PENGARUH SUHU DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP
KARAKTERISTIK KEFIR UNTUK PENDUGAAN UMUR
SIMPAN SECARA KONVENSIONAL
SKRIPSI
Oleh:
FAIZATUR ROHMAH
NIM 125100107111036
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
PENGARUH SUHU DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP
KARAKTERISTIK KEFIR UNTUK PENDUGAAN UMUR
SIMPAN SECARA KONVENSIONAL
Oleh:
FAIZATUR ROHMAH
NIM 125100107111036
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Teknologi Pertanian
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kudus pada tanggal 17 Oktober 1994 dari ayah yang
bernama Muh. Zuhdi dan Ibu Mukarommah. Penulis merupakan anak terakhir
dari 4 bersaudara dengan saudara kandung bernama Aris Fatchurohman, Ulfi
Nihayah dan Retnani Latifah. Penulis menempuh pendidikan di SDN 1 Gondosari
(2000-2006), SMPN 1 Gebog (2006-2009), dan SMAN 1 Kudus (2009-2012).
Pada tahun 2012, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu dan
Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Brawijaya.
Selama masa pendidikan di Universitas Brawijaya, penulis aktif di salah
satu organisasi kemahasiswaan sebagai staff Divisi Kewirausahaan ARSC
(Agritech Research and Study Club), serta aktif dalam kegiatan seni mahasiswa
diantaranya dalam unit komunitas fotografi Tustel dan unit penyelenggara acara
Flotus. Penulis juga aktif dalam kepanitiaan diantaranya panitia Orientasi
Pengenalan Jurusan dan Himpunan (OPJH), panitia Scientific Great Moment 5
(SGM 5), panitia Flotus Festival 2014 dan Festival Dawai Nusantara 1 (FDN 1).
Salah satu prestasi yang pernah diperoleh penulis yaitu pendanaan dari
Dikti pada tahun 2015 untuk Program Kreatifitas Mahasiswa Bidang
Kewirausahaan yang memperkenalkan brand „PARIS‟ yang merupakan produk
komersiil berbasis makanan ringan yang memanfaatkan tepung garut sebagai
bahan dasar pembuatan pie yang rendah indeks glikemik.
i
FAIZATUR ROHMAH. 125100107111036. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan Terhadap Karakteristik Kefir Untuk Pendugaan Umur Simpan Secara Konvensional. SKRIPSI. Pembimbing: Prof. Dr. Teti Estiasih, STP.,MP
RINGKASAN
Kefir merupakan produk susu fermentasi yang terbuat dari bahan baku susu sapi, susu kambing, susu beras maupun susu kedelai dengan menambahkan bibit kefir (kefir grains) yang terdiri dari bakteri asam laktat dan khamir. Manfaat mengkonsumsi kefir adalah meningkatkan sistem pertahanan tubuh karena kandungan antimikroba yang terdapat di dalamnya. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui perubahan karakteristik kefir selama penyimpanan dan menduga umur simpan kefir pada suhu penyimpanan rendah yang berbeda.
Penelitian ini terdiri dari 2 langkah, penelitian pertama menentukan mutu awal dan akhir kefir dengan penyimpanan kefir segar pada suhu ruang (27-28°C) dan dilakukan uji organoleptik menggunakan uji skor selama 3 hari berurutan untuk menentukan nilai kritis kefir. Penelitian kedua untuk menganalisa perubahan karakteristik kefir dilakukan dengan metode Rancangan Petak Terbagi (Split Plot). Suhu (4±1 dan 10±1 °C) sebagai petak utama dan lama penyimpanan (T0, T7, T14, T21, T28, T35 dan T42) sebagai anak petak. Pengulangan dilakukan sebanyak 2 kali. Analisis data dilakukan dengan metode Analysis of Varian (ANOVA), apabila ada interaksi antara kedua faktor maka dilakukan uji lanjut Duncan‟s Multiple Range Test (DMRT) dengan taraf nyata (α=5%) dan apabila tidak ada maka diuji Beda Nyata Terkecil (BNT). Pendugaan umur simpan ditentukan dari parameter yang paling cepat mencapai titik kritisnya.
Hasil penelitian penentuan mutu kritis kefir diperoleh pada penyimpanan hari ke-3 dengan skor penerimaan yang cenderung dipengaruhi oleh aroma (2,27) menolak dan kenampakan (2,23) menolak. Nilai mutu kritis yang diperoleh yaitu pH 3,47, total asam 2,29%, viskositas 540,89 cP, log total mikroba 8,76cfu/ml, L* 87,80, a* -3,43 and b* +11,47. Hasil penelitian perubahan karakteristik kefir selama penyimpanan menunjukkan perlakuan suhu 4±1 dan 10±1 °C memberikan pengaruh nyata (α=5%) terhadap viskositas dan total mikroba. Lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata terhadap semua parameter. Interkasi kedua perlakuan yaitu suhu dan waktu penyimpanan memberikan pengaruh nyata (α=5%) pada viskositas dan total mikroba. Hasil pendugaan umur simpan kefir pada suhu 4±1 °C berdasarkan parameter viskositas, total mikroba dan nilai b* adalah 21 hari. Hasil pendugaan umur simpan kefir pada suhu 10±1 °C berdasarkan parameter viskositas, total mikroba dan nilai b* adalah 28 hari.
Kata kunci : Kefir, Suhu Penyimpanan, Lama Penyimpanan, Umur Simpan, Pendugaan Umur Simpan Konvensional
ii
FAIZATUR ROHMAH. 125100107111036. The Effect of Temperature and
Storage Time on The Characteristics of Kefir To Predict The Shelf Life Using Conventional Method. Undergraduate Thesis. Advisors : Prof. Dr. Teti Estiasih, STP.,MP
SUMMARY
Kefir is a fermented milk product that is made from cow milk, goat milk,
rice milk or even soy milk by adding the kefir grains contain lactic acid bacteria
and yeast. The benefit of consuming kefir is to boost the immune system
because it’s antimicrobial activities. The purpose of this study was to investigate
the effect of storage on kefir’s characteristics and predict the kefir’s shelf life at
different cold temperatures.
This research consist two step, the first step was determinated the initial
and final quality by keeping the fresh kefir at room temperature (27-28°C) and
acceptance test using Scoring method for 3 consecutive days to determine the
critical value of kefir. The second step to analized the change of kefir
characteristics using research design Spit Plot Design. Temperature (4±1 dan
10±1 °C) as main plot and storage time (T0, T7, T14, T21, T28, T35 dan T42) as
subplot. It’s treatment was repeated 2 times. The data was analysed by Analysis
of Varian (ANOVA). If there were interaction then advanced test was done using
the Duncan's Multiple Range Test (DMRT) with level of significance (α = 5%) and
if there’s no interaction then continued with Least Significance Different (LSD)
test. The shelf life prediction was determined by the fastest parameter that reach
their critical value.
The result of determine kefir’s critical quality was get by 3 days storage
with acceptance score that tend to be influenced by aroma (2,27) rejected and
appereance (2,23) rejected. The value of critical qualities are pH 3,47, total acid
2,29%, viscosity 540,89 cP, log total microbial 8,76cfu/ml, L* 87,80, a* -3,43 and
b* +11,47. The result of kefir’s characteristics change during storage showed that
4±1 dan 10±1 °C temperature gave significant effect (α = 5%) to viscosity and
total microbial. Storage time gave significant effect (α = 5%) to all parameters.
The interaction between temperature and storage time gave significant effect (α =
5%) to viscosity and total microbial. The result of kefir shelf life at 4±1 °C storage
based on viscosity, total microbial and b* value was 21 days. The result of kefir
shelf life at 10±1 °C storage based on viscosity, total microbial and b* value was
28 days.
Key words : Kefir, Temperature Storage, Storage Time, Shelf Life,
Conventional Shelf Life Prediction
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmatnya dan sholawat serta salam senantiasa penulis penjatkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Sehingga tugas akhir dengan judul “Pengaruh
Suhu dan Lama Penyimpanan Terhadap Karakteristik Kefir Untuk
Pendugaan Umur Simpan Secara Konvensional” ini dapat terselesaikan.
Laporan tugas akhir ini disusun dalam rangka memenuhi syarat akademik dalam
menempuh jenjang pendidikan gelar sarjana Teknologi Hasil Pertanian.
Sehubungan dengan selesainya tulisan ini, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Muh. Zuhdi, Ibu Mukarommah dan kakak-kakak di rumah yang selama
ini memberikan dukungan moril maupun materil, serta yang senantiasa
memanjatkan doa demi kesuksesan adinda.
2. Prof. Dr. Teti Estiasih, STP.,MP selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, ilmu pengetahuan dan kesabaran dalam
membimbing saya dalam proses penulisan tugas akhir ini.
3. Bapak Firman dan mas Ali yang memberikan arahan proses pembuatan kefir.
4. Teman-temanku yang berharga Ama, Grace, Aryani, Kamila, Fira yang cukup
sabar memberi semangat, dukungan, dan bantuannya selama ini. Terimakasih.
5. Teman-teman seperjuangan THP‟12, Rabita, Sita, Iis, Nabliah dan yang tidak
dapat disebutkan satu persatu atas pengalaman dan waktu yang telah dilewatkan
selama perkuliahan.
6. Kakak-kakak Sonyeo Shidae dengan lagu-lagunya yang menemaniku dari
awal masuk kuliah hingga sekarang terutama TaeYeon yang menginpirasi untuk
keep going on and always be grateful.
Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna
dan tidak lepas dari berbagai kekurangan. Penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan dan terhadap
perkembangan Ilmu dan Teknologi, khususnya bidang Ilmu dan Teknologi
Pangan.
Malang, Maret 2018
Penulis
iv
DAFTAR ISI
RINGKASAN .......................................................................................................i
SUMMARY ......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. vii
1. Pendahuluan ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah............................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 3
1.5 Hipotesis ................................................................................................. 3
2. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 4
2.1 Susu ....................................................................................................... 4
2.2 Produk Susu Fermentasi ........................................................................ 5
2.3 Kefir ........................................................................................................ 7
2.4 Kefir Grains .......................................................................................... 11
2.4.1 Bakteri Asam Laktat (BAL).......................................................... 13
2.4.2 Khamir ........................................................................................ 14
2.5 Suhu Penyimpanan . ............................................................................ 15
2.6 Kemasan . ............................................................................................. 16
2.6.1 Plastik . ........................................................................................ 17
2.6.2 PET . ........................................................................................... 18
2.7 Umur Simpan . ...................................................................................... 18
2.8 Pendugaan Umur Simpan . ................................................................... 19
2.8.1 Extended Storage Studies (ESS) atau Metode konvensional ...... 19
2.8.2 Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) atau Metode Akselerasi . . 20
3. Metode Penelitian ...................................................................................... 21
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 21
3.2 Alat dan Bahan ...................................................................................... 21
3.2.1 Alat .............................................................................................. 21
v
3.2.2 Bahan .......................................................................................... 21
3.3 Metode Penelitian .................................................................................. 21
3.4 Pelaksanaan Penelitian ........................................................................ 22
3.4.1 Proses Pembuatan Kefir .............................................................. 22
3.4.2 Penentuan Karakteristik Mutu Awal dan Mutu Akhir Kefir ............ 22
3.4.3 Analisa Perubahan Karakterstik Kefir Selama Penyimpanan ....... 23
3.4.4 Pendugaan Umur Simpan ........................................................... 23
3.5 Pengamatan dan Analisa Penelitian .......................................................... 24
3.6 Analisa Data .............................................................................................. 24
4. Hasil dan Pembahasan .............................................................................. 25
4.1 Karakteristik Mutu Awal dan Akhir Kefir. .................................................... 25
4.1.1 Karakteristik Organoleptik. ........................................................... 25
4.1.1.1 Warna. ............................................................................. 27
4.1.1.2 Aroma .............................................................................. 28
4.1.1.3 Tekstur ............................................................................ 29
4.1.1.4 Kenampakan ................................................................... 30
4.1.2 Mutu Awal dan Akhir Kefir ........................................................... 32
4.2 Karakteristik Mutu Kefir Selama Penyimpanan .......................................... 35
4.2.1 pH................................................................................................ 35
4.2.2 Total Asam .................................................................................. 38
4.2.3 Viskositas .................................................................................... 41
4.2.4 Total Mikroba ............................................................................... 44
4.2.5 Warna .......................................................................................... 48
4.2.5.1 Kecerahan (L*) ................................................................ 48
4.2.5.2 Kehijauan (a*) .................................................................. 51
4.2.5.3 Kekuningan (b*) ............................................................... 53
4.3 Pendugaan Umur Simpan .......................................................................... 56
5. Kesimpulan dan Saran .............................................................................. 59
5.1 Kesimpulan. ............................................................................................... 59
5.2 Saran. ........................................................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 60
LAMPIRAN ..................................................................................................... 66
vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Keterangan Halaman
2.1 Skema Pembuatan Kefir ........................................................................... 8
2.2 Pertumbuhan Mikroba dalam Kefir Brazil .................................................. 9
2.3 Pertumbuhan Mikroba dalam Kefir Selama Penyimpanan ........................ 10
2.4 Reaksi Perubahan Glukosa Menjadi Asam Laktat..................................... 14
2.5 Reaksi Pemecahan Glukosa Pada Proses Fermentasi Khamir ................. 15
3.1 Diagram Alir Pembuatan Kefir ................................................................... 22
3.2 Diagram Alir Penelitian I Karakteristik Produk ........................................... 23
3.3 Diagram alir Penelitian II Pendugaan Umur Simpan ................................. 24
4.1 Grafik Tingkat Penerimaan Panelis Terhadap Warna Kefir ....................... 27
4.2 Grafik Tingkat Penerimaan Panelis Terhadap Aroma Kefir ....................... 28
4.3 Grafik Tingkat Penerimaan Panelis Terhadap Tekstur Kefir ...................... 30
4.4 Grafik Tingkat Penerimaan Panelis Terhadap Kenampakan Kefir ............. 31
4.5 Grafik Rerata Nilai pH Kefir Selama Penyimpanan ................................... 35
4.6 Grafik Rerata Nilai Total Asam Kefir Selama Penyimpanan ...................... 38
4.7 Grafik Rerata Nilai Viskositas Selama Penyimpanan Kefir ........................ 41
4.8 Grafik Rerata Nilai Total Mikroba Selama Penyimpanan ........................... 45
4.9 Grafik Rerata Nilai Kecerahan Selama Penyimpanan ............................... 49
4.10 Grafik Rerata Nilai Kehijauan Selama Penyimpanan .............................. 51
4.11 Grafik Rerata Nilai Kekuningan Selama Penyimpanan............................ 54
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Keterangan Halaman
2.1 Tabel komposisi zat kimia susu pada sapi perah (%) .................................. 4
2.2 Produk Susu Fermentasi dan Mikroba Pembuatnya ................................... 6
2.3 Komposisi Kimia Kefir ................................................................................. 7
2.4 Syarat Mutu Yogurt ..................................................................................... 11
4.1 Rerata Uji Penerimaan Produk Selama Penyimpanan ................................ 26
4.2 Karakteristik Mutu Awal (A0) dan Akhir (At) Kefir ........................................ 32
4.3 Rerata Perubahan pH Akibat Pengaruh Lama Penyimpanan ...................... 37
4.4 Rerata Perubahan Total Asam Akibat Pengaruh Lama Penyimpanan ........ 40
4.5 Rerata Perubahan Viskositas Kefir Selama Penyimpanan ......................... 43
4.6 Rerata Perubahan Total Mikroba Kefir Selama Penyimpanan .................... 47
4.7 Rerata Perubahan Kecerahan Akibat Pengaruh Lama Penyimpanan ......... 50
4.8 Rerata Perubahan Kehijauan Akibat Pengaruh Lama Penyimpanan........... 53
4.9 Rerata Perubahan Kekuningan Akibat Pengaruh Lama Penyimpanan ........ 56
4.10 Pendugaan Umur Simpan Pada Suhu 4±1°C ............................................ 57
4.11 Pendugaan Umur Simpan Pada Suhu 10±1 °C ......................................... 58
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permintaan susu dan produk olahan susu di negara berkembang terus
meningkat seiring dengan bertambahnya pendapatan, pertumbuhan penduduk,
urbanisasi dan perubahan pola makan. Kecenderungan ini terjadi di kawasan
timur dan asia tenggara terutama pada negara dengan populasi tinggi seperti
Cina, Indonesia dan Vietnam. Konsumsi susu dan produk olahan susu di Asia
tenggara diprediksi akan meningkat hingga 125% pada 2030 (FAO, 2016). Salah
satu produk olahan susu yang mengalami peningkatan permintaan yaitu
minuman susu fermentasi yang mengandung probiotik. Minuman prebiotik ini
kebanyakan dikonsumsi dalam bentuk kefir, yogurt dan produk susu fermentasi
lainnya.
Kefir memiliki rasa, warna dan konsistensi yang menyerupai yoghurt
namun kefir memiliki aroma khas seperti tape. Kefir merupakan produk susu
fermentasi yang dapat dibuat dari bahan baku susu sapi, susu kambing, susu
beras maupun susu kedelai dengan menambahkan kefir grains (bibit kefir) yang
terdiri dari bakteri asam laktat dan khamir (Otes et al, 2003). Kefir grains
mengandung Lactobacillus kefiri, spesies dari genus Leuconostoc, Lactococcus
dan Acetobacter yang tumbuh dengan hubungan yang spesifik dan kuat, kefir
grains juga mengandung khamir yang dapat memfermentasi laktosa yaitu
Kluyveromyces marxianus maupun yang tidak dapat memfermentasi laktosa
seperti Saccharomyces unisporus, Saccharomyces cerevisiae dan
Saccharomyces exiguous (CODEX, 2003). Menurut Maheswari (2009), manfaat
mengonsumsi kefir dapat meningkatkan sistem pertahanan tubuh karena
kandungan antimikroba yang terdapat di dalamnya Antimikroba yang dapat .
dijumpai pada kefir adalah asam laktat, asam asetat, asam format,
hidrogenperoksida, diasetil, asetaldehid dan bakteriosin.
Informasi umur simpan produk sangat penting bagi produsen, distributor,
penjual dan konsumen. Bagi produsen, informasi umur simpan merupakan
bagian dari konsep pemasaran produk yang penting secara ekonomi yang
berkaitan dengan usaha pengembangan produk. Bagi distributor dan penjual,
informasi umur simpan sangat penting dalam hal penanganan stok barang
dagangannya. Konsumen tidak hanya dapat mengetahui tingkat keamanan dan
2
kelayakan produk untuk dikonsumsi, tetapi juga dapat memberikan petunjuk
terjadinya perubahan cita rasa, penampakan dan kandungan gizi produk
tersebut.
Selama penyimpanan terjadi perubahan sifat fisiko - kimia pada kefir dan
suhu penyimpanan berperan penting dalam terjadinya proses tersebut. Pada
penyimpanan suhu rendah aktivitas metabolism oleh mikroba di kefir akan
menjadi lebih lambat dibandingkan pada suhu ruang. Tingkat suhu pendinginan
pada lemari pendingin berkisar antara -18 - 10°C. Suhu dalam lemari pendingin
berbeda untuk masing-masing tempat di dalam ruang pendingin. Menurut
Koswara (2009), suhu yang paling tinggi adalah pada suhu bagian terbawah dari
kabinet dan yang terendah pada tempat tepat dibawah ruang beku. Adanya
perbedaan ini, maka perlu dilakukan penelitian penyimpanan pada suhu rendah
yang berbeda yaitu suhu 4±1 dan 10±1°C yang mewakili suhu pendinginan pada
ruang pendingin. Penelitian Usmiati et al. (2000), menyatakan suhu penyimpanan
berpengaruh nyata terhadap kadar asam laktat dan kadar alkohol kefir namun
tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH. Penyimpanan pada suhu kamar
diperoleh kadar asam laktat dan kadar alkoholnya lebih tinggi secara nyata
dibandingkan penyimpanan pada suhu rendah. Lama penyimpanan
menunjukkan peningkatan kadar asam laktat dan kadar alkohol serta terjadi
penurunan nilai pH.
Selama ini umur simpan kefir yang didapatkan dari pengolahan produk
oleh Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya adalah 1,5 bulan yang diprediksi
secara sederhana yaitu dengan mencoba sendiri menyimpan kefir dalam lemari
pendingin hingga dirasa sudah tidak layak dikonsumsi dengan ciri aroma busuk,
rasa terlalu masam dan pahit. Namun, belum dilakukan pengujian tentang
parameter penurunanan mutu kefir secara ilmiah. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh suhu dan lama penyimpanan
terhadap karakteristik kefir untuk pendugaan umur simpan.
3
1.2 Perumusan masalah
Perumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perubahan karakteristik kefir selama penyimpanan pada suhu
4±1 dan 10±1°C ?
2. Bagaimana umur simpan kefir pada suhu 4±1 dan 10±1°C ?
3. Apakah ada pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap umur simpan
kefir?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui perubahan karakteristik kefir selama penyimpanan pada suhu
4±1 dan 10±1°C
2. Menduga umur simpan kefir pada suhu penyimpanan 4±1 dan 10±1°C
3. Mengetahui pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap karakteristik
kefir
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan acuan atau informasi
bagi masyarakat mengenai umur simpan kefir. Bagi produsen, distributor, dan
penjual, informasi umur simpan akan sangat penting dalam hal penanganan stok
produk, sehingga dapat diketahui apakah produk tersebut masih layak diterima
oleh konsumen.
1.5 Hipotesis
1. Diduga suhu dan lama penyimpanan akan mempengaruhi karakteristik kefir
2. Diduga suhu penyimpan yang berbeda akan mempengaruhi umur simpan
kefir
3. Diduga terdapat interaksi antara suhu dan lama penyimpanan terhadap umur
simpan kefir
4. Diduga umur simpan kefir pada penyimpanan suhu 10±1°C lebih pendek
dibanding suhu 4±1°C
4
I. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Susu
Berdasarkan SK Dirjen Peternakan No.17 Tahun 1983, definisi susu
adalah susu sapi yang meliputi susu segar, susu murni, susu pasteurisasi dan
susu sterilisasi. Secara biologis, susu merupakan sekresi fisiologis kelenjar
ambing sebagai makanan dan proteksi imunologis (immunological preotection)
bagi mamalia. Secara kimia, susu adalah emulsi lemak dalam air yang
mengandung gula, garam mineral dan protein dalam bentuk suspensi koloid.
Komposisi utama susu adalah air, lemak, protein (kasein dan albumin),
laktosa dan abu (Muharastri, 2008). Kandungan air di dalam susu sangat tinggi,
yaitu sekitar 87,5%, dengan kandungan gula susu (laktosa) sekitar 5%, protein
sekitar 3,5%, dan lemak sekitar 3-4%. Susu juga merupakan sumber kalsium,
fosfor, dan vitamin A yang sangat baik. Mutu protein susu sepadan nilainya
dengan protein daging dan telur, susu sangat kaya akan lisin, yaitu salah satu
asam amino esensial yang sangat dibutuhkan oleh tubuh (Widodo, 2002).
Komposisi zat kimia susu pada sapi perah dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Tabel komposisi zat kimia susu pada sapi perah (%)
Bangsa sapi Air Lemak Protein Laktosa Abu Total padatan
Holstein 87,50 3,55 3,42 4,86 0,68 12,5 Brown swiss 86,60 4,01 3,61 5,04 0,73 13,41 Ayshire 86,90 4,14 3,58 4,69 0,68 13,11 Jersey 85,31 5,18 3,86 4,94 0,70 14,69 Guemsey 85,13 5,19 4,02 4,91 0,74 14,87
Sumber : Mukhtar (2006)
Kualitas susu yang dipersyaratkan di Indonesia, sudah dibuat oleh Badan
Standardisasi Nasional (BSN) berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia) 01-
3141-2011, yang mengatur syarat susu segar, antara lain yang terpenting adalah
berat jenis (pada suhu 27,5 0C) minimum 1,0280 , kadar lemak minimum 3,0%,
bahan kering tanpa lemak minimum 8,0% dan protein minimum 2,7%, serta
jumlah mikroorganisma maksimum 1x106 cfu (colony form unit) perml dan jumlah
sel radang maksimum 4X105/ml. Untuk mencegah potensi mikroorganisma ini,
dalam SNI 01-3141-1998 juga mengatur syarat lainnya tentang cemaran
mikroorganisma dalam susu segar, yakni : Salmonella (-), E. coli (patogen) (-),
5
Coliform (20/ml), Streptococcus Group B (-) dan Staphylococus aureus
(1x102/ml).
Bagi beberapa orang, susu dapat menyebabkan terjadinya intolerance
yang berupa lactose intolerance maupun protein intolerance. Lactose intolerance
merupakan suatu keadaan tidak adanya atau tidak cukupnya jumlah enzim
laktase di dalam tubuh seseorang. Enzim laktase adalah enzim yang bertugas
untuk menguraikan gula laktosa menjadi gula-gula yang lebih sederhana, yaitu
glukosa dan galaktosa. Glukosa dan galaktosa merupakan monosakarida yang
dapat dicerna dan diserap oleh usus untuk proses metabolism dibandingkan
laktosa yang bersifat sebagai disakarida. Ketiadaan enzim laktase inilah yang
menyebabkan terjadinya gejala diare, murus-murus atau mual beberapa saat
setelah minum susu. Bagi beberapa orang, minum susu juga dapat
menyebabkan terjadinya alergi atau protein intolerance. Salah satu jenis protein
yang ada di dalam susu adalah laktoglobulin, yang di dalam tubuh orang tertentu
dapat bertindak sebagai antigen yang sangat kuat sehingga dapat menyebabkan
terjadinya alergi (Widodo, 2002).
Permasalahan lain yang ada pada susu sapi segar adalah sangat mudah
rusak. Faktor penyebab kerusakan susu dapat meliputi faktor kimia, fisik, dan
mikrobiologi. Namun, pengaruh faktor mikrobiologi menjadi penyebab utama
terjadinya kerusakan susu. Tingginya kandungan gizi pada susu justru
merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba, sehingga susu
merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak atau perishable (Fratiwi
et al., 2008). Upaya untuk memperpanjang daya guna, daya simpan serta
meningkatkan nilai ekonomi susu, maka diperlukan teknik penanganan dan
pengolahan. Salah satu upaya pengolahan susu yang sangat prospektif adalah
dengan fermentasi susu (Widodo, 2002).
2.2 Produk fermentasi susu
Fermentasi merupakan suatu proses untuk mengubah suatu bahan
menjadi suatu bahan lain dengan cara sederhana dan dibantu oleh mikroba.
Menurut Siswanti (2002), susu fermentasi adalah produk yang dihasilkan dari
susu penuh (full milk), sebagian (kadar lemak 2%), atau tanpa lemak (full skim),
dengan bantuan mikroba spesifik. Dijelaskan pula oleh Chairunnisa et al. (2006),
bahwa susu fermentasi merupakan produk susu yang dihasilkan dari proses
fermentasi, dengan bahan baku susu yang telah diolah, dengan atau tanpa
6
penambahan atau modifikasi komposisi susu tersebut, dan dengan adanya
penurunan pH atau tanpa adanya koagulasi.
Fermentasi terbagi menjadi dua jenis yaitu homofermentatif dan
heterofermentatif. Homofermentatif adalah fermentasi yang produk akhirnya
hanya berupa asam laktat, contoh homofermentatif yaitu proses fermentasi yang
terjadi dalam pembutan yoghurt. Heterofermentatif adalah fermentasi yang
produk akhirnya berupa asam laktat dan etanol, contoh heterofermentatif yaitu
proses fermentasi yang terjadi dalam pembuatan tape (Belitz et al., 2009).
Proses fermentasi baik secara aerob maupun anaerob akan menghasilkan
berbagai produk dengan melibatkan aktivitas mikroba atau ekstraknya secara
terkontrol. Fermentasi dapat menambah keanekaragaman pangan dan
menghasilkan produk dengan cita rasa, aroma, serta tekstur yang khas, selain itu
juga dapat memperpanjang masa simpan produk (Halin dan Evancho, 1992
dalam Fratiwi et al.,2008). Beberapa contoh produk susu fermentasi dan jenis
mikroba pembuatnya dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Produk Susu Fermentasi dan Mikroba Pembuatnya
Nama susu fermentasi Mikroba
Yogurt, kishk, zabaday Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus
Kefir Streptococcus Lactic, Lactobacillus kefir
Susu asidofilus Lactobacillus acidophilus
Yakult, susu L. casei Lactobacillus casei
Susu bifidus Bifidobacterium bifidum
Sumber : Widodo, 2002
Fermentasi susu menjadi kefir menghasilkan senyawa metabolit yang
bermanfaat bagi kesehatan yaitu eksopolisakarida dan peptida bioaktif. Kedua
senyawa tersebut akan menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Polisakarida yang
terbentuk pada kefir juga berperan sebagai antitumor (Koswara, 2009). Senyawa
lain yang terdapat pada kefir adalah kandungan β-galactosidase yang baik untuk
penderita lactose intoleran. Komponen antibakteri juga dihasilkan selama
fermentasi kefir seperti asam organik (asam laktat dan asetat), karbondioksida,
hidrogen peroksida, etanol, diacetil dan peptida (bakteriosin) yang tidak hanya
berguna untuk menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan mikroba
7
pembusuk selama pengolahan dan penyimpanan makanan, tetapi dapat pula
digunakan untuk pencegahan beberapa gangguan pencernaan dan infeksi
(Farnworth, 2005).
2.3 Kefir
Kefir merupakan produk susu fermentasi yang dapat dibuat dari bahan
baku susu sapi, susu kambing atau susu domba dengan menambahkan bibit
kefir (kefir grains) yang terdiri dari bakteri asam laktat dan khamir (Kosikwoski,
1982). Kefir memiliki tekstur bening, berbentuk butiran-butiran seperti gel,
umumnya tidak berwarna / transparan, teksturnya rapuh (mudah pecah apabila
diberi sedikit penekanan). Sifat unik kefir dihasilkan oleh Lactobacillus casei,
yang diyakini mampu mensintesis polisakarida ke dalam bentuk taklarut
(Farnworth, 2005).
Kefir mempunyai kelebihan dibandingkan dengan susu segar karena
asam yang terbentuk dapat memperpanjang masa simpan, mencegah
pertumbuhan mikroba pembusuk sehingga mencegah kerusakan susu, dan
mencegah pertumbuhan mikroba patogen sekaligus meningkatkan keamanan
produk kefir. Komposisi fisiko-kimia kefir tergantung pada jenis susu yang
difermentasi sehingga komponen bioaktif yang terbentuk secara kuantitas juga
berbeda (Mal et al., 2011). Komposisi kimia dalam kefir dapat dilihat pada Tabel
2.3
Tabel 2.3 Komposisi Kimia Kefir
Komponen %
Protein 4-6 Lemak 0,1 – 10 Laktosa 2 – 3 Karbohidrat 5 – 25 Ph 3,5 – 4,6 Keasaman 0,5 – 1,6 Alkohol 0,5 - 2
Sumber : Avianti (2008)
Tamime dan Robinson (1991) dalam Zakaria (2009), menyatakan bahwa
kualitas dari susu fermentasi ditentukan oleh total solid yang terdapat dalam
susu, bahan baku, kefir grain, tingginya kadar protein dan rendahnya angka
synerisis. Penambahan starter dan persentase yang berbeda dan bahan baku
yang berbeda dapat menghasilkan kualitas susu fermentasi yang berbeda dan
8
dapat merubah nilai nutrisi dan sifat fisik atau tekstur dari susu fermentasi.
Proses pembuatan kefir dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Dipanaskan 85°C (30menit) atau 95°C (5menit)
Didinginkan sampai 22°C
Inkubasi 23°C (20 jam) atau 10°C (2 hari)
Penyaringan
Filtrat
Didinginkan 5°C (2-3 jam)
Dikemas
Gambar 2.1 Skema Pembuatan Kefir (Eniza, 2004)
Menurut Bahar (2008), selama proses fermentasi berlangsung BAL akan
menguraikan laktosa menjadi asam laktat, yang kemudian menyebabkan
terjadinya penurunan pH sehingga kefir bercita rasa massam. BAL dalam proses
fermentasi berperan dalam menghasilkan asam laktat, sedangkan khamir
berperan dalam menghasilkan gas karbon dioksida dan sedikit alkohol (Usmiati,
2007). Selama proses fermentasi, mikroba yang terdapat di dalam kefir grains
akan memproduksi beberapa vitamin yang penting bagi kesehatan seperti asam
pantotenat, asam nikotinat, asam folat, biotin, vitamin B6 dan vitamin B12, serta
mampu menurunkan kadar lemak di dalam produk fermentasi (Edwin, 2012).
Pada hasil penelitian Leite et al. (2013), proses fermentasi kefir selama
24 jam menunjukan bahwa pertumbuhan BAL jenis Lactobacillus sp dan
Lactococcus sp mengalami peningkatan lebih tinggi dibanding bakteri asam
asetat dan khamir. Jumlah BAL dan bakteri asam asetat terlihat mengalami
peningkatan hingga akhir proses fermentasi 24 jam. Jumlah khamir mengalami
Butir kefir
Susu segar
Kefir
9
peningkatan hingga 12 jam, setelah itu jumlahnya terlihat konstan hingga akhir
proses fermentasi.
Gambar 2.2 Pertumbuhan Mikroba dalam Kefir Brazil (Leite et al., 2013)
Keterangan :
○ : Lactobacillus sp.
● : Lactococcus sp.
▼: Bakteri asam asetat
▽ : Khamir
Pada hasil penelitian Leite et al. (2013), proses penyimpanan kefir
selama 28 hari menunjukan bahwa pertumbuhan BAL dan khamir terlihat
konstan, sedangkan pada bakteri asam asetat cenderung sedikit mengalami
penurunan hingga akhir periode penyimpanan. Pola pertumbuhan mikroba kefir
pada proses penyimpanan lainnya terlihat pada hasil penelitian Irigoyen et al.
(2005), pada Gambar 2.3 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan khamir dan
bakteri asam asetat hampir sama seperti yang dilaporkan Leite et al. (2013),
yaitu cenderung konstan hingga akhir penyimpanan. Namun pada jumlah BAL
cenderung mengalami penurunan hingga akhir penyimpanan 28 hari. Penurunan
10
terbesar terlihat pada penyimpanan hari ke-7 dengan hari ke-14 dan kemudian
jumlahnya terlihat konstan hingga hari ke-28.
Gambar 2.3 Pertumbuhan Mikroba dalam Kefir Selama Penyimpanan (Irigoyen
et al., 2005)
Keterangan :
a : Lactobacillus sp.
b : Lactococcus sp.
c : Khamir
d : Bakteri asam asetat
Standar kefir belum ada di Indonesia, sehingga mengikuti syarat mutu
yoghut bersarakan Standar Nasional Indonesia (SNI 2981:2009) dapat dilihat
pada Tabel 2.4
11
Tabel 2.4 Syarat Mutu Yogurt
Kriteria uji Satuan Yogurt tanpa perlakuan panas setelah fermentasi
Yogurt dengan perlakuan panas setelah fermentasi
yogurt Yogurt rendah lemak
Yogurt tanpa lemak
yogurt Yogurt rendah lemak
Yogurt tanpa lemak
Keadaan Penampakan - Cairan kental padat Cairan kental padat Bau - Normal/khas Normal/khas Rasa - Asam/khas Asam/khas Konsistensi - homogen homogen
Kadar lemak (b/b) % Min 3,0 0,6-2,9 Maks 0,5
Min 3,0
0,6-2,9 Maks 0,5
Total padatan bukan lemak (b/b)
% Min 8.2 Min 8.2
Protein % Min 2,7 Min 2,7 Kadar abu (b/b) % Maks 1,0 Maks 1,0
Keasaman % 0,5-2,0 0,5-2,0 Cemaran logam
Timbal mg/kg Maks 0,3 Maks 0,3
Tembaga mg/kg Maks 20,0 Maks 20,0
Timah mg/kg Maks 40,0 Maks 40,0
Raksa mg/kg Maks 0,03 Maks 0,03
Cemaran mikroba koloni/g
Bakteri coliform - Maks 10 Maks 10
Salmonella - Negatif/25 g Negatif/25 g Listeria
monocytogenes - Negatif/25 g Negatif/25 g
Jumlah bakteri stater Min 107 Min 10
7
Sumber : Standar Nasional Indonesia (2009)
2.4 Kefir grains
Kefir grains atau bibit kefir adalah campuran protein susu dan mikroba
kefir berbentuk seperti biji-biji berwarna putih kekuningan, berukuran 0,1–2 cm.
Kefir grains merupakan butiran-butiran bibit kefir terdiri dari mikroorganisme yang
dikelilingi oleh matriks berbentuk lender yang terdiri atas gula polisakarida yang
disebut kefiran. Kefir grain juga terdiri atas campuran berbagai bakteri dan
khamir, masing-masing berperan dalam pembentukan cita rasa dan struktur kefir
(Ide, 2008).
12
Kefir grain yang terbentuk dari berbagai jenis strain bakteri sehat dan
khamir bersama-sama membentuk hubungan simbiosis mikroba menghasilkan
kultur pertumbuhan yang stabil. Mikroba mengubah gula menjadi asam laktat,
alkohol (etanol), dan karbon dioksida yang akan menghasilkan minuman
fermentasi berkarbonasi (Gulitz et al., 2011, dalam Michael et al., 2014). Standar
CODEX No. 243 tahun 2003 menyatakan bahwa bibit kefir mengandung
Lactobacillus kefiri, spesies dari genus Leuconostoc, Lactococcus dan
Acetobacter yang tumbuh dengan hubungan yang spesifik dan kuat, kefir grains
juga mengandung khamir yang dapat memfermentasi laktosa yaitu
Kluyveromyces marxianus maupun yang tidak dapat memfermentasi laktosa
yaitu Saccharomyces unisporus, Saccharomyces cerevisiae dan Saccharomyces
exiguus.
Menurut Saleh (2004), mikroba penyusun kefir yaitu Streptoccus lactis,
Streptoccus cremoris, Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophilus, Candida
kefir, Kluyveromyces fragilis. Sedangkan menurut Ide (2008), bakteri baik yang
terkandung di dalam biji kefir, antara lain adalah Lactobacillus acidophillus,
Lactobacillus kefiri, Lactobacillus kefirgranum, Lactobacillus kefiranofaciens,
Lactobacillus parakefir, Lactobacillus delbrueckiisubsp. Lactobacillus fructivorans,
Lactococci, Bulgaricus. Menurut Cousens (2003) dalam Agustina et al. (2013),
butir kefir berkualitas tinggi mengandung:
1. Streptococcus lactis, yang menghasilkan asam laktat, membantu pencernaan,
menghambat mikroba berbahaya dan menghasilkan bakteriolisis.
2. Lactobacillus plantaturum, yang membuat asam laktat, perkelahian melawan
Listria monoctogenes dan membuat plantaricin yang menghambat
mikroorganisme yang menyebabkan pembusukan.
3. Streptococcus cremoris, yang memiliki sifat yang mirip Streptococcus lactis.
4. Lactobacillus casei, yang menghasilkan sejumlah besar asam laktat, berkoloni
dengan baik di saluran pencernaan, menciptakan medium yang
menguntungkan bagi bakteri lain untuk tumbuh, menghambat pembusukan,
meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, dan menghambat bakteri patogen dan
membantu melindungi terhadap infeksi bakteri.
5. Streptococcus diacetylactis, menghasilkan CO2 dalam kefir, membuat diasetil,
yang memberi aroma khas kefir, dan memiliki sifat umum mirip dengan S.
lactis.
13
Menurut Wijaningsih (2008), bahwa konsentrasi starter berpengaruh
terhadap pH kefir dan aktivitas antibakteri. Konsentrasi starter menunjukkan
kekuatan bakteri yang terlibat dalam perombakan laktosa. Pemberian
konsentrasi kefir grains yang tinggi akan menghasilkan kadar asam laktat dan
alkohol yang tinggi pula akibat kerja dari mikroorganisme (Abubakar et al., 2000
dalam Agustina et al., 2013).
2.4.1 Bakteri Asam Laktat (BAL)
Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri gram positif berbentuk
kokus atau batang, tidak membentuk spora, suhu optimum ±400C, bersifat
anaerob, katalase negatif dan oksidase positif, dengan asam laktat sebagai
produk utama fermentasi karbohidrat. Sifat-sifat khusus BAL adalah mampu
tumbuh pada kadar gula, alkohol, dan garam yang tinggi, mampu
memfermentasikan monosakarida dan disakarida (Syahrurahman, 1994). Proses
fermentasi yang melibatkan BAL memiliki ciri khas yaitu terakumulasinya asam-
asam organik yang dihasilkan oleh BAL disertai penurunan nilai pH. Asam laktat
menyebabkan penurunan pH sehingga menghambat pertumbuhan bakteri
patogen yang optimum pada pH 6-7 (Parameswari et al., 2011, dalam Yulita et
al., 2013).
Menuru Belitz et al. (2009), fermentasi asam laktat terbagi menjadi dua
jenis, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif yaitu :
1. Bakteri homofermentatif : glukosa difermentasi menghasilkan asam laktat
sebagai satu-satunya produk. Contoh : Streptococus, Pediococcus, dan
beberapa Lactobacillus.
2. Bakteri heterofermentatif : glukosa difermentasikan selain menghasilkan asam
laktat juga memproduksi senyawa-senyawa lainnya yaitu etanol, asam asetat
dan CO2. Contoh : Leuconostoc, dan beberapa spesies Lactobacillus.
Berikut merupakan beberapa jenis bakteri asam laktat antara lain sebagai
berikut (Sumanti, 2008 dalam Agustina et al., 2013) :
1. Streptococcus thermophilus, Streptococcus lactis dan Streptococcus cremoris.
Semuanya ini adalah bakteri gram positif, berbentuk bulat (coccus) yang
terdapat sebagai rantai dan semuanya mempunyai nilai ekonomis penting
dalam industri susu.
14
2. Pediococcus cerevisae. Bakteri ini adalah gram positif berbentuk bulat,
khususnya terdapat berpasangan atau berempat (tetrads). Bakteri ini
berperan penting dalam fermentasi daging dan sayuran.
3. Leuconostoc mesenteroides dan Leuconostoc dextranicum. Bakteri ini adalah
gram positif berbentuk bulat yang terdapat secara berpasangan atau rantai
pendek. Bakteri-bakteri ini berperan dalam memecah larutan gula dengan
produksi pertumbuhan dekstran berlendir.
4. Lactobacillus lactis, Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus,
Lactobacillus plantarum, Lactobacillus delbrueckii. Bakteri ini berbentuk
batang, gram positif dan sering berbentuk pasangan dan rantai dari sel-
selnya. Jenis ini umumnya lebih tahan terhadap keadaan asam dari pada
jenis-jenis Pediococcus atau Streptococcus dan oleh karenanya menjadi lebih
banyak terdapat pada sayuran. Pada hewan ternak lain seperti sapi bali dapat
ditemukan bakteri asam laktat seperti Lactobacillus lactis dan Lactobacillus
brevis.
Menurut Khoiriyah et al. (2014), hampir semua BAL hanya memperoleh
energi dari metabolisme gula sehingga habitat pertumbuhannya hanya terbatas
pada lingkungan yang menyediakan cukup gula atau bisa disebut dengan
lingkungan yang kaya nutrisi. Kemampuan mereka untuk mengasilkan senyawa
(biosintesis) juga terbatas dan kebutuhan nutrisi kompleks BAL meliputi asam
amino, vitamin, purin dan pirimidin. Reaksi BAL homofermentatif dalam
menghasilkan asam laktat sebagai produk utama fermentasi karbohidrat melalui
fermentasi 1 mol glukosa menjadi 2 mol asam laktat dapat dilihat pada Gambar
2.4.
C6H12O6 2CH3CHOHCOOH
Glukosa Asam Laktat
Gambar 2.4 Reaksi Perubahan Glukosa Menjadi Asam Laktat (Ogunbanwo et al., 2003 dalam Khoiriyah et al., 2014)
2.4.2 Khamir
Khamir termasuk fungi, tetapi dibedakan dari kapang karena bentuknya
yang terutama uniseluler. Reproduksi vegetatif pada khamir terutama dengan
cara pertunasan. Sebagai sel tunggal, khamir tumbuh dan berkembang biak lebih
15
cepat dibandingkan dengan kapang yang tumbuh dengan pembentukan filamen.
Khamir juga lebih efektif dalam memecah komponen kimia dibandingkan dengan
kapang karena mempunyai perbandingan luas permukaan dengan volume yang
lebih besar (Pelczar et al.,1977).
Kisaran suhu untuk pertumbuhan kebanyakan khamir pada umumnya
hampir sama dengan kapang yaitu dengan suhu optimum 25-30ºC dan suhu
maksimum 35-47ºC. Beberapa khamir dapat tumbuh pada suhu 0ºC atau kurang.
Pertumbuhannya yang lambat dan kesanggupannya untuk bersaing kurang,
khamir sering tumbuh pada lingkungan yang kurang baik untuk pertumbuhan
bakteri, lingkungan tersebut antara lain pH rendah, kelembaban rendah, kadar
gula dan garam yang tinggi, suhu penyimpanan rendah, radiasi pada makanan
dan adanya antibiotika (Viljoen et al.,2003).
Fermentasi gula menjadi etanol umumnya dilakukan oleh khamir. Khamir
yang penting dalam proses fermentasi etanol adalah Saccharomyces cerevisiae
dengan menggunakan gula-gula sederhana seperti glukosa, maltosa, sukrosa
dan rafinosa. Pada proses fermentasi anaerob khamir memecah glukosa menjadi
alkohol dan karbondioksida sebagai berikut (Madigan et al., 2000 dalam Michael
et al., 2014):
C6H12O6 C2H5OH + 2CO2
Glukosa alkohol karbondioksida
Gambar 2.5 Reaksi Pemecahan Glukosa Pada Proses Fermentasi Khamir
Sebagian besar khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya.
Selain oksigen, substrat yang utama dari khamir adalah gula. Khamir
menghasilkan etil alkohol dan karbondioksida dari gula sederhana seperti
glukosa dan fruktosa. Khamir pada umumnya toleran terhadap asam dan dapat
tumbuh pada pH 4,0 – 4,5, selain itu rentang suhu pertumbuhan khamir sangat
luas yaitu dari 0oC – 50oC, dengan suhu optimum 20oC – 30oC (Michael et al.,
2014)
2.5 Suhu Penyimpan Kefir
Pelczar dan Chan (1988) dalam Asriyani (2012) menyatakan bahwa
penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat kerusakan pada bahan
pangan antara lain kerusakan fisiologi, kerusakan enzimatik, maupun kerusakan
16
mikrobiologi. Pada pengawetan dengan suhu rendah dibedakan antara
pendinginan dan pembekuan. Pendinginan dan pembekuan merupakan salah
satu cara pengawetan yang tertua. Pendinginan atau refrigerasi ialah
penyimpanan dengan suhu rata-rata yang digunakan masih di atas titik beku
bahan. Kisaran suhu yang digunakan biasanya antara 4°C sampai 10°C. Pada
kisaran suhu tersebut pertumbuhan bakteri dan proses biokimia akan terhambat.
Penyimpanan suhu rendah biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama
beberapa hari atau beberapa minggu tergantung pada jenis bahan pangan.
Pada produk susu fermentasi lain, yaitu yoghurt yang disimpan pada suhu
5 oC masih memiliki sifat-sifat yang baik selama 1-2 minggu. suhu ideal untuk
penyimpanan yoghurt adalah 7oC atau lebih rendah (Asriyani, 2012). Menurut
penelitian Usmiati, pada penyimpanan kefir selama 12 hari pada suhu kamar
diperoleh kadar asam laktat dan kadar alkoholnya lebih tinggi secara nyata
dibandingkan penyimpanan pada suhu rendah (5-10 oC). Dijelaskan pula, suhu
dan lama penyimpanan menunjukan hubungan interaksi secara nyata terhadao
nilai pH. Menurut penelitian Mal et al., (2013), terdapat kecenderungan
perbedaan antara lama penyimpanan kefir susu kambing pada suhu refrigerator
terhadap nilai pH. Terdapat pula kecenderungan perbedan diantara lama
penyimpanan pada suhu refrigerator terhdapa nilai viskositas kefir susu kambing.
2.6 Kemasan
Kemasan merupakan salah satu proses yang paling penting untuk
menjaga kualitas produk makanan selama penyimpanan, transportasi, dan
penggunaan akhir. Selama distribusi, kualitas produk pangan dapat memburuk
secara biologis dan kimiawi maupun fisik. Oleh karena itu, kemasan makanan
memberikan kontribusi untuk memperpanjang masa simpan dan
mempertahankan kualitas dan keamanan produk makanan (Jun, 2005).
Kemasan merupakan sistem penyiapan barang untuk transportasi,
distribusi, penyimpanan, retailing (eceran) dan pengguna terakhir atau
konsumen. Kemasan digunakan untuk menjamin pengantaran yang aman ke
konsumen pada kondisi yang bagus. fungsi dasar kemasana yaitu sebagai
containment (wadah), protection (pelindung), preservation (pengawetan),
informasi tentang produk, kenyamanan, presentasi, brand communication,
promosi, ekonomi. Kemasan juga merupakan keamanan dan efektivitas biaya
17
pengiriman produk ke konsumen sesuai dengan strategi marketing perusahaan.
(Coles et al., 2003).
Jenis kemasan berdasarkan bahan dasar pembuatan kemasan
dikelompokan menjadi kaca, logam, plastik dan kertas. Masing-masing jenis
bahan kemasan ini mempunyai karakteristik tersendiri, dan ini menjadi dasar
untuk pemilihan jenis kemasan yang sesuai untuk produk pangan. Beberapa
pertimbangan yang diperhatikan sebelum memilih bahan dan jenis kemasan
yaitu kemasan tersebut harus dapat melindungi produk dari kerusakan fisik dan
mekanis, mempunyai daya lindung yang baik terhadap gas dan uap air, harus
dapat melindungi dari sinar ultra violet dan tahan terhadap bahan kimia (Coles et
al., 2003).
2.6.1 Plastik
Bahan pembuat plastik dari minyak dan gas sebagai sumber alami, dalam
perkembangannya digantikan oleh bahan-bahan sintetis sehingga dapat
diperoleh sifat sifat plastik yang diinginkan dengan cara kopolimerisasi, laminasi,
dan ekstruksi. Komponen utama plastik sebelum membentuk polimer adalah
monomer, yakni rantai yang paling pendek. Polimer merupakan gabungan dari
beberapa monomer yang akan membentuk rantai yang sangat panjang. Bila
rantai tersebut dikelompokkan bersama-sama dalam suatu pola acak,
menyerupai tumpukan erami maka disebut amorf, jika teratur hampir sejajar
disebut kristalin dengan sifat yang lebih keras dan tegar (Syarief et al., 1989).
Penggunaan plastik sebagai pengemas pangan terutama karena
keunggulannya dalam hal bentuknya yang fleksibel sehingga mudah mengikuti
bentuk pangan yang dikemas, berbobot ringan, tidak mudah pecah, bersifat
transparan/tembus pandang mudah diberi label dan dibuat dalam aneka warna,
dapat diproduksi secara missal dan harga relatif murah. Terdapat berbagai jenis
pilihan bahan dasar plastik yaitu polyethylene (PE), polypropylene (PP),
Polyethylene Terephthalate (PET), ionomers, ethylene vinyl acetate (EVA),
polyamides (PA), polyvinyl chloride (PVC), polystyrene (PS), styrene butadiene
(SB), acrylonitrile butadiene styrene (ABS), ethylene vinyl alcohol (EVOH),
polymethyl pentene (TPX), high nitrile polymers (HNP), fluoropolymers
(PCTFE/PTFE), polyvinyl acetate (PVA) (Coles et al., 2003).
18
2.6.2 Polyethylene Terephthalate (PET)
PET biasa disebut dengan polyester dalam pertekstilan. PET adalah hasil
kondensasi polimer etilen glikol dan asam tereptalat, dan dikenal dengan nama
dagang mylar. Pada bagian bawah kemasan botol plastik, tertera logo daur ulang
dengan angka 1 di tengahnya dan tulisan PETE atau PET (polyethylene
terephthalate) di bawah segitiga. Plastik ini biasa dipakai untuk botol plastik yang
jernih / tembus pandang seperti botol air mineral, botol jus, dan hampir semua
botol minuman lainnya. Sifat- sifat botol PET antara lain (Syarief et al., 1989)
sebagai berikut :
1. Tembus pandang (transparan), bersih dan jernih
2. Adaptasi terhadap suhu tinggi (300°C) sangat baik, Permeabilitasnya
terhadap uap air dan gas rendah
3. Tahan terhadap pelarut organik seperti asam-asam organik dari buah-
buahan, sehingga dapat digunakan untuk mengemas minuman sari buah
4. Tidak tahan terhadap asam kuat, fenol, dan benzil alkohol
5. Kuat dan tidak mudah sobek
Penggunaan PET sebagai kemasan pangan mengalami peningkatan paling
cepat, contohnya pada penggunaan pada minuman berkarbonasi dan air mineral
yang dihasilkan dengan mencetak menggunakan injeksi. botol PET juga
digunakan pada edible oils sebagai alternatif PVC. Kebanyakan botol PET di
tutup menggunakan tutup botol PP. Botol PET juga digunakan pada pada
kemasan susu full-fat, semi skim dan susu skim, serta kemasan susu dengan
beberapa perasa seperti vanila, coklat, strawberi, susu fermentasi (Robertson,
2010). Tidak disarankan untuk air hangat apalagi panas dan disarankan hanya
untuk satu kali penggunaan dan tidak untuk mewadahi pangan dengan suhu
lebih besar dari 60C̊, hal ini akan mengakibatkan lapisan polimer pada botol
tersebut akan meleleh dan mengeluarkan zat karsinogenik yang dapat
membahayakan kesehatan (Koswara, 2006).
2.7 Umur simpan
Umur simpan adalah waktu dimana semua karakteristik utama dari
makanan tetap diterima untuk dikonsumsi. Umur simpan produk pangan dapat
diartikan sebagai waktu antara produksi dan pengemasan produk dengan waktu
saat produk mencapai titik tertentu yang tidak dapat diterima dibawah kondisi
lingkungan tertentu. Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan terbuka
19
pada kondisi lingkungan. Oleh karena itu, produsen makanan harus memberikan
perhatian besar terhadap penentuan umur simpan ini (Robertson, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang
dikemas adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme
berlangsungnya perubahan, sebagai contoh kepekaan terhadap air dan oksigen
dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik (Labuza, 1982).
Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, kandungan oksigen, dan
cahaya dapat memicu beberapa reaksi yang dapat menyebabkan penurunan
mutu bahan pangan tersebut. Penurunan mutu ini akan berakibat terjadinya
penolakan oleh konsumen. Oleh karena itu, pemahaman yang baik terhadap
reaksi-reaksi yang dapat menyebabkan penurunan mutu produk pangan
menempati prioritas untuk pengembangan prosedur spesifik guna mengevaluasi
umur simpan produk pangan (Herawati, 2008).
2.8 Pendugaan Umur Simpan
Umur simpan suatu produk akan berubah apabila terjadi perubahan
dalam komposisi produk tersebut, pengaruh lingkungan terhadap produk atau
sistem pengemasan produk. Data yang diperlukan untuk menentukan umur
simpan produk yang dianalisis di laboratorium dapat diperoleh dari analisis atau
evaluasi sensoris, analisis kimia dan fisik, serta pengamatan kandungan mikroba
(Koswara, 2004). Terdapat enam faktor utama yang mengakibatkan terjadinya
penurunan mutu atau kerusakan pada produk pangan, yaitu massa oksigen, uap
air, cahaya, mikroorganisme, kompresi atau bantingan, dan bahan kimia toksik
atau off flavor (Floros et al., 1993 dalam Herawati, 2008). Faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya perubahan pada produk pangan menjadi dasar dalam
menentukan titik kritis umur simpan. Titik kritis ditentukan berdasarkan faktor
utama yang sangat sensitif serta dapat menimbulkan terjadinya perubahan mutu
produk selama distribusi, penyimpanan hingga siap dikonsumsi.
Menurut Herawati (2008), terdapat dua metode yang dapat dilakukan
untuk mengetahui umur simpan produk pangan yaitu :
2.8.1 Extended Storage Studies (ESS) atau Metode konvensional
ESS (Extended Storage Studies) yang sering disebut juga sebagai
metode konvensional merupakan penentuan tanggal kadaluarsa dengan jalan
20
menyimpan suatu produk pada kondisi normal sehari-hari dan dilakukan
pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu
kadaluarsa. Pendugaan umur simpan produk dilakukan dengan mengamati
produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat lagi
diterima oleh konsumen. Pengamatan dilakukan terhadap parameter titik kritis
dan atau kadar air. Metode ini akurat dan tepat, namun pada awal penemuan
dan penggunaan metode ini dianggap memerlukan waktu yang panjang dan
analisis parameter mutu yang relative banyak serta mahal. Metode ESS sering
digunakan untuk produk yang mempunyai masa kedaluwarsa kurang dari tiga
bulan. Metode konvensional ini juga biasanya digunakan untuk mengukur umur
simpan produk pangan yang telah siap edar atau produk yang masih dalam
tahap penelitian (Herawati, 2008).
2.8.2 Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) atau Metode Akselerasi
Penentuan umur simpan produk dengan metode ASS atau sering disebut
dengan Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) dilakukan dengan menggunakan
parameter kondisi lingkungan yang dapat mempercepat proses penurunan mutu
(usable quality) produk pangan. Menurut Labuza (1982) dalam Herawati (2008),
meningkatnya suhu kelembaban udara pada kondisi penyimpanan bahan
pangan basah dapat digunakan sebagai metode untuk mempersingkat waktu
perkiraan umur simpan suatu produk pangan (metode akselerasi). Adanya faktor
yang dapat menimbulkan terjadinya kerusakan pada produk dapat dilakukan
penentuan tentang masa simpannya dengan menggunakan metode ASLT yang
dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu model kadar air kritis
menggunakan kurva sorpsi isotermis dan model Arrhenius. Salah satu
keuntungan menggunakan metode ALST adalah waktu pengujian relatif singkat
(3-4 bulan), namun ketepatan dan akurasinya tinggi. Kesempurnaan model
secara teoritis ditentukan oleh kedekatan hasil yang diperoleh (dari metode
ASLT) dengan nilai ESS. Hal ini diterjemahkan dengan menetapkan asumsi-
asumsi yang mendukung model. Variasi hasil prediksi antara model yang satu
dengan yang lain pada produk yang sama dapat terjadi akibat
ketidaksempurnaan model dalam mendiskripsikan sistem, yang terdiri atas
produk, bahan pengemas dan lingkungan (Arpah, 2001).
21
III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Laboratorium
Teknologi Pengolahan Pangan, Laboratorium Biokimia Pangan, dan
Laboratorium Sensori Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya.
Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan pada periode Mei – Juli 2016.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan pada pengamatan penyimpanan simpan kefir yaitu
autoclave manual (Hirayama), LAF (Laminar Air Flow), vortex (L.W Scientific ilc),
neraca analitik (Scout pro), kompor listrik (Maspion), incubator (Binder), coloni
counter (WTW BZG 30), color reader, viscometer (elcometer), pH meter, kulkas,
termometer, cawan petri, tabung reaksi, bunsen, erlenmeyer, gelas ukur,
glassware, baskom.
3.2.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kefir segar rasa
plain yang didapat dari Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Kota Malang.
Bahan kimia yang digunakan antara lain aquades, pepton, media PCA, indikator
PP, buffer pH 4, buffer pH 7, NaOH.
3.3 Metode Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak terbagi
(split plot design) yang terdiri dari :
Petak utama suhu penyimpanan (T), terdiri dari dua taraf, yaitu :
T1 = penyimpanan pada suhu 4±1°C
T2 = penyimpanan pada suhu 10±1°C
Anak petak lama penyimpanan (L), terdiri dari 7 taraf :
L1 = 0 hari
L2 = 7 hari
L3 = 14 hari
22
L4 = 21 hari
P5 = 28 hari
L6 = 35 hari
L7 = 42 hari
Dari perlakuan tersebut maka diperoleh 2 x 7 = 14 kombinasi, dengan
menggunakan 2 ulangan sehingga terdapat 28 unit percobaan. Proses
pembuatan kefir pada batch yang berbeda (A dan B) akan digunakan sebagai
ulangan.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Proses Pembuatan Kefir
Pasteurisasi 85°C 30 menit
Dinginkan 22-23 °C
Inkubasi suhu ruang (27-28 °C) selama 36 jam
Penyaringan
Filtrat
Dikemas
Gambar 3. 1 Diagram Alir Pembuatan Kefir
3.4.2 Penentuan Karakteristik Mutu Awal dan Mutu Akhir Kefir
Kefir yang sudah dipanen dimasukkan ke dalam botol-botol plastik PET
berukuran 100 ml, kemudian dilakukan uji organoleptik secara berkala setiap hari
hingga terjadi penolakan dari 50% panelis. Uji organoleptik dilakukan dengan
pengujian penerimaan dengan skala hedonik 1-5 pada atribut warna, aroma,
tekstur dan kenampakan. Selama periode uji organoleptik, kefir disimpan pada
suhu ruang (27-28°C). Kefir juga dianalisa mutu awal dan mutu akhir. Analisa
mutu awal dilakukan sebelum penyimpanan dan mutu akhir dilakukan setelah
Susu segar
Kefir grains 3%
Kefir grains
23
terjadi penolakan 50% panelis. Parameter analisa mutu yang digunakan yaitu pH,
total asam, viskositas, total mikroba dan warna. Hasil analisa mutu awal dan
akhir dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui perubahan titik kritis kefir
selama penyimpanan.
3.4.3 Analisa Perubahan Karakterstik Kefir Selama Penyimpanan
Produksi kefir dilakukan pada dua batch produksi yang berbeda kemudian
kefir tersebut disimpan pada suhu 4±1°C dan 10±1°C. Dua batch produksi ini
digunakan sebagai ulangan selama pengamatan. Kefir diamati secara berkala
setiap 7 hari sekali mulai hari ke-0 sampai hari ke-42 sehingga didapatkan 7 titik
pengamatan. Parameter analisa mutu yang dianalisis antara lain pH, total asam,
viskositas, total mikroba dan warna.
3.4.4 Pendugaan Umur Simpan Kefir
Umur simpan kefir diduga menggunakan metode konvensional. Hasil
analisa mutu akhir digunakan sebagai acuan titik kritis kefir. Selama
penyimpanan, umur simpan kefir diduga berdasarkan hasil penurunan mutu yang
mencapai titik kritis paling cepat.
Kefir Batch A Kefir Batch B
Analisa mutu awal dan uji organoleptik
Disimpan pada suhu ruang (27-28°C)
Analisa organoleptik setiap hari
Penolakan dari minimal 50% panelis
Karakteristik mutu akhir
Gambar 3. 2 Diagram alir penelitian I Karakteristik produk
Organoleptik
- Warna
- Aroma
- Tekstur
- kenampakan
Analisa mutu awal (Ao)
- pH - Total asam - Viskositas - Total mikroba - warna
Analisa mutu akhir (At)
- pH - Total asam - Viskositas - Total mikroba - warna
24
Penyimpanan dalam suhu 4±1°C dan 10±1°C selama 42 hari
Pengamatan tiap 7 hari
Analisis perubahan mutu selama penyimpanan
Pembandingan hasil uji dengan analisis hasil analisis mutu akhir kefir
Pendugaan umur simpan kefir
Gambar 3. 3 Diagram alir penelitian II Pendugaan Umur Simpan
3.5 Pengamatan dan Analisa Penelitian
Pengamatan dilakukan pada setiap anak petak, yaitu:
1. Analisa organoleptik metode uji skor (warna, aroma, tekstur dan
kenampakan)
2. Analisa kimia yang dilakukan antara lain analisa pH menggunakan pH
meter (AOAC, 1995) dan total asam menggunakan metode tertitrasi
(AOAC, 1995)
3. Analisa fisik yang dilakukan yaitu viskositas dengan menggunakan alat
viskosimeter (Yuwono dan Susanto, 1998) dan warna menggunakan color
reader (Yuwono dan Susanto, 1998)
4. Analisa mutu mikrobiologi meliputi Total Mikroba (Lay, 1994)
1.6 Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisa dengan Analysis of Varian (ANOVA). Uji
lanjut dilakukan dengan menggunakan metode BNT (Beda Nyata Terkecil) dan
DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan taraf nyata 5%..
Kefir batch A Kefir batch B
Analisa perubahan mutu
- pH - Total asam - Viskositas - Total mikroba - warna
25
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Mutu Awal dan Akhir Kefir
Pada pendugaan umur simpan kefir terlebih dulu dilakukan analisis
terhadap atribut yang mempengaruhi mutu produk pada awal penyimpanan.
Untuk menentukan nilai mutu awal dan akhir kefir, dilakukan penyimpanan pada
suhu ruang (27-28°C) dan dilakukan uji organoleptik secara berkala setiap hari
sekali oleh 30 panelis tetap. Kefir yang pertama kali ditolak oleh lebih dari 50%
dinyatakan sebagai produk yang telah mengalami kerusakan, kemudian uji
organoleptik dihentikan dan dillakukan analisa lanjutan untuk menentukan titik
kritis mutu kefir. Analisa yang dilakukan antara lain analisis pH, total asam,
viskositas, total mikroba dan warna. Nilai mutu akhir kefir akan dijadikan sebagai
acuan pendugaan umur simpan kefir.
4.1.1 Karakteristik Organoleptik
Semakin lama waktu penyimpanan, kefir dapat mengalami penurunan
mutu secara organoleptik. Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk kefir belum
ada, maka untuk kefir disesuaikan dengan produk susu fermentasi lain yang
hampir sama yaitu yoghurt. Keadaan yoghurt disebut normal ketika keadaan
yoghurt seperti pada SNI 2981 tahun 2009 mengenai yoghurt yaitu
kenampakannya berupa cairan kental padat, baunya normal/khas yoghurt,
rasanya asam/khas yoghurt dan konsistensinya homogen.
Uji organoleptik dilakukan dengan pengujian tingkat penerimaan
menggunakan uji skor. Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat
penerimaan terhadap produk dengan cara memberikan nilai sesuai skor yang
ditentukan. Pada penelitian ini atribut mutu yang dianalisa terdiri dari warna,
aroma, tekstur dan kenampakan. Tidak dilakukannya uji penerimaan rasa karena
kefir yang sudah tidak layak kemungkinan akan mempengaruhi kesehatan
panelis. Skor yang digunakan pada penelitian ini ialah skor 1-5 (sangat menolak
hingga sangat menerima), sehingga nilai tengah atau 2,5 diambil sebagai nilai
kritis batas penolakan. Setiap panelis menerima arahan tentang keadaan normal
kefir sebelum melakukan uji organoleptik dan disediakan kontrol sampel kefir
sebagai pembanding. Hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Tabel 4.1. ,
Lampiran 3 dan Lampiran 4
26
Tabel 4.1. Rerata Uji Penerimaan Produk Selama Penyimpanan
Lama
Penyimpanan
Warna Aroma Tekstur Kenampakan Penolakan
(%)
Hari ke 0 4,37 4,10 4,00 4,20 0 Hari ke 1 3,93 3,77 3,37 3,57 8,33 Hari ke 2 3,83 3,37 3,03 3,20 15,83 Hari ke 3 2,97 2,27 2,57 2,23 55,83
Pada Lampiran 4.1 terlihat bahwa kefir sebelum penyimpanan memiliki
warna, aroma, tekstur, dan kenampakan yang normal. Kondisi menyimpang
mulai terlihat pada penyimpanan hari ke-1 yaitu dari segi warna, aroma, tekstur
dan kenampakan, namun jumlah penolakan masih sedikit sehingga pengujian
tetap dilakukan. Pada pengujian hari ke-2, jumlah penolakan mengalami
kenaikan namun nilainya belum mencapai batas 50% penolakan. Penyimpanan
hari ke-3 merupakan batas waktu penyimpanan kefir karena sebanyak 55,83 %
panelis telah menolak produk. Hal ini menunjukkan bahwa kefir dengan waktu
simpan 2 hari pada suhu ruang masih dapat diterima dengan baik secara
organoleptik.
Rerata uji penerimaan di akhir penyimpanan terhadap atribut warna,
aroma, tekstur dan kenampakan adalah 2,97, 2,27, 2,57 dan 2,23. Hal ini
menunjukkan bahwa rata-rata skor tiap atribut yang diberikan panelis berkisar
antara menolak (2) hingga netral (3). Pada atribut aroma dan kenampakan
menunjukkan nilai rata-rata paling rendah dan mendekati angka 2 atau menolak.
Hal ini menunjukkan bahwa panelis cenderung dipengaruhi oleh aroma dan
penampakan dibandingkan tekstur dan warna dalam menentukan faktor kualitas
yang paling penting dalam penerimaan produk kefir. Pada penelitian Irigoyen et
al. (2005), menyatakan semua nilai atribut sensori kefir mengalami penurunan
secara signifikan seiring lamanya waktu penyimpanan. Hal yang sama
diungkapan pada penelitian Kesenkas et al. (2011), bahwa lama waktu
penyimpanan berpengaruh signifikan terhadap skor sensori kefir susu kedelai.
Penyimpanan pada suhu ruang akan mempercepat aktivitas
mikroorganisme dibandingkan penyimpanan pada suhu rendah. Mikroba yang
beragam pada kefir grains mempengaruhi karakteristik sensori yang dihasilkan.
Tingkat lipolitik dan aktivitas proteolitik pada Bakteri Asam Laktat (BAL) selama
penyimpanan seperti proses terjadinya pembebasan peptida dan asam amino
27
tidak hanya menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap rasa dan bau
tetapi juga perubahan struktur dan konsistensi kefir (Irigoyen et al.,2005).
4.1.1.1 Warna
Warna merupakan salah satu atribut yang digunakan dalam uji
organoleptik yang berperan sebagai identitas suatu produk pangan. Semakin
menarik warna yang dimiliki oleh suatu produk pangan, maka semakin besar
tingkat penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. Gambar 4.1
menunjukkan histogram kecenderungan tingkat penerimaan panelis terhadap
warna kefir.
Gambar 4.1 Grafik Tingkat Penerimaan Panelis Terhadap Warna Kefir
Dari Gambar 4.1 terlihat rerata uji penerimaan terhadap warna kefir hari
ke-0 adalah 4,37 dan pada hari ke-3 adalah 2,97. Hal ini menunjukkan bahwa
atribut warna masih dapat diterima oleh panelis dibanding atribut yang lain. Hasil
analisa ragam menunjukan nilai F-hitung > F-tabel untuk atribut warna sehingga
dapat disimpulkan bahwa atribut warna memberikan pengaruh nyata (α=0,05)
terhadap tingkat penerimaan kefir selama penyimpanan.
Kefir pada uji organoleptik hari ke-3 memiliki warna normal putih
kekuningan meskipun warna yang dihasilkan sedikit lebih kekuningan
dibandingkan sampel kontrol, namun perubahan warna ini tidak menyimpang.
Warna putih pada susu merupakan akibat penyebaran butiran-butiran lemak,
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
0 1 2 3
Rer
ata
Pe
ner
imaa
n P
ane
lis(W
arn
a)
Lama Penyimpanan (hari)
28
kalsium kaseinat dan kalsium fosfat pada susu, sedangkan warna kuning pada
susu disebabkan terlarutnya vitamin A, kolesterol, dan pigmen karoten dalam
globula lemak (Winarno, 2007 dalam Irmayanti, 2015). Perubahan warna pada
kefir diduga karena terjadinya penurunan nilai pH selama penyimpanan sehingga
senyawa-senyawa dalam susu akan mengalami perubahan struktur dan
karakteristik.
Semakin menurunnya nilai pH kefir akan menyebabkan reaksi oksidasi
yang merusak butiran-butiran lemak.
4.1.1.2 Aroma
Aroma atau bau merupakan parameter yang mempengaruhi mutu
suatu produk olahan. Pengujian organoleptik di dalam industri pangan dianggap
penting karena dapat menjadi indikator terjadinya kerusakan produk. Pada
umumnya, bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak
merupakan perpaduan empat bau utama yaitu harum, asam, tengik, dan
hangus (Winarno, 1997). Gambar 4.2 menunjukkan histogram kecenderungan
tingkat penerimaan panelis terhadap aroma kefir.
Gambar 4. 2 Grafik Tingkat Penerimaan Panelis Terhadap Aroma Kefir
Dari Gambar 4.2 terlihat rerata uji penerimaan terhadap aroma Kefir hari
ke-0 adalah 4,10 dan pada hari ke-3 adalah 2,27. Hal ini menunjukkan bahwa
berdasarkan atribut aroma, sampel kefir dianggap sudah menyimpang. Hasil
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
0 1 2 3
Rer
ata
Pe
ner
imaa
n P
ane
lis(A
rom
a)
Lama Penyimpanan (hari)
29
analisa ragam menunjukan nilai F-hitung > F-tabel untuk atribut warna sehingga
dapat disimpulkan bahwa atribut aroma memberikan pengaruh nyata (α=0,05)
terhadap tingkat penerimaan kefir selama penyimpanan.
Aroma khas asam menyegarkan dan beralkohol merupakan aroma
normal pada kefir. Pada pengujian hari ke-3, aroma kefir yang dihasilkan sudah
berubah, sedikit bau busuk dan asamnya menyengat. Penurunan penilaian
terhadap aroma sengan semakin lamanya penyimpanan diduga karena adanya
senyawa-senyawa berbau busuk yang dihasilkan oleh mikroba yang bersifat
proteolitik dan lipofilik. Bau busuk biasanya disertai kerusakan pangan. Bakteri-
bakteri pembentuk bau umumnya bersifat putrefaktif, yaitu dapat memecah
protein secara anaerob dan memproduksi komponen-komponen yang berbau
busuk seperti hydrogen sulfide, markaptan, amin, indol dan asam-asam lemak
(Fardiaz, 1992)
Aroma yeasty dan flavor menyegarkan khas yang timbul pada kefir
diakibatkan dari senyawa hasil akhir fermentasi khamir yaitu etanol dan
karbondioksida (Guzel et al., 2000 dalam Leite et al., 2013). Hal ini diperkuat
pada penelitian Usmiati (2004), yang menunjukan bahwa komponen volatil dari
kelompok alkohol dan ester mempengaruhi ciri aroma kefir seperti tape.
Reinecius (1994) dalam Usmiati (2004), menyatakan bahwa ester merupakan
senyawa yang ditemukan pada produk fermentasi dengan komponen alkohol
tinggi yang mengalami esterifikasi menghasilkan ester. Mikroba dalam starter
kefir mempunyai lipase alami yang aktif memecah trigliserida menjadi antara lain
asam-asam lemak bebas yang melalui berbagai jalur metabolisme didegradasi
menjadi asam, alkohol, keton, aldehid dan ester. Pembentukan senyawa-
senyawa tersebut semakin lama akan semakin bertambah dan menimbulkan off-
flavor.
4.1.1.3 Tekstur
Tekstur adalah salah satu komponen yang mempengaruhi kesukaan
orang terhadap suatu makanan. Tekstur merupakan nilai raba pada suatu
permukaan, baik itu nyata maupun semu serta dapat berupa kasar, halus, keras,
lunak, kental maupun encer. Data Gambar 4.3 menunjukkan histogram
kecenderungan tingkat penerimaan panelis terhadap tekstur kefir.
30
Gambar 4. 3 Grafik Tingkat Penerimaan Panelis Terhadap Tekstur Kefir
Dari Gambar 4.3 terlihat rerata uji penerimaan terhadap tekstur Kefir hari
ke 0 adalah 4,00 dan pada hari ke 3 adalah 2,57. Hal ini menunjukkan bahwa
skor tekstur kefir pada hari ke 3 yang diberikan panelis berkisar antara menolak
dan netral. Hasil analisa ragam menunjukan nilai F-hitung > F-tabel untuk atribut
tekstur sehingga dapat disimpulkan bahwa atribut tekstur memberikan pengaruh
nyata (α=0,05) terhadap tingkat penerimaan kefir selama penyimpanan.
Pada pengujian hari ke-3, tekstur kefir yang dihasilkan sedikit encer
dibandingkan kontrol sampel. Hal ini diduga karena semakin lama waktu
penyimpanan maka protein terutama kasein akan mengalami pemecahan lebih
lanjut menjadi senyawa sederhana oleh aktivitas enzim proteinase yang
dihasilkan oleh mikroba sehingga menurunkan nilai viskositas. Menurut Wahab
(2008), ketika pH susu sudah dibawah pH isoelektrik akan terjadi peningkatan
ikatan kasein-kasein yang berlebihan yang menyebabkan terjadi pengkerutan
protein, sehingga terjadi pelepasan air yang mengakibatkan menurunnya
kekuatan gel. Menurunnya kekuatan gel ini akan mempengaruhi viskositas
produk sehingga tekstur kefir menjadi lebih encer.
4.1.1.4 Kenampakan
Penilaian kenampakan ini bedasarkan pada beberapa mutu organoleptik
seperti kenampakan permukaan, kekompakan, tekstur permukaan dan bentuk
yang diakumulasi oleh panelis dan akan mempengaruhi persepsi serta
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
0 1 2 3
Re
rata
Pe
ne
rim
aan
Pan
elis
(Te
kstu
r)
Lama Penyimpanan (hari)
31
penerimaan produk. Gambar 4.4 menunjukkan histogram kecenderungan tingkat
penerimaan panelis terhadap tekstur kefir.
Gambar 4. 4 Grafik Tingkat Penerimaan Panelis Terhadap Kenampakan Kefir
Dari Gambar 4.4 terlihat rerata uji penerimaan terhadap kenampakan
Kefir hari ke 0 adalah 4,20 dan pada hari ke 3 adalah 2,23. Hal ini menunjukkan
bahwa berdasarkan atribut kenampakan sampel kefir dianggap sudah
menyimpang. Hasil analisa ragam menunjukan nilai F-hitung > F-tabel untuk
atribut kenampakan sehingga dapat disimpulkan bahwa atribut kenampakan
memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap tingkat penerimaan kefir selama
penyimpanan.
Pada kondisi penyimpanan hari ke-0, kenampakan kefir terlihat cair-padat
serta homogen, tekstur kental dan warnanya putih. Pada pengujian hari ke-3,
kenampakan kefir terlihat menyimpang dari kontrol sampel seperti adanya
gumpalan-gumpalan kecil dan produk terlihat tidak homogen. Hal ini diduga
karena peningkatan jumlah total asam yang memicu penurunan pH hingga
sekitar pH isoelektrik kasein kemudian terjadi penurunan daya ikat air, sehingga
terjadi sineresis yaitu kerusakan fisik berupa terpisahnya cairan whey dari gel.
Sineresis merupakan akibat dari menurunnya kemampuan jaringan protein untuk
mengikat air. Terjadinya pemisahan air dan padatan pada produk fermentasi
disebabkan adanya gaya gravitasi selama produksi, tingkat keasaman yang
tinggi, suhu inkubasi dan lamanya penyimpanan (Jaziri et al., 2009). Pemisahan
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
0 1 2 3
Rer
ata
Pe
ner
imaa
n P
ane
lis(K
enam
pak
an)
Lama Penyimpanan (hari)
32
whey ini menyebabkan curd menjadi mengendap membuat produk terlihat tidak
homogen. Produk kefir yang terlihat tidak homogen, warna yang menjadi sedikit
kekuningan serta tekstur yang semakin encer akan memberikan kesan
kenampakan negatif kepada panelis karena menggambarkan kerusakan pada
kefir yang dapat dilihat secara visual.
4.1.2 Mutu Awal dan Akhir Kefir
Karakteristik kefir sebelum penyimpanan perlu diuji untuk mengetahui
karakteristik awalnya. Uji awal ini dilakukan untuk mengetahui keadaan awal
produk sebelum disimpan sehingga dapat dilakukan pendugaan umur simpan
melalui identifikasi kerusakan-kerusakan yang terjadi selama penyimpanan pada
produk tersebut. Setelah uji organoleptik hingga hari ke-3 menunjukkan hasil
penolakan mencapai 50% maka kefir tersebut dianalisa karakteristik akhirnya.
Analisa yang dilakukan antara lain analisis pH, total asam, viskositas, total
mikroba dan warna. Nilai mutu akhir kefir akan dijadikan sebagai acuan
pendugaan umur simpan kefir. Nilai rata-rata setiap karakteristik mutu awal dan
akhir yang dihasilkan melalui uji penerimaan dapat dilihat pada Tabel. 4.2
Tabel 4.2 Karakteristik Mutu Awal dan Akhir Kefir
Parameter Analisis Nilai awal Nilai akhir
pH 3,70 ± 0 3,47 ± 0,06 Total asam (%) 1,11 ± 0,13 2,29 ± 0,02 Viskositas (cP) 460,56 ± 7,39 540,89 ± 8,26 Log Total mikroba (CFU/ml) 9,67 ± 0,17 8,31 ± 0,58 Analisis warna
(*L) (*a) (*b)
88,37 ± 0,11 -3,07 ± 0,06 +11,23 ± 0,15
87,80 ± 0,28 -3,43 ± 0,06 +11,47 ± 0,15
Data Tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai mutu kefir pengalami perubahan
setelah proses penyimpanan. Penyimpanan pada suhu ruang (27-28°C) akan
lebih mendukung pertumbuhan dan metabolisme mikroba dalam kefir grains, hal
ini karena mendekati suhu optimum pertumbuhan BAL (±40°C) dan khamir (20-
30°C) (Farnwoth, 2005). Pertumbuhan mikroba yang tidak terhambat oleh suhu
ini akan menyebabkan perubahan biokimia dan fisik menjadi lebih cepat.
Nilai pH terlihat mengalami penurunan dari 3,7 menjadi 3,47, hal ini diduga
karena BAL dalam kefir grains mampu mengubah laktosa menjadi asam laktat,
sehingga ion hidrogen bebas dalam kefir akan meningkat. Ion-ion H+ dari asam
33
laktat maupun asam-asam organik lainnya yang terbaca pada pH meter menjadi
tinggi dan menyebabkan penurunan nilai pH. Menurut Ketchum (1988) dalam
Rahayu (2000) asam laktat dapat memberikan rasa asam pada medium dengan
melepas proton H+ yang juga menyebabkan penurunan pH.
Nilai total asam terlihat mengalami peningkatan 1,11% menjadi 2,29%,
hal ini diduga karena aktivitas mikroba penghasil asam dalam kefir grains yang
mampu mengubah laktosa menjadi asam laktat dan asam organik lainnya akan
meningkat sehingga akumulasi total asam pada produk juga akan meningkat.
Total asam merupakan hasil akumulasi asam-asam organik, alkohol dan
komponen volatil lainnya yang dihasilkan oleh mikroba dalam kefir (Athanasiadis
et al., 2004 dalam Setyawardani, 2005). Mikroba pada kefir grains meliputi BAL
dan khamir yang mampu menghasilkan asam laktat, CO2, etanol, asetaldehid
dan aseton. Asam laktat kebanyakan diproduksi oleh Lactobacillus lactis dan
Lactobacillus kefirgranum sedangkan etanol dan CO2 yang diproduksi oleh
Candida sp. (Susilorini dan Sawitri, 2005).
Nilai viskositas terlihat mengalami peningkatan, hal ini diduga karena
kondisi asam yang dihasilkan oleh mikroba dalam stater akan mendenaturasi
protein sehingga terjadi koagulasi, selain itu jumlah eksopolisakarida yang
semakin meningkat dan berinteraksi dengan protein susu akan meningkatkan
viskositas produk. Menurut Cho et al. (1999) dalam Antoniou et al. (2007),
peningkatan viskositas berhubungan dengan pembentukan globula lemak yang
berkelompok. Pembentukan ini dapat terjadi karena adanya fosfolipid dan protein
yang saling berinteraksi satu sama lain bahkan sebelum membentuk crosslink
dengan whey protein dan casein micelles (kasein misel).
Pada uji organoleptik, nilai tekstur pada penyimpanan hari ke-3 menurut
sebagian panelis menjadi lebih encer dibandingkan pada awal penyimpanan
terihat dari menurunnya skor penerimaan dari 4 (menerima) menjadi 2,57
(netral). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan antara pengujian secara
organoleptik dengan pengujian secara instrumental. Perbedaan ini diduga karena
kemampuan memberikan kesan yang berbeda oleh tiap panelis. Menurut
Ayustaningwarno (2014), penilaian organoleptik terdiri dari enam tahapan yaitu
menerima produk, mengenali produk, mengadakan klarifikasi sifat-sifat produk,
mengingat kembali produk yang telah diamati dan menguraikan kembali sifat
inderawi produk. Kelemahan dan keterbatasan uji organoleptik diakibatkan
beberapa sifat inderawi tidak dapat dideskripsikan, manusia yang dijadikan
34
panelis terkadang dapat dipengaruhi oleh kondisi fisik dan mental sehingga
panelis menjadi jenuh dan kepekaan menurun.
Nilai total mikroba terlihat mengalami penurunan, hal ini diduga karena
sebagian populasi mikroba pada fase ini akan mengalami kematian karena
nutrien dalam medium sudah habis dan energi cadangan didalam sel habis
sehingga jumlah sel mati semakin bertambah. Pada hasil peneitian Leite (2013),
jumlah laktosa pada kefir semakin menurun selama proses fermentasi 24 jam
dan pada penyimpanan hingga 28 hari. Hal ini menunjukkan bahwa mikroba
dalam kefir grains memanfaatkan laktosa untuk dapat bertahan hidup. Hal ini
sesuai dengan Buckle et al. (2007) yang menyatakan untuk melakukan
perbanyakkan sel, mikroba memerlukan kandungan nutrisi pada media
fermentasinya seperti karbon, nitrogen, vitamin, dan mineral.
Nilai kecerahan terlihat mengalami penurunan, hal ini diduga karena
reaksi pencoklatan non enzimatis masih terus berlangsung selama penyimpanan.
Menurut Yokotsuka (1986) dalam Herdiyadi (2016), bahwa reaksi Maillard adalah
reaksi pencokatan non enzimatis yang terjadi antara gugus amino dari suatu
asam amino bebas, residu rantai peptida atau protein dengan gugus karbonil dari
suatu karbohidrat apabila keduanya dipanaskan atau tersimpan dalam waktu
yang relatif lama. Selain reaksi pencoklatan non enzimatis, penurunan pH
medium serta adanya O2 pada bagian head space diduga memacu terjadinya
oksidasi lipida (Sugiyono, 2004).
Nilai kehijauan (-a) terlihat mengalami penurunan, hal ini diduga karena
riboflavin dimanfaatkan oleh mikroba sebagai salah satu nutrisi yang diperlukan
untuk pertumbuhan mikroba. Mikroba dalam kefir grains masih mampu
memanfaatkan kandungan riboflavin dan vitamin B kompleks lainnya selama
penyimpanan. Hal ini sesuai dengan Buckle et al. (2007) yang menyatakan untuk
melakukan perbanyakkan sel, mikroba memerlukan kandungan nutrisi pada
media fermentasinya seperti karbon, nitrogen, vitamin, dan mineral.
Nilai kekuningan (+b) terlihat mengalami peningkatan, hal ini diduga
karena aktivitas pembentukan metabolit sekunder masih dapat berlangsung
selama penyimpanan, sehingga akumulasi pigmen karoten bertambah dan
meningkatkan intensitas warna kekuningan. Khamir Candida utilis adalah salah
satu mikroba yang berpotensi menghasilkan sejumlah besar karotenoid yaitu
likopen, beta karoten dan astaxantin dengan jalur non endogen melalui farnesyl
pyrophosphate (FPP) (Miura et al.,1998 dalam Supriyono, 2008). Nilai
35
kecerahan, kehijauan dan kekuningan yang mengalami perubahan ini sesuai
dengan hasil penerimaan organoleptik hari ke-3 yang skornya turun dari 4,37
(menerima) menjadi 2,97 (netral). Hal ini menunjukkan terjadinya perubahan
mutu warna kefir selama penyimpanan baik secara organoleptik atau subyektif
maupun pengukuran instrumental atau obyektif.
4.2 Karakteristik Mutu Kefir Selama Penyimpanan
4.2.1 pH
Analisis pH dilakukan untuk mengetahui perubahan nilai pH pada kefir
selama penyimpanan. Rerata nilai pH selama penyimpanan dapat dilihat pada
Gambar 4.5 dan Tabel 4.3.
Gambar 4.5 Grafik Rerata Perubahan Nilai pH Kefir Selama Penyimpanan
Gambar 4.5 menunjukkan bahwa nilai pH mengalami penurunan seiring
dengan semakin bertambahnya suhu dan lama penyimpanan. Selama
penyimpanan nilai pada suhu yang lebih tinggi dibanding suhu yang lebih rendah
hanya mengalami sedikit perubahan. Hal ini diduga karena suhu yang digunakan
masih dalam rentan penyimpanan pada suhu rendah. Nilai pH kefir cenderung
menurun semakin lamanya waktu penyimpanan diduga karena akumulasi asam
laktat yang dihasilkan dari aktifitas kefir grains yang tumbuh selama fermentasi
dan penyimpanan berlangsung. Ion-ion H+ dari asam laktat maupun asam-asam
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8
0 7 14 21 28 35 42
pH
Lama Penyimpanan (hari)
Suhu 4±1 °C
Suhu 10±1 °C
36
organik lainnya yang terbaca pada pH meter menjadi tinggi dan menyebabkan
penurunan nilai pH.
Menurut Ketchum (1988) dalam Rahayu (2000) asam laktat dapat
memberi rasa masam pada medium dengan melepas proton H+ yang juga
menyebabkan penurunan pH. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Gaikwad and
Ghosh (2009), bahwa BAL memfermentasi laktosa menjadi glukosa dan
galaktosa, selanjutnya glukosa diubah menjadi asam laktat. BAL dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu homofermentatif yang menghasilkan asam laktat sebagai
satu-satunya produk melalui jalur fermentasi EMP (Embden Meyerhof Parnas)
dan heterofermentatif yang menghasilkan asam laktat dan juga menghasilkan
etanol, asam asetat dan CO2 melalui jalur fermentasi fosfoketolasi. Jenis mikroba
dalam kefir grains sangat beranekaragam. Menurut Guzel-Seydim et al. (2000),
Gronnevik et al. (2011), Magalhaes et al. (2011) dalam Leite et al. (2013), bahwa
jenis isolat bakteri yang sering ditemukan pada kefir adalah bakteri
homofermentatif dan heterofermentatif seperti Lactobacillus, Lactococcus,
Leuconostoc dan Acetobacter yang menggunakan kedua pathway dalam proses
fermentasi yang menghasilkan asam-asam organik sehingga menurunkan nilai
pH.
Dari hasil analisa ragam yang dilakukan terhadap pH kefir (Lampiran 9)
diperoleh nilai F-hitung < F-tabel untuk faktor suhu penyimpanan, sehingga dapat
disimpulkan bahwa suhu penyimpanan yang digunakan tidak memberikan
pengaruh yang nyata (α = 0,05) terhadap pH. Pada faktor lama penyimpanan
nilai F-hitung > F-tabel sehingga dapat disimpulkan bahwa lama penyimpanan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap pH. Interaksi kedua faktor, yakni
suhu dan lama penyimpanan memiliki nilai F-hitung < F-tabel sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi antara suhu dan lama penyimpanan
terhadap pH kefir.
Suhu penyimpanan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pH kefir
selama penyimpanan, hal ini diduga karena suhu penyimpanan yang digunakan
masih termasuk suhu penyimpanan rendah, sehingga kecepatan aktifitas kefir
grain dalam menghasikan asam laktat dan asam organik lainnya menunjukkan
hasil yang tidak berbeda. Pada penelitian Evanuarini (2010), semakin tinggi suhu
maka pH kefir semakin lebih rendah karena meningkatnya laktosa yang
terfermentasi oleh enzim laktase yang tentunya akan meningkatkan jumlah asam
37
laktat yang terbentuk, sehingga terjadi penurunan nilai pH kefir yang lebih
rendah.
Pada penyimpanan setelah hari ke-21, terlihat rerata nilai pH cenderung
lebih cepat turun pada penyimpanan suhu 10±1 °C dibandingkan pada suhu
4±1°C. Nilai pH awal tiap perlakuan adalah 3,7 dan pada lama penyimpanan hari
ke-42 nilai pH akhir adalah 3,45 untuk penyimpanan suhu 10±1°C sedangkan
pada suhu 4±1°C adalah 3,5. Hal ini diduga pada penyimpanan suhu suhu 4±1°C
lebih dapat menekan aktifitas metabolisme dari mikroba dalam kefir. Kondisi
suhu lingkungan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba dan proses
metabolismenya sehingga pada penelitian ini didapatkan nilai pH suhu 10±1°C
cenderung lebih rendah dibandingkan pada suhu 4±1°C. Hal ini diperkuat oleh
hasil penelitian Setyawardani (2015), bahwa penyimpanan kefir pada suhu 6-
10°C menunjukkan nilai pH yang paling rendah dibandingkan pada suhu (-1) - (-
5)°C dan suhu 1-5°C. Pengaruh lama penyimpanan terhadap rerata pH kefir
dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Rerata Perubahan Nilai pH Akibat Pengaruh Lama Penyimpanan
Lama penyimpan (hari) Rerata BNT 5%
0 3,70 ±0 c 0,05
7 3,62 ±0,05 b
14 3,60 ±0 b
21 3,60 ±0 b 28 3,57 ±0,05 b
35 3,50 ±0 a
42 3,47 ±0,05 a
Keterangan: Angka dengan notasi berbeda menunjukkan berbeda nyata (α=5%)
Data Tabel 4.3 merupakan hasil uji lanjut BNT 5% yang menunjukkan
hasil bahwa lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap pH kefir.
Penurunan pH pada masing-masing proses penyimpanan ini diduga karena
adanya aktivitas BAL dan khamir dalam menghidrolisis laktosa menjadi asam
laktat dan dengan semakin lamanya penyimpanan maka asam laktat yang
terbentuk semakin banyak menyebabkan pH semakin turun. Menurut Evanuarini
(2010), asam laktat yang terbentuk dalam jumlah banyak mampu berionisasi
secara maksimal untuk membebaskan ion hidrogennya. Bertambahnya hidrogen
bebas menyebabkan pH kefir akan semakin menurun.
38
4.2.2 Total Asam
Analisa total asam dilakukan untuk mengetahui perubahan nilai total
asam pada kefir selama penyimpanan. Total asam teritrasi dinyatakan sebagai
persen asam laktat. Rerata perubahan nilai total asam selama penyimpanan
dapat dilihat pada Gambar 4.6 dan Tabel 4.4.
Gambar 4.6 Grafik Rerata Perubahan Nilai Total Asam Kefir Selama Penyimpanan
Gambar 4.6 menunjukan bahwa nilai total asam nilai total asam kefir
cenderung meningkat semakin lamanya waktu penyimpanan, namun setelah
penyimpanan hari ke-28 nilai rerata total asam mengalami penurunan.
Peningkatan total asam diduga karena aktivitas mikroba penghasil asam dalam
kefir grains yang mampu mengubah laktosa menjadi asam laktat dan asam
organik lainnya akan meningkat sehingga akumulasi total asam pada produk juga
akan meningkat. Terjadinya penurunan total asam diduga karena aktifitas khamir
dalam kefir yang menghasilkan etanol dan CO2 semakin meningkat sedangkan
aktifitas BAL semakin menurun sehingga akumulasi asam laktat menjadi
menurun.
Semakin lama waktu penyimpanan semakin banyak substrat yang
mampu dirombak oleh stater. Total asam merupakan hasil akumulasi asam-asam
organik, alkohol dan komponen volatil lainnya yang dihasilkan oleh mikroba
dalam kefir (Athanasiadis et al., 2004 dalam Setyawardani 2005). Mikroba pada
kefir grains meliputi BAL dan khamir yang mampu menghasilkan asam laktat,
0.8
1.1
1.4
1.7
0 7 14 21 28 35 42
To
tal asam
(%
)
Lama Penyimpanan (hari)
Suhu 4±1 °C
Suhu 10±1 °C
39
CO2, etanol, asetaldehid dan aseton. Asam laktat kebanyakan diproduksi oleh
Lactobacillus lactis dan Lactobacillus kefirgranum sedangkan etanol dan CO2
yang diproduksi oleh Candida sp. (Susilorini dan Sawitri, 2005).
Menurut Koroleva (1988) dalam Mal et al. (2013), bahwa pada proses
fermentasi susu, susu setelah diinokulasi dengan kefir grains akan diinkubasi
selama 24 jam. Asam laktat pada waktu tersebut merupakan hasil aktivitas
Streptococcus yang tumbuh dengan cepat kemudian menyebabkan penurunan
pH, sehingga Lactobacillus dapat tumbuh. Kondisi ini menyebabkan jumlah
Streptococcus menurun. Khamir dan BAL pada kefir grains selama fermentasi
akan membentuk aroma yang diproduksi oleh Streptococcus heterofermentative.
Selama proses fermentasi pertumbuhan BAL akan menguntungkan
perkembangan khamir dan bakteri asam asetat.
Dari hasil analisa ragam yang dilakukan terhadap total asam kefir
(Lampiran 10) diperoleh nilai F-hitung < F-tabel untuk faktor suhu penyimpanan,
sehingga dapat disimpulkan bahwa suhu penyimpanan yang digunakan tidak
memberikan pengaruh yang nyata (α = 0,05) terhadap total asam. Pada faktor
lama penyimpanan dengan nilai F-hitung > F-tabel sehingga dapat disimpulkan
bahwa lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata terhadap total
asam. Interaksi kedua faktor, yakni suhu dan lama penyimpanan memiliki nilai F-
hitung < F-tabel sehingga dapat disimpulkan bahwa interaksi antara suhu dan
lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap total asam.
Suhu penyimpanan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap total
asam kefir selama penyimpanan. Hal ini diduga karena suhu penyimpanan yang
digunakan masih termasuk suhu penyimpanan rendah, sehingga kecepatan
aktifitas kefir grain dalam mengubah laktosa menjadi asam laktat dan asam
organik lainnya menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Pada penyimpanan
setelah hari ke-21, rerata nilai total asam cenderung lebih cepat naik pada
penyimpanan suhu 10±1°C dibandingkan pada suhu 4±1°C. Hal ini menunjukkan
bahwa penyimpanan pada suhu yang lebih rendah diperoleh nilai total asam
dengan konsentrasi rendah. Hal ini diduga penyimpanan pada suhu 4±1°C lebih
dapat menekan aktifitas enzim laktase. Menurut Bockelman (1993) dalam
Usmiati (2008), penyimpanan pada suhu rendah akan menghambat
pertumbuhan mikroba sehingga laju reaksi perubahan biokimia dan fisik dari
produk pangan juga terhambat. Pengaruh lama penyimpanan terhadap rerata
total asam kefir dapat dilihat pada Tabel 4.4.
40
Tabel 4.4 Rerata Perubahan Nilai Total Asam Akibat Pengaruh Lama
Penyimpanan
Lama penyimpan (hari) Rerata BNT 5%
0 1,17 ±0,10 b 0,15
7 1,28 ±0,12 bc
14 1,31 ±0,07 bcd
21 1,34 ±0,05 cde
28 1,58 ±0,16 f 35 1,46 ±0,09 def
42 0,93 ±0,06 a
Keterangan: Angka dengan notasi berbeda menunjukkan berbeda nyata (α=5%)
Data Tabel 4.4 merupakan hasil uji lanjut BNT 5% yang menunjukkan
hasil bahwa lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap total
asam kefir. Hal ini diduga karena kondisi substrat masih memungkinkan untuk
berlangsungnya metabolisme BAL. Pada penelitian Irigoyen (2005), bahwa nilai
laktosa pada kefir semakin menurun selama penyimpanan. Hal ini menunjukkan
jumlah laktosa yang mampu dimanfaatkan oleh BAL menjadi asam laktat akan
semakin berkurang. Pada data Total Mikroba (Lampiran 12) yang mengalami
penurunan hingga penyimpanan hari ke-28. Meskipun total mikroba mengalami
penurunan namun nilai total asam terlihat meningkat pada awal penyimpanan
hingga hari ke-28, hal ini diduga karena adanya akumulasi asam organik
terutama asam laktat sebagai hasil fermentasi laktosa masih dapat berlangsung.
Terjadinya penurunan total asam setelah penyimpanan hari ke-28 diduga
karena aktifitas khamir dalam kefir yang menghasilkan etanol dan CO2 semakin
meningkat sehingga akumulasi tingkat keasaman menjadi menurun. Hasil
penelitian Irigoyen (2005), menunjukkan bahwa jumlah khamir pada kefir
cenderung konstan selama penyimpanan hingga 28 hari, sedangkan jumlah
Lactobacillus dan Lactococcus semakin berkurang hingga penyimpanan hari ke-
14 kemudian jumlahnya terlihat stabil hingga penyimpanan 28 hari. Jumlah
substrat yang semakin berkurang selama penyimpanan akan mempengaruhi
pertumbuhan mikroba dalam kefir grains menjadi terhambat dan menyebabkan
beberapa mikroba menuju fase statis dan fase kematian (Jay, 2012).
41
4.2.3 Viskositas
Analisa viskositas dilakukan untuk mengetahui perubahan nilai viskositas
pada kefir selama penyimpanan. Rerata perubahan nilai viskositas selama
penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 4.7 dan Tabel 4.5
Gambar 4.7 Grafik Rerata Nilai Viskositas Kefir Selama Penyimpanan
Gambar 4.7 menunjukan bahwa nilai vikositas kefir cenderung meningkat
seiring lamanya waktu penyimpanan, namun setelah penyimpanan hari ke-28
nilai rerata viskositas mengalami penurunan. Peningkatan rerata nilai viskositas
ini diduga karena kondisi asam yang dihasilkan oleh mikroba dalam stater akan
mendenaturasi protein sehingga terjadi koagulasi, selain itu jumlah
eksopolisakarida yang semakin meningkat dan berinteraksi dengan protein susu
akan meningkatkan viskositas produk.
Menurut Cho et al. (1999) dalam Antoniou et al. (2007), peningkatan
viskositas berhubungan dengan pembentukan globula lemak yang berkelompok.
Pembentukan ini dapat terjadi karena adanya fosfolipid dan protein yang saling
berinteraksi satu sama lain bahkan sebelum membentuk crosslink dengan whey
protein dan casein micelles (kasein misel). Hal ini diperkuat oleh Harjiyanti
(2013), yang menyebutkan bahwa asam laktat yang dihasilkan oleh BAL
menyebabkan peningkatan total asam sehingga kasein mengalami koagulasi
440
465
490
515
540
565
590
0 7 14 21 28 35 42
Vis
ko
sit
as (
cP
)
Lama Penyimpanan (hari)
Suhu 4±1 °C
Suhu 10±1 °C
42
dengan pembentukan gel. Terbentuknya gel menyebabkan tekstur menjadi semi
padat sehingga viskositas produk akan meningkat.
Eksopolisakarida (EPS) adalah polimer dari gula pereduksi dengan berat
molekul tinggi yang disekresikan oleh mikroba ke lingkungan eksternalnya.
Polimer ini merupakan salah satu polimer yang mampu disintesis oleh bakteri
asam laktat. Eksopolisakarida umumnya terdiri dari monosakarida dan beberapa
substituen non-karbohidrat seperti asetat, piruvat, suksinat, fosfat serta
biomolekul seperti protein, asam nukleat, lipid dan zat humat (Van Hijum al.,
2002). Menurut Suresh dan Mody (2009), eksopolisakarida biasanya dihasilkan
oleh BAL yang merupakan ciri kontribusi bakteri ini sebagai probiotik yang
memiliki efek positif bagi kesehatan. Beberapa jenis bakteri yang sukses
menghasilkan eksopolisakarida dan digunakan pada produk fermentasi susu
antara lain Streptococcus, Lactobacilius, Lactococcus dan bifidobacterium (Wang
et al., 2015). Pada hasil penelitian Babina dan Rozhokova (1973) dalam Irigoyen
(2005), mengemukakan adanya bakteri asam asetat dan Lactobacillus dapat
meningkatkan viskositas dan mempertahankan konsistensi kefir. Disebutkan pula
bahwa jumlah bakteri asam asetat hampir konstan selama 28 hari penyimpanan.
Penurunan nilai viskositas setelah penyimpanan hari ke-28 diduga karena
semakin lama penyimpanan maka protein terutama kasein akan mengalami
pemecahan lebih lanjut menjadi senyawa sederhana oleh aktivitas enzim
proteinase yang dihasilkan oleh mikroba sehingga menurunakan viskositas.
Menurut Wahab (2008), ketika pH susu sudah dibawah pH isoelektrik maka akan
terjadi peningkatan ikatan kasein-kasein yang berlebihan sehingga terjadi
pengkerutan protein, sehingga terjadi pelepasan air yang mengakibatkan
menurunnya kekuatan gel. Menurunnya kekuatan gel ini akan mempengaruhi
viskositas produk. Hal ini diperkuat oleh penyataan Merilainen et al., (1999)
dalam Antoniou et al., (2007), bahwa semakin lama waktu penyimpanan efek
EPS akan berkurang karena aktifitas proteolitik yang menghidrolisis protein dan
EPS sehingga menyebabkan struktur protein yang semakin melemah.
Dari hasil analisa ragam yang dilakukan terhadap viskositas kefir
(Lampiran 12) diperoleh nilai F-hitung > F-tabel untuk faktor suhu penyimpanan,
sehingga dapat disimpulkan bahwa suhu penyimpanan yang digunakan
memberikan pengaruh yang nyata (α = 0,05) terhadap viskositas. Pada faktor
lama penyimpanan dengan nilai F-hitung > F-tabel sehingga dapat disimpulkan
bahwa lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata terhadap viskositas
43
Kefir. Interaksi kedua faktor, yaitu suhu dan lama penyimpanan memiliki nilai F-
hitung > F-tabel sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat interaksi antara
suhu dan lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap viskositas.
Nilai rerata perubahan viskositas kefir selama penyimpanan pada suhu 4±1 dan
10±1 °C dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Rerata Perubahan Nilai Viskositas Kefir Selama Penyimpanan
Suhu penyimpanan
Lama penyimpanan
(hari)
Rerata nilai viskositas (cP)
DMRT 5%
4±1 °C 0
7
14
21
28
35
42
465,83 ±7,31 a 481,17 ±2,12 bc
501,50 ±2,59 ef
531,67 ±8,48 g
545,33 ±6,60 g
485,50 ±4,95 cd
461,50 ±4,95 a
3,08
3,23
3,33
3,36
3,40
3,42
3,44
10±1 °C 0
7
14
21
28
35
42
469,67 ±7,54 ab
513,83 ±0,71 f
532,50 ±5,89 g
563,33 ±2,83 h
571,67 ±5,66 h
514,35 ±7,54 f
498,50 ±0,24 de
3,44
3,46
3,46
3,46
3,46
3,46
Keterangan : Angka dengan huruf yang berbeda pada setiap kolom
menunjukkan pengaruh berbeda nyata (α = 0,05)
Data Tabel 4.5 merupakan hasil uji lanjut DMRT 5% yang menunjukkan
hasil bahwa suhu dan lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap
nilai viskositas. Viskositas tertinggi yaitu pada suhu 10±1°C penyimpanan hari
ke-28 sebesar 571,67 cP dan viskositas terendah pada suhu 4±1°C
penyimpanan hari ke-42 sebesar 461,50 cP. Kefir yang disimpan pada suhu
4±1°C terlihat menunjukan nilai viskositas yang lebih rendah dibandingkan kefir
yang disimpan pada suhu 10±1 °C. Hal ini menunjukkan bahwa pada
penyimpanan suhu yang lebih rendah diperoleh nilai viskositas dengan
konsentrasi yang lebih rendah. Hal ini diduga penyimpanan pada suhu 4±1 °C
lebih dapat menekan aktifitas metabolisme dari mikroorganisme dalam kefir.
44
Menurut Bockelman (1993) dalam Usmiati (2008), bahwa penyimpanan pada
suhu rendah menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bakteri sehingga
menghambat terjadinya perubahan biokimia dan fisik dari produk pangan.
Semakin lama waktu penyimpanan semakin meningkat nilai viskositas
kefir. Viskositas tertinggi terlihat pada lama penyimpanan hari ke-28 baik pada
suhu 4±1 °C maupun 10±1°C yaitu sebesar 545,33 cP dan 571,67 cP. Hal ini
didukung oleh adanya data nilai total asam pada penelitian ini, nilai total asam
pada kedua suhu menunjukkan nilai tertinggi pada penyimpanan hari ke-28.
Menurut Evanuarini (2010), keasaman susu fermentasi merupakan salah satu zat
yang dapat menyebabkan penurunan keseimbangan protein susu (kasein) selain
basa, alkohol, panas, radiasi dan garam. Sedangkan menurut Wahyudi dan
Samsundari (2008), terbentuknya asam laktat oleh BAL menyebabkan
peningkatan total asam sehingga protein mengalami koagulasi membentuk gel.
Terbentuknya gel menyebabkan tekstur menjadi semi padat sehingga
viskositasnya menjadi semakin meningkat. Semakin lama waktu penyimpanan
semakin banyak total asam yang dihasillkan maka semakin banyak pula protein
yang terkoagulasi sehingga semakin meningkat viskositas produk.
Tingkat viskositas kefir disebabkan oleh perbedaan suhu, lama inkubasi,
total padatan bahan baku yang mempengaruhi ketersediaan kasein dan laktosa
susu (Usmiati dan Sadono, 2004b). Perlakuan pemanasan susu pada waktu
pembuatan kefir juga akan mempengaruhi agresi kasein yaitu adanya ikatan
antara kasein dan β-laktoglobulin melalui ikatan disulfida serta laktalbumin yang
bereaksi dengan β-laktoglobulin akan mempengaruhi viskositas (Trachoo, 2002
dalam Mal, 2013). Selain itu, pertumbuhan stater didalam produk kefir, apabila
mikroba bakteri mampu memproduksi EPS dengan berat molekul yang besar
akan menghasilkan susu fermentasi dengan viskositas yang tinggi
(Setyawardani, 2016).
4.2.4 Total Mikroba
Analisis total mikroba dilakukan untuk mengetahui perubahan nilai total
mikroba pada kefir selama penyimpanan. Rerata perubahan nilai total mikroba
selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 4.8 dan Tabel 4.6
45
Gambar 4.8 Grafik Rerata Total Mikroba Kefir Selama Penyimpanan
Gambar 4.8 menunjukkan bahwa rerata total mikroba kefir cenderung
menurun semakin lamanya waktu penyimpanan, namun setelah penyimpanan
hari ke-28 rerata nilai total mikroba mengalami peningkatan. Penurunan rerata
nilai total mikroba ini diduga karena jumlah substrat semakin berkurang sehingga
aktivitas mikroba terutama BAL yang memfermentasi laktosa menjadi asam laktat
akan menurun.
Mikroba dalam kefir tidak hanya terdiri dari BAL tetapi terdapat pula
bakteri yang lain dan beberapa jenis khamir. Pada hasil penelitian kefir selama
penyimpanan oleh Irigoyen (2005), jumlah populasi Lactobacillus dan
Lactococcus memiliki patern yang sama yaitu jumlahnya cenderung menurun
hingga 1,5 log unit pada penyimpanan hari ke-7 menuju 14, kemudian jumlahnya
tampak konstan hingga penyimpanan hari ke-28. Jumlah populasi khamir dan
bakteri asam asetat tampak konstan selama 28 hari penyimpanan. Hal ini
menunjukkan bahwa mikroba yang mendominasi hidup dalam kefir adalah
kelompok BAL. Menurut Fardiaz (1992), menurunnya populasi BAL selama
penyimpanan berkaitan dengan dilaluinya fase pertumbuhan statis oleh BAL
yang akan mencapai fase menuju kematian. Sebagian populasi mikroba pada
fase ini akan mengalami kematian karena nutrien dalam medium sudah habis
dan energi cadangan didalam sel habis sehingga jumlah sel mati semakin
bertambah.
8
8.2
8.4
8.6
8.8
9
9.2
9.4
9.6
9.8
10
0 7 14 21 28 35 42
log
tota
l mik
rob
a (C
FU/m
l)
Lama Penyimpanan (hari)
Suhu 4±1 °C
Suhu 10±1 °C
46
Selain itu penurunan populasi total mikroba selama penyimpanan juga
diduga dipengaruhi oleh akumulasi asam yang bersifat antimikroba. Secara
umum beberapa BAL dapat tumbuh pada pH 3,2 sedangkan yang lainnya dapat
tumbuh pada pH 9,6 akan tetapi kebanyakan tumbuh pada kisaran pH 4-4,5
(Jay,2000). Pada penelitian ini pH awal penyimpanan kefir adalah 3,7 dan
nilainya terus menurun selama penyimpanan, hal ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan BAL juga kurang optimum.
Peningkatan rerata nilai total mikroba setelah penyimpanan hari ke-28
diduga karena adanya pertumbuhan mikroba putrefaktif yang menghasilkan basa
sehingga menurunkan keasaman kefir dan memacu tumbuhnya mikroba
pembusuk lainnya. Adanya basa yang dihasilkan mikroba putrefaktif ini akan
mempengaruhi pH kefir, terihat pada data nilai pH pada penyimpanan hari ke-35
dan ke-42 terlihat penurunan pH yang tidak berbeda nyata. Menurut Suradi
(2012), aktifitas mikroba selama penyimpanan mengakibatkan terjadinya
dekomposisi senyawa kimia yang terkandung pada produk pangan, khususnya
protein akan dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana dan apabila proses
ini berlanjut terus akan menghasilkan senyawa yang berbau busuk, seperti indol,
skatol, merkaptan, amin-amin dan H2S. Diantara senyawa-senyawa tersebut
hanya merkaptan dan H2S yang bersifat asam lemah, selebihnya bersifat basa
dan basa kuat.
Dari hasil analisa ragam yang dilakukan terhadap total mikroba kefir
(Lampiran 13) diperoleh nilai F-hitung > F-tabel untuk faktor suhu penyimpanan,
sehingga dapat disimpulkan bahwa suhu penyimpanan yang digunakan
memberikan pengaruh yang nyata (α = 0,05) terhadap nilai total mikroba. Pada
faktor lama penyimpanan dengan nilai F-hitung > F-tabel sehingga dapat
disimpulkan bahwa lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata
terhadap nilai total mikroba. Interaksi kedua faktor, yaitu suhu dan lama
penyimpanan memiliki nilai F-hitung > F-tabel sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat interaksi antara suhu dan lama penyimpanan memberikan pengaruh
nyata terhadap nilai total mikroba. Nilai rerata perubahan log total mikroba kefir
selama penyimpanan pada suhu 4±1 dan 10±1 °C dapat dilihat pada Tabel 4.6.
47
Tabel 4.6 Rerata Perubahan Nilai Total Mikroba Kefir Selama Penyimpanan
Suhu penyimpanan
Lama penyimpanan
(hari)
Log total mikroba CFU/ml
DMRT 5%
4±1 °C 0
7
14
21
28
35
42
9,55 ±0,24 hi
9,38 ±0,04 gh
9,30 ±0,08 fgh
9,06 ±0,05 def
8,82 ±0,15 bcd
9,07 ±0,15 ef
9,29 ±0,03 fg
3,08
3,23
3,33
3,36
3,4
3,42
3,44
10±1 °C 0
7
14
21
28
35
42
9,78 ±0,07 I
9,37 ±0,02 gh
8,99 ±0,05 cde
8,73 ±0,07 b
8,42 ±0,14 a
8,81 ±0,11 bc
8,97 ±0,08 cde
3,44
3,46
3,46
3,46
3,46
3,46
Keterangan : Angka dengan huruf yang berbeda pada setiap kolom menunjukkan
pengaruh berbeda nyata (α = 0,05)
Data Tabel 4.6 merupakan hasil uji lanjut DMRT 5% yang menunjukkan
hasil bahwa suhu dan lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap
nilai total mikroba Kefir. Total mikroba tertinggi yaitu pada suhu 10±1°C
penyimpanan hari ke-0 dan terendah pada suhu 10±1°C penyimpanan hari ke-
42. Kefir yang disimpan pada suhu 4±1°C terlihat menunjukan nilai rerata total
mikroba yang lebih besar dibandingkan kefir yang disimpan pada suhu 10±1°C.
Hal ini menunjukkan bahwa pada penyimpanan suhu yang lebih rendah diperoleh
nilai total mikroba dengan jumlah yang lebih rendah pula. Hal ini diduga
penyimpanan pada suhu 4±1 °C lebih dapat menekan aktifitas metabolisme dari
mikroba dalam kefir. Menurut Jay (1997), bahwa penggunaan suhu rendah untuk
menyimpan makanan didasarkan pada aktivitas mikroorganisme dapat
diperlambat dan/atau dihentikan pada suhu diatas suhu beku, biasanya berhenti
pada suhu di bawah titik beku. Hal ini disebabkan karena semua reaksi
metabolism mikroorganisme dikatalisasi oleh enzim dan tingkat katalisasi enzim
tergantung pada suhu. Pelczar dan Chan (1986) menjelaskan pada dasarnya
penyimpanan pada suhu rendah bertujuan untuk mengurangi atau menarik kadar
48
air bebas. Suhu rendah mengubah air bebas menjadi kristal es sehingga tidak
dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk aktivitasnya.
Semakin lama waktu penyimpanan semakin menurun nilai total mikroba
kefir hingga pada penyimpanan hari ke-28, setelah itu mengalami peningkatan
hingga akhir penyimpanan hari ke-42. Total mikroba tertinggi terlihat pada lama
penyimpanan hari ke-0 baik pada suhu 4±1 °C maupun 10±1°C, sedangkan total
mikroba terendah pada kedua suhu terlihat pada penyimpanan hari ke-28. Hal ini
diduga karena selama penyimpanan terjadi kompetisi antar mikroba dan adanya
senyawa berbeda yang dihasilkan sehingga menghambat mikroba satu sama lain
yang ditumbuhkan secara bersamaan.
Pada hasil peneitian Leite (2013), jumlah laktosa pada kefir semakin
menurun selama proses fermentasi 24 jam dan hingga penyimpanan 28 hari. Hal
ini menunjukkan bahwa mikroba dalam kefir grains memanfaatkan laktosa untuk
dapat bertahan hidup. Hal ini sesuai dengan Buckle et al. (2007) yang
menyatakan untuk melakukan perbanyakkan sel, mikroba memerlukan
kandungan nutrisi pada media fermentasinya seperti karbon, nitrogen, vitamin,
dan mineral. Menurut Jay (2012), jumlah substrat yang semakin berkurang
selama penyimpanan akan mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam kefir
grains menjadi terhambat dan menyebabkan beberapa mikroba menuju fase
statis dan fase kematian.
4.2.5 Warna
Analisis warna dilakukan untuk mengetahui perubahan warna pada kefir
selama penyimpanan. Warna yang diukur meliputi tingkat kecerahan (nilai L),
tingkat kemerahan (nilai a*) dan tingkat kekuningan (nilai b*).
4.2.5.1 Kecerahan (L*)
Nilai sumbu L* mulai dari atas ke bawah, parameter L* menunjukkan
tingkat kecerahan dengan skala 0 (gelap atau hitam) sampai 100 (cerah atau
terang). Rerata perubahan nilai kecerahan selama penyimpanan dapat dilihat
pada Gambar 4.9 dan Tabel 4.7
49
Gambar 4.9 Grafik Rerata Nilai Kecerahan Kefir Selama Penyimpanan
Gambar 4.9 menunjukan bahwa rerata nilai kecerahan kefir cenderung
mengalami penurun seiring lamanya waktu penyimpanan. Penurunan rerata nilai
kecerahan ini diduga karena penurunan nilai pH selama penyimpanan selama
proses penyimpanan, dimana senyawa-senyawa dalam susu akan mengalami
perubahan struktur dan karakteristik.
Warna putih pada susu akibat penyebaran butiran-butiran lemak, kalsium
kaseinat, dan kalsium fosfat pada susu, sedangkan warna kuning pada susu
disebabkan terlarutnya vitamin A, kolesterol dan pigmen karoten dalam globula
lemak (Winarno, 2007 dalam Irmayanti, 2015). Semakin menurunnya nilai pH
kefir akan menyebabkan reaksi oksidasi yang merusak butiran-butiran lemak. Hal
ini menyebabkan tingkat kecerahan kefir semakin menurun selama
penyimpanan. Pada penyimpanan hari ke-7, ke-21 dan ke-35 rerata nilai
kecerahan terlihat mengalami sedikit peningkatan, hal diduga karena
terdispersinya beberapa komponen pada kefir akibat protein yang terdenaturasi
pada pH rendah. Pada hasil penelitian Chugh et al. (2014), sampel susu skim
yang diberikan perlakuan High-temperature short-time (HTST) menunjukkan
sedikit peningkatan nilai kecerahan walaupun tidak berbeda nyata, sedangkan
pada perlakuan lain yaitu pasteurisasi dan mikrofilter tidak menunjukkan
perubahan.
Dari hasil analisa ragam yang dilakukan terhadap kecerahan kefir
(Lampiran 13) diperoleh nilai F-hitung < F-tabel untuk faktor suhu penyimpanan,
sehingga dapat disimpulkan bahwa suhu penyimpanan yang digunakan tidak
86
86.5
87
87.5
88
88.5
89
0 7 14 21 28 35 42
Nila
i K
ecer
ahan
(L)
Lama Penyimpanan (hari)
Suhu 4±1 °C
Suhu 10±1 °C
50
memberikan pengaruh yang nyata (α = 0,05) terhadap kecerahan kefir. Pada
faktor lama penyimpanan dengan nilai F-hitung > F-tabel sehingga dapat
disimpulkan bahwa lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata
terhadap kecerahan kefir. Interaksi kedua faktor, yaitu suhu dan lama
penyimpanan memiliki nilai F-hitung < F-tabel sehingga dapat disimpulkan bahwa
interaksi antara suhu dan lama penyimpanan memberikan pengaruh tidak nyata
terhadap kecerahan kefir. Pengaruh lama penyimpanan terhadap rerata
kecerahan kefir dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Rerata Perubahan Nilai Kecerahan Akibat Pengaruh Lama
Penyimpanan
Lama penyimpan (hari) Rerata BNT 5%
0 88,52 ±0,06 def 0,32
7 88,71 ±0,12 b
14 88,25 ±0,07 d 21 88,31 ±0,10 de
28 87,83 ±0,40 bc
35 87,71 ±0,20 b
42 87,45 ±0,28 a
Keterangan: Angka dengan notasi berbeda menunjukkan berbeda nyata (α=5%)
Data Tabel 4.7 merupakan hasil uji lanjut BNT 5% yang menunjukkan
hasil bahwa lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap
kecerahan kefir. Kecerahan tertinggi terlihat pada lama penyimpanan hari ke-7
baik pada suhu 4±1 °C maupun 10±1°C, hal ini menunjukkan bahwa beberapa
senyawa pada kefir terdispersi akibat protein yang terdenaturasi pada pH rendah.
4.2.5.2 Kehijauan (a*)
Sumbu a* dan b* tidak memiliki nilai batas yang spesifik. Apabila nilai a*
positif berarti merah dan apabila negatif adalah hijau. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa koordinat a* bernilai negatif pada semua perlakuan yang
berarti menunjukkan warna hijau. Rerata perubahan nilai viskositas selama
penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 4.10 dan Tabel 4.8.
51
Gambar 4.10 Grafik Rerata Nilai Kehijauan Kefir Selama Penyimpanan
Gambar 4.10 menunjukan bahwa rerata nilai kehijauan kefir cenderung
menurun dari awal waktu penyimpanan, lalu setelah penyimpanan hari ke-21
mengalami peningkatan kemudian pada penyimpanan hari ke-35 menuju ke-42
mengalami penurunan lagi. Penurunan rerata nilai kehijauan ini diduga karena
penurunan kadar riboflavin yang dimanfaatkan oleh mikroba sebagai salah satu
nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan baketri tersebut.
Warna susu yang normal adalah putih kekuningan. Adapun warna
kehijauan kemungkinan merupakan refleksi kandungan vitamin B kompleks yang
relatif tinggi (Vinifera et al.,2016). Pernyataan tersebut didukung oleh Koswara
(2009), yang menyatakan bahwa tingginya kandungan riboflavin (vitamin B2)
membuat susu tampak berwarna kehijau-hijauan. Pada penelitian Rachman et al.
(2016), penurunan kadar riboflavin pada produk yoghurt terjadi setelah proses
fermentasi, meskipun penurunan yang teramati tidak terlalu drastis. Hal ini
menunjukkan bahwa kadar riboflavin dapat semakin berkurang selama proses
penyimpanan, yang menyebabkan semakin menurunnya pula tingkat kehijauan
produk.
Meskipun pada umumnya BAL mampu menurunkan kadar riboflavin
ketika digunakan untuk fermentasi susu, namun ada juga BAL yang mampu
meningkatkan kadar riboflavin. Pada penelitian Toluine et al. (2013) menemukan
bahwa kadar riboflavin yang difermentasi dengan menggunakan S. thermophillus
dan Lactobacillus delbrueckii tidak berubah signifikan, namun meningkat ketika
-4
-3.5
-3
-2.5
-2
-1.5
-1
0 7 14 21 28 35 42
Nil
ai K
eh
ijau
an
(-a
)
Lama Penyimpanan
Suhu 4±1 °C
Suhu 10±1 °C
52
digunakan kultur L. acidophilus dan Bifidobacterium lactis. Hal ini menunjukkan
adanya perbedaan kemampuan sintesis riboflavin yang tergantung jenis mikroba
yang ada dalam stater.
Dari hasil analisa ragam yang dilakukan terhadap kehijauan kefir
(Lampiran 14) diperoleh nilai F-hitung < F-tabel untuk faktor suhu penyimpanan,
sehingga dapat disimpulkan bahwa suhu penyimpanan yang digunakan tidak
memberikan pengaruh yang nyata (α = 0,05) terhadap kehijauan. Pada faktor
lama penyimpanan dengan nilai F-hitung > F-tabel sehingga dapat disimpulkan
bahwa lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai
kehijauan. Interaksi kedua faktor, yaitu suhu dan lama penyimpanan memiliki
nilai F-hitung < F-tabel sehingga dapat disimpulkan bahwa interaksi antara suhu
dan lama penyimpanan memberikan pengaruh tidak nyata terhadap nilai
kehijauan kefir.
Suhu penyimpanan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kehijauan
kefir selama penyimpanan. Hal ini diduga karena suhu penyimpanan yang
digunakan masih termasuk suhu penyimpanan rendah, sehingga laju
metabolisme mikroba dalam memanfaatkan ribloflavin dan vitamin B kompleks
sama-sama dapat dihambat. Menurut Jay (1997), bahwa penggunaan suhu
rendah untuk menyimpan makanan didasarkan pada aktivitas mikroba dapat
diperlambat dan/atau dihentikan pada suhu diatas suhu beku, biasanya berhenti
pada suhu di bawah titik beku. Hal ini disebabkan karena semua reaksi
metabolism mikroorganisme dikatalisasi oleh enzim dan tingkat katalisasi enzim
tergantung pada suhu. Hal ini diperkuat oleh Buckle et al. (2007) yang
menyatakan untuk melakukan perbanyakkan sel, mikroba memerlukan
kandungan nutrisi pada media fermentasinya seperti karbon, nitrogen, vitamin,
dan mineral. Pengaruh lama penyimpanan terhadap rerata kehijauan kefir dapat
dilihat pada Tabel 4.8.
53
Tabel 4.8 Rerata Perubahan Nilai Kehijauan Akibat Pengaruh Lama
Penyimpanan
Lama penyimpan (hari) Rerata BNT 5%
0 -3,15 ±0,08 bc 0,23
7 -3,01 ±0,06 cd
14 -2,67 ±0,23 ef
21 -2,76 ±0,18 ef
28 -3,37 ±0,23 ab 35 -3,49 ±0,11 a
42 -2,87 ±0,15 de
Keterangan: Angka dengan notasi berbeda menunjukkan berbeda nyata (α=5%)
Data Tabel 4.8 merupakan hasil uji lanjut BNT 5% yang menunjukkan
hasil bahwa lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap kehijauan
kefir. Semakin lama waktu penyimpanan nilai kehijauan semakin berkurang. Hal
ini diduga karena mikroba dalam kefir grains masih mampu memanfaatkan
kandungan riboflavin dan vitamin B kompleks lainnya selama penyimpanan. Hal
ini sesuai dengan Buckle et al. (2007) yang menyatakan untuk melakukan
perbanyakkan sel, mikroba memerlukan kandungan nutrisi pada media
fermentasinya seperti karbon, nitrogen, vitamin, dan mineral.
Kehijauan tertinggi terlihat pada lama penyimpanan hari ke-35 baik pada
suhu 4±1 °C maupun 10±1°C, hal ini diduga karena adanya mikroba yang
mampu mensintesis riboflavin pada kefir. Pada penelitian Toluine et al. (2013)
menemukan bahwa kadar riboflavin yang difermentasi dengan menggunakan S.
thermophillus dan Lactobacillus delbrueckii tidak berubah signifikan, namun
meningkat ketika digunakan kultur L. acidophilus dan Bifidobacterium lactis. Hal
ini diperkuat oleh Alosta (2007), khamir jenis Candida flareri merupakan salah
jenis mikroba yang mampu menghasilkan riboflavin melalui fermentasi aerobik.
4.2.5.3 Kekuningan (b*)
Nilai b merupakan tingkat yang menunjukkan warna kuning (nilai b+) dan
biru (nilai b-). Hasil penelitian menunjukkan bahwa koordinat b* bernilai positif
pada semua perlakuan yang berarti menunjukkan warna kuning. Rerata
perubahan nilai viskositas selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 4.11,
Tabel 4.9.
54
Gambar 4.11 Grafik Rerata Nilai Kekuningan Kefir Selama Penyimpanan
Gambar 4.11 menunjukan bahwa rerata nilai kekuningan kefir cenderung
meningkat dari awal waktu penyimpanan. Secara umum peningkatan terjadi dari
hari ke-0 hingga ke-21, setelah penyimpanan hari ke-21 terjadi penurunan nilai
kekuningan. Peningkatan rerata nilai kekuningan ini diduga karena aktivitas
metabolisme dari mikroorganisme yang mengahasilkan peningkatan jumlah
karotenoid pada kefir.
Warna kuning pada susu disebabkan terlarutnya vitamin A, kolesterol,
dan pigmen karoten dalam globula lemak (Winarno, 2007). Beta karoten
merupakan salah satu metabolit sekunder yang dihasilkan selama fermentasi.
Mikroba yang berperan dalam peningkatan karotenoid selama fermentasi adalah
golongan khamir misalnya Candida utilis dan Saccharomyces cerevisiae. Khamir
Candida utilis adalah salah satu mikroorganisme yang berpotensi menghasilkan
sejumlah besar karotenoid yaitu likopen, beta karoten dan astaxantin dengan
jalur non endogen melalui farnesyl pyrophosphate (FPP) (Miura et al., 1998
dalam Supriyono, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas pembentukan
metabolit sekunder masih dapat berlangsung selama penyimpanan, sehingga
akumulasi pigmen karoten bertambah dan meningkatkan intensitas warna
kekuningan.
Sedangkan penurunan rerata nilai kekuningan diduga karena rendahnya
pH akibat terakumulasinya asam-asam organik selama proses penyimpanan
akan mempengaruhi kestabilan pigmen karoten. Karotenoid stabil pada pH
netral, alkali namun tidak stabil pada kondisi asam, adanya udara atau oksigen,
10
10.5
11
11.5
12
12.5
0 7 14 21 28 35 42
Nil
ai K
eku
nin
gan
(+
b)
Lama Penyimpanan (hari)
Suhu 4±1 °C
Suhu 10±1 °C
55
cahaya dan panas (Legowo, 2005). Selain itu menurut penyataan Surono
(2004), bahwa BAL menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2) yang berperan
sebagai prekusor pembentukan radikal bebas selama fermentasi. Dugaan ini
diperkuat oleh penyataan Supriyono (2008), bahwa beta karoten yang ada akan
beraksi sebagai antioksidan untuk melawan terjadinya reaksi oksidasi yaitu
dengan kemampuannya untuk menginaktifkan singlet oksigen dan bereaksi
dengan radikal peroksil menjadi senyawa yang lebih stabil.
Dari hasil analisa ragam yang dilakukan terhadap kekuningan kefir
(Lampiran 15) diperoleh nilai F-hitung < F-tabel untuk faktor suhu penyimpanan,
sehingga dapat disimpulkan bahwa suhu penyimpanan yang digunakan tidak
memberikan pengaruh yang nyata (α = 0,05) terhadap kekuningan. Pada faktor
lama penyimpanan dengan nilai F-hitung > F-tabel sehingga dapat disimpulkan
bahwa lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai
kekuningan. Interaksi kedua faktor, yaitu suhu dan lama penyimpanan memiliki
nilai F-hitung < F-tabel sehingga dapat disimpulkan bahwa interaksi antara suhu
dan lama penyimpanan memberikan pengaruh tidak nyata terhadap nilai
kekuningan.
Suhu penyimpanan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
kekuningan kefir selama penyimpanan. Hal ini diduga karena suhu penyimpanan
yang digunakan masih termasuk suhu penyimpanan rendah, sehingga laju
metabolisme mikroba dalam memanfaatkan karotenoid sama-sama dapat
dihambat. Menurut Jay (1997), bahwa penggunaan suhu rendah untuk
menyimpan makanan didasarkan pada aktivitas mikroba dapat diperlambat
dan/atau dihentikan pada suhu diatas suhu beku, biasanya berhenti pada suhu di
bawah titik beku. Hal ini disebabkan karena semua reaksi metabolism mikroba
dikatalisasi oleh enzim dan tingkat katalisasi enzim tergantung pada suhu. Hal ini
diperkuat oleh Buckle et al. (2007) yang menyatakan untuk melakukan
perbanyakkan sel, mikroba memerlukan kandungan nutrisi pada media
fermentasinya seperti karbon, nitrogen, vitamin, dan mineral. Pengaruh lama
penyimpanan terhadap rerata kekuningan kefir dapat dilihat pada Tabel 4.9.
56
Tabel 4.9 Rerata Perubahan Nilai Kekuningan Akibat Pengaruh Lama
Penyimpanan
Lama penyimpan (hari) Rerata BNT 5%
0 11,27 ±0,07 ab 0,29
7 11,30 ±0,06 abc
14 11,11 ±0,23 a
21 11,36 ±0,18 abc
28 12,01 ±0,15 de 35 11,77 ±0,24 d
42 11,78 ±0,28 de
Keterangan: Angka dengan notasi berbeda menunjukkan berbeda nyata (α=5%)
Data Tabel 4.9 merupakan hasil uji lanjut BNT 5% yang menunjukkan
hasil bahwa lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap
kekuningan kefir. Semakin lama waktu penyimpanan nilai kekuningan semakin
meningkat. Hal ini diduga karena mikroba dalam kefir grains masih mampu
memanfaatkan kandungan karotenoid selama penyimpanan. Hal ini sesuai
dengan Buckle et al. (2007) yang menyatakan untuk melakukan perbanyakkan
sel, mikroba memerlukan kandungan nutrisi pada media fermentasinya seperti
karbon, nitrogen, vitamin, dan mineral.
Setelah hari ke-28 kedua suhu memperlihatkan adanya penurunan nilai
kekuningan pada hari ke-35, pada hari ke-42 suhu 4±1°C nilainya meningkat
sedangkan pada suhu 10±1 °C nilai menurun. Hal ini diduga karena aktivitas
metabolism mikroorganisme masih mengahasilkan metabolit sekunder berupa
pigmen karoten sehingga pada suhu 4±1°C nillai kekuningan semakin
bertambah. Hal ini terlihat dari data log Total Mikroba yang mengalami
peningkatan pada lama penyimpanan hari ke-42 suhu 4±1°C. Namun karena
tidak dilakukan analisa total BAL maupun total khamir maka tidak bisa dipastikan
apakah peningkatan mikroba ini merupakan mikroba yang mampu menghasilkan
pigmen karoten atau tidak.
4. 3 Pendugaan Umur Simpan Kefir
Menurut Koswara (2004) dalam Herawaty (2008), data yang diperlukan
untuk menentukan umur simpan produk yang dianalisis di laboratorium dapat
diperoleh dari analisis atau evaluasi sensori, analisis kimia dan fisik, serta
pengamatan kandungan mikroba. Penentuan umur simpan produk dengan ESS
57
atau metode konvensional dilakukan dengan cara menyimpan satu seri produk
pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap
penurunan mutunya (usable quality) hingga mencapai tingkat mutu kedaluwarsa.
Hasil pendugaan umur simpan berdasakan penurunan mutu dapat dilihat pada
Tabel 4.10 dan Tabel 4.11
Tabel 4.10 Pendugaan Umur Simpan Pada Suhu 4±1°C
Parameter Mutu
Titik kritis
Lama Penyimpanan (hari)
0 7 14 21 28 35 42
pH 3,47 3,70 3,60 3,60 3,60 3,60 3,50 3,50
Total Asam (%)
2,29 1,21 1,27 1,29 1,31 1,51 1,40 0,88
Viskositas (cP)
540,89 465,83 481,17 501,50 531,67 545,33 485,50 461,50
log Total Mikroba (CFU/ml)
8,76 9,55 9,38 9,30 9,06
8,82
9,07
9,29
Warna
L 87,66 88,48 88,68 88,25 88,37 87,78 87,55 87,58
a* -3,49 -3,15 -2,98 -2,83 -2,73 -3,43 -3,58 -2,75
b* +11,48 +11,32 +11,25 +11,17 +11,25 +12,10 +11,62 +11,95
keterangan Diterima Diterima Diterima Diterima Ditolak Ditolak Ditolak
Berdasarkan Tabel 4.10 dapat dilihat bahwa pada parameter pH dan total
asam belum mencapai nilai titik kritisnya. Pada parameter nilai kecerahan dan
nilai kehijauan mencapai titik kritis masing-masing pada hari ke-35. Sedangkan
pada parameter viskositas, total mikroba dan nilai kekuningan mencapai nilai titik
kritisnya pada penyimpanan hari ke-28. Umur simpan kefir ditentukan dari
kerusakan yang paling cepat, sehingga pada hari ke-28 akan digunakan sebagai
acuan terjadinya penurunan mutu. Sehingga kefir yang disimpan pada suhu
4±1°C memiliki umur simpan 21 hari.
58
Tabel 4.11 Pendugaan Umur Simpan Pada Suhu 10±1 °C
Parameter Mutu
Titik kritis
Lama Penyimpanan (hari)
0 7 14 21 28 35 42
pH 3,47 3,70 3,65 3,60 3,60 3,55 3,50 3,45
Total Asam (%)
2,29 1,12 1,295 1,33 1,37 1,66 1, 2 0,98
Viskositas (cP)
540,89 469,67 513,83 532,50 563,33 571,67 514,33 498,50
log Total Mikroba (CFU/ml)
8,76 9,78 9,37 8,99 8,73 8,42 8,81 8,97
Warna
L 87,66 88,55 88,73 88,25 88,25 87,88 87,87 87,32
a* -3,49 -3,15 -3,03 -2,50 -2,783 -3,31 -3,40 -2,98
b* +11,48 +11,22 +11,35 +11,05 +11,47 +11,92 +11,92 +11,60
Keterangan Diterima Diterima Diterima Ditolak Ditolak Ditolak Ditolak
Berdasarkan Tabel 4.11 dapat dilihat bahwa pada parameter pH dan total
asam belum mencapai nilai titik kritisnya. Pada parameter nilai kecerahan dan
nilai kehijauan mencapai titik kritis masing-masing pada hari ke-28 dan ke-35.
Sedangkan pada parameter viskositas, total mikroba dan nilai kekuningan
mencapai nilai titik kritisnya pada penyimpanan hari ke-21. Umur simpan kefir
ditentukan dari kerusakan yang paling cepat, sehingga penyimpanan hari ke-28
akan digunakan sebagai acuan terjadinya penurunan mutu. Sehingga kefir yang
disimpan pada suhu 10±1 °C memiliki umur simpan 14 hari.
Dalam penelitian pendugaan umur simpan ini dapat dipengaruhi oleh
jenis mikroba dalam kefir grains, kestabilan suhu lemari pendingin, frekuensi
buka tutup lemari pendingin, serta adanya rongga udara pada head space dalam
kemasan. Terlihat bahwa umur simpan produk kefir ini relatif pendek. Untuk
meningkatkan umur simpannya dapat dilakukan beberapa upaya yaitu
penggantian kemasan dengan permeabilitas yang lebih kecil, seperti botol
HDPE. Pemberian kemasan sekunder dan atau tersierpun dapat memperpanjang
umur simpan produk.
59
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian penyimpanan kefir pada perlakuan suhu 4±1°C dan
10±1°C menunjukkan berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap viskositas dan total
mikroba, tetapi tidak memberikan perbedaan terhadap pH, total asam dan warna
pada produk. Interaksi kedua perlakuan, yaitu suhu dan waktu penyimpanan kefir
berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap terhadap viskositas dan total mikroba,
tetapi tidak memberikan perbedaan terhadap pH, total asam dan warna pada
produk.
Penyimpanan suhu rendah yang berbeda memberikan pengaruh umur
simpan produk yang berbeda. Umur simpan kefir ditentukan dari kerusakan yang
paling cepat dengan pembandingan parameter mutu kritis akhir pada pH 3,47 ,
total asam 2,289 %, viskositas 540,889 Cp, log total mikroba 8,763 CFU/ml, nilai
L 87,662, a* -3,489 dan b* +11,478. Pada penyimpananan suhu 4±1°C umur
simpan kefir mencapai 21 hari. Sedangkan pada penyimpananan suhu 10±1°C
umur simpan kefir mencapai 14 hari.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan pengujian total Bakteri Asam Laktat dan total Khamir selama
penyimpanan
2. Perlu dilakukan pengujian bakteri patogen pada produk selama
penyimpanan
3. Perlu dilakukan penentuan umur simpan produk berdasarkan parameter
organoleptik pada penyimpanan suhu rendah.
4. Perlu dilakukan uji viabilitas Bakteri Asam Laktat dan Khamir selama
penyimpanan produk.
60
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, E. Dyah, Haw Lengkey dan Soetardjo, D. S.. 2000. Kajian Tentang Dosis Starter dan Lama Fermentasi terhadap Mutu Kefir. dalam Agustina, L., Setyawardani, T., dan Astuti, T. Y. 2013. Penggunaan Starter Biji Kefir dengan Konsentrasi yang Berbeda pada Susu Sapi Terhadap pH dan Kadar Asam Laktat. Jurnal Ilmiah Peternakan 1 (1):
254-259
Ahmed, Z., Y. Wang, A. Ahmad, S.T. Khan, M. Nisa, H. Ahmad, A. Afreen. 2013. Kefir and Health: A Contemporary Perspective dalam Diosma, G., E. David, F. Maria, B. Rey, A.Londero, G.L. Garrote. 2014. Yeasts from Kefir Grains: Isolation, Identification and Probiotic Characterization. World Journal of Microbiology and Biotechnology. Volume 30 Issue 1, pp 43–53
Albaari, A. N., dan Murti, T. W. 2003. Analisa pH, Keasaman dan Kadar Laktosan pada Yakult, Kefir. Proceeding Simposium Nasional Hasil-hasil Penelitian di Unika Soegijapranata. Semarang
Alosta, H.A. 2007. Riboflavin Production by Encapsulated Candida Flareri
Diakses di http://digital.library.okstate.edu/etd/umi-okstate-2346.pdf pada 22 Desember 2017
Andrianto, S. 2008. Pembuatan Es Krim Probiotik dengan Subtitusi Susu Fermentasi Lactobacillus casei subsp. rhamnosus dan Lactobacillus F1 terhadap Susu Skim. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Antoniou, K.D., Topalidou, S., Tsavalia, G dan Dimitreli, G. 2011. Effect of Starter Culture, Milk Fat and Storage Time on the Rheological Behaviour of Kefir. Procedia Food Science, 1, 583-588
Arpah. 2001. Penentuan Kedaluwarsa Produk Pangan. Program Studi Ilmu
Pangan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Asriyani, R. 2012. Umur Simpan Yoghurt Simbiotik dengan Variasi Bahan Kemasan dan Suhu Penyimpanan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian.
Institur Pertanian Bogor. Bogor
Ayustaningwarno, F. 2014. Teknologi Pangan, Teori Praktis dan Aplikasi. Diakses di http://grahailmu.co.id/previewpdf/978-602-262-212-3-1225.pdf pada 20 Desember 2017
Belitz, H. D., Grosch, W., dan Schieberle, P. 2009, Food Chemistry. Edisi 4 Revisi. Hal. 448-498
Buckle, K. A., R. A. Edwards., G. H. Fleet dan M. Wootton. 2007. Ilmu Pangan, Terjemahan Hari Purnomo dan Adiono.Universitas Indonesia Press.
Jakarta
Chairunnisa, H., Roostita L. Balia, dan Gemilang, L.U.S. 2006. Penggunaan starter bakteri asam laktat pada produk susu fermentasi "Lofihomi".
Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Jurnal Ilmu Ternak, Desember 2006. vol 6 no.2,102-10
61
Chugh, A., Dipendra, K., Markus, W.R., Milena, C., Lisa, D. and Mansel W.G. 2014. Change in Color and Volatile Composition of Skim Milk Processed with Pulsed Electric Field and Microfiltration Treatments or Heat Pasteurization. Foods 2014, 3 p. 250-268
Codez Alimentarius Commision. 2003. Codex Standard for Fermented Milks: Codex STAN 243. FAO/ WHO Food Standards.
Coles,R., McDowell, D., dan Kirwan,M.J. 2003. Food Packaging Technology. Blackwell Publishing Ltd. USA. p. 8-10
Direktorat Jendral Peternakan. 1983. Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan No. 17/KPTS/DJP/Depatan/83. Tentang Syarat-Syarat Tata Cara Pengawasan dan Pemeriksaan Kualitas Susu Produksi Dalam Negeri
Evanuarini, H. 2010. Pengaruh Suhu dan Lama Pemeraman Pada Inkubator Terhadap Kualitas Fisik Kefir. Jurnal Ilmu Peternakan 20 (2): 8 - 13
Fardiaz. 1992. Analisis Mikrobiologi Pangan. Grafindo. Jakarta
Farnworth, E.R. 2005. Kefir a Complex Probiotic. Food Research and
Development Centre, Agriculture and Agri-food. Canada, St. Hyacinthe, Quebec, Canada J2S 8E3
Fratiwi, Yulneriwarni, dan Noverita. 2008. Fermentasi Kefir dari Susu Kacang-Kacangan. Jurnal Vis Vitalis, Vol. 1 No. 2, 45-54
Gaikwad, D. S., and J. S. Ghosh., 2009. Pharmacodynamic Effect of Growth of Saccharomyces Cerevisiae During Lactic Fermentation of Milk.
Asian J. Agri. Sci., 1 (1): 1518
Gulitz, A., Stadie, J., Wenning, M., Ehrmann, M. A., dan Vogel, R. F. 2011. The Microbial Diversity of Water Kefir. dalam Michael, B., Boy R.S., dan L.M., Ekawati Purwijantiningsih.2014. Potensi Kefir sebagai anti Bakteri Propionibacterium acnes. Universitas Atma Jaya. Yogyakarta
Halin JH and Evancho GM. 1992. The Beneficial Role of Microorganisms in the Safety and Stability of Refrigerated Food dalam Fratiwi, Yulneriwarni, dan Noverita. 2008. Fermentasi Kefir dari Susu Kacang-Kacangan. Jurnal Vis Vitalis, Vol. 1 No. 2, 45-54
Harjiyanti, M.D., Pramono, Y.B. dan Mulyani, S. 2013. Total Asam, Viskositas dan Kesukaan Pada Yoghurt Drink dengan Sari Buah Mangga (Mangifera indica) Sebagai Perisa Alami. Jurnal Aplikasi Teknologi
Pangan Vol.2 No.2
Herawati, H. 2008. Penentuan Umur Simpan Produk Pangan. Jurnal Litbang
Pertanian, No. 27(4)
Herdiyadi, I. 2016. Kualitas Organoleptik dan Keasaman Susu Fermentasi yang Menggunakan Konsentrasi Sukrosa Berbeda. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makassar
Ide, P. 2008. Health Secret of Kefir. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta
Irigoyen, A., I. Arana, M. Castiella, P. Torre and F. Ibanez. 2005. Microbiological,physicochemical, and sensory characteristics of kefir during storage. Food. Chem. 90: 613-620.
62
Irmayanti. 2015. Nilai Rendemen dan Karakteristik Organoleptik Dangke Berbahan Dasar Susu Segar dan Susu Bubuk Komersial. Skripsi.
Fakultas Peternakan. Universitas Hasanudin. Makasar.
Jay, J.M. 2012. Modern Food Microbiology. diakses di
http://197.14.51.10:81/pmb/BIOLOGIE/MicroBiology[Doridro.com]/7231803.pdf pada 18 Desember 2017
Jaziri, I., Ben Slama, M., Mhadhbi, H., Urdaci, M. C., and Hamdi, M. 2009. Effect of Green and black teas (Camellia sinentis L) on the characteristic microflora of yogurt during fermentation and refrigerated storage. J.
Food Chem, 112:614-620
Jovanka V., Raljic, P., Nada S. L., Jovanka G.L., Miroljub B.B., and Visnja M.s. 2008. Color Changes of UHT Milk During Storage. Sensors 2008, 5961-
5974 DOI: 10.3390/s8095961
Jun H, Han. 2005. Innovations in Food Packaging. Elsevier Ltd
Kesenkas, H., Dincki, N., Seckin, K., Kinik, O., Gonc, S., Gunc, P., Ergunol, Kavas., G. 2011. Physicochemical, Microbiological and Sensory Characteristic of Soymilk Kefir. African Journal of Microbiology Research Vol. 5 (22) pp.3737-3746
Khoiriyah, H., dan Puji, A. 2014. Penentuan Waktu Inkubasi Optimum Terhadap Aktivitas Bakteorisin Lactobacillus sp. RED4. Jurnal volume 3 (4), halaman 52-56 . Universitas Tanjungpura
Kosikowski, F., dan Mistry, V. V. 1982. Cheese and Fermented Milk Foods (3rd), New York
Koswara, S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai dalam Yusmarini dan Efendi, 2004. Evaluasi Mutu Soygurt yang dibuat dengan Penamabahan beberapa Jenis Gula. Jurnal Natur Indonesia 6(2): 104-
110
Koswara, S. 2004. Evaluasi sensori dalam pendugaan umur simpan produk pangan. Pelatihan Pendugaan Waktu Kedaluwarsa (Self Life). Pusat
Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Susu. Diakses di
http://tekpan.unimus.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/TEKNOLOGI-PENGOLAHAN-SUSU.pdf pada 19 November 2017
Labuza, T. P. 1982. Shelf Life Dating of Food. Food and Nutrition. Press, Inc., Westport Connecticut.
Legowo, A. 2005. Pengaruh Blanching terhadap Sifat Sensoris dan Kadar Provitamin Tepung Labu Kuning. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Leite, A.M.O., D.C.S Leite, E.M. Del Aguila, T.S. Alvares, R.S. Peixoto, M.A.L Miguel, J.T Silvia and V.M.F Paschoalin. 2013. Microbiological and Chemical Characteristic of Brazilian Kefir During Fermentation and Storage Processes. J. Dairy Sci. 96:4149-4159
Madigan, M. T., Martinko, J. M., dan Parker, J. 2000. Brock Biology of Microorganisms dalam Michael,B., Boy R.S., dan L.M., Ekawati Purwijantiningsih. 2014. Potensi Kefir sebagai anti Bakteri Propionibacterium acnes. Universitas Atma Jaya. Yogyakarta
63
Maheswari, R. R. A. dan Setiawan, J. 2009. Mengapa Harus Kefir. Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan IPB. Bogor
Manab, A. 2008. Kajian Sifat Fisik Yogurt Selama Penyimpanan Pada Suhu 4ºC. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Februari 2008, Hal 52-58.
ISSN : 1978 – 0303
Mal, R., Radiati, L.E., dan Purwadi. 2013. Pengaruh Lama Penyimpanan Pada Suhu Refrigertor Terhadap Nilai pH, Viskositas, Total Asam Laktat dan Profil Protein Terlarut Kefir Susu Kambing. Jurnal Universitas
Brawijaya. Malang
Michael, B., Boy R.S., dan L.M., Ekawati Purwijantiningsih.2014. Potensi Kefir sebagai anti Bakteri Propionibacterium acnes. Universitas Atma Jaya.
Yogyakarta
Muharastri, Y. 2008. Analisis Kepuasan Konsumen Susu UHT Merek Real Good di Kota Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Nurul, Umi J. 2014. Uji Organoleptik dan Daya Simpan Selai Krokot (Portulaca oleracea) dengan Pewarna Sari Buah Naga Merah dan Penambahan Jahe serta Gula Aren dengan Konsentrasi yang Berbeda. Naskah Publikasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta
Otes, Semih dan Ozem, Cagindi. 2003. Kefir: A Probiotic Dairy-Composition, Nutritional and Therapeutic Aspects. Pakistan Journal Of Nutrition 2 (2): 54-59,2003
Parameswari, A., Kuntari, S. dan Herawati. 2011. Daya Hambat Probiotik Terhadap Pertumbuhan Streptococcus mutans dalam Yulita R., Ekawati Purwijantiningsih, dan Boy Rahardjo Sidharta. 2013. Viabilitas Bakteri Asam Laktat dan Aktivitas Antimikrobia Susu Fermentasi Terhadap Streptococcus pyogenes, Vibrio cholera dan Candida albicans. Jurnal
Universitas Atma Jaya. Yogyakarta.
Pelczar, M.J., Reid, R.D., dan Chan, E.C.S. 1977. Microbiology. Tata Mc. Graw-
Hill Publ. Co. Ltd. New Delhi
Rahayu, S. E. 2000. Bakteri Asam Laktat dalam Fermentasi dan Pengawetan Makanan (Lactic Acid Bacteria in Food Fermentation and Preservation). Seminar Nasional Industri Pangan. 2000. Vol I:299-308
Rachman, S.D., S. Djajasoepena, I. Indrawati, L. Bangun, D.S. Kamara,dan s. Ishmayana. 2016. Penentuan Kadar Riboflavin dan Uji Pendahuluan Aktivitas Antibakteri Yoghurt yang Difermentasi dengan Bakteri yang Diisolasi dari Yoghurt Komersial. Prosiding Seminar Nasional Kimia dan
Pembelajaran Kimia UNPAD. Sumedang
Robertson, G.L. 2010. Food Packaging and shelf life: A Pratical Guide. Boca
Raton, Florida: CRC Press
Saleh, E. 2004. Teknologi Pengolohan Susu dan Hasil Ternak. diakses di
http://library.usu.ac.id/download/fp/ternak-eniza.pdf pada 20 Maret 2016
Setyawardani, T., Sumarmono, J. 2015. Chemical and Microbiological Characteristic of Goat Milk Kefir During Storage Under Different Temperatures. J.Indonesian Trop.Anim. Agric.. 40(3):183-188
64
Setyawardani, T., Sumarmono, J., Rahardjo, A.H.D, Sulistyowati, M., dan Widyaka, K. 2016. Kualitas Kimia, Fisik dan Sensori Kefir Susu Kambing yang Disimpan Pada Suhu dan Lama Penyimpanan Berbeda.Buletin Peternakan Vol. 41 (3): 298-306. Purwokerto
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2009. SNI 2981:2009. Yogurt. Badan
Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta.
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2011. SNI 3141.1:2011 Susu Segar-Bagian 1: Sapi. Badan Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta
Sumanti, D.M. 2008. Diktat Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan.dalam Agustina, L., Setyawardani, T., dan Astuti, T. Y. 2013. Penggunaan Starter Biji Kefir dengan Konsentrasi yang Berbeda pada Susu Sapi Terhadap pH dan Kadar Asam Laktat. Jurnal Ilmiah Peternakan 1 (1):
254-259
Sumardikan, H. 2007. Penggunaan Carboxymethylcellulose (CMC) Terhadap pH, Keasaman, Viskositas, Sineresis dan Mutu Organoleptik Yoghurt. Skripsi. Teknologi Hasil Ternak, Jurusan Teknologi Hasil
Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya Malang.
Sugiyono. 2004. Kimia Pangan. Diakses di
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/ir-sugiyono-mkes/buku-kimia-pangan.pdf pada 19 November 2017
Supriyono, T. 2008. Kandungan Beta Karoten, Polifeno Total dan AKtivitas "Merantas" Radikal Bebas Kefir Susu Kacang Hijau (Vigna radiata) Oleh Pengaruh Jumlah Stater (Lactobacillus bulgaricus dan Candida kefir) dan Konsentrasi Glukosa. Tesis. UNDIP. Semarang
Suradi, K. 2012. Pengaruh Lama Penyimpanan Pada Suhu Ruang Terhadap Perubahan Nilai pH, TVB dan Total Bakteri Daging Kerbau. Jurnal
Ilmu Ternak, Vol. 12, No. 2, 9 -11
Suresh and Mody. 2009. Microbiol Exopholysaccharides: Variety and Potential Applications Microbial Production of Biopolymer and Polymer Precursors. Caister Academic Press. USA.
Susilorini, T.E. dan M.E. Sawitri. 2005. Produk-Produk Olahan Susu. PT Penebar Swadaya. Jakarta
Suriasih, K., W.R. Aryanta, G. Mahardika, and N.M. Astawa. 2012. Microbiological and Chemical Properties of Kefir Made of Bali Cattle Milk. Food Sc. And Qual.. Manag 6:12-22
Syahrurachman, Agus. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta : Bina Rupa Aksara
Syarief, R., Santausa, dan Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan.
Bogor: Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Tamime, A.Y. and Robinson R.K., 1999. Yogurt Science and Technology dalam Zakaria, Y. 2009. Pengaruh Jenis Susu dan Persentase Starter yang Berbeda terhadap Kualitas Kefir. Jurnal Agripet. Vol 9, No. 1: 26-
30.
Taufik, E. 2009. Ketahanan Hidup Bakteri Patogen dalam Yoghurt dan Kefir Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin. Tesis.ITB. Bogor
65
Tolouie, H., Toloun, S.H.H., Ejtahed, H.S. & Jalaliani, H. 2013. Assessment of Vitamin B2 and B3 Contents of Conventional and Probiotic Yogurt after Refrigeration by High Performance Liquid Chromatography. Journal of Pakistan Medical Students. 3(3): 148 – 151
Usmiati, S. dan A, Apriyantono. 2004. Komponen Volatil Pembentuk Flavor Kefir dengan Stater Kombinasi Berbagai Jenis Bakteri dan Khamir.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor
Usmiati, S. dan A. Sudono. 2004. Pengaruh Stater Kombinasi Bakteri dan Khamir Terhadap Sifat Fisikokimia dan Sensori Kefir. J. Pascapanen
1(1) 2004: 12-21
Van Hijum SAFT, van GS, Rahaoui H, Van DM, Dijkhuizen L. 2002. Characterization Of A Novel Fructosiltransferase From Lactobacillus Reuteri That Synthesizes High-Molecular-Weight Inulin And Inulin Oligosaccharides. Appl Environ Microbiol 68 (9): 4390-4398.
Viljoen, B.C., Knox, M.A., De Jager H.P. dan Lourens A–Hattingh. 2003. Development of Yeast Populations During Processing and Ripening of Blue Veined Cheese. Department of Microbial, Biochemical and Food Biotechnology. University of the Free State. Bloemfontein 9300. South Africa
Vinifera Errythrina, Nurina, Sunaryo. 2016. Studi Tentang Kualitas Air Susu Sapi Segar yang Dipasarkan di Kota Kediri. Jurnal Fillia Cendekia Vol. 1
No. 1 Maret 2016 . Kediri.
Wahyudi, A. dan S. Samsundaari. 2008. Bugar dengan Susu Fermentasi.
Universitas Muhammadiyah Malang Press. Malang
Widodo, W. 2002. Bioteknologi Fermentasi Susu. Malang. Pusat
Pengembangan Bioteknologi Universitas Muhammadiyah Malang. Malang
Wijaningsih, W. 2008. Aktivitas AntiBakteri In Vitro dan Sifat Kimia Kefir Susu Kacang Hijau (Vignaradiata) oleh Pengaruh Jumlah Starter dan Lama Fermentasi. Tesis. Universitas Diponegoro . Semarang
Winarno, F.G . 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama