Lapsus Epistaksis
Post on 12-Jan-2016
70 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
Pendahuluan
Tn. A usia 63 tahun datang ke UGD RSUD Cianjur tanggal 11 Juli 2015 dengan
keluhan mimisan sejak pagi sebanyak 2 kali. Lama pendarahan sekitar 15 menit. Jarak antara
mimisan pertama dan mimisan kedua sekitar 2 jam. Mimisan timbul pada saat pasien sedang
beristirahat di kamarnya. Pasien tidak pernah mengalami trauma di daerah hidung, tidak suka
mengorek hidung. Pasien tidak memiliki riwayat bersin-bersin terutama setiap pagi. Pasien
saat ini tidak sedang mengkonsumsi obat apapun, pasien juga tidak suka minum obat warung
atau jamu jamuan. Tidak ada riwayat kejadian serupa pada keluarga pasien. Pasien memiliki
riwayat merokok 2 batang perhari dan sering menjadi perokok pasif. Pada tanggal 7 juli 2015
pasien di rawat di RSUD cianjur dengan keluhan yang sama dan di nyatakan sembuh dan
boleh pulang tanggal 10 juli 2015.
Epistaksis merupakan gangguan hemostasis pada hidung. Gangguan hemostasis yang
terganggu adalah kelainan mukosa hidung, kelainan pembuluh darah, atau kelainan sistem
koagulasi. Dalam masyarakat, epistaksis lebih dikenal dengan istilah mimisan. Kebanyakan
kejadian epistaksis sering di anggap hal yang tidak penting oleh pasien. Epistaksis merupakan
masalah yang sangat lazim dan banyak dijumpai sehari-hari sehingga setiap dokter harus siap
menangani kasus demikian.1
Insidensi satu episode epistaksis selama seumur hidup dilaporkan mencapai 60%,
dengan kurang dari 10% kejadian yang membutuhkan pertolongan medis. Pria memiliki
resiko mengalami epistaksis lebih tinggi dibandingkan wanita, namun bila untuk usia lebih
dari 50 tahun maka resiko epistaksis hapir 1 : 1. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa
anak-anak dan dewasa sering mengalami epistaksis anterior ringan, sedangkan pada usia
lebih dari 50 tahun resiko untuk terkena epistaksis posterior berat lebih besar.2
Selain penatalaksanaan epistaksis yang membutuhkan keterampilan klinik, faktor
etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif agar tidak terjadi
komplikasi atau bahkan kematian.
Anatomi vaskularisasi
Arteri
Vaskularisasi kavum nasi berasal dari sistem karotis, arteri karotis interna dan
eksterna. Arteri karotis interna bercabang menjadi arteri oftalmika yang kemudian bercabang
lagi menjadi arteri etmoidalis anterior dan posterior, yang memperdarahi septum dan dinding
1
2
lateral superior. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi
melalui Arteri sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen
sfenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung.
Dan Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan
melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferioanterior septum
nasi.1,2,3
Gambar vaskulrisasi pada dinding lateral 2
Gambar vaskulrisasi pada septum nasal 2
Dua area pada kavum nasi merupakan tempat tersering terjadi epistaksis yaitu plexus
Kiesselbach dan pleksus Woodruff.
3
Pleksus Kiesselbach adalah wilayah anastomosis yang terbentuk dari arterii
sfenopalatina, palatina mayor, labialis superior, dan etmoidalis anterior. Pleksus ini berlokasi
di dinding anterior-inferior septum. Wilayah ini mudah terlihat dan terjangkau, menjadikan
epistaksis anterior lebih mudah untuk dikontrol.
Pleksus Woodruff adalah anastomosis yang berlokasi di hidung posterior dan
terbentuk dari arteri sfenopalatina dan faringeal asenden (posterior) melalui konka media.
Wilayah ini sukar dilihat sehingga sulit untuk ditangani. Tempat perdarahan tersering dari
bagian posterior adalah cabang posterior lateral dari arteri sfenopalatina.1,2,3
Klasifikasi
Epistaksis dibedakan atas dasar sumber perdarahan. Menentukan sumber perdarahan
amat penting, meskipun kadang-kadang sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua
sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.
Epistaksis anterior
Epistaksis anterior dapat berasal dari pleksus Kiesselbach, merupakan sumber
perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan)
dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.5
Gambar Epistaksis anterior dan posterior 9
4
Epistaksis posterior
Epistaksis posterior berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoid posterior.
Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan
anemia, hipovolemi dan syok. Epistaksis posterior dicurigai bila:
Sebagian besar perdarahan terjadi ke dalam faring
Suatu tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau nyata dari pemeriksaan
hidung bahwa perdarahan terletak posterior dan superior.
Situasi ini sering terjadi pada orang tua yang mungkin telah mengalami
arteriosklerosis, namun dapat terjadi pada setiap individu setelah trauma hidung
yang berat.3,5
Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh terbukanya dan pecahnya pembuluh darah di dalam
selaput mukosa hidung yang tererosi, 90 sampai 95% Epistaksis terjadi pada bagian anterior
nasal. penyebab terbanyak akibat dari manipulasi eksternal, seperti cuaca dingin dengan
kelembaban rendah dan atau penggunaan nasal decongestion spray jangka panjang. epistaksis
dapat dibagi menjadi faktor lokal dan umum atau kelainan sistemik untuk memudahkan
pembagian.1,2.4
Tipe Penyebab
Lokal Trauma
Struktural
Reaksi inflamasi
Neoplasma
Benda asing
Sistemik Gangguan koagulasi
Penyakit pembuluh darah
Penyakit kardiovaskular yang dapat
menyebabkan tingginya tekanan
vena
Hipertensi
5
Etiologi lokal
Trauma merupakan etiologi epistaksis tersering, epistaksis yang berhubungan
dengan trauma biasanya disebabkan oleh mengeluarkan sekret dengan kuat,
bersin, mengorek hidung, fraktur nasal, benda asing, trauma seperti terpukul,
jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma
pada pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis. 1,6
Proses inflamasi seperti yang terdapat pada infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis,
sinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan
epistaksis. Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten,
kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemongioma, karsinoma, serta
angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Perforasi septum nasi atau abnormalitas
septum dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila
mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung
mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan
jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana
mukosa septum dan kemudian perdarahan. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah
yang sangat tinggi, cuaca yang sangat dingin dan kering, tekanan udara rendah atau
lingkungan udaranya sangat kering.7
Etiologi sistemik
Sebuah literatur menemukan bahwa epistaksis berat sering terjadi pada populasi
pasien dengan usia lebih dari 50 tahun. Hal ini mungkin disebabkan oleh degenerasi
pembuluh darah, aterosklrosis dan penyebab sistemik lain yang sering terjadi dengan
bertambahnya usia. Hipertensi pada epistaksis masih menjadi perdebatan pada beberapa
sumber. Tidak ada hubungan yang jelas antara hipertensi dengan kejadian atau keparahan
dari epistaksis.2,4
Kelainan pendarahan, baik kongenital maupun didapat harus di pertimbangkan pada
pasien yang memiliki gejala pendarahan lama dari luka yang kecil. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa 46% dari pasien memiliki gejala epistaksis berat akibat waktu
pendarahan yang lama. Gangguan pendarahan kongenital tersering antara lain penyakit von
willebrand dan hemofilia A dan B seringmemiliki gejala pendarahan epistaksis yang berulang
dan lama sehingga mempersulit penanganan.2
6
Kelainan pendarahan yang didapat dapat ditemukan dari anamnesis, seperti
pemakaian obat-obatan seperti aspirin, NSAID atau penyakit tertentu seperti demam berdarah
karena jumlah trombosit di bawah 20.000/mm3 dapat menyebabkan pendarahan spontan.
Selain itu penyakit ginjal kronis dan gangguan fungsi hati juga dapat menurutkan jumlah
trombosit.2
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis herediter (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). HHT
merupakan kelainan kongenital yang bersifat autosomal dominan, dengan karakteristik
malformasi pembuluh darah pada kulit, mukosa dan visera. Teleangiektasis kecil pada bibir,
lidah, dan ujung jari muncul saat pubertas dan bertambah dengan usia. Pada pasien ini dapat
terjadi perdarahan gastrointestinal, paru dan cerebral yang mengancam nyawa.4
Anamnesis
Evaluasi pertama pada pasien dengan epistaksis adalah memeriksa keaadaan
hemodinamik dan gangguan pada jalan nafas, termasuk tanda vital dan hasil laboraturium
yang telah di periksa. Walaupun kebanyakan kasus epistaksis adalah ringan namun evaluasi
ini sangat penting terutama pada pasien lansia atau pasien yang terlihat lemas. Setelah di
pastikan pasien dalam keadaan stabis maka dilakukan anamnesa yang lengkap karena
penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Pada
pasien perlu di tanyakan lokasi perdarahan, jika pendarahan keluar dari kedua hidung maka
perlu di tanyakan bagian mana yang lebih parah, Apakah darah terutama mengalir ke dalam
tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk
tegak, Lama perdarahan dan frekuensinya, pencetus perdarahan apakah dari trauma atau
penggunaan obat-obatan intranasal apabila epistaksis akibat trauma maka perlu diperhatikan
primary survey pada pasien, apabila epistaksis berulang perlu di tanyakan riwayat penyakit
seperti hipertensi, diabetes mellitus, atau penyakit hati,1,2,6
Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher
yang berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Kondisi kesehatan pasien
secara umum yang berkaitan dengan perdarahan misalnya riwayat darah tinggi,
arteriosclerosis, koagulopati, riwayat perdarahan yang memanjang setelah dilakukan operasi
kecil, riwayat penggunaan obat-obatan sepertikoumarin, NSAID, aspirin, warfarin,
heparin, ticlodipin, serta kebiasaan merokok dan minum-minuman keras. 1,2,6
7
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada epistaksis sering dilakukaan bersaam dengan intervensi yang
biasanya bertujuan untuk tataklaksana awal. Idealnya evaluasi pada pasien membutuhkan
bantuan dari asisten medis dan kerjasama pasien. Oleh karena itu sebelum dilakukan
pemeriksaan pasien harus di berikan inform konsent dan rencana terapi selanjutnya. Pasien
sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung.
Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian
hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Pasien yang mengalami perdarahan berulang
atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang
berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah
menghentikan perdarahan.2
Pemeriksaan fisik dimulai dari inspeksi hidung luar kemudian dilakukuan berurutan
mulai cavum nasi anterior ke posterior. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat
pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang
sudah membeku. Sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk
mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Vestibulum, mukosa hidung dan
septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.
Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal
yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke
dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah
sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas
dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi
posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk
menyingkirkan neoplasma. 5
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengevaluasi kondisi pasien dan
keadaan medis lain yang mendasari bergantung pada gambaran klinis pasien pada saat
dilaksanakan pemeriksaan. Jika perdarahan sedikit dan tidak rekuren, maka pemeriksaan
laboratorium mungkin tidak diperlukan. Jika perdarahan rekuren, maka pemeriksaan untuk
mengetahui status cairan, profil koagulasi, dan penyakit sistemik yang relevan sangat
8
diperlukan. Pemeriksaan yang dibutuhkan adalah pemeriksaan hitung darah lengkap
(termasuk trombosit), PT, APTT, fungsi hati, dan lain-lain.6
Pemeriksaan radiologi
CT scan dan atau MRI mungkin diindikasikan untuk mengevaluasi anatomi surgikal
dan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing, dan neoplasma.6
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan epistaksis dapat sangat bervariasi dari hanya terapi konservatif
rekomendasi tanpa intervensi sampai dengan terapi surgical yang invasif dan prosedur
angiografi. Terapi yang kurang invasive merupakan pilihan pertama dikarenakan resiko untuk
pasien dan biaya terapi yang yang meningkat. Terapi ini secara general berhasil untuk
managemen epistaksis anterior, sedangkan epistaksis posterior seringkali membutuhkan
prosedur yang lebih invasive. Meskipun managemen epistaksis bersifat individual, protocol
penatalaksanaan epistaksis baik yang bersifat akut maupun rekuren sangat berguna.2
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber
perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya
perdarahan dan mencegah komplikasi.5
Perbaiki keadaan umum
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan
serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang
infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah, perlu dibersihkan atau diisap. Perlu diakukan
resusitasi dan penilaian dari airway, breathing dan circulation.5, 6
Hentikan perdarahan
Manajemen medikamentosa
Managemen medikamentosa dapat digunakan untuk kasus epistaksis yang ringan,
rekuren tanpa perdarahan aktif. Terapi ini bertujuan untuk meminimalisir atau
mengeliminasi faktor yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis yang biasanya berasal
daari plexus Kiesselbach, antara lain mencegah terjadinya trauma. Pasien perlu di jelaskan
untuk menjaga kelembapan cavum nasi menggunakan cairan fisiologis, gel hidung, atau salep
9
sering efektif namun harus sesering mungkin. Selain itu pasien diberi informasi untuk
penatalaksanaan epistaksis akut di rumah yaitu dengan bersandar tidak lebih dari 45 derajat
dan menekan hidung secara lembut. Jika tidak ada kontarindikasi pasien dapat menggunakan
kapas kecil yang sudah direndam dekongestan nasal spray yang berfungsi sebagai
vasokontriktor untuk meringankan perdarahan. Jika perdarahan berat atau tidak merespon
penatalaksanaan tersebut, penderita disarankan pergi ke UGD terdekat.2
Kauterisasi
Kauterisasi nasal anterior dapat dilakukan pada epistaksis anterior maupun posterior.
Kauterisasi hidung anterior biasanya dilakukan pada klinik atau UGD, sedangkan kauterisasi
hidung posterior dilakukan di kamar operasi. Kauterisasi dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik kimia ataupun panas.2
Prinsip kauterisasi adalah luka pada mukosa hidung dan pembuluh darah dapat
menghasilkan koagulasi dan atau konstriksi pembuluh darah dengan segera yang dapat
menghentikan perdarahan dan menurunkan menurunkan resiko epistaksis yang berulang. 2
Kauterisasi kimia digunakan untuk pendarahan ringan dan dianggap sebagai
kauterisasi lini pertama dengan menggunakan silver nitrat kauterisasi Terapi ini berguna
untuk menghentikan perdarahan minor yang berasal dari kavum nasi anterior, namun tidak
terlalu efektif untuk perdarahan aktif atau perdarahan posterior.2,6
Elektrokauter endoskopik digunakan untuk perdarahan aktif atau perdarahan
posterior, dan membutuhkan anastesi local dengan tujuan koagulasi pembulu darah,
konstriksi pembulu darah dan kerusakan jaringan lokal. Teknik ini biasa digunakan bila
penatalaksaan awal seperti kauter silver nitrat dan tampon hidung anterior gagal. 2,6
Tampon hidung
Tampon hidung dapat digunakan untuk mengobati epistaksis terapi lini pertama
maupun kedua untuk mengontrol pendarahan aktif atau sebagai terapi lanjutan setelah
menggunakan kauterisasi.2
Secara umum tampon anterior digunakan untuk epistaksis dengan menahan pendarahan
yang bersumber dari anterior, sebagai tambahan pemasangan tampon dapat berfungsi sebagai
kontrol pendarahan dan meminimalisir trauma pada cavum nasi sehingga dapat membantu
proses penyembuhan. Tampon terbuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau
10
salep antibiotic (untuk mengurangi pertumbuhan bakteri dan pembentukan bau). Pemakaian
pelumas ini agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat
dimasukkan atau dicabut. Tampon berukuran 72 x ½ inci dimasukkan sebanyak 2-4 buah,
disusun dengan teratur dari dasar hingga atap hidung dan meluas hingga ke seluruh panjang
rongga hidung. Tampon harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama
2 x 24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama dua hari ini dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk mencari factor penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih
belum berhenti, dipasang tampon baru. 3,5
Tampon anterior tradisional.10
Gambar spons nasal
Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior,
yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat
dengan diameter 3 cm. pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah
di sisi yang berlawanan. Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan 1 sisi,
digunakan bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di
11
orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon
Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampi benang keluar dan dapat
ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum
mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior
ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan
kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap di
tempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien.
Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.5
12
Gambar Tampon posterior.
Balon hidung dengan beberapa desain yang berbeda kini tersedia dan dapat mengganti
tampon hidung. Balon hidung lebih mudah ditempatkan pada hidung dan lebih mudah
diterima oleh pasien. Namun agaknya tidak demikian efektif dalam mengontrol perdarahan
dan mungkin perlu diganti dengan tampon tradisional.6
Gambar 3.3. Nasal balloon
Ligasi
Bila tampon posterior dan anterior gagal mengendalikan epistaksis, maka perlu
dilakukan ligasi arteri spesifik. Arteri tersebut adalah arteri karotis eksterna, arteri maksilaris
interna dengan cabang terminusnya, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior dan
posterior.3
13
Ligasi arteri karotis eksterna
Karena banyaknya anastomosis, ligasi karotis eksterna tidak selalu dapat
menghentikan epistaksis. Insisi dilakukan melintang atau memanjang sepanjang
batas anterior otot sternokleidomastoideus setinggi tulang hioid. Dengan diseksi
yang hati-hati dapat dikenali selubung karotis, vena jugularis dan saraf vagus.
Diseksi lebih lanjut memungkinkan visualisasi bulbus karotis. Arteri karotis
eksterna terletak pada leher sebelah medial arteri karotis interna. Ligasi
dilakukan dengan suatu ikatan memakai benang sutera di atas percabangan arteri
lingualis. Hilangnya denyut temporalis harus diperiksa dua kali sebelum ligasi
dieratkan. Luka dapat ditutup dalam beberapa lapis, dan dipasang drain selama
24 jam.3
Ligasi arteri maksilaris interna
Sebelunya prosedur dilakukan perlu dibuat radiogram sinus paranasalis. Pada
mukosa gusi pipi bagian atas dibuat insisi Caldwell mulai dari garis tengah
hingga daerah gigi molar atas kedua. Mukoperiosteum diangkat dari dinding
anterior sinus maksilaris, sinus maksilaris dimasuki dan sisa dinding anterior
diangkat sambil menjaga saraf infraorbitalis. Dinding sinus posterior yang
bertulang kemudian diangkat dengan berhati-hati dan lubang kedalam fosa
pterigomaksilaris diperbesar. Bila lubang sudah cukup besar, gunakan mikroskop
operasi untuk diseksi lebih lanjut. Pembuluh darah diindefikasi dan klip logam
dipasang pada arteri maksilaris interna, sfenopalatina dan palatina desendens.
Luka ditutup dan tampon hidung posterior diangkat. Suatu tampon hidung
anterior yang lebih kecil mungkin masih diperlukan. Jika terdapat bukti-bukti
infeksi atau bila ditakuti terjadi infeksi, dapat dibuat suatu fenestra antrum
hidung saat melakukan prosedur. Kateterisasi selektif dengan embolisasi cabang-
cabang arteri karotis eksterna merupakan cara pendekatan lain yang juga
mencapai tujuan sama seperti ligasi.3
Ligasi arteri etmoidalis anterior
Perdarahan dari cabang – cabang terminus arteri oftalmika terkadang
memerlukan ligasi arteri etmoidalis anterior. Pembuluh ini di capai melalui suatu
insisi melengkung memanjang pada hidung di antara dorsum dan daerah kantus
media. Insisi langsung diteruskan ke tulang, di mana periosteum di angkat
dengan hati-hati dan ligamentum kantus media dikenali. Arteri etmoidalis
anterior selalu terletak pada sutura pemisah tulang prontal dengan tulang
14
etmoidalis. Pembuluh ini di jepit dengan suatu klip hemostatik atau suatu ligasi
tunggal. Karna terletak dekat dengan saraf optikus,maka pembuluh etmoidalis
harus di capai dengan retraksi bola mata yang sangat hati-hati.3
Gambar Tempat-tempat ligasi.
Embolisasi
Embolisasi biasanya digunakan untuk kasus epistaksis berulang terutama jika sumber
perdarahan berasal dari bagian potersior (sistem karotis eksterna). Emboli merupakan terapi
alternatif dari terapi ligasi, sebab komplikasi dan angka kegagalan yang lebih tinggi.
Angiografi diperlukan sebelum dilakukan embolisasi untuk menilai sistem karotis, sedangkan
setelah embolisasi berguna untuk mengevaluasi derajat dari oklusi.6
Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk
membendung aliran darah. Biasanya agen embolisasi dimasukkan melalui arteri karotis
eksterna lalu ke arteri maksilaris interna. Suplai darah yang cukup masih bisa didapat dari
arteri karotis interna dan arteri-arteri etmoidalis.10
15
Pembedahan
Septoplasi mungkin berguna untuk pasien dengan epistaksis yang disebabkan deviasi
septum sehingga menyebabkan mukosa kering dan ekskoriasi. Perdaharan dapat terjadi baik
pada bagian konveks maupun konkaf septum atau ujung dari septal spur.2
Mencegah komplikasi
Komplikasi dapat terjadi akibat epistaksisnya sendiri atau usaha penanggulangan
epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran nafas
bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah
secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi
koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini
pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya. Akibat pembuluh darah
yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan antibiotik. Kauterisasi dapat
menyebabkan perforasi septum. Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis
media, septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu harus selalu diberikan
antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut,
bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu dapat terjadi
hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan airmata
berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah secara retrograde melalui duktus
nasolakrimalis. Pemasangan tampon posterior dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau
sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter
balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan
nekrosis mukosa hidung dan septum. Ligasi dapat menyebabkan komplikasi yang berupa
resiko anesteri, mati rasa, dan lain-lain. Embolisasi dapat menyebabkan nyeri fasial, paralisis
fasial, stroke, nekrosis kulit, trismus.3,7
16
Prognosis
Prognosis umumnya baik. Mortalitas jarang terjadi, hal ini biasanya berhubungan
dengan perdarahan hebat yang menyebabkan hipovolemia parah atau pada pasien dengan
komorbiditas. Kebanyakan pasien tidak mengalami perdarahan berulang jika masalah medis
yang mendasarinya ditangani secara adekuat. Sisanya mungkin mengalami kekambuhan
minor yang menghilang secara spontan atau dengan pengobatan sendiri. Sebagian kecil
pasien mungkin memerlukan terapi yang lebih agresif. Perdarahan berulang dapat
diprediksikan berdasarkan faktor usia, kondisi medik yang mendasari, riwayat hipertensi,
penggunaan antikoagulan, tanda vital, tipe tampon posterior (kasa atau balloon), riwayat
epistaksis posterior berat. Morbiditas sering disebabkan karena komplikasi penatalaksanaan
epistaksis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Barlow et al, perdarahan berulang
yang terjadi setelah embolisasi sebanyak 33%, kauterisasi endoskopi sebanyak 33%, dan
ligasi sebanyak 20%.6
KESIMPULAN
Pengetahuan dan pemahaman secara menyeluruh sangat diperlukan untuk melakukan
penatalaksanaan epistaksis. Epistaksis bukan merupakan suatu penyakit, melainkan sebagai
gejala dari suatu kelainan.
Anamnesis yang terarah, ringkas dan tepat, serta pemeriksaan fisik bersamaan dengan
persiapan tindakan, dibutuhkan untuk menanggulangi epistaksis. Setelah perdarahan berhenti,
mungkin diperlukan anamnesis pemeriksaan fisik lebih lengkap dan pemeriksaan penunjang
untuk mengevaluasi kelainan khususnya yang bersifat sistemik.
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah
komlpikasi serta mencegah rekurensi.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Wormald PJ. Epistaxis. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, Eds. Head and
Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins.
2006: 505-514.
2. Massick D, Tobin EJ. Epistaxis. In: Cummings CW et al, Eds. Otolaryngology Head
and Neck Surgery. 4th ed. Philadelpia: Elsevier Mosby. 2005: 942-961
3. Epistaxis. In: Adams GL, Boeis LR, Higler PA, Eds. Boies Fundamentals of
Otolaryngology. 6th ed. Philadelpia: Saunders Company 1997: 224-235
4. Dhillon RS, East CA, 2000. An illustrated colour text: ear nose, and throat and head
and neck surgery 2nd ed. New York: Churchil Livingstone/
5. Mangunkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. In: Soepardi et al, Eds. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 6th ed. Jakarta, Indonesia:
Balai Penerbit FK UI, 2009: 155-159.
6. Bertrand E et al. Guidlines to the Management of Epistaxis, 2005. http://www.orl-
nko.be/common/guidelines/2005/05.pdf (diakses 13 Juli 2015).
7. Epistaksis/mimisan.2011.http://tengtengblues81.wordpress.com/2011/05/25/
epistaksis-mimisan-definisietiologipenatalaksanaan/ (diakses 13 Juli 2015).
8. Meyers AD. Epistaxis, 2011. http://emedicine.medscape.com/article/863220-
overview#a0156 (diakses 13 Juli 2015)
9. Nosebleed (Epistaxis). http://www.hughston.com/hha/a.nosebleed.htm (diakses 13
Juli 2015).
10. Juvenile Nasopharingeal Angiofibroma.
http://www.docstoc.com/docs/19409441/refrat-THT (diakses 13 Juli 2015).
top related