Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap pasangan suami istri pada umumnya selalu mendambakan anak sebagai salah
satu penunjang kebahagiaan rumah tangga. Oleh karena itulah pasangan suami istri yang
kesulitan hamil harus mendapat perhatian dalam pelayanan medis demi kesejahteraan
keluarganya. Berdasarkan data dari Klinik Yasmin Jakarta, ketidaksuburan pasangan suami-
istri di Indonesia berkisar 10-15 persen.
Ilmu kedokteran masa kini baru berhasil menolong 50% pasangan infertil
memperoleh anak yang diinginkannya. Itu berarti separuhnya lagi terpaksa menempuh hidup
tanpa anak, mengangkat anak, poligami, atau bercerai.1 Penyebab infertilitas bisa berasal dari
pihak suami maupun istri, atau keduanya. Infertilitas harus dikelola dalam satu kesatuan
pasangan, karena keberhasilan kehamilan tidak dapat diandalkan hanya dari satu pihak saja.
Infertilitas dapat disebabkan oleh berikut:3
Gangguan sperma (35% dari pasangan)
Penurunan cadangan ovarium atau disfungsi ovulasi (20%)
Disfungsi tuba dan lesi pelvis (30%)
Abnormalitas servikal mucus dan Kelainan uterus (≤ 5%)
Faktor yang tidak teridentifikasi (10%)
Penelitian menunjukkan lamanya waktu yang diperlukan untuk menghasilkan
kehamilan adalah 32,7% hamil dalam satu bulan pertama, 57% dalam 3 bulan, 72,1% dalam
6 bulan, 85,4% dalam 12 bulan, dan 93,4% dalam 24 bulan. Makin lama pasangan kawin
tanpa kehamilan, makin turun kejadian kehamilannya.2,4
Pada kasus ini, terjadinya infertilitas disebabkan oleh kehamilan ektopik terganggu
(KET) yang berulang. Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai setiap kehamilan yang terjadi
di luar kavum uteri5. Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang menjadi
penyebab kematian maternal selama kehamilan trimester pertama. Kasus ini memenuhi
definisi dari infertilitas primer, yaitu keadaan dimana suatu pasangan belum mendapatkan
anak hidup dalam satu tahun usia perkawinan. Selain itu kehamilan ektopik berulang
menyebabkan dilakukannya salfingektomi bilateral pada pasien ini yang jelas akan
menyebabkan pasien ini tidak dapat mendapatkan anak melalui proses alamiah.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.I INFERTILITAS
A. Definisi
Fertilitas adalah kemampuan seorang istri untuk menjadi hamil dan melahirkan anak
hidup oleh suami yang mampu menghamilinya.1 Infertilitas adalah ketidakmampuan bagi
pasangan untuk mendapatkan kehamilan / anak setelah melakukan hubungan seks secara rutin, tanpa
memakai alat kontrasepsi setelah waktu 1 (satu) tahun.(1)
Infertilitas terjadi pada 10-15% pasangan usia reproduksi. Prevalensi ini bertahan
selama 50 tahun terakhir, namun pergeseran dalam usia, etiologi dan pasien telah terjadi.
Seiring dengan peningkatan umur wanita, angka kejadian ketidaksuburan juga meningkat.2
Dalam masyarakat dimana keluarga lebih memprioritaskan pengembangan karir,
beberapa wanita menunda subur sampai 30-an dan seterusnya. Akibatnya, wanita-wanita ini
mungkin memiliki lebih banyak kesulitan hamil dan memiliki peningkatan risiko keguguran.
Karena tingkat fecundability lebih tinggi pada wanita yang lebih muda dan lebih rendah pada
wanita yang lebih tua. Pada wanita yang lebih tua dari 35 tahun angka kemungkinan
mendapatkan anak maka akan semakin menurun. 2
Lamanya waktu yang diperlukan untuk menghasilkan kehamilan menunjukkan bahwa
32,7% hamil dalam satu bulan pertama, 57,0% dalam 3 bulan, 72,1% dalam 6 bulan, 85,4%
dalam 12 bulan dan 93,4% dalam 24 bulan. Waktu median yang diperlukan untuk
menghasilkan kehamilan ialah 2,3 bulan sampai 2,8 bulan. Makin lama pasangan kawin tanpa
kehamilan, makin turun kejadian kehamilannya. 1
B. Etiologi
Reproduksi memerlukan interaksi dan integritas saluran reproduksi wanita dan laki-laki, yang melibatkan (1) pembebasan dari oosit preovulatory normal,
(2) produksi spermatozoa yang memadai, (3) pengangkutan normal gamet ke bagian ampullary dari tabung falopi (di mana pembuahan terjadi), dan (4)
pengangkutan selanjutnya embrio membelah ke rongga endometrium untuk implantasi dan pembangunan.2
Infertilitas dapat disebabkan oleh berikut:3
2
Sperma gangguan (35% dari pasangan)
Penurunan cadangan ovarium atau disfungsi ovulasi (20%)
Tubal disfungsi dan lesi pelvis (30%)
Abnormalitas servikal mukus(≤ 5%)
Faktor yang tidak teridentifikasi (10%)
Faktor gaya hidup lain yang dikaitkan dengan peningkatan risiko infertilitas termasuk faktor
lingkungan, dan pekerjaan; efek beracun yang terkait dengan tembakau, ganja, atau obat-
obatan lainnya, olahraga yang berlebihan, pola makan yang tidak memadai dikaitkan dengan
penurunan berat badan yang ekstrim, dan usia lanjut.2
C. Tatalaksana Pasangan Infertil
Pemeriksaan Pasangan Infertil
a. Sarat pemeriksan
Setiap pasangan harus diperlakukan sebagai kesatuan. Itu berarti jika istri saja yang
diperiksa, sedangkan suaminya tidak maka pasangan tersebut tidak diperiksa keduanya.
Adapun syarat – syarat pemeriksaan infertilitas adalah sebagai berikut: 1
1. Usia istri antara 20 – 30 tahun, baru akan diperiksa setelah berusaha untuk mendapatkan
anak selama 12 bulan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan lebih dini apabila: pernah
mengalammi keguguran berlulang, diketahui mengidap kelainan endokrin, pernah
mengalami peradangan rongga panggul atau perut, dan pernah mengalami bedah
ginekologik. 1
2. Usia istri yang berusia 31 – 35 tahun, dapat diperiksa pada kesempatan pertama pasangan
itu datang kedokter. 1
3. Istri pasangan infertil berusia 36 – 40 tahn hanya dilakukan pemeriksaan infertilitas jika
belum mempunyai anak dari perawinan ini. 1
4. Pemeriksaan infertilitas tidak dilakukan pada pasangan infertil yang salah satu anggota
pasangannya dianggap mengidap penyakit yang dapat membahayakan kesehatan istri
atau anaknya. 1
b. Pemeriksaan masalah – masalah infertilitas
Pemeriksaan dasar infertilitas ialah pemeriksaan minimal yang masih dapat
memeriksa keenam faktor etiologi infertilitas yaitu :
1. Analisis mani untuk menilai faktor sperma.
3
2. Pemeriksaan ginekologi (periksa inspekulo dan periksa dalam) untuk menilai faktor
vagina dan faktor uterus.
3. Sitologi vagina untuk menilai faktor ovarium.
4. Histerosalpingografi untuk menilai faktor uterus, faktor tuba, dan bila tubanya paten juga
faktor peritoneum.
5. Laparoskopi untuk menilai faktor uterus (dalam arti terbatas), tuba,ovarium dan faktor
peritoneum.
c. Rencana dan jadwal pemeriksaan
Rencana dan jadual pemeriksaan infertilitas terhadap suami dan istri selama siklus
haid istri dapat dilukiskan seperti dalam tabel dibawah ini, yaitu:
Tabel 3. Jadwal pemeriksaan pasangan infertil dalam 3 siklus haid isteri.
d. Jenis dan cara pemeriksaan
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik secara menyeluruh harus dilakukan. Dengan demikian
pertumbuhan fisik abnormal, kelainan nutrisi dan hormonal dapat diketahui. Berat
badan dan tinggi badan. Dengan menggunakan formula perbandingan antara berat
badan (kilogram) dan tinggi badan (meter) akan didapatkan indeks masa tubuh (IMT).
IMT < 19 (terlampau kurus) atau > 25 (obesitas) sering terkait dengan infertilitas
karena mengngganggu proses ovulasi. b. Pertumbuhan rambut atau bulu atau jerawat.
Pada istri dengan infertilitas perlu diperhatikan adanya pertumbuhan rambut yang
abnormal seperti pertumbuhan jambang, kumis, jenggot, bulu dada, bulu di perut dan
sebagainya. Di samping itu perlu diperhatikan adanya pertumbuhan jerawat yang
berlebihan tidak hanya di wajah tetapi dapat pula tumbuh di dada atau di punggung.
4
Pertumbuhan rambut atau jerawat abnormal memiliki kaitan erat dengan
hiperandrogenemia yang sering dijumpai pada sindrom ovarium polikistik. Organ
tiroid yang membesar sering terkait dengan gangguan fungsi hormon tiroid. Hal ini
sering terkait dengan infertilitas. Penting sekali memeriksa adanya galaktore atau
keluarnya cairan bening dari payudara. Kondisi galaktore terkait dengan kondisi
hiperprolaktinemia yang dapat menjadi peyebab siklus tidak berovulasi. Jika dijumpai
benjolan di abdomen, mungkin ada hubungannya dengan kista ovarium, mioma uteri
atau adenomiosis yang sering terkait dengan infertilitas.
Pemeriksaan pelvis
Setelah pemeriksaan fisik selesai, pemeriksaan pelvis biasa dapat dikerjakan.
Pemeriksaan ginekologik harus diperiksa dengan teliti. Keputihan, perdarahan pasca
sanggama, polip endoserviks dapat menjadi faktor penyebab infertilitas. Kelainan ini
dapat mudah diketahui hanya dengan melakukan pemeriksaan ke dalam vagina
menggunakan spekulum. Hal lain yang mungkin dapat dijumpai pada pemeriksaan
organ genitalia adalah adanya himen imperforata (selaput dara yang masih utuh),
agenesis vagina, septum vagina, dan sebagainya. 6
Pemeriksaan laboratorium
1. Analisis sperma
2. Suhu basal badan
3. Sitologi vagina
4. Uji pascasanggama (Uji Sims-Huhner)
5. Histerosalpingografi (HSG)
6. Laparoskopi
5
Tabel 4. Alur pemeriksaan infertilitas.3
II.2. KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU
Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai setiap kehamilan yang terjadi di luar kavum
uteri. Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang menjadi penyebab
kematian maternal selama kehamilan trimester pertama. Karena janin pada kehamilan
ektopik secara nyata bertanggung jawab terhadap kematian ibu, maka para dokter
menyarankan untuk mengakhiri kehamilan.
Angka kehamilan ektopik per 1000 diagnosis konsepsi, kehamilan atau kelahiran
hidup telah dilaporkan berkisar antara 2,7 hingga 12,9. Insiden ini mewakili satu
kecenderungan peningkatan dalam beberapa dekade ini. Diantara faktor-faktor yang
terlibat adalah meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim, penyakit radang
panggul, usia ibu yang lanjut, pembedahan pada tuba, dan pengobatan infertilitas dengan
terapi induksi superovulasi. Pada tahun 1980-an, kehamilan ektopik menjadi komplikasi
yang serius dari kehamilan, terhitung sebesar 11% kematian maternal terjadi di Amerika
Serikat.
6
Sekurangnya 95 % implantasi ekstrauterin terjadi di tuba Fallopii. Di tuba sendiri,
tempat yang paling sering adalah pada ampulla, kemudian berturut-turut pada pars ismika,
infundibulum dan fimbria, dan pars intersisialis dapat juga terkena. Implantasi yang
terjadi di ovarium, serviks, atau cavum peritonealis jarang ditemukan.
Gambar 1. Lokasi-Lokasi Kehamilan ektopik
Patofisiologi
Integritas embrio, sebagai suatu pertumbuhan dari satu zygot menjadi struktur
blastokis yang berlekuk, yang dilindungi oleh zona pelusida. Membran glikoprotein yang
tebal ini mencegah terjadinya adhesi prematur antara embrio dan endosalping. Blastokis
harus keluar dari zona pelusida sebelum terjadi implantasi. Normalnya, proses
pengeraman blastokis terjadi di kavum uteri, biasanya terjadi dalam 7 hari setelah ovulasi
dan fertilisasi. Jika transportasi ovum terhambat, proses pengeraman terjadi di tuba
falopii. Penyebab gangguan transportasi ovum yang telah dikenal yaitu penyakit pada
tuba, seperti salpingitis kronis atau adhesi perituba. Salpingitis dapat memperburuk
mekanisme transportasi ovum melalui proses rusaknya myosalping dari dinding tuba dan
melalui kerusakan pada endosalping, yang akan mengurangi jumlah silia tuba.
Diagnosis
Diagnosis Klinik
Nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam pada trimester pertama kehamilan
merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke diagnosis kehamilan ektopik.
Hampir semua kehamilan ektopik didiagnosis antara kehamilan 5 dan 12 minggu.
Identifikasi dari tempat implantasi embrio lebih awal dari pada kehamilan 5 minggu
7
melampaui kemampuan teknik-teknik diagnostik yang ada. Pada usia kehamilan 12
minggu, kehamilan ektopik telah memperlihatkan gejala-gejala sekunder terhadap
terjadinya ruptur atau uterus pada wanita dengan kehamilan intrauteri yang normal telah
mengalami pembesaran yang berbeda dengan bentuk dari kehamilan ektopik.
Frekuensi dari kehamilan ektopik konkomitan dan kehamilan intrauteri dalam satu
konsepsi yang spontan terjadi dalam 1 dalam 30.000 atau kurang. Cara yang paling efisien
untuk mengeluarkan adanya kehamilan ektopik adalah mendiagnosis suatu kehamilan
intrauteri. Cara yang terbaik untuk mengkonfirmasi satu kehamilan intrauteri adalah
dengan menggunakan ultrasonografi. Sensitivitas dan spesifisitas dari diagnosis
kehamilan intrauteri dengan menggunakan modalitas ini mencapai 100% pada kehamilan
diatas 5,5 minggu. Sebaliknya identifikasi kehamilan ektopik dengan ultrasonografi lebih
sulit (kurang sensitif) dan kurang spesifik. Karena perbedaan ini, logikanya untuk
mendiagnosis kehamilan ektopik adalah untuk diagnosis yang terarah dan prosedur
pembedahan pada wanita yang tidak memiliki kehamilan intrauteri yang viabel.
Penanda Trofoblastik
1. Human Chorionik Gonadotropin
Produksi ektopik dari hCG telah dicatat dengan baik dan telah diidentifikasi
dalam plasma orang dewasa normal yang tidak hamil. HCG tampaknya berfungsi
sebagai satu hormon luteotrofik selama kehamilan. Hormon ini mempertahankan
korpus luteum, karena itu menghasilkan produksi P4 yang berkelanjutan yang
diperlukan untuk pertumbuhan endometrium sampai plasenta mengambil alih
perannya. Sebagai tambahan, data yang didapat Jaffe mengatakan bahwa hCG
dapat maengatur produksi steroid dalam fetus, termasuk produksi
dehidroepiandrosteron sulfat (DHA-S) oleh kelenjar adrenal fetus dan produksi
testosteron oleh testis. HCG dapat dideteksi dalam kehamilan spontan setelah hari
ke-9 LH surge. Deteksi awal dalam darah ibu telah ditemukan memiliki korelasi
dengan implantasi blastokis dan secara spesifik dengan saat lakuna menerima
aliran darah ibu.
Pada kehamilan awal, hCG kelihatannya disekresikan dalam bentuk episodik
dan pulsatil, yang paralel dengan sekresi progesteron. Fluktuasi ini telah
diperlihatkan pada penentuan dari kedua kadar serum hCG secara imunoaktif dan
bioaktif. Dengan demikian pola sekresi menyarankan adanya stimulasi yang
intermiten terhadap corpus luteum oleh hCG dan adalah dalam kesepakatan dengan
efek stimuilasi yang telah diketahui dari pelepasan gonadotropin secara pulsatil
8
atas sekresi steroid ovarium. Meskipun dobling time kadar plasma hCG telah
diasumsikan konstan dalam awal kehamilan intrauteri normal, jangkauan yang
telah dilaporkan bervariasi antara 1,3 – 3,3 hari. Sebagai contoh, Lenton dkk. Telah
menyimpulkan bahwa dobling time 1,3 hari berhubungan dengan dobling time
yang diketahui dari massa sel trofoblastik.
Penelitian yang dilakukan Pittaway dkk. Mengantarkan isu mengenai
variabilitas. Mereka memperlihatkan bahwa laju eksponensial dari peningkatan
konsentrasi serum hCG adalah tidak konstan selama minggu-minggu pertama
postmenstruasi dari kehamilan normal. Pada kenyataannya, dobling time dari
deteksi awal hCG sampai kira-kira hari ke-35 setelah onset periode menstruasi
terakhir yang diobservasi adalah 1,4 – 1,6 hari.
Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik terutama
pada KET dimana terjadi abortus atau ruptur pada tuba. Penatalaksanaan pembedahan
sendiri dapat dibagi atas dua yaitu pembedahan konservatif dan radikal. Pembedahan
konservatif terutama ditujukan pada kehamilan ektopik yang mengalami ruptur pada
tubanya. Ada dua kemungkinan prosedur yang dapat dilakukan yaitu: 1. salpingotomi
linier, atau 2. reseksi segmental. Pendekatan dengan pembedahan konservatif ini
mungkin dilakukan apabila diagnosis kehamilan ektopik cepat ditegakkan sehingga
belum terjadi ruptur pada tuba.
a. Salpingotomi linier
Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan yang ideal dilakukan
pada kehamilan tuba yang belum mengalami ruptur. Karena lebih dari 75%
kehamilan ektopik terjadi pada 2/3 bagian luar dari tuba.
Prosedur ini dimulai dengan menampakkan, mengangkat, dan menstabilisasi
tuba. Satu insisi linier kemudian dibuat diatas segmen tuba yang meregang. Insisi
kemudian diperlebar melalui dinding antimesenterika hingga memasuki ke dalam
lumen dari tuba yang meregang. Tekanan yang hati-hati diusahakan dilakukan
pada sisi yang berlawanan dari tuba, produk kehamilan dikeluarkan dengan hati-
hati dari dalam lumen. Biasanya terjadi pemisahan trofoblas dalam jumlah yang
cukup besar maka secara umum mudah untuk melakukan pengeluaran produk
kehamilan ini dari lumen tuba. Tarikan yang hati-hati dengan menggunakan
sedotan atau dengan menggunakan gigi forsep dapat digunakan bila perlu, hindari
9
jangan sampai terjadi trauma pada mukosa. Setiap sisa trofoblas yang ada harus
dibersihkan dengan melakukan irigasi pada lumen dengan menggunakan cairan
ringer laktat yang hangat untuk mencegah kerusakan lebih jauh pada mukosa.
Hemostasis yang komplit pada mukosa tuba harus dilakukan, karena
kegagalan pada tindakan ini akan menyebabkan perdarahan postoperasi yang akan
membawa pada terjadinya adhesi intralumen. Batas mukosa kemudian ditutup
dengan jahitan terputus, jahitan harus diperhatikan hanya dilakukan untuk
mendekatkan lapisan serosa dan lapisan otot dan tidak ada tegangan yang
berlebihan. Perlu juga diperhatikan bahwa jangan ada sisa material benang yang
tertinggal pada permukaan mukosa, karena sedikit saja dapat menimbulkan reaksi
peradangan sekunder yang diikuti dengan terjadinya perlengketan.
b. Reseksi segmental
Reseksi segmental dan reanastomosis end to end telah diajukan sebagai satu
alternatif dari salpingotomi. Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat bagian
implantasi, jadi prosedur ini tidak dapat melibatkan kehamilan tuba yang terjadi
berikutnya. Tujuan lainnya adalah dengan merestorasi arsitektur normal tuba.
Prosedur ini baik dilakukan dengan mengunaka loupe magnification atau
mikroskop. Penting sekali jangan sampai terjadi trauma pada pembuluh darah
tuba. Hanya pasien dengan perdarahan yang sedikit dipertimbangkan untuk
menjalani prosedur ini.
c. Salpingektomi
Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan tuba mengalami ruptur,
karena perdarahan intraabdominal akan terjadi dan harus segera diatasi.
Hemoperitonium yang luas akan menempatkan pasien pada keadaan krisis
kardiopulmunonal yang serius.
2. Medisinalis
Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan ultrasonografi
transvaginal, memungkinkan kita untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik secara
dini. Keuntungan dari ditegakkannya diagnosis kehamilan ektopik secara dini adalah
bahwa penatalaksanaan secara medisinalis dapat dilakukan. Penatalaksanaan
medisinalis memiliki keuntumngan yaitu kurang invasif, menghilangkan risiko
pembedahan dan anestesi, mempertahankan fungsi fertilitas dan mengurangi biaya
serta memperpendek waktu penyembuhan.
10
Terapi medisinalis yang utama pada kehamilan ektopik adalah methotrexate (MTX).
Methotrexate merupakan analog asam folat yang akan mempengaruhi sintesis DNA dan
multiplikasi sel dengan cara menginhibisi kerja enzim Dihydrofolate reduktase. MTX ini
akan menghentikan proliferasi trofoblas. Pemberian MTX dapat secara oral, sistemik iv,im)
atau injeksi lokal dengan panduan USG atau laparoskopi. Efek sampingyang timbul
tergantung dosis yang diberikan. Dosis yang tinggi akan menyebabkan enteritis hemoragik
dan perforasi usus, supresi sumsum tulang, nefrotoksik, disfungsi hepar permanen, alopesia,
dermatitis, pneumonitis, dan hipersensitivitas. Pada dosis rendah akan menimbulkan
dermatitis, gastritis, pleuritis, disfungsi hepar reversibel, supresi sumsum tulang sementara.
Pemberian MTX biasanya disertai pemberian folinic acid (leucovorin calcium atau
citroforum factor) yaitu zat yang mirip asam folat namun tidak tergantung pada enzim
dihydrofolat reduktase. Pemberian folinic acid ini akan menyelamatkan sel-sel normal dan
mengurangi efek MTX pada sel-sel tersebut. Regimen yang dipakai saat ini adalah dengan
pemberian dosis tungal MTX 50 mg/m2 luas permukaan tubuh. Sebelumnya penderita
diperikasa dulu kadar hCG, fungsi hepar, kreatinin, golongan darah. Pada hari ke-4 dan ke-7
setelah pemberian MTX kadar hCG diperiksa kembali. Bila kadar hCG berkurang 15% atau
lebih, dari kadar yang diperiksa pada hari ke-4 maka mTX tidak diberikan lagi dan kadar
hCG diperiksa setiap minggu sampai hasilnya negatif atau evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan USG transvaginal setiap minggu. Bila kadar hCG tidak berkurang atau
sebaliknya meningkat dibandingkan kadar hari ke-4 atau menetap selama interval setiap
minggunya, maka diberikan MTX 50 mg/m2 kedua. Stoval dan Ling pada tahun 1993
melaporkan keberhasilan metoda ini sebesar 94,3%. Selain dengan dosis tunggal, dapat juga
diberikan multidosis sampai empat dosis atau kombinasi dengan leucovorin 0,1 mg/kgBB.
Kontraindikasi pemberian MTX absolut adalah ruptur tuba, adanya penyakit ginjal atau hepar
yang aktif. Sedangkan kontraindikasi relatif adalah nyeri abdomen, FHB (+).
11
BAB III
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS
Pasien Suami
Nama : Ny. P Tn. S
Umur : 34 tahun 39 tahun
Jenis kelamin : Perempuan Pria
Suku bangsa : Jawa/Indonesia Jawa/Indonesia
Agama : Islam Islam
Pendidikan : SD SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Serabutan
Alamat : Jl. Perumahan Puri Bukit Depok Blok E12 No.19 Bojong Gede,
Bogor
Datang RSUPF : 10 Agustus 2011
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan pasien tanggal 10 Agustus 2011, 23.00 WIB
A. Keluhan Utama
Keluar darah dari kemaluan sejak 5 hr sebelum masuk RS
B. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan keluar darah dari kemaluan sejak 5 hari sebelum masuk
RS. Darah berwarna merah segar seperti darah haid. Tidak keluar gumpalan-gumpalan.
Pasien juga mengeluh nyeri perut di seluruh bagian perut. Pasien mengaku hamil 6
minggu. Haid terakhir pasien 5 Juli 2011. Pasien belum pernah melakukan ANC
sebelumnya.
12
Pasien datang ke RS Citama didiagnosis sebagai abortus imminens susp KET oleh dokter
Sp.OG, dikatakan terdapat jaringan di uterus dan di tuba. Oleh karena itu, dokter disana
memutuskan untuk melakukan kuretase. Setelah dilakukan kuretase pasien sempat
dirawat di ruang perawatan. Namun, keesokan harinya pasien merasa mual, lemas, dan
darah masih keluar dari kemaluan. Dokter Sp.OG menyarankan untuk laparotomi.
Namun, pasien meminta untuk dirujuk ke RSF dengan alasan biaya.
Pasien berhubungan seksual 2-3 kali seminggu. Pasien hamil setelah usia pernikahan 6
tahun. Ia tidak mengeluh keluarnya darah saat berhubungan maupun nyeri saat
berhubungan. Pasien tidak menggunakan alat kontrasepsi apapun. Haid pasien teratur dan
tidak nyeri. Keputihan (+). Nyeri pinggang yang lama (-).
C. Riwayat Penyakit dahulu
Riwayat KET sebelumnya (+)
Hipertensi (-), DM (-), Asma (-), Alergi (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit jantung (-), hipertensi (-), DM (-), asma (-).
E. Riwayat pengobatan sebelumnya
(-)
F. Riwayat Menstruasi
Menarche 13 tahun, siklus 28 hari, teratur, lama 5 hari, 2-3x pembalut per hari.
Dismenorrhea (-). HPHT 5 Juli 2011
G. Riwayat Perkawinan
Status : Menikah 1 x
Usia pernikahan : 10 thn
Usia saat menikah : 24 tahun, suami 29 tahun
Jumlah anak : (-)
H. Riwayat Kehamilan : 1x
I. Riwayat KB : (-)
J. Riwayat operasi : Salphingektomi dextra ai KET
K. Riwayat Psikososial dan kebiasaan
Merokok (-), alkohol (-), jamu-jamuan (-), obat-obatan (-), berganti pasangan seksual (-)
13
III. PEMERIKSAAN FISIK pada tanggal 10-08-2011
Primary Survey
A : clear
B : spontan, rr : 21x/m
C : TD 100/70, nadi 98x/m, reguler, lemah
D : GCS 15
Secondary Survey
Status generalis
Keadaan umum : lemah
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84 x / menit, teratur
Suhu : 36,5oC
RR : 21 x / menit
Kepala : Normosefali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik - / -
Telinga : Normotia, secret - / -, serumen - / -
Hidung : septum ditengah , secret - /-
Tengorokan : faring hiperemis - / -, tonsil T1T1 tenang
Leher :KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba membesar
Thoraks
Mamae : simetris, areola hiperpigmentasi -/-, retraksi puting susu -/-
Jantung : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : suara napas vesikuler, ronkhi - / -, wheezing - /-
14
Abdomen : datar, NT (+)
Ekstremitas : akral hangat, oedem - / -, rambut kaki dan tangan hitam, kasar.
Status Obstetri
Anogenital
I : V/U tenang, perdarahan (+)
Io : portio licin, ostium tertutup, fluor (-), fluxus (-)
VT : corpus uteri membesar, massa adnexa (-), nyeri goyang portio (+)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
• Hb : 4,8 g/dl
• Ht : 15 %
• Eritrosit : 1,6 jt/ µl
• Trombosit : 213.000/µl
• Leukosit : 10.800/ µl
• LED : 29
USG
Interpretasi : CUT membesar, massa hipoekoik pada adneksa kiri, 10,38 x 5,48 ~ hematokel
Kesan : KET
RESUME
Pasien, wanita 34 thn, G2P0A1 Hamil 6 mgg dengan keluhan nyeri abdomen, perdarahan
pervaginam, dan amenorrhea dirujuk dr RS.Citama Bogor post kuretase 1 hr SMRS. Kuretase
dilakukan atas indikasi abortus imminens. Perdarahan pervaginam masih terjadi keesokasn harinya.
15
HPHT 5 Juli 2011. Test pack (+). Riwayat KET sebelumnya (+) tahun 2007 dan telah dilakukan
salphingektomi dekstra. Usia pernikahan pasien 10 tahun dengan kehamilan pertama terjadi setelah
usia pernikahan 6 tahun. Pasien dan pasangan tidak pernah daatang ke dokter sebelumnya untuk
berusaha mendapatkan anak.
Pemeriksaan Fisik :
KU : lemah
TD : 110/70 mmHg, takikardia, konjungtiva anemis +/+, akral dingin. Pada status obsgyn didapatkan
perdarahan pervaginam (+), nyeri goyang portio (+). Hasil USG menunjukkan adanya massa
hipoekoik pada adneksa kiri, 10,38 x 5,48 ~ hematokel.
V. DIAGNOSIS
Kehamilan Ektopik Terganggu pada G2A1H6mgg
Infertilitas primer 10 tahun dengan riwayat KET thn 2007
VI. PENATALAKSANAAN
Rdx/ - Obs TV, perdarahan
- Cek DPL,UL, GDS, BT/CT
Rth/ - Laparotomi eksplorasi cito
- Transfusi PRC 1000cc, FFP 10 kantong
16
Laporan Operasi (10/8/2011) 23.25-00-45
Operator : dr. yassin
Diagnosa pre-op : Nyeri abdomen e.c KET, infertilitas primer 10 tahun, riw KET 4 thn yll
Diagnosa post-op : Ruptur tuba pars ampularis sinistra, PID
Macam operasi : Laparotomi dan salphingektomi sinistra
• Pasien dalam posisi terlentang dengan anastesi spinal
• Asepsis dan antisepsis lapangan operasi
• Insisi pfanensteil mengikuti parut lama
• Setelah peritoneum dibuka tampak darah intra abdomen 1000cc
• Eksplorasi à uterus sedikit membesar. Pada tuba kiri pars ampularis terlihat compang
camping, perdarahan (+)
• Terdapat perlekatan antara omentum dengan uterus pada bagian fundus, perlekatan antara
omentum dengan adneksa kiri
• Dilakukan salphingektomi sinistra
• Perdarahan teratasi
• Setelah alat-alat dan kassa lengkap, perdarahan (-) à dinding abdomen ditutup lapis demi
lapis
• Perdarahan 1000cc
Instruksi Post-Op
• Observasi TV, kontraksi, perdarahan, dan akut abdomen
• Cek DPL post operasi
• FC 1x24 jam
• Diet TKTP
• Mobilisasi bertahap
• Higiene v/p
• Levofloxasin 2x500mg iv
• Metronidazol 3x500 mg iv
• Profenid Supp 3x1
17
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad Bonam
Ad functionam : Dubia
Ad sanationam : Dubia
18
BAB IV
ANALISA KASUS
Pada pasangan ini, Ny.P (34 thn) dan Tn.S (39thn), didiagnosa sebagai infertilitas
primer berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan. Infertilitas primer terjadi akibat dilakukannya salphingektomi bilateral ai KET
berulang.
Kehamilan ektopik yang didiagnosis pasien ini berdasarkan anamnesis adanya trias
KET. Trias KET terdiri dari nyeri abdomen, amenore, dan perdarahan pervaginam. Ketiga
gejala tersebut terjadi pada kehamilan trimester pertama. Pada kasus ini, pasien mengaku
hamil 6 minggu dengan HPHT 5 Juli 2011. Berdasarkan literatur dikatakan bahwa insidensi
KET terbanyak terjadi pada kehamilan 5-12 minggu.4
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah 100/70mmHg, takikardi serta akral
dingin. Selain itu pada pasien juga didapatkan konjungtiva anemis dan nyeri tekan abdomen.
Pada status obstetri dan ginekologi, didapatkan adanya perdarahan dari vagina dan nyeri
goyang portio. Konfirmasi dari pemeriksaan penunjang didapatkan Hb pasien 4,8 g/dl sesuai
dengan konjungtiva anemis pada pasien dan menunjukkan perdarahan yang terjadi pada
pasien berlangsung cukup lama dan berat. Dikatakan bahwa Kehamilan ektopik merupakan
keadaan emergensi yang menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan trimester
pertama.7 Hal tersebut terutama disebabkan oleh syok akibat perdarahan hebat yang terjadi.
Modalitas lain yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis kehamilan ektopik adalah
USG. Sensitivitas dan spesifisitas dari diagnosis kehamilan intrauterin mencapai 100% pada
kehamilan diatas 5 minggu.7 Dari USG dapat terlihat tidak adanya hasil konsepsi intra uterin.
Selain itu pada KET, USG dapat melihat ada tidaknya cairan bebas. Pada pasien ini USG
menunjukkan adanya massa hipoekoik pada adneksa kiri, 10,38 x 5,48 dan hematokel. Dari
pemeriksaan anamnesisi, pemeriksaan fisik dan penunjang tersebut dapat ditegakkan
diagnosis KET.
Adanya riwayat KET sebelumnya pada pasien ini merupakan risiko tinggi (8,3%)
terjadi KET berikutnya.4 Selain itu, adanya infertilitas juga merupakan salah satu faktor
risiko terjadi KET.4 Pasangan ini membutuhkan waktu 6 tahun sebelum akhirnya
19
mendapatkan kehamilan yang pertama. Namun kehamilan pertama terjadi KET hingga
akhirnya dilakukan salphingektomi dextra. Kehamilan kedua terjadi 4 tahun berikutnya dan
juga terjadi KET hingga akhirnya dilakukan salphingektomi sinistra. Jadi, saat ini infertilitas
primer yang terjadi pasien akibat salphingektomi dextra dan sinistra yang telah dilakukan. 30
% infertilitas yang terjadi pada pasangan merupakan masalah tuba. Pasangan ini sudah tidak
dapat lagi mendapatkan kehamilan secara alamiah. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan
Teknologi Reproduksi Berbantu. Namun, cara ini memerlukan biaya yang sangat besar.
20
BAB V
KESIMPULAN dan SARAN
Kesimpulan
1. Pada kasus infertilitas harus menganggap suami dan istri sebagai suatu kesatuan,
sehingga pemeriksaan tidak hanya dilakukan terhadap istri tetapi juga suami.
2. Pada pasangan ini infertilitas primer yang terjadi karena telah dilakukannya
operasi salpingektomi kanan dan kiri atas indikasi KET yang berulang.
3. Belum dapat disingkirkan penyebab infertil dari faktor suami mengingat
pasangan ini membutuhkan waktu 6 tahun untuk kehamilan pertamanya.
4. Pada pasangan ini sudah tidak dapat lagi mendapatkan kehamilan secara alamiah.
Saran
1. Suami harus selalu memberikan dukungan psiklogis terhadap istri untuk
mencegah timbulnya masalah psikis.
2. Jika pasangan ini ingin mendapatkan anak, maka dapat dicoba dengan Teknologi
Reproduksi Berbantu.
3. Banyak berdoa kepada Allah SWT dan memohon kesabaran serta keikhlasan
untuk menghadapi keadaan ini.
21
D A F T A R P U S T A K A
1. Berek SJ. Berek & Novak’s Gynecology. 14th Ed. 2007. California : Lippincot
Williams & Wilkins.
2. DeCherney AH, Nathan L, et al. Current Diagnosis and Treatment in Obstetric and
Gynecology. 2006. USA : McGraw-Hill.
3. Curtis MG, Overholt S, Hopkins MP. Glass’ Office Gynecology. 6th Ed. 2006.
California : Lippincot Williams & Wilkins.
4. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Et al. Williams Obstetric. 22nd Ed. 2005.
USA : Mcgraw-hills
5. Sepilian VP, Rivlin ME. 2011. Ectopic Pregnancy. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/258768-overview
6. Sumapraja S. Infertilitas. Dalam : Prawiroharjo S. Ilmu kandungan. Cetakan kelima.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prwirohardjo, 1991: 426-463
22
top related