Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Emfisema pulmonum adalah keadaan pembesaran paru-paru yang
disebabkan oleh menggembungnya alveoli secara berlebihan yang disertai atau
tanpa disertai robeknya dinding alveoli tergantung dengan kerusakan alveoli.
Udara pernafasan akan terdapat di dalam rongga jaringan interstitial atau tetap
berada di dalam rongga alveoli saja. Proses dapat berjalan secara akut maupun
kronik. Secara umum, emfisema paru-paru ditandai dengan dipsnoea ekspiratorik,
hyperpnoea dan mudahnya penderita mengalami kelelahan.
Emfisema adalah penyakit yang umum. Tetapi insidensi pastinya sulit
diperkirakan karena diagnosis pasti, yang didasarkan pada morfologi, hanya dapat
ditegakkan melalui pemeriksaan paru saat autopsy. Secara umum disepakati
bahwa emfisema terdapat pada50% orang dewasa yang diautopsi. Emfisema jauh
lebih sering ditemukan dan lebih parah pada laki– laki. Meskipun emfisema tidak
menyebabkan disabilitas sampai usia sekitar lima puluh hingga delapanpuluh
tahun, deficit ventilasi sudah dapat bermanifestasi klinik beberapadecade
sebelumnya.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada emfisema adalah pemeriksaan
fisik dan radiologi. Pemeriksaan foto thorax sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit paru lain.
Laporan ini dibuat berdasarkan kasus yang diambil dari seorang pasien
berjenis kelamin laki- laki, berusia 62 tahun yang melakukan pemeriksaan Thorax
AP. Penting kiranya bagi kita untuk memperhatikan dan mencermatinya, untuk
kemudian bisa menjadikannya sebagai pengalaman dilapangan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi paru manusia ?
2. Apa definisi emfisema ?
1
2
3. Apa etiologi emfisema?
4. Bagaimana patofisiologi emfisema?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari emfisema?
6. Bagaimana gambaran radiologis dari emfisema?
7. Bagaimana penatalaksanaan emfisema ?
8. Bagaimana prognosis emfisema?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui anatomi paru manusia
2. Mengetahui definisi emfisema
3. Mengetahui etiologi emfisema
4. Mengetahui patofisiologi emfisema
5. Mengetahui manifestasi klinis dari emfisema
6. Mengetahui gambaran radiologis dari emfisema
7. Mengetahui penatalaksanaan emfisema
8. Mengetahui prognosis emfisema
1.4 Manfaat
Dengan mengetahui manifestasi klinis dan gambaran radiologis dari
emfisema, kita dapat menegakkan diagnosa emfisema, sehingga nantinya kita
dapat memberikan terapi yang tepat bagi pasien.
BAB II
DATA KASUS
2.1 Identitas Pasien
Pada tanggal 1 Juni 2014 seorang pasien diantar oleh petugas rumah sakit
datang ke Instalasi Radiologi RSUD Mardi Waluyo – Blitar. Data pasien tersebut
adalah sebagai berikut :
Nama : Tn. A
Umur : 62 tahun
Jenis kelamin : laki – laki
Klinis : Sesak
Permintaan Foto : Thorax AP
2.2 Riwayat Pasien
Pasien dengan keluhan sesak, kemudian berobat ke IGD Rumah Sakit
Mardi Waluyo Blitar, oleh dokter pasien disarankan untuk dilakukan pemeriksaan
penunjang radiologi yaitu foto thorax AP untuk menegakkan diagnosis dan
menyingkirkan penyakit-penyakit lain pada paru.
2.3 Pelaksanaan Pemeriksaan
Pada pemeriksaan foto thorax AP, pasien tidur terlentang di atas meja
pemeriksaan dengan kedua tangan di samping tubuh. Kemudian posisikan MSP
(Mid Sagital Plane) tubuh sejajar dengan garis tengah meja pemeriksaan / tengah
kaset, batas atas 3-5 cm di atas shoulder joint. Jika memungkinkan fleksikan
elbow, pronasikankan tangan serta letakkan kedua tangan pada hips untuk
meminimalkan gambaran scapula ke arah lateral. Usahakan shoulder simetris
kanan kiri dan inspirasi penuh jika memungkinkan. Arahkan sinar tegak lurus film
lurus Menuju manubrium (Vertebta Thoracal VII).
3
4
Gambar pemeriksaan foto thorax anteroposterior(AP)
2.4 Hasil Pemeriksaan Radiologis ( Tanggal 1 Juni 2014 )
Thorax Photo AP :
5
Hasil Pemeriksaan :
Jantung : Tidak membesar
Paru-paru : Kedua paru hyperaerasi dengan branchovasculer patteen tak
meningkat dan tampak melurus, tidak ada infiltrat
Sinus costophrenicus menumpul, diaphragma mendatar
Tulang-tulang baik dan intact
Kesimpulan : Cardiomegali dengan Emphysematous Lung.
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Sistem Pernafasan
3.1.1 Anatomi Paru
Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm.
pembentukan paru dimulai dari sebuah groove yang berasal dari foregut.
Selanjutnya pada groove ini terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu
jaringan yang disebut primary lung bud.
Bagian proksimal foregut membagi diri menjadi dua, yaitu esophagus dan
trakea. Pada perkembangan selanjutnya trakea akan bergabung dengan primary
lung bud. Primary lung bud merupakan cikal bakal bronki dan cabang-cabangnya.
Bronchial tree terbentuk setelah embrio berumur 16 minggu, sedangkan alveoli
baru berkembang setelah bayi lahir dan jumlahnya terus meningkat hingga anak
berumur 8 tahun. Ukuran alveoli bertambah besar sesuai dengan perkembangan
dinding thorax. Jadi, pertumbuhan dan perkembangan paru berjalan terus menerus
tanpa terputus sampai pertumbuhan somatic berhenti.
Gambar 1. Anatomi Paru
7
3.1.2 Definisi Pernafasan
Pernafasan atau respirasi adalah menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen (O2) kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang
banyak mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari
tubuh. Sisa respirasi berperan untuk menukar udara ke permukaan dalam paru-
paru. Udara masuk dan menetap dalam sistem pernafasan dan masuk dalam
pernafasan otot sehingga trakea dapat melakukan penyaringan, penghangatan dan
melembabkan udara yang masuk, juga melindungi organ lembut. penghisapan ini
disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi.
3.1.3 Saluran Pernafasan
Secara fungsional (faal) saluran pernafasan dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu :
1. Zona Konduksi
Zona konduksi berperan sebagai saluran tempat lewatnya udara
pernapasan, serta membersihkan, melembabkan dan menyamakan suhu udara
pernapasan dengan suhu tubuh. Disamping itu zona konduksi juga berperan pada
proses pembentukan suara. Zona konduksi terdiri dari hidung, faring, trakea,
bronkus, serta bronkioli terminalis.
a. Hidung
Rambut, zat mucus serta silia yang bergerak kearah faring berperan
sebagai sistem pembersih pada hidung. Fungsi pembersih udara ini juga ditunjang
oleh konka nasalis yang menimbulkan turbulensi aliran udara sehingga dapat
mengendapkan partikel-partikel dari udara yang seterusnya akan diikat oleh zat
mucus. System turbulensi udara ini dapat mengendapkan partikel-partikel yang
berukuran lebih besar dari 4 mikron.
b. Faring
Faring merupakan bagian kedua dan terakhir dari saluran pernapasan
bagian atas. Faring terbagi atas tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring, serta
laringofaring.
8
c. Trakea
Trakea berarti pipa udara. Trakea dapat juga dijuluki sebagai eskalator-
muko-siliaris karena silia pada trakea dapat mendorong benda asing yang terikat
zat mucus kearah faring yang kemudian dapat ditelan atau dikeluarkan. Silia dapat
dirusak oleh bahan-bahan beracun yang terkandung dalam asap rokok.
d. Bronki atau bronkioli
Struktur bronki primer masih serupa dengan struktur trakea. Akan tetapi
mulai bronki sekunder, perubahan struktur mulai terjadi. Pada bagian akhir dari
bronki, cincin tulang rawan yang utuh berubah menjadi lempengan-lempengan.
Pada bronkioli terminalis struktur tulang rawan menghilang dan saluran udara
pada daerah ini hanya dilingkari oleh otot polos. Struktur semacam ini
menyebabkan bronkioli lebih rentan terhadap penyimpatan yang dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Bronkioli mempunyai silia dan zat mucus sehingga
berfungsi sebagai pembersih udara. Bahan-bahan debris di alveoli ditangkap oleh
sel makrofag yang terdapat pada alveoli, kemudian dibawa oleh lapisan mukosa
dan selanjutnya dibuang.
2. Zona Respiratorik
Zona respiratorik terdiri dari alveoli, dan struktur yang berhubungan.
Pertukaran gas antara udara dan darah terjadi dalam alveoli. Selain struktur diatas
terdapat pula struktur yang lain, seperti bulu-bulu pada pintu masuk yang penting
untuk menyaring partikel-partikel yang masuk. Sistem pernafasan memiliki sistem
pertahanan tersendiri dalam melawan setiap bahan yang masuk yang dapat
merusak
9
Gambar 2 Sistem Saluran Pernafasan
3.1.4 Fungsi Pernapasan
Adapun fungsi pernapasan, yaitu :
1. Mengambil oksigen yang kemudian dibawa oleh darah keseluruh tubuh
(sel-selnya) untuk mengadakan pembakaran
2. Mengeluarkan karbon dioksida yang terjadi sebagai sisa dari pembakaran,
kemudian dibawa oleh darah ke paru-paru untuk dibuang (karena tidak
berguna lagi oleh tubuh)
3. Melembabkan udara, Pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara darah
dan udara berlangsung di alveolus paru-paru. Pertukaran tersebut diatur
oleh kecepatan dan di dalamnya aliran udara timbal balik (pernapasan),
dan tergantung pada difusi oksigen dari alveoli ke dalam darah kapiler
dinding alveoli. Hal yang sama juga berlaku untuk gas dan uap yang
dihirup. Paru-paru merupakan jalur masuk terpenting dari bahan-bahan
berbahaya lewat udara pada paparan kerja.
10
Proses dari sistem pernapasan atau sistem respirasi berlangsung beberapa
tahap, yaitu :
1. Ventilasi, yaitu pergerakan udara ke dalam dan keluar paru
2. Pertukaran gas di dalam alveoli dan darah. Proses ini disebut pernapasan
luar
3. Transportasi gas melalui darah
4. Pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan. Proses ini disebut
pernapasan dalam
5. Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta pembuatan CO2 yang
disebut juga pernapasan seluler
3.2 Definisi Emfisema
Emfisema merupakan salah satu penyakit yang tergolong dalam COPD
(Chronic Obstructive Pulmonal Disease). Emfisema adalah pembesaran permanen
yang abnormal dari ruang udara pada posisi distal terhadap bronkiol terminal
disertai kerusakan dindingnya, tetapi tanpa fibrosis yang jelas. Emfisema paru-
paru merupakan penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi)
saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan
dan mengalami kerusakan yang luas.Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika
ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya
destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema,
melainkan hanya sebagai “overinflation”.
Udara pernafasan akan terdapat didalam rongga jaringan interstitial atau
tetap berada didalam rongga alveoli saja. Proses dapat berjalan secara akut
maupun kronik. Secara umum, emfisema paru- paru ditandai dengan dipsnoea
ekspiratorik, hyperpnoea dan mudahnya penderita mengalami kelelahan
(Subronto,2003).
11
3.3 Patogenesis
Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada pasien emfisema, yaitu :
Hilangnya elastisitas paru
Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan alveoli dan saluran nafas
kecil dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal tersebut,
kantung alveolar kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi
kollaps atau menyempit. Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya
mungkin dapat menjadi membesar.
12
Hyperinflation paru
Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi
istirahat normal selama ekspirasi.
Terbentuknya bullae
Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu
bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X-ray.
Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap
Ketika klien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif
intratorak akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas.
Foto toraks pada emfisema paru :
o Hiperinflasi dada
diafragma datar dan rendah dengan pergerakan yang terbatas saat
insprasi dan ekspirasi
peningkatan diameter AP dada dengan perluasan pada rongga
retrosternal (barrel chest).
Penampakan bayangan jantung yang tipis, panjang, dan sempit,
lebih disebabkan oleh inflasi berlebihan dan diafragma rendah.
o Perubahan vascular
Paru secara umum dipengaruhi oleh distribusi vaskularisasi
pulmonal yang secara abnormal tidak rata; pembuluh darah
menjadi tipis, diserta hilangnya gradasi halus normal dari
pembuluh darah yang berasal dari hilus menuju perifer.
Hipertensi pulmonal menyebabkan cor pulmonal. Arteri pulmonal
proksimal secara progresif membesar dan menyebabkan gagal
jantung kanan.
o Bullae
Rongga menyerupai kista sering terbentuk akibat rupturnya alveolus
yang melebar. Pada film dada, rongga tersebut tampak sebagai daerah
tranlusen dengan dindingnya terlihat sebagai bayangan kurva linear
menyerupai garis rambut. Bullae meiliki ukuran bervariasi dengan
diameter mulai dari beberapa sentimeter hingga menempati bagian
13
yang luas pada hemitoraks menggantikan, mendesak paru normal
disekitarnya.
3.4 Klasifikasi Emfisema
Berdasarkan radiologik
o Emfisema obstruktif:
a. Akut
b. Kronik
c. Bullous
o Emfisema non-obstruktif:
a. Kompensasi
b. Senilis (postural)
Gambar 1. Gambaran radiologi emfisema secara umum
1. Emfisema lobaris
Emfisema lobaris biasanya terjadi padabayi baru lahir dengan kelainan
tulang rawan, bronkus, mukosa bronchial yang tebal, sumbatan mucus (mucous
plug), penekanan bronkus dari luar oleh anomaly pembuluh darah.Gambaran
radiologiknya berupa bayangan radiolusen pada bagian paru yang
bersangkutan dengan pendorongan mediastinum kearah kontra-lateral.
14
Gambar . Emfisema lobaris
2. Hiperlusen idiopatik unilateral
Hiperlusen idiopatik unilateral ialah emfisema yang unilateral dengan
hipoplasi arteri pulmonalis dan gambaran bronkiektasis. Secara radiologic, paru
yang terkena lebih radiolusen tanpa penambahan ukuran paru seperti pada
umumnya emfisema lainnya.
15
Gambaran Hiperlusen idiopatik unilateral
3. Emfisema hipertrofi kronik
Terjadi sebagai akibat komplikasi penyakit paru seperti asma bronchial
yang parah, bronkiektasis, peradangan paru berat, pneumokinosis ganas, dan
tuberculosis.
Gambaran radiologic menunjukkan peningkatan aerasi dan penambahan ukuran
toraks yang biasanya hanya terjadi pada satu sisi. Sering ditemukan bleb atau
bulla yang berupa bayangan radiolusen tanpa struktur jaringan paru.
4. Emfisema bulla
Bulla merupakan emfisema vesikuler setempat dengan ukuran antara 1-2
cm atau lebih besar, yang kadang-kadang sukar dibedakan dengan pneumotoraks.
Penyebabnya sering tidak diketahui tapi dianggap sebagai akibat suatu penyakit
paru yang menyebabkan penyumbatan seperti bronkiolitis atau peradangan akut
lainnya dan perangsangan atau iritasi gas yang terhisap. Sering factor
penyebabnya sudah tidak tampak lagi, tetapi akibatnya adalah emfisema bulla
yang tetap atau bertambah besar.
Gambaran radiologik berupa suatu kantong radiolusen di perifer lapangan
paru, terutama bagian apeks paru dan bagian basal paru dimana jaringan paru
normal sekitarnya akan terkompresi sehingga menimbulkan keluhan sesak nafas.
16
Gambar . Emfisema Bulosa
5. Emfisema Kompensasi
Keadaan ini merupakan usaha tubuh secara fisiologik menggantikan
jaringan paru yang tidak berfungsi (atelektasis) atau mengisi toraks bagian paru
yang terangkat pada pneumoektomi.
6. Emfisema Senilis
Merupakan akibat proses degenerative org tua pada kolumna vertebra yang
mengalami kifosis di mana ukuran anterior-posterior toraks bertambah sedangkan
tinggi toraks secara vertical tidak bertambah, begitu pula bentuk diafragma dan
peranjakan diafragma tetap tidak berubah. Keadaan ini akan menimbulkan atrofi
septa alveolar dan jaringan paru berkurang dan akan diisi oleh udara sehingga
secara radiologic tampak toraks yang lebih radiolusen, corakan bronkovaskuler
yang jarang dan diafragma yang normal.
17
Gambar . emfisema senilis
3.5 Etiologi
Merokok. Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat
hubungan yang erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi
paksa (FEV).(Nowak,2004)
Keturunan. Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau
tidak pada emfisema kecuali pada penderita dengan enzim alfa 1-
antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim proteoitik ysng sering
dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan
paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi
alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom
resesif. Orang yang sering menderita emfisema paru dalah penderita yang
memiliki gen S atau Z. Emfisema paru akan lebih cepat timbul bila
penderita tersebut merokok.
Infeksi. Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga
gejala-gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernafasan atas
pada seseorang penderita bronkhitis kronis hampir selalu menyebabkan
18
infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan paru bertambah.
Eksaserbasi bronkhitis kronis disangka paling sering diawali dengan
infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
Hipotesis Elastase-Antielastase. Di dalam paru terdapat keseimbangan
antara enzim proteolitik elastase dan antielastase agar tidak terjadi
kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara keduanya akan
menimbulkan kerusakan pada jaringan elastis paru. Struktur paru akan
berubah dan timbulah emfisema. Sumber elastase yang penting adalah
pankreas, sel-sel PMN, dan marofag alveolar (pulmonary alveolar
macrophage-PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok
dan infeksi menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem
antielastase, yaitu sistem enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama enzim
alfa 1-antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak
ada lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan
kerusakan jaringan elastis paru dan kemudian emfisema.
3.6 Gejala Klinis
Kesulitan bernapas sehingga terjadi hiperinflasi paru yang akan
menyebabkan diafragma terdorong dan menyebabkan kesulitan bernapas
dan otot-otot pernapasan tambahan akan digunakan, seperti muskulus
sternokleidomastoideus, muskulus interkosatalis internus, dan lainnya.
Kapasitas difusi paru menurun sehingga menyebabkan hipoksemia dan
selanjutnya terjadi hipoksia. Udara pernapasan yang tertahan
menyebabkan PaCO2 meningkat, terjadi asidosis respiratoris.
3.7 Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi
pernapasan serta penggunaan obat bantu napas. Pada inspeksi, klien biasanya
tapak mempunyai bentuk dada barrel chest(akibat udara yang terperangkap),
penipisan massa otot, dan pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan
abnormal tidak efektif dan penggunaan otot-otot bantu napas
19
(sternokleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas
bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi.
Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen disertai demam
mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi pernapasan.
Palpasi
Ekspansi meningkat dan taktil femitus biasanya menurun.
Perkusi
Didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma
menurun.
Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat
beratnya obstruksi pada bronkhiolus.
3.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Chest X-Ray: dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened
diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda
vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular
(bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)
2. Pemeriksaan Fungsi Paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dari
dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi
atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi
efek dari terapi, misal: bronchodilator.
3. TLC: meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma,
menurun pada emfisema.
4. Kapasitas Inspirasi: menurun pada emfisema.
5. FEV1/FVC: ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan
kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.
6. ABGs: menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun
dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi
seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau
asthma).
20
7. Bronchogram: dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi,
kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar
mukus (bronchitis).
8. Darah Komplit: peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan
eosinofil (asthma).
9. Kimia Darah: alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang
pada emfisema primer.
10.Sputum Kultur: untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi
patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau
allergi.
11.ECG: deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial
disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi
(bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema).
12.Exercise ECG, Stress Test: menolong mengkaji tingkat disfungsi
pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator,
merencanakan/evaluasi program.
3.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama pada klien emfisema adalah meningkatkan kualitas
hidup, memperlambat perkembangan proses penyakit, dan mengobati obstruksi
saluran napas agar tidak terjadi hipoksia. Pendekatan terapi mencakup :
Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja
napas
Mencegah dan mengobati infeksi
Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatlan ventilasi paru
Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi
pernapasan yang adekuat
Dukungan psikologis
Edukasi dan rehabilitasi klien
21
Penatalaksanaan Medis
Jenis obat yang diberikan berupa :
Bronkodilator. Terdapat dua jenis bronkodilator yaitu simpatomimetik
(adrenergik) dan senyawa xanthine. Bronkodilator ini bekerja pada tempat
yang berbeda dan tampaknya bekerja secara sinergis bilamana digunakan
bersama-sama. Obat-obatan adrenalik yang bekerja pada beta 2 yang
terletak pada otot polos saluran nafas memiliki efek samping terhadap
jantung yang lebih kecil daripada obat-obatan golongan beta 1 yang
memiliki reseptor myokardium.
Terapi aerosol, Terapi aerosol membantu mengencerkan sekresi sehingga
dapat dibuang. Tindakan terapi aerosol harus diberika sebelum waktu
makan untuk memperbaiki ventilasi paru dan dengan demikian
mengurangi keletihan yang menyertai aktivitas makan.
Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid tetap kontroversial dalam
pengobatan emfisema. Kortikosteroid digunakan untuk melebarkan
bronkhiolus yang membuang sekresi setelah tindakan lain tidak
menunjukkan hasil. Prednison biasanya diresepkan. Dosis disesuaikan
untuk menjaga klien pada dosis yang serendah mungkin. Efek samping
jangka pendek termasuk gangguan gastrointestinal dan peninkatan nafsu
makan. Pada jangka panjang, klien mungkin mengalami ulkus
peptikum,osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukan
katarak.
Oksigenasi. Terapi oksigenasi dapat meningkatkan kelangsungan hidup
pada klien emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi
oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2 hingga antara 65 dan 80 mmHg.
Pada emfisema berat, oksigen diberikan sedikitnya 16 jam per hari, dengan
24 jam lebih baik. Modalitas ini dapat menghilangkan gejala-gejala klien
dan memperbaiki kulaitas hidup klien.
22
3.10 KOMPLIKASI
Pada tahap akhir penyakit, sistem eliminasi karbon dioksida mengalami
kerusakan. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam
darah arteri (hiperkapnea) dan menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding
alveolar terus mengalami kerusakan, maka jaringan kapiler pulmonal berkurang.
Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk
mempertahankan tekanan darah (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasi
emfisema.terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema dependen), distensi vena
jugularis, atau nyeri apada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung.
23
BAB IV
PEMBAHASAN
Hasil foto thoraks AP menunjukkan ada pembesaran dari jantung. Karena bayangan ukuran jantung yang membesar dengan CTR > 50%,
A+B/C= (2.5 + 11.5) /27x 100%= 52%
Menurut teori, pada emfisema akan didapatkan gambaran jantung yang
memanjang ataupun seperti teardrop. Dikarenakan adanya pembesaran jantung, maka
gambaran ini tak terlihat.
Pada foto toraks AP tersebut kedua paru hyperaerasi dengan
branchovasculer pattern tak meningkat dan tampak melurus. Hal ini dikarenakan
aerasi paru yang bertambah pada seluruh paru atau lobaris ataupun segmental,
B
A
C
24
sehingga akan menghasilkan bayangan lebih radiolusen, sehingga corakan
jaringan paru tampak lebih jelas selain vascular paru yang relatif jarang.
Sinus costophrenicus masih tajam, dan diaphragma berbentuk dome shape.
Pada teori, pada emfisema seharusnya didapatkan diafragma yang mendatar dan
sinus costofrenicus yang mendatar. Hal ini dikarenakan adanya penambahan
ukuran paru vertical yang menyebabkan diafragma letak rendah dengan bentuk
diafragma yang datar dan peranjakan diafragma berkurang pada pengamatan
Kesimpulan foto toraks AP dengan Cardiomegali dengan Emphysematous
Lung.
25
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Emfisema adalah suatu keadaan dimana paru lebih banyak berisi udara,
sehingga ukuran paru bertambah, baik anterior-posterior, maupun ukuran paru
secara vertical kearah diagfragma. Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada
emfisema adalah pemeriksaan fisik dan radiologi. Pemeriksaan foto thorax sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit
paru lain.
Penatalaksanaan penderita emfisema perlu dilakukan penilaian awal yang
teliti mengenai tingkat perjalanan penyakit, lamanya gejala, adanya gangguan faal
obstruksi jalan nafas dan derajat obstruksi. Penatalaksanaan selalu mencakup
suatu pengobatan yang terarah dan rasional, bukan semata-mata pengobatan
medika mentosa. Mengusahakan penghentian merokok harus diusahakan
semaksimal mungkin dan secara terus-menerus. Prinsip pengobatan terdiri dari
usaha pencegahan, mobilisasi dahak yang lancar, memberantas infeksi yang ada,
mengatasi obstruksi jalan nafas, mengatasi hipoksemia pada keadaan dengan
gangguan faal yang berat, fisioterapi dan rehabilitasi dengan tujuan memperbaiki
kualitas hidup dan memperpanjang lama hidup.
5.2 Saran
Bila ditemukan gejala emfisema segera periksakan ke dokter agar penyakit
tidak bertambah parah dan mengganggu aktifitas.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Bontrager, Kenneth L. 2001. Textbook of Radiographic Positioning and
Related Anatomy, Fifth Edition. USA : CV. Mosby, Company
2. Djojodibroto, R Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Madicine). Jakarta.
EGC
3. Ganong, William F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Jakarta: EGC.
4. Grainger, Allison : Diagnostic Raddiology An Anglo American Textbook of
Imaging, second edition, Churchil Livingstone, page :122.
5. Harrison : Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume ketiga,
Jakarta 20003, hal :1347-1353.
6. Kurt J. et.,2000 Al, dalam Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih
Bahasa: Ahmad H. Asdie, Vol. 3, EGC , Jakarta.
7. Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik. Edisi kedua. Balai Penerbit FK
UI : Jakarta.
8. Scanlon VC, Sanders T. 2007. Essential of anatomy and physiology. 5th ed.
US: FA Davis Company.
9. Van de Graaf KM. 2001. Human anatomy. 6th ed. US: The McGraw-Hill
Companies.
top related