Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Rektum merupakan salah satu organ terakhir dari usus besar pada manusia
dan beberapa jenis mamalia lainnya yang berakhir di anus. Organ ini
berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Mengembangnya
dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan
memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan
defekasi.
Pemberian obat baik bentuk padat maupun cair pada terapi pengobatan
maupun perawatan di rektum akan mengalami suatu proses
farmakodinamika (absorbsi, distribusi, metabolisme, serta ekskresi) yang
berupa serangkain system dari pemberian hingga penyerapan molekul zat
aktif pada reseptor. Rangkaian ini merupakan rincian dari DDS (Drug
Delivery System).
DDS adalah istilah yang terkait erat dengan penghantaran (delivery)
senyawa farmasetik (obat) pada manusia atau binatang. Sistem
penghantaran obat yang berkaitan dengan jumlah zat aktif yang diharapkan
dapat dilepaskan sesuai dengan kinetika yang dikehendaki sehingga
mencapai tempat tertentu dalam tubuh dimana titik penyerapan optimal.
Merupakan suatu kesatuan struktur yang mempengaruhi ketersediaan
hayati zat aktif.
Potensi untuk pengembangan bentuk sediaan oral sangat terbatas untuk
bahan aktif yang kurang diserap dalam saluran pencernaan bagian atas
(GI) dan tidak stabil untuk enzim proteolitik. Populasi pasien tertentu,
terutama anak-anak, orang tua, dan mereka dengan masalah menelan,
sering sulit diobati dengan tablet oral dan kapsul.
1
Selain itu, pengobatan beberapa penyakit yang terbaik dicapai dengan
administrasi langsung di dekat daerah yang terkena, terutama dengan
penyakit yang melibatkan mata, berhubung dgn telinga, kulit, rongga
mulut, dan jaringan anorectal. Meskipun oral dapat digunakan untuk obat
yang ditargetkan untuk beberapa jaringan yang sakit, paparan wadah
seluruh tubuh terhadap obat diberikan tidak efisien dan dapat
mengakibatkan efek samping yang tidak diinginkan.
Pemberian obat rektal ini bisa menerima, namun hanya untuk pemberian
obat lokal dan sistemik. Ini telah efektif digunakan untuk mengobati
penyakit lokal daerah anorectal serta memberikan obat sistemik sebagai
alternatif untuk pemberian oral. Pada makalah ini akan dipelajari tentang
organ rectal dan DDS (Drug Delivery System) pada rectal.
II. Permasalahan
Bagaimana mekanisme biofarmasi Drug Delivery System pada organ rectal.
III.Tujuan Dan Manfaat
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi dari rectum.
2. Mengetahui sediaan obat yang dapat diberikan secara rektum.
3. Mengetahui hal – hal yang dapat mempengaruhi sistem penghantaran
molekul obat pada organ rektal.
4. Mengetahui contoh-contoh obat dipasaran serta mekanisme biofarmasinya
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Rektum
Rektum adalah organ terakhir dari usus besar pada beberapa jenis mamalia
yang berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan
sementara feses. Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan
material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan
keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali
material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan
kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama,
konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
II. Anatomi Dan Fisiologi Rektum
Rectal atau rectum merupakan salah satu organ dalam saluran pencernaan
yang diketahui sebagai bagian akhir proses ekskresi feses sebelum anus.
Rectal merupakan bagian dari kolon.
Anatomi Rektum Dan Anus
Luas permukaan rectal 200-400 cm2, pada saat kosong rectum mengandung
sejumlah kecil cairan (1-3 ml) dengan kapasitas buffer yang rendah; pH
sekitar 7,2 karena kD(kecepatan disolusi), pH akan bervariasi sesuai obat yang
terlarut di dalamnya. Panjang dari kolon sekitar 5 kaki (150 cm) dan terbagi
lagi menjadi 5 segment. Rectum adalah segmen anatomi terakhir sebelum anus
yang merupakan bagian distal usus besar.
Rectum memiliki panjang pada manusia dewasa rata-rata 15-19 cm, 12-14 cm
bagian pelvinal sampai 5-6 cm bagian perineal, pada bagian teratas dibungkus
dengan lapisan peritoneum. Sedang pada bagian bawah tidak dibungkus
dengan peritoneum maka disebut pula dengan rectal ampula.Yaitu membrane
serosa yang melapisi dinding rongga abdomen dan pelvis dan melapisi
3
visera.Kedua lapisan tersebut menutupi ruang potensial, rongga
peritoneum.Anal canal memiliki panjang 4-5 cm.
Terdapat empat lapisan rektum dari arah luar ke dalam berurutan:
a) Lapisan serosa peritoneal
b) Lapisan otot
c) Lapisan bawah mukosa
d) Lapisan mukosa
Rektum dialiri 3 jenis pembuluh darah :
a) Venae haemorrhoidales superior yang bermuara ke vena mesentericum
inferior, selanjutnya masuk kedalam vena porta, dan juga membawa darah
langsung ke peredaran umum.
b) Venae haemorrhoidales medialis dan vena haemorhoidales inferior yang
bermuara ke venae cava inferior dengan perantara venae iliaca interna
selanjutnya membawa darah ke peredaran umum (kecuali hati).
c) Vena haemorrhoidales anterior = Vena haemorrhoidales medialis
Volume cairan dalam rektum sangat sedikit ( 2 mL) sehingga laju
difusi obat menuju tempat absorpsi lebih lambat.
pH cairan rektum netral 7,2 -7,4, sehingga kemungkinan obat melarut
lebih kecil dibanding oral yang terdiri dari beberapa bagian.
Adanya feses menghambat penyerapan, sehingga sebaiknya pemberian
sediaan setelah defekasi.
Rektum mempunyai dua peranan mekanik, yaitu sebagai tempat penampungan
feses dan mendorongnya saat pengeluaran.
4
Pada bagian anus terdapat jaringan kulit subkutan yang tebal.Valve adalah
lipatan membrane di dalam saluran atau kanal yang mencegah aliran balik
refluks isi yang melaluinya.Levator berupa otot yang mengangkat organ atau
struktur. Kolon dan rektum merupakan bagian dari saluran pencernaan atau
saluran gastro intesinal dimana proses pencernaan makanan untuk
menghasilkan energi bagi tubuh dilakukan dan bahan-bahan yang tidak
berguna lagi (fecal matter/stol) dibuang.
III. Penyakit-penyakit Pada Daerah Rectum
Rectum adalah bagian terbawah pada usus besar dimana hasil metabolisme
dalam tubuh dikeluarkan.Anus membuka pada saat kotoran melewati rectum
untuk keluar dari tubuh.
Masalah dengan rectum dan anus umumnya telah banyak terjadi antara lain
meliputi:
a) Hemorroids
Hemorroids dapat terjadi pada daerah eksternal maupun internal pada
rectum. Adapula yang dikenal sebagai anal fissure, yakni adanya
belahan/celah pada anal. Hemoroid sangat umum terjadi baik pada pria
maupun wanita. Sekitar setengah dari populasi mengalami hemorrhoid
pada umur 50 Tahun. Hemmoroid umumnya terjadi pada wanita
hamil.Tepatnya karena adanya tekanan pada fetus di abdomen, ini dapat
terjadi dari perubahan hormonal yang menyebabkan pembuluh
hemmoroidal membesar.
b) Abscesses dan Fistula
Abscesses pada rectum adalah infeksi pada rongga yang terdapat pada
rectum. Ini disebabkan karena adanya blockage kelenjar anal yang
berlokasi di daerah sekitar anus. Awalnya terjadi cellulites, inflamasi,
dengan terlihat kemerahan dimana awalnya belum terbebtuk abscess.
Adanya infeksi dari mikroorganisme dapat memperparah penyakit ini.
5
Sedangkan Fistula adalah
bagian abnormal /
kelainan pada bagian interior pada anal canal dan rectum dan pada
permukaan kulit. sebagian besar fistula dimulai dari abscesses
anorektal. Ketika abscesses membuka dengan spontan, fistula dapat
terjadi. Hal-hal lain yang dapat menyebabkan fistula adalah adanya
penyakit tuberculosis, kanker, dan inflamasi usus.
c) Dan kanker pada rectum maupun anus. Awalnya bermula pada
pembentukan polip.
Gambar kanker rektum
IV. Drug Delivery System (DDS)
System pengiriman obat adalah metode atau proses administrasi sebuah
farmasi senyawa untuk mencapai efek terapi dalam manusia atau hewan. Obat
pengiriman paten teknologi formulasi dilindungi yang memodifikasi profil
pelepasan obat, penyerapan, distribusi dan eliminasi untuk manfaat
meningkatkan efikasi produk dan keamanan, serta kenyamanan dan kepatuhan
pasien. Yang paling umum rute administrasi termasuk non-invasif pilihan
peroral (melalui mulut), topikal (kulit), transmucosal ( hidung , bukal /
sublingual , vagina , mata dan dubur ) dan inhalasi rute.
Banyak obat seperti peptida dan protein , antibodi , vaksin dan gen obat
berbasis, pada umumnya tidak dapat disampaikan dengan menggunakan rute
ini karena mereka mungkin rentan terhadap degradasi enzimatik atau bisa
tidak diserap ke dalam sirkulasi sistemik efisien karena masalah ukuran dan
muatan molekul menjadi terapi efektif. . Untuk alasan ini banyak protein dan
6
peptida obat harus disampaikan oleh injeksi . Sebagai contoh, banyak
imunisasi didasarkan pada saat penyerahan obat protein dan sering dilakukan
oleh injeksi.
Kelancaran upaya di bidang pemberian obat mencakup pengembangan
pengiriman ditargetkan di mana obat ini hanya aktif di daerah target tubuh
(misalnya, dalam kanker jaringan) dan formulasi rilis berkelanjutan di mana
obat dilepaskan selama periode waktu dengan cara yang dikendalikan dari
formulasi.
V. Obat – Obat Pada Rektal
Rectal adalah pemberian obat melalui rektum yang layak untuk obat yang
merangsang atau yang diuraikan oleh asam lambung, biasanya supositoria,
kadang-kadang sebagai cairan (klisma 2-10ml, lavemen:10-500ml). tujuannya
memperoleh efek lokal dan efek sistemik. Bentuk sediaan obat yang
digunakan adalah larutan, suppositoria dan salep.
Penggunaan salep pada rektum ditujukan untuk efek lokal atau sistemik,
sedangkan yang bentuk larutan digunakan untuk larutan pembersih atau cairan
urus- urus. Rektum dan kolon mampu menyerap banyak obat yang diberikan
secara rektal untuk tujuan memperoleh efek sistemik, hal ini dapat
menghindari perusakan obat atau obat menjadi tidak aktif karena pengaruh
lingkungan perut dan usus.
Suppositoria rektal dimaksudkan untuk kerja lokal dan paling sering
digunakan untuk menghilangkan konstipasi dan rasa sakit, iritasi, rasa gatal,
dan radang sehubungan dengan wasir atau kondisi anorektal lainnya.
7
Gambar Suppositoria
USP menggambarkan suppositoria rektal untuk dewasa yaitu meruncing pada
satu atau kedua ujungnya dan biasanya berbobot kira-kira 2 gram.
Suppositoria rektal untuk bayi biasanya memiliki berat kira-kira ½ dari
suppositoria untuk dewasa.
Obat-obat yang memiliki efek sistemik seperti sedatif, tranquilizers dan
analgesik diberikan dengan suppositoria rektal ; biarpun, kategori penggunaan
tunggal terbesar memungkinkan bahwa obat hemoroid dilepaskan keluar
secara berlawanan.
Berat suppositoria rektal 2 gram untuk dewasa didasarkan pada penggunaan
oleum cacao sebagai basis, bila basis lain yang digunakan beratnya bisa lebih
besar atau kurang dari 2 gram.
Kerugian pemberian obat melalui rektum adalah :
a) Tidak menyenangkan
b) Absorpsi obatnya tidak teratur
c) Onset of action lebih lama
d) Jumlah total zat aktif yg dapat diabsorbsi kadang - kadang lebih kecil dari
rute pemberian yang lain
e) Dosis dan posisi absorbsi dapat menimbulkan peradangan bila digunakan
secara terus menerus.
VI. Pemberian Obat Per Rektal
Obat yang diberikan lewat rectum dapat ditujukan lokal (misal: wasir, radang
rectum, konstipasi) maupun untuk aktivitas sistemik. Pemberian obat melalui
rektum (dubur) layak sekali untuk obat yang merangsang atau dirusak oleh
lambung, biasanya dalam bentuk suppositoria, kadang-kadang sebagai cairan.
Seringkali digunakan untuk pasien mual atau muntah-muntah (mabok
perjalanan,migrain) atau yang terlampau sakit untuk menelan obat.
Sebagai bahan dasar digunakan lemak-lemak yang meleleh pada suhu tubuh,
yakni oleum cacao dan gliserida-gliserida sintetik. Demikian pula zat-zat
8
hidrofil yang melarut dalam getah rektum, misalnya campuran-sampuran
carbowax dan gelatin+gliserin.
Obat rektal adalah obat yang ditujukan untuk pengobatan local atau keadaan-
keadaan yang dibutuhkan seperti:
a) Penderita dalam keadaan muntah atau terdapat gangguan saluran cerna.
b) Bila terdapat kemungkinan zat aktif rusak oleh getah lambung yang asam
atau oleh enzim usus.
c) Bila zat aktif mengalami kerusakan pada perlintasan pertama melalui hati.
d) Penderita menolak karena resiko iritasi lambung.
Kelebihan pemberian obat per rektal:a) pembuluh pada rektum dibagi menjadi 2 bagian, yaitu 2/3 bagian
pembuluh pada rektum melewati vena cava inferior, tidak melewati
b) vena porta sehingga langsung dibawa ke jantung dan menghasilkan
kerja yang lebih cepat.
c) Tidak melewati hati sehingga lebih cepat.
Kelemahan pemberian obat per rektal:
a) koefisien absorpsi rendah karena dipengaruhi oleh kondisi rektum
sehingga sebaiknya digunakan jika kondisi rektum kosong.
b) Tidak praktis
c) Aktivitas awal obat berlangsung lambat
d) Jumlah total zat aktif yang diserap kadang-kadang lebih kecil dari
daripada cara pemberian oral.
VII. Drug Delivery System (DDS) Pada Rektal
Lima puluh persen aliran darah dari rektum melintas sirkulasi portal
(biasanya pada rute oral), sehingga biotransformasi obat (melalui hati
dikurangi). Bagian obat yang diabsorpsi dalam 2/3 bagian bawah rektum
langsung mencapai vena cava inferior dan tidak melalui vena porta.
9
Keuntungan pemberian melalui rektal (juga sublingual) adalah mencegah
penghancuran obat oleh enzim usus atau pH dalam lambung. Obat yang
diabsorpsi melalui rektal beredar dalam darah tidak melalui hati dahulu
hingga tidak mengalami detoksikasi atau biotransformasi yang
mengakibatkan obat terhindar dari tidak aktif.
Penyerapan direktum dapat terjadi dengan tiga cara yaitu:
1. Lewat pembuluh darah secara langsung
2. Lewat pembuluh getah bening
3. Lewat pembuluh darah secara tidak langsung melalui hati.
Mukosa rektum dalam keadaan tertentu bersifat permeable
sempurna.Penyerapan rektum kadang-kadang lebih baik dari penyerapan
bukal.Selain itu penyerapan juga tergantung pada derajat pengosongan saluran
cerna jadi tidak dapat diberlakukan secara umum.Bahkan bebrapa obat
tertentu tidak diserap oleh mukosa rektum.
Banyak obat yang tidak diresorbsi secara teratur dan lengkap dari rektum,
sebaiknya diberikan dosis yang melebihi dosis oral dan digunakan pada
rektum kosong, akan tetapi setelah obat diresorbsi efek sistemisnya lebih cepat
dan lebih kuat dibandingkan per oral, berhubung vena-vena bawah dan tengah
dari rektum tidak tersambung pada sistem porta dan obat tidak melalui hati
pada peredaran darah pertama, sehingga tidak mengalami perombakan FPE
(first pass effect).
Pengecualian adalah obat yang diserap dibagian atas rektum dan oleh vena
rectalis superior disalurkan ke vena portae dan kemudian ke hati, misalnya
thiazinamium.
1. Faktor – faktor yang mempengaruhi absorpsi obat per rektal :
a) Faktor Fisiologis
Rektum mengandung sedikit cairan dengan pH 7,2 dan kapasitas
daparnya rendah. Epitel rektum keadaannya berlipoid, maka diutamakan
permiabel terhadap obat yang tak terionisasi.Jumlah obat yang diabsorpsi
10
dan masuk keperedaran darah umumnya tergantung dimana obat itu
dilepas direktum.
b) Faktor Fisika Kimia dari Obat atau Basis
Urutan peristiwa yang menuju absorpsi obat melalui daerah anorektal
secara diagram adalah sebagai berikut :
Obat dalam pembawa → Obat dalam cairan – cairan kolon →
Absorpsi melalui cairan rektal.
Bila jumlah obat dalam cairan renal ada diatas level yang menentukan laju
maka peningkatan konsentrasi obat yang nyata tidak mempunyai peranan
dalam mengubah laju absorpsi obat yang ditentukan.
Absorpsi obat dari daerah anorektal dipengaruhi oleh faktor fisiologis :Isi
kolon, Sirkulasi, pH
Faktor yang berhubungan dengan laju absorbsi :
a) Kelarutan obat
Pelepasan obat tergantung koefisien partisi lipid air dari
obat.Artinya obat yang larut dalam basis lipid dan kadarnya rendah
mempunyai tendensi kecil untuk cairan rektal. Dan obat yang sedikit
larut dalam basis lipid dan kadarnya tinggi akan segera masuk didalam
cairan rektal.
b) Kadar obat dalam basis
Difusi obat dari basis merupakan fungsi kadar obat dan sifat
kelarutan obat dalam basis. Bilakadar obat dalam cairan renal tinggi
maka absorpsi obat akan menjadi cepat dan kecepatan absorpsi makin
tinggi bagi bentuk obat yang tidak terdisosiasi.
c) Ukuran partikel
Bila kelarutan obat dalam air terbatas dan tersuspensi didalam
basis sediaan obat maka ukuran partikel akan mempengaruhi
kecepatran larutan dari obat ke cairan renal.
d) Basis sediaan obat
Obat yang larut dalam air dan berada dalam basis lemak akan
dilepas segera kecairan renal bila basis cepat melepas setelah masuk
kedalam rektum, dan obat akan segera diabsorpsi serta kerja awal dari
11
aksi obat akan segera nyata. Bila obat yang larut dalam air dan berada
dalam basis larut air kerja awal dari aksi obat akan segera nyata
apabila basis tadi segera larut dalam air.
Kenyataan bahwa rektum atau kolom merupakan tempat absorpsi obat
yang dapat diandalkan terbukti dengan baik.Untuk menjaga
keefektifan terapis obat dalam suatu sediaan harus dilakukan pemilihan
garam obat dan basis yang sesuai.
VIII. Kinetika Pre-Disposisi Zat
Penyerapan zat aktif terjadi setelah proses pelepasan, pemindahan, pelarutan
dan penembusan ke cairan rektum dan keseluruhan proses itu dirangkum
dalam istilah ”kinetik pelepasan atau kinetik predisposisi” (A) sedangkan
fenomena difusi dan penyerapan disebut ” Kinetika penyerapan” (B).
Keseluruhan proses kinetik yang berurutan tersebut tidak dapat saling
dipisahkan dan terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh pada berbagai
tahap tersebut.
pelelehan/peleburan; bahan pembawa dan sediaan obat →leleh →
pelarutan (zataktif berpindah ke cairan rektum) → proses difusi
→absorbsi.
IX. Faktor Yang Mempengaruhi Kinetik Pre-Disposisi Zat Aktif
Karena pemberiannya secara khusus ada kemungkinan terjadinya refleks
penolakan melebihi cara pemberian bentuk sediaan lain maka sediaan obat
harus melepaskan zat aktifnya agar segera menimbulkan efek seefektif cara
pemberian oral.
Kinetik predisposisi terdiri atas dua tahap yaitu:
1. Penghancur sediaan yang ditujukan untuk menimbulkan efek farmakologi
jauh lebih cepat.
2. Pemindahan dan pelarutan zat aktif kedalam cairan rektum diikuti difusi
menuju membran yang akan dibacanya (untuk efek setempat) atau
berdifusi melintasi embran agar dapat mencapai sistem peredaran
darah(efek sistemik).
12
Transfer zat aktif dari zat pembawa yang melebur atau terlarut pada
mukosa rektum (merupakan tahap penentu dalam rangkaian proses yang
terkait) tidak hanya sebagai fungsi dari sifat lapisan yang terpapar namun
juga keadaannya dalam bentuk sediaan obat dan beberapa sifat fisiko
kimianya.
Sifat zat aktifnya
Kelarutan zat aktif
Koefesien partisi zat aktif dalam fase lemak dan cairan rektum
X. Faktor Yang Mempengaruhi Kinetika Penyerapan Zat Aktif Yang
Diberikan Per-Rektum
Penyerapan rektum dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang juga
mempengaruhi proses penyerapan pada cara pemberian lainnya, kecuali intra
vena dan intaarteri.
Penyerapan perektum dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Kedudukan sediaan obat setelah pemakaian
b. Waktu-tinggal sediaan obat didalam rectum
c. pH cairan rectum
d. Konsentrasi zat aktif dalam cairan rectum
BAB III
METODELOGI
I. MACAM-MACAM TIPE SEDIAAN REKTAL DELIVERY
Rektal semisolids:
1) Creams
2) Gels
13
3) Ointments
4) Suppositories
Rektal liquids :
1)Solutions
2)Suspensions
Rektal aerosols
1. Rectal semisolid
Rectal cream, gels dan ointments digunakan untuk pemberian topical ke area
perianal.Sebagian besar digunakan untuk terapi kondisi local pruritis anorektal,
inflamasi dan nyeri atau ketidak nyamanan akibat wasir.
Contohnya:
•Astrigents (Zinc oxide)
•Pelindung dan pelicin (cocoa butter dan lanolin)
•Anestesi lokal (PramoxineHCl)
•Antipruritis serta agen antiinflamasi (Hidrokortisone)
Basis yang digunakan untuk anorektal cream dan ointments merupakan
kombinasi dari PEG 300 dan 3350. Basis cream emulsi menggunakan
cetyl alcohol dan cetyl esters wax ,dan petroleum putih dan minyak
mineral.
Pengawet yang digunakan seperti methylparaben, propylparaben, benzyl
alcohol dan butylated hydrocortisole (BHA).
• Beberapa produk rectal cream, gel, dan ointment komersial yaitu : anusol
ointment, tronolane cream, analpram-hc cream, diastat gel.
14
Mekanisme kerja supositoria :
Supositoria berefek mekanik
Bahan dasar yang berefek mekanik tidak peka pada penyerapan
dibandingkan supositoria dengan pembawa gliserin, karena terjadi
fenomena osmose yang disebabkan oleh afinitas gliserin terhadap air.
Supositoria berefek setempat
Supositoria antiwasir masuk kedalam kelompok ini, missal supositoria
ratanhae, yaitu senyawa yang efeknya disebabkan oleh adanya sifat
adstringen. Ada juga supositoria benaftol sebagai obat cacing
Supositoria berefek sistemik
Supositoria nutritif: digunakan jika saluran cerna tidak dapat menyerap
makanan, biasanya diberikan dalam bentuk lavement.
Supositoria obat: mengandung zat aktif yang harus diserap, mempunyai
efek sistemik.
Beberapa produk suppositoria komersial
dulcolax (bisacodyl)
canasa (mesalamine)
numorphan (oxymorphane)
anusol hc (hydrocortisone)
panadol (parasetamol)
Suppositoria padat merupakan sediaan yang banyak digunakan untuk
penghantaran melalui rektal dan tersedia lebih dari 98% sediaan untuk rektal.
Sebagian besar, sediaan berbentuk torpedo terdiri dari basis lemak (titik leleh
rendah) atau basis larut air yang beratnya bervariasi dari 1 g (anak) sampai 2,5
g (dewasa). Obat lipofilik biasanya menggunakan basis larut air, sedangkan
obat hidrofilik menggunakan basis lemak.Untuk suppositoria yang dibuat dari
basis lemak, waktu lelehnya seharusnya terjadi dengan cepat pada suhu tubuh
(37°C). Idealnya lelehan akan melapisi jaringan rektal sehingga
meminimalkan waktu pelepasan obat dari basis suppositoria.Suppositoria yang
15
larut dalam air seharusnya juga terlarut pada suhu 37°C untuk memudahkan
pelepasan obat dan absorpsinya.
2. Rektal larutan
Rektal suspensi, emulsi, atau enema pada sediaan rectal sangat sedikit
digunakan, karena tidak menyenangkan dan kepatuhan pasien
rendah.Dalam banyak kasus, sediaan ini digunakan untuk memasukkan
media atau agen untuk rontgen saluran pencernaan bagian bawah.
Walaupun absorpsi obat dari larutan lebih baik dari pada dari suppositoria
solid, tetapi penggunaan jarang sekali.
Contoh : rowasa rectal suspension enema (mesalamine), asacol rectal
suspension enema (mesalazine).
Enema adalah sediaan larutan yang dimasukkan dalam rectum dan usus
besar dan akan merangsang pengeluaran feses 30 mL enema (suntikan)
yang tertinggal terutama di kolon sigmoid (99%), 60 ml enema yang
16
didistribusikan melalui rektum (9%) yang sigmoid (61%) dan kolon
menurun (15%) dan 100 ml enema yang didistribusikan antara kolon
sigmoid (66%) dan menurun (25%).
3. Rektal aerosol
Rektal aerosol atau busa rektal aerosol disertai dengan aplikator untuk memudahkan
penggunaannya. Aplikator dimasukkan kedalam wadah berisi produk, serta terdapat alat
pengatur dosis obat aerosol. Aplikator dimasukkan kedalam anus dan obat dapat
diberikan melalui rektal. Beberapa contoh rektal aerosol : proctofoam hc
(hidrocortisonedanpramoxine), cortifoam (hidrocortisone).
II. MEKANISME BIOFARMASI SEDIAAN RECTAL DELIVERY
Mekanisme kerja supositoria dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
1.Supositoria berefek mekanik
Bahan dasar supositoria berefek mekanik tidak peka pada penyerapan. Supositoria
mulai berefek bila terjadi kontak yang menimbulkan refleks defikasi, namun pada
keadaan konstipasi refleks tersebut lemah. Pada efek kontak tersebut terutama
pada supositoria gliserin terjadi fenomena osmose yang disebabkan oleh afinitas
gliserin terhadap air. Hal tersebut menimbulkan gerakan peristaltik.
2. Supositoria berefek setempat
termasuk dalam kelopok ini adalah supositoria anti wasir yaitu senyawa yang
efeknya disebabkan oleh adanya sifat astringen atau peringkas pori ke dalam basis
supositoria yang sangat beragam kadang-kadang ditambahkan senyawa peringkas
pori baik dengan cara penyempitan maupun hemostatik. Dalam formula
supositoria sering terdapat senyawa penenang. Obat tersebut bekerja secara
rangkap baik terhadap perifer maupun sentral yang terakhir ini sepenuhnya
17
berefek sistemik. Efek lokal pada pengobatan : Hemorrhoids, Gatal-gatal, Infeksi,
Anestesi lokal, Anti septic, Adstringen, Emolient.
Suppositoria untuk efek lokal
Untuk hemoroid, anestetika lokal dan antiseptik (tidak untuk diabsorbsi). Basis
tidak diabsorpsi, melebur dan melepaskan obat secara perlahan-lahan. Basis harus
dapat melepas sejumlah obat yang memadai dalam 1/2 jam, dan meleleh
seluruhnya dengan melepas semua obat antara 4-6 jam agar terjadi efek lokal
dalam kisaran waktu tersebut. Pilih basis untuk efek lokal. Obat harus
didistribusikan secara homogen dalam basis suppositoria. Contohnya Anastetik
lokal (benzokain, tetrakain), Adstringen (ZnO, Bi-subgalat, Bi-subnitrat,
Vasokonstriktor (efedrin HCL), Analgesik (turunan salisilat), Emollient (balsam
peru untuk wasir), Konstipasi (glisin bisakodil), Antibiotika untuk infeksi.
3. Supositoria berefek sistemik
adalah supositoria yang mengandung senyawa yang diserap dan berefek pada
organ tubuh selain rektum. Pada kelompok ini termasuk supositoria nutritif,
supositoria obat.
Supositoria Nutritif
Digunakan pada penyakit tertentu dimana saluran cerna tidak dapat
menyerap makanan. Jumlah senyawa yang diserap tentu saja sedikit,
namun sudah cukup untuk mempertahankan hidup.
Supositoria Obat
Supositoria tersebut mengandung zat aktif yang harus diserap, mempunyai
efek sistemik dan bukan efek stempat. Bila supositoria obat dimasukan ke
dalam rektum pertama-tama akan timbul efek refleks, selanjutnya
supositoria melebur atau melarut dalam cairan rektum hingga zat aktif
tersebar dipermukaan mukosa, lalu berefek setempat dan selanjutnya
memasuki sistem getah bening. Obat yang masuk ke peredaran darah akan
berefek spesifik pada organ tubuh tertentu sesuai dengan efek
terapetiknya. Efek sistemik yaitu untuk pengobatan antimual dan muntah,
anti asma, analgesik, hormone, sedative, anti spasmolitik.
18
Suppositoria untuk tujuan sistemik
Basis yang digunakan tersedia dan ekonomis. Zat aktif harus terdispersi
baik dalam basis dan dapat lepas dengan baik (pada kecepatan yang
diinginkan) dalam cairan tubuh di sekitar suppositoria. Jika zat aktif larut
air, gunakan basis lemak dengan kadar air rendah. Jika zat aktif larut
lemak, gunakan basis larut air. Dapat ditambahkan surfaktan untuk
mempertinggi kelarutannya. Untuk meningkatkan homogenitas zat aktif
dalam basis sebaiknya digunakan pelarut yang melarutkan zat aktif atau
zat aktif dihaluskan sebelum dicampur dengan basis yang meleleh. Zat
aktif yang larut sedikit dalam air atau pelarut lain yang tercampur dalam
basis, dilarutkan dulu sebelum dicampur dengan basis. Zat aktif yang
langsung dapat dicampur dengan basis, terlebih dahulu digerus halus
sehingga 100 % dapat melewati ayakan 100 mesh. Contohnya
meringankan penyakit asma (teofilin, efedrin, amonifilin), Analgetik dan
antiinflamasi (turunan salisilat, parasetamol), Anti arthritis, radang
persendian (fenilbutason, indometasin) Hipnotik & sedatif (turunan
barbiturate), Trankuilizer dan anti emetik (fenotiazin, klorpromazin),
Khemoterapetik (antibiotik, sulfonamida).
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan :
Macam-macam tipe sediaan rektal delivery yaitu
Rektal semisolids:
1) Creams
2) Gels
3) Ointments
4) Suppositories
19
Beberapa produk rectal cream, gel, dan ointment komersial yaitu : anusol
ointment, tronolane cream, analpram-hc cream, diastat gel. Beberapa produk
suppositoria komersial yaitu dulcolax (bisacodyl), canasa (mesalamine),
numorphan (oxymorphane), anusol hc (hydrocortisone), panadol (parasetamol).
Rektal liquids :
1)Solutions
2)Suspensions
Contoh : rowasa rectal suspension enema (mesalamine), asacol rectal
suspension enema (mesalazine).
Rektal aerosols
Beberapa contoh rektal aerosol : proctofoam hc (hidrocortisonedanpramoxine), cortifoam
(hidrocortisone).
20
top related