SMF/Lab Ilmu Penyakit THT Refleksi Kasus
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RHINITIS ALERGI
Oleh :
Febrian Juventianto Gunawan
0708015058
Pembimbing :
dr. Rahmawati, Sp.THT-KL
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
SMF/Lab. Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSUD A.W. Sjahrannie Samarinda
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi dari mukosa hidung
yang diperantarai oleh IgE setelah terpapar oleh suatu alergen. Terdapat tiga
gejala kardinal yang penting pada hidung terkait reaksi alergi, yaitu bersin,
obstruksi nasal, dan rhinorea.1.2
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit yang banyak dijumpai dalam
praktek dokter sehari-hari, baik oleh dokter umum maupun oleh dokter spesialis
THT dimana mengenai 10-20% populasi dunia dan berbagai penelitian
membuktikan prevalensinya semakin meningkat. Pada saat ini diperkirakan
sekitar 500 juta orang di dunia menderita rhinitis alergi. Prevalensi rhinitia alergi
di negara-negara Eropa bervariasi dimana di italia prevalensinya sekitar 17%, di
Belgia sebesar 29% dan di Spanyol mencapai 21,5%.2,3,4
Rhinitis alergi berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya,
penurunan produktivitas kerja, prestasi di sekolah, aktifitas sosial, dan pada
penderita dengan alergi berat dan lama dapat menyebabkan gangguan psikologis
seperti depresi. Hal ini juga disebabkan berbagai kondisi penyerta yang terjadi
pada rhinitis alergi seperti fatigue, sakit kepala, gangguan konsentrasi, dan
gangguan tidur yang dapat menurunkan kualitas hidup.5
Terjadinya suatu rhinitia alergi sangat terkait dengan interaksi antara
faktor predisposisi genetik dan paparan lingkungan, dimana alergen memiliki
peranan yang sangat penting. Diagnosis rhinitis alergi sendiri dapat dengan mudah
ditegakan, akan tetapi seringkali banyak pasien yang datang namun tidak
terdiagnosis sebagai rhinitis alergi. Berbagai manajemen penatalaksanaan rhinitis
alergi pun telah banyak dikemukakan.1,2
2
1.2. Tujuan
Refleksi kasus ini dibuat dengan tujuan antara lain:
1. Sebagai sumber referensi pembelajaran mengenai rhinitis alergi dan diagnosis
bandingnya.
2. Sebagai tugas ilmiah kepaniteraan muda di bagian Ilmu Penyakit THT yang
juga merupakan syarat kelulusan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak
hidung (hip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus
frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan tepi
anterior kartilago septum.6
Gambar 1. Anatomi Hidung Luar4
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan bagian belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.6
4
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding
medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi.
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.6
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Di antara konka-konka dan
dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung
dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior.
Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila
dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara
konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.6
Gambar 2. Rongga hidung4
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
5
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os
etmoid, tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior,
atap rongga hidung dibentuk oleh os etmoid.6
2.1.1 Vaskularisasi hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat vaskularisasi dari a. etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat vaskularisasi dari cabang a. maksilaris
interna. Bagian depan hidung mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a.
fasialis.6
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang
disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.6
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus
kavernosus.7
Gambar 3. Vaskularisasi hidung7
6
2.1.2 Inervasi hidung
Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung
bagian luar. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari n. etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal
dari n. oftalmika ( N.V-1 ). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. Terdapat 2
macam saraf otonom yaitu :7
a) Saraf post ganglion saraf simpatis (adrenergik). Saraf simpatis
meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – 3, berjalan ke atas dan
mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut post
sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan kemudian sebagai n.
petrosus profundus bergabung dengan serabut saraf parasimpatis yaitu n.
petrosus superfisialis mayor membentuk n. vidianus yang berjalan di
dalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis di dalam
ganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang palatina
mayor ke pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf simpatis secara
dominan mempunyai peranan penting terhadap sistem vaskuler hidung dan
sangat sedikit mempengaruhi kelenjar.
b) Serabut saraf preganglion parasimpatis (kolinergik). Berasal dari ganglion
genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus salivatorius superior di
medula oblongata. Sebagian n. pterosus superfisialis mayor berjalan
menuju ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsis didalam ganglion
tersebut. Serabut-serabut post ganglion menyebar menuju mukosa hidung.
Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadap jaringan kelenjar yang
menyebabkan sekresi hidung yang encer dan vasodilatasi jaringan erektil.
Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan impuls sekretomotorik /
parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang
sedangkan sensasi hidung tidak akan terganggu.
7
Gambar 4. Persarafan hidung7
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.7
2.1.3 Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu
(mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga
hidung dan permukaan-permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu
(pseudo stratified columnar epithelium) yang mempunyai silia dan diantaranya
terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya
lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa.8
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut
lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat
pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia
yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri
dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
8
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan
obat-obatan.8
Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung
pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada
mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang
lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal.
Arteriol ini memberikan perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan sub-
epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka rongga sinusoid vena
yang besar dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian
ujungnya, sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan
mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan
susunan demikian mukosa hidung menyerupai suatu jaringan kavernosus yang
erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi
pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom. Pada bagian bawah, mukosa
melekat erat pada periostium atau perikondrium.8
2.1.4 Fisiologi hidung
2.1.4.1 Jalan napas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk
melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi.
Akan tetapi, di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melalui nares
anterior dan sebagian lagi kembali ke belakang membentuk pusaran dan
bergabung dengan aliran dari nasofaring.8
2.1.4.2 Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara
mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu. Fungsi hidung untuk mengatur
kelembaban udara dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket). Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebaliknya. Fungsi hidung
9
untuk mengatur suhu dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga dapat
berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung
kurang lebih 370 Celcius.8
2.1.4.3 Penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh: 8
a) Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi.
b) Silia.
c) Palut lendir (mukous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerekan silia.
d) Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri yang disebut
lysozyme.
