Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012
Post on 20-Mar-2016
289 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
S E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A Ndi!aMedia Dunia Disabilitas
Angkie Yudistira: Menembus Keterbatasan
Lepra Masih Serius
No. 15 -‐ Maret 2012 Rp 21.500,-‐
Hak Suara
Rumah AnakTunaganda
h.06 h.32 h.62
Penyandang Disabilitas
FA diffa_15 Maret.indd 1 2/17/12 11:21 PM
Hak Politik Penyandang
Disabilitas
FA diffa_15 Maret.indd 2 2/17/12 11:22 PM
mata hati
03diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Hak Politik Penyandang
Disabilitas Did
i Pu
rnom
o
di!aS E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A N
Pemimpin Perusahaan/Pemimpin RedaksiFX Rudy Gunawan
General ManagerJonna Damanik
Redaktur EksekutifNestor Rico Tambunan
KonsultanYunanto Ali, HandoyoSinta Nuriah WahidMohamad Sobary, Jefri Fernando
RedakturIrwan Dwi KustantoAria IndrawatiMila K. KamilPurnama Ningsih
KontributorAndhika Puspita Dewi (Semarang)Fadjar Sodiq (Bandung)Jerry Omona (Papua)Muhlis Suhaeri (Pontianak)Yovinus Guntur (Surabaya)Bambang Prasetyo (Bandung)
Redaktur BahasaArwani
Redaktur KreatifEmilia Susiati
Fotografer Adrian Mulja
IlustratorDidi Purnomo
PemasaranSigit D. Pratama
AdministrasiEka Rosdiana
Distribusi dan SirkulasiJonna DamanikBerliaman HalohoPT Trubus Media SwadayaJl Gunung Sahari III/7Jakarta Pusat 10610
PenerbitPT Diffa Swara MediaYayasan Mitra Netra
PercetakanPT Penebar Swadaya
Alamat RedaksiJl. Salemba Tengah No. 39 BB Lt. 2 Jakarta Pusat 12430
Telepon 62 21 44278887Faxs 62 21 3928562e-mail: redaksi@majalahdiffa.com
TAHUN 2012 ini, mungkin pada kwartal atau semester pertama, Jakarta bakal punya hajat
besar, yaitu pemilihan gubernur. Sebagai kota yang super semrawut, mulai dari lalu lintas,
kepadatan penduduk, drainase, tata kota, hingga gaya hidupnya, tentu saja Jakarta membu-
tuhkan gubernur yang juga super hebat. Seorang pemimpin super dengan kualitas luar biasa.
luar biasa. Punya integritas kuat, tidak korup, bijaksana, tidak mementingkan diri sendiri, berdedikasi, dan
berkomitmen tinggi pada tanggungjawab yang diembannya, mampu mengayomi rakyat, berani mem-
Tentu kita berharap gubernur yang baru nanti memiliki sekurangnya setengah atau sepertiga saja kualitas
pemimpin super itu. Syukur-syukur kita mendapatkan pemimpin yang memiliki seluruh kualitas itu.
Namun sebelum harapan itu melambung terlalu jauh dan bisa membuat sakit parah, lebih baik kita
mencoba mengkaji satu aspek saja sesuai dengan kapasitas dan kompetensi kita. Urusannya akan jadi
politik para penyandang disabilitas. Ini persoalan yang sejak zaman Presiden Soekarno, Soeharto, bahkan
hingga Gus Dur yang juga seorang tunanetra, belum pernah dianggap penting atau dijadikan sebagai salah
satu prioritas oleh para pemimpin bangsa ini. Sampai ke periode kedua pemerintahan Presiden Yudhoyono
pun, persoalan hak politik para penyandang disabilitas belum terwacanakan sebagai hal penting. Memang
sudah ada juga peraturan daerah (perda) di DKI Jakarta dan juga Jawa Tengah yang mengharuskan adanya
aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas di tempat-tempat umum, namun tetap ada kendala-kendala
yang sama dalam pewujudan peraturan tersebut.
Semua kendala tersebut bisa menjadi sulit atau bahkan tak terselesaikan bila persoalan substansial
dari kehidupan para penyandang disabilitas belum diselesaikan. Salah satu persoalan substansial itu
adalah soal pemenuhan hak politik para penyandang disabilitas. Jelas tak mungkin mengakomodasi
aspirasi, pemikiran, atau keinginan para penyandang disabilitas bila mereka tak punya akses pada ke kuasa
an. Sementara, kita tahu persis akses pada kekuasaan hanya dapat diperoleh jika semua kelompok atau
komunitas yang ada di masyarakat memiliki dan terpenuhi hak politiknya. Dalam mekanisme demokrasi,
maka yang pertama-tama harus dipenuhi adalah akses pada proses pemilihan umum atau penggunaan
hak suara.
Bagi kelompok masyarakat non-disabilitas, hak suara sepertinya bukan suatu persoalan besar. Selama
mereka memiliki identitas diri yang resmi, maka bisa menggunakan hak suara dalam berbagai tingkat
pemilihan umum. Namun bagi penyandang disabilitas seperti tunanetra, tunarungu, tunadaksa, atau
tunagrahita, untuk bisa menggunakan hak suara dalam pemilu perlu perjuangan khusus yang tidak mu-
dah. Diperlukan fasilitas khusus agar sebuah bilik suara aksesibel bagi penyandang disabilitas yang mana
pun. Tunanetra membutuhkan kertas suara dengan huruf Braille, tunadaksa, tunarungu, dan tunagrahita
perlu pendamping yang bisa menjaga kerahasiaan dan membantu mereka selama proses pemilu. Seorang
tunarungu memang bisa datang sendiri ke bilik suara, namun karena tak mendengar saat dipanggil maka
sia-sia saja datang. Itulah contoh-contoh kecil yang hingga puluhan tahun kita merdeka tetap saja belum
dianggap penting. Semoga, dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 dan Pemilu Presiden 2014 dan
pemilu-pemilu lainnya, aksesibilitas tersebut mulai terwujud sehingga hak politik para penyandang dis-
abilitias mulai terpenuhi.
Inilah persoalan substansial yang harus selesai terlebih dahulu dan menjadi pekerjaan rumah atau
tantangan bagi siapa pun yang ingin menjadi pemimpin bangsa ini. FX Rudy Gunawan
Foto
: Sig
it D
Pra
tam
a
FA diffa_15 Maret.indd 3 2/17/12 11:22 PM
sambung rasa
04 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Dear diffa
Saya mempunyai seorang anak dengan Cerebral Palsy. Saat
ini anak saya berusia 14 tahun. Sudah remaja. Saya ingin sedikit
sharing.
Suatu hari saya mengajak anak saya makan di food court di
sebuah mal. Di food court itu kursi roda anak saya harus melewati
kerumunan orang. Kebetulan juga jalannya sempit. Meski sudah
bilang “permisi” agar orang-orang berkenan memberi jalan agar
kursi roda tidak menabrak orang, tetap saja tangan anak saya yang
sering bergerak-gerak secara tidak sengaja menyenggol, maaf, pan-
tat seorang ibu muda. Dengan nada marah, ibu itu bilang kepada
saya, “Meski cacat, paling nggak ajarin sopan santun, dong!”
Bagaimanapun, inilah realitas yang harus dihadapi jika
membawa anak saya ke tengah masyarakat, yaitu harus mau dan
berani menghadapi omongan-omongan “kasar” seperti itu. Meski
saya sudah meminta maaf dan mencoba menerangkan bahwa
anak saya punya masalah pada koordinasi gerakan, pada motorik
halus dan kasarnya, dan kami masih terus melatihnya agar bisa
lebih baik, tetap saja ibu itu marah-marah terus.
Langsung otak ini ke masa lalu. Masuk di tempat yang
sama, dengan peristiwa yang juga bisa dibilang sama. Kala itu
anak saya juga menyenggol orang di food court ini. Tapi reaksinya
berbeda, karena waktu itu anak saya masih kecil. Ibu yang kena
senggol masih bisa “tersenyum”. Mungkin masih maklum, karena
yang menyenggol anak-anak.
Setelah pulang dari food court, meski sedikit kesal saya jadi
berpikir juga. Mengapa kali ini reaksi orang bisa begitu berbeda?
Memang sih, orangnya beda, jadi reaksinya bisa saja beda. Tapi, apa
mungkin karena anak saya badannya sudah besar dan sudah tidak
dianggap anak-anak lagi, sehingga “tuntutan” kepadanya juga
jadi naik? Ia harus bersikap “dewasa”. Tantangannya, di dalam be-
berapa jenis disabilitas ada yang antara besar badan atau umur dan
tingkah laku sering dianggap tidak sinkron. Seperti kondisi anak
saya. Meski sebenarnya itu juga lebih karena reaksi motoriknya,
bukan karena tingkah laku atau sifat dia seperti itu. Juga bukan
karena dia tidak sopan.
Seandainya saja ibu muda itu tahu bagaimana kami sekeluarga
mengajarkan bahasa isyarat kepada anak saya. Misalnya, “terima
kasih” atau “tolong”. Kami harus jungkir balik untuk itu. Jadi,
sebenarnya jangan dianggap kami tidak mencoba mengajarkan
sopan santun kepada anak kami. Ya, itu baru salah satu contoh
kejadian “kecil”. Dalam membesarkan anak yang masih kecil dan
yang mulai masuk remaja, tantangan yang harus dihadapi bisa
menjadi sangat baru atau bahkan berbeda.
Mungkin diffa bisa membantu saya dengan mengulas persoalan-
persoalan yang dihadapi remaja yang menyandang disabilitas.
Apa saja yang harus dipersiapkan atau diperhatikan orang tua
dalam membimbing anak-anak yang menyandang disabilitas
dalam memasuki masa remaja? Mungkin juga ada tips-tips atau
sharing dari sesama orang tua dalam mengatasi persoalan-per-
soalan itu.
Terima kasih.
Irma Koswara
Did
i Pu
rnom
o
FA diffa_15 Maret.indd 4 2/17/12 11:22 PM
daftar isi
05diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Memperjuangkan Hak Suara Penyandang Disabilitas 09
sudut pandang Benang Merah Kehidupan
35
biografi Nick Vujinic, Menjadi Motivator
Tingkat Dunia 66
jendelaKisah Sedih Anak Tunagrahita
dari Philadelphia 27
kolom mas bejo Pengalaman Berharga & Ber-‐
gengsi 30
persepsiMasalah Kusta, Diskriminasi dan
Stigmatisasi 32
jejakJalan-‐jalan ke Malang 39
apresiasi 38puisi 44konsultasi pendidikan 46ruang hati 48bingkai bisnis 50cerpen 52bisikan angin 55bugar 56inklusif 59pindai 62beranda 65cermor 69pelangi 70
mata hatiHak Politik Penyandang Disabili-‐
tas 03
cerita sampulMenyulap Keterbatasan 06
pirantiKenguru 08
tapakMempersiapkan Guru Inklusi 20
sosokGuru gamelan Berbekal Kesaba-‐
ran 24
berandaDeteksi Dini Anak Autis 26
Ralat Foto
Dalam Majalah diffa edisi 14, Februari 2012,
pada artikel liputan DIS Bienalle Jogja XI,
Semangat Kesetaraan Disabilitas dalam Seni
ada kesalahan dalam kredit foto. Kredit foto
tersebut seharusnya Farhan Adityasmara,
tapi tercetak Sigit D Pratama. Atas kesalahan
tersebut diffa mohon maaf kepada rekan
Farhan Adityasmara dari Metropole Light-
berry.
FA diffa_15 Maret.indd 5 2/17/12 11:22 PM
cerita sampul
SIANG itu fotografer diffa Adrian dan Sigit tiba di studio VHR Media,
Ragunan, pas jam makan siang. Namun keduanya menolak diajak
makan. “Nanti aja,” kata Adrian. Keduanya bergegas menyiapkan pro-
perti pemotretan.
Sekitar satu jam kemudian semua properti siap sudah. Barulah
Adrian dan Sigit makan, sambil menunggu Angkie Yudistia, penyandang tuna-
rungu yang rencananya akan dipotret untuk model sampul diffa edisi Maret 2012.
Beberapa lama menunggu, Angkie datang. Angkie keluar dari mobilnya sam-
bil tersenyum. “Sorry ya, agak telat. Habis, macet banget,” ujarnya.
Meski tunarungu, Angkie berbicara cukup jelas. Ia cepat menangkap pem-
bicaraan dengan membaca gerak bibir. Sekilas tak terlihat kesan gadis ini yang
memiliki keterbatasan pendengaran. Parasnya cantik, penampilannya modis.
Kami memasuki ruangan studio. Kru diffa memperkenalkan diri, termasuk
FX Rudy, Pemred diffa. “Kok, di sini cowok semua?” tanya Angkie sambil tertawa
lebar. “Cewek-ceweknya ada di lantai dua,” sahut Rudy.
06 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
MenyulapKeterbatasan
Foto
: Sig
it D
Pra
tam
a
FA diffa_15 Maret.indd 6 2/17/12 11:22 PM
Setelah berbincang beberapa saat, Angkie bersiap dan berganti
pa kaian. Adrian memaparkan sedikit angle pemotretan yang akan dilakukan.
Angkie mengangguk cepat mengerti.
Angkie putri pasangan Hadi Sanjoto dan Indiarty Kaharman. Ia mengalami
hambatan pendengaran saat berusia 10 tahun. Angkie harus sekolah di sekolah
umum, karena mengikuti orang tuanya yang sering pindah tempat tugas.
Bergabung di sekolah umum membuat Angkie tertekan. Ia sering mendapat
perlakuan tidak adil dan dikucilkan oleh teman sejak di sekolah dasar. “Waktu itu
aku sering diejek teman-temanku, karena mereka mengira aku telmi (telat mikir).
Aku sempat down dan selalu mikir kenapa aku berbeda dari teman-teman lain.
Tapi aku berusaha untuk . Dan inilah yang
membawa aku selalu berjuang dan bisa menyelesaikan studiku,” ujarnya.
Dengan keyakinan yang kuat, Angkie berhasil menyelesaikan S2 Marketing
Communication di The London School of Public Relations Jakarta. Angkie juga
kemudian bergabung dengan Sehjira, organisasi sosial penyandang tunarungu,
sebagai relawan . Kiprah ini membawa Angkie lebih dalam ke
dunia disabilitas, yaitu semangat untuk memperjuangkan hak-hak penyandang
disabilitas lain.
Berbekal pengalaman dan pengetahuan mengenai disabilitas, pada tahun
2010 Angkie mewakili Indonesia mengikuti Disability Equality Training di Asian
-
ing Training di Strasbourg, Prancis.
Ilmu baru menuntun Angkie menggagas gerakan peduli disabilitas melalui
Gerakan Pita Biru. Melalui gerakan ini Angkie mengajak mem-
bantu tunarungu yang tidak mampu secara ekonomi. Angkie berhasil mengajak
3 juta orang yang berempati.
Dalam rangkaian gerakan tersebut, Angkie juga menerbitkan buku Perem
. Buku ini berkisah tentang pengalaman
pribadinya menembus keterbatasan pendengaran. Buku ini diharapkan meng-
inspirasi dan memotivasi teman-temannya, termasuk penyandang disabilitas
jenis lain, untuk selalu yakin bahwa di balik keterbatasan ada kelebihan. “Kita ha-
rus menjadikannya sebuah kelebihan. Tidak ada masalah tanpa solusi,” ujarnya.
Angkie mengaku menjadikan itu pedoman hidupnya.
Angkie juga mendirikan Dissable Enterprise untuk membantu teman-teman
penyandang disabilitas berkarya dalam bidang . Itu impiannya.
Ia ingin teman-teman penyandang disabilitas dapat lebih berkarya tanpa dis-
kriminasi, mandiri, dan mendapat kesempatan yang sama di masyarakat luas.
Tidak sulit mengarahkan gaya Angkie dalam sesi pemotretan. Dara ini
agaknya sudah terbiasa bergaya di depan kamera. Semua arahan Adrian dilaku-
kan dengan cepat dan Sigit terus mengabadikan dengan kameranya.
Sekitar satu jam kemudian, Adrian berkata, “Cukup!” Artinya, foto cantik un-
tuk sampul diffa sudah didapat.
Jonna Damanik
07diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
FA diffa_15 Maret.indd 7 2/17/12 11:22 PM
piranti
KenguruMOBIL mungil
bertenaga listrik de-
ngan penggerak roda
belakang dengan
roda berukuran 12
inchi ini diciptakan khusus untuk penyan-
dang disabilitas. Mobil buatan Hongaria
ini hanya memiliki sebuah pintu di bagian
belakang yang seperti pintu bagasi pada
kendaraan umumnya. Bedanya, pintu itu
memiliki ram di bagian bawah yang dapat
membuat kursi roda langsung memasuki
bagian kabin. Pintu ini bisa dibuka dan
ditutup menggunakan remote bertenaga
listrik yang terintegrasi pada kendaraan.
Semangat kesetaraan yang dibawa
terwakili dengan berbagai kemudah-
an yang diberikan kepada penyan-
dang tunadaksa yang menggunakan
kendaraan ini. Kenguru memberikan
kesempatan bagi tunadaksa untuk
melakukan mobilitas ke mana pun,
tanpa kerumitan harus antre di tempat
pengisian bahan bakar.
Penyandang tunadaksa dapat
mengendarai mobil berukuran
panjang 2,2 meter, lebar 1,6 meter,
dan tinggi 1,5 meter ini. Badan mobil
miliki material rangka dari baja.
Untuk me ngendalikan disediakan
seperti mengendarai motor
dengan berbagai tombol fungsi. Mobil
mungil ini mampu melaju hingga 40
kilo meter per jam dan dengan jarak
maksimal 110 kilometer dalam sekali
pengisian daya (charge).
Sayang, mobil merek Kenguru
yang mengusung slogan “mobility
for disabled” ini belum masuk pasar
Indonesia. Melihat fungsi dan sema-
ngat yang diusungnya,
semoga mobil ini segera masuk Indo-
nesia dengan pajak rendah dan harga
murah, sehingga banyak penyandang
tunadaksa dapat memiliki dan meng-
endarainya.
08 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Foto
: Sig
it D
Pra
tam
a
Foto
: Is
tim
ew
a
FA diffa_15 Maret.indd 8 2/17/12 11:22 PM
retina
Di Jakarta baru saja berlangsung pertemuan
regional mengenai akses penyandang disabilitas
dalam pemilihan umum. Bagian dari langkah
memperjuangkan hak politik warga negara
penyandang disabilitas
09diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Memperjuangkan Hak Suara
Penyandang Disabilitas
Foto
: Sig
it D
Pra
tam
a
FA diffa_15 Maret.indd 9 2/17/12 11:22 PM
10 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
FA diffa_15 Maret.indd 10 2/17/12 11:22 PM
KONFERENSI Regional Access to Elections for Persons with Dis-
abilities dilaksanakan di Hotel Pullman, Jakarta, 1 - 2 Februari
2012. Acara dengan tema
Person with Disabilities Promo Election Access for All ini dihadiri
150-an peserta dari Indonesia, Thailand, Jepang, Myanmar, Viet-
nam, Filipina, Laos, Timor Leste, Kamboja, Brunei, Malaysia, dan perwakilan dari
berbagai organisasi internasional.
Mereka para tokoh dari organisasi penyandang disabilitas dan lembaga yang
hambatan umum yang dihadapi penyandang disabilitas dalam menggunakan
hak-hak politiknya. Supaya kita saling tahu dari berbagai negara dan
dibagikan dengan negara lain. Kita saling belajar,” kata Yusdiana, Ketua Pelaksana
Konferensi dari General Election Network for Disability Access (AGENDA).
AGENDA adalah lembaga yang dibentuk Persatuan Penyandang Cacat
Indonesia (PPCI), Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Penyandang Cacat, dan
International Foundation for Electoral Systems (IFES) dengan dukungan United
States Agency for International Development (USAID). Konferensi dibuka secara
resmi oleh Wakil Menteri Luar Negeri H.E. Wardana, mewakili Menlu Marty
Natalegawa yang berhalangan hadir.
Wacana Berbagai NegaraSelama dua hari pertemuan dialog, para tokoh dan pemerhati dari pihak
pemerintahan dan organisasi disabilitas dari berbagai negara dan lembaga inter-
nasional berbicara menyampaikan pandangan dan pengalaman.
11diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
FA diffa_15 Maret.indd 11 2/17/12 11:22 PM
Fakta yang terungkap dari sesi-
sesi pertemuan itu, di antara delapan
negara ASEAN ada yang memiliki
pengalaman relatif baik dalam pelak-
sanaan pemilihan umum, tapi belum
baik dalam akses penyandang disabili-
tas. Indonesia dinilai masuk kategori
ini. Ada yang memiliki pengalaman
bagus dalam penanganan hak-hak
penyandang disabilitas, tapi belum
bagus dalam pelaksanaan pemilihan
umum. Ada pula yang dinilai sudah
cukup baik dalam kedua hal itu, yaitu
Filipina dan Thailand.
Josephine de Vera, tokoh pe-
nyandang tunadaksa dari Filipina
menceritakan langkah kreatif yang
dilakukan KAMPI, federasi organisasi
penyandang disabilitas di Filipina
dalam mendata anggota. Organisasi
ini bekerja sama dengan jaringan mal
terkemuka di seluruh provinsi. Pen-
dataan penyandang disabilitas dilaku-
kan di mal-mal tersebut. Pihak mal
pun sangat tidak keberatan, karena
setelah mengikuti pendataan, para
penyandang disabilitas berbelanja di
mal tersebut.
Dengan memiliki data yang
lengkap dan akurat, KAMPI di tiap
provinsi dapat dengan lebih mudah
menyampaikan kebutuhan anggota
dalam berpartisipasi di pemilu ke-
pada lembaga penyelenggara pemilu
tingkat provinsi.
Thailand memiliki pakar-pakar
disabilitas untuk membantu peme-
rintah dalam menyelesaikan masalah
disabilitas. Adanya dukungan media
untuk penyandang disabilitas, seperti
buku panduan dengan huruf Braille
atau video dengan bahasa isyarat,
membuat pendidikan politik bagi
penyandang disabilitas berjalan baik.
Negara ini juga sudah memiliki ang-
gota parlemen perwakilan penyan-
dang disabilitas.
Hal itu, misalnya, sangat jauh
berbeda dari cerita dari Timor Leste.
Menurut Joaozito dos Santos, satu-
satunya peserta dari Timor Leste,
dalam aksesbilitas gedung saja, 90
persen lebih gedung Timor Leste
belum memenuhi aksesbilitas. Sebab,
baru 2 gedung, kantor presiden dan de-
partemen luar negeri, yang memiliki
lift dan ram. “Di bidang transportasi
juga sama. 99 persen tidak aksesbilitas,”
katanya.
Begitu pula dalam bidang
pendidik an. Di Timor Leste hanya
ada sebuah sekolah dasar luar biasa
(SDLB). “Kalau ingin melanjutkan ke
SMP dan SMA, tidak ada sekolahnya.
Mungkin harus ke Indonesia,” kata
Joaozito dengan senyum getir.
Pembicara dari Indonesia Selain menjadi moderator, ba-
nyak tokoh Indonesia tampil sebagai
pembicara. Antara lain Saharuddin
Daming, doktor hukum tunanetra dan
anggota Komnas HAM penyandang
disabilitas pertama. Juga Hadar N.
Gumay, Direktur Centre for Electoral
Reform (CETRO), dan Prof. Irwanto dari
Centre of Disability Studies, Universi-
tas Indonesia.
12 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
FA diffa_15 Maret.indd 12 2/17/12 11:22 PM
Tidak hanya dari Jakarta, dari
daerah tampil Suryatiningsih Budi
Lestari dari KPU Yogyakarta. Ningsih
menuturkan, keberadaannya sebagai
penyandang disabilitas tunadaksa
menjadi anggota KPU Sleman telah
membuat pemilu di daerahnya benar-
benar memenuhi akses penyandang
disabilitas. Ada alokasi anggaran yang
cukup, karena ia berhasil meyakinkan
DPRD bahwa itu memang diperlukan.
Ada alat bantu untuk pendidikan
pemilih dan saat pemungutan suara.
Pemilu yang lebih aksesibel itu juga
telah memungkinkan penyandang
tunanetra menjadi anggota DPRD di
Kabupaten Sleman.
Satu hal yang jelas, semua peserta
bersepakat peningkatan peran pe-
nyandang disabilitas dalam pemilihan
umum harus menjadi komitmen ber-
sama negara-negara ASEAN. Semua
negara di regional ini harus berusaha
memajukan peran serta penyandang
disabilitas melalui partisipasi politik,
sehingga hak-hak sosial, ekonomi, bu-
daya, pendidikan mereka juga makin
tersentuh dan terpenuhi. Untuk itu
dituntut peran aktif pemerintah dan
pihak yang berkaitan, terutama kala-
ngan disabilitas sendiri.
Simulasi Pemilu AksesibelBukan hanya kebijakan-kebijakan
politis atau konsep pemilihan umum
yang menjadi bahan dialog dalam
konferensi, melainkan juga mem-
bicarakan penerapan, bahkan melaku-
kan simulasi pemilu akses disabilitas.
Dalam simulasi pemilu aksesi-
bel, peserta konferensi diperlakukan
layaknya penyandang disabilitas yang
memiliki hambatan pada proses pe-
milihan. Peserta dialog non-disabilitas
dibuat ikut merasakan menjadi pe-
nyandang disabilitas dengan menggu-
nakan penutup mata seolah tunanetra
atau diikat kaki atau tangannya seolah
tunadaksa.
Perlakuan terhadap disabilitas
saat akan memilih dibeda-bedakan
berdasarkan kondisi disabilitasnya.
Tunanetra disediakan tongkat dan
pemandu. Tunadaksa disediakan kursi
roda. Pokoknya dibuat seperti tempat
pemilihan suara sesungguhnya.
Dalam perlengkapan pemilihan
suara ada penambahan perangkat
pemilihan. Contohnya lapisan stiker
timbul dengan huruf Braille bagi
tunanetra pada lembar pilih. Tersedia
lembar persetujuan bagi disabilitas
yang membutuhkan pendamping,
Pendamping, yang disediakan panitia
memiliki hak untuk ikut masuk ke
dalam bilik suara.
Alur pemilih dalam menentukan
pilihannya sama dengan alur umum.
Pemilih mendaftarkan diri dengan
membawa kartu pemilih, menentu-
kan pendamping, menyetujui hak
pendamping dan alat bantu yang
dibutuhkan, mengambil surat pemilih
13diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Foto
: Sig
it D
Pra
tam
a
FA diffa_15 Maret.indd 13 2/17/12 11:22 PM
(bagi tunanetra dibedakan dengan
menyertakan huruf Braille), masuk ke
dalam bilik, memasukkan kertas suara
ke dalam kotak, dan menandai tangan
dengan tinta sebagai tanda sudah
melakukan hak pilih.
Peserta yang mengikuti simula-
si kemudian diminta menuliskan
pendapat atau saran. Kekurangan
atau keluhan dicatat untuk kemudian
dirumuskan dan dicari jalan keluar.
Suasana simulasi berlangsung seru,
seolah berada di tempat pemungutan
suara.
Alat Bantu TeknologiTopik khusus lain yang cukup me-
narik dalam konferensi adalah adalah
membuat pemilu menjadi aksesibel
untuk penyandang disabilitas dengan
memanfaatkan alat bantu teknologi,
khususnya untuk tunanetra.
Ada beberapa jenis bantuan
teknologi bagi tunanetra membuat
pemilihan umum menjadi aksesibel.
Pertama dengan bantuan suara. Kedua
dengan bantuan perabaan. Bantuan
pertama adalah fasilitas
thesizer yang menginformasikan me-
lalui suara bagaimana tunanetra dapat
memberikan suaranya. Kedua, fasilitas
tombol yang dapat diraba.
synthesizer akan memberitahukan
ada tombol dengan bentuk berbeda
serta fungsi tombol tersebut. Misalnya,
jika memilih kandidat A, silakan tekan
tombol berbentuk kotak. Untuk kandi-
dat B, silakan tekan tombol berbentuk
bulat. Dan seterusnya. Hal ini sudah
diterapkan di Amerika Serikat.
Ketiga adalah fasilitas
recognition. Tunanetra cukup menye-
butkan pilihannya, dan alat bantu
teknologi akan membantu merekam
pilihan tersebut. Idealnya, alat bantu
semacam ini merupakan bagian dari
kelengkapan tempat pemungutan
suara.
Secara prinsip, ada atau tidak
pemilih tunanetra, fasilitas ini harus
disediakan. Yang tak kalah penting,
harus ada pelatihan dan pendidikan
bagi para pemilih tunanetra bahwa
penyelenggara pemilu menyediakan
alat bantu ini dan bagaimana cara me-
manfaatkannya. Tentu pengadaan alat
seperti ini membuat biaya pemilihan
umum jadi mahal.
Peran diffa Satu hal yang membanggakan,
diffa sebagai majalah pertama dan
satu-satunya di Indonesia dengan
konten disabilitas mendapat kehor-
matan berperan dalam konferensi dua
hari itu. Tim majalah ini dipercaya
menerbitkan newsletter, semacam tab-
loid berita mengenai konferesi selama
dua hari.
Di bawah komando Pemimpen
Redaksi FX Rudy Gunawan dan Gene-
ral Manager Jonna Damnanik, kru
diffa sibuk meliput, memotret, dan
mewawancarai peserta selama sesi
konferensi berlangsung. Foto langsung
dipilih, berita yang dibut diterjemah-
kan ke bahasa Inggris, kemudian
di-layout langsung di tempat. Aria
Indrawati, redaktur diffa yang juga
terlibat dalam konferensi sebagai mo-
derator, ikut sibuk melakukan liputan.
Satu hal yang tak kalah memba-
nggakan, hasil jadi newsletter ber-
bentuk tabloid mini 8 halaman itu
mendapat supervisi langsung dari
pihak IFES di Amerika Serikat. Desain
yang dinilai sudah oke kemudian
dibawa ke percetakan malam itu juga.
Besok paginya ketika peserta konfe-
rensi masuk rua ngan sudah mendapat
berita-berita dan liputan dari hari
sebelumnya.
Para peserta tampak senang dan
menerima newsletter berba-
han kertas dengan foto-foto
bagus. “Hebat! Bagus sekali. Cepat
sekali buatnya,” kata Joaozito dos San-
tos, peserta dari Timor Leste.
Sukses membuat newsletter itu
memberikan kebanggaan tersendiri
bagi tim diffa, karena mampu menger-
jakan kepercayaan yang diberikan,
meski harus bekerja hingga fajar. Lebih
dari itu, diffa bisa ikut berperan dalam
berbagai dinamika dunia disabili-
tas, bukan hanya di Indonesia, juga
tingkat regional.
Sama bangganya dengan reaksi
para peserta konferensi yang mampir
di stand diffa. Mereka kagum ada
majalah khusus mengenai disabilitas.
Banyak peserta membeli majalah
diffa, meskipun tidak bisa berbahasa
14 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
FA diffa_15 Maret.indd 14 2/17/12 11:22 PM
Indonesia. Mungkin sebagai inspirasi
untuk membuat majalah yang sama di
negeranya.
Langkah LebihPertemuan dua hari yang berlang-
sung dengan sesi ketat dan topik padat
ini ditutup pada 2 Februari sore. Acara
penutupan berlangsung sederhana,
dengan ucapan terima kasih dari
panitia pelaksana. Peserta dari delapan
negara dan berbagai lembaga interna-
sional terlihat puas.
Ketua Panitia Pelaksana Yusdiana
mengatakan, pertemuan dialog ini
memberikan pelajaran berharga me-
ngenai dua topik utama, yaitu pemili-
han umum dan masalah disabilitas.
“Berbagai dari pengalam-
an didengar untuk dilaksanakan di
negara lain. Sekarang kita saling mem-
beri informasi dulu. Saling tahu dulu.”
Wacana yang lahir dari per-
temuan ini, menurut Yusdiana, antara
lain akan ada kerja sama lanjutan di
antara delapan negara dalam jaringan
AGENDA dalam meningkatkan peran
penyandang disabilitas dalam pe-
milihan umum. Selain kemungkinan
pertemuan dialog kedua dalam waktu
dekat, juga akan ada kegiatan saling
memantau. Tiga negara yang akan
melakukan pemilihan umum dalam
tahun 2012 adalah Malaysia, Kamboja,
dan Timor Leste. “Jaringan AGENDA
akan bekerja sama melakukan peman-
tauan,” katanya.
Ya, mudah-mudahan dialog-
dialog dan kerja sama regional ini juga
akan mendorong pemilihan umum
di Indonesia lebih aksesibel terhadap
warga negara penyandang disabilitas.
Kita bermimpi, selain semua penyan-
dang disabilitas dapat menyalurkan
hak politik, juga ada wakil rakyat yang
mewakili mereka, baik di daerah mau-
pun di pusat. Kita harus belajar untuk
lebih baik.
Nestor
Foto: Sigit D. Pratama, Havel Hardian,
Athurtian, Rully
15diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Foto
: Sig
it D
Pra
tam
a
FA diffa_15 Maret.indd 15 2/17/12 11:22 PM
tertua. Untunglah ibu saya sosok
perempuan yang kuat dan tabah. Ibu
tetap teguh kami harus terus sekolah.
Modal kami, saling mendukung dan
saling mencintai. Di rumah, semua
mendapat tugas yang sama, menyapu,
mencuci piring. Saya tidak diistime-
wakan. Prinsipnya, kami, terutama
saya, harus melanjutkan hidup tanpa
membebani siapa pun. Saya bisa
melanjutkan sekolah hingga kuliah di
Universitas Mataram, Lombok, Juru-
san Ekonomi Sosial Pertanian.
Bagaimana bisa menuntut ilmu di Belanda?
Tahun 2006 saya bergabung di
sebuah proyek lembaga internasional
dari Jerman. Saya ditunjuk sebagai
trainer pada program sistem kesehatan
di wilayah Mataram dan sekitarnya.
Sebelumnya, saya pernah membantu
mengampanyekan pentingnya ke-
sehatan ibu hamil bagi perempuan di
Lombok yang diselenggarakan Helen
Keller International.
Kesempatan bekerja dengan lem-
baga-lembaga asing membuat saya tak
pernah merasa berbeda dari orang lain.
Saya merasa ilmu saya belum cukup.
Saya ingin sekolah lebih tinggi untuk
meningkatkan kemampuan. Kemudi-
an seorang teman menginformasikan
ada beasiswa dari Ford Foundation
untuk kuliah di Wageningen Uni-
versity, Belanda. Saya mendaftar dan
diterima, meskipun bersaing dengan
orang normal.
Kabarnya fasilitas di Negeri Belanda sangat memanjakan penyandang disabilitas?
Belanda memang sangat meng-
akomodasi kepentingan penyandang
disabilitas. Taksi untuk warga disabili-
tas berbeda dari taksi biasa. Bentuknya
seperti minibus. Kursi cuma terpas-
empati
SALAH seorang yang tampak sibuk dalam konferensi Regional Ac-
cess to Elections for Persons with Disabilities di Hotel Pullman, Ja-
karta, 1 - 2 Februari 2012, adalah Yusdiana. Penyandang tuna daksa
ini terlihat mondar-mandir dengan kursinya di area konferensi dan
berbicara dengan banyak orang.
Lumrah Diana sibuk. Ia berperan sebagai ketua pelaksana dalam dialog
regional itu. Sebagai ketua pelaksana, wanita ramah ini bertanggung jawab
agar semua susunan acara yang direncakan terselenggara dengan baik.
Kisah perjalanan hidup wanita kelahiran Lombok, Nusa Tengggara Barat,
ini menarik. Ia terserang polio ketika umur satu tahun. Sejak itu ia menjalani
hari-hari yang berat dan tergantung pada kursi roda. Yusdiana berhasil
membangun kemandirian. Setelah kembali dari menuntut ilmu di Belanda,
kiprahnya di dalam gerakan disabilitas kelihatan agak melejit. Berikut petikan
kisah hidupnya.
Apa yang terkenang sebagai penyandang disabilitas ketika masa kecil?
Ketika pertama kali masuk sekolah, saya cemas dan menangis karena
merasa berbeda. Untung kedua orang tua saya bijaksana. Ayah saya mena-
namkan pemahaman ilmu itu penting. Harta bisa habis, tapi ilmu tidak.
“Kalau tak sekolah, apa jadinya kamu nanti?”
Setiap hari ayah memboncengkan saya ke sekolah dan menggendong
hingga ke kelas. Ayah menunggui hingga saya pulang sekolah. Sesudah lulus
SD, saya disekolahkan di SMP YPAC di Solo. Waktu saya di kelas III, ayah me-
ninggal. Saya betul-betul terpukul.
Setelah ayah tidak ada, apa yang terjadi?Setelah itu hidup keluarga kami berubah total. Tanggung jawab kelima
adik saya yang masih kecil beralih ke pundak ibu dan saya sebagai anak
16 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
YusdianaBanyak Orang
Membantu Hidup Saya Menjadi Lebih Mudah
dan Menyenangkan
FA diffa_15 Maret.indd 16 2/17/12 11:22 PM
17diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Foto
: Sig
it D
Pra
tam
a
FA diffa_15 Maret.indd 17 2/17/12 11:22 PM
ang di kanan-kiri. Kursi roda bisa
masuk ke dalam taksi dengan
bantuan semacam lift. Biaya naik
taksi juga murah, karena ongkos
penyandang disabilitas disub-
sidi pemerintah. Belanda ingin
penyandang disabi litas terlibat
dengan kegiatan sehari-hari dan
aktif dalam masyarakat. Karena itu
dibuat berbagai kemudahan untuk
mendukung program tersebut.
Pemerintah membangun jalur
khusus bagi pengguna sepeda dan
orang-orang yang menggunakan
alat bantu seperti saya. Para pe-
nyandang disabilitas bisa berakti-
vitas ke mana saja, tanpa khawatir
tertabrak. Tombol untuk penye-
berangan jalan pun disediakan
pada posisi yang mudah dijangkau.
Stasiun-stasiun dan kereta api
dilengkapi fasilitas untuk penyan-
dang disabilitas untuk pengguna
kursi roda masuk ke kereta api.
Bagi tunanetra, stasiun kereta api
dilengkapi dengan tanda-tanda
khusus huruf Braille dan garis-garis
menonjol.
Saya sering jalan-jalan de-
ngan teman ke pusat kota, naik
kereta dan naik bus umum. Saya
bebas bergerak secara mandiri. Di
Indonesia saya tidak bisa bepergian
dengan mudah. Kalau harus keluar
rumah, saya selalu harus ditemani
orang lain untuk membantu. Ter-
masuk di tempat saya di Lombok.
Akses dan fasilitas yang spesifik diberikan kampus?
Sama. Untuk penyandang dis-
abilitas yang menggunakan kursi
roda, dibuat jalur khusus tanpa
perlu lewat tangga. Juga kamar
kecil khusus, lengkap dengan toilet
lebar dan pegangan otomatis. Rak
buku di perpustakaan didesain
mudah dicapai oleh orang yang duduk
di kursi roda. Ruang kuliah semuanya
dilengkapi fasilitas untuk penyandang
disabilitas. Saya mendapat kursi roda
elektrik. Kursi roda itu boleh dibilang
hampir gratis, termasuk fasilitas uni-
versitas untuk penyandang disabilitas.
Saya hanya membayar uang adminis-
trasi.
Ketika kuliah di Universitas Mata-
ram, saya sering membutuhkan waktu
yang lama untuk pindah dari ruangan
atau gedung ke tempat yang lain. Saya
juga harus bekerja dua kali lebih keras
dari teman-teman yang lain.
Bagaimana dalam kesempatan kerja?
Belanda memiliki peraturan me-
wajibkan perusahaan menggunakan
pekerja dari kalangan penyandang
disabilitas. Di sana para pegawai
pelayanan publik dilengkapi kursus
bagaimana melayani orang yang
memiliki kendala tubuh. Di Indonesia,
kalau melamar pekerjaan, begitu tahu
kita penyandang disabilitas, mereka
akan bertanya lebih banyak. Ada
semacam stigmatisasi. Mereka lihat
kami akan lebih sulit untuk bekerja.
Padahal tidak.
Apa yang membuat Indonesia tertinggal jauh seperti itu?
Pemahaman. Sebagian besar
program bantuan untuk penyandang
disabilitas selalu berupa pemberian
alat bantu. Setelah itu, seakan-akan
tugas telah selesai dan penyandang
disabi litas dianggap terbebas dari ma-
salah. Padahal tidak. Karena tantangan
terbesar adalah rasa tidak berdaya,
karena tidak akses dalam banyak hal
dan menjadi beban bagi orang lain.
Jalan-jalan di Indonesia umum-
nya tidak menyediakan fasilitas untuk
penyandang disabilitas. Pintu-pintu
menggunakan pegangan yang tak bisa
diraih pengguna kursi roda. Pintu-
pintu otomatis membuka dan menutup
dengan begitu cepat, sehingga tidak
bisa digunakan penyandang disabilitas.
Tangga berjalan tanpa pegangan. Pintu
putar nyaris seperti baling-baling.
Para tunanetra menjadi kelompok
yang kehilangan banyak akses, karena
mayoritas gedung di Indonesia tidak
dilengkapi petunjuk yang bisa dide-
ngar, diraba, ataupun dilihat dalam
penglihatan terbatas. Para tunarungu
mengalami hambatan lebih besar, kare-
na informasi di tempat-tempat umum
hanya menggunakan pengeras suara,
tanpa petunjuk isyarat lain. Bayangkan
bila terjadi kebakaran. Mereka tentu
akan kebingungan dan celaka karena
tidak mendengar apa-apa.
Bagaimana adaptasi kembali di Indonesia, mengingat selama di Belanda suasana dan akses sangat berbeda?
Sangat prihatin ketika kembali
ke Indonesia, mengingat akses bagi
penyandang disabilitas masih sa-
ngat minim sehingga harus kembali
menjadi tergantung pada bantuan
orang lain untuk melakukan aktivitas-
aktivitas di luar rumah (di ruang pub-
lik). Adaptasinya, ya akhirnya harus
mengurangi aktivitas di ruang publik
serta mencari pekerjaan yang sesedikit
mungkin menuntut harus keluar.
Ini menyedihkan, karena saya lebih
senang pekerjaan yang membuat saya
bertemu banyak orang dan beraktivitas
di ruang terbuka.
Bagaimana ceritanya akhirnya aktif di Jakarta?
Ini dikarenakan saat ini proyek-
proyek pembangunan berskala interna-
sional jauh berkurang di daerah saya,
18 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
FA diffa_15 Maret.indd 18 2/17/12 11:22 PM
di Nusa Tenggara Barat, sehingga saya
mencoba mencari pekerjaan di Jakarta.
Saya mendapat informasi mengenai
Proyek AGENDA dari seorang teman
yang kemudian menganjurkan saya
melamar. Di sinilah saya akhirnya.
Pertemuan regional kemarin apakah yang pertama Anda tangani? Bagaimana gambaran evaluasinya?
Pertemuan kemarin bukan yang
pertama. Telah ada beberapa per-
temuan serupa yang pernah saya ker-
jakan, namun itu adalah yang pertama
saya lakukan untuk isu disabilitas.
Latar belakang pekerjaan sebelumnya
adalah un-
tuk isu-isu kesehatan ibu dan anak.
Apa impian atau yang ingin Anda capai di masa depan?
Bermanfaat bagi banyak orang
adalah hal yang paling saya inginkan.
Sebab, saya menjadi bisa mandiri
seperti ini, telah menerima banyak
bantuan dan difasilitasi oleh banyak
orang. Keluarga saya, teman-teman,
guru-guru, lembaga pemberi beasiswa,
sopir taksi, tukang parkir, satpam,
tukang sayur, dan masih banyak lagi
orang yang telah membantu hidup
saya menjadi lebih mudah dan me-
nyenangkan. Nestor
DI
master bidang international
development com-
munication, technology, and policy.
bergabung dengan General Elec
Cacat Indonesia (PPCI), dengan
membuat Diana harus tinggal di Ja
Foto
: Sig
it D
Pra
tam
a
19diffa edisi 14 -‐ Februari 2012
FA diffa_15 Maret.indd 19 2/17/12 11:22 PM
tapak
20 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Mempersiapkan Guru Inklusi
Salah satu persoalan pendidikan inklusi adalah kurang-‐nya guru yang berkualitas untuk siswa berkebutuhan khu-‐
sus. Pusat Studi Individu Berkebutuhan Khusus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta menyelenggarakan pen didikan
dan latih an guru untuk sekolah-‐sekolah luar biasa.
SUDAH bukan rahasia kual-
siswa penyandang disa-
bilitas di Indonesia belum
memadai. Banyak penye-
bab kondisi memprihatinkan ini. Di
antaranya kurikulum mata kuliah
para calon guru pendidikan luar biasa
(PLB) belum sempurna. Kurikulum
untuk calon guru SLB masih berada di
anak disabilitas. Otomatis hasil penga-
jaran dari para guru SLB tersebut pun
tidak maksimal.
Contohnya guru untuk siswa
tunarungu, seharusnya mendapatkan
didik tunarungu. Hal ini mengingat
kondisi para siswa tunarungu berbeda-
beda. Ada yang masih cukup jelas ber-
bicara, ada yang sama sekali tidak bisa.
Jadi, dalam praktik para guru tersebut
FA diffa_15 Maret.indd 20 2/17/12 11:22 PM
21diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Foto
: Faja
r Sodiq
diharapkan bisa mengajar para siswa
tunarungu sesuai dengan kondisi
disabilitasnya.
Keprihatinan itulah yang dira-
sakan para dosen di Universitas Sanata
Dharma (USD) Yogyakarta. Keprihatin-
an itu pun menghasilkan sebuah
action, dengan membentuk Pusat
Studi Individu Berkebutuhan Khusus
(PSIBK).
Pendidikan Kerja Sama Keberadaan pusat studi ini
juga tak lepas dari dorongan Sekolah
Tunarungu Denaupakarya, Wonosobo.
“Seperti diketahui, lulusan PGLB di
Indonesia sangat tidak memadai. Nah,
pada waktu itu kami ada kerja sama
dengan Denaupakarya. Mereka men-
dorong kami untuk membuat jurusan
pendidikan guru luar biasa, supaya
lulusan PGLB bisa maksimal,” tutur
Tjipto Susanna, Steering Committee
PSIBK.
Karena proses untuk membentuk
jurusan lama, akhirnya USD memilih
mendirikan PSIBK. Tjipto Susana
menjelaskan, PSIBK merupakan pusat
studi yang ber gerak dalam bidang sos-
ialisasi dan pemberdayaan disabilitas,
khususnya tunarungu. Sosialisasi ditu-
jukan kepada masyarakat awam yang
masih minim pengetahuan tentang
disabilitas, agar tercipta penghargaan
kepada para penyandang disabilitas,
bukan meminggirkannya.
Dalam ranah pemberdayaan,
PSIBK memfokuskan pada bidang
pendidikan, termasuk pendidikan
untuk para guru SLB dan guru untuk
siswa tunarungu. Tujuannya mening-
katkan kualitas kompetensi mengajar
para guru, sehingga para anak didik
tunarungu mampu memiliki keper-
cayaan diri di masyarakat dan
berkualitas.
PSIBK kemudian membuat
proposal untuk melakukan pela-
tihan meningkatkan kompetensi
guru pengajar tunarungu. Karena
keterbatasan dana, mereka
kemudian bekerja sama dengan
Kentalis International Belanda
yang memiliki pengalaman
mengembangkan kompetensi
guru tunarungu di Belanda dan
beberapa negara lain. “Pelatih-
an ini sebagian besar dananya
didukung Kentalis International
dan Yayasan Porticus,” kata Tjipto
Susanna.
Training of Trainer (TOT) pun
dilaksanakan sejak tahun 2010,
dengan memilih tujuh sekolah
di Jawa Tengah, Jawa Timur, Yog-
yakarta, dan Jakarta sebagai
FA diffa_15 Maret.indd 21 2/17/12 11:22 PM
22 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Foto
: Faja
r Sodiq
FA diffa_15 Maret.indd 22 2/17/12 11:22 PM
23diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
. Setiap sekolah yang dijadikan
mengirimkan dua guru
untuk pelatihan. Hasil yang didapat
dari ketujuh sekolah ini kelak dievalu-
asi dan dikembangkan kembali. Tujuh
sekolah tersebut adalah SLB/B Dena
Upakara (Wonosobo), SLB/B Santi
Rama (Jakarta), SLB/B N Semarang,
SLB/B Pangudi Luhur (Jakarta), SLB/B
Bhakti Luhur (Malang), SLB/B Don
Bosco (Wonosobo), dan SLB N 3 Yogya-
karta.
Pelatihan BaruAwal Februari 2012, rombongan
baru para guru SLB mengikuti pendi-
dikan awal semester di Yogyakarta.
Seperti dijelaskan di atas, selama empat
minggu pertama mereka mengikuti
pelatihan. Setelah itu mereka kembali
ke sekolah masig-masing untuk mem-
praktikkan materi kuliah atau pelati-
han yang didapat. Selanjutnya mereka
akan kembali lagi untuk melihat hasil
sekaligus evaluasi.
Menurut Tjipto Susanna, pelatihan
itu memang hampir sama dengan
sistem belajar-mengajar di uni ver-
sitas. Bedanya, dalam pelatihan lebih
mengutamakan praktik di lapangan.
“Sistemnya menggunakan semesteran.
Dalam empat minggu pertama dari
tiap semester, kita mengadakan tatap
muka di Hotel Museum Batik, Yogya-
karta. Dalam tatap muka, trainer mem-
berikan materi sekaligus pekerjaan
rumah. Nah, PR inilah yang nantinya
dipraktikkan saat para peserta training
kembali ke sekolahnya.”
Kurikulum pelatihan dikem-
bangkan dari kurikulum mata kuliah
PLB, tapi materinya diperdalam dan
-
kasi atau memperdalam kembali dari
materi-materi kuliah PLB, jadi lebih
mengakomodasi kebutuhan para
tuna rungu. Karena biasanya materi-
nya kurang mendalam dan kurang
detail,” kata Tjipto.
Secara garis besar materi dalam
kurikulum mencakup psikologi
perkembangan, konseling orang tua,
dan bahasa isyarat. Materi-materi
tersebut diberikan para trainer dari
Kentalis Belanda. Sedangkan
nya dari Universitas Indonesia,
Santi Rama, dan Don Bosco. “Proyek
pertama ini diprediksikan selesai pada
tahun 2012. Setelah itu kami akan
mengevaluasi. Karena rencananya
pelatihan ini akan kontinu, dengan
beberapa perubahan.“
Perubahan yang dimaksud antara
lain kemungkinan tidak menggu-
nakan trainer dari Kentalis, mengingat
dananya cukup mahal. Rencananya,
trainer diambil dari angkatan pertama
TOT. “Jadi para TOT tersebut
akan menjadi trainer untuk pelatihan
selanjutnya. Selain itu, rencananya
para peserta training ke depan akan
membayar,” kata Tjipto Susanna.
Selain untuk mengembang-
kan pelatihan, PSIBK juga ren-
cananya akan meluaskan cakupan
pemberdaya an dan penguatan untuk
disabilitas lain, tidak hanya tuna-
rungu. Selain itu juga mengembang-
kan kerjasama antara PSIBK dengan
Pusat Studi HAM dan Demokrasi
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Kerjasama kedua universitas ini di-
harapkan membentuk Komisi Ban-
tuan Advokasi Disabilitas.
Langkah Pusat Studi Individu
Berkebutuhan Khusus Universitas
Sanata Dharma ini seperti menanam
benih-benih baru, yang diharapkan
menghasilkan banyak buah yang baik.
Fajar Sodiq
FA diffa_15 Maret.indd 23 2/17/12 11:22 PM
diffa edisi 15 -‐ Maret 201224
sosok
Guru Gamelan Berbekal Kesabaran
Rasino
Foto
: Faja
r Sodiq
BOLEH jadi Rasino
penyandang disabilitas
yang tidak sukses dalam
ukuran materi. Namun,
ia pantas dijadikan
contoh penyandang disabilitas yang
mampu melepaskan diri dari rasa
rendah diri karena disabilitasnya. Juga
sebagai orang sabar yang selalu me-
nampakkan keramahan dan senyum
tulus.
Rasino memiliki keterampilan
memainkan instrumen musik modern
dan gamelan. Tapi ia tidak meman-
faatkan keahlian itu untuk mengejar
uang. Bersama istri dan dua anaknya,
Rasino tinggal di rumah sederhana
di Jalan Gambir Anom, Benowo,
Ngringo, Jaten, Karanganyar. Sehari-
Rasino lahir sebagai
tunanetra. Meraih
gelar sarjana berbekal
kesabaran dan ketekun-‐
an. Hidupnya sederhana.
Banyak yang pantas di-‐
pelajari darinya.
hari kegiatannya mengajar karawitan
di beberapa sekolah di Surakarta dan
sanggar wayang.
Rasino memilih dunia pendidikan
karawitan dan anak-anak sebagai
jalan hidup, meski honor dari menga-
jar tak seberapa. Ia sengaja memilih
dunia itu, karena bisa memberikan
kekuatan dan semangat dalam hidup.
Mandiri Sejak MudaRasino lahir di Purworejo, 17 Juli
1975. Rasino mengalami tunanetra se-
jak lahir. “Saya nggak tahu apa karena
dalam kandungan ada masalah. Mata
saya memiliki organ pendukung,
tetapi tidak memiliki sistem untuk
melihat,” ujarnya. Rasino lahir dalam
keluarga dengan kondisi ekonomi
serba terbatas.
Lantaran memiliki keterbatasan,
Rasino disekolahkan di SDLB Pur-
worejo. Sejak kecil ia memiliki jiwa
mandiri. Tahun 1990-1992 ia memilih
menimba ilmu di Sasana Rehabilitasi
Penyandang Cacat Netra (SRPCN)
Purworejo.
Di sasana itu Rasino mulai me-
nyukai musik. Baginya musik adalah
semangat hidup yang bisa membuat
gembira. “Di sana saya diajari alat
musik modern dan musik Barat. Dari
situ saya bisa menguasai banyak alat
musik modern, dari bass, piano, key-
board, hingga drum,“ ceritanya.
Selepas dari SRPCN, Ra-
sino melanjutkan ke SMA Kretek 1
Bantul. Ia sengaja merantau agar bisa
keluar dari tempurung keterbatasan.
“Dulu itu yang penting hanya laporan
sama orang tua, saya sekolah di mana.
Saya memang berusaha mandiri, agar
bisa menunjukkan bahwa keterbatas-
an bukan menjadi halangan, “ ujarnya.
Lantaran kurang sreg dengan
pola pengajaran, Rasino pindah dari
SMA Kretek 1 Bantul ke SMA Muham-
madiyah 5 Karanganyar. Dia berusaha
untuk selalu mewarnai hidupnya
FA diffa_15 Maret.indd 24 2/17/12 11:23 PM
diffa edisi 15 -‐ Maret 2012 25
dengan musik. Di tempat baru Rasino
nekat membentuk band Puspa Gading
yang beraliran pop rock.
Setelah lama menggeluti musik
modern, justru Rasino kembali tertarik
pada musik tradisional. “Akhirnya
lambat laun mulai menggeluti musik
tradisional, yakni karawitan, “ tutur-
nya.
Berjuang Jadi SarjanaSetelah lulus SMA, batin Rasino
bergejolak antara memilih menerus-
kan atau tidak meneruskan pendi-
dikan. Keinginan dia sebenarnya
meneruskan kuliah. Karena baginya
menuntut ilmu adalah salah satu cara
untuk bisa menunjukkan kemampuan
dan keluar dari zona keterbatasan.
“Dengan bersekolah tinggi, saya
bisa menempa emosi. Penyandang
disabilitas yang sekolah tinggi emosi-
nya akan lebih stabil. Selain itu, akan
memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Bahwa disabilitas bukan menjadi
beban orang lain,” ujarnya.
Namun, keinginan itu terben-
tur kondisi ekonomi. Rasino lantas
berkonsultasi kepada Mudjiono,
pemilik sanggar dalang cilik Sarotama.
“Setelah berkonsultasi, akhirnya saya
memutuskan melanjutkan kuliah. En-
tah bagaimana caranya, yang penting
saya harus kuliah.”
Dasar pertimbangan Rasino me-
milih jurusan adalah yang ilmunya
tetap bisa bermanfaat, jika sewaktu-
waktu terpaksa berhenti kuliah karena
terbentur dana. “Kalau saya milih
jurusan pendidikan, jika berhenti tidak
bisa saya manfaatkan untuk mencari
nafkah. Karena bagaimanapun untuk
menjadi guru pastilah harus menun-
jukkan ijazah. Beda kalau misalnya
saya mengambil jurusan karawitan.
Kalau kuliah terhenti, saya bisa
manfaatkan ilmu yang didapat untuk
mencari uang tanpa harus menunjuk-
kan ijazah,” ujarnya.
Pada tahun
1999 Rasino
masuk Jurusan
Karawitan,
Fakultas Seni
Pertunjukan,
ISI Surakarta.
Tak ada ham-
batan berarti
ketika kuliah.
Rasino bisa
berbaur dengan
teman-teman-
nya. “Dulu
hambatanya
cuma satu,
masalah re-
ferensi untuk tunanetra seperti saya,“
tuturnya.
Untuk biaya kuliah, Rasino nyam-
bi jadi tukang pijat di stasiun, sambil
bantu-bantu di Sanggar Sarotama.
“Orang tua sudah tidak pernah mem-
beri uang, karena bapak saya mening-
gal tahun 2000, “ kenangnya.
Selain membiayai kuliah dari
hasil pijat dan mengajar di Sanggar
Sarotama, Rasino juga menjadi guru
karawitan honorer di bekas sekolah-
nya, SRPCN Purworejo. Ia berangkat
dari Solo ke Purworejo menggunakan
kereta api. Karena hanya mengajar
dua kali dalam sebulan, sekali meng-
ajar ia berada di Purworejo tiga hari.
Rasino melatih karawitan di
Purworejo sejak tahun 2003 hingga
2010. “Waktu itu saya mengajar hanya
mendapatkan honor dari Rp 125.000
hingga Rp 175.000 per bulan,” tutur-
nya.
Jalan Hidup SederhanaBerkat kegigihah dan ketekunan,
Rasino berhasil menyelesaikan kuliah
pada tahun 2010. Dari pelajaran se-
lama kuliah, Rasino mampu memain-
kan beragam musik karawitan, dari
saron, slenthem, gender, bonang, gong,
kenong, siter, hingga kendang. Di jalur
musik modern, ia bisa bermain gitar,
keyboard, bas, dan drum.
Rasino tetap hidup dalam ke-
sederhanaan. Dengan bermodal ijazah
sarjana seni, Rasino menjadi guru ho-
nor er karawitan di SD Kentingan dan
SD Tugu Surakarta. Lagi-lagi dengan
honor sangat minim, satu kelas hanya
Rp 50.000 per bulan, jika ditotal hanya
Rp 200.000 per bulan.
Selain itu, Rasino membantu
me ngajar di Sanggar Sarotama. “Saya
sering mendampingi anak-anak sang-
gar saat pentas. Saya tidak mengharap-
kan bayaran saat pentas,” ucapnya.
Dengan pendapatan yang minim,
Rasino hanya bisa mengontrak rumah
sederhana di depan Sanggar Sarotama.
Di rumah itu ia tingggal bersama
istrinya, Sri Widyanti, dan dua buah
hati mereka, Asyifa Miftahul Hawa
dan Ainullah Khoirul Azzam.
Bagi Rasino, kondisi hidup seder-
hana bukan hal yang perlu diratapi. Ia
melakoni hidup dengan penuh pasrah
dan rasa syukur. “Syukurilah dari yang
sedikit, karena akan merasakan apa
yang kita dapatkan terpenuhi,” ujar
Rasino sambil tersenyum. Sungguh
pribadi yang banyak memberi pelajar-
an.
Fajar Sodiq
FA diffa_15 Maret.indd 25 2/17/12 11:23 PM
26 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
beranda
DOKTER Dwijo Saputro SpKJ menyebutkan
gejala yang timbul pada autis bisa sangat
ringan (mild), sedang (moderate), hingga
parah ( ). Beberapa gejala berikut ini
bisa menjadi acuan untuk pemeriksaan
lebih lanjut agar gejala autis yang timbul bisa tertangani
sedini mungkin.
Gangguan komunikasi verbal dan nonverbal a. Terlambat bicara atau tidak dapat bicara.
b. Mengeluarkan kata-kata yang tidak dapat dimengerti
orang lain.
c. Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata-kata
sesuai konteks.
d. Meniru atau membeo. Beberapa anak sangat pandai
menirukan nyanyian, nada, ataupun kata-kata tanpa
mengerti artinya.
e. Mimik muka datar, kadang bicaranya monoton se
perti robot.
f. Berperilaku seperti anak tuli, tetapi bila mendengar
suara yang tidak disukainya akan bereaksi dengan
cepat.
Gangguan interaksi sosial a. Menolak atau menghindar untuk bertatap muka.
b. Merasa tidak senang dan menolak dipeluk.
c. Tidak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan
orang lain. Bila didekati untuk bermain, justru men
jauh.
d. Bila menginginkan sesuatu, akan menarik tangan
orang yang terdekat dan mengharapkan orang ter se
DETEKSI DINI ANAK AUTIS
but melakukan sesuatu untuknya.
e. Kadang masih mendekati orang lain untuk makan
atau duduk di pangkuan sebentar, kemudian berdiri
tanpa memperlihatkan mimik apa pun.
f. Enggan berinteraksi dengan anak sebaya daripada
terhadap orang tuanya.
Gangguan perilaku dan bermain a. Seperti tidak mengerti cara bermain, ia bermain
sangat monoton dan melakukan gerakan yang sama
berulang-ulang hingga berjam-jam.
b. Bila menyukai satu mainan, menolak mainan yang
lain dan memiliki cara bermain yang aneh.
c. Keterpakuan pada sesuatu (misalnya memegang
roda mobil-mobilan terus-menerus untuk waktu
lama). Perilaku ritualistik sering terjadi. Dapat juga
anak terlalu diam.
d. Punya kelekatan dengan benda-benda tertentu,
seperti sepotong tali, kartu, kertas, gambar. Benda-
benda tersebut terus dipegang dan dibawa ke mana-
mana.
e. Sering memperhatikan sesuatu, misalnya jari-jarinya
sendiri, kipas angin yang berputar, atau air yang
bergerak.
f. Anak dapat terlihat hiperaktif, tidak bisa diam, lari
ke sana-kemari, meloncat-loncat, berputar-putar, atau
memukul benda berulang-ulang.
Gangguan perasaan dan emosi a. Tidak ada atau kurang rasa empati. Misalnya melihat
anak menangis tidak merasa kasihan, bahkan merasa
terganggu dan sering mendatangi anak yang mena
ngis untuk dipukul.
b. Tertawa-tawa sendiri, menangis, atau marah tanpa
sebab yang jelas.
c. Sering mengamuk tidak terkendali ( );;
terutama bila tidak mendapat apa yang diinginkan,
dapat menjadi agresif dan destruktif.
Gangguan persepsi, sensoris a. Mencium-cium, menggigit, atau menjilat mainan
atau benda apa pun.
b. Bila mendengar suara keras langsung menutup mata.
c. Tidak suka diraba atau dipeluk. Bila digendong cen
derung merosot untuk melepaskan diri.
d. Merasa tidak nyaman bila memakai pakaian dari
bahan tertentu.
Sumber: Nirmala, http://sweetspearls.com/education/deteksi-dini-anak-autis-
dengan-melihat-gejala/
Foto
: Is
tim
ew
a
FA diffa_15 Maret.indd 26 2/17/12 11:23 PM
Political Will Pemerintah India untuk Autisme
TIDAK semua negara maju
memperlakukan penyan-
dang disabilitas dengan
baik dan setara. Mungkin
kondisi aksesibilitas dan
fasilitas untuk para penyandang
disabilitas memang jauh lebih baik,
tapi itu hanya salah satu aspek dari
keseluruhan persoalan yang dihadapi
para penyandang disabilitas. Berbagai
persoalan di luar urusan sarana dan
-
tuh dalam kebijakan pemerintah
negara maju seperti Amerika Serikat,
Eropa, dan negara maju lainnya. Kita
kerap membandingkan secara kontras
berbagai perbedaan hanya berdasar
negara berkembang seakan begitu
jauh tertinggal. Hal yang lebih bersifat
para penyandang disabilitas di ber-
bagai wilayah kehidupan kerap tak
terdeteksi dengan baik. Dalam wilayah
-
tara negara maju dan negara berkem-
bang bisa saja tak jauh berbeda. Bukan
tak mungkin dalam kasus tertentu
kondisi negara berkembang lebih baik.
Kemungkinan-kemungkinan se-
perti itu kadang terbukti ketika terjadi
kasus-kasus yang memperlihatkan
perlakuan tidak adil atau diskrimi-
nasi terhadap penyandang disabilitas,
baik di bidang kesehatan, pendidikan,
perekonomian, maupun wilayah
kehidup an lainnya. Dan di era inter-
net kini, diseminasi informasi kasus-
kasus ke tidakadilan atau diskriminasi
menjadi jauh lebih cepat dan mudah,
sehingga lebih banyak kasus terung-
kap ke publik dibandingkan pada
masa-masa sebelumnya. Salah satu
yang belum lama ini tersebar adalah
kasus yang terjadi pada seorang anak
tunagrahita atau down syndrome di
sebuah rumah sakit di Philadelphia,
Amerika Serikat. Banyak orang mung-
kin tak membayangkan di negara
seperti Amerika masih terjadi kasus
ketidakadilan oleh sebuah rumah sakit
terhadap anak penyandang disabilitas.
Namun kita tak boleh lupa, sejarah
Amerika memang penuh dengan lem-
bar hitam diskri minasi rasial antara ku-
lit putih dan kulit hitam. Dengan latar
historis seperti itu, residu dan bias-bias
dis kriminasi sekecil apa pun tetap ada
yang tertinggal.
Kasus AmeliaKasus Amelia terjadi di sebuah
Kisah Sedih Anak Tunagrahita dari Philadelphia
27diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
jendela
FA diffa_15 Maret.indd 27 2/17/12 11:23 PM
rumah sakit anak di Philadelphia.
Amelia seorang anak down syndrome
yang sudah tiga tahun menjalani
perawatan rutin di bagian
rumah sakit itu. Pada awal tahun 2012
Amelia kembali menjalani pemerik-
saan dalam rangka kemungkinan un-
tuk mendapatkan pengobatan melalui
metode transplantasi. Dokter yang
merawat kemudian meminta kedua
orang tua Amelia menemui tim dokter
yang mengevaluasi setiap kasus pe ng-
obatan transplantasi sebagai bagian
prosedural yang harus dilalui pasien
sebelum diputuskan bisa atau tidak
menjalani transplantasi. Orang tua
Amelia pun segera membawa Amelia
yang tengah tertidur di tempat tidur
dorong ke ruangan yang dimaksudkan
dokter itu. Amelia tetap tertidur lelap
ketika memasuki ruangan evaluasi
tim dokter yang akan menyampaikan
hasil evaluasi.
Tak berapa lama menunggu, tim
dokter yang dipimpin seorang dokter
lelaki 60-an tahun beraksen Peru,
dengan kumis dan rambut cokelat, me-
masuki ruangan membawa formulir-
formulir hasil evaluasi. Ibunda Amelia
melirik dan mencoba mencuri lihat
dengan takut-takut tumpukan kertas
saat ketua tim dokter duduk dan me-
letakkan kertas itu di atas meja. Dokter
itu seperti membawa sebuah perasaan
tak enak di hati ibu Amelia, ekspresi
wajahnya yang datar seakan sudah
dengan gaya bicaranya yang singkat
dan pendek-pendek. Apalagi ketika
satu bagian dalam formulir yang
diberi stabilo merah terbaca olehnya.
Keterbelangan mental. Itulah bagian
yang ditandai stabilo. Lalu tak jauh di
bawahnya ada lagi satu bagian yang
juga di tandai stabilo. Terbaca juga
oleh ibu Amelia: kerusakan otak. Dua
bagian yang ditandai dengan stabilo
itu makin memperparah perasaan tak
enak hatinya. Situasi terasa menjadi
lebih tegang saat itu. Ayah Amelia pun
tak bisa menyembunyikan kegelisah-
an di wajahnya. Tapi ia hanya menun-
duk dan membuang pandangan ke
lantai dengan mata berputar-putar.
Ibu Amelia mencoba tetap tenang
dan fokus pada apa yang akan di-
sampaikan tim dokter. Tapi ketika
mendengar dokter menyatakan Ame-
lia tak bisa menerima transplantasi
karena ia anak dengan keterbelakan-
gan mental, seketika ketenangannya
berantakan. Ia gemetar dan matanya
mulai berair. Tubuhnya serasa digun-
cangkan angin ribut. “Benar Anda me-
nyatakan anak saya tak bisa menerima
transplantasi karena ia tunagrahita?
Benar begitu?” Dan tangisnya pun tak
terbendung lagi saat dokter mengi-
yakan dengan datar. Lalu kemarahan
tiba-tiba meledak karena harapan
sudah begitu besar untuk mendapat-
kan transplantasi. “Saya dari keluarga
besar, saya tidak perlu menunggu
masuk daftar waiting list, saya akan
mencari donor sendiri dari keluarga!
Saya hanya ingin Amelia mendapat
transplantasi!!”
Dokter itu menjawab perlahan,
suaranya seperti mengeja kata demi
kata dengan datar tapi malah semakin
memuntabkan amarah yang sudah
meletup. “Bukan itu masalahnya!
Amelia tidak bisa ditransplantasi
karena masalah kualitas hidupnya ter-
kait dengan masalah keterbelaka ngan
mental.” Suara dokter itu sungguh
terasa sangat tak berperasaan. Ibunda
Amelia tiba-tiba meradang mendengar
dokter itu mengatakan soal kualitas
hidup Amelia. “Stop! Jangan pernah
bicara soal kualitas hidup anakku.
Anda tak pernah tahu seperti apa
kualitas hidupnya! Saya dan Amelia
sudah melewati banyak rintangan dan
cobaan sepanjang hidupnya. Anda
jangan sok tahu! Sekarang katakan saja
kepada siapa kami harus bicara, karena
saya mau Amelia tetap mendapatkan
transplantasi! Tak peduli apa yang
harus kami hadapi!” Ibunda Amelia
menyergah penuh kemarahan karena
sungguh merasa diperlukan tidak
adil. Dokter itu tak menjawab, tapi
seorang pekerja sosial yang menjadi
anggota tim buka suara. “Apa Anda
tahu bahwa transplantasi itu tidak
selamanya? Dalam waktu 12 tahun
Amelia harus ditransplantasi lagi jika
ia bisa bertahan selama itu. Apa Anda
tahu pengobatan apa lagi yang harus
dijalaninya?”
Ibunda Amelia menjawab cepat
dan keras. “Ya, saya tahu! Saya sudah
melakukan semua riset untuk Ame-
lia!” Si pekerja sosial sedikit menger-
nyitkan kening dan membalas, “Lantas
bagaimana kalau dia umur 13 dan ka-
lian tak bisa ada di dekatnya lagi? Apa
yang akan terjadi? Siapa yang akan
mengurusnya?” Pertanyaan kurang
ajar itu itu makin membuat ibunda
Amelia meradang. “Kalau kamu mati
besok apa yang akan terjadi? Siapa
yang akan mengurus anakmu? Siapa
yang akan bertanggungjawab atas
pekerjaan kamu? Kita semua tak ada
yang bisa meramalkan masa depan!
Dan kami tidak ingin jadi peramal
masa depan Amelia. Yang kami tahu,
Amelia tak akan punya masa depan
jika ia tak menjalani transplantasi!”
Diskriminasi dengan Alasan Medis
Apa yang terjadi selanjutnya
adalah penjelasan teknis dunia media
dari dokter ketua tim tentang betapa
berbahaya operasi transplantasi un-
tuk anak dengan gangguan mental
seperti Amelia. “Pengobatan yang
harus dijalani Amelia setelah proses
transplantasi sangat berbahaya. Bisa
mengakibatkan kerusakan otak jika
dosisnya tak tepat, jadi harus sangat
hati-hati.” Begitu antara lain alasan
selanjutnya yang disampaikan dokter
itu kepada ibunda Amelia. Dan karena
28 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
FA diffa_15 Maret.indd 28 2/17/12 11:23 PM
kokan dan membiarkannya Amelia
meninggal 6 bulan kemudian atau
bersedia melakukan pencangkokan
dan tak tahu apa yang akan ter-
jadi? Dalam konteks hak asasi, hak
menentukan pilihan ada di tangan
orang tua Amelia. Dalam konteks
otoritas medis, para dokter punya
hak untuk menyarankan, tapi se-
benarnya tetap tak bisa menolak jika
pasien atau orang tua pasien dalam
kasus Amelia, ingin menentukan
sikap sendiri. Tapi dalam kasus
Amelia, dokter memakai argumen
medis untuk menolak hak pasien.
Namun persoalan ini bukanlah
melulu persoalan di Philadelphia.
Di banyak belahan lain dunia pasti
masih banyak terjadi kasus serupa
dalam berbagai versi dan bentuk.
Satu hal penting yang harus dire-‐nungkan oleh semua pihak di belahan bumi mana pun adalah apa yang ditu-‐lis ibunda Amelia di akhir kisah yang disebarkannya, yaitu: We are in the
mentally delayed. Ada banyak hal
yang sebenarnya tak perlu diperten-
tangkan jika kita bisa me nempatkan
duduk perkaranya secara propor-
sional dan tidak mencampur aduk-
kan satu dengan lainnya. Jelas tak
bisa dipahami jika perkara hak
asasi lalu mengalami diskriminasi
dengan alasan atau argumen medis
yang membuatnya menjadi tampak
benar. Mari kita semua sama-sama
merenungkan hal ini untuk masa
depan yang lebih baik bagi semua
penyandang disabilitas di muka
bumi.
FX Rudy Gunawan
Amelia sudah mengalami kerusakan
otak, maka mereka tak mau mengam-
bil risiko untuk melakukan transplan-
tasi ginjal. Alasan medis ini sungguh
menjadi suatu bentuk ketidakadilan
dan arogansi yang mengatasnamakan
ilmu kedokteran. Sementara apa yang
disampaikan ibunda Amelia jelas
lebih mengena dan substansial. Kita
tak pernah tahu pasti masa depan. Kita
tak pernah tahu apa yang terjadi pada
hidup kita esok hari. Mati atau hidup
bukan manusia yang menentukan.
Mati atau hidup ada di tangan Tuhan.
Ketika dokter itu mengatakan tak
mau mengambil risiko dan menolak
transplantasi untuk anak tunagra-
hita, maka sebenarnya tindakan itu
telah merampas hak sang anak untuk
mendapatkan kesempatan dan pelu-
ang atas kesehatannya. Sementara
perhitungan peluang untuk hidup jika
Amelia tak mendapatkan transplantasi
ginjal bahkan lebih buruk, karena esti-
masi umurnya hanya tinggal 6 bulan
jika ia tak dicangkok ginjal. Mana yang
lebih baik? Mana yang lebih buruk?
Cangkok atau tidak? Mana yang
lebih bijak? Mana yang arogan dan
sewenang-wenang? Menolak pencang-
Foto-foto: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/28/Chil-
dren’s_Hospital_of_Philadelphia.jpg
http://media.philly.com/images/600*450/20120129_santorum_1024.jpg
29diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
FA diffa_15 Maret.indd 29 2/17/12 11:23 PM
30 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
kolom mas bejo
Pengalaman Berharga
& Bergengsi
kolom Mas Bejo
OLEH
FX RUDY GUNAWAN
Did
i Pu
rnom
o
30 diffa edisi 14 -‐ Februari 2012
SEBUAH pengalaman
berharga baru saja Mas Bejo
dapatkan. Sudah berharga,
bergengsi pula. Begini cerit-
anya. Pertengahan Januari
lalu Mas Bejo bertemu seorang kawan
lama, aktivis hak-hak penyandang dis-
abilitas. Sebuah pertemuan kebetulan
yang biasa terjadi di Jakarta. Ini lucu
setelah Mas Bejo pikir-pikir. Di Jakarta
ini, kita akhirnya bisa mudah bertemu
seseorang lewat kebetulan-kebetulan
saja. Jika sengaja ingin bertemu,
susahnya minta ampun. Nah, kembali
ke ceritanya. Teman Mas Bejo ini pun
sudah lama sekali tak bersua. Jadi,
kami sama-sama senang bisa diperte-
mukan oleh kebetulan. “Wah, kebetu-
lan sekali Mas Bejo. Sungguh kebetu-
abilitas sangatlah penting. Sayangnya,
ternyata pak menteri yang seharusnya
membuka acara tiba-tiba berhalangan
hadir dan digantikan wakil menteri.
Mas Bejo tak bisa paham, apa hal yang
lebih penting bagi pak menteri hingga
membatalkan memberikan sambutan
pada konferensi penting ini. Apakah
ada kerabatnya yang meninggal
dunia? Ah, mestinya itu bukan soal,
karena seorang menteri harus men-
gutamakan tugasnya terlebih dulu
dibandingkan keluarganya sekali-
pun. Atau pak menteri itu mendadak
dipanggil oleh presiden? Seandainya
begitu, mestinya ia bisa menceritakan
kepada presiden tentang konferensi
itu. Dalam bayangan Mas Bejo, presi-
den mestinya akan bisa memaklumi
penjelasan itu dan mendukung men-
terinya untuk memberikan sambutan.
lan yang pas sekali!” ujar Mbak Sari
setengah berteriak. Mungkin karena
saking seringnya berorasi dalam
unjuk rasa, suara Mbak Sari jadi
seperti itu. “Ya, ya, sungguh kebetul-
an yang menyenangkan bertemu,
Mbak Sari.”
Karena bertemu di sebuah galeri
pameran lukisan, kami pun ngobrol
sambil melihat-lihat lukisan. “Be-
gini, Mas. Saya kebetulan menjadi
panitia untuk sebuah acara penting.
Sebuah konferensi regional ASEAN
tentang hak-hak para penyandang
disabilitas. Nah, saya kan tahu persis
Mas Bejo orang yang peduli pada
para penyandang disabilitas….” Mas
Bejo tersenyum bangga. Ternyata
Mbak Sari mengundang Mas Bejo
sebagai wakil masyarakat awam
untuk mengikuti konferensi tingkat
ASEAN itu. Sungguh sebuah kehor-
matan besar bagi Mas Bejo. Apalagi
Mbak Sari juga menceritakan pan-
jang lebar bahwa yang hadir adalah
orang-orang hebat dari berbagai
organisasi yang tiada henti berjuang
untuk para penyandang disabilitas.
Mereka datang dari Vietnam, Kam-
boja, Bangkok, Jepang, Laos, bahkan
juga dari Timor Leste. Mas Bejo
hanya bisa terbengong-bengong
mendengar semua penjelasan Mbak
Sari. “Jadi, saya benar-benar diun-
dang? Terima kasih, Mbak. Terima
kasih….”
Waktu yang dinanti-nantikan
pun tiba. Mas Bejo sudah tak sabar
menunggu saat penting ini. Lima
hari menunggu rasanya seperti lima
minggu. Konferensi itu semestinya
bakal dibuka oleh salah seorang
menteri, dan begitulah seharusnya
menurut pendapat Mas Bejo. Bila
perlu bahkan dibuka oleh wakil
presiden atau presiden. Memang
Mas Bejo tak tahu soal protokol acara
regional seperti itu, namun acara
tentang hak para penyandang dis-
FA diffa_15 Maret.indd 30 2/17/12 11:23 PM
31diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Hmm, itu semua
hanya pikiran Mas Bejo.
Nyatanya, pak men-
teri itu tak datang dan
hanya diwakili seorang
wakil menteri. Tak apa.
Konferensi regional ini
tetap sangat penting
meski tak dibuka dan
disambut oleh seorang
menteri. Mas Bejo
menghibur diri sambil
tersenyum dan mulai
berkenalan dengan para
peserta dari berbagai
negara seusai acara
pembukaan dan dilan-
jutkan .
Untunglah, saat ngobrol
dengan beberapa peser-
ta, tak ada yang berta-
nya seperti ini: Why
your minister not com
Kalau sampai ada yang
bertanya seperti itu, Mas
Bejo sungguh tak tahu
harus menjawab apa.
Pertama, karena memang
tak tahu. Kedua, karena memang tak
ada jawaban masuk akal kecuali pak
menteri itu mendadak sakit keras dan
harus dirawat di UGD. Kenyataannya
pak menteri baik-baik saja. Tidak ada
berita di televisi atau koran atau inter-
net yang mengabarkan sang menteri
masuk UGD. Mas Bejo khawatir, jauh
di lubuk hati para peserta telah mun-
cul satu kesimpulan bahwa peme-
rintah Indonesia tidak cukup punya
perhatian terhadap para penyandang
disabilitas.
Persepsi atau kesimpulan itu tentu
saja sangat merugikan pemerintah,
bangsa, dan negara kita. Mudah-mu-
dahan kekhawatiran Mas Bejo tidak
terbukti. Mudah-mudahan Mas Bejo
saja yang terlalu lebay, begitu kata
bahasa gaul anak muda sekarang. Se-
pertinya para peserta sudah mulai me-
lupakan acara pembukaan dan mulai
saling berinteraksi dengan akrab. Me-
reka ada yang tunadaksa, tunagrahita,
tunanetra, tunarungu, dan juga yang
non-disabilitas. Semua menyatu dalam
satu semangat kebersamaan sebagai
komunitas yang senasib dan sepenang-
gungan. Berbagi pengalaman, bertukar
cerita, berwacana tentang perjuangan,
dan membangun mimpi-mimpi ber-
sama sangat kental memenuhi semua
ruang konferensi yang berlangsung se-
lama tiga hari itu. Obrolan para peserta
juga sesekali ditingkahi canda dan
tawa ceria yang begitu lepas dan mem-
buktikan para penyandang disabilitas
memiliki semangat kegembiraan yang
sama besarnya. Bukti bahwa mereka
tak terpuruk menangisi hidup sebagai
penyandang disabilitas. Periode seperti
itu sudah jauh mereka lewati, sama
halnya teman-teman Mas Bejo juga
sudah lama melewati periode itu.
Selanjutnya acara konferensi
menampilkan para narasumber, pakar-
pakar dari berbagai negara, termasuk
Indonesia, yang mewacanakan ber-
bagai bentuk teori, solusi, petunjuk,
dan perbandingan-perbandingan
antara satu negara dengan negara lain.
Semua peserta menyimak. Saat mema-
suki acara diskusi, tercipta diskusi yang
serius dan bermanfaat bagi semua
peserta. Mas Bejo terkesima menyak-
sikan betapa cerdas dan pintar para
penyandang disabilitas di konferensi
ini. Mereka berbahasa Inggris dengan
baik. Bahkan, seorang peserta celebral
dari Korea Selatan terpilih men-
jadi narasumber dan menyampaikan
makalahnya dalam bahasa Inggris
yang baik meski dengan suara seorang
CP yang terbata, sengau, dan susah
payah. Luar biasa sekali. Mas Bejo dan
banyak peserta lain yang non-disabili-
tas menjadi saat mengikuti
pembicara CP dari Korea itu. Lalu Mas
Bejo rasanya menjadi begitu malu atas
semua kesombongan yang pernah
dilakukan dengan sengaja ataupun ti-
dak. Ah, mengapa kesombongan selalu
menjadi penyakit kronis bagi umat
manusia? Mas Bejo bertanya-tanya
sendiri.
Mas Bejo tak ingin menjawab
pertanyaan itu, toh kesombongan
memang sudah lama menjadi titik
lemah manusia. Dan ini berlaku
bagi semua jenis manusia, termasuk
para penyandang disabilitas. Jika tak
hati-hati, jika tak mawas diri, jika tak
, semua orang akan
mudah terjebak dalam kesombongan.
Para penyandang disabilitas sebagai
sesama manusia juga berada dalam
bahaya yang sama. Makin pintar
dan hebat makin besar pula godaan
terjerembap dalam kesombongan. Mas
Bejo menghela nafas dalam sambil
mengamati semua peserta konferensi
yang pintar-pintar dan hebat-hebat
itu. Semoga mereka tidak terperangkap
di jurang kesombongan. Perjuangan
hak-hak para penyandang disabilitas
masih panjang dan membutuhkan
bersatunya semua kekuatan, potensi,
dan kebaikan dari para penyandang
disabilitas. Tanpa bersatunya semua
itu, maka perjuangan akan makin
panjang dan makin berat. Dari konfe-
rensi regional ini Mas Bejo sungguh
mendapat pengalaman berharga dan
bergengsi pula. Sebuah pengalaman
dahsyat yang membuka mata Mas Bejo
tentang sisi lain dari para penyandang
disabilitas.
Ohya, Mas Bejo sampai lupa
menceritakan tema konferensi. Konfe-
rensi itu adalah Regional Conference
on Access to Elections for Persons with
Disabilites atau Konferensi Regional
tentang Aksesibilitas Pemilihan
Umum bagi Penyandang Disabilitas.
Konferensi berlangsung dari tanggal 1
hingga 2 Februari 2012 di Jakarta. Nah,
keren sekali, kan?
FX Rudy Gunawan
FA diffa_15 Maret.indd 31 2/17/12 11:23 PM
persepsi
32 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Masalah Kusta, Diskriminasi dan Stigmatisasi
Ir. Nuah P. Tarigan MA, Dr (Cand.)
HARI Kusta Sedunia
yang diperingati
setiap 29 Januari
sepatutnya kita sam-
but dengan kepriha-
tinan yang mendalam. Sebab, masalah
kusta (lepra) serta stigma/diskriminasi
yang mengikutinya belum hilang dari
bumi Indonesia hingga kini.
Meski demikian, dari tahun ke
tahun kita boleh berbangga atas peran
serta masyarakat Indonesia, khusus-
nya di Jakarta, Surabaya, Makassar,
serta Kupang, dalam menyambut
Hari Kusta Sedunia. Kebetulan, hari
peringatan ini bersamaan dengan hari
kematian Mahatma Gandhi, pahla-
wan dunia dan India yang sangat
dihormati. Gandhi adalah pahlawan
antikekerasan yang berusaha meng-
angkat martabat bangsanya, khusus-
nya penyandang kusta di India dan
seluruh dunia, tanpa memandang
suku, agama, dan ras.
Menengok kondisi penyakit kusta,
hansen, lepra, atau di Indone-
sia, banyak orang tidak menyangka
penyakit ini benar-benar masih ada
dan belum hilang sama sekali. Ber-
dasarkan data Kementerian Kesehatan
dan WHO, jumlah penderita kusta di
Indonesia setiap tahun bertambah
sekitar 17.000 orang. Ini angka ketiga
terbesar di dunia, setelah India dan
Brasil. Berdasarkan data Kementerian
Sosial, jumlah orang yang pernah
mengalami kusta di Indonesia menca-
pai 1, 2 juta orang (data Susenas 2004).
Sekitar 10 tahun lalu, saya pun
memiliki pendapat yang sama seperti
kebanyakan orang. Tetapi setelah
melihat kenyataan yang sungguh-
sungguh nyata, pendapat itu akhirnya
pupus. Penyakit kusta bukan sema-
kin berkurang, justru kian banyak
di beberapa daerah di Indonesia.
Dulu orang hanya tahu Rumah Sakit
Sitanala di Tangerang dan sekitarnya
sebagai zona penderita kusta di Jakarta
dan sekitarnya, saat ini justru penderi-
ta kusta ada di mana-mana. Di daerah
sekitar Bekasi saya melihat banyak
penderita kusta di sudut-sudut jalan.
Situasi yang berkembang di nega-
ra kita, rekan-rekan yang mengalami
kusta tidak diakomodasi dengan baik
oleh masyarakat maupun instansi
pemerintah. Mereka dianggap sebagai
orang yang perlu dikasihani, atau bah-
kan dihindari, dalam arti tidak diberi
kesempatan untuk berapresiasi yang
positif dalam hidup mereka.
Kementerian Kesehatan dan
Kementerian Sosial serta beberapa
penyandang dana dari luar negeri,
juga beberapa organisasi internasional
dan nasional, memang memberikan
ini tidaklah cukup. Perlu gerakan me-
nyeluruh dan sifatnya atau
mengungkit secara bersama-sama.
Ibarat beberapa orang yang meng-
ungkit batu, akan lebih mudah jika
dilakukan dengan panduan satu aba-
aba, dibandingkan dengan mengung-
kit batu sendiri-sendiri. Perlu
Foto
: N
uah
P. Tari
gan
FA diffa_15 Maret.indd 32 2/17/12 11:23 PM
33diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
will yang kuat dari pemerintah secara
menyeluruh, baik dari pihak eksekutif,
legislatif, yudikatif , maupun media
massa.
Ketiadaan kebersamaan dalam
satu aba-aba sering menjadi ma-
salah di Indonesia. Bukan hanya
pada masalah kusta, juga pada kasus
penyakit-penyakit menular lain.
burung, tuberkolosis, HIV-AIDS, dan
sebagainya, karena dianggap penyakit
kuno dan sudah menghilang. Bahkan
dalam Millenium Development Goals
(MDGs), isu kusta tidak dijelaskan se-
cara saksama, tetapi digabung dengan
konteks penyakit menular lain. Terke-
san dilupakan.
Perkiraan ini jelas salah, karena
ternyata penemuan kasus baru
kusta setiap tahun masih tetap sama
dan cenderung stabil dari tahun ke
tahun. Selain itu, kusta memang
bukan penya kit yang mengakibatkan
kematian seperti penyakit menular
lain, sehingga tidak ditanggapi secara
serius. Namun, sebenarnya kusta bisa
dikatakan sebagai penyakit kronis,
yang banyak sekali menimbulkan ma-
salah sosial-ekonomi bagi penderita.
Banyak sekali lingkaran setan yang
tidak habis-habis di dalam kehidupan
rekan-rekan yang mengalami kusta.
Sepanjang kehadiran penyakit
kusta masih merajalela di Indonesia,
peran masyarakat dan pemerintah
beserta organisasi non-pemerintah
diperlukan secara simultan. Tidak ada
seorang pun yang dapat menyele-
saikan masalah kusta secara sendiri-
sendiri. Termasuk rekan-rekan yang
sudah lama berkecimpung dalam
masalah kusta.
Dibutuhkan peran serta masyara-
kat yang sudah pernah mengalami
dan yang sedang mengalami kusta
berbicara secara terbuka di tengah
masyarakat. Tentu orang yang memi-
liki motivasi dan berkarakter, bukan
karena motivasi
insentif berupa
uang dan materi
semata. Juga bukan
karena motivasi
yang disebabkan
ketakutan karena ti-
dak akan mendapat
penghidupan yang
layak.
Kita tidak boleh
dari segala usaha
kita dalam mena-
ngani masalah
kusta. Perlu usaha-
usaha peningka-
tan kapasitas dan
peran yang jelas dan
terbuka bagi para
penyandang disa-
bilitas kusta pada
khususnya.
Usaha-usaha
untuk mencapai hal
tersebut memang
tidak mudah. Sebab,
stigma-stigma yang
terjadi di masya-
ra kat terhadap
penyandang disa-
bilitas kusta masih
besar, bahkan di
beberapa tempat sa-
ngat ekstrem. Orang
yang menyandang
kusta dianggap sa-
ngat berbahaya dan
akan menjangkit-
kan penyakit ini ke
orang-orang dekat.
Padahal, kusta
penyakit menular
yang paling lambat
penularannya
dibandingkan pe-
nyakit menular lain.
Stigma inilah
yang membuat ma-
Foto
: N
uah
P. Tari
gan
FA diffa_15 Maret.indd 33 2/17/12 11:23 PM
34 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
syarakat yang mengalami kusta hidup
berkelompok dan mengelompokkan
diri, yang pada akhirnya justru mem-
buat permasalahan semakin banyak
dan menumpuk. Hanya sedikit persen-
tase penyandang disabilitas ini yang
dapat mengembangkan diri menjadi
orang yang mandiri.
Indonesia termasuk lamban
dalam mengembangkan hal itu,
bahkan hingga sekarang belum benar-
benar memperhatikan dan menjalan-
kan undang-undang yang memiliki
konsekuensi dalam menerapkan
asas-asas hak asasi bagi penyandang
UU No. 19 Tahun 2011 tentang Hak
Penyandang Disabilitas membawa
perbedaan yang nyata dan positif bagi
penyandang disabilitas, termasuk
rekan-rekan yang mengalami kusta.
Bangsa-bangsa di dunia sangat
memperhatikan Indonesia dalam ma-
salah ini, termasuk lembaga-lembaga
dari Australia, Inggris, Jepang, dan
Belanda. Saya khawatir hanya mereka
yang serius, tetapi kita justru tidak. Be-
tapa menyedihkan kalau kita bersikap
seperti itu. Gejalanya ada. Imbauan
yang sering didengung-dengungkan
pemerintah yang diwakili Kementeri-
an Kesehatan tidak ditanggapi dengan
baik oleh seluruh elemen masyara-
kat. Mungkin karena dianggap tidak
menarik dan tidak memiliki nilai yang
besar seperti problem-problem sosial
dan ekonomi lainnya.
Saya kira kita tidak perlu membuat
suatu gerakan sosial yang terstruktur
dan terorganisasi secara kaku. Yang
dibutuhkan adalah masyarakat yang
Memang peran hukum akan sangat
mendukung. Kalau kita ingin menjadi
bangsa yang mandiri, maka seha-
rusnya mulai berpikir dan bertindak
secara kreatif. Sampai kapan bangsa-
bangsa di dunia dapat membantu kita?
Seperti saya katakan di atas, yang
diperlukan sebuah tindakan. Mem-
buat titik ungkit yang akan dijalankan
secara bersama-sama dengan satu aba-
aba. Begitu harapan kita. Karena itu,
dibutuhkan pemimpin yang berani
menerobos ”kabut” ini.
Masih banyak problem lain yang
harus kita kerjakan dan agendakan
sebagai bangsa dan rakyat ke masa
depan. Saya kira layak masalah kusta
dijadikan agenda secara nasional. Se-
belum semuanya terlambat, alangkah
baiknya kita melihat penyakit, orang
yang mengalami dan penyandang
disabilitas ini, serta dampak-dampak
yang menyertainya apabila tidak
ditangani secara dini. Khususnya
bagi saudara-saudara kita di bagian
Indonesia timur seperti Maluku Utara,
Papua Barat, Nusa Tenggara Timur,
Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan,
yang tergolong rawan dan selama ini
terabaikan.
Saya berharap tulisan ringkas ini
memberikan inspirasi dan pembelajar-
an, yang mengarahkan sebuah peme-
cahan bagi permasalahan besar yang
mungkin kita hadapi di masa depan.
Indonesia (GPDLI)
Berdasarkan data Ke-
menterian Ke sehatan
dan WHO, jumlah
penderita kusta di In-
donesia setiap tahun
bertambah sekitar
17.000 orang. Ini angka
ketiga terbesar di du-
nia, setelah India dan
Brasil. Berdasarkan
data Kementeri an So-
sial, jumlah orang yang
pernah mengalami kus-
ta di Indonesia menca-
pai 1, 2 juta orang (data
Susenas 2004).
Foto
: Is
tim
ew
a
FA diffa_15 Maret.indd 34 2/17/12 11:23 PM
Pn
Foto
-:
Adri
an
Mu
lya
35diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
sudut pandang
Benang Merah Kehidupan
FA diffa_15 Maret.indd 35 2/17/12 11:23 PM
Foto
-:
Adri
an
Mu
lya
seutas benang
merajut budi
menyatu dalam
menyulam ceria
grahita di Asih Budi
mengasihi
jalinan benang
merah di jemari
dan saling belajar
fx Rudi
FA diffa_15 Maret.indd 36 2/17/12 11:23 PM
FA diffa_15 Maret.indd 37 2/17/12 11:23 PM
38 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
apresiasi
Unjuk Peran Penulis DisabilitasJudul buku : Unforgettable Moments: Kisah-kisah Tak Terlupak-
an Sepanjang Tahun 2011
Penulis : Tri Lego Indah FN & Syumity Lovers
Penerbit : AG Publishing, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2012
Tebal : 374 halaman
BUKU ini merupakan kumpulan tulisan
pemenang audisi kepenulisan Share Your
Unforgettable Moment In This Years
(SYUMITY) 2011 yang dimotori Tri
Lego Indah FN, seorang mahasiswi
yang tinggal di Lampung, dan diselenggarakan me-
lalui jejaring sosial Facebook. Setiap tulisan dalam
buku ini berbentuk sepanjang 400
hingga 500 kata.
Dalam antologi ini terdapat tulisan dengan
beraneka macam tema karya 136 penulis di seluruh
Indonesia dan juga luar negeri. Kebanyakan mereka
berstatus siswa SMA dan mahasiswa. Sisanya kar-
yawan, ibu rumah tangga, dan buruh migran. Ke-136
tulisan dikelompokkan menjadi 8 bab, yaitu: The
Gokil Moment, Suara Hati, Hasil Perjuangan, Ketika
Harus Diuji, Kenangan Bersama Sahabat, Inspiring
Moment, Dreams Come True, dan Surprise 2011.
Gaya tulisan dalam buku ini sangat beragam sesuai dengan
gaya asli tiap-tiap penulis. Ada beberapa cerita yang istimewa
karena mungkin tak akan dialami kebanyakan orang, seperti
pengalaman mendapat royalti dari menerbitkan buku antologi
di Taiwan atau mendapat 15 undangan pernikahan dalam satu
hari. Ada juga kisah yang selain luar biasa, juga mengharu-biru,
seperti pengalaman tentang seorang berkepribadian ganda yang
alter-nya adalah tukang bikin onar, serta pengalaman pahit
terjebak dalam bencana tsunami di Jepang.
Secara umum, buku ini cukup menarik. Desain sampul ma-
nis. Pemilihan tipe huruf dan format tulisan juga rapi, meskipun
masih terdapat kesalahan ketik pada beberapa tulisan. Isi tulisan
cukup menarik. Selain menghibur, juga menambah wawasan
pembaca. Sayang ada beberapa tema yang berulang kali dicerita-
kan sehingga terasa membosankan, seperti pengalaman menulis
pertama kali.
Sedikit saran dalam hal penyusunan bab. Mungkin akan
lebih baik bab pembuka The Gokil Moment diletakkan agak ke
belakang. Sebab, kebanyakan tulisan dalam bab pembuka ini
tampaknya karya penulis pemula yang relatif belum bagus bertu-
tur. Sayang sekali bila pembaca sudah malas membaca pada bab
pertama. Padahal pada bab-bab berikutnya banyak cerita menarik.
Terlepas dari kekurangan yang ada, SYUMITY 2011 dan
penerbitan antologi ini memberikan satu kejutan yang menggem-
birakan sekaligus membanggakan dengan berpartisipasinya tiga
penulis penyandang disabilitas.
Pertama adalah Syukron Jayadi dengan karya “Aku dalam
Kemiskinan dan Kekurangan” yang ditulis dengan gaya buku
harian. Penerima beasiswa Bidik Misi ini hanya memiliki satu
penglihatan sejak lahir. Dia bercerita tentang kondisi matanya
yang satu itu memburuk tepat saat dia menjalani tes kesehatan
sebagai salah satu syarat dalam registrasi.
Perjuangannya akhirnya berhasil dan kini
dia tercatat sebagai salah satu mahasiswa
S1 di FKIP PGSD Universitas Mulawarman
Samarinda.
Kedua adalah Mukhanif Yasin Yusuf
yang menulis “Repihan Jejak” dengan gaya
seperti menulis cerpen. Mukhanif yang
tunarungu bercerita tentang pengalaman
pribadinya ketika saat naik bus.
Dengan detail, Mukhanif bercerita tentang
caranya berkomunikasi dengan orang lain,
yaitu dengan menggunakan tulisan. Cukup
informatif bagi mereka yang belum tahu
cara berhubungan dengan tunarungu.
Ketiga adalah Ramadhani Ray dengan karya “Menoreh Pena
Mengukir Sejarah”. Dhani yang lulusan Sastra Jepang Universitas
Padjajaran ini penyandang . Dalam karya yang ditulis
dengan gaya narasi, Dhani bercerita tentang awal mula dirinya
masuk dunia kepenulisan berikut pemuatan karyanya di beberapa
media.
Kehadiran ketiga penyandang disabilitas ini memberikan
warna yang berbeda, warna inklusi, yang tampak jelas dalam
karya-karya yang menceritakan perjuangan mereka agar bisa
eksis di tengah masyarakat.
deaf chaos
deaf
tulis
Mukhanif dalam karyanya (hal. 262). Masalah yang perlu menjadi
perhatian kita semua. Mila K. Kamil
FA diffa_15 Maret.indd 38 2/17/12 11:23 PM
Dari Apel, Museum,
hingga “Wiskul”
MALANG kota
terbesar kedua
di Jawa Timur
setelah Surabaya.
Letaknya 90
kilometer di sebelah selatan Surabaya.
Kota ini berhawa relatif sejuk karena
dikelilingi Gunung Arjuno, Semeru,
Kawi, dan Kelud. Kota ini juga jadi
tempat pemberangkatan bila ingin
melakukan perjalanan ke Gunung
Bromo.
Pada zaman kolonial Belanda,
kota Malang dikenal sebagai salah
satu kota terindah di Asia Teng-
gara. Hingga sekarang kota ini masih
mempertahankan sebagian bangunan
bergaya kolonial peninggalan zaman
Belanda. Antara lain bangunan Balai
Kota, Stasiun, Masjid Agung, Museum
Brawijaya, Toko Oen, dan Gereja Hati
Kudus Yesus di Jalan Kayu Tangan.
Jalan Ijen merupakan kawasan
elite dan jalan utama di Malang sejak
dahulu. Rumah-rumah di sini masih
bergaya kolonial, seperti atap genteng
yang tinggi meruncing berbentuk se-
gitiga, sudut rumah yang melengkung
dengan banyak jendela kayu lebar.
Konon, dahulu kawasan ini tempat
tinggal khusus warga Belanda dan
bangsa Eropa lainnya. Saat ini Peme-
rintah Daerah Kota Malang melarang
pembongkaran bangunan di ruas
jalan ini. Bagus
juga. Yang
suka melihat
bangunan kuno
Kota Malang terkenal dengan apelnya. Tapi sebenarnya kota sejuk ini kaya objek wisata menarik, dari wisata peninggalan masa lalu hingga wisata kuliner. Siak catatan Mila Kartina dari jalan-‐jalan ke Kota Apel.
jejak
jadi bisa menikmati peninggalan seja-
rah yang indah ini.
Sehari-hari orang Malang berbi-
cara dalam bahasa Jawa berdialek
Jawa Timuran yang cenderung lugas
dan tanpa basa-basi.
Meskipun blak-blakan, orang Malang
tidak galak. Malah, cara bicara mereka
terkesan cuek dan lucu. Ada lagi hal
yang unik dari masyarakat Malang
dalam hal berbahasa, yaitu basa wa
,
Jalan-Jalan ke Malang
FA diffa_15 Maret.indd 39 2/17/12 11:23 PM
40 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Foto
: M
ila k
am
ilbahasa gaul Malang. Ciri khas-
nya, membolak-balik atau mengacak
huruf dalam satu kata. “Saya” menjadi
“ayas”, “kamu” menjadi “umak”, “arek
Malang” menjadi “kera ngalam”, “ngo-
pi” menjadi “ngipok”, dan sebagainya.
Agrowisata ApelSudah ke kebun apel? Itulah
pertanyaan yang selalu diajukan
bila seseorang baru saja pulang dari
berlibur di Malang. Saking seringnya
mendengar pertanyaan itu, saya jadi
penasaran. Seperti apa sih kebun apel
yang termasyhur itu?
Saya dan beberapa teman me-
nyempatkan diri ke perkebunan apel
Kusuma Agrowisata di kota Batu. Kota
Batu terletak di kaki Gunung Pander-
man, 15 kilometer sebelah barat kota
Malang, di jalur Malang - Kediri dan
Malang - Jombang. Perjalanan dari
Malang menuju Batu jalan semakin
menanjak dan suhu udara semakin
dingin. Memang Batu lebih dingin
daripada Malang karena letaknya
lebih tinggi. Pemerintah Belanda
dahulu menyebut Batu sebagai “Swiss
Kecil di Pulau Jawa”, karena hawanya
yang dingin dan pemandangannya
yang indah.
Perkebunan apel Kusuma Agro-
wisata dikelola sedemikian rupa
menjadi tempat tujuan wisata, lengkap
dengan pemandu, hotel, taman ber-
main, outbond, serta diperkaya koleksi
tanaman lain seperti jambu biji, stro-
beri, jeruk, paprika, kopi, bunga, dan
tanaman hias. Juga dilengkapi koleksi
hewan jinak seperti kancil, rusa, berb-
agai jenis kera, beberapa jenis unggas,
bahkan kelelawar.
Pengunjung harus membeli tiket
untuk berkeliling kawasan perkebun-
an ini. Ada beberapa harga paket, dari
Rp 39 ribu hingga Rp 50 ribu. Variasi
harga paket tergantung rute yang
ditempuh, bagian perkebunan yang
ingin dilihat, serta hidangan dan fasili-
tas tambahan yang bisa dinikmati.
Begitu membeli tiket, kami disam-
but seorang pemandu wisata yang
mempersilakan memetik buah tomat.
Setiap orang mendapat satu kan-
tong. Setelah itu kami mulai berjalan
berkeliling kebun apel dan jambu biji.
Pohon-pohon apel di perkebunan
rupa sehingga tidak terlalu tinggi dan
pengunjung bisa memetik buah apel
dengan mudah.
Untuk paket yang kami ambil,
setiap orang diperbolehkan memetik
dua apel dan tiga jambu biji. Jadilah
kami berjalan di antara kebun apel,
memilih-milih dan memetik buah
apel, sambil tak lupa berfoto-foto
tentunya. Kami juga mengunjungi
area kebun bunga dan tanaman hias
di sebuah rumah kaca besar yang biasa
disebut greenhouse. Segala macam
bunga dan tanaman hias, bibit, hinga
perlengkapan berkebun dijual di sini.
Melihat koleksi hewan pun tak ka-
lah asyiknya. Saya merelakan sekan-
tong tomat saya untuk makan siang
sepasang kancil jantan dan betina.
Di kandang burung kakatua, giliran
teman saya yang merelakan tomatnya.
Saya baru tahu cara makan kakatua
sangat unik. Setelah mengambil tomat
FA diffa_15 Maret.indd 40 2/17/12 11:23 PM
41diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Foto
: M
ila k
am
il
dengan paruhnya, memegang buah
itu dengan kaki kanan, lalu mengupas
tomat dengan paruh bengkoknya.
Kemudian memakan daging buah itu
sedikit demi sedikit. Hmm… seperti
cara makan manusia, ya?
Dari kandang kakatua kami bera-
lih ke kandang kelelawar, jenis hewan
mamalia yang dapat terbang. Tampak
beberapa ekor kelelawar bergelan-
tungan terbalik di dalam kandang.
Sayapnya yang lebar membuat tubuh
dan kepalanya jadi tampak mungil.
Seumur hidup, baru kali ini saya meli-
hat sayap kelelawar dari dekat. Sayap
berwarna hitam yang bila dibentang-
kan bisa mencapai panjang hampir
dua meter itu tampak lentur, licin, dan
tipis seakan-akan gampang sobek.
Setelah lelah keliling perkebunan,
pengunjung dipersilakan beristirahat
di restoran untuk menikmati kudapan
sesuai fasilitas paket yang dipilih. Di
restoran itu dijual berbagai penga-
nan berbahan aneka buah dan sayur
seperti sari apel, sari stroberi, cuka
apel, jenang apel, sari jambu, dan kopi
bubuk. Para pencinta apel bisa puas
berbelanja segala jenis penganan apel
di sini.
Museum Unik Di Malang ada beberapa museum
yang unik. Unik karena tidak seperti
museum biasa yang memajang benda-
benda bersejarah di
sebuah gedung. Museum yang kami
kunjungi ini juga berfungsi sebagai ho-
tel dan rumah makan. Museum unik
pertama yang kami kunjungi adalah
Hotel Tugu. Ya, hotel bintang lima
yang terletak di jantung kota tua ini
juga merupakan museum.
Menurut Monita, petugas hotel,
karena Hotel Tugu didesain sekaligus
sebagai museum, petugas juga bertu-
gas sebagai pemandu. Koleksi barang
antiknya sangat banyak. Barang-
barang antik tersebut merupakan
peninggalan masyarakat Jawa babah
peranakan, yaitu campuran antara
pendatang Cina dan pribumi, ratusan
tahun lalu. Termasuk di antaranya be-
berapa benda antik dari zaman Kubilai
Khan.
Di hotel ini terdapat banyak ruang
duduk dengan arsitektur Cina, Persia,
Mesir, Eropa, dan tentu saja Indonesia.
Nama ruangan menggambarkan sua-
sana zaman itu, seperti Endless Love
Avenue to the Sahara, yang merupak-
an sebuah lorong panjang yang dihiasi
ukiran dan lampu-lampu bergaya
Mesir. Ada juga Babah Room, resto
dengan perlengkapan makan khas
Cina zaman dulu. Wah, sayang
melewatkan ke- sempatan berfoto
dengan barang- barang antik ini.
Kafe dan resto di hotel ini
diberi nama yang tidak kalah
eksotis, seperti The Silk Road
Pavilion, Tirta Gangga,
The Persian Room,
The Kubilai Khan Chamber, The
Marco Polo, dan L’Amour Fou. Ada
pula ruang rapat yang diberi nama
the Sugar Baron Room dan Keraton
Ballroom. Semuanya penuh dengan
barang antik dari masa lalu, dari meja-
kursi makan, peralatan makan, hingga
pajangan dan lukisan dinding. Jadi,
tamu hotel bisa makan dan minum
di ruangan penuh barang antik ini.
Hmm…
Tempat terakhir yang kami kun-
jungi di hotel-museum ini adalah Roti
Tugu Bakery dan Sidewalk Café yang
mempunyai dua pintu. Satu menyam-
bung dengan bangunan hotel, satu
lagi menghadap ke jalan raya. Toko ini
menjual segala macam es krim, ,
kue dan roti khas zaman kolonial
Belanda, baguette dan croissant khas
Prancis, serta tentu saja cemilan khas
Malang.
Museum unik lain adalah Mu-
seum-Resto Inggil di belakang Balai
Kota Malang. Gedung rumah makan
bergaya Jawa dengan nuansa zaman
kolonial Belanda ini menyediakan
dua jenis tempat makan, yaitu lesehan
dan duduk di kursi. Menu yang dita-
warkan khas Jawa tradisional, seperti
tempe penyet, sambel pencit, nasi
jagung, pecel terong, rawon dengkul,
tahu petis, sayur asem, urap-pecel,
dan pepesan. Juga tersedia minum-
an tradisional seperti wedang jahe,
wedang ronde, dan es
beras kencur.
FA diffa_15 Maret.indd 41 2/17/12 11:23 PM
42 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Foto
: M
ila K
am
ilYang juga menarik, para pelayan ber-
penampilan Njawani.
Banyak sekali benda antik koleksi
museum-resto ini, antara lain meja
kursi kuno dari kayu dan bambu.
Restoran ini juga memajang aneka
hiasan dan pajangan tradisional Jawa
seperti patung dan topeng wayang, be-
berapa foto kota Malang tempo dulu,
benda-benda antik seperti sepeda,
mesin tik, pesawat telepon, pesawat ra-
dio kuno, mata uang zaman Belanda,
prangko lama, bahkan alat pengeriting
rambut kuno yang tampak seperti alat
untuk menyiksa karena tali-talinya
yang panjang menjulur mengerikan.
Dinding restoran ini dihiasi
papan reklame tempat usaha dan
produk zaman dulu. Ada iklan mobil
Morris, yang populer di Indonesia seki-
tar tahun 1970-an, Shampoo Poeder
Lidaboeaja lengkap dengan ilustrasi
daun lidah buaya, biskuit Verkade
Djempol yang aslinya berasal dari
Belanda, sepatu Bata, dan Restaurant
Solo tempo dulu.
Seusai makan, kami mampir
ke toko suvenir di halaman depan
restoran. Di toko itu terdapat berbagai
macam cenderamata khas Malang
serta pernak-pernik zaman dulu,
sampai bingung memilih. Tiba-tiba
saya melihat di meja kasir ada stoples
berbentuk blek kaca kecil seperti yang
biasa dipakai menyimpan krupuk di
warung. Di dalam blek itu disimpan
permen cokelat koin yang dibungkus
kertas emas dan permen mint Winston.
Aha! Permen kesukaan saya waktu
kecil!
Aneka Wiskul Salah satu tempat wiskul alias
wisata kuliner di Malang adalah
Waroeng Bamboe di kawasan Batu.
Restoran berdinding bambu ini sangat
unik, dibangun di atas tiga area kolam
ikan yang besar, mempunyai banyak
untuk pengunjung
rombongan. Pengunjung bisa melihat
ikan koi, mas, dan nila yang berenang-
renang di bawah meja makan kaca.
Hmm… ada yang sebesar paha orang
dewasa. Ohya, sambil menunggu
makanan pesanan datang, kita bisa
memberi makan ikan-ikan ini. Dise-
diakan pakan ikan seharga seribu
rupiah per bungkus.
Hidangan laut dan sayuran tumis
yang kami pesan semuanya enak. Tapi
yang paling maknyus adalah
gurame bakar. Rasanya jadi
ingin tambah terus.
Tempat wisata kuliner
asyik lainnya adalah Bakpia
Telo. Toko bakpao dan bakpia
bernuansa ungu ini berupa
gedung yang cukup besar dan
berhalaman luas. Tempat ini
merupakan salah satu tujuan
wisata di Malang. Di halaman
parkir tampak beberapa bus
pariwisata rombongan anak
sekolah.
Segala macam penganan
khas telo ada di sini, dari
bakpia, mi, es krim, hot dog,
hamburger, kripik, dodol, kue
mangkok, sampai yang masih
berwujud bahan baku seperti tepung
telo. Ada rasa khas telo alias ubi jalar
di bakpao itu. Hmm… sedap dan
unik! Makanan serba telo di tempat
ini benar-benar inovatif dan… enak!
Tak lupa saya membeli segelas jus telo
dingin. Rasanya manis dan segar.
Kota Malang juga terkenal dengan
baksonya. Kami menyempatkan mam-
pir ke Bakso President dan Bakso Bakar
Pahlawan Trip. Di Bakso President,
dalam satu porsi, kita bisa menik-
mati aneka macam bakso: bakso biasa,
bakso urat, bakso telur, siomay, dan
bakso goreng. Konon warung bakso
ini digandrungi artis-artis Ibu Kota. Se-
buah pigura berisi tanda tangan artis-
artis yang pernah datang digantung di
dinding sebagai pajangan. Antara lain
Shahnaz Haque, Nugie, Ari Lasso, Julia
Perez, Inul Daratista, dan Tere.
Bakso Bakar Pahlawan Trip beda
lagi. Warung bakso di Jalan Pahlawan
Trip ini menawarkan sajian unik bakso
bakar. Menyantap bakso bakar dengan
kuah panas yang gurih, hmm… sung-
guh khas Malang. Rasanya ingin kem-
bali lagi ke Kota Apel yang sejuk ini.
Mila K. Kamil
FA diffa_15 Maret.indd 42 2/17/12 11:23 PM
FA diffa_15 Maret.indd 43 2/17/12 11:23 PM
JULISA LESTARI
puisi
Angin yang berhembus lembut bagai lautan bernafas
* Sri Lestari, siswi penyandang disabilitas daksa, kelas 11 SLB N Salatiga, Jawa Tengah.
44 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
FA diffa_15 Maret.indd 44 2/17/12 11:23 PM
ragam
45diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Foto
: Sig
it D
Pra
dan
a
GERAKAN Peduli Disabilitas dan Lepral Indonesia (GPDLI) pim-
pinan Ir. Nuah P. Tarigan, MA, Dr (Cand.) memperingati Hari Lepra
Dunia (World Leprosy Day), 30 Januari 2012 lalu. Peringatan itu
dilaksanakan bersamaan dengan deklarasi Program Teach For Indo-
nesia (TFI) di Kampus Anggrek BINUS University, Jl. Kebon Jeruk
Raya No. 27, Jakarta Barat.
TFI adalah program pengabdian komunitas pemuda yang berniat mengemba-
likan kembali ilmu yang mereka peroleh di kampus kepada masyarakat melalui
penerapan frame work Millenium Development Goals (MDGs).
Salah satu acara dalam Hari Lepra Dunia dan peluncuran TFI itu adalah
diskusi mengenai persoalan wanita dan penyandang disabilitas, dengan pembi-
mantan penyandang. Ibu yang datang bersama teman-temannya dari komplek
Sitanala, Tangerang, bercerita bagaimana mereka terdiskriminasi dalam kehidup-
an karena stigma lepra.
“Kusta atau lepra masih menjadi masalah serius di Indonesia, karena setiap
tahun ditemukan 17.000 kasus lepra baru. Nomor tiga terbesar di dunia sesudah
India dan Brazil,” kata Nuah Tarigan.
World Leprosy Day BINUS
SABTU, 11 Februari
2012, Persatuan
Orang Tua Penyan-
dang Cacat Anak
(Portupencanak)
mengadakan lokakarya dalam
rangka persiapan pelaksanaan
UU Hak Penyandang Dis-
abilitas (CRPD) di Hotel Kaisar,
Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Lokakarya dengan tema
“Meningkatkan Peran Orang
Tua/Keluarga Dalam Per-
wujudan Perlindungan dan
Pemenuhan Hak-hak Anak
Penyandang Disabilitas” itu
menampilkan pembicara
adalah Dra. Eva Rahmi Kasim,
MDS, Ibu RA Aryanto dari
Asih Budi, dan DR. dr. Ferial
Idris.
Lokakarya dihadiri ang-
gota dan pengurus Portupen-
canak dari Jakarta, Jawa
Tengah, Riau Kepulauan dan
Kalimantan Tidur. Juga pengu-
rus Forum Komunikasi Kelu-
arga Anak dengan Kecacatan
LokakaryaPortupencanak
FA diffa_15 Maret.indd 45 2/17/12 11:23 PM
konsultasi pendidikan
46 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Mungkinkah Anak “Down Syndrome” Belajar di Sekolah Alam?
Bapak Asep Supena yang terhormat,
Saya Ruly, memiliki anak dengan down
syndrome. Rangga namanya, usianya 8
tahun. Selama ini Rangga menjalani terapi
di sebuah sekolah khusus.
Saya termasuk orang yang menyu-
kai sekolah alam. Menurut saya, di seko-
lah alam anak-anak dilatih untuk menjadi
pribadi kreatif. Saya berencana memasuk-
kan Rangga ke sebuah sekolah alam yang
jaraknya tak terlalu jauh dari tempat
tinggal kami. Namun, saya masih agak
ragu-ragu, mengingat Rangga anak dengan
down syndrome.
Apakah hal ini memungkinkan?
Apakah metode pendidikan sekolah
alam bisa membantu Rangga jadi lebih
baik?Meningkatkan taraf kecerdasan
Rangga, misalnya? Jika memungkinkan,
tahap apa yang harus saya tempuh? Mung-
kin saya harus melakukan pendekatan
terlebih dahulu dengan pihak sekolah?
Mohon nasihat Pak Asep.
Terima kasih sebelumnya.
Bu Ruly yang saya hormati,
Hal pertama yang harus dimiliki orang tua untuk dapat
mendampingi anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah
kesabaran dan keikhlasan, serta kemauan untuk terus
mengetahui dan memahami anak. Termasuk sifat-sifat dan
bagaimana pendidikannya. Saya pikir, Ibu Ruly telah me-
miliki hal tersebut dan semoga terus konsisten.
Down syndrome adalah kelainan genetis yang menjadi
salah satu penyebab hambatan kecerdasan paling popu-
ler. Sejumlah literatur menyebut 1 dari 800 hingga 1.000
anak terlahir dengan sindrom ini. Penyebabnya, karena ada
kelebihan kromosom (extra cromosome) pada pasangan
kromosom ke-21. Sehingga sindrom ini sering juga disebut
dengan istilah “trisomy 21”. Sayang para peneliti belum
menemukan secara pasti apa penyebab terjadinya ekstra
kromosom tersebut.
Siswa dengan down syndrome umumnya memiliki
hambatan kecerdasan sedang atau rendah. Mereka bagian
dari kelompok anak yang mengalami hambatan kecerdasan.
Seperti pernah saya kemukakan dalam tulisan sebelumnya,
anak dengan hambatan kecerdasan (
atau tunagrahita) adalah mereka yang memiliki skor IQ di
bawah 70 dan memiliki hambatan dalam perilaku adaptif
(beradaptasi dengan lingkungan). Kasus semacam ini terjadi
sebelum usia 16/18 tahun.
Hal lebih penting dalam menghadapi down syndrome
adalah bagaimana kita bisa memahami secara terperinci
karakteristik perilaku serta kebutuhan khusus mereka.
Misalnya, apa kesulitan atau ketidakmampuan mereka
dibanding anak-anak lain seusianya, apa yang masih dapat
dilakukan, apa kelebihan, dan bagaimana kecenderungan
emosi dan prilaku mereka.
Dengan memahami sifat-sifat atau karakteristik terse-
but, selanjutnya kita cermati apa yang menjadi kebutuhan
khusus mereka, termasuk kebutuhan khusus dalam keg-
iatan belajar atau pendidikan.
FA diffa_15 Maret.indd 46 2/17/12 11:23 PM
47diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Dr. Asep Supena, M.Psi
Dosen Jurusan Pendidikan Luar Biasa,
Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Jakarta
Ibu
Ruly, seko-
lah yang
me-
miliki
pema-
haman
tentang
kondisi
down syndrome
dan secara khusus
menyiapkan
program
pendidikan untuk
mereka adalah sekolah luar biasa
(SLB), khususnya SLB untuk anak
dengan hambatan kecerdasan
(SLB/C).
Sebenarnya pendidikan
untuk anak dengan hambatan
kecerdasan, termasuk down
syndrome, dapat juga dilakukan
di sekolah-sekolah umum atau
re guler. Siswa down syndrome
yang mengikuti pendidikan di
sekolah umum dilayani ses-
uai dengan kemampuan dan
kebutuh an khusus mereka.
Ini meliputi metode mengajar,
kurikulum, media pembelajaran,
hingga cara atau metode evalua-
si. Ini yang dikenal dengan istilah
pendidikan inklusif.
Sekolah umum yang me-
nyelenggarakan pendidikan
inklusif harus mempunyai
tenaga guru yang memiliki
pemaham an
tentang pendidikan
inklusif dan
pendidikan
untuk anak
berkebutuhan
khusus. Selain
itu, perlu ada
minimal satu
orang guru yang
-
kasi pendidikan
atau keahlian
pada bidang
pendidikan khusus. Hal
ini penting supaya anak berke-
butuhan khusus mendapat
layanan pembelajaran yang
tepat.
Saya berpikir, sekolah alam
yang Ibu Ruly sebut termasuk dalam
wacana atau pembahasan tentang
sekolah inklusif. Jadi, berdasarkan
penjelasan di atas, pada dasarnya
Ibu dapat memasukkan Rangga ke
sekolah alam yang Ibu sebutkan.
Dengan catatan, sekolah tersebut telah
memenuhi sejumlah persyaratan
untuk dapat menyelenggarakan
pendidik an inklusif secara baik, se-
bagaimana dijelaskan di atas.
Untuk itu, sebelum memasukkan
Rangga ke sekolah alam, ada baiknya
Ibu terlebih dahulu berkomunikasi
dan berkonsultasi dengan pihak seko-
lah tentang keinginan menyekolah-
kan Rangga ke sekolah alam tersebut.
Dengan demikian segala sesuatunya
menjadi jelas dari awal.
Tentang apakah sekolah
alam dapat membuat anak down
syndrome menjadi lebih baik, itu
sangat bergantung pada isi kuri-
kulum dan metode pembelajaran
yang dilakukan. Pembelajaran
yang tepat untuk anak down syn
drome adalah pembelajaran yang
menyenangkan, materi bersifat
konkret, praktis, dan sederhana,
sesuai kemampuan anak. Bukan
materi yang bersifat akademik atau
teoretis. Dalam proses belajar, anak-
anak harus terlibat secara aktif,
atau yang dikenal dengan metode
partisipatif.
Semoga penjelasan ini dapat
membantu Ibu Ruly mengambil
keputusan terbaik untuk Rangga.
Did
i Pu
rnom
o
FA diffa_15 Maret.indd 47 2/17/12 11:23 PM
ruang hati
Keterlibatan KeluargaMengasuh ABK
48 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Menerima Karyawan Penyandang Disabilitas
Ibu Frieda yang terhormat,
Saya Lusie, bekerja di sebuah perusahaan swasta.
Perusahaan kami berencana mempekerjakan karyawan
yang menyandang disabilitas sebagai salah satu
bentuk program CSR kami. Rencana kami adalah
menerima seorang pengguna kruk atau kursi roda
di bagian keuangan dan akuntansi, serta seorang
tunarungu di bagian IT.
Saya mengharapkan nantinya karyawan
penyandang disabilitas yang bekerja di perusahaan
kami dapat menyatu dengan karyawan lain, begitu pula
sebaliknya. Namun saya membayangkan, pada tahap
awal mungkin akan ada suasana yang saling kikuk,
karena belum terbiasa. Terus terang, saya agak gugup
untuk memulai hal ini, terutama dengan calon
karyawan yang tunarungu. Saya membayangkan pasti
akan ada hambatan komunikasi.
Menurut Ibu Frieda, apakah kami membutuhkan
proses khusus untuk menerima karyawan penyandang
disabilitas? Apakah ada tahapan khusus yang harus
kami tempuh? Apakah mungkin akan terjadi hambatan
psikologis dalam relasi karyawan disabilitas dengan
karyawan lain? Bagaimana cara membangun relasi
dengan karyawan penyandang disabilitas ini nantinya?
Mohon nasihat Ibu Frieda.
Ibu Lusie yang baik,
Kesediaan lembaga, seperti per -
usahaan swasta tempat Anda bekerja,
menerima penyandang disabilitas
untuk bekerja memang dapat meng-
gambarkan komunitas yang sudah
inklusif dalam hal bekerja bersama
penyandang disabilitas. Ini tentu patut
diacungi jempol.
Saya juga mengerti dan setuju
dengan Anda, bahwa akan lebih
nyaman bagi kedua belah pihak bila
ada persiapan dan pemahaman awal
tentang siapa teman kerja baru serta
bagaimana kekhasan mereka.
Sebenarnya dapat kita pahami
bahwa setiap orang itu unik dan
memiliki karakteristik yang khas
serta berbeda satu dengan yang lain.
Demikian juga penyandang disabili-
tas. Bila seseorang dalam melakukan
mobilitas dan aktivitas keseharian
dengan menggunakan kedua kakinya,
bersepeda, naik motor, naik mobil
pribadi, kendaraan umum, penyan-
dang disabilitas mungkin dengan kursi
roda.
Demikian juga dalam berkomu-
nikasi. Ada banyak cara dan metode
yang dapat digunakan. Tidak hanya
komunikasi secara verbal atau lisan
yang ditangkap dengan indra penden-
garan. Komunikasi dapat juga dilaku-
kan melalui komunikasi nonverbal,
visual, dan tertulis. Hal-hal inilah
yang perlu dipahami sebelum bekerja
bersama orang lain yang memiliki
karakteristik yang agak berbeda dari
FA diffa_15 Maret.indd 48 2/17/12 11:23 PM
Keterlibatan KeluargaMengasuh ABK
49diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Menerima Karyawan Penyandang Disabilitas
Did
i Pu
rnom
o
apa yang sering kita temui sehari-hari.
Ada baiknya karyawan baru,
baik secara pribadi maupun bersama
pendamping bila memang ada (ke-
luarga, agen, pihak lain yang terkait
dengan proses seleksi dan penerimaan
karyawan), memperkenalkan diri,
terutama dengan bagian atau unit
langsung tempat ia bekerja.
Dalam sesi perkenalan ini, bisa ter-
harapan-harapan, kebutuhan-kebu-
tuhan ataupun teknik berkomunikasi
yang akan digunakan untuk dapat
membantu karyawan penyandang
disabilitas merasa nyaman melaku-
kan tugas-tugas mereka di kantor
Anda.
Ada kemungkinan diperlukan
fasilitas kantor seperti perlunya
akses untuk leluasa bergerak dengan
kursi roda, jalan bebas hambatan dari
lainnya. Juga bentuk toilet dan alter-
-
kinkan karyawan berkursi roda bisa
melakukannya tanpa bantuan.
Sebelum menjalankan tugas,
sebaiknya penyandang disabilitas me-
miliki deskripsi yang jelas baik tentang
tanggung jawab, hak dan kewajiban,
ruang lingkup, maupun fasilitas yang
bisa digunakan dalam memenuhi
target yang diberikan, juga menyele-
saikan tugas dengan sebaik-baiknya.
Ada baiknya mereka memiliki
semacam buddy, sobat, pendamping,
tutor, teman sekerja atau supervi-
sor yang merupakan orang pertama,
terdekat, tempatnya bertanya atau
memberi informasi yang diperlukan
selama bekerja.
Pandanglah mereka, meskipun
menyandang disabilitas, dengan
kemampuan, kelebihan, dan kekuatan
yang mereka miliki, bukan dengan
keterbatasan atau kelemahan mer-
eka. Libatkan mereka dalam berbagai
aktivitas, tanpa diskriminasi, dan
menghormati keputusan mereka bila
memilih tidak ikut terlibat di dalam
suatu kegiatan yang tidak diwajib-
kan.
Semoga pengalaman awal ini,
bila berhasil dilakukan, bisa mem-
bantu mengikis stigma negatif
tentang penyandang disabilitas dan
memperkuat penghargaan terha-
dap sesama
Frieda Mangunsong
Guru Besar (Profesor) Fa kul tas Psikologi Universitas Indonesia yang se jak tahun 1980 mengajar dan sejak tahun 1984 mendalami bidang Psikologi Pendidikan.
insan yang menghendaki kesem-
patan yang sama dalam bekerja dan
memperoleh hak yang sama untuk
mengembangkan diri serta karier di
dunia kerja.
Satu lagi, mungkin ada
perusahaan atau lem-
baga lain yang sudah
mempekerjakan
penyandang disabili-
tas yang sama, yang
bisa menjadi tempat
bertanya atau bertukar
pengalaman.
FA diffa_15 Maret.indd 49 2/17/12 11:23 PM
MUSROJAB
Tak Serapuh KerupukHidup dengan
keterbatasan bukan
alasan untuk berhenti
berusaha. Dalam
ketunanetraan,
Musrojab mencoba
berbagai jalan hidup.
Akhirnya menemukan
usaha agen kerupuk.
Sederhana dan
menghidupi.
MUSROJAB
lahir di Ban-
jarnegara,
Jawa Tengah,
30 November
1983. Ia terlahir sebagai tunanetra.
Meski memiliki keterbatasan sejak
lahir, semangat Musrojab tak ber-
beda dari orang-orang non-disabi-
litas. Ia dibesarkan oleh keluarga
di Temanggung dan menyelesai-
kan pendidikan di sekolah luar
biasa (SLB) hingga SMA.
Setelah menyelesaikan SMA,
Musrojab mencari pekerjaan. Na-
-
nya sulit mendapatkan pekerjaan
yang layak. Upaya mencari kerja
tak membuahkan hasil.
Akhirnya Musrojab diajak
seorang teman sesama tunanetra
juga karena memang saya suka
Mas Musrojab.” Mereka pun meni-
kah pada tahun 2008.
Keinginan untuk menghidupi
keluarga membawa Musrojab
merantau sampai Jakarta. Di Ibu
Kota ia bekerja sebagai tukang pijat
di sebuah panti pijat tunanetra.
Penghasilan yang tak menentu
membuatnya berpikir mencari
pekerjaan lain. Ia kemudian beralih
menjadi pengamen.
Hidup di jalanan sebagai
pengamen tak kalah
berat. Musrojab bersama
teman-teman tunanetra
beberapa kali ditangkap
Satpol PP dan dimasuk-
kan ke
panti sosial
di Kedoya,
Jakarta
Barat.
belajar memijat di Temanggung. Di
sana Musrojab diajar oleh seorang
guru pijat. Memang, banyak tunanetra
seperti dirinya yang akhirnya me-
milih pekerjaan sebagai tukang pijat.
Satu keberuntungan, selama proses
itu Musrojab bergaul dengan banyak
orang non-disabilitas.
Berjuangan di JalananSuatu ketika, saat sedang berja-
lan Musrojab secara tidak sengaja
menabrak seorang perempuan yang
membawa barang-barang cukup
berat. Musrojab meminta maaf
dan membantu perempuan itu
membereskan barang-barangnya
yang jatuh berceceran. Peristiwa
itu merupakan awal pertemuan
Musrojab dengan Santi, yang
akhirnya menjadi istrinya.
Santi menuturkan, ia
berpacaran dengan Musro-
jab selama satu tahun. Ke-
tika Musrojab menyatakan
keinginan menikahinya,
Santi langsung menerima.
“Alasan saya meneri-
manya, ya
karena
ibadah.
Selain
itu
50 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
bingkai bisnis
Foto
: A
thu
rtia
n
FA diffa_15 Maret.indd 50 2/17/12 11:23 PM
Bagaimanapun, tetap lebih nya-
man hidup di jalanan daripada di
panti. Musrojab bersama teman-
temannya memperjuangan hak
untuk bebas dan kembali ke jalan.
Namun, keadaan semakin
sulit setelah keluar Peraturan
Daerah 8/2007 tentang Penertiban
Pengemis dan Gelandangan. Perda
tersebut memaksa Musrojab menin-
ggalkan dunia jalanan.
Agen KerupukDalam situasi sulit tanpa peker-
jaan, seorang teman menyarankan
Musrojab berwirausaha. Usaha itu
adalah berjualan kerupuk Bangka.
Musrojab tertarik mencoba usaha
itu karena tidak membutuhkan
modal besar.
Dengan modal awal Rp 900.000
Musrojab membeli kerupuk dari
sebuah pabrik di Regency Bintaro,
Ciledug. Memulai usaha yang
belum pernah dijalani sebelumnya
tentu tak mudah. Musrojab harus
merintis usaha dari nol. Berbagai
kendala dihadapi. Apalagi usaha-
nya dijalani seorang diri. Salah satu
contoh, awalnya harus mengambil
sendiri kerupuk ke pabrik yang
cukup jauh dari tempat tinggalnya.
Kerupuk yang dibeli pun cukup
banyak. Tentu ia sangat kesulitan.
Belakangan baru ia tahu, kerupuk
dari pabrik bisa diantar dengan
biaya tambahan.
Setelah mulai
paham, Musrojab
merasa tidak kesuli-
tan. Setelah berjalan
tiga bulan, usaha
baru yang dirintisnya
mulai lancar. Teman-
teman seperjuangan-
nya di jalanan dulu
akhirnya bergabung
sebagai penjual kerupuk
keliling. Respons konsumen yang baik
juga membuat omzet kerupuk terus
meningkat. Kini Musrojab jadi distri-
butor kerupuk yang cukup berhasil.
Selain sebagai usaha mandiri,
usaha distribusi krupuk Musrojab juga
sekaligus menjadi sumber penghasilan
bagi teman-temannya penyandang
tunanetra. Musrojab mendistribusikan
kerupuk kepada teman-temannya
dengan harga Rp 3.500 per bungkus.
Kerupuk itu kemudian dijual dengan
cara keliling seharga Rp 5.000 per
bungkus. Dari tiap bungkus yang laku,
teman-teman Musrojab mendapat
Rp 1.500. Sangat menguntungkan
dan menolong. Lebih menolong lagi,
karena Musrojab memberikan ke-
mudahan dengan sistem konsinyasi.
Kerupuk laku baru dibayar. Hal ini
sangat menolong teman-temannya
yang tidak punya modal cukup.
Tidak Mudah Kini, dalam seminggu omzet
penjualan kerupuk Musrojab menca-
pai rata-rata 800 bungkus. Musrojab
mengedarkan kerupuk itu bersama
lima temannya penyandang tunane-
tra. Setiap hari mereka berjualan ke
berbagai tempat di wilayah Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabo-
detabek). “Wilayah penjualan kerupuk
tidak terbatas, tergantung banyaknya
kerupuk yang kami bawa. Semakin
banyak yang dibawa, semakin jauh.
Tempatnya juga tidak menentu.
Yang penting terjual,” jelas Musro-
jab.
Pekerjaan ini sesungguhnya
tidak mudah, mengingat mereka
tunanetra. Sering mereka terperosok
atau menabrak tiang listrik. Salah
satu tantangan berat adalah jika
turun hujan. Jalan yang tergenang
air membuat mereka sering terpele-
set hingga terjatuh dan kerupuk
hancur.
Kesulitan lain adalah melihat
nominal uang. Menurut Musrojab,
kelemahan ini sering dimanfaatkan
pembeli yang tidak jujur. Misalnya
membayar tidak sesuai dengan
harga semestinya. “Dulu pernah ada
pembeli memborong kerupuk saya,
dibayar seratus ribu rupiah. Ternya-
ta uangnya palsu.”
Legiman, salah seorang teman
penyandang tunanetra, menutur-
kan kesulitan-kesulitan itu. “Saya
pernah diisengi anak-anak. Mereka
bilang di sana ada jalan, ternyata
jalan buntu,” ujarnya.
Dengan pencapaian saat ini,
Musrojab berharap usahanya terus
berkembang. Namun, ia tak ber-
harap terlalu muluk, karena juga
melihat usaha ini sebagai usaha
menolong teman-teman penyan-
dang tunanetra. “Yang penting
semua kerupuk habis terjual, sama-
sama untung dan dapat membantu
teman-teman senasib,” katanya.
Untuk menambah penghasil-
an, Musrojab berusaha dengan
jalan lain. Di sekitar rumahnya
yang menjadi perkampungan
penyandang tunanetra, ia mem-
bantu teman-temannya yang ingin
memiliki barang-barang elektronik
dengan sistem pembayaran kredit.
Musrojab mulai kreatif mengem-
bangkan usaha. Hilma Awalina
51diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
FA diffa_15 Maret.indd 51 2/17/12 11:23 PM
cerpen
TerperangkapCHRYSANOVA DEWI
52 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Did
i Pu
rnom
o
AKU berlari kencang.
Nafasku terengah-engah,
sementara peluh memban-
jiri tubuhku. Jantungku
berlomba dengan ketakut-
an yang amat sangat. Saking takutnya aku
sampai tidak berani menoleh ke belakang.
Berkali-kali jalanan yang tidak rata men-
jegal langkahku. Namun aku masih tetap
tidak mau menyerah, meski nafasku sudah
ngos-ngosan seperti motor tua.
Tiba-tiba jalanan mendadak membelok
menuju sebuah tanjakan tajam. Dengan
susah payah aku mendaki tanjakan itu
karena tidak ada jalan lain lagi. Setiba di
atas, ternyata jalannya buntu. Rasa takutku
kontan berubah menjadi kepanikan yang
luar biasa. “Aku terjebak!” jeritku dalam hati.
*
Tanjakan yang buntu itu ternyata ping-
gir tebing yang curam. Satu-satunya jalan
turun adalah jalan yang kulalui tadi. Jelas
tidak mungkin aku balik lagi. Detak jan-
tungku semakin cepat dan keringat dingin
membasahi pakaianku.
Dalam kepanikan itu kuberanikan untuk menoleh ke
belakang. Oh, tidak! Sosok yang mengejarku sudah semakin
dekat. Pada titik kritis kuambil keputusan nekat. Kututup
kedua mataku dan aku melompat. Kurasakan tubuhku
meluncur bebas ke bawah, ke dalam jurang yang bahkan
dasarnya pun tidak kelihatan.
Bruuuuk! Sraaak! Tubuhku terjatuh di atas sesuatu
yang dari suaranya terdengar seperti pohon atau semak
belukar. Terdengar ranting patah di sana-sini. Beberapa di
antaranya menggores kulit dan pakaianku. Aku mengem-
buskan nafas dengan sedikit lega. Setidaknya masih ada
pohon ini yang menyelamatkanku dari kemungkinan
terhempas ke tanah. Bila itu yang terjadi, pastilah tubuhku
sudah remuk.
Namun, bayangan pada yang mengejar di belakangku
menyebabkan aku langsung berusaha turun dari pohon.
Sambil meringis menahan pedih akibat goresan-goresan
ranting yang membuat tubuh dan pakaianku compang-
camping, aku turun secepat mungkin. Namun keterkejut-
an menungguku di bawah. Begitu menjejak tanah dan
mengedarkan pandangan ke sekeliling, mataku langsung
melebar. Jalan itu dan lingkungan di sekelilingnya serasa
kukenal.
Aku buru-buru berlari menghampiri sebuah bangunan
megah yang dikitari pagar besi tinggi. Sebuah papan dengan tu-
lisan besar-besar berdiri di antara pagar besi. Aku memandang-
nya dan langsung ternganga. Itu bangunan sekolah menengah
atas tempatku menuntut ilmu. Aku sempat tidak percaya
pada mataku. Namun berapa kali pun aku mengucek mata
pemandangan di hadapanku tetap tidak berubah. Aku senang
bercampur heran. Kok, aku bisa ada di sini? Padahal baru saja
aku berlari meninggalkan ketakutanku di tempat yang sama
sekali berbeda.
*
Untuk meyakinkan diriku kucoba melihat ke atas, ke
dinding batu cadas yang tadi kulompati dengan nekat. Namun
suasana yang berkabut membuat aku tidak bisa melihatnya.
Maka aku mengambil kesimpulan bahwa aku sudah bebas.
Aku sekarang sudah berada di lingkungan yang kukenal baik.
Entah apa yang kualami tadi, halusinasi, fatamorgana, atau
mimpi buruk, aku tak peduli. Aku lelah, benar-benar lelah.
Kulangkahkan kakiku sambil membayangkan betapa
nyamannya berbaring di tempat tidurku yang empuk setelah
berlari pontang-panting seperti tadi. Aku berjalan ke arah
rumahku. Kelegaan yang mengembang di hatiku membuatku
FA diffa_15 Maret.indd 52 2/17/12 11:23 PM
53diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
tidak sempat merasa heran dengan suasana yang sunyi. Ter-
lalu sunyi malah. sehingga bisa dikatakan sangat ganjil. Tidak
kulihat ada satu makhluk hidup pun selain rumput dan pe-
pohonan.
Kebingungan mulai menerpaku lagi ketika rumahku tak
kunjung kutemukan. Jalan yang kulalui ini terasa sangat pan-
jang. Kepanikan mulai mengguncang jantungku lagi. Di mana
aku? Bangunan tadi jelas sekolahku, tapi mengapa jalanan ini
begitu asing dan tidak kukenal? Aku jadi ketakutan. Tubuhku
gemetaran. Aku takut akan suasana asing ini.
Udara dingin mencekam jantungku, seolah-olah mengand-
ung sebuah aura misterius yang menghambat jalan nafasku.
Aku terengah-engah. Kakiku langsung mengambil langkah
seribu. Aku berlari tanpa tujuan. Yang kuinginkan hanyalah
keluar dari suasana yang asing ini dan kembali ke tempat yang
kukenal. Namun percuma saja. Lama-kelamaan aku benar-
benar tersesat. Aku berteriak dan menjambak rambutku dengan
frustrasi.
Tidak ada orang yang dapat kutanyai. Tidak ada satu mak-
hluk hidup pun yang tampak di depan mataku selain rumput
dan tumbuhan lain. Sementara itu udara makin gelap, pertanda
petang telah berganti malam. Dengan putus asa aku melang-
kah ke satu-satunya bangunan yang kukenal, yaitu bangunan
SMA.
Di petang hari seperti ini pasti tidak ada orang di sekolah.
Karena itu jantungku seakan berhenti berdetak ketika sebuah
suara menyapa. “Chrys, ngapain diam di situ? Ayo, masuk sini.
Gabung sama kita aja, yuk.”
Kukumpulkan keberanianku untuk menoleh. Begitu me-
lihat sosok gadis yang menyapaku, mataku langsung berubah
cerah. Gadis itu Alicia, sahabatku. Aku langsung mengikutinya.
“Kamu lagi apa di sini, Lis? Kok, kamu belum pulang?”
Alicia yang pendiam tetap saja melangkah seperti tidak
mendengar ocehanku. Setelah melewati sebuah lorong, kami
tiba di bagian dalam kompleks sekolah. Di sana banyak orang
berkumpul. Aku mengamati mereka di bawah temaramnya
sinar senja dan kontan aku berteriak kegirangan. Gambaran
sosok-sosok yang kukenal ada di sana.
“Hei… Nadia, Karin, Andre… lagi ngapain kalian semua di
sini?”
Aku berlari menghampiri mereka. Namun mereka tidak
bergerak. Mereka diam saja seperti tidak mengenaliku. Aku
berpaling pada Alicia yang berdiri di membelakangiku. Ia juga
diam seribu bahasa. Mendadak Alicia berbalik menghadapku,
namun wajahnya telah berubah jadi sosok yang membuatku
berteriak ketakutan. Wajah Alicia melumer seperti lilin cair,
menyisakan rupa mengerikan yang tidak berbentuk.
Aku menekap mulutku sambil melangkah mundur.
Bagaimana mungkin, dia tidak berhenti mengejarku sam-
pai ke lingkungan yang kukenal ini? Kepalaku menoleh
ke teman-temanku yang lain. Namun mereka semua juga
sudah berubah. Aku hanya bisa berdiri terpaku di antara
kepungan monster-monster itu. Pandanganku menyapu
ke sekeliling kompleks sekolah untuk mencari jalan keluar.
Namun sia-sia saja. Tidak ada celah sedikit pun. Sosok yang
sebelumnya memakai wajah Alicia telah membawaku ke
tempat yang benar-benar tertutup. Jalan keluar satu-satu-
nya adalah lewat atas. Itu tentu sangat mustahil karena
aku tidak bisa terbang.
Karena itulah, kuurungkan niatku untuk mencoba
berlari meninggalkan kompleks sekolah. Prioritasku seka-
rang adalah bersembunyi dari kejaran makhluk-makhluk
itu. Aku segera berlari ke sudut yang terpencil. Aku ingin
mengecoh mereka dengan kemampuan lari sprintku yang
bagai luncuran anak panah. Dulu, di sekolah ini aku sering
mendapat penghargaan atas prestasi yang kutorehkan di
bidang lari tersebut. Namun itu dulu. Kini kemampuan itu
bukan untuk meraih prestasi, melainkan untuk memper-
tahankan hidupku.
Sempat kulihat kuku-kuku yang panjang dan runcing
di cakar mereka. Kubilang itu cakar karena tangan mereka
benar-benar sudah berubah menjadi cakar-cakar. Aku
bergidik. Tidak terbayangkan jika tubuhku dikoyak-koyak
cakar-cakar tajam itu. Mendadak aku mengerem lariku,
sehingga aku jatuh terguling. Mereka ternyata lebih cepat.
Dalam waktu singkat mereka telah berada di depanku.
Beberapa kali cakar-cakar tajam itu nyaris menyam-
barku. Aku menggulingkan badan ke belakang sambil
berteriak ngeri. Kepalaku jadi pusing karena bergulingan.
Monster-monster menyeringai sambil melangkah ke
arahku. Dapat kulihat dengan jelas gigi-gigi runcing yang
tersembunyi di balik bibir mereka. Aku terperangkap.
Mereka telah berdiri di kanan-kiriku dengan cakar siap
menangkapku. Aku menjerit. Tanpa berpikir, aku berlari ke
satu-satunya celah di belakangku. Di sana ada satu pintu
yang terbuka dan aku lalu masuk ke dalamnya.
Aku tahu ini tindakan bodoh, karena berarti me me-
rangkap diriku sendiri. Namun aku tidak punya pilihan.
Dari derap kaki yang terdengar di belakangku aku tahu
mereka mengejarku. Aku membanting pintu ruangan itu
dan memandang berkeliling. Ternyata aku berada di ruang
UKS. Dan… di atas salah satu tempat tidur kulihat sebuah
sosok yang sedang tidur. Sosok itu sangat kukenali. Dia
Bram, salah satu sahabatku yang juga sekaligus sainganku
FA diffa_15 Maret.indd 53 2/17/12 11:23 PM
54 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
dalam mengejar ranking tertinggi dari kelas satu sampai
kelas tiga.
Dengan terburu-buru kudekati dan kuguncang bahu-
nya sekuat tenaga. “Bangun Bram, bangun! Mereka…”
Belum aku selesai bicara suara gedoran menggetarkan
ruangan. Wajahku memucat. Tapi untunglah Bram segera
terbangun. Sambil mengucek mata ia memandangku bi-
ngung. “Ada apa?” tanyanya polos.
Belum sempat aku menjawab, pintu menjeblak ter-
buka. Kursi yang kupasang sebagai pertahanan terlempar
hingga berkeping-keping. Para monster melangkah masuk
dan menyeringai ke arah kami. Bram terkejut, namun ia
dapat bereaksi dengan cepat. Ia melompat turun dari tem-
pat tidur dan menunjuk ke sebuah jendela. Ia memberiku
sebatang kayu tajam pecahan kursi.
Aku mengerti. Aku memukulkan batang kayu ber-
ujung tajam itu memecahkan jendela kaca. Namun men-
dadak kudengar jeritan Bram. Aku terkejut dan menoleh.
Salah satu monster itu menyerang dan menggigit leher
Bram. Aku terpana. Tiba-tiba saja ia kejang-kejang seperti
tersengat listrik. Sedikit demi sedikit wajahnya mulai
berubah. Tak dapat kulukiskan kengerian yang menerpa
diriku.
Dua arus kekuatan tampak beradu di dalam tubuh
sahabatku, berbelit dan menjalar ke seluruh tubuh dan
menciptakan reaksi-reaksi yang aneh. Lelehan itu terus
menjalar, merayapi sesenti demi sesenti hingga menguasai
wajahnya. Ia melompat menerjangku. Tangannya sudah
berubah jadi cakar berkuku panjang. Aku menjerit karena
cakar-cakar berkilat itu langsung menyambar ke arahku.
“Jangan mendekat!”
Didorong naluri mempertahankan diri aku menusuk-
kan satu-satunya benda yang ada di tanganku ke arah
Bram. Segalanya terjadi secara otomatis. Batang kayu itu
menghujam dalam ke dada Bram, tepat di jantungnya.
Tubuh Bram kontan terkulai. Darah menyembur ke mana-
mana, termasuk ke arahku, hingga pakaianku berlumur
cairan merah berbau amis. Aku menjerit. Kupandangi
wajah Bram yang mendadak kembali seperti semula, tanpa
ada sisa yang menunjukkan bahwa sedetik sebelumnya dia
berwajah monster.
Aku menjadi lemas. Aku jatuh terduduk. Mataku
terpejam pasrah. Pasti, para monster akan segera menyerbu.
Namun… sedetik, dua detik, tiga detik… tidak ada apa-apa.
Suasana tetap hening. Para monster tetap di tempat mereka
berdiri, membeku seperti batu. Aneh sekali. Jantung Bram
seperti sebuah remote control. Begitu aku menusuknya,
monster yang lain otomatis ikut terhenti. Mengapa bisa
begitu?
Namun, melihat kembali wajah Bram yang membeku
di antara genangan darah, tangisku kontan meledak. Aku
tidak percaya bahwa akulah yang membunuhnya. Sahabat
yang kusayangi kini mati dengan cara amat mengenaskan
oleh tanganku sendiri. Aku terus menangis menjerit-jerit,
hingga akhirnya tidak kuat. Tubuhku limbung. Dan aku
jatuh ke dalam kegelapan yang tak berdasar.
*
Aku terbangun dengan terkejut. Butir-butir keringat
dingin masih membasahi dahiku. Kupandangi sekeliling.
Ah, ternyata aku tertidur di meja belajarku. Aku bangkit
sambil mendesah lega. Mimpi tadi terasa amat nyata hing-
ga kurasakan ketegangan masih mengguncang jantungku.
“Sayang, tuh ada temannya datang.” Mendadak ter-
dengar suara ibuku.
Aku terkesiap. Kurapikan rambut dan pakaianku dan
melangkah ke luar. Tidak ada siapa-siapa di ruang tamu.
Kulihat di luar jendela ada sebuah sepeda motor bersama
seseorang yang aku tahu dari posturnya adalah Bram. Aku
melangkah ke luar.
“Jalan, yuk,” ajaknya. Ia tetap mengenakan helm.
“Ke mana?” tanyaku.
“Lihat aja nanti, deh,” ujarnya sambil tertawa.
Kami meluncur menembus udara sore hari yang
nyaman. Tidak lama kemudian kami berhenti di sebuah
padang rumput yang dikelilingi pepohonan. Udara yang
sejuk memperkuat suasana sepi di tempat itu. Matahari
sudah akan terbenam sehingga tempat kami menjadi agak
gelap oleh bayangan pepohonan yang melingkupinya.
Aku agak gelisah. “Ngapain kita berhenti di sini,
Bram?” tanyaku waswas.
Bram tidak menjawab. Ia membuka helmnya, dan aku
menjerit. Wajah yang tersembunyi di balik helm itu serupa
dengan wajah monster yang kulihat di dalam mimpiku.
Aku ingin berlari namun kedua kakiku serasa terpaku di
atas tanah, tak bisa digerakkan. Bram menyeringai dan
sinar terakhir matahari senja memantul di gigi-giginya
yang runcing, sehingga tampak berkilau. Aku kontan
menjerit.
“Sayang… jangan hiraukan bayangan-bayangan bu-
ruk. Ini aku, Bram….”
Aku terpana. Monster itu berubah menjadi Bram yang
tersenyum sayang, sambil memegang kedua pipiku den-
gan kedua telapak tangannya. Telapak tangan tak bercakar.
FA diffa_15 Maret.indd 54 2/17/12 11:23 PM
55diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
bisikan angin
DI Hanoi, Vietnam, seorang gadis usia 20-an tahun memutuskan untuk
mendedikasikan hidupnya bagi pelayanan dunia disabilitas. Gadis itu
bernama Dao Minh Hue. Dalam acara The Regional Conference on Ac-
cess to Elections for Persons with Disabilities yang berakhir pada 2 Febru-
ary 2012 di Hotel Pullman, Jakarta, Anda akan mudah mengenali Hue
yang berambut lurus panjang, berkacamata, dan selalu tersenyum ramah. Anak pa sangan
dosen dan akuntan yang lahir di sebuah provinsi miskin yang jauh dari Hanoi ini me-
milih menjadi Personal Assistant Coordinator untuk lembaga Hanoi Independent Li ving
Center. “Saya belajar dan mendapatkan banyak hal dari konferensi regional ini. Selain
dari para pembicara, juga sesama organisasi disabilitas dari negara ASEAN,” ujarnya.
Menurut Hue, tema tentang hak-hak politik penyandang disabilitas memang
penting. Apalagi dia tengah mempersiapkan dan akan segera melakukan riset tentang
pemenuhan hak-hak politik penyandang disabilitas di negaranya. “Sebagai Personal
Assistant Coordinator, saya memerlukan banyak informasi terkait dengan hak-hak
politik para penyandang disabilitas. Melalui konferensi ini kebutuhan akan informasi
itu banyak terpenuhi,” tuturnya. Hue kebetulan memiliki seorang paman yang juga
penyandang disabilitas. Namun ia terjun dan memilih bekerja di dunia disabilitas lebih
karena dorongan hati nuraninya yang kemudian diperkuat oleh dosen-dosennya saat
kuliah di jurusan social study. “Profesor saya dan orang tua saya semuanya mendukung
pilihan hidup saya ini,” ungkapnya penuh syukur. Itulah Hue, satu sosok muda yang
hadir dalam konferensi regional dan bisa menjadi inspirasi bagi jutaan anak muda lain di
seluruh dunia. frg
Dao Minh Hue
Foto
: H
avel
SUASANA akrab dan bersa-
habat mewarnai rangkaian
acara AGENDA hingga
usai. Setelah berbincang
dengan rekannya, Hadar
N. Gumay mengatakan kepada diffa,
“Dari kegiatan ini kita bisa belajar dan
bertukar pikiran dengan negara-neg-
ara lain bagaimana proses pemilihan
umum berlangsung di negara mereka.
Ini akan menjadi lebih baik jika kita
bisa bekeja sama dalam membantu
penyandang disabilitas.”
Pria ramah ini aktif di Pusat
Pemilihan Umum Akses Penyandang
Cacat. Hadar aktif di PPUA Penca
sudah cukup lama. Dia optimistik
soal peran serta politik penyandang
disabilitas di tanah air. “Indonesia
tidak terlalu buruk dibanding negara-
negara ASEAN dalam penyelengga-
raan pemilu. Kita bisa ikut andil dalam
perbaikan pelaksanaan pemilu yang
akan dilaksanakan. Kita juga bisa men-
gambil banyak contoh dari negara-neg-
ara ASEAN yang mulai peduli dengan
pemenuhan hak politik penyandang
disabilitas,” katanya.
Tentu saja optimisme itu harus
terus dipertahankan. Diharapkan
akses penyandang disabilitas semakin
terbuka di berbagai bidang, termasuk
hak politik. Seharusnya pemerintah
bisa memenuhi hak-hak warga negara
tanpa pembedaan, terutama penyan-
dang disabilitas yang sering terlu-
pakan. Dibutuhkan pula kerja sama
yang sinergis antara lembaga pemer-
intah dan organisasi yang menangani
penyandang disabilitas.
Athurtian
Hadar N Gumay
Foto
: H
avel
FA diffa_15 Maret.indd 55 2/17/12 11:23 PM
TUNAGRAHITA adalah kelompok penyandang
disabilitas yang memiliki hambatan kecerdasan
atau mental retardation. Karena memiliki ham-
batan intelektual, mereka juga biasanya mengala-
juga membutuhkan olahraga yang khas, yang antara lain
berfungsi sebagai terapi.
Olahraga Aneka FungsiBerdasarkan data statistik, diperkirakan ada 6 juta pe-
nyandang tunagrahita di Indonesia. Dari jumlah tersebut,
baru sekitar 1 juta orang yang telah
mendapatkan penanganan dari
lembaga-lembaga yang secara khu-
sus memberdayakan mereka.
Ada tiga kategori tunagrahita.
Pertama, mereka yang mampu
didik, yaitu yang memiliki IQ 50
- 70. Kedua, mereka yang mampu
latih, yaitu yang memiliki IQ 25 - 50.
Ketiga mereka yang memiliki IQ di
bawah 25, yang biasa disebut idiot.
Kelompok ketiga adalah kelompok
tunagrahita yang nyaris tak mampu
menerima rangsangan. Biasanya
mereka hanya dapat duduk atau
bahkan berbaring saja.
Kelompok tunagrahita yang
masih dapat diterima di sekolah-
sekolah luar biasa (SLB C) adalah
kelompok pertama dan kedua. Sama
seperti anak-anak lain, penyandang
tunagrahita yang bisa sekolah juga
mendapatkan pelajaran olahraga.
Kegiatan olahraga bagi siswa tu-
nagrahita memiliki banyak fungsi.
Pertama, seperti juga bagi masyara-
kat umumnya, untuk menjaga
kebugaran, meningkatkan daya
tahan dan metabolisme tubuh.
Kedua, olahraga juga menjadi
salah satu bentuk terapi. Di antaran-
ya melatih saraf motorik, merang-
sang perkembangan otak kreatif,
dan melatih bersosialisasi. Karena
penyandang tunagrahita juga
olahraga juga sekaligus berfungsi
sebagai sarana kepercayaan diri.
Masih berkaitan dengan kepercayaan diri, olahraga
bagi penyandang tunagrahita juga bisa jadi sarana prestasi.
Penyandang tunagrahita memiliki olahraga tingkat
dunia semacam olimpiade, yaitu Special Olympic. Untuk In-
donesia, atlet-atlet penyandang tunagrahita ini bergabung
dalam Special Olympic Indonesia (SOIna). Tentu, untuk
dapat menjadi atlet Special Olympic latihan olahraga ini
harus dilakukan secara teratur dan di bawah bimbingan
pelatih profesional.
56 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
bugar
Oleh: Aria Indrawati
Olahraga untuk Penyandang Tunagrahita
FA diffa_15 Maret.indd 56 2/17/12 11:23 PM
Senam AerobikAda beberapa jenis olahraga yang dapat diajarkan
kepada siswa tunagrahita, antara lain senam, atletik, tenis
meja, bulutangkis, sepakbola, basket, berenang, bocce
(permainan bola gelinding), dan
Program (MATP).
Jenis olahraga paling dasar, seperti juga masyarakat
pada umumnya, adalah senam aerobik. Berlatih senam
dengan gerakan-gerakan sederhana, seperti menggerakkan
kepala ke kiri dan ke kanan, menundukkan dan menenga-
dahkan kepala. Menggerakkan tangan dari depan ke samp-
ing lalu ke atas. Merentangkan tangan ke kiri dan ke kanan,
lalu membungkuk dan menyentuh ujung kaki kiri dengan
tangan kanan dan menyentuh ujung kaki kanan dengan
tangan kiri. Dan seterusnya.
Ada pula senam berlari di tempat sambil bertepuk
tangan. Seperti juga kalangan masyarakat pada umumnya,
saat bersenam, diiringi musik dengan irama yang berseman-
gat. Pemanasan dilakukan sebelum melakukan gerakan-
gerakan senam. Setelah selesai, diakhiri dengan gerakan
pendinginan. Antara lain menarik nafas dalam dan meng-
hembuskan perlahan.
dilakukan. Dengan demikian membuat tubuh lebih sehat
dan sekaligus melakukan terapi organ motorik. Waktu yang
dibutuhkan untuk berolahraga senam ini cukup 45 menit.
Bermain BocceSalah satu olahraga khusus untuk penyandang tuna-
grahita adalah bocce. Bocce merupakan olahraga rekreasi,
dimainkan dua regu, tiap regu terdiri atas tiga hingga empat
orang. Olahraga ini dapat dikombinasikan dengan permain-
an-permainan menarik.
Dalam permainan bocce ada tiga jenis bola, beruku-
ran kecil, sedang, hingga besar dengan warna-warna yang
menarik. Bola kecil diletakkan di sebuah area atau lapangan
berumput sebagai sasaran. Di lapangan tersebut ada batas
untuk pelempar bola. Dua tim atau regu yang saling berha-
dapan berlomba melemparkan bola yang berukuran besar
agar mengenai atau mendekati sasaran. Jika pelempar dapat
melemparkan bola besar mendekati atau mengenai sasaran,
timnya akan mendapat poin.
Saat melempar bola berukuran besar, posisi pelempar
harus agak sedikit menunduk hingga sekitar 45 derajat,
dengan posisi kaki kiri di depan dan kaki kanan di belakang.
Saat melempar bola, pelempar bergerak satu langkah ke
depan. Posisi dan gerakan ini seperti melempar bola dalam
permainan bowling. Pelempar tidak diperbolehkan melem-
57diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Foto
: D
ok A
sih
Bu
di
FA diffa_15 Maret.indd 57 2/17/12 11:23 PM
par bola dengan posisi badan tegak. Jika itu
dilakukan, dianggap kesalahan dan akan
memberikan poin untuk regu lawan.
Dalam memainkan bocce ada kombina-
si antara permainan dan gerak-gerak tubuh
yang bermanfaat untuk merangsang syaraf
dan gerakan motorik tubuh. Permainan ini
bisa melatih motorik tangan dan kaki, men-
gasah konsentrasi, latihan bersosialisasi, dan
kerja sama tim. Posisi tubuh dan gerakan
saat melempar bola juga berfungsi melatih
kelenturan otot punggung, tangan, dan kaki.
Setiap anggota kelompok mendapat-
kan kesempatan melempar bola. Agar bola
mengenai atau mendekati sasaran,
pelempar harus melakukannya
dengan konsentrasi penuh. Latihan
konsentrasi ini sangat berguna bagi
anak-anak penyandang tunagra-
hita. Untuk memenangi permainan,
setiap kelompok didorong “memiliki
strategi”. Mereka diminta berdiskusi,
membicarakan langkah apa yang
akan dilakukan untuk memenangi
pertandingan.
Metode BerbedaKarena faktor hambatan kecer-
dasan, diperlukan metode yang berbeda
untuk mengajarkan olahraga kepada
tunagrahita. Instruksi harus dilakukan
secara bertahap, dengan memberikan
contoh. Sering mereka harus dibantu
untuk melakukan gerakan-gerakan yang
diinstruksikan. Saat membantu pun
harus dilakukan dengan berhati-hati,
agar tidak terjadi cedera otot atau cedera
lainnya.
Sering kali, untuk mengajarkan satu
gerakan, harus dilakukan secara beru-
lang-ulang, hingga siswa memahami
benar. Jika telah memahami, barulah
berganti ke gerakan lain. Ada kemung-
kinan siswa ngambek dan tidak mau
melakukan kegiatan olahraga. Jika itu
terjadi, tentu tidak boleh dipaksa. Yang
dilakukan adalah memotivasi dan men-
dorong agar siswa yang sedang ngambek
ini mau bergabung bersama teman-
teman lain, dan berolahraga bersama.
Athurtian
Foto
: A
thu
rtia
n
FA diffa_15 Maret.indd 58 2/17/12 11:23 PM
Mencetak Disabilitas Terampil Mencetak
Sejak tahun 2004 Ready Print mempekerja-‐kan karyawan penyandang disabilitas, bah-‐kan hingga jabatan manajer. Perusahaan per cetakan ini terus berkembang. Sikap inklusi bisnis yang pantas dipuji.
59diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
inklusif
USAHA percetakan Ready Print tergolong perusahaan
yang berkembang pesat dan kini memiliki beberapa
cabang di Jakarta dan Bali. Keberhasilan itu antara
lain berkat kinerja karyawan penyandang disabilitas.
Memang, sejak tujuh tahun lalu Ready Print mempe-
kerjakan karyawan penyandang disabilitas.
“Yang penting mau berusaha, gigih, kreatif, dan (punya) sikap yang
baik,” ujar Tjendrawan Dinata, pemilik perusahaan. Pengusaha kelahiran
Sukarnopura, Bali, 46 tahun silam, ini mengakui banyak prestasi yang
dihasilkan karyawannya yang penyandang disabilitas.
Foto
: A
rth
urt
ian
FA diffa_15 Maret.indd 59 2/17/12 11:23 PM
60 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Melebihi AnjuranTjendrawan Dinata merekrut
karyawan penyandang disabilitas dari
Balai Latihan Kerja (BLK) Cibinong,
Jawa Barat. Penyandang disabilitas
yang dipekerjakan sejauh ini memang
hanya tunadaksa. Perusahaan belum
bisa menampung tunanetra, mengin-
gat pekerjaan di percetakan membu-
tuhkan pengerjaan yang detail. Dulu
pernah ada penyandang tunarungu,
yang bisa berkomunikasi dalam kerja
dengan membaca gerak bibir. Sayang,
tak lama bekerja kemudian keluar.
Menurut Pak Iwan, begitu Tjen-
drawan Dinata biasa dipanggil, bidang
pekerjaan yang ditangani karyawan
penyandang disabilitas antara lain
, cetak, dan
operator. Karyawan penyandang
disabilitas di perusahaan Iwan kini 15
orang dari jumlah total 150 karyawan.
Mereka tersebar di tiap cabang, baik di
Jakarta maupun Bali. Artinya, jum-
lah karyawan disabilitas Ready Print
suah jauh melebihi standar persentase
yang ditentukan pemerintah. Dalam
Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1997 ten-
tang Penyandang Cacat, pemerintah
mewajibkan perusahaan mempeker-
jakan penyandang disabilitas 1 persen
dari jumlah karyawan. Jika melebihi
jumlah yang ditentukan seperti Ready
Print, tentu lebih bagus.
Meski jumlah karyawan dis-
abilitasnya sudah melebihi anjuran
pemerintah, Iwan mengaku masih
terus berusaha meningkatkan jumlah
karyawan penyandang disabilitas.
Cuma, selaku pemimpin yang lang-
sung turun tangan mencari pekerja
penyandang disabilitas, Iwan me-
ngaku kesulitan mendapat karyawan
yang sesuai. Dulu dalam sebulan bisa
mendapatkan hingga empat karyawan
penyandang disabilitas, tapi seka-
rang hanya bisa satu atau dua orang.
“Mungkin saya terlambat, sehingga
kecolongan oleh perusahaan lain,”
ujarnya sambil tertawa.
Selain terus mengembangkan
usaha percetakan, dalam waktu dekat
Iwan berencana membuka sebuah
galeri foto dan lukisan. Di galeri itu ia
juga akan membuat sebuah
cafe yang menyediakan menu kopi
dan . “Nah, di sana saya ingin
mempekerjakan dua sampai tiga kar-
yawan disabilitas yang akan menjaga
galeri dan membuat menu-menu,”
jelas Pak Iwan.
Ayah dua anak ini baru mem-
bina seorang karyawan penyandang
disabilitas untuk ditempatkan di galeri
tersebut. Menurut Iwan, karyawan pe-
nyandang disabilitas bernama Paulina
itu cekatan sehingga bisa diandalkan
untuk bekerja.
Tidak MembedakanUsaha percetakan Iwan dimulai
dari kecil. Dulu para karyawannya
bekerja di sebuah rumah kecil di ka-
wasan Tebet, Jakarta Selatan. “Tempat-
nya cukup sempit, hingga akhirnya
mereka dipindahkan di tempat yang
sekarang,” tuturnya.
Iwan tidak memberi syarat khusus
bagi karyawan penyandang disabilitas
yang ingin bekerja di perusahaannya.
Yang penting mau berusaha, gigih,
kreatif, dan punya sikap yang baik. Se-
lama bekerja para karyawan baru akan
dipantau. Mereka mendapat bimbin-
gan selama awal bekerja. Jika hasil pe-
kerjaan baik, perusahaan memastikan
menerima karyawan tersebut.
Sejauh ini perusahaan juga tidak
memberikan program khusus bagi
karyawan penyandang disabilitas,
hanya sebatas bimbingan bekerja.
“Memang, karyawan yang diambil
dari BLK Cibinong tidak bisa langsung
diturunkan begitu saja. Perlu bimbin-
gan awal untuk mereka. Tapi setelah
mereka paham, ya saya lepas. Supaya
mereka bebas menunjukkan kemam-
puan,” jelas Iwan.
Beitu pula dalam fasilitas dan
imbalan kerja. Tidak ada perbedaan an-
tara karyawan penyandang disabilitas
dan non-disabilitas. Semua mendapat-
kan perlakuan sama. Perusahaan tidak
memberikan fasilitas khusus bagi
karyawan penyandang disabilitas, tapi
disediakan mes untuk tempat tinggal.
Karyawan senior seperti Ridwan dise-
diakan rumah untuk tempat tinggal
Foto
: A
thu
rtia
n
FA diffa_15 Maret.indd 60 2/17/12 11:23 PM
bersama keluarga kecilnya.
Selain Ridwan, ada juga Widodo
yang mendapat fasilitas sama. Widodo
juga diberi sebuah sepeda motor
Fasilitas itu diberikan bukan karena
disabilitas, melainkan karena kinerja
dan pencapaiannya selama bekerja di
perusahaan.
Disabilitas BerprestasiWidodo merupakan salah satu
contoh karyawan berprestasi di Ready
Print. Pria kelahiran Boyolali, 3 April
1979, ini dipercaya menjadi manajer
Widodo memang tak diragukan. Di
tengah keterbatasannya, pria yang bi-
asa dipanggil Dodo ini membuktikan
bisa bekerja sangat baik. “Ia jadi mana-
jer karena kemampuannya. Sebagai
seorang manajer, dalam mengambil
keputusan pun sudah saya serahkan
Foto
: Sig
it D
Pra
tam
a
kepadanya,” kata Iwan.
Ketika ditemui, Dodo yang sedang
sibuk mengawasi pekerjaannya, me-
ngatakan merasa beruntung bekerja di
Ready Print. “Dari tidak tahu menjadi
tahu, dari tidak mengerti menjadi
mengerti. Saya terus belajar dan du-
kungan yang diberikan perusahaan,
khususnya Pak Iwan, membuat saya
terus termotivasi,” ujarnya.
Menurut Dodo, perusahaan
sangat banyak memberikan dukung-
an bagi karyawan penyandang
disabilitas seperti dirinya. Bimbingan
yang diberikan memudahkan kar ya-
wan dalam bekerja. Begitu pula soal
penghargaan perusahaan. Sejauh ini
ia merasa semuanya mencukupi, dari
bim bingan, fasilitas, dan dukungan.
“Fasilitas yang didapat sudah men-
dukung, seperti gaji yang cukup dan
tempat untuk tinggal. Pak Iwan juga
baik orangnya, jadi kami juga merasa
senang kerja di sini.”
Selain Dodo dan Ridwan, kar-
yawan penyandang disabilitas lain-
nya juga menunjukkan kemampuan.
Nuke yang menderita polio bisa mem-
buktikan peningkatan yang sangat
baik. Kini Nuke bekerja sebagai tenaga
pemasaran di cabang BSD, Tangerang.
Ada juga Sapri, yang memiliki keah-
lian khusus hardware. Pria ini akan
ditempatkan sebagai operator yang
bertugas mengecek hardware milik
perusahaan di seluruh cabang.
Terus Mendukung Iwan menyatakan akan terus
meneruskan sikap inklusi kepada
karyawan penyandang disabilitas.
Jika mereka mampu membuktikan ke-
mampuan, akan mendapat dukungan
yang serius dari perusahaan.
Soal persaingan antarkaryawan di
perusahaannya, Iwan punya prin-
sip sendiri. “Kalau mereka mampu,
kenapa nggak? Biar saja yang non-
disabilitas iri, nggak peduli. Harusnya
kan ini menjadi motivasi bagi mereka
untuk melakukan hal yang lebih dari
mereka yang menyandang disabili-
tas,” tegasnya.
Bapak yang ramah ini mengaku
selama ini tidak ada penghargaan
atau apresiasi yang diberikan peme-
rintah ataupun lembaga lain atas
usaha Ready Print mempekerjaan
karyawan penyandang disabilitas.
Tapi baginya itu tidak menjadi ma-
salah. Sebab, yang penting baginya,
perusahaan dapat memberikan per-
hatian yang layak kepada karyawan.
Begitu pula sebaliknya, karyawan
menunjukkan kinerja dan hasil maksi-
mal.
Tjendrawan Dinata benar. Lewat
perusahaan percetakannya ia telah
memberikan dukungan kepada
penyandang disabilitas untuk mem-
peroleh pekerjaan yang layak. Itu
yang terpenting. Hilma Awalina
61diffa edisi 14 -‐ Februari 2012
FA diffa_15 Maret.indd 61 2/17/12 11:23 PM
pindai
Foto
-fo
to:
An
dik
a
SIANG itu udara Semarang
sangat panas. Di ujung ping-
giran timur kota, di depan
sebuah bangunan setengah
jadi, seorang perempuan
berjilbab bercengkerama dengan be-
berapa anak yang hanya bisa tiduran.
Bangunan setengah jadi itu
markas Panti Asuhan Cacat Ganda
Al-Rifdah yang menangani anak-anak
penyandang disabilitas ganda. Perem-
puan berjilbab itu Rahma Faradila (37
tahun), pendiri sekaligus pemimpin
panti. Anak-anak yang hanya bisa ti-
duran itu sebagian dari anak asuhnya.
Bermula Beda VisiRahma Faradila menjadi pekerja
sosial sejak masih gadis. Ia pernah ber-
gabung dengan sebuah yayasan sosial
yang menangani anak-anak jalanan
penyandang disabilitas. Ia mendapat
tugas khusus mendata anak-anak
penyandang disabilitas yang hidup
di jalanan kota Semarang. “Dari data
tersebut, yayasan kemudian menyu-
sun suatu program,” tutur Rahma.
Namun, kemudian Rahma
merasa tidak puas, karena yayasan
hanya fokus menangani anak jalanan.
Sementara dia melihat masih banyak
yang tak terperhatikan, antara lain
anak-anak penyandang disabilitas
ganda yang telantar atau terbuang dari
keluarga. Rahma berangan-angan bisa
mendirikan tempat penampungan
khusus untuk mereka.
Perbedaan visi itu akhirnya men-
dorong Rahma keluar dari yayasan.
Bersama beberapa teman ia merintis
pendirian panti asuhan. Ia menyam-
paikan usulan ke Dinas Sosial Provinsi
Jawa Tengah. Dinas Sosial memberi-
kan dukungan, dengan mempermu-
dah perizinan yang berkaitan dengan
pendirian panti asuhan.
“Saat itu saya diberi syarat, keg-
iatan harus sudah berjalan terlebih
dulu. Ya sudah, akhirnya saya kum-
pulkan anak-anaknya dulu. Sasaran
utama kami anak-anak disabilitas
62 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
MELAYANI ASUHAN AL-RIFDAH
Melayani dan Berbagi dengan Anak Tunaganda
FA diffa_15 Maret.indd 62 2/17/12 11:23 PM
Foto
-fo
to:
An
dik
a
yang tidak lagi memiliki orang tua
atau yang berasal dari keluarga tidak
mampu. Mereka saya tampung secara
gratis,” tutur Rahma.
Sejak itu, tahun 2006, Panti
Asuhan Cacat Ganda Al-Rifdah resmi
berdiri. Mereka memanfaatkan rumah
milik orang tua Rahma di kawasan
Bangetayu, pinggiran kota Semarang.
Rahma mengajak beberapa kawan
sebagai pengurus.
Berbagai TunagandaKetika kami sedang berbincang,
tiba-tiba Johan, salah seorang
anak asuh yang mengalami
hiperaktif dan hiper-autis
memukul-mukulkan tangannya
ke dinding. Rahma segera bang-
kit, memegangi tangan Johan
sambil mengelus kepalanya.
Mendapat perlakuan kasih
demikian, Johan bukannya
berhenti, malah membenturkan
kepala ke dinding. Beberapa
relawan datang membantu
Rahma. Setengah jam kemudian baru
Johan tenang.
“Saya tidak tega melihat Johan
menyiksa diri sendiri. Biasanya kalau
digoda temannya dan nggak bisa
melawan, ia akan menyakiti dirinya
sampai berdarah-darah. Karena mem-
bahayakan, kadang tangannya diikat
sampai tenang,” jelas Rahma.
Saat ini Panti Asuhan Al-Rifdah
merawat 16 anak. Rata-rata mereka tu-
narungu/wicara ditambah disabilitas
yang lain. Contohnya Temu (12 tahun),
selain tunarungu/wicara juga autis.
Ellen (6 tahun), selain tunarungu/
wicara juga lumpuh. Aris (10 tahun)
tunarungu/wicara dan autis pasif. Dari
semua anak, Aris yang paling tenang
karena tak mampu menggerakkan
anggota tubuh.
Anak yang paling memprihatink-
an adalah Slamet. Selain tunawicara,
ia mengalami kelainan syaraf di
rongga mulut, sehingga terus menge-
luarkan air liur. Ia juga mengidap
epilepsi. Kisah hidup Slamet memang
dramatis. Tahun 2006 media massa
ramai memberitakan tentang seorang
anak yang mengalami penyiksaan.
Sekujur tubuhnya penuh sundutan
api rokok. “Dinas Sosial menghubungi
saya, meminta melacak keberadaan-
nya. Akhirnya ketemu di sebuah
rumah kosong, sendirian. Saya bawa
pulang dan saya rawat,” kata Rahma.
Penghuni panti yang lain adalah
Yusuf (8 tahun), yang mengalami
lumpuh layuh sehingga sering jatuh.
Yusuf juga mengalami kebutaan sejak
lahir. Ada pula Fadil yang lumpuh
total dan sedikit down syndrome.
Riski (7 tahun) lumpuh total dan
tunarungu/wicara. Sri (9) tidak bisa bi-
cara, tidak bisa duduk, dan tidak bisa
berjalan.
“Yang kecil itu namanya juga
Aris. Ia lumpuh total, tak bisa duduk,
tunarungu dan wicara, juga mengal-
ami kebutaan. Yang memprihatinkan
ia juga terkena polio sehingga otot-
ototnya terus mengecil,” tutur Rahma
dengan mata mulai berkaca-kaca.
Penghuni termuda adalah
Salma (1 tahun). Ia menderita kelainan
usus, sulit mencerna makanan. Salma
baru bisa diberi makan pada akhir
Desember 2011. Karena itu, tubuhnya
sangat kecil, seperti bayi umur 3 bulan.
“Dia juga tidak bisa buang air besar.
Sepekan sekali kami bawa ke rumah
63diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
FA diffa_15 Maret.indd 63 2/17/12 11:23 PM
sakit untuk disedot. Hingga usia satu
tahun, Salma belum bisa duduk, baru
bisa tengkurap,” jelas Rahma.
Melihat dan mendengar cerita dis-
abilitas anak-anak penghuni Al-Rifdah
saja hati sudah terasa teriris, apalagi
mengingat mereka telantar dan tidak
punya keluarga.
Al-Rifdah tidak melulu mengurus
anak-anak tunaganda tanpa keluarga.
Mereka juga merawat anak-anak yang
masih memiliki orang tua. “Tapi jum-
lahnya tidak banyak. Hanya ada tiga
anak,” kata Rahma.
Ketiga anak itu adalah Soli (7
tahun) yang menyandang down syn
drome. Belakangan Soli sudah sangat
berkembang, mulai paham tentang eti-
ka. Kedua adalah Galuh (7 tahun) yang
menyandang down syndrome dan ke-
sulitan berbicara. Galuh suka ngamuk,
terutama jika keinginannya tidak
terpenuhi. Terakhir, Pungkas, yang
lumpuh total dan menyandang tuna-
rungu/wicara.
“Kadang-kadang kalau liburan
sekolah, mereka pulang dan berkum-
pul dengan orang tua,” jelas Rahma
mengenai tiga anak yang masih
punya keluarga.
Pengurus PatunganKarena memberikan pelayanan
yang termasuk langka, Al Rifdah ak-
hirnya menjadi rujukan bagi beberapa
instansi pemerintah jika menemukan
anak disabilitas telantar. Enam belas
anak asuh Al-Rifdah saat ini memiliki
latar belakang yang beragam. Ada
yang hasil razia gelandangan dan
pengemis oleh Satpol PP Kota Sema-
rang. Ada hasil razia kepolisian. Juga
ada yang ditinggal kabur orang tuanya
di rumah sakit. “Salma itu ditinggal
dalam kondisi prematur dan mengala-
mi kelainan usus,” kata Rahma.
Rahma mengaku tak pernah
menolak anak yang akan dimasukkan
ke panti asuhannya. “Sudah menjadi
tugas kami untuk mendampingi anak-
anak, meskipun kondisi panti sedang
sulit sekalipun,” tegasnya.
Awalnya Rahma ber-
pikir merawat anak-anak penyandang
tunaganda sama seperti merawat
anak-anak lain, tidak membutuhkan
biaya yang terlalu besar. Kenyataan-
nya kesehatan anak-anak berkebu-
tuhan khusus ini lebih rawan dan
mudah terganggu. Mereka mudah
Hal ini memberikan kesulitan tersend-
iri bagi Al Rifdah.
Rahma bersyukur karena
belakang an anak-anak Al-Rifdah
terdaftar dalam program Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Sebulan sekali petugas puskesmas
didatangkan ke Al- Rifdah untuk
memeriksa kesehatan anak-anak
penghuni panti. Petugas puskesmas
juga berbaik hati memberikan stok
obat. “Relawan kami diberi petunjuk
penggunaan dan kegunaan obat,”
tutur Rahma.
Perbedaan lain adalah soal
makanan. “Anak-anak normal bisa
diberi makanan biasa, tapi anak-anak
di sini harus diberikan makanan yang
lembek,” jelas Rahma.
Meski penuh keterbatasan, Rahma
berusaha melatih anak-anak asuh-
nya berdisiplin. Biasanya pukul 04.00
anak-anak itu sudah bangun. Sekitar
pukul 04.30 satu per satu anak mulai
dimandikan. Butuh waktu dua jam
untuk memandikan mereka. Setelah
mandi, mereka sarapan. Sarapan pun
satu persatu karena kebanyakan tidak
bisa makan sendiri dan harus disuapi.
Hanya tiga anak bisa makan sendiri.
Setelah sarapan, delapan anak berang-
kat sekolah di SLB Negeri Semarang.
Sisanya bermain bersama sebagai
latihan sosialisasi.
Anak-anak yang bersekolah di
SLB mendapatkan terapi mandiri dari
para pengajar. Mereka diajari hal-hal
sederhana, seperti makan sendiri atau
cium tangan tamu dan cara duduk
yang baik. Mereka juga diajari menya-
pa, meski tidak bisa bicara. Setidaknya
mereka mengerti sapaan, tidak hanya
diam, tapi memberikan respons de-
ngan senyum misalnya.
Setiap bulan pengelola Al Rifdah
mengeluarkan biaya operasional Rp 4
juta hingga Rp 6 juta. Biaya itu baru
untuk keperluan anak-anak, misal-
nya pampers. Juga untuk membeli
susu dan obat yang sifatnya khusus.
Contohnya obat epilepsi yang har-
ganya Rp 150 ribu perbotol. Menurut
Rahma, biasanya satu botol tidak
sampai seminggu habis. Untungnya
sekolah anak-anak itu gratis. Rahma
hanya mengeluarkan biaya untuk
transportasi.
Meski sudah berusia enam tahun,
Panti Asuhan Al-Rifdah belum me-
miliki donatur tetap. Mereka hanya
mendapat anggaran tiap anak Rp
1.500 per hari dari Dinas Sosial. Untuk
menutupi kekurangan, lima pengurus
yayasan berpatungan setiap bulan.
“Misalnya bulan ini kami kekurangan
3 juta rupiah, ya kami mengeluar-
kan 600 ribu rupiah per orang,” ujar
Rahma.
Selebihnya adalah sumbangan
donatur tidak tetap, yang bentuknya
tidak selalu uang. Membangun kamar
misalnya.
Tantangan dan Dukungan Langkah Rahma Faradila terjun
total mengabdikan diri pada kema-
nusiaan tak lepas dari dukungan
keluarga. Awalnya, sang suami agak
keberatan atas ketotalan Rahma
mengu rus panti. Tapi kemudian
maklum, karena sadar Rahma sudah
berkecimpung di kegiatan ini sejak
belum menikah.
Ibu seorang anak berusia dua ta-
hun ini ingin sisa hidupnya diabdikan
total di dunia kemanusiaan yang lang-
64 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
FA diffa_15 Maret.indd 64 2/17/12 11:23 PM
ka ini. Menurut Rahma, sebagian
besar anak-anak asuhnya tidak
lagi memiliki keluarga. Dia tidak
bisa membayangkan jika tak ada
orang yang mau peduli. “Semoga
ke depan perhatian masyarakat
semakin bertambah,” ujarnya.
Kemantapan Rahma merawat
anak-anak istimewa ini juga
dilatarbelakangi pengalaman
saat panti tersebut baru berdiri.
Ketika masih di daerah Bangetayu
dan Sembungharjo, masyarakat
menolak anak-anak tunaganda ini.
Alasannya, takut ketularan hingga
merasa malu bertetangga dengan
penyandang disabilitas.
Saat itu Rahma sempat me-
ngadu dan meminta perlindungan
kepada lurah. Tapi sang lurah
malah menyatakan tidak mau
memiliki lingkungan yang banyak
anak disabilitas. “Saya mengadu-
kan ke Dinas Sosial. Dinsos me-
ngancam, jika lurah tidak mau
menerima, akan diadukan ke Wali
Kota,” tuturnya.
Suasana yang tidak enak
membuat Rahma memutuskan
pindah. Setelah melalui perburuan
yang tak kenal lelah, akhirnya
para pengurus panti mendapatkan
tanah yang bisa dibayar dengan
mencicil. Sebenarnya tanah terse-
but akan dijual secara tunai. Saat
pemilik tahu tanah akan dijadikan
panti, langsung diizinkan dibayar
secara mencicil.
“Sekarang kami boleh pa-
sang papan nama. Di tempat
sebelumnya tidak boleh. Saat ini
masyarakat pun mulai mengenal
Al-Rifdah dan anak-anak mulai
mendapat perhatian. Itu sungguh
membahagiakan,” ujar Rahma
menutup obrolan panjang dengan
diffa siang itu. Ya, semoga mereka
memperoleh kian banyak dukun-
gan. Andhika Puspita Dewi
diffa membangun kepedulian
masyarakat terhadap pember-
dayaan disabilitas
diffa menyebarkan semangat
kemanusiaan yang utuh
diffa jembatan menuju keseta-
raan dalam keberagaman
diffa satu-satunya media
profesional dan independen
tentang dunia disabilitas
berlangganan diffa berarti
anda peduli disabilitas
65diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
FA diffa_15 Maret.indd 65 2/17/12 11:23 PM
biografi
Did
i Pu
rnom
o
66 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
NICK VUJICICMenjadi Motivator
Tingkat Dunia
FA diffa_15 Maret.indd 66 2/17/12 11:23 PM
Did
i Pu
rnom
o
67diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
NICK merintis karier
sebagai motivator
sejak masih muda,
dengan berusaha
meraih berbagai
prestasi gemilang. Perjuangan keras
untuk membuktikan kemampuan diri
sungguh luar biasa. Saat duduk di ke-
las VII, Nick terpilih sebagai ketua mu-
rid di sekolahnya dan mengorganisasi
berbagai acara pengumpulan dana
untuk amal dan kampanye disabilitas.
Pada usia 17 tahun Nick mulai
Meski lahir tanpa
kedua lengan dan
kaki, Nick Vujicic
berhasil membentuk
diri menjadi pribadi
yang istimewa.
Selain mampu
melakukan berbagai
kegiatan yang tak
terbayangkan, ia
menjadi motivator
terkemuka tingkat
dunia.
tampil berbicara di depan umum
dengan memberikan khotbah pada
kelompok doa. Pada usia 19 tahun
dia memulai mimpinya untuk
memotivasi orang lain dan mengajak
mereka percaya kepada Tuhan. Dia
melakukannya dengan cara memberi-
kan ceramah motivasi serta berbagi
cerita tentang bagaimana Tuhan telah
meng ubah hidupnya serta memberi-
kan harapan dan masa depan.
“Saya telah menemukan tujuan
keberadaan saya di dunia dan men-
emukan apa maksud Tuhan menja-
dikan saya seperti ini. Tuhan selalu
mempunyai tujuan saat memberikan
cobaan kepada Anda,” kata Nick
penuh semangat dalam ceramahnya.
Lulus dari sekolah menengah atas,
Australia, dan mengikuti perkuliahan
di dua jurusan, yaitu akuntansi dan
perencanaan keuangan. Nick berhasil
lulus kuliah pada usia 24 tahun dan
mendapatkan dua gelar sekaligus.
Untuk semua pencapaiannya itu,
pada tahun 2005 Nick memperoleh
Young Australian of the Year, penghar-
gaan untuk anak muda di Australia
atas prestasi pribadi dan pelayanan
kepada masyarakat dan negara. Me-
reka yang dinominasikan mendapat
penghargaan ini adalah orang yang
benar-benar telah menginspirasi orang
lain.
Nick percaya sepenuh hati, selalu
ada pelajaran yang bisa diambil dari
setiap cobaan yang ditemui dalam
hidup. Bahwa sikap dalam berjuang,
keimanan, serta rasa percaya kepada
Tuhan dapat menjadi kunci dalam
mengatasi cobaan hidup. “Saya tidak
akan pernah merasa cukup bersyu-
kur kepada Tuhan. Tapi saya harus
me ngakui bahwa saya masih meng-
inginkan lebih. Saya ingin kasih Tu-
han tercurah kepada hati orang-orang
yang menderita,” katanya.
Motivator Hebat Dengan pengalamannya beror-
ganisasi semasa sekolah dan kuliah,
Nick akhirnya berhasil mengelola
orga nisasi nirlaba yang diberi nama
Life without Limbs. Organisasi yang
didirikannya ini bergerak di bidang
motivasi. Nick berceramah di mana-
mana di seluruh dunia serta mem-
berikan kuliah umum dengan tema
disabilitas, harapan, dan makna hidup.
Nick banyak memberikan perha-
tian kepada remaja yang frustrasi dan
ingin bunuh diri. Hal ini dilakukan
karena dia berhasil lepas dari keingin-
an bunuh diri yang menghantuinya
selama bertahun-tahun. Diberita-
kan, banyak remaja urung bunuh
diri setelah melihat tayangan video
motivasi Nick. Bukan hanya berbicara
melalui video. Ia juga berulang kali
bicara dari hati ke hati kepada para
remaja itu.
“Mereka merasa hidup mereka
tidak bermakna, tanpa tujuan, tanpa
masa depan. Saya berbagi pengalaman
dengan mereka, tentang rasa frustrasi
dan sakit hati yang juga pernah saya
alami, dan bagaimana saya berhasil
mengatasi masalah dengan kasih
Tuhan. Mereka benar-benar membu-
tuhkan orang yang bisa memahami
kesedihan mereka. Lebih penting lagi,
mereka membutuhkan orang yang
bisa menunjukkan cara bagaimana
mengubah kesedihan menjadi kebaha-
giaan,” papar Nick penuh empati.
Nick percaya apa yang dia bagi ke-
pada para remaja akan berimbas besar
kepada banyak remaja lain. “Jika saya
bisa menyalakan semangat hidup satu
orang, maka orang itu akan memberi-
kan semangat kepada satu orang yang
lain, dan orang lain lagi, dan orang
lain lagi,” ujarnya.
Melalui ceramah-ceramahnya,
Nick berbagi tentang pentingnya
memiliki visi dan mimpi besar. Dia
mengajak orang-orang untuk tidak lagi
FA diffa_15 Maret.indd 67 2/17/12 11:23 PM
68 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
memandang hambatan sebagai suatu
masalah, melainkan suatu kesempat-
an untuk mengembangkan diri dan
membantu orang lain.
Nick juga memberikan gambaran
bagaimana pilihan-pilihan yang kita
buat dalam hidup bisa memberikan
pengaruh besar dalam kehidupan
kita dan orang-orang di sekitar kita. Ia
menunjukkan dengan pengalaman
hidupnya sendiri bahwa kunci utama
untuk mencapai mimpi besar adalah
dengan bersikap gigih dan melihat
kegagalan sebagai suatu pelajaran
serta tidak membiarkan rasa bersalah
dan takut gagal melumpuhkan kita.
Sejak menjadi motivator kali
pertama pada usia 19 tahun, Nick
telah berkeliling dunia, memotivasi
banyak orang di 24 negara di 5 benua.
Dia telah berbagi kisah hidup dengan
jutaan orang dari berbagai kalangan,
dari anak sekolah, guru, kalangan
bisnis, pengusaha, jemaat gereja, orang
lanjut usia, dan tentunya kalangan
penyandang disabilitas.
Nick juga sering diwawanca-
rai oleh berbagai stasiun televisi di
seluruh dunia. Melalui ceramah-
ceramah motivasinya, Nick membuat
banyak orang terharu, terutama saat
mende ngar betapa keras dia berjuang
mengatasi keterbatasannya dahulu.
Dengan kalimat-kalimat yang tegas
namun menyentuh, dia membuat
kalangan disabilitas yang mendengar
ceramahnya sadar bahwa selalu ada
harapan dan masa depan bagi siapa
pun yang mau berjuang mencapainya.
Sebaliknya, melalui ceramahnya
di kalangan umum, Nick telah mem-
buat banyak orang non-disabilitas
sadar bahwa dengan segala kesem-
purnaan yang dimiliki, mestinya bisa
berbuat sebanyak atau bahkan lebih
banyak daripada yang Nick lakukan.
Pencerahan kemanusiaan yang luar
biasa berharga.
Nirlaba dan KomersialKini, pada usianya yang belum
genap 30 tahun, Nick telah melaku-
kan banyak pencapaian. Jauh lebih
banyak daripada yang bisa lakukan
kebanyakan orang. Dia telah menjadi
pemimpin organisasi nirlaba interna-
sional yang didirikannya, Life with-
out Limbs, dan perusahaan ceramah
motivasinya, Attitude Is Altitude. Saat
ini ceramah Nick tidak lagi murni
semata-mata bersifat memotivasi. Dia
bahkan juga sudah berbicara kepada
beberapa pemimpin dunia, antara lain
Wakil Presiden Kenya.
Nick memberikan motivasi den-
gan cara mempromosikan karyanya
melalui program-program televisi
dan menulis buku. Buku pertamanya
diterbitkan
kali pertama pada tahun 2010. Dia juga
yang meng-
gambarkan aktivitasnya sehari-hari di
rumah. Dia juga memasarkan video
berisi ceramah motivasinya di sebuah
gereja di Brisbane, No Arms, No Legs,
No Worries: Youth Version.
Melalui organisasi nirlabanya,
Nick kini mengumpulkan dana sosial
dari seluruh dunia. Mereka mengem-
bangkan program radio sendiri yang
nantinya tidak hanya bisa didengar-
kan di radio lokal, tapi juga melalui
internet. “Saya banyak melakukan
perjalanan keliling dunia. Tapi saya ti-
dak mungkin berada di semua tempat.
Melalui siaran di radio dan internet
ini, kami akan bisa memberikan man-
faat kepada jutaan orang di seluruh
dunia dengan lebih cepat,” kata Nick
tentang rencana pembuatan program
radionya.
Dengan semua pencapaiannya
yang menakjubkan, kini Nick bisa
dengan bangga mengatakan bahwa
keputusan orang tuanya untuk mema-
sukkannya ke sekolah umum meru-
pakan keputusan terbaik bagi dirinya.
Dan kekuatan serta semangat hidup
yang diperoleh dalam perjuangannya
adalah karunia dari Tuhan, karena dia
percaya kepada Tuhan.
Nick telah memberikan contoh
kepada kita bahwa harapan dan masa
depan selalu ada bagi siapa pun yang
mau berjuang. Pencapaiannya - bukan
disabilitasnya - akan selalu menjadi
pengingat bahwa tantangan yang kita
hadapi setiap hari pasti bisa kita atasi,
karena harapan selalu ada. Seperti
disampaikan salah seorang pendengar
ceramahnya yang akhirnya mengu-
rungkan niat bunuh diri, “Nick, kamu
memberiku harapan di saat aku mem-
butuhkannya.” Nick Vujicic memang
inspirasi dunia.
Mila K. Kamil
Sumber:
FA diffa_15 Maret.indd 68 2/17/12 11:23 PM
Malu Nyeker
Demo Salah Alamat
cermor
Arif merengek sambil menangis ketika Juminten mau
pergi.
Juminten: Le, beneran jadi ikut ke apotek?
Arif : Huuu… iya Lek, aku ikut. Huuu…
Juminten: Kenapa toh mesti ikut kalau Lek Jum pergi, pakai
nangis segala?
Arif : Lha, nanti yang ambil batu buat ngganjel ban sepeda
motor siapa? Yang buka pintu siapa? Lek Jum kan tidak bisa
buka pintu.
Juminten : He-he... anak pinter. Padahal kan mau minta
jajan to? Ya sudah, tidak usah nangis. Ayo, ikut.
Dalam hati Juminten berpikir, benar juga Arif. Sekarang
semua pintu model tarik - dorong dan dan beratnya minta
ampun. Motornya juga tidak ada standarnya. Tapi sesampai di
apotek Arif tidak mau turun.
Juminten : Le, sudah sampai, ayo turun!
Arif : Ndak mau, Lek. Arif nunggu di atas motor saja.
Juminten : Katanya mau bukakan pintu. Katanya mau ng
ganjel ban motor?
Arif : Sudah diganjal Pak Parkir, di pintu ada satpam.
Juminten : Kenapa to, Le? Masih ngambek? Apa malu
tidak pakai sandal? Suruh siapa tidak mau pakai sandal?
Arif : Lha aku malu tidak pakai sandal dua-duanya. Lek
Juminten tidak malu hanya pakai sandal satu.
Juminten : Oh, ini karena kaki kanan polio Le, jadi tidak
bisa jepit sandal.
KOTA Solo terkenal sebagai “kota reha-
bilitasi”. Itulah yang melatarbelakangi
aksi ”Gerakan Aksesibilitas pada Fasilitas
Publik dan Tata Ruang Kota”. Ketika itu
Juminten menggerakkan 300 penyan-
dang disabilitas dari tunanetra, tunadaksa, hingga dan
tunarungu/wicara. Aksi ini juga didukung mahasiswa
dari Fakultas Arsitektur dan FISIP UNS. Gerakan ini juga
didukung para jurnalis media masa baik cetak ataupun
televisi nasional.
Rombongan demonstran sudah mulai beraksi. Mer-
eka memasang atribut dan serentetan tuntutan yang
dibagikan ke seluruh peserta. Bergantian sang orator
mengemukakan pernyataan. Tepuk tangan dan yel-yel
terdengar riuh, menandakan kekompakan dan seman-
gat perjuangan.
Juminten mulai cemas dan kelihatan bingung.
Demo sudah berjalan selama sejam, tetapi tidak ada satu
orang wartawan pun yang datang. Bukan hanya itu na-
hasnya. Tidak ada seorang pun pejabat PU yang keluar
menyambut demo untuk berdialog dengan demonstran.
Kantor pun terlihat sepi. Di tengah kebingungan dan
keramaian demonstran, HP Juminten berdering, masuk
panggilan dari seorang teman wartawan.
Juminten : Halo, selamat siang.
Wartawan : Halo Mbak Juminten, aksinya tidak
jadi, ya?
Juminten : Lho, jadi. Ini sudah berjalan sejam
dan kami belum bisa bertemu dengan pemimpin
PU. Wah, ini kenapa kawan-kawan wartawan belum
sampai di lokasi demo?
Wartawan : Ini sudah ada 20 wartawan di
sini Mbak, tapi kok tidak ketemu? Di mana lokasi
demonya?
Juminten : Di gedung PU Jalan Gajah Mada 14,
Banjarsari, Solo.
Wartawan : Wah, salah alamat, Mbak. Itu gedung
lama. Kantor PU sudah pindah seminggu yang lalu.
Kantor PU sekarang di Jalan Hasanudin 15, Manahan.
Juminten : Waduh...! Demonya salah alamat. Wah,
ini gara-gara tidak observasi lokasi. Jadinya keliru. *
69diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
Did
i Pu
rnom
o
Did
i Pu
rnom
o
FA diffa_15 Maret.indd 69 2/17/12 11:23 PM
70 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012
KOMPAK
pelangi
BEBERAPA waktu
lalu, pulang dari
menghadiri sebuah
seminar mengenai
disabilitas, Bang
Nestor, Redaktur Eksekutif diffa,
mengungkapkan keheranan.
Jurnalis senior yang suka kami
panggil “Ompung” ini baru tahu
ternyata ada dua organisasi orang
tua anak penyandang disabilitas.
“Organisasinya sama, bidang
garapannya sama, tujuannya juga
tentu sama, kenapa tidak bersatu
saja?” tanya Ompung.
Karena kebetulan tahu, saya
menjelaskan, dua organisasi itu
memang visi dan misinya sama,
tapi lahir dari latar belakang
dan sumber yang berbeda. Satu
dibentuk secara swadaya oleh
para orang tua aktivis di bidang
disabilitas, satu lagi dibentuk pemerin-
tah, dalam hal ini Kementerian Sosial.
Tentu sumber dana dua organisasi
juga beda, sesuai dengan kelahiran-
nya.
Bang Nestor mengatakan, hal
seperti itulah yang membuat gerakan
bidang garapan, visi dan misinya
sama, mengapa tidak bersatu saja.
“Ada kesan, masing-masing punya ego
sendiri. Mestinya ego semacam itu ti-
dak terjadi di dunia disabilitas, karena
perjuangan masih panjang dan berat,”
ujarnya.
Celetukan Bang Nestor ini pantas
menjadi renungan bagi kita semua,
baik aktivis maupun organisasi yang
bergerak di bidang disabilitas di Indo-
nesia. Sejarah, keberadaan, dan bidang
layanan berbagai organisasi atau
lembaga disabilitas mungkin berbeda,
tapi karena berada dalam medan
perjuangan yang sama, seharusnya
merasa satu.
Tujuan semua organisasi atau ge-
rak an di bidang disabilitas adalah agar
keberadaan penyandang disabilitas di
Indonesia yang selama ini termarjinal-
kan hak-haknya dapat perlahan sema-
kin baik dan mewujudkan kesetaraan
di berbagai bidang. Jadi, mestinya di
bidang apa pun upaya pemberdayaan
disabilitas mestinya saling mendu-
kung dan bersatu. Apalagi jika bidang
layanan atau perjuangannya memang
sama.
Kita harus jujur, sikap besar hati
dan saling mendukung, seperti terlihat
dari beberapa tokoh disabilitas di
Indonesia. Tapi kita harus jujur pula,
beberapa orang atau organisasi masih
menunjukkan ego, mengutamak-
an lembaga atau kepentingannya.
Hal ini saya rasakan juga
dalam berbagai kesempatan atau
kegiatan selama mengurus diffa.
Ada yang menerima saya dan
diffa dengan senang dan tangan
terbuka, sebagai relasi dalam
memperjuangkan hak dan kepen-
tingan disabilitas di Indonesia.
Tapi ada juga yang seperti tidak
peduli, karena mungkin merasa
tidak berhubungan dengan ke-
pentingannya.
Lebih buruk lagi, secara samar
tertangkap atau terdengar sering
penggiat atau pemerhati disabili-
terbuka keluar dan terlihat secara
membuat mereka seakan lupa
akan dasar perjuangan yang dilaku-
kan.
Perjuangan akan tercapainya hak-
hak dan pemberdayaan disabilitas ma-
sih sangat panjang dan berat. Dalam
hal pelayanan kita masih sa ngat jauh
tertinggal dari negara-negara lain, sep-
erti laporan-laporan dari luar negeri
yang sering dimuat diffa dalam rubrik
“Jendela”. Kita perlu bersatu, bahu-
membahu, saling mendukung, saling
memberdayakan sesuai dengan espek-
tasi baik individu maupun lembaga
dalam satu kemitraan untuk tujuan
bersama yang lebih besar: ke setaraan
bagi penyandang disabilitas di Indo-
nesia dari berbagai aspek kehidupan
segera terwujud dalam tatanan ma-
syarakat Indonesia yang inklusif.
Kompaklah disabilitas Indonesia.
Jonna Damanik
Did
i Pu
rnom
o
FA diffa_15 Maret.indd 70 2/17/12 11:23 PM
Mengucapkan Selamat Atas Terselenggaranya
Semoga Masa Depan yang CerahMenanti Semua Penyandang Disabilitas
di Seluruh Dunia
Yang Didukung Oleh:
di Jakarta pada 1-2 Februari 2012
The Regional Dialogue on Access to Elections for Persons With Disabilities
SETARA DALAM KEBERAGAMANdiffa
FA diffa_15 Maret.indd 71 2/17/12 11:23 PM
INTEGRITY.CREATIVE.ADVOCACY.SOCIAL NETWORK
FA diffa_15 Maret.indd 72 2/17/12 11:23 PM
top related