6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemanenan Hutan
Pemanenan hutan pada dasarnya dibagi menjadi dua macam, yaitu
pemanenan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan pemanenan hasil hutan kayu
(HHK). Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.35/Menhut-II/2007 Tentang
Hasil Hutan Bukan Kayu, “hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan hasil hutan
hayati baik berupa nabati atau hewani dan produk turunan fan budidaya kecuali
kayu yang berasal dari hutan” (Anonim, 2007). Pemanfaatan hasil hutan kayu
menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.9/Menlhk-
II/2015 Tentang Tata Cara Pemberian, PerluasanAreal Kerja dan Perpanjangan Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem atau Izin Usaha Pemanfaatan Kayu Hutan
Tanaman Industri Pada Hutan Produksi, adalah “kegiatan untuk memanfaatkan
hasil hutan berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi
pokok dari hutan itu sendiri” (Anonim, 2015). Kegiatan pemanenan atau
penebangan, pengayaan, pemeliharaan dan pemasaran hasil hutan berupa kayu
merupakan serangkaian kegiatan untuk memanfaatkan hutan produksi.
Sebelum melakukan kegiatan pemanenan, pada umumnya dilaksanakan
kegiatan perencanaan yang terpadu untuk meminimalisir terjadinya kerusakan.
Meminimalkan kerusakan akibat pemanenan menurut Sist “merupakan prasyarat
untuk mencapai pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management/SFM)
karena dapat mengurangi terjadinya kerusakan tanah dan tegakan yang dapat
7
menjamin regenerasi dan pertumbuhan tegakan komersial” (Sist, 1998 dalam
Muhdi, Elias and Matangaran, 2015). Bentuk tebangan dalam perhutani dibagi
menjadi lima, yaitu tebangan A, tebangan B, tebangan C, tebangan D, dan tebangan
E. Tebangan A merupakan penebangan habis hutan produktif. Tebangan B yaitu
penebangan pada kelas hutan tidak produktif yaitu pada hutan bertumbuh kurang
dan tanah kosong yang bertujuan untuk rehabilitasi. Tebangan C yaitu penebangan
untuk mengubah status hutan menjadi kawasan lain. Tebangan D yaitu penebangan
tak terencana akibat bencana alam, kebakaran, dan lan-lain. Sedangkan tebangan E
adalah penebangan sebagai tindakan silvikultur guna mendapatkan tegakan yang
diharapka pada akhir daur.
Penebangan pohon diawali dengan menentukan arah rebah pohon yang
kemudian diikuti dengan pembuatan takik rebah dan takik balas. Wackerman
menyatakan bahwa “takik rebah dibuat ¼-1/3 diameter batang, dan takik balas
dibuat 2-3 inci diatas takik rebah” (Wackerman, 1949). Arah rebah pohon
diusahakan ke arah luar penyaradan. Selain itu penyaradan merupakan faktor
penting dalam pemanenan. Kegiatan penyaradan biasanya dilakukan dengan
pembukaan lahan yang bertujuan untuk membuka jalan dalam pengangkutan kayu.
2.2 Dampak Pemanenan Terhadap Tanah
Pembukaan lahan menurut Thaib adalah “terbukanya permukaan tanah
akibat hilangnya lapisan seresah pada permukaan tanah dan hilangnya pohon-pohon
akibat penebangan dan roboh, terkikis dan tergusurnya tanah oleh kegiatan
penyaradan dan pembuatan jalan angkutan” (Thaib, 1986 dalam Pamungkas, 2014).
Lapisan permukaan tanah yang terbuka dapat menyebabkan terjadi erosi dan
8
sedimentasi. Pratiwi and Budi menyatakan bahwa “terjadinya perubahan sifat fisik
dan kimia tanah, dan siklus hidrologi yang telah terganggu menyebabkan tanah
menjadi miskin hara dan jenis tanaman tertentu yang dapat hidup disana” (Pratiwi
and Budi, 2002 dalam Hayuningtyas, 2006). Pendapat yang sama dikemukakan
oleh Elias bahwa “pemanenan kayu dapat menyebabkan penurunan kesuburan
tanah akibat terbukanya permukaan tanah dalam kegiatan penebangan” (Elias, 2012
dalam Setiawan et al., 2014).
Umumnya pada kegiatan pemanenan kayu, pengangkutan log kayu ke TPn dan
TPK menggunakan alat-alat berat. Penggunaan alat berat tersebut menyebabkan
terjadinya kerusakan tanah berupa pemadatan tanah sehingga tingkat porositas pada
tanah menurun. Diazjunior menyatakan bahwa “penggunaan alat berat dalam
pemanenan menyebabkan kerapatan massa tanah meningkat, total ruang pori tanah
berkurang, laju infiltrasi tanah berkurang, permeabilitas tanah berkurang, kapasitas
tampung air tanah berkurang dan struktur tanah berubah” (Diazjunior, 2003 dalam
Matangaran and Suwarna, 2012). Kerusakan tanah dalam kegiatan penyaradan
menyebabkan laju erosi pada tanah tinggi, seperti yang dikemukakan oleh Ruslan bahwa
“jalan sarad yang baru dibuka dan penyaradan telah berlangsung memiliki laju erosi yang
tinggi dibandingkan dengan jalan sarad yang baru dibuka namun penyaradan belum
berlangsung dan jalan sarad yang telah ditinggalkan 2-3 tahun” (Ruslan, 1979 dalam
Ramadhon, 2009).
Kegiatan pemanenan hutan umumnya dapat menurunkan kandungan bahan
organik tanah. Pamoengkas menyatakan bahwa “penurunan kandungan bahan organik
pada tanah dapat memberikan dampak pada kelestarian hutan dalam jangka waktu yang
9
panjang, hal tersebut dikarenakan bahan organik tanah memiliki peranan penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan pohon melalui pengaruhnya pada sifat fisik, kimia dan
biologi tanah” (Pamoengkas, 2006 dalam Almulqu, Elias and Pamoengkas, 2011).
Penurunan kandungan bahan organik akibat pemanenan dapat mengakibatkan
produktivitas tanah menjadi menurun. Kegiatan pemanenan hutan mengakibatkan
keterbukaan lahan. Lahan terbuka jika tidak dilakukan manajemen yang baik akan
menimbulkan adanya degradasi. Menurut Wasis “perubahan sifat tanah dapat
mengakibatkan berkurangnya umur pemakaian lahan, meningkatnya potensi kekurangan
unsur hara tanah, dan berkurangnya produktivitas tanaman” (Wasis, Setiadi and
Purwanto, 2012). Perubahan sifat tanah tersebut menyebabkan aktivitas mikroba tanah
terganggu. Wasis menyatakan bahwa “jumlah fungi pada hutan pinus lebih tinggi
dibandingkan pada lahan terbuka dengan presentase sebesar 94,18%” (Wasis, Setiadi
and Purwanto, 2012).
2.3 Pemadatan Tanah
Pemadatan tanah adalah meningkatnya kerapatan tanah akibat dari beban atau
tekanan yang diberikan. Menurut Baver et al. pemadatan tanah dikatakan sebagai
“tingkah laku dinamis tanah dimana udara dan air pada pori-pori dikeluarkan dengan
salah satu cara mekanis” (Baver et al., 1987 dalam Kusuma, 1998 dalam Setiawan et al.,
2014). Terjadinya pemadatan tanah disebabkan oleh kegiatan pembalakan secara
mekanis yang dapat merusak struktur tanah. Lumintang and Hidayat menyatakan bahwa
“penggunaan input tenaga mekanis dalam waktu tertentu mengakibatkan produktivitas
tanaman khususnya perakaran menurun” (Lumintang and Hidayat, 1982 dalam Wilson,
2006). Alat-alat berat seperti forwarder dan bulldozer umum digunakan dalam
10
pemanenan hutan pada saat penyaradan kayu dari tunggak ke tempat pengumpulan kayu
(TPn). Penggunaan forwarder dalam operasi penyaradan pada area Hutan Tanaman
Industri (HTI) dapat menyebabkan pemadatan tanah hutan yang cukup parah.
Matangaran & Suwarna menyatakan bahwa “berat forwarder yang tinggi ditambah
muatan kayu dalam bak forwarder menyebabkan ground pressure pada permukaan
tanah sangat besar yang dapat menyebabkan pemadatan tanah yang sangat intensif”
(Matangaran and Suwarna, 2012). Menurut Matangaran and Kobayashi “setiap lintasan
alat berat dapat menyebabkan terjadinya pemadatan tanah pada bekas lintasan ban dan
semakin bertambah padat pada lintasan berikutnya” (Matangaran and Kobayashi, 1999
dalam Matangaran and Suwarna, 2012).
Elias menyatakan bahwa “pemanenan kayu berdampak pada tanah yang
menyebabkan penurunan kesuburan tanah akibat pemadatan tanah oleh penggunaan alat-
alat berat dan terbukanya permukaan tanah akibat penebangan, pembuatan jalan sarad,
tempat pengumpulan kayu, jalan angkutan serta penyaradan (Elias, 2012 dalam Setiawan
et al., 2014). Menurut Diazjunior “penggunaan alat berat dalam pemanenan dapat
menyebabkan peningkatan kerapatan masa tanah, berkurangnya total ruang pori tanah,
berkurangnya permeabilitas tanah, berkurangnya laju infiltrasi tanah, berkurangnya
kapasitas tampung air serta berubahnya struktur butir tanah” (Diazjunior, 2003 dalam
Matangaran and Suwarna, 2012). Pemadatan pada tanah mengakibatkan perakaran
tanaman terganggu yang menyebabkan produktivitas panen berkurang. Hill and Curse
menyatakan bahwa “meningkatnya kepadatan tanah dapat menyebabkan pertumbuhan
akar tanaman terganggu terutama pada pertumbuhan semai sampai kedalaman 5 cm”
(Hill and Curse, 1985 dalam Wilson, 2006).
11
2.4 Tekstur tanah
Menurut Utoyo tekstur merupakan “besar kecilnya ukuran partikel yang
terkandung dalam massa tanah sehingga menggambarkan tingkat kekasaran
butirannya” (Utoyo, 2007). Tekstur tanah ditentukan oleh perbandingan partikel
kerikil, pasir, debu dan liat. Jenis tanah yang mengandung kerikil dan pasir
memiliki tekstur yang lebih kasar dibandingkan dengan tanah yang mengandung
debu dan liat lebih banyak.
Berdasarkan ukuran pori tanah dibagi menjadi tiga. Menurut Hanafiah
“tanah yang didominasi oleh pasir memiliki pori-pori tanah yang besar (porous),
tanah yang didominasi oleh debu memiliki pori-pori sedang (agak porous),
sedangkan tanah yang didominasi oleh liat memiliki pori-pori tanah yang kecil
(tidak porous)” (Hanafiah, 2007).
Menurut Hanafiah (2007) berdasarkan kelas teksturnya tanah digolongkan
menjadi tiga yaitu:
a. Tanah bertekstur kasar atau berpasir, adalah tanah yang mengandung
minimal 70% pasir atau bertekstur pasir atau pasir berlempung.
b. Tanah bertekstur halus atau tanah berliat, adalah tanah yang mengandung
minimal 37,5% liat atau bertekstur liat, liat berdebu atau liat berpasir (3
macam).
c. Tanah bertekstur sedang atau berlempung, terdiri dari;
1) Tanah bertekstur sedang tetapi agak kasar, meliputi tanah yang bertekstur
lempung berpasir (Sandy Loam) atau lempung berpasir halus.
12
2) Tanah bertekstur sedang, meliputi yang bertekstur lempung berpasir sangat
halus, lempung (Loam), lempung berdebu (Silty Loam) atau debu (Silt).
3) Tanah bertekstur sedang tetapi agak halus, meliputi lempung liat (Clay
Loam), lempung liat berpasir (Sandy-clay Loam) atau lempung liat berdebu
(Sandy-silt Loam).
Menurut Kartasapoetra “pembentukan kelas tekstur tanah penting untuk dilihat
dari segi fisik, kesuburan dan pengolahan tanah” (Kartasapoetra, Kartasapoetra and
Sutedjo, 2005). Segi kesuburan tanah penting dalam pertukaran dan penyanggaan ion-
ion hara tanaman dalam tanah. Kandungan liat yang semakin tinggi semakin tinggi pula
kesuburannya. Segi pengolahan tanah, tanah liat berat untuk dikerjakan karena memiliki
sifat sangat lekat dan keras, tanah pasir ringan untuk dikerjakan karena memiliki sifat
yang lepas, sedangkan tanah berlempung sifatnya berada diantara keduanya. Segi fisik
tanah, tektur tanah berperan dalam struktur tanah, tata udara, suhu tanah, dan juga tata
air. Menurut Sutanto “tanah pasiran kaya kandungan mineral primer dan unsur hara,
kecuali tanah pasir yang kaya kuarsa. Tanah lempungan kaya mineral sekunder dan
sifatnya tergantung pada komposisi mineral lempung yang dominan. Sedangkan tanah
debuan memiliki sifat diantara tanah pasiran dan lempungan yang pada umumnya
merupakan tanah yang subur” (Sutanto, 2005).
2.5 Sifat Biologi Tanah
2.5.1 Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah menurut Hanafiah adalah “kumpulan senyawa-
senyawa oranik yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi yang berupa
humus, senyawa biotik dan abiotik” (Hanafiah, 2007). Bahan organik tanah
13
memliki fungsi yang sangat penting dalam memperbaiki sifat biologi, kimia dan
fisika tanah. Sutanto menyatakan bahwa “bahan organik terbentuk dari jasad hidup
tanah yaitu flora dan fauna, perakaran tanaman yang hidup dan mati yang
mengalami dekomposisi dan modifikasi, serta hasil sintesis dari tanaman dan
hewan” (Sutanto, 2005). Menurut Winarso “penambahan bahan organik kedalam
tanah dapat memperbaiki sifat-sifat tanah selain itu juga dapat meningkatkan unsur
hara dalam tanah” (Winarso, 2005).
Dekomposisi bahan organik tergantung dari aktivitas dari mikrobia dan
fauna tanah. Semakin tinggi bahan organik dalam tanah, semakin meningkat pula
aktivitas mikroba tanah. Sutanto menyatakan bahwa “mikroba tanah berperan
dalam proses pembentukan humus dan dapat mempengaruhi sifat fisik tanah”
(Sutanto, 2002). Tanah yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi dapat
ditandai dengan adanya jumlah cacing yang banyak. Zulfadli menyatakan bahwa
“cacing merupakan pemakan bahan organik pada permukaan tanah yang kemudian
dipindahkan ke lapisan tanah yang lebih dalam dalam” (Zulfadli, Muyassir and
Fikrinda, 2012).
2.5.2 Cacing Tanah
Cacing merupakan hewan tanah yang memiliki banyak manfaat bagi
lingkungan maupun manusia. Cacing biasanya hidup pada permukaan tanah
maupun dalam tanah yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi dan
hidup pada tanah yang lembab. Menurut Edwards and Bohlen “cacing merupakan
salah satu hewan tanah yang berperan dalam menjaga struktur tanah dan merombak
bahan organik yang merupakan nutrisi bagi tanaman” (Edwards and Bohlen, 1996).
14
Sari and Lestari menambahkan bahwa “aktifitas cacing tanah dapat mengubah
struktur, aliran air, dinamika hara dan pertumbuhan tanaman, dan merupakan
bioindikator bagi tanah sehingga keberadaannya menguntungkan begi ekosistem”
(Sari and Lestari, 2014).
Cacing tanah populasinya sangat dipengaruhi oleh faktor bahan organik,
suhu, pH, kelembaban tanah. Kelembaban sangat diperlukan cacing untuk menjaga
kulit tubunya berfungsi dengan normal. Firmansyah menyatakan bahwa “tanah
yang kelembababannya terlalu tinggi menyebakan warna cacing menjadi pucat dan
akhirnya mati. Sebaliknya tanah yang kelembabannya sangat rendah menyebabkan
cacing masuk dalam tanah dan berhenti makan sehingga pada akhirnya cacing akan
mati” (Firmansyah, Setyawati and Yanti, 2017).
2.5.2.1 Klasifikasi Cacing Tanah
Cacing tanah merupakan hewan yang tidak bertulang belakang
(avertebrata) dan bertubuh lunak. Cacing tanah digolongkan kedalam filum
Annelida yaitu hewan yang tubuhnya tersusun atas beberapa segmen (ruas) yang
berbentuk cincin. Menurut Khairuman and Amri “filum Annelida dibagi menjadi
tiga kelas yaitu; kelas oligochaeta, kelas polychaeta, dan kelas hirudinea”
(Khairuman and Amri, 2009). Kelas oligochaeta, merupakan cacing yang tubuhnya
tersusun atas 115-200 segmen, memiliki panjang tubuh berkisar 0,5 mm sampai 1
m. Cacing filum ini disebut cacing tanah. Menurut Fried and Hademenos “cacing
kelas oligochaeta bersifat hermaprodit, umumnya cacing kelas ini berkopulasi yang
bertujuan untuk menghasilkan fertilisasi ganda” (Fried and Hademenos, 2006).
Cacing kelas ini umumnya hidup di lingkungan yang lembab, karena gas yang
15
dipertukarkan oleh permukaan tubuhnya harus dalam keadaan terlarut. Cacing
famili ini diantaranya Lumbricidae, Megascolicidae, Octochaetida, dan
Acanthrodrilidae.
a. Kelas polychaeta, merupakan jenis cacing yang banyak dijumpai di
pantai. Cacing kelas ini bernafas menggunakan insang. Tubuhnya
memiliki jumlah segmen diatas 200 segmen dan setiap segmennya
memiliki kaki. Menurut Fried and Hademenos “cacing kelas polychaeta
merupakan cacing yang memiliki banyak rambut, memiliki jenis
kelamin yang terpisah, dan memiliki sepasang dayung berdaging yang
menjulur keluar dari mesing-masing segmen” (Fried and Hademenos,
2006). Cacing famili ini diantaranya cacing palolo (Eunice viridis) dan
cacing wawo (Lysidice oele).
b. Kelas hirudinea, merupakan cacing bertubuh pipih dan hidup sebagai
predator atau parasit di air laut dan air tawar. Memiliki dua alat
penghisap makanan yang terletak dibagian mulut dan anus.
Makanannya adalah darah hewan atau manusia. Campbell menyatakan
bahwa “kelas hirudinea biasa disebut dengan lintah, memiliki panjang
antara 1-30 cm, sebagian besar hidup di air tawar akan tetapi ada juga
yang hidup di daratan dan bergerak melalui vegetasi yang lembab”
(Campbell, Reece and Mitchell, 2003). Cacing famili ini yang terkenal
adalah lintah (Hidudo medicinalis).
Menurut Anderson and Ingram “berdasarkan peranannya cacing tanah
dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu; epigeik, endogeik, dan aneksik”
16
(Anderson and Ingram, 1993 dalam Astuti, 2013). Kelompok epigeik
merupakan kelompok yang hidup dan makan seresah pada permukaan tanah.
Maulida menambahkan bahwa “cacing tipe epigeik memiliki warna tubuh yang
gelap dan memiliki kemampuan untuk menyamarkan tubuhnya” (Maulida,
2015). Sinha menyatakan bahwa “cacing tipe epigeik toleran terhadap
gangguan, memiliki tingkat produksi kokon yang tinggi, serta memiliki tubuh
yang berukuran kecil” (Sinha, Srivastava and Gupta, 2013). Kelompok
endogeik merupakan kelompok yang hidup di dalam tanah yang memakan
bahan organik akar tumbuhan yang mati. Menurut Maulida “cacing endogeik
memiliki morfologi kulit tidak berwarna dan memiliki penyamaran yang
rendah. Sedangkan kelompok aneksik merupakan kelompok yang
memindahkan bahan organik tanah dari permukaan tanah ke dalam tanah
akibat dari aktivitas makan” (Maulida, 2015). Khairuman and Amri
menambahkan bahwa “cacing aneksik memiliki ukuran tubuh besar, senang
membuat lubang terbuka secara permanen di permukaan tanah” (Khairuman
and Amri, 2009).
2.5.2.2 Morfologi Cacing Tanah
Menurut Kastawi “cacing tanah memiliki tubuh bilateral simetris,
panjang, dan tersusun dari beberapa segmen, memiliki alat gerak berupa
rambut-rambut kaku (setae) yang terdapat pada setiap segmennya” (Kastawi,
2005 cit. Yuwafi, 2016). Tubuh cacing tanah dibedakan atas anterior dan
posterior. Menurut Edwards and Lofty “bagian anterior cacing tanah terdapat
mulut dan beberapa segmen yang menebal membentuk klitelum” (Edwards and
17
Lofty, 1977). Hegner and Engeman menyatakan bahwa “cacing tanah tidak
memiliki kepala, akan tetapi memiliki mulut yang terletak pada ujung
anteriornya yang disebut dengan protomium” (Hegner and Engeman, 1978).
Bagian belakang mulut terdapat bagian badan yang bersegmen sedikit dan
merupakan pengembangan dari segmen-segmen tubuh cacing yang disebut
dengan klitelum. Klitelum umumnya berwarna sedikit menonjol dibandingkan
dengan warna tubuh lainnya. Maulida menyatakan bahwa “semakin tua umur
cacing tanah maka klitelum akan semakin terlihat dan menebal. Klitelum mulai
terlihat saat cacing berumur 2-3 bulan” (Maulida, 2015). Morfologi cacing
tanah disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2. 1. Morfologi Cacing Tanah
(Sumber: Campbell, Reece and Mitchell, 2003)
Menurut Agustina “cacing tanah tidak mempunyai mata, akan tetapi
pada kulit tubuhnya memiliki sel saraf yang sangat peka terhadap sinar”
(Agustina, 2016). Ciptanto and Paramita menyatakan bahwa “bagian kulit luar
cacing tanah selalu basah oleh lendir yang diproduksinya berfungsi untuk
membantu pernafasan, melicinkan tubuh, dan mempermudah pergerakannya di
18
dalam tanah” (Ciptanto and Paramita, 2011 dalam Pamungkasari, 2014).
Bagian bawah setiap segemen tubuh cacing tanah selain terdapat seta juga
terdapat pori-pori yang berhubungan dengan alat ekskresi. Khairuman and
Amri menyatakan bahwa “seta berfungsi sebagai pencekeram atau pelekat
yang kuat bagi cacing tanah” (Khairuman and Amri, 2009).
Cacing tanah bergerak dan masuk dalam lubang menggunakan otot
longitudinal dan otot sirkuler. Campbell menyatakan bahwa “ketika otot
sirkuler suatu segmen berkontraksi, maka otot tersebut akan menipis dan
memanjang. Kontraksi otot longitudinal menyebabkan segmen tersebut
menebal dan memendek” (Campbell, Reece and Mitchell, 2003). Hal tersebut
menjadikan cacing mampu bergerak ke depan seiring dengan kontrakasi yang
terjadi pada otot longitudinal dan sirkular yang bergantian.
Warna tubuh cacing tanah tergantung pada jenis dan ada tidaknya
pigmen yang dimilikinya. Menurut Yuwafi “pigmen yang dimiliki oleh cacing
tanah berasal dari lapisan otot yang berada pada bagian bawah kulit tubuhnya”
(Yuwafi, 2016). Sebagian warna tubuh cacing tanah disebabkan oleh cairan
kulomik kuning atau sel klorogen hijau yang berada di dekat permukaan kulit
cacing tanah. Hanafiah menyatakan bahwa “warna pada bagian dada dan perut
pada umumnya lebih muda dibandingkan dengan bagian tubuh lainnya kecuali
pada cacing Megascolidae yang memiliki pigmen gelap dan berwarna sama”
(Hanafiah, 2005). Hanafiah menambahkan bahwa “cacing tanah yang tidak
memiliki pigmen ataupun yang berpigmen sedikit jika memiliki kulit
transparan maka cenderung berwarna merah atau merah muda. Sedangkan
19
cacing yang memiliki kulit irridescent kulitnya terlihat biru seperti pada
Lumbricus dan Dendrobaena” (Hanafiah, 2005).
Cacing tanah merupakan hewan hermaprodit yang memiliki kelamin
ganda pada tubuhnya. Menurut Maulida “lubang jantan umumnya terletak pada
bagian atas klitelum, dan lubang betina terletak pada bagian bawah klitelum”
(Maulida, 2015). Meskipun cacing tanah berkelamin ganda, cacing tanah tidak
dapat melakukan perkawinan dengan tubuhnya sendiri. Cacing tanah untuk
dapat berkembangbiak umumnya melakukan perkawinan dengan cacing
dewasa lainnya. Khairuman and Amri menambahkan bahwa “ciri-ciri cacing
yang sudah dewasa yaitu berumur diatas 2,5 bulan dan klitelumnya sudah
terbentuk” (Khairuman and Amri, 2009).
2.5.2.3 Ekologi Cacing Tanah
2.5.2.3.1 Kelembaban
Menurut Jayanti “kelembaban sangat berpengaruh pada produktifitas cacing
tanah, hal tersebut dikarenakan tubuh caing tanah mengandung air sebesar
75-90%” (Jayanthi, Widhiastuti and Jumilawaty, 2014). Kelembababan
lingkungan tempat hidup cacing penting untuk mempertahankan cadangan
air yang ada dalam tubuh cacing tersebut. Khairuman and Amri menjelaskan
bahwa “kondisi lingkungan yang kering berkepanjangan memaksa cacing
untuk berimigrasi pada lingkungan yang cocok” (Khairuman and Amri,
2009). Edwards and Lofty menyatakan bahwa “cacing tanah menyukai
lingkungan yang memiliki kelembaban berkisar antara 12,5-17,2%”
(Edwards and Lofty, 1977). Menurut Firmansyah “kelembaban tanah yang
20
terlalu tinggi menyebabkan cacing berwarna pucat dan mati. Kebalikannya
jika kelembaban tanah yang terlalu rendah menyebabkan cacing masuk ke
dalam tanah dan berhenti makan dan akhirnya mati” (Firmansyah,
Setyawati and Yanti, 2017).
2.5.2.3.2 pH
Tingkat keasaman (pH) tanah sangat berpengaruh pada tingkat populasi
cacing tanah. Handayanto menyatakan bahwa “cacing tanah tumbuh dengan
baik pada pH berkisar antara 6-7.2” (Handayanto, 2009 dalam (Firmansyah,
Setyawati and Yanti, 2017). Hanafiah menyatakan bahwa “cacing pada
umumnya dapat tumbuh dengan baik pada pH netral, L. terrestris, A.
caliginose hidup pada tanah masam pada pH berkisar antara 5.2-5.4,
Megascolex hidup pada tanah masam pada pH berkisar antara 4.7-5.1,
Dendrobaena octaedra dapat hidup pada tanah yang memiliki pH dibawah
4.3, Eisenia foetida menyukai tanah yang memiliki pH berkisar antara 7.0-
8.0” (Hanafiah, 2005).
2.5.2.3.4 Suhu
Cacing tanah sangat sensitif terhadap perubahan suhu. Menurut Sukami
“cacing tanah pada habitatnya apabila suhu lingkungan hidupnya terlalu
panas, maka cacing tanah akan masuk lebih dalam ke dalam tanah. Suhu
optimum lingkungan cacing tanah yaitu berkisar antar 15-30℃” (Sukami,
2009). Handayanto menambahkan “pada daerah tropik temperatur tanah
yang ideal bagi pertumbuhan cacing tanah dan penetasan kokon yaitu
berkisar antara 15-25℃. Temperatur di atas 25℃ masih cocok untuk
21
pertumbuhan cacing tanah namun harus seimbang dengan kelembaban
yang mendukung pertumbuhan cacing tanah” (Handayanto, 2009 dalam
Agustina, 2016).
2.5.2.3.5 Vegetasi
Suin menyatakan bahwa “cacing banyak ditemukan pada tanah yang
memiliki vegetasi yang rapat, karena sifat fisik tanah lebih baik dan
banyak ditemukan seresah yang merupakan sumber makanan bagi
cacing tanah” (Suin, 1982 dalam Morario, 2009). Edwards and Lofty
menambahkan bahwa “vegetasi yang beragam mempengaruhi jumlah
masukan bahan organik. Cacing tanah pada umumnya lebih menyukai
seresah herba dan sebaliknya cacing tanah kurang menyukai seresah
tanaman berdaun jarum dan seresah daun yang sudah gugur” (Edwards
and Lofty, 1977).
2.5.2.3.5 Bahan Organik
Bahan organik merupakan sumber energi bagi cacing tanah. Menurut
Jayanti “cacing tanah dapat berkembangbiak dengan baik pada tanah
yang subur, yaitu tanah yang memiliki kandungan bahan organik
tinggi” (Jayanthi, Widhiastuti and Jumilawaty, 2014). Sari and Lestari
menyatakan bahwa “kandungan bahan organik yang tinggi pada tanah
menyebabkan aktivitas dan populasi cacing tanah meningkat, terutama
pada aktivitas cacing tanah sebagai dekomposisi dan mineralisasi bahan
organik tanah” (Sari and Lestari, 2014). Hanafiah menjelaskan bahwa
“pada tanah yang miskin kandungan bahan organik jumlah cacing yang
22
dijumpai hanya sedikit. Jika jumlah cacing tanah yang dijumpai sedikit
pada daerah yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi, maka
pelapukan akan terganggu seperti pada hutan dan padang rumput”
(Hanafiah, 2005).
2.5.2.4 Peranan Cacing Tanah
Hanafiah menyatakan bahwa “cacing tanah secara umum berperan
sebagai penyubur dan penyehat tanah, karena cacing tanah memiliki
kemampuan memperbaiki kesuburan tanah, seperti ketersediaan unsur hara
tanah dan dekomposisi bahan organik sehingga dapat meningkatkan
produktivitas pada tanah” (Hanafiah, 2005).
Menurut Schwert “liang cacing tanah dapat meningkatkan infiltrasi dan
aerasi tanah, menurunkan aliran permukaan tanah dan erosi” (Schwert, 1990
dalam Subowo, 2011). Handayanto and Hairiyah menyatakan bahwa “aktivitas
cacing tanah yang meninggalkan liang dapat meningkatkan porositas tanah”
(Handayanto and Hairiyah, 2007 dalam Yuwafi, 2016). Liang tanah yang
dibuat oleh cacing dapat bertahan lama meskipun cacing yang menghuninya
telah mati.
Dwiastuti menyatakan bahwa “cacing tanah bermanfaat terhadap kesuburan
tanah, hal tersebut dikarenakan aktivitas cacing tanah yang membawa bahan organik
ke dalam tanah dapat mengubah bahan organik tersebut menjadi humus” (Dwiastuti,
2016). Hanafiah menjelaskan bahwa “terdapat beberapa spesies cacing yang dapat
mengakumulasi logam-logam berat tertentu pada tanah yang memiliki kadungan
logam berat yang rendah maupun yang tinggi” (Hanafiah, 2005).
23
2.5.3 Mikroorganisme Tanah
Tanah dihuni oleh berbagai macam mikroorganisme tanah yang jumlahnya
dapat mencapai jutaan per gram tanah. Mikroorganisme tanah berperan penting
dalam pelapukan unsur hara pada tanah. Besarnya total mikroorganisme tanah dapat
dijadikan parameter kesuburan suatu tanah. Menurut Anas “ketersediaan
mikroorganisme tanah dapat mempengaruhi sifat fisik maupun sifat kimia pada
tanah” (Anas, 1989 dalam Utami, 2009). Soepardi menyatakan bahwa “populasi
mikroorganisme yang tinggi menggambarkan adanya suplai makanan yang cukup
dan ditambahkan dengan ketersediaan air yang cukup, temperatur yang sesuai dan
ekologi lain yang mendukung perkembangan dari mikroorganisme” (Soepardi,
1983 dalam Rahmawati, 2007). Jumlah mikroorganisme berguna dalam
menentukan tempat mikroorganisme dan tempat perakaran, sisa bahan organik
maupun kedalaman profil tanah. Anas menambahkan bahwa “jumlah
mikroorganisme berguna dalam menentukan tempat organisme yang berhubungan
dengan sistem perakaran, sisa bahan organik tanah, dan kedalaman profil tanah”
(Anas, 1989 dalam Purwanto, 2012). Menurut Munir “mikroorganisme tanah
meliputi jamur, bakteri dan aktinomisetes yang merupakan komponen penting
dalam ekosistem tanah, karena memiliki peran utama dalam siklus nutrisi,
mempertahankan struktur tanah, dan mengatur pertumbuhan tanaman melalui
transformasi bahan-bahan kimia yang tersedia dalam tanah” (Munir, 2006 dalam
Febrianto, 2017).
24
2.5.4 Fungi
Fungi, jasad heterotropik, banyak hidup dan beraktivitas dalam tanah yang
memiliki aerasi yang baik. Fungi berperan penting dalam perubahan susunan tanah.
Fungi tidak memiliki klorofil sehingga sangat bergantung pada karbon dan bahan
organik untuk mendapatkan energi. Fungi berperan penting dalam penguraian
bahan organik tanah. Menurut Waluyo “fungi berperan dalam mendegradasi
molekul-molekul kompleks seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, peptin, dan pati”
(Waluyo, 2013). Fungi dibedakan mejadi tiga yaitu kapang, ragi dan juga jamur.
Soepradi menyatakan bahwa “kapang dan jamur berperan penting dalam pertanian.
Hal tersebut dikarenakan dapat membantu dekomposisi bahan organik pada
keadaan masam” (Soepardi, 1983 dalam Rahmawati, 2007). Fungi memperolah
makan dari proses dekomposisi bahan organik tanah. Wasis menyatakan bahwa
“fungi hidup bersimbiotik pada akar tanaman, dimana fungi dan akar tanaman
saling beruntung. Fungi hidup bersimbiotik dengan membantu akar tanaman dalam
meningkatkan penyerapan unsur hara” (Wasis, Setiadi and Purwanto, 2012).
2.5.5 Bakteri Tanah
Bakteri dalam habitatnya yaitu di dalam tanah membentuk koloni. Menurut
Cahyono “di dalam tanah yang subur mengandung bakteri tidak kurang dari 100
juta bakteri hidup per gram tanah” (Cahyono, 2014). Santosa menyatakan bahwa
“bakteri dapat menghasilkan enzin Phosphatase dan asam-asam organik yang
mampu melarutkan fosfat tanah maupun sumber fosfat” (Santosa et al. 1999 dalam
Utami, 2009). Selain menghasilkan enzim Phrotophase, bakteri mampu mengikat
nitrogen. Menurut Waluyo “bakteri memiliki kemampuan untuk mengikat nitrogen
25
yang ada di udara dan mengubahnya menjadi amoniumnitrat” (Waluyo, 2010).
Soepardi menyatakan bahwa “bakteri tanah berfungsi turut ikut serta dalam
perubahan bahan organik, mengendalikan reaksi enzimatik yaitu nitrifikasi dan
pelarut fosfat. Umumnya jumlah bakteri tanah banyak dijumpai pada lapisan atas
tanah, berkisar antara 3-4 milyar tiap gram tanah kering. Jumlah bakteri dalam tanah
bervariasi dikarenakan perkembangan bakteri dipangaruhi oleh keadaan tanah”.
(Soepardi, 1983 dalam Purwanto, 2012).