal dari fentanil yang dapat mengeluarkan 25,50,75
atau 100 mikro gram per jam. Indikasi pemberian ialah toleransi obat oral, gagal
dipenuhinya efek analgesik dengan pemberian oral, serta untuk pasien dengan
nyeri konstan dengan sedikit fluktuasi. Cara ini kerjanya dengan menyalurkan
obat melalui kulit. 1,13
4. Sublingual
Pemberian sublingual terutama berguna pada penderita yang mual muntah dan
disfagi, serta yang tidak dapat mentoleransi pemberian oral. Pemberian ini
memberi keuntungan absorbsi sistemik daripada yang melalui portal. Absorbsi
sublingual dari metadon, fentanil, dan bufrenorfin dari larutan alkalin telah
menunjukkan pencapaian efek analgesik yang cepat. Absobsi sublingual dapat
terjadi pada setiap opioid, tetapi bioavailabilitasnya sangat jelek pada obat yang
tidak bersifat lipofilik seperti morfin.1
5. intramuskuler
Injeksi intramuskuler sering dilakukan karena murah dan gampang
pemberiannya. Saat ini pemberiannya sudah jarang karena menimbulkan nyeri
dan dan absorbsinya lambat dan tidak dapat diprediksi.13 Pemberian morfin
intramuskuler paling sering digunakan untuk nyeri post operasi.1
6. Subkutan
7. Intravena
8. intracerebroventrikuler
9. Intraspinal
26
Efek samping pemberian opiod yang sering terjadi adalah konstipasi, mual
muntah, mulut menjadi kering, produksi keringat berlebih. Selain itu efek yang jarang
terjadi yaitu disforia / delirium, halusinasi /mimpi buruk, pruritus atau urtikaria,
retensi urin, myoklonic jerks / kejang, dan depresi napas (morfin).3
Penjadwalan Pemberian Opioid 1
Dosis Around The Clock
Penderita dengan nyeri kontinyu dan sering, biasanya dijadwal untuk mendapatkan
dosis ini. Formulasi ini seharusnya tidak digunakan untuk melakukan titrasi dosis
secara tepat pada penderita dengan nyeri hebat. Sekarang banyak digunakan morfin
sulfat oral controlled release dan fentanil trasdermal. Preparat morfin sulfat
controlled release mencapai kadar plasma puncak 3-5 jam setelah pemberian dan
memiliki durasi 8-12 jam.
Resque Dose ( dosis pertolongan )
Penderita yang menerima preparat opioid around the clock harus juga ditawarkan
pemberian Resque Dose bila diperlukan untuk mengobati nyeri yang muncul di
tengah jadwal. Obat yang digunakan umumnya identik dengan obat yang diberikan
secara kontinyu. Dosis pemberian Resque Dose harus sama dengan 5-15% dosis dasar
24 jam. Dosis awal Resque Dose dapat ditawarkan sampai setiap 15 menit.
Adiksi dan Toleran Terhadap Opioid
Adiksi adalah ketergantungan psikologis terhadap obat, karena ketidakmengertian
terhadap penggunaan opioid dan penggunaan yang berlebih. Pada pasien dengan nyeri
kanker kronis, insiden adiksi kurang dari 1:1.000.
Toleran yaitu ketergantungan fisik terhadap opioid, dimana pasien memerlukan dosis
yang lebih besar dari dosis pemeliharaan, dalam mengatasi keluhannya. Hal ini dapat
terjadi karena perkembangan dari withdrawal sindrom (terjadi karena diskontinyuitas
penggunaan obat opioid). Jika analgesik opioid dalam menurunkan dosisnya melelui
tapering, withdrawal sindrom tidak akan terjadi.
2.7.2.5 Adjuvan 1,3
27
Analgesia adjuvan digunakan untuk menambah efisasi analgesia opioid, mengatasi
gejala yang menyertai nyeri atau memberikan efek analgesia tersendiri untuk
mengatasi jenis nyeri tertentu.
Trisiklik Antidepresan
Serotonin dan neurotransmiter katekolaminergik berperan dalam modulasi nosiseptor.
Beberapa obat anti depresan berperan dalam menghambat pengambilan noradrenalin
dan serotonin dalam CNS dan medula. Hal ini dapat meningkatkan konsentrasi
neurotransmiter pada synaps.1 Contoh trisiklik antidepresan yaitu: amitriptilin,
desipramin,imipramin, nortriptilin. Obat ini dapat diguanakan untuk mengatasi nyeri
secara umum dan nyeri neuropati. 3
Kortikosteroid.
Kortikosteroid merupakan obat ajuvan yang penting pada penderita kanker terutama
stadium lanjut. Kortikosteroid memberikan efek anti infamasi, elevasi mood, anti
emetik, memperbaiki nyeri, dan meningkatkan nafsu makan. Obat ini menurunkan
myeri denga efek anti infamasinya yang menurunkan release asam arakidonatuntuk
membentuk prostaglandin.3 Obat ini digunakan untuk menanggulangi nyeri neuropati
karena peningkatan tekanan intrakranial. Steroid sistemik diduga menurunkan edema
perineural dan edema linfatik yang menimbulkan nyeri dengan menekan saraf.
Pengobatan ini spesifik untuk kasus-kasus kompresi spinal cord. Sedangkan terapi
untuk mengatasi kompresi saraf menggunakan deksametason dosis tinggi, hampir 30
mg/hari. Jika tidak didapatkan peningkatan rasa nyeri, dosis dapat diturunkan secara
bertahap selama 3-5 hari. Pada pemberian kortikosteroid harus diawasi timbulnya
kandidiasis oral atau vagina.1 Efek yang tidak diinginkan pada oabat ini adalah
hiperglikemia, peningkatan berat badan, miopati, disporia atau psikosis yang
merupakan komplikasi terapi jangka panjang. 3
Antikonvulsan
Antikonvulsan digunakan sebagai pelengkap analgesik. Golongan ini menekan rasa
terbakar dari saraf dan telah digunakan untuk mengobati nyeri neuropati, termasuk
nyeri trigeminal, neuropati perifer. Yang termasuk golongan ini adalah karbamazepin,
sodium valproat, klonazeam, gabapentin, fenitonin. Obat-obatan ini dimulai dari dosis
rendah dan secara bertahap ditingkatkan untuk menghindari efek samping seperti
dizziness, ataksia, drowsiness, pandangan kabur, dan iritasi saluran cerna.1
Agonis alfa 2 adrenergik
28
Agonis alfa 2 adrenergik seperti clonidin dapat menjadi analgesia tambahan yang
efktif antara nyeri nosiseptif ataupun neuropati. Cara kerjanya pada level spinal cord
dengan 2 jalan . Cara yang pertama , dengan bekerja sesuai denga cara kerja opioid,
yaitu bekerja pada neuron yang sama di spinal cord dan dan menghasilkan reaski
intraseluler yang sama namun berbeda reseptor. Hal tersebut untuk mengatasi nyeri
nosiseptif. Cara ke-2, menurunkan simpatetic outflowyang mempengaruhi nyeri
neuropati.. Obat ini dapat diberikan secara sistemik atau intraspinal. Efek sampingnya
berupa letargi, mulut kering, dan hipotensi.
Neuroleptik/Antipsikotik
Antipsikotik (misalnya, haloperidol, klorpromasin, risperidon) dan anti cemas
(lorazepam) telah lama disebutkan memiliki efek memperkuat pengaruh analgesik
opioid. Haloperodol memiliki kegunaan dalam penanganan konfulsi akut pada kanker
terminal.
Perangsang Saraf Pusat
Yang termasuk kelompok ini adalah amfetamin, kokain, dan kafein. Pengobatan nyeri
kanker kronis dapat menggunakan Brompton’s cocktail. Campuran ini mengandung
morfin, kokain dan fenotiazin.
BAB 3
KESIMPULAN
29
Nyeri merupakan salah satu keluhan pada penderita kanker dan memiliki dampak
pada fungsi fisiologis tubuh dan juga mempengaruhi kualitas hidup penderita.
Pengelolaan nyeri yang tidak adekuat bukan saja akan meningkatkan nmorbiditas dan
mortalitas, namun dipandang sebagai suatu hal yang tidak manusia Oleh sebab itu,
nyeri kanker harus ditangani dengan adekuat.
Penanganan dari nyeri kanker ini memerlukan penanganan multidisiplin.
Intervensinya meliputi berbagai komponen, mulai dari penyakitnya, psikologis,
kondisi fisik dan efek samping pengobatan. Pemahaman tentang patofisiologi nyeri
sangat penting guna melakukan pengelolaan atau pengobatan yang rasional, yaitu cara
multi modal analgesia (balance analgesia), yaitu pengobatanm dengan
mengkombinasikan 2 macam obat atau lebih, yang mekanisme kerjanya berbeda ,
namun menghasilkan analgesia yang optimal dengan efek samping yang minimal.
Salah satu penanganan nyeri kanker adalah melalui pendekatan WHO
analgetic ladder yang angka keberhasilannya dalam mengatasi nyeri kanker mencapai
90%. Step-step dalam WHO analgesic ladder memberikan tuntunan dalam pemilihan
obat sesuai intensitas nyeri yang dirasakan penderita. Penerapan dari penanganan
nyeri kanker secara komprehensif sangat membantu penderita kanker dalam
mengatasi kesulitan yang dihadapinya, setidaknya dapat meningkatkan kualitas hidup
mereka.
Daftar Pustaka
30
1. Suwiyoga IK. Penanganan Nyeri Pada Kanker serviks Stadium Lanjut. MKU 2004; vol 35: no 123: 14-21.
2. Suardi DR. Pengelolaan Nyeri Kanker. IDSAI 2000: 89-94.
3. Thomas JR, Ferris FD, & Gunten CF. Approach to the Management of Cancer Pain. In: Benzon, Raja, Molloy, Liv, Fishman, editors. Essential of Pain Medicine and Regional Anesthesia; edisi ke-2, Philadelphia: Elsevier, 2005:525-541.
4. Nyeri. Dalam: diktat kuliah anestesiologi. SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif 2001.
5. Pathophysiology of Pain [serial online] 2004. Available http://www.arhg.gov/clinic.htm. Accessed : 5 Desember, 2005.
6. Morgan GE dan Mikhail MS. Pain management. In: Clinical anesthesiology; edisi ke 2. Stamford: Appleton and Lange; 1996: 274-316.
7. Hamil RJ & Rowlingson JC. The Physiologic and Metabolic Response to Pain and Stress. In: Handbook of Critical Care Pain management. New York; McGraw-Hill; 1994: 13-25.
8. Hamil RJ & Rowlingson JC. The Assesment of Pain . In: Handbook of Critical Care Pain management. New York; McGraw-Hill; 1994: 13-25.
9. Benzon et all. The Assesment of Pain. In essential of Pain Medicine and Regional Anesthesia. Edisi ke-2. Philadelphia; livingstone ;2005
10. Instruction for Numeric Pain Scale. Children and Women`s Service Nursing Devision [serial online] 2003. Available from: http://www.vh.org/pediatric. Accessed: 5 Desember , 2005.
11. Fitzgibbon DR. Cancer Pain Management. In: Loeser JD, editor. Bonica`s Management Of Pain; edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott Williams & Walkins; 2001:659-695.
12. Pharmacologic Management. Cancer info [serial online] 2004. available: http://www.cancer.gov/cancerinfo. accessed: 5 Desember , 2005.
13. Managenent of Cancer Pain.rhrg [serial online] 2002. Available: http://www.ahrg.gov/clinic/epcsums/canpainsum.htm. accessed: 5 Desember , 2005.
31
32
top related