2.1.4.4 Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik napas dengan kuat.8
2.1.4.5 Resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).8
2.1.4.6 Proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata-kata dibentuk oleh
lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng)
rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran
udara.8
2.1.4.7 Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Contoh: iritasi mukosa hidung
10
menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.8
2.2 RHINITIS ALERGI
2.2.1 Definisi
Rhinitis alergi menurut Von Pirquet (1986) adalah penyakit inflamasi yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.6
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on
Asthma) tahun 2008 adalah inflamasi pada hidung yang ditandai dengan gejala-
gejala meliputi rinore, bersin, hidung tersumbat dan atau rasa gatal pada hidung
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.2
2.2.2 Epidemiologi
Populasi penderita rhinitis alergi di dunia terus menerus meningkat dari
waktu ke waktu. Di seluruh dunia populasi penderita rhinitis alergi mencapai 10-
25 %, sehingga sampai saat ini masih merupakan penyakit yang mendapat
perhatian khusus para penyelenggara kesehatan termasuk di negara tropis seperti
Indonesia.8
Penelitian epidemiologis yang dilakukan WHO tahun 2000 di Amerika
Utara dan Eropa Barat, menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir terjadi
peningkatan prevalensi penyakit rhinitis alergi dari 13-16 % menjadi 23-28 %. Di
Eropa Barat, menunjukkan pada anak usia sekolah, prevalensi rhinitis alergi
meningkat dua kali lipat. Di USA, prevalensi rhinitis alergi musiman dan perenial
mencapai 14,2 %, tertinggi pada usia 18-34 tahun dan 35-49 tahun.8
Di Indonesia, angka kejadian rhinitis alergi yang pasti belum diketahui
karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi
rhinitis alergi di Jakarta (1990) besarnya sekitar 20 %, sedangkan Hadi Sudrajad
(2003) di RSUP Dr. Kariadi Semarang, melaporkan penderita rhinitis alergi usia
11-20 tahun sebesar 28,5%, di usia 21-30 tahun sebanyak 35,7%, dan sebesar
19,6% berusia 31-40 tahun. Rhinitis alergi dapat mengenai laki-laki maupun
11
perempuan dari semua golongan umur, tetapi biasanya mulai timbul pada anak
dan dewasa muda. Timbulnya gejala pada sebagian besar penderita rhinitis alergi
terjadi di usia 10-40 tahun.4,8
2.2.3 Etiologi
Penyebab penyakit rhinitis alergi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
spesifik dan non spesifik.
2.2.3.1 Penyebab spesifik
Yang paling berperan adalah alergen hirupan (inhalan). Alergen inhalan
merupakan alergen yang sering ditemukan dan sangat penting dalam kelompok
alergen. Alergen inhalan biasanya dibagi ke dalam 2 jenis berdasarkan
kemampuan hidup lingkungannya, yaitu perennial dan seasonal.8
1. Alergen perennial. Ada sepanjang tahun dan sulit dihindari, contoh:8
a) Debu rumah. Alergen udara dengan ukuran partikel > 10 µm dapat
mengendap dengan cepat pada seprei dan sarung furniture, dan sering
terdapat pada ruang tertutup.
b) Tungau. Komponen alergi tersering adalah kotoran tungau debu rumah D.
pteronyssimus dan D. farinae.
c) Serpihan kulit binatang. Antigen Fel D1 diproduksi pada kelenjar sebasea
kulit dan terdapat pada serpihan kulit kucing.
d) Jamur. Berkembang dengan baik pada daerah yang lembab baik di dalam
maupun luar ruangan. Penyebab tersering adalah Aspergillus, Pullularia,
Hormodendrum dan Penicillium.
e) Kecoa. Beberapa dekade terakhir peran kecoa terhadap sumber alergen
inhalan sangat penting. Alergen berasal dari sekresi serangga, terdapat
pada badan dan sayap.
2. Alergen seasonal, biasanya dari serbuk sari tanaman.
12
Gambar 5. Penyebab spesifik rhinitis alergi8
2.2.3.2 Penyebab nonspesifik, yaitu:8
a) Iklim. Udara lembab, perubahan suhu, angin. Iklim ini secara tidak
langsung berpengaruh terhadap penyebaran debu rumah dan tepung sari
bunga, disamping memberi suasana yang baik untuk tumbuhnya berbagai
jamur.
b) Hormonal. Wanita yang mempunyai bakat alergi dapat kambuh gejala
alerginya kalau sedang hamil, karena minum pil KB, atau menderita
hipertiroid.
c) Psikis. Meningkatnya emosi dan ketegangan jiwa pada orang yang
berbakat alergi memudahkan kambuhnya manifestasi alergi.
d) Infeksi. Infeksi memudahkan kambuhnya alergi, demikian juga
sebaliknya.
e) Iritasi. Rangsangan tertentu dapat pula menyebabkan kambuhnya alergi
misalnya: asap rokok, bahan-bahan polusi.
f) Genetik. Tak diragukan lagi besarnya faktor genetik terhadap penyakit
alergi, karena banyak penderita berasal dari keluarga yang juga menderita
penyakit alergi. Resiko untuk menderita penyakit alergi adalah sebanyak
30 % bila satu orang tua yang atopi dan lebih dari 30 % bila kedua orang
tua atopi.
2.2.4 Patofisiologi
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
13
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.6
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.6
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E
(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE
di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6), GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).6
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
14
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).6
Gambar 6. Mekanisme alergi
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major
Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi.6
2.2.5 Gambaran histologik
15
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Di luar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus
(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang
ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga
tampak mukosa hidung menebal.6
2.2.6 Klasifikasi
Gell dan Coombs mengklasifikasikan menjadi 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:6,9
a. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari
(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau
rinokonjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan
mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
b. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial).
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa
variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling
sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.
Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar
rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak – anak
dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan
pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih ringan
dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.
Karena klasifikasi di atas dianggap tidak memuaskan didasarkan atas
beberapa kenyataan sebagai berikut:9
1. Ada beberapa daerah dimana pollen dan mould terdapat sepanjang tahun.
16
2. Gejala rhinitis alergi perennial tidak terjadi sepanjang tahun.
3. Kebanyakan penderita tersensitisasi terhadap banyak alergen yang berbeda,
oleh karena itu gejalanya dapat terjadi sepanjang tahun.
4. Pada sebagian kasus rhinitis perennial mengalami eksaserbasi ketika
terpapar pollen.
5. Banyak penderita alergi terhadap pollen juga alergi terhadap mite.
6. Karena efek priming pada mukosa hidung oleh pollen konsentrasi rendah
dan inflamasi minimal persiten pada penderita rhinitis, gejala tidak secara
strick berhubungan dengan musim.
Oleh karena itu berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :6
1. Intermiten (kadang-kadang):
a. Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
b. Kurang dari 4 minggu setiap kambuh.
2. Persisten/menetap:
a. Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau
b. Lebih dari 4 minggu setiap kambuh.
Sedangkan untuk tingkat keparahan dan kualitas hidup, rhinitis alergi
dibagi menjadi:6
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas:
a. Gangguan tidur
b. Gangguan aktivitas harian, kesenangan atau olahraga
c. Gangguan pada sekolah atau pekerjaan
d. Gejala yang mengganggu
17
Gambar 7. Klasifikasi Rhinitis Alergika Menurut WHO-ARIA 200110
18
IntermittentGejala :
<4 hari / mingguAtau <4 minggu
PersistentGejala :
>4 hari / minggudan >4 minggu
RinganTidur normalaktivitas sehari-hari normal, saat olah raga dan santai normalsaat kerja dan sekolah normaltidak ada keluhan yang mengganggu
Sedang-BeratSatu atau lebih :
tidur tergangguaktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai terganggugangguan saat kerja dan sekolahkeluhan yang mengganggu
2.2.7 Diagnosis
Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
a. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis
saja. Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata
keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada
anak. Kadang-kadang keluhan tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-
satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.9
Evaluasi yang baik meliputi onset dan lamanya gejala, adanya keterkaitan
dengan musim atau waktu tertentu, respon terhadap pengobatan, terpapar dengan
alergen, dan keterkaitan dengan lingkungan. Perlu ditanyakan pola gejala (hilang
timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi
karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rhinitis alergi,
respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rhinitis alergi
dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti
bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih
dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan
positif.9
Anamnesis yang dianjurkan untuk mendiagnosis rhinitis :9
Gejala : durasi, waktu timbulnya efek setelah pajanan, efek terhadap
kehidupan sehari-hari,
Faktor Pencetus
Lingkungan ; rumah, tempat kerja, sekolah, dan lain lain
Riwayat alergi yang lain (asma, eksema, konjungtivitis)
Riwayat pengobatan, trauma, dan terapi yang sedang dijalani saat ini
Riwayat makanan
Riwayat keluarga, termasuk penyakit alergi
Gejala sistem lain
19
b. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic
shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder
akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu
berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul
akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute).
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat
atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga
dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala
hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau
penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.6
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas yang
ada.11,12,13
1. Uji kulit
Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua macam tes
kulit yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal berupa tes
kulit gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes kulit tusuk (skin
prick test). Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran tunggal (single dilution)
dan pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration – SET). SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain
dapat mengetahui alergen penyebab, juga dapat menentukan derajat alergi serta
dosis inisial untuk imunoterapi. Selain itu, dapat pula dilakukan tes provokasi
hidung dengan memberikan alergen langsung ke mukosa hidung. Untuk alergi
makanan, dapat pula dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau Intracutaneous
Provocative Food Test (IPFT).14
2. IgE serum total.
Kadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rhinitis alergi dan
75% penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan rhinitis alergi. Kadar
dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan menurun pada
20
imunodefisiensi. Pemeriksaan ini masih dipakai sebagai pemeriksaan penyaring
tetapi tidak untuk diagnostik.14
3. IgE serum spesifik.
Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang diagnosis
rhinitis alergi seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan hasil negatif tapi dengan
gejala klinis yang positif. Sejak ditemukan teknik RAST (Radioallergosorbent
test) pada tahun 1967, teknik pemeriksaan IgE serum spesifik disempurnakan dan
komputerisasi sehingga pemeriksaan menjadi lebih efektif dan sensitif tanpa
kehilangan spesifisitasnya, seperti Phadebas RAST, Modified RAST, Pharmacia
CAP system dan lain-lain. Waktu pemeriksaan lebih singkat dari 2-3 hari menjadi
kurang dari 3 jam saja.14
4. Pemeriksaan sitologis atau histologis
Bila diperlukan untuk menindaklanjuti respon terhadap terapi atau melihat
perubahan morfologik dari mukosa hidung.14
5. Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test).
Dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rhinitis
alergi, dimana riwayat rhinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu negatif.14
6. Foto polos sinus paranasal/CT Scan/MRI.
Dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal, seperti adakah
komplikasi rinosinusitis, menilai respon terhadap terapi dan jika direncanakan
tindakan operasi.14
2.2.8 Diagnosis banding
Membedakan rhinitis alergi dengan jenis rhinitis yang lain dapat menjadi
susah karena kriteria diagnosis terhadap berbagai bentuk dari rhinitis tidak begitu
jelas, penentuan diagnosis yang tepat sangat diperlukan karena terapi yang efektif
bagi rhinitis alergi (misalkan antihistamin dan kortikosteroid nasal) kemungkinan
kurang efektif terhadap tipe rhinitis yang lain.6,15
21
Gambar 8. Algoritma Diagnosis Rhinitis Alergi dengan
Rhinitis non Alergi (WHO-ARIA 2008)2
a. Rhinitis simpleks
Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan pada
manusia. Sering disebut juga sebagai salesma, common cold, flu. Penyebabnya
ialah beberapa jenis virus dan yang paling penting ialah rhinovirus. Virus – virus
lainnya adalah myxovirus, virus Coxsackie, dan virus ECHO. Penyakit ini sangat
menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan, atau
menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya penyakit menahun,
dll). 6,15
Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa
panas, kering dan gatal di dalam hidung. Kemudian akan timbul bersin berulang –
ulang, hidung tersumbat dan ingus encer, yang biasanya disertai dengan demam
dan nyeri kepala. Mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Bila terjadi
infeksi sekunder bakteri, ingus menjadi mukopurulen. 6,15
Tidak ada terapi spesifik untuk rhinitis simpleks, selain istirahat dan
pemberian obat simtomatis seperti analgetika, antipiretika, dan dekongestan.
Antibiotika hanya diberikan bila terdapat infeksi sekunder oleh bakteri. 6,15
b. Rhinitis vasomotor
22
Adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi,
alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat
(kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal
hidung dekongestan). Rhinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya
alergi/allergen spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang
sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibody IgE spesifik serum). Kelainan
ini disebut juga vasomotor catarrhalis, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor
instability, atau juga non-allergic perennial Rhinitis.9
Gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan non-spesifik seperti
asap/rokok, bau menyengat (parfum), minuman beralkohol, makanan pedas, udara
dingin, pendingin dan pemanas ruangan, perubahan kelembaban, perubahan suhu
luar, kelelahan dan stress/emosi. Pada keadaan normal, faktor-faktor tadi tidak
dirasakan sebagai gangguan.9
Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi, namun
gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan,
tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa.
Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata. Gejala dapat memburuk pada pagi
hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara
lembab, juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. Berdasarkan gejala yang
menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3 golongan, yaitu: 9
1) golongan bersin / sneezers, gejala biasanya memberikan respon yang baik
dengan terapi antihistamin dan glukokortikoid topikal.
2) golongan rinore / runners, gejala dapat diatasi dengan pemberian
antikolinergik topikal.
3) golongan tersumbat / blockers, kongesti umumnya memberikan respon baik
dengan terapi glukokortikoid topical dan vasokonstriktor oral.
Tabel 1. Perbedaan rhinitis alergi dan rhinitis vasomotor
Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor
Mulai Serangan belasan tahun dekade 3 – 4
Paparn alergen riwayat terpapar alergen (+) riwayat terpapar alergen (+)
Etiologi reaksi Ag-Ab terhadap reaksi neurovaskuler terhadap
23
rangsangan spesifik beberapa rangsangan mekanis
atau kimia, juga faktor
psikologis
Gatal & Bersin menonjol tidak menonjol
Gatal di mata sering dijumpai tidak dijumpai
Tes kulit (+) (-)
Sekret hidung peningkatan eosinofil eosinofil tidak meningkat
Eosinofil darah meningkat Normal
Ig E darah meningkat tidak meningkat
Neurektomi n.
Vidianus
tidak membantu membantu
c. Rhinitis Medikamentosa
Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan
respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokontriktor
topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan,
sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikatakan bahwa
hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (druge abuse). 6
Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus-menerus dan berair. Pada
pemeriksaan tampak adanya edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang
berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang.6
2.2.9 Penatalaksanaan
Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia seperti histamin yang
dilepaskan oleh sel mast yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE
spesifik yang melekat pada reseptornya di permukaan sel tersebut. Tujuan
pengobatan rhinitis alergi adalah:11,12
1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan
inflamasi.
2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas
sehari-hari.
3. Mengurangi efek samping pengobatan.
24
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan
terhadap penyakitnya. Termasuk dalam hal ini mengubah gaya hidup seperti
pola makanan yang bergizi, olahraga dan menghindari stres.
5. Mengubah jalannya penyakit atau pengobatan kausal.
A. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
Prinsip penatalaksanaan rhinitis dan asma hampir sama yaitu terdiri dari
pendidikan keluarga, penghindaran (avoidance) terhadap pencetus, dan
medikamentosa. Dalam hal pendidikan dan penghindaran terhadap pencetus dapat
dikatakan sama aplikasinya baik pada rhinitis maupun asma. Kedua hal tersebut
berlaku baik pada rhinitis tipe intermiten maupun persisten demikian pula pada
klasifikasi asma yaitu asma episosdik jarang, episodik sering, dan asma persisten.
Kedua cara di atas mudah untuk dikatakan namun sangat sulit untuk
dilaksanakan.6,16
Pendidikan pasien dan keluarga
Pasien (bila memungkinkan) dan keluarga harus mendapat penjelasan
yang memadai mengenai penyakit yang diderita baik rhinitis alergika maupun
asma. Mereka harus mengetahui apa yang dimaksud dengan rhinitis atau asma,
gejalanya, faktor risiko atau pencetus, kapan harus mencari pertolongan,
tatalaksana dan prognosis penyakitnya. Hal ini penting untuk tatalaksana jangka
panjang. Pasien atau keluarganya mengetahui cara penghindaran, cara
menggunakan obat dsb. 6,15
Avoidance terhadap pencetus
Telah banyak diketahui bahwa gejala rintis alergika maupun asma akan
timbul bila ada faktor pencetusnya. Beberapa faktor pencetus yang dapat
diidentifikasikan adalah polen, debu rumah, bulu binatang, asap rokok, makanan
yang mengandung zat pewarna, zat pengawet, maupun stres atau faktor emosi.
Dengan mengetahui faktor pencetus dan upaya untuk menghindarinya, maka
tatalaksana rhinitis dapat lebih baik. Namun sekali lagi perlu diingatkan bahwa hal
ini mudah untuk diterangkan, namun sangat sulit dilaksanakan.16
25
B. Simtomatis
1. Medikamentosa
Pada rhinitis alergika dikenal beberapa macam obat yang sering digunakan
yaitu H-1 antihistamin, dekongestan, kromolin, dan kortikosteroid.
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rhinitis
alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin
generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak
(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.6
Golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral
dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian
secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya
rhinitis medikamentosa. 6
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung
akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Saat ini
kortikosteroid merupakan pengobatan lini pertama (first-line treatment) untuk
rhinitis alergika. Mekanismenya adalah menghambat sekresi sitokin dan infiltrasi
sel-sel yang berperan dalam proses inflamasi seperti eosinofil dan netrofil.
Penggunaan kortikosteroid pada rhinitis ada dalam 2 bentuk yaitu oral dan spray
(intranasal). Penggunaan dalam bentuk oral cukup efektif tetapi pada anak harus
berhati-hati karena efek samping yang mungkin timbul. Telah lama diketahui
bahwa penggunaan kortikosteroid oral yang lama akan menyebabkan gangguan
tumbuh kembang pada anak. Hal inilah yang perlu dipertimbangkan dalam
pemberian oral, sehingga penggunaannya harus selektif. Penggunaannya masih
diperbolehkan apabila serangannya cukup berat sehingga pemberian intranasal
tidak memadai. 6,16
Kortikosteroid intranasal mempunyai peran yang cukup baik pada
pengobatan rhinitis alergika. Ada 2 efek kortikosteroid intranasal yaitu
26
menurunkan pelepasan sel mediator inflamasi dan diminishing inflammatory cell
inflow yang akan mengurangi hiperesponsif bronkus. Dalam hal mengendalikan
kongesti nasal, dan penurunan produksi mukus, kortikosteroid intranasal lebih
baik dibandingkan dengan antihistamin, dekongestan, dan kromolin. Penggunaan
kortikosteroid intranasal yang lama tidak menyebabkan gangguan pertumbuhan
karena diberikan dalam dosis yang sangat kecil. Efek samping lokal pada
pemberian intranasal pernah dilaporkan yaitu epistaksis, rasa terbakar di hidung,
dan gatal. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa,
budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). 16
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel
efektor. Ipratropium bromida intranasal dalam bentuk larutan 0,03% merupakan
suatu agen antikolinergik yang cukup efektif dalam mengurangi sekresi hidung,
tetapi tidak signifikan terhadap gejala hidung yang lain. Pemberian preparat ini
sangat membantu bila rinore tidak dapat dikurangi dengan kortikosteroid topikal
dan/atau antihistamin. Selain itu, dapat pula diberikan pada pasien yang
mengalami rinore akut dengan sebab yang jelas sebagai profilaksis. Efek samping
yang sering timbul yaitu iritasi hidung, timbulnya krusta dan epistaksis ringan. 17
Sodium Kromoglikat. Sediaan sodium kromoglikat intranasal sudah
tersebar penggunaannya dalam terapi rhinitis alergi. Biasanya kurang efektif bila
dibandingkan dengan antihistamin atau kortikosteroid. Pemberian optimal 4-6 kali
sehari. Idealnya, obat ini diberikan sebelum gejala mayor timbul karena cara
kerjanya sebagai stabilisator sel mast. Jika diberikan 4 kali sehari, obat ini sama
efektif dengan antihistamin dalam mengurangi bersin, rinore dan gatal pada
hidung. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai profilaksis akut sebelum terpapar
dengan alergen yang sudah diketahui. 17
Leukotriene Modifier. Golongan obat ini merupakan antagonis reseptor
leukotrien. Pengaruhnya terhadap gejala rhinitis yaitu dengan dihambatnya
produksi leukotrien dapat mengurangi gejala, terutama sumbatan hidung, karena
diduga leukotrien berperan dalam menyebabkan sumbatan hidung pada rhinitis
alergi. Akan tetapi, obat ini bukan merupakan pilihan utama untuk rhinitis. 17
27
Resep-resep obat ini fungsinya memblokir produksi leukotreina, yaitu
bahan kimia pembentuk radang yang diproduksi oleh tubuh. Pemakaiannya cukup
sekali sehari dan tidak menyebabkan kantuk, sekaligus juga bisa digunakan untuk
mengobati asma karena alergi. Contoh obat-obat demikian ini antara lain
montelukast (Singulair®), zafirlukast (Accolate®), dan Cromolyn natrium
(NasalCrom®). Obat semprot hidung tanpa resep ini mencegah pelepasan
histamin dan membantu meringankan pembengkakan dan hidung meler. Hal ini
paling efektif bila digunakan sebelum gejala mulai muncul mulai gejala dan
mungkin perlu digunakan beberapa kali sehari. 9, 17
ARIA merekomendasikan penggunaan obat-obatan pada rhinitis sebagai
berikut: 16
a. Rhinitis intermiten, gejala ringan: H1- antihistamin oral
b. Rhinitis intermitent, gejala sedang-berat: intranasal kortikosteroid. Jika
dibutuhkan setelah pengobatan 1 minggu dapat diberikan H-1 antihistamin
oral dan atau kortikosteroid oral jangka pendek (short course)
c. Rhinitis persisten, gejala ringan: H-1 antihistamin oral atau dosis rendah
kortikosteroid intranasal
d. Rhinitis persisten, gejala sedang-berat: Kortikosteroid intranasal. Jika
gejala berat tambahkan H1 -antihistamin oral dan atau kortikosteroid oral
short-course.
Secara garis besar dalam menentukan jenis kortikosteroid intranasal perlu
dipertimbangkan efektifitas, bioavailabilitas, efek samping, dan faktor harga.
Selain hal di atas, ARIA merekomendasikan bila terdapat gejala pada mata
(keterlibatan pada mata) maka dapat dianjurkan pemberian H-1 bloker
oral/intraokuler, atau kromolin intraokuler.
b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan
cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau trikloro asetat. 6
c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi
dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan
28
yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum
memuaskan.6
Gambar 9. Algoritma Penatalaksanaan Rhinitis Alergi (WHO-ARIA 2008)2
2.2.10 Pencegahan
Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:14
a. Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini
terhadap alergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang
mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil diberikan diet restriksi (tanpa susu,
ikan laut, dan kacang) mulai trimester 3 dan selama menyusui, dan bayi
mendapat ASI eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol lingkungan
dilakukan untuk mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan.
b. Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak
berupa asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi
tahap awal berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan
29
dengan penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang
dapat diketahui dengan uji kulit.
c. Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya
penyakit alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan.
Ada 3 hal utama dalam tindakan pencegahan terjadinya alergi yaitu: 9,18
1. Penghindaran
Tindakan penghindaran akan berhasil bila penyebab/ pencetus terjadinya
alergi diketahui. Salah satu cara untuk mengetahui pencetus alergi ialah dengan
melakukan uji kulit (tes alergi) disamping hasil pengamatan yang cermat sehari-
hari oleh orang tua penderita. Dari hasil pemeriksaan test alergi dapat diketahui
zat-zat yang menimbulkan alergi . Beberapa zat terutama makanan kadang-kadang
tidak ada hubungan yang jelas antara hasil test dengan gejala alergi. Hal ini
disebabkan anak yang mempunyai alergi terhadap makanan belum tentu karena
alergi terhadap makanan itu sendiri, akan tetapi alergi terhadap zat-zat hasil
pemecahan/ metabolisme makanan dalam tubuh. Selain test alergi pada kulit, Juga
dapat dilakukan pemeriksaan kadar imunoglobulin E yang spesifik dalam darah
terhadap zat-zat tertentu yang dicurigai menimbulkan alergi.
2. Cara hidup yang baik
Cara hidup yang baik perlu diperhatikan pada pendenita alergi yaitu cukup
istirahat, olahraga teratur, disiplin dalam diet yang ditetapkan serta hidup dalam
lingkungan dengan zat allergen yang minimal.
3. Pemakaian obat-obatan
Obat-obatan pencegahan diberikan pada penderita alergi yang kronis/berat
atau yang sering kambuh. Pemberian imunoterapi/desensitisasi (pengebalan
terhadap alergen) hanya berhasil bila penderita hanya mempunyai alergi terhadap
satu zat saja. Ibu hamil yang mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya
sebaiknya melakukan diet pencegahan terhadap makanan yang sering
menimbulken alergi untuk mencegah terjadinya reaksi alergi pada bayi yang
dilahirkan. Diet ini dilakukan pada akhir tniwulan kehamilan.
2.2.11 Prognosis
30
Gejala rhinitis alergi dapat ditangani dengan baik. Pada beberapa kasus
(terutama pada anak-anak) seiring dengan pertumbuhan, sistem imun menjadi
kurang sensitif terhadap alergen. Meskipun, umumnya suatu substansi yang
menyebabkan alergi pada seseorang, dapat terus mempengaruhi dalam waktu
yang lama. Beberapa kasus rhinitis alergi yang parah membutuhkan imunoterapi
atau tindakan operatif untuk pada jaringan di dalam hidung atau sinus. 9
BAB III
LAPORAN KASUS
31
3.1. ANAMNESIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Selasa, 25 Maret 2013
di Poliklinik THT RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Sumber anamnesis :
autoanamnesis.
Identitas Pasien
Nama : Tn. RK
Jenis kelamin : laki-laki
Umur : 15 tahun
Alamat : Perum Sambutan Idaman Permai
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Keluhan Utama:
Hidung tersumbat
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan hidung sebelah kiri tersumbat sejak 2 hari yang lalu.
Sebelumnya pasien mengeluhkan bersin-bersin disertai keluarnya cairan putih
encer dari kedua lubang hidungnya sejak 2 hari yang lalu. Keluhan juga disertai
rasa nyeri di bawah mata sebelah kiri dan mata kiri sering berair, dirasakan hanya
jika hidung tersumbat. Keluhan tersebut dialami setelah pasien terpapar oleh debu
saat membersihkan rumah. Keluhan tersebut telah sering terjadi dan terus
berulang jika pasien terkena debu rumah, maupun udara dingin. Pasien juga
merasakan hidungnya terasa gatal dan terus menerus bersin. Pasien tidak
mengeluhkan adanya demam maupun nyeri kepala. Pasien masih dapat mencium
bau-bauan dengan baik. Pasien tidak merasa ada waktu khusus dimana keluhan
cenderung lebih sering muncul (pagi atau sore hari). Pasien tidak mengeluhkan
seperti mencium bau busuk. Pasien tidak mengeluhkan adanya batuk sebelumnya.
Pasien tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan sebelumnya.
32
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien sering mengalami keluhan serupa sejak kecil jika terpapar debu dan
udara dingin.
- Tidak ada riwayat alergi makanan maupun riwayat asma sebelumnya.
- Riwayat merokok tidak ada.
- Riwayat penggunaan obat-obatan tetes hidung dalam jangka waktu lama tidak
ada.
Riwayat Penyakit Keluarga
- Ayah pasien memiliki riwayat asma.
- Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan serupa sebelumnya.
3.2. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Sakit : Tampak sakit sedang
Tanda Vital
Nadi : 84 x/menit
Pernafasan : 20x /menit, reguler
Status generalisata :
Kepala-leher : konjungktiva anemis (-/-), pembesaran KGB
preaurikuler/parotis/submandibula (-).
Pemeriksaan thorax, abdomen dan extremitas tidak dilakukan.
Status Lokalis THT:
Hidung
- Inspeksi : tidak tampak deformitas, kulit hiperemi (-), edema (-), area sinus
paranasal hiperemi (-), edema (-). Pada nares hiperemi (-), maserasi (-), krusta
(-), sekret (-).
- Palpasi : patensi jalan nafas (+), nyeri tekan regio nasal (-), nyeri tekan
area sinus paranasal (-)
33
- Lain-lain : uji aliran udara uap pada hidung kanan lebih sedikit dibanding
hidung kiri.
- Rinoskopi anterior:
Tabel 1. Hasil pemeriksaan rinoskopi anterior.
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Mukosa hidung Pucat Pucat
Septum nasi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Konka inferior Ukuran normal, warna
pucat
Membesar, warna pucat
Konka media Ukuran normal, warna
pucat
Membesar, warna pucat
Meatus inferior Sekret (+) serous Sekret (+) serous
Meatus media Sekret (-), masa (-) Sekret (-), masa (-)
Fenomena palatum molle (+) (+)
Telinga
Tabel 2. Hasil pemeriksaan fisik telinga.
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Preaurikuler Fistula (-), abses (-),
hiperemi (-)
Fistula (-), abses (-),
hiperemi (-)
Aurikula Deformitas (-),
hiperemi (-), edema (-)
Deformitas (-),
hiperemi (-), edema (-)
Palpasi Nyeri tekan tragus (-),
nyeri pergerakan aurikula
(-), nyeri tekan mastoid
(-)
Nyeri tekan tragus (-),
nyeri pergerakan aurikula
(-), nyeri tekan mastoid
(-)
Meatus Akustikus
Eksternus
Hiperemi (-), edema (-),
sekret (-), jaringan
granulasi (-), cerumen (+)
Hiperemi (-), edema (-),
sekret (-), jaringan
granulasi (-), cerumen (+)
Membran timpani Intak, warna putih,
refleks cahaya (+) arah
Intak, warna putih,
refleks cahaya (+) arah
34
jam 5 jam 7
Tenggorok
- Mukosa bukal hiperemi (-), aphtae (-). Ginggiva hiperemi (-), edema (-). Gigi
caries (-), nyeri tekan (-)
- Lidah hiperemi (-), aphtae (-), tonsila lingualis tidak membesar, hiperemi (-)
- Arcus faring hiperemi (-), edema (-), parese (-). Dinding faring posterior
hiperemi (-), granulasi (-).Uvula hiperemi (-), edema (-), parese (-).
- Tonsila palatina T1-T1, hiperemi (-), kripte melebar (-), detritus (-)
3.3 DIAGNOSIS KERJA
Rhinitis alergi
3.4 DIAGNOSIS BANDING
Rhinitis vasomotor
Rhinitis simpleks
3.5 PENATALAKSANAAN
Planning diagnostik :
o Pemeriksaan sitologi sekret hidung
o Hitung eosinofil darah tepi
o Pengukuran kadar IgE serum
o Tes alergi (Prick test, Skin End-point Titration)
Planning terapeutik:
o Ephedrine tablet 3 x 25 mg
o Loratadine 2 x 10 mg
Planning edukasi:
o Edukasi pasien untuk mencari faktor pencetus alergi dan menghindari
faktor pencetus tersebut.
Planning monitoring:
35
o Kontrol kembali dalam 3 hari untuk melihat hasil pengobatan, keluhan,
tanda komplikasi
o Obyektif: keluhan hidung tersumbat, hidung meler, nyeri di bawah
mata.
o Subyektif: tes aliran udara, rinoskopi anterior
o Tanda komplikasi: napas berbau, nyeri tekan area sinus
3.5 PROGNOSIS
Ad vitam: bonam
Ad functionam: dubia ad bonam
36
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki usia 15 tahun datang dengan keluhan hidung tersumbat
sebelah kiri, disertai bersin-bersin, keluar cairan putih bening dari kedua hidung,
serta rasa nyeri dibawah mata kanan dan mata yang berair. Keluhan ini bersifat
intermiten, dengan riwayat alergi pada pasien berupa debu dan udara dingin serta
riwayat asma pada keluarga. Dari anamnesis dapat disingkirkan kemungkinan
suatu sinusitis paranasal dan adanya masa dalam cavum nasi, serta didapatkan
diagnosis kerja berupa rhinitis alergi. Ketidakmampuan pasien untuk dengan jelas
menggambarkan hubungan waktu dan paparan alergen membuka kemungkinan
diagnosis diferensial berupa rhinitis vasomotor dan rhinitis simpleks.
Tabel 4. Diagnosis diferensial berdasarkan anamnesis.
Rhinitis alergi Rhinitis vasomotor Rhinitis simpleks
- Hidung tersumbat
- Hidung meler à encer,
bening
- Dicetuskan oleh
alergen tertentu
(makanan, udara
dingin, debu)
- Nyeri di bawah mata,
mata berair
- Sering berulang sejak
lama
- Riw. Alergi keluarga
(+)
- Riw.medikamentosa (-)
- Hidung tersumbat
- Hidung meler à
serous sampai
mukoid
- Jarang disertai gejala
mata
- Memburuk pada pagi
hari waktu bangun
tidur
- Riw.alergi pasien (-)
- Dicetuskan oleh
rangsangan non
spesifik (asap rokok,
bau menyengat,
makanan, udara
- Hidung tersumbat
- Hidung meler à
encer
- Rasa panas, kering,
dan gatal dapa
hidung
- Bersin berulang
- Disertai demam dan
nyeri kepala
37
dingin)
Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan. Pada rinoskopi anterior
didapatkan nasal sinistra konka inferior dan media yang membesar, dan berwarna
pucat. Konka pada nasal dextra tidak membesar, namun tampak pucat. Hal ini
sesuai dengan pemeriksaan fisik pada rhinitis alergi dimana konka cenderung
edematus dan berwarna pucat. Keluhan yang dominan dirasakan unilateral pada
sebelah kiri sesuai dengan temuan pada pemeriksaan fisik yaitu konka yang
berukuran lebih besar di hidung sebelah kiri.
Tabel 5. Diagnosis diferensial pemeriksaan fisik.
Rhinitis alergi Rhinitis vasomotor Rhinitis simpleks
- Mukosa edem, pucat,
konka membesar
- Sekret serous
- Mukosa edem,
hiperemis, konka
hipertrofi
- Sekret serous sampai
mukoid
- Post nasal drip pada
rinoskopi posterior
- Mukosa edem,
hiperemis
- Sekret serous sampai
mukopurulent
Untuk mendapatkan suatu diagnosis pasti maka terdapat beberapa
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan. Pemeriksaan sitologi sekret hidung
dapat membantu menunjang diagnosis. Hitung eosinofil seringkali normal, namun
dapat meningkat jika terdapat reaksi alergi pada lebih dari satu organ. Sedangkan
pemeriksaan radiologis bertujuan untuk mengetahui adanya hipertrofi dari konka
serta menilai derajat deviasi septum. Endoskopi nasal dapat dilakukan untuk
mengevaluasi adanya kelainan yang tidak dapat dievaluasi pada pemeriksaan
rinoskopi anterior.
Tabel 6. Pembahasan usulan pemeriksaan.
Usulan Pemeriksaan Literatur
38
- Sitologi sekret hidung
- Hitung eosinofil darah
tepi
- Tes alergi
- CT scan
- Eosinofil ↑ kemungkinan aeroalergen
- Me ↑ bila disertai reaksi alergi di tempat lain
- Untuk menentukan alergen penyebab, derajat alergi
dan dosis inisial untuk desensitisasi
- Proses radang, kelainan anatomi (deviasi septum),
masa abnormal, sumbatan kompleks osteomeatal
Pasien diberikan diagnosis kerja berupa rhinitis alergi, dan diberikan terapi
medikamentosa berupa dekongestan dan antihistamin generasi 2. Dekongestan
bertujuan untuk mengurangi keluhan hidung tersumbat. Antihistamin bertujuan
mengatasi reaksi alergi, meskipun memiliki efek relatif kecil atau tidak sama
sekali terhadap pengurangan kongesti nasal. Selanjutnya edukasi merupakan hal
yang penting. Menghindari hal-hal yang berpotensi memicu reaksi inflamasi pada
hidung merupakan penatalaksanaan utama pada rhinitis alergi. Selain itu pasien
dianjurkan membiasakan berolahraga rutin dan istirahat yang cukup.
Tabel 7. Pembahasan usulan penatalaksanaan.
Usulan Penatalaksanaan Literatur
- Avoidance dan eliminasi alergen
- Dekongestan: Efedrin 3 x 25mg
tablet
- Antihistamin: Loratadin 1 x 10mg
tablet
- Penatalaksanaan utama rhinitis
alergi adalah mengeliminasi dan
menghindari faktor alergen.
- Agonis adrenergik, bekerja pada
reseptor adrenergik, menyebabkan
vasokonstriksi sehingga mengurangi
kongesti hidung
- Antihistamin H1 generasi 2, bekerja
di perifer, efek sedasi <<, efektif
untuk RAFC, kurang/tidak efektif
untuk RAFL, dapat mengurangi
39
- Edukasi olahraga teratur, makan
cukup dan menghindari makanan
alergen, istirahat dan menghindari
stres.
nyeri kepala ringan-sedang
- Olahraga teratur dan menghindari
stres terbukti mengurangi angka
kekambuhan pasien dengan rhinitis
alergi.
40
BAB V
PENUTUP
Telah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien laki-laki
usia 15 tahun dengan keluhan utama rasa tersumbat pada hidung sebelah kiri. Dari
data medis yang diperoleh didapatkan diagnosis kerja berupa rhinitis alergi.
Diagnosis diferensial yang diajukan pada kasus ini adalah rhinitis vasomotor dan
rhinitis simpleks. Diperlukan penatalaksanaan diagnostik lebih lanjut untuk
menunjang diagnosis pasti pada pasien. Pasien diberikan terapi medikamentosa
berupa dekongestan dan antihistamin oral, serta edukasi untuk menghindari hal-
hal yang berpotensi menjadi alergen atau memicu inflamasi pada hidung.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Davila, Ignacio et all. 2009. Genetic Aspects of Allergic Rhinitis. Journal
Investigation of Allergol Clinical Immunology. Vol 19. p: 25-31
2. Bousquet, J. 2008. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2008
Update (in Collaboration with the World Health Organization, GA2LEN and
Allergen). Journal Compilation of Allergy. Vol 63. p: 8-160
3. Small, Peter and Harold Kim. 2011. Allergic Rhinitis. Allergy, Asthma &
Clinical Immunology Journal. Vol 7. p: 53
4. Pratiwi, Mey Fitriana. 2008. Hubungan Antara Riwayat Alergi Keluarga, Lama
Sakit dan Hasil Tes Kulit dengan Jenis dan Beratnya Rhinitis Alergi. Karya Tulis
Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
5. Wallace, Dana V and Mark S. Dykewicz. 2008. The Diagnosis and Management
of Rhinitis: An Update Practice Parameter. Journal of Allergy and Clinical
Immunology. Vol 122.p : 81-84
6. Soetjipto, Damayanti dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
hal:118-122, 128-132
7. Rambe, Andrina Yunita Murni. 2003. Rhinitis Vasomotor. Bagian Ilmu Penyakit
Telinga Hidung & Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
8. Lumbanraja, Patar L.H. 2007. Distribusi Allergen pada Penderita Rhinitis Alergi
di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan. Tesis. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara
9. Boru, Charles. 2008. Rhinitis Alergi. [online] Diakses tanggal 26 Maret 2013 dari
http://www.scribd.com/doc/90577417/Rhinitis-Alergika Charles#download
10. Sari IKCP. 2011. Hubungan Antara Riwayat Atopi Dengan Kejadian Rhinitis
Alergika Pada Anak. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
11. Cummings CW. Allergic Rhinitis. In: Cummings CW, Flint PW et al editors.
Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia: Elsevier;
2005. p: 351-63
12. Krouse JH. Allergic and Nonallergic Rhinitis. In: Bailey BJ, Johnson JT et al
editors. Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p: 351-63.
42
13. Fornadley JA. Skin Testing in the Diagnosis of Inhalant Allergy. In: Krouse JH,
Chadwick SJ, et al editors. Allergy and Immunology, an Otolaryngologic
Approach. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins; 2002. p: 114-23.
14. Tohar BA. 2007. Rhinitis Alergi. [online] Diakses tanggal 26 Maret 2013 dari
http://www.scribd.com/doc/24369014/Rhinitis-Alergi
15. Peter A. Hilger, M.D. Penyakit Hidung. BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi6.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1997. hal: 210
16. Continuing Profesional Development Dokter Indonesia. 2007. Rhinitis Alergika
dan Asma. [online] Diakses tanggal 26 Maret 2013 dari
http://cpddokter.com/home/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=152
17. Hasma. 2011. Tinjauan Pustaka Rhinitis Alergi. [online] Diakses tanggal 25
Maret 2013 dari http://www.scribd.com/doc/35932919/Tinjauan-Pustaka-
Rhinitis-Alergi-Hasma
18. IDAI. 2011. Alergi pada Anak. [online] Diakses tanggal 26 Maret 2013 dari
http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=199741315235
43