Pendahuluan Tn. A usia 63 tahun datang ke UGD RSUD Cianjur tanggal 11 Juli 2015 dengan keluhan mimisan sejak pagi sebanyak 2 kali. Lama pendarahan sekitar 15 menit. Jarak antara mimisan pertama dan mimisan kedua sekitar 2 jam. Mimisan timbul pada saat pasien sedang beristirahat di kamarnya. Pasien tidak pernah mengalami trauma di daerah hidung, tidak suka mengorek hidung. Pasien tidak memiliki riwayat bersin-bersin terutama setiap pagi. Pasien saat ini tidak sedang mengkonsumsi obat apapun, pasien juga tidak suka minum obat warung atau jamu jamuan. Tidak ada riwayat kejadian serupa pada keluarga pasien. Pasien memiliki riwayat merokok 2 batang perhari dan sering menjadi perokok pasif. Pada tanggal 7 juli 2015 pasien di rawat di RSUD cianjur dengan keluhan yang sama dan di nyatakan sembuh dan boleh pulang tanggal 10 juli 2015. Epistaksis merupakan gangguan hemostasis pada hidung. Gangguan hemostasis yang terganggu adalah kelainan mukosa hidung, kelainan pembuluh darah, atau kelainan sistem koagulasi. Dalam masyarakat, epistaksis lebih dikenal dengan istilah mimisan. Kebanyakan kejadian epistaksis sering di anggap hal yang tidak penting oleh pasien. Epistaksis merupakan masalah yang sangat lazim dan banyak dijumpai sehari-hari sehingga setiap dokter harus siap menangani kasus demikian. 1 Insidensi satu episode epistaksis selama seumur hidup dilaporkan mencapai 60%, dengan kurang dari 10% kejadian yang membutuhkan pertolongan medis. Pria memiliki resiko mengalami 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Pendahuluan
Tn. A usia 63 tahun datang ke UGD RSUD Cianjur tanggal 11 Juli 2015 dengan
keluhan mimisan sejak pagi sebanyak 2 kali. Lama pendarahan sekitar 15 menit. Jarak antara
mimisan pertama dan mimisan kedua sekitar 2 jam. Mimisan timbul pada saat pasien sedang
beristirahat di kamarnya. Pasien tidak pernah mengalami trauma di daerah hidung, tidak suka
mengorek hidung. Pasien tidak memiliki riwayat bersin-bersin terutama setiap pagi. Pasien
saat ini tidak sedang mengkonsumsi obat apapun, pasien juga tidak suka minum obat warung
atau jamu jamuan. Tidak ada riwayat kejadian serupa pada keluarga pasien. Pasien memiliki
riwayat merokok 2 batang perhari dan sering menjadi perokok pasif. Pada tanggal 7 juli 2015
pasien di rawat di RSUD cianjur dengan keluhan yang sama dan di nyatakan sembuh dan
boleh pulang tanggal 10 juli 2015.
Epistaksis merupakan gangguan hemostasis pada hidung. Gangguan hemostasis yang
terganggu adalah kelainan mukosa hidung, kelainan pembuluh darah, atau kelainan sistem
koagulasi. Dalam masyarakat, epistaksis lebih dikenal dengan istilah mimisan. Kebanyakan
kejadian epistaksis sering di anggap hal yang tidak penting oleh pasien. Epistaksis merupakan
masalah yang sangat lazim dan banyak dijumpai sehari-hari sehingga setiap dokter harus siap
menangani kasus demikian.1
Insidensi satu episode epistaksis selama seumur hidup dilaporkan mencapai 60%,
dengan kurang dari 10% kejadian yang membutuhkan pertolongan medis. Pria memiliki
resiko mengalami epistaksis lebih tinggi dibandingkan wanita, namun bila untuk usia lebih
dari 50 tahun maka resiko epistaksis hapir 1 : 1. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa
anak-anak dan dewasa sering mengalami epistaksis anterior ringan, sedangkan pada usia
lebih dari 50 tahun resiko untuk terkena epistaksis posterior berat lebih besar.2
Selain penatalaksanaan epistaksis yang membutuhkan keterampilan klinik, faktor
etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif agar tidak terjadi
komplikasi atau bahkan kematian.
Anatomi vaskularisasi
Arteri
Vaskularisasi kavum nasi berasal dari sistem karotis, arteri karotis interna dan
eksterna. Arteri karotis interna bercabang menjadi arteri oftalmika yang kemudian bercabang
lagi menjadi arteri etmoidalis anterior dan posterior, yang memperdarahi septum dan dinding
1
2
lateral superior. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi
melalui Arteri sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen
sfenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung.
Dan Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan
melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferioanterior septum
nasi.1,2,3
Gambar vaskulrisasi pada dinding lateral 2
Gambar vaskulrisasi pada septum nasal 2
Dua area pada kavum nasi merupakan tempat tersering terjadi epistaksis yaitu plexus
Kiesselbach dan pleksus Woodruff.
