1 BAB II PEMBAHASAN A. Landasan Teori 1. Hukum Persaingan Usaha a. Pengertian Hukum Persaingan Usaha Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha. Menurut Christopher pass dan Bryan lowes, yang dimaksud dengan competition laws (hukum persaingan usaha) adalah bagian dari perundang-undangan yang mengatur tentang monopoli, penggabungan dan pengambilalihan, perjanjian perdagangan yang membatasi dan praktik anti persaingan. 1 Dengan kata lain Hukum persaingan usaha hukum yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan ketika berinteraksi dilandasi atas motif-motif ekonomi. 2 Pengertian persaingan usaha secara yuridis selalu dikaitkan dengan persaingan dalam ekonomi yang berbasis pada pasar, dimana pelaku usaha baik perusahaan maupun penjual secara bebas berupaya untuk mendapatkan konsumen guna mencapai tujuan usaha atau perusahaan tertentu yang didirikannya. 3 1 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, h. 2. 2 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, Creative Media, Jakarta, 2009, h. 21. 3 Budi Kagramanto. Mengenal Hukum Persaingan Usaha. Laras, Sidoarjo, 2010, h. 57.
54
Embed
BAB II PEMBAHASAN A. 1. Hukum Persaingan Usaha · 2019. 8. 8. · KKN dan menjamin adanya persaingan usaha yang terbuka dan fair, serta beretika.7 Pengaturan mengenai hukum persaingan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
1. Hukum Persaingan Usaha
a. Pengertian Hukum Persaingan Usaha
Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha
adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan
persaingan usaha. Menurut Christopher pass dan Bryan lowes, yang
dimaksud dengan competition laws (hukum persaingan usaha) adalah
bagian dari perundang-undangan yang mengatur tentang monopoli,
penggabungan dan pengambilalihan, perjanjian perdagangan yang
membatasi dan praktik anti persaingan.1
Dengan kata lain Hukum
persaingan usaha hukum yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau
pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan ketika
berinteraksi dilandasi atas motif-motif ekonomi.2 Pengertian persaingan
usaha secara yuridis selalu dikaitkan dengan persaingan dalam ekonomi
yang berbasis pada pasar, dimana pelaku usaha baik perusahaan maupun
penjual secara bebas berupaya untuk mendapatkan konsumen guna
mencapai tujuan usaha atau perusahaan tertentu yang didirikannya.3
1 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2008, h. 2. 2 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, Creative Media,
Jakarta, 2009, h. 21. 3 Budi Kagramanto. Mengenal Hukum Persaingan Usaha. Laras, Sidoarjo, 2010, h. 57.
2
Hukum persaingan usaha berisi ketentuan-ketentuan substansial
tentang tindakan-tindakan yang dilarang (beserta konsekuensi hukum yang
bisa timbul) dan ketentuan-ketentuan prosedural mengenai penegakan
hukum persaingan usaha. Pada hakikatnya hukum persaingan usaha
dimaksudkan untuk mengatur persaingan dan monopoli demi tujuan yang
menguntungkan. Apabila hukum persaingan usaha diberi arti luas, bukan
hanya meliputi pengaturan persaingan, melainkan juga soal boleh tidaknya
monopoli digunakan sebagai saran kebijakan publik untuk mengatur daya
mana yang boleh dikelolah oleh swasta4
Dalam perkembangan sistem ekonomi Indonesia, hukum
persaingan usaha menjadi salah satu instrumen hukum ekonomi.
Hal ini ditunjukan melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, pengaturan mengenai hukum persaingan usaha diatur
dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebelumnya, diantaranya diatur dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1984 tentang Perindustrian Pasal 7 ayat (2), Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 382, dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas Pasal 104.5
b. Pengaturan Hukum Persaingan Usaha
Secara empiris masyarakat Indonesia telah telah mengalami
keterbatasan perekeonomian (termasuk aspek legalnya) pada praktik bisnis
yang penuh keganjilan dan kontradiktif ini. Permasalahan tersebut bagi
masyarakat luas menimbulkan ketidakadilan, dan berdampak buruk pada
kesiapan tata ekonomi nasional yang telah memasuki dan mengikuti
4 Arie Siswanto, Op.Cit., h. 23.
5 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli, Menyongsong Era Persaingan Sehat, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003, h. 42.
3
perkembangan ekonomi nasional yang telah memasuki dan mengikuti
perkembangan ekonomi dunia yang akan semakin diwarnai semangat free
competition, dan seiring dengan semakin menggelobalnya ekonomi pasar.6
Indonesia beraharap memasuki babak baru, masa dimana
diperlukan praktik bisnis yang fair yang dapat membuka ekonomi
pasar dan kemerataan social ekonomi. Di samping itu pemerintah
baru diharapkan dapat meninggalkan praktik-praktik masa lalu
yang otoriter dan sentralistik, memasuki masa yang lebih
demokratis, terbuka, didasarkan dari hukum yang benar-benar
berintikan niat untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Namun, tekat belum cukup tanpa dibarengi dan didukung dengan
pranata hukum yang memberikan larangan atas praktik bisnis yang
KKN dan menjamin adanya persaingan usaha yang terbuka dan
fair, serta beretika.7
Pengaturan mengenai hukum persaingan usaha di Indonesia
sekarang ini mengacu pada Undang – undang nomor 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(selanjutnya disebut UU Antimonopoli).
Penerbitan UU Antimonopoli sendiri di Indonesia merupakan
upaya Indonesia untuk mereformasi hukum di bidang ekonomi yang
berasaskan pada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum
dengan tujuan untuk menjaga kepentingan umum dan melindungi
konsumen, menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya
persaingan usaha yang sehat dan menjamin kepastian kesempatan
berusaha yang sama bagi setiap orang, mencegah praktek-praktek
6 Syud Margono, Op.Cit., h. 25.
7 Ibid., h. 2.
4
monopoli serta menciptakan efektifitas dan efisiensi dalam rangka
meningkatkan ekonomi nasional8
Fenomena yang terjadi pada awal 1990-an telah
berkembang dan didukung oleh adanya hubungan yang terkait
antara pengambil keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara
langsung maupun tidak langsung sehingga lebih memperburuk
keadaan. Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan
mendapatkan kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak
kepada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan
sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh
semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang
mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak
mampu bersaing.9
Hadirnya UU Antimonopoli juga merupakan upaya negara dalam
memperbaiki kegiatan usaha ekonomi di Indonesia agar masyarakat
mendapat kesempatan yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam
kelangsungan pembangunan ekonomi negara di berbagai sektor usaha
sehingga dapat mencerminkan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan
amanat Pasal 33 Undang – undang Dasar Republik Indonesia.
c. Tujuan Hukum Persaingan Usaha
Hukum Persaingan usaha memiliki tujuan untuk menjamin
kebebasan ekonomi khususnya kebebasan untuk bersaing (freedom of
competition). Selain itu hukum persaingan usaha juga memiliki tujuan lain
diantaranya untuk mencegah penyalahgunaan kekuatan ekonomi
(prevention of abuse of economic power) yaitu dengan menjamin supaya
persaingan terjadi secara proporsional, dalam arti pihak yang kuat secara
8 Devi Meyliana, Hukum Persaingan Usaha, Setara Pres, Malang, 2013, h. 1.
9 Baca bagian umum penjelasan Undang – undang nomor 5 tahun 1999 tentang larang monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat.
5
ekonomi tidak merugikan pelaku usaha yang lain dalam persaingan10
Peraturan tentang hukum persaingan dalam bentuk undang-undang,
diharapkan dapat memberikan aturan main kepada pelaku usaha atau
ekonomi dalam melaksanakan kegiatan bisnis, hendaklah diberi nama
larangan praktik monopoli. Di beberapa Negara, undang-undang semacam
ini lazim disebut Undang-Undang Antitrust atau Anti Monopoli.11
Asas dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 2
bahwa:
“Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan
antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”.
Asas demokrasi ekonomi tersebut merupakan penjabaran Pasal 33 UUD
1945 dan ruang lingkup pengertian demokrasi ekonomi yang dimaksud
dahulu dapat ditemukan dalam penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945.12
Demokrasi ekonomi pada dasarnya dapat dipahami dari sistem
ekonominya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar.
Dalam Rísalah Sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1845 di Gedung
Pejambon Jakarta dapat diketahui bahwa Supomo selaku ketua Panitia
Perancang UUD menolak paham individualisme dan menggunakan
semangat kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat pedesaan
Indonesia. Di sini ia mengikuti ajaran filsafat idealisme kekeluargaan dari
Hegel, Adam Muller, dan Spinoza. Adam Muller adalah penganut aliran
10
Arie Siswanto, Op.Cit., h. 26. 11
Syud Margono, Op.Cit., h. 20. 12
Dr. Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, ROV Creaive
Media, Jakarta, h. 16
6
NeoRomantisisme Jerman, aliran yang timbul sebagai reaksi terhadap
ekses-ekses individualisme Revolusi Perancis.13
Adapun tujuan dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada
Pasal 3 adalah untuk :
a) menjaga kepentingan umum dan meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b) mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku
usaha kecil;
c) mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku
usaha, dan d. terciptanya efektivitas dan efisiensi
dalam kegiatan usaha.
Dua hal yang menjadi unsur penting bagi penentuan kebijakan
(policy objectives) yang ideal dalam pengaturan persaingan di negara-
negara yang memiliki undang-undang persaingan adalah kepentingan
umum (public interest) dan efisiensi ekonomi (economic efficiency) .
Ternyata dua unsur penting tersebut (Pasal 3 (a)) juga merupakan bagian
dari tujuan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1999.
13
Ibid
7
2. Konsep Konstruksi Hukum
a. Metode Konstruksi Hukum
Dalam penemuan hukum dikenal metode konstruksi hukum, yang
akan digunakan oleh hakim pada saat ia dihadapkan pada situasi adanya
kekosongan hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undangundang (wet
vacuum), karena pada prinsipinya hakim tidak boleh menolak perkara
untuk diselesaikan dengan dalih hukumnya tidak ada atau belum
mengaturnya (asas ius curia novit). Hakim harus terus menggali dan
menemukan hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat, karena sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.14
Metode konstruksi hukum bertujuan agar
hasil putusan hakim dalam peristiwa konkret yang ditanganinya dapat
memenuhi rasa keadilan serta memberikan kemanfaatan bagi para pencari
keadilan. Adapun penemuan hukum melalui metode konstruksi hukum
yang dikenal selama ini ada 4 (empat), yaitu sebagai berikut
a. Metode Argumentum Per Analogium (Analogi)
Analogi merupakan metode penemuan hukum di
mana hakim mencari esensi yang lebih umum dari
sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik
14
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,
Jakarta, 2011, h. 74.
8
yang telah diatur undang-undang maupun yang
belum ada peraturannya.
b. Metode Argumentum a Contrario Metode ini
memberikan kesempatan kepada hakim untuk
melakukan penemuan hukum dengan pertimbangan
bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal
tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan
itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi
peristiwa di luarnya berlaku sebaliknya. Karena ada
kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur
oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa
tersebut diatur oleh undang-undang. Jadi, esensi
metode ini adalah mengedepankan cara penafsiran
yang berlawanan pengertiannya antara peristiwa
konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang
dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam
undang-undang. Metode argumentum a contrario
menitikberatkan pada ketidaksamaan peristiwanya.
Di sini diperlakukan segi negatif daripada suatu
undang-undang.15
c. Metode Penyempitan/Pengkonkretan Hukum
Metode pengkonkretan hukum (rechtsvervijnings)
bertujuan untuk mengkonkretkan/ menyemputkan
15
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta, 2007, h. 171.
9
suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, pasif serta
sangat umum, agar dapat diterapkan terhadap suatu
peristiwa tertentu. Dikatakan abstrak karena aturan
hukum bersifat umum (norma luas) dan dikatakan
pasif karena aturan hukum tersebut tidak akan
menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi
peristiwa konkret. Dalam metode ini dibentuklah
pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-
penyimpangan baru dari peraturan yang bersifat
umum. Peraturan yang bersifat umum ini ditetapkan
terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang
khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan
memberi ciri-ciri. 16
d. Fiksi Hukum Menurut Paton, metode penemuan
hukum melalui fiksi hukum ini bersumber pada fase
perkembangan hukum dalam periode menengah,
yaitu setelah berakhirnya periode hukum primitif.
Metode fiksi sebagai penemuan hukum ini
sebenarnya berlandaskan pada asas bahwa setiap
orang dianggap mengetahui undang-undang. Esensi
dari fiksi hukum merupakan metode penemuan
hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru,
sehingga tampil suatu personifikasi baru di hadapan
16
Ibid., h. 85.
10
kita. Fungsi dari fiksi hukum di samping untuk
memenuhi hasrat menciptakan stabilitas hukum,
juga utamanya untuk mengisi kekosongan undang-
undang. Dengan kata lain, fiksi hukum bermaksud
untuk mengatasi konflik antara tuntutan-tuntutan
baru dengan sistem hukum yang ada.17
3. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Undang-undang Persaingan Usaha juga mengatur pembentukan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan komisi negara
dan lembaga penegak hukum independen terhadap praktik persaingan
usaha dan member saran kebijakan persaingan. Bebas dari pengaruh dan
control pemerintah dan pihak manapun. Komisi Pengawas Persaingan
Usaha Tidak Sehat dibentuk dengan keputusan presiden No. 75 Tahun
1999. Pasal-Pasal yang member mandate atas keberadaan KKPU adalah :
Pasal 34
1. Pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan
fungsinya ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dibentuk dengan tugas antara
lain untuk melakukan pengawas terhadap pelaksanaan Undang-
undang No. 5 Tahun 1999, yang memuat ketentuan anatara lain
tentang :
a. Perjanjian yang dilarang
b. Kegiatan yang dilarang
c. Posisi dominan
d. KKPU dan
e. Penegakan hukum (ketentuan saksi)
17
Ibid.
11
Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga berwenang
member saran dan pertimbangan kepada pemerintah berkaitan
dengan kebijakan yang mempengaruhi persaingan usaha dalam
bentuk kajiann proses pembentukan peraturan, evaluasi kebijakan,
atau rekomendasi diberlakukanya kebijakan. KKPU bertanggung
jawab secara langsung kepada Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR
Bertitik tolak pada tujuan diun-dangkannya UU No. 5
tahun 1999, padaPasal 3 dapat disimpulkan bahwa tujuan dari
pemberlakuan UU No. 5 tahun 1999 adalah untuk:
1.Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
2.Mewujudkan iklim usaha yang kon-dusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sama bagi pelaku usaha
besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
3.Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
12
4. Monopoli
a. Pengertian
Secara etimologi, kata monopoli berasal dari kata yunani ‘monos’
yang berarti sendiri dan ‘polein’ yang berarti penjual. Dari akar kata
tersebut, secara sederhana orang lantas member pengertian monopoli
sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan
(supply) suatu barang atau jasa tertentu.18
Secara lebih luas monopoli memiliki arti pengusahaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa
tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Sedangkan praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi
oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya
produksi dana atau pemaran atas barang atau jasa tertentu sehungga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum.19
Menurut pengertian diatas, monopoli tidak hanya diartikan
mencakup struktur pasar dengan adanya satu pemasok atau pembeli di
pasar bersangkutan. Sebab struktur pasar demekian (hanya ada satu
pemasok) jarang sekali terjadi. Pengertian monopoli sebenarnya lebih luas
dari itu. Jangkauan kata monopoli dapat dilihat jika seorang yang
monopolis menguasai pangsa pasar 50 persen. Dengan demikian, pada
pasar tersebut masih ada pelaku usaha (pesaing), namun terdapat satu atau
dua pelaku yang lebih menguasai20
Yang harus diperjelas adalah apakah pengertian pada defenisi di
atas menekankan pada „‟hasil monopoli‟‟ atau „‟proses monopoli‟‟.
18
Ibid., h. 19. 19
Suharsil, Op.Cit., h. 2. 20
Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., h. 15.
13
Monopoli menekankan terciptanya suatu penguasaan atas produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu oleh satu pelaku usaha
atau kelompok pelaku usaha penekanan pengertiannya pada terjadinya
monopoli atau monopolisasi pehaman ini menjadi penting untuk
mendudukkan kegiatan atau perjanjian yang dilarang.
Dengan demikian, kata „‟monopoli‟‟ berarti kondisi pengasuaan
atas produksi dan pemasaran oleh satu kelompok satu pelaku usaha
tertentu. sedangkan praktik monopoli menekankan pada pemusatan
kekuasaan sehingga terjadi kondisi pasar yang monopoli. Karenanya,
praktik monopoli tidak harus langsung bertujuan menciptakan monopoli,
tetapi istilah ini pada umumnya menggambarkan suatu usaha mencapai
atau memperkuat posisi dominan di pasar. Dalam hal praktik monopoli,
yang berarti menekankan pada proses monopoli dapat melihat beberapa
hal sebagai berikut, yakni penentuan mengenai pasar bersangkutan,
penilian terhadap keadaan pasar, dan adanya kegiatan yang dilakukan oleh
pelaku usaha untuk mengusai pasar.
Menekankan pada praktik monopoli berarti mengabaikan
monopoli yang terjadi secara alamiah. Monopoli dapat dengan dua cara,
pertama, monopoli alamiah (natural monopoly) yang terjadi akibat
kemampuan seseorang atau sekelompok pelaku usaha yang mempunya
kelebihan tertentu sehingga membuat pelaku usaha lain kalah bersaing.
Satu pelaku usaha pada pasar sepatu yang mempunyai kulitas yang sangat
14
baik, dapat menekan biaya produksi, pemasaran yang prima tentu akan
diminapi konsumen, sehingga secara „‟alamiah‟‟.21
b. Beberapa Jenis Monopoli
Adapun jenis-jenis monopoli adalah sebagai berikut :
1. Monopoli yang terjadi karena memang dikehendaki oleh
Undang-Undang (Monopoly by law). Pasal 33 UUD 1945
menghendaki adanya monopoli untuk menguasai bumi dan
air berikut kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup
orang banyak. Selain itu, undang-undang juga memberikan
hak istimewa dan perlindungan hukum dalam jangka waktu
tertentu terhadap pelaku usaha yang memenuhi syarat
tertentu atas hasil riset dan inovasi yang dilakukan sebagai
hasil pengembangan teknologi yang bermanfaat bagi umat
manusia.
2. Monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena
didukung oleh iklim dan lingkungan usaha yang sehat
(monopoly by nature). Monopoli bukanlah suatu kegiatan
yang jahat atau terlarang apabila kedudukan tersebut
diperoleh dengan mempertahankan posisi tersebut melalui
kemampuan prediksi dan naluri bisnis yang propfersional.
Kemampuan sumber daya manusia yang professional, kerja
21
Ibid., h. 16.
15
keras dan strategi bisnis yang tepat dalam mempertahankan
posisinya akan membuat suatu perusahaan memiliki kinerja
yang unggul sehingga tumbuh secara cepat dengan
menawarkan suatu kombinasi antara kualitas dan harga
barang dan jasa serta pelayanan sebagaimana dikehendaki
konsumen.
3. Monopoli yang diperoleh dari melalui lisensi dengan
menggunakan mekanisme kekuasaan (monopoly by
license). Monopoli seperti ini dapat terjadi oleh karena
adanya kolusi antara para pelaku usaha dengan birokrat
pemerintah. Kehadirannya menimbulkan distorsi ekonomi
karena mengangy bekerjanya mekanisme pasar yang
efesien.
4. Monopoli karena terbentuknya struktur pasar akbit perilaku
dan sifat serakah manusia. Sifat-sifat dasar manusia yang
menginginkan keuntungan besar dalam waktu yang singkat
dan dengan pengorbanan dan modal yang sekecil mungkin
atau sebaliknya, dengan menggunakan modal (capital) yang
sangat besar untuk memperoleh posisi dominan guna
menggusur pesaing yanga ada. Unsur-unsur yang
mempengaruhi para pelaku usaha tersebut manifestasinya
dalam praktik bisnis sehari-hari adalah sedapat-dapatnya
menghindari munculnya pesaing baru atau rivalitas dalam
berusaha akan menurunkan tingkat keuntungan
16
c. Kegiatan yang dilarang
Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,kegiatan yang
dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini
tidak memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun
demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas, tindakan secara sepihak.
Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua
pihak maka dalam kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan
hukum sepihak. Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1. Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
2. Monopsoni adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku
usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar
yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai
penjual jumlahnya banyak.
3. Penguasan pasar adalah dimana pelaku usaha melakukan satu atau
beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain,
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat berupa. menolak dan atau
menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan atau mematikan usaha
17
pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
4. Persekongkolan adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh
pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang
bersekongkol (pasal 1 ayat (8) UU No.5/1999).
5. Jabatan Rangkap Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai
direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang
bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris
pada perusahaan lain.
6. Pemilikan Saham Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki
saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan
kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang
sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
7. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan Dalam Pasal 28
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku
usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum
yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus
dengan tujuan mencari keuntungan.22
d. Perjanjian yang Dilarang
22
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
18
Larangan melakukan perjanjian dengan pelaku usaha lain yang dapat
mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Larangan-
larangan tersebut adalah :
1. Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan atau
berakibat penguasaan produksi dan atau persamaan barang atau jasa
(pasal 4 ayat 1).
2. Membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan
harga barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen (pasal 5 ayat 1)
3. Membuat perjanjian dengan pembeli yang mengakibatkan terjadinya
perbedaan (diskriminasi) harga barang atau jasa yang harus dibeli oleh
pembeli yang satu dengan pembeli yang lain (pasal 6).
4. Membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan
harga dibawah harga pasar (pasal 7).
5. Membuat perjanjian yang melarang pembeli barang atau jasa untuk
menjual atau memasok kembali barang atau jasa yang dibelinya itu
dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang ditetapkan dalam
perjanjian (pasal 8).
6. Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
membagi wilayah pemasaran diantara mereka, dimana pelaku usaha yang
satu hanya akan melakukan pemasaran diwilayah pemasarannya sendiri
sebagaimana yang telah disepakati dan tidak melakukan pemasaran di
wilayah pemasaran mitra janjinya (pasal 9)
7. Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan melakukan
pemboikotan terhadap para pelaku usaha pesaing mereka yang bertujuan
: - Menghalangi pelaku usaha lain untuk dapat melakukan usaha yang
sama (pasal 10 ayat 1).
19
- Menolak menjual setiap barang atau jasa dari pelaku usaha lain
sehingga perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian atau dapat diduga
akan merugikan pelaku usaha lain (pasal 10 ayat 2 huruf a), dan
membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang
dan atau jasa dari pasar bersangkutan (pasal 10 ayat 2 huruf b).
8. Membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan
terbentuknya suatu kartel diantara mereka (pasal 11).
9. Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan
kerjasama dengan membentuk suatu trust diantara mereka (pasal 12)
10. Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
terciptanya oligopsoni (pasal 13)
11. Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
terjadinya integrasi vertikal diantara mereka (pasal 14)
12. Membuat perjanjian yang mempersyaratkan agar pelaku usaha yang lain
hanya memasok atau tidak memasok kembali barang atau jasa yang telah
dibelinya kepada pihak tertentu atau ditempat tertentu (pasal 15 ayat 1)
13. Membuat perjanjian dengan pihak lain yang mempersyaratkan bahwa
pihak lain hanya dapat membeli apabila yang bersangkutan membeli pula
barang atau jasa yang lain dari yang bersangkutan (pasal 15 ayat 2)
14. Membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga atas barang
atau jasa yang mensyaratkan bahwa pihak yang lain akan diberi harga
yang dimaksud atau akan diberi potongan atas harga tersebut apabila
yang bersangkutan : - Bersedia pula membeli barang atau jasa yang lain
(pasal 15 ayat 3 huruf b) - Tidak akan membeli barang atau jasa yang
sama dari pelaku usaha pesaingnya (pasal 15 ayat 3 huruf a).
20
15. Membuat perjanjian dengan pihak diluar negeri yang membuat ketentuan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat (pasal 16)23
e. Posisi Dominan
Posisi dominan artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1
angka 4 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi
dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai
pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa
yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara
pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan
keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan
untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud pasal 25
ayat (1) apabila:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha menguasai 50% (lima puluh persen)
atau lebih pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu; atau
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh
lima persen) atau lebih pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tertentu.
Bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan atau hambatan-
hambatan persaingan usaha yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan adalah ditetapkan di dalam Pasal 25 ayat 1 UU
antimonopoli. Ketentuan tersebut menetapkan bahwa pelaku usaha
23
Ibid.
21
dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk :
a. Menetapkan syarat-syarat pergadangan dengan
tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi
konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang
bersaing dari segi harga maupun kualitas; atau
b. Membatasi pasar pengembangan teknologi; atau
c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi
menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang
bersangkutan.
5. Pasar
a. Pengertian
Pasar merupakan suatu tempat dimana para penjual dan pembeli
dapat bertemu untuk melakukan jual beli barang. Penjual dan pembeli
akan melakukan tawar menawar harga hingga tercapai kesepakatan
harga. Hal ini merupakan pengertian pasar secara konkrit, atau dengan
kata lain pasar merupakan tempat orang bertemu untuk melakukan suatu
transaksi jual beli. Hal ini merupakan pengertian pasar secara konkrit,
artinya pengertian pasar dalam kehidupan sehari-hari tempat orang
bertemu untuk melakukan suatu transaksi jual beli barang.24
Di dalam
Perpres nomor 112 tahun 2007 tentang penataan dan pembinaan pasar
24
Jurnal Dinamika Hukum Aspek Zonasi Pasar Tradisional dan Pasar Modern diakses 23 oktober
2018 pukul 15:22.
22
tradisional pusat perbelanjaan dan toko modern pengertian pasar adalah
area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik
yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan,
mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya.25
Seiring
dengan perkembangan zaman pasar kemudian melahirkan dua konsep
yaitu pasar tradisional dan pasar modern.
b. Pasar Tradisional
Dalam Perpres nomor 112 tahun 2007 pasal 1 ayat 2 pengertian
pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan
Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan
tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh
pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan
usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang
dagangan melalui tawar menawar.26
Dari pengertian diatas bahwa pasar
tradisional bukan hanya pasar yang dibangun oleh pemerintah yang
cakupannya luas, namun toko-toko dan kios yang berada di sekitar
pemukiman juga dapat dikatan pasar tradisional, lebih lanjut diatur dalam
undang-undang nomor tahun 2008 tentang usaha mikro kecil dan
menengah.
1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan
dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria
25
Perpres No. 112 Tahun 2007 Tentang Penataan Dan Pembinaan Pasar Tradisional Pusat
Perbelanjaan Dan Toko Modern. 26
Ibid.
23
Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Kriteria Usaha Mikro adalah memiliki kekayaan bersih paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil
penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri
sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan
usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian
baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah
atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil. Kriteria
Usaha Kecil adalah sebagai berikut memiliki kekayaan bersih
lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau
memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri
sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan
usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau
24
Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil
penjualan tahunan. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai
berikut memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil
penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar
lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
4. Usaha Besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan
oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil
penjualan tahunan lebih besar dari Usaha Menengah, yang
meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha
patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi
di Indonesia.27
c. Pasar Modern
Pasar Modern yaitu pasar yang penjual dan pembeli tidak
bertransaksi secara langsung, melainkan pembeli melihat lebel harga yang
tercantum dalam harga (barcode) dan pelayanannya dilakukan secara
mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang
dijual di pasar modern, selain bahan makanan juga terdapat barang lain
27
Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah.
25
yang merupakan jenis barang yang dapat bertahan lama.28
Toko modern
dan pusat perbelanjaan diatur dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia (Perpres) Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan
Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Pasar Modern.
Perpres 112/ 2007 tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri Perdagangan RI Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang
Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan,
dan Toko Modern. Perizinan toko modern dan pusat Tok perbelanjaan juga
diatur dalam sejumlah Peraturan Daerah. Batasan luas lantai penjualan
Toko Modern adalah:
1. Minimarket, kurang dari 400 m².
2. Supermarket, 400 m² sampai dengan 5.000 ml.
3. Hipermarket, di atas 5.000 m².
4. Department Store, di atas 400 m².
5. Grosir/Perkulakan, di atas 5.000 ml.
Khusus untuk usaha Toko Modern dengan modal dalam negeri
100% (PMDN), maka batasan luas lantainya adalah :
a. Minimarket, dengan luas lantai penjualan kurang dari 400