1 PB
Kalam 27 / 2015
Pokok tulisan ini adalah seni dan peristiwa dalam dua dekade
terakhir, khususnya di Indonesia. Tapi untuk sedikit
mendiskusikan hal ini, agaknya kita justru mesti menyusurinya
agak jauh ke belakang, pada jejak-jejak yang ditinggalkan pada
pertengahan dekade 1970-an. Di sekitar masa itulah isu mengenai
representasi—khususnya seni rupa—mengalami guncangan. Kita
boleh menyebutnya sebagai krisis representasi, sebelum seni bertubi-
tubi datang sebagai “peristiwa”.
Seni dan Peristiwa
Hendro Wiyanto
Hendro Wiyanto adalah kritikus dan kurator seni rupa independen yang tinggal di Jakarta. Ia menulis kritik seni rupa di sejumlah media di dalam dan luar negeri. Proyek kuratorialnya, antara lain, adalah rangkaian pameran retrospektif FX Harsono di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2009), Singapore Art Museum (2010), Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); dan Biennale Yogyakarta VII: Countrybution, Taman Budaya Yogyakarta (2003). Esai ini pada mulanya disampaikan dalam diskusi Seni sebagai Peristiwa:
Pengalaman Indonesia 20 Tahun Terakhir, Serambi Salihara, 05 Februari 2013.
2 PB
Kalam 27 / 2015
Danarto dan kesurupan
Pada mulanya adalah Danarto. Pada 1974 seniman serbabisa ini
“menulis” sebuah “cerita pendek” dengan tajuk yang tidak lazim:
sebuah gambar, jalur-jalur penanda notasi dengan gelombang cak
dan ngung.1 Tapi menulis cerita pendek bagi Danarto tidak cukup
menghasilkan ragam tulisan; ia juga menggambar, mengetengahkan
berbagai citraan. Seperti seorang perancang tipografi yang piawai,
Danarto menggubah, menyusun dan memain-mainkan susunan
kata dan ragam aksara layaknya menata gambar. Sebuah cerita bagi
Danarto agaknya memerlukan wadahnya yang lain, yang tidak sekadar
mengikuti standar karya sastra, misalnya saja kelancaran alur cerita.
Wadah itu bagi sensibilitas Danarto yang jamak adalah komposisi
atau tata rupa, yang memungkinkan cerita—sistem-sistem penandaan
melalui struktur yang bermakna—dapat beralih rupa sebagai obyek-
obyek gambar. Kata-kata mengantarkan pesan, tetapi kata adalah
juga obyek rupa, raut geometri yang memiliki asosiasi tertentu
dengan satuan-satuan ekspresif perupaan. Memasuki struktur cerita
karya Danarto dengan demikian tak dapat dilepaskan dari menikmati
keartistikan dan susunan rupa-gambar.
Danarto agaknya ingin menggiring kita untuk mengalami
apa yang “permukaan” pada penanda, yakni ragam rupa tulisan,
menyadari kehadiran mediumnya yang asali, yakni aksara sebagai
citra atau imaji. Apakah citra atau imaji (image, imitari) itu adalah
batas pemaknaan atau malah mau meluaskannya? Menikmati karya
itu adalah memasuki wilayah abu-abu yang menerobos batas-batas
1 Danarto, Adam Makrifat: Kumpulan Cerita Pendek (Jakarta: Balai Pustaka, cetakan kedua, 1992), 37-61.
3 PB
Kalam 27 / 2015
representasi bahasa dan gambar. Apakah gambar—sebagai sistem
atau representasi analogis, sebagai imitari—justru dimaksudkan untuk
berdamai ketimbang bertentangan dengan sistem-sistem penandaan
atau makna (bahasa)? Apakah yang inteligibel, pernyataan-pernyataan
yang dapat kita tangkap, sebagaimana kita memahami pesan sebuah
kalimat, perlu menjadi antipati terhadap pengalaman yang (lebih)
hidup, seperti halnya yang disajikan melalui sebuah gambar? Bahkan
cerita tak lain adalah satuan-satuan bunyi yang berulang—ngung, cak,
klst, klui, ck, ck, ck—mengingatkan kita pada khazanah mantra yang
meleburkan makna dan bunyi, dan asosiasi yang kuat pada rupa. Pada
awalnya adalah bunyi dan berakhir sebagai ruang antara rupa-bunyi.
Danarto jelas memerlukan lebih dari satu medium untuk
menggugah kita pada apa yang dibayangkannya sebagai sebuah
peristiwa, bahkan pada “pengalaman yang seolah-olah” mengenai
kondisi real time. Komputer Otto Wizenberg tentang para penari Sang
Hyang Jaran yang kesurupan bara api dapat menampilkan berbagai
peristiwa di belahan dunia lain di waktu yang bersamaan dengan
momen kesurupan itu. Real time bagi Danarto adalah “peristiwa”
imajiner di dalam karya sastra atau pengalaman keberaksaraan kita
seperti kegandrungan seniman video merekam kejamakan peristiwa
masa kini. Kali ini real time dimaknai melalui “kesurupan” dan
kesurupan adalah peristiwa lintas medium bagi Danarto. Masa kini,
ujar Irit Rogoff, real time adalah terminologi baru dalam media yang
“menjelaskan suatu momen ketika kebenaran menjadi nyata dalam
satuan waktu.”2 Cerita pendek “cak-ngung” Danarto juga membawa
2 Krisna Murti, “Media Baru dan Inul” dalam Esai tentang Seni Video dan Media
Baru (Yogyakarta: Indonesian Visual Art Archive, 2009), 43.
4 PB
Kalam 27 / 2015
kita pada pesan-pesan tak terdefinisikan mengenai keserentakan
pengalaman, semacam kontraksi ruang dan waktu yang belakangan
didengungkan oleh para teoretikus globalisasi di masa kini. Inilah
“avant-garde tradisi” Danarto, jika kita boleh menggunakan istilah
gado-gado yang pernah digunakan oleh Jim Supangkat. Penggunaan
idiom-idiom atau bahasa lokal untuk pencarian sesuatu yang baru,
kejutan-kejutan yang tak mungkin dibayangkan oleh kanon-kanon
di dalam tradisi itu sendiri.
