PRAKTIK BUDAYA RAJU DALAM PLURALITAS DOU MBAWA DI BIMA, NUSA TENGGARA BARAT
ABDUL WAHID 1090371029
NIM 1090371029
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2016
DISERTASI
DIAJUKAN UNTUK UJIAN
TERBUKA
ii
PRAKTIK BUDAYA RAJU DALAM PLURALITAS DOU MBAWA DI BIMA, NUSA TENGGARA BARAT
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
ABDUL WAHID 1090371029
NIM 1090371029
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2016
iii
LEMBAR PENGESAHAN
DISERTASI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 04 DESEMBER 2015
Promotor,
Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. NIP. 19520218 198003 1002
Kopromotor I, Prof. Dr. Aron Meko Mbete NIP. 194707231979031002 Ketua Program Doktor Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. NIP. 194807201978031001
Kopromotor II, Dr. I Gede Mudana, M.Si. NIP. 196412021990111001 Mengetahui: Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K). NIP. 195902151985102001
iv
Disertasi Ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 04 Desember 2015
Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
No.: 4036/UN.14.4/HK/2015, Tanggal 30 November 2015
Ketua: Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U
Anggota:
1. Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A
2. Prof. Dr. Aron Meko Mbete
3. Dr. I Gede Mudana, M.Si
4. Prof. Dr. I Made Suastika, S.U
5. Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt
6. Dr. Putu Sukardja, M.Si
7. Dr. I Wayan Gde Suacana, M.Si
v
PERNYATAAN KEASLIAN
Nama : Abdul Wahid
Nomor Induk Mahasiswa : 1090371029
Program Studi : Doktor (S3) Kajian Budaya
Judul Disertasi : Praktik Budaya Raju dalam Pluralitas Dou Mbawa
di Bima, Nusa Tenggara Barat
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi ini asli, bukan hasil plagiasi.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiasi dalam karya ilmiah ini, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun
2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 1 Februari 2016
Abdul Wahid
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, berkat Rahmat-Nya
disertasi dengan judul “Praktik Budaya Raju dalam Pluralitas Dou Mbawa di
Bima, Nusa Tenggara Barat” ini akhirnya selesai. Meski sempat terhenti dalam
jangka waktu lama (setahun lebih) karena kecelakaan yang menimpa penulis, pada
akhirnya disertasi ini bisa lahir, berkat dorongan, dukungan, dan keterlibatan
banyak pihak. Tanpa kontribusi mereka, mustahil kiranya pekerjaan ini bisa
diselesaikan.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan tak terhingga kepada
Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A selaku Promotor, yang dengan dedikasi keilmuan
dan tanggungjawab moral telah membimbing secara saksama sehingga disertasi
ini layak sebagaimana diharapkan. Hal yang sama disampaikan kepada Prof. Dr.
Aron Meko Mbete selaku Kopromotor I, yang tidak henti memberi dorongan dan
arahan yang begitu berarti dalam mengembalikan kekuatan untuk merampungkan
disertasi ini. Demikian pula kepada Dr. I Gede Mudana, M.Si selaku Kopromotor
II yang telah ikhlas menjadi teman diskusi yang hangat terutama dalam
internalisasi semangat Kajian Budaya, sehingga disertasi ini mendapatkan warna
Cultural Studies.
Terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Prof. Dr. A.A.
Bagus Wirawan, S.U dan Dr. Putu Sukardja, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris
Program Studi Doktor Kajian Budaya yang telah menyediakan fasilitas
pendidikan serta kelancaran akademik, juga motivasi dan semangat yang
vii
memungkinkan kerja penelitian ini berjalan sebagaimana mestinya. Ucapan yang
sama disampaikan kepada Direktur Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr.
dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), Asisten Direktur I, Prof. Dr. Made Budiarsa,
M.A, dan Asisten Direktur II, Prof. Dr. Made Sudiana Mahendra, Ph.D.
Kepemimpinan, fasilitas, dan kesempatan yang mereka berikan kepada penulis
sebagai karyasiswa Program Doktor pada Program Pascasarjana Universitas
Udayana begitu berarti. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada
Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama mengikuti dan
menyelesaikan Program Doktor di Universitas Udayana.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada para staf akademik Program
Studi S3 Kajian Budaya atas segala dedikasi, kehangatan, dan kekeluargaan
mereka dalam memberi pelayanan administrasi dan informasi selama proses
kuliah sampai proses penulisan disertasi ini. Mereka adalah Putu Sukaryawan, S.T,
Dra. Ni Luh Witari, Ni Wayan Ariyati, S.E, Cok Istri Murniati, S.E, A.A. Ayu
Indrawati, I Nyoman Chandra, Putu Hendrawan, Ketut Budi Arsa, Nyoman
Juliartini, dan Kadek Griya.
Terima kasih yang tidak terhingga kepada para penguji ujian Tertutup, yakni
Prof. Dr. I Made Suastika, S.U, Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U, Prof. Dr. I
Nyoman Darma Putra, M.Litt, Dr. Putu Sukardja, M.Si, dan Dr. I Wayan Gde
Suacana, M.Si yang telah memberikan sanggahan, informasi, dan saran dengan
teliti dan kritis dalam kelayakan disertasi ini.
viii
Penulis tidak lupa menyampaikan rasa hormat dan bakti kepada para dosen
yang telah memberi basis keilmuan bagi keterlibatan penulis dalam lapangan
Kajian Budaya. Mereka di antaranya Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A, Prof. Dr.
Aron Meko Mbete, Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A, Prof. Dr. I Gede Widja,
M.A, Prof. Dr. I Nengah Bawa Atmadja, M.A, Prof. Dr. I Made Suastika, S.U,
Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A, M.Phil, Prof. Dr. Irwan Abdullah, M.A,
Prof. Dr. Ir. Sulistyawati, M.S, Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H, M.H, Prof. Dr.
Emiliana Mariyah, M.S, Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum, Dr. Putu Sukardja, M.Si,
dan Dr. I Gede Mudana, M.Si, serta dosen lain yang telah memberikan
sumbangan pemikiran dan pemahaman yang kritis dan mendalam, khususnya
dalam aspek teori-teori kebudayaan kritis.
Terima kasih mendalam juga kepada para Indonesianis yang dari mereka
penulis banyak menyerap ilmu, etos dan disiplin akademik, serta kepada siapa
penulis banyak bertukar pikiran untuk mendapatkan penajaman konseptual dan
kerangka pikir mengenai penelitian ini. Mereka adalah Greg Fealy, Sally White,
James Fox, AH Johns, Anthony Reid, dan Virginia Hooker di Autralian National
University, Greg Barton dan Julian Millie di Monash University, serta Tim
Lindsey di Melbourne University.
Atas diskusi-diskusi yang hangat dan mendalam dengan Phillip Winn,
selaku supervisor dalam Program PIES (Partnership in Islamic Education
Sholarship) yang penulis ikuti selama dua semester pada 2014 di ANU, penulis
sampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi. Demikian juga dengan
mentoring dari Jeremy Kingsley dan Kay Molhman dalam program Asian
ix
Graduate Fellowship yang penulis ikuti selama dua bulan lebih pada 2012 di Asia
Research Institute, National University of Singapore. Mereka telah bertindak
sebagai mentor yang memperkaya materi dan cara analisis serta penulisan
akademik dari disertasi ini.
Kepada kawan-kawan seperjuangan dan seangkatan (2010) di Program
Doktor Kajian Budaya, para kolega di IAIN Mataram khususnya di Fakultas
Dakwah, para budayawan di Bima dan Mataram, juga dihaturkan terima kasih atas
kehangatan diskusi-diskusi yang telah dilibati bersama penulis. Mereka juga telah
memberikan semangat dan dukungan dalam upaya penyelesaian disertasi ini.
Kepada sahabat Abdul Alim, Arif Tarigan, Lingua Usop, dan Salman Faris saya
sampaikan penghargaan yang tinggi atas keikhlasan membantu proses pengurusan
ujian demi ujian dan hadir ketika penulis in abcentia.
Ucapan terima kasih yang sangat mendalam juga disampaikan kepada para
narasumber dan informan, baik yang ada di Mbawa maupun yang ada wilayah
Bima lainnya. Kepada para informan dan narasumber lepas yang tidak dapat
disebut satu persatu, juga disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih.
Akhirnya, kepada keluarga penulis yang begitu mencintai dengan segala doa
dan dukungan yang tak dapat dinilai dengan apa pun. Khususnya kepada Atun
Wardatun, istri sekaligus teman diskusi dan pembaca utama disertasi ini, yang
dengan penuh ketekunan telah mencurahkan dukungan di tengah kesibukannya
sendiri menyelesaikan disertasi di Western Sydney University. Demikian juga
kepada ketiga putra terkasih (Aqara Waraqain, Ara Wali, dan Aribal Waqy) yang
begitu pengertian terhadap berbagai kegiatan akademik yang dilakukan oleh ayah-
x
ibunya sehingga seringkali mengambil waktu mereka. Doa tak bertepi dari ibunda
Hj. Siti Maryam yang sangat terasa kehadirannya di tengah suka-duka selama
studi ini. Dukungan juga datang dari seluruh saudara penulis yang telah tulus
mengisi hal-hal yang menjadi tanggungjawab sosial penulis yang tidak bisa
ditunaikan selama proses perkuliahan. Doa dari bapak mertua H.M. Saleh Ishaka
dan dukungan dari semua saudara ipar yang begitu signifikan dalam menopang
kelanjutan penulisan ini. Doa dan dukungan mereka adalah kekuatan tiada tara,
lebih-lebih saat penulis menjalani masa-masa sulit akibat kecelakaan yang hampir
membuat penulis berhenti dari penyelesaian disertasi ini.
Hanya doa terbaik dan tulus yang bisa penulis sampaikan untuk membalas
semua sumbangsih dan kebaikan yang telah diberikan oleh berbagai pihak
tersebut. Mudah-mudahan bernilai ibadah dan mendapat pahala dari Tuhan Yang
Maha Esa.
Denpasar, 1 Februari 2016
Abdul Wahid
xi
ABSTRAK
Penataan ulang kehidupan keagamaan dalam rezim Orde Baru (1966-1998),
yang mengharuskan penduduk memeluk salah satu dari agama resmi, telah menciptakan ketegangan bagi kepercayaan lokal, Parafu, di kalangan Dou Mbawa di Bima, Nusa Tenggara Barat. Kehadiran Islam dan Kristen sebagai agama baru dan resmi menjadikan mereka sebagai masyarakat yang pluralistik yang bisa memicu budaya kompetisi dan konflik. Karena Islam, Kristen, dan Parafu memiliki ideologi dan identitas, maka perebutan hegemoni di antara mereka tidak bisa dihindarkan. Konteks ini menghasilkan kegelisahan sekaligus kearifan komunal yang berujung pada reproduksi praktik budaya Raju, yaitu doa bersama yang dihelat tahunan dan melibatkan ketiga komunitas agama.
Praktik budaya Raju sebagai bentuk kearifan lokal Dou Mbawa untuk merawat harmoni, sayangnya, dipandang sebagai bentuk sinkretisme agama oleh masyarakat Muslim Bima mayoritas. Dou Mbawa, tak ayal, dianggap membahayakan kemurnian ajaran agama semitik. Praktik budaya Raju akhirnya menjadi medan budaya bagi pertarungan dan relasi kuasa.
Subyek penelitian ini adalah praktik budaya Raju dalam fungsinya sebagai wahana merespons hegemoni dari luar dan perangkat komunikasi internal Dou Mbawa. Pertanyaan penelitian adalah: (1) Apa basis sosial dan modal yang memicu reproduksi praktik budaya Raju dalam pluralitas Dou Mbawa; (2) Bagaimana respons terhadap hegemoni berlangsung pada praktik budaya Raju dalam pluralitas Dou Mbawa; (3) Bagaimana makna tindakan komunikasi pada praktik budaya Raju dalam pluralitas Dou Mbawa.
Permasalahan ditelusuri dan dijawab menggunakan pendekatan kualitatif dengan corak etnografi kritis (critical ethnography). Sebagai penelitian kajian budaya yang berbasis teori kritis, penelitian ini bertolak dari argumentasi bahwa ritual adalah tindakan politik yang mencerminkan gagasan ideologi bagi pendukungnya, dan menggambarkan relasi dan struktur sosial. Penelitian ini, karenanya, membingkai praktik budaya Raju dengan teori-teori relevan yang digunakan secara eklektik, yaitu praktik Bourdieu, teori hegemoni Gramsci, dan teori tindakan komunikatif Habermas.
Berdasarkan studi lapangan di Mbawa dalam rentang waktu 2011-2014 penelitian ini menghasilkan temuan: Pertama, praktik budaya Raju muncul dari tantangan pluralitas dan dibentuk oleh habitus Mori Sama, yaitu pandangan dunia komunal yang disatukan oleh kesamaan asal usul dan kepercayaan Kedua, transformasi praktik budaya Raju mencerminkan operasi hegemoni pada wilayah pengetahuan dan otoritas moral, menghasilkan penerimaan, kontra-hegemoni, dan varian quasi-hegemoni. Ketiga, tindakan komunikatif dalam praktik budaya Raju berupa wacana dan doa menghasilkan penguatan identitas, konsolidasi internal, dan doktrin kehidupan bersama bagi harmoni sosial. Kata Kunci: Pluralitas, hegemoni, kontra-hegemoni, transformasi, dialog.
xii
ABSTRACT
The rearrangement of religious life in the New Order regime (1966-1998), which requires Indonesian to embrace one of the official religions, has created tensions for local belief, Parafu, among Mbawa community (Dou Mbawa) in Bima, West Nusa Tenggara. The presence of Islam and Christianity as new and official religions changes Dou Mbawa into a pluralistic society and has triggered cultural competition and conflict. As Islam, Christianity, and Parafu have their own ideology and identity, the struggle for hegemony between them is inevitable. It is with this background, the communal anxiety and wisdom emerged which led to the reproduction of cultural practice of Raju, an annual public prayer, involving all three religious groups. The cultural practice of Raju as a form of local wisdom for social harmony, unfortunately, is seen as a religious syncretism by majority of Bimanese Muslims. As consequence, Dou Mbawa and their cultural practice of Raju are considered harmful to the purity of semitic religion. The cultural practice of Raju eventually became the field for battles and power relations.
The subjects of this study is the cultural practice of Raju in its function as a vehicle for responding to the hegemony from outsider and a device for internal communication among Dou Mbawa. The research questions focused on: (1) What is the social and capital bases which trigger the reproduction the cultural practice of Raju in a pluralistic Dou Mbawa; (2) How is the response to the hegemony took place in the cultural practice of Raju among Dou Mbawa; (3) How is a communicative action embedded and meant in the cultural practice of Raju for the plurality of Dou Mbawa.
The aforementioned questions are explored and answered by using qualitative approach in the form of critical ethnography. As a cultural studies based on critical theory, this research argues that a ritual is a political act that reflects the notion of ideology for the supporters, and describe the relationships and social structures. This study, therefore, framed the cultural practice of Raju with relevant theories such as the Bourdieu’s theory of practice, the Gramsci’s theory of hegemony, and the Habermas’s theory of communicative action.
Based on fieldwork in Mbawa during 2011-2014, this study uncovers three important topics: First, the cultural practice of Raju emerged from the challenges of social and religious plurality faced by Dou Mbawa and shaped by habitus Mori Sama (living together), a world view of Dou Mbawa united by their common origin and belief. Second, the transformation of cultural practice of Raju reflects the operation of hegemony in the realm of knowledge and moral authority, generates acceptance and accomodation, counter-hegemony, and practice of quasi-hegemony. Third, the communicative action embedded in the discourse, text, and cultural practice of Raju has strengthened identity, internal consolidation, and the doctrine of living together for social harmony for Dou Mbawa. Keywords: Plurality, hegemony, contra-hegemony, transformation, dialogue
xiii
RINGKASAN
Fokus kajian ini adalah dinamika sosial masyarakat pluralistik yang hidup
dalam kontestasi Islam dan Kristen di Mbawa, daerah pegunungan Bima, Nusa
Tenggara Barat. Masyarakatnya dikenal dengan nama Dou Mbawa (orang
Mbawa) dan menganut kepercayaan lokal bernama Parafu. Kehidupan mereka
yang penuh dinamika telah berlangsung sejak era modernisasi Indonesia, terutama
masa Orde Baru (1996-1998) yang membawa perubahan dalam struktur
kebudayaannya terutama dengan ‘memaksakan’ agama baru dan resmi (diakui
pemerintah). Menariknya, kepercayaan Parafu tidak benar-benar mati, bahkan
menunjukkan geliat revitalisasi sebagai identitas, kendati sejak masa tersebut,
sebagian Dou Mbawa beralih menjadi penganut Islam atau Kristen. Fakta tersebut
menjadikan Dou Mbawa berada pada ambiguitas dan dilema budaya. Kehidupan
‘peasantry’ Mbawa berubah menjadi hiruk-pikuk kultural. Konflik keagamaan
dengan kekerasan pecah di tahun 1969, 1972, dan 2000. Hingga saat ini, Mbawa
menjadi medan bagi pertarungan kebudayaan antar-insider, antara insider dan
outsider, juga antar-outsider.
Sebagai masyarakat dengan basis tