ACARA II_6.doc
Post on 20-Jan-2016
25 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
ACARA II
KADAR SIANIDA DAN ASAM FITAT KORO BENGUK
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Koro benguk (Mucuna pruriens) merupakan salah satu jenis kacang-
kacangan lokal yang memiliki beragam varietas dan bisa digunakan sebagai
bahan baku pengganti kedelai dalam pembuatan tempe. Kandungan gizi
koro tidak kalah dengan kedelai yaitu karbohidratnya tinggi dan protein
yang cukup tinggi serta kandungan lemak yang rendah. Akan tetapi koro
juga mengandung beberapa senyawa yang merugikan yaitu glukosianida
yang bersifat toksik dan asam fitat yang merupakan senyawa anti gizi.
Sebaliknya, koro juga berpotensi sebagai pangan fungsional dengan adanya
kandungan polifenol. Jenis koro lokal antara lain koro (Mucuna pruriens),
koro pedang (Cannavalia ensiformis), koro glinding (Phaseolus lunatus),
dan koro putih.
Banyak kacang-kacangan yang dimanfaatkan sebagai makanan. Di
negara yang protein hewaninya jarang dan mahal, koro memasok sejumlah
besar protein di samping karbohidrat pada makanan manusia. Koro benguk
merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang bisa digunakan sebagai
bahan baku pengganti kedelai dalam pembuatan tempe. Kandungan gizi
koro tidak kalah dengan kedelai yaitu karbohidratnya tinggi dan protein
yang cukup tinggi serta kandungan lemak yang rendah. Akan tetapi koro
juga mengandung beberapa senyawa yang merugikan yaitu glukosianida
yang bersifat toksik berupa asam sianida dan asam fitat yang merupakan
senyawa anti gizi.
Sianida adalah zat beracun yang sangat mematikan. Sianida dalam
dosis rendah dapat ditemukan di alam dan ada pada setiap produk yang
biasa kita makan atau gunakan. Sianida dapat diproduksi oleh bakteri, jamur
dan ganggang. Sianida juga ditemukan pada rokok, asap kendaraan
bermotor, dan makanan seperti bayam, bambu, kacang, tepung tapioka dan
singkong. Selain itu juga dapat ditemukan pada beberapa produk sintetik.
Sianida banyak digunakan pada industri terutama dalam pembuatan garam
seperti natrium, kalium atau kalsium sianida. Sedangkan asam fitat yang
juga merupakan senyawa anti gizi pada kacang-kacangan pada proses
fermentasi kandungan asam fitatnya dapat dikurangi hingga 1/3 bagiannya.
2. Tujuan
Tujuan praktikum Acara II “Kadar Sianida dan Asam Fitat Koro
Benguk” ini adalah untuk mengetahui besarnya kadar sianida dan asam fitat
pada koro benguk secara kualitatif dan kuantitatif dengan beberapa variasi
perlakuan.
B. Tinjauan Pustaka
Glikosida sianogenik merupakan senyawa yang terdapat dalam bahan
makanan nabati dan secara potensial sangat beracun karena dapat terurai dan
mengeluarkan hridrogen sianida. Hidrogen sianida dikeluarakan bila komoditi
tersebut dihancurkan, dikunyah, mengalami pengirisan, atau rusak. Bila dicerna
hidrogen sianida sangat cepat terserap oleh alat pencernaan masuk ke dalam
saluran darah (Winarno, 1984).
Asam fitat adalah senyawa pada kotiledon kacang-kacangan. Asam fitat
mengandung sekitar 70% fosfor. Oleh karena itu, secara alami asam fitat
merupakan sumber fosfor. Oleh karena senyawa tersebut sulit dicerna fosfor
dari asam fitat dapat digunakan oleh tubuh manusia. Asam fitat dapat mengikat
unsur-unsur mineral, terutama kalsium, seng, besi, dan magnesium, serta
mengurangi ketersediaannya bagi tubuh karena menjadi sangat sulit untuk
dicerna. Asam fitat juga dapat bereaksi dengan protein membentuk senyawa
kompleks sehingga dapat menghambat pencernaan protein oleh enzim
proteolitik akibat terjadinya perubahan konformasi protein (Astawan, 2009).
Kandungan asam fitat ini membuat kacang-kacangan banyak dianjurkan
untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes, karena asam fitat dapat
memperlambat proses pencernaan pati sehingga kandungan gula darah setelah
mengkonsumsi makanan yang kaya asam fitat tidak langsung tinggi. Namun
asam fitat mempunyai kelemahan karena dapat mengikat mineral-mineral
bervalensi dua, seperti zat besi, seng, kalsium, magnesium, mangan, tembaga,
dan lain-lain. Oleh karena itu, konsumsi bahan pangan kaya asam fitat tidak
dianjurkan untuk dikonsumsi secara berlebihan (Astawan dan Kasih, 2006).
Glikosida sianogenik dapat melepaskan sianida sehingga member efek
toksik terhadap jaringan tubuh. Penelitian menunjukkan bahwa sianida dapat
menyebabkan kerusakan pankreas yang akhirnya menimbulkan gejala diabetes
melitus jika disertai dengan kekurangan protein. Karenanya, protein
dibutuhkan dalam proses detoksikasi sianida (Utami dkk, 2008).
Benguk merupakan Leguminoseae yang tergolong dalam subfamily
Papilionaceae. Mucuna pruriens telah lama dikenal oleh sebagian besar
penduduk di Indonesia. Beberapa jenis Mucuna memberikan rasa gatal yang
luar biasa pada tubuh manusia, disebabkan oleh bulu-bulu halus yang terdapat
pada buahnya. Nama benguk didaerah Jawa adalah koro benguk
(Purwanto, 2007).
Koro benguk merupakan tanaman semak yang biasanya tumbuh di
daerah tandus bahkan sangat kritis sekalipun. Namun, masih sedikit
masyarakat yang mengolahnya sebagai bahan makanan karena adanya
kandungan HCN pada bijinya yang dapat mengakibatkan keracunan bahkan
sampai kematian. Sebenarnya, kadar HCN dapat ditekan sampai dibawah kadar
toleransi dengan cara yang sederhana dan mudah sehingga dapat dikonsumsi
dengan aman. Senyawa atau faktor anti-gizi yang ditemukan pada koro benguk
adalah sianida dalam bentuk sianogenik glukosida. Umumnya sianida yang
dihasilkan oleh bahan nabati tersebut bervariasi antara 10-800 mg per 100 g
bahan. Dan umumnya aktivitas senyawa ini dapat dihilangkan atau dikurangi
melalui proses pemanasan (Sudiyono, 2008).
Asam fitat (myoinositol asam hexa-fosfat, IP6) adalah senyawa fosfor
penyimpanan utama dari kebanyakan benih dan biji-bijian sereal, mungkin
mencapai lebih dari 70% dari total fosfor. Asam fitat memiliki kemampuan
yang kuat untuk khelat ion logam multivalen, khususnya seng, kalsium dan
besi. Mengikat dapat menghasilkan garam yang sangat larut dengan
bioavailabilitas miskin mineral. Selain sifat negatif yang terkenal IP6, oleh besi
kompleks, dapat membawa tentang menguntungkan penurunan pembentukan
radikal hidroksil dalam usus (Graf dan Eaton, 1993) juga positif dll terhadap
karsinogenesis telah ditunjukkan dengan in vitro sel cul- sistem mendatang,
tikus, tikus dan marmut, tetapi mekanisme aksi tidak dipahami (Harland,
1995).
Asam fitat mungkin memiliki menguntungkan dan efek merusak pada
manusia dan hewan melalui nutrisi. Beberapa manfaat dilaporkan bahwa ia
memiliki antikanker sifat dan efek pencegahan terhadap penyakit jantung dan
diabetes (Janeb dan Thompson, 2002). Efek negatif khas yang dikenal adalah
mengikat divalen seperti kation sebagai magnesium (Mg), Ca, Zn dan Fe
membentuk kompleks larut, maka mengurangi bioavailabilitasnya. Asam fitat
mampu membentuk kompleks dengan protein pada kadar pH tinggi, dan
dengan demikian merusak kecernaan dan bioavailabilitas protein biji
(Tavajjoh et al, 2011).
Cyanogenesis adalah kemampuan beberapa tanaman untuk mensintesis
glikosida sianogen, yang ketika enzymically dihidrolisis, rilis asam
cyanohydric (HCN), dikenal sebagai asam prussic (Harborne, 1972, 1986,
1993). Dalam kebanyakan kasus, hidrolisis dilakukan oleh b-glukosidase,
menghasilkan gula dan sianohidrin yang secara spontan terurai menjadi HCN
dan keton atau aldehida. Langkah kedua juga dapat dikatalisis oleh liase
hidroksinitril, yang tersebar luas di tanaman sianogen (Harborne, 1993;
Gruhnert et al, 1994). Pada tanaman utuh, enzim dan glikosida sianogen tetap
terpisah, tetapi jika jaringan tanaman rusak keduanya dimasukkan ke dalam
kontak dan aAsam cyanohydric dilepaskan. Asam cyanohydric sangat beracun
untuk spektrum yang luas dari organisme, karena kemampuannya
menghubungkan dengan logam (Fe2+,Mn2+ dan Cu2+) yang adalah kelompok
fungsional dari banyak enzim, proses menghambat seperti pengurangan
oksigen dalam rantai pernapasan sitokrom, elektron transportasi dalam
fotosintesis, dan aktivitas enzim katalase seperti, oksidase
(Franccisco dan Pinotti, 2000).
Ketidaklarutan fitat pada beberapa keadaan merupakan salah satu faktor
yang secara nutrisional dianggap tidak menguntungkan, karena dengan
demikian menjadi sukar diserap tubuh. Dengan adanya perlakuan panas, pH,
atau perubahan kekuatan ionik selama pengolahan dapat mengakibatkan
terbentuknya garam fitat yang sukar larut. Hasil penelitian Muchtadi (1998),
menunjukkan bahwa asam fitat sangat tahan terhadap pemanasan selama
pengolahan, namun proses fermentasi dapat mengurangi bahkan
menghilangkan asam fitat. Sementara Tangenjaya (1979), melaporkan bahwa
pemanasan pada suhu 100 C, pH 2 selama 24 jam dapat mengurangi kadar fitat
sampai dengan 70%. Meskipun asam fitat dapat dikurangi dengan cara
pemanasan, tetapi cara ini tidak efektif dan dapat merusak komponen gizi lain,
terutama protein dan vitamin (Arief et al, 2011).
Ditinjau dari nilai gizinya, koro benguk berpeluang untuk bersaing
dengan jenis kacang-kacangan yang lain. Biji mentah koro benguk mempunyai
kadar protein 28-32%, pati 40-44%, lemak 3-4%. Disamping kandungan bahan
tadi, koro benguk juga mengandung asam sitrat dan HCN yang cukup tinggi.
Kandungan HCN dalam biji 1,66-2,00 mg/100g; endosperm 1,78-2,30
mg/100g dan lembaga 10,3-12,5 mg/100g. HCN inilah yang menjadi masalah
dalam penggunaan biji benguk sebagai bahan makanan selama ini
(Sudarmadji dkk, 1979 dalam Hardiningsih, 1994).
C. Metodologi
1. Alat
a. Tabung reaksi
b. Spektrofotometer
c. labu Kjeldahl
d. Waterbath
e. Timbangan analitik
f. Sentrifuge
g. Gelas piala 500 ml
h. Pipet 5 ml
2. Bahan
a. Koro benguk
b. Tempe koro benguk
c. Larutan HNO3
d. Larutan FeCl3
e. Amil alkohol
f. Larutan amonium tiosianat
g. Soda kue
h. Air
i. Kloroform
j. Alkalin pikrat
k. KOH 2%
3. Cara Kerja
a. Analisis Asam Fitat
Disiapkan 5 gram sampel koro benguk dengan berbagai perlakuan
Diamkan 12-13 menit
Disentrifuse pada 1000 rpm selama 10 menit
Didinginkan, kemudian ditambah 5 ml amil alkohol dan 1 ml larutan ammonium thiosianat
Direndam dalam penangas air 100oC selama 20 menit
Ditambah 0,5 ml filtrat sampel dalam tabung rekasi dengan 0,9 ml larutan HNO3 0,5 M dan larutan FeCl3
Disuspensikan dalam 50 ml larutan HNO3 dan diaduk selam 3 jam kemudia disaring.
Lapisan amil alkohol diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada λ 465 nm dengan blanko amil alkohol.
b. Analisis Kadar Sianida
D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 2.1 Data Perhitungan Asam Fitat
kelompok Sampel Absorbansi (Å)1 Koro benguk mentah -0,3882 Koro benguk rendam 1 hari 0,9953 Koro benguk rendam air + soda kue 1 hari 0,3374 Koro benguk rendam 3 hari 0,2315 Koro benguk rendam air + soda kue 3 hari 0,2836 Koro benguk kukus 0,1277 Koro benguk rebus -0,0988 Tempe koro benguk 0,898
Sumber :Laporan Sementara
Pembahasan :Asam fitat (mio-inositol heksakisfosfat) (C6H18O24P6) merupakan
bentuk penyimpanan fosfor yang terbesar pada tanaman serealia dan
leguminosa. Bagi tubuh manusia, asam fitat (phytic acid) merupakan senyawa
kimia yang bersifat antinutrisi. Dalam bentuk biji, fitat merupakan sumber
fosforus dan inositol utama bagi tanaman yang terdapat dalam bentuk garam
dengan kalium, kalsium, magnesium, dan logam lainnya. Secara alami, asam
Ditimbang 4 gr sampel koro benguk dengan berbagai perlakuan
Diukur absorbansi pada panjang gelombang 520 nm
Dimasukkan dalam waterbath berisi air mendidih 5 menit
Diambil 5ml aliquot + 5ml alkalin pikrat
HCN diserap dalam KOH 2% hingga volume total 20ml
Didestilasi
Ditambah 125 ml air + 2,5 ml kloroform dalam labu Kjedahl
fitat akan membentuk ikatan kuat dengan mineral seperti Ca, Mg dan Fe
maupun protein menjadi senyawa yang sukar larut. Hal ini menyebabkan
mineral dan protein tidak dapat diserap tubuh. Oleh karena itu, asam fitat
dianggap sebagai antinutrisi pada bahan pangan.
Kandungan fitat didalam biji-bijian dan kacang-kacangan relatif
tinggi. Fitat bisa dihidrolisis dengan bantuan asam atau enzim (indigenus atau
eksogenus). Ini sebabnya mengapa proses perkecambahan dan fermentasi
(seperti pada pembuatan tempe) bisa mereduksi kadar fitat didalam bahan.
Asam fitat bersifat larut air sehingga perendaman juga dapat
mereduksi kadar fitat. Kombinasi perendaman dengan pemanasan dan atau
blansir (keduanya dilakukan sebelum perendaman) akan mereduksi asam fitat
dengan lebih efektif. Pemanasan tidak merusak asam fitat (karena sifatnya
tahan panas) tapi merusak struktur bahan sehingga fitat lebih mudah
terekstrak ke air perendam. Blansir akan meningkatkan suhu bahan (bagian
dalam menjadi sekitar 45-60° C) yang merupakan suhu optimum aktivitas
enzim penghidrolisis fitat yang secara alami terdapat di dalam bahan.
Sehingga, kombinasi pemanasan dan atau blansir dengan perendaman akan
mereduksi kadar fitat secara signifikan.
Dalam pembuatan filtrat untuk analisa kadar asam fitat, sampel
disuspensikan ke dalam HNO3 tujuannya untuk dapat melarutkan asam fitat
pada sampel. Setelah dilarutkan, sampel diaduk selama 3 jam bertujuan untuk
mengoptimalkan proses keluarnya asam fitat dari bahan. Dengan
dilakukannya pengadukan, HNO3 dan koro benguk akan tercampur lebih
merata, selain itu pengadukan dapat menyebabkan koro benguk menjadi
pecah, sehingga luas permukaan kontak dengan HNO3 menjadi lebih besar.
Filtrat yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi
dan direaksikan dengan larutan FeCl3 dan HNO3 0,5 M. asam fitat yang
keluar dari bahan akan berikatan dengan Fe membentuk Fe-fitat. Tabung
reaksi kemudian direndam dalam penangas air 100oC selama 20 menit setelah
dingin ditambahkan amil alkohol dan amonium tiosianat. Fe sisa akan
bereaksi dengan amonium tiosianat dan amil alkohol yang berwarna merah.
Selanjutnya, sampel disentrifuse pada 100 rpm selama 2-3 menit kemudian
didiamkan selama 12-13 menit dan ditera absorbansinya dengan panjang
gelombang 465 nm.
Penambahan larutan HNO3 ini adalah sebagai pelarut untuk
mengisolasi atau melepaskan atau melarutkan asam fitat seperti yang dilansir
nitrat Bulgarian Pharmaceutical Group (2004) dalam Hernaman et al (2007)
bahwa isolasi fitat secara industri dapat dilakukan dengan dua cara
bergantung pada medium ekstraksi yang digunakan dimana yang paling
umum dilakukan adalah melarutkannya dengan menggunakan beberapa
pelarut asam organik, seperti asam format, asetat, laktat, okasalat, sitrat,
trikloroasetat atau dilarutkan dengan asam anorganik, seperti asam
hidroklorik, dan asam. Sedangkan pengadukan selama 3 jam dilakukan untuk
mengoptimalkan proses keluarnya asam fitat dari bahan.
Seperti menurut Larian (1959) dalam Hartanti (1995) proses
pengadukan bertujuan untuk mempercepat pelarutan zat padat dengan jalan
membentuk suspensi serta melarutkan partikel-partikel ke dalam medium
pelarut. Dengan adanya pengadukan koro benguka dalam larutan HNO3 maka
koro benguk akan tercampur lebih merata, selain itu adanya pengadukan
dapat menyebabkan koro benguk menjadi pecah, sehingga luas permukaan
kontak dengan HNO3 menjadi lebih besar dan larut dalam pelarut HNO3
sehingga asam fitat dapat mempermudah pengeluaran asam fitat dalam koro
benguk.
Pada pengamatan mengenai kadar asam fitat dari koro benguk,
digunakan sampel yaitu koro benguk dengan berbagai jenis perlakuan.
Perlakuan yang diberikan di antaranya : koro benguk mentah, koro benguk
rendam air 1 hari, koro benguk rendam air dan soda kue 1 hari, koro benguk
rendam air 3 hari, koro benguk rendam air dan soda kue 3 hari, koro benguk
kukus, koro benguk rebus, dan tempe koro benguk. Dari berbagai perlakuan
tersebut ingin diketahui perlakuan mana yang memberikan efek pengurangan
terhadap kandungan asam fitat pada masing-masing sampel yang diberi
berbagai macam perlakuan.
Pada hasil praktikum kadar asam fitat dalam koro benguk diperoleh
data absorbansi pada sampel yang diberi perlakuan sebagai berikut, pada koro
mentah sebesar -0,388; direndam 1 hari 0,995; rendam 1 hari + Soda Kue
sebesar 0,377; rendam 3 hari sebesar 0,231; rendam 3 hari + Soda Kue
sebesar 0,283; kukus sebesar 0,127; direbus sebesar -0,098 dan tempe koro
benguk sebesar 0,898.
Dari data diatas diperoleh absorbansi tertinggi pada kelompok 2 dan 8
yaitu sampel koro benguk direndam 1 hari dan tempe koro benguk. Pada
absorbansi sampel koro benguk direndam 1 hari memperlihatkan hasil yang
paling tinggi, hal ini menunjukkan bahwa semakin besar absorbansinya maka
semakin kecil kandungan asam fitatnya. Hal ini disebabkan asam fitat bersifat
larut air sehingga perendaman juga dapat mereduksi kadar fitat. Kombinasi
perendaman dengan pemanasan dan/atau blansir (keduanya dilakukan
sebelum perendaman) akan mereduksi asam fitat dengan lebih efektif. Jadi
urutan kandungan asam fitat dari rendah ke tinggi adalah koro benguk
mentah, koro benguk rebus, koro benguk dikukus, koro benguk direndam 3
hari, koro benguk direndam air + soda kue 3 hari, koro benguk direndam
air+soda kue 1 hari, tempe koro benguk, koro benguk direndam 1 hari.
Maka hasil absorbansi yang paling rendah pada sampel koro benguk
yang direbus pada kelompok 1 dan 7. Dari hasil yang didapat ada yang sudah
sesuai teori namun ada juga yang menyimpang. Pada sampel koro benguk
yang mentah dan direbus memperlihatkan hasil bahwa semakin kecil
absorbansinya maka semakin besar kandungan asam fitatnya. Hal ini
disebabkan Pemanasan tidak merusak asam fitat (karena sifatnya tahan panas)
tapi merusak struktur bahan sehingga fitat lebih mudah terekstrak ke air
perendam. Sedangkan koro benguk yang direndam akan membuat
perkecambahan yang mengubah asam fitat menjadi inositol sehingga kadar
asam fitat sedikit. Namun pada perendaman 3 hari justru kandungan asam
fitat lebih besar dari rendam 1 hari.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan asam fitat dalam bahan
pangan diantaranya perlakuan pengolahan (pencucuian, pemanasan,
perebusan, perendaman dan fermentasi), pH bahan dan enzim serta
penyimpanan. Hasil penelitian Muchtadi (1998), menunjukkan bahwa asam
fitat sangat tahan terhadap pemanasan selama pengolahan, namun proses
fermentasi dapat mengurangi bahkan menghilangkan asam fitat. Sedangkan
menurut Tangenjaya (1979) pemanasan pada suhu 100oC, pH 2 selama 24
jam dapat mengurangi kadar fitat sampai dengan 70%. Meskipun asam fitat
dapat dikurangi dengan cara pemanasan, tetapi cara ini tidak efektif dan dapat
merusak komponen gizi lain, terutama protein dan vitamin. Kandungan asam
fitat dalam bahan makanan juga dipengaruhi keberadaan enzim fitase yang
dapat menghidrolisis asam fitat secara bertahap menjadi senyawa turunannya,
yang dapat larut dan terserap dalam sistem pencernaan.
Bahan makanan dari tumbuhan yang mengandung fitase antara lain
gandum, gandum hitam, barley, jagung, padi dan hasil sampingnya. Akan
tetapi, menurut Tempterton et al (1965) yang dikutip oleh Lolas dan Markakis
(1977), fitase tidak stabil dalam bahan makanan sehingga tidak dapat
diharapkan sebagai sumber enzim. Distribusi fitase dalam tanaman tidak
seimbang dengan kandungan fitatnya dan ada kemungkinan aktivitas enzim
fitase dihambat oleh kandungan fitat yang tinggi. Enzim yang diisolasi dari
mikroba memiliki beberapa keunggulan, antara lain potensi produksinya tidak
terbatas, produksi fitase mikroba dalam memproduksi enzim dapat
ditingkatkan, perbanyakan mikroba relatif mudah dan murah serta dapat
dikendalikan meskipun memerlukan kondisi yang tepat.
Menurut Sutardi (1993) pada proses pembuatan tempe koro benguk
seluruh tahapan prosesnya, yaitu perendaman sampai fermentasi dapat
menurunkan kadar asam fitat dengan total penurunan mencapai 53%.
Senyawa phytate atau phytin merupakan inositol hexaphosphoriric acid yang
mengikat kalsium, magnesium dan terdapat hampir pada semua jenis kacang-
kacangan. Senyawa ini menyebabkan penurunan ketersediaan mineral karena
dapat membentuk kompleks dengan kalsium dan magnesium dapat
mengurangi nilai gizi protein dan sifat fungsional protein melalui mekanisme
pengikatan kalsium dan magnesium. Pada fermentasi tempe kara benguk
digunakan ragi dan terlibat pula berbagai jenis mikrobia yang dapat
menghasilkan enzim fitase sehingga pemecahan fitat berlangsung sangat
cepat. Keberadaan mikroorganisme pada ragi mempunyai peranan penting
khususnya dalam membantu menurunkan asam fitat. Semakin lama waktu
fermentasi, miselium jamur semakin tebal karena pertumbuhan ragi yang
semakin meningkat. Dengan pertumbuhan ragi dan semakin tebalnya
miselium jamur maka enzim fitase yang diproduksi semakin meningkat
dengan ditunjukkan semakin menurunnya kadar asam fitat.
Tabel 2.2 Kurva Standar KCN
KCN(ml) Aquades Alkalin Pikrat Å mg KCN0,0 5,0 5 0,102 00,5 4,5 5 0,08 0,061,0 4,0 5 0,132 0,121,5 3,5 5 0,297 0,182,0 3,0 5 0,025 0,242,5 2,5 5 0,282 0,3
Sumber :Laporan Sementara
Pembahasan :
Kurva standar merupakan kurva yang dibuat dari sederetan larutan
standart yang masih dalam batas linieritas sehingga dapat diregresilinierkan.
Kurva standart menunjukkan hubungan antara konsentrasi larutan (sumbu-x)
dengan absorbansi larutan (sumbu-y). Dari kurva standart akan dihasilkan
suatu persamaan yang diregresilinierkan, yaitu persamaan y = mx + c, dengan
m : kemiringan garis, dan c: konstanta. Kurva standart biasanya digunakan
untuk menunjukkan besarnya konsentrasi larutan sampel dari hasil
pengukuran atau dapat dikatakan bahwa konsetrasi sampel larutan bisa
diperoleh dengan mudah melalui kurva standart. Kurva standart harus dibuat
pada setiap kali melakukan analisis sampel yaitu bersamaan dengan analisis
sampel karena waktu analisis yang berbeda akan menghasilkan pembacaan
absorbansi yang berbeda sehingga kurva standart yang diperoleh juga akan
berbeda (anonim1, 2012).
Pada pengamatan kadar asam sianida digunakan kurva standar
KCN. Kadar KCN sebesar 120 mg dalam 1 liter aquades atau 120 mg KCN/l
setara dengan 50 µg HCN dalam 1 ml aquades. Sedangkan reaksi yang terjadi
pada asam sianida dan kalium sianida yaitu :
HCN + KOH KCN + H2O
Pada hasil praktikum data kurva standar KCN, digunakan 6
konsentrasi larutan KCN yang berbeda, yaitu 0 ml; 0,5 ml; 1 ml; 1,5 ml; 2 ml;
dan 2,5 ml. KCN yang digunakan untuk larutan standar adalah sebanyak 120
mg yang dilarutkan dalam 1000 ml aquades. Larutan standar dibaca
absorbasinya dengan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm.
Data absorbansi yang diperoleh untuk masing-masing konsentrasi adalah
sebagai berikut : 0 ml standar diperoleh absorbansi sebesar 0,005; pada 0,5 ml
standar sebesar 0,214; 1 ml standar sebesar 0,367; pada 1.,5 sebesar 0,583;
pada 2 ml standar sebesar 0,771; dan pada 2,5 ml standar sebesar 0,854.
Pada hasil praktikum data kurva standar KCN, didapat data mg/ml
KCN bahwa 0 ml standar diperoleh sebesar 0; pada 0,5 ml standar sebesar
0,06; 1 ml standar sebesar 0,12; pada 1,5 sebesar 0,18; pada 2 ml standar
sebesar 0,24; dan pada 2,5 ml standar sebesar 0,30. Dari nilai absorbansi yang
diperoleh, didapatkan persamaan regresi yaitu y = 2,82x + 0,0276.
Semakin tinggi ml standar KCN maka semakin tinggi pula mg/ml
KCN dan absorbansinya pun semakin tinggi. Hal ini disebabkan makin
banyak KCN yang terlarut dalam larutan standar sehingga warna larutan yang
dihasilkan makin pekat sehingga nilai absorbansinyapun semakin besar.
Dimana makin besar nilai absorbansinya menunjukkan kandungan KCN yang
terlarut juga semakin besar.
Tabel 2.3 Data Perhitungan Sianida koro benguk
kelompok Sampel Åmg
KCNHCN(mg/ml)
1 Koro benguk mentah 0,066 0,013 0,00132
2 Koro benguk rendam 1 hari 0,229 0,069 0,00690
3 Koro benguk rendam air + soda kue 1 hari 0,159 0,045 0,00450
4 Koro benguk rendam 3 hari 0,053 0,009 0,00087
5 Koro benguk rendam air + soda kue 3 hari 0,275 0,085 0,00847
6 Koro benguk kukus 0,250 0,076 0,00762
7 Koro benguk rebus 0,052 0,008 0,00084
8 Tempe koro benguk 0,079 0,018 0,00176
Sumber :Laporan Sementara
Pembahasan :Asam sianida (HCN) banyak terdapat pada umbi-umbian dan kacang-
kacangan, salah satunya koro benguk. HCN dihasilkan jika produk
dihancurkan, dikunyah, diiris atau diolah. Jika dicerna, HCN sangat cepat
terserap oleh alat pencernaan masuk ke dalam saluran darah dan terikat
bersama oksigen. Bahaya HCN terutama pada sistem pernafasan, dimana
oksigen dalam darah terikat oleh senyawa HCN dan terganggunya sistem
pernafasan (sulit bernafas). Tergantung jumlah yang dikonsumsi, HCN dapat
menyebabkan kematian jika pada dosis 0,5-3,5 mg HCN/kg berat badan
(Winarno, 2002).
Pada pengamatan mengenai kadar asam sianida dari koro benguk,
digunakan sampel yaitu koro benguk dengan berbagai jenis perlakuan.
Perlakuan yang diberikan di antaranya : koro benguk mentah, koro benguk
rendam air 1 hari, koro benguk rendam air dan soda kue 1 hari, koro benguk
rendam air 3 hari, koro benguk rendam air dan soda kue 3 hari, koro benguk
kukus, koro benguk rebus, dan tempe koro benguk. Dari berbagai perlakuan
tersebut ingin diketahui perlakuan mana yang memberikan efek pengurangan
terhadap kandungan asam sianida pada masing-masing sampel yang diberi
berbagai macam perlakuan.
Dalam penentuan kadar sianida sampel dilarutkan pada air dan
ditambahkan kloroform yang berfungsi mendestruksi HCN pada sampel.
Kemudian sampel didestilasi dalam labu Kjeldahl dan HCN diserap dalam
KOH 2%. Selanjutnya ditambah alkalin pikrat dan dimasukkan dalam
waterbath selama 5 menit, setelah itu diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 520 nm.
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan kadar asam sianida dari
masing-masing sampel yang diwakili dengan nilai absorbansi. Urutan nilai
absorbansi sampel dari yang terbesar adalah koro benguk direndam air + soda
kue 3 hari (0,275), koro benguk dikukus (0,250), koro benguk direndam 1
hari (0,229), koro benguk rendam air + soda kue 1 hari (0,156), tempe koro
benguk (0,079), koro benguk mentah (0,066), koro benguk direndam 3 hari
(0,053) dan koro benguk rebus (0,052). Makin tinggi nilai absorbansinya
maka makin pekat pekat warna larutan karena makin tinggi atau makin
banyak HCN yang terlarut dan yang terkandung dalam koro benguk. Apabila
nilai absorbansi makin rendah maka makin bening warna larutan karena
makin rendah atau makin sedikit HCN yang terlarut dan yang terkandung
dalam koro benguk. Nilai absorbansi berbanding lurus dengan kadar sianida
di dalam bahan. Makin besar absorbansi yang didapat maka makin besar mg
KCN, makin besar HCN yang terlarut dalam air rendaman maka kadar mg/ml
HCN pun makin besar.
Dari hasil praktikum diatas diperoleh data kadar HCN (mg/ml) pada
tiap sampel dari yang terbesar ke terkecil adalah sebagai berikut koro benguk
direndam air + soda kue 3 hari (0,00847), koro benguk dikukus (0,0076),
koro benguk direndam 1 hari (0,00690), koro benguk rendam air + soda kue 1
hari (0,00450), tempe koro benguk (0,00176), koro benguk mentah (0,0132),
koro benguk direndam 3 hari (0,00087) dan koro benguk rebus (0,00084).
Berdasarkan data hasil praktikum mg kadar HCN (mg/ml) kurang dari 0,5-3,5
mg HCN/kg berat badan. Hal ini memperlihatkan bahwa koro benguk
tersebut masih aman untuk dikonsumsi sebab kadarnya masih aman (< 0,5-
3,5 mg HCN/kg berat badan).
Selain itu kadar HCN pada koro benguk tidak terlalu tinggi pada koro
benguk karena diberi perlakuan perendaman, perebusan, dan penambahan
soda kue dimana perlakuan tersebut dapat mengurangi atau bahkan
menghilangkan kandungan HCN dalam koro benguk. Hal ini menunjukkan
bahwa perlakuan pada koro benguk dapat berpengaruh pada kadar asam
sianida yang terkandung di dalamnya. Perlakuan yang dapat diberikan antara
lain penambahan soda kue, variasi lama perendaman, perlakuan suhu panas
(kukus dan rebus), dan pengolahan menjadi tempe. Kadar sianida pada
sampel yang diberi soda kue lebih rendah dibandingkan yang tidak ditambah
soda kue. Hal ini disebabkan soda kue menghambat penyerapan/terlarutnya
HCN pada air rendaman. Semakin lama perendaman dapat menurunkan kadar
sianida yang lebih banyak.
Faktor yang mempengaruhi kandungan sianida dalam bahan pangan
yaitu cara pengolahan makanan. Menurut Sudaryanto (1992) kandungan
sianida dapat diturunkan dengan beberapa cara, yaitu perendaman, pencucian,
pengukusan, pengeringan, fermentasi, atau kombinasi dari beberapa
perlakuan. Hal ini duperkuat oleh Muchtadi (1989) yang menyatakan bahwa
titik didih HCN adalah 26oC, oleh karena itu penyimpanan hasil tanaman
pada suhu dan kelembapan yang tinggi akan mengakibatkan turunnya kadar
HCN secara bertahap. Saono (1976) juga menyebutkan bahwa bahan
makanan yang telah difermentasi memiliki nilai gizi yang lebih tinggi
dibandingkan bahan asalnya, karena komponen-komponen kompleks diubah
oleh mikroorganisme menjadi zat-zat yang lebih sederhana dan mudah
dicerna. Fermentasi secara tradisional akan memperbaiki sifat dari bahan
seperti lebih mudah dicerna, tahan disimpan, dan menurunkan zat anti nutrisi.
Sedangkan pada bahan pangan dalam bentuk mentah faktor lain yang
mempengaruhi kandungan sianidanya adalah genetik tanaman, umur
tanaman, tingkat kematangan dan kesuburan tanah seperti yang diuaraikan
Wobeto et al (2007).
E. KESIMPULAN
Dari praktikum kadar sianida dan asam fitat koro benguk diatas dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Asam fitat dan senyawa fitat dapat mengikat mineral seperti kalsium,
magnesium, seng dan tembaga sehingga berpotensi mengganggu
penyerapan mineral. Selain mengikat mineral, fitat juga bisa berikatan
dengan protein sehingga menurunkan nilai cerna protein bahan.
2. Sianida adalah senyawa kimia yang mengandung kelompok siano C≡N,
dengan atom karbon terikat-tiga ke atom nitrogen.
3. Jadi urutan kandungan asam fitat dari rendah ke tinggi adalah koro benguk
mentah, koro benguk rebus, koro benguk dikukus, koro benguk direndam
3 hari, koro benguk direndam air + soda kue 3 hari, koro benguk direndam
air+soda kue 1 hari, tempe koro benguk, koro benguk direndam 1 hari.
4. Absorbansi tertinggi asam fitat pada kelompok 2 dan 8 yaitu sampel koro
benguk direndam 1 hari dan tempe koro benguk.
5. Absorbansi yang paling rendah pada sampel koro benguk mentah dan
direbus pada kelompok 1 dan 7.
6. Semakin besar absorbansinya maka semakin kecil kandungan asam
fitatnya.
7. Hal ini disebabkan asam fitat bersifat larut air sehingga perendaman juga
dapat mereduksi kadar fitat. Kombinasi perendaman dengan pemanasan
dan/atau blansir (keduanya dilakukan sebelum perendaman) akan
mereduksi asam fitat dengan lebih efektif.
8. Dari hasil praktikum diatas diperoleh data kadar HCN (mg/ml) pada tiap
sampel dari yang terbesar ke terkecil adalah sebagai berikut koro benguk
direndam air + soda kue 3 hari (0,00847), koro benguk dikukus (0,0076),
koro benguk direndam 1 hari (0,00690), koro benguk rendam air + soda
kue 1 hari (0,00450), tempe koro benguk (0,00176), koro benguk mentah
(0,0132), koro benguk direndam 3 hari (0,00087) dan koro benguk rebus
(0,00084).
9. Makin tinggi nilai absorbansi HCN maka makin pekat pekat warna larutan
karena makin tinggi atau makin banyak HCN yang terlarut dan yang
terkandung dalam koro benguk.
10. Makin besar absorbansi yang didapat maka makin besar mg KCN, makin
besar HCN yang terlarut dalam air rendaman maka kadar mg/ml HCN pun
makin besar.
11. Semakin tinggi ml standar KCN maka semakin tinggi pula mg/ml KCN
dan absorbansinya pun semakin tinggi.
12. Hal ini disebabkan makin banyak KCN yang terlarut dalam larutan standar
sehingga warna larutan yang dihasilkan makin pekat sehingga nilai
absorbansinyapun semakin besar. Dimana makin besar nilai absorbansinya
menunjukkan kandungan KCN yang terlarut juga semakin besar.
LAMPIRAN
a. Perhitungan Kurva Standar KCN
mg/ml KCN (x), untuk KCN 0 ml
120/1000 x 0 = 0
mg/ml KCN (x), untuk KCN 0,5 ml
120/1000 x 0,5 = 0,06
mg/ml KCN (x), untuk KCN 0 ml
120/1000 x 1 = 0,12
mg/ml KCN (x), untuk KCN 0 ml
120/1000 x 1,5 = 0,18
mg/ml KCN (x), untuk KCN 0 ml
120/1000 x 2 = 0,24
mg/ml KCN (x), untuk KCN 0 ml
120/1000 x 2,5 = 0,3
b. persamaan kurva standar
y = 2,29 x + 0,0276
c. Perhitungan kadar HCN sampel koro benguk rendam air 1 hari
mg KCN (x) y = 2,29 x + 0,0276
0,229 = 2,29 x + 0,027
x = 0,069
d. HCN = x fp x 100
= (0,069/4000) x 20/5 x 100
= 0,00690 mg/ml
top related