Hukum Persaingan Usaha

Post on 25-Apr-2023

0 Views

Category:

Documents

0 Downloads

Preview:

Click to see full reader

Transcript

HUKUM PERSAINGAN USAHASEKSI A

Ujian Akhir Semester

Elsa Monica Sara 2012-050-163

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

JAKARTA

2015

1. a). perbedaan-perbedaan mendasar antara isi Peraturan

KPPU Nomor 1 tahun 2009 tentang Pra-Notifikasi

Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan dengan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 tahun

2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan

Pengambilalihan Saham Perusahaan yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak

sehat.

Isi dari Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor

1 tahun 2009 tentang Pra-Notifikasi Penggabungan,

Peleburan dan Pengambilalihan dan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 57 tahun 2010 tentang

Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan

Pengambilalihan Saham Perusahaan hampirlah sama. Hal-hal

yang dibahas mencakup mengenai Peleburan, Penggabungan

dan Pengambilalihan oleh badan usaha. Tetapi dalam

Peraturan KPPU No.1 tahun 2009 terdapat kata Pra-

Notifikasi yang artinya adalah, pemberitahuan yang

bersifat sukarela oleh pelaku usaha yang akan melakukan

penggabungan atau peleburan badan usaha atau

pengambilalihan saham untuk mendapatkan pendapat Komisi

mengenai dampak yang ditimbulkan dari rencana

penggabungan atau peleburan badan usaha atau

pengambilalihan (Pasal 1 angka 6 Peraturan Komisi

Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 tahun 2009 tentang Pra-

Notifikasi Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan).

Secara cepat orang dapat membedakan aturan tersebut

dengan melihat judul atau aturan tersebut bahwa mengenai

hal yang berbeda karena terdapat kata “pra-notifikasi”.

Dalam pasal 3 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Nomor 1 tahun 2009 tentang Pra-Notifikasi Penggabungan,

Peleburan dan Pengambilalihan disebutkan bahwa pelaku

usaha dapat melakukan pra-notifikasi apabila penggabungan

badan usaha memenuhi ketentuan salah satunya ialah angka

1 (c), mengakibatkan penguasaan pangsa pasar lebih dari

50% pada pasar bersangkutan. Artinya, pelaku usaha dapat

melakukan pra-notifikasi apabila terjadi penguasaan pasar

lebih dari 50% pada pasar bersangkutan tersebut.

Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan

Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan tidak

disebutkan hal yang demikian bahwa tidak ada ketentuan

yang menyebutkan untuk melakukan wajib pemberitahuan

secara tertulis kepada Komisi atas penguasaan pasar lebih

dari 50% pada pasar bersangkutan. Pada pasal 3 angka 2

(a), (b) dan (c), disebutkan bahwa industri jasa keuangan

baik bank ataupun non-bank berlaku ketentuan yaitu nilai

aset pada badan usaha hasil penggabungan atau peleburan

melebihi Rp 10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun

rupiah) atau nilai penjualan (omzet) melebihi Rp

15.000.000.000.000,00 (lima belas triliun rupiah) atau

mengakibatkan penguasaan pangsa pasar lebih dari 50 %

pada pasar bersangkutan wajib untuk melakukan pra-

notifikasi. Sedangkan pada pasal 5 angka 3 Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 tahun 2010 tentang

Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan

Pengambilalihan Saham Perusahaan terdapat perbedaan

ketentuan untuk melakukan pemberitahuan secara tertulis

kepada Komisi yaitu bahwa pelaku usaha dibidang perbankan

berkewajiban menyampaikan pemberitahuan secara tertulis

apabila nilai aset melebihi Rp 20.000.000.000.000,00 (dua

puluh triliun rupiah). Selanjutnya pada Peraturan Komisi

Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 tahun 2009 tentang Pra-

Notifikasi Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan

terdapat ketentuan bagi pra-notifikasi pengambilalihan

oleh pelaku usaha apabila memenuhi ketentuan yang

terdapat dalam pasal 4 tersebut, sedangkat dalam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 tahun

2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan

Pengambilalihan Saham Perusahaan tidak adanya ketentuan

tersebut. Untuk tata cara penyampaian pemberitahuan

terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan

Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan

sedangkan pada Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Nomor 1 tahun 2009 tentang Pra-Notifikasi Penggabungan,

Peleburan dan Pengambilalihan tidak terdapat tata cara

penyampaian pra-notifikasi tersebut tetapi tercantum

dalam lampiran yang merupakan petunjuk pelaksanaan pra-

notifikasi penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.

adanya perbedaan dengan Pasal 5 Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 57 tahun 2010 tentang

Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan

Pengambilalihan Saham Perusahaan

b. Perubahan yang timbul dengan adanya PP Nomor 57 tahun

2010 terhadap pasal 28 dan 29 UU nomor 5 tahun 1999 ialah

sebagai berikut;

Untuk melaksanakan ketentuan pasal 28 ayat (3) dan pasal

29 ayat (2) Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat maka perlu menetapkan PP Nomor 57 tahun 2010

tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan

Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan

Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat. Perubahan yang ditimbulkan dengan adanya Peraturan

Pemerintah (PP) diatas terhadap pasal 28 dan pasal 29

Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yaitu, dalam pasal 11 (4)

PP Nomor 57 tahun 2010 dikatakan bahwa,

(1)  Berdasarkan formulir dan dokumen yang diterima

oleh Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat

(2), Komisi melakukan penilaian.

(2)  Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) Komisi memberikan saran, bimbingan, dan/atau

pendapat tertulis mengenai rencana Penggabungan Badan

Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan

saham perusahaan lain kepada Pelaku Usaha.

(3)  Saran, bimbingan, dan/atau pendapat tertulis

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam

jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja

terhitung sejak tanggal diterimanya formulir dan

dokumen secara lengkap oleh Komisi.

(4)Penilaian yang diberikan oleh Komisi sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan persetujuan atau

penolakan terhadap rencana Penggabungan Badan Usaha,

Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham

perusahaan lain yang akan dilakukan oleh Pelaku Usaha,

dan tidak menghapuskan kewenangan Komisi untuk

melakukan penilaian setelah Penggabungan Badan Usaha,

Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham

perusahaan lain yang bersangkutan berlaku efektif

secara yuridis.

Perubahan yang ditimbulkan adalah dalam pasal 28 Undang-

Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat jelas dinyatakan bahwa

pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan, pengambil

alihan saham atau peleburan badan usaha yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan

usaha tidak sehat tetapi dalam pasal 11 (4) PP Nomor 57

tahun 2010 seperti disebutkan diatas maka penilaian yang

diberikan oleh komisi bukan berarti menolak perencana dalam

penggabungan atau peleburan tersebut sehingga apabila dalam

perencanaan tersebut dilihat mengandung unsur persaingan

usaha tidak sehat maka bukan merupakan penolakan ataupun

persetujuan terhadap perencanaan penggabungan, peleburan

atau pengambilalihan tersebut, tetapi komisi memberikan

saran, bimbingan dan atau pendapat tertulis. Maka ketika

penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tersebut telah

dibentuk dan berlaku, komisi dapat melakukan penilain

kembali yang kemudian harus berdasarkan ketentuan yang ada

dan tidak adanya unsur monopoli dan persaingan usaha tidak

sehat.

c. Dampak yang dialami oleh pelaku-pelaku usaha dengan

adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57

tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha

dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan

usaha tidak sehat ini adalah, pelaku usaha yang akan

melakukan penggabungan, peleburan dan atau pengambialihan

saham harus lebih memperhatikan perencanaannya tersebut.

Karena dalam PP ini telah diatur secara rinci mengenai hal-

hal apa saja yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat. Selain itu adanya komisi

penilaian disini membuat para pelaku usaha lebih

memperhatikan usaha yang dilakukannya tersebut dalam

pengontrolan usahanya tersebut sehingga komisi tidak

menemukan hal-hal yang melanggar ketentuan dalam penilaian

komisi tersebut.

2. a. Posisi Dominan (dominant position) adalah keadaan di

mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti

di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar

yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi

tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan

dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses

pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk

menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa

tertentu. (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 5 tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat).

Posisi Dominan adalah pelaku usaha menjadi lebih unggul

(market leader) pada pasar yang bersangkutan atau

memiliki pangsa pasar terbesar.1

Posisi Dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha

1 Lubis, Andi Fahmi et al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, Jakarta:ROV Creative Media, 2009, hlm. 165

menjadi pemimpin dan menguasai pasar tersebut sehingga

tidak mempunyai pesaing yang dapat mengalahkannya. Maka

posisi pelaku usaha tertinggi diantara pesaing lainnya

dalam pasar yang bersangkutan.

Contoh: Di Indonesia terdapat beberapa produk baterai

yang dihasilkan oleh beberapa perusahaan yang berbeda.

Akan tetapi pangsa pasar baterai nasional di Indonesia

masih di dominasi oleh produk ABC (PT. Arta Boga

Cemerlang). Produk baterai ABC ditetapkan

menyalahgunakan posisi dominannya dengan melakukan

program geser competitor. Kebanyakan dari masyarakat

Indonesia menggunakan produk tersebut dibandingkan

dengan produk baterai lainnya. Oleh karena itu produk

baterai ABC ini menjadi lebih unggul dan mempunyai

posisi tertinggi di antara pesaing lainnya di pasar

bersangkutan.

Penyalahgunaan posisi dominan adalah dalam posisi

dominan pelaku usaha mempunyai hal-hal yang tidak

dilarang oleh Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat dengan ketentuan pencapaian posisi dominan

tersebut dilakukan melalui persaingan usaha yang sehat,

maka dengan adanya hal-hal yang tidak dilarang tersebut

memungkinkan suatu pelaku usaha dapat melakukan

penyalahgunaan terhadap apa yang diperbolehkan dalam

hal posisi dominan ini. Sehingga bentuk-bentuk

penyalahgunaan posisi dominan atau hambatan persaingan

usaha lainnya yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha

yang mempunyai posisi dominan telah ditetapkan dalam

pasal 25 ayat 1 dan pasal 19 Undang-Undang No. 5 tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat.

Contoh: Carrefour merupakan salah satu dari supermarket

terbesar di Indonesia. Dibandingkan dengan supermarket

lainnya Carrefour mempunyai market power dikarenalan

mempunyai gerai terbanyak. Dengan market power tersebut

menimbulkan ketergantungan bagi pemasok barang untuk

memasukkan barang atau produknya agar dapat dijual di

Carrefour. Oleh karena itu adanya pemberlakuan minus

margin yang mengakibatkan salah satu pemasok barang

harus menghentikan pasokan barangnya tersebut kepada

pesaing Carrefour yang menjual dengan harga yang lebih

murah dibandingkan dengan harga jual di Carrefour untuk

produk yang sama. Maka Carrefour melanggar pasal 19

huruf a Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

b. Suatu merger bisa saja terjadi penyalahgunaan posisi

dominan dikarenakan penggabungan perusahaan yang

menjadikan perusahaan tersebut menjadi kuat tetapi hal

tersebut dilarang dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat. Merger berdiri berdasarkan proses

penggabungan oleh satu Perseroan atau lebih untuk

menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada

yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan

yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada

Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya

status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri

berakhir karena hukum. Penyalahgunaan posisi dominan

tersebut terjadi apabila perseroan tersebut menguasai

50 % atau menguasai 75 % atau lebih pangsa pasar satu

jenis barang atau jasa tertentu sebagaimana disebutkan

dalam pasal 25 ayat 2 Undang-Undang No. 5 tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat). Sehingga apabila perseroan yang bergabung

tersebut menjadi lebih kuat dapat menimbulkan posisi

dominan yaitu menguasai pasar.

Contoh merger: Perusahaan yang melakukan merger adalah

antara bank Lippo dengan bank Niaga pada tahun 2008.

Kedua perusahaan tersebut bergabung untuk memperkuat

posisinya di persaingan global sebagaimana hal tersebut

merupakan sifat dan tujuan merger. Setelah proses

penggabungam tersebut terjadi kedua bank menyetujui

mengubah nama mereka menjadi bank CIMB Niaga. Disini

bukan berarti membentuk perusahaan yang baru tetapi

hanya mengubah nama perusahaan dari bank Lippo yang

bergabung dengan Bank Niaga dan sepakat bank Niaga

untuk mengubah namanya menjadi Bank CIMB Niaga. Dalam

hal ini penggabungan tersebut menjadikan bank CIMB

Niaga merupakan salah satu bank yang terkuat dan dapat

bersaing dengan bank-bank lainnya. Sehingga apabila

suatu penggabungan perseroan yang menyebabkan perseroan

tersebut semakin kuat dan menguasai pasar hal tersebut

dilarang oleh Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat. Untuk itu suatu merger yang menjadi lebih kuat

dalam persaingan usaha untuk tidak memiliki posisi

dominan yang melebihi aturan yang telah ditetapkan

dalam pasal 19, pasal 25, pasal 26, pasal 27 Undang-

Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Contoh lainnya yaitu, Flexi dan Esia yang akan

melakukan merger. Flexi merupakan operator CDMA

terbesar di Indonesia dengan jumlah pelanggan kurang

lebih 15 juta, sedangkan esia adalah operator CDMA

kedua terbesar di Indonesia dengan 10 juta pelanggan.

Apabila flexi dan esia melakukan merger maka dapat

dikatakan bahwa merger tersebut akan menguasai pasar

industry telekomunikasi CDMA ini. Sehingga dapat

mempengaruhi para pelaku usaha pesaing lainnya dalam

hal operator telekomunikasi CDMA.

c. Suatu BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang memiliki

posisi dominan terhadap suatu pasar dilingkup nasional

tidak dapat melakukan penyalahgunaan posisi dominan

tersebut. Dikarenakan BUMN bergerak dalam sektor

business to customer bukan business to business

sehingga yang diutamakan yaitu konsumen bukan dari segi

bisnis yang dilakukan. Tetapi yang terjadi sekarang

adanya kebijakan bagi BUMN dalam Peraturan Menteri

BUMN No. Per-15/MBU/2012 yang membuat perusahaan swasta

nasional akan terhambat memperoleh kesempatan

dipengadaan barang dan jasa dilingkungan BUMN.2 Dan

juga mekanisme dari kebijakan tersebut menghasilkan

barang dan jasa yang tidak efisien dari sisi harga dan

atau kualitas, khususnya untuk industri yang

terkonsentrasi. Selain itu BUMN menjadi meningkatkan

kekuatan dalam posisi dominan tersebut dipasar lain

(melalui penutupan pasar/foreclousure). Penunjukkan

yang dilakukan tersebut juga tidak termasuk dalam

pengecualian pasal 50 huruf a Undang-Undang No. 5 tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat, dikarenakan tidak terdapatnya pasal

tersebut di Undang-Undang No.19 tahun 2003 tentang BUMN

yang menetapkan peraturan terkait penunjukkan langsung2 KPPU, “KPPU lewati Semester Pertama 2014 dengan Lima SaranKebijakan: Kebijakan Sinergi BUMN dalam Pengadaan Barang danJasa, http://www.kppu.go.id/id/blog/2014/06/kppu-lewati-semester-pertama-2014-dengan-lima-saran-kebijakan/, diakses 26 Mei 2015

ataupun pengadaan barang dan jasa khusus BUMN. Oleh

karena itu KPPU memberikan saran kepada menteri BUMN

untuk mencabut atau mendesain ulang kebijakan sinergi

BUMN dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN

dengan disesuaikan dengan prinsip persaingan usaha yang

sehat. Maka inti dari jawabannya yaitu, BUMN tidak

dapat melakukan penyalahgunaan posisi dominan

dikarenakan hal tersebut telah dilarang oleh Undang-

Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dan dalam

pasal 51 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat merupakan pedoman yang merupakan petunjuk

pelaksanaan untuk memahami, mengerti dan

mensosialisasikan persaingan usaha yang sehat khususnya

yang berkaitan dengan monopoli dan atau pemusatan

kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau

pemasaran atas barang dan atau jasa yang menguasai

hajat hidup orang banyak serta cabang produksi yang

penting bagi negara.

3. Perkara No. 12/KPPU-I/2014

Penggugat: Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik

Indonesia (KPPU RI)

Tergugat: 1. PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) selanjutnya

disebut dengan PT Pelindo II

2. PT Multi Terminal Indonesia

Jenis Larangan: Perjanjian Tertutup dan Monopoli. Dengan

dugaan Pelanggaran Pasal 17 dan Pasal 15 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Sektor Pelabuhan

tentang Kewajiban Penggunaan Gantry Lufting Crane untuk

Kegiatan Bongkar Muat di Pelabuhan Tanjung Priok

Penyebabnya: kegiatan usaha bongkar muat barang dan kegiatan

penyediaan alat bongkar muatan di Pelabuhan Tanjuk Priok

tidak adanya kebebasan bagi pelaku usaha untuk bersaing

dalam menyediakan pengadaan alat kegiatan bongkar muatan

tersebut. Dikarenakan Pelabuhan Tanjut Priok telah

menyediakan crane darat Gantry Luffing Crane dan juga PT.

Multi Terminal Indonesia mengeluarkan surat pemberitahuan

yang mensyaratkan bagi seluruh pengguna untuk menggunakan

jasa dermaga sandar kapal di Pelabuhan Tanjung Priok

menggunakan Grantry Luffing Crane (GLC).

Prosedur persidangan:

a. tahan pengumpulan indikasi

b. tahap pemeriksaan pendahuluan

c. tahan pemeriksaan lanjutan

d. tahap penjatuhan putusan

e. tahap eksekusi putusan

Putusan KPPU:

1. Terlapor 1 terbukti secara sah melanggar pasal 15 ayat

(2) Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada

dermaga Pelabuha Tanjung Priok 101, 101 utara dan 102.

2. Terlapor II terbukti secara sah melanggar pasal 15 ayat

2 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada

pasar yang bersangkutan yaitu melakukan pengadaan

barang berupa menyediakan crane darat Gantry Luffing

Crane untuk bongkar muatan tersebut di dermaga 114 dan

155 Pelabuhan Tanjung Priok

3. Terlapor 1 dan Terlapor II tidak terbukti melanggar

pasal 17 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat yaitu berkaitan dengan monopoli bahwa Terlapor 1

dan II hanya menyediakan barang berupa Gantry Luffing

Crane.

4. Membatalkan Surat Direksi PT Pelabuhan Indonesia II

(Persero) Nomor TM.15/3/15/PI.II-11 tanggal 8 November

2011 mengenai pemanfaatan alat bongkar muat baru, Surat

Direksi PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Nomor

TM.15/2/7/PI.II-12 tanggal 9 Mei 2012 mengenai

Pengoperasian Gantry Luffing Crane, Surat Nomor

FP.003/103/10/CPTK-12 tanggal 21 September 2012 perihal

Surat Pemberitahuan, dan surat-surat atau kesepakatan

lainnya yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan

alat bongkar muat crane darat Gantry Luffing Crane di

dermaga 101, 101 utara dan 102

5. Membatalkan Surat Edaran PT Multi Terminal Indonesia

Nomor HM.498/8/17/MTI-2011 tanggal 30 November 2011

perihal penggunaan peralatan bongkar muat, Kesepakatan

Bersama antara PT Multi Terminal Indonesia (PT MTI)

dengan Mitra Kerja PT Multi Terminal Indonesia tentang

Pemakaian Crane Darat (GLC) Untuk Kegiatan Bongkar Muat

berdasarkan Berita Acara Nomor UM.268/4/2C/MTI-2012

tanggal 21 Mei 2012, Surat Pemberitahuan Nomor

TH.12/1/12/MTI-2012 tanggal 27 Agustus 2012 perihal

penggunaan alat bongkar muat/Gantry Luffing Crane (GLC)

dan surat-surat atau kesepakatan lainnya yang mengatur

mengenai kewajiban penggunaan alat bongkar muat crane

darat Gantry Luffing Crane di dermaga 114 dan 115

6. Memerintahkan Terlapor I untuk mengumumkan pembatalan

surat-surat dan kesepakatan sebagaimana tersebut pada

diktum 4 dan diktum 5 di atas pada 2 (dua) surat kabar

harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional

selama 1 (satu) hari kerja dengan ketentuan pengumuman

tersebut dimuat pada halaman khusus berita ekonomi

dengan ukuran sepatutnya.

7. Memerintahkan Terlapor I untuk menyerahkan bukti

pengumuman sebagaimana dimaksud pada diktum 6 di atas

kepada KPPU;

8. Memerintahkan Terlapor II untuk menyerahkan salinan

bukti pembayaran denda ke KPPU, setelah melakukan

pembayaran denda.

Sanksi:

1. Menghukum Terlapor II, membayar denda sebesar Rp

5.332.500.000,00 (lima milyar tiga ratus tiga puluh dua

juta lima ratus ribu rupiah) yang harus disetor ke Kas

Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di

bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas

Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah

Analisis Perkara:

Pasal 15 terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat yang dalam pasal tersebut menyatakan bahwa,

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan

pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa

pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan

memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau

jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada

tempat tertentu.

(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan

pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang

menerima barang dan atau jasa tertentu harus

bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari

pelaku usaha pemasok.

(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai

harga atau potongan harga tertentu atas barang dan

atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku

usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku

usaha pemasok:

a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain

dari pelaku usaha pemasok; atau

b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama

atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi

pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Maka terkait dengan diterbitkannya Surat Pemberitahuan

Kewajiban Penggunaan GLC oleh PT Pelindo II (Persero) Nomor

FP.003/103/10/2012 yaitu pada tanggal 21 September 2012

bukan kualifkasi perjanjian pengikatan (tying agreement)

karena tidak mencantumkan sanksi yang bersifat paksaan. Jika

dibaca dengan cermat tidak ada satu katapun yang berbunyi

sanksi larangan tambat di dermaga 101, 101 utara dan 102

yang bersifat paksaan agar menggunakan GLC pada surat

tersebut. Tetapi dalam hal ini PT Pelindo II (Persero) telah

menerbitkan surat pemberitahuan kepada pihak kapal untuk

wajib menggunakan jasa yang disediakan oleh pihak pelabuhan

tersebut sehingga mau tidak mau jasa yang disediakan oleh

pihak pelabuhan tersebut harus dipakai atau digunakan. Dan

perjanjian terebut dilakukan oleh pihak terlapor dengan

pelaku usaha untuk mengharuskan pihak yang menerima jasa

tersebut menggunakan atau membeli jasa Gantry Luffing Crane.

Maka terbuktilah Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat.

Pasal 17 tidak terbukti terjadinya pelanggaran. Dikarenakan

dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

menyatakan bahwa,

(1)  Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas

produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang

dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan

atau persaingan usaha tidak sehat.

(2)  Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan

penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan

atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:

a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada

substitusinya; atau

b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk

ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang

sama; atau

c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha

menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa

pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Berkaitan ayat 2 (a), fakta bahwa adanya tindakan atau

perilaku terlapor I dan terlapor II dalam mengadakan

penggunaan Gantry Luffing Crane bagi kapal yang ingin

bersandar dan membongkar muatannya di Pelabuhan Tanjung

Priok benar adanya. Yang menyebabkan pelayanan jasa bongkar

muat dimasing-masing dermaga tersebut hanya dilayani oleh

GLC dan menjadikan satu-satunya alat yang harus dipakai oleh

para pihak kapal. Namun GLC bukanlah alat bongkar muat yang

tidak memiliki substansi. Dikarenakan adanya pengumuman dari

Terlapor I di dermaga 101, 101 utara dan 102, dan perjanjian

kerja sama Terlapor II di dermaga 114 dan 115 yang dikuatkan

dengan surat pemberitahuan Terlapor II tentang kewajiban

penggunaan alat bongkar muat GLC menyebabkan penggunaan

crane kapal dan crane darat lainnya menjadi tidak boleh

digunakan sehingga di masing- masing dermaga tersebut hanya

dapat menggunakan alat bongkar muat GLC. Artinya, GLC

bukanlah satu-satunya alat bongkar muat yang tidak memiliki

subtitusi di masing-masing dermaga perkara a quo sehingga

unsur Pasal 17 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tidak terpenuhi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Lubis, Andi Fahmi et al., Hukum Persaingan

Usaha Antara Teks & Konteks, Jakarta:ROV Creative

Media, 2009

Internet:

KPPU, “KPPU lewati Semester Pertama 2014 dengan Lima Saran Kebijakan: Kebijakan Sinergi BUMN dalam Pengadaan Barang dan Jasa,

diakses 26 Mei 2015, http://www.kppu.go.id/id/blog/2014/06/kppu-lewati-semester-pertama-2014-dengan-lima-saran-kebijakan/,

top related