D.A. Peransi dan Sanento Yuliman
Pada waktu yang tidak terpaut jauh dengan keajaiban dan kejamakan
cerita pendek Danarto—yang saya kira tak banyak diketahui oleh
kalangan seni rupa sekarang—D.A. Peransi mengamati munculnya
kesadaran baru di kalangan pelukis di masa itu. Ia meringkaskan
kecenderungan itu dengan istilah teknis dalam khazanah filsafat
“eksistensi yang mendahului esensi”. Ia menunjuk kanvas-kanvas
kosong Danarto, juga bidang kanvas lukisan-lukisan Oesman
Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, sebagai “kejadian kreatif”.
Bagi Peransi, mengamati lukisan seperti itu tidak sama lagi dengan
mengamati sebuah obyek, tapi menyaksikan “subyek yang meloncat
keluar dari dinding”. “Lukisan,” tulis Peransi, “sebagai sesuatu yang
statis lengkap pada dirinya sendiri karena dibingkai oleh suatu
kerangka estetik tertentu dan berdiri di ruang yang berbeda dengan
penonton adalah abstraksi masa lampau. . . . Lukisan atau patung
sebenarnya tidak berdiri sendiri, terpisah dari dunia penonton, akan
tetapi berada dalam ruang insani yang sama.”
5 PB
Kalam 27 / 2015
Karena pusat “kejadian kreatif” tak lain adalah (eksistensi)
subyek-pelukis, maka “tidak ada lagi sesuatu yang mau digambarkan
seperti dalam kerangka estetika skolastik, akan tetapi sesuatu dibuat
nyata, dinyatakan.” Dengan kesadaran baru seperti itu, agar menjadi
lebih “eksistensial” ketimbang “esensial”, Peransi lalu membuang
bingkai-bingkai dari lukisannya sendiri. Ia menegaskan bahwa karya
seni telah dilepaskan dari abstraksi yang mengurungnya, menjadi
kenyataan sebagaimana kenyataan-kenyataan lain mengelilingi
kita. Mengakui eksistensi subyek adalah mengakui kebebasan dan
keunikannya, dan dengan begitu tak mungkin lagi membayangkannya
sebagai semacam esensialisme dari “isme-isme”. Demikianlah
“keindahan” lahir dari subyek, tapi keindahan itu adalah keindahan
yang “bertaut erat dengan perjuangan hidup, perjuangan politik dan
sosial”. Dalam kaitannya dengan seni, keindahan berwajah dua: pada
satu sisi ia bukan ciri-ciri amung (atau “esensi” dalam istilah Peransi)
di dalam karya itu, dan pada sisi lain ia menjadi lebih “insani”. Pendek
kata, keindahan semacam itu bukan lagi obyek-universal yang terpatri
pada suatu karya, yang sudah ditetapkan sebelumnya, yang “pra-
eksisten”, melainkan dunia yang dialami sebagai “waktu yang kreatif”.3
Sanento Yuliman menjelaskannya lebih terang kepada kita
soal itu, bukan dengan ketaksaan perspektif (kebebasan) ala subyek
sebagaimana ditunjukkan oleh Peransi. Peransi telah menggarisbawahi
makna “eksistensi” bagi seniman, tapi sekaligus ia juga mengakui apa
yang sebenarnya bersifat “esensi” bagi seniman, yakni kebebasannya,
“esensi” seni sebagai suatu kejadian atau peristiwa, “waktu kreatif”-
3 D.A. Peransi, “Lee? Levi? Amco? Texwood? (Seni Lukis Kita Masa Kini dalam Pertimbangan Kritis)”, Sinar Harapan, 04 Januari 1975.
6 PB
Kalam 27 / 2015
nya. Dengan menganggap bahwa karya seni adalah ekspresi atau
representasi “eksistensi” seniman, maka baginya “eksistensi” dengan
demikian mendahului “esensi”, bahwa “kejadian kreatif” adalah
pergulatan “eksistensial” bagi pelukis. Tapi dengan mengetengahkan
lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita
dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu dan kita
percaya bahwa sebenarnya ada yang “esensial” pada seni lukis mereka.
Bagi Sanento, agaknya lebih penting melihat perubahan nyata
pada praktik artistik seniman dan pandangan estetis yang melatari
hadirnya karya seni itu sendiri ketimbang memperdebatkannya di ranah
filsafat. Yang “insani” itu menjadi lebih terang kalau orang mengamati
apa yang jamak yang dibuat oleh seniman, bukan apa yang ”esensial”
yang menstatuskannya sebagai seniman. Jika kebebasan adalah kondisi
“seismografis” (istilah “seismograf” memang digunakan oleh Sanento4)
dalam pendekatan Peransi, maka obyek-obyek insani dalam pengamatan
Sanento justru menunjukkan kondisi yang sebaliknya, katakanlah
yang “non-seismograf”. (Istilah “non-seismograf” digunakan oleh Jim
Supangkat, yang berarti “memusuhi cara-cara yang terasa ‘teralienasikan’”,
yakni “bahasa khusus seni lukis, seni patung atau cabang seni rupa
lainnya.”5) Kita tafsirkan, bahwa yang “non-seismograf” ini bukan tidak
mengakui kebebasan yang “imanen” yang ada pada tiap seniman (atau
manusia pada umumnya), tapi tidak sepakat dengan pengandaian bahwa
kebebasan itu mengesensialkan bahasa estetik seniman.
4 Sanento Yuliman, “Perspektif Baru” dalam Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia:
Kumpulan Karangan, editor Jim Supangkat (Jakarta: Gramedia, 1979), 96. Selanjutnya ditulis Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia.
5 Jim Supangkat, “Seni Rupa Baru Indonesia 75”, Gerakan Seni Rupa Baru
Indonesia, 101.
7 PB
Kalam 27 / 2015
Ketika mengantar Pameran Seni Rupa Baru 1975 Sanento
menulis bahwa ada semacam dorongan (pada seniman) untuk melihat
ke sekitar, memungut benda-benda dari lingkungan sehari-hari, dan
membuat konstruksi. Seniman-seniman angkatan terdahulu bisa
puas dengan pengalaman imajinasi, renungan, dunia dalam yang
menghasilkan “syair rupa”. Para seniman yang baru justru menyerbu
“dunia luar”, dunia konkret, menghendaki pengalaman yang lebih
penuh, yang total (Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, 98).
Dengan terang-terangan menyebut “dunia luar” kita tahu
bahwa tak ada sesuatu yang bisa dianggap sebagai yang “esensial” di
sana. “Dunia luar” bukanlah sesuatu yang “esensial” bagi “eksistensi”
seniman, lalu menjadi “esensi” bagi “perjuangan eksistensialnya”
sendiri berupa “perjuangan hidup, perjuangan politik dan sosial”,
seperti dibayangkan oleh Peransi. Tak ada “syair rupa” yang sanggup
mengumumkan diri sebagai representasi satu-satunya, yang “esensial”
dari “dunia luar”, pun tak ada “bingkai” pada dunia luar yang jika
“bingkai” itu dibuang, maka dunia yang tampak bagi kebebasan
seniman niscaya menjadi “eksistensial”. Sebaliknya, jika istilah-istilah
teknis filosofis itu tetap mau kita gunakan, kita dapat mengatakan
bahwa “eksistensi” seniman justru mengandaikan dunia luar yang
ditafsirkan adalah dunia yang selalu ada di dalam sebuah “bingkai”,
supaya “eksistensi” menjadi mungkin.
Jim Supangkat dan Ade Darmawan
Yang “luar” itu menjadi semakin penting, tulis Jim Supangkat. Meski
tak menyebutnya sebagai “esensi”, Jim menganggap yang “luar” itu
adalah seolah-olah (ada sesuatu yang) “obyektif” yang “seni secara
8 PB
Kalam 27 / 2015
teoretis”, yang “membuat teori ‘geregetan’ menjadi semakin terdesak”.
Yang pasti, dengan menekankan bahwa yang “luar” itu semakin
penting, konsekuensi bagi para seniman adalah lenyapnya “distansi
dunia aktual pengamat dengan dunia imajiner”. Mengikuti pandangan
itu, karya seni lahir dari konsepsi “non-seismograf” yang kini lebih
menggugah para seniman (Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, 101).
Kondisi “seismograf” itu dapat kita katakan sebagai sesuatu (subyek
dan atau bahasa) yang eksklusif bagi dunia luar, sedangkan “non-
seismograf” bersifat inklusif terhadap dunia luar yang jamak.
Dengan begitu, kita bisa mengatakan bahwa contoh-contoh
karya “eksistensial” yang ditunjuk oleh Peransi justru bersumber dari
bahasa esensial “pengekspresian”. Sedangkan dalam hubungannya
dengan “dunia luar”, tujuan seniman adalah “pengungkapan”. Pada
“pengekspresian” terjadi transformasi dunia luar menjadi unsur-
unsur esensial dalam seni rupa (rupa garis, bentuk, bidang dan
warna), tapi “pengungkapan” lebih bersifat “jujur” dan “keawam-
awaman”. Menganggap ada yang “esensial” pada seni (rupa) adalah
“khaos”, karena itulah imaji yang begituan mesti dibersihkan, pertama-
tama dari makhluk yang gemar meng-“esensial”-kan segala rupa atau
bentukan: seniman (Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, 102).
Berkarya kini menjadi sebuah “aksi komunikatif” menurut
istilah masyhur Habermas, yang mengandaikan relasi-relasi
intersubyektif dalam tindakan itu. Bagi Jim, para seniman generasi baru
yang muncul di pertengahan 1970-an itu ingin “berkomunikasi dalam
arti yang sesungguhnya, bukan komunikasi filosofis, humanistis.”
Jika lukisan poci bagi Basuki Resobowo tak akan pernah
sebanding dengan barang bernama poci dan lukisan burung tak
bisa kita sejajarkan dengan burung yang nyata—menurut kaidah
9 PB
Kalam 27 / 2015
Sudjojono—maka kualitas perseptif itu kini dibubarkan. Marilah kita
berkomunikasi tentang poci dan burung sambil memandang poci dan
burung betulan di ruang pameran atau di mana pun. Bahwa poci dan
burung (tertentu) telah dipilih oleh para seniman, menunjukkan poci
dan burung itu “berbeda” dari poci dan burung yang ada di sembarang
tempat. Memang tak ada perbedaan material apa pun di antara
keduanya, kata Boris Groys. Status ontologis antara yang seni dan
yang bukan-seni sudah bubar, kata sejumlah kritikus seni di Indonesia.
Seni masa kini tidak dapat “diproduksi” dengan asumsi kebedaan
seperti itu, tapi hanya bisa dipresentasikan sebagai karya seni. Tempat
kencing Duchamp yang sangat masyhur dan dianggap karya seni itu
tidak memupus sekat antara produksi dan kreasi. Perbedaan di antara
keduanya tetap ada, meski obyeknya sama. Barang jadi (readymades)
lahir melalui prosedur produksi dan seleksi; tanpa melewati tanggung
jawab individual untuk memilih-milih barang yang sesuai dengan
standar produksi atau memasukannya ke tong sampah. Tindakan
kreasi terutama adalah tindakan menyeleksi, tanpa melalui prosedur
produksi yang bersifat birokratis semacam itu. Hal itu mirip tindakan
Tuhan yang setelah menciptakan dunia lalu berujar bahwa dunia itu
baik adanya. Bukankah kita tak paham, dari mana Tuhan memperoleh
gagasan mengenai yang baik? Tampaknya begitulah yang dilakukan
Duchamp yang mendaku bahwa tempat kencing itu baik adanya,
yang alasan-alasannya tetap rahasia bagi orang lain. Tindakannya
itu “kreatif”, kata Groys, maka kita menganggap Duchamp adalah
seniman dan bukan sekadar tukang ledeng.6
6 Boris Groys, “On Contemporary Art” dalam Outlook!: Cultural Olympiad,
International Art Exhibition (Athens: 2003).
10 PB
Kalam 27 / 2015
Pendeknya, seniman memiliki persepsi yang berbeda
bahkan mengenai soal-soal “keawaman” seperti itu. Mengaitkannya
dengan idiom para avant-garde yang ingin menyatukan seni dan
kehidupan, Boris Groys menyebutnya sebagai “universalisme lemah”
(weak universalism). Ia menulis bahwa golongan pembaharu sering
disalahpahami sebagai non-profesional (-isme) karena mereka
mendeprofesionalisasi seniman: meleburkan seni dan kehidupan.
Tetapi deprofesionalisasi seni adalah tindakan artistik yang mau
mengubah praktik seni, karena itu deprofesionalisasi adalah tindakan
yang sangat profesional. Deprofesionalisasi itu seperti tanda-tanda
lemah yang memanifestasikan kekosongan waktu—mengingatkan
para mesianis yang meramalkan datangnya akhir zaman—yang justru
dibutuhkan untuk produksi dan perenungan akan tanda-tanda yang
dianggap berharga.7
Itulah cara berdamai dengan “dunia luar” dan sikap oposisi
terhadap keesensialan. Istilah-istilah ini digunakan oleh Jim Supangkat
dalam kalimat “Ketakutan ini menjadi damai apabila teriakan
untuk bebas sudah keluar, dan rupanya tak ada jalan lain kecuali
berani mengambil sikap oposisi dan menerima konsekuensinya:
meninggalkan ‘predikat seni’ kalau perlu” (Seni Rupa Baru Indonesia,
103). Sikap keawam-awaman tak lain adalah politik tabula rasa—kita
ingat Affandi yang mengaku sebagai sekadar “tukang gambar”. Empat
puluh tahun kemudian, seniman itu, yang lebih memilih membaca
koran Pos Kota ketimbang datang ke pameran, menyerahkan
7 Boris Groys, “The Weak Universalism” dalam Playing by the Rules: Alternative
Thinking/Alternative Spaces, disunting dengan prakata oleh Steven Rand dan pengantar oleh Heather Kouris (New York: apexart, 2010), 124.
11 PB
Kalam 27 / 2015
seluruh alasan penciptaan “seni”-nya kepada keawaman publik, yang
memancing komentar karyanya dengan kalimat “Gua bisa bikin nih,
karya ini”.8
Representasi “adalah segi denotatif tertentu pada realitas yang
tidak siap pakai; denotasi (makna sebuah gambar) tidak menentukan
bagaimana mesti menggambar, tapi jenis-jenis gambar akan lebih
menentukan denotasi pada gambar itu;”9 yakni “representasi
yang mengada” (being a representation), yang terus-menerus mesti
kita ciptakan ketimbang sesuatu “yang menyandang kegunaan
representasional” (having a representasional use).10 Para seniman akan
menganggap representasi semacam itu adalah batas atau sejenis fiksi
yang menjauhkan, yang mengasingkan mereka dari realitas sehari-
hari. Representasi dengan kata lain didaku telah mengalami krisis.
Subagio Sastrowardoyo dan mata penyair
Harry Suliztiarto yang membuat kejutan dengan memanjat kubah
planetarium di kompleks Taman Ismail Marzuki (1975) suatu
kali menebangi pepohonan, menjebol semua urat akarnya lalu
memamerkannya di Galeri Soemardja, Bandung. Semua tindakan itu
8 Komentar Ade Darmawan terhadap lukisan Affandi, dalam Human Resource
Development, Katalog Pameran Tunggal Ade Darmawan (Jakarta: Ark Galerie, 2012), 90. Selanjutnya ditulis Human Resource Development.
9 Nelson Goodman, “Reality Remade: A Denotation Theory of Representation” dalam The Philosophy of the Visual Arts, disunting oleh Philip Alperson (New York & Oxford: Oxford University Press, 1992), 88-101.
10 Roger Scruton, “Photography and Representation” dalam Arguing about Art:
Contemporary Philosophical Debates, disunting oleh Alex Neill dan Aaron Ridley (London & New York: Routledge, 2008), 230.
12 PB
Kalam 27 / 2015
adalah pengalaman mengenai kesia-siaan yang paling total, yang tidak
diberikan oleh “yang konvensional seperti membuat lukisan atau
patung”. “Estetika yang terlibat di sana,” ujar Chandra Johan, sahabat
karibnya, adalah “estetika kekuatan dan kekerasan.” Di sekitar masa-
masa “penyimpangan” itu, Arahmaiani menegaskan pernyataannya
yang diingat banyak orang: “Saya ingin memperluas kanvas saya
seluas-luasnya menjadi kehidupan itu sendiri, dan mengganti kuas
dan cat dengan unsur-unsur yang ada dalam kehidupan”.11
“Dunia luar” atau “kehidupan” yang dibayangkan oleh
Arahmaiani itu pasti bukanlah sejenis medium, terlalu luas untuk
disebut sebagai medium. “Dunia luar” tak pernah bisa sepenuhnya
dijebol, karena dunia semacam itu tak punya urat-akar. Kita juga tak
mungkin membayangkannya sebagai readymades tanpa mereduksinya
habis-habisan—melalui prosedur birokratis maupun “kreasionis”,
meminjam bahasa Groys, dan dengan mereduksinya seperti itu,
tentunya bukan lagi sepenuhnya “dunia luar”.
Sebuah puisi Subagio Sastrowardoyo menunjukkan
bagaimana dunia luar telah cenderung dianggap sebagai negasi
terhadap keindahan yang diesensialkan oleh seniman:
Ketika terbuka jendela, terdengar hiruk-pikuk
kota. “Apa saja yang sudah kuberikan kepadamu,” kata
penyair, “kecuali nyawaku ini yang teraniaya.”
Rakyat yang miskin merangsak ke muka. “Kami ingin
matamu!” teriak mereka. “Kami ingin matamu, yang bisa
11 Chandra Johan, “Arahmaiani”, makalah diskusi (Jakarta: Galeri Lontar, Juni 2000). Selanjutnya ditulis “Arahmaiani”.
13 PB
Kalam 27 / 2015
merobah butir pasir yang tercecer dari karung menjadi
emas di jalan. Beri matamu, matamu!”
Ada yang masih mau membela penyair itu. “Ingat,
tanpa mata penyair menjadi buta!”
Tetapi rakyat yang putus asa tidak peduli. Mereka
renggut mata penyair itu dari lubang matanya, dan lewat
kedua bola matanya mereka melihat dunia sekelilingnya.
Tetapi pasir yang tercecer tidak menjadi emas. Mereka
menjadi kecewa dan merebus dan melahap kedua bola
mata itu. Dan tidak terjadi apa-apa.
Penyair yang buta itu duduk di jendela dan tertawa
menghadap ke kota. Tanpa mata dilihatnya semua begitu
indahnya. Begitu indahnya!”12
Dunia luar itu dianggap niscaya mengandaikan (posisi) hiruk
pikuk penonton yang ingin merenggutkan keindahan yang menyatu
dengan tubuh penyair. Rosalind E. Krauss menyebut berbagai upaya
seniman untuk memperluas medium dan keluar dari batasan formal
representasi itu adalah kondisi “pascamedium”: kondisi agregat yang
mencakup segala bentuk dan jenis medium yang digunakan, tapi
sekaligus menyangkut posisi penonton terhadap apa yang ditampilkan
oleh seniman.13 Itulah dunia hiruk pikuk yang penuh ketaksaan, yang
mencemaskan Subagio, atau malah merangsang kesurupan real time
yang justru dinikmati sebagai ujaran-ujaran mantra oleh Danarto.
12 Subagio Sastrowardoyo, “Mata Penyair”, Horison, Juli 1993, 57.13 Rosalind E. Krauss, “A Voyage on the North Sea: Art in the Age of Post-Medium
Condition (New York: Thames & Hudon, 1999), 24.
14 PB
Kalam 27 / 2015
Karya seni dan penonton
Konfrontasi antara karya seni dan penonton—yang meledak
di pertengahan 1960-an dengan munculnya karya-karya seni
Minimal(isme)—jika boleh disederhanakan adalah soal “posisi” dan
“bukan-posisi” penonton karya seni. Tak mungkin ada keesensialan
yang hadir, mustahil hadir keotentikan, kualitas dan segala macam
nilai (universal) pada karya seni karena pemusatan pada penonton
juga berarti hadirnya durasi (dalam) pengalaman menonton.
Sejatinya itulah yang disebut sebagai paradigma (panggung) teater
yang membentuk kondisi nonseni. Pendeknya, apa saja yang berada
di antara kesenian, ya itulah yang namanya teater, bukan seni rupa
(lukisan dan patung). Seni rupa, demi keesensialannya bermusuhan
dengan teater pada titik itu. “Karya Minimalisme itu tak ada bedanya
dengan pintu, meja atau kertas kosong,” kata Greenberg. Jika kondisi
keobyekan (objecthood) itu dihadirkan di ruang pameran, benda-
benda itu tidak cuma berkonfrontasi dengan kita, tapi menciptakan
keseluruhan situasi dan cara melihat, dan akhirnya melibatkan juga
tubuh kita sebagai penonton. (“Susah beeng ngeliat karya seni,” kata
Jim pada 1975.)
Robert Morris (seniman Minimalis atau literalis) berujar,
“Saya ingin menekankan bahwa benda-benda berada di dalam ruang
bersama dengan seseorang, bukan orang yang berada di dalam ruang
lalu dikepung benda-benda.”
Michael Fried (kritikus seni rupa) menyatakan, “Apa yang
salah dengan karya-karya seniman literalis jelas bukan karena sifat
antropomorfismenya, tetapi maknanya dan ketersembunyian
15 PB
Kalam 27 / 2015
antropomorfisme pada karya-karya teatrikal itu dan hal itu yang tak
bisa disembuhkan.”14
Empat puluh tahun kemudian, perdebatan semacam itu makin
sayup atau mungkin tak terdengar lagi oleh kita. Sebagai seniman
yang lebih memilih posisi “kesurupan pascamedium” Danarto justru
dengan mulus dan meyakinkan menggunakan istilah “panggung
teater Titarubi” untuk Herstory, pameran tunggal Titarubi di Bentara
Budaya, Jakarta, 2007. “Titarubi tak mengusung hakikat,” katanya,
“melainkan bahasa sehari-hari.”15
Sebenarnya, “yang jadi masalah,” tulis Robert Morris yang
menentang prinsip-prinsip Modernisme Greenberg dan Fried pada
1967, “bukan soal ilusionisme pada lukisan yang memang tak bisa
dielakkan. Soalnya adalah ilusionisme itu memang sulit dipegang atau
dijelaskan (elusif), tidak aktual, dan menyandang sifat alusif yang tidak
menentu. Cara itu kuna karena membuat pengalaman kita terbelah
melalui tanda-tanda yang kita buat sendiri di atas bidang datar. Ada
alasan-alasan kultural di balik hal itu. Sifat mendua antara barang
dan alusi itu juga sudah berlangsung lama, ditopang oleh kekuasaan
kelembagaan yang sangat besar. Tapi premis-premis itu sudah usang
dan tak meyakinkan lagi. Dualitas itu mengandung ketaksaan yang
tak terterima bagi pandangan empiris maupun pragmatis.”16
14 Michael Fried, “Art and Objecthood” dalam Art and Objecthood: Essays and
Reviews (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1998), 157.15 Danarto, “Panggung Teater Titarubi”, Kompas, Minggu, 23 September 2007.16 Charles Harrison dan Paul Wood, “Modernity and Modernism Reconsidered”
dalam Paul Wood, Francis Frascina, Jonathan Harris, Charles Harrison, Modernism in Dispute: Art since the Forties (New Haven & London: Yale University Press, 1994), 189.
16 PB
Kalam 27 / 2015
Sejak 1977 Harsono memamerkan pistol-pistolan dari kerupuk
dan memosisikan pengunjung pameran untuk langsung menanggapi
barang atau makanan sehari-hari itu. Antropomorfisme (atas nama
penonton) tak perlu disembunyi-sembunyikan lagi. Penonton sungguh-
sungguh diundang untuk menyelesaikan argumentasi sang seniman,
publik menjadi elemen kritis karya “literalis” itu, dan senimannya yakin
bahwa semua tindakan itu “kreatif” dan “bermakna”.17
Jika kita membaca kembali cerita pendek “cak-ngung” Danarto
yang disebutkan di bagian awal tulisan ini—ditulis hampir empat puluh
tahun yang lalu—kita akan menemukan sejumlah metafora yang (sudah)
menunjukkan upaya untuk mengkonkretkan imaji-imaji keobyekan
semacam itu. Ia misalnya menulis, “darah dan daging musik”, “jasad
musik”, “coretan-coretan cakar ayam cahaya”. Pelajaran bagi seni tari
menurut Danarto tak lain adalah dunia sehari-hari kita, atau “dunia
luar” bagi sang seniman, yang sepenuhnya mengandung ketaksaan yang
niscaya antara “eksistensi” dan “esensi”: gerakan-gerakan yang terjadi di
kebun, daun yang bergoyang dihembus angin, tembok yang merekah
karena ada biji yang memecahkannya, arus sungai yang menghantarkan
lumpur ke tepi-tepinya, biji kapas yang pecah dan menghamburkan
bahan kain yang serupa salju, tanah longsor, biji yang menjelma buah
yang lezat. Tapi sebaiknya kita juga perlu tahu, Danarto tak cuma
kesurupan dalam cerpen, ia juga perupa imajiner dalam karya itu yang
menyelundupkan imaji-imaji tentang patung air, patung musik dan
patung cahaya, cukup dengan mengucap “abracadabra”.18
17 Hendro Wiyanto, “FX Harsono dan Perkembangan Karyanya (1972-2009)” dalam Amanda Katherine Rath, Hendro Wiyanto, Seng Yu jin, Tan Siuli, Re:
Petisi/Posisi FX Harsono (Yogyakarta: Langgeng Art Foundation, 2010), 78.18 Danarto, “Abracadabra” dalam Godlob: Kumpulan Cerita Pendek (Jakarta: Grafiti
Pers, 1987), 142-157.
17 PB
Kalam 27 / 2015
Dengan kata lain, peristiwa sehari-hari yang selama ini
kebanyakan luput dari perhatian seniman yang memperjuangkan
“eksistensi” atau percaya pada “esensi” bahasa pengekspresian telah
beramai-ramai didaulat menjadi seni, bukan cuma sebagai bahan-
bahan inspirasinya. Pertengahan 1970-an adalah masa yang mengubah
paradigma (jika istilah ini boleh digunakan) kesenian, khususnya seni
rupa kita secara mendasar. Sketsa-sketsa di atas sekadar menunjukkan
bahwa perubahan itu telah dipicu oleh semacam kesadaran akan krisis
representasi yang dialami oleh sejumlah seniman melalui praktik seni
rupa mereka sendiri.
Seni dan peristiwa
Jika demikian, apakah peristiwa (dalam seni)? Mengapa seni
kemudian cenderung menjadi peristiwa? Sanento Yuliman dan
Chandra Johan bercakap-cakap pada suatu ketika di Bandung. Salah
satu kesimpulan mereka, konon adalah ini: semakin dunia seni rupa
itu serius dipikirkan, semakin tidak kelihatan serius hasilnya. Dan,
seluas apa pun kemungkinan kesenian kita, sebagaimana ditegaskan
Chandra Johan, kita perlukan bingkainya untuk memisahkannya dari
yang lain.
Kita sudah menunjukkan sekilas bahwa perdebatan di kalangan
seni rupa itu sungguh-sungguh serius, meski hasilnya bisa saja—
anda bilang—tak terlalu serius, seperti memanjat planetarium atau
membawa kerupuk ke ruang pameran. Akibat-akibatnya, misalnya
tak sedramatis kisah imajiner penyair yang dibutakan kedua matanya
oleh rakyat miskin yang merangsek ke kota. Tapi bagaimanapun
perdebatan itu adalah sebuah “peristiwa” yang mencetuskan
18 PB
Kalam 27 / 2015
serangkaian istilah “eksistensi”, “esensi”, “pengekspresian” dan
“pengungkapan”, yang menunjukkan ketegangan prosedur-
prosedur kreatif yang ditempuh seniman dalam beberapa dekade
terakhir ini; dan itulah yang mendasari kategori mengenai (karya)
seni. Lalu bagaimana mengaitkan “peristiwa” berbau diskursus itu
dengan praktik para seniman? Mengaitkan seni dengan peristiwa
mengandaikan ketidakpercayaan akan esensialisme medium yang
menjadikan representasi seni bersifat esensial. Era itu tampaknya
benar-benar sudah dianggap berakhir. Karya semacam itu akan
langsung bersaing dengan berita-berita dramatis di Pos Kota, kerbau
bernama SBY yang digiring di Bunderan HI atau seorang pacar yang
menumbukkan diri di kereta api (Human Resource Development). Jika
representasi adalah “segi denotatif tertentu” atau “yang mengada”,
masih bisakah kita membayangkan hal-hal itu pada suatu peristiwa?
Bukankah peristiwa berada di luar bentuk, mengatasi bentuk, dan
salah satu ciri utamanya adalah kesegeraan (immediacy), kontingensi,
dan bukan suatu yang cenderung stabil seperti bentuk? Apakah krisis
representasi adalah krisis bentuk? Atau menciptakan bentuk-bentuk
baru, yang sebenarnya adalah khaos (baru)?
Dalam esai yang njlimet mengenai (pementasan) Slamet
Gundono, Dorky Park, Badiou dan Deleuze, Goenawan Mohamad
menulis tentang bentuk, kosmos dan khaos.
“Bentuk”, Goenawan menulis, bukanlah “kosmos” yang
mengimbangi “khaos”; dalam pementasan-pementasan itu
dengan berhasil ditunjukkan bahwa bentuk justru terkait dengan
“kecenderungan khaotik”. “Tangkapan artistik” tak lain adalah
“khaosmos”, antara ketertiban kosmos dan khaos yang karut-marut.
Tapi yang menarik dalam tulisan itu adalah anggapan bahwa dalam
19 PB
Kalam 27 / 2015
ranah artistik, kejadian adalah juga momen mikro, tidak selalu kisah-
kisah besar yang lalu dicatat oleh sejarah.19 Kalau begitu saya akan
mengingat “saya yang berlomba-lomba dengan perasaan saya” dalam
diri Affandi maupun kanvas pletat-pletot sang seniman yang kini
mungkin cenderung makin dilupakan, barangkali karena dianggap
tak ada “peristiwa” apa pun dengan medium dwimatra.
Di manakah sekarang kita berada? Tanya Peter Bürger. Lebih
tepatnya, barangkali bagaimana sikap kita, misalnya, terhadap bentuk,
karena kita juga mewarisi Oesman Effendi, Jim Supangkat, Harsono,
Peransi, Sanento, Arahmaiani, Ade Darmawan dan masih banyak lagi
yang lain? Modernisme itu bentuk, dan bentuk itu bukan semacam
wadah yang tinggal kita penuhi, tapi sesuatu yang tak tergantikan
dan mesti kita tangkap secara partikular. (Ingatlah misalnya perihal
lukisan “poci” dan “burung”.) Karya seni itu hanya menjadi sejati jika
bentuk dan isinya menjadi identik, begitu khotbah Hegel dua abad
dulu. Ketika seniman mengalami alienasi di masa modern—terhadap
dirinya sendiri maupun dunia—mereka mau menunjukkan bahwa
subyek itu unggul terhadap bentuk. Dorongan sang subyek lalu
adalah memurnikan bentuk, mengancam apa saja yang bernama isi.
Otonomi bentuk lalu sama saja artinya dengan otonomi seniman,
yang pada gilirannya mengundang para seniman avant-garde untuk
melenyapkan batas seni dan kehidupan. Itulah kisah kelahiran para
pembaharu.
Bürger lalu mengajukan apa yang disebutnya sebagai “konti-
nuitas dialektis” terhadap modernisme bentuk-bentuk seperti itu.
19 Goenawan Mohamad, “Dari Sudamala: Khaos dan Bentuk”, Kompas, 06 Februari 2008.
20 PB
Kalam 27 / 2015
Katanya, kita tak perlu menabukan representasi, tetapi di saat yang
sama jangan memercayai substansialitasnya. Bentuk dan ekspresi
adalah dialektika partikular yang tak bisa direduksi, barangkali
nasibnya memang sudah begitu. Tapi yang partikular tidak berarti
situasi individual, melainkan pengalaman sosial yang dibiaskan
lewat subyek. Itu berarti re-semantisasi seni, kata Bürger, yakni
menautkan sikap penerimaan pada praktik kehidupan dengan
sensitivitas seniman untuk melahirkan bentuk yang spesifik, tanpa
mengarahkannya pada yang formal apriori di dalam seni. Ini artinya,
bagi kita, kita bisa merayakan, misalnya kanvas-kanvas kosong karya
Danarto pada era 1970-an sebagai “peristiwa artistik” yang luar
biasa, dan tidak memperlakukannya sebagai “fetisisme material”.20
Goenawan Mohamad bisa tetap memandangi lukisan Rusli yang tak
selesai (tidak sama dengan “rampung”, katanya), sebagai “peristiwa
atau sesuatu yang selamanya belum selesai, belum siap pakai.”21
Persis di tahun itu, Tisna Sanjaya mengemas paket pernyataan
“seni rupa”-nya, bernafsu memborong “dunia luar” menjadi karya
“peristiwa”. Isi paketnya begini: “Paket kesenianku saat ini tentang
pengujian kembali masalah-masalah sosial, moral, agama, politik,
estetika. Bisa jadi karyaku adalah cerminan keberadaanku kini. .
.respons, kepedulian atau mungkin ketidakpedulian.”22 Terlibat
dengan segala hal rupanya bisa juga sekaligus berarti terasing dari
20 Peter Bürger, “The Decline of Modernism” dalam The Polity Reader in Cultural
Theory (Cambridge: Polity Press, 1994), 148. Selanjutnya ditulis The Polity
Reader in Cultural Theory.21 Goenawan Mohamad, “Fragmen: Peristiwa”, Horison, November 2004, 32.22 Heru Hikayat, “The Art Which is Trying to be Significant”, makalah untuk
South East Asia Performance Art Symposium, Bangkok, 25-27 November 2005.
21 PB
Kalam 27 / 2015
apa saja, melahirkan peristiwa yang di Bandung diharu-biru sebagai
tindakan “jeprut”, alias terputus dari dunia. Jika tuntutan dari kaum
avant-garde mengenai pelenyapan batas antara kehidupan dan
seni menjelma kenyataan, seni tentunya akan berakhir. Tapi jika
pemisahan itu kita terima seperti adanya, seni pun akan mengalami
nasib yang sama: tamat (The Polity Reader in Cultural Theory, 148).
Apakah “seni sebagai peristiwa” akan menyelamatkannya atau ikut
menguburnya?
Betapa luasnya perhatian seniman terhadap dunia luar, pikir
kita sekarang. Alangkah banyak soal yang ingin dibereskannya
sehingga kita, para penonton, ikut-ikutan mengalami situasi “jeprut”.
Kita tentu saja tidak tahu bagaimana berbagai soal yang mahapelik
itu akan diuji oleh seniman dan bagaimana kita mesti menguji
“kepedulian” yang sekaligus juga “ketidakpedulian”. Tak jarang khaos
dalam “bentuk”-nya di atas panggung atau melalui arus peristiwa
sehari-hari menjelma sebagai khaos pernyataan seniman yang kini
berpaling sepenuh-penuhnya pada kehidupan, pada “dunia luar”.
Pada 2004, pukul 04:00 pagi, sebagaimana dikutip Heru
Hikayat, Frino Bariarcianur Barus, anak muda lulusan Jurusan
Komunikasi di Bandung melakukan aksi berjalan mundur dari puncak
kawah Tangkuban Perahu ke titik kilometer nol di kota Bandung.
Perjalanan “jeprut” menempuh jarak 30 km ini menyela kehidupan
(rutin) sebuah kota, agar seni tidak benar-benar terputus dengan
dunia, tidak mengucilkannya, tapi menciptakan sebuah formasi baru
untuk menandai lingkungan kotanya sendiri.
Pada 11 Februari 2002, koran Metro di Bandung memuat
berita kematian Kwee Hong Liong alias Johanes Christiawan, pada
usia 26 tahun. Kwee adalah mahasiswa Studio Seni Grafis FSRD
22 PB
Kalam 27 / 2015
ITB, Bandung. Ia memuatkan pada berita kematiannya sendiri, yang
dibikinnya sendiri, foto diri tampak depan dan belakang. Tidak hanya
itu, Kwee menempelkan selebaran berita kematiannya di tembok-
tembok di kampus. Kata Tisna “Jeprut” Sanjaya pengajarnya, “karya”
semacam itu tidak penting nilai estetiknya, tapi terobosannya terhadap
yang normatif di dalam masyarakat. Itulah sebentuk interupsi
khas seniman di tengah-tengah hiruk pikuk headlines politik, tulis
Aminudin T.H. Siregar.23
Yang sedang terus-menerus berlangsung adalah “palingan
performatif”, kurang-lebih warisan praktik seni peristiwa Allan
Kaprow pada 1960-an yang mendaku kehidupan sebagai dasar apa
saja bagi resepsi artistik. Melalui yang “performatif” kata-kata juga
bertindak, yakni sebagai ujaran-ujaran performatif, kata John Austin
yang memberi inspirasi munculnya gagasan-gagasan performatif.
Seni semacam itu, yang kini menjadi (seni) performans yang
dirayakan di mana-mana tidak ingin menghadirkan ilusi peristiwa,
tetapi menghadirkan peristiwa sebagai seni. Itulah situasi paradoks di
dalam seni karena nyatanya dalam keseharian kita—dari bisnis sampai
politik—kita juga melakukan serangkaian performans. Bentuk-
bentuk sosialisasi kita, misalnya, jelas adalah performans.24
Berpaling pada kehidupan juga berarti seni tidak mengasingkan
diri dari tubuh senimannya sendiri, yang justru perlu menisbikan
kehadiran seluruh penonton, setidaknya dalam imajinasi sang seniman.
Ego seniman mesti digerus, agar penonton bukan satu-satunya alasan
23 Aminudin T.H. Siregar, “Makna di Balik Iklan Kematian”, Kompas, 17 Februari 2002.
24 Jens Hoffmann dan Joan Jonas, Art Works Perform (London: Thames & Hudson, 2005), 12.
23 PB
Kalam 27 / 2015
untuk menghadirkan sebuah peristiwa. Tubuh adalah medium atau
hantu-hantu yang teraniaya untuk menciptakan peristiwa simbolis
berulangnya kembali siklus kematian dan kehidupan dalam arti yang
paling privat bagi Melati Suryodarmo yang melakukan performans
berdurasi 12 jam di Bandung (I’m A Ghost in My Own House; 2012).
Pada pengantar singkat untuk undangan diskusi ini disebut-
sebut seni rupa Kesenian Unit Desa (KUD), istilah yang kita dengar
sejak pertengahan 1980-an dan rupanya masyhur sampai sekarang.
Pada pertengahan 1980-an, Moelyono berjalan menyusuri pasar, bukit
dan sungai sampai ke Teluk Brumbun di ujung selatan Tulungagung.
Pertemuannya dengan seorang ibu pedagang ikan laut dalam
“peristiwa” sebentar itu menyulut rasa bersalahnya sebagai mahasiswa
seni rupa yang proyek akhirnya adalah “kolase penderitaan rakyat
miskin”. Perasaan bersalah itu adalah awal penebusan yang panjang
terhadap jenis-jenis formalisme yang kita lihat sudah dipersoalkan
sejak dekade 1970-an. Jika kita melihatnya dari dataran tinggi seni
rupa (“seni rupa atas”, kata Sanento), kita melihat ada lebih banyak
masyarakat yang diasingkan oleh seni jenis ini daripada memperoleh
sekadar manfaatnya. Seni dapat menjadi alat analisis, dan pameran,
siapa bilang tak bisa menjadi sebentuk advokasi bagi persoalan nyata
di masyarakat?25 Tapi apakah semua “peristiwa” bermanfaat bagi
sebagian besar masyarakat, kecuali menebus rasa bersalah senimannya
sendiri? Bukankah realitas itu sendiri lebih sering menyadarkan kita
ketimbang yang sebaliknya?
Itulah yang digambarkan sebagai yang “relasional” dalam seni
rupa kontemporer, yang lebih berbicara kepada kita soal formasi
25 Baca, Moelyono, Pak Moel Guru Nggambar (Yogyakarta: INSIST Press 2005).
24 PB
Kalam 27 / 2015
(formation) daripada bentuk (form). Esensi manusia, dalam kacamata
estetika relasional Bourriaud adalah trans-individual, ikatan-
ikatannya adalah bentuk-bentuk sosial yang menyejarah. “Akhir
sejarah” atau “akhir seni” dengan demikian adalah sesuatu yang tak
mungkin baginya, karena permainan akan selalu dimainkan lagi,
menurut fungsi, para pemain dan sistem yang dibangun dan dikritik.
Estetika relasional didasari oleh “materialisme perjumpaan” (Louis
Althusser), materialisme yang acak, bertolak dari dunia yang selalu
berubah. Kata Duchamp, itulah permainan seluruh masyarakat dalam
berbagai kurun waktu yang kita sebut sebagai seni.26
Lebih-kurang 20 tahun kemudian, mungkin dengan rasa
bersalah yang lebih “situasionis”, Reza “Asung” Afisina menampari
mukanya sendiri di dalam ruang pribadinya, selama 10 menit 45
detik di sebuah markas bernama ruangrupa. Seperti pesakitan
Asung melebamkan raut mukanya seraya membaca ayat-ayat Injil
(Lukas 12: 03-11) mengenai hukuman dan pengampunan Tuhan. Ia
menciptakan formasi privat dengan dirinya sendiri, tetapi sekaligus
juga menyadari efek reproduktifnya dalam masyarakat yang dipenuhi
janji dan pertukaran simulasi tanda. Ruang privat itu diproduksi
melalui logika perekaman video, ditampilkan kembali seperti kita
menonton litani pertunjukan pada sebuah televisi. What (2001) karya
Reza yang termasuk salah satu karya video yang fenomenal dalam
perkembangan seni di Indonesia adalah sebuah “teror” yang berasal
dari ruang privat.27
26 Nicolas Bourriaud, Relational Aesthetics, diterjemahkan oleh Simon Pleasance dan Fronza Woods (Paris: Les presses du réel, 2002), 7.
27 Hafiz, 10 Tahun Seni Video Indonesia, 2000-2010 (Jakarta: Divisi Pengembangan Seni Video Ruangrupa, 2011).
25 PB
Kalam 27 / 2015
Dunia luar kini bukan lagi luar, karena yang luar seakan-
akan sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan yang dalam.
Para seniman mungkin tak bisa lagi berada di suatu bagian yang
dianggapnya inti (atau yang “representatif”) dari sesuatu yang tertutup
dari yang luar. Tetapi kita tetap bisa mengenali intensi-intensinya
yang menentukan bentuk dan jenis formasi yang diciptakan atau
dikritik. Barangkali saja, intensi itu adalah sejenis “formasi apriori”
untuk menciptakan sebuah peristiwa.
Peristiwa—sebagai “seni”—telah membebaskan para seniman,
juga kita para penonton yang berada di luar. Tetapi kini peristiwa
juga menilai kita; tiap peristiwa segera dilampaui dan dinilai oleh
peristiwa yang lain sehingga tak jarang kita merasa berada di paling
luar dari yang di luar. Itulah posisi yang “tanpa pusat yang tetap”, yang
eks-sentris, kata Paul Crowther.28
28 Paul Crowther, “The Postmodern Sublime: Installation and Assemblage Art”, Art & Design Profile No. 40, 1995, 9.