STUDI KASUS TENTANG PASTORAL GEREJA TERHADAP PENDERITA
STROKE DAN KELUARGANYA DI JEMAAT GPIB TAMANSARI
Diajukan Kepada Fakultas Teologi
TRULLY
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
1
STUDI KASUS TENTANG PASTORAL GEREJA TERHADAP PENDERITA
STROKE DAN KELUARGANYA DI JEMAAT GPIB TAMANSARI
JURNAL
Diajukan Kepada Fakultas Teologi
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar
Sarjana Sains Teologi (S.Si.Teol)
DISUSUN OLEH:
TRULLY IMANUEL TUMONGGI
NIM : 712005071
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
STUDI KASUS TENTANG PASTORAL GEREJA TERHADAP PENDERITA
STROKE DAN KELUARGANYA DI JEMAAT GPIB TAMANSARI
2
3
4
5
6
STUDI KASUS TENTANG PASTORAL GEREJA TERHADAP PENDERITA STROKE
DAN KELUARGANYA DI JEMAAT GPIB TAMAN SARI
I. Pendahuluan
Latar Belakang
Stroke didefinisikan sebagai gangguan pada fungsi sistem saraf yang terjadi mendadak
dan disebabkan oleh gangguan peredaran darah di otak. Stroke terjadi akibat gangguan pembuluh
darah di otak. Gangguan peredaran darah otak dapat berupa tersumbatnya pembuluh darah otak
atau pecahnya pembuluh darah di otak. Otak yang seharusnya mendapat pasokan oksigen dan zat
makanan menjadi terganggu. Kekurangan pasokan oksigen ke otak akan memunculkan kematian
sel saraf (neuron), dan gangguan fungsi otak ini akan menimbulkan gejala stroke. Beberapa
penelitian menunjukkan terdapat beberapa faktor resiko yang membuat seorang individu menjadi
lebih rentan terkena stroke, dahulu stroke hanya menyerang orang kaum lanjut usia saja (lansia)
seiring dengan berjalannya waktu, kini ada kecenderungan bahwa stroke mengancam usia
produktif, bahkan di bawah usia 45 tahun.1 Kalangan dokter menduga, kondisi ini terjadi akibat
adanya transformasi sosial, di mana peningkatan stroke pada kaum muda adalah kebiasaan
mereka seperti merokok dan kurang menjaga pola makan yang sehat, maka dari itu untuk
mencegah stroke, faktor – faktor resiko ini harus dikendalikan. Caranya dengan menerapkan pola
makan sehat, menjauhi rokok, serta rutin melakukan aktivitas fisik, misalnya olahraga. Hal ini
penting untuk dilakukan, karena stroke, masih menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan
di seluruh dunia. Stroke pun ternyata bisa menyerang siapa saja, tanpa memandang jabatan
maupun strata sosial dalam masyarakat. Peneliti berpendapat stroke adalah suatu gangguan
fungsi syaraf akut yang disebabkan oleh karena gangguan peredaran darah ke otak.2 Secara
mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) timbul gejala dan
tanda yang sesuai dengan daerah lokal di otak yang terganggu. Stroke merupakan salah satu
masalah penyakit tertinggi di dunia, dan menjadi penyebab kematian nomor tiga di dunia setelah
1 Rizaldy Pinzon, LaksmiAsanti, Awas Stroke!, Pengertian, Gejala, Tindakan,Perawatan, & Pencegahan
(Yogyakarta: Andi, 2010), 1. 2 Pinzon, Asanti, Awas Stroke!, 37.
7
jantung dan kanker, serta menjadi penyebab kecacatan utama.3 Oleh karena itu ketika seseorang
mengalami hal seperti itu, sangat diharapkan peningkatan keprihatinan dan kepedulian yang
seharusnya muncul dari gereja. Masalah ini membutuhkan penanganan pastoral secara holistik,
baik bagi penderita stroke maupun keluarganya. Pihak gereja memiliki suatu lembaga yang khas,
di mana secara khusus mengorganisasikan pelayanan, dalam upaya-upaya melaksanakan
pelayanan itu sebagai tugas diakonia.
Dalam hal ini juga perlu adanya keterlibatan keluarga sebagai gereja mini. Keluarga
adalah tempat di mana kisah perjalanan hidup manusia dimulai. Perjalanan saat mulai memahami
kehidupan, ketika mencoba mengenal kerasnya kehidupan dunia dan bagaimana mencoba
mengatasi berbagai tantangan yang dihadapinya, semua bermula dari keluarga. Keluarga adalah
unit terkecil dari masyarakat dan merupakan pengayom kehidupan yang mempunyai fungsi
keagamaan, kebudayaan, perlindungan, pembinaan, reproduksi, dan cinta kasih, juga merupakan
wadah pembentukan karakter dan tingkah laku.4 Keluarga juga merupakan suatu lingkungan di
mana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah sebagai kelompok sosial
yang terdiri dari sejumlah individu, yang memiliki hubungan antar individu, serta terdapat
ikatan, kewajiban, dan tanggung jawab antar individu tersebut.
Hidup keluarga menjadi suatu cermin, yang memancarkan hubungan kasih Allah kepada
manusia seperti tertera di dalam kasih Yesus Kristus kepada Gereja-Nya, sama halnya dengan
keluarga Kristen, maka membangun keluarga Kristen juga berarti membangun gereja dalam
bentuk mini. Dalam hal ini sangat penting sekali peran keluarga dalam mengayomi satu dan yang
lain. Gereja pun secara konsisten mempertahankan agar keluarga menanamkan kasih dari dalam
rumah, kehidupan keluarga merupakan suatu arena di mana sebagian besar dari kita mempunyai
kesempatan untuk mempraktikan kehadiran Allah, serta membuka mata terhadap kenyataan ilahi
yang bersinar melalui peristiwa-peristiwa yang paling biasa dalam kehidupan kita. Sebagai
gereja miniatur, keluarga juga harus mempunyai kesadaran bahwa tidak hanya tentang firman,
melainkan juga melalui tekad yang meliputi perbuatan atau tindakan nyata dalam hidup
keseharian. Tekad atau keinginan merupakan hal yang amat menentukan bagi keluarga atau
gereja mini yang ingin memenuhi panggilan mereka sebagai sarana utama pembentukan dalam
3 Pinzon, Asanti, Awas Stroke!, 37. 4 Dien Sumiyatiningsih, Teladan Kehidupan 1 (Yogyakarta: Andi, 2006), 27.
8
mengayomi tubuh Kristus. Dengan memilih pola kehidupan yang memperkaya pertumbuhan
rohani di rumah, mereka akan semakin sadar akan anugerah yang mereka terima sebagai
pemeliharaan Allah terhadap mereka agar bertumbuh di dalam Kristus.5
Kristus hidup melalui gerejaNya telah memerintahkan kepada gembalaNya untuk
menyelamatkan kawanan dombaNya. Dalam hal ini konseling pastoral adalah wadah yang
penting untuk membantu gereja menjadi pos penyelamat jiwa, tempat berlindung, taman
kehidupan rohani dan bukan suatu klub atau museum. Konseling dapat membantu
menyelamatkan bidang kehidupan yang menderita kerusakan dalam kehidupan sehari-hari, yang
hancur karena rasa cemas, rasa bersalah, dan kurangnya integritas kepribadian. Dalam program
pendampingan dan konseling yang efektif, pendeta dan warga gereja sudah terdidik berfungsi
sebagai orang yang memperlancar penyembuhan dan pertumbuhan. Program pendampingan dan
konseling yang efektif dapat mentransformir suasana antar pribadi jemaat dan dapat membuat
gereja menjadi tempat pemeliharaan keutuhan manusia di sepanjang siklus kehidupannya.6 Yang
dimaksudkan disini dengan pelayanan pastoral (pemeliharaan jiwa) ialah bukan pemberitaan
Firman, seperti yang berlangsung dalam ibadah Jemaat, tetapi percakapan antara dua orang;
antara pastur dan anggota jemaat. Karena itu disamping pemberitaan Firman perlu adanya
pelayanan pastoral (pemeliharaan jiwa).7 Sangat dibutuhkan sekali peranan pendampingan
pastoral di dalam gereja untuk menyikapi masalah seperti ini, karena sudah menjadi tugas dan
tanggung jawab majelis gereja untuk memperhatikan dan mengayomi jemaatnya.
Melalui pernyataan di atas, hal ini dialami oleh beberapa warga jemaat GPIB Taman sari
Salatiga yang berdampak juga bagi keluarganya. Pendampingan pastoral adalah suatu alternatif
yang efektif untuk diterapkan bagi warga gereja dalam kehidupan warga jemaat GPIB Taman
sari Salatiga. Pendampingan pastoral adalah suatu praktek yang kompleks, layaknya sebuah
bentuk tindakan, pendampingan pastoral yang dilakukan melalui tahapan ‘reasoning’ dan
‘decision’ (identifikasi dan pengambilan keputusan).
Dengan demikian dilihat dari tujuannya konseling pastoral dapat dijadikan salah satu
alternatif, dalam meningkatkan kualitas hidup warga jemaat pasca stroke. Berdasarkan uraian
5 Sumiyatiningsih, Teladan Kehidupan 1, 28. 6 Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2002),
17. 7 J. L. Ch. Abineno, Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), 23.
9
latar belakang di atas, penulis tertarik dan memfokuskan penelitian ini pada studi kasus pastoral
gereja terhadap penderita stroke di jemaat GPIB Tamansari Salatiga.
Perumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan, maka yang menjadi permasalahan
adalah sebagai berikut pertama bagaimana situasi keluarga dan penderita sebagai akibat dari
stroke dan bagaimana tindakan pastoral gereja terhadap penderita stroke dan keluarganya.
Adapun tujuan penelitian dalam hal ini adalah mendeskripsikan situasi keluarga dan penderita
sebagai akibat dari stroke lalu menganalisis tindakan pastoral gereja dalam menyikapi persoalan
stroke bagi keluarga dan penderita. Manfaat penelitian terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat
praktis, manfaat teoritis berguna agar penelitian ini memberikan sumbangan/wawasan bagi,
keluarga, gereja, dan fakultas agar hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi, dan
penelitian ini diharapkan berguna untuk perkembangan pastoral dalam ruang lingkup gereja,
serta penelitian ini juga untuk memberikan gambaran pengetahuan tambahan kepada gereja
mengenai pastoral gereja, sehingga gereja mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat bagi
perkembangan pastoralnya. Manfaat praktis berguna agar penelitian ini membantu untuk
membuka wacana berpikir para majelis saat ini, untuk menyadari akan pentingnya
perkembangan pastoral dalam kehidupannya. Adapun metode penelitian yang dipergunakan
adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis dilaksanakan untuk menjelaskan
secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat yang terkait dengan
substansi penelitian.8 Metode deskriptif analisis, dipilih karena penelitian ini bermaksud
mendeskripsikan situasi keluarga akibat stroke dan menganalisis tindakan pastoral gereja
terhadap stroke. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, wawancara
menggambarkan peran seorang peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang
untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah penelitian. Wawancara dilakukan
secara tidak terstruktur adalah wawancara bebas dengan pedoman wawancara yang digunakan
hanya garis besar permasalahan yang ditanyakan.9
Dalam penulisan ini, tulisan dibagi atas beberapa bagian. Bagian pertama tentang
pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
8 M. Nazir. Metode Penelitian (Bogor : Ghalia Indonesia, 2009), 112. 9 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2012), 21.
10
penelitian, metodelogi penelitian dan sistematika penulisan. Bagian kedua tentang pendampingan
pastoral dan stroke, yang meliputi defenisi makna mengenai stroke dan dampak stroke terhadap
kondisi keluarga, serta defenisi dan fungsi konseling pastoral pada pendampingan gereja menurut
teori Howard J. Clinebell. Bagian ketiga tentang hasil penelitian dan pembahasan yang meliputi
deskripsi situasi keluarga penderita stroke dan analisis tindakan pastoral gereja terhadap
penderita stroke dan keluarga. Bagian empat tentang penutup yang meliputi kesimpulan tentang
penemuan-penemuan dalam penelitian, serta saran dan rekomendasi untuk penelitian
selanjutnya.
II. Pendampingan Pastoral Dan Stroke
2.1 Defenisi Stroke
Persoalan “Allah dan penyakit” ini tidak jauh berbeda dengan persoalan tentang “Pelarian
ke dalam penyakit ”. Apakah penyakit yang diderita oleh seseorang itu datangnya dari Allah?
Atau justru sebaliknya; Apakah Allah musuh dari penyakit? Apakah penyakit itu suatu hukuman?
Banyak sekali orang sakit bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan ini, Karl barth dalam
dogmatikanya menganggap kesehatan sebagai suatu kekuatan untuk berada sebagai manusia,
namun ungkapan Barth itu belum seluruhnya mengungkapkan apa itu penyakit dan kesehatan.
Umumnya para ahli berpendapat bahwa kita dan orang-orang sakit yang kita layani harus tetap
melihat penyakit sebagai musuh, yang harus kita lawan dan musnahkan.10
Otak manusia terbagi menjadi dua bagian (hemisfer), kanan dan kiri. Pada dasar otak,
terdapat otak kecil (serebelum) dan batang otak yang merupakan penghubung otak dengan
jaringan saraf (medula spinalis). Semua informasi dari dunia luar dikenali oleh akhiran pada
saraf ini. Akhiran saraf ini akan menghantarkan informasi melewati medula spinalis kemudian
naik ke batang otak dan berakhir pada salah satu hemisfer otak. Di hemisfer inilah diputuskan
apa yang akan dilakukan sebagai tanggapan atas informasi yang diterima. Aliran darah otak
berasal dari jantung melalui pembuluh darah utama dari jantung (aorta), aorta bercabang
menjadi empat pembuluh darah utama di otak. Pada bagian depan, terdapat dua arteri karotis dan
10 J.L. Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral kepada Orang-orang Sakit (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 18
11
disepanjang tulang belakang terdapat dua arteri vertebralis. Keempat arteri tersebut terhubung
dalam sirkulus willisi (circle of willis) ketika masuk ke tengkorak. Struktur ini sangat penting
karena jika salah satu dari arteri tersumbat akan menimbulkan stroke.11 Stroke adalah keadaan
yang terjadi saat otak rusak akibat aliran darah terganggu. Setiap bagian otak bertanggung jawab
atas fungsi tertentu sehingga gejala stroke bergantung pada daerah otak yang kekurangan suplay
darah. Stroke juga bisa terjadi karena (hemoragi) atau pendarahan di dalam otak dan permukaan
otak. Stroke merupakan penyebab utama kematian dan merupakan penyebab tersering kecacatan
pada orang dewasa. Menurut teori yang di kemukakan oleh dr. Anthony Rudd, stroke meliputi
penyakit yang mempunyai empat efek atau akibat yang dapat dialami oleh penderita antara lain;
1. Efek yang pertama bergantung pada bagian otak mana yang terserang dan seberapa luas
daerah yang mengalami kerusakan.
2. Efek yang menyebabkan permasalahan yang berhubungan dengan jantung dan sirkulasi
darah.
3. Efek yang mempengaruhi baik fisik maupun psikis. Sering kali, orang yang terserang
stroke mengalami depresi. Masalah-masalah psikologis seperti merasa cemas, lelah, sulit
berkonsentrasi, dan sulit mengingat sesuatu yang sering terjadi.
4. Efek ketidak stabilan emosi, seperti menjadi sangat sensitive, mudah marah, dan kurang
bersemangat.
Kehidupan setiap penderita stroke akan berubah, meskipun mereka mendapat pemulihan
lengkap. Oleh karena itu perawatan penderita stroke haruslah per individu dan tidak bisa
disamakan antara satu penderita dengan yang lainnya. Salah satu arah penyembuhannya adalah
dengan cara rehabilitasi, rehabilitasi pasca stroke bertujuan agar penderita dapat hidup mandiri
dan produktif kembali. Tingkat irehabilitasi pasca stroke sangat tergantung dari banyak aspek :
mulai dari seberapa luas kerusakan di otak, waktu penanganan yang sedini mungkin (golden
peroid), profesional yang menangani (dokter, fisioterapi), lalu peran serta keluarga yang harus
ikut andil dalam hal ini dan yang terpenting adalah niat dan usaha dari penderita itu sendiri.
Program rehabilitasi itu sendiri mencakup mulai dari latihan (exercise), modalitas alat, obat-
11 Anthony rudd, Stroke at Your Fingertips (Jakarta: Penebar Plus, 2010), 8-10.
12
obatan, terapi wicara, dan psikologi. Lingkungan sosial dan aspek psikologi sering dilupakan
padahal ini merupakan aspek yang penting. Bahkan interaksi antara penderita dengan keluarga
dan profesional (dokter) akan mempercepat proses pemulihan, karena interaksi tersebut akan
memberikan dukungan emosional dan motivasi lebih bagi penderita stroke.12
2.2 Kondisi Keluarga Penderita Stroke
Stroke tidak hanya mempengaruhi fisik penderitanya saja, tetapi juga hubungannya
dengan keluarga. Peranan keluarga memang sangat penting dalam proses mengayomi salah
seorang keluarganya yang sedang mengalami stroke. Karena perhatian yang diberikan kepada
penderita akan mendukung mental dan fisiknya. Penderita stroke memerlukan banyak dukungan
untuk mempercepat kesembuhannya. Selain pengawasan intensif dari dokter yang merawat,
perhatian keluarga juga sangat menentukan. Stroke merupakan suatu penyakit yang sering
dijumpai dimasyarakat modern sekarang ini. Bukan hanya penderitanya yang dihadapkan pada
suatu keadaan yang sangat menyiksa, tetapi juga keluarga. Kondisi beban yang ditimbulkan dari
penderita stroke terhadap keluarganya mencakup beberapa hal, mulai dari segi fisik dalam
merawat penderita, maupun segi keuangan. Dengan semua kondisi beban yang dipikul sebagai
keluarga, bagaimana cara kita menghadapinya? Apakah kita harus malu atau mungkin malah
depresi dalam menghadapinya? Tentu wajabannya tidak. Seorang penderita akan mempunyai
rasa percaya diri yang besar untuk segera sembuh, apa bila keluarga memahami derita yang
dialaminya. Sebaliknya, penderita akan sulit sembuh jika keluarga atau suasana rumah tidak
mendukung. Hal inilah yang benar-benar harus dibutuhkan di dalam peranan keluarga untuk
mengayomi salah satu anggota keluarga pasca stroke.13
1.3 Dampak Stroke terhadap Keluarga
Dampak stroke tidak hanya dirasakan oleh penderitanya namun juga oleh orang-orang
terdekatnya (anggota keluarga inti). Dampak ekonomi dan dampak psikologis tentunya hal yang
sering ditemui biasanya berupa depresi. Depresi terjadi karena penderita menyadari bahwa
dirinya tidak memiliki stamina seperti sebelumnya, dan dalam kadar yang berbeda, penderita
tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari dengan normal dan secara mandiri kesadaran ini
12 Rudd, Stroke at Your Fingertips, 217. 13 E. F. Sarafino, Stroke Petunjuk Penting bagi Keluarga (Jakarta:Pustaka Delapratasa 1998), 115.
13
menimbulkan perasaan tidak berdaya, tidak berguna, perasaan menjadi beban orang lain
sehingga sering mereka tampak sedih, melamun atau menangis. Situasi pasca stroke bukanlah
situasi yang mudah untuk dihadapi. Selain mempengaruhi hubungan di antara anggota keluarga
dan penderitanya, kelelahan secara fisik dan mental juga dialami oleh anggota keluarga yang
merawat. Keadaan ini tidak dapat dipastikan akan berlangsung berapa lama, tergantung pada
kondisi penderita (stroke ringan yang menyebabkan pikun beberapa hal atau stroke berat sampai
lumpuh) dan juga penerimaan keluarga akan kondisi ini serta bagaimana mereka menyesuaikan
diri menghadapi kondisi tersebut. Dengan demikian penyesuaian diri memegang peranan penting
dan penyesuaian ini dimulai dengan menerima kondisi ini baik oleh penderita maupun keluarga
terdekatnya. Tidak dapat dipungkiri, merawat penderita stroke merupakan dampak suatu beban
yang tidak ringan. Perasaan cemas, tertekan, bingung, sedih dan jengkel akan menyelimuti
anggota keluarga. Oleh sebab itu, persamaan pemahaman tentang perubahan yang terjadi dalam
lingkungan keluarga, sangatlah penting. Untuk mencapai konsensus/saling pengertian yang
kokoh diperlukan pengorbanan masing-masing pribadi. Hal ini memang tidak mudah, karena
banyak faktor yang mempengaruhi. Tapi setidak-tidaknya motivasi ke arah kondisi tadi harus
selalu dipertahankan oleh keluarga dengan sebaik-baiknya, hal ini diperlukan untuk memperkecil
dampak yang akan timbul didalam keluarga.14
Pendampingan Pastoral
Kata pendampingan pastoral adalah gabungan dua kata yang mempunyai makna
pelayanan, yaitu kata pendampingan dan kata pastoral. Pertama, istilah pendampingan, kata ini
berasal dari kata kerja “mendampingi”. Mendampingi merupakan suatu kegiatan menolong
orang lain yang karena suatu sebab perlu didampingi. Orang yang melakukan kegiatan
“mendampingi” disebut sebagai “pendamping”. Antara yang didampingi dan pendamping terjadi
suatu interaksi sejajar atau relasi timbal- balik. Dengan demikian istilah pendampingan memiliki
arti kegiatan kemitraan, bahu-membahu, menemani, dan kepedulian dengan tujuan saling
menumbuhkan dan mengutuhkan. 15 Dalam kaitannya dengan kata “Conseling” memang masih
banyak pandangan yang berbeda-beda, oleh sebab itu, pengistilahan tersebut sebaiknya
14 Sarafino, Stroke Petunjuk Penting bagi Keluarga, 116. 15 Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 9.
14
mempertimbangkan berbagai macam latar belakang pelayanan, sejauh tidak meninggalkan
pengertian yang mendasar. Artinya bahwa mereka yang membutuhkan pertolongan, mempunyai
berbagai latar belakang dan persoalan-persoalan yang beragam, karena tujuan Allah dengan
manusia adalah keutuhan, hanya sebagai manusia yang utuh kita dapat menjalankan tugas kita
sebagai manusia beriman menurut gambar Allah.
Kata Pastoral berasal dari bahasa latin Pastore, dalam bahasa Yunani disebut Piomen
yang berarti Gembala. Secara tradisional, pastoral merupakan tugas pendeta yang menjadi
gembala bagi jemaatnya. Didalam kata gembala terkandung pengertian tentang hubungan antara
Allah yang penuh kasih dengan manusia lemah yang memerlukan arahan dan bimbingan. Karena
itu, konseling suatu fungsi pastoral lebih menunjukkan pada sifat dan fungsi dari seorang
gembala yang selalu membimbing, merawat, memelihara, melindungi dan menolong orang
lain.16 Dalam kitab Yesaya 40:11 dikatan tugas gembala adalah mengembalakan kawanan ternak,
menghimpun dengan tangannya, memangku anak domba, menuntun iduk domba dengan hati-
hati. Tuhan Yesus sendiri memperkenalkan diriNya sebagai Gembala (Yoh.10; Akulah gembala
yang baik). Sebagai gembala yang baik pendeta mempunyai tugas dan panggilan untuk
mengayomi jemaatNya, salah satu tugas panggilan dari seorang pendeta adalah sebagai konselor
pastoral. Sebagai konselor pastoral seorang pendeta harus memiliki sikap yang dapat menerima
orang lain dan merasakan yang mereka rasakan, serta dapat menempatkan dirinya dalam
kehidupan dan perasaan orang lain, sehingga mereka merasa dihargai, diterima dan dikasihi.
Disisi lain, pendeta sebagai simbol nilai-nilai yang dirasakan oleh orang lain sebagai suatu
panutan dan teladan, bahkan lebih dari itu, menjadi pancaran sinar sikap, sifat dan kepribadian
dari Yesus. Sebagaimana kehidupan Yesus yang diharapkan dari pendeta adalah sebagai seorang
gembala harus seperti Yesus.17
Dalam konseling pastoral, seorang pendeta berkewajiban untuk memberikan layanan
pastoral bagi mereka yang berada dalam kebimbangan, penderitaan, dan dalam pergumulan
hidup, diminta maupun tidak diminta. Layanan pastoral melalui perkunjungan membatu pendeta
mengetahui dan dengan cepat dapat memberikan layanan sebelum seseorang jatuh ke dalam
kehidupan yang berat. Pelayanan kunjungan pastoral sering kali tidak berkelanjutan meskipun
16 J.D. Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 2. 17 Engel, Konseling Pastoral Keluarga, 2.
15
sebenarnya banyak cara untuk mempertahankan keefektifannya. Gereja-gereja besar sering
mengangkat pendeta, atau suatu tim pelayanan biasa, yang khusus untuk menangani kunjungan
keluarga bagi semua anggota jemaat secara teratur. Apa pun cara yang digunakan, ada gagasan
khusus yang perlu diingat untuk menciptakan suatu pelayanan kunjungan pastoral yakni
mengena pada sasaran. Kunjungan pastoral keluarga telah menjadi suatu pelayanan yang mulia.
Dalam banyak hal, kenyataannya bentuk pelayanan ini tidak berkembang. Sesungguhnya,
kunjungan pastoral biasa, yang ditandai dengan percakapan santai dan mungkin suatu doa
penutup, merupakan gejala yang mulai menghilang. Baik hamba Tuhan maupun jemaat sama-
sama sibuk dewasa ini. Dalam banyak hal, berkurangnya kunjungan pastoral justru dianggap
menggembirakan. Kerap kali kunjungan dilakukan tanpa rasa kewajiban. Kebanyakan yang
berlangsung hanya sendau gurau ringan yang dirasa cukup bila kedua pihak, yang berkunjung
dan yang dikunjungi, merasa "enak". Percakapan tidak berkembang lebih mendalam lagi. Tapi
bagaimanapun kunjungan pastoral tradisional masih memberikan pelayanan, adanya pelayanan
keluarga itu semata-mata untuk menunjukkan, bahwa gereja menaruh perhatian-perhatian
secukupnya untuk meluangkan waktu dan berkunjung ke rumah. Bagi orang jompo dan orang
sakit khususnya, pelayanan kunjungan ini sangatlah berarti. Kunjungan itu memperlihatkan
bahwa mereka berharga. Mereka tetap terhitung meskipun tidak dapat hadir dalam kebaktian
atau kegiatan jemaat lainnya. Kunjungan pastoral sering menjadi sarana bagi anggota jemaat
untuk mengungkapkan ketakutan, sukacita, dan masalah mereka, baik yang bersifat pribadi
maupun rohani. Meskipun bukan suatu konseling formal, kunjungan tersebut sering memberikan
nasihat yang membantu.18
Dalam lingkup konseling hamba Tuhan memiliki kelebihan dibandingkan seorang
konselor keluarga, karena mereka lebih mudah diterima oleh keluarga. Dalam lingkungan
keluarga, tiap anggota akan tampil sewajarnya daripada berada di ruangan seorang konselor.
Kunjungan pastoral secara positif mencakup konseling atau paling tidak pemahaman akan
hubungan dalam keluarga. Namun, fungsi utama kunjungan pastoral dalam pertumbuhan rohani
adalah membantu orang atau orang-orang dalam keluarga untuk menyelami pengalaman hidup
mereka, dan selanjutnya mengaitkan pengalaman itu dengan iman mereka. Hal itu akan tercapai
bila ada kesediaan baik pada pihak hamba Tuhan maupun anggota jemaat untuk memperhatikan
18 Kenneth. L. Gibble, Pentingnya Suatu Kunjungan Pastoral (Yogyakarta: Andi, 1989), 53.
16
dengan sungguh-sungguh "sisi dalam" dari pengalaman hidup mereka. Kesediaan untuk
membagikan perasaan yang terluka, rasa malu, dan juga sukacita akan mengungkapkan sisi
dalam proses pendampingan pastoral tersebut.19
Pendampingan pastoral dapat berlanjut menjadi konseling pastoral, dengan kata lain
konseling pastoral merupakan sebuah dimensi pendampingan pastoral dalam melaksanakan
fungsi yang bersifat memperbaiki yang dibutuhkan ketika orang mengalami krisis yang
merintangi pertumbuhannya. Orang membutuhkan pendampingan pastoral sepanjang hidupnya,
tetapi mungkin orang membutuhkan konseling pastoral ketika mengalami krisis yang hebat
(Howard Clinebell, 2002). Dalam bukunya tipe- tipe dasar pendampingan dan koseling pastoral
Howard Clinebell menambahkan bahwa konseling pastoral adalah alat yang penting sekali yang
membantu gereja menjadi pos penyelamat jiwa, tempat berlindung, dan taman kehidupan rohani.
Konseling dan pendampingan pastoral dapat menjadi alat-alat penyembuhan dan pertumbuhan
rohani, pengembalaan dan konseling pastoral adalah pemanfaatan hubungan antara seseorang
dan orang lainnya di dalam pelayanan. Pengembalaan adalah suatu pelayanan yang luas
cakupannya, pengembalaan mencakup pelayanan yang saling menyembuhkan dan
menumbuhkan di dalam suatu jemaat dan komunitasnya sepanjang perjalanan hidup mereka.
Konseling pastoral adalah sebuah dimensi dari pengembalaan. Dimana konseling pastoral
merupakan suatu fungsi yang bersifat memperbaiki, yang dibutuhkan ketika orang mengalami
krisis yang merintangi pertumbuhannya.20
Hal yang perlu diperhatikan oleh pendeta secara tepat adalah mutu dari program
pendampingan dan pertolongan warga gereja. Karena hikmat Alkitabiah sadar akan keterasingan
(alienasi) dan kerusakan manusia tetapi juga menyadari potensinya untuk berkembang kearah
keutuhan. Dalam gereja, para pendeta harus mengadakan percobaan dengan pendekatan yang
baru ketika mereka mencari sumber daya untuk memperkaya keefektifan mereka dalam
pelayanan pendampingan dan konseling.21 Dalam hal ini William A. Clebsch (ahli sejarah
gereja) dan Charles R. Jaekle (spesialis pendampingan pastoral) mengemukakan empat fungsi
19 Gibble, Pentingnya Suatu Kunjungan Pastoral, 57. 20 Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Yogyakarta: Kanisius,
2002), 17 & 32. 21 Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, 53-54.
17
pengembalaan dan Howard Clinebell menambahkan satu fungsi dalam pendampingan pastoral.
Jika dilihat dari fungsi-fungsi tersebut, maka ada lima fungsi pendampingan, antara lain;
1. Fungsi Menyembuhkan (Healing)
Adalah suatu fungsi pastoral yang terarah untuk mengatasi kerusakan yang
dialami orang menuju keutuhan dan membimbingnya kearah kemajuan di luar
kondisinya terdahulu.
2. Fungsi Mendukung (Sustaining)
Menolong orang yang sakit (terluka) agar dapat bertahan dan mengatasi suatu
kejadian yang terjadi pada waktu yang lampau, dimana penyembuhan atas
penyakitnya kemungkinan sangat tipis.
3. Fungsi Membimbing (Guiding)
Membantu seseorang yang berada dalam kebingungan dalam mengambil pilihan
yang pasti (meyakinkan di antara berbagai pikiran dan tindakan alternatif/pilihan).
4. Fungsi Memulihkan (Reconciling)
Usaha membangun hubungan-hubungan yang rusak kembali di antara manusia
dan sesama manusia, dan diantara manusia dengan Allah.
5. Fungsi Memelihara atau Mengasuh (Nurturing)
Tujuan dari fungsi tersebut adalah memampukan orang untuk mengembangkan
potensi-potensi yang diberikan Allah kepada mereka, di sepanjang perjalanan
hidup mereka.
Semua fungsi pelayanan mempunyai satu tujuan tunggal yang mempersatukan semuanya,
yaitu memperkuat keutuhan manusia yang berpusat pada Roh. Melalui fungsi-fungsi inilah setiap
proses dalam penggembalaan dapat dilakukan, setiap fungsi dapat menjadi suatu alat
pertumbuhan dan penyembuhan secara holistik, karena dari kelima fungsi ini merupakan suatu
saluran dari pemeliharaan Pastoral.22
22 Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, 54.
18
Selain itu dalam bukunya yang berjudul tipe-tipe dasar pendampingan dan konseling
pastoral, teori dari Howard Clinebell memaparkan juga enam dimensi yang saling keterkaintan
dari fungsi-fungsi pendampingan dalam mencapai suatu keutuhan pengembalaan dan konseling
pastoral dalam aspek kehidupan manusia, dimana yang satu sama lainnya saling berkaitan;
Dimensi pertama – menyegarkan pikiran – Mencakup pengembangan sumber-sumber
personalitas. Kemampuan berpikir dari manusia yang memperkaya horizon-horizon
intelektual dan artistic manusia merupakan bagian dari pendekatan pengembalaan dan
konseling pastoral, yang dipusatkan pada keutuhan hidup.
Dimensi kedua – membuat tubuh lebih bergairah – Memampukan orang mengatasi
keterasingan dari tubuh mereka, dan membatu mereka menikmati keutuhan tubuh-jiwa-
roh, menjadi bagian yang hakiki dalam konseling
Dimensi ketiga – memperbaharui dan memperkaya hubungan-hubungan dekat –
Menolong orang memperbaiki, memperbaharui, dan memperkaya jaringan hubungan
yang penuh kepedulian merupakan penyembuhan maupun pertumbuhan yang
bergantung pada kualitas hubungan-hubungan yang penting. Penyembuhan yang
mencakup hubungan-hubungan itu lebih kearah pertumbuhan karena hubungan-hubungan
tersebut merupakan bagian hakiki dari suatu pelayanan akan keutuhan hidup.
Dimensi keempat – memperdalam hubungan orang dengan alam dan lingkungan hidup –
Pengembalaan dan konseling pastoral yang bersifat membebaskan hubungan kita dengan
lingkungan hidup kita serta memperluas kesadaran orang agar menjadi lebih utuh baik
secara fisik, mental, dan spiritual.
Dimensi kelima – menumbuhkan hubungan dengan lembaga-lembaga yang penting
dalam hidup – Pengembalaan dan konseling pastoral sepatutnya mencakup
membangkitkan kesadaran orang-orang dalam melihat akar-akar sosial dari rasa sakit dan
kehancuran mereka secara individual, serta akar-akar sosial yang merintangi
pertumbuhan mereka. Pengembalaan dan konseling pastoral bertujuan untuk
membebaskan, memotivasi dan memperkuat orang untuk bekerja sama dengan orang lain
19
dalam rangka membuat lembaga-lembaga menjadi tempat manusia dimana keutuhan tiap
pribadi terpelihara dengan baik.
Dimensi keenam – memperdalam dan menggairahkan hubungan dengan Allah – Dari
pertumbuhan menuju keutuhan, pertumbuhan rohani berkaitan dengan kelima dimensi
tersebut, dan merupakan ikatan yang mempersatukan keseluruhan dimensi lainnya. Kunci
bagi perkembangan manusia adalah hubungan-hubungan yang terbuka, jujur, dan penuh
sukacita dengan Roh kasih yang merupakan sumber segala kehidupan, penyembuhan, dan
pertumbuhan.
Dalam perjanjian baru, pengembalaan dipahami sebagai tugas seluruh warga jemaat yang
berfungsi sebagai persekutuan pemeliharaan dan penyembuhan, dimana yang lebih berperan
aktif adalah pendeta sebagai gembala. Tugas pendeta adalah mendidik, melatih, member
inspirasi, dan mengawasi warga jemaat dalam pelayanan pengembalaan.23 Kesempatan-
kesempatan yang sangat besar bagi pengembalaan dan konseling dalam gereja terjadi disekitar
krisis-krisis kehidupan. Menurut Howard Clinebell ada dua macam krisis yang dapat kita
pahami; pertama, krisis perkembangan yang terjadi disekitar transisi-transisi normal yang penuh
dengan ketegangan dalam perjalanan hidup (seperti perkawinan, kelahiran, dan lulus sekolah)
dan yang kedua, krisis yang terjadi secara kebetulan, yang menimbulkan ketegangan-ketegangan
dan kehilangan-kehilangan yang tidak diharapkan (seperti kecelakaan, bencana alam,
pembedahan, dan penyakit) yang dapat muncul pada tahap-tahap dalam kehidupan.24
Salah satu tujuan dari pengembalaan dan konseling gereja adalah memampukan orang
(jemaat) dalam menanggapi krisis-krisis mereka sebagai kesempatan untuk bertumbuh, karena
fokus utama dari pengembalaan gereja melalui pelayanan konseling pastoral adalah menolong
jemaat (warga gereja) dalam mengatasi masalah-masalah dan krisis-krisis kehidupan kearah
pertumbuhan. Sama halnya ketika ada warga gereja yang mengalami krisis yang terjadi secara
kebetulan (krisis menurut Howard) yaitu penyakit (sakit). Dengan demikian harus diingat bahwa
jemaat adalah persekutuan para imam, yaitu orang-orang yang mempersembahkan persembahan
rohani kepada Tuhan. Karena tubuh setiap umat sendirilah yang sekarang menjadi korban yang
hidup dan kudus bagi Allah (Rm. 12:1). Tuhan menginginkan gereja-Nya menjadi tubuh bagi
23 Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, 67-71. 24 Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, 44.
20
orang-orang percaya yang dalam kata dan perbuatan penyataan pelayanan kasih-Nya pada
sesama.25 Tuhan Yesus dan jemaat mula-mula memperdulikan orang lain dengan beberapa cara:
mereka menghibur yang susah, melayani orang yang sakit, memberi makan yang lapar,
menguatkan yang lesu, memberi semangat kepada yang kecewa, mendoakan, juga membimbing
orang-orang yang mempunyai masalah mental dan rohani26.
Maka pelayanan pastoral di dalam gereja harus didekati secara holistik, artinya
memandang pribadi yang menghadapi masalah itu tidak secara terpecah-pecah, tetapi harus
didekati sebagai kesatuan dan keutuhan yaitu secara fisik, mental, sosial, dan spiritual. Dalam hal
ini sangat penting sekali integritas dalam kehidupan pribadi pelayan yang harus diniatkan,
integritas tidak terjadi hanya kareana komitmen untuk melayani. Pelayan Tuhan harus berusaha
menjadi orang yang berintegritas dalam kehidupan pribadinya. Kunci pelayanan yang efektif
adalah pertumbuhan yang berkelanjutan pada diri pelayan Kristus itu sendiri, asalkan tetap
bertumbuh secara spiritual dan berhubungan secara pribadi dengan umat yang ia layani, pastinya
pelayanan seorang pelayan akan selalu tetap efektif. Jika memang demikian, maka pendeta akan
memiliki pemahaman yang jelas tentang peran yang mereka lakukan didalam pelayanan.27
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa jikalau istilah pendampingan dan pastoral
digabungkan menjadi pendampingan pastoral, itu berarti pastoral merupakan sifat dari pekerjaan
pendampingan itu sendiri. Dengan demikian maka dalam mendampingi sesama yang menderita
haruslah bersifat pastoral. Atau dengan kata lain, pertolongan terhadap sesama harus mencakup
kelima fungsi dan keenam dimensi diatas. Sebab Allah yang adalah pencipta, bersifat merawat
dan memelihara. Maka bila pastoral dihubungkan kepada istilah pendampingan, dimaksud untuk
memperdalam makna pekerjaan pendampingan. Dimana pendampingan tersebut tidak hanya
memiliki aspek horizontal (dari manusia kepada manusia) akan tetapi juga mewujudkan aspek
vertikal (hubungan dengan Allah).
25 Gary. R. Collins, Pengantar pelayanan konseling Kristen yang efektif (Malang: seminari Alkitab asia
tenggara, 1989), 37. 26 Mesach Krisetya, Konseling Pastoral (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2001), 10. 27 Joe E. Trull, James E. Carter, Etika Pelayanan Gereja; Peran Moral dan Tanggung Jawab Etis Pelayan
Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 90.
21
III. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1. Deskripsi Situasi dan Analisis Terhadap Keadaan Penderita Stroke dan Keluarga
Stroke merupakan suatu masalah penyakit yang sangat serius, karena sakit stroke sangat
sulit sekali untuk disembuhkan, karena memakan waktu proses pemulihan yang sangat lama.
Situasi ini terjadi atau dialami oleh beberapa warga jemaat GPIB Tamansari Salatiga. Ibu S
adalah salah satu warga jemaat GPIB Tamansari yang mengalami stroke, saat ini Ibu S sudah
berumur 45 tahun, sudah cukup lama Ibu S mengalami stroke, banyak sekali perubahan yang
dialami beliau, salah satunya ialah mengenai faktor ekonomi yang berdampak juga pada faktor
psikologis, dahulu sebelum Ibu S mengalami stroke, keadaan hidupnya sangat berkelimpahan,
dari memiliki rumah, mobil, emas, usaha, dan deposito semua serba ada. Beliau juga suka sekali
dalam melakukan perkunjungan dan membantu orang-orang yang penuh kesusahan dan
kesulitan, serta membantu dalam setiap kegiatan gereja, apapun beliau lakukan dalam hal dana
pun beliau ikut andil. Ada rasa penyesalan dan sakit hati yang dirasakan, mengapa Tuhan seperti
ini terhadap saya. Ketika stroke datang menghampiri semua keadaan menjadi berubah total, tidak
ada lagi semangat hidup yang dirasakan, saat ini semangat yang saya miliki dalam melakukan
pelayanan, seolah sirna begitu saja ketika penyakit ini datang kepada saya, hanya rasa emosi
yang dirasakan ketika saya melihat kondisi fisik saya seperti ini. Bahkan sampai sekarang hanya
rumah ini yang saya miliki, selebihnya semua yang saya miliki musnah dalam seketika. Saya
tidak menduga hal ini akan terjadi pada saya, bahkan tidurpun saya merasa tidak tenang, selalu
saja ada ketakutan yang terlintas dipikiran saya, tentang bagaimana kehidupan biaya terutama
untuk berobat dalam jangka panjang, ujar beliau. Terlebih lagi faktor biaya rumah sakit dan
penyakit yang diderita oleh saya sungguh di luar logika, terutama bagi keluarga kami.28
Pada awalnya bapak H tidak percaya bahwa isteri terkasihnya akan mengalami hal ini,
namun apa daya ketika stroke datang menghampiri salah seorang dari keluarga kami, yaitu istri
saya. Tentunya ada kondisi di luar dugaan kami yang akan timbul dan mau tidak mau harus kami
terima salah satunya faktor ekonomi, jujur saja itu merupakan suatu beban bagi kami, namun
bagaimana kami berupaya untuk semuanya agar bisa teratasi dan kembali normal seperti dahulu
lagi, ujar bapak H. Saat ibu pertama kali terkena stroke, semua yang kami miliki serasa hilang
28 Hasil Wawancara dengan Ibu S, (Senin, 10 November 2014).
22
begitu saja seiring berjalannya waktu, kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi, saya sebagai kepala
keluarga hanya pasrah melihat keadaan keluarga kami, di satu sisi saya harus bekerja di luar
kota, di sisi lain saya harus memikirkan biaya rumah sakit yang tidak sedikit, dan biaya
kebutuhan keluarga kami setiap harinya. Terjadi perubahan yang sangat drastis terhadap keluarga
kami, dimana yang dulunya kami hidup serba ada, sedikit demi sedikit mulai habis untuk biaya
berobat dalam kurun waktu yang cukup lama. Rasa putus asa yang terlintas di pikiran saya,
sampai kapan istri saya seperti ini, walaupun saat itu orang-orang beranggapan bahwa istri saya
tidak mungkin pulih seperti keadaan biasanya dan pada saat itu saya merasakan situasi ekonomi
yang jatuh dan kondisi jiwa yang terpuruk.29
Penulis menginterpretasikan bahwa keadaan inilah yang ditimbulkan oleh stroke, banyak
situasi yang tidak dapat diduga oleh penderita pasca stroke dan keluarganya. Dalam hal ini stroke
dapat menimbulkan hal-hal yang dapat mempengaruhi psikologis maupun fisik baik dari
penderita maupun keluarga, termaksud dalam hal pembiayaan yang tidak sedikit, serta penderita
stroke sendiri membutuhkan perawatan yang memakan waktu cukup lama dan insentif, itu semua
sangat mempengaruhi kecemasan keluarga. Rasa cemas sering timbul baik itu bagi keluarga dan
terutama penderita stroke, ini merupakan salah satu masalah yang harus segera diatasi, karena
rasa cemas yang dialami mempengaruhi mental dan batin mereka. Maka dalam hal inilah perlu
adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik itu dari kerabat, saudara, dan yang
terlebih dari gereja dalam melakukan kunjungan pelayanan pastoral untuk mengobati beban
psikologis yang dialami oleh penderita dan keluarga. Keadaan seseorang yang sedang mengidap
suatu penyakit, terutama orang-orang yang mengalami stroke, sering kali ada rasa cemas yang
terjadi di dalam dirinya, seorang penderita stroke mengalami berbagai kekurangan fisik dan
sering kali membutuhkan bantuan dari orang sekitar. Berhubungan dengan hal ini, keluargapun
banyak meluangkan waktu yang tersita untuk merawat salah seorang anggota keluarganya yang
mengalami stroke. Hal ini dialami oleh Bapak H, sebagai suami dan kepala rumah tangga, posisi
Bapak H yang juga bekerja diluar kota sangat merasakan banyak hal yang harus ia terima, sering
kali beliau menempuh jarak yang cukup jauh. Beliau melakukan ini untuk menjaga istrinya yang
sakit dalam memberikan dukungan dan semangat demi kesembuhannya. Sama halnya ketika
yang dikemukakan oleh dr. Anthony Rudd bahwa efek yang mempengaruhi baik fisik maupun
29 Hasil Wawancara Keluarga dengan Bapak H, (Minggu, 16 November 2014).
23
psikis. Sering kali, orang yang terserang stroke mengalami depresi. Masalah-masalah psikologis
seperti merasa cemas, lelah, sulit berkonsentrasi, dan sulit mengingat sesuatu yang sering terjadi.
Serta efek ketidak stabilan emosi, seperti menjadi sangat sensitive, mudah marah, dan kurang
bersemangat. Efek stroke tidak hanya mempengharuhi penderita, tetapi juga orang-orang
disekitarnya, terutama keluarga. Merawat seseorang terus-menerus, terutama jika tidak
diantisipasi sebelumnya, dapat menjadi pekerjaan yang sulit dan melelahkan. 30
3.2. Analisis Tindakan Pastoral Gereja Terhadap Penderita Stroke dan Keluarga
Tindakan pastoral gereja penting dilakukan terhadap penderita stroke dan keluarganya,
termaksud juga warga jemaat GPIB Tamansari Salatiga. Melalui hasil wawancara yang
dilakukan terhadap keluarga dan penderita stroke, pendeta, dan majelis jemaat, ada beberapa hal
penting yang memang gereja belum memberikan layanan konseling pastoral. Secara khusus
gereja belum memberikan pelayanan pastoral berupa konseling terhadap jemaat yang sakit pasca
stroke. Ada beberapa faktor yang bervariasi mengapa gereja tidak melakukan pelayanannya
berupa konseling pastoral, dalam konseling pastoral yang holistik gereja hanya sebatas
melakukan pelayanannya berupa ibadah. Lebih jauh gereja melihat adanya kendala emosi yang
kurang stabil dari penderita stroke yang akan mengakibatkan kondisi dari penderita stroke akan
lebih parah. Hal inilah yang selalu menjadi alasan mengapa gereja tidak melakukan konseling
pastoral. Namun ini bukanlah suatu alasan mengapa gereja tidak melakukan konseling pastoral.
Adapun keterkaitannya dengan perkunjungan pastoral, menurut J.L Abineno sebenarnya tidak
ada gereja yang dapat menjadi tubuh Kristus jika tidak saling mendukung, jika pendeta ataupun
para majelis sendiri tidak dapat menjadi model yang baik. Kita harus melihat contoh seperti
Yesus Kristus, yang adalah satu-satunya model sejati. Dia tidak saja berkotbah tetapi juga
menyembuhkan dan memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkannya. Ada
banyak cara dalam melakukan pastoral gereja, salah satunya adalah melalui kunjungan, memang
tidak setiap hari gereja melakukan kunjungan. Gereja hanya melakukan kunjungan tetap dua
minggu sekali, gereja hadir disana memang sifatnya hanya berupa ibadah, akan tetapi dengan
ibadah itu gereja berharap akan ada banyak hal yang warga jemaat ceritakan dan disamping doa-
doa yang mereka minta. Melihat peran pendeta dan tanggung jawabnya dalam mengayomi
30 Rudd, Stroke at Your Fingertips, 225.
24
kondisi jemaat pasca stroke tetap ada dan terlaksana secara pribadi, namun itu dilakukan tidak
rutin. Selalu ada upaya juga dari gereja dalam melakukan kunjungan baik itu dari
pendeta/majelis maupun dari pelkes (Pelayanan Kesehatan).31
Menurut pendeta GPIB Tamansari Salatiga kondisi warga jemaat yang mengalami stroke,
agak sulit bagi gereja untuk datang setiap saat, ini dikarenakan kondisi emosi dari penderita
stroke tidak stabil. Ketika kami datang (Gereja), kami berpikir bahwa upaya itu sedikit
memulihkan warga gereja yang mengalami stroke namun ternyata kenyataannya tidak. Inilah
yang perlu kami (Gereja) pelajari ketika gereja melakukan kunjungan terhadap warga jemaat
yang sakit, terkhususnya bagi warga jemaat pasca stroke tidak bisa dilakukan terlalu sering atau
rutin, hal ini dikarenakan kondisi emosional yang diderita penderita stroke tidak stabil yang akan
berdampak buruk bagi penderita. Maka dari itulah gereja hanya melakukan pelayanan berupa
ibadah dan doa lalu pulang. Perlu kita pahami istilah rutin, istilah rutin yang dimaksudkan disini
adalah ketika melakukan kunjungan dua minggu sekali itu pun termaksud rutin, karena ini
terjadwal. Jika melakukan pelayanan terhadap penderita stroke setiap hari itu jelas tidak
mungkin, karena banyak hal juga yang perlu kami (gereja) kerjakan. Namun untuk kunjungan
pribadi jelas kami melakukan itu, ujar beliau.32
Tanggung jawab pastoral gereja terhadap jemaat sejauh ini biasanya hanya berupa
khotbah saja, dalam versi ini (konseling) kami belum pernah melakukannya, kami juga belum
pernah melakukan pembinaan khusus terhadap warga jemaat, bagaimana cara menangani jika
ada jemaat yang sakit dan bagaimana menangani jika ada jemaat yang berduka. Selama ini media
yang masih kami pakai hanya berupa khotbah, khotbah yang dilakukan baik dalam ibadah-
ibadah minggu maupun ibadah-ibadah pelayanan kategorial. Secara khusus peranan pendeta dan
presbiter dalam hal ini memang harus lebih aktif dalam melihat kondisi dan keadaan jemaat,
sehingga perkunjungan pun bisa lebih intensif. Karena terkadang ketika jemaat untuk datang
kepada kami itu sungkan, jadi memang kitalah sebagai gereja yang seharusnya pro-aktif melihat
dan memberi dukungan terhadap warga gereja, dan memang hal ini sangat penting sekali
tanggung jawab bagi pendeta sebagai gembala dalam melakukan tugas panggilan gereja sebagai
Pelayan Firman dan Sakramen dimana pendeta harus hadir melayani, bersaksi, dan bersekutu
31 Hasil Wawancara dengan Ibu Pdt. Missono Bogar (Minggu, 16 November 2014). 32 Hasil Wawancara dengan Ibu Pdt. Missono Bogar (Minggu, 16 November 2014).
25
untuk menggembalakan domba-dombaNya, jadi sangat dibutuhkan sekali peranan pendeta dan
presbiter karena melalui pelayanan itulah yang membuat jemaat menjadi bertumbuh.33
Melihat hasil kontribusi yang diberikan oleh pendeta, bahwa peranan presbiter (majelis)
juga sangat penting dalam melakukan peranan gereja, salah satu majelis jemaat GPIB taman sari
salatiga, yang kebetulan adalah koordinator sektor, yaitu bapak D. Beliau merupakan salah satu
informan yang berusia 65 tahun, dan sudah menjadi warga jemaat GPIB taman sari Salatiga dari
tahun 1972 (42 tahun). Dalam pernyataannya beliau mengungkapkan bahwa pengertian dari
pelayanan pastoral secara mendalam beliau tidak mengetahui, hanya pengertian yang dangkal
yang bisa dijelaskan, yakni rasa empati untuk membangkitkan semangat terhadap jemaat yang
membutuhkan pertolongan. Sepengetahuan beliau sebagai majelis maupun sebagai jemaat, gereja
tidak pernah memberikan bekal pengetahuan kepada majelis tentang konseling pastoral, tegas
beliau.34
Walaupun demikian ada juga upaya dari gereja untuk melakukan pelayanan konseling, itu
dapat dilihat di papan pengumuman secara tertulis bahwa gereja membuka layanan konseling
pastoral, akan tetapi secara khusus bagi jemaat terutama jemaat yang menderita stroke itu belum
pernah ada. Gereja yang melalui komisi pelkes hanya melakukan kunjungan bagi jemaatnya
yang sakit berupa ibadah dan di dalam ibadah itu terjadi percakapan-percakapan yang bersifat
membangkitkan semangat mereka, minimal bentuk simpatik bahkan empati. Konseling pastoral
sangat dibutuhkan sekali bagi warga jemaat Tamansari, hanya mungkin untuk prosedur
mendapatkan konseling pastoral itu yang jemaat kurang mengetahuinya. Ini perlu
disosialisasikan, terutama bagi warga gereja yang menderita sakit, karena jika terlepas dari
perhatian gereja GPIB, mungkin ada gereja-gereja lain yang akan menangkap peluang ini. Kata
beliau. Kenyataannya sudah terjadi ada beberapa anggota kita yang mengalami masalah
kehidupan, lalu gereja seolah-olah tidak mau tahu, akhirnya gereja-gereja lain menangkap
peluang itu, itu pernah dialami oleh jemaat GPIB Tamansari. Pelayan pastoral yang seharusnya
menjadi tugas pendeta, dan pendeta seharusnya memberi bekal kepada majelis sebagai tangan
kanan dalam membatu pelayanan pendeta, karena jika jemaat hanya ingin dilayani oleh pendeta
itu sangat tidak mungkin, karena banyak sekali tugas dan tanggung jawab yang harus pendeta
33 Hasil Wawancara dengan Ibu Pdt. Missono Bogar (Minggu, 16 November 2014). 34 Hasil Wawancara dengan Pnt. D (Senin, 17 November 2014).
26
lakukan, sehingga jika ada hal semacam pembekalan tentang pelayanan konseling pastoral
terhadap majelis, itu saya yakin akan semakin banyak jemaat yang terlayani.35
Gereja tumbuh menjadi suatu organisasi yang di dalamnya mempunyai tingkatan-
tingkatan berdasarkan tugas dan tanggung jawab dalam menjalankan pelayanan bersama dan
menjadi satu tubuh, seperti: Pendeta, penatua, diaken dan jemaat. Salah satu tugas yang paling
penting dari pendeta dan penatua ialah pelayanan perkunjungan pastoral. Pendeta dan penatua
yang secara langsung bertanggung jawab atas pelayanan itu, tetapi secara keseluruhan anggota-
anggota yang lain dari majelis jemaat turut memikul tanggung jawab itu. Oleh karena itu
perkunjungan pastoral harus diadakan secara teratur dalam jemaat.36
Penulis melihat sangat di butuhkan sekali peranan pastoral gereja dalam mengayomi dan
lebih peduli terhadap warga gereja yang sakit. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari tugas dan
tanggung jawab gereja dalam mengemban jemaatnya, terutama pendeta dan majelis dalam
menyembuhkan warga gereja yang sakit secara menyeluruh (holistic). Seperti yang penulis telah
kemukakan di atas, (Howard. J. Clinebell) bahwa ada lima fungsi yang mengatakan bahwa
pastoral gereja pada umumnya di warnai oleh lima unsur antara lain menyembuhkan (Healing),
mendukung (Sustaining), membimbing (Guiding),memulihkan (Reconciling), dan memelihara
atau mengasuh (Nurturing). Dalam hal ini perlu adanya perhatian dan kepedulian yang tinggi
dari pendeta dan majelis untuk memenuhi tugas dan panggilanNya terhadap warga jemaat yang
sakit, terutama jemaat pasca stroke. Ini benar-benar nyata ketika melihat situasi dan keadaan
yang dialami oleh Ibu S dan keluarga, mereka membutuhkan dukungan dari gereja, dalam proses
pemulihan secara batin, dan gereja seharusnya lebih berperan aktif dalam mengayomi dan peduli
terhadap warga jemaatnya, dalam hal menyembuhkan, mendukung, membimbing, memulihkan,
dan memelihara. Walaupun gereja sudah melakukan perkunjungan dan pelayananan berupa
ibadah, namun kelima fungsi ini perlu menjadi patokan dalam memenuhi tugas panggilan serta
rasa tanggung jawab untuk memperkokoh spiritulitas jemaat Tuhan, hal ini dimaksudkan agar
warga gereja dapat merasakan kehidupan yang seutuhnya, ketika mereka dilanda krisis
kebimbangan akan iman pengharapan terhadap Kristus.
35 Hasil Wawancara dengan Pnt. D (Senin, 17 November 2014). 36 J.L CH.DR. Abineno, Penatua jabatan dan pekerjaannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 27.
27
Sama halnya ketika Ibu S dan keluarga tidak menyangka stroke ini terjadi pada dirinya,
ada rasa sakit hati yang beliau rasakan, sebelum stroke menghampiri, kehidupan yang beliau
jalani dalam kesehariannya adalah selalu melakukan pelayanan berupa perkunjungan. Namun
semangat yang beliau miliki sirna ketika stroke terjadi pada dirinya, rasa sakit hati itulah yang
membuat beliau pasrah akan kehendak Tuhan. Namun beliau yakin dengan kuasa dan mujizat
dari Tuhan ia akan sembuh dan pulih dari stroke, karena ada kerinduan yang sangat mendalam
untuk bisa melayani, memuji dan memuliakan nama Tuhan. Ada keyakinan yang beliau rasakan,
sama halnya apa yang dikemukakan oleh teori Howard Clinebell dalam memaknai enam
dimensi, dalam dimensi yang keenam adanya aspek kehidupan manusia untuk memperdalam dan
mengairahkan hubungan dengan Allah. Dimensi keenam merupakan penggabungan serta
keterkaitan dari dimensi sebelumnya, dan adanya suatu ikatan yang mempersatukan dengan
keseluruhan dimensi lainnya. Hal ini dapat dilihat ketika penderita stroke pasrah dengan keadaan
yang dihadapinya, namun ada masa transisi dimana penderita stroke merasa yakin akan kuasa
Tuhan, inilah suatu kunci perkembangan bagi kehidupan manusia dalam membuka hubungan-
hubungan yang penuh suka cita dengan Allah, melalui sumber-sumber segala kehidupan, dalam
proses penyembuhan dan pertumbuhan didalam iman. Walaupun kenyataanya gereja hanya
melakukan kunjungan, namun ada suatu keyakinan yang dimiliki oleh jemaat pasca stroke. Maka
dari itu sangat diperlukan sekali peran gereja dalam menolong, memperbaiki, memperbaharui,
dan memperkaya jaringan hubungan yang penuh kepedulian terhadap jemaatnya untuk
menumbuhkan rasa percaya diri mereka di dalam iman pengharapan. Karena mereka merupakan
orang-orang yang memerlukan bantuan terutama dalam layanan konseling pastoral gereja.
IV. Penutup
Kesimpulan
Dalam perjanjian baru kitab Markus 10:45 mengatakan; Karena Anak Manusia juga
datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya
menjadi tebusan bagi banyak orang. Hal ini perlu di perhatikan oleh pelayan gerja terutama
pendeta dan majelis, bahwa gereja melakukan perkunjungan orang sakit adalah merupakan suatu
pelayanan yang wajib dilakukan sebagai konsekuensi menjadi pengikut Yesus. Perintah untuk
memberikan pertolongan kepada yang membutuhkan secara implisit diperintahkan oleh Tuhan
28
Yesus juga yang terdapat dalam I Petrus 5: 2,3 dan Yohanes 13: 34 yang pada intinya berbicara
mengenai perintah untuk menggembalakan domba-domba Allah berdasarkan kasih. Pelayanan
pastoral merupakan bagian terpenting dalam pelayanan gereja, dalam menjawab setiap
pergumulan jemaat, terutama jemaat pasca stroke yang mengalami suatu masalah, dimana hal ini
benar-benar harus diperhatikan oleh gereja. Namun kenyataannya jemaat pasca stroke kerap kali
terabaikan, hal inilah yang dialami oleh beberapa warga jemaat GPIB taman sari Salatiga.
Seharusnya gereja lebih pro-aktif dalam melakukan pelayanan pastoral, karena dampak yang
ditimbulkan oleh jemaat pasca stroke sangat berat sekali yaitu dampak ekonomi dan psikologi.
Gereja mempunyai tugas dan tanggung jawab yang penting di dalam melayani warga jemaatnya,
khususnya dalam kehidupan mereka dimana terjadi berbagai macam persoalan dalam hidup
mereka, seperti kesepian, kesusahan, dan penderitaan. Gereja melalui pendeta / majelis bukan
saja bertugas untuk meberitakan Firman Allah dengan perkataan saja, namun terutama dalam
menyatakan firman itu dengan perbuatan. Jelas sekali bahwa yang dibutuhkan oleh warga jemaat
GPIB taman sari salatiga bukan hanya pidato atau khotbah, tetapi yang di butuhkan adalah
berupa konseling pastoral.
Saran
Penulis melihat pentingnya suatu pastoral gereja dalam menjalankan fungsinya di tengah-
tengah jemaat yang menderita, baik itu menderita secara jasmani maupun rohani. Diharapkan
agar majelis gereja dalam hal ini pendeta, penatua, dan diaken, agar lebih peka dalam
memperhatikan pentingnya konseling pastoral, karena jika pastoral gereja benar-benar dilakukan
atau dilaksanakan dari dalam gereja, maka gereja merupakan suatu wadah pergumulan yang
efektif dalam menopang keutuhan Rohani umatNya. Hal yang sangat perlu diwaspadai oleh
gereja GPIB taman sari Salatiga adalah ketika gereja kurang peduli terhadap jemaat terutama
penderita stroke, sangat disayangkan jika ada gereja-gereja yang lain akan menagkap peluang ini.
Seharusnya gereja lebih peduli dan menerapkan konseling pastoral kepada jemaat pasca stroke.
Karena pendeta/majelis tidak bisa melayani Kristus tanpa melayani jemaat-Nya,sebab melayani
jemaat berarti melayani Kristus. Dengan bersatunya majelis gereja maka lahan pelayanan yang
luas akan terjangkau, dan jangan hanya mengandalkan pendeta dalam melakukan perkunjungan
pastoral . Majelis gereja diharapkan agar dapat memberikan pembinaan khusus bagi jemaat, agar
29
jemaat dapat dijadikan majelis di masa depan, hal ini juga menjaga regenerasi GPIB Tamansari
Salatiga.
30
DAFTAR PUSTAKA
Abineno, J. L. Ch. Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003.
Abineno, J. L. Ch. Pelayanan Pastoral Kepada Orang-orang Sakit. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2002.
Abineno, J. L. Ch. Penatua jabatan dan pekerjaannya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Beek Van, Aart. Pendampingan Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.
Clinebell, Howard. J. Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral. Yogyakarta: Kanisius,
2002.
Collins, Gerry, R. Pengantar pelayanan konseling Kristen yang efektif. Malang: Seminari Alkitab asia
tenggara, 1989.
Engel, J. D. Konseling Suatu Fungsi Pastoral. Salatiga: Tisara Grafika, 2007.
Gibble, Kenneth, L. Pentingnya Suatu Kunjungan Pastoral. Yogyakarta: Andi, 1989.
Krisetya, Mesach. Konseling Pastoral. Salatiga: UKSW 2001.
Nazir, M. Metode penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia, 2009.
Pinzon Rizaldi, Asanti Laksmi. Awas Stroke! Pengertian Gejala, Tindakan, Perawatan, & Pencegahan.
Yogyakarta: Andi, 2010.
Rudd, Anthony. Stroke at Your Fingertips. Jakarta: Penebar Plus, 2010.
Sumiyatiningsih Dien, Bagaswara Rian P, Engel J.D, Kawulusan Sherly. Teladan Kehidupan.
Yogyakarta: Andi, 2006.
Sj. Eminyan Maurice. Teologi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2012.
Sarafino, E. F. Stroke petunjuk penting bagi keluarga. Jakarta: Pustaka Delapratasa, 1998.
Tjandrarini Kristiana. Bimbingan Konseling Keluarga. Salatiga: Widya Sari Press, 2004.
Trull, Joe, E. Carter, James, E. Etika Pelayanan Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.