BAB I
GANGGUAN MENTAL ORGANIK
A. PENDAHULUAN
Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat suatu patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak. penyakit cerebrovaskuler, intoksifikasi obat).1,2,3 Sedangkan gangguan fungsional adalah gangguan otak dimana tidak ada dasar organik yang dapat diterima secara umum (contohnya Skizofrenia. Depresi) Dari sejarahnya, bidang neurologi telah dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut organik dan Psikiatri dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut fungsional.1
Didalam DSM IV diputusakan bahwa perbedaan lama antara gangguan organik dan fungsional telah ketinggalan jaman dan dikeluarkan dari tata nama. Bagian yang disebut “Gangguan Mental Organik” dalam DSM III-R sekarang disebut sebagai Delirium, Demensia, Gangguan Amnestik Gangguan Kognitif lain, dan Gangguan Mental karena suatu kondisi medis umum yang tidak dapat diklasifikasikan di tempat lain.1
Menurut PPDGJ III gangguan mental organik meliputi berbagai gangguan jiwa yang dikelompokkan atas dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera atau ruda paksa otak, yang berakibat disfungsi otak Disfungsi ini dapat primer seperti pada penyakit, cedera, dan ruda paksa yang langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder, seperti pada gangguan dan penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa organ atau sistem tubuh4
PPDGJ II membedakan antara Sindroma Otak Organik dengan Gangguan Mental Organik. Sindrom Otak Organik dipakai untuk menyatakan sindrom (gejala) psikologik atau perilaku tanpa kaitan dengan etiologi. Gangguan Mental Organik dipakai untuk Sindrom Otak Organik yang etiolognnya (diduga) jelas Sindrom Otak Organik dikatakan akut atau menahun berdasarkan dapat atau tidak dapat kembalinya (reversibilitas) gangguan jaringan otak atau Sindrom Otak Organik itu dan akan berdasarkan penyebabnya, permulaan gejala atau lamanya penyakit yang menyebabkannya. Gejala utama Sindrom Otak Organik akut ialah kesadaran yang menurun (delirium )dan sesudahnya terdapat amnesia, pada Sindrom Otak Organik menahun (kronik) ialah demensia.2,4
BAB II
PERBANDINGAN PENGGOLONGAN DIAGNOSISGANGGUAN MENTAL ORGANIK
Menurut PPDGJ III, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut :
l. Demensia pada penyakit Alzheimer
1.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini.
1.2.Demensia pada penvakit Alzheimer dengan onset lambat.
1.3.Demensia pada penyakit Alzheimer, tipe tak khas atau tipe campuran.
1.4. Demensia pada penyakit Alzheimer Yang tidak tergolongkan ( YTT).
2. Demensia Vaskular
2.1.Demensia Vaskular onset akut.
2.2. Demensia multi-infark
2.3 Demensia Vaskular subkortikal.
2.4. Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal
2.5. Demensia Vaskular lainnya
2.6. Demensia Vaskular YTT
3. Demensia pada penyakit lain yang diklasifikasikan di tempat lain (YDK)
3.1. Demensia pada penyakit Pick.
3.2. Demensia pada penyakit Creutzfeldt – Jakob.
3. 3. Demensia pada penyakit huntington.
3.4. Demensia pada penyakit Parkinson.
3.5. Demensia pada penyakit human immunodeciency virus (HIV).
3.6. Demensia pada penyakit lain yang ditentukan (YDT) dan YDK
4. Demensia YTT.
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada 1-4 sebagai berikut :
1. Tanpa gejala tambahan.
2. Gejala lain, terutama waham.
3. Gejala lain, terutama halusinasi
4. Gejala lain, terutama depresi
5. Gejala campuran lain.
5. Sindrom amnestik organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya
6. Delirium bukan akibat alkohol dan psikoaktif lain nya
6.1. Delirium, tak bertumpang tindih dengan demensia
6.2. Delirium, bertumpang tindih dengan demensia
6. 3. Delirium lainya.
6.4 DeliriumYTT.
7. Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik.
7.1. Halusinosis organik.
7.2. Gangguan katatonik organik.
7.3. Gangguan waham organik (lir-skizofrenia)
7.4. Gangguan suasana perasaan (mood, afektif) organik.
7.4.1. Gangguan manik organik.
7.4.2. Gangguan bipolar organik.
7.4.3. Gangguan depresif organik.
7.4.4. Gangguan afektif organik campuran.
7.5. Gangguan anxietas organik
7.6. Gangguan disosiatif organik.
7.7. Gangguan astenik organik.
7.8. Gangguan kopnitif ringan.
7.9. Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik lain YDT.
7.10. Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik YTT.
8. Gangguan keperibadian dan prilaku akibat penyakit, kerusakan dan fungsi otak
8.1. Gangguan keperibadian organik
8.2. Sindrom pasca-ensefalitis
8.3. Sindrom pasca-kontusio
8.4. Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit, kerusakan dan disfungsi otak lainnya.
8.5. Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit, kerusakan dan disfungsi otak YTT.
9. Gangguan mental organik atau simtomatik YTT
Menurut Maramis, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut:
1. Demensia dan Delirium2. Sindrom otak organik karena rudapaksa kepala.3. Aterosklerosis otak4. Demensia senilis5. Demensia presenilis.6. Demensia paralitika.7. Sindrom otak organik karena epilepsi.8. Sindrom otak organik karena defisiensi vitamin, gangguan metabolisme dan
intoksikasi.9. Sindrom otak organik karena tumor intra kranial.
Menurut DSM IV, klasifikasi gangguan mental organik sebagai berikut:
1. Delirium
1.1. Delirium karena kondisi medis umum.
1.2. Delirium akibat zat.
1.3. Delirium yang tidak ditentukan (YTT)
2. Demensia.
2.1. Demensia tipe Alzheimer.
2.2. Demensia vaskular.
2.3. Demensia karena kondisi umum.
2.3.1. Demensia karena penyakit HIV.
2.3.2. Demensia karena penyakit trauma kepala.
2.3.3. Demensia karena penyakit Parkinson.
2.3.4. Demensia karena penyakit Huntington.
2.3.5. Demensia karena penyakit Pick
2.3.6. Demensia karena penyakit Creutzfeldt – Jakob
2.4. Demensia menetap akibat zat
2.5. Demensia karena penyebab multipeL
2.6. Demensia yang tidak ditentukan (YTT)
3. Gangguan amnestik
3.1.Gangguan amnestik karena kondisi medis umum.
3.2 Gangguan amnestik menetap akibat zat
3.3 Gangguan amnestik yang tidak ditentukan ( YTT )
4. Gangguan kognitif yang tidak ditentukan.
BAB III
ISI
Delirium
Delirium adalah suatu sindrom dengan gejala pokok adanya gangguan kesadaran yang biasanya tampak dalam bentuk hambatan pada fungsi kognitif.1,3
Etiologi
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola gejala serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien. Penyebab utama dapat berasal dari penyakit susunan saraf pusat seperti ( sebagai contoh epilepsi ), penyakit sistemik, dan intoksikasi atau reaksi.3 putus obat maupun zat toksik. Penyebab delirium terbanyak terletak di luar sistem pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Neurotransmiter yang dianggap berperan adalah asetilkolin, serotonin, serta glutamat Area yang terutama terkena adalah formasio retikularis.1
Penyebab Delirium
Penyakit intrakranial
1. Epilepsi atau keadaan pasca kejang2. Trauma otak (terutama gegar otak)3. Infeksi (meningitis.ensetalitis).4. Neoplasma.
1. Gangguan vaskular
Penyebab ekstrakranial
1. Obat-obatan (di telan atau putus),
Obat antikolinergik, Antikonvulsan, Obat antihipertensi, Obat antiparkinson. Obat antipsikotik, Cimetidine, Klonidine. Disulfiram, Insulin, Opiat, Fensiklidine, Fenitoin, Ranitidin, Sedatif(termasuk alkohol) dan hipnotik, Steroid.
1. Racun
Karbon monoksida, Logam berat dan racun industri lain.
1. Disfungsi endokrin (hipofungsi atau hiperfungsi)
Hipofisis, Pankreas, Adrenal, Paratiroid, tiroid
1. Penyakit organ nonendokrin.
Hati (ensefalopati hepatik), Ginjal dan saluran kemih (ensefalopati uremik),
Paru-paru (narkosis karbon dioksida, hipoksia), Sistem kardiovaskular (gagal jantung, aritmia, hipotensi).
1. Penyakit defisiensi (defisiensi tiamin, asam nikotinik, B12 atau asain folat)2. Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis.3. Ketidakseimbangan elektrolit dengan penvebab apapun4. Keadaan pasca operatif5. Trauma (kepala atau seluruh tubuh)6. Karbohidrat: hipoglikemi.1,3,4
Faktor predisposisi terjadinya delirium, antara lain:
Usia Kerusakan otak Riwayatdelirium Ketergantungan alkohol Diabetes Kanker Gangguan panca indera Malnutrisi.3
Diagnosis
Kriteria Diagiostik untuk Delirium Karena Kondisi Medis Umum:
1. Gangguan kesadaran (yaitu, penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan) dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, atau mengalihkan perhatian.
2. Gangguan timbul setelah suatu periode waktu yang singkat (biasanya beberapa jam sampai hari dan cenderung berfluktuasi selama perjalanan hari.
1. Perubahan kognisi (seperti defisit daya ingat disorientasi, gangguan bahasa) atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak lebih baik diterangkan demensia yang telah ada sebelumnya, yang telah ditegakkan, atau yang sedang timbul.
1. Terdapat bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan Iaboratorium bahwa gangguan adalah disebabkan oleh akibat fisiologis langsung dan kondisi medis umum.
Catatan penulisan : Masukkan nama kondisi medis umum dalam Aksis I, misalnya, delirium karena ensefalopati hepatik, juga tuliskan kondisi medis umum pada Aksis III
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan standar
a. Kimia darah (termasuk elektrolit, indeks ginjal dan hati, dan glukosa)
b. Hitung darah lengkap (CBC) dengan defensial sel darah putih
c. Tes fungsi tiroid
d. Tes serologis untuk sifilis
e. Tes antibodi HIV (human Immunodeficiency virus) f Urinalisa
g. Elektrokardiogram (EKG)
h. Elektroensefalogram (EEG)
i. Sinar X dada
j. Skrining obat dalam darah dan urin
‘I’es tambahan jika diindikasikan :
1. Kultur darah, urin, dan cairan serebrospinalis2. Konsentrasi B 12, asam folat3. Pencitraan otak dengan tomografi komputer (CT) atau pencitraan resonansi magnetik
(MRI)4. Pungsi lumbal dan pemetiksaan cairan serebrospinalis
Gambaran klinis
Kesadaran (Arousal)
Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien dengan delirium, satu pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan dengan peningkatan kesiagaan. Pola lain ditandai oleh penurunan kesiagaan. Pasien dengan delirium yang berhubungan dengan putus zat seringkali mempunyai delirium hiperaktif, yang juga dapat disertai dengan tanda otonomik, seperti kemerahan kulit, pucat, berkeringat, takikardia, pupil berdilatasi, mual, muntah, dan hipertermia. Pasien dengan gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan sebagai depresi, katatonik atau mengalami demensia.1
Orientasi
Orientasi terhadap waktu, tempat dan orang harus diuji pada seorang pasien dengan delirium. Orientasi terhadap waktu seringkali hilang bahkan pada kasus delirium yang ringan. Orientasi terhadap tempat dan kemampuan untuk mengenali orang lain (sebagai contohnya, dokter,
anggota keluarga) mungkin juga terganggu pada kasus yang berat Pasien delirium jarang kehilangan orientasi terhadap dirinya sendiri.
Bahasa dan Kognisi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai kelainan dalam bahasa. Kelainan dapat berupa bicara yang melantur, tidak relevan, atau membingungkan (inkoheren) dan gangguan kemampuan untuk mengerti pembicaraan Fungsi kognitif lainnya yang mungkin terganggu pada pasien delirium adalah fungsi ingatan dan kognitif umum Kemampuan untuk menyusun, mempertahankan dan mengingat kenangan mungkin terganggu, walaupun ingatan kenangan yang jauh mungkin dipertahankan. Disarnping penurunan perhatian, pasien mungkin mempunyai penurunan kognitif yang dramatis sebagai suatu gejala hipoaktif delirium yang karakteristik. Pasien delirium juga mempunyai gangguan kemampuan memecahkan masalah dan mungkin mempunyai waham yang tidak sistematik, kadang kadang paranoid.
Persepsi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidak mampuan umum untuk membedakan stimuli sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi sekarang dengan pengalaman masa lalu mereka. Halusinasi relatif sering pada pasien delirium. Halusinasi paling sering adalah visual atau auditoris walaupun halusinasi dapat taktil atau olfaktoris. Ilusi visual dan auditoris adalah sering pada delirium.
Suasana Perasaan
Pasien dengan delirium mempunyai kelainan dalam pengaturan suasana Gejala yang paling sering adalah kemarahan, kegusaran, dan rasa takut yang tidak beralasan. Kelainan suasana perasaan lain adalah apati, depresi, dan euforia.
Gejala Penyerta : Gangguan tidur-bangun
Tidur pada pasien delirium secara karakteristik adalah tergangga Paling sedikit mengantuk selama siang hari dan dapat ditemukan tidur sekejap di tempat tidurnya atau di ruang keluarga. Seringkali keseluruhan siklus tidur-bangun pasien dengan delirium semata mata terbalik. Pasien seringkali mengalami eksaserbasi gejala delirium tepat sebelum tidur, situasi klinis yang dikenal luas sebagai sundowning.1
Gejala neurologis
Gejala neurologis yang menyertai, termasuk disfagia, tremor, asteriksis, inkoordinasi, dan inkontinensia urin.
Diagnosis Banding
a. Demensia
b. Psikosis atau Depresi
Pengobatan
Tujuan utama adalah mengobati gangguan dasar yang menyebabkan delirium. Tujuan pengobatan yang penting lainnya adalah memberikan bantuan fisik, sensorik, dan lingkungan. Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis adalah psikosis dan insomnia Obat yang terpilih untuk psikosis adalah haloperidol (Haldol), suatu obat antipsikotik golongan butirofenon, dosis awal antara 2 – 10 mg IM, diulang dalam satu jam jika pasien tetap teragitasi, segera setelah pasien tenang, medikasi oral dalam cairan konsentrat atau bentuk tablet dapat dimulai, dosis oral +I,5 kali lebih tinggi dibandingkan dosis parenteral Dosis harian efektif total haloperidol 5 – 50 mg untuk sebagian besar pasien delirium. Droperidol (Inapsine) adalah suatu butirofenon yang tersedia sebagai suatu formula intravena alternatif monitoring EKG sangat penting pada pengobatan ini
Insomnia diobati dengan golongan benzodiazepin dengan waktu paruh pendek, contohnva. hidroksizine (vistaril) dosis 25 – 100 mg.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Onset delirium biasanya mendadak, gejala prodromal (kegelisahan dan ketakutan) dapat terjadi pada hari sebelum onset gejala yang jelas. Gejala delirium biasanya berlangsung selama faktor penyebab yang relevan ditemukan, walaupun delirium biasanya berlangsung kurang dari I minggu setelah menghilangnya faktor penyebab, gejala delirium menghilang dalam periode 3 – 7 hari, walaupun beberapa gejala mungkin memerlukan waktu 2 minggu untuk menghilang secara lengkap. Semakin lanjut usia pasien dan semakin lama pasien mengalami delirium, semakin lama waktu yang diperlukan bagi delirium untuk menghilang. Terjadinya delirium berhubungan dengan angka mortalitas yang tinggi pada tahun selanjutnya, terutama disebabkan oleb sifat serius dan kondisi medis penyerta.1
DEMENSIA
Demensia merupakan suatu gangguan mental organik yang biasanya diakibatkan oleh proses degeneratif yang progresif dan irreversible yang mengenai arus pikir. Demensia merupakan sindroma yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dipengaruhi pada demensia adalah inteligensia umum, belajar dan ingatan, bahasa, memecahkan masalah, orientasi, persepsi, perhatian, dan konsentrasi, pertimbangan, dan kemampuan sosial. Kepribadian pasien juga terpengaruh.
Epidemiologi
Demensia sebenarnya adalah penyakit penuaan. Dan semua pasien demensia, 50 – 60% menderita demensia tipe Alzheimer yang merupakan ripe demensia yang paling sering. Kira-kira 5% dari semua orang yang mencapai usia 65 tahun menderita demensia tipe Alzhermer, dibandingkan 15 – 25% dan semua orang yang berusia 85 tahun atau lebih. Tipe demensia yang paling sering kedua adalah demensia vaskular yaitu demensia yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit serebrovaskular, berkisar antara 15 – 30% dari semua kasus demensia, sering pada usia 60 – 70 tahun terutama pada laki-laki. Hipertensi merupakan faktor predisposisi terhadap penyakit demensia vaskular.
Penyebab
1. Penyakit Alzheimer2. Demensia Vaskular
3. Infeksi4. Gangguan nutrisional5. Gangguan metabolik6. Gangguan peradangan kronis
1. Obat dan toksin (termasuk demensia alkoholik kronis)2. Massa intrakranial : tumor, massa subdural, abses otak3. Anoksia4. Trauma (cedera kepala, demensia pugilistika (punch-drunk syndrome))5. Hidrosefalus tekanan normal
Diagnosis
Kriteria Diagnostik untuk Demensia Tipe Alzheimer :
a. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh baik
1. Gangguan daya ingat (gangguan kemampuan untuk mempelajari informasi baru dan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya).
2. Satu (atau lebih) gangguan kogntif berikut :
a. Afasia (gangguan bahasa)
b. Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun fungsi motorik adalah utuh)
c. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentitikasi benda walaupun fungsi sensorik adalah utuh)
d. Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu, merencanakan, mengorganisasi, mengurutkan, dan abstrak)
b. Defisit kognitif dalam kriteria al dan a2 masing-masing menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan suatu penurunan bermakna dari tingkat fungsi sebelumnya.
c. Defisit tidak terjadi semata-mata hanya selama perjalanan suatu delirium dan menetap melebihi lama yang lazim dari intoksikasi atau putus zat.
d. Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium bahwa defisit secara etiologis berhubungan dengan efek menetap dari pemakaian zat (misalnya suatu obat yang disalahgunakan).
Kondisi akibat zat
Defisit tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan Aksis I lainnya (misalnya, gangguan depresif berat, skizofrenia)
Kode didasarkan pada tipe onset dan ciri yang menonjol :
1. Dengan onset dini : jika onset pada usia 65 tahun atau kurang2. Dengan delirium : jika delirium menumpang pada demensia3. Dengan waham : jika waham merupakan ciri yang menonjol
1. Dengan suasana perasaan terdepresi : jika suasana perasaan terdepresi (termasuk gambaran yang memenuhi kriteria gejala lengkap untuk episode depresif berat) adalah ciri yang menonjol. Suatu diagnosis terpisah gangguan suasana perasaan karena kondisi medis umum tidak diberikan.
2. Tanpa penyulit : jika tidak ada satupun diatas yang menonjol pada gambaran klinis sekarang
Sebutkan jika : Dengan gangguan perilaku.
Catatan penulisan juga tuliskan penyakit Alzheimer pada aksis III.
Kriteria Diagnostik untuk Demensia Vaskular :
a. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh baik,
1. Gangguan daya ingat (ganguan kemampuan untuk mempelajari informasi baru dan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya)
1. Afasia (gangguan bahasa)2. Apraksia (gangguan untuk mengenali atau melakukan aktivitas motorik
ataupun fungsi motorik adalah utuh)3. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun
fungsi sensorik adalah utuh)4. Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu, merencanakan, mengorganisasi,
mengurutkan, dan abstrak)
1. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut :
b. Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan A2 masing-masing menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan suatu penurunan bermakna dan tingkat fungsi sebelumnya.
c. Tanda dan gejala neurologis fokal (misalnya, peninggian refleks tendon dalam, respon ekstensor plantar, palsi pseudo bulbar, kelainan gaya berjalan, kelemahan pada satu ekstremitas) atau tanda-tanda laboratorium adalah indikatif untuk penyakit serebrovaskular (misalnya, infark multipel yang mengenai korteks dan substansia putih di bawahnya) yang berhubungan secara etiologi dengan gangguan.
d. Defisit tidak terjadi semata-mata selama perjalanan delirium
Kode didasarkan pada ciri yang menonjol
1. Dengan delirium :jika delirium menumpang pada demensia2. Dengan waham jika waham merupakan ciri yang menonjol3. Dengan suasana perasaan terdepresi : jika suasana perasaan terdepresi (termasuk
gambaran yang memenuhi kriteria gejala lengkap untuk episode depresif berat) adalah
ciri yang menonjol. Suatu diagnosis terpisah gangguan suasana perasaan karena kondisi medis umum tidak diberikan.
4. Tanpa penyulit : jika tidak ada satupun di alas yang menonjol pada gambaran klinis sekarang.
Sebutkan jika : Dengan gangguan perilaku
Catalan penulisan : juga tuliskan kondisi serebrovaskular pada Aksis III.
Pemeriksaan lengkap :
1. Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan neorologis lengkap2. Tanda vital3. Mini – mental state exemenation ( MMSE )4. Pemeriksaan medikasi dan kadar obat5. Skrining darah dan urin untuk alkohol
1. Pemeriksaan fisiologis 1. Elektrolit, glukosa, Ca , Mg.2. Tes fungsi hati, ginjal3. SMA -12 atau kimia serum yang ekuivalen4. Urinalisa5. Hit sel darah lengkap dan sel deferensial6. Tes fungsi tiroid7. FTA – ABS8. B129. Kadar folat10. Kortikosteroid urine11. Laju endap eritrosit12. Antibodi antinuklear, C3C4, anti DSDNA13. Gas darah Arterial14. Skrining H I V15. Porpobilinogen Urin.
7. Sinar-X dada
8. Elektrokardiogram (EKG)
9. Pemeriksaan neurologis
a. CT atau MRI kepala
b. SPECT
c. Pungsi lumbal
d. EEG
10. Tes neuropsikologis
Gambaran Klinis
Gangguan Daya Ingat
Gangguan ingatan biasanya merupakan ciri yang awal don menonjol pada demensia, khususnya pada demensia yang mengenai korteks, seperti demensia tipe Alzheimer. Pada awal perjalanan demensia, gangguan daya ingat adalah ringan dan paling jelas untuk peristiwa yang baru terjadi
Orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, waktu dan tempat, orientasi dapat terganggu secara progresif selama perialanan penyaki Demensia. Sebagai contohnya, pasien dengan Demensia mungkin lupa bagaimana kembali ke ruangannya setelah pergi ke kamar mandi. tetapi, tidak masalah bagaimana beratnya disorientasi, pasien tidak menunjukkan gangguan pada tingkat kesadaran.
Gangguan Bahasa
Proses demensia yang mengenai korteks, terutama demensia tipe Alzheimer dan demensia vaskular, dapat mempengaruhi kemampuan berbahasa pasien. Kesulitan berbahasa ditandai oleh cara berkata yang samar-samar, stereotipik tidak tepat, atau berputar-putar.
Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian merupakan gambaran yang paling mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Pasien demensia mempunyai waham paranoid. Gangguan frontal dan temporal kemungkinan mengalami perubahan keperibadian yang jelas, mudah marah dan m eledak – ledak.
Psikosis
Diperkirakan 20 -30% pasien demensia tipe Alzheimer, memiliki halusinasi, dan 30 – 40% memiliki waham, terutama dengan sifat paranoid atau persekutorik dan tidak sistematik.
Gangguan Lain
Psikiatrik
Pasien demensia juga menunjukkan tertawa atau menangis yang patologis yaitu, emosi yang ekstrim tanpa provokasi yang terlihat.
Neurologis
Disamping afasia, apraksia dan afmosia pada pasien demensia adalah sering. Tanda neurologis lain adalah kejang pada demensia tipe Alzheimer clan demensia vaskular.
Pasien demensia vaskular mempunyai gejala neurologis tambahan seperti nyeri kepala, pusing, pingsan, kelemahan, tanda neurologis fokal, dan gangguan tidur. Palsi serebrobulbar, disartria, dan disfagia lebih sering pada demensia vaskular.
Reaksi yang katastropik
Ditandai oleh agitasi sekunder karena kesadaran subjektif tentang defisit intelektualnya di bawah keadaan yang menegangkan, pasien biasanya berusaha untuk mengkompensasi defek tersebut dengan menggunakan strategi untuk menghindari terlihatnya kegagalan dalam daya intelektual, seperti mengubah subjek, membuat lelucon, atau mengalihkan pewawancara dengan cara lain.
Sindroma Sundowner
Ditandai oleh mengantuk, konfusi, ataksia, dan terjatuh secara tidak disengaja. Keadaan ini terjadi pada pasien lanjut usia yang mengalami sedasi berat dan pada pasien demensia yang bereaksi secara menyimpang bahkan terhadap dosis kecil obat psikoaktif.
Diagnosis Banding
1. Serangan iskemik transien2. Depresi3. Penuaan normal
1. Delirium
1. Gangguan Buatan (Factitious Disorders)2. Skizofrenia
Pengobatan
Pendekatan pengobatan umum adalah untuk memberikan perawatan medis suportit, bantuan emosional untuk pasien dan keluarganya, dan pengobatan farmakologis untuk gejala spesifik (perilaku yang mengganggu). Pengobatan farmakologis dengan obat yang mempunyai aktivitas antikolinergik yang tinggi harus dihindari. Walaupun thioridazine (Mellaril), yang mempunyai aktivitas antikolinergik yang tinggi, merupakan obat yang efektif dalam mengontrol perilaku pasien demensia jika diberikan dalam dosis kecil. Benzodiazepim kerja singkat dalam dosis kecil adalah medikasi anxiolitik dan sedatif yang lebih disukai untuk pasien demensia. Zolpidem (Ambient) dapat digunakan untuk tujuan sedatif. TetrahidroaminoKridin (Tacrine) sebagai suatu pengobatan untuk penyakit Alzheimer, obat ini merupakan inhibitor aktivitas antikolinesterase dengan lama kerja yang agak panjang.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Perjalanan klasik dan demensia adalah onset pada pasien usia 50 – 60 tahun dengan pemburukan bertahap selama 5 – 10 tahun, yang akhirnya menyebabkan kematian. usia saat onset dan kecepatan pemburukannya adalah bervariasi diantara tipe demensia yang berbeda dan dalam kategori diagnostik individual.
GANGGUAN AMNESTIK
Gangguan amnestik ditandai terutama oleh gejala tunggal suatu gangguan daya ingat yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan. Diagnosis gangguan amnestik tidak dapat dibuat jika mempunyai tanda lain dari gangguan kognitif, seperti yang terlihat pada demensia, atau jika mempunyai gangguan perhatian (attention) atau kesadaran, seperti yang terlihat pada delirium.
Epidemiologi
Beberapa penelitian melaporkan insiden atau prevalensi gangguan ingatan pada gangguan spesifik (sebagai contohnya sklerosis multipel). Amnesia paling sering ditemukan pada gangguan penggunaan alkohol dan cedera kepala.
Penyebab
1. Kondisi medis sistemik
a. Defisiensi tiamin (Sindroma Korsakoff)
b. Hipoglikemia
2. Kondisi otak primer
1. Kejang2. Trauma kepala (tertutup dan tembus)3. Tumor serebrovaskular (terutama thalamik dan lobus temporalis)4. Prosedur bedah pada otak5. Ensefalitis karena herpes simpleks6. Hipoksia (terutama usaha pencekikan yang tidak mematikan dan keracunan
karbonmonoksida)7. Amnesia global transien8. Terapi elektrokonvulsif9. Sklerosis multipel
3. Penyebab berhubungan dengan zat
a. Gangguan pengguanan alkohol
b. Neurotoksin
c. Benzodiazepin (dan sedatif- hipnotik lain)
d. Banyak preparat yang dijual bebas.
Diagnosis
Kriteria Diagnosis untuk Gangguan Amnestik Karena Kondisi Medis Umum.
1. Perkembangan gangguan daya ingat seperti yang dimanifestasikan oleh gangguan kemampuan untuk mempelajari informasi baru atau ketidak mampuan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya.
2. Ganguan daya ingat menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan merupakan penurunan bermakna dan tingkat fungsi sebelumnya.
3. Gangguan daya ingat tidak terjadi semata-mata selama perjalanan suatu delirium atau suatu demensia.
4. Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium bahwa gangguan adalah akibat fisiologis langsung dari kondisi medis umum (termasuk trauma fisik)
Sebutkan jika :
Transien : jika gangguan daya ingat berlangsung selama 1 bulan atau kurang
Kronis : jika gangguan daya ingat berlangsung lebih dari 1 bulan.
Catatan penulisan: Masukkan juga nama kondisi medis umum pada Aksis I, misalnya, gangguan amnestik karena trauma kepala, juga tuliskan kondisi pada Aksis III. 1
Gambaran Klinis
Pusat gejala dan gangguan amnestik adalah perkembangan gangguan daya ingat yang ditandai oleh gangguan pada kemampuan untuk mempelajari informasi baru (amnesia anterograd) dan ketidakmampuan untuk mengingat pengetahuan yang sebelumnya diingat (amnesia retrograd). Periode waktu dimana pasien terjadi amnesia kemungkinan dimulai langsung pada saat trauma atau beberapa saat sebelum trauma. Ingatan tentang waktu saat gangguan fisik mungkin juga hilang. Daya ingat jangka pendek (short-term memory) dan daya ingat baru saja (recent memory) biasanya terganggu. Daya ingat jangka jauh (remote post memory) untuk informasi atau yang dipelajari secara mendalam (overlearned) seperti pengalaman maka anak-anak adalah baik, tetapi daya ingat untuk peristiwa yang kurang lama ( Iewat dart 10 tahun) adalah terganggu.
Diagnosis Banding
1. Demensia dan Delirium
2. Penuaan normal
3. Gangguan disosiatif
4. Gangguan buatan
Pengobatan
Pendekatan utama adalah mengobati penyebab dasar dari gangguan amnestik Setelah resolusi episode amnestik, suatu jenis psikoterapi (sebagai contohnya, kognitif, psikodinamika, atau suportif dapat membantu pasien menerima pangalaman amnestik kedalam kehidupannya.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Onset mungkin tiba-tiba atau bertahap; gejala dapat sementara atau menetap dan hasil akhir dapat terentang dari tanpa perbaikan sampai pemulihan lengkap.1
GANCGUAN MENTAL ORGANIK LAIN
EPILEPSI
Definisi
Suatu kejang (seizure) adalah suatu gangguan patologis paroksismal sementara dalam gangguan patologis paroksismal sementara dalam fungsi cerebral yang disebabkan oleh pelepasan neuron yang spontan dan luas Pasien dikatakan menderita epilepsi jika mereka mempunyai keadaan kronis yang ditandai dengan kejang yang rekuren.
Klasifikasi
Dua kategori utama kejang adalah parsial dan umum (generalized). Kejang parsial melibatkan aktivitas epileptiformis di daerah otak setempat; kejang umum melibatkan keseluruhan otak. Suatu sistem klasifikasi untuk kejang.
Kejang umum
Kejang tonik klonik umum mempunyai gejala klasik hilangnya kesadaran, gerakan tonik klonik umum pada tungkai, menggigit lidah, dan inkotinensia. Walaupun diagnosis peristiwa kilat dari kejang adalah relatif langsung, keadaan pascaiktal yang ditandai oleh pemulihan kesadaran dan kognisi yang lambat dan bertahap kadang-kadang memberikan suatu dilema diagnostik bagi dokter psiktatrik di ruang gawat darurat. Periode pemulihan dan kejang tonik klonik umum terentang dari beberapa menit sampai berjam-jam. Gambaran klinis adalah delirium yang menghilang secara bertahap. Masalah psikiatrik yang paling sering berhubungan dengan kejang umum adalah membantu pasien menyesuaikan gangguan neurologis kronis dan menilai efek kognitif atau perilaku dan obat antiepileptik.
ABSENCES (Petit Mal)
Suatu tipe kejang umum yang sulit didiagnosis bagi dokter psikiatrik adalah absence atau kejang petitmal. Sifat epileptik dari episode mungkin berjalan tanpa diketahui, karena manifestasi motorik atau sensorik karakteristik dari epilepsi tidak ada atau sangat ringan sehingga tidak membangkitkan kecurigaan dokter. Epilepsi petit mal biasanya mulai pada masa anak-anak antara usia 5 dan 7 tahun dan menghilang pada pubertas. Kehilangan kesadaran singkat, selama mana pasien tiba-tiba kehilangan kontak dengan hngkungan, adalah karakteristik untuk epilepsi petit mal; tetapi, pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran atau gerakan kejang yang sesungguhnya selama episode. Elektroensefalogerafi ( EEG) menghasilkan pola karakteristik aktivitas paku dan gelombang (spike and wave) tiga kali perdetik Pada keadaan yang jarang, epilepsi petitmal dengan onset dewasa dapat ditandai oleh episode psikotik atau delirium yang tiba-tiba dan rekuren yang tampak dan menghilane secara tiba-tiba Gejala dapat disertai dengan riwayat terjatuh atau pingsan.
Kejang parsial liziane parsial diklasitikasikan sebagai sederhana (tanpa perubahan kesadaran) atau kompleks (dengan perubahan kesadaran) Sedikit lebih banyak dari setengah semua pasien dengan kelane parsial mengalami kejang parsial kompleks; istilah lain yang digunakan
untuk kejang parsial kompleks adalah epilepsi lobus temporalis, kejang psikomotor, dan epilepsi limbik tetapi istilah tersebut bukan merupakan penjelasan situasi klinis yang akurat. Epilepsi parsial kompleks adalah bentuk epilepsi pada orang dewasa yang paling senngcang mengenai 3 dan 1.000 orang.
Gejala praiktal
Peristiwa praiktal (aura) pada epilepsi parsial kompleks adalah termasuk sensasi otonomik (sebagai contohnya rasa penuh di perut, kemerahan, dan perubahan pada pernafasan), sensasi kognitif(sebagai contohnya, deja vu, jamais vu, pikiran dipaksakan, dan keadaan seperti mimpi). keadaan afektif (sebagai contohnya, rasa takut, panik, depresi, dan elasi) dan secara klasik. automatisme (sebagai contohnya, mengecapkan bibir, menggosok, dan mengayah)
Gejala Iktal
Perilaku yang tidak terinhibisi, terdisorganisasi, dan singkat menandai serangan iktal. Walaupun beberapa pengacara pembela mungkin mengklaim yang sebaliknya, jarang sesorang menunjukkan perilaku kekerasan yang terarah dan tersusun selama episode epileptik Gejala kognitif adalah termasuk amnesia untuk waktu selama kejang dan suatu periode delirium yang menghilang setelah kejang. Pada pasien dengan epilepsi parsial kompleks, suatu fokus kejang dapat ditemukan pada pemeriksaan EEG pada 25 sampai 50 % dari semua pasien. Penggunaan elektroda sfenoid atau temporalis anterior dan EEG pada saat tidak tidur dapat meningkatkan kemungkinan ditemukannya kelainan EEG. EEG normal multipel seringkali ditemukan dart seorang pasien dengan epilepsi parsial kompleks; dengan demikian EEG normal tidak dapat digunakan untuk mneyingkirkan diagnosis epilepsi parsial. kompleks- Penggunaan perekaman EEG jangka panjang (24 sampai 72 jam) dapat membantu klinisi mendeteksi suatu fokus kejang pada beberapa pasien. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lead nasofaring tidak menambah banyak kepekaan pada EEG, dan yang jelas menambahkan ketidaknyamanan prosedur bagi pasien.
Gejala Interiktal
Gangguan kepribadian Kelainan psikiatrik yang paling sering dilaporkan pada pasien epileptik adalah gangguan kepribadian, dan biasanya kemungkinan terjadi pada pasien dengan epilepsi dengan asal lobus temporalis. Ciri yang paling sering adalah perubahan perilaku seksual, suatu kualitas yang biasanya disebut viskositas kepribadian, religiositas, dan pengalaman emosi yang melambung. Sindroma dalam bentuk komplitnya relatif jarang, bahkan pada mereka dengan kejang parsial kompleks dengan asal lobus temporalis. Banyak pasien tidak mengalami perubahan kepribadian, yang lainnya mengalami berbagai gangguan yang jelas berbeda dari sindroma klasik.
Perubahan pada perilaku seksual dapat dimanifestasikan sebagai hiperseksualitas; penyimpangan dalam minat seksual, seperti fetihisme dan transfetihisme; dan yang paling sering, hiposeksualitas Hiposeksualitas ditandai oleh hilangnya minat dalam masalah seksual dan dengan menolak rangsangan seksual Beberapa pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks sebelum pubertas mungkin tidak dapat mencapai tingkat minat seksual yang normal setelah pubertas, walaupun karakteristik tersebut mungkin tidak mengganggu pasien. Untuk pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks setelah pubertas. perubahan dalam minat seksual mungkin mengganggu dan mengkhawatirkan.
Gejala viskositas kepribadian biasanya paling dapat diperhatikan pada percakapan pasien, yang kemungkinan adalah lambat serius, berat dan lamban, suka menonjolkan keilmuan, penuh dengan rincian-rincian yang tidak penting, dan seringkali berputar-putar. Pendengar mungkin menjadi bosan tetapi tidak mampu menemukan cara yang sopan dan berhasil untuk melepaskan diri dari percakapan. Kecenderungan pembicaraan seringkali dicerminkan dalam tulisan pasien, yang menyebabkan suatu gejala yang dikenal sebagai.
hipergrafia yang dianggap oleh beberapa klinisi sebagai patognomonik untuk epilepsi parsial komplaks.
Religiositas mungkin jelas dan dapat dimanifestasikan bukan hanya dengan meningkatny peran serta pada aktivitas yang sangat religius tetapi juga oleh permasalahan moral dan etik yang tidak umum, keasyikan dengan benar dan salah, dan meningkatnya minat pada perlahamasalahan global dan filosofi Ciri hiperreligius kadang-kadang dapat tampak seperti gejala prodromal skizofrenia dan dapat menyebabkan mnasalah diagnositik pada seorang remaja atau dewasa muda.
Gejala psikotik
Keadaan psikotik interiktal adalah lebih sering dari psikosis iktal. Episode interpsikotik yang mirip skizofrenia dapat terjadi pada pasien dengan epilepsi, khususnya yang berasal dan lobus temporalis Diperkirakan 10 sampal 30 persen dari semua pasien dengan apilepsi partial kompleks mempunyai gejala psikotik Faktor risiko untuk gejala tersebut adalah jenis kelamin wanita kidal onset kejang selama pubertas, dan lesi di sisi kiri.
Onset gelala psikotik pada epilepsi adalah bervariasi. Biasanya, gejala psikotik tarnpak pada pasien yang telah menderita epilepsi untuk jangka waktu yang lama, dan onset gejala psikotik di dahului oleh perkembangan perubahan kepribadian yang berhubungan dengan aktivitas otak epileptik gejala psikosis yang paling karakteristik adalah halusinasi dan waham paranoid. Biasanya. pasien tetap hangat dan sesuai pada afeknya, berbeda dengan kelainan yang sering ditemukan pada pasien skizofrenik Gejala gangguan pikiran pada pasien epilepsi psikotik paling sering merupakan gejala yang melibatkan konseptualisasi dan sirkumstansialitas, ketimbang gejala skizofrenik klasik berupa penghambatan (blocking) dan kekenduran (looseness), kekerasan. kekerasan episodik merupakan masalah pada beberapa pasien dengan epilepsi khususnya epilepsi lobus temporalis dan frontalis. Apakah kekerasan merupakan manifestasi dan kejang itu sendiri atau merupakan psikopatologi interiktal adalah tidak pasti. Sampai sekarang ini, sebagian besar data menunjukkan sangat jarangnya kekerasan sebagai suatu fenomena iktal. Hanya pada kasus yang jarang suatu kekerasan pasien epileptik dapat disebabkan oleh kejang itu sendiri.
Gejala Gangguan perasaan.
Gejala gangguan perasaan, seperti depresi dan mania, terlihat lebih jarang pada epilepsi dibandingkan gejala mirip skizofrenia. Gejala gangguan mood yang terjadi cenderung bersifat episodik dan terjadi paling sering jika fokus epileptik mengenai lobus temporalis dan hemisfer serebral non dominan. Kepentingan gejala gangguan perasaan pada epilepsi mungkin diperlihatkan oleh meningkatnya insidensi usaha bunuh diri pada orang dengan epilepsi.
Diagnosis
Diagnosis epilepsi yang tepat dapat sulit khususnya jika gejala iktal dan interiktal dari epilepsi merupakan manifestasi berat dari gejala psikiatrik tanpa adanya perubahan yang bemakna pada kesadaran dan kemampuan kognitif Dengan demikian, dokter psikiatrik harus menjaga tingkat kecurigaan yang tinggi selama memeriksa seorang pasien baru dan harus mempertimbangkan kemungkman gangguan epileptik, bahkan jika tidak ada tanda dan gejala klasik. Diagnosis banding lain yang dipertimbangkan adalah kejang semu (psudoseizure), dimana pasien mempunyai suatu kontrol kesadaran atas gejala kejang yang mirip.
Pada pasien yang sebelumnya mendapatkan suatu diagnosis epilepsi, timbulnya gejala psikiatrik yang baru harus dianggap sebagai kemungkinan mewakili suatu evolusi, timbulnya gejala epileptiknya. timbulnya gejala psikotik, gejala gangguan mood, perubahan kepribadian, atau gejala kecemasan (sebagai contohnya, serangan panik) harus menyebabkan klinisi menilai pengendalian epilepsi pasien dan memeriksa pasien untuk kemungkinan adanya gangguan mental yang tersendiri. Pada keadaan tersebut klinisi harus menilai kepatuhan pasien terhadap regimen obat antiepileptik dan harus mempertimbangkan apakah gejala psikotik merupakan efek toksik dari obat antipileptik itu sendiri. Jika gejala psikotik tampak pada seorang pasien yang pernah mempunyai epilepsi yang telah didiagnosis atau dipertimbangkan sebagai diagnosis di masa lalu, klinisi harus mendapatkan satu atau lebih pemeriksaan EEG.
Pada pasien yang sebelumnya belum pernah mendapatkan diagnosis epilepsi. empat karakteristik hams menyebabkan klinisi mencurigai kemungkinan tersebut; onset psikosis yang tiba-tiba pada seseorang yang sebelumnya dianggap sehat secara psikologis, onset delirium yang tiba-tiba tanpa penyebab yang diketahui, riwayat episode yang serupa dengan onset yang mendadak dan pemulihan spontan, dan riwayat terjatuh atau pingsan sebelumnya yang tidak dapat dijelaskan.
Pengobatan
karbamazepin ( tegretol) dan Asam valproik (Depakene) mungkin membantu dalam mengendalikan gejala iritabilitas dan meledaknya agresi, karena mereka adalah obat antipsikotik tipikal Psikoterapi, konseling keluarga, dan terapi kelompok mungkin berguna dalam menjawab masalah psikososial yang berhubungan dengan epilepsi. Disamping itu, klinisi haru; menyadari bahwa banyak obat antiepileptik mempunyai suatu gangguan kognitif derajat ringan sampai sedang dan penyesuaian dosis atau penggantian medikasi harus dipertimbangkan jika gejala gangguan kognitif merupakan suatu masalah pada pasien tertentu.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, edisi ketujuh, jilid satu. Binarupa Aksara, Jakarta 1997. hal 502-540.
2. Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam, cetakan ke dua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta 1995. hal 28-42.
3. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, jilid 1. Penerbit Media Aesculapsius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2001. hal 189-192.
4. Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi Maslim.1993. hal 3
5. Maramis. W.F, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan ke VI, Airlangga University Press, Surabaya 1992. hal 179-211.
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah perkembangan skizofrenia sebagai gangguan klinis, banyak tokoh
psikiatri dan neurologi yang berperan. Mula-mula Emil Kreaplin (18-1926)
menyebutkan gangguan dengan istilah dementia prekok yaitu suatu istilah yang
menekankan proses kognitif yang berbeda dan onset pada masa awal. Istilah
skizofrenia itu sendiri diperkenalkan oleh Eugen Bleuler (1857-1939), untuk
menggambarkan munculnya perpecahan antara pikiran, emmosi dan perilaku pada
pasien yang mengalami gangguan ini. Bleuler mengindentifikasi symptom dasar dari
skizofrenia yang dikenal dengan 4A antara lain : Asosiasi, Afek, Autisme dan
Ambivalensi.
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering, hampir 1%
penduduk dunia menderita psikotik selama hidup mereka di Amerika. Skizofrenia
lebih sering terjadi pada Negara industri terdapat lebih banyak populasi urban dan
pada kelompok sosial ekonomi rendah.
Walaupun insidennya hanya 1 per 1000 orang di Amerika Serikat, skizofrenia
seringkali ditemukan di gawat darurat karena beratnya gejala, ketidakmampuan untuk
merawat diri, hilangnya tilikan dan pemburukan sosial yang bertahap. Kedatangan
diruang gawat darurat atau tempat praktek disebabkan oleh halusinasi yamg
menimbulkan ketegangan yang mungkin dapat mengancam jiwa baik dirinya maupun
orang lain, perilaku kacau, inkoherensi, agitasi dan penelantaran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein”yang berarti “terpisah”atau
“pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Secara umum, simptom
skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan: yaitu simptom positif, simptom
negative, dan gangguan dalam hubungan interpersonal.
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi dengan variasi penyebab (banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
“deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan
pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan
karakteristik dari pikiran dan persepsi , serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear consciousness)
dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif
tertentu dapat berkembang kemudian.
II.2 EPIDEMIOLOGI
Sekitar satu persen penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu
waktu dalam hidupnya. Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua persen penduduk
atau sekitar dua sampai empat juta jiwa akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar
sepertiga dari sekitar satu sampai dua juta yang terjangkit penyakit skizofrenia ini atau
sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa kini sedang mengidap skizofrenia. Perkiraan
angka ini disampaikan Dr LS Chandra, SpKJ dari Sanatorium Dharmawangsa Jakarta
Selatan.
Tiga per empat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya dimulai pada usia 16
sampai 25 tahun pada laki-laki. Pada kaum perempuan, skizofrenia biasanya mulai
diidap pada usia 25 hingga 30 tahun. Penyakit yang satu ini cenderung menyebar di
antara anggota keluarga sedarah.
II.3 ETIOLOGI
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Model Diatesis-stres
Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan.
Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan
spesifik (diatessis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang
menimbulkan stress, memungkinkan perkembangan skizofrenia.
Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis
(missal kematian orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal dari diatesis
selanjutnya dapat terbentuk oleh pengaruh epigenetik seperti penyalahgunaan
obat, stress psikososial , dan trauma.
Kerentanan yang dimaksud disini haruslah jelas, sehingga dapat
menerangkan mengapa orang tersebut dapat menjadi skizofren. Semakin besar
kerentanan seseorang maka stressor kecilpun dapat menyebabkan menjadi
skizofren. Semakin kecil kerentanan maka butuh stressor yang besar untuk
membuatnya menjadi penderita skizofren. Sehingga secara teoritis seseorang
tanpa diathese tidak akan berkembang menjadi skizofren, walau sebesar apapun
stressornya.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Faktor Neurobiologi
Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya
kerusakan pada bagian otak tertentu. Namun sampai kini belum diketahui
bagaimana hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu ddengan
munculnya simptom skizofrenia.
Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam membuat
seseorang menjadi patologis, yaitu sitem limbik, korteks frontal, cerebellum dan
ganglia basalis. Keempat area tersebut saling berhubungan, sehingga disfungsi
pada satu area mungkin melibatkan proses patologis primer pada area yang lain.
Dua hal yang menjadi sasaran penelitian adalah waktu dimana kerusakan
neuropatologis muncul pada otak, dan interaksi antara kerusakan tersebut dengan
stressor lingkungan dan sosial.
Hipotesa Dopamin
Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas
neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari
meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine,
turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine, atau kombinasi
dari faktor-faktor tersebut. Munculnya hipotesa ini berdasarkan observasi bahwa :
<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Ada korelasi antara efektivitas dan potensi
suatu obat antipsikotik dengan kemampuannya bertindak sebagai antagonis
reseptor dopamine D2.
<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Obat yang meningkatkan aktivitas
dopaminergik- seperti amphetamine-dapat menimbulkan gejala psikotik pada
siapapun.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Faktor Genetika
Penelitian tentang genetik telah membuktikan faktor genetik/keturunan
merupakan salah satu penyumbang bagi jatuhnya seseorang menjadi skizofren.
Resiko seseorang menderita skizofren akan menjadi lebih tinggi jika terdapat
anggota keluarga lainnya yang juga menderita skizofren, apalagi jika hubungan
keluarga dekat. Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan keberadaan
pengaruh genetik melebihi pengaruh lingkungan pada munculnya skizofrenia, dan
kembar satu telur memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami
skizofrenia.
<!--[if gte vml 1]><![endif]--><!--[if !vml]-->
<!--[endif]-->Tabel 1. Prevalensi skizofrenia pada populasi tertentu
dalam Saddock&Saddock (2003)
<!--[if gte vml 1]><![endif]--><!--[if !vml]-->
<!--[endif]--
> Populasi Prevalensi
Populasi umum 1%
Saudara kandung pasien skizofren 8%
Anak dengan salah satu orangtua skizofren 12%
Kembar dua telur dari pasien skizofren 12%
Anak dengan kedua orangtua skizofren 40%
Kembar satu telur dari pasien skizofren 47 %
<!--[if gte vml 1]><![endif]--><!--[if !vml]-->
<!--[endif]-->
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Faktor Psikososial
4.1 Teori Tentang Individu Pasien
<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Teori Psikoanalitik
Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi
perkembangan, yang muncul lebih awal daripada gangguan neurosis. Jika
neurosis merupakan konflik antara id dan ego, maka psikosis merupakan
konflik antara ego dan dunia luar. Menurut Freud, kerusakan ego (ego
defect) memberikan kontribusi terhadap munculnya simptom skizofrenia.
Disintegrasi ego yang terjadi pada pasien skizofrenia merepresentasikan
waktu dimana ego belum atau masih baru terbentuk.
Konflik intrapsikis yang berasal dari fiksasi pada masa awal serta
kerusakan ego-yang mungkin merupakan hasil dari relasi obyek yang
buruk-turut memperparah symptom skizofrenia. Hal utama dari teori Freud
tentang skizofrenia adalah dekateksis obyek dan regresi sebagai respon
terhadap frustasi dan konflik dengan orang lain.
Harry Stack Sullivan mengatakan bahwa gangguan skizofrenia
disebabkan oleh kesulitan interpersonal yangyang etrjadi sebelumnya,
terutama yang berhubungan dengan apa yang disebutnya pengasuhan ibu
yang salah, yaitu cemas berlebihan.
Secara umum, dalam pandangan psikoanalitik tentang skizofrenia,
kerusakan ego mempengaruhi interprestasi terhadap realitas dan kontrol
terhadap dorongan dari dalam, seperti seks dan agresi. Gangguan tersebut
terjadi akibat distorsi dalam hubungan timbal balik ibu dan anak.
Berbagai simptom dalam skizofrenia memiliki makna simbolis bagi
masing-masing pasien. Misalnya fantasi tentang hari kiamat mungkin
mengindikasikan persepsi individu bahwa dunia dalamnya telah hancur.
Halusinasi mungkin merupakan substitusi dari ketidakmampuan pasien
untuk menghadapi realitas yang obyektif dan mungkin juga
merepresentasikan ketakutan atau harapan terdalam yang dimilikinya.
<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Teori Psikodinamik
Berbeda dengan model yang kompleks dari Freud, pandangan
psikodinamik setelahnya lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap
berbagai stimulus. Hambatan dalam membatasi stimulus menyebabkan
kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama masa kanak-kanak dan
mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal.
Menurut pendekatan psikodinamik, simptom positif diasosiasikan
dengan onset akut sebagai respon terhadap faktor pemicu/pencetus, dan
erat kaitannya dengan adanya konflik. Simptom negatif berkaitan erat
dengan faktor biologis, dan karakteristiknya adalah absennya
perilaku/fungsi tertentu. Sedangkan gangguan dalam hubungan
interpersonal mungkin timbul akibat konflik intrapsikis, namun mungkin
juga berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar.
Tanpa memandang model teoritisnya, semua pendekatan
psikodinamik dibangun berdasarkan pemikiran bahwa symptom-simptom
psikotik memiliki makna dalam skizofrenia. Misalnya waham kebesaran
pada pasien mungkin timbul setelah harga dirinya terluka. Selain itu,
menurut pendekatan ini, hubungan dengan manusia dianggap merupakan
hal yang menakutkan bagi pengidap skizofrenia.
c. Teori Belajar
Menurut teori ini, orang menjadi skizofrenia karena pada masa
kanak-kanak ia belajar pada model yang buruk. Ia mempelajari reaksi dan
cara pikir yang tidak rasional dengan meniru dari orangtuanya, yang
sebenarnya juga memiliki masalah emosional.
4.2 Teori Tentang Keluarga
Beberapa pasien skizofrenia-sebagaimana orang yang mengalami
nonpsikiatrik-berasal dari keluarga dengan disfungsi, yaitu perilaku keluarga
yang patologis, yang secara signifikan meningkatkan stress emosional yang
harus dihadapi oleh pasien skizofrenia. Antara lain:
Double Bind
Konsep yang dikembangkan oleh Gregory Bateson untuk menjelaskan
keadaan keluarga dimana anak menerima pesan yang bertolak belakang dari
orangtua berkaitn dengan perilaku, sikap maupun perasaannya. Akibatnya
anak menjadi bingung menentukan mana pesan yang benar, sehingga
kemudian ia menarik diri kedalam keadaan psikotik untuk melarikan diri dari
rasa konfliknya itu.
Schims and Skewed Families
Menurut Theodore Lidz, pada pola pertama, dimana terdapat perpecahan
yang jelas antara orangtua, salah satu orang tua akan menjadi sangat dekat
dengan anak yang berbeda jenis kelaminnya. Sedangkan pada pola keluarga
skewed, terjadi hubungan yang tidak seimbang antara anak dengan salah satu
orangtua yang melibatkan perebutan kekuasaan antara kedua orangtua, dan
menghasilkan dominasi dari salah satu orang tua.
Pseudomutual and Pseudohostile Families
Dijelaskan oleh Lyman Wynne, beberapa keluarga men-suppress
ekspresi emosi dengan menggunakan komunikasi verbal yang pseudomutual
atau pseudohostile secara konsisten. Pada keluarga tersebut terdapat pola
komunikasi yang unik, yang mungkin tidak sesuai dan menimbulkan masalah
jika anak berhubungan dengan orang lain di luar rumah.
Ekspresi Emosi
Orang tua atau pengasuh mungkin memperlihatkan sikap kritis, kejam
dan sangat ingin ikut campur urusan pasien skizofrenia. Banyak penelitian
menunjukkan keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (dalam hal apa yang
dikatakan maupun maksud perkataan) meningkatkan tingkat relapse pada
pasien skizofrenia.
4.3 Teori Sosial
Beberapa teori menyebutkan bahwa industrialisasi dan urbanisasi banyak
berpengaruh dalam menyebabkan skizofrenia. Meskipun ada data pendukung,
namun penekanan saat ini adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap waktu
timbulnya onset dan keparahan penyakit.
II.4 GEJALA KLINIS
Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok menurut Bleuler, yaitu
primer dan sekunder.
Gejala-gejala primer :
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Gangguan proses pikiran (bentuk, langkah,
isi pikiran).
Pada skizofrenia inti gangguan memang terdapat pada proses pikiran. Yang
terganggu terutama ialah asosiasi. Kadang-kadang satu ide belum selesai
diutarakan, sudah timbul ide lain. Atau terdapat pemindahan maksud, umpamanya
maksudnya “tani” tetapi dikatakan “sawah”.
Tidak jarang juga digunakan arti simbolik, seperti dikatakan “merah” bila
dimaksudkan “berani”. Atau terdapat “clang association” oleh karena pikiran
sering tidak mempunyai tujuan tertentu, umpamanya piring-miring, atau “…dulu
waktu hari, jah memang matahari, lalu saya lari…”. Semua ini menyebabkan jalan
pikiran pada skizofrenia sukar atau tidak dapat diikuti dan dimengerti. Hal ini
dinamakan inkoherensi. Jalan pikiran mudah dibelokkan dan hal ini menambah
inkoherensinya.
Seorang dengan skizofrenia juga kecenderungan untuk menyamakan hal-hal,
umpamanya seorang perawat dimarahi dan dipukuli, kemudian seorang lain yang
ada disampingnya juga dimarahi dan dipukuli.
Kadang-kadang pikiran seakan berhenti, tidak timbul ide lagi. Keadaan ini
dinamakan “blocking”, biasanya berlangsung beberapa detik saja, tetapi kadang-
kadang sampai beberapa hari.
Ada penderita yang mengatakan bahwa seperti ada sesuatu yang lain
didalamnya yang berpikir, timbul ide-ide yang tidak dikehendaki: tekanan pikiran
atau “pressure of thoughts”. Bila suatu ide berulang-ulang timbul dan diutarakan
olehnya dinamakan preseverasi atau stereotipi pikiran.
Pikiran melayang (flight of ideas) lebih sering inkoherensi. Pada inkoherensi
sering tidak ada hubungan antara emosi dan pikiran, pada pikiran melayang selalu
ada efori. Pada inkoherensi biasanya jalan pikiran tidak dapat diikuti sama sekali,
pada pikiran melayang ide timbul sangat cepat, tetapi masih dapat diikuti, masih
bertujuan.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Gangguan afek dan emosi
Gangguan ini pada skizofrenia mungkin berupa :
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Kedangkalan afek dan emosi (“emotional
blunting”), misalnya penderita menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal penting
untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarganya dan masa depannya.
Perasaan halus sudah hilang.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Parathimi : apa yang seharusnya
menimbulkan rasa senang dan gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau
marah.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Paramimi : penderita merasa senang dan
gembira, akan tetapi ia menangis. Parathimi dan paramimi bersama-sama
dalam bahasa Inggris dinamakan “incongruity of affect” dalam bahasa
Belanda hal ini dinamakan “inadequat”.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Kadang-kadang emosi dan afek serta
ekspresinya tidak mempunyai kesatuan, umpamanya sesudah membunuh
anaknya penderita menangis berhari-hari, tetapi mulutnya tertawa. Semua ini
merupakan gangguan afek dan emosi yang khas untuk skizofrenia. Gangguan
afek dan emosi lain adalah :
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Emosi yang berlebihan, sehingga
kelihatan seperti dibuat-buat, seperti penderita yang sedang bermain
sandiwara.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Yang penting juga pada skizofrenia
adalah hilangnya kemampuan untuk melakukan hubungan emosi yang baik
(“emotional rapport”). Karena itu sering kita tidak dapat merasakan
perasaan penderita.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Karena terpecah belahnya
kepribadian, maka dua hal yang berlawanan mungkin terdapat bersama-
sama, umpamanya mencintai dan membenci satu orang yang sama ; atau
menangis dan tertawa tentang satu hal yang sama. Ini dinamakan
ambivalensi pada afek.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Gangguan kemauan
Banyak penderita dengan skizofrenia mempunyai kelemahan kemauan.
Mereka tidak dapat mengambil keputusan., tidak dapat bertindak dalam suatu
keadaan. Mereka selalu memberikan alasan, meskipun alasan itu tidak jelas atau
tepat, umpamanya bila ditanyai mengapa tidak maju dengan pekerjaan atau
mengapa tiduran terus. Atau mereka menganggap hal itu biasa saja dan tidak perlu
diterangkan.
Kadang-kadang penderita melamun berhari-hari lamanya bahkan berbulan-bulan.
Perilaku demikian erat hubungannya dengan otisme dan stupor katatonik.
Negativisme : sikap atau perbuatan yang negative atau berlawanan terhadap suatu
permintaan.
Ambivalensi kemauan : menghendaki dua hal yang berlawanan pada waktu yang
sama, umpamanya mau makan dan tidak mau makan; atau tangan diulurkan untuk
berjabat tangan, tetapi belum sampai tangannya sudah ditarik kembali; hendak
masuk kedalam ruangan, tetapi sewaktu melewati pintu ia mundur, maju mundur.
Jadi sebelum suatu perbuatan selesai sudah timbul dorongan yang berlawanan.
Otomatisme : penderita merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau
tenaga dari luar, sehingga ia melakukan sesuatu secara otomatis.
4. Gejala psikomotor
Juga dinamakan gejala-gejala katatonik atau gangguan perbuatan. Kelompok
gejala ini oleh Bleuler dimasukkan dalam kelompok gejala skizofrenia yang
sekunder sebab didapati juga pada penyakit lain.
Sebetulnya gejala katatonik sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila
gangguan hanya ringan saja, maka dapat dilihat gerakan-gerakan yang kurang
luwes atau yang agak kaku. Penderita dalma keadaan stupor tidak menunjukkan
pergerakan sama sekali. Stupor ini dapat berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan
dan kadang-kadang bertahun-tahun lamanya pada skizofrenia yang menahun.
Mungkin penderita mutistik. Mutisme dapat disebabkan oleh waham, ada sesuatu
yang melarang ia bicara. Mungkin juga oleh karena sikapnya yang negativistik
atau karena hubungan penderita dengan dunia luar sudah hilang sama sekali
hingga ia tidak ingin mengatakan apa-apa lagi.
Sebaliknya tidak jarang penderita dalam keadaan katatonik menunjukkan
hiperkinesa, ia terus bergerak saja, maka keadaan ini dinamakan logorea. Kadang-
kadang penderita menggunakan atau membuat kata-kata yang baru: neologisme.
Berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau sikap disebut stereotipi;
umpamanya menarik-narik rambutnya, atau tiap kali mau menyuap nasi mengetok
piring dulu beberapa kali. Keadaan ini dapat berlangsung beberapa hari sampai
beberapa tahun. Stereotipi pembicaraan dinamakan verbigerasi, kata atau kalimat
diulang-ulangi. Mannerisme adalah stereotipi yang tertentu pada skizofrenia, yang
dapat dilihat dalam bentuk grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan
gaya.
Gejala katalepsi ialah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk waktu yang
lama. Fleksibilitas cerea: bila anggota badan dibengkokkan terasa suatu tahanan
seperti pada lilin.
Negativisme : menentang atau justru melakukan yang berlawanan dengan apa
yang disuruh. Otomatisme komando (“command automatism”) sebetulnya
merupakan lawan dari negativisme : semua perintah dituruti secara otomatis,
bagaimana ganjilpun.Termasuk dalam gangguan ini adalah echolalia (penderita
meniru kata-kata yang diucapkan orang lain) dan ekophraksia (penderita meniru
perbuatan atau pergerakan orang lain).
Gejala-gejala sekunder :
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Waham
Pada skizofrenia, waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizarre.
Tetapi penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk dia wahamnya adalah fakta
dan tidak dapat diubah oleh siapapun. Sebaliknya ia tidak mengubah sikapnya
yang bertentangan, umpamanya penderita berwaham bahwa ia raja, tetapi ia
bermain-main dengan air ludahnya dan mau disuruh melakukan pekerjaan kasar.
Mayer gross membagi waham dalam dua kelompok yaitu waham primer dan
waham sekunder, waham sistematis atau tafsiran yang bersifat waham (delutional
interpretations).
Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-
apa dari luar. Menurur Mayer-Gross hal ini hampir patognomonis buat
skizofrenia. Umpamanya istrinya sedang berbuat serong sebab ia melihat seekor
cicak berjalan dan berhenti dua kali, atau seorang penderita berkata “dunia akan
kiamat sebab ia melihgat seekor anjing mengangkat kaki terhadap sebatang pohin
untuk kencing.
Waham sekunder biasanya logis kedengarannya dapat diikuti dan merupakan
cara bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain. Waham
dinamakan menurut isinya :waham kebesaran atau ekspansif, waham nihilistik,
waham kejaran, waham sindiran, waham dosa, dan sebagainya.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Halusinasi
Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini
merupakan gejala yang hampir tidak dijumpai dalam keadaan lain. Paling sering
pada keadaan sskizofrenia ialah halusinasi (oditif atau akustik) dalam bentuk suara
manusia, bunyi barang-barang atau siulan. Kadang-kadang terdapat halusinasi
penciuman (olfaktorik), halusinasi citrarasa (gustatorik) atau halusinasi
singgungan (taktil). Umpamanya penderita mencium kembang kemanapun ia
pergi, atau ada orang yang menyinarinya dengan alat rahasia atau ia merqasa ada
racun dalammakanannya Halusinasi penglihatan agak jarang pada skizofrenia
lebih sering pada psikosa akut yang berhubungan dengan sindroma otak organik
bila terdapat maka biasanya pada stadium permulaan misalnya penderita melihat
cahaya yang berwarna atau muka orang yang menakutkan.
Diatas telah dibicarakan gejala-gejala. Sekali lagi, kesadaran dan intelegensi tidak
menurun pada skizofrenia. Penderita sering dapat menceritakan dengan jelas
pengalamannya dan perasaannya. Kadang-kadang didapati depersonalisasi atau
“double personality”, misalnya penderita mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah
meja dan menganggap dirinya sudah tidak adalagi. Atau pada double personality
seakan-akan terdapat kekuatan lain yang bertindak sendiri didalamnya atau yang
menguasai dan menyuruh penderita melakukan sesuatu.
Pada skizofrenia sering dilihat otisme : penderita kehilangan hubungan dengan dunia
luar ia seakan-akan hidup dengan dunianya sendiri tidak menghiraukan apa yang
terjadi di sekitarnya.
Oleh Bleuler depersonalisasi, double personality dan otisme digolongkan sebagai
gejala primer. Tetapi ada yang mengatakan bahwa otisme terjadi karena sangat
terganggunya afek dan kemauan.
Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menilai simptom dan gejala klinis
skizofrenia adalah:
(1). Tidak ada symptom atau gejala klinis yang patognomonik untu skizofrenia.
Artinya tidak ada simptom yang khas atau hanya terdapat pada skizofrenia. Tiap
simptom skizofrenia mungkin ditemukan pada gangguan psikiatrik atau
gangguan syaraf lainnya. Karena itu diagnosis skizofrenia tidak dapat
ditegakkan dari pemeriksaan status mental saat ini. Riwayat penyakit pasien
merupakan hal yang esensial untuk menegakkan diagnosis skizofrenia.
(2). Simptom dan gejala klinis pasien skizofrenia dapat berubah dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu pasien skizofrenia dapat berubah diagnosis subtipenya dari
perawatan sebelumnya (yang lalu). Bahkan dalam satu kali perawatanpun
diagnosis subtipe mungkin berubah.
(3). Harus diperhatikan taraf pendidikan, kemampuan intelektual dan latar belakang
sosial budaya pasien. Sebab perilaku atau pola pikir masyarakat dari sosial
budaya tertentu mungkin dipandang sebagai suatu hal yang aneh bagi budaya
lain. Contohnya memakai koteka di Papua merupakan hal yang biasa namun
akan dipandang aneh jika dilakukan di Jakarta. Selain itu hal yang tampaknya
merupakan gangguan realitas mungkin akibat keterbatasan intelektual dan
pendidikan pasien.
II.5 DIAGNOSIS
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini
yang amat jelas dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang
jelas :
<!--[if !supportLists]-->(a) <!--[endif]-->- “Thought echo” : isi pikiran dirinya
sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan
isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kulitasnya berbeda;
atau
- “Thought insertion or withdrawal”: isi pikiran yang asingdari luar masuk
kedalam pikirannya (insertion)atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar (withdrawal); dan
- “Thought broadcasting”: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya;
(b) - “delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dati luar; atau
- “delusion of influence”: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
- “delusion of passivity”: waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar;
(tentang ‘dirinya”: secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau
ke pikiran, tindakan atau penginderaan khusus);
- “delusional perception”: pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
(c) Halusinasi auditorik :
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara
yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan
diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini
yang harus selalu ada secara jelas :
<!--[if !supportLists]-->(e) <!--[endif]-->Halusinasi yang menetap dari panca
indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang
mauupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas,
ataupun disertai ole hide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap,
atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-
bulan terus menerus;
<!--[if !supportLists]-->(f) <!--[endif]-->Arus pikiran yang terputus (break) atau
yang mengalami sisispan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau
pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
<!--[if !supportLists]-->(g) <!--[endif]-->Perilaku katatonik, seperti keadaan
gaduh-gelisah (excitement), posisis tubuh tertentu (posturing), atau
fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
<!--[if !supportLists]-->(h) <!--[endif]-->Gejala-gejala “negative” seperti sikap
sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang menumpul
atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan
social dan menurunnya kinerja social; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas
telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk
setiap fase nonpsikotik prodromal).
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Harus ada suatu perubahan yang konsisten
dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek
perilaku pribadai (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat,
hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
II.6 KLASIFIKASI
Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di
muka, dalam PPDGJ III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang
mempunyai spesifikasi masing-masing, yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal
sebagai berikut :
1. Skizofrenia Paranoid
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Sebagai tambahan :
Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
<!--[if !supportLists]-->(a) <!--[endif]-->Suara-suara halusinasi yang
mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa
bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung, atau bunyi tawa.
<!--[if !supportLists]-->(b) <!--[endif]-->Halusinasi pembauan atau
pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh
halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
<!--[if !supportLists]-->(c) <!--[endif]-->Waham dapat berupa hampir setiap
jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi
(delusion of influence), atau “Passivity” (delusion of passivity), dan
keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Gangguan afektif, dorongan kehendak dan
pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata / menonjol.
Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua daripada pasien
skizofrenik terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama
penyakitnya. Pasien yang sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya
mencapai kehidupan social yang dapat membantu mereka melewati penyakitnya.
Juga, kekuatan ego paranoid cenderung lebih besar dari pasien katatonik dan
terdisorganisasi. Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari
kemampuanmentalnya, respon emosional, dan perilakunya dibandingkan tipe lain
pasien skizofrenik.
Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-hati, dan
tak ramah. Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenik
paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka secara adekuat didalam
situasi social. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis
mereka dan tetap intak.
2. Skizofrenia Hebefrenik
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Memenuhi kriteria umum diagnosis
skizofrenia
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali
hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-
25 tahun).
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas
: pemalu dan senang menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk
menentukan diagnosis.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Untuk diagnosis hebefrenia yang
menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan
lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang
benar bertahan :
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan
tak dapat diramalkan, serta mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu
menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa
perasaan;
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak
wajar (inappropriate), sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan
puas diri (self-satisfied), senyum sendirir (self-absorbed smiling), atau oleh
sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme,
mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondrial, dan
ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases);
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Proses pikir mengalami disorganisasi dan
pembicaraan tak menentu (rambling) serta inkoheren.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Gangguan afektif dan dorongan kehendak,
serta gangguan proses pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin
ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and
hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination)
hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri
khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose).
Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama,
filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan
pikiran pasien.
Menurut DSM-IV skizofrenia disebut sebagai skizofrenia tipe terdisorganisasi.
3. Skizofrenia Katatonik
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis
skizofrenia.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus
mendominasi gambaran klinisnya :
<!--[if !supportLists]-->(a) <!--[endif]-->stupor (amat berkurangnya dalam
reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan serta aktivitas spontan)
atau mutisme (tidak berbicara):
<!--[if !supportLists]-->(b) <!--[endif]-->Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas
motorik yang tak bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
<!--[if !supportLists]-->(c) <!--[endif]-->Menampilkan posisi tubuh tertentu
(secara sukarela mengambil dan mempertahankan posisi tubuh tertentu yang
tidak wajar atau aneh);
<!--[if !supportLists]-->(d) <!--[endif]-->Negativisme (tampak jelas perlawanan
yang tidak bermotif terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan,
atau pergerakkan kearah yang berlawanan);
<!--[if !supportLists]-->(e) <!--[endif]-->Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh
yang kaku untuk melawan upaya menggerakkan dirinya);
<!--[if !supportLists]-->(f) <!--[endif]-->Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility”
(mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk
dari luar); dan
<!--[if !supportLists]-->(g) <!--[endif]-->Gejala-gejala lain seperti “command
automatism” (kepatuhan secara otomatis terhadap perintah), dan pengulangan
kata-kata serta kalimat-kalimat.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Pada pasien yang tidak komunikatif dengan
manifestasi perilaku dari gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin
harus ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala
lain.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-
gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik
dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-
obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan
pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang
lain. Perawatan medis mungkin ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan,
hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan oleh dirinya sendiri.
4. Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated).
Seringkali. Pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah
dimasukkan kedalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut
sebagai tipe tidak terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Memenuhi kriteria umum diagnosis
skizofrenia
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis
skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau katatonik.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia
residual atau depresi pasca skizofrenia.
5. Depresi Pasca-Skizofrenia
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
<!--[if !supportLists]-->(a) <!--[endif]-->Pasien telah menderita skizofrenia (yang
memenuhi kriteria diagnosis umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
<!--[if !supportLists]-->(b) <!--[endif]-->Beberapa gejala skizofrenia masih tetap
ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya); dan
<!--[if !supportLists]-->(c) <!--[endif]-->Gejala-gejala depresif menonjol dan
menganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif, dan
telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala
skizofrenia diagnosis menjadi episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis
masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia
yang sesuai.
6. Skizofrenia Residual
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan,
persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua :
<!--[if !supportLists]-->(a) <!--[endif]-->Gejala “negative” dari skizofrenia yang
menonjol misalnya perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang
menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas
atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam
ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri
dan kinerja sosial yang buruk;
<!--[if !supportLists]-->(b) <!--[endif]-->Sedikitnya ada riwayat satu episode
psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis
skizofenia;
<!--[if !supportLists]-->(c) <!--[endif]-->Sedikitnya sudah melampaui kurun
waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti
waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul
sindrom “negative” dari skizofrenia;
<!--[if !supportLists]-->(d) <!--[endif]-->Tidak terdapat dementia atau penyakit /
gangguan otak organik lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat
menjelaskan disabilitas negative tersebut.
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus menerus
adanya gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala
yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia. Penumpulan emosional, penarikan
social, perilaku eksentrik, pikiran yang tidak logis, dan pengenduran asosiasi ringan
adalah sering ditemukan pada tipe residual. Jika waham atau halusinasi ditemukan
maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak disertai afek yang kuat.
7. Skizofrenia Simpleks
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat
secara meyakinkan karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang
berjalan perlahan dan progresif dari :
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->gejala “negative” yang khas dari
skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau
manifestasi lain dari episode psikotik, dan
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->disertai dengan perubahan-perubahan
perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat
yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri
secara sosial.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya
dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.
Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama
pada jenis simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan
proses berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali
terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali. Pada permulaan mungkin
penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari
pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya
menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan
menjadi pengemis, pelacur, atau penjahat.
8. Skizofrenia lainnya
9. Skizofrenia YTT
Selain beberapa subtipe di atas, terdapat penggolongan skizofrenia lainnya (yang
tidak berdasarkan DSM IV TR), antara lain :
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Bouffe delirante (psikosis delusional akut).
Konsep diagnostik Perancis dibedakan dari skizofrenia terutama atas dasar
lama gejala yang kurang dari tiga bulan. Diagnosis adalah mirip dengan diagnosis
gangguan skizofreniform didalam DSM-IV. Klinisi Perancis melaporkan bahwa kira-
kira empat puluh persen diagnosis delirante berkembang dalam penyakitnya dan
akhirnya diklasifikasikan sebagai media skizofrenia.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Skizofrenia laten.
Konsep skizofrenia laten dikembangkan selama suatu waktu saat terdapat
konseptualisasi diagnostic skizofrenia yang luas. Sekarang, pasien harus sangat sakit
mental untuk mendapatkan diagnosis skizofrenia; tetapi pada konseptualisasi
diagnostik skizofrenia yang luas, pasien yang sekarang ini tidak terlihat sakit berat
dapat mendapatkan diagnosis skizofrenia. Sebagai contohnya, skizofrenia laten sering
merupakan diagnosis yang digunakan gangguan kepribadian schizoid dan skizotipal.
Pasien tersebut mungkin kadang-kadang menunjukkan perilaku aneh atau gangguan
pikiran tetapi tidak terus menerus memanifestasikan gejala psikotik. Sindroma juga
dinamakan skizofrenia ambang (borderline schizophrenia) di masa lalu.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Oneiroid.
Keadaan oneiroid adalah suatu keadaan mirip mimpi dimana pasien mungkin
pasien sangat kebingungan dan tidak sepenuhnya terorientasi terhadap waktu dan
tempat. Istilah “skizofrenik oneiroid” telah digunakan bagipasien skizofrenik yang
khususnya terlibat didalam pengalaman halusinasinya untuk mengeluarkan
keterlibatan didalam dunia nyata. Jika terdapat keadaan oneiroid, klinisi harus berhati-
hati dalam memeriksa pasien untuk adanya suatu penyebab medis atau neurologist
dari gejala tersebut.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Parafrenia.
Istilah ini seringkali digunakan sebagai sinonim untuk “skizofrenia paranoid”.
Dalam pemakaian lain istilah digunakan untuk perjalanan penyakit yang memburuk
secara progresif atau adanya system waham yang tersusun baik. Arti ganda dari istilah
ini menyebabkannya tidak sangat berguna dalam mengkomunikasikan informasi.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Pseudoneurotik.
Kadang-kadang, pasien yang awalnya menunjukkan gejala tertentu seperti
kecemasan, fobia, obsesi, dan kompulsi selanjutnya menunjukkan gejala gangguan
pikiran dan psikosis. Pasien tersebut ditandai oleh gejala panansietas, panfobia,
panambivalensi dan kadang-kadang seksualitas yang kacau. Tidak seperti pasien yang
menderita gangguan kecemasan, mereka mengalami kecemasan yang mengalir bebas
(free-floating) dan yang sering sulit menghilang. Didalam penjelasan klinis pasien,
mereka jarang menjadi psikotik secara jelas dan parah.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Skizofrenia Tipe I.
Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom
positif yaitu asosiasi longgar, halusinasi, perilaku aneh, dan bertambah banyaknya
pembicaraan. Disertai dengan struktur otak yang normal pada CT dan respon yang
relatif baik terhadap pengobatan.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Skizofrenia tipe II.
Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom
negative yaitu pendataran atau penumpulan afek, kemiskinan pembicaraan atau isi
pembicaraan, penghambatan (blocking), dandanan yang buruk, tidak adanya motivasi,
anhedonia, penarikan sosial, defek kognitif, dan defisit perhatian. Disertai dengan
kelainan otak struktural pada pemeriksaan CT dan respon buruk terhadap pengobatan.
II.7 DIAGNOSIS BANDING
Gangguan Psikotik Sekunder dan Akibat Obat
Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai macam keadaan
medis psikiatrik dan dapat diakibatkan oleh berbagai macam zat. Jika psikosis atau
katatonia disebabkan oleh kondisi medis nonpsikiatrik atau diakibatkan oleh suatu zat,
diagnosis yang paling sesuai adalah gangguan psikotik akibat kondisi medis umum,
atau gangguan katatonia akibat zat. Manifestasi psikiatrik dari banyak kondisi medis
nonpsikiatrik dapat terjadi awal dalam perjalanan penyakit, seringkali sebelum
perkembangan gejala lain. Dengan demikian klinisi harus mempertimbangkan
berbagai macam kondisi medis nonpsikiatrik dii dalam diagnosis banding psikosis,
bahkan tanpa adanya gejala fisik yang jelas. Pada umumnya, pasien dengan gangguan
neurologist mempunyai lebih banyak tilikan pada penyakitnya dan lebih menderita
akibat gejala psikiatriknya daripada pasien skizofrenik, suatu kenyataan yang dapat
membantu klinisi untuk membedakan kedua kelompok tersebut.
Saat memeriksa seorang pasien psikotik, klinisi harus mengikuti tiga pedoman
umum tentang pemeriksaan keadaan nonpsikiatrik. Pertama, klinisi harus cukup
agresif dalam mengejar kondisi medis nonpsikiatrik jika pasien menunjukkan adanya
gejala yang tidak lazim atau jarang atau adanya variasi dalam tingkat kesadara.
Kedua, klinisi harus berusaha untuk mendapatkan riwayat keluarga yang lemgkap,
termasuk riwayat gangguan medis, neurologist, dan psikiatrik. Ketiga, klinisi harus
mempertimbangkan kemungkinan suatu kondisi medis nonpsikiatrik, bahkan pada
pasien dengan diagnosis skizofrenia sebelumnya. Seorang pasien skizofrenia
mempunyai kemungkinan yang sama untuk menderita tumor otak yang menyebabkan
gejala psikotik dibandingkan dengan seorang pasien skizofrenik.
Berpura-pura dan Gangguan buatan
Baik berpura-pura atau gangguan buatan mungkin merupakan suatu diagnosis
yang sesuai pada pasien yang meniru gejala skizofrenia tetapi sebenarnya tidak
menderita skizofrenia. Orang telah menipu menderita skizofrenia dan dirawat dan
diobati di rumah sakit psikiatrik. Orang yang secara lengkap mengendalikan produksi
gejalanya mungkin memenuhi diagnosis berpura-pura (malingering); pasien tersebut
biasanya memilki alasan financial dan hokum yang jelas untuk dianggap gila. Pasien
yang kurang mengendalikan pemalsuan gejala psikotiknya mungkin memenuhi
diagnosis suatu gangguan buatan (factitious disorder). Tetapi, beberapa pasien dengan
skizofrenia seringkali secara palsu mengeluh suatu eksaserbasi gejala psikotik untuk
mendapatkan bantuan lebih banyak atau untuk dapat dirawat di rumah sakit.
Gangguan Psikotik Lain
Gejala psikotik yang terlihat pada skizofrenik mungkin identik dengan yang
terlihat pada gangguan skizofreniform, gangguan psikotik singkat, dan gangguan
skizoafektif. Gangguan skizofreniform berbeda dari skizofrenia karena memiliki lama
(durasi) gejala yang sekurangnya satu bulan tetapi kurang daripada enam bulan.
Gangguan psikotik berlangsung singkat adalah diagnosis yang tepat jika gejala
berlangsung sekurangnya satu hari tetapi kurang dari satu bulan dan jika pasien tidak
kembali ke tingkat fungsi pramorbidnya. Gangguan skizoafektif adalah diagnosis
yang tepat jika sindroma manik atau depresif berkembang bersama-sama dengan
gejala utama skizofrenia.
Suatu diagnosis gangguan delusional diperlukan jika waham yang tidak aneh
(nonbizzare) telah ada selama sekurangnya satu bulan tanpa adanya gejala skizofrenia
lainnya atau suatu gangguan mood.
Gangguan Mood
Diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood dapat sulit, tetapi penting
karena tersedianya pengobatan yang spesifik dan efektif untuk mania dan depresi.
Gejala afektif atau mood pada skizofrenia harus relative singkat terhadap lama gejala
primer. Tanpa adanya informasi selain dari pemeriksaan status mental, klinisi harus
menunda diagnosis akhir atau harus menganggap adanya gangguan mood, bukannya
membuat diagnosis skizofrenia secara prematur.
Gangguan Kepribadian
Berbagai gangguan kepribadian dapat ditemukan dengan suatu cirri
skizofrenia; gangguan kepribadian skizotipal, schizoid, dan ambang adalah gangguan
kepribadian dengan gejala yang paling mirip. Gangguan kepribadian, tidak seperti
skizofrenia, mempunyai gejala yang ringan, suatu riwayat ditemukannya gangguan
selama hidup pasien, dan tidak adanya onset tanggal yang dapat diidentifikasi.
II.8 PERJALANAN PENYAKIT
Tanda awal dari skizofrenia adalah simtom-simtom pada masa premorbid. Biasanya
simtom ini muncul pada masa remaja dan kemudian diikuti dengan berkembangnya
simtom prodormal dalam kurun waktu beberapa hari sampai beberapa bulan. Adanya
perubahan social / lingkungan dapat memicu munculnya simtom gangguan. Masa
prodormal ini bisa langsung sampai bertahun-tahun sebelum akhirnya muncul simtom
psikotik yang terlihat.
Perjalanan penyakit skizofrenia yang umum adalah memburuk dan remisi. Setelah
sakit yang pertama kali, pasien mungkin dapat berfungsi normal untuk waktu lama
(remisi), keadaan ini diusahakan dapat terus dipertahankan. Namun yang terjadi
biasanya adalah pasien mengalami kekambuhan. Tiap kekambuhan yang terjadi
membuat pasien mengalami deteriorasi sehingga ia tidak dapat kembali ke fungsi
sebelum ia kambuh. Kadang, setelah episode psikotik lewat, pasien menjadi depresi,
dan ini bisa berlangsung seumur hidup.
Seiring dengan berjalannya waktu, simtom positif hilang, berkurang, atau tetap ada,
sedangkan simtom negative relative sulit hilang bahkan bertambah parah.
Faktor-faktor resiko tinggi untuk berkembangnya skizofrenia adalah
Mempunyai anggota keluarga yang menderita skizofrenia, terutama jika salah satu
orang tuanya/saudara kembar monozygotnya menderita skizofrenia, kesulitan pada
waktu persalinan yang mungkin menyebabkan trauma pada otak, terdapat
penyimpangan dalam perkembangan kepribadian, yang terlihat sebagai anak yang
sangat pemalu, menarik diri, tidak mempunyai teman, amat tidak patuh, atau sangat
penurut, proses berpikir idiosinkratik, sensitive dengan perpisahan, mempunyai orang
tua denga sikap paranoid dan gangguan berpikir normal, memiliki gerakan bola mata
yang abnormal, menyalahgunakan zat tertentu seperti amfetamin, kanabis, kokain,
Mempunyai riwayat epilepsi, memilki ketidakstabilan vasomotor, gangguan pola
tidur, control suhu tubuh yang jelek dan tonus otot yang jelek.
II.9 PROGNOSIS
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa lebih dari periode 5 sampai 10
tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit karena skiofrenia,
hanya kira-kira 10-20 % pasien dapat digambarkan memliki hasil yang baik.Lebih
dari 50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang buruk, dengan perawatan di
rumah sakit yang berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood berat, dan
usaha bunuh diri. Walaupun angka-angka yang kurang bagus tersebut, skizofrenia
memang tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang buruk, dan sejumlah faktor
telah dihubungkan dengan prognosis yang baik.
Rentang angka pemulihan yang dilaporkan didialam literatur adalah dari 10-
60% dan perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20-30% dari semua pasien
skizofrenia mampu untuk menjalani kehidupan yang agak normal. Kira-kira 20-30%
dari pasien terus mengalami gejala yang sedang,dan 40-60% dari pasien terus
terganggu scara bermakna oleh gangguannya selama seluruh hidupnya.
Secara umum prognosis skizofrenia tergantung pada:
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Usia pertama kali timbul ( onset): makin
muda makin buruk.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Mula timbulnya akut atau kronik: bila akut
lebih baik.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Tipe skizofrenia: episode skizofrenia akut dan
katatonik lebih baik.
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Cepat, tepat serta teraturnya pengobatan yang
didapat.
<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Ada atau tidaknya faktor pencetusnya: jika
ada lebih baik.
<!--[if !supportLists]-->6. <!--[endif]-->Ada atau tidaknya faktor keturunan: jika ada
lebih jelek.
<!--[if !supportLists]-->7. <!--[endif]-->Kepribadian prepsikotik: jika skizoid,
skizotim atau introvred lebih jelek.
<!--[if !supportLists]-->8. <!--[endif]-->Keadaan sosial ekonomi: bila rendah lebih
jelek.
II.10
PENATALAKSANAAN
Tiga pengamatan dasar tentang skizofrenia yang memerlukan perhatian saat
mempertimbangkan pengobatan gangguan, yaitu :
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Terlepas dari penyebabnya, skizofrenia
terjadi pada seseorang yang mempunyai sifat individual, keluarga, dan sosial
psikologis yang unik.
Prognosis Baik Prognosis Buruk
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Onset lambat
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Faktor pencetus yang jelas
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Onset akut
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Riwayat sosial, seksual dan pekerjaan premorbid yang baik
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Gejala gangguan mood (terutama gangguan depresif)
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Menikah
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Riwayat keluarga gangguan mood
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Sistem pendukung yang baik
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Gejala positif
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Onset muda
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Tidak ada factor pencetus
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Onset tidak jelas
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Riwayat social dan pekerjaan premorbid yang buruk
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Prilaku menarik diri atau autistic
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Tidak menikah, bercerai atau janda/ duda
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Sistem pendukung yang buruk
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Gejala negatif
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Tanda dan gejala neurologist
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Riwayat trauma perinatal
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Tidak ada remisi dalam 3 tahun
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Banyak relaps
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Riwayat penyerangan
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]--> Kenyataan bahwa angka kesesuaian untuk
skizofrenia pada kembar monozigotik adalah 50 persen telah diperhitungkan oleh
banyak peneliti untuk menyarankan bahwa factor lingkungan dan psikologis yang
tidak diketahui tetapi kemungkinan spesifik telah berperan dalam perkembangan
gangguan.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Skizofrenia adalah suatu gangguan yang
kompleks, dan tiap pendekatan terapetik tunggal jarang mencukupi untuk
menjawab secara memuaskan gangguan yang memiliki berbagai segi.
Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia,
penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat
perbaikkan klinis.
Perawatan di Rumah Sakit
Indikasi utama perawatan di rumah sakit adalah :
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Untuk tujuan diagnostik.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Menstabilkan medikasi.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Keamanan pasien karena gagasan bunuh diri
atau membunuh.
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai.
<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
dasar.
Tujuan utama perawatan di rumah sakit adalah ikatan efektif antara pasien dan
system pendukung masyarakat.
Sejak diperkenalkan diawal tahun 1950-an medikasi antipsikotik telah
menyebabkan revolusi dalam pengobatan skizofrenia. Tetapi, antipsikotik mengobati
gejala gangguan dan bukan suatu penyembuhan skizofrenia.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu
mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah sakit
tergantung pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat
jalan.
Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah
masalah kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan dan hubungan
sosial. Perawatan di rumah sakit harus di arahkan untukk mengikat pasien dengan
fasilitas pasca rawat termasuk keluarganya, keluarga angkat, board and care homes,
dan half way house. Pusat perawatan di siang hari ( day care center ) dan kunjungan
rumah kadang-kadang dapat membantu pasien tetap di luar rumah sakit untuk periode
waktu yang lama dan dapat memperbaiki kualitas kahidupan sehari-hari pasien.
Terapi Somatik
Antipsikotik
Antipsikotik termasuk tiga kelas obat yang utama, yaitu:
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Antagonis reseptor dopamine
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Risperidone ( ris perdal )
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Clozapine ( clozaril )
Pemilihan Obat
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Antagonis Reseptor Dopamin
Adalah obat antipsikotik yang klasik dan efektif dalam pengobatan skizofrenia.
Obat ini memiliki dua kekurangan utama, yaitu:
1.a. Hanya sejumlah kecil pasien, cukup tertolong untuk mendapatkan kembali
jumlah fungsi mental yang cukup normal.b. Disertai dengan efek merugikan yang mengganggu dan serius. Efek
mengganggu yang paling utama adalah akatisia dan gejala mirip parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor. Efek serius yang potensial adalah tardive dyskinesia dan sindroma neuroleptik malignan.
“ Remoxipride “ adalah antagonis reseptor dopamin dari kelas yang berbeda dari
pada antagonis reseptor dopamin yang sekarang ini tersedia. Awalnya obat ini
disertai efek samping neurologist yang bermakna, tetapi akhirnya remoxipride
disertai dengan anemia aplastik, jadi membatasi nilai klinisnya.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Risperidone
Adalah suatu obat antispikotik dengan aktivitas antagonis yang bermakna
pada reseptor serotonin tipe 2 ( 5-HT2 ) dan pada reseptor dopamine tipe 2 ( d2 ).
Risperidone menjadi obat lini pertama dalam pengobatan skizofrenia karena
kemungkinan obat ini adalah lebih efektif dan lebih aman daripada antagonis
reseptor dopaminergik yang tipikal.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Clozapine
Adalah suatu obat antipsikotik yang efektif. Mekanisme kerjanya belum
diketahui secara pasti. Clozapine adalah suatu antagonis lemah terhadap reseptor
D2 tetapi merupakan antagonis yang kuat terhadap reseptor D4 dan mempunyai
aktivitas antagonistic pada reseptor serotogenik. Agranulositosis merupakan suatu
efek samping yang mengharuskan monitoring setiap minggu pada indeks-indeks
darah. Obat ini merupakan lini kedua, diindikasikan pada pasien dengan tardive
dyskinesia karena data yang tersedia menyatakan bahwa clozapine tidak disertai
dengan perkembangan atau eksaserbasi gangguan tersebut.
Prinsip-Prinsip Terapetik
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Klinis harus secara cermat menentukan gejala
sasaran yang akan diobati
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan
baik di masa lalu pada pasien harus digunakan lagi.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Lama minimal percobaan antipsikotik adalah
empat sampai enam minggu pada dosis yang adekuat.
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Penggunaan pada lebih dari satu medikasi
antipsikotik pada satu waktu adalah jarang diindikasikan.
<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Pasien harus dipertahankan pada dosis efektif
yang serendah mungkin yang diperlukan untuk mencapai pengendalian gejala
selama periode psikotik.
Pemeriksaan Awal
Obat antipsikotik cukup aman jika diberikan selama periode waktu yang
cukup singkat. Dalam situasi gawat, obat ini dapat diberikan kecuali clozapine, tanpa
melakukan pemeriksaan fisik atau laboratorium pada diri pasien. Pada pemeriksaan
biasa harus didapatkan hitung darah lengkap dengan indekss sel darah putih, tes
fungsi hati dan ECG khususnya pada wanita yang berusia lebih dari 40 tahun dan laki-
laki yang berusia lebih dari 30 tahun.
Kontraindikasi Utama Antipsikotik:
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Riwayat respon alergi yang serius
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Kemungkinan bahwa pasien telah
mengingesti zat yang akan berinteraksi dengan antipsikotik sehingga
menyebabkan depresi sistem saraf pusat.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Resiko tinggi untuk kejang dari penyebab
organic atau audiopatik.
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Adanya glukoma sudut sempit jika digunakan
suatu antupsikotik dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna.
Kegagalan Pengobatan
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Ketidakpatuhan dengan antipsikotik
merupakan alas an utama untuk terjadinya relaps dan kegagalan percobaan obat.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Waktu percobaan yang tidak mencukupi.
Setelah menghilangkan alasan lain yang mungkin bagi kagagalan terapi antipsikotik,
dapat dicoba antipsikotik kedua dengan struktur kimiawi yang berbeda dari obat yang
pertama. Strategi tambahan adalah suplementasi antipsikotik dengan lithium
(eskalith), suatu antikonvulsan seperti carbamazepine atau valproate (depakene), atau
suatu benzodiazepine. Pemakaian terapi antipsikotik dosis-mega jarang diindikasikan,
karena hamper tidak ada data yang mendukung praktek tersebut.
Obat Lain
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Lithium
Efektif dalam menurunkan gejala psikotik lebih lanjut pada sampai 50 persen pasien
dengan skizofrenia dan merupakan obat yang beralasan untuk dicoba pada pasien
yang tidak mampu menggunakan medikasi antipsikotik.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Antikonvulsan
Carbamazepine dan valproat dapat digunakan sendiri-sendiri atau dalam kombinasi
dengan lithium atau suatu antipsikotik. Walaupun tidak terbukti efektif dalam
menurunkan gejala psikotik pada skizofrenia, namun jika digunakan sendiri-
sendiri mungkin efektif dalam menurunkan episode kekerasan pada beberapa
pasien skizofrenia.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Benzodiazepin
Pemakaian bersama-sama alprazolam ( xanax ) dan antipsikotik bagi pasien yang
tidak berespo terhadap pemberian antipsikotik saja, dan pasien skizofrenia yang
berespon terhadap dosis tinggi diazepam ( valium ) saja. Tetapi keparahan
psikosis dapat di eksaserbasi seteloah putus dari benzodiazepine.
Terapi Somatik Lainnya
Elektrokonvulsif ( ECT ) dapat diindikasikan pada pasien katatonik dan bagi
pasien yang karena suatu alasan tidak dapat menggunakan antipsikotik ( kurang
efektif ). Pasien yang telah sakit selama kurang dari satu tahun adalah yang paling
mungkin berespon.
Dimasa lalu skizofrenia diobati dengan koma yang di timbulkan insulin
(insulin-induced coma) dan koma yang ditimbulkan barbiturat (barbiturate-induced
coma).
Terapi Psikososial
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Terapi Perilaku
Tehnik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan social untuk
meningkatkan kemampuan social, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan
praktis, dan komunikasi interpersonal.
Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk
hal-hal yang diharapkan. Dengan demikian frekuensi perilaku mal adaptif atau
menyimpang dapat diturunkan.
Latihan Keterampilan Perilaku ( Behavioral Skills Trainning )
Sering dinamakan terapi keterampilan sosial ( social skills therapy ). Terapi ini dapat
secara langsung membantu dan berguna bagi pasien dan merupakan tambahan
alami bagi terapi farmakologis. Latihan keterampilan ini melibatkan penggunaan
kaset videon orang lain dan pasien permainan simulasi ( role playing ) dalam
terapi, dan pekerjaan rumah tentang keterampilan yang telah dilakukan.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Terapi Berorientasi Keluarga
Pusat dari terapi harus pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasik dan
menghindari situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Jika masalah
memang timbul pada pasien di dalam keluarga, pusat terapi harus pada pemecahan
masalah secara cepat.
Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas dalam terapi keluarga
adalah proses pemulihan khususnya lama dan kecepatannya.
Di dalam session keluarga dengan pasien skizofrenia, ahli terapi harus mengendalikan
intensitas emosional dari session.
BAB III
KESIMPULAN
1. Skizofrenia adalah suatu deskripsi dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.
1. Psikopatologi skizofrenia:
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Faktor Ditesis-stress
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Neurobiologi
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Genetika
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Faktor Psikososial
1. Klasifikasi skizofrenia:
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Skizofrenia paranoid
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Skizofrenia hebefrenik
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Skizofrenia katatonik
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Skizofrenia tak terinci (undifferentiated)
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Depresi pasca skizofrenia
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Skizofrenia residual
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Skizofrenia simpleks
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Skizofrenia lainnya
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Skizofrenia YTT
1. Diagnosis Skizofrenia:
- Gejala karakteristik : dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan untuk
bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati
dengan berhasil) waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi, perilaku
terdisorganisasi atau katatonik yang jelas, gejala negative
- Sosial / Pekerjaan : untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset gangguan , satu
atau lebih fungsi utama seperti pekerjaan, disfungsi hubungan interpersonal, atau
perawatan diri, adalah jelas dibawah tingkat yang dicapai sebelum onset.
- Durasi :tanda gangguan terus menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan,
termaksud sekurangnya satu bulan gejala.
- Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood.
- Penyingkiran zat/ kondisi medis umum : gangguan tidak disebabkan oleh efek
fisiologis langsung dari suatu zat (mis: obat yang disalahgunakan).
- Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasive jika terdapat riwayat adanya
gangguan autistic atau gangguan perkembangn pervasive lainnya, diagnosis
tambahan skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol juga
ditemukan untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang jika berhasil diobati).
5. Gejala klinik skizofrenia:
Gejala-gejala khas yang meliputi berrbagai hal psikologis yaitu :
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Isi pikiran: gangguan utama isi pikiran adalah
waham yang majemuk, terpecah atau aneh, misalny berupa waham kejar dan waham
yang menyangkut dirinya (delusion of reference).
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Bentuk pikiran : adanya gangguan pikiran
formal, berbentuk sebagai asosiasi longgar, inkoherensi, kemiskinana pembicaraan,
dll.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Persepsi : Gangguan utama adalah berbagai jenis
halusinasi, tetapi yang paling sering adalah halusinasi dengar.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Afek : Sering kali berupa afek datar atau tidak
serasi.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Rasa kesadaran diri : Sering bermanifestasi
sebagai rasa perpleksitas yang parah tentang identitas dirinya dan makna
eksistensinya.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Dorongan kehendak(“volition “) : Gangguan
dapat berupa minat atau dorongan yang tidak adekuat.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Hubungan dengan dunia luar : sering terjadi
kecenderungan untuk menarik diri dari dunia luar, berpreokupasi pad aide dan
egosentrik dan apabila keadaanya parah maka jatuh kedalam autisme.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Tingkah laku psikomotor : Ganggaun tingkah
laku psikomotor bisa beraneka ragam, dapat berupa berkurangnya gerakan dan
aktivitas spontan atau dapat pula berupa gerakan motorik yang berlebihan.
<!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Gambaran penyerta : Hampir semua gejala dapat
timbul sebagai gambaran penyerta, misalnya : individu tampak kehilangan akal
(perplexed), berpakaian atau berdandan eksentrik, aktivitas motorik yang tidak wajar,
afek yang tidak menyenangkan, depersonalisasi, derealisasi dan gagasan yang mirip
waham yang menyangkut dirinya.
1. Diagnosis banding skizofrenia:
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Gangguan mood
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Gangguan kepribadian
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Gangguan psikotik lainnya
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Gangguan psikotik sekunder dan akibat obat
1. Penatalaksanaan skizofrenia:
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Perawatan rumah sakit
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Terapi somatik
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Terapi psikososial
<!--[if !supportLists]-->- <!--[endif]-->Terapi blitzkrieg
1. Prognosis : tergantung dari berbagai factor, antara lain : onset, factor pencetus, riwayat keluarga, system pendukung, gejala, riwayat sosial, seksual,dll
<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4 <![endif]--><!--[if gte mso 9]> <![endif]--> <!– /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:”"; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} a:link, span.MsoHyperlink {color:blue; text-decoration:underline; text-underline:single;} a:visited, span.MsoHyperlinkFollowed {color:#808040; text-decoration:underline; text-underline:single;} @page Section1 {size:595.45pt 841.7pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-page-numbers:roman-lower 1; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} /* List Definitions */ @list l0 {mso-list-id:478573019; mso-list-type:hybrid; mso-list-template-ids:1144947082 67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715;} @list l0:level1 {mso-level-tab-stop:36.0pt; mso-level-number-position:left; text-indent:-18.0pt;} @list l0:level4 {mso-level-tab-stop:144.0pt; mso-level-number-position:left; text-indent:-18.0pt;} ol {margin-bottom:0cm;} ul {margin-bottom:0cm;} –> /* Style Definitions */table.MsoNormalTable{mso-style-name:”Table Normal”;mso-tstyle-rowband-size:0;mso-tstyle-colband-size:0;mso-style-noshow:yes;mso-style-parent:”";mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;mso-para-margin:0cm;mso-para-margin-bottom:.0001pt;mso-pagination:widow-orphan;font-size:10.0pt;font-family:”Times New Roman”;mso-ansi-language:#0400;mso-fareast-language:#0400;mso-bidi-language:#0400;}
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan & Sadock: ”Skizofrenia” dalam Sinopsis Psikiatri Jilid 1, edisi 7, Penerbit Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1997, halaman 685-729.
2. Maslim. R: Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, edisi 3,Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2002, hal 46-51.
3. W.F. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Universitas Airlangga,1980, hal:215-35
4. Maslim. R: Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, edisi 3, Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, FK Unika Atma Jaya, Jakarta, 2001, hal 14-23.
25ddff4ee5