3
TINJAUAN PUSTAKA
Susu Segar
Susu merupakan hasil sekresi kelenjar ambing dan bahan makanan pertama
bagi bayi manusia dan hewan setelah dilahirkan (Misgiyarta et al. 2005). Susu
mengandung 87.90% air yang berfungsi sebagai pelarut bahan kering dan
berfungsi sebagai penentu nilai gizi susu. Susunan lemak susu terdiri dari lemak
majemuk, yaitu lemak murni yang terdiri atas tiga molekul asam lemak yang
terikat pada suatu molekul gliserin (Saleh 2004). Konsumen biasanya
mengkonsumsi susu, baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan.
Konsumen yang mengkonsumsi susu atau produk olahan susu dilindungi oleh
pemerintah dengan ditetapkannya standar mutu susu dan produk olahannya dalam
bentuk Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut Rahardjo (1998) standar mutu
merupakan rincian persyaratan produk yang mencakup kriteria 1) organoleptik,
antara lain: bau, rasa, kenampakan, dan warna; 2) fisika, yaitu bentuk, ukuran, dan
kotoran; 3) kimia, antara lain: pH, kadar nutrisi atau senyawa kimia; dan 4)
mikrobial, antara lain: jumlah kapang/jamur, yeast, bakteri yang ditetapkan
dengan tujuan untuk menjaga keamanan dan konsitensi mutu dari waktu ke waktu.
Susu mengandung komponen yang sangat penting bagi tubuh yaitu lemak,
protein susu, laktosa, mineral, dan vitamin. Susu merupakan sumber vitamin yang
cukup baik bagi tubuh. Susu mengandung vitamin yang larut dalam air (vitamin B
dan C) dan vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, dan E). Kandungan
vitamin susu disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan vitamin dalam susu segar (Buckle et al. 1987)
No. Vitamin kandungan per 100g susu 1. vitamin A 160 IU (International Unit) 2. vitamin C 2.0 mg 3. vitamin D 0.5-4.4 IU 4. vitamin E 0.08 mg 5. vitamin B
Riboflavin Asam pantotenat Asam folat Biotin Vitamin B12
0.17 mg
0.35 – 0.45 mg 3-8 µg 0.5 µg 0.5 µg
4
Susu mengandung zat-zat mineral yang sangat esensial dan penting untuk
dikonsumsi manusia. Mineral dalam susu dibedakan menjadi makromineral dan
mikromineral. Makromineral yang penting dalam susu adalah kalsium (Ca), fosfor
(P), natrium (Na), klor (Cl), dan magnesium (Mg). Ca dan P berperan penting
dalam pembentukan tulang dan gigi. Mikromineral yang penting adalah zat besi
(Fe), iodium (I), seng (Zn), selenium (Se), tembaga (Cu), kobalt (Co), dan flour
(F). Zat besi merupakan mikromineral yang merupakan komponen hemoglobin sel
darah merah (Buckle et al 1987). Kandungan beberapa mineral dalam susu dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan beberapa mineral dalam susu (Buckle et al. 1987) No. Unsur % 1. Potasium 0.140 2. Kalsium 0.125 3. Klorin 0.103 4. Fosfor 0.096 5. Sodium 0.056 6. Magnesium 0.012 7. Sulfur 0.025
Susu yang baik adalah susu yang mengandung sedikit bakteri, tidak
mengandung spora mikroba patogen, bersih dari debu atau kotoran lainnya,
mempunyai cita rasa (flavour) yang baik, tidak dipalsukan, dan tidak mengandung
residu antibiotik. Susu segar harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar aman
dikonsumsi dan dapat digunakan untuk proses pengolahan lanjutan. Persyaratan
kualitas susu untuk menjadi suatu produk olahan mencakup persyaratan: fisika-
kimia (chemico-physical-requirement) dan keberadaan bakteri (bacteriological
requirement). Pertumbuhan bakteri yang cepat pada susu segar menyebabkan bau
yang tidak enak (Saleh 2004).
5
Syarat mutu dari susu segar dapat dilihat pada Tabel 3
Tabel 3 Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011 (BSN 2011) No. Karakteristik Syarat
1. Berat jenis (pada suhu 27.5 °C) 10.270 2. Kadar lemak minimum 3.0% 3. Kadar bahan kering tampa lemak minimum 7.8% 4. Kadar protein minimum 2.8% 5. Warna, bau, rasa dan kekentalan tidak ada perubahan 6. Derajat asam 6-7.5 °SH 7. Uji alkohol (70%) Negatif 8. pH 6.3-6.75 9. Cemaran mikroba maksimum:
a. Total kuman 1 x 106 CFU/ml
b. Salmonella Negatif
c. E.coli (patogen) negatif
d. Koliform 1 x 103 CFU/ml
10. Jumlah sel somatis maksimum 4 x 105 sel/ml 11. Cemaran logam berbahaya, maksimum
a. Timbal (Pb) 0.02 ppm
b. Merkuri (Hg) 0.03 ppm
c. Arsen (As) 0.1 ppm
12. Residu antibiotik (golongan β laktam, negatif
tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida)
13. uji pemalsuan negatif 14. Titik beku -0.520 °C s/d -0.560 °C 15. Uji peroksidase positif
Keju
Keju merupakan nama umum yang digunakan untuk sekelompok produk
makanan berbasis susu fermentasi yang diproduksi dalam berbagai rasa dan
bentuk di seluruh dunia. Pembuatan keju dilakukan dengan menggunakan enzim
untuk menggumpalkan dadih susu yang diikuti dengan pemisahan “whey” dari
koagulan yang terbentuk untuk menghasilkan dadih yang lebih padat dan kompak.
Keju merupakan satu-satunya bahan pangan asal susu yang mempunyai daya
simpan yang baik dan kaya akan protein, lemak, kalsium, fosfor, riboflavin, dan
vitamin-vitamin lainnya (Daulay 1991).
6
Tahapan dalam pembuatan keju diantaranya adalah persiapan susu segar,
pasteurisasi, penambahan enzim untuk pembentukan curd (koagulan), pemotong-
an curd, pemasakan curd, dan pengurangan whey. Proses berikutnya bergantung
pada jenis keju yang akan dihasilkan. Koagulasi susu dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah pH, suhu, ketersediaan ion kalsium, dan kualitas susu
itu sendiri. Starter keju adalah kultur aktif dari mikroorganisme non-patogen yang
ditumbuhkan dalam susu atau whey yang berperan dalam pembentukan
karakteristik dan mutu tertentu pada berbagai jenis produk susu (Daulay 1991).
Keju dibuat dengan cara menggumpalkan protein susu dengan
menggunakan enzim renin (Winarno 1993). Enzim renin dapat diperoleh dalam
bentuk rennet. Enzim ini bekerja dengan cara merusak dispersi koloidal kalsium
fosfokaseinat sehingga terbentuk gel atau tahu susu. Jenis keju bergantung pada
perlakuan tahu susu, misalnya lamanya tahu tersebut pada saat dikenakan dalam
suasana asam, panas, dan kondisi-kondisi pematangan (Buckle et al. 2009).
Suhu optimum yang diperlukan untuk penggumpalan yaitu 40°C (Winarno
1993). Susu yang akan digumpalkan tidak boleh dipanaskan tertalu lama karena
akan menyebabkan perubahan disposisi ion kalsium dalam susu. Endapan atau gel
akan terjadi saat ion kalsium bereaksi dengan protein. Meskipun sebagian besar
keju dibuat dengan renin, ada juga beberapa keju yang dibuat dengan
menambahkan asam pada susu. Faktor lain yang turut menentukan jenis keju
adalah keterlibatan mikroba dan proses peraman keju (Winarno 1993).
Saat ini umumnya keju dibuat dengan menggunakan susu yang telah
dipasteurisasi karena pasteurisasi dapat mematikan bakteri patogen yang terdapat
dalam susu, tetapi pateurisasi juga dapat mematikan organisme dan enzim yang
ikut dalam membantu proses pematangan. Jenis-jenis keju bergantung pada proses
keju tersebut dibuat, termasuk jenis susu yang dipakai, metode pembuatan, dan
perlakuan yang digunakan dalam pematangan. Klasifikasi keju dapat dilihat dari
sifat teksturnya atau cara pematangannya. Keju dianggap “lunak” jika kadar air
lebih besar dari 40%, setengah lunak jika kadar air 36-40%, “keras” jika kadar air
25-36%, dan “sangat keras” jika kadar air kurang dari 25% (Buckle et al. 1987).
7
Antibiotik
Antibiotik adalah suatu zat yang dihasilkan oleh berbagai jasad renik seperti
bakteri dan jamur yang dapat membasmi dan membunuh mikroba lain. Saat ini
banyak antibiotik yang dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh (Ganiswarna
et al. 1995). Antibiotik yang diperoleh secara alami dari mikroorganisme disebut
antibiotik alami, sedangkan antibiotik yang disintesis di laboratorium disebut
antibiotik sintesis, misalnya sulfonamid dan kuinolon.
Menurut Ganiswarna et al. (1995), antibiotik dapat diklasifikasikan
berdasarkan sifat toksisitas selektif, yaitu antibiotik yang bersifat menghambat
pertumbuhan mikroba yang disebut sebagai aktivitas bakteriostatik dan antibiotik
yang bersifat membunuh mikroba disebut sebagai aktivitas bakterisid.
Berdasarkan mekanisme kerja, antibiotik dibagi dalam lima kelompok, yaitu :
a. Antibiotik yang dapat menghambat metabolisme sel bakteri, contohnya
sulfonamid, trimetropim, asam p-aminosalisilat (PAS), dan sulfon.
b. Antibiotik yang menghambat sintesa dinding sel bakteri, contohnya penisilin,
sefalosporin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin.
c. Antibiotik yang mengganggu keutuhan membran sel bakteri, contohnya
polimiksin.
d. Antibiotik yang menghambat sintesa protein sel mikroba, contohnya golongan
aminoglikosida, makrolida, linkomisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol.
e. Antibiotik yang menghambat sintesa asam nukleat sel bakteri, contohnya
rifampisin dan golongan kuinolon.
Penggunaan Antibiotik
Penggunaan antibiotik di industri peternakan bertujuan untuk pengobatan
sehingga dapat mengembalikan kondisi ternak menjadi sehat kembali. Selain
untuk pengobatan, antibiotik juga digunakan sebagai imbuhan pakan yang dapat
mempercepat pertumbuhan ternak dan meningkatkan produksi hasil ternak serta
mengurangi biaya pakan (Yuningsih 2005). Penggunaan antibiotik untuk
keperluan pengobatan tidak dapat dihindari dari proses pra-produksi ternak.
Penggunaan antibiotik tersebut bertujuan untuk mengobati penyakit infeksi yang
disebabkan oleh bakteri, misalnya mastitis (Yamani 1999).
8
Lebih dari 90% kasus mastitis disebabkan oleh infeksi intramammary,
terutama disebabkan oleh spesies Streptococcus dan Staphylococcus. Pengobatan
dengan antibiotik selama laktasi dan pada inisiasi periode kering kandang adalah
praktek manajemen yang umum dilakukan sehingga kemungkinan besar akan
terdapat residu antibiotik pada saat pemerahan susu sapi. Susu yang memiliki
residu antibiotik akan mengalami penyingkiran karena susu yang mengandung
antibiotik dapat merugikan industri dan juga berbahaya bagi kesehatan konsumen
(Brady & Katz 1988). Jenis-jenis residu antibiotik yang umum terdapat dalam
susu antara lain:
1. Penisilin
Penisilin diperoleh dari jamur genus penisilin (Penicillium notatum) dan
diperoleh dari ektraksi kultur gabungan yang ditumbuhkan dalam media tertentu
(Brooks et al. 2001). Penisilin efektif terutama terhadap mikroba Gram positif.
Penisillin didistribusikan luas di dalam tubuh. Penisilin didistribusikan dengan
cepat dari plasma darah ke dalam jaringan tubuh dengan persentase volume
distribusi sebesar 50%. Sebagian besar penisilin akan diekskresikan melalui
ginjal, yaitu sekitar 60-80% dari obat yang dimasukkan, sedangkan ekskresi
melalui kelenjar susu hanya 16% dari yang ada di dalam plasma (Admin 2007).
Ikatan protein penisilin ialah 65% (Ganiswarna et al. 1995). Menurut
Brooks et al. (2001) penisilin sebagai obat antimikroba dikelompokkan menjadi
empat kelompok utama:
a. Penisilin G, yaitu penisilin yang memiliki aktivitas terkuat melawan
organisme Gram positif, Spirochaeta tetapi rentan terhadap hidrolisa oleh β-
lactamase dan labil terhadap asam.
b. Nafsilin, yaitu penisilin yang relatif tahan terhadap β-lactamase tetapi
aktivitas lebih rendah melawan organisme Gram positif dan tidak aktif
melawan organisme Gram negatif.
c. Ampisilin dan Piperasilin, yaitu penisilin yang memiliki aktivitas yang
tinggi melawan kedua organisme Gram positif dan Gram negatif tetapi dapat
dirusak oleh β-lactamase.
9
d. Penisilin V, Kloksasilin, dan Amoksisilin, yaitu penisilin yang relatif stabil
pada asam lambung dan cocok untuk pemberian oral.
Menurut Brooks et al. (2001) penisilin alami yang paling sering digunakan
adalah penisilin G. Penisilin ini merupakan obat pilihan untuk infeksi-infeksi yang
disebabkan oleh Streptococcus, Pneumococcus, Meningococcus, Spirochaeta,
Clostridia, bakteri Gram positif aerob, Staphylococcus, dan Aktinococcus yang
bukan penghasil penisilinase.
2. Tetrasiklin
Tetrasiklin bersifat bakteriostatik, yaitu menghambat pertumbuhan bakteri
Gram positif dan bakteri Gram negatif serta merupakan obat pilihan untuk infeksi
yang disebabkan oleh riketsia, klamidia, dan mikoplasma. Menurut Mutschler
(1991) tetrasiklin adalah obat yang sering digunakan untuk mengatasi bruselosis
pada peternakan sapi perah. Tetrasiklin diabsorbsi dari saluran usus dan
didistribusikan secara luas pada jaringan tubuh. Obat ini akan dieksresikan
terutama lewat empedu dan tinja (Brooks et al. 2001). Menurut Karlina et al.
(2009) golongan tetrasiklin akan diekresikan juga melalui susu karena obat ini
dapat menembus membran barrier dan terdapat dalam susu dalam kadar yang
relatif tinggi.
3. Sulfonamid
Sulfonamid adalah salah satu antibiotik yang pemakaiannya sangat luas
untuk pengobatan penyakit akibat bakteri. Sulfonamid banyak digunakan karena
harganya murah, efisien, dan memiliki efek yang unggul dalam mencegah dan
mengobati penyakit infeksius. Sulfonamid bekerja dengan cara menghambat
sintesis asam folat oleh bakteri (Dalimunthe 2009).
Kebanyakan sulfonamid diaplikasikan secara oral dan diabsorbsi di usus.
Absorbsi yang lambat dialami oleh ruminansia dewasa atau ketika diberikan
bersamaan dengan makanan pada hewan monogastrik. Sulfonamid didistribusikan
ke seluruh tubuh, dapat melewati plasenta, menembus cairan serebrospinal, dan
sebagian didistribusikan ke dalam susu (Brooks et al. 2001).
10
4. Aminoglikosida
Aminoglikosida merupakan antibiotik yang bekerja secara langsung pada
ribosom, membran sel, dan menghambat sintesis protein pada bakteri sehingga
menyebabkan kematian pada bakteri. Penerapan antibiotik ini dilakukan secara
injeksi, baik secara subkutan maupun intramuskular. Aminoglikosida bersifat
bakterisida yang berspektrum luas (Wiraternak 2011). Aminoglikosida sering
digunakan dalam penanggulangan infeksi berat oleh bakteri Gram negatif.
Stabilitasnya cukup baik pada suhu kamar terutama dalam bentuk kering,
misalnya streptomisin. Absorbsi aminoglikosida lebih baik melalui parenteral
sehingga absorbsi terjadi dengan cepat dan tuntas. Rute ekskresi dari
aminoglikosida adalah melalui susu dan ginjal (Adams 2001).
5. Makrolida
Makrolida merupakan antibiotik berspektrum sempit, namun cukup efektif
untuk membunuh bakteri Gram positif dan mikoplasma. Makrolida bekerja
dengan mengganggu proses sintesis protein pada bakteri yang kemudian akan
menyebabkan kematian pada bakteri (Wiraternak 2011). Makrolida diabsorbsi di
usus halus setelah pemberian melalui oral (Plumb & Pharm 1999). Makrolida
diekskresikan terutama melalui empedu dan sekitar 50% dapat ditemukan di
dalam susu.
Penggunaan antibiotik di dunia peternakan sebagai pengobatan dan sebagai
imbuhan pakan dapat menjadi masalah apabila pemakaiannya tidak sesuai
ketentuan yang berlaku. Sesuai peraturan, antibiotik untuk pengobatan ternak
hanya dapat diperoleh dengan resep dari dokter hewan. Pada kenyataannya
banyak jenis antibiotik dapat diperoleh dengan mudah di toko obat hewan (poultry
shop) atau dari koperasi peternak seperti Koperasi Unit Desa (KUD) atau
Koperasi Pengumpul Susu (Murdiati & Bahri 1991). Hal ini dapat menyebabkan
penggunaan antibiotik secara tidak tepat karena tanpa resep dari dokter hewan.
Masalah yang akan terjadi adalah adanya residu antibiotik yang ditemukan dalam
susu apabila pemberian antibiotik tidak sesuai aturan dan tidak mematuhi
withdrawal time. Withdrawal time merupakan kurun waktu saat pemberian obat
11
terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya dapat dikonsumsi (Bahri et
al. 2005).
Hewan ternak yang diobati menggunakan preparat antibiotik seharusnya
dibiarkan selama waktu yang ditetapkan dan susu tersebut tidak boleh dikonsumsi
sampai bebas dari bahan-bahan antibiotik (Scarya et al. 2009). Withdrawal time
beberapa antibiotik di dalam susu disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Withdrawal time beberapa antibiotik di dalam susu Nama antibiotik Withdrawal time Sumber Penisilin 96 jam Bishop (2005) Eritromisin 36 jam Bishop (2005) Tetrasiklin 86 jam Scarya et al. (2009) Streptomisin 48 jam Bishop (2005) Tylosin 204 jam Litterio et al. (2007)
Dampak Residu Antibiotik dalam Susu Segar sebagai Bahan Baku
Pembuatan Keju
Starter yang digunakan untuk pembuatan keju sangat sensitif terhadap
keberadaan residu antibiotik yang terdapat dalam susu yang akan digunakan
sebagai bahan dasar pembuatan keju. Keberadaan antibiotik atau agen kemoterapi
lainnya dalam susu akan menghambat pertumbuhan atau membunuh
mikroorganisme yang diperlukan untuk pembentuan keasaman dan
pengembangan cita rasa dan aroma pada keju (Tamime & Deeth 1980).
Kehadiran residu antibiotik penisilin dalam susu yang digunakan sebagai
bahan dasar pembuatan keju akan menghambat atau membunuh starter yang
digunakan, misalnya Lactococcus lactis subspesies cremoris ketika kultur
ditumbuhkan. Hal inilah yang menjadi alasan perusahaan untuk menggunakan
susu bebas residu antibiotik sebagai bahan dasar pembuatan keju. Kualitas bahan
pangan asal ternak yaitu keju yang berbahan dasar susu harus memperhatikan asas
aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Bahan pangan seperti ini dapat memberi
nilai gizi yang tinggi dan memberikan kepuasan bagi konsumen. Kelayakan
pangan sebaiknya diperhatikan dari segi kuantitas dan kualitas bahan pangan serta
bebas dari cemaran mikrobiologi, bahan kimia, logam berat, toksin, dan residu
antibiotik.
12
Menurut Thahir et al. (2005) suatu konsep jaminan mutu yang diterapkan
untuk pangan dikenal dengan hazard analysis critical control points (HACCP).
Hazard analysis critical control points merupakan suatu sistem pengawasan mutu
industri pangan yang menjamin keamanan pangan dan mengukur bahaya atau
resiko yang mungkin timbul serta menetapkan pengawasan tertentu dalam usaha
pengendalian mutu pada seluruh rantai produksi pangan.
Keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama baik dari pihak
pemerintah, produsen, dan konsumen. Sumber daya manusia sangat penting dalam
meningkatkan keamanan pangan terutama di bidang industri. Usaha peningkatan
sumber daya manusia dengan meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan
melalui pendidikan (formal) dan pelatihan sangat penting dilaksanakan.
Dampak Residu Antibiotik dalam Keju terhadap Kesehatan Konsumen
Residu antibiotik dalam pangan menjadi ancaman potensial terhadap
kesehatan, yaitu dari aspek toksikologi, aspek mikrobiologi, dan aspek
imunopatologis (Murdiati & Bahri 1991). Dilihat dari aspek toksikologi, residu
antibiotik bersifat toksik terhadap organ tubuh seperti hati, ginjal, dan pusat
hemopoiesis (pembentukan darah). Reaksi toksik atau keracunan dapat
disebabkan oleh antibiotik golongan tetrasiklin dan kloramfenikol. Golongan
antibiotik ini dapat menyebabkan reaksi keracunan dan iritasi lambung sehingga
dapat menyebabkan diare. Gejala lain yang sering terlihat adalah gangguan
pembentukan darah, reaksi neurologik, kerusakan ginjal, dan hepatotoksisitas.
Ditinjau dari aspek mikrobiologis, residu antibiotik dapat mengganggu
mikroflora saluran pencernaan dan menyebabkan resisten mikroorganisme.
Gangguan mikrobiologis ditandai dengan adanya bakteri yang resisten terhadap
antibiotik karena penggunaan yang terlalu sering. Antibiotik yang terdapat dalam
susu dapat membunuh mikroflora dalam usus. Mikroflora mempunyai
kepentingan dalam membantu proses metabolisme (Kielwein 1981), sedangkan
dari aspek imunopatologis, residu antibiotik dapat menimbulkan reaksi alergi
(Lukman & Purnawarman 2009). Reaksi alergi merupakan efek samping yang
disebabkan antibiotik penisilin G (Ganiswarna et al. 1995). Hal ini dikarenakan
penisilin mempunyai aktivitas antigen yang sangat kuat. Penisilin merupakan
13
kelompok antibiotik β-laktam yang bekerja dengan menghambat sintesis dinding
sel. Diperkirakan 4-10% populasi manusia di dunia telah alergi terhadap penisilin
dan turunannya, padahal obat golongan penisilin masih banyak digunakan baik
pada manusia maupun ternak (Sudarwanto 1990).
Ruegg dan Tabone (2005) melaporkan bahwa pemberian antibiotik secara
oral tidak menimbulkan respon imun yang cepat dibandingkan pemberian
antibiotik secara sistemik. Reaksi alergi (dermatitis, pruritis, dan urtikaria) dari
pre-sensitivitas individu yang disebabkan oleh residu β-lactam dalam susu telah
terjadi pada beberapa orang (Dewdney & Edwards 1984).
Residu streptomisin adalah salah satu jenis residu antibiotik yang sangat
umum di dalam susu. Residu antibiotik ini sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan reaksi alergi, hilangnya kemampuan pendengaran, keseimbangan
tubuh, dan resisten terhadap bakteri. Streptomisin tahan terhadap pemanasan
tinggi dan sering terdapat dalam susu pasteurisasi serta susu evaporasi (Roostita et
al. 2005).
Streptomisin memiliki titik didih yang sangat tinggi, maka sangat sulit untuk
menurunkan konsentrasi residu jika menggunakan suhu pemanasan (Sundlof et al.
1995; Mitchell et al. 1998). Menurut Lukman & Sudarwanto (1992) penurunan
konsentrasi residu streptomisin dapat dilakukan dengan suhu pemanasan 120 °C
selama 5 menit. Menurut Roostita et al. (2005) cara terbaik untuk mengurangi
konsentrasi residu antibiotik streptomisin adalah dengan proses high temperature
short time (HTST) (90 °C selama 25 detik) karena dapat menurunkan residu
streptomisin dari 100% menjadi 85.73%. Moats (1988) menyatakan inaktivasi
100% antibiotik golongan penisilin memerlukan waktu 1.705 menit dengan suhu
pasteurisasi 71 °C dan akan lebih cepat apabila suhu yang digunakan lebih tinggi.
Aspek lain akibat residu antibiotik adalah aspek karsinogenik seperti residu
antibiotik sulfonamid. Sulfonamid merupakan N-derivat dari 4-amino-benzen
sulfonamid dan terdiri dari banyak kelas antibiotik sintesis. Sulfonamid biasa
dipakai di dunia kedokteran hewan sebagai pengobatan yang disebabkan infeksi
dan juga digunakan sebagai pemacu pertumbuhan. Samanidou et al. (2008)
melaporkan bahwa residu antibiotik sulfonamid dalam makanan mendapat
perhatian yang besar karena sulfonamid memiliki sifat karsinogen yang potensial
14
dan dapat menyebabkan resistensi antibiotik pada flora usus manusia. Golongan
dari sulfonamid, yaitu sulfamethazin dan sulfadimin pernah dilaporkan dapat
menyebabkan tumor pada uji bioassay hewan rodensia dan juga sangat toksik
pada kelenjar tiroid.
Kehadiran residu antibiotik dalam susu menjadi perhatian besar karena
berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat dan dapat menyebabkan kerugian
pada peternak. Semakin besar penggunaan antibiotik, baik untuk pengobatan
(terapi) maupun sebagai imbuhan pakan, semakin besar pula manfaat yang
diperoleh namun semakin besar resiko dalam keamanan pangan (Yuningsih
2005). Terjadinya resiko pada keamanan pangan yang disebabkan oleh residu
antibiotik menjadi masalah yang harus benar-benar diperhatikan. Menurut Sridadi
(1990) perlu dilakukan langkah-langkah pengamanan penggunaan antibiotik
dalam peternakan untuk mendapat manfaat yang maksimal dari penggunaan
antibiotik dan meminimalkan resiko. Langkah-langkah tersebut adalah:
a. Langkah pengamanan penggunaan antibiotik dalam terapi penyakit infeksi.
Penggunaan antibiotik untuk terapi harus didasarkan pada diagnosa yang
tepat dan penggunaannya yang lebih selektif, seperti: pembatasan dalam
pemakaian, pergiliran antibiotik yang dipakai, diversifikasi dengan
memanfaatkan penemuan antibiotik yang baru dan kombinasi antibiotik
yang telah teruji.
b. Langkah pengamananan penggunaan antibiotik dalam terapi profilaksis.
Pengobatan dan pencegahan penyakit sebaiknya dilakukan pada saat sapi
dalam masa kering kandang dengan dosis yang besar sehingga pada saat
laktasi tidak terjadi residu antibiotik, misalnya pada saat pengobatan
mastitis.
Selain langkah pengamanan penggunaan antibiotik dalam terapi penyakit
infeksi dan profilaksis, ada juga pengamanan penggunaan antibiotik sebagai
pemicu pertumbuhan (growth promotor) melalui langkah-langkah standarisasi
pemakaian antibiotik sebagai imbuhan pakan, pemberian informasi yang jelas
mengenai withdrawal time periode untuk masing-masing antibiotik yang
digunakan, dan pemberian informasi tentang daya kerja antibiotik untuk
mengurangi dampak residu.
15
Metode Pengujian Residu Antibiotik
Banyak metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi residu antibiotik
dalam susu segar sapi. Metode-metode tersebut diantaranya uji yoghurt test
(Mohsenzadeh & Bahrainipour 2008), bioassay (Eenennaam et al. 1993),
enzyme-liked immunosorbent assay (Wang et al. 2009), dan high performance
liquid chromatography (Wehr & Frank 2004).
Yoghurt Test
Menurut Mohsenzadeh dan Bahrainipour (2008) proses dari yoghurt test ini
yaitu susu dengan pH 6.0, dipanaskan dengan penangas air untuk beberapa saat
pada 45 °C dan diinokulasikan dengan yoghurt culture yang terdiri dari campuran
Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii subspesies bulgaricus.
Yoghurt test disiapkan dengan campuran 1 g biakan yoghurt culture segar dengan
99 ml susu skim yang telah dipanaskan pada suhu 95 °C selama 5 menit. Setelah
semua tercampur secara homogen, yoghurt culture ditempatkan dalam penangas
air pada suhu 42 °C selama 2.5 jam untuk memroduksi asam dalam susu.
Kemudian diamati konsistensi susu antara kental atau encer. Hasil kultur disimpan
pada suhu 5 °C.
Penelitian yang dilakukan Mohsenzadeh dan Bahrainipour (2008)
menyatakan bahwa yoghurt test memiliki kemampuan mendeteksi residu
antibiotik di dalam susu. Yoghurt test memiliki sensitivitas terhadap 15 jenis
antibiotik, yaitu penisilin-G, ampisilin, amoksisilin, sefaleksin, sefazolin,
oxytetrasiklin, klortetrasiklin, tetrasiklin, doksisiklin, sulfadimidin, gentamisin,
spektinomisin, eritromisin, tylosin, dan kloramfenikol. Uji ini merupakan salah
satu uji untuk menentukan keberadaan residu antibiotik secara umum.
Yoghurt test memiliki kepekaan yang baik terhadap antibiotik
kloramfenikol, oksitetrasiklin, dan eritromisin dibandingkan terhadap antibiotik
lainnya sedangkan kepekaan terhadap antibiotik penisilin dan ampisilin sangat
rendah (Yamani et al. 1999). Keuntungan dari yoghurt test yaitu, sederhana,
murah, dan mudah untuk dilakukan (Yamani et al. 1999). Yoghurt test juga
memiliki kelemahan yaitu tidak sensitif terhadap golongan antibiotik β-laktam
(Mohsenzadeh & Bahrainipour 2008)
16
Bioassay
Bioassay merupakan salah satu metode pengujian yang menggunakan
mikroorganisme untuk mendeteksi senyawa antibiotik yang masih aktif (BSN
2008). Menurut Zulfianti (2005) prinsip uji bioassay adalah adanya daya hambat
terhadap pertumbuhan bakteri oleh antibiotik yang terkandung dalam produk
peternakan yang menunjukkan positif adanya residu. Besarnya diameter daerah
hambat dapat dilihat dan diukur di sekitar kertas cakram. Besarnya diameter ini
menunjukkan konsentrasi residu antibiotik (Pikkemaat et al. 2009). Sebaliknya,
jika tidak ada daya hambat pertumbuhan bakteri oleh antibiotik, maka produk
peternakan dinyatakan tidak mengandung residu antibiotik atau negatif terhadap
residu antibiotik.
Enzyme-liked immunosorbent assay
Enzyme-liked immunosorbent assay (ELISA) merupakan salah satu uji
untuk diagnosis dalam pengendalian penyakit hewan, deteksi residu antibiotik,
hormon, dan residu pestisida yang terdapat dalam susu sebagai akibat dari
pengobatan atau pemacu pertumbuhan pada hewan. Metode ELISA merupakan
metode yang sederhana, cepat, spesifik, dan memiliki sensitivitas yang tinggi
untuk menganalisa beberapa sampel dalam waktu yang sama (Cliquet et al. 2001).
Prinsip ELISA adalah menggunakan antigen atau antibodi yang akan
diikatkan pada matriks padat (mikrowell plate) untuk menangkap antigen atau
antibodi yang ada di dalam larutan sampel. Kompleks antigen-antibodi atau
antibodi-antigen yang terbentuk akan dideteksi dengan menggunakan antibodi
atau antigen yang sudah dilabel dengan enzim. Konsentrasi ikatan komplek
antigen-antibodi atau sebaliknya akan dibantu oleh substrat enzim yang dibaca
dalam ELISA plate reader (Latif 2004).
High Performance liquid Chromatography
High performance liquid chromatography (HPLC) atau kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT) merupakan metode yang dapat menganalisis hampir semua
golongan antibiotik, misalnya golongan makrolida, β-laktam, kloramfenikol, dan
antibiotik lainnya (Yuningsih 2005). Metode HPLC ini memiliki tiga tahapan
17
selama proses uji, yaitu tahap ekstraksi, pemurnian, dan deteksi. Tahap ekstraksi
merupakan tahap pemisahan antibiotik dari matriks lain (lemak, protein, dan lain-
lain) dengan bahan larutan buffer atau bahan organik lain (pelarut antibiotik)
melalui pengocokan, biasanya menggunakan alat shaker atau vortex. Tahap
pemurnian dilakukan dengan teknik yang cepat dan efisien dalam pemakaian
bahan kimia, yaitu teknik solid phase extraction (SPE) dengan menggunakan
catridge C18. Tahap deteksi dilakukan dengan menginjeksikan hasil pemurnian
pada alat KCKT dan diikuti dengan injeksi larutan standar antibiotik sebagai
pembanding serta larutan fase gerak yang spesifik pada tiap jenis antibiotik.