BAB 1PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tempat-tempat bersejarah, obyek-obyek dan manifestasi adalah ekspresi
yang penting dari budaya, identitas serta agama kepercayaan untuk masyarakat
sekitar. Setiap nilai memiliki peran yang penting khususnya dibidang kebudayaan
yang seiring perubahan zaman harus dimajukan. Bangunan-bangunan, ruang-ruang,
tempat-tempat serta lingkungan sekitar, mewakili keseimbangan nilai-nilai tersebut.
Yang bertujuan untuk mempertahankan pemukiman dan bentuk sejarah yang
diwariskan, sekaligus melindungi integritas dari sejarah perkotaan yang juga
membimbing konstruksi baru pada daerah tersebut. (UN Habitat, 1998)
Hal ini didukung oleh UU no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang
mengatakan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan,
yang berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya,
situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Serta bangunan-bangunan bersejarah yang berada di wilayah DKI Jakarta dinilai
sebagai benda cagar budaya, menurut Keputusan Gubernur DKI Jakarta no.475 tahun
1993.
Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta no.1 tahun 2012 tentang RTRW
wilayah 2030 menyatakan, kawasan Kota Tua Jakarta termasuk ke dalam kawasan
strategis kepentingan sosial budaya, yang memiliki nilai historis tinggi dan
merupakan cerminan kisah sejarah, tata cara hidup, budaya dan peradaban
masyarakat Jakarta di masa lampau, sehingga keberadaannya perlu dilestarikan
secara berkesinambungan. Oleh sebab itu, historical identity dari kawasan Kota Tua
harus dipertahankan.
Citra kawasan yang kurang menguntungkan, kondisi infrastruktur yang
kurang mendukung, serta kurangnya kepedulian pihak-pihak, terutama pemerintah
terhadap kawasan bersejarah tersebut menjadi beberapa permasalahan yang
mempengaruhi perkembangan kawasan. Sehingga bangunan-bangunan yang ada
pada Kawasan Kota Tua, menjadi terbengkalai kosong tanpa fungsi dengan kondisi
2
bangunan yang semakin menua dan rusak karena dimakan usia yang terlampau lama.
Bahkan kalangan swasta yang masih memiliki gedung-gedung tua di kawasan Kota
Tua ini, sengaja membiarkan bangunan gedung menjadi hancur, untuk dapat
membangun gedung yang baru. (Candrian, 2013)
Namun, pada tahun 2011 Gubernur mengeluarkan peraturan no.7 yang
berisikan tentang pembentukan organisasi dan tata kerja unit pengelolaan kawasan
Kota Tua (UPK) yang bertanggung jawab untuk menjaga dan mengelola kawasan
tersebut. Selain organisasi yang dibuat oleh pihak pemerintah, terdapat juga Jakarta
Old Town Revitalization Corp (JOTRC) yang merupakan konsorsium swasta yang
bertujuan mengembangkan cara-cara inovatif untuk menghubungkan sektor swasta
dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
JOTRC ingin merevitalisasi kawasan Kota Tua Jakarta sebagai tempat
bekerja, tinggal, dan bermain, sebagai bentuk pelestarian cagar budaya, sebagai
tujuan dalam investasi jangka panjang, sebagai area turisme bagi sektor pariwisata,
serta sebagai promosi keberagaman budaya. Dalam perencanaan masterplan
revitalisasi telah disesuaikan dengan Rencana Induk Kawasan Kota Tua yang
dikeluarkan pemerintah provinsi DKI Jakarta pada Perda no.36 tahun 2014.
Revitalisasi juga memiliki sasaran terhadap pengaktifan kegiatan-kegiatan berbasis
seni dan budaya hingga industri kreatif. (JOTRC, 2014)
Pembangunan kawasan Kota Tua diarahkan dengan visi untuk mewujudkan
kawasan Kota Tua yang tinggi sebagai kawasan wisata, bisnis, jasa, dan perdagangan
dengan tetap mempertahankan karakter dan nilai nilai kesejarahan kawasan Kota Tua
tersebut, dinyatakan dalam Peraturan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 36 Tahun 2014 Pasal 4.
Kawasan Kota Tua juga terdaftar dalam “List Tentative UNESCO World
Heritage Site”, yang artinya dalam pengembangan kawasan dapat memiliki
pemikiran kreatif serta memiliki kesaksian tradisi budaya dan kepentingan
sejarahnya (JOTRC). Program perencanaan revitalisasi dilakukan secara bertahap,
yang pertama akan dilakukan terhadap kawasan area dalam tembok kota (zona inti)
yaitu pada Kawasan Fatahillah, Kali Besar, Roa Malaka, Galangan/Tembok Museum
Bahari pasar ikan dan Sunda Kelapa. Aktifitas atau upaya yang akan dilakukan
dalam merevitalisasi kawasan Kota Tua mencakup preservasi, konservasi, aktivasi,
renovasi dan restorasi hingga adaptive reuse. Upaya ini mengacu perbaikan pada
3
aspek fisik, aspek ekonomi serta aspek sosial, yang dilengkapi dengan pengenalan
budaya yang terkandung di dalamnya.
Salah satu upaya adaptasi atau adaptive reuse merupakan cara yang tepat
untuk digunakan dalam penghidupan kembali suatu bangunan tua bersejarah.
Pengertian adaptive reuse adalah penggunaan kembali bangunan tua dengan
mengubah fungsi awal dari bangunan tersebut dengan menyesuaikan pada keadaan
masa sekarang. Adaptive reuse diterapkan, karena tidak memungkinkannya merusak
bangunan bersejarah pada kawasan Kota Tua, namun dapat memenuhi kebutuhan
peruntukan kawasan pada saat ini dengan pemanfaatan bangunan yang ada.
Pada masa abad ke-17 sampai dengan awal abad ke-20, kawasan Kotatua
merupakan kawasan daerah pusat politik dan kekuasaan yang didukung oleh pusat
kawasan komersil serta perdagangan. Namun pada saat ini, kawasan kota tua ingin
menghadirkan keberagaman fasilitas yang baru, mulai dari fasilitas entertainment
dan rekreasi skala nasional juga internasional, pusat kegiatan pemerintah,
perkantoran dan komersil dalam kawasan Kota Tua yang berkarakter, serta
menjadikan kawasan Kota Tua dengan keberagaman aktifitas edukasi, seni, budaya,
warisan kota, dan komunitas kreatif pembelajaran melalui ruang publik guna
meningkatkan nilai wisata namun tetap mengintegrasi perancanaan fungsi pada
kawasan tersebut. (UPK/JOTRC, 2014).
Pemberian fungsi pada bangunan bersejarah disesuaikan pula dengan kondisi
bangunan, karena usia bangunan yang sudah tua merupakan salah satu aspek yang
perlu diperhatikan. Hal ini, memungkinkan bangunan yang tidak kokoh baik secara
struktur maupun material elemen pembentuk ruang yang digunakan pada bangunan
tersebut. Oleh sebab itu, kerusakan-kerusakan dari bangunan harus diidentifikasi.
Gambar 1. Lokasi Gedung PT. Kerta NiagaSumber : Olahan Penulis
JOTRC telah melakukan pemetaan terhadap 85 fisik bangunan tua yang akan
di revitalisasi menurut kondisi yang tidak layak, rusak serta tidak berfungsi, baik
Lokasi Bangunan PT. Kerta NiagaDi Jalan Kali Besar Timur No.9
4
secara bentuk maupun elemen bangunannya. Salah satu bangunan yang termasuk
dalam kategori tersebut adalah Gedung PT. Kerta Niaga yang berlokasi di Jalan Kali
Besar Timur kawasan Kota Tua seperti pada gambar 1. Dahulu Kawasan Kali Besar
merupakan kawasan Central Business District (Kawasan Kali Besar CBD), hingga
sekarang gedung PT. Kerta Niaga juga berada di daerah yang mayoritas gedung nya
berfungsi sebagai kantor.
Kondisi gedung yang telah rusak dan tua terlihat pada gambar 2, namun
bentuk fasad tidak banyak perubahan dan masih terlihat kokoh strukturnya dari awal
tahun gedung ini didirikan. Selain itu, gedung PT. Kerta Niaga termasuk di dalam
daftar bangunan cagar budaya yang perlu dilestarikan, menurut Surat Keputusan
Gubernur DKI Jakarta no 475 tahun 1993.
Berdasarkan nilainya, terdapat nilai historical yang terkandung pada Gedung
PT. Kerta Niaga. Salah satunya adalah gedung terletak di kawasan kali besar yang
dahulunya dikenal sebagai jalur utama perdagangan serta didesain oleh Biro Arsitek
Cuypers en Hulswit yang juga bergaya langgam art deco. Hingga saat ini, biro dan
langgam tersebut merupakan hal yang bersejarah bagi perkembangan arsitektur di
Indonesia.
Gambar 3. Penentuan Zona KawasanSumber : Dokumen JOTRC
Terlihat gambar 3 menunjukan bahwa gedung PT. Kerta Niaga terletak pada
kawasan perencanaan zona A (inti) revitalisasi Kota Tua. Gedung ini direncanakan
pada kawasan art and culture, sehingga fungsi yang diciptakan merupakan pemikiran
kreatif yang dapat menyesuaikan perencanaan tersebut dengan tetap
mempertahankan keaslian budaya ataupun sejarah gedung PT. Kerta Niaga.
Gambar 2. Tampak Fasad PT. Kerta Niaga Saat IniSumber : Dokumentasi Penulis
5
1.2 Ruang Lingkup
Dengan banyaknya kriteria dalam mendesain gedung PT. Kerta Niaga di
kawasan Kota tua, maka ruang lingkup dari penelitian ini adalah :
- Melakukan adaptive reuse dengan memasukkan fungsi baru pada gedung PT.
Kerta Niaga yang sesuai dengan peruntukan kawasan art and culture yang
disesuaikan dengan pengembangan zona ekonomi khusus pada kawasan Kota
Tua Jakarta.
- Menciptakan gaya interior pada gedung PT. Kerta Niaga menurut fungsi dan
gaya yang digunakan yang sesuai.
1.3 Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang dan ruang lingkup yang diungkapkan, maka
rumusan masalah secara garis besarnya adalah :
- Bagaimana melakukan adaptive reuse terhadap gedung PT. Kerta Niaga di
kawasan Kota Tua Jakarta?
- Bagaimana menciptakan gaya interior yang sesuai dengan kondisi dan fungsi
baru gedung PT. Kerta Niaga?
1.4 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah melakukan adaptive
reuse gedung PT. Kertaniaga di kawasan Kota Tua Jakarta dengan menghadirkan
fungsi yang sesuai dengan peruntukan kawasan art and culture menurut program
revitalisasi yang dijalankan oleh JOTRC saat ini. Serta menggunakan konsep desain
interior yang tepat tanpa menghilangkan identitas dan nilai kesejarahan bangunan
tersebut.
1.5 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dilakukan untuk mendapatkan contoh penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya untuk menjadi perbandingan dan dasar dari penelitian yang
dilakukan serta dapat melengkapi atau memperbaruhui penelitian sebelumnya.
- Berikut ini adalah hasil tinjauan pustaka yang telah dirangkum dari lima jurnal
yang terkait dengan topik dan judul :
1. Peter Bullen and Peter Love (2011/Vol.9) dengan judul Facotrs Influencing The
Adaptive Reuse Of Building, dimana kesimpulannya adalah : Adaptive adalah
6
penggunaan kembali bangunan yang memungkinkan yang sesuai dengan kondisi
saat ini. Proses tersebut menuai manfaat dari energi dan kualitas bangunan
aslinya secara berkelanjutan (Sustanaible). Yang biasanya inisiaf ini cenderung
fokus pada proyek-proyek konstruksi baru daripada konstruksi bangunan yang
sudah ada. Salah satu alasannya adalah kecenderungan menganggap bangunan
tua sebagai produk dengan masa manfaat yang terbatas yang harusnya dibuang
dan dihancurkan. Namun sebagian besar bangunan ada yang dapat digunakan
selama 100 tahun. Dengan demikian, kebutuhan untuk mengembangkan strategi
adaptive reuse dan berkelanjutan membangun bangunan yang sudah ada. Tujuan
dari makalah ini adalah untuk memberikan komprehensif tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi strategi adaptive reuse. Desain / metodologi / pendekatan
yang digunakan dengan mulai mengetahui strategi yang tepat untuk memenuhi
perubahan kebutuhan menurut tuntutan pengembang bangunan, pemilik
bangunan yang sudah ada tersebut. Faktor utama untuk fokus pada isu-isu adaptif
siklus hidup masa sekarang, perubahan persepsi bangunan, dan insentif
pemerintah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penelitian empiris diperlukan
untuk menguji peran adaptive reuse dalam konteks terhadap sustanaible strategi
yang efektif yang mendorong perumusan kebijakan publik untuk mengatasi
masalah yang terkait dengan jumlah bangunan yang ada. Penggunaan kembali
bangunan yang sudah ada secara signifikan dapat mengurangi biaya seumur
hidup bangunan tersebut, limbah dan dapat melakukan peningkatan fungsi
bangunan.
2. Robert Shipley, Steve Utz & Michael Parsons (2012/Vol.12) dengan judul Does
Adaptive Reuse Pay? A Study of the Business of Building Renovation in Ontario,
Canada, dimana kesimpulannya adalah bangunan tua adalah sumber penting
estetika, budaya dan ekonomi namun dalam banyak yurisdiksi, ratusan bangunan
bersejarah telah dihancurkan karena pengembang dan bankir berpendapat bahwa
biaya adaptasi bangunan tua untuk penggunaan baru terlalu tinggi. Namun seiring
berkembangnya waktu, sejumlah pengembang terkemuka dapat menyelesaikan
proyek-proyek menarik dengan menampilkan inovatif renovasi bangunan. Tetapi
ketika proyek-proyek pembangunan tertentu disajikan untuk pengambil
keputusan, umumnya hanya analisis biaya pengembang / pemberi pinjaman
disajikan dan, Oleh karena itu, mereka tidak dapat membuat penilaian yang
benar-benar informatif. Penelitian ini menguji bisnis pengembangan warisan,
7
yang terdiri dari renovasi gedung atau adaptive reuse. Beberapa proyek reuse
lebih mahal daripada bangunan baru namun tidak semua hal tersebut terjadi dan
laba atas investasi untuk pembangunan warisan hampir selalu lebih tinggi.
3. Atsushi Deguchi (2013/Vol.6) dengan judul Adaptive Reuse Design of Historic
Context Two Cases: Yame City and Daimyo Area of Fukuoka City, Japan ,
dimana kesimpulannya adalah : Penggunaan kembali desain adaptif dari dua
konteks sejarah yang berbeda karakteristik, yaitu kota Yame dan Daimyo di Area
Fukuoka, Jepang, yang akan menekankan pada aspek fisik dan sosial.
Pengukuran perubahan fisik dilakukan pada struktur dan materialnya, karena hal
tersebut dapat menyebabkan perubahan pada interior bangunan. Metode yang
digunakan Pengamatan visual dan wawancara. Kasus pada kota Yame,
pelestarian bangunannya lebih cenderung menjaga kerangka struktural asli, yang
berubah mungkin hanya pada elemen bukaan (jendela dan pintu). Kota daimyo
suasananya kuat dengan jejak bangunan tua/ bangunan rohani, oleh karena itu
tidak banyak yang berubah pada kota tersebut. Fenomena ini dapat dipahami
dengan menganalisis aspek sosial. Sementara itu Pelestarian Kota Yame secara
ketat dilakukan oleh pemerintah. Kota Daimyo dibangun catatan identitas yang
kuat secara informal, dengan menggunakan lingkungan terikat.
4. Handri Saputra (2013/Vol.1) dengan judul Kajian Konservasi Adaptive Reuse
sebagai alternatif aplikasi konsep konservasi, dimana kesimpulannya adalah :
Segala sesuatu yang sudah tidak terpakai baik itu sebuah tempat, kawasan atau
punbangunan yang sudah berumur tua dan kondisinya rusak serta tidak terawat
akanmenimbulkan sebuah pemandangan yang mengganggu pada siapa saja yang
melihat. Kondisi ini bisa terjadi karena tempat atau bangunan tersebut sudah
tidak memiliki fungsi dan manfaat. Ketidak perdulian dan sikap acuh biasanya
menjadi factor besar yang membuat sebuah tempat ataupun bangunan
terbengkalai. Banyak sekali potensi yang terdapat pada sebuah tempat atau
bangunan tua yang terbengkalai dan tidak terawat itu. Salah satu langkah yang
dapat dilakukan adalah seperti memfungsikan kembali tempat ataupun bangunan
yang sudah tidak dipergunakan lagi menjadi sebuah tempat, bangunan ataupun
sesuatu dengan fungsi baru yang dapat mendatangkan banyak manfaat, dan
keuntungan baik dari sudut ekonomi, budaya dan social. Langkah ini biasa
dikenal dengan Adaptive Reuse. Adaptive Reuse atau penggunaan kembali pada
biasanya sering disandingkan dengan sebuah konsep konservasi. Arti konservasi
8
itu sendiri adalah pelestarian atau perlindungan. Dengan kata lain jika kedua
konsep ini disandingkan akan menciptakan sebuah perubahan fungsi yang
optimal dengan tetap melindungi ataupun memelihara keaslihan dari sesuatu
yang ingin difungsikan baik dari fasad (fisik) maupun nilai sejarah dari tempat
atau bangunan tersebut.
5. Bhanu Rizfa Hakim (2014/Vol.2) dengan judul Sustainability Pada Bangunan
Kolonial Bersejarah Museum Negeri Mulawarman Tenggarong, Kalimantan
Timur, dimana kesimpulannya adalah : Sejalan dengan meningkatnya
pembangunan maka meningkat pula luas lahan terbangun. Salah satu solusi untuk
meminimalkan luas lahan terbangun adalah dengan memanfaatkan bangunan
yang telah ada (reuse). Adaptive reuse kerap diberlakukan pada bangunan
bersejarah yang dilestarikan. Bangunan ini telah melalui rentan waktu lebih dari
50 tahun sehingga telah terbukti tahan terhadap berbagai hal, salah satunya
adalah terhadap iklim. Dengan pendekatan sustainable building dan grounded
research penelitian ini melihat langsung ke lokasi bangunan eks-Kedaton Kutai
Kartanegara di kota Tenggarong Kalimantan Timur yang kini telah beralih fungsi
menjadi Museum Negeri Mulawarman. Bangunan ini termasuk ke dalam
bangunan konservasi yang didirikan pada masa penjajahan Kolonial dengan
mengadopsi gaya arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis.
Penelitian ini akan menguji keberlangsungan bangunan eks Kedaton setelah
dialih fungsikan menjadi museum. Selain itu dengan pendekatan greenship
penelitian ini juga akan mengkaji kondisi tapaknya.
- Kesimpulan dari kelima jurnal di atas adalah :
Segala sesuatu yang sudah tidak terpakai baik itu sebuah tempat, kawasan
atau pun bangunan yang sudah berumur tua dan kondisinya rusak serta tidak terawat
terjadi karena tempat atau bangunan tersebut sudah tidak memiliki fungsi dan
manfaat. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah seperti memfungsikan
kembali tempat ataupun bangunan yang sudah tidak dipergunakan lagi dengan
adaptive reuse. Adaptive reuse merupakan alternatif aplikasi dari konsep konservasi.
Yang arti dari konservasi adalah sebuah pelestarian atau perlindungan. Sedangkan
untuk pengertian dari adaptive reuse adalah penggunaan kembali bangunan yang
memungkinkan sesuai dengan kondisi saat ini.
Bangunan tua sebenarnya merupakan sumber penting estetika, budaya dan
ekonomi namun dalam banyak yurisdiksi, ratusan bangunan bersejarah telah
9
dihancurkan karena pengembang dan bankir berpendapat bahwa biaya adaptasi
bangunan tua untuk penggunaan baru terlalu tinggi. Dan seiring berkembangnya
waktu, sejumlah pengembang terkemuka dapat menyelesaikan proyek-proyek
menarik dengan menampilkan inovatif renovasi bangunan.
Beberapa proyek reuse lebih mahal daripada bangunan baru namun tidak
semua hal tersebut terjadi dan laba atas investasi untuk pembangunan warisan hampir
selalu lebih tinggi. Adaptive reuse juga merupakan salah satu statregi untuk
pengembangan sustanaible building. Walaupun, biasanya inisiatif ini cenderung
fokus pada proyek-proyek konstruksi baru daripada konstruksi bangunan yang sudah
ada. Padahal penggunaan kembali bangunan yang sudah ada secara signifikan dapat
mengurangi biaya seumur hidup bangunan tersebut, limbah dan dapat melakukan
peningkatan fungsi bangunan.
Adaptive reuse juga merupakan salah satu solusi untuk meminimalkan luas
lahan terbangun. Penggunaan kembali desain adaptif akan menekankan pada aspek
fisik dan sosial. Pengukuran perubahan fisik dilakukan pada struktur dan
materialnya, karena hal tersebut dapat menyebabkan perubahan pada interior
bangunan. Pelestarian bangunan yang lebih cenderung menjaga kerangka struktural
asli, yang berubah mungkin hanya pada elemen bukaan (jendela dan pintu).
Fenomena ini dapat dipahami dengan menganalisis aspek sosial.
10