BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik
Post on 01-Dec-2021
3 Views
Preview:
Transcript
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik
Bab ini akan menjelaskan mengenai gagal ginjal kronik (GGK) yang meliputi
definisi gagal ginjal kronik (GGK), stadium GGK, etiologi GGK, manifestasi klinis
GGK, patofisiologi GGK, serta penatalaksanaan pada pasien GGK.
2.1.1 Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan istilah umum yang menggambarkan
kerusakan ginjal atau penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) selama 3 bulan atau lebih
(Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2012).Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan
merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal.
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau
melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi diurin menumpuk
dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi
endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit, serta asam basa (Suharyanto & Madjid, 2009).
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) atau penurunan
faal ginjal yang menahun dimana ginjal tidak mampu lagi mempertahankan lingkungan
internalnya yang berlangsung dalam jangka waktu lama dan menetap sehingga
mengakibatkan penumpukan sisa metabolik (toksik uremik) yang berakibat ginjal tidak
dapat memenuhi kebutuhan dan fungsi yang menimbulkan respon sakit yang mempunyai
12
kriteria kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan dan laju filtrasi
glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit (Nuari & Widayati, 2017).
2.1.2 Stadium Gagal Ginjal Kronik
Menurut (Smeltzer et al., 2012) stadium GGK didasarkan pada laju filtrasi
glomerulus (LFG). LFG normal adalah 125 mL/min/1.73 m2.
1. Stadium 1
LFG >90 mL/min/1.73m2, kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
meningkat
2. Stadium 2
LFG = 60 – 89 mL/min/1.73 m2, terjadi penurunan ringan pada LFG
3. Stadium 3
LFG = 30 – 59 mL/min/1.73 m2 , terjadi penurunan sedang pada LFG
4. Stadium 4
LFG = 15 – 29 mL/min/1.73 m2, terjadi penurunan berat pada LFG
5. Stadium 5
LFG < 15 mL/min/1.73 m2, gagal ginjal tahap akhir terjadi ketika ginjal tidak
dapat membuang sisa metabolisme tubuh atau menjalankan fungsi pengaturan
dan memerlukan terapi penggantian ginjal untuk mempertahankan hidup.
Menurut (Suharyanto & Madjid, 2009), gagal ginjal kronik (GGK) selalu
berkaitan dengan penurunan progresif LFG. Stadium – stadium GGK
didasarkan pada tingkat LFG yang yang tersisa dan meliputi hal – hal berikut:
1. Penurunan cadangan ginjal, yang terjadi apabila LFG turun 50% dari normal.
13
2. Insufisiensi ginjal, yang terjadi apabila LFG turun 20 – 35% dari rentang normal.
Nefron – nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena
beratnya beban yang mereka terima.
3. Gagal ginjal, yang terjadi apabila LFG kurang 20% dari rentang normal. Semakin
banyak nefron yang mati.
4. Gagal ginjal terminal, yang terjadi apabila LFG kurang 5% dari rentang normal.
Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Pada seluruh ginjal ditemukan
jaringan parut dan atrofi tubulus.
2.1.3 Etiologi
Diabetes mellitus merupakan penyebab utama GGK pada pasien yang memulai
terapi penggantian ginjal. Penyebab utama kedua adalah hipertensi, diikuti oleh
glomerulonefritis dan pielonefritis, gangguan polikistik, herediter atau bawaan dan
kanker ginjal (Smeltzer et al., 2012).
Penyebab tersering penyakit GGK yang membutuhkan terapi penggantian ginjal
adalah diabetes mellitus 40%, hipertensi 25%, glomerulonefritis 15%, penyakit ginjal
polikistik 4%, urologis 6%, tidak diketahui dan lain – lain (O’callaghan, 2009). Penyebab
lain dikelompokkan sebagai berikut penyakit ginjal penyakit pada saringan
(glumorelunefritis), infeksi kuman (pyelonefritis, ureteritis), batu ginjal (nefrolitiasis),
kista di ginjal (polcystis kidney), trauma langsung pada ginjal, keganasan pada ginjal,
sumbatan (batu, tumor, penyempitan/ striktur) penyakit umum diluar ginjal (penyakit
sistemik (diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi), dyslipidemia, SLE, infeksi di
14
badan (TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis), preeklampsi, obat – obatan, kehilangan
banyak cairan yang mendadak (luka bakar) (Muttaqin & Sari, 2011).
2.1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien GGK berupa peningkatan kadar kreatinin serum
menunjukkan penyakit ginjal yang mendasarinya, ketika kadar kreatinin meningkat, gejala
penyakit GGK dimulai. Anemia, karena penurunan produksi erythropoietin oleh ginjal.
Metabolisme metabolik dan kelainan dalam kalsium dan fosfor menandakan
perkembangan gagal ginjal konik (GGK). Retensi cairan, dibuktikan dengan edema dan
gagal jantung kongestif, berkembang. Ketika penyakit berkembang, kelainan pada
elektrolit terjadi, gagal jantung memburuk, dan hipertensi menjadi lebih sulit untuk
dikendalikan (Smeltzer et al., 2012).
Pada pasien GGK akan terjadi rangkaian perubahan. Bila LFG menurun 5 – 10%
dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan menderita sindrom
uremik, yaitu suatu kumpulan gejala yang diakibatkan atau berkaitan dengan retensi
metabolik nitrogen akibat gagal ginjal. Dua kelompok gejala klinis dapat terjadi pada
syndrome uremik, yaitu: gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi (kelainan volume,
cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan asam basa, retensi metabolik nitrogen serta
metabolic lainnya, serta anemia akibat defisiensi sekresi ginjal (eritropoitin) dan gabungan
kelainan kardiovaskuler, neuromuskuler, saluran cerna, dan kelainan lainnya (Suharyanto
& Madjid, 2009).
15
2.1.5 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik
Patofisiologi gagal ginjal kronik (GGK) dimulai pada fase awal gangguan,
keseimbangan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat – zat sisa masih
bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun
kurang dari 25% normal, manifestasi klinis GGK mungkin minimal karena nefron –
nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa
meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi.
Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa
menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron – nefron tersebut ikut rusak dan
akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan
pada nefron – nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Pada saat
penyusutan progresif nefron – nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein,
terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah pada ginjal akan berkurang.
Pelepasan renin akan meningkat bersama dengan kelebihan beban cairan sehingga dapat
menyebabkan hipertensi. Hipertensi akan memperburuk kondisi gagal ginjal, dengan
tujuan agar terjadi peningkatan filtrasi protein – protein plasma. Kondisi akan bertambah
buruk dengan semakin banyak terbentuk jaringan parut sebagai respon dari kerusakan
nefron dan secara progresif fungsi ginjal menurun drastis dengan manifestasi
penumpukan metabolit – metabolit yang seharusnya dikeluarkan dari sirkulasi sehingga
akan terjadi sindrom uremia berat yang memberikan banyak manifestasi pada setiap
organ tubuh (Muttaqin & Sari, 2011). Pasien GGK akan menjalani terapi hemodialisis
secara terus-menerus dalam mempertahankan hidupnya serta terdapat faktor-faktor yang
turut mempengaruhi sehingga kualitas hidup pasien GGK akan lebih buruk dari pada
16
pasien lain pada umumnya, karena itu akan berkaitan dengan munculnya masalah psikis
yaitu emosional yang berlebih, tidak kooperatif, penderitaan fisik, masalah sosial yaitu
kurangnya berinteraksi dengan orang lain, keterbatasan dalam beraktivitas sehari-hari
serta tingginya beban biaya yang dikeluarkan. Dengan kata lain hal ini secara signifikan
berdampak atau mempengaruhi kualitas hidup pasien GGK yang menjalani hemodialisis
(Wua, Langi, & Kaunang, 2019).
2.1.6 Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik
Manajemen medis pasien GGK termasuk pengobatan penyebab yang mendasari.
Penilaian klinis dan laboratorium secara teratur penting untuk menjaga tekanan darah
dibawah 130/80 mmHg. Manajemen medis juga termasuk rujukan dini untuk memulai
terapi penggantian ginjal seperti yang ditunjukkan oleh status ginjal pasien. Pengurangan
komplikasi dicapai dengan mengendalikan faktor resiko kardiovaskular, mengobati
hiperglikemia, mengobati anemia, berhenti merokok, penurunan berat badan, program
olahraga sesuai kebutuhan dan pengurangan asupan garam serta alcohol (Smeltzer et al.,
2012).
Penatalaksanaan gagal ginjal kronik (GGK) dibagi menjadi dua tahap yaitu
penanganan konservatif dan terapi penggantian ginjal. Penanganan GGK secara
konservatif terdiri dari tindakan untuk menghambat berkembangnya gagal ginjal,
menstabilkan keadaan pasien, dan mengobati setiap faktor yang reversible. Sedangkan
penanganan dengan pengganti ginjal dapat dilakukan dialisis intermitten atau
transplantasi ginjal yang merupakan cara paling efektif untuk penanganan gagal ginjal
(Haryanti & Nisa, 2015).
17
Penanganan secara konservatif bertujuan untuk mencegah memburuknya faal
ginjal secara progresif, meringankan keluhan – keluhan akibat akumulasi toksin,
memperbaiki metabolisme secara optimal, dan memelihara keseimbangan cairan
elektrolit. Beberapa tindakan konservatif yang dapat dilakukan dengan pengaturan diet
pada pasien GGK. Terapi pengganti ginjal dilakukan pada saat penyakit GGK sudah
berada pada stadium 5 yaitu saat LFG kurang dari 15 ml/ menit. Terapi tersebut dapat
berupa hemodialisis, continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) serta transplantasi
ginjal (Haryanti & Nisa, 2015).
Hemodialisis merupakan cara untuk mengeluarkan produk sisa metabolisme
melalui membran semipermiable atau yang disebut dengan dyalizer. Sisa – sisa
metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia itu dapat berupa air,
natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, serta zat – zat lain. Hemodialisis
telah menjadi rutinitas perawatan medis untuk pasien dengan GGK stadium 5. Salah satu
langkah penting sebelum memulai hemodialisis yaitu mempersiapkan access vascular
beberapa minggu atau beberapa bulan sebelum hemodialisis. Access vascular memudahkan
dalam perpindahan pembuluh darah dari mesin ke tubuh pasien. Hemodialisis umumnya
dilakukan dua kali seminggu selama 4-5 jam per sesi pada kebanyakan pasien GGK
Stadium 5 (Haryanti & Nisa, 2015).
Continuous Ambulatory Peritoneal Dyalisis (CAPD) merupakan terapi alternatif
dialisis untuk pasien GGK Stadium 5 dengan 3 – 4 kali pertukaran cairan per hari.
Pertukaran cairan terakhir dilakukan pada jam tidur sehingga cairan peritoneal dibiarkan
semalam. Terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien dialisis peritoneal. Indikasi
18
pasien – pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien – pasien
yang cenderung akan mengalami perdarahan jika dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup dan pasien nefropati diabetic disertai co-morbidity dan co-
mortality (Haryanti & Nisa, 2015).
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai untuk pasien
gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan transplantasi ginjal jauh melebihi jumlah
ketersediaan ginjal yang ada dan biasanya ginjal yang cocok dengan pasien adalah yang
memiliki kaitan keluarga dengan pasien. Kebanyakan ginjal diperoleh dari donor hidup
karena ginjal yang berasal dari kadaver tidak sepenuhnya diterima karena adanya masalah
sosial dan masalah budaya. Karena kurangnya donor hidup sehingga pasien yang ingin
melakukan transplantasi ginjal harus melakukan operasi diluar negeri. Transplantasi ginjal
memerlukan dana dan peralatan yang mahal serta sumber daya manusia yang memadai.
Transplantasi ginjal ini juga dapat menimbulkan komplikasi akibat pembedahan atau
reaksi penolakan tubuh (Haryanti & Nisa, 2015).
Menurut National Kidney and Urologic Disease Information Clearing house
tahun 2006 hemodialisis merupakan terapi yang paling sering digunakan pada pasien
GGK. Berdasarkan data PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) tahun 2012,
jenis fasilitas yang diberikan oleh renal unit adalah hemodialisis (78%), Continous
Ambulatory Peritoneal Dyalisis (3%), transplantasi (16%) dan continuous renal replacement
therapy (3%) (Haryanti & Nisa, 2015).
19
2.2 Konsep Hemodialisis
Bab ini akan menjelaskan mengenai hemodialisis yang meliputi definisi
hemodialisis, jenis hemodialisis, prinsip dasar hemodialisis, serta komplikasi hemodialisis
yang meliputi komplikasi akut, komplikasi kronik serta komplikasi psikologis.
2.2.1 Definisi
Hemodialisis didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien
melewati membran semipermiabel (dializer) ke dalam dialisat, hemodialisis merupakan
metode yang dominan digunakan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik (Nuari
& Widayati, 2017). Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari
hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage
renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen (Suharyanto
& Madjid, 2009).
2.2.2 Jenis Hemodialisis
1. Menurut (Smeltzer et al., 2012) pembagian jenis hemodialisis berdasarkan indikasi
pada pasien yaitu :
a. Hemodialisis akut : merupakan hemodialisis yang digunakan untuk pasien yang
sakit akut dan memerlukan dialisis jangka pendek (berhari – hari hingga
bermingu – minggu).
b. Hemodialisis kronik : merupakan hemodialisis yang digunakan untuk pasien
dengan gagal ginjal kronik atau ESDR (end stage renal disease) lanjut yang
membutuhkan terapi penggantian ginjal jangka panjang atau permanen.
20
2. Ada berbagai jenis hemodialisis yang biasa dilakukan, menurut (Tjokroprawiro,
Setiawan, Santoso, Soegiarto, & Rahmawati, 2015) berikut jenis – jenis hemodialisis:
a. Hemodialisis pada gangguan ginjal akut: SLED, SLEDD, Isolated UF atau HD
Intermittent.
b. Hemodialisis pada penyakit gagal ginjal kronik:
a) Hemodialisis konvensional: Hemodialisis kronis biasanya dilakukan 2-3 kali
perminggu, selama sekitar 4-5 jam untuk setiap tindakan.
b) Hemodialisis harian: biasanya digunakan oleh pasien pasien yang melakukan
cuci darah sendiri di rumah, dilakukan selama 2 jam setiap hari.
c) Hemodialisis nocturnal: dilakukan saat pasien tidur malam, 6 – 10 jam
pertindakan, 3 – 6 kali dalam seminggu.
2.2.3 Prinsip Dasar Hemodialisis
Tujuan dari hemodialisis adalah untuk mengeluarkan zat – zat yang toksik dalam
darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja
hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah dalam darah
dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki
konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat
tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal.
Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air
dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari
tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat).
Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai
21
ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan
penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Suharyanto & Madjid,
2009).
2.2.4 Komplikasi Hemodialisis
Komplikasi yang mungkin dialami oleh pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis meliputi komplikasi akut, komplikasi kronik, serta komplikasi
psikologis.
2.2.4.1 Komplikasi Akut
Pergerakan darah ke luar sirkulasi menuju sirkuit dialisis dapat menyebabkan
hipotensi. Dialisis awal yang terlalu agresif dapat menyebabkan disequilibrium
(ketidakseimbangan) dialisis, sebagai akibat perubahan osmotic di otak pada saat kadar
ureum plasma berkurang. Efeknya bervariasi dari mual dan nyeri kepala sampai kejang
dan koma. Nyeri kepala selama dialisis dapat disebabkan oleh efek vasodilator asetat.
Gatal selama atau sesudah hemodialisis dapat merupakan gatal pada gagal ginjal kronik
yang dieksaserbasi oleh pelepasan histamin akibat reaksi alergi ringan terhadap membran
dialisis. Kadangkala, pajanan darah ke membran dialisis dapat menyebabkan respon
alergi yang lebih luas, hal yang lebih jarang terjadi jika menggunakan membran
biokompatibel modern. Kram pada dialisis mungkin mencerminkan pergerakan elektrolit
melewati membran otot. Hipoksemia selama dialisis dapat mencerminkan hipoventilasi
yang disebabkan oleh pengeluaran bikarbonat atau pembentukan pirau dalam paru akibat
perubahan vasomotor yang diinduksi oleh zat yang diaktivasi oleh membran dialisis.
Kadar kalium yang dikurangi secara berlebihan menyebabkan hipokalemia dan disritmia.
22
Masalah pada sirkuit dialisis dapat menyebabkan emboli udara, yang sebaiknya diobati
dengan memposisikan kepala pasien di sisi kiri bawah dengan menggunakan oksigen
100%(O’callaghan, 2009).
2.2.4.2 Komplikasi Kronik
Masalah yang paling sering berkaitan dengan akses termasuk thrombosis fistula,
pembentukan aneurisma, dan infeksi, terutama dengan raft sintetik atau akses vena
sentral sementara. Infeksi sistemik dapat timbul pada lokasi akses atau didapat dari
sirkuit dialisis. Transmisi infeksi yang ditularkan melalui darah (blood – borne infection)
seperti virus hepatitis dan HIV merupakan suatu bahaya potensial. Pada dialisis jangka
panjang, deposit protein amiloid dialisis yang mengandung mikroglobulin-B2, dapat
menyebabkan sindrom terowongan karpal (carpal tunnel syndrome) dan artropati destruktif
dengan lesi tulang kistik. Senyawa pengikat fosfat yang mengandung alumunium dan
kontaminasi alumunium dari cairan dialisat dapat menyebabkan toksisitas alumunium
dengan demensia, mioklonus, kejang dan penyakit tulang (O’callaghan, 2009).
2.2.4.3 Komplikasi Psikologis Pasien Hemodialisis
Selain mengalami komplikasi pada fisik pasien GGK yang menjalani terapi
hemodialisis juga kerap mengalami komplikasi psikologis. Faktor psikologis pada pasien
GGK sangat terpengaruh oleh perjalanan penyakit yang panjang, ketidakmampuan
pasien dan perasaan tidak nyaman bergantung dengan mesin hemodialisis. Terapi
hemodialisis sampai sekarang selain mengganggu fisik, komplikasinya dapat pula
memicu gangguan jiwa. Pasien GGK sering mengalami gangguan psikiatrik terkait
dengan kondisi medis umumnya. Gangguan psikiatrik seperti delirium, depresi,
23
kecemasan dan sindrom disequilibrium sering dialami oleh pasien dengan GGK
(Rosmalia & Kusumadewi, 2018).
2.3 Konsep Kualitas Hidup
Pada bab ini akan menjelaskan mengenai kualitas hidup yang meliputi definisi
kualitas hidup, domain kualitas hidup, faktor yang mempengaruhi kualitas hidup, dampak
hemodialisis terhadap kualitas hidup, serta instrumen untuk mengukur kualitas hidup.
2.3.1 Definisi Kualitas Hidup
Kualitas hidup dapat diartikan sebagai derajat dimana seseorang menikmati
kepuasan dalam hidupnya. Untuk mencapai kualitas hidup maka seseorang harus dapat
menjaga kesehatan tubuh, pikiran dan jiwa, sehingga seseorang dapat melakukan segala
aktivitas tanpa adanya gangguan (Wakhid, Wijayanti, & Kidney, 2018). Kualitas hidup
merupakan keadaan yang membuat seseorang mendapatkan kepuasan atau kenikmatan
dalam kehidupan sehari-hari. Kualitas hidup tersebut menyangkut kesehatan fisik dan
kesehatan mental (Fadlilah, 2019). Menurut WHO (World Health Organization) definisi
kualitas hidup adalah persepsi individu dan hubungannya dengan lingkungan, ini
didefinisikan sebagai persepsi individu tentang posisi mereka dalam kehidupan dalam
konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka hidup dan dalam hubungannya untuk
tujuan, ekspektasi, standar, dan kekhawatiran mereka terhadap kehidupan atau penyakit
mereka (Aggarwal, Jain, Pawar, & Yadav, 2016).
24
2.3.2 Domain Kualitas Hidup
Menurut model konseptual, kualitas hidup terdiri dari delapan domain inti yang
pada awalnya disintesis dan divalidasi melalui tinjauan ekstensif terhadap kualitas
kehidupan secara internasional pada berbagai macam disabilitas, intelektual dan
pengembangan, pendidikan khusus, perilaku, kesehatan mental dan penuaan. Delapan
domain inti ini meliputi: fungsi fisik, keterbatasan peran, nyeri, kesehatan umum, vitalitas
dan energi, fungsi sosial, kesehatan mental / kesejahteraan emosional, serta keterbatasan
peran yang disebabkan oleh masalah mental atau masalah emosional (Shogren,
Wehmeyer, & Singh, 2017). Menurut (Marinho, Oliveira, Borges, Silva, & Fernandes,
2017) mengungkapkan domain kualitas hidup pada pasien GGK yang menjalani terapi
hemodialisis mencakup 19 domain yang terdiri dari delapan domain inti kualitas hidup
(fungsi fisik, keterbatasan peran, nyeri, kesehatan umum, vitalitas dan energi, fungsi
sosial, kesehatan mental / kesejahteraan emosional, serta keterbatasan peran yang
disebabkan oleh masalah mental atau masalah emosional) dan sebelas domain khusus
untuk pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis (gejala / masalah fisik, efek
penyakit ginjal, beban penyakit ginjal, status pekerjaan, fungsi kognitif, kualitas interaksi
sosial, fungsi seksual, tidur, dukungan sosial, dorongan staff dialisis dan kepuasan pasien)
yang meliputi:
1. Fungsi fisik, aspek ini mencakup kemampuan untuk beraktifitas seperti berjalan,
menaiki tangga, membungkuk, mengangkat, gerak badan dan kemampuan pasien
dalam melakukan aktifitas berat.
25
2. Keterbatasan peran akibat masalah fisik, aspek ini mencakup seberapa besar
masalah fisik yang dialami pasien dapat mengganggu pekerjaan serta aktifitas
sehari-hari pasien, seperti memperpendek waktu pasien untuk bekerja atau
beraktifitas, serta keterbatasan dan kesulitan pasien dalam beraktifitas.
3. Rasa nyeri yang dirasakan pasien, aspek ini mencakup intensitas rasa nyeri dan
pengaruhnya terhadap aktivitas pasien baik didalam maupun di luar rumah.
4. Persepsi kondisi kesehatan secara umum, aspek ini mencakup pandangan pasien
terhadap kondisi kesehatan pasien sekarang, prediksi di masa yang akan datang,
dan daya tahan terhadap penyakit.
5. Vitalitas dan energi, aspek ini menggambarkan tingkat kelelahan, capek, lesu dan
perasaan penuh semangat yang dialami pasien setiap waktu.
6. Fungsi Sosial, aspek ini mencakup keterbatasan berinteraksi sosial sebagai akibat
dari masalah fisik dan emosional yang dialami pasien gagal ginjal kronik.
7. Kesehatan mental / kesejahteraan emosional, aspek ini mencakup kesehatan
mental secara umum, depresi, perasaan frustasi, kecemasan, kebiasaan
mengontrol emosi, perasaan tenang serta bahagia.
8. Keterbatasan akibat masalah emosional, aspek ini mencakup bagaimana masalah
emosional mengganggu pasien dalam beraktifitas sehari hari, seperti menjadikan
pasien lebih tidak teliti dari sebelumnya.
9. Gejala/masalah fisik yang menyertai; gejala dan masalah yang menyertai pasien
GGK merupakan masalah yang menyertai setelah pasien didiagnosis sakit ginjal.
Masalah yang dapat menyertai pasien antara lain : nyeri otot, nyeri dada, kram
otot, kulit gatal-gatal, kulit kering, nafas pendek (sesak), pusing, penurunan nafsu
26
makan, gangguan eliminasi, mati rasa pada tangan dan kaki, mual, permasalahan
pada tempat penusukan ketika pelaksanaan hemodialisis, dan permasalahan pada
tempat memasukkan kateter (pada dialisis peritoneal).
10. Efek penyakit ginjal, efek ini timbul sebagai konsekuensi akibat penyakit ginjal
yang diderita dan sering kali menyusahkan pasien. Efek ini antara lain:
pembatasan cairan, pembatasan diet, kemampuan bekerja disekitar rumah,
kemampuan untuk melakukan perjalanan, ketergantungan terhadap petugas
kesehatan, perasaan khawatir dan stres terhadap penyakit yang diderita,
kehidupan seksual, serta penampilan.
11. Beban akibat penyakit ginjal, beban sebagai akibat penyakit ginjal sering kali
dirasakan pasien. Beban akibat penyakit ini antara lain sejauh mana penyakit
ginjal yang diderita dirasakan sangat mengganggu kehidupan, banyaknya waktu
yang dihabiskan untuk pasien melakukan pengobatan, rasa frustasi terhadap
penyakit, dan perasaan menjadi beban dalam keluarga.
12. Status pekerjaan, indikator pada dimensi ini adalah apakah pasien masih aktif
bekerja, serta apakah kondisi kesehatannya saat ini dapat menjaga pekerjaan
pasien saat ini.
13. Fungsi kognitif, pasien GGK yang menjalani hemodialisis sering kali mengalami
penurunan fungsi kognitif. Pasien juga kerap kali menjadi lambat dalam berkata
atau melakukan sesuatu, sulit untuk berkonsentrasi, dan terkadang mengalami
kebingungan tanpa sebab.
14. Kualitas interaksi sosial, aspek ini mengukur bagaimana kualitas interaksi yang
dilakukan pasien dalam melakukan hubungan dengan orang lain. Pada pasien
27
GGK tidak jarang pasien mengasingkan diri dari orang lain, mudah tersinggung,
dan terkadang mengalami kesulitan dalam bergaul dengan orang lain.
15. Fungsi seksual, aspek ini termasuk intensitas, gairah dan menikmati hubungan
seksual.
16. Tidur, aspek ini mengukur bagaimana tidur pada pasien GGK yang menjalani
terapi hemodialisis. Aspek ini termasuk kualitas tidur dan kecukupan waktu tidur.
17. Dukungan sosial yang diperoleh, aspek ini termasuk waktu yang tersedia bersama
teman dan keluarga serta dukungan yang diterima oleh pasien dari keluarga dan
teman.
18. Dorongan dari staf dialisis, aspek ini termasuk dorongan yang diberikan oleh staf
dialisis untuk mandiri dan beradaptasi terhadap penyakit yang diderita serta
rutinitas terapi yang harus dijalani oleh pasien.
19. Kepuasan pasien, aspek ini mengukur kepuasan pasien terhadap layanan dialisis
yang pasien dapatkan dari fasilitas kesehatan.
2.3.3 Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Hidup
Menurut (Fadlilah, 2019; Handayani & Rahmayati, 2013; Nasution, 2017; Sagala &
Pasaribu, 2018; Sarastika, Kisan, Mendrofa, & Siahaan, 2018; Ullu, Nurina, &
Wahyuningrum, 2018) menyatakan bahwa faktor – faktor yang berhubungan dengan
kualitas hidup pasien yang menjalani terapi hemodialisis yaitu:
1. Faktor Sosio Demografi:
Usia, Semakin meningkatnya usia pasien didapatkan adanya penurunan
kualitas hidup, usia pasien yang berusia lanjut lebih cenderung mempunyai
28
kualitas hidup yang lebih buruk dan cenderung lebih depresi (Sarastika et al.,
2018). Jenis Kelamin, berdasarkan penelitian menyatakan bahwa laki-laki
mempunyai kualitas hidup lebih buruk dibandingkan perempuan dan semakin
lama menjalani terapi hemodialisis akan semakin rendah kualitas hidup penderita
(Sarastika et al., 2018). Pendidikan, Kualitas hidup pasien GGK yang menjalani
hemodialisis dipengaruhi oleh faktor pendidikan dimana semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin baik kualitas hidup pasien, hasil penelitian menunjukkan
tingginya signifikasi perbandingan dari pasien yang berpendidikan tinggi
meningkat dalam keterbatasan fungsional yang berkaitan dengan masalah
emosional dari waktu ke waktu dibandingkan dengan pasien yang berpendidikan
rendah serta menemukan kualitas hidup yang lebih baik bagi pasien
berpendididikan tinggi dalam domain fisik dan fungsional, khususnya dalam
fungsi fisik, energi/kelelahan, fungsi sosial, dan keterbatasan dalam fungsi peran
terkait dengan masalah emosional (Sarastika et al., 2018). Status perkawinan,
merupakan variabel yang mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis. Besar atau tidaknya dukungan yang diterima dari
pasangan oleh penderita gagal ginjal kronik sangat menentukan perjalanan
penyakit dan ketersediaan menjalani terapi. Dukungan dapat berupa motivasi,
penghargaan, perhatian dan pemberian solusi dengan dukungan dari pasangan
hidup, penderita gagal ginjal kronik dapat mengalami perubahan emosional
seperti merasa diperhatikan serta lebih semangat untuk menjalani hidup.
Perubahan emosional tersebut bisa merubah perjalanan penyakit kea rah lebih
29
baik sehingga kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis menjadi lebih baik (Purwati & Wahyuni, 2016).
2. Faktor Terapi Dialisis
Terapi dialisis merupakan faktor yang berhubungan dengan kualitas
hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Lama
Hemodialisis, Hasil penelitian menunjukkan semakin lama hemodialisis yang
dilakukan oleh GGK, kualitas hidup yang dialami semakin buruk sedangkan
pasien yang baru menjalani terapi hemodialisis kualitas hidupnya baik (Fadlilah,
2019).
3. Faktor Penyakit:
Faktor penyakit merupakan variabel yang mempengaruhi kualitas hidup
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Tingginya prevalensi
gejala yang muncul karena penyakit berkorelasi dengan penurunan kualitas hidup.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis mengalami berbagai gejala yang mungkin telah mempengaruhi
persepsi pasien tentang posisi mereka dalam kehidupan yang dapat menurunkan
fungsi fisik, fungsi sosial serta kesejahteraan emosional pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis. Dalam sebuah penelitian mengungkapkan bahwa
50% dari pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis mengalami
empat dari tiga puluh gejala yang mungkin muncul pada pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisis dan secara keseluruhan beban serta
keparahan gejala tersebut dikaitkan dengan gangguan kualitas hidup. Tingginya
prevalensi serta keparahan gejala akan memberikan pengaruh negative dan
30
berdampak pada kehidupan sehari – hari pasien yang mempengaruhi rendahnya
kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis (Wang et al.,
2016).
4. Faktor Komplikasi Penyakit:
Komplikasi penyakit merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas
hidup pasieh gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Terapi hemodialisis
akan menimbulakan stress fisik seperti kelelahan, sakit kepala dan keluar keringat
dingin akibat tekanan darah yang menurun, sehubungan dengan efek
hemodialisis dan juga mempengaruhi keadaan psikologis pasien yang mengalami
ganguan dalam proses konsentrasi dan serta gangguan dalam hubungan sosial.
Pasien gagal ginjal kronik yag menjalani hemodialisis sering dihadapakan dengan
berbagai komplikasi yang mengikuti penyakut yang dideritanya yang berakibat
semakin menurunnya kualitas hidup orang tesebut (Handayani & Rahmayati,
2013).
5. Faktor Penyakit Penyerta:
Penyakit penyerta merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Penyakit penyerta yang
biasa terjadi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis adalah
hipertensi dan diabetes meilitus. Diabetes meilitus merupakan faktor penyakit
penyerta yang biasa terjadi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani HD
kemudian disusul hipertensi di urutan kedua. Pasien hemodialisis yang memilki
penyakit penyerta akan mengalami tanda gejala serta komplikasi lebih banyak dari
penyakit gagal ginjal kronik, hemodialisis serta penyakit penyerta yang dimiliki
31
pasien. Sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup pasie gagal
ginjal kronik yang menjalani hemodialisis (Handayani & Rahmayati, 2013).
6. Faktor Obat:
Faktor obat merupakan variabel yang mempengaruhi kualitas hidup
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Terapi hemodialisis dapat
menyebabkan tekanan darah rendah, mual dan muntah, kulit kering dan gatal,
kram otot, nyeri, kram perut dan berbagai gejala serta komplikasi lainnya,
sehingga setelah menjalankan terapi hemodialisis dibei obat oleh dokter seperti
obat tekanan darah, diuretic, pengencer darah, pengikat fosfat, alfa calcidol,
cinacalcet untuk pasien yang memiliki hormone paratiroid yang sangat tinggi,
eritropietin, iron, tinzaparin, anti mikoba atau anti bakteri, analgetik (anti nyeri),
sodium bikarbonat, obat untuk gout (allopunirol)dan berbagai macam obat
lainnya untuk mengurangi tanda dan gejala serta komplikasi yang mungkin
muncul pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Pentingnya
kepatuhan penggunaan obat terutama untuk pasien gagal ginjal kronik yang
membutuhkan terapi jangka panjang yang berhubungan dengan kualitas hidup
pasien. Pasien yang memiliki kepatuhan pengobatan yang tinggi akan memiliki
kualitas hidup yang tinggi karena pasien akan sadar degan kesehatannya sehingga
pasien dapat mengkonsumsi obat secara secara patuh yang akan mengurangi
tanda dan gejala yang muncul sehingga kualitas hidup pasien pun meningkat.
Pasien yang tidak patuh terhadap konsumsi obat akan memiliki kualitas hidup
yang rendah, karena obat tidak memberikan efek terapi maksimal sehingga tanda
dan gejala serta komplikasi mungkin muncul karena ketidakpatuhan terhadap
32
pengobatan yang dapat berpengaruh terhadap menurunnya fungsi fisik sehingga
kualitas hidup pasien pun mengalami penurunan (Karuniawati & Supadmi, 2016).
7. Faktor Nutrisi:
Faktor nutrisi atau status nutrisi memiliki peran penting pada kualitas
hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dan malnutrisi
merupakan faktor utama terjadinya morbiditas dan mortalitas pada pasien
hemodialisis. Komplikasi malnutrisi tersering pada HD adalah Malnutrisis Energi
Protein (MEP) karena HD akan meningkatkan katabolisme protein. Selain itu
anoreksia, mual dan muntah sehingga sindrom uremia juga dapat mempengaruhi
asupan makanan pasien hemodialisis. Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis membutuhkan status nutrisi yang baik untuk meningkatkan
kesehatannya (Ullu et al., 2018).
8. Faktor Kualitas Tidur:
Kualitas tidur merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi kualitas
hidup pasien gagal gijal kronik yang menjalani hemodialisis. Sebuah studi
mengatakan gangguan tidur sering terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa
dan masalah ini telah diteliti terjadi pada 80% penderita. Banyak faktor yang
mempengaruhi gangguan tidur pada pasien hemodialisis, diantaranya kadar urea
dalam darah, kadar kreatinin, kadar hormon parathyroid, tekanan darah bisa
sistol dan diastole. Gangguan tidur pada pasien hemodialisis juga disebabkan rasa
sakit yang mereka derita, pengobatan atau yang diterima atau obat-obatan. Pada
sisi lainnya, pasien hemodialisis juga mengalami gangguan seperti insomnia,
restless leg syndrome, pusing, kantuk pada siang hari, anxietas dan depresi yang
33
mengakibatkan kondisi menjadi sulit bagi penderita, sehingga kualitas hidup
pasin hemodialisis menuun (Nasution, 2017).
9. Faktor Ekonomi:
Faktor ekonomi merupakan variabel yang mempengaruhi kualitas hidup
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Berdasarkan penelitian
diperoleh bahwa pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis
rata – rata berpenghasilan cukup/ lebih, individu yang status sosial ekonominya
berkecukupan akan mampu menyediakan segala fasilitas yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, individu yang status sosial
ekonominya rendah akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan pemanfaatan
pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak mempunyai cukup uang
untuk membeli obat atau membayar tranportasi ke rumah sakit (Fadlilah, 2019).
10. Faktor Mekanisme Koping:
Mekanisme koping merupakan variabel yang mempengaruhi kualitas
hidup pasien gagal ginjal kronikyang mejalani hemodialisa. Semakin tinggi
penggunaan strategi Problem Focused Coping (PFC) maka kualitas hidup yang
dimiliki pasien gagal ginjal kronik yang mengalami hemodialisis semakin baik.
Semakin rendah penggunaan strategi koping Emotion Focused Coping (EFC) maka
kualitas hidup yang dimiliki pasien gagal ginjal kroik yang menjalani hemodialisis
semakin baik. Terdapat hubungan antara mekanisme koping dengan kualitas
hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis . Hal ini disebabkan
34
karena adanya keinginan yang tinggi untuk mencapai suatu tujuan yaitu agar
sembuh dari penyakitnya. Pasien yang memiliki strategi koping yang tinggi
cenderung patuh untuk melakukan hemodialisis dibandingkan dengan pasien
yang memiliki strategi koping rendah. Hal ini disebabkan karena strategi koping
merupakan salah satu faktor yang penting untuk meningkatkan kualitas hidup,
karena strategi koping itu berasal dari dalam diri pasien (Sagala & Pasaribu,
2018).
11. Faktor Dukungan Sosial:
Dukungan sosial merupakan faktor yang memengaruhi kualitas hidup
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Semakin besar dukungan
sosial yang diperoleh pasien gagal gijal kronik yang menjalani hemodialisis maka
kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis semakin
meningkat (Handayani & Rahmayati, 2013).
12. Faktor Psikologis:
Keadaan psikologis pasien dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien
GGK yang menjalani terapi hemodialisis. Beberapa keadaan psikologis yang
berpengaruh pada kualitas hidup pasien yaitu: 1. depresi, depresi merupakan
kondisi psikologis yang dapat menyebabkan rendahnya kualitas hidup pasien
GGK yang menjalani terapi hemodialisis, semakin tinggi depresi yang dirasakan
pasien maka kualitas hidup pasien akan semakin buruk. 2. Kecemasan,
kecemasan merupakan kondisi psikologis yang menyebabkan rendahnya kualitas
hidup pasien GGK yang menjalani terapi hemodialisis, semakin sering pasien
merasakan kecemasan maka kualitas hidup pasien akan semakin menurun. 3.
35
penerimaan penyakit, penerimaan penyakit merupakan kondisi psikologis yang
dapat meningkatkan kualitas hidup pasien GGK yang menjalani terapi
hemodialisis, semakin tinggi tingkat penerimaan penyakit pada pasien GGK yang
menjalani HD maka kualitas hidup pasien pun akan semakin meningkat
(Polanska et al., 2019).
2.3.4 Dampak Hemodialisis terhadap Kualitas Hidup
Pasien GGK mempunyai respon fisik dan psikologis terhadap tindakan terapi
hemodialisis, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti karakteristik individu,
pengalaman sebelumnya, motivasi dan mekanisme koping. Gagal ginjal kronik
menimbulkan berbagai macam gejala yang secara signifikan mempengaruhi kualitas
hidup. Salah satu masalah yang paling banyak dihadapi oleh pasien GGK adalah
kelelahan dan kelemahan, sakit kulit dan gatal – gatal, serta gangguan lain yang
mempengaruhi kualitas hidup dari pasien termasuk hipertensi atau hipotensi (dari
dehidrasi) dan aritmia disertai kecemasan. Gangguan kardiovaskular progresif dapat
menyebabkan gagal jantung dan gejala pemicu terkait, seperti penurunan toleransi
latihan, sesak napas, batuk dan edema. Masalah yang paling signifikan disebabkan oleh
disfungsi pencernaan termasuk mual dan muntah, yang menyebabkan hilangnya nafsu
makan. Masalah neurologis termasuk sering sakit kepala, mengantuk, atau insomnia,
gangguan memori dan gangguan konsentrasi. Anemia progresif dapat menyebabkan
kelelahan kronis dan sering kehilangan kesadaran. Semua gejala ini dapat menurunkan
kualitas hidup pasien, penerimaan mereka pada penyakit kronis dan proses pengobatan
yang digunakan. Pasien penyakit ginjal kronik atau tahap akhir memiliki kualitas
kesehatan yang buruk berhubungan dengan kehidupan umum. Kualitas hidup yang
36
buruk dapat dikaitkan dengan tingkat kelangsungan hidup yang lebih pendek (Polanska
et al., 2019).
2.3.5 Instrumen untuk Mengukur Kualitas Hidup
Instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup pasien GGK yang
menjalani hemodialisis pada penelitian ini adalah kuesioner Kidney Disease Quality Of
LifeShort Form (KDQOL – SF ) versi 1,3 yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. KDQOL – SF adalah instrumen yang dipakai untuk mengukur laporan
pribadi mengenai kualitas hidup pasien GGK yang menjalani hemodialisis. Hal – hal
yang dinilai pada KDQOL - SF meliputi : 1) target untuk penyakit ginjal: gejala /
permasalahan klinis yang dialami, efek dari penyakit ginjal, tingkat penderitaan oleh
karena sakit ginjal, status pekerjaan, fungsi kognitif, kualitas interaksi sosial, fungsi
seksual, kualitas tidur, dukungan sosial, kualitas pelayanan staf unit dialisis, kepuasan
pasien. 2) Item skala survey SF – 36: fungsi fisik, peran – fisik, persepsi rasa sakit,
persepsi kesehatan umum, emosi, peran – emosional, fungsi sosial, energi / kelelahan.
Skor KDQOL – SF – 36 berkisar dari 0 – 100 dengan skor yang lebih tinggi
menandakan kualitas hidup yang lebih baik (Jos, 2016).
top related