TUTUPAN KARANG DI PULAU PRAMUKA KEPULAUAN
SERIBU DAN KAITANNYA DENGAN KEPADATAN Acanthaster planci
SKRIPSI
MUHAMMAD ARIF TANZIL
1111095000044
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAIN DAN TEKNOLOGI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018
TUTUPAN KARANG DI PULAU PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU DAN
KAITANNYA DENGAN KEPADATAN Acanthaster planci
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
MUHAMMAD ARIF TANZIL
1111095000044
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
i
TUTUPAN KARANG DI PULAU PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU DAN
KAITANNYA DENGAN KEPADATAN Acanthaster planci
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
MUHAMMAD ARIF TANZIL
1111095000044
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Lily Surayya E. P., M.Env.Stud Narti Fitriana, M.Si
NIP. 196904042005012005 NIDN. 0331107403
Mengetahui,
Ketua Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Dasumiati, M.Si NIP. 197309231999032002
ii
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi yang berjudul “Tutupan Karang Di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu dan Kaitannya dengan Kepadatan Acanthaster Planci” yang ditulis oleh Muhammad
Arif Tanzil, NIM 1111095000044 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang Munaqasyah Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 28 Maret 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
MUHAMMAD ARIF TANZIL
1111095000044
Menyetujui,
Penguji I Penguji II
Dr. Megga Ratnasari Pikoli Dr. Dasumiati, M.Si
NIP. 197203222002122002 NIP. 197309231999032002
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Lily Surayya E. P., M.Env.Stud Narti Fitriana, M.Si
NIP. 196904042005012005 NIDN. 0331107403
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Biologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Agus Salim, M.Si Dr. Dasumiati, M.Si NIP. 197208161999031003 NIP. 197309231999032002
iii
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN KEASLIAN SKRIPSI INI BENAR-
BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, April 2018
Muhammad Arif Tanzil
1111095000044
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur segala puji bagi Allah yang atas rahmat dan karunia-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “TUTUPAN KARANG DI
PULAU PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU DAN KAITANNYA DENGAN
KEPADATAN Acanthaster planci”. Tak lupa shalawat serta salam senantiasa
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan bagi
manusia.
Skripsi ini disusun sebagai rancangan dan acuan penelitian yang akan
dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Selesainya skripsi penelitian ini
tidak lepas dari doa, kerja keras, serta bantuan dari berbagai pihak, baik saran,
bimbingan maupun bantuan lainnya. Tiada kata yang dapat penulis ucapkan selain
ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bantuan ini semua, dan lebih khusus
ucapan terimakasih saya ucapkan kepada:
1. Kedua Orang Tua tercinta, yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan
baik berupa moril maupun materil kepada penulis.
2. Prof. Dr. Lily Surayya E. P., M.Env.Stud. selaku pembimbing I, yang
senantiasa memberikan pengarahan, memimbing, membantu dan memberikan
informasi- informasi kepada penulis dari awal pelaksanaan hingga penulisan
skripsi ini.
3. Narti Fitriana, M.Si selaku pembimbing II yang telah memimbing, membantu
dan memberikan informasi-informasi serta saran selama penyusunan skripsi
ini.
v
4. Dr. Agus Salim, M.Si selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi Univers itas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Dasumiati, M.Si selaku ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan
Teknologi yang sudah membimbing penulis dan telah memberi pengij inan
serta memberikan restu kepada penulis.
6. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si dan Drs. Paskal Sukandar, M.Si selaku penguji
seminar proposal dan seminar hasil yang telah memberikan kritik dan saran
yang sangat berguna bagi penyusunan skripsi ini.
7. Dr. Megga Ratnasari Pikoli selaku penguji sidang skripsi yang telah
memberikan kritik dan saran yang sangat berguna bagi penyusunan skripsi ini.
8. Taman Nasional Kepulauan Seribu, khususnya Seksi Wilayah III, atas izin dan
kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian.
9. Abah Sairan dan Bapak Firdiansyah selaku staf Taman Nasional Kepulauan
Seribu, atas bantuan dan curahan ilmu yang tidak henti-hentinya diberikan
kepada penulis dalam mengumpulkan data lapangan.
10. Azkiya Banata, Pangestuti Utami, Ismail Syakurrachman Alaydrus dan Reza
Bayu Zikrillah, atas bantuan dan pengorbanan waktu serta tenaga untuk
membantu penulis dalam mengumpulkan dan mengolah data.
11. Bapak Hamdan, Bapak Yohanes, Bapak Agus, Bapak Suwarna dan staf-staf
Taman Nasional Kepulauan Seribu yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu namun tidak mengurangi rasa terima kasih atas bantuan dan saran-
sarannya yang membangun dan menambah pengetahuan penulis.
vi
12. Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Puji
Astuti, S.Si dan Nur Amaliah Solihat, S.Si selaku laboran Biologi yang telah
membantu penulis dalam menyediakan alat dan bahan yang diperlukan selama
penelitian berlangsung.
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Akhir kata penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan ketidak
sempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan
pembaca umumnya.
Jakarta, April 2018
Penulis
vii
ABSTRAK
MUHAMMAD ARIF TANZIL. Tutupan Karang di Pulau Pramuka
Kepulauan Seribu dan Kaitannya dengan Kepadatan Acanthaster planci.
Skripsi. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud dan
Narti Fitriana, M.Si. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Terumbu karang beserta biota asosiasinya memiliki manfaat besar bagi ekologi dan
ekonomi Indonesia. Akan tetapi, terumbu karang merupakan ekosistem yang rentan terhadap kerusakan. Kerusakan terumbu karang di Indonesia disebabkan oleh
berbagai hal seperti badai, pencemaran perairan, dan ledakan populasi predator. Biota yang merupakan predator karang adalah bintang laut mahkota duri atau Acanthaster planci. A. planci dapat memangsa karang 1,345 – 2,495
m2/hari/individu. Kehadiran A. planci di Kepulauan Seribu menjadi salah satu penyebab kerusakan terumbu karang. Salah satu pulau di Kepulauan Seribu yang
perlu menjadi perhatian adalah Pulau Pramuka karena merupakan pulau peruntukan wisata dan pemukiman dengan persentase tutupan karangnya yang mengalami penurunan. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis persentase tutupan
karang dan kaitannya dengan keberadaaan A. planci di Pulau Pramuka. Penelit ian ini menggunakan metode line intercept transect untuk pendataan tutupan karang
dan keberadaan A. planci. Titik sampling diambil berdasarkan arah mata angin (Barat, Selatan, Timur dan Utara) pada kedalaman 3-5 m dan 10-13 m. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase tutupan karang hidup di Pulau
Pramuka termasuk kategori sedang dengan presentase 37,38%. Kepadatan A. planci di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu termasuk dalam kategori alami. Berdasarkan
hasil Principal Component Analysis, A. planci memiliki pengaruh terhadap persentase tutupan karang.
Kata kunci: Acanthaster planci; Kepadatan, Kepulauan Seribu, Persen tutupan
karang, Pulau Pramuka, Terumbu karang
viii
ABSTRACT
MUHAMMAD ARIF TANZIL. Coral Caver on Pramuka Island Kepulauan
Seribu and Its Relation to The Density of Acanthaster planci. Undergraduate
Thesis. Under-guidance of Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud and Narti
Fitriana, M.Si. Department of Biology. Science and Technology Faculty. Islamic State University Jakarta.
Coral reefs and their associated biota have great benefits for Indonesia's ecology
and economy. However, coral reefs are fragile ecosystems. Damage to coral reefs in Indonesia is caused by various things such as storms, water pollution, and the blooming of predator populations. Biota which is a predator of coral is a crown of
thorn starfish or Acanthaster planci. A. planci can prey on corals 1,345 – 2,495 m2/day/individual. The presence of A. planci in the Kepulauan Seribu became one
of the causes of coral reef damage. One of the islands in the Kepualauan Seribu that need attention is Pramuka Island because it is an island of tourist and settlement designation with the percentage of coral cover that decreased. The purpose of this
study is to analyze the percentage of coral cover and its relation to the existence of A. planci in Pramuka Island. This research uses line intercept transect method for data collection of coral cover and presence of A. planci. The sampling point is based
on the direction of the wind (West, South, East, and North) at 3-5 m depth and 10-13 m. The results of this study indicate that the percentage of live coral cover on
Pramuka Island is the medium category with 37,38% percentage. The density of A. planci on the Thousand Island Islands Scout is included in the natural category. Based on Principal Component Analysis, A. planci had an effect on the percentage
of coral cover.
Keywords: Acanthaster planci, coral reefs, density, percent of coral cover, Pramuka Island
ix
DAFTAR ISI
hlm.
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................. i
PERNYATAAN ................................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
ABSTRACT ...................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian............................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian............................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Terumbu Karang ............................................................................... 5
2.2. Anatomi Karang ................................................................................ 6
2.3. Taksonomi dan Morfologi Acanthaster planci ................................. 8
2.4. Habitat dan Perilaku Makan A. planci ............................................ 10
2.5. Reproduksi A. planci ....................................................................... 12
2.6. Daur Hidup dan Predator A. planci ................................................. 13
2.7. Faktor Lingkungan .......................................................................... 15
2.7.1. Suhu ......................................................................................... 15
2.7.2. Salinitas.................................................................................... 16
2.7.3. Kecerahan ................................................................................ 16
2.7.4. Arus.......................................................................................... 17
2.7.5. pH ............................................................................................ 18
2.7.6. Dissolved Oxygen (Oksigen Terlarut) ..................................... 19
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian........................................................... 20
3.2. Alat dan Bahan ................................................................................ 21
3.3. Prosedur Penelitian.......................................................................... 21
3.3.1. Penentuan Titik Sampling ...................................................... 21
x
3.3.2. Pengukuran Parameter Lingkungan ....................................... 22
3.3.3. Pengambilan Data Terumbu Karang dan A. planci ............... 22
3.4. Analisis Data ................................................................................... 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Persentase Tutupan Karang di Pulau Pramuka ............................... 25
4.2. Kepadatan Acanthaster planci di Pulau Pramuka ........................... 32
4.3. Hubungan Persentase Tutupan Karang dengan Keberadaan A. planci dan Parameter Fisik Lingkungan ..................................... 35
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan...................................................................................... 41
5.2. Saran ................................................................................................ 41
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 42
LAMPIRAN ...................................................................................................... 47
xi
DAFTAR TABEL
hlm.
Tabel 1. Kategori dan Persentase Tutupan Karang Hidup ................................ 23
xii
DAFTAR GAMBAR
hlm.
Gambar 1. Bentuk-Bentuk Pertumbuhan Karang (English et al, 1994) .......... 6
Gambar 2. Morfologi Acanthaster planci (a) tampak atas; (b) tampak
bawah (Frasser et al., 2000) ........................................................... 9
Gambar 3. Posisi Acanthaster planci saat memakan karang (Frasser et al., 2000) ...................................................................................... 11
Gambar 4. Tahapan daur hidup Acanthaster planci (Frasser
et al, 2000) ................................................................................... 13
Gambar 5. Peta lokasi pulau pramuka (Sumber: Citra Lansat) ..................... 20
Gambar 6. Plot Pengambilan Sampel Terumbu Karang dan Acanthaster planci............................................................................................ 22
Gambar 7. Persentase tutupan karang hidup di Pulau Pramuka .................... 25
Gambar 8. Arah arus di kepulauan Seribu, Jakarta pada bulan Maret
2015 (sumber: citra satelit http://www.oscar.noaa.gov/) ............. 27
Gambar 9. Persentase tutupan karang keras di Pulau Pramuka ..................... 30
Gambar 10. Persentase Tutupan Substrat Dasar di Pulau Pramuka ................ 31
Gambar 11. Acanthaster planci yang ditemukan di Pulau Pramuka ............... 33
Gambar 12. Karang yang dimakan Acanthaster planci ................................... 34
Gambar 13. Grafik Principal Component Analysis dan tabel nilai matriks komponen hubungan persentase tutupan karang,
kepadatan A. planci, dan parameter lingkungan perairan ............ 36
Gambar 14. Pengamatan pada terumbu karang yang bersinggungan dengan transek.............................................................................. 58
Gambar 15. Salah satu lokasi transplantasi karang yang ada di bagian
Barat Pulau Pramuka Kepulauan Seribu ...................................... 58
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
hlm.
Lampiran 1. Parameter Lingkungan Pulau Pramuka ....................................... 47
Lampiran 2. Koordinat Stasiun Pengambilan Data.......................................... 47
Lampiran 3. Kategori Bentuk Pertumbuhan Karang (English et al, 1994)...... 48
Lampiran 4. Persentase tutupan karang keras dan tutupan substrat dasar di
Pulau Pramuka stasiun Barat kedalaman 3 – 5 m........................ 49
Lampiran 5. Persentase tutupan karang keras dan tutupan substrat dasar di Pulau Pramuka stasiun Barat kedalaman 10 – 13 m.................... 50
Lampiran 6. Persentase tutupan karang keras dan tutupan substrat dasar di Pulau Pramuka stasiun Utara kedalaman 3 – 5 m ....................... 51
Lampiran 7. Persentase tutupan karang keras dan tutupan substrat dasar di Pulau Pramuka stasiun Utara kedalaman 10 – 13 m ................... 52
Lampiran 8. Persentase tutupan karang keras dan tutupan substrat dasar di Pulau Pramuka stasiun Timur kedalaman 3 – 5 m ...................... 53
Lampiran 9. Persentase tutupan karang keras dan tutupan substrat dasar di
Pulau Pramuka stasiun Timur kedalaman 10 – 13 m .................. 54
Lampiran 10. Persentase tutupan karang keras dan tutupan substrat dasar di Pulau Pramuka stasiun Selatan kedalaman 3 – 5 m .................... 55
Lampiran 11. Persentase tutupan karang keras dan tutupan substrat dasar di
Pulau Pramuka stasiun Selatan kedalaman 10 – 13 m ................ 56
Lampiran 12. Tabel Matriks Korelasi yang didapat dari hasil analisis PCA ...... 57
Lampiran 13. Tabel Matriks Komponen yang didapat dari hasil analisis PCA ............................................................................................. 57
Lampiran 14. Pengambilan Data Tutupan Karang .............................................. 58
Lampiran 15. Transplantasi karang Pulau Pramuka Kepulauan Seribu.............. 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai negara maritim dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia ,
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman biota laut yang tinggi
(Tomascik et al., 1997; Suharsono, 2014). Secara geografis, Indonesia berada di
dalam kawasan segitiga karang (coral triangle). Luas terumbu karang yang ada di
Indonesia besarnya sekitar 18 % dari terumbu karang dunia (Spalding et al., 2001),
yang didalamnya terdapat 569 spesies karang batu (Suharsono, 2014; Giyanto et
al., 2017), lebih dari 3000 spesies ikan karang (Dhahiyat, 2003; Suharsono, 2014),
serta berbagai macam biota laut lainnya. Terumbu karang beserta biota asosiasinya
memiliki manfaat besar bagi ekologi dan ekonomi Indonesia. Akan tetapi, terumbu
karang merupakan ekosistem yang rentan terhadap kerusakan (Grimsditch & Salm,
2006; Hoegh-Guldberg & Bruno, 2010; Pratchett, 2013).
Kerusakan terumbu karang di Indonesia disebabkan oleh berbagai hal
seperti sedimentasi, pencemaran perairan, penambangan karang, penangkapan ikan
yang tidak ramah lingkungan (penggunaan bom atau racun sianida), badai,
pemutihan karang karena meningkatnya suhu perairan akibat pemanasan global,
dan meningkatnya populasi predator karang (Erdmann, 1995; Cesar, 1996; Edinger
et al., 2000; Giyanto, 2017).
Biota yang merupakan predator karang adalah bintang laut mahkota duri
atau Acanthaster planci. Meningkatnya populasi A. planci dapat menimbulkan
kerusakan terumbu karang (Syahnilawati, 2013). Keadaan ini disebabkan karena
2
A. planci mampu merusak koloni karang dengan cara memakan jaringan karang
yang hidup (polip karang) (Carpenter, 2011). Menurut Rani et al. (2007), setiap
individu A. planci dapat memangsa karang 1,345 – 2,495 m2/hari/individu.
Kehadiran bintang laut A. planci pertama kali di Indonesia dilaporkan pada
tahun 1705 dari perairan sekitar Ambon (Azis, 1995). Pada tahun 1970-an, para
peneliti LIPI melaporkan kehadiran A. planci di sekitar Ambon dan Kepulauan
Seribu (Lane, 1996). Pada tahun 1981, kehadiran A. planci dilaporkan oleh Darsono
bahwa terdapat 44 individu per 400 m2 di Pulau Genteng dan 52 individu per 400
m2 di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu (Aziz, 1995).
Publikasi ilmiah tentang kerusakan terumbu karang Indonesia akibat hewan
ini baru dilakukan pada saat terjadi peledakan populasi di Kepulauan Banggai
(Lane, 1996). Pada tahun 1996 juga dijumpai adanya pemangsaan karang oleh A.
planci yang menghabiskan hampir seluruh karang di Pulau Menjangan, Taman
Nasional Bali Barat dan Pantai Bama, Taman Nasional Baluran (Bachtiar, 2009).
Tahun 2005, peledakan populasi A. planci juga dilaporkan terjadi di Pulau
Kapoposang, Sulawesi Selatan (Yusuf, 2008).
Di Kepulauan Seribu, kehadiran A. planci juga menjadi salah satu penyebab
kerusakan terumbu karang. Hal ini didukung penelitian de Vantier (1996) yang
menyatakan bahwa kerusakan tutupan karang dan kekayaan jenis karang di
Kepulauan Seribu disebabkan oleh serangan populasi A. planci. Seiring
bertambahnya waktu, maka diduga kehadiran A. planci semakin mengancam.
Salah satu pulau di Kepulauan Seribu yang perlu menjadi perhatian adalah
Pulau Pramuka karena merupakan pulau dengan peruntukan wisata dan
pemukiman. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
3
Konservasi Alam Departemen Kehutanan Nomor SK.05/IV-KK/2004 tanggal 27
Januari 2004 tentang Zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Pulau
Pramuka ditetapkan sebagai zona wisata dan pemukiman Taman Nasional, yang
juga merupakan pusat pemerintahan dan perumahan (BTNKpS, 2007).
Menurut Subhan et al (2008), Pulau Pramuka memiliki kondisi tutupan
terumbu karang dengan kategori baik yaitu sebesar 50%. Sementara dari penelit ian
Efrinawati (2012), kondisi tutupan terumbu karang Pulau Pramuka mengalami
penurunan karena masuk dalam kategori sedang yaitu sebesar 31,27%. Oleh sebab
itu agar tidak mengalami penurun terus menerus, maka perlunya dilakukan
pemantauan persentase tutupan terumbu karang di Pulau Pramuka beserta faktor-
faktor yang menyebabkan kerusakannya, sebagai salah satu upaya dalam menjaga
kelestarian terumbu karang di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
a. Bagaimanakah persentase tutupan karang di Pulau Pramuka Kepualauan
Seribu?
b. Bagaimakah kepadatan Acanthaster planci di Pulau Pramuka
Kepulauan Seribu?
c. Bagaimanakah persentase tutupan karang dan kaitannya dengan
keberadaan A. planci di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu?
4
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis persentase tutupan
karang dan kaitannya dengan keberadaaan A. planci di Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi para
pengambil kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang berkelanjutan
di perairan Pulau Pramuka, serta dapat dijadikan sebagai pustaka mengena i
hubungan tutupan karang dengan kepadatan A. planci.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Terumbu Karang
Koloni karang adalah kumpulan dari berjuta-juta polip penghasil bahan
kapur (CaCO3) yang memiliki kerangka luar yang disebut koralit. Pada koralit
terdapat septum-septum yang berbentuk sekat-sekat yang dijadikan acuan dalam
penentuan spesies karang (Nybakken, 1988). Rangka luar terdiri dari kristal CaCO3
yang dihasilkan oleh epidermis pada setengah batang tubuh ke bawah dan telapak
kaki. Proses sekresi CaCO3 menghasilkan rangka kapur berbentuk seperti mangkuk,
polip tertanam di atasnya, dan tidak dapat berpindah tempat. Bagian dalam dari
mangkuk karang terdapat sekat-sekat kapur yang memijar, disebut skleroseptum.
Masing-masing spesies mempunyai bentuk dan susunan sklerosepta yang khas,
sehingga dapat dipakai untuk identifikasi. Pola karang batu ditentukan antara lain
dengan pola pertumbuhan koloni itu sendiri dan oleh susunan polip dalam koloni
(Suwignyo et al., 2005).
Suatu koralit karang baru dapat terbentuk dari proses budding
(percabangan) dari karang. Selain bentuk koralit yang berbeda-beda, ukuran koralit
juga berbeda-beda. Perbedaan bentuk dan ukuran tersebut memberi dugaan tentang
habitat serta cara menyesuaikan diri terhadap lingkungan, namun faktor dominan
yang menyebabkan perbedaan koralit adalah karena spesies hewan karang (polip)
yang berbeda-beda (Johan, 2003).
Polip karang terdiri dari dua lapisan yaitu epidermis dan endodermis, yang
dipisahkan oleh lapisan mesoglea. Dalam lapisan endodermis, hidup simbion alga
6
bersel satu yang disebut dengan zooxanthella, yang dapat menghasilkan zat organik
melalui proses fotosintesis yang kemudian sebagian ditranslokasikan ke jaringan
karang (Borneman, 1998).
Karang memiliki variasi dalam bentuk pertumbuhan (Gambar 1). Variasi
bentuk ertumbuhan karang (lifeform) dibedakan menjadi enam tipe antara lain: (1)
Tipe bercabang (branching), (2) Tipe padat (massive), (3) Tipe kerak (encrusting),
(4) Tipe meja (tabulate), (5) Tipe daun (foliose), (6) Tipe jamur (mushroom), (7)
Tipe menjari (digitate) (English et al., 1994).
Gambar 1. Bentuk-bentuk pertumbuhan karang (English et al, 1994)
2.2. Anatomi Karang
Karang merupakan binatang yang sederhana berbentuk tabung dengan
mulut berada di atas yang juga berfungsi sebagai anus. Di sekitar mulut dikelilingi
oleh tentakel yang berfungsi sebagai penangkap makanan. Mulut dilanjutkan
dengan tenggorokan yang pendek yang langsung menghubungkan dengan rongga
perut. Di dalam rongga perut terdapat semacam usus yang disebut dengan mesenteri
(1) (2) (4)
(7) (6)
(3)
(5)
7
filamen yang berfungsi sebagai alat pencerna. Untuk tegaknya seluruh jaringan,
polip didukung oleh kerangka kapur sebagai penyangga. Kerangka kapur ini berupa
lempengan- lempengan yang tersusun atas radial dan berdiri tegak pada lempengan
dasar. Lempengean yang berdiri ini disebut sebagai septa yang tersusun dari bahan
anorganik dan kapur yang merupakan hasil sekresi dari polip karang (Suharsono,
2004).
Dinding dari polip karang terdiri dari tiga lapisan yaitu ektoderma,
endodema, dan mesoglea. Ektoderma merupakan jaringan terluar yang terdiri dari
berbagai jenis sel yang antara lain adalah sel mucus dan sel nematosit. Mesoglea
merupakan jaringan yang berada ditengah berupa lapisan seperti jelly. Di dalam
lapisan jelly terdapat fibril- fibril sedangkan pada lapisan terluar terdapat sel
semacam sel otot. Endoderma merupakan jaringan yang berada di lapisan dalam
yang sebagian besar selnya berisi sel alga yang merupakan simbion karang. Seluruh
permukaan karang juga dilengkapi oleh cilia dan flagella. Kedua sel ini berkembang
dengan baik di tentakel dan di dalam sel mesentri. Pada lapisan ektoderm banyak
dijumpai sel glandula yang berisi mucus dan sel knidoblast yang berisi sel
nematosit. Nematosit merupakan sel penyengat yang berfungsi sebagai alat
penangkap makanan dan mempertahankan diri. Sel mucus berfungsi sebagai
produsen mucus yang membantu menangkap makanan dan untuk membersihkan
diri dari sedimen yang melekat (Suharsono, 2004).
Karang mempunyai sistem saraf, jaringan otot dan reproduksi yang
sederhana akan tetapi telah berkembang dan berfungsi secara baik. Jaringan saraf
yang sederhana ini tersebar baik di ektoderma maupun di endoderma serta mesoglea
yang dikoordinasi oleh sel khusus yang disebut sel junction yang berfungsi untuk
8
memberi respon secara mekanis maupun khemis terhadap adanya stimuli cahaya
(Suharsono, 2004).
Jaringan otot yang sederhana biasanya terdapat diantara jaringan mesoglea
yang bertanggung jawab atas gerakan polip untuk mengembang atau mengkerut
sebagai respon perintah jaringan saraf. Sinyal jaringan ini tidak hanya di dalam satu
polip tetapi juga diteruskan ke polip yang lain. Jaringan mesenteri filamen berfungs i
sebagai alat pencernaan yang sebagian besar selnya berisis sel mucus yang berisi
enzim untuk mencerna makanan. Lapisan luar dari jaringan mesenteri filamen
dilenkapi sel cilia halus.
Organ reproduksi karang berkembang di antara mesentri filamen. Pada saat
tertentu organ-organ reproduksi terlihat dan pada waktu yang lain menghilang,
terutama untuk jenis-jenis karang yang hidup di daerah subtropis. Untuk karang
yang hidup di daerah tropis organ reproduksi ini dapat ditemukan sepanjang tahun
karena siklus reproduksinya terjadi sepanjang tahun. Dalam satu polip dapat
ditemukan organ betina saja atau organ jantan saja atau kedua-duanya
(hermaprodit). Namun karang hermaprodit jarang yang mempunyai tingkat
pemasakan antar gonad jantan dan betina matang pada saat yang bersamaan
(Suharsono, 2004).
2.3. Taksonomi dan Morfologi Acanthaster planci
Acanthaster memiliki tiga spesies dan dua subspesies dari genus
Acanthaster, yaitu: A. planci, yang tersebar secara luas pada kawasan Indo Pasifik,
A. ellisii, spesies yang memiliki duri dan lengan yang pendek dan tersebar di
kawasan Pasifik Timur, dan A. brevispinus, yang memiliki duri lebih pendek yang
9
ditemukan di Filipina (Birkeland dan Lucas, 1990). Dua subspesies lainnya yaitu
pada tahun 1962 Caso menemukan satu subspesies dari A. ellisii pseudoplanci dan
pada tahun 1984 Jangoux dan Aziz memperkenalkan satu subspesies yang diberi
nama A. brevispinus seychellesentis (Aziz, 1995). Klasifikasi dari A. planci
menurut Birkeland dan Lucas (1990) yaitu, Kingdom: Animalia, Phylum:
Echinodermata, Class: Asteroidea, Ordo: Spinolisida, Subordo: Leptognathina,
Family: Acanthasteridae, Genus: Acanthaster, Spesies: A. planci
A. planci memiliki bentuk tubuh berbentuk cakram dengan perut yang besar
dan rata (Birkeland dan Lucas, 1990). Spesies ini memiliki lengan dengan jumlah
yang bervariasi antara 8 – 21 buah yang sangat lentur sehingga dapat
membelit/melingkar segala bentuk koloni karang. A. planci mempunya i
kemampuan untuk memutuskan lengannya bila diperlukan, hal ini diduga erat
kaitannya dengan predasi terhadap A. planci. Hampir sebesar 60% individu A.
planci dalam satu populasi dapat kehilangan salah satu atau lebih dari lengannya
(Moran, 1990).
(a) (b)
Gambar 2. Morfologi Acanthaster planci (a) tampak atas; (b) tampak bawah
(Frasser et al., 2000)
10
A. planci memiliki warna yang berbeda-beda tergantung pada lokasi mereka
berada. A. planci ini ditemukan di Thailand memiliki warna merah dan abu-abu.
Warna yang sama juga banyak ditemukan di Great Barrier Reef (Australia). Di
Hawaii, A. planci yang ditemukan berwarna hijau dan merah. Di Indonesia,
A. planci pada umumnya berwarna abu-abu, ungu, hijau dan biru.
Ukuran A. planci pada koloni karang tidak menentu. Ukuran normal dari
populasi A. planci yang paling sering ditemukan yakni 40 cm (Moran, 1990).
Ukuran maksimal A. planci yang ditemukan di Great Barrief Reef yakni 75 cm.
2.4. Habitat dan Perilaku Makan A. planci
Pada umumnya A. planci menyukai daerah terumbu karang dengan
persentase tutupan karang yang tinggi dan menyukai tempat yang terlindung
dengan cara bersembunyi di bawah bongkahan-bongkahan karang atau pecahan
karang (Moran, 1990). A. planci tersebar pada daerah terumbu karang di sepanjang
kawasan Indo – Pasifik (Birkeland dan Lucas, 1990).
A. planci dewasa aktif mencari makan pada siang dan malam hari,
sedangkan anakan A. planci hanya makan pada waktu malam hari untuk
menghindari predator. Cara makan A. planci cukup unik yaitu dengan
mengeluarkan isi perutnya melalui mulut dan kemudian ususnya akan menutup i
permukaan koloni karang sehingga pencernaan terjadi di luar tubuh. Pada proses
mencernaan makanan, A. planci mengeluarkan suatu enzim dari pyloric caeca yang
berfungsi sebagai pemecah lemak. Proses ini membutuhkan waktu antara 4-6 jam
(Suharsono, 1998).
11
Satu individu dewasa A. planci dapat memangsa sebanyak 2 m2 dalam sehari
(Frasser et al., 2000). Hasil yang hampir sama juga didapati Rani et al. (2007) yang
dari hasil penelitiannya didapati bahwa laju predasi A. planci sebesar 1,345 - 2,495
m2/hari/individu. Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium dan di lapangan
menunjukkan bahwa A. planci cenderung tertarik pada koloni karang yang
sebelumnya telah dimangsa oleh A. planci lain (Birkeland dan Lucas, 1990).
A. planci dapat bertahan tanpa makanan selama 6-9 bulan (Moran, 1990).
Gambar 3. Posisi Acanthaster planci berada diatas karang saat memakan karang
(Frasser et al., 2000)
Makanan utama A. planci adalah karang keras, namun A. planci juga dapat
memangsa beberapa jenis organisme bentik lainnya, tergantung dari faktor
ketersediaan makanan (Moran, 1986). Makanan A. planci berbeda-beda, tergantung
tingkat kedewasaan dan ukuran tubuh dari biota tersebut. Pada fase larva makanan
A. planci adalah fitoplankton (diatom dan dinoflagellata) (Suharsono, 1998),
Acanthaster planci
12
sedangkan pada fase dewasa makanan utamanya adalah karang keras
(Moran, 1990).
Bentuk pertumbuhan karang juga turut mempengaruhi preferensi makanan
dari A. planci, bentuk pertumbuhan yang paling disukai pada semua genus karang
adalah tabular dan yang kurang disukai adalah bentuk pertumbuhan masif. Hasil
penelitian yang dilakukan di Great Barrier Reef Australia, genus karang keras yang
paling disukai untuk dimangsa oleh A. planci adalah dari genus Acropora dan yang
paling tidak disukai adalah genus Porites (Moran, 1990).
2.5. Reproduksi A. planci
A. planci memiliki 2 jenis kelamin yang terpisah yaitu jantan dan betina.
Periode dan waktu pemijahan A. planci dipengaruhi oleh suhu, salinitas dan
ketersediaan makanan yang berlangsung selama musim panas (Lucas, 1987).
Waktu pemijahan A. planci tergantung pada letak geografi tempat A. planci hidup.
Di belahan Utara, musim memijah terjadi pada bulan Mei-Juli, sedangkan di
belahan bumi Selatan, pemijahan terjadiantara bulan November-Januar i
(Suharsono, 1998).
Pemijahan A. planci berlangsung di luar tubuh atau disebut dengan fertilisa s i
eksternal, yang artinya sel telur dan sel sperma dilepaskan ke dalam air. A. planci
betina mampu menghasilkan sekitar 60 juta telur dalam 1 kali fase pemijahan. Pada
saat pemijahan terjadi A. planci akan mengeluarkan hormon pheromone yang
berfungsi dalam merangsang A. planci lainnya untuk mendekat dan melakukan
pembuahan (Suharsono, 1998).
13
2.6. Daur Hidup dan Predator A. planci
Jumlah terbesar dari spermatozoa dan oozit yang terdapat di Great Barrier
Reef menunjukkan bahwa telah matang pada bulan November. Fase gametogenes is
yang terjadi pada bulan November hingga Desember mengalami kemunduran
kematangan gonad. Testis yang telah matang dan dilapisi berjuta-juta dinding sel
yang merupakan tempat untuk memproduksi sperma sedangkan dalam ovarium
hanya terdapat 1 sel telur yang matang (Birkeland dan Lucas, 1990).
Fase metamorfosis dimulai setelah brachiolaria berkembang menjadi
juvenil sekitar 2 minggu. Juvenile A. planci akan menempel di terumbu karang
setelah mencapai diam 10 - 20 mm. Juvenil A. planci akan hidup di antara puing-
puing karang dan nyaris tak terlihat sampai dengan umur 6 bulan (Suharsono,
1998).
Gambar 4. Tahapan daur hidup A. planci (Frasser et al, 2000)
14
A. planci memiliki daur hidup yang sama dengan Asteroidea lainnya. Larva
A. planci hidup bebas sebagai plankton yang disebut sebagai fase planktonik. Pada
fase ini larva–larva bipinaria berkembang menjadi larva-larva brachiolaria
kemudian akan mengalami metamorfosa atau fase perubahan bentuk selanjutnya
akan hidup sebagai hewan dewasa.
A. planci muda yang baru terbentuk pada awalnya hanya memilki 5 lengan
dan dua pasang kaki tabung pada tiap-tiap lengan serta tidak memliki mulut
(Birkeland dan Lucas, 1990). Setelah 7 bulan A. planci mulai mengalami
pertambahan lengan sampai organisme ini mencapai ukuran dewasa. A. planci akan
menjadi individu dewasa setelah mencapai diam tubuh sekitar 200 mm dengan
jumlah lengan sekitar 17 buah (Lucas, 1987).
Seluruh permukaan tubuh A. planci dilindungi duri-duri beracun yang jika
diamati sepintas tidak mungkin ada yang memangsanya. Namun, sejak berbentuk
telur hingga dewasa A. planci tidak pernah luput dari incaran predator
(Suharsono, 1998).
Oleh karena itu, A. planci tergolong organisme yang mudah dimangsa oleh
organisme yang dapat melokalisir mereka dan terlindung terhadap pertahanan
mereka. Kepiting karang dan beberapa spesies ikan diketahui memangsa A. planci
juvenil. Ada beberapa spesies ikan seperti ikan kerapu, ikan trigger dan ikan
napoleon yang pernah diamati memakan A. planci dewasa. Ikan-ikan ini
menghindari duri tubuh yang beracun dengan cara membalikan A. planci sehingga
bagian bawah menghadap atas dan mudah dimangsa (Fraser et al., 2000).
15
2.7. Faktor Lingkungan Abiotik
Faktor lingkungan abiotik akan memengaruhi kualitas air. Jika terjadi
sebuah gangguan pada kawasan dengan kualitas air yang menurun, maka akan
terjadi perpindahan fase dari komunitas yang didominasi oleh karang keras ke
komunitas yang didominasi oleh alga (Hughes, 2008). Faktor-faktor lingkungan
abiotik bagi kehidupan, distribusi, dan stabilitas ekosistem terumbu karang adalah
suhu perairan, salinitas, kecerahan atau kejernihan air, kecepatan arus, pH, dan
kadar oksigen terlarut (Nybakken dan Mark, 2005).
2.7.1. Suhu
Suhu air merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan karang.
Suhu air yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 25-29°C.
Sedangkan batas minimum dan maksimum suhu air berkisar antara 16-17°C dan
sekitar 36°C. Fluktuasi suhu air tinggi sekitar 30-33°C, mempunyai pengaruh pada
pigmentasi zooxanthellae, sehingga mengakibatkan karang berwarna putih
(bleaching) oleh karena lepasnya zooxanthellae dari jaringan karang
(Supriharyono, 2007).
Suhu air ekstrim akan mempengaruhi binatang karang dalam hal reproduksi,
metabolisme dan klasifikasi. Karang pembentuk terumbu memerlukan suhu air
yang agak tinggi yaitu diatas 20°C, dengan puncak pertumbuhan antara 25-30°C.
Pada umumnya terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu air
optimal, 25-29°C. Suhu air diluar kisaran tersebut masih dapat ditolerir oleh spesies
tertentu dari terumbu karang untuk dapat berkembang biak dengan baik. Suhu air
yang optimum akan memberikan simulasi metabolisme yang akhirnya hewan
16
karang tersebut dapat mensekresi zat kapur sebagai dasar pembentukan terumbu
(Dahuri et al., 2004).
2.7.2. Salinitas
Salinitas merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas
air laut daerah tropis rata-rata sekitar 35 ‰ dan binatang karang hidup subur pada
salinitas 34-36 ‰ (Supriharyono, 2007). Umumnya binatang karang merupakan
binatang laut sejati yang tidak dapat tumbuh dalam kisaran salinitas normal
(32-35‰). Meskipun mampu bertahan pada salinitas di luar kisaran tersebut,
namun pertumbuhannya kurang baik dibandingkan pada salinitas normal
(Nybakken, 1988). Pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat
bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan atau pengaruh alam,
seperti runoff, badai, hujan sehingga kisaran nilai bisa mencapai 17,5-52,5 ‰
(Supriharyono, 2007). Bahkan seringkali salinitas di bawah minimum dan di atas
maksimum tersebut karang masih bisa hidup, selain itu daya tahan karang terhadap
salinitas pada tiap jenisnya tidak sama.
2.7.3. Kecerahan
Kecerahan air memiliki korelasi penting dengan kedalaman karena seberapa
besar cahaya matahari mampu menembus kolom air tergantung dari dalamnya
perairan tersebut. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan
bersama dengan itu kemampuan karang menghasilkan kalsium karbonat dan
membentuk terumbu akan berkurang pula (Nybakken dan Mark, 2005). Menurut
penelitian yang dilakukan oleh COREMAP, menyatakan bahwa kecerahan air yang
17
optimal untuk pertumbuhan karang adalah lebih dari 5 m. Hal ini berkaitan dengan
intensitas cahaya yang diterima oleh terumbu karang untuk tumbuh dan
berkembang karena intensitas cahaya yang dapat diterima dasar perairan tidak
terlepas dari kejernihan air.
Keberadaan senyawa organik yang larut dalam air merupakan salah satu
makanan karang dan polip serta memegang peranan penting bagi beberapa karang
di dalam terumbu, tetapi zat hara yang berlebihan dapat merangsang pertumbuhan
alga sehingga menganggu pertumbuhan. Mengingat terumbu karang hermatip ik
hidupnya bersimbiosis dengan zooxanthellae yang melakukan proses fotosintes is,
maka pengaruh cahaya adalah penting sekali (Castro dan Huber, 2003).
Intensitas cahaya dipengaruhi oleh kedalaman, maka pembentukan terumbu
secara aktif dapat berlangsung pada kedalaman di bawah 25 m di perairan Indo-
Pasifik. Terumbu karang dapat tumbuh sampai kedalaman 40 m dan di bawah
kedalaman ini terumbu karang sangat sulit hidup karena lapisan air yang sangat
dingin dan lemahnya intensitas matahari namun kebanyakan tumbuh pada
kedalaman 25 m atau kurang (Castro dan Huber, 2003). Tanpa cahaya yang cukup,
laju fotosintesis akan berkurang pula, dimana intensitas cahaya matahari berkurang
antara 15-20% dari intensitas permukaan (Nybakken, 1988).
2.7.4. Arus
Arus adalah gerakan massa air yang mengalir. Gerakan air di permukaan
laut terutama disebabkan oleh angin yang bertiup di atasnya. Namun demikian,
selain faktor angin, arus laut juga dipengaruhi oleh bentuk topografi dasar laut dan
pulau-pulau di sekitarnya, gaya coriolis dan arus elemen (Dahuri et al., 2004).
18
Dikemukakan oleh Nontji (1993), sistem arus utama di dunia dihasilkan
oleh beberapa angin utama yaitu angin pasat Timur laut dan angin pasat tenggara.
Keadaan angin ini dipengaruhi oleh sistem tekanan udara di Asia dan Austra lia.
Angin musim bertiup secara mantap ke arah tertentu pada satu periode yang lain
angin bertiup dengan arah yang berlawananan.
Gelombang yang datang menuju pantai dapat menimbulkan arus pantai
(nearshore current) yang berpengaruh terhadap proses sedimentasi atau abrasi di
pantai (Dahuri et al., 2004). Pola arus pantai disebabkan oleh besarnya sudut yang
dibentuk antara gelombang yang datang dengan garis pantai. Apabila sudut datang
itu cukup besar, maka akan terbentuk arus menyusur pantai (long shore current)
disebabkan karena perbedaan tekanan hidrostatik (Dahuri et al., 2004)
2.7.5. pH
pH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen dalam perairan yang
menunjukkan tingkat keasaman dan basa. pH dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain aktivitas biologis seperti fotosintesis dan respirasi organisme, suhu dan
keberadaan ion-ion dalam perairan, dan aktivitas manusia seperti buangan limbah
industri dan limbah rumah tangga (Effendi, 2003).
Besaran nilai pH berkisar antara 0 – 14. Nilai pH kurang dari 7 menunjukkan
lingkungan yang asam sedangkan nilai pH diatas 7 menunjukkan basa. Untuk nilai
pH sama dengan 7 maka menunjukkan netral. Perairan dengan pH terlalu asam
maupun terlalu basa, dapat mengurangi produktivitas bahkan menyebabkan
kematian bagi organisme yang ada di perairan tersebut. Perairan laut maupun
19
pesisir memiliki pH relatif lebih stabil yaitu berkisar antara 7 – 8,4
(Nybakken, 1988).
2.7.6. Dissolved Oxygen (Oksigen Terlarut)
Oksigen yang dikenal dengan nama zat asam merupakan unsur yang sangat
berperan dalam proses kehidupan dan penghidupan yang normal di dunia ini. Tanpa
oksigen proses respirasi dari organisme tidak akan berjalan sehingga tentunya akan
diikuti oleh kematian. Begitu pula bahan bakar tidak akan terbakar, logam tidak
akan berkarat dan yang penting lagi zat-zat organik tidak akan terurai atau
mengalami pembusukan tanpa adanya oksigen (Azkab & M. Muchtar, 1998;
Timm, 1966).
Sumber terpenting oksigen adalah atmosfir dan hasil samping proses
fotosintesis tumbuhan air. Penambahan kandungan oksigen dalam air laut hanya
berlangsung pada lapisan-lapisan air permukaan melalui absorpsi atau proses difusi
dari atmosfir dan proses fotosintesis. Kecepatan masuknya oksigen dari udara
tergantung pada faktor kejenuhan air, temperatur dan juga pergerakan di udara
(angin) dan air yaitu arus, gelombang dan pasang surut (Raymont, 1963;
Reid, 1974)
Anikouchine & Stenberg (1973) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen
(dissolved oxygen) di laut bervariasi antara 0 - 9 mg/L. Di daerah permukaan agak
berkombinasi karena adanya pertukaran gas-gas di udara dan kegiatan tumbuhan
akuatik. Suplai oksigen pada daerah kedalaman yang jauh tidak efektif karena
kecilnya laju difusi molekuler dari oksigen tersebut.
20
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret – April 2015. Pengambilan
data dilakukan di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu dengan 4 stasiun pengamatan
yang ditentukan berdasarkan arah mata angin. Stasiun Selatan dengan koordinat
yaitu latitude 05o45’06.1” dan longitude 106o36’40.6”. Stasiun Timur dengan
koordinat yaitu latitude 05o44’53.7” dan longitude 106o37’10.6”. Stasiun Utara
dengan koordinat yaitu latitude 05o44’25.1” dan longitude 106o37’16.7”. Stasiun
Barat dengan koordinat yaitu latitude 05o44’52.0” dan longitude 106o36’38.4”.
Gambar 5. Peta lokasi Pulau Pramuka (Sumber: Citra Lansat)
05o44’50”
05o45’00”
21
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat tulis, DO meter, current
meter, dive set, GPS, kamera digital, kertas indikator pH, plastik sampel,
refractometer, roll meter, Secchi disk, termometer raksa, dan transek 50 m. Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu karang dan A. planci sebagai objek
pengamatan.
3.3. Prosedur Penelitian
Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu pertama dilakukan
penentuan titik sampel, lalu dilakukan pengukuran parameter lingkungan,
kemudian pengambilan data karang dan A. planci, setelah itu dilakukan analis is
data.
3.3.1. Penentuan Titik Sampling
Pada setiap stasiun (Utara, Barat, Selatan dan Timur), titik sampling
ditentukan dengan cara peneliti menyelam sejajar garis pantai untuk melihat
tutupan karang dan keberadaan A. planci, kemudian dicatat posisi geografisnya
menggunakan GPS dan dipasang penanda menggunakan pelampung agar tidak
terjadi perubahan posisi pada pengambilan data berikutnya (Ikhsan, et al., 2013).
3.3.2. Pengukuran Parameter Lingkungan
Parameter lingkungan/parameter fisik yang diukur meliputi suhu air,
kecerahan, DO, salinitas, pH, kecepatan arus dan kedalaman. Parameter lingkungan
22
diukur pada setiap titik sampling pengamatan dan dilakukan bersamaan dengan
pengambilan data terumbu karang dan A. planci.
3.3.3. Pengambilan Data Terumbu Karang dan A. planci
Pengambilan data terumbu karang dan A. planci menggunakan metode Line
Intercept Transect (LIT) (English et al., 1994). Panjang transek yang digunakan
yaitu 20 m. Data terumbu karang yang diambil yaitu data bentuk pertumbuhan
karang (life form) (Syahnilawati et al., 2013). Untuk data A. planci, diambil pada
titik pengamatan LIT dengan melakukan pemantauan secara langsung di sepanjang
garis transek dengan areal pemantauan 2,5 m di sisi kiri dan kanan transek garis
yang dapat dilihat pada Gambar 6 (Rani et al., 2013). Pengambilan data dilakukan
pada kedalaman 3 – 5 m dan 10 – 13 m (Rani et al., 2013), dengan tiga plot pada
masing-masing kedalaman.
Gambar 6. Plot Pengambilan Sampel Terumbu Karang dan Acanthaster planci
Pengambilan data dilakukan pada siang hari, dikarenakan kebiasaan makan
A. planci dilakukan pada siang hari (Ikhsan et al., 2013). Pengambilan data
dilakukan sekitar pukul 09.00 – 15.00 WIB pada seluruh stasiun.
2,5 m
2,5 m
20 m 20 m
5 m
Plot 1 Plot 2
5 m
70 m
20 m
Plot 3
23
3.4. Analisis Data
Persentase tutupan karang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (English et al., 1994):
Pc = (Li/Ltotal) x 100%
Keterangan:
Pc = Persentase tutupan (%)
Li = Panjang kategori lifeform ke-i (cm)
Ltotal = panjang transek (m)
Tutupan karang dapat dibagi menjadi empat kriteria (Gomez dan Yap, 1988)
seperti yang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kategori dan Persentase Tutupan Karang Hidup (Gomez dan Yap, 1988)
Kepadatan A. planci dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut
(Krebs, 1989):
D = n/A
Keterangan:
D = Kepeadatan spesies (individu/m2)
n = Jumlah total individu
A = Luas total transek (m2)
Kategori Tutupan Karang Hidup (%)
Rusak 0 – 24,9
Sedang 25 – 49,9
Baik 50 – 74,9
Sangat Baik 75 – 100
24
Kepadatan A. planci dikategorikan alami jika kepadatannya kurang dari
14 individu/1000m2 (0,014 individu/m2) dan ancaman jika kepadatannya lebih dari
14 individu/1000m2 (Endean, 1987).
3.3.1. Hubungan Antara Persentase Tutupan dengan Karang Kepadatan A.
planci
Hubungan antara persentase tutupan dengan karang kepadatan A. planci
dianalisis menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis).
Selain itu juga dilakukan analisis keterkaitan antara faktor lingkungan abiotik
terhadap persentase tutupan karang. Faktor abiotik tersebut yaitu suhu perairan,
kecepatan arus, kadar oksigen terlarut/dissolved oxygen (DO), kecerahan, dan pH.
Adapun hasilnya disajikan dalam bentuk grafik.
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Persentase Tutupan Karang di Pulau Pramuka
Jika persentase tutupan karang hidup dilihat berdasarkan titik sampling
penelitian, maka persentase tutupan karang hidup tertingi terdapat pada stasiun
Timur. Hasil ini dapat dilihat pada Gambar 7. Nilai persentase tutupan stasiun
Timur sebesar 46,20% pada rentang kedalaman 3 – 5 m, dan 46,65% pada rentang
kedalaman 10 – 13 m.
Gambar 7. Tutupan karang hidup di Pulau Pramuka
Stasiun Timur merupakan satu-satunya stasiun yang terdapat ekosistem
mangrove. Bagian Timur Pulau Pramuka memang difungsikan sebagai tempat
pembudidayaan mangrove sehingga sangat dijaga dari aktifitas manusia. Dengan
44.62
41.08
46.20 46.65
36.82
18.80
31.65 33.18
-
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
50.00
3-5m 10-13m 3-5m 10-13m 3-5m 10-13m 3-5m 10-13m
Barat Timur Utara Selatan
Ka
ran
g H
idu
p (%
)
Titik Sampling
26
minimnya aktifitas manusia, maka kemungkinan rusaknya ekosistem pun juga
kecil.
Keberadaan mangrove pada stasiun ini juga dapat mempengaruhi kondisi
terumbu karang. Mangrove dapat berfungsi menahan sedimen. Bentuk akar yang
bercabang-cabang dengan struktur yang rumit dan kompleks menyebabkan
mangrove memiliki kemampuan membentuk daratan baru dari sedimen yang masuk
(Hogarth, 2007). Hasil penelitian Zikrillah (2016) menyatakan bahwa rata-rata
kerusakan karang yang ditemukan adalah kerusakan yang diakibatkan oleh
sedimen. Dengan terperangkapnya sedimen pada mangrove, maka terjaga pula
karang dari proses sedimentasi.
Persentase tutupan karang hidup terendah pada rentang kedalaman 3 – 5 m
terdapat pada stasiun Selatan dengan nilai sebesar 31,65%. Hal ini diduga karena
pada saat itu arah arus mengalir dari Utara ke Selatan sehingga stasiun Selatan
merupakan stasiun yang mendapatkan hempasan arus permukaan dari semua
stasiun.
Seperti terlihat pada Gambar 8, gambar anak panah yang menggambarkan
arus, mengarah dari atas (Utara) ke arah bawah (Selatan). Arus tersebut membawa
limbah- limbah yang ada di sekitar pulau. Limbah- limbah inilah yang diduga
menjadi penyebab pencemaran air sehingga menggangu kondisi terumbu karang.
Karang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya, curah hujan yang
tinggi, dan aliran permukaan dari daratan (mainland runoff) dapat membunuh
karang melalui peningkatan jumlah sedimen (Westmaccot et al., 2000).
27
Gambar 8. Arah arus di kepulauan Seribu, Jakarta pada bulan Maret 2015 (sumber: citra satelit http://www.oscar.noaa.gov/)
Sementara itu, pada rentang kedalaman 10 – 13 m, nilai persentase tutupan
karang hidup terendah terdapat pada stasiun Utara dengan nilai sebesar 18,80%.
Nilai tersebut menunjukkan persentase tutupan karang hidup di stasiun Utara pada
rentang kedalaman 10 – 13 m termasuk kedalam kategori buruk (Gomez dan Yap,
1988 dalam Fachrul, 2008). Buruknya persentase tutupan karang dibagian Utara
ini, diduga disebabkan karena bagian Utara merupakan jalur lalu lintas kapal.
Limbah bahan bakar kapal dapat menjadi polutan yang menyebabkan penurunan
kualitas perairan sebagai habitat karang.
Pada stasiun Barat, persentase tutupan karang termasuk dalam kategori
sedang, baik pada rentang kedalaman 3 – 5 m maupun 10 – 13 m. Stasiun ini
memiliki aktifitas manusia yang cukup tinggi karena merupakan area dermaga,
warung makan, serta sarana hiburan bagi wisatawan. Namun pada stasiun Barat ini,
28
terdapat zona transplantasi karang yang sangat dijaga kondisi perairannya oleh
Taman Nasional Kepulauan Seribu.
Transplantasi karang akan membawa dampak positif bagi persentase
tutupan karang dan ekosistem di sekitarnya. Hasil penelitian Putri (2014),
menunjukkan bahwa setelah transplantasi karang dilakukan selama empat bulan,
terlihat dampak dari transplantasi karang tersebut. Dampak tersebut yaitu
banyaknya biota laut yang datang dan tinggal pada tempat transplantasi karang.
Dari hasil rata-rata tutupan karang tiap stasiun, diperoleh persentase tutupan
karang hidup di Pulau Pramuka yaitu sebesar 37,38%. Hasil ini tidak jauh berbeda
dengan hasil penilitian Efrinawati (2012) yang mendapati persentase tutupan
karang di Pulau Pramuka sebesar 31,27%. Kriteria persentase ini termasuk dalam
kriteria dengan kategori sedang yaitu berkisar antara 25% hingga 49,9% (Gomez
dan Yap, 1988). Dari data tersebut, terlihat juga bahwa adanya peningkatan
persentase tutupan karang di Pulau Pramuka. Hal ini disebabkan karena adanya
program transplantasi karang yang dilakukan oleh pihak Balai Taman Nasional
Kepulauan Seribu (Lampiran 15).
Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi presentase tutupan karang adalah
aktifitas manusia. Taman Nasional Kepulauan Seribu (2004) menetapkan Pulau
Pramuka sebagai pulau dengan peruntukan pemukiman dan wisata. Kawasan
pemukiman dan wisata memiliki aktifitas manusia yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kawasan wisata yang hanya diperuntukan sebagai lokasi pariwisata dan
kawasan inti yang secara mutlak tidak diperbolehkan adanya aktifitas manusia
(Zikrillah, 2016).
29
Hal ini didukung dari hasil penelitian Banata (2015) yang dilakukan di Pulau
Air Kepulauan Seribu. Pulau Air merupakan pulau dengan aktivitas manusia sedikit
dikarenakan pulau ini tidak berpenghuni. Persentase tutupan karang di pualu ini
yaitu 44,21 %. Persentase ini lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Pramuka
yang memiliki fungsi peruntukan sebagai pemukiman dan tempat wisata.
Menurut Hughes (2008), kategori utama dari aktifitas manusia yang
mempengaruhi karang adalah overfishing, coral harvesting, dan dampak rekreasi.
Beberapa aktifitas manusia yang terjadi di Pulau Pramuka berupa kegiatan
pariwisata bawah air seperti penyelaman yang tidak memperhatikan lingkungan
terumbu karang, penangkapan ikan dengan menggunakan kalium sianida (KCN)
serta penambangan pasir dan karang (Manullang et al, 2014).
Karang memiliki berbagai variasi bentuk pertumbuhan (lifeform).
Berdasarkan bentuk pertumbuhan (life form), karang hidup di Pulau Pramuka terdiri
atasa Acropora Branching, Acropora Digitate, Acropora Submassive, Acropora
Tabulate, Coral Branching, Coral Encrusting, Coral Foliose, Coral Massive, Coral
Mushroom, Coral Submassive dan Soft Coral.
Pada Gambar 9, dapat terlihat bahwa bentuk pertumbuhan yang paling
banyak ditemukan yaitu coral massive (CM) dengan persentase rata-rata 11,42%.
Hal ini dikarenakan CM memiliki ukuran yang besar dan struktur yang lebih kokoh
dibanding bentuk pertumbuhan lainnya sehingga lebih tahan terhadap tekanan arus
yang cukup besar. Menurut Supriharyono (2007), CM memiliki ketahanan yang
paling toleran terhadap kenaikan suhu. Edinger dan Risk (2000) menyatakan bahwa
CM lebih toleran terhadap sedimentasi dan eutrofikiasi.
30
Selain memiliki ketahan yang lebih kuat, karang dengan bentuk
pertumbuhan CM merupakan karang yang kurang disukai oleh predator karang
yaitu Acanthaster planci. Bentuk pertumbuhan yang paling disukai A. planci pada
semua genus karang adalah tabular dan yang kurang disukai adalah bentuk
pertumbuhan masif (Moran, 1990).
Gambar 9. Tutupan karang keras di Pulau Pramuka
Karang keras dan karang lunak bukanlah satu-satunya yang menghuni
ekosistem terumbu karang. Terdapat komponen lain yang menyusun ekosistem
terumbu karang antara lain abiotik dan biotik. Komponen abiotik terdiri atas pasir,
batu, karang mati dan patahan karang. Komponen biotik terdiri atas karang hidup
dan biota lain seperti alga, Echinodermata, Porifera, Zoanthid dan Ascidian.
Keterangan ACT Acropora Tabulate ACB: Acropora Branching ACD: Acropora Digitate
ACS: Acropora Submassive CB: Coral Branching CE: Coral Encrusting
CF: Coral Foliose CM: Coral Massive CMR: Coral Mushroom
CS: Coral Submassive SC: Soft Coral
-
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
3-5m 10-13m 3-5m 10-13m 3-5m 10-13m 3-5m 10-13m
Barat Timur Utara Selatan
Ben
tuk
Per
um
bu
ha
n (
%)
Titik Sampling
ACT ACB ACD CB CE CF CM CMR CS SC
31
Berdasarkan Gambar 10, dapat diketahui perbedaan persentase tutupan
substrat dasar di Pulau Pramuka. Substrat dasar tertutupi oleh komponen biotik
seperti alga, antara lain Halimeda sp., Padina sp., dan Sargassum sp. yang berkisar
antara 0 – 7,13%, dan biota lain yang berkisar antara 3,90 – 24,13%. Komponen
abiotik yang menutupi substrat dasar meliputi karang mati, yang berkisar antara
5,62 – 46,32%, dan abiotik lain seperti batu, pasir, dan patahan karang, yang
berkisar antara 0 – 24,92%.
Gambar 10. Tutupan substrat dasar di Pulau Pramuka
Persentase tutupan karang mati yang tinggi menimbulkan dugaan bahwa
tekanan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dan perubahan lingkungan sudah
berlangsung cukup lama. Pulau pramuka memang merupakan pulau dengan
aktivitas manusia cukup tinggi. Hal ini terlihat dari peruntukan Pulau Pramuka yang
-
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
3-5m 10-13m 3-5m 10-13m 3-5m 10-13m 3-5m 10-13m
Barat Timur Utara Selatan
Tutu
pa
n S
ub
sta
r (%
)
Titik Sampling
Abiotik Alga Biota Lain Karang Keras Karang Lunak Karang Mati
32
ditetapkan sebagai zona wisata dan pemukiman Taman Nasional, yang juga
merupakan pusat pemerintahan dan perumahan (BTNKpS, 2007).
4.2. Kepadatan Acanthaster planci di Pulau Pramuka
Pada penilitian ini, A. planci di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu hanya
ditemukan satu ekor. A. planci ditemukan di stasiun Utara pada kedalaman 5 m.
Menurut Vogler, et al. (2012), A. planci lebih sering ditemukan pada kedalaman
3 – 5 m. Hasil penelitian Suharsono (1991) di Kepulauan seribu juga menyatakn
bahwa A. planci dewasa pada umumnya dijumpai pada kedalaman 3 – 5 m. Dapat
dilihat pada Gambar 11, substrat yang dihinggapi A. planci yang ditemukan yaitu
rubble atau kumpulan patahan karang.
Hasil pengukuran suhu pada stasiun Utara kedalaman 3-5 m ini yaitu
28,67°C. Suhu ini masih termasuk dalam batasan suhu optimal untuk A. planci.
Suharsono (1991) menyatakan bahwa suhu optimal untuk pertumbuhan A. planci
berkisar antara 26-28°C. A. planci memiliki batas toleransi suhu maksimum 33°C
dan batas toleransi suhu minimum 14°C.
Kepadatan A. planci didapat dari hasil perhitungan jumlah total individu
dibagi dengan luas total transek (Krebs, 1989). Berdasarkan analisis tersebut maka
kepadatan A. planci di Pulau Pramuka yaitu 0,0004 individu/m2. Menurut Endean
(1987), kepadatan A. planci termasuk dalam kategori mengancam jika
kepadatannya lebih dari 14 individu/1000m2 (0,014 individu/m2). Hal itu
menunjukkan bahwa kepadata A. planci di Pulau Pramuka termasuk ke dalam
kategori alami.
33
Kepadatan yang tergolong alami ini berguna bagi ekosistem terumbu karang
di Pulau Pramuka, yaitu memberi kesempatan bagi karang yang pertumbuhannya
lambat, seperti karang masif, untuk hidup dan berkembang. Manfaat lainnya
menurut Ikhsan et al. (2013) adalah, kerangka karang yang mati akibat pemangsaan
A. planci dapat menjadi tempat bagi larva dan spora penghuni ekosistem terumbu
karang lainnya.
Gambar 11. Acanthaster planci yang ditemukan di Pulau Pramuka (Lingkaran jingga)
Pada stasiun Barat dengan rentang kedalaman 3 – 5 m ditemukan karang
dengan bentuk pertumbuhan Acropora Tabulate (ACT) yang diduga telah dimakan
A. planci, namun tidak nampak individu A. planci disekitar karang tersebut.
Kemungkinan A. planci tersubut bersembunyi di bawah karang sehingga luput dari
34
pengamatan. A. planci memang menyukai tempat yang terlindung seperti di bawah
bongkah-bongkah karang (Moran 1990).
Gambar 12. Karang pertumbuhan tabular yang diduga terkena dampak
pemangsaan A. planci (Tanda panah merah menunjukkan bagian yang diduga dimangsa)
Bentuk pertumbuhan karang tabulate atau tabular memang merupakan
bentuk pertumbuhan yang paling disukai oleh A. planci. Hal ini diperkuat dengan
hasil penelitian Rani et al. (2007). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
A. planci lebih memilih memangsa karang keras dengan bentuk pertumbuhan
tabular. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Moran (1990) yang menyatakan
bahwa bentuk pertumbuhan karang juga turut mempengaruhi preferensi makanan
dari A. planci. Bentuk pertumbuhan yang paling disukai pada semua genus karang
adalah tabular dan yang kurang disukai adalah bentuk pertumbuhan masif. Moran
35
(1990) juga menyatakan bahwa hasil penelitian yang dilakukan di Great Barrier
Reef Australia, genus karang keras yang paling disukai untuk dimangsa oleh A.
planci adalah dari genus Acropora dan yang paling tidak disukai adalah genus
Porites.
Melihat dari data persentase tutupan karang keras di Pulau Pramuka, bentuk
pertumbuhan karang tabular memiliki persentase yang rendah yaitu dengan rata-
rata 1,30% pada rentang kedalaman 3 – 5 m dan 0.33% pada rentang kedalaman
10 – 13 m. Presentase tertinggi untuk bentuk pertumbuhan karang tabular berada
pada stasiun Barat dengan rentang kedalaman 3 – 5 m yaitu sebesar 5,22%.
Rendahnya persentase bentuk pertumbuhan karang tabular ini bisa juga menjadi
penyebab hanya ditemukannya satu individu A. planci di Pulau Pramuka Kepulauan
Seribu.
4.3. Hubungan Persentase Tutupan Karang dengan Keberadaan A. planci
dan Parameter Fisik Lingkungan
Untuk melihat keterkaitan antara persentase tutupan karang dengan
keberadaan A. planci, maka dilakukan analisis statistika yaitu Principal Component
Analysis (PCA) menggunakan perangkat lunak SPSS Ver. 20. Terdapat beberapa
parameter yang berkontribusi dalm pembentukan grafik pada Gambar 13.
Parameter tersebut antara lain karang mati, kepadatan A. planci, oksigen
terlarut/dissolve oxygen (DO), kecerahan, suhu, arus, pH, salinitas, dan karang
hidup.
Hasil analisis PCA menunjukkan kepadatan A. planci dengan persentase
tutupan substrat oleh karang mati memiliki nilai korelasi 0,723. Dapat dilihat pada
36
lampiran 12 dalam tabel matriks korelasi. Data ini menunjukkan bahwa kepadatan
A. planci memiliki peranan berkaitan dengan persentase tutupan substrat oleh
karang mati.
Gambar 13. Grafik Principal Component Analysis dan tabel nilai matriks komponen hubungan persentase tutupan karang, kepadatan
Acanthaster planci, dan parameter lingkungan perairan
Dari grafik PCA pada Gambar 13, dapat terlihat garis antara karang mati
dengan A. planci sangat berdekatan, dengan nilai komponen karang mati sebesar
0,537 dan nilai komponen A. planci 0,800. Untuk nilai matriks korelasi antara A.
planci dengan karang mati yaitu sebesar 0,723. Dapat dilihat pada Lampiran 12.
Karang keras adalah makanan utama A. planci, namun A. planci juga dapat
37
memangsa beberapa jenis organisme bentik lainnya, tergantung dari faktor
ketersediaan makanan (Moran, 1986).
Penilitian Rani et al. (2007) mendapati bahwa laju predasi dari A. planci
adalah sebesar 1,345 – 2,495 m2/hari/individu. Penelitian tersebut dilakukan di
Pulau Baranglompo, Makassar dengan mengkondisikan individu-individu A. planci
dalam suatu kurungan 2x2 m2 sehingga dapat diketahui preferensi dan laju
predasinya.
Hasil analisis PCA juga menunjukkan pengaruh antara suhu dengan
persentase tutupan karang. Dapat terlihat pada Lampiran 12, Nilai matriks korelasi
suhu dengan persentase tutupan karang tutupan hidup yaitu 0,578. Dan nilai matriks
suhu dengan persentase tutupan karang mati yaitu -0,823.
Sumbu yang terbentuk pada grafik menunjukkan bahwa persentase tutupan
karang hidup dicirikan dengan adanya suhu optimal pada perairan yang merupakan
salah satu komponen pembentuk grafik dengan nilai komponen persentase tutupan
karang hidup sebesar 0,851 dan nilai komponen suhu sebesar 0,896.
Sensitivitas terumbu karang terhadap suhu dibuktikan dengan dampak yang
ditimbulkan oleh perubahan suhu akibat pemanasan global yang melanda perairan
Indonesia pada tahun 1998, yaitu terjadinya pemutihan karang yang diikuti dengan
kematian karang. Tercatat bahwa selama peristiwa pemutihan karang tersebut, suhu
rata-rata permukaan air sekitar gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu adalah 2oC –
3oC di atas suhu normal (Suharsono, 1999).
Dari hasil pengukuran parameter lingkungan pada penelitian ini, suhu di
perairan pulau Pramuka berkisar antara 28,69oC – 29.05oC. Seperti disebutkan di
38
atas, terumbu karang tumbuh optimal pada laut bersuhu hangat, tidak pada perairan
dengan musim dingin jauh di bawah 20oC (Romimohtarto dan Sri, 2007).
Terumbu karang umumnya dapat menyebar dalam kondisi perairan dengan
suhu berkisar antara 23oC – 28oC untuk kondisi yang optimal, meskipun masih
dapat berkembang pada suhu yang dapat ditolelir kira-kira 36oC – 40oC (Nybakken
dan Mark, 2005). Ramli (2003) menyatakan bahwa terumbu karang tidak dapat
berkembang pada suhu tahunan di bawah 18oC dan akan optimal pada perairan yang
rata-rata suhu tahunannya 25oC – 29oC.
Perkembangan mengenai pengaruh suhu terhadap karang lebih lanjut
dilaporkan bahwa suhu yang mematikan karang bukan hanya karena suhu yang
ekstrim, namun juga karena perbedaan perubahan suhu secara mendadak.
Perubahan suhu secara mendadak sekitar 4oC – 6oC di bawah atau di atas suhu
biasanya, dapat menghambat pertumbuhan karang bahkan mematikannya
(Neudecker, 2001).
Tidak jauh berbeda dengan yang dinyatakan KMNLH (2004), bahwa karang
memiliki daya toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu. Beberapa spesies
tidak dapat mentoleransi perubahan suhu lebih dari 5oC dalam waktu yang lama
karena dapat menimbulkan pemutihan karang yang sangat merusak karang.
Parameter berikutnya yang berkontribusi dalam pembentukan grafik PCA
yaitu kecepatan arus. Kecepatan arus perairan Pulau Pramuka berkisar antara
0,26 m/s – 0,33 m/s. Kecepan arus memiliki nilai komponen terbesar pada hasil
PCA yaitu -0,969. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan arus merupakan
komponen yang paling mencirikan persentase tutupan karang. Arus diperlukan
dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai makanan berupa
39
mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses pembersihan dari endapan-
endapan material dan menyuplai oksigen yang berasal dari laut lepas.
Oleh karena itu sirkulasi arus sangat berperan penting dalam proses transfer
energi (Dahuri et al., 2004).
Parameter lainnya yang berkontribusi dalam pembentukan grafik PCA yaitu
kadar oksigen terlarut atau dissolve oxygen (DO). Kadar oksigen terlarut memilik i
nilai komponen pada PCA sebesar 0,949. Hasil pengukuran kadar oksigen terlarut
pada perairan Pulau Pramuka berkisar antara 7,67 mg/L – 7,9 mg/L. Kadar oksigen
terlarut ini termasuk sesuai dengan standar baku air laut yaitu lebih dari 5 mg/L
(KMNLH, 2004). Oksigen terlarut diperlukan oleh hampir semua bentuk kehidupan
akuatik untuk proses pembakaran dalam tubuh. Oksigen dihasilkan oleh proses
fotosintesis dari tumbuhan-tumbuhan dan diperlukan bagi pernafasan
(Romimohtarto, 2007).
Kemudian parameter yang berkontribusi dalam pembentukan grafik PCA
lainnya yaitu salinitas. Salinitas pada hasil PCA memiliki nilai komponen sebesar
-0,851. Hasil pengukuran salinitas di perairan Pulau Pramuka berkisar antara
31,1‰ – 32‰. Salinitas berpengaruh terhadap kemampuan osmoregulasi suatu
organisme. Terumbu karang dapat bertahan hidup pada salinitas laut normal yaitu
31‰ – 35‰, namun ada beberapa jenis yang mampu hidup di perairan yang
salinitasnya mencapai 42 ‰ (Nybakken dan Mark, 2005).
Parameter selanjutnya yang berkontribusi dalam pembentukan grafik PCA
adalah pH. pH memiliki nilai komponen sebesar -0,781. Nilai pH di perairan Pulau
Pramuka berkisar antara 7,33 – 7,7. Nilai pH tersebut mendukung pertumbuhan
terumbu karang. Hal ini sesuai dengan Keputusan Kementrian Lingkungan Hidup
40
No. 51 tahun 2004 yaitu nilai derajat keasaman (pH) yang layak bagi biota laut
berkisar antara 7 – 8,5. Perairan dengan pH terlalu asam maupun terlalu basa, dapat
mengurangi produktivitas bahkan menyebabkan kematian bagi karang yang ada di
perairan tersebut (Nybakken, 1998).
Parameter lainnya yang berkontribusi dalam pembentukan grafik PCA yaitu
kecerahan dengan nilai komponen nilai komponen sebesar 0.759. Kecerahan
perairan di Pulau Pramuka mencapai kedalaman 17,50 – 21,02 m. Hasil pengukuran
ini menunjukkan bahwa kondisi perairan pada saat itu sangat jernih sehingga
penetrasi cahaya dapat mencapai kedalaman 21 m. Karang sangat memerlukan
penetrasi cahaya dikarenakan alga simbionnya, yaitu zooxanthellae sangat
bergantung pada cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis (Castro dan Huber,
2003). Tanpa penetrasi cahaya yang cukup, fotosintesis zooxanthellae akan
berkurang bersamaan dengan berkurangnya kemampuan karang dalam
mensekresikan CaCO3 (Nybakken dan Mark, 2005).
41
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Pulau Pramuka Kepulauan Seribu
memiliki persentase tutupan karang hidup termasuk kategori sedang dengan
presentase 37,38% dan kepadatan Acanthaster planci yang termasuk dalam
kategori alami. Berdasarkan hasil PCA, A. planci termasuk salah satu komponen
utama yang memengaruhi persentase tutupan karang.
5.2. Saran
Perlunya dilakukan penelitian secara berkala tentang persentase tutupan
karang serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pemantauan terhadap predator
karang seperti A. planci juga perlu dilakukan secara berkala untuk mencegah
terjadinya ledakan populasi sehingga ekosistem tetap terjaga.
42
DAFTAR PUSTAKA
Anikouchine, W. A., & R. W. Sternberg. (1973). The World Ocean, on Introduction to Oceanography. London: Prentice-Hill Inc.
Aziz, A. (1995). Beberapa Catatan Tentang Kehadiran Bintang Laut Jenis Acanthaster planci di Perairan Indonesia. Oseana, 20(2), 23-31.
Azkab, M. H., & M. Muchtar. (1998). Sebarapa Jauh Peranan Oksigen di Laut. Oceana, 23(1), 9-18, ISSN: 0216-1877.
Birkeland, C., & Lucas, J. S. (1990). Acanthaster planci: Major Management
Problem of Coral Reef. Boston: CRC Press.
Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (BTNKpS). (2007). Jenis-jenis Karang
Hias Hasil Transplantasi yang Diperdagangkan di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Jakarta. Departemen Kehutanan.
Bachtiar, I. (2009). Bintang Laut Mahkota Duri. Mataram: Pusat Penlitian Pesisir
dan Laut Universitas Mataram.
Borneman E. (1998). Getting Up-To-Date on Zooxanthellae. www.aquarium.net/
0998/0998. Dikunjungi tanggal 16 Maret 2013.
Carpenter, K. E., Barber, P., Crandall, E. D., Ablan-Lagman, M., & Ambariyanto, et al. (2011). Comparative Phylogeography of the Coral Triangle and
Implications for Marine Management. Journal of Marine Biology, 11, 14.
Castro, R. & Huber, M. E. (2003). Marine Biology. Fourth Edition. McGraw-Hill,
A Business Unit of the McGraw-Hill Companies, New York: Inc 1221.
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, P. S., Sitepu, J. (2004). Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.
De Vantier, L. M. I. (1996). Decadal Regional Decline of Coral Reefs of The Thousand Islands, Indonesia: A Case Study in Human Impact. Report on the
Coral reef management workshop for Pulau Seribu, 12, 95.
Dhahiyat, Y., Sinuhaji, & H. Hamdani. (2003). Struktur Komunitas Ikan Karang di Daerah Transplantasi Karang Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jurnal Iktiologi
Inedwarsia, 3(2), 87-94.
Edinger, E. N., J. Kolasa, & M. J. Risk. (2000). Biogeographic Variation in Coral
Species Diversity on Coral Reefs in Three Regions of Indonesia. Diversity and Distribution, 6(3): 113-127.
Edinger, E. N. & M. J. Risk. (2000). Reef Classification by Coral Morphology
Predicts Coral Reef Conservation Value. Biological Conservation, 92, 1-13.
43
Effendi, H. (2003). Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Erdmann, M. V. (1995). Destructive Fishing Practices in the Pulau Seribu
Archipelago. In Soemodihardjo, S. (Eds.), Prosiding Coral Reef Evaluation Workshop Pulau Seribu (pp. 84-89). Jakarta, Indonesia.
Efrinawati. (2012). Kondisi Terumbu Karang di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau
Panggang, Taman Nasional Kepulauan Seribu (Skripsi, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah). Jakarta.
Endean, R. (1987). Acanthaster planci Invasion. In B. salvat (Eds.). Human Impact on Coral Reefs: Facts and Recommendations, Antenne Museum E.P.H.E. Australia: French Polynesia.
English, S., C. Wilkinson, & V. Baker. (1994). Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal
Resources. Townsvile: Australia Institute of Marine Science.
Moran, P. J., Reichelt, R. E., Bradbury, R. H. (1990). Acanthaster planci Biographical Data. Coral Reefs, 9(4), 95-96.
Fachrul, M. F. (2008). Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.
Frasser, N., Crawford, B. R., & Kusen, J. (2000). Best Practices Guiude for Crown
of Thorns Cleans Ups. Jakarta:.CRMP Indonesia.
Giyanto, et al. 2017. Status Terumbu Karang Indonesia 2017. Jakarta: Puslit Oseanografi – LIPI.
Gomez, E. D., & H. T. Yap. (1988). Monitoring Reef Condition. In Kenchington, R. A., & Hudson E.T. (Eds.), Coral Reef Managamenet Hand Book . Jakarta:
UNESCO Regional Office fo Science and Technology for South East Asia (ROSTSEA).
Grimsditch, G. D., & R. V. Salm. (2006). Coral Reef Resilience and Resistance to
Bleaching. Gland, Switzerland: IUCN.
Hoegh-Guldberg, O., & J. F. Bruno. (2010). The Impact of Climate Change on The
World’s Marine Ecosystems. Science, 328, 1523–1528.
Hogarth, P. J. (2007). The Biology of Mangroves and Seagrasses. New York: Oxford University Press.
Hughes, T. P. (2008). Human Impact on Coral Reefs. In P. Hutchings, M. Kingsford, & O. Hoegh-Guldberg (Eds.), The Great Barrier Reef: Biology,
Environment and Management (pp 85-94). Collingwood, Australia: CSIRO Publishing.
44
Ikhsan, N., B. Sadarun, dan R. Ketjulan. (2013). Kelimpahan Acanthaster planci
pada Perairan Terumbu Karang di Pulau Bero, Selat Tiworo, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Jurnal Mina Laut Indonesia 02(06), ISSN: 2303-
3959.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut.
Krebs, T. (1989). Ecology The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York: Harper and Row.
Lane, D. J. W. (1996). A crown-of-thorns outbreak in the eastern Indonesian Archipelago. Coral Reefs, 15, 209-210.
Lucas, J. (1987). Life History. The Crown of Thorns Starfish, Queensland :
Australian Science Magazine, Issue 3.
Manullang, J. C., Hartoni, & Heron, S. (2014). Analisis Perubahan Luasan
Terumbu Karang dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh di Perairan Pulau Pramuka Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Jurnal Maspari 6 (2), Indralaya: Universitas Sriwijaya.
Moran, P. J. (1986). The Acanthaster planci Phenomenon. Oceanography and Marine Biologi Annual Review, 24: 379:480
Moran. P. J. (1990). The Acanthaster planci Biographical Data. Coral Reefs, 9, 95- 96.
Neudecker, S. (2001). Growth and Survival of Scleractinian Coral Exposed to
Thermal Effluents at Guam. Proceeding 4th International Coral Reef Symposium, 1, 173-180. Manila.
Nontji, A. (1993). Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.
Nybakken, J. W. (1988). Marine Biology: An Ecological Approach. Harper and Row Publishers: New York. Jakarta: Gramedia.
Nybakken, J. W., & Mark, D. B. (2005). Marine Biology: An Ecological Approach. California: The University of California.
Putri, L. S. E., & Fahri, F. (2014). Corals Transplantation Using Rack and Substrate Method at Badul Island Ujung Kulon, Indonesia. Proc. of the Intl. Conf. on Advances In Bio-Informatics, Bio-Technology And Environmental
Engineering-ABBE. ISBN: 978-1-63248-009-5
Rani, C., Yusuf, S., & Benedikta, F. D. S. (2007). Preferensi dan Daya Predasi
Acanthaster planci Terhadap Karang Keras. Jurnal Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar.
45
Rani, C., A. Dahlan, & A. Asmara. (2010). Status Ekologi Kepadatan Predator
Karang Acanthaster planci: Kaitannya Dengan Tutupan Karang di Perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi. Jurnal Universitas Hassanudin
Makassar: Makassar.
Raymont, J. E. G. (1963). Plankton and Pro-ductivity in the Oceans. Oxford: Pergamon Press.
Reid, J. L. (1974). Deep Ocean Circulation. In Vetter, R. C. (Eds.), Voice of America (pp 225 – 239). Washington.
Romimohtarto, K., & Sri Juwana. (2007). Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Jakarta: Djambatan.
Saeni, S. (1989). Pertumbuhan dan produksi lamun Enhalus acoroides (L.f) Royle
di rataan terumbu Pulau Pramuka dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI.
Spalding, M. D., C. Ravilious, & E. P. Green. (2001). World atlas of coral reefs. UNEP-WCMC.
Subhan, B., D. Arafat, G. Andono, Mursalin, dan H. Madduppa. (2008). Kajian
Tutupan Substrat Dasar di Daerah Teerumbu Karang di Pulau Karang Beras, Pulau Air, Pulau Panggang, dan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta. Prosiding Seminar dan Konferensi Nasional Bidang Pemanfaatan Sumberdaya Perairan. Malang: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya.
Suharsono. (1998). Kesadaran Masyarakat tentang Terumbu Karang (Kerusakan Karang di Indonesia). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi –LIPI.
Suharsono. (1999). Bleaching Event Followed by Mass Mortality of Corals in 1998 in Indonesian Waters. Proceeding Ninth Joint Seminar on Marine and
Fisheries Sciences, 179-187.
Suharsono. (2004). Jenis-jenis Karang di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelit ian
Oseanografi – LIPI.
Suharsono. (2014). Biodiversitas Biota Laut Indonesia. Jakarta: Pusat Penelit ian Oseanografi – LIPI
Sukmara, A. J., & Siaharnenia, R. (2001). Panduan Pemantauan Terumbu karang Berbasis-Masyarakat dengan metode Manta Tow. Jakarta: CRMP.
Supriharyono. (2007). Konservasi Sumber Daya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suwignyo S., et al. (2005). Avertebrata Air. Jakarta: Penebar Swadaya.
46
Syahnilawati, B. Sadarun, & R. Ketjulan. (2013) Kelimpahan Acanthaster planci
pada Perairan Terumbu Karang di Pulau Santigi Selat Tiworo Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Jurnal Mina Laut Indonesia, 3(12).
Timm, J. A. (1966). General Chemistry. New York: McGraw-Hill Book Co.
Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, & M. K. Moosa. 1997. The ecology of Indonesian Seas. Periplus, Java Book. 7 (1), 642 hlm.
Vogler, C., Benzie, J., Barber, P. H., Erdmann, M. V., & Ambariyanto. (2012). Phylogeography of the Crown-of-Thorns. Starfish in the Indian Ocean,
7(8), 371-499.
Westmaccot, S., Teleki, K., Wells, S., & West, J. (2000). Management of Critical
and Bleached Coral Reef. England: Oxford University.
Yusuf, S. (2008). Fenomena Ledakan Acanthaster planci dan Pola Pemangsaan
pada Karang Kerasdi Pulau Kapoposang, Sulawesi Selatan. Prosiding SimposiumNasional Terumbu Karang II, 235-243. ISBN: 978-979-1267-64-
9.
Zikrillah, R. B. (2016). Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Pada Zona Yang
Berbeda di Kepulauan Seribu (Skripsi, Fakultas Sains dan Teknologi Program Studi Biologi UIN Syarif Hidayatullah). Jakarta.
47
LAMPIRAN
Lampiran 1. Parameter Lingkungan Pulau Pramuka
Lampiran 2. Koordinat Stasiun Pengambilan Data
Stasiun Latitude Longitude
Selatan 05 45’06.1” 106
Timur 05 44’53.7” 106
Utara 05 44’25.1” 106
Barat 05 44’52.0” 106
No. Waktu Stasiun Kedalaman
(m) Suhu (oC)
Kecerahan (m)
Salinitas (‰)
DO (mg/L)
pH Kecepatan
Arus (m/det)
1. 24/03/2015 08:21 WIB
Barat 3-5 29.07
21.02 31.3 7.9 7.33
0.28 10-13 29.03 31.54 7.7 7.33
2. 19/03/2015 09:30 WIB
Selatan 3-5 28.67
17.50 31.33 7.83 7.33
0.33 10-13 28.83 32 7.67 7.67
3. 19/03/2015
11:30 WIB Timur
3-5 28.77 19.90
31.77 7.9 7.33 0.31
10-13 28.73 31.67 7.7 7.33
4. 19/03/2015
14:00 WIB Utara
3-5 28.67 20.13
31.1 7.9 7.67 0.26
10-13 28.7 31.4 7.73 7.7
48
Lampiran 3. Kategori Bentuk Pertumbuhan Karang (English et al, 1994)
Kategori Kode
Hard Coral:
Dead Coral DC
Dead Coral with Algae DCA
Acropora Branching ACB
Encrusting ACE
Submasive ACS
Digitate ACD
Tabulate ACT
Non Acropora Branching CB
Encrusting CE
Foliose CF
Massive CM
Submassive CS
Mushroom CMR
Miliepora CME
Heliopora CHL
Other Fauna:
Soft Coral SC
Sponges SP
Zoanthids ZO
Others OT
Algae Algae Assemblage AA
Coralline Algae CA
Halimeda HA
Macroalgae MA
Turf Algae TA
Abiotic Sand S
Rubble RB
Silt SI
Water WA
Rock RCK
49
Lampiran 4. Persentase tutupan karang keras dan tutupan substrat dasar di Pulau
Pramuka stasiun Barat kedalaman 3 – 5 m
Kategori Persentase Tutupan (%)
Rata-rata Plot 1 Plot 2 Plot 3
RB 10.1 28.8 16.6 18.50
S 15.6 3.65 0 6.42
MA 3.65 0 17.75 7.13
OT 5.3 22.9 24.95 17.72
SP 0 0 0 0.00
ACT 15.65 0 0 5.22
ACB 1.5 5.5 0 2.33
ACD 0 0 0 0.00
CB 4.2 1.4 0 1.87
CE 5.6 0.6 3.6 3.27
CF 4.6 0 0 1.53
CM 4.4 35.15 34.65 24.73
CMR 12.4 0 0 4.13
CS 3.1 0 0 1.03
SC 1.5 0 0 0.50
DC 0 0 0 0.00
DCA 12.4 2 2.45 5.62
50
Lampiran 5. Persentase tutupan karang keras dan tutupan substrat dasar di Pulau
Pramuka stasiun Barat kedalaman 10 – 13 m
Kategori Persentase Tutupan (%)
Rata-rata Plot 1 Plot 2 Plot 3
RB 0 0 0 0.00
S 4.65 4 1.85 3.50
MA 0 0 0 0.00
OT 3.6 0.8 1.95 2.12
SP 1.75 1.2 7.05 3.33
ACT 2.1 0 0 0.70
ACB 0 0 0 0.00
ACD 0 0 0 0.00
CB 2.65 0.45 0 1.03
CE 7.05 2 10.7 6.58
CF 13.1 11.25 1.75 8.70
CM 3.25 4.5 4.45 4.07
CMR 2.25 0 0.9 1.05
CS 34.4 19.55 2.55 18.83
SC 0 0 0.35 0.12
DC 0 0 0 0.00
DCA 22.7 56.25 68.45 49.13
51
Lampiran 6. Persentase tutupan karang keras dan tutupan substrat dasar di Pulau
Pramuka stasiun Utara kedalaman 3 – 5 m
Kategori Persentase Tutupan (%)
Rata-rata Plot 1 Plot 2 Plot 3
RB 2.7 12.45 0.95 5.37
S 0 0 10.3 3.43
MA 2.1 0 6.55 2.88
OT 18.75 3.9 37.15 19.93
SP 5.8 0 6.8 4.20
ACT 0 0 0 0.00
ACB 2.05 16.35 0 6.13
ACD 0 13.3 0 4.43
CB 0 0 2.8 0.93
CE 1.1 42 4 15.70
CF 0 0 2 0.67
CM 0 2.35 23.15 8.50
CMR 0 0 0 0.00
CS 1.35 0 0 0.45
SC 0 0 0 0.00
DC 30.55 5.85 0 12.13
DCA 44.75 0 3.95 16.23
52
Lampiran 7. Persentase tutupan karang keras dan tutupan substrat dasar di Pulau
Pramuka stasiun Utara kedalaman 10 – 13 m
Kategori Persentase Tutupan (%)
Rata-rata Plot 1 Plot 2 Plot 3
RB 0 0 0 0.00
S 0 0 0 0.00
MA 8.65 0 0.9 3.18
OT 5.8 2.6 0.6 3.00
SP 1.75 1.65 0 1.13
ACT 0 0 0 0.00
ACB 0 0 3.5 1.17
ACD 0 0 0 0.00
CB 0 0 0 0.00
CE 0 0 0 0.00
CF 9.3 0 5.2 4.83
CM 6.3 6.1 7.05 6.48
CMR 1.95 0.75 0.55 1.08
CS 1.5 0 2.75 1.42
SC 0 6.35 3.45 3.27
DC 0 0 0 0.00
DCA 62.25 82.55 75.05 73.28
53
Lampiran 8. Persentase tutupan karang keras dan tutupan substrat dasar di Pulau
Pramuka stasiun Timur kedalaman 3 – 5 m
Kategori Persentase Tutupan (%)
Rata-rata Plot 1 Plot 2 Plot 3
RB 18.35 13.65 10.65 14.22
S 4.9 20.05 3 9.32
MA 0 0 0 0.00
OT 24.85 6 6 12.28
SP 1 0 8.2 3.07
ACT 0 0 0 0.00
ACB 7.2 16.5 18.25 13.98
ACD 0 2.5 1 1.17
CB 11.65 6.4 5.5 7.85
CE 0 0 11.75 3.92
CF 2.1 11.1 6.25 6.48
CM 1.5 4.8 12.6 6.30
CMR 2 10 0 4.00
CS 0 0 0 0.00
SC 0 0 0 0.00
DC 20.8 1.5 0.5 7.60
DCA 3.15 0 16.3 6.48
54
Lampiran 9. Persentase tutupan karang keras dan tutupan substrat dasar di Pulau
Pramuka stasiun Timur kedalaman 10 – 13 m
Kategori Persentase Tutupan (%)
Rata-rata Plot 1 Plot 2 Plot 3
RB 0 0 0 0.00
S 0.55 0 0 0.18
MA 0.9 5.6 2.85 3.12
OT 6 3.1 8.1 5.73
SP 4.25 0.9 3.15 2.77
ACT 0 0 0 0.00
ACB 0 0 0 0.00
ACD 0 1.1 0 0.37
CB 0 0 4.3 1.43
CE 11.45 5.55 5.6 7.53
CF 0.8 1.15 7.4 3.12
CM 0 7.95 2.85 3.60
CMR 6.3 2.1 26.65 11.68
CS 2.4 39.55 4.25 15.40
SC 3.9 5.6 1.05 3.52
DC 0 0 0 0.00
DCA 60.95 84.9 82.9 76.25
55
Lampiran 10. Persentase tutupan karang keras dan tutupan substrat dasar di Pulau
Pramuka stasiun Selatan kedalaman 3 – 5 m
Kategori Persentase Tutupan (%)
Rata-rata Plot 1 Plot 2 Plot 3
RB 51.65 12.9 22.25 28.93
S 0 0 0 0.00
MA 0 0 0 0.00
OT 12.2 16.05 42.95 23.73
SP 0 0 0 0.00
ACT 0 0 0 0.00
ACB 0 0 0 0.00
ACD 0 22.9 3.15 8.68
CB 12.55 5.4 2.2 6.72
CE 2.2 0 0 0.73
CF 0 7 20 9.00
CM 3.4 15 0 6.13
CMR 1.15 0 0 0.38
CS 0 0 0 0.00
SC 0 0 0 0.00
DC 1.8 20.75 9.45 10.67
DCA 12.55 0 0 4.18
56
Lampiran 11. Persentase tutupan karang keras dan tutupan substrat dasar di Pulau
Pramuka stasiun Selatan kedalaman 10 – 13 m
Kategori Persentase Tutupan (%)
Rata-rata Plot 1 Plot 2 Plot 3
RB 0 0 0 0.00
S 7.9 6.85 6.3 7.02
MA 6.15 0 1 2.38
OT 0 0.9 0 0.30
SP 16 10.95 2.95 9.97
ACT 0 1.85 0 0.62
ACB 0 0 0 0.00
ACD 0 0 0 0.00
CB 0 0 3.05 1.02
CE 5.6 2.3 5.3 4.40
CF 17.3 17.95 6.9 14.05
CM 0.8 0.85 0 0.55
CMR 0.65 0.65 1.85 1.05
CS 6.8 4.45 8.25 6.50
SC 0 0.6 0 0.20
DC 0 0 0 0.00
DCA 21.9 52.65 64.4 46.32
57
Lampiran 12. Tabel Matriks Korelasi yang didapat dari hasil analisis PCA
Lampiran 13. Tabel Matriks Komponen yang didapat dari hasil analisis PCA
58
Lampiran 14. Pengambilan Data Tutupan Karang
Gambar 14. Pengamatan dan pencatatan data terumbu karang yang
bersinggungan dengan transek
Lampiran 15. Transplantasi karang Pulau Pramuka Kepulauan Seribu
Gambar 15. Transplantasi karang yang berada di bagian Barat Pulau Pramuka
Kepulauan Seribu
TRANSEK