SISTEM EKONOMI ISLAM,
SOLUSI PROBLEMATIKA UMMAT (?)1
Oleh: Khairunnisa Musari2
1. LATAR BELAKANG
1.1. Rentannya Sistem Moneter Kita3
Belakangan ini, pasar bursa sarat dengan sentimen negatif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
tertekan hingga level terendah di tahun ini. Anjloknya harga minyak mentah dunia dan pelemahan
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) menekan pasar. Rupiah bahkan hampir menyentuh
level Rp 9.500. Tingginya suku bunga perbankan menyebabkan minimnya likuiditas di pasar.
Terlebih lagi, setelah Bank Indonesia (BI) Rate dinaikkan hingga 9,25 persen. Ada apa?
Jika mencermati fenomena tersebut di atas, kita bisa melihat betapa sistem moneter
Indonesia dan dunia sesungguhnya rapuh dan rentan terhadap berbagai gejolak. Tidak ada
satupun yang mampu mengendalikannya. Sifat sektor moneter akan menuju hal-hal yang
bersifat jangka pendek, spekulatif, dan mobile. Siapapun yang mengikuti langgamnya, maka
hanya akan menjadi bulanannya.
Jika kita simak, anomali ekonomi mikro-makro dan ”growth paradox” antara sektor
keuangan-riil, serta turbulensi faktor eksternal yang mempengaruhi ekonomi domestik,
memang makin sering terjadi. Tidak bisa kita mungkiri, hal ini sesungguhnya
mencerminkan berbagai kegagalan sistem ekonomi dalam menciptakan kealamiahan
mekanisme pasar yang stabil, benar, dan adil.
Ketidakbenaran
Dalam ekonomi Islam, sistem moneter kita saat ini memang mengandung banyak
ketidakbenaran. Hal ini setidaknya terlihat dari, pertama, fungsi utama uang dalam teori
ekonomi saat ini adalah sebagai alat tukar, kesatuan hitung, dan penyimpan nilai kekayaan.
Dengan penggunaan uang kertas, fungsi uang sebagai satuan hitung dan penyimpan nilai
sudah terpatahkan. Pasalnya, uang kertas yang kita gunakan saat ini memiliki nilai yang
selalu berubah karena adanya inflasi yang bisa ‚menyurutkan‛ nilai. Dalam ekonomi Islam,
fungsi uang hanya sebagai alat tukar dan kesatuan hitung. Mata uang yang dipilih harus
bisa menjamin kestabilan nilai.
Kedua, di waktu lalu, sejak dilepasnya sistem crawling-band, Bank Indonesia (BI)
menggunakan base-money targeting sebagai kerangka kebijakan moneter. Base-money
targeting didasarkan pada teori kuantitas uang. Efektivitas kebijakan ini sangat tergantung
stabilitas velocity uang beredar. Penggunaan base-money ini tidak sesuai dengan ekonomi
Islam lantaran nilai uang tersebut cenderung berfluktuasi. Ekonomi Islam mengajarkan
untuk mencari alat moneter yang menjamin kestabilan. Makanya, emas-perak dipilih
sebagai instrumen moneter.
1 Makalah ini disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI)
Fakultas Ekonomi Universitas Jember (FE UJ), tanggal 21 September 2013. 2 Peneliti Tamkin Institute; Peneliti Divisi Syari’ah Risk Management International (RMI). 3 Artikel asli yang sudah dimuat di Harian Republika, 29 September 2008.
2
2
Ketiga, kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar. Tingkat
inflasi tercermin dari naiknya harga barang secara umum. Dalam hal ini, BI memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal hanya dari sisi permintaan.
Transmisinya dapat melalui berbagai jalur, yaitu suku bunga, kredit perbankan, neraca
perusahaan, nilai tukar, harga aset, dan ekspektasi. Jika jalur transmisi tersebut ada yang
berinteraksi dengan riba, syubhat, maisyir, dan gharar, maka ini tidak sesuai dengan
ekonomi Islam.
Keempat, Inflation Targeting Framework (ITF) yang saat ini menjadi kebijakan moneter BI
menggunakan BI Rate sebagai suku bunga instrumen sinyaling. Jelas sekali, cara tersebut
bertentangan dengan ekonomi Islam. Pelaksanaan kebijakan moneter Islam tidak
memungkinkan penetapan suku bunga sebagai target atau sasaran operasional. Fakta
menunjukkan, suku bunga yang digaungkan dapat menjadi media kontrol ternyata juga tak
bernyali dalam menstabilkan nilai uang dan moneter.
Kelima, bila dicermati, krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan negara lain,
sesungguhnya dipicu oleh ‚keterikatan‛ pada mata uang negara lain dan tidak pada dirinya
sendiri. Hal inilah yang menyebabkan nilai mata uang kita sulit stabil. Jika hard-currency
bergejolak, maka kestabilan mata uang lain pun bergejolak.
Keenam, kenyataan saat ini menunjukkan uang tidak lagi dijadikan alat tukar, tapi juga
sebagai komoditi perdagangan dan ditarik bunga dari setiap transaksi peminjaman/
penyimpanan uang. Tidak hanya itu, uang kini juga kerap dijadikan alat spekulasi.
Ketujuh, dalam konsep ekonomi Islam, uang harus mencerminkan sektor riil. Jika ada
yang menimbun uang atau dibiarkan tidak produktif, ini berarti mengurangi jumlah uang
beredar yang berdampak pada tidak jalannya perekonomian. Kondisi ini berbeda dengan
kebijakan BI yang menyerap dana Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan menyimpannya.
Kedelapan, dari aspek kelembagaan, keberadaan bank sentral tidak mempersoalkan
adanya entitas individu. Hal ini berbeda halnya dengan ekonomi Islam yang objeknya
kepada mukallaf secara individual.
Moneter Islam
Kita meyakini, moneter Islam bisa menjadi solusi semua kekacauan ini. Namun harus
diakui, moneter Islam saat ini belum mampu menjawab sepenuhnya berbagai persoalan
moneter dunia. Moneter Islam saat ini masih dalam tahap ‚pencarian‛ guna kristalisasi diri
karena ‚terlahir‛ ditengah sistem moneter sosialis kapitalis. Meskipun moneter Islam sudah
mulai diimplementasikan di sedikit negara dan juga komunitas-komunitas tertentu, namun
moneter Islam masih menghadapi sejumlah persoalan mendasar pada tataran tertentu.
Keberadaan moneter Islam tidak cukup dengan hanya membeberkan fakta-fakta historis
dengan berbagai filosofi yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu, perumusan teori
dan praktek moneter Islam memerlukan rekonstruksi teori dan praktek moneter
konvensional. Mengawalinya, butuh pendekatan normatif yang kemudian dilengkapi
dengan pendekatan empiris, positif, dan induktif. Kita masih menunggu...
1.2. Ketika Wall Street Menceraikan Etika4
Sejak September, aksi protes warga Amerika Serikat (AS) semakin agresif. Protes menentang sistim
keuangan dan kebijakan pemerintah AS kian meluas. Kemarahan warga atas terjadinya rebound di
4 Artikel asli yang sudah dimuat di Harian Republika, 19 Oktober 2011.
3
3
Wall Street yang tak diikuti dengan perbaikan tingkat pengangguran, menuai aksi demo yang terus
bermunculan.
Krisis keuangan dunia secara maraton terus bermunculan sejak 2008. Kasus subprime
mortgage, bangkrutnya bank-bank investasi besar, krisis utang, bailout, kegaduhan di pasar
finansial, terus saja saling mengekor. AS dan Eropa yang menjadi barometer perekonomian
dan keuangan dunia kini terus menjadi bulan-bulanannya.
Yang menarik untuk disimak saat ini adalah aksi protes warga AS terhadap rebound
di Wall Street yang terjadi disaat meningkatnya jumlah PHK di negara tersebut. Kebanyakan
dari mereka meyakini bahwa pemerintah telah dikendalikan oleh bank dan korporasi-
korporasi besar yang serakah sehingga mengabaikan kepentingan sebagian besar warga
negaranya.
Ya, AS kini sedang menguji kesolidan sistem dan kebijakan ekonomi mereka yang
selama ini menjadi jantung ekonomi dunia. Jika kekacauan ekonomi di Eropa banyak dipicu
oleh krisis utang dengan rasio utang yang mencengangkan, maka yang belakangan terjadi
di AS dipicu oleh krisis ketidakpercayaan akibat berbagai kecurangan dari pelaku ekonomi
dan keuangan.
Bush-Obama Paradox
Pasca jatuhnya sejumlah perusahaan investasi keuangan di AS pada 2008 lalu,
Presiden Bush saat itu meminta konggres untuk menyetujui rencana penyelamatan sektor
finansial bernilai USD 700 miliar. Bush menyatakan, perekonomian dalam kondisi bahaya
sehingga perlu intervensi pemerintah untuk menyelamatkannya. Upaya Bush mendapat
banyak kritikan karena menyimpang dari ideologi pasar-bebas yang dianut AS. Terlebih
lagi, Bush dikenal memiliki keyakinan yang tinggi bahwa pasar-bebas adalah sebuah
prinsip moral yang harus diwujudkan karena merupakan hak asasi manusia dalam mencari
kebebasan penghidupan.
Jika disimak, pasar-bebas yang menjadi prinsip moral Bush sesungguhnya bertitik
tolak dari paham Adam Smith yang mengasumsikan mekanisme permintaan dan
penawaran mampu melakukan self-regulating dan self-correcting melalui an invisible-hand.
Jika bertitik tolak dari paham ini, maka upaya Bush tersebut adalah paradox.
Mengingat kehancuran pasar finansial di AS, Bush Paradox ini sesungguhnya dapat
dipahami. Pada titik inilah, Bush mungkin baru merasa pentingnya campur tangan
pemerintah pada pasar meski hal itu bertentangan dengan paham yang ia anut.
Lebih jauh, Obama kemudian melanjutkan paradox ini. Obama menggelontorkan dana
untuk mengembalikan kepercayaan dunia kepada AS sebagai motor ekonomi dunia meski
harus menanggung konsekuensi defisit anggaran yang besar. Berbagai program
penanggulangan yang menghabiskan uang rakyat yang kebanyakan berasal dari kelas
menengah, nyatanya tak juga memulihkan perekonomian domestik. Yang ada, PHK terus
menyebar ke penjuru negeri.
Obama memang meminta pertanggungjawaban lembaga keuangan yang didonor
pemerintah. Obama mengingatkan, wajib pajak adalah yang paling dirugikan atas
keruntuhan keuangan jika pelaku pasar memanfaatkan masa pemulihan untuk keuntungan
pribadi. Sayang, aksi spekulan di Wall Street tampaknya tidak terbendung untuk mendapat
untung berlipat setelah sebelumnya mengalami kerugian besar. Meski masalah krisis utang
Eropa dan ketakutan resesi baru melanda AS terus menghantam bursa Wall Street dan
4
4
tekanan jual membuat indeks saham utama tergerus, tetapi Wall Street masih mampu
beberapa kali melanjutkan penguatannya. Hal inilah yang memicu kemarahan sebagian
warga AS.
Mengawinkan Etika pada Pasar Keuangan
Fenomena yang berkembang dan berujung pada munculnya Bush-Obama Paradox
semakin menguatkan kita bahwa intervensi pemerintah dibutuhkan dalam pasar. Pasar-
bebas sejatinya bukan dimaknai sebagai terbukanya pasar tanpa batas dan dibiarkan
mengatur dan memulihkan dirinya sendiri. Tidak bisa dimungkiri, pasar sesungguhnya
sarat dengan berbagai ketidakmampuan. Kapitalis berpotensi besar untuk mengendalikan
pasar sesuai dengan kepentingan. Kecurangan dan berbagai penyimpangan lain berpeluang
besar untuk terjadi. Uang yang dijadikan bulan-bulanan komoditi dan spekulasi ternyata
menyebabkan pasar tidak terkendali.
Sebagai suatu lembaga yang mempunyai kekuatan besar, daulat pasar dapat
menggusur daulat rakyat. Semua manusia di dalamnya dianggap memiliki kekuatan yang
sama. Kegiatan ekonomi dalam sistem kapitalis diarahkan untuk memenuhi keinginan para
pemilik modal daripada kebutuhan masyarakat yang lebih besar. Filsafat ekonomi
kapitalisme menceraikan etika sehingga perilaku manusia hilang arah karena terdorong
hasrat untuk menjadi greedy.
Sebagai sebuah norma yang tak tertulis, mengawinkan etika dengan pasar keuangan
diharapkan dapat menghantar pelaku di dalamnya menghindari praktek-praktek yang
menjatuhkan. Dengan etika pula, pelaku pasar diharapkan tidak lagi melakukan spekulasi
yang secara nyata bersifat predatorik. Spekulasi inilah yang menggoncang ekonomi
berbagai negara, khususnya negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi
itu pula, jumlah uang yang beredar menjadi tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor
riil karena adanya penghisapan. Sejalan dengan itulah, etika diharapkan dapat
menjembatani sektor keuangan dan sektor riil untuk bertemu.
Dalam hal ini, jika kegiatan ekonomi dapat dikembalikan pada etika yang bersumber
dari religi, maka keadilan akan lebih jelas. Kegiatan ekonomi di sektor keuangan tidak lagi
memfasilitasi pelaku yang menarik keuntungan dari mengkomoditaskan uang dalam pasar
uang, bank atau pasar modal. Kegiatan ekonomi di sektor keuangan kelak hanya
memfasilitasi ketersediaan dana untuk modal usaha melalui mekanisme yang benar.
Dengan cara ini, sistem ekonomi yang bertumpu pada sinergi sektor riil dan keuangan akan
berjalan mantap, tidak mudah goyang atau digoyang seperti saat ini. Wallahua’lam bish
showab.
2. EKONOMI ISLAM?
2.1. Ekonomi Syariah, New Intitutional Economics?5
Ketika krisis keuangan global melanda dunia, salah satu pemikiran yang mengemuka di kalangan
para ekonom adalah apakah penerapan sistem ekonomi syariah merupakan solusi bagi masalah ini dan
apakah ekonomi syariah akan menjadi paradigma baru yang menggantikan sistem ekonomi kapitalis.
5 Artikel asli yang ditulis bersama Rifki Ismal, Mahasiswa S3 Islamic Banking and Finance, Durham
University, UK, (saat ini menjadi Peneliti Senior Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia) dan sudah
dimuat di Harian Republika, 24 Januari 2009.
5
5
Bagi sejumlah ekonom, krisis global yang tengah terjadi saat ini merupakan
pembuktian lemahnya sistem ekonomi kapitalis sekaligus menjadi momentum kebangkitan
ekonomi syariah. Fenomena ini jika dikaji dengan pendekatan konsep new institutional
economics (NIE), maka pandangan tersebut mendekati kebenaran.
4 Elemen NIE
Secara teoretis, NIE adalah suatu konsep yang memaparkan kriteria atau syarat untuk
membangun suatu paradigma sistem ekonomi baru yang setidaknya terdiri dari empat
elemen.
Elemen pertama, budaya adalah cara berpikir, perasaan, kecenderungan, dan perilaku
individu atau kelompok masyarakat. Budaya antara lain dipengaruhi oleh pengetahuan,
kondisi sosial politik, dan komunikasi. Jika ingin menghadirkan suatu paradigma baru,
maka diperlukan penyesuaian (perubahan) budaya.
Elemen kedua, institusi adalah keberadaan peraturan atau regulasi, dukungan
pemerintah, dan sistem peradilan. Elemen ini mencakup ada tidaknya institusi publik di
tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif (Ahmed, Habib, 2008). Dikaitkan dengan
pengembangan ekonomi syariah di tanah air, kehadiran undang-undang (UU) Perbankan
Syariah pada April 2008 lalu merupakan pengukuhan terhadap pilar institusi dalam
ekonomi syariah. Hal ini kian menguat dengan berkembangnya lembaga pendukung lain
seperti sistem peradilan untuk perbankan syariah, sistem pendidikan yang mengajarkan
ekonomi/perbankan syariah, legalisasi UU Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN), cetak
biru pengembangan perbankan syariah, peraturan Bapepam untuk perusahaan pembiayaan
syariah, dan lainnya.
Elemen ketiga, organisasi adalah suatu alat yang diciptakan individu/sekelompok
masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini, Indonesia boleh dikatakan telah
berhasil mengembangkan bank syariah, asuransi syariah, sukuk, dan perusahaan
pembiayaan syariah dengan baik. Rata-rata pertumbuhan aset, simpanan, dan pembiayaan
bank syariah lebih dari 50 persen sepanjang 2000-2008. Hal ini sekaligus menjadi salah satu
bukti empirik selain jumlah bank syariah, asuransi syariah, dan lembaga syariah lainnya
yang terus bertambah setiap tahun. Beberapa perguruan tinggi ternama pun telah membuka
jurusan/fakultas ekonomi/perbankan syariah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di
bidang ini yang setiap tahun semakin bertambah.
Elemen keempat, pasar adalah keberadaan tempat/media untuk melakukan transaksi,
termasuk unsur-unsur penunjangnya seperti teknologi, infrastruktur, dan instrumen pasar
keuangan. Dalam konteks ini, ekonomi syariah di Indonesia masih dalam tahap
pengembangan karena pasar uang syariah di Indonesia masih sangat terbatas. Selain itu,
ketergantungan perbankan syariah kepada pasar uang syariah masih minim karena aktifitas
pembiayaan yang cukup tinggi dengan tingkat pembiayaan bermasalah (non performing
financing) yang rendah dan penarikan dana oleh deposan yang masih terkendali. Namun
demikian, tuntutan pengembangan pasar keuangan syariah ke depan merupakan suatu
keharusan seiring dengan semakin berkembangnya industri ini.
Menuju Paradigma Ekonomi Baru
Untuk menjawab apakah ekonomi syariah di Indonesia akan menjadi paradigma baru
atau minimal alternatif bagi ekonomi konvensional, maka pendekatan NIE menunjukkan
arah yang demikian.
6
6
Kondisi Indonesia saat ini menyiratkan penerimaan masyarakat yang cenderung
meningkat meski pengaruh sistem ekonomi konvensional masih dominan. Tentu saja untuk
membangun elemen budaya, khususnya menciptakan masyarakat yang sharia-based,
merupakan suatu pekerjaan rumah tersendiri.
Namun demikian, dengan semakin maraknya negara-negara di Eropa melakukan
restrukturisasi perbankan dan keuangan syariah, hal ini sejatinya semakin menguatkan
kiprah dan penerimaan masyarakat internasional terhadap institusi ekonomi syariah.
Beberapa negara tetangga seperti Singapura, Thailand, Malaysia, bahkan yang
berpenduduk muslim minoritas seperti China, Jepang, Korea, dan Inggris telah dengan
cepat mempersiapkan elemen institusi untuk mendukung penciptaan sistem perbankan dan
keuangan syariah.
Dalam hal organisasi, pengembangan ekonomi syariah, utamanya bank syariah, juga
menunjukkan kinerja yang semakin baik. Berbagai pembenahan telah dilakukan, khususnya
yang terkait dengan manajemen risiko, peningkatan kualitas pelayanan, dan pemenuhan
kebutuhan sumber daya insani. Semua ini dimaksudkan untuk mengimbangi pertambahan
institusi perbankan dan keuangan syariah baru.
Terakhir, perlahan namun pasti, pasar dari industri syariah terus menunjukkan
peningkatan seiring kebutuhan transaksi berbasis syariah yang semakin tinggi. Kondisi ini
semakin kondusif dengan kesadaran otoritas pasar keuangan, regulator perbankan, dan
pelaku pasar yang semakin baik. Hal ini tercermin dengan semakin intensifnya koordinasi
masing-masing pihak yang kian memacu perkembangan pasar industri perbankan dan
keuangan syariah di tanah air.
Secara keseluruhan, ekonomi syariah sebagai sebuah paradigma baru berdasarkan
konsep NIE telah meletakkan pondasinya di Indonesia. Harus diakui, terlalu dini jika kita
meminta pengambil kebijakan menerapkan sistem ekonomi ini. Banyak sekali kendala dan
pekerjaan rumah yang masih harus kita siapkan. Berapa lama proses tersebut berlangsung,
tentunya berpulang kepada usaha kita bersama. Pada saatnya nanti, tanpa harus memaksa,
ekonomi syariah akan menjadi pilihan jika para pelaku di dalamnya dapat membuktikan
kebaikan dari sistem ini. Wallahu’alam bish showab.
2.2. Studi Kasus
Kasus Investasi Ustadz Yusuf Mansyur6
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan‛ ~Pasal 33 UUD
1945 Ayat 1.
Didasari oleh keinginan Ustadz Yusuf Mansyur (YM) untuk mensejahterakan umat
Islam dan warga negara Indonesia ternyata berujung kontroversi. Gerakan ‘patungan
usaha’ ala Ustadz YM dilatarbelakangi oleh penilaiannya bahwa kondisi perekonomian
Indonesia tidak memberi kesempatan pada masyakarat luas untuk menikmati kue
pembangunan. Kontroversi ‘patungan usaha’ menjadikan Ustadz YM bulan-bulanan.
6 Studi kasus ini sudah dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 25 Juli 2013. Artikel ini ditulis untuk merespon
polemik di masyarakat, termasuk di dunia maya, terkait bisnis investasi ala Ustadz Yusuf Mansyur (YM).
Tulisan ini mencoba melihat persoalan dari perspektif berbeda. Studi kasus ini sudah disampaikan dalam
Diskusi Panel Otoritas jasa Keuangan (OJK) yang berjudul ‚Financial Inclusion: Tugas dan Wewenang OJK‛ di
Ma’had Tahfizh Qur’an (MTQ) Ibnu Katsir, 6 September 2013, kerjasama Risk Management International (RMI),
Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Cabang Jember, dan MTQ Ibnu Katsir.
7
7
Setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan menemui Ustadz YM,
gerakan ‘patungan usaha’ kemudian ditutup sementara waktu sembari memperbaiki sistem
dan perijinannya. Meski saat ini gerakan tersebut dihentikan sementara sembari
memperbaiki legalitas, polemik yang muncul di masyarakat masih belum surut. Sejumlah
pihak meragukan kapabilitas bisnis investasi Ustadz YM. Tudingan bahwa bisnis ini bak
investasi bodong, money game atau multi level marketing (MLM) membuat Ustadz YM seolah
dipojokkan. Bahkan, tidak sedikit yang menyayangkan jika seorang tokoh agama
berkecimpung di sektor investasi.
Bisnis investasi dengan konsep patungan usaha ala Ustadz Yusuf Mansyur (YM)
menuai kontroversi. Jika disimak, isu penting yang harusnya dihadirkan adalah perihal
mobilisasi dana masyarakat, yaitu bagaimana memberi perlindungan kepada dana publik
tersebut. Di sinilah isu governance muncul, yaitu bagaimana mengelola benturan
kepentingan antara pengelola dana dengan masyarakat yang menyerahkan dananya.
Prinsip yang lazim digunakan adalah TARIF (Trasparency, Accountability, Responsibility,
Integrity, dan Fairness).
Ekonomi Konstitusi
Semangat ‘patungan usaha’ ala Ustad YM sesungguhnya sejalan dengan semangat
ekonomi konstitusi. Setidaknya hal ini tercermin dari ciri-ciri ekonomi Pancasila. Mubyarto
(1981) menyatakan ciri khas ekonomi Pancasila diantaranya adalah: (1) roda perekonomian
digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral; (2) adanya kehendak kuat dari
seluruh masyarakat ke arah keadaan pemerataan sosial dan sesuai asas-asas kemanusiaan;
(3) prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh
dimana nasionalisme menjiwai kebijaksanaan ekonomi.
Menurut Bung Hatta (1963), sistem ekonomi Pancasila pada hakikatnya adalah sistem
ekonomi berdasarkan ‘sosialisme religius’ atau sosialisme Indonesia yang timbul dari tiga
faktor. Pertama, karena suruhan agama. Etika agama yang menghendaki adanya rasa
persaudaraan dan tolong-menolong antara sesama manusia dalam pergaulan hidup. Hal ini
pula yang mendasari Ustadz YM yang memunculkan konsep ‘patungan usaha’ berdasarkan
nilai-nilai agama. Sebagai catatan, sosialisme tidak harus merupakan marxisme dan tidak
harus diartikan sebagai hasil hukum dialektika. Sosialisme dalam konteks ini adalah
tuntutan hati nurani untuk memperjuangkan kemakmuran bagi semua orang.
Kedua, sosialisme Indonesia merupakan ekspresi daripada jiwa berontak bangsa
Indonesia yang memperoleh perlakuan yang sangat tidak adil dari si penjajah. Penguasaan
asing atas aset vital di negeri ini bukan isu baru. ‘Patungan usaha’ ala Ustadz YM juga
didasari oleh keresahan atas kaki tangan asing yang menguasai sektor-sektor yang menjadi
hajat hidup orang banyak. Gerakan ini adalah gerakan sosial dan humanisme yang ingin
bangsa Indonesia dapat menjadi tuan di rumah sendiri.
Ketiga, pemimpin Indonesia seyogyanya mencari sumber-sumber sosialisme dalam
masyarakat sendiri. Sosialisme menjadi tuntutan jiwa untuk mendirikan suatu masyarakat
yang adil dan makmur. Sosialisme dipahamkan sebagai tuntutan institusional, yang
bersumber dari lubuk hati yang murni berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan sosial
dengan menjadikan agama sebagai penerangnya. ‘Patungan usaha’ ala Ustadz YM secara
jelas memperlihatkan corak kolektif sebagai sendi bangunan usaha sosial ekonominya.
Lebih jauh, model koperasi yang merupakan soko guru perekonomian Indonesia yang
paling mendasar adalah filosofi yang dibangun oleh Ustadz YM dalam menjalankan
8
8
‘patungan usaha’. Model ini bukan ide baru. Founding fathers negeri ini telah
menggaungkannya sejak Indonesia merdeka. Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 juga menyatakan
bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Sayangnya, sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan
Indonesia memang sangat diametral. Di barat, koperasi lahir sebagai gerakan untuk
melawan ketidakadilan pasar. Dengan kekuatannya, koperasi di barat meraih posisi tawar
dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi, termasuk dalam perundingan
internasional.
Secara keseluruhan, semangat ‘patungan usaha’ Ustadz YM sesungguhnya sudah
sejalan dengan ekonomi konstitusi di negeri ini. Orientasi kemandirian ekonomi yang
dihembuskannya seiring dengan tuntutan riil ekonomi konstitusi. Sebagai seorang muslim,
Ustadz YM juga tengah membumikan ekonomi Islam yang membawa pesan untuk meraih
falah, yaitu kesejahteraan di dunia dan akherat. Perintah untuk mendistribusikan kekayaan
agar tidak berputar dalam kelompok masyarakat tertentu menjadi legitimasi dalam
ekonomi Islam bahwa uang harus digunakan pada sektor produktif agar dapat
menggerakkan perekonomian. Hal ini pula yang menyebabkan moneter Islam dapat
tercermin dari up and down-nya sektor riil karena menggunakan mekanisme velocity of money
dan menggunakan konsep underlying asset.
Dengan tetap mengapresiasi itikat baik yang melatarbelakangi penggalangan dana
yang dilakukan Ustadz YM, tidak bisa dipungkiri, minimnya literasi keuangan bukan saja
menjadi kelemahan Ustadz YM, tetapi juga bagi kebanyakan masyarakat yang berpolemik
tanpa dasar sehingga isu yang mengemuka bak bola liar. Jelas, menyoal kasus ini, literasi
keuangan (financial literacy) yang digaungkan bersama dengan program inklusi keuangan
(financial inclusion) sudah mendesak untuk disosialisasikan secara masif.
Literasi Keuangan
Ilmu keuangan merupakan ilmu dinamis. Prakteknya menjadi keseharian bagi setiap
orang. Literasi keuangan menjadi keniscayaan bagi setiap orang untuk dapat membuat
keputusan keuangan serta mengoptimalkan instrumen dan produk keuangan yang tersedia.
Secara sederhana, literasi keuangan adalah pengetahuan mengenai konsep-konsep dasar
keuangan. Literasi keuangan mencakup beberapa aspek dalam keuangan, yaitu
pengetahuan dasar mengenai keuangan pribadi (basic personal finance), manajemen uang
(money management), manajemen kredit dan utang (credit and debt management), tabungan
dan investasi (saving and investment), serta manajemen risiko (risk management).
Literasi keuangan dibutuhkan agar setiap orang memiliki pengetahuan untuk
mengelola sumber daya keuangan secara efektif demi kesejahteraan hidupnya. Kebutuhan
individu dan produk keuangan yang semakin kompleks menuntut masyarakat untuk
memiliki literasi yang memadai. Minimnya literasi keuangan dapat mengakibatkan
rendahnya akses terhadap lembaga keuangan. Minimnya literasi keuangan juga dapat
mengakibatkan masyarakat mengalami kerugian keuangan karena tidak memahami resiko
yang membayang dari produk atau instrumen keuangan yang dipilih. Ditambah lagi jika
pada saat yang sama terjadi penurunan kondisi perekonomian. Perilaku masyarakat yang
konsumtif juga menambah daya boros dari sistem ekonomi dan keuangan yang ada saat ini.
Hadirnya OJK yang menaungi kegiatan investasi di Indonesia juga menjadi peta baru
bagi masyarakat awam. Literasi keuangan terhadap produk dan regulasi di sektor keuangan
tak semuanya dapat dipahami. Sosialisasi yang dilakukan OJK nyatanya masih belum
9
9
cukup untuk mengedukasi masyarakat luas. Hal ini tercermin pula dengan Ustadz YM yang
tidak mengetahui bahwa setiap penarikan dana masyarakat dengan memberikan imbal
hasil adalah bentuk investasi. Sesuai aturan, investasi yang beranggotakan 50 orang ke atas
wajib meminta izin OJK. Bila OJK belum mengeluarkan izin, maka sudah dapat dipastikan
kegiatan investasi tersebut dilarang.
Edukasi Keuangan
Edukasi keuangan (financial education) menjadi tantangan terbesar untuk
meningkatkan literasi masyarakat dalam rangka inklusi keuangan. Edukasi adalah proses
panjang yang mendorong setiap orang untuk memiliki rencana keuangan di masa depan
demi mendapatkan kesejahteraan yang ingin dicapai. Era konsumsi dewasa ini cenderung
membuat masyarakat menjadi kian tidak rasional dalam memenuhi keinginannya yang
bukan menjadi kebutuhan.
Melalui edukasi keuangan, diharapkan dapat terbangun perilaku keuangan (financial
behaviour). Perilaku keuangan berhubungan dengan bagaimana seseorang memperlakukan,
mengelola, menggunakan, dan memaknai sumber daya keuangan yang ada padanya.
Individu yang memiliki perilaku keuangan akan cenderung untuk memanfaatkan uang atau
aset secara efektif, mulai dari membuat anggaran, menghemat uang, mengendalikan
belanja, berinvestasi, serta membayar kewajiban tepat waktu untuk semua tingkat
penghasilan.
Lebih jauh, edukasi keuangan akan menghasilkan outcome berupa literasi keuangan
yang baik. Tepat kiranya bila OJK memutuskan untuk menjatuhkan sanksi berupa edukasi
aturan pengelolaan dana kepada Ustadz YM atas kegiatan pengelolaan dananya, termasuk
menjanjikan pendampingan dalam hal mengurus legalitas.
Tidak bisa dipungkiri, literasi keuangan adalah hal mendesak dalam melindungi dana
masyarakat. Sistem keuangan yang rentan akan munculnya mobilisasi dana manipulatif
atau spekulatif yang beresiko tinggi menuntut masyarakat untuk paham akan karakter
produk keuangan yang ditawarkan. Beragam jenis produk di pasar keuangan yang sarat
moral hazard serta kerap menghadirkan asymmetric information menuntut literasi keuangan
bagi masyarakat. Yang terpenting, urgensi literasi keuangan adalah sebagai pengetahuan
bagi masyarakat dalam hal menyiasati keterbatasan sumber daya yang dimilikinya untuk
dialokasikan pada berbagai kebutuhan secara efektif untuk memperoleh kesejahteraan yang
diharapkan.
Kasus Investasi Emas Berlabel Syariah7
Emas memang selalu memikat. Nilainya yang terus meningkat dalam jangka waktu menengah dan
panjang menjadi alasan utama untuk menjadikannya sebagai instrumen investasi. Tak heran jika
terus bermunculan perusahaan-perusahaan yang menawarkan jasa investasi emas. Termasuk pula
salah satunya perusahaan berlabel syariah yang memberi penawaran imbalan hasil yang
menggiurkan bagi investor (www.kontan.co.id, 18 Juni 2012).
7 Studi kasus ini sudah pernah dimuat di Harian Kontan, 22 Juni 2012. Artikel tersebut ditulis sebagai
respon atas pemberitaan di Harian Kontan berjudul ‚Waspada, investasi emas berimbal hasil selangit!‛ tentang
investigasi Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) yang merupakan perusahaan investasi emas pertama yang
memperoleh predikat syariah dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
10
10
Harga emas tercatat mengalami kenaikan cukup tinggi mulai tahun 2001 dengan rata-
rata kenaikan sekitar 17%. Sebelumnya, kenaikan harga hanya di kisaran 6%. Banyak pihak
yang meyakini bahwa emas tengah mengalami bubble. Hal ini didasari oleh kian maraknya
emas menjadi komoditas dan semakin kuatnya keyakinan masyarakat bahwa emas akan
mengalami kenaikan harga secara permanen melampaui tingkat inflasi.
Dapat dipahami jika investasi emas menjadi tampak menarik karena apresiasinya jauh
lebih besar daripada deposito atau sejenisnya. Gaung emas pun merambah industri jasa
keuangan Islam. Kegiatan rahn dan qardh untuk emas di perbankan syariah menjadi motor
penggeraknya. Hampir semua Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia kini telah
mempunyai layanan gadai emas.
Emas dalam sejarah ekonomi Islam memang mendapat perhatian besar. Wacana mata
uang dinar yang banyak digaungkan para pelaku ekonomi Islam sebagai alat transaksi tidak
lepas dari keunggulan nilai emas yang relatif stabil. Namun, stabil bukan berarti tidak
mengalami inflasi. Nilai emas yang di-back up oleh intrisiknyalah yang menjadi dasar
argumen emas lebih baik daripada fiat money.
Namun demikian, keberadaan emas sebagai alat transaksi atau sebagai instrumen
hedging harus dipisahkan dengan kinerja emas dalam konteks kekinian. Bubble emas yang
tengah berlangsung saat ini terjadi karena adanya spekulan. Pengalaman 2008
menunjukkan perilaku investor dalam mengantisipasi krisis kredit yang menyebabkan
pasar saham anjlok adalah dengan memborong emas. Yang terkini, aksi George Soros yang
menambah portofolio logam mulianya hingga 273,96% pada Mei lalu. Aksi Soros
mengundang pertanyaan mengingat harga emas saat itu sudah jatuh 8,1% per Maret dan
tercatat sebagai penurunan terbesar sejak 2004.
Fluktuasi Emas
Jika sebuah perusahaan investasi emas berlabel syariah berani menawarkan imbal
hasil fixed rate yang cukup tinggi dalam jangka waktu pendek, maka pertanyaan yang
mengemuka adalah ‘benarkah mekanisme yang ada sudah memenuhi prinsip syari’ah’?
Logika ekonomi tentu akan berbicara bahwa investasi emas akan memberi
keuntungan jika harga emas mengalami kenaikan. Jika harga emas turun, maka investor
akan mengalami kerugian. Dalam jangka menengah dan panjang, pengalaman di masa lalu
mungkin dapat menjadi argumen untuk mengatakan harga emas ke depan memiliki tren
kenaikan. Namun, dalam jangka waktu pendek yang kurang dari setahun, pengalaman
menunjukkan bahwa emas juga mengalami fluktuasi yang mengikuti up and down
perekonomian.
Mungkin tak banyak yang mengingat bagaimana volatilitas harga emas bulanan dan
tahunan selama 10 tahun terakhir. Secara bulanan, penurunan harga emas tertinggi pernah
terjadi sebesar 16% di bulan September 2008 ke Oktober 2008. Secara tahunan, penurunan
harga emas tertinggi pernah terjadi hingga 41,5% di tahun 2008 ke 2009. Mei 2012 lalu,
kontrak emas berjangka untuk pengantaran Juni merosot 0,6%. Nilai ini adalah posisi
terendah dalam empat bulan terakhir seiring dengan kekacauan politik yang kian
memburuk di Yunani yang memberi sentimen positif terhadap US Dollar sebagai aset
lindung nilai.
Secara keseluruhan, bukti empirik ini menunjukkan bahwa fluktuasi emas cukup
tajam dalam jangka waktu pendek. Kinerja emas saat ini bukanlah berbasis sektor riil murni
yang dapat dipertanggungjawabkan kealamiahan penawaran-permintaannya. Emas sebagai
11
11
komoditas dan faktor spekulan adalah salah satu variabel laten utama yang mempengaruhi
emas menjadi bubble. Pertanyaannya kemudian, jika yang terjadi ke depan adalah
penurunan harga emas secara signifikan, lalu bagaimana perusahaan jasa investasi emas
berlabel syariah itu dapat memenuhi janjinya untuk memberi bonus hingga 30% untuk
kontrak setahun?
Perspektif Islam
Dalam peta industri jasa keuangan Islam, bisnis investasi emas boleh jadi termasuk
dalam komponen pasar modal syariah. Jika dipetakan, industri jasa keuangan Islam
meliputi tiga komponen utama, yaitu perbankan Islam, pasar modal Islam, dan takaful yang
masing-masing di dalamnya terdiri dari beberapa subkomponen. Kecilnya pasar jasa
keuangan Islam boleh jadi tidak memberi pengaruh signifikan bagi perekonomian. Namun
demikian, tidak dapat dipungkiri, pertumbuhannya yang pesat mendorong banyak sektor
untuk turut menyandang label syariah demi mengakses pasar yang masih sangat besar.
Sebuah kajian tentang dampak pergerakan harga emas kepada Capital Adequacy Ratio
(CAR) individual bank Islam memberikan pesan penting. Skenario penurunan harga emas
sebesar 25% dan 50% ternyata berpotensi menurunkan CAR sejumlah bank Islam hingga di
bawah 8%. Kajian ini mengindikasikan bahwa industri jasa keuangan Islam pun rentan
terhadap fluktuasi harga emas.
Oleh karena itu, dapat dipahami jika iming-iming imbal hasil yang menggiurkan dari
perusahaan investasi emas berlabel syariah menimbulkan dugaan adanya kegiatan
spekulasi yang mengarah pada unsur maysir. Di kalangan ekonom Islam, memang masih
terdapat perdebatan tentang praktek spekulasi berbasis maysir ini. Sebagian berpendapat
bahwa maysir bermakna pengambilan risiko yang tidak mampu ditanggung. Sebagian lain
berpendapat bahwa maysir adalah spekulasi yang tidak meningkatkan agregat pasokan
barang dan jasa. Apapun itu, janji imbal hasil yang cukup tinggi dalam jangka waktu
pendek memberi ruang besar untuk mempertanyakan keabsahan Islamic compliance dalam
mekanisme investasi dan pemberian imbal hasil. Kalau sudah begitu, semoga saja Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dapat segera merespon kegiatan
investasi tersebut melalui fatwanya untuk memperjelas keabsahannya.
===============================================
12
12
LAMPIRAN:
Luxembourg Menuju Pusat Keuangan Islam Eropa dan Dunia (Majalah SHARING, November
2011)
Selama 3 hari Islamic Finance News (IFN) Asia Forum 2011 berlangsung, setidaknya terdapat 9
negara yang berkesempatan memberi paparan tentang potensi keuangan Islam di negara masing-
masing melalui beragam session. Negara-negara tersebut adalah Indonesia, Qatar, Australia, Srilanka,
Oman, Jepang, Pakistan, Iran, dan Luxembourg.
Country presentation dari negara Luxembourg cukup menarik perhatian peserta IFN Asia Forum
2011. Selain karena tampaknya menjadi satu-satunya negara yang mewakili kawasan Eropa, juga
karena dihadiri langsung oleh Minister of Finance, Grand Duchy of Luxembourg, Luc Frieden. Pada hari
ketiga, Frieden menjadi pembuka acara melalui session for keynote address yang dimanfaatkannya untuk
bercerita tentang potensi keuangan Islam di Luxembourg.
Mengawali paparannya di podium, Frieden memulai dengan sebuah pernyataan, “Saya yakin,
anda semua bertanya-tanya mengapa saya hadir di tempat ini. Bukankah negara-negara di Eropa sedang
mengalami krisis, lalu mengapa saya masih bisa-bisanya muncul di sini,” katanya setengah berkelakar.
Ya, saya yakin pernyataan Frieden memang mewakili isi kepala hampir kebanyakan peserta
IFN Asia Forum 2011. Kawasan Eropa memang secara beruntun mengalami krisis keuangan akibat
utang Eurozone. Lalu mengapa Frieden masih sempat-sempatnya ke Kuala Lumpur menghadiri acara
ini?
Menjadi Pusat Keuangan Islam Eropa dan Dunia
Luxembourg memang tampak serius untuk mengundang investor keuangan Islam masuk ke
negara tersebut. Frieden mengatakan, “Penting bagi kami untuk menghadiri perhelatan ini. Pemerintah
Luxembourg meyakini bahwa keuangan Islam adalah bagian tak terpisahkan dari sistem keuangan internasional.
Beberapa negara Eropa memang sudah banyak yang ingin menjadi pusat keuangan Islam dan Luxembourg juga
memiliki potensi untuk menjadi bagian dari pusat keuangan Islam di kawasan ini.”
Frieden yang mengawali karir politiknya melalui Partai Demokrat Kristen (Christian Social
Party/CSV) ini pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Menteri Anggaran di usia 34 tahun.
Berikutnya, Frieden menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan kemudian menjadi Menteri Keuangan
sejak 2009 hingga saat ini. Beliau juga menjabat sebagai Gubernur Bank Dunia serta menjadi wakil
pemerintah Luxembourg dalam Council of Minister of the European Union.
Meski krisis ekonomi global tengah terjadi, Frieden menegaskan bahwa pemerintahnya
meyakini industri keuangan Islam akan tetap tumbuh stabil. Hal ini setidaknya tercermin dari minat
investor yang terus tumbuh terhadap produk keuangan Islam. Frieden mengatakan, ‚Pemerintah
Luxembourg melihat produk keuangan Islam sangat inovatif dan adaptif bagi sistem keuangan internasional.
Untuk itu, pemerintah Luxembourg ingin mengintegrasikan produk keuangan Islam dengan produk keuangan
yang sebelumnya telah ada di Luxembourg.”
Frieden memang tidak menyia-nyiakan kesempatan dalam IFN Asia Forum 2011 untuk
mengundang para investor masuk ke Luxembourg. Panitia bahkan memberi agenda khusus bagi
pemerintah Luxembourg melalui breakout session untuk mengadakan Luxembourg for Finance. Dalam
kesempatan tersebut, Frieden menyampaikan paparan khusus berjudul “Kuala Lumpur and
Luxembourg: Partners for Global Financial Services”.
Dalam kesempatan yang sama, Chief Executive Officer (CEO) Luxembourg for Finance, Fernand
Grulms, juga membawakan paparan “Luxembourg, An International Hub for Financial Services‛.
Sedangkan Marc Saluzzi, Chairman of Association of Luxembourg Fund Industry, membawakan paparan
“Luxembourg, Your Gateway to Europe”. Kedua lembaga ini adalah tim kerja multidisipliner yang
memang ditugaskan oleh pemerintah Luxembourg untuk mengembangkan keuangan Islam di
Luxembourg.
13
13
Lebih jauh, 2 mini seminar diselenggarakan pula dalam kesempatan yang sama dengan tema
“How Can Asian Asset Managers Leverage The UCITs Products” dan “Luxembourg, A First Mover in The
European Islamic Finance Sector”. Tema terakhir ini cukup menarik. Meski klaim Luxembourg akan
menjadi pusat keuangan Islam di Eropa dan dunia dirasa terlambat, mengingat sudah banyak negara
di Eropa yang telah lebih dahulu mengklaim hal demikian, tapi tekat besar Luxembourg memang
sangat jelas terlihat. Banyak pembenahan regulasi, terutama pajak, yang terus digaungkan pemerintah
Luxembourg untuk menyambut para investor untuk masuk ke pasar keuangan Islam di Luxembourg,
utamanya dalam hal reksadana dan sukuk.
Menghilangkan Hambatan dan Ketidakpastian
Wilayah Luxembourg berada di pegunungan dengan kotanya yang berbukit-berbukit dan
berjurang-jurang. Banyak peninggalan benteng, gereja, dan kastil-kastil tua dari abad pertengahan
yang menjadi saksi kejayaan peradaban di masa lalu. Meski negeri ini mayoritas dihuni oleh penganut
Katolik, namun Luxembourg sangat terbuka untuk menjadi pusat keuangan Islam Eropa dan dunia.
Selain sebagai negara Eropa pertama yang bergabung dalam Islamic Financial Service Board
(IFSB) pada November 2009 lalu, Luxembourg juga menjadi negara Eropa pertama yang bursanya
melakukan listing sukuk sejak 2002. Saat ini, Luxembourg telah memasuki tahap penting dalam
peletakan fondasi pengembangan pasar uang Islam di Eropa. Nota kesepahaman mulai dirintis
bersama negara-negara Gulf Cooperation Council (GCC) seperti Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, dan
Bahrain.
Frieden menegaskan, pemerintah Luxembourg berkomitmen untuk menghilangkan hambatan
dan ketidakpastian bagi investor yang ingin masuk ke negara tersebut. Pemerintah setempat telah
memberlakukan reformasi pajak bagi seluruh produk keuangan Islam, utamanya untuk produk sukuk
dan reksadana syariah, guna memfasilitasi masuknya investasi berbasis syariah Islam dalam jumlah
besar. Akuisisi sejumlah bank di Luxembourg oleh institusi keuangan Islam Qatar tampaknya
memang juga menjadi landasan untuk pengembangan lebih lanjut bagi ceruk bisnis keuangan Islam di
Luxembourg.
Tidak bisa dipungkiri, krisis finansial Amerika Serikat (AS) dan Eropa menjadi momentum bagi
pasar keuangan Islam untuk kian mengukuhkan keberadaannya. Semakin banyaknya penerimaan dari
negara-negara yang mayoritas penduduknya nonmuslim mengindikasikan bahwa pasar keuangan
Islam dapat diterima secara universal lintas agama, suku, dan bangsa. Sebagai salah satu negara
nonmuslim di kawasan Eropa, Luxembourg terus menunjukkan progres dari itikatnya untuk menjadi
pusat keuangan Islam Eropa dan dunia. Partisipasinya sebagai first mover dalam pencatatan surat
berharga Islam internasional menjadikan Luxembourg percaya diri untuk ambil bagian dalam
globalisasi keuangan Islam. Wallahua’lam bish showab.
Pasar Keuangan Islam PascaKrisis AS dan Eropa (Majalah SHARING, November 2011)
Para pelaku keuangan Islam dari Middle East, Europe, North Africa, Southeast Asia, dan North America
berkumpul dalam Islamic Finance News (IFN) Asia Forum di Kuala Lumpur selama 17-19 Oktober 2011. Salah
satu isu hangat yang diperbincangkan dalam forum tersebut adalah tentang bagaimana masa depan pasar
keuangan Islam pascakrisis finansial Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Secara keseluruhan, perhelatan IFN Asia
Forum 2011 ini membawa pesan bahwa industri keuangan Islam masih memiliki peluang besar di tengah
volatilitas pasar.
Rentetan krisis keuangan global, terutama yang menghantam AS dan Eropa, menjadi salah satu
isu utama yang didiskusikan dalam IFN Asia Forum 2011. Meski ada yang mengkhawatirkan, namun
sebagian besar pelaku keuangan Islam dari berbagai belahan dunia ini cukup optimistis dengan masa
depan pasar keuangan Islam. Meski ada yang tidak menutup kemungkinan bahwa pasar keuangan
Islam akan terseret oleh krisis di AS dan Eropa, namun sebagian besar memandang bahwa inilah
momentum bagi kebangkitan pasar keuangan Islam.
14
14
Menurut Dwi Irianti Hadiningdyah, Kasubdit Peraturan & Evaluasi Kinerja Direktorat
Pembiayaan Syariah Direktoral Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan Republik
Indonesia (Kemenkeu RI), pihaknya cukup optimistis dengan pasar keuangan Islam tahun depan.
Pada Sharing, Dwi Irianti menjelaskan, ‚Dengan adanya krisis finansial di AS dan Eropa, saya justru
melihat bahwa ini menjadi momentum bagi kita untuk dapat mengalihkan dana-dana dari instrumen
konvensional pada instrumen keuangan Islam.”
Hal senada juga disampaikan Ijlal Ahmed Alvi, Chief Executive Officer (CEO) International Islamic
Financial Market (IIFM). Ijlal mengatakan pada Sharing, pihaknya telah mengadakan research
berdasarkan database yang mereka miliki. Report-nya menyimpulkan bahwa prospek pasar keuangan
Islam di tahun 2012 cukup cerah meski mungkin tren penerbitan sukuk ke depan bergantung pada
kondisi ekonomi global ke depan.
Ditemui terpisah di ruang kerjanya, Prof. Abbas Mirakhor, First Holder of INCEIF Chair of Islamic
Finance, juga menyampaikan keyakinannya pada Sharing bahwa prospek pasar keuangan Islam yang
cerah. Sebagai mantan Executive Director of International Monetary Fund (IMF), Prof. Abbas bahkan
meyakini bahwa instrumen keuangan Islam seharusnya dapat diadopsi oleh banyak negara miskin
atau negara berkembang untuk pembangunan di negaranya. Terkait dengan sukuk sebagai instrumen
pembiayaan pembangunan, Prof. Abbas mengatakan bahwa instrumen tersebut akan sangat
membantu percepatan pembangunan.
Prof. Abbas menyarankan, dalam mengatasi persoalan keuangan, pemerintah dapat
menerbitkan macromarket instrument yang akan berguna untuk keuangan mereka dan menjadi sumber
yang signifikan bagi pembiayaan berbasis nonbunga sembari mempromosikan risk sharing.
Disampaikannya, banyak bukti di seluruh dunia yang menunjukkan bahwa sekuritas yang diterbitkan
pemerintah untuk kebijakan moneter dapat mempengaruhi secara signifikan mekanisme transmisi
kebijakan moneter yang semula terganggu.
AS dan Eropa masih Kuat
Selayaknyalah instrumen keuangan Islam dapat menampilkan performansi yang berkinerja
keadilan. Selayaknya pula, instrumen-instrumen ini dapat menjadi alat untuk mendistribusikan
kekayaan dari negara-negara Islam yang kaya pada negara-negara Islam yang miskin.
Saat ini, instrumen keuangan Islam masih belum mampu menjadi alat yang dapat mentransfer
kekayaan dari Si Kaya pada Si Miskin. Negara-negara yang tergabung dalam Gulf Cooperation Council
(GCC) nyatanya lebih menyukai untuk mendistribusikan kekayaannya justru pada AS dan Eropa.
Kritik keras terlontar dari paparan Prof. DR. Malik Muhammad Al Awan, Shariah Advisor dari Hong
Leong MSIG Takaful dan Hong Leong Islamic Bank. Profesor Malik yang juga mantan Dekan Fakultas
dan Chief Academic Officer INCEIF menampik proyeksi banyak pihak bahwa krisis finansial akan
menumbangkan AS dan Eropa.
Dalam perbincangan bersama Sharing, Prof. Malik menjelaskan bahwa AS dan Eropa masih
akan bertahan karena negara-negara tersebut sesungguhnya ditopang oleh kekuatan dana dari negara-
negara GCC. Idealnya dana-dana GCC mengalir pada negara-negara Islam yang miskin atau sedang
berkembang. Tetapi faktanya, dana mereka justru kembali mengalir pada pasar keuangan AS dan
Eropa.
Prof. Malik tidak mengelak, negara-negara GCC tentu bukan tanpa alasan memiliki
kecenderungan melakukan hal demikian. “Ya, karena begitu banyak persoalan di negara-negara miskin atau
negara berkembang. Indonesia, Pakistan, Nigeria, dan yang lainnya, memiliki utang yang besar. Mereka sulit
untuk membayar utang. Ditambah lagi penyakit korupsi yang sudah begitu kronis, selain persoalan regulasi dan
kebijakan pemerintah yang masih belum begitu meyakinkan investor GCC.”
Profesor Keuangan Internasional dari Johnson & Wales University ini menekankan agar
instrumen keuangan Islam dapat menjalankan apa yang menjadi filosofinya, yaitu bagaimana menjadi
alat distribusi keadilan. Untuk dapat menarik dana dari negara-negara GCC ke negara-negara Islam
berkembang atau miskin, maka dapat melalui ownershipment.
“Negara-negara berkembang atau miskin memiliki utang yang besar. Mereka masih punya kewajiban
untuk membayarnya. Agar negara-negara GCC mau mengalihkan dana Petrodollar-nya dari AS dan Eropa,
15
15
maka ciptakanlah ownership agar mereka mau berinvestasi ke negara-negara ini. Dorong pemerintah agar dapat
mengendalikan tindak korupsi yang kronis agar investor percaya.” papar Profesor Emeritus dari National
University of Science and Technology Pakistan ini.
Alat Distribusi yang Berkeadilan
Menurut Ijlal Ahmed Alvi, CEO IIFM, instrumen keuangan Islam dapat menjadi alat untuk
mentransfer pendapatan dari negara kaya ke negara berkembang atau negara miskin jika beberapa hal
terkait dengan hukum dan regulasi sudah jelas di negara-negara tersebut. Dan yang tidak kalah
penting, penerbitan instrumen keuangan Islam di negara-negara tersebut harus juga ditopang oleh
kondisi aset yang bagus dan jelas sehingga lembaga rating dapat memberikan rating yang bagus.
Terlepas dari situasi pasar global yang tidak menentu saat ini, Ijlal menekankan pentingnya
seperangkat aturan dan regulasi yang mengatur pasar dalam rangka memberikan kepastian. Dalam
pidatonya, Ijlal menyoroti perlunya pendekatan terpadu ketika hendak menerbitkan regulasi dari
produk baru.
Sebagai alat distribusi yang berkeadilan, Assoc. Prof. Dr Asyraf Wajdi Dusuki, Head of Research
Affairs International Shari'ah Research Academy for Islamic Finance (ISRA), mengingatkan tentang
pentingnya mengedukasi publik, baik issuer, obligor, maupun rating agency mengenai syari’ah sebagai
cerminan keadilan. Dikatakannya, semua produk keuangan Islam ke depan tidak boleh sampai
melepaskan diri dari maqasid syari’ah.
Mencermati semakin banyak pihak yang berpartisipasi dalam industri keuangan Islam
beberapa tahun belakangan ini, DR Asyraf memang tampaknya banyak menggarisbawahi
implementasi dari produk keuangan Islam agar terus menjaga etika. Ditegaskannya, semua produk
keuangan Islam harus memenuhi syariah compliance dan dapat menghindarkannya dari alat spekulasi.
Wallahua’lam bish showab.
Krisis Finansial AS Tahun 2008, Akankah Terulang?
KETAKUTAN menyergap raut wajah pelaku pasar finansial Amerika Serikat (AS). Penghuni
Wall Street juga nampak menegang. Syok menghiasi raut wajah masyarakat AS pasca pengumuman
pemerintah. Tepat lima tahun lalu atau 15 September 2008 adalah salah satu momentum bersejarah
bagi AS.
Kala itu, Pemerintah AS mengumumkan kebangkrutan Lehman Brothers. Ungkapan too big to
fail seakan sirna dalam sekejap. Kini, luka krisis finansial tahun 2008 seakan lenyap ditelan bumi.
Peristiwa kolapsnya bank-bank papan atas AS terlupakan. Namun, ungkapan too big to fail kini
kembali menyeruak. Lihat saja, perbankan AS kembali menjadi primadona ekonomi AS.
Catatan Bloomberg, aset perbankan AS kini 28% lebih besar dibandingkan tahun 2008 silam.
Berdasarkan aset, enam bank papan atas AS adalah JP Morgan Chase, Bank of America (BoA),
Citigroup, Wells Fargo, Goldman Sachs dan Morgan Stanley.
Di kuartal II 2013, total aset enam bank terbesar AS ini mencapai US$ 9,6 triliun. Di periode
yang sama, total modal enam bank tersebut telah hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2008.
Namun, ketahanan modal yang hanya bertambah dua kali lipat masih dianggap rawan oleh
para pembuat kebijakan. Meski memasuki fase pemulihan, kondisi perbankan AS saat ini dianggap
masih dalam radar risiko. Veteran Wall Street menilai, sistem perbankan AS masih terlalu rumit dan
saling bergantung.
Itu artinya, jika krisis kembali melanda satu bank, risiko sistemik bakal muncul ke permukaan.
"Saat ini perbankan AS aman, tapi tidak cukup aman , " ujar Stefan Walter, Sekretaris Jenderal Komite
Basel, pada Pengawasan Perbankan, mengutip Bloomberg. Penghuni Wall Street pun nampak
pesimistis.
Survei Bloomberg terhadap lebih dari 50 bankir, regulator, ekonom dan anggota parlemen
mengungkap ukuran aset bank AS yang terlalu besar bisa membahayakan ekonomi AS jika ada
kegagalan. Pengawasan pemerintah terhadap perbankan AS pun dinilai kembali melunak. Akhir
pekan lalu, Senator Elizabeth Warren, mengkritik Departemen Keuangan AS.
16
16
Inti kritik Warren berfokus pada lemahnya pengawasan pemerintah terhadap perhitungan
subsidi permodalan perbankan andaikan kolaps. Selama ini, pengawasan perbankan AS dijalankan
pihak independen. ‚Cara terbaik mengetahui ukuran subsisi modal yang tepat adalah Departemen
Keuangan AS menghitung sendiri risiko setiap bank besar," ujar dia.
Potensi krisis perbankan terlihat dari hasil stress test pada akhir Agustus kemarin. Sebanyak 18
bank besar di AS berpotensi kolaps, seandainya timbul lagi krisis keuangan. The Fed menyatakan, ada
dua faktor utama penyebab kolapsnya 18 bank besar di AS. Yakni, cacat pada area krisis manajemen
dan permodalan. Potensi krisis lain, baru 40% dari 398 Dodd-Frank Act yang sudah diterapkan
perbankan. Dodd-Frank adalah beleid pascakrisis finansial yang mengatur ketahanan modal dan
sistem perbankan.
Arab Saudi Bangun Gedung Tertinggi di Dunia
LONDON, KOMPAS.com — Perusahaan yang membangun gedung pencakar langit Shard di
London terpilih untuk membangun menara di Arab Saudi yang direncanakan akan menjadi yang
tertinggi di dunia.
Tim Mace dari London akan bekerja sama dengan perusahaan Inggris EC Harris untuk
membangun Kingdom Tower di Jeddah. Jika usai nanti, bangunan itu akan mencapai ketinggian 1.000
meter, atau tiga kali lebih tinggi dari Shard. Menara itu juga akan 170 meter lebih tinggi dari
bangunan tertinggi dunia saat ini, yaitu Burj Khalifa di Dubai.
Pembangunan Kingdom Tower, yang akan menghadap Laut Merah tersebut, diperkirakan
menghabiskan dana sekitar 780 juta poundsterling (Rp 11,5 triliun) dan akan memakan waktu lima
tahun. Gedung itu akan terdiri dari hotel bintang lima, apartemen, ruang kantor, dan observatorium
untuk mengamati benda-benda langit.
Mark Reynolds, Direktur Utama Mace, mengatakan, "Kingdom Tower adalah sebuah proyek
yang memiliki kepentingan dan ambisi internasional, dan kami sangat senang bisa menjadi bagian
dari tim gabungan untuk mewujudkannya."
Keith Brooks, kepala properti dan infrastruktur sosial di EC Harris, mengatakan, "Kingdom
Tower adalah bangunan penting yang akan menunjukkan ambisi Arab Saudi kepada dunia."
Jeddah Economic Company, yang menunjuk kedua perusahaan itu, mengatakan bahwa menara
tersebut adalah visi Pangeran Al-Waleed bin Talal.