3
Pleksus Kiesselbach adalah wilayah anastomosis yang terbentuk dari arterii
sfenopalatina, palatina mayor, labialis superior, dan etmoidalis anterior. Pleksus ini berlokasi
di dinding anterior-inferior septum. Wilayah ini mudah terlihat dan terjangkau, menjadikan
epistaksis anterior lebih mudah untuk dikontrol.
Pleksus Woodruff adalah anastomosis yang berlokasi di hidung posterior dan
terbentuk dari arteri sfenopalatina dan faringeal asenden (posterior) melalui konka media.
Wilayah ini sukar dilihat sehingga sulit untuk ditangani. Tempat perdarahan tersering dari
bagian posterior adalah cabang posterior lateral dari arteri sfenopalatina.1,2,3
Klasifikasi
Epistaksis dibedakan atas dasar sumber perdarahan. Menentukan sumber perdarahan
amat penting, meskipun kadang-kadang sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua
sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.
Epistaksis anterior
Epistaksis anterior dapat berasal dari pleksus Kiesselbach, merupakan sumber
perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan)
dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.5
Gambar Epistaksis anterior dan posterior 9
4
Epistaksis posterior
Epistaksis posterior berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoid posterior.
Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan
anemia, hipovolemi dan syok. Epistaksis posterior dicurigai bila:
Sebagian besar perdarahan terjadi ke dalam faring
Suatu tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau nyata dari pemeriksaan
hidung bahwa perdarahan terletak posterior dan superior.
Situasi ini sering terjadi pada orang tua yang mungkin telah mengalami
arteriosklerosis, namun dapat terjadi pada setiap individu setelah trauma hidung
yang berat.3,5
Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh terbukanya dan pecahnya pembuluh darah di dalam
selaput mukosa hidung yang tererosi, 90 sampai 95% Epistaksis terjadi pada bagian anterior
nasal. penyebab terbanyak akibat dari manipulasi eksternal, seperti cuaca dingin dengan
kelembaban rendah dan atau penggunaan nasal decongestion spray jangka panjang. epistaksis
dapat dibagi menjadi faktor lokal dan umum atau kelainan sistemik untuk memudahkan
pembagian.1,2.4
Tipe Penyebab
Lokal Trauma
Struktural
Reaksi inflamasi
Neoplasma
Benda asing
Sistemik Gangguan koagulasi
Penyakit pembuluh darah
Penyakit kardiovaskular yang dapat
menyebabkan tingginya tekanan
vena
Hipertensi
5
Etiologi lokal
Trauma merupakan etiologi epistaksis tersering, epistaksis yang berhubungan
dengan trauma biasanya disebabkan oleh mengeluarkan sekret dengan kuat,
bersin, mengorek hidung, fraktur nasal, benda asing, trauma seperti terpukul,
jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma
pada pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis. 1,6
Proses inflamasi seperti yang terdapat pada infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis,
sinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan
epistaksis. Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten,
kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemongioma, karsinoma, serta
angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Perforasi septum nasi atau abnormalitas
septum dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila
mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung
mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan
jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana
mukosa septum dan kemudian perdarahan. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah
yang sangat tinggi, cuaca yang sangat dingin dan kering, tekanan udara rendah atau
lingkungan udaranya sangat kering.7
Etiologi sistemik
Sebuah literatur menemukan bahwa epistaksis berat sering terjadi pada populasi
pasien dengan usia lebih dari 50 tahun. Hal ini mungkin disebabkan oleh degenerasi
pembuluh darah, aterosklrosis dan penyebab sistemik lain yang sering terjadi dengan
bertambahnya usia. Hipertensi pada epistaksis masih menjadi perdebatan pada beberapa
sumber. Tidak ada hubungan yang jelas antara hipertensi dengan kejadian atau keparahan
dari epistaksis.2,4
Kelainan pendarahan, baik kongenital maupun didapat harus di pertimbangkan pada
pasien yang memiliki gejala pendarahan lama dari luka yang kecil. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa 46% dari pasien memiliki gejala epistaksis berat akibat waktu
pendarahan yang lama. Gangguan pendarahan kongenital tersering antara lain penyakit von
willebrand dan hemofilia A dan B seringmemiliki gejala pendarahan epistaksis yang berulang
dan lama sehingga mempersulit penanganan.2
6
Kelainan pendarahan yang didapat dapat ditemukan dari anamnesis, seperti
pemakaian obat-obatan seperti aspirin, NSAID atau penyakit tertentu seperti demam berdarah
karena jumlah trombosit di bawah 20.000/mm3 dapat menyebabkan pendarahan spontan.
Selain itu penyakit ginjal kronis dan gangguan fungsi hati juga dapat menurutkan jumlah
trombosit.2
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan