ANALISIS YURIDIS KEWAJIBAN ALIH TEKNOLOGI DALAM …
Post on 24-Oct-2021
4 Views
Preview:
Transcript
ANALISIS YURIDIS KEWAJIBAN ALIH TEKNOLOGI DALAM INVESTASI ASING
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Endah Sulastri
NIM: 1110048000016
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
i
ANALISIS YURIDIS KEWAJIBAN ALIH TEKNOLOGI DALAM
INVESTASI ASING DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Endah Sulastri
NIM: 1110048000016
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Alfitra, S.H.,M.Hum. H. M.Yasir, S.H.,M.H.
NIP: 197202032007011034 NIP: 194407091966041003
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435H/2014M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “ANALISIS YURIDIS KEWAJIBAN ALIH TEKNOLOGI
DALAM INVESTASI ASING DI INDONESIA” telah diajukan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Bisnis Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 Mei 2014 Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata
Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 7 Mei 2014
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. H. JM Muslimin, M.A.
NIP. 196808121999031014
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Dr. Djawahir Hejazziey, S.H. M.A. (...................................)
NIP. 195510151979031002
2. Sekretaris : Drs. Abu Thamrin, S.H. M.Hum. (...................................)
NIP. 196509081995031001
3. Pembimbing I : Dr. Alfitra, S.H. M.Hum. (...................................)
NIP. 197202032007011034
4. Pembimbing II : H.M. Yasir, S.H. M.H. (...................................)
NIP. 194407091966041003
5. Penguji I : Prof. Dr Abdullah Sulaiman, S.H, M.H. (...................................)
NIP. 195912311986091003
6. Penguji II : Feni Arifiani, S.Ag, M.H. (...................................)
NIP. 197608072002121009
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 22 April 2014
Endah Sulastri
iv
ABSTRAK
Endah Sulastri, NIM 1110048000016, “ANALISIS YURIDIS
KEWAJIBAN ALIH TEKNOLOGI DALAM INVESTASI ASING DI
INDONESIA”, Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
1435 H/2014 M. ix + 74 halaman+halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk
mengetahui pengaturan kewajiban alih teknologi dalam proses investasi asing di
Indonesia. Latar belakang penelitian ini adalah fungsi teknologi dalam upaya
kemandirian ekonomi nasional. Hukum investasi atau penanaman modal di Indonesia
sebagai legalitas alih teknologi melalui investasi asing tidak memberikan sebuah
kerangka kepastian sekaligus kemanfaatan bagi perkembangan teknologi nasional.
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research, yang mengkaji berbagai
dokumen yang terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan penulis adalah
metode penulisan yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang
(statute approach) dan pendekatan historis (historical approach). Selanjutnya ada
tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
regulasi terkait dengan alih teknologi dalam investasi asing di Indonesia belum
memiliki kerangka hukum yang jelas. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya
peraturan teknis dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal mengenai alih teknologi. Selain itu sifat dari alih teknologi sebagai sarana
mewujudkan kedaulatan teknologi nasional hanya bersifat opsional bukan sebuah
kewajiban yang mengikat bagi investor asing.
Kata Kunci : Alih Teknologi, Investasi Asing, Undang-Undang.
Pembimbing : Dr. Alfitra, S.H. M.Hum.
H.M. Yasir, S.H. M.H.
Daftar Pustaka : Tahun1989 s.d. Tahun 2013
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim...
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat,nikmat
serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ANALISIS
YURIDIS KEWAJIBAN ALIH TEKNOLOGI DALAM INVESTASI ASING DI
INDONESIA”. Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan alam
semesta Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman
kegelapan ke zaman yang terang benderang ini. Untuk dapat terselesainya penulisan
skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai
pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada:
1. Dr. H. JM Muslimin, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., selaku ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, SH., M.Hum., selaku sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Alfitra, S. H., M. Hum. dan H. M. Yasir, SH., MH., selaku Dosen
Pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan
skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian dan ketelitian memberikan
masukan serta meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada
penulis hingga skripsi ini selesai.
vi
4. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan staff Perpustakaan Universitas Indonesia yang telah memberikan
fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan
dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga Allah
SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan
ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua.
6. Kedua orang tua tercinta yaitu ayahanda Tarwo Puspoatmojo dan Ibunda
Warti, terima kasih atas nyala semangat yang tidak pernah padam serta do’a,
motivasi, kasih sayang, perhatian, dan bantuan (moril, materiil, dan spiritual)
yang telah diberikan dengan tulus, sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri. Begitu juga untuk kakak-
kakak tercinta, Bibit Lestari dan Yuni Ati, terima kasih atas support dan
semua proses pendewasaan yang kalian ajarkan.
7. Sahabat-sahabatku tercinta di kampus especially Cantika Nurdiani dan
Kendri Wahyuningsih, terima kasih untuk kebersamaannya dalam suka dan
duka, terima kasih setiap perjuangan, kesabaran, dan pengorbanan yang kita
lewati bersama, kalian sahabat hebatku.
vii
8. Senior-senior hebat yang telah banyak memberi nasihat, motivasi, dan
semangat di saat-saat sulit thank’s a lot for Kak Riri, Kak Arief, Kak hilda,
dan Kak Fuji.
9. Nodera dan Zara, adik-adik hebat yang mengajarkan saya tentang arti
kebersamaan, kekeluargaan, dan semangat juang. Terima kasih atas kado
manis di masa-masa akhir di kampus.
10. Teman-teman ilmu hukum angkatan 2010 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
baik kelas hukum bisnis maupun kelas hukum kelembagaan negara.
11. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata Merdika 2013.
12. Keluarga besarku Mootcourt Community Fakultas Syariah dan Hukum
periode 2013-2014 terima kasih atas kekompakan, konsistensi dan
kebersamaannya untuk saling berbagi. Jaga keluarga besar ini tetap kokoh ya.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca. Sekian terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 22 April 2014
Endah Sulastri
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI. .................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................... v
DAFTAR ISI ............................................................................................................... viii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................................... 6
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................................... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................................... 7
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................................................. 8
F. Metode Penelitian .............................................................................................. 9
G. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 12
BAB II : INVESTASI ASING DI INDONESIA
A. Latar Belakang Adanya Investasi Asing di Indonesia ....................................... 15
B. Pengertian dan Asas-Asas dalam Investasi ........................................................ 20
C. Tujuan dan Fungsi Investasi .............................................................................. 25
D. Kebijakan-Kebijakan dalam Investasi Asing di Indonesia ................................ 26
BAB III: KONSEP ALIH TEKNOLOGI
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Alih Teknologi ................................................ 31
B. Mekanisme Alih Teknologi ............................................................................... 38
C. Pengaturan Terkait Alih Teknologi.................................................................... 43
ix
BAB IV: INVESTASI ASING SEBAGAI SARANA MEWUJUDKAN
KEMANDIRIAN TEKNOLOGI NASIONAL
A. Pengaturan Alih Teknologi dalam Hukum Investasi di Indonesia .................... 49
B. Analisis Alih Teknologi dalam Kerangka Hukum Nasional dan Hukum
Internasional ....................................................................................................... 57
C. Peluang dan Hambatan Pelaksanaan Alih Teknologi dalam Investasi Asing di
Indonesia ............................................................................................................ 65
D. Hukum sebagai Pendorong Alih Teknologi ....................................................... 68
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 72
B. Saran .................................................................................................................. 73
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 75
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Lampiran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal
2. Lampiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dunia saat ini tengah berada pada era global, yang menyebabkan
semua kawasan di seluruh dunia saling terkait dan terintegrasi. Globalisasi
tersebut terjadi di berbagai aspek salah satunya pada aspek ekonomi. Proses
globalisasi ekonomi adalah perubahan perekonomian dunia yang bersifat
mendasar, dan proses ini akan berlangsung terus dengan laju yang semakin
cepat mengikuti perubahan teknologi yang juga semakin cepat.1
Sebagai negara dengan prinsip ekonomi terbuka, Indonesia tidak dapat
menghindar dari era perdagangan bebas2 yang merupakan bagian dari
penerapan globalisasi. Pada era global ini hampir tidak dapat dilihat adanya
batas-batas negara dan besarnya bumi. Hal ini disebabkan lalu lintas modal,
perdagangan, dan informasi teknologi berjalan dengan sangat cepat. Era
globalisasi ini sangat erat kaitannya dengan era liberalisasi perdagangan.
Pada dasarnya negara maju adalah pihak yang paling diuntungkan
dalam era liberalisasi perdagangan seperti saat ini, sebab negara maju
memiliki keunggulan dalam berbagai hal yang tidak dimiliki oleh negara
1 Tulus TH. Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional, (Bogor; Ghalia
Indonesia 2004), h. 1. 2 “Dalam era perdagangan bebas, hakikat persaingan menjadi lebih luas sehingga meliputi
persaingan di antara negara-negara industri maju, persaingan antara negara-negara industri maju
dengan negara-negara berkembang dan persaingan di antara negara-negara berkembang” dikutip dari
Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri Di Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas,
(Jakarta; Grasindo, 2004), h. 2.
2
berkembang seperti kestabilan perekonomian, teknologi tinggi, industri yang
produktif, dan lain sebagainya. Sangat jelas, bahwa negara berkembang
adalah pihak yang lemah dalam liberalisasi perdagangan ini. Negara maju
umumnya memiliki kepiawaian dalam menerapkan cara-cara sehingga negara
berkembang terikat dengan sistem perdagangan bebas. Cara yang sering
digunakan adalah permintaan banyak insentif antara lain seperti permintaan
pengurangan tarif impor bea masuk atas produk dan jasa dari negara maju di
negara berkembang.3
Investasi di era globalisasi ini semakin giat dilakukan oleh negara-
negara maju. Beberapa pertimbangan adalah berkaitan dengan ketersediaan
bahan baku, tenaga kerja yang murah serta dalam rangka ekspansi pasar.
Keberadaan investasi asing bagi negara berkembang terbagi atas 2 teori yang
memandangnya, yakni dari sudut pandang teori klasik (classic theory)4,
keberadaan investasi ini memberikan manfaat bagi negara-negara berkembang
karena melalui investasi ini negara-negara tersebut dapat melakukan
pembangunan infrastruktur, mengurangi angka pengangguran dengan
menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, dan yang paling pokok di sini
ialah adanya alih atau transfer teknologi dari tenaga expert yang bekerja di
Indonesia kepada tenaga kerja nasional.
3 http://www.bphn.go.id/data/documents/pkj_2012_-_8.pdf, diakses pada tanggal 17 Oktober
2013. 4 Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing, (Jakarta; Kuwais, 2012), h. 65.
3
Berbeda dengan pemikiran teori klasik (classic theory, teori
ketergantungan (dependency theory) memandang bahwa keberadaan investasi
hanya membawa sifat konsumtif dan ketergantungan saja bagi negara-negara
berkembang. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan apa yang menjadi
cita-cita luhur para founding fathers kita yang menginginkan adanya
kedaulatan serta kemandirian di semua aspek kehidupan nasional termasuk di
sini adalah dalam aspek perekonomian.
Keberadaan investasi asing memiliki karakteristik dan kelebihan
berupa:5
a. Sifatnya permanen atau jangka panjang;
b. Memberi andil alih teknologi;
c. Memberi andil dalam alih keterampilan;
d. Membuka lapangaan kerja baru.
Keberadaan investasi asing di Indonesia mendapatkan legalitas secara
konstitusional dalam pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945:
“perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional”. Salah satu asas yang menjadi dasar pelaksanaan
5Salim H.S. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi, (Jakarta; Rajagrafindo Persada, 2008), h. 38.
4
investasi asing di Indonesia adalah asas kemandirian.6 Asas kemandirian ini
dapat tercipta ketika melalui investasi asing ini kita mendapat transfer
teknologi dari negara-negara maju yang nantinya dapat kita terapkan dan
dikembangkan untuk mengembangkan potensi ekonomi nasional.
Kewajiban alih teknologi merupakan bagian dari asas dan tujuan
dalam investasi yang tertuang dalam pasal 3 Undang-Undang No 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal. Namun secara das sein tujuan investasi
asing yang berkaitan dengan adanya alih teknologi belum nampak secara riil
dalam perkembangan kemampuan sumber daya manusia nasional. Dalam
aturan yang terpisah alih teknologi ini juga diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang
Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi.7
Berbicara dalam konteks teknologi maka hal tersebut sangat berkaitan
dengan hak kekayaan intelektual. Ikut sertanya Indonesia sebagai anggota
World Trade Organization (WTO) dan turut serta dalam menandatangani
Perjanjian Multilateral General Agreement on Tariff and Trade (GATT)
6 Asas kemandirian ini dalam penjelasan pasal 3 UU No. 25 Tahun 2007 dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan asas kemandirian adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap
mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing
demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.
7Sabartua Tampubolon, Politik Hukum Iptek di Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta; Kepel
Press, 2013), h. 258.
5
putaran Uruguay8 serta meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan
Dunia, mengakibatkan Indonesia harus membentuk peraturan nasional yang
sesuai dengan ketentuan-ketentuan tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
dalam GATT.
Teknologi merupakan pengembangan ilmu pengetahuan. Negara maju
melakukan investasi di negara berkembang memiliki tujuan untuk melakukan
ekspansi pasar, sedangkan bagi negara berkembang adalah mengharapkan
adanya transfer teknologi. Di sini terdapat benturan kepentingan antara host
country dengan investor asing. Di Indonesia sendiri berkaitan dengan alih
teknologi dalam Undang-Undang Penanaman Modal tidak tercantum secara
rinci pengaturannya. Hal ini yang kemudian secara hukum transfer teknologi
tidak berjalan di lapangan.
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada tersebut maka penulis
merasa perlu melakukan penelitian lebih jauh mengenai alih teknologi dan
selanjutnya dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul:
8Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri Di Indonesia dalam Era Perdagangan
Bebas, (Jakarta; Grasindo, 2004), h. 1.
6
“ANALISIS YURIDIS KEWAJIBAN ALIH TEKNOLOGI DALAM
INVESTASI ASING DI INDONESIA”
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Pemanfaatan Investasi asing sebagai mekanisme alih teknologi di
Indonesia belum maksimal.
2. Kwalitas Sumber Daya manusia Indonesia masih rendah dalam hal
penguasaan teknologi.
3. Peraturan teknis dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 terkait alih
teknologi belum ada.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan investasi atau penanaman modal, maka di
sini penelitian akan difokuskan pada investasi asing di bidang
pengembangan teknologi dilihat dari sudut pandang Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang
telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana konsep alih teknologi dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal?
7
b. Bagaimana urgensi pengaturan alih teknologi dalam investasi asing di
Indonesia?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tentang
Pengaturan kewajiban alih teknologi dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sedangkan secara khusus
penelitian ini bertujuan:
a. Untuk mengetahui konsep alih teknologi dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;
b. Untuk mengetahui urgensi pengaturan alih teknologi dalam kerangka
hukum investasi asing di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan dibidang hukum penanaman modal asing khususnya berkaitan
dengan alih teknologi.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
sebagai berikut:
8
1) Memberi saran bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan-
kebijakan yang mendukung berjalannya alih teknologi dalam
hukum investasi di Indonesia;
2) Memberi saran berkaitan dengan perkembangan teknologi
nasional melalui peningkatan mutu sumber daya manusia
melalui alih teknologi;
3) Mengembangkan teknologi nasional.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Pernah ada skripsi yang membahas mengenai alih teknologi dalam
hukum investasi di Indonesia di antaranya ialah:
1. Judul; “Analisis Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal Kaitannya dengan Kontrak Alih teknologi
Dalam Rangka Pengembangan Industri” yang disusun oleh Wiwi
Dwi Astuti, Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret
Tahun 2009, yang membahas mengenai kontrak dalam alih
teknologi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 dalam
bidang industri. Skripsi ini membahas mengenai potensi masalah
alih teknologi dalam hukum investasi dari berbagai aspek seperti
ekonomi, sosial, hukum, dan budaya, termasuk potensi masalah
yang ditimbulkan oleh munculnya Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Yang membedakan skripsi
ini dengan penelitian yang akan diangkat oleh penulis adalah
9
mengenai fokus masalah di mana dalam penelitian ini akan lebih
ditekankan pada alih teknologi dalam kerangka investasi asing dan
ditinjau dari aspek yuridis perangkat hukum alih teknologi di
Indonesia dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.
2. Judul “Politik Hukum Iptek di Indonesia”, yang merupakan
disertasi disusun oleh Sabartua Tampubolon, S. H. M.H. Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Penilitian ini membahas
mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2002 tentang Sistem
Nasional Penelitian Pengembangan, dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi yang dikaitkan aspek politik yang
berpengaruh dalam pelaksanaan alih teknologi di Indonesia. Yang
membedakan dengan penelitian yang akan diangkat oleh penulis
adalah cakupan pembahasan skripsi ini akan lebih fokus mengenai
tinjauan yuridis bagi pelaksanaan alih teknologi dalam Undang-
Undang Nomor 25 tahun 2007 dan Undang-Undang terkait yang
relevan dalam pelaksanaan alih teknologi.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;
10
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.9
Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu,
dengan jalan menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala
yang bersangkutan. Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah library research dengan metode penelitian yuridis
normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum
yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan peraturan
internasional yang terkait dengan alih teknologi.
2. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan penelitian dalam skripsi ini merupakan
penilitian normatif maka penulis menggunakan pendekatan undang-
undang (statute approach) dan pendekatan historis (historical approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan
yang berkaitan dengan alih teknologi dan investasi asing di Indonesia.
Pendekatan historis dilakukan untuk mengetahui sejarah investasi asing di
Indonesia dari berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1986), h. 42.
11
Penanaman Modal Asing hingga kini diatur dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
3. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi
perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.10
Dalam penelitian ini
yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah Undang- Undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2002 tentang Sistem Nasional Penelitian Pengembangan, dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang
Paten.
b. Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-
komentar atas putusan pengadilan.11
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang dipandang perlu12
seperti buku-buku investasi .
4. Analisis Data
10
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. cet.VI (Jakarta : kencana, 2010), h. 141. 11
Ibid 12
Ibid. Hal 143
12
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian
rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk
menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum
dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan
yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.13
Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan
hukum dengan melakukan analisis secara kritis dan mendalam mengenai
konsep alih teknologi dalam hukum investasi serta melakukan studi
komparatif terhadap penerapan kebijakan serupa di negara yan lain.
5. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012”
dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri
atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun
perinciannya sebagai berikut:
13 Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet-II, (Malang :
Bayumedia Publishing. 2006), h. 393.
13
BAB I: Pendahuluan, memuat: Latar Belakang Masalah, dilanjutkan
dengan Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Rumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review)
Kajian Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
BAB II: Tinjauan pustaka mengenai investasi asing di Indonesia. Pada
bab ini penulis akan menguraikan mengenai sejarah investasi
asing di Indoneisa, asas-asas investasi, kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam investasi asing serta tujuan serta manfaat
adanya investasi asing di Indonesia.
BAB III: Tinjauan umum mengenai konsep alih teknologi. Dalam bab
ini penulis akan membahas mengenai pengertian teknologi,
perlindungan hak kekayaan intelektual atas teknologi, cara-cara
alih teknologi.
BAB IV: Tinjauan yuridis pelaksanaan alih teknologi dalam hukum
investasi asing di Indonesia. Dalam bab ini penulis akan
membahas mengenai konsep teknologi dalam kerangka
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Undang-Undang No 8
Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, dan Undang-Undang yang berkaitan dengan
perlindungan hak paten, pengaturan alih teknologi dalam
14
kerangka peraturan perundang-undangan Indonesia dan
peraturan Internasional terkait, serta mengemukakan mengenai
hambatan-hambatan eksekusi alih teknologi dalam investasi
asing di Indonesia.
BAB V: Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran. Bab ini
merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu
penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian,
disamping itu penulis menengahkan beberapa saran yang
dianggap perlu.
15
BAB II
INVESTASI ASING DI INDONESIA
A. Latar Belakang Adanya Investasi Di Indonesia
Tujuan dan arah pembangunan nasional sebagaimana ditetapkan
dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) yakni, berusaha
mewujudkan masyarakat adil dan makmur, di mana masyarakat yang adil dan
makmur itu akan diwujudkan melalui pembangunan di berbagai bidang, salah
satunya adalah bidang ekonomi.
Pembangunan di bidang ekonomi identik dengan pembangunan
sektor-sektor ekonomi yang terdapat di negara kita ini, seperti; sektor
pertanian, kehutanan, perikanan, peternakan, pertambangan, industri,
perdagangan, jasa-jasa, dan lain-lain.1
Pelaksanaan pembangunan seperti diketahui membutuhkan modal
dalam jumlah yang besar dan harus tersedia pada waktu yang tepat. Modal ini
dapat disediakan oleh pemerintah, masyarakat, atau pihak swasta nasional.
Dalam keadaan yang ideal modal tersebut dapat dipenuhi dengan kemampuan
modal dalam negeri sendiri. Namun dalam kenyataannya tidaklah demikian,
sebab pada umumnya negara-negara berkembang mengalami hambatan
dalam hal ketersediaan modal dalam negeri.2
1 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Cet-III, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007), h. 1. 2 Ibid, h. 2.
16
Demikian pula yang terjadi di Indonesia setelah mengalami masa-
masa kolonialisasi yang cukup panjang, pada awal kemerdekaan negeri ini
mencoba untuk memulai melaksanakan pembangunan di semua sektor.
Namun kenyataan lain menunjukkan bahwa tingkat ketersediaan modal dalam
negeri sangat tidak mencukupi untuk dapat melaksanakan pembangunan
nasional.
Pasca proklamasi, kebijakan penanaman modal asing (PMA) di
Indonesia mengalami pasang surut mengikuti perkembangan politik dan
ekonomi. PMA pertama kali diatur dengan Undang-Undang Nomor 78 Tahun
1958 tentang Penanaman Modal yang kemudian diubah dengan UU Nomor 15
Prp. Tahun 1960 dan kemudian dicabut dengan UU Nomor 16 Tahun 1965.3
Pasang-surut iklim PMA di Indonesias tak lepas dari pengaruh
perekonomian pada masa Orde Lama yang memburuk karena keadaan politik
dalam negeri yang mengalami kekacauan, puncaknya dengan adanya Gerakan
30 S/PKI pada tahun 1965, yang menjadi momentum beralihnya pemerintahan
rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru.4 Berkat kemampuan rezim Orde Baru
dalam meyakinkan negara-negara donor, Indonesia memperoleh pinjaman
luar negeri serta berimbas pada meningkatnya kepercayaan negara-negara
3 Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing. Cet-I, (Jakarta: Kuwais, 2012), h. 52.
4Pada tahun 1965 berlaku Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1965 tentang Pencabutan
Undang-Undang No. 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Sebagaimana Telah Diubah Dan
Ditambah Dengan Undang-Undang No. 15 Prp. Tahun 1960. Alasan pencabutan Undang-Undang ini
adalah untuk melaksanakan prinsip berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi dan prinsip Dekon
(Deklarasi Ekonomi). Ibid. h. 56.
17
maju yang tergabung baik dalam Intergovernmental Group on Indonesia
(IGGI) maupun World Bank.
Persoalan baru mulai timbul manakala perekonomian dunia
mengalami resesi5. Dalam proses tersebut kebanyakan negara-negara maju
menjadi lebih tertutup, sehingga menimbulkan kesulitan bagi negara-negara
berkembang yang mendapat bantuan aliran dana dari luar negeri. Keadaan
tersebut memaksa negara-negara berkembang tak terkecuali Indonesia untuk
mencari alternatif lain selain dalam bentuk pinjaman luar negeri yakni dengan
menggalakkan penanaman modal khususnya penanaman modal asing (foreign
direct investment).
Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain khususnya negara-
negara maju dapat dikatakan memiliki sejarah investasi yang belum berapa
lama. Sedangkan dalam kerangka universal munculnya penanaman modal
asing pertama kali diawali dengan meletusnya revolusi industri di Eropa
pada tahun 1760 khususnya di Inggris, dan kemudian menjalar ke Amerika
pada tahun 1860.6
Di Indonesia sendiri sejarah investasi asing tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh kolonialisme Belanda atas tanah Nusantara, yang kemudian disebut
5Seperti krisis yang bersumber pada pasar surat utang subprime mortgage di AS pada 2007-
2008 yang menghantui terjadinya resesi ekonomi global. Begitu pula yang terjadi di negara-negara
Asia, termasuk Indonesia, yang memiliki relevansi dalam konteks krisis tahun 1997-1998 lalu. Krisis
finansial yang terjadi bahkan merembet menjadi krisis ekonomi, krisis politik, bahkan krisis sosial
budaya. Lihat Prasetyantoko, Bencana Finansial, (Jakarta:Kompas, 2008), h. 21. 6 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Cet-III, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007), h. 4.
18
sebagai Hindia Belanda. Pada awalnya Belanda hanyalah salah satu dari
pedagang-pedagang yang berniaga di nusantara, termasuk Cina, Gujarat,
Portugis, Arab, dan lain-lain. Tindak lanjut monopoli perdagangan Bangsa
Belanda dilakukan dengan mendirikan perusahaan dagang Hindia Timur
(Verenigde Oost Indie Compagnie) yang tujuannya memperluas
kekuasaannya di atas para penguasa lokal melalui penaklukan secara militer,
persekutuan politik, dan pengaturan keuangan, pemaksaan terhadap para
penguasa lokal untuk menyerahkan hasil produksi, monopoli perdagangan
dalam negeri dan hak atas tanah, tenaga kerja, serta hasil produksi.7
Investasi asing berdasarkan sumber lain memiliki tahapan periodesasi
dalam perkembangannya. Periodesasi perkembangan investasi ini terbagi atas
3 gelombang, yaitu periode kolonialisme kuno, periode imperialisme baru,
dan periode yahin 1960-an.8 Ketiga periode tersebut diuraikan sebagai
berikut:
1. Periode Kolonialisme Kuno
Periode ini dimulai pada abad ke-17 dan abad ke-18. Periode ini
ditandai dengan pendirian perusahaan-perusahaan oleh Spanyol, Belanda,
dan Inggris yang mendirikan tambang-tambang dan perkebunan di
beberapa negara jajahan di Asia dengan cara merampas dan
7 Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing. Cet-I, (Jakarta: Kuwais, 2012), h. 50.
8Erman Rajagukguk dkk, Hukum Investasi (Bahan Kuliah), (Jakarta: UI Press, 1995), h. 1.
19
mengeksploitasi baik Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya
Manusianya.9
2. Periode Imperialisme Baru
Periode imperialisme baru dimulai pada abad ke-19. Negara-
negara di Afrika, Asia Tenggara, dan beberapa negara lainnya berada di
bawah bayang-bayang penjajah. Investasi negara-negara penjajah di
beberapa fasilitas perkebunan, jalan-jalan, dan pusat-pusat kota pada
waktu itu telah menciptkan suatu infrastruktur yang penting bagi negara-
negara jajahan tersebut.
3. Periode Investasi Tahun 1960-an
Periode investasi tahun 1960-an dimulai ketika negara-negara
sedang berkembang memperkenalkan strategi substitusi impor sebagai
cara yang dianggap sebagai cara tercepat untuk menuju industrialisasi.
Melalui penerapan hambatan perdagangan (trade barrier), memaksa
negara-negara maju seperti Amerika serikat dan negara-negara maju lain
untuk membentuk cabang perusahaan manufaktur di negara-negara
berkembang tersebut. Selain cabang perusahaan, negara-negara maju itu
juga melakukan pembentukan industri baru yang memproduksi
komponen-komponen dalam rangka pemenuhan ekspor ke negara-negara
maju.
9Salim dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h.
33.
20
Arus investasi asing di negara-negara berkembang sekarang kian
meningkat. Peningkatan arus investasi asing ini juga dipengaruhi dengan
adanya kesepakatan Agreement on Trade Investment Measures (TRIMS)
dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) putaran Uruguay
(1994). Faktor utama derasnya arus investasi paska kesepakatan ini ialah
adanya perlakuan yang sama bagi modal dalam negeri maupun modal
asing, sehingga seakan tidak ada hambatan lagi bagi PMA untuk ikut
dalam direct investment di negara negara berkembang. Meskipun
sebenarnya tetap saja ada pembatasan bagi sektor-sektor yang tertutup
bagi PMA.10
B. Pengertian dan Asas-Asas dalam Investasi
1. Pengertian Investasi
Keberadaan investasi di negara-negara berkembang tumbuh pesat,
salah satu faktor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah karena adanya
ekspansi pasar yang dilakukan oleh negara-negara maju. Konsep investasi
sendiri memiliki pengertian yang luas. Kata investasi di Indonesia lebih
dikenal dengan istilah penanaman modal. Hal ini lebih mempermudah
pemahaman karena dalam konteks investasi kita mengenal istilah direct
10
Dalam Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan
Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanam Modal, telah ditentukan 4
klasifikasi bidang usaha, meliputi: (1) daftar bidang usaha yang tertutup mutlak untuk penanaman
modal; (2) daftar bidang usaha yang tertututp untuk penanaman yang dalam modal perusahaan ada
pemilikan warga negara asing dan atau badan hukum asing; (3) daftar bidang usaha yang terbuka
dengan persyaratan patungan antara modal asing dan modal dalam negeri; (4) daftar bidang usaha yang
terbuka dengan persyaratan tertentu.
21
investment yakni penanaman modal itu sendiri dan indirect investment
yakni investasi dalam bentuk surat-surat berharga (negotiable
instrument)11
yang diperjualbelikan di pasar modal. Dalam konteks karya
tulis ini, investasi yang dimaksud adalah direct investment atau
penanaman modal.
Pengertian investasi yang diberikan oleh Organization for
Economic Co-operation and Development (OECD) yaitu : ”direct
investment, is mean acquisition of sufficient interest in an undertaking to
insure its controle by the investor”.12
Dalam kerangka hukum nasional,
pengertian investasi atau penanaman modal dalam pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah
“Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik
oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia”.
Pengertian investasi yang diberikan di atas merupakan bentuk
pengertian investasi secara umum baik investasi dalam negeri maupun
investasi asing. Pengertian investasi asing secara khusus dapat dilihat
11
Surat berharga adalah surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagaipelaksanaan
pemenuhan suatu prestasi, yang berupa pembayaran sejumlah uang. Lihat Abdulkadir Muhammad,
Hukum Dagang tentang Surat-Surat Berharga, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), h. 5.
12
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Cet-III, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007), h. 44.
22
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal yang menyebutkan bahwa:13
“Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan
oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing
sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam
negeri”.
Pengertian lain dapat dilihat dalam pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing:
“Pengertian penanaman modal asing di dalam Undang-Undang ini
hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang
dilakukan menurut atas berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang
ini dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia,
dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari
penanaman modal tersebut”14
.
Di samping istilah penanaman modal asing, kita juga
menggunakan istilah modal asing dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1967 dan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 25 tahun
2007. Ketika kita menganalisis perbedaan definisi modal asing dari kedua
Undang-Undang tersebut maka perbedaan antara keduanya adalah:15
a. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
Definisi dari pasal ini sangat luas karena modal asing tidak hanya
dalam bentuk uang, tetap juga dalam bentuk alat-alat perusahaan
13
Pasal 1 ayat 3 dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal 14
Dikutip dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. 15
Salim, H. S. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo
Perrsada, 2008), h. 152.
23
dan penemuan baru milik orang asing dan bahan-bahan, yang
dimasukkan dari luar ke dalam wilayah Indonesia, selama tidak
dibiayai dengan kekayaan devisa Indonesia.
b. Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
Definisi modal dalam Undang-Undang ini adalah aset dalam
bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki
penanaman modal yang mempunyai nilai ekonomis.16
Konstruksi
modal asing dalam ketentuan ini difokuskan kepada kepemilikan
modal. Kepemilikan modal asing ini dikategorikan menjadi lima
macam, yaitu:
1) Negara asing;
2) Perseorangan warga negara asing;
3) Badan usaha asing;
4) Badan hukum asing, dan/atau;
5) Badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya
dimiliki oleh pihak asing.
Sedangkan pengertian penanaman modal asing menurut pakar
diberikan oleh Prof. M. Sornarajah yang memberikan definisi penanaman
modal asing sebagai berikut: “transfer of tangible or intangible assets
from one country to another for the purpose of use in the country to
16
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
24
generate wealth under the total or partial control of the owner of the
assets”.17
2. Asas-Asas Investasi
Dalam investasi asing di Indonesia terdapat asas asas yang menjadi
dasar penyelenggaraannya. Asas-asas ini menjadi hal yang penting karena
asas merupakan dasar dari sebuah hukum. Dalam bahasa Belanda asas
dikenal dengan istilah Rechtbeginselen, yang berarti asas umum hukum
yang diakui oleh bangsa beradab dan dilakukan oleh pengadilan
internasional sebagai kaidah hukum.18
Asas-asas hukum investasi ini yang menjadi acuan dalam
melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan
investasi di Indonesia. Asas dalam hukum investasi meliputi; kepastian,
keterbukaan, akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak membedakan
asal negara, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.19
17
Salim, H. S. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo
Perrsada, 2008), h. 149. 18
Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2006), h. 43.
19Asas dan tujuan investasi di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 3 Undang-Undang No.25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
25
C. Tujuan dan Fungsi Investasi
Keberadaan investasi khususnya investasi asing seperti yang
disebutkan di awal adalah menutupi modal pembangunan yang tidak dapat
disediakan oleh modal dalam negeri baik oleh pemerintah, masyarakat
maupun swasta nasional. Jika dilihat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal maka uraian tujuan adanya investasi sendiri
adalah:
1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
2. Menciptakan lapangan kerja;
3. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
4. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
5. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;
6. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;
7. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil
dengan menggunakan dana yang berasal, dari dalam negeri
maupun luar negeri; dan
8. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing keberadaan modal asing ini ditujukan untuk mengubah potensi
ekonomi, yakni sumber daya alam dan sumber daya manusia, menjadi
kekuatan ekonomi riil. Tujuan akhirnya adalah untuk menciptakan masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Tujuan investasi asing ini tidak
tercantum dalam pasal melainkan dalam konsideran.20
Selama ini dalam banyak kasus, kita belum melihat kegigihan
pemerintah memperjuangkan kepentingan domestik. Negara cenderung
20
Lihat konsideran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
26
menyerahkan semua pada pasar dan membuka pasar tanpa melihat kesiapan di
dalam negeri. Akibatnya kita hanya menjadi pasar. Bahkan investasi asing
yang masuk lebih banyak terkonsentrasi pada kegiatan produksi untuk
memenuhi kebutuhan pasar domestik yang sangat besar atau eksploitasi
sumber daya alam, bukan pada produksi barang manufaktur untuk ekspor.21
Keberadaan investasi asing ini bisa menjadi sebuah momentum yang
berfungsi sebagai sarana peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia
Nasional untuk kemudian dapat diterapkan pada pada sektor riil yang untuk
mengolah semua potensi dan Sumber Daya Alam yang di miliki oleh
Indonesia.
D. Kebijakan-Kebijakan dalam Investasi Asing di Indonesia
Permasalahan-permasalahan nasional pada suatu negara pada era
global ini tidak hanya berdampak pada kehidupan negara tersebut tetapi juga
pada negara-negara yang memiliki hubungan perbatasan maupun kepentingan
bilateral bahkan secara global.22
Hal ini senada dengan pernyataan Erman
Rajagukguk yang menyebutkan bahwa terdapat 3 syarat masuknya modal
asing ke suatu negara yakni economic opportunity, political stability, dan
legal certainty.23
Sehingga bisa dikatakan bahwa ketiga faktor ini pula yang
21
Sri Hartati Samhadi, “Indonesia dan Tantangan Global”, dalam Rindu Pancasila, (Jakarta:
Kompas, 2010), h. 170. 22
Jamin Ginting. “Ketentuan Hukum Global yang Berdampak Nasional: Bagaimana
Menghadapinya?” Law Review. Vol. XII. No. 2. (November 2012): h. 271-290. 23
Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing. Cet-I, (Jakarta: Kuwais, 2012), h. 78.
27
kemudian menentukan kepercayaan asing dalam menanamkan modalnya di
Indonesia.
Hal-hal yang terjadi dalam suatu negara saat ini memiliki efek domino
bagi negara lain. Istilah-Istilah yang dilontarkan oleh para futurist seperti
Josua Meirowithz, Keinichi Ohmahe, John Naisbitt, dan bahkan Alfin Toffler
tidak cukup membuat orang tersadar bahwa dunia telah mengglobal (the
world was to be global). Keinichi Ohmahe menyebutkan bahwa dunia
menjadi the global village, sedangkan John Naisbitt menyebutnya the real
economy of an interlinked world yang menjadi single economy dalam global
economy one market place24
telah menjadi kenyataan pada saat ini.
Ekonomi global ini yang pada akhirnya memaksa negara-negara untuk
membuat kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan pasar global. Pembuatan
kebijakan yang sesuai dengan pasar ini juga bertujuan untuk menarik investor
asing datang dan mau menanamkan modalnya.
Pelaksanaan kebijakan dan pelayanan investasi baik asing maupun
dalam negeri di Indonesia dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM), yang dipimpin oleh seorang kepala dan bertanggung jawab
langsung kepada Presiden. Dalam penyelenggaraan koordinasi pelaksanaan
kebijakan dan pelayanan penanaman modal pemerintah melakukan koordinasi
antar instansi pemerintah, antar instansi pemerintah dengan Bank Indonesia
24
Artikel Utama, “Dampak Globalisasi Terhadap Hukum, Bisnis, dan Sosial Budaya.” Jurnal
Keadilan. Vol. 1. No. 4 (2001): h. 1.
28
antar instansi pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antar
pemerintah daerah.
Kebijakan-kebijakan dalam investasi di Indonesia diantaranya
berkaitan dengan pemberian insentif atau fasilitas bagi investasi yang
melakukan penanaman modal baru atau melakukan perluasan usaha.
Penanaman modal yang mendapatkan insentif ini sekurang-kurangnya
memenuhi salah satu kriteria berikut ini:25
1. Menyerap banyak tenaga kerja;
2. Termasuk skala prioritas tinggi;
3. Termasuk pembangunan infrastruktur;
4. Melakukan alih teknologi;
5. Melakukan industri pionir;
6. Berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah pebatasan,
atau daerah lain yang dianggap perlu;
7. Menjaga kelestarian lingkungan hidup;
8. Melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
9. Bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; atau
10. Industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau
peralatan yang diproduksi di dalam negeri.
Kebijakan dasar dalam penanaman modal ini termaktub dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 ada 3 hal yang dilakukan oleh
Pemerintah meliputi:
1. Memberikan perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan
penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional;
2. Menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha
bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan
berakhirnya kegiatan penanam modal sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan; dan
3. Membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan
perlindungann kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
25
Frida Sugondo, dkk. Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal,( Jakarta: NLRP, 2010), h. 227.
29
Segala kebijakan yang dikeluarkan oleh BKPM ini tidak semata-mata
hanya menarik penanam modal asing untuk menanamkan modalnya di
Indonesia, jauh dari hal ini terdapat tujuan lain yang ingin dicapai yakni
tentang bagaimana melindungi kepentingan nasional demi terwujudnya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keberadaan kebijakan-
kebijakan ini membatasi tindakan-tindakan investor untuk tidak hanya
berorientasi pada profit semata, hal ini senada dengan dengan larangan dalam
firman Alla dalam Q. S (26) Asy Syu’araa’ ayat 183 berikut:
Artinya:
“dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah
kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan” (QS. Asy
Syu’araa’: 183).
30
BAB III
KONSEP ALIH TEKNOLOGI
Indonesia adalah negara ironi, kalimat tersebut memulai sebuah essai yang
ditulis oleh Doty Damayanti dalam essainya yang berjudul “Negara Bersumber Daya
yang Tidak Berdaya”. Hal ini senada dengan pernyataan Jonathan Pincus, peneliti
dari Harvard Kennedy School, menyebut Indonesia gagal memanfaatkan peluang
yang terbuka dari era globalisasi. Hal ini ditandai dengan ekspor Indonesia yang
masih didominasi sumber daya alam dalam bentuk mentah1, Indonesia tidak masuk
dalam produksi global, dan investasi asing hanya berkonsentrasi pada sektor
eksploitasi sumber daya alam.2
Di satu sisi Indonesia merupakan negara yang beruntung dengan Sumber
Daya Alam (SDA) yang lengkap, mulai dari minyak bumi, batu bara, gas, hingga
mineral lainnya. Seluruh potensi energi itu tidak hanya bisa mengumpulkan devisa,
melainkan juga menghasilkan efek bergulir yang menggerakkan ekonomi nasional.
Poin permasalahan di sini adalah semua SDA tersebut merupakan SDA yang
tidak terbarukan, eksploitasi secara terus-menerus maka akan mengurangi
ketersediaanya di alam bahkan menghabiskannya. Bertolak dari SDA yang tidak
terbarukan tersebut seharusnya Indonesia tidak hanya mempertahankan orientasi
pada sektor primer saja melainkan harus mulai merubah paradigma untuk juga
1Mengenai ekspor larangan barang mentah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No. 1 Tahun 2014 Perubahan kedua atas PP No. 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara atau biasa yang dikenal dengan Larangan Ekspor Mineral Mentah. 2Doty Damayanti, Negara Bersumber Daya yang Tidak Berdaya. Dalam Mulyawan Karim,
ed. Rindu Pancasila, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), h. 189.
31
berorintasi pada sektor sekunder dan tersier.3 Perubahan paradigma ini tentunya juga
harus dibarengi dengan peningkatan standar mutu Sumber Daya Manusia (SDM)
sendiri berkaitan dengan penguasaan teknologi yang berguna dalam mendukung
pengolahan potensi dalam negeri. Dalam hal ini beberapa negara berkembang lainnya
telah telah melakukan dalam tataran praktis apa yang dikenal dengan alih teknologi.
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Teknologi
Pengertian alih teknologi ini ditemukan dalam dokumen-dokumen yang
terdapat dari berbagai lembaga. Berikut ini merupakan beberapa pengertian
mengenai alih teknologi:
1. Menurut United Nations Centre on Transnational Corporations (UNCTC)
Dalam referensi mengenai alih teknologi, para peneliti biasanya selalu
mengacu pada definisi alih teknologi yang terdapat dalam dokumen
Transnatioal Coorporations and Technology Transfer: Effects and Policy
Issues. Dalam dokumen tersebut definisi alih teknologi secara lengkap
disebutkan sebagai berikut:
“the word “technology” itself used in at least two senses. In the first,
it means technical knowledge related or know-how-that is, knowledge, the
methods and techniques of production of goods and services. In the sense it
may include the human skills required for the apllication of techniques, since
3Sektor industri terbagi atas 3 kategori, yakni industri primer (pertanian, pertambangan, dan
ekstraksi minyak bumi), industri sekunder (manufaktur serta jenis-jenis produksi lain), dan industri
tertier (jasa dan real estate). Lihat Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing. Cet-I, (Jakarta:
Kuwais, 2012), h. 62.
32
it is difficult to separate such application from a knowledge of the techniques
themselves. In the second, broader sense, “technology” also encompasses
capital themselves the embodiment of technical knowledge. In some instance,
the term “embodied technology” is used to distinguish capital goods from
technical knowledge proper”4 (kata teknologi sendiri setidaknya digunakan
dalam 2 sudut pandang, pertama, ini berarti berhubungan pengetahuan teknis
atau tentang bagaimana, pengetahuan, metode dan teknik produksi barang-
barang dan jasa. Pengertian lain juga termasuk persyaratan kemampuan
manusia untuk menerapkan teknik, karena sulit dipisahkan penerapan
pengetahuan dari teknik itu sendiri. Kedua, pemikiran secara luas teknologi
juga meliputi modal sendiri perwujudan dari teknik pengetahuan. Dalam
beberapa contoh, istilah perwujudan teknologi, digunakan membedakan
modal berupa barang dengan teknologi tepat guna)
2. Menurut United Nations Conference on Trade and Development
Dalam International Code on the Transfer of Technology yang disusun
oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD, alih
teknologi didefinisikan sebagai “the process by which commercial
technology is disseminated”.5
Selain itu rumusan yang diperoleh dari hasil pertemuan UNCTAD
menyebutkan tentang alih teknologi itu: “Meliputi setiap cara pengalihan hak-
4UNCTC, Transnational Corporations and Technology Transfer: Effects and Policy Issues,
United Nation, 1987, h. 1. 5Ibid.
33
hak teknologi baik yang berbentuk hak milik maupun tidak, tidak
mempersoalkan bentuk hukum cara pengalihannya termasuk transaksi
teknologi yang dilakukan oleh subsidiary afilisiasi yang sebagian atau
seluruhnya dimiliki perusahaan transnasional dan perusahaan asing lainnya
serta perusahaan patungan (joint venture) yang bagian saham-sahamnya
dimiliki oleh orang asing.”6
3. Menurut OECD Global Forum on International Investment
Dalam forum OECD Global Forum on International Investment yang
diselenggarakan di Mexico City memang tidak terdapat definisi yang secara
eksplisit mengenai alih teknologi. Namun demikian, disebutkan bahwa alih
teknologi merupakan ikutan yang terdapat dalam penanaman modal asing
langsung (foreign direct investment), sebagai salah satu cara perusahaan
multinasional (multinational corporation) beroperasi.7
4. Menurut Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights
Dapat dikatakan bahwa TRIPs tidak mengatur secara komprehensif
mengenai alih teknologi, meskipun mengakui pentingnya hal tersebut. Hal ini
6Rancangan Undang-Undang ALih Teknologi Perbandingan Perspektif, Prisma, Nomor 4
Tahun ke-XVI, April, 1987, h. 40. Dalam buku OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 307. 7Marea Maher and Hans Christiansen, Growth, Technology Transfer And Foreign Direct
Investment, OECD Paper, dipresentasikan pada OECD Global Forum of International Investment,
New Horizons, And Policy Challenges For Roreign Direct Investment In The 21st Century, Mexico
City, 26-27 November 2001, h. 15-17.
34
dapat dilihat dari bagian pembukaan TRIPs yang menyatakan bahwa negara
anggota TRIPs: “recognizing the underlying public policy objectives of
national systems for the protection of intellectual properly, including
development and technological objectives.”8. (Mengakui tujuan kebijakan
publik yang mendasari sistem nasional untuk perlindungan intelektual dengan
baik, termasuk pengembangan dan tujuan teknologi)
Elemen utama dari pengakuan tersebut dijelaskan pada ketentuan
mengenai “objectives”, yaitu:9“the protection and enforcement of intellectual
property rights should contribute to the promotion of technological
innovation and to the transfer and dissemination of technology, to the mutual
advantage of producers and users of technological knowledge and in a
manner conducive to social and economic welfare, and to a balance of rights
and obligations”. (perlindungan dan penegakan hak kekayaan intelektual
harus memberikan kontribusi untuk promosi inovasi teknologi dan pengalihan
serta penyebaran teknologi, untuk keuntungan bersama produsen dan
pengguna pengetahuan teknologi dan dengan cara yang kondusif untuk
kesejahteraan sosial dan ekonomi, dan untuk keseimbangan hak dan
kewajiban)
Oleh karena itu, apabila klausul di atas dicermati, maka pengelolaan
hak kekayaan intelektual memiliki unsur utama, yaitu peningkatan inovasi
8Lihat bagian pembukaan TRIPs
9Article 7 TRIPs
35
teknologi dan pengalihan serta penyebaran teknologi, pemanfaatan bersama
(penghasil dan pengguna) pengetahuan teknis dan pelaksanaan dengan
kondusif untuk kesejahteraan sosial ekonomi serta keseimbangan antara hak
dan kewajiban.10
Ketentuan lain mengenai alih teknologi dalam TRIPs dapat dilihat
dalam ketentuan tentang pengendalian praktik-praktik persaingan curang
dalam perjanjian lisensi.11
5. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002
Dalam Pasal 1 angka 11 disebutkan bahwa: “Alih teknologi adalah
pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi antar lembaga, badan, atau orang, baik yang berada di lingkungan
dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri dan
sebaliknya”.
Objek dari alih teknologi sendiri merupakan teknologi. Teknologi-
teknologi yang dimiliki negara maju cenderung menarik perhatian negara-
negara berkembang untuk dapat diambil alih, sedangkan di sisi lain negara-
negara maju berusaha untuk menjaga rahasia teknologi-teknologi mereka.
Oleh karena itu penting mengetahui ruang lingkup dari alih teknologi sendiri.
10
Achmad Zen Umar Purba, Perjanjian TRIPs dan Beberapa Isu Strategis, Jakarta-Bandung;
Badan Penerbit F. H. Universitas Indonesia dan PT. Alumni, 2011, h. 106. 11
Article 40 TRIPs
36
Ruang lingkup teknologi dalam International Code on the Transfer of
Technology yang disusun oleh United Nations Conference on Trade and
Development (UNCTAD) teknologi tidak hanya mencakup pengetahuan atau
metode yang penting untuk menjalankan atau untuk mengembangkan
produksi dan distribusi dari barang dan jasa, atau untuk mengembangkan
produk atau proses yang benar-benar baru, tetapi juga mencakup keahlian
berwirausaha dan pengetahuan profesional (profesional know-how).12
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem
Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi Pasal 1 angka 2 bahwa “teknologi adalah cara atau metode serta
proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai
disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan
kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan.13
Pengertian lain tentang teknologi dari para sarjana memiliki pengertian
yang berbeda-beda, diantaranya menurut Dr. Alhamra, “Teknologi adalah
ilmu untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang disusun dengan cara-cara
sistematika tertentu dari suatu pengamatan, studi pemeriksaan atau percobaan-
percobaan”.14
Sedangkan Ibrahim Idham memberikan rumusan sebagai
berikut: “teknologi diartikan suatu komposisi cara terdiri atas keterampilan
12
UNCTAD, Technology Transfer, UNCTAD Series on Issues in International Investment
Agreements, 2001, h. 7. 13
Dikutip Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002, dalam Sabartua Tampubolon, Politik
Hukum Iptek di Indonesia, (Yogyakarta; Kepel Press, 2013), h. 325. 14
BPHN, Binacipta, Aspek-Aspek Hukum dan Pengalihan Teknologi, 1981, h. 88.
37
merancang dan melaksanakan (mengelas, membentuk, dan merakit), terutama
memerlukan panca indera, keterampilan yang berencana (pengetahuan dan
informasi) seperti mengerjakan data, rancang bangun dan rekayasa,
konstruksi, produksi dan pemeliharaannya.15
Dalam batasan pengertian alih
teknologi yang dikemukakan oleh Ibrahim Idham tesebut di dalamnya tersirat
makna perlindungan hukum hak atas kekayaan intelektual.16
Dalam naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Pelimpahan
Teknologi, Teknologi diartikan sebagai berikut:17
a. Seluruh know how, pengetahuan (knowledge), pengalaman dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk membuat (manufacturing),
suatu produk atau produk-produk dan untuk pendirian perusahaan
untuk tujuan tersebut;
b. Dapat diartikan sebagai kumpulan atau gabungan unsur-unsur
yang mencakup peralatan mesin-mesin, proses paten dan juga
pengetahuan dan keterampilan dalam menggunakan peralatan,
mesin proses dan sebagainya untuk mendapatkan hasil tertentu
baik berupa barang-barang maupun berupa jasa;
15
Ibrahim Idham, Peranan Paten Dalam Alih Teknologi, Hukum dan Pembangunan No. 3
Tahun XIX, Juni 1989, h. 250. 16
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights),
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), h. 306. 17
BPHN, Binacipta, Aspek-Aspek Hukum dan Pengalihan Teknologi, 1981, h. 4-5.
38
c. Penggunaan ilmu pengetahuan untuk sesuai dengan kebutuhan
manusia;
d. Ilmu tentang penerapan ilmu pengetahuan.
B. Mekanisme Alih Teknologi
Dalam pengertian transfer of technology yang disampaikan oleh
Hilman Surawiguna:”Proses mentransfer dari suatu unit produksi kepada unit
lainnya dari persyaratan-persyaratan pengetahuan (know-how) untuk
memungkinkan penggunaan teknologi tersebut.18
Dalam International Code on the Transfer of Technology yang disusun
oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD tipe
pengalihan teknologi diklasifikasikan, antara lain:19
1. penyerahan, penjualan, dan lisensi dalam bentuk benda-benda industri,
kecuali untuk penjualan merek, pelayanan merek, dan penjualan nama
ketika mereka bukan bagian dari kontrak alih teknologi;
2. peralihan pengetahuan dan teknik keahlian melalui pembelajaran,
perencanaan, diagram, model, instruksi, petunjuk, formula, dasar atau
desain detail mesin, spesifikasi, dan alat-alat untuk pelatihan, pelayanan
termasuk di dalamnya melibatkan penasehat teknik, manajerial, dan
pelatihan personal;
3. perlunya peralihan ilmu pengetahuan tentang instalasi, operasi, dan
pemanfaatan tanaman dan alat-alat, serta turnkey projects;
4. pengalihan teknologi untuk keahlian, install dan penggunaan mesin, alat-
alat, benda-benda setengah jadi dan/ atau material mentah yang telah
diperoleh dari pembelian, peminjaman atau lainnya;
5. pengalihan teknologi industri dan teknik pengaturan kerja sama ”transfer
teknologi” merupakan proses alih teknologi.
18
Hilman Surawiguna , Beberapa Masalah Pokok Perusahaan Multinasional, Sebuah
Tinjauan Pustaka, Manajemen Dan Usahawan Indonesia, (Jakarta: Tanpa penerbit, 1981), h. 41. 19
Ibid.
39
Dalam daftar metode pengalihan teknologi di atas, tidak termasuk alih
teknologi yang bersifat non komersial, seperti alih teknologi yang terdapat
dalam perjanjian kerjasama internasional antara negara-negara maju dan
negara berkembang. Perjanjian semacam itu, ,misalnya terkait dengan
pengembangan infrastruktur atau sektor pertanian atau perjanjian internasional
dalam bidang riset, pendidikan, ketenagakerjaan, atau transportasi.20
Proses alih teknologi dari luar negeri dapat ditafsirkan menjadi 3
tahap:
1. Transfer teknologi yang ada untuk menghasilkan barang atau jasa
tertentu;
2. Perpaduan teknologi di negara-negara berkembang;
3. Perkembangan kemampuan Sumber Daya Manusia dalam hal
inovasi.21
Selanjutnya, cara atau sarana melakukan alih teknologi diuraikan
sebagai berikut:
1. Foreign direct investment
Foreign direct investment adalah bentuk mekanisme alih teknologi
seperti yang telah dijabarkan dalam BAB II bahwa dengan adanya foreign
direct investment maka akan terjadi ekspansi pasar. Ekspansi pasar ini melalui
pembentukan perusahaan-perusahaan PT PMA di Indonesia telah membawa
20
Ibid. 21
Sabartua Tampubolon, Politik Hukum Iptek di Indonesia, (Yogyakarta: Kepel Press, 2013),
h. 218.
40
masuk teknologi asing. PT PMA membuat kontrak dan melalui kontrak inilah
teknologi masuk ke Indonesia di samping juga melalui pembelian mesin-
mesin dan berbagai lokakarya.22
2. Joint venture
Joint venture adalah bentuk yang telah lama berkembang cukup pesat
dan luas. Suatu kontrak joint venture atau kontrak usaha patungan adalah
suatu upaya dari suatu kegiatan komersial (dengan resiko) oleh dua orang
atau lebih pihak (yang bertindak) melalui suatu atau lembaga atau organisasi
yang dibentuk untuk melaksanakan tujuan bersama.23
Dalam Islam joint
venture memiliki pengertian yang disamakan dengan mudharabah. Kata
mudharabah24
sendiri memiliki arti bepergian untuk berdagang. Akad
Mudharabah dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling
membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan
uang.25
Alasan yang dikemukakan para ulama fiqh tentang kebolehan bentuk
kerjasama ini adalah firman Allah Q. S Al-Muzzammil (73) ayat 20:
22
T. Mulya Lubis dan M. Richard Bukbaum, Peranan Hukum Perekonomian di Negara-
Negara Berkembang, (Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1986), h. 128.
23
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung, Refika Aditama,
2007), h. 117. 24
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2003), h. 117. 25
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Utama, 2007), h. 176.
41
… …
Artinya:
Dan sebagian dari mereka orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah … (Q. S Al-Muzzammil: 20)
Dan Q. S Al-Baqarah (2) ayat 198 berikut:
…
Artinya:
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari
Tuhanmu … (Q. S Al-Baqarah: 198)
Sunarayati Hartono memberi batasan joint venture secara luas sebagai
berikut: “setiap usaha bersama antara modal Indonesia dan modal asing, baik
ia merupakan usaha bersama antara swasta dan swasta, pemerintah, dan
swasta, ataupun pemerintah dan pemerintah. Juga tidak dibedakan apakah
joint venture itu dianggap sebagai Penanaman Modal Asing ataupun
Penanaman Modal dalam Negeri.
3. Licensing
Lisensi adalah suatu perizinan yang diberikan oleh pemberi lisensi
kepada pihak penerima lisensi untuk melaksanakan suatu kegiatan atau suatu
42
hak yang dilindungi. Dengan adanya perizinan ini pihak kedua
memungkinkan untuk menikmati penggunaan suatu hak atas kekayaan
intelektual di bidang industri. Dengan adanya izin penggunaan ini, pihak
pertama mendapatkan pembayaran. Ada tiga macam lisensi yang sering
ditemui dalam praktik, yakni lisensi eksklusif, lisensi tunggal, dan lisensi non-
eksklusif.26
4. Franchising
Dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-Dag/Per/3/2006
tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha
Waralaba, ditegaskan bahwa “Waralaba (franchise) adalah perikatan antara
pemberi waralaba dengan penerima waralaba di mana penerima waralaba
diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/ atau
menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas
usaha yang dimiliki pemberi waralaba dengan imbalan berdasarkan
persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba dengan sejumlah
kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang
berkesinambungan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba”
Beberapa mekanisme alih teknnologi di atas merupakan tipe kegiatan
yang telah banyak dikenal sedangkan mekanisme pengalihan teknologi yang
lain juga terdapat beberapa seperti: Management contracts, Marketing
26
Tim Lindsay, Hak Kekayaan Intelektual, Suatu Pengantar, (Bandung: Alumni, 2011), h.
200.
43
contracts, Tehnical service contracts, Turnkey contracts, International sub-
contracting.
C. Pengaturan Terkait Alih Teknologi
Hukum dipandang sebagai nilai yang mengandung arti bahwa
kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat. Hukum sebagai nilai di sini perlu
pendekatan sistem. Menurut Lawrence Mere Friedman bawa sistem hukum itu
harus memenuhi: struktur (structure), substansi (substance), dan Kultur
Hukum (legal culture).27
Keberadaan substansi ini menjadi pijakan dalam menegakkan hukum.
Hal ini senada dengan teori Roscoe Pound yang menyatakan bahwa “law as a
tool of social engineering”. Berangkat dari pemikiran ini aturan hukum yang
jelas tentang alih teknologi menjadi dasar pijakan bagi pelaksanaannya.
Berikut beberapa peraturan yang terkait dengan alih teknologi:
1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional
Penelitian, Pengembanga, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
Undang-Undang ini sesuai dalam pertimbangannya disebutkan
bahwa penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
27
Yesmil Anwar dan Adang, Hukum Tak Pernah Tidur, (Bandung: Asosiasi Ilmu Poitik
Indonesia, 2009), h. 166.
44
merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar 1945. Untuk
menumbuhkembangkan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi ini diperlukan sistem nasional penelitian,
pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
terbentuk melalui keterkaitan antara unsur-unsur kelembagaan, sumber
daya, serta jaring ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.
Undang-Undang ini berusaha untuk meningkatkan kemitraan
badan usaha dengan pergururan tinggi dan badan litbang. Sedangkan
peran yang lain dimainkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah melalui
instrumen kebijakannya yang berfungsi untuk memotivasi badan usaha
asing untuk melakukan alih teknologi kepada produsen domestik; memacu
badan usaha domestik meningkatkan investasi di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi ; mendorong kemitraan antara badan usaha, lembaga
litbang, dan perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses
alih teknologi, 3 (tiga) aktor, yaitu akademisi, pelaku usaha, dan
pemerintah, harus bekerjasama dengan baik sesuai dengan konsep triple
helix yang banyak dipakai sebagai model pengembangan sistem inovasi
nasional di banyak negara.28
28
Sabartua Tampubolon, Politik Hukum Iptek di Indonesia, (Yogyakarta: Kepel Press, 2013),
h. 241.
45
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 dan Paket Undang-Undang
HKI Lainnya
Alih teknologi memiliki hubungan yang sangat erat dengan paten.
Paten merupakan sutau hak khusus berdasarkan Undang-Undang
diberikan kepada si penemu (uitvinder) atau menurut hukum pihak yang
berhak memperolehnya, atas permintaannya yang diajukan kepada pihak
penguasa, bagi temuan baru di bidang teknologi, perbaikan atas temuan
yang sudah ada, cara kerja baru, atau menemukan suatu perbaikan baru
dalam cara kerja, untuk selama jangka waktu tertentu yang dapat
diterapkan dalam bidang industri.29
Perkembangan hukum paten di Indonesia dapat dibagi menjadi 3
periode, yaitu: kepentingan umum vs tekanan internasional (1989-1996),
periode tunduk terhadap standar internasional perjanjian TRIPS (1997-
2000), periode meningkatkan kualitas penegakan hukum (2001-2005).
Pada fase awal pembentukan hukum paten merupakan fase yang
sulit bagi Indonesia. Hal ini disebabkan karena pada masa itu Indonesia
membutuhkan alih teknologi dari negara-negara maju untk
mengembangkan pembangunan nasional. Perlindungan HKI (termasuk
29
OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 226.
46
paten) yang sangat ketat akan menghambat alih teknologi yang sedang
dijalankan oleh pemerintah.30
Kriteria pemberian hak paten dalam Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 meliputi: (a) Penemuan baru, hanya untuk satu penemuan
saja, kriteria sifat barunya suatu penemuan dianggap baru, jikalau pada
saat pengajuan permintaan paten penemuan tersebut tidak merupakan
penemuan terdahulu, (b) mengandung langkah inventif, dalam hal ini
penemuan tersebut tidak diduga sebelumya, (c) dapat diterapkan dalam
bidang industri.31
Dalam skala internasional paten ini juga diatur dalam PCT (Patent
Cooperation Treaty) yakni traktat internasional kerja sama paten yang
bertujuan untuk melaksanakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
perlindungan hukum terhadap setiap invensi, memberikan proteksi dari
invensi yang diinginkan dilindungi oleh suatu negara, dan dalam rangka
mempercepat pembangunan ekonomi dari negara-negara berkembang,
Indonesia sejak tahun 1995 telah menjadi angggota PCT dan dengan
Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1997 telah mengesahkan PCT, dengan
demikian setiap inventor Indonesia dapat mengajukan permohonan PCT
tersebut.
30
Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global, Sebuah Kajian
Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 100. 31
Abdul R. Salman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta:
Kencana, 2011), h. 148.
47
Di samping itu juga terdapat beberapa aspek dalam Agreement on
Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) yang
isinya telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001.
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-Undang ini mengatur mengenai penanaman modal baik
penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri.
Keberadaan Undang-Undang ini dibuat dalam rangka menciptakan iklim
penanaman modal yang kondusif. Salah satunya dibuktikan dengan
adanya beberapa fasilitas-fasilitas yang ditawarkan Indonesia sebagai host
country untuk menarik penanam modal asing di Indonesia. Fasilitas-
fasilitas mulai dari pertanahan, fasilitas yang berkaitan dengan pajak, dan
lainnya dapat diperoleh dengan salah satu caranya adalah melakukan alih
teknologi. Namun keberadaan prasyarat tersebut pengaturannya sangat
sumir dan tidak memadai.
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
Salah satu hukum positif yang turut mengatur mengenai alih
teknologi adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984. Menurut UU ini
industri merupakan kegiatan ekonomi yang mengolah barang mentah,
bahan baku, barang setengah jadi, dan/ atau barang jadi menjadi barang
48
dengan nilai yang lebih tinggi dalam penggunaannya, termasuk rancang
bangun dan perekayasaan industri.32
Industri memiliki kaitan yang sangat erat dengan teknologi. Hal ini
dapat dilihat dari jenis teknologi, yaitu teknologi industri dan teknologi
yang tepat guna. Teknologi industri adalah cara pada proses pengolahan
yang diterapkan dalam industri. Sedangkan teknologi tepat guna adalah
teknologi yang tepat dan berguna bagi suatu proses untuk menghasilkan
nilai tambah.
32
Sabartua Tampubolon, Politik Hukum Iptek di Indonesia, (Yogyakarta: Kepel Press, 2013),
h. 257.
49
BAB IV
INVESTASI ASING SEBAGAI SARANA MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN
TEKNOLOGI NASIONAL
A. Pengaturan Alih Teknologi dalam Hukum Investasi di Indonesia
Rezim hukum yang berlaku memberikan pengaruh terhadap alih teknologi
dalam investasi asing di Indonesia, hal ini dapat kita bandingkan melalui dua
rezim hukum tentang Penanaman Modal Asing yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-
Undang Nomo 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebagai berikut:
1. Pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
Undang-Undang No 1 Tahun 1967 ini merupakan Undang-Undang
yang mengatur secara khusus tentang Penanaman Modal Asing pada masa
Orde Baru, di samping Undang-Undang ini juga terdapat Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 ini diberlakukan pada tanggal 1
Januari 1967. Tepat tanggal 11 Maret diikuti dengan berakhirnya masa Orde
Lama dan diganti dengan Rezim Orde Baru dengan diangkatnya Presiden
Soeharto. Keberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 dan diiringi
dengan perubahan Rezim penguasa ini mendapat tanggapan yang positif dari
dunia Internasional ditandai dengan kenaikan angka Penanaman Modal Asing
yang signifikan.
50
Secara umum strategi yang diterapkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 dalam menarik investasi asing di Indonesia mencakup 2 hal
pokok, yaitu:
a. Menawarkan berbagai bentuk-bentuk insentif dan fasilitas serta
jaminan agar melakukan investasi di Indonesia;
b. Memagari kegiatan investor asing agar tetap terkendali dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.1
Bentuk-bentuk insentif di bidang perpajakan (tax holiday) mencakup
antara lain:
a. Pembebasan atas pajak perseroan bagi proyek-proyek prioritas
untuk jangka waktuu tertentu;
b. Pembebasan atas pajak dividen untuk suatu jangka waktu
tertentu;
c. Pembebasan pajak atas pajak materai;
d. Allowance atas investasi yang dipotong setiap tahun atas
keuntungan sebelum pajak yang berlaku untuk empat tahun
pertama;
e. Kerugian yang dapat dikompensasi;
f. Penyusustan yang dapat dipercepat atas asset tetap;
g. Bentuk-bentuk privilage lain di bidang perpajakan apabila
dipandang kegiatan investasi tersebut sangat penting;
h. Pembebasan atas pajak impor atas asset tetap seperti mesin,
peralatan, dan suku cadang yang diperlukan untuk kepentingan
operasional;
i. Pembebasan dari pajak kekayaan.
Di samping bentuk-bentuk insentif di bidang perpajakan sebagaimana
dimaksud di atas, upaya untuk menarik investor terus dilakukan. Salah satu
1Ana Rokhmatussa’diyyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), h. 46.
51
keputusan kabinet pada tahun 1974 misalnya menetapkan kebijakan-kebijakan
sebagai berikut:
a. Memperkenankan pengelolaan perusahaan oleh personnel
asing;
b. Menjamin transfer modal dan keuntungan sesuai dengan
mata uang yang dikehendaki;
c. Jaminan untuk tidak melakukan tindakan nasionalisasi kecuali
dalam keadaan-keadaan khusus dan dengan kompensasi yang
layak, efektif, dan segera.
Selain berbagai insentif yang ditawarkan dalam rangka mendorong
investasi, dalam rangka mengendalikan kegiatan penanaman modal sekaligus
untuk melindungi kepentingan nasional serta meningkatkan kesejahteraan
rakyat, ditempuh berbagai kebijakan yang membatasi kegiatan penanaman
modal asing, antara lain sebagai berikut:
a. Membatasi jumlah penggunaan tenaga asing kecuali untuk bidang dan
keahlian yang tidak dimiliki oleh tenaga-tenaga kerja Indonesia;
b. Pembatasan lain yang diterapkan terhadap investor asing adalah keharusan
untuk melakukan alih teknologi dan keahlian lain kepada pihak Indonesia,
baik melalui pendidikan, pelatihan, dan lain-lain;
c. Pembatasan lain yang diterapkan adalah adanya kewajiban untuk
melakukan divestasi2 kepada pihak partner lokal atau pihak pemegang
saham Indonesia lainnya;
2Divestasi menurut Jeff Madura: “pengurangan beberapa aset baik dalam bentuk finansial
atau barang, dapat pula disebut penjualan dari bisnis yang dimiliki perusahaan. Ini adalah kebalikan
dari investasi pada aset yang baru” dalam Salim, Hukum Divestasi di Indonesia, (Jakarta: Erlangga,
2010), h.32.
52
d. Pembatasan karena adanya kewajiban untuk membentuk suatu Perseroan
Terbatas3 Indonesia;
e. Pembatasan karena adanya bidang-bidang yang tertutup bagi kegiatan
penanaman modal asing;
f. Pembatasan-pembatasan lain sebagaimana tercermin dalam prosedur atau
tata cara aplikasi penanaman modal.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tidak terdapat pasal
mengenai asas-asas penyelenggaraan Penanaman modal asing di Indonesia
sedangkan kewajiban-kewajiban bagi investor asing yang termaktub dalam
pasal 26 Undang-Undang ini terkait dengan asas-asas perusahaan agar tidak
merugikan kepentingan negara. Sedangkan pasal 27 terkait dengan divestasi
saham.
2. Pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 disahkan pada 29 Maret 2007.
Sejak awal diundangkannya Undang-Undang ini beberapa negara telah
menawarkan diri untuk berinvestasi di Indonesia, diantaranya Korea Selatan,
Jepang dan Cina.
3Istilah “perseroan “ menunjuk pada cara menentukan modal, yaitu terbagi dalam saham,
sedangkan istilah “terbatas” menunjuk pada batas tanggung jawab pemegang saham, yaitu sebatas
jumlah nominal saham yang dimiliki, lihat Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h. 104.
53
Alasan ketiga negara tersebut yakin untuk berinvestasi di Indonesia
disebabkan karena Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal adalah dimaksudkan untuk memberikan:
a. Kepastian hukum;
b. Transparansi;
c. Tidak membeda-bedakan investor; serta
d. Memberikan perlakuan yang sama kepada investor dalam dan luar
negeri.
Di samping itu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 juga
dirumuskan dengan pemberian insentif-insentif yang diberikan kepada
investor sebagai berikut:4
a. Fasilitas PPh melalui pengurangan penghasilan neto;
b. Pembebasan keringanan bea masuk impor barang modal yang belum bisa
diproduksi di dalam negeri;
c. Pembebasan bea masuk bahan baku atau penology untuk keperluan
produksi tertentu;
d. Pembebasan atau penangguhan pajak penghasilan (PPn) atas impor barang
modal;
e. Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat;
f. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
g. Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan;
h. Fasilitas hak atas tanah;
i. Fasilitas pelayanan keimigrasian; dan
j. Fasilitas perizinan impor.
4Salim dan Budi Harsono, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2008), h. 7.
54
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 juga tercantum
mengenai hak dan kewajiban bagi penanam modal dalam Bab IX pasal 14
disebutkan mengenai hak dari penanam modal meliputi:
a. Kepastian hak, hukum, dan perlindungan;
b. Informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya;
c. Hak pelayanan; dan
d. Berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan
Sedangkan kewajiban penanam modal meliputi:
a. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
b. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
c. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan
menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;
d. Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha
penanaman modal; dan
e. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 mengenai
fasilitas Penanaman Modal disebutkan bahwa fasilitas diberikan pada
penanam modal yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria
berikut ini:
a. Menyerap banyak tenaga kerja;
b. Termasuk skala prioritas tinggi;
c. Termasuk pengembangan infrastruktur;
d. Melakukan alih teknologi;
e. Melakukan industri pionir;
f. Berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau
daerah lain yang dianggap perlu;
g. Menjaga kelestarian lingkungan hidup;
h. Melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
i. Bermitra dengan usaha mikro, kecil menengah atau operasi; atau
j. Industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang
diproduksi di dalam negeri.
55
Analisis dari kedua Undang-Undang ini menunjukkan kesamaan yang
mensyaratkan bahwa penanaman modal asing di Indonesia harus berbentuk
badan hukum Indonesia. Perbedaan antara keduanya yakni dalam Pasal 5
angka (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
disebutkan bahwa bentuk badan hukum itu adalah Perseroan terbatas,
sedangkan pada Pasal 3 angka (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing hanya disebutkan harus berbentuk badan
hukum.
Analisis ini menunjukkan bahwa harus adanya kepastian hukum untuk
penanaman modal asing itu sendiri. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 bahwa jenis dan kegiatan usaha serta
tata cara pelaksanaan kegiatan PT diatur dalam anggaran dasar yang dibuat
dalam akta notarial dan harus didaftarkan serta disahkan oleh Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).5 Dengan ketentuan ini
maka investor asing tunduk terhadap ketentuan hukum nasional tentang badan
hukum Perseroan Terbatas.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 ini dalam Pasal 3
dijelaskan bahwa salah satu tujuan dari penanaman modal atau investasi
adalah meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional. Hal ini
kemudian diimplementasikan dalam pasal 10 tentang ketenagakerjaan bahwa
5http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50759704ac972/mengapa-penanaman-modal
asing-harus-dalam-bentuk-pt diakses pada tanggal 9 Mei 2014.
56
perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi dan
melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia melalui
pelatihan dan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari perbandingan kedua rezim hukum yang mengatur mengenai alih
teknologi dalam investasi terlihat bahwa kedua regulasi tersebut telah
mengakomodir arti penting alih teknologi sebagai kewajiban dari penanam
modal asing, namun masih terdapat ketidakjelasan mengenai peraturan
pelaksana yang menjadi dasar pelaksanaan alih teknologi tersebut.
Alih teknologi melalui investasi asing ini sebenarnya merupakan cara
yang memungkinkan untuk dilaksanakan di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena jumlah arus investasi asing yang masuk ke Indonesia di berbagai
sektor cukup tinggi, yakni berdasarkan data yang diperoleh dari Badan
Koordinasi Penanaman Modal jumlah Investasi Asing sepanjang tahun 2013
sebagai berikut:
Perkembangan Realisasi Investasi PMA Berdasarkan Sektor6
2013
Proyek Nilai
Investasi US$. Ribu
PRIMER
Tanaman Pangan dan Perkebunan 356 1,605,341.3
Peternakan 16 11,301.0
Kehutanan 23 28,828.2
Perikanan 53 10,002.1
Pertambangan 574 4,816,361.1
Total(Sektor) 1,022 6,471,833.7
SEKUNDER
Industri Makanan 612 2,117,740.2
Industri Tekstil 202 750,703.8
Industri Kulit, Barang dari kulit dan Sepatu
80 96,197.2
6Sumber: Pusat Pengolahan Data dan Informasi Badan Koordinasi Penanaman Modal
57
Industri Kayu 53 39,494.6
Industri Kertas, Barang dari kertas dan Percetakan
86 1,168,884.2
Industri Kimia Dasar, Barang Kimia dan Farmasi
326 3,142,314.6
Industri Karet, Barang dari karet dan Plastik
187 472,222.1
Industri Mineral Non Logam 106 874,130.4
Industri Logam Dasar, Barang Logam, Mesin dan Elektronik
546 3,327,089.1
Industri Instrumen Kedokteran, Presisi, Optik dan Jam
11 26,077.9
Industri Alat Angkutan dan Transportasi Lainnya
278 3,732,238.1
Industri Lainnya 164 111,700.7
Total(Sektor) 2,651 15,858,792.9
TERSIER
Listrik, Gas dan Air 112 2,221,747.3
Konstruksi 117 526,811.3
Perdagangan dan Reparasi 1,779 605,239.1
Hotel dan Restoran 336 462,522.2
Transportasi, Gudang dan Telekomunikasi
154 1,449,872.4
Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran
188 677,715.2
Jasa Lainnya 1,073 341,735.6
Total(Sektor) 3,759 6,285,643.1
Total(Sektor Utama) 7,432 28,616,269.7
Dari data di atas dapat dilihat bahwa sektor penanaman modal
sekunder menyumbang investasi terbesar dengan nilai investasi US$
15,858,792,900, diikuti investasi di sektor primer sebesar US$ 6,471,833,700,
dan posisi ketiga sektor tertier sebesar US$ 6,285,643,100.
B. Analisis Alih Teknologi dalam Kerangka Hukum Nasional dan Hukum
Internasional
“Perekonomian nasional diselengggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan,
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”, hal ini yang tertuang dalam pasal 33
ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945. Asas-asas tersebut yang kemudian juga
58
diimplementasikan dalam prinsip-prinsip Penanaman Modal di Indonesia dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.7
Dalam kaitannya dengan prinsip kemandirian, keberadaan investasi asing
melalui perusahaan-perusahaan transnasional sangat dibutuhkan meskipun dalam
prakteknya terdapat sebagian dari perusahaan yang kemudian tidak membuka
informasi yang terkandung di dalamnya teknologi yang dipergunakan dalam
pelaksanaan produksinya. Akibatnya alih teknologi tidak dapat berjalan sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh negara berkembang.8
Dengan memegang teguh prinsip kemandirian ini, maka kita dapat belajar
dari pengalaman Jepang, Cina, dan Korea Selatan yang menerapkan strategi catch
up dan applied research. Pada hakikatnya teknologi terbagi menjadi 2 (dua)
bagian, yaitu bagian pertama teknologi yang dilindungi paten; dan bagian kedua
yang tidak dipatenkan termasuk keahlian (skill) dan keterampilan (technical know
how)
1. Teknologi yang Dilindungi Hak Paten
Perlindungan hak milik intelektual adalah perlindungan terhadap
setiap hak yang timbul dari hasil kreativitas (creativity) dan penemuan
7Lihat pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
8Sabartua Tampubolon, Politik Hukum Iptek di Indonesia (Yogyakarta: Kepel Press, 2013), h.
266.
59
(innovation) manusia dalam bidang ilmu pnegetahuan dan teknologi, dan
dalam bidang perdagangan dan industri.9
Dalam kerangka hukum Internasional terdapat lembaga WIPO (World
Intellectual Property Organization) yang merupakan organisasi internasional
yang secara khusus didirikan untuk mengkoordinasi kerja sama antar negara
dalam bidang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Indonesia telah
meratifikasi Konvensi WIPO dengan Keppres No. 24 Tahun 1974.10
Dalam kerangka hukum nasional Indonesia memiliki perangkat hukum
yang mengatur tentang perlindungan Paten, yakni dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2000. Paten sendiri merupakan hak eksklusif yang diberikan
oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk
selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya11
atau memberikan
persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakan.12
Menurut pasal 3 Undang-Undang Nomo 14 Tahun 2000, suatu invensi
dianggap baru jika invensi yang diajukan paten tersebut tidak sama dengan
9Lebih jauh lihat David L. Perrott, Current Issues in International Business Law, 1988, h. 44-
45. 10
Berkaitan dengan perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual (HKI) ini terdapat
permasalahn yang rumit. Forum GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang semula
dibentuk untuk tujuan penanganan masalah tariff dan perdagangan, sejak tahun 1980 telah memperluas
perhatiannya ke arah hak milik intelektual. Konferensi-konferensi GATT, sejak itu tidak hanya
terbatas membahas perlindungan merk dagang tapi bahkan penempatan masalah hak milik intelektual
secara keseluruhan. Lihat Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek Hukum Perdata Internasional: Dalam
Transaksi Bisnis Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2000), h. 47. 11
Invensi (penemuan) adalah ide inventor yang dtuangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan
masalah yang spesifik di bidang teknologi, dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan
pengembangan produk dan proses. 12
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsang, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: Grasindo,
2008), h. 120.
60
teknologi yang diungkapkan sebelumnya. Untuk menentukan apakah sebuah
invensi bersifat baru, harus diadakan pemeriksaan terhadap data terdahulu
untuk mencari dokumen pembanding yang terbit sebelum tanggal
penenrimaan permohonan paten. Apabila invensi yang dimintakan paten tidak
terdapat dalam dokumen pembanding, invensi itu dianggap baru.
Keuntungan dari adanya paten ini diantara lain meliputi:13
a. Paten membantu menggalakkan perkembangan teknologi dan
ekonomi suatu negara;
b. Paten membantu menciptakan suasana yang kondusif bagi
tumbuhnya industri-industri lokal;
c. Paten membantu perkembangan teknologi dan ekonomi negara
lain dengan fasilitas lisensi;
d. Paten membantu terciptanya alih teknologi dari negara maju ke
negara berkembang.
Dalam praktek permintaan paten di Indonesia secara kuantitatif dapat
dijelaskan bahwa permintaan paten hanya sedikit yang berasal dari dalam
negeri, selainnya jumlah terbesar berasal dari luar negeri. Karena hal ini maka
untuk menunjang dan mempercepat laju indutrialisasi, perjanjian lisensi
memiliki peranan yang sangat penting.
Perjanjian lisensi merupakan sebuah konsekuensi logis dari
diundangkannya Undang-Undang Paten, lebih dari itu hal ini merupakan
bagian dari globalisasi ekonomi dunia. Regulasi mengenai lisensi paten ini
penting untuk diperhatikan agar investor asing merasa aman dengan kepastian
dalam perlindungan hukum di Indonesia.
13
Tim Lindsay, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung: Alumni, 2011), h.
184.
61
Pada pasal 71 ayat (1) terdapat larangan terkait perjanjian lisensi:
a. Perjanjian lisensi yang membawa akibat yang merugikan
perekonomian Indonesia;
b. Perjanjian lisensi yang dilarang memuat ketentuan
pembatasan-pembatasan yang menghambat kemampuan
bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan
teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan yang
diberi paten tersebut pada khususnya.
Namun permasalahan yang muncul dari pasal tersebut adalah tidak
terdapat penjelasan yang jelas terutama larangan tersebut mengenai apa yang
dimaksud dan apa pengertiannya.14
1. Teknologi yang Tidak Dilindungi Paten (Keahlian dan Keterampilan)
Keahlian (skill) dan keterampilan (technical know how) yang
menurut Istvan Gazda didefinisikan sebagai “knowledge and experience
of a technical, commercial, administration, financial or other nature,
which is practically applicable to the operation of an enterprise or the
practice of a profession.”15
(pengetahuan dan pengalaman teknis,
perdagangan, administrasi, keuangan atau hal-hal umum lain, yang praktis
berlaku untuk beroperasinya suatu perusahaan atau praktek profesi).
Boleh saja sebuah teknologi didaftarkan menjadi sebuah paten,
tetapi alih teknologi dapat terjadi, apabila sumber daya manusia dalam
suatu negara mau mempelajari dan menguasai, bahkan mampu
14OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual: Intelectual Property Rights, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 283. 15
Istvan Gazda, Transfer of Technology, (London: The Hague Kluwer Law International,
1996), h. 1.
62
mengembangkan teknologi yang lebih mutakhir dengan mendasarkan
pada teknologi atau invensi sebelumnya. Dalam praktiknya, hanya dengan
kemauan untuk belajar terus menerus dan senantiasa memiliki
kepercayaan diri melalui pengalaman yan diperoleh dari proses interaksi
dengan dunia luar, memungkinkan prinsip kemandirian dalam proses alih
teknologi dapat diwujudkan dalam kenyataan.
Regulasi nasional lain mengenai pentingnya alih teknologi bagi
bangsa Indonesia dapat dilihat dalam UU Sisnas P3 Iptek yang
menyatakan bahwa:16
“bagi Indonesia, alih teknologi melalui investasi
badan usaha dari negara-negara maju berpotensi menghasilkan dampak
ekonomi yang besar apabila kegiatan usaha dari perusahaan asing tersebut
dapat dikaitkan dengan jaringan produsen domestik dalam rantai
pertambahan nilai produksi. Melalui keterkaitan itu terbentuk mekanisme
demand-supply yang disertai dngan berbagai persyaratan mutu, kinerja,
dan biaya teknologi sehingga produsen domestik yang terlibat didorong
untuk memenuhinya. Alih teknologi melalui saluran ini tidak dapat
berjalan secara efektif apabila badan usaha domestik tidak siap dan tidak
mampu memenuhi persyaratan mutu, kinerja, dan biaya teknologi yang
bertaraf internasional sehingga tidak memiliki kelayakan untuk berperan
sebagai pemasok perusahaan-perusahaan asing tersebut. Sebaliknya
persyaratan di atas dapat dipenuhi, badan usaha domestik tidak hanya
16
Lihat Penjelasan Umum UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sisnas P3 Iptek.
63
dapat menjadi pemasok bagi perusahaan asing yang berusaha di dalam
negeri, namun dapat pula menjadi pemasok pasar global. Cara yang
terbaik adalah mendorong perkembangan kemampuan badan usaha
domestik agar dapat memiliki daya serap kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Untuk itu, kemitraan badan usaha dengan perguruan tinggi dan
lembaga litbang merupakan factor yang sangat penting. Perguruan tinggi
dan lembaga litbang dapat berperan sebagai simpul-simpul jaringan yang
dapat bermanfaat bagi badan usaha domestik untuk memantau dan
menguasai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menggali
potensi pemanfaatannya sehingga resiko badan usaha dalam mengadopsi
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diperkecil”.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih
Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Penelitian dan Pengembangan
oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan yang
didelegasikan dalam UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sisnas P3 Iptek,
tidak memberikan banyak penegasan perlunya alih teknologi tersebut.
Melainkan hanya memberi batasan berupa tujuan alih teknologi kekayaan
intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan, yakni:
a. Menyebar luaskan ilmu pengetahuan dan teknologi;
64
b. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan dan
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi guna kepentingan
masyarakat dan negara.17
Dalam kerangka hukum internasional terdapat konvensi yang terkait
dengan alih teknologi yang mengatur mengenai paten. Diantaranya yakni:
a. Konvensi Paris (Paris Convention for the Protectionof Industrial Property)
Konvensi ini mengatur mengenai hak milik perindustrian. Yang menjadi
objek perlindungan hak milik perindustrian menurut konvensi ini adalah:
Patent, utility models (model rancang bangun), industrial design (desain
industri), trade mark (merek dagang), trade names (nama niaga/ dagang),
indication of source or appellation of origin (indikasi dan sebutan asli).
Prinsip utama yang dianut dalam konvensi ini adalah prinsip national
treatment yang diatur dalam pasal 2 dan 3. Menurut prinsip ini, “suatu negara
anggota UNI berkewajiban untuk memperlakukan orang asing warga negara
dari negara lain anggota UNI, sama seperti warga negaranya sendiri dalam
masalah paten”.18
b. Perjanjian Kerja Sama Paten (PCT/ Patent Cooperation Treaty)
Patent Cooperation Treaty (PCT) mengadakan sistem permohonan
internasional dan publikasi internasional, pemeriksaan permulaan
17
Sabartua Tampubolon, Politik Hukum Iptek di Indonesia, (Yogyakarta: Kepel Press, 2013),
h. 247. 18
Konvensi Paris, Seminar Hak Paten, Medan, 1990, h. 5. Dalam buku OK. Saidin, Aspek
Hukum Kekayaan Intelektual: Intelectual Property Rights, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.
309.
65
internasional atas setiap permohonan paten yang lebih berdaya guna, hemat,
dan sederhana, jika perlindungan itu dikehendaki secara internasional.
Adapun sistem permohonan internasional menurut Patent Cooperation Treaty
(PCT) adalah sebagai berikut: dengan kemungkinan untuk meminta hak
prioritas berdasarkan konvensi Paris, setiap warga negara dari negara-negara
yang mengadakan perjanjian berhak untuk mengajukan permohonan Patent
Cooperation Treaty (PCT).
Dari analisis baik kerangka hukum nasional maupun kerangka hukum
internasional di atas maka sebuah permasalahan utama adalah terkait dengan
mutu dari Sumber Daya Manusia Nasional itu sendiri. Selain itu hal yang juga
perlu diperhatikan adalah terkait dengan koordinasi antar lembaga. Investasi asing
sebagai salah satu sarana alih teknologi tidak bisa berdiri sendiri karena investasi
asing ini juga disandarkan pada regulasi internasional yang bersifat kompleks dan
membatasi. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi antar lembaga, salah satunya
dengan lembaga penelitian dan pengembangan sesuai dengan amanat Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2002 untuk meningkatkan daya saing dan kemandirian
teknologi nasional.
C. Peluang dan Hambatan Pelaksanaan Alih Teknologi dalam Investasi Asing
di Indonesia
Teknologi tidak dapat dipisahkan dengan upaya peningkatan standar mutu
komoditas yang dihasilkan oleh satu negara. Keunggulan suatu komoditas
66
merupakan keunggulan yang melekat pada suatu komoditas yang dihasilkan oleh
negara dibandingkan dengan komoditas serupa yang diproduksi negara lain.
Peluang Indonesia sebagai negara tujuan investasi asing memiliki
beberapa keunggulan, yakni keunggulan mutlak (absolute advantage) dan
keunggulan komparatif (comparative advantage).19
Keunggulan mutlak (absolute
advantage) yang dimiliki Indonesia adalah terkait dengan potensi Sumber Daya
Alam (SDA) yang dimiliki. Sedangkan keunggulan komparatif (comparative
advantage) yang dimiliki Indonesia adalah berkaitan dengan ketersediaan faktor
produksi yakni terkait dengan tenaga kerja dan bahan baku yang lebih murah.
Keunggulan-keunggulan yang dimiliki Indonesia tersebut memberikan
daya tarik tersendiri bagi investasi asing. Investasi asing yang masuk ke Indonesia
inilah yang kemudian membawa teknologi dari negara-negara maju yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kemampuan teknologi menuju kemandirian
teknologi nasional.
Alih teknologi dalam investasi bukanlah sebuah proses tanpa hambatan.
Hambatan-hambatan yang ditemukan di lapangan saat ini diantaranya:20
1. Hambatan Eksternal, meliputi:
a. Sistem internasional kurang mendukung, lebih banyak
menguntungkan negara industri maju;
19
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis Transaksi Bisnis Internasional:
Ekspor-Impor dan Imbal-Beli, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), h. 2. 20
Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Malang: Bayumedia,
2004), h. 86.
67
b. Bargaining position negara sedang berkembang lemah.
2. Hambatan internal, meliputi:
a. Sumber daya manusia dalam jumlah besar dengan tingkat pendidikan
rendah;
b. Minimnya jumlah modal yang tersedia;
c. Tingkat teknologi masih rendah;
d. Kurangnya keterampilan (skill) dan knowledge;
e. Manajemen organisasi dan pemasaran lemah;
f. Sosial dan budaya yang kurang mendukung;
g. Sistem pendidikan kurang terencana baik.
Dari semua hambatan yang ada di atas terdapat satu hambatan yang
menjadi sebuah akar permasalahan alih teknologi Indonesia, yakni hukum yang
mengatur mengenai alih teknologi. Pembicaraan mengenai alih teknologi ini
sebenarnya telah lama menjadi wacana saat untuk pertama kalinya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1067 tentang Penanaman Modal Asing diundangkan.
Badan Koordinasi Penanaman Modal mengadakan berbagai kegiatan termasuk
menyiapkan rancangan akademik mengenai alih teknologi.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal yang berasaskan kemandirian menjadi sebuah komitmen untuk
menempatkan investasi asing menjadi sebuah awal untuk mewujudkan
kemandirian dan mengurangi ketergantungan terhadap teknologi yang berasal dari
luar negeri.
68
Hal ini penting, karena bercermin dari pengalaman negara maju, upaya
penguasaan dan keunggulan di bidang iptek merupakan kunci kemandirian setiap
bangsa dalam peningkatan kesejahteraan masyarakatnya maupun dalam
memenangkan persaingan di tingkat global.
Hambatan alih teknologi lain yang dikemukakan oleh Philip L. Gardner.
Menurut Philip, terdapat sedikitnya dua persoalan yang secara historis
menghambat alih teknologi ke negara-negara berkembang. Pertama, kapasitas
teknis dari negara berkembang tersebut tidak memadai untuk menyerap dan
menggunakan teknologi yang dialihkan. Kedua, dalam konteks perdagangan
perdagangan internasional, penguasaan atas teknologi canggih adalah keunggulan
komparatif dari negara-negara maju, di mana hal tersebut membuat mereka secara
alamiah berusaha mempertahankan keunggulan tersebut dengan membuat
mekanisme alih teknologi yang sarat dengan persyaratan atau pembatasan untuk
mencegah negara penerima dapat menguasai teknologi itu sepenuhnya.
D. Hukum Sebagai Pendorong Alih Teknologi
Law as a tool of social engineering (hukum adalah alat rekayasa sosial)
hal inilah yang disampaikan oleh Roscoe Pound. Intinya adalah hukum sebagai
sarana atau alat untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik, secara
pribadi ataupun dalam masyarakat.21
Dalam konteks ini peraturan alih teknologi
dalam investasi juga menjadi sebuah upaya rekayasa untuk bagaimana terciptanya
alih teknologi dalam investasi asing di Indonesia.
21
Efran Helmi Juni, Filsafat Hukum, (Bandung: Pustaka Setia Bandung, 2012), h. 57.
69
Konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan adalah hukum dalam arti
kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai pengatur ke arah
kegiatan manusia yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.22
Pengaturan alih teknologi dalam investasi di Indonesia bertujuan untuk adanya
akselerasi pertumbuhan inovasi dan daya saing ekonomi nasional secara
keseluruhan.
Lawrence Mere Friedman mengatakan bahwa hukum sebagai rekayasa
sosial tidak pasif melainkan harus mampu digunakan untuk mengubah suatu
keadaan dan kondisi tertentu ke arah yang dituju sesuai dengan kemauan
masyarakat,23
sehingga hukum berfungsi sebagai agent of modernization and
instrument of social engineering.
Menurut Bernard Arief Sidharta cita hukum adalah gagasan, karsa, cipta,
dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum yang
dalam intinya terdiri dari 3 unsur: keadilan, kehasil-gunaan (doelmatigheid) dan
kepastian hukum. Dari sini regulasi mengenai alih teknologi seharusnya
memberikan tidak hanya sebuah kepastian melainkan juga keadilan dan
kemanfaatan.
Hukum sebagai pendorong alih teknologi memiliki pengertian adanya
platform yang jelas untuk menjadi landasan pelaksanaan alih teknologi dalam
22
Muchtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta:
Bina Cipta, 1976), h. 4. 23
Mulyana W. Kusumah, Peranan dan Pendayagunaan Hukum dalam Pembangunan,
(Bandung: Alumni, 1982), h. 4.
70
inveastasi asing di Indonesia. Menurut Sumantoro, teknologi diperlukan untuk
pengembangan industrialisasi, khususnya bagi Indonesia sebagai negara
berkembang. Karena itu regulasi mengenai alih teknologi ini harus mencakup hal-
hal sebagai berikut:24
1. Penciptaan iklim yang menarik dan menguntungkan untuk kegiatan alih
teknologi;
2. Memberikan keuntungan yang timbal balik bagi pihak penerima dan pemberi;
3. Mendorong dan memberikan kemudahan dalam alih teknologi;
4. Menggunakan prinsip syarat dan kondisi yang adil dan obyektif yang
disepakati secara timbal balik;
5. Memperhatikan prinsip-prinsip norma internasional (code of conduct);
6. Secara konsisten, pemerintah mengikuti proses pemenuhan kewajiban sesuai
dengan hukum internasional.
Analisis penulis menunjukkan karena tidak adanya peraturan teknis yang
jelas mengenai alih teknologi ini dalam investasi asing maka wacana alih
teknologi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal25
hanya bersifat opsional dan tidak menjadi sebuah kewajiban
bagi setiap investor asing yang datang. Hal ini tentunya membuat ketentuan
opsional ini mudah untuk disimpangi oleh investor asing.
Selain berkaitan dengan legal substance, peningkatan proses alih
teknologi melalui invetasi asing ini juga dapat mengadopsi cara negara Jepang. di
Jepang setiap perjanjian internasional harus memberitahukan kepada Kosei
Torihiki linkai/ Fair Trade Commission. Dalam Undang-Undang Anti Monopoli
Jepang Pasal 6 dan 23 mewajibkan pendaftaran lisensi agar dapat diketahui
24
Sumantoro, Masalah Pengaturan Alih Teknologi, (Bandung: Alumni, 1993), h.75. 25
Lihat Pasal 18 angka (3) huruf (d) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal
71
apakah perjanjian tersebut mengandung unsur monopoli atau tidak. Selain itu
dengan mendaftarkan akan dapat diketahui bentuk atau macam teknologi serta
royalti yang dikeluarkan. Jadi di Jepang satu badan juga turut berperan dalam
pendaftaran perjanjian lisensi yaitu sebagai Bank teknologi.26
Penjelasan di atas senada dengan teori sistem hukum yang dikemukakan
oleh Lawrence Mere Friedman. Friedman menyebutkan 3 (tiga) inti pemikiran
(unsur) dalam sistem hukum, yakni:27
1. Legal structure adalah lembaga-lembaga atau instansi yang akan
menjalankan proses penegakan hukum;
2. Legal substance adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata
manusia yang berada di dalam sistem itu;
3. Legal culture adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem
hukum.
Ketiga unsur hukum tersebutlah yang akan menunjang tegak dan terlaksanannya
alih teknologi melalui investasi asing di Indonesia.
26
OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual: Intelectual Property Rights, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 283. 27
Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing, (Jakarta: Kuwais, 2012), h. 45.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan dapat penulis kemukakan
beberapa kesimpulan, antara lain sebagai berikut:
1. Konsep alih teknologi dalam investasi asing di Indonesia di
dasarkan pada asas kemandirian. Berdasarkan bentuknya teknologi
sendiri terbagi menjadi 2 yakni teknologi yang dilindungi hak
paten dan teknologi yang tidak dilindungi paten. Dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 alih teknologi yang tidak
dilindungi paten dilakukan melalui proses pelatihan yang
dilakukan oleh perusahaan penanaman modal kepada tenaga kerja
nasional. Alih Teknologi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 pasal 10 dilaksanakan melalui cara pelatihan dan peningkatan
kemampuan tenaga kerja nasional.
2. Alih teknologi melalui investasi asing di Indonesia belum memiliki
regulasi yang jelas sehingga di sini kata alih teknologi hanya
dipandang sebagai sebuah pilihan bagi investor bukan sebagi suatu
kewajiban yang bersifat mengikat dan disertai dengan sanksi tegas.
Alih teknologi ini seharusnya dapat diimplementasikan dengan
baik apabila terdapat sebuah regulasi yang jelas mengatur dan
mensyaratkan alih teknologi sebagai syarat bagi para penanam
73
modal asing untuk mendapatkan berbagai insentif dan kemudahan
dalam berinvestasi di Indonesia. Selain itu dengan regulasi yang
jelas maka tujuan investasi asing di Indonesia sesuai dengan asas
kemandirian dapat tercapai, yakni meningkatkan daya saing dan
kemandirian teknologi nasional.
B. Saran
Berdasarkan informasi dan data yang penulis dapatkan serta analisis
penulis skripsi ini, maka ada beberapa hal yang ingin disarankan penulis,
diantaranya adalah:
1. Pembentukan regulasi jelas yang menjadi peraturan teknis dari Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal berkaitan
dengan bagaimana persyaratan dan pelaksanaan alih teknologi. Seperti
dalam pasal 10 ayat 3 disebutkan bahwa “Perusahaan penanaman modal
wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia
melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”. Dan ayat 4 “Perusahaan penanaman modal yang
mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan
pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Sehingga dengan adanya peraturan teknis yang jelas ini maka alih
teknologi ini benar-benar dapat diimplementasikan dan bukan sebuah
opsionaldan formalitas semata.
74
2. Berkaitan dengan teknologi yang dilindungi paten maka mekanisme yang
digunakan adalah perjanjian lisensi. Penting bagi Indonesia untuk
membentuk sebuah badan seperti di Jepang. Setiap perjanjian
internasional di Jepang harus memberitahukan Kosei Torihiki linkai/ Fair
Trade Commission. Dalam Undang-Undang Anti Monopoli Jepang Pasal
6 dan 23 mewajibkan pendaftaran lisensi agar dapat diketahui apakah
perjanjian tersebut mengandung unsur monopoli atau tidak. Selain itu
dengan mendaftarkan akan dapat diketahui bentuk atau macam teknologi
serta royalti yang dikeluarkan. Jadi di Jepang satu badan juga turut
berperan dalam pendaftaran perjanjian lisensi yaitu sebagai Bank
teknologi.
3. Penguatan Badan Koordinasi Penanaman Modal berkaitan regulasi terkait
dengan pemberian insentif-insentif bagi investasi asing. Di sini seharusnya
BKPM menjadi gerbang awal untuk terciptanya alih teknologi dalam
investasi asing di Indonesia. Selain itu perlu koordinasi yang baik dengan
lembaga lain yang terkait dengan penguasaan teknologi seperti Lembaga
Pengembangan dan Penelitian.
75
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Adolf, Huala. Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional. Bandung, Refika
Aditama, 2007.
Anwar, Yesmil., Adang. Hukum Tak Pernah Tidur. Bandung: Asosiasi Ilmu Poitik
Indonesia, 2009.
Artikel Utama, “Dampak Globalisasi Terhadap Hukum, Bisnis, dan Sosial
Budaya.” Jurnal Keadilan. Vol. 1. No. 4. 2001.
BPHN. Binacipta. Aspek-Aspek Hukum dan Pengalihan Teknologi, 1981.
Gazda, Istvan Transfer of Technology. London: The Hague Kluwer Law
International, 1996.
Ginting, Jamin “Ketentuan Hukum Global yang Berdampak Nasional: Bagaimana
Menghadapinya?” Law Review. Vol. XII. No. 2. (November 2012).
H.S, Salim, Budi Sutrisno. Hukum Investasi. Jakarta; Rajagrafindo Persada, 2008.
Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah, Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan.
Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003.
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Utama, 2007.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing. 2006.
Idham, Ibrahim. Peranan Paten Dalam Alih Teknologi, Hukum dan Pembangunan
No. 3 Tahun XIX, Juni 1989.
Ilmar, Aminuddin. Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007.
Juni, Efran Helmi. Filsafat Hukum. Bandung: Pustaka Setia Bandung, 2012.
Karim, Mulyawan. Rindu Pancasila. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010.
76
Kusumaatmadja, Muchtar. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional.
Jakarta: Bina Cipta, 1976.
Kusumah, Mulyana W. Peranan dan Pendayagunaan Hukum dalam Pembangunan.
Bandung: Alumni, 1982.
Lindsay, Tim. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung: Alumni,
2011.
Lubis, T. Mulya, Bukbaum, M. Richard. Peranan Hukum Perekonomian di
Negara-Negara Berkembang. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1986.
Mayana, Ranti Fauza. Perlindungan Desain Industri Di Indonesia dalam Era
Perdagangan Bebas. Jakarta: Grasindo, 2004.
Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2006.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2006.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Dagang tentang Surat-Surat Berharga. Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2007.
Perrott, David L. Current Issues in International Business Law. 1988.
Prasetyantoko, Bencana Finansial. Jakarta:Kompas, 2008.
Purba, Achmad Zen Umar. Perjanjian TRIPs dan Beberapa Isu Strategis, Jakarta-
Bandung; Badan Penerbit F. H. Universitas Indonesia dan PT. Alumni.
Putra, Ida Bagus Wyasa. Aspek Hukum Perdata Internasional: Dalam Transaksi
Bisnis Internasional. Bandung: Refika Aditama, 2000), h. 47.
Rajagukguk, Erman. Hukum Investasi (Bahan Kuliah). Jakarta: UI Press, 1995.
Rakhmawati, Rosyidah. Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Malang:
Bayumedia, 2004.
Rokhmatussa’diyyah, Ana., Suratman. Hukum Investasi dan Pasar Modal. Jakarta:
Sinar Grafika, 2011.
Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing. Jakarta: Kuwais, 2012.
77
Saidin, OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights).
Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004.
Saidin, OK. Aspek Hukum Kekayaan Intelektual. Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
Salim. Hukum Divestasi di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2010.
Salman, Abdul R . Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Teori dan Contoh Kasus.
Jakarta: Kencana, 2011.
Sri Hartati. “Indonesia dan Tantangan Global”, dalam Rindu Pancasila. Jakarta:
Kompas, 2010.
Sari, Elsi Kartika., Simanunsang, Advendi. Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta:
Grasindo, 2008.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Sugondo, Frida. Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal. Jakarta: NLRP, 2010.
Sumantoro. Masalah Pengaturan Alih Teknologi. Bandung: Alumni, 1993.
Surawiguna, Hilman. Beberapa Masalah Pokok Perusahaan Multinasional, Sebuah
Tinjauan Pustaka, Manajemen Dan Usahawan Indonesia. Jakarta: Tanpa
penerbit, 1981.
Tambunan, Tulus TH. Globalisasi dan Perdagangan Internasional. Bogor; Ghalia
Indonesia 2004.
Tampubolon, Sabartua, Politik Hukum Iptek di Indonesia. Yogyakarta: Kepel Press,
2013.
UNCTAD. Technology Transfer, UNCTAD Series on Issues in International
Investment Agreements, 2001.
UNCTC. Transnational Corporations and Technology Transfer: Effects and Policy
Issues. United Nation, 1987.
Utomo, Tomi Suryo. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global, Sebuah
Kajian Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
78
Widjaja, Gunawan., Yani, Ahmad. Seri Hukum Bisnis Transaksi Bisnis
Internasional: Ekspor-Impor dan Imbal-Beli. Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2001.
Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya. Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2002
Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembanga, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
Internet
http://www.bphn.go.id/data/documents/pkj_2012_-_8.pdf, diakses pada tanggal 17
Oktober 2013.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50759704ac972/mengapa-penanaman-
modal asing-harus-dalam-bentuk-pt diakses pada tanggal 9 Mei 2014.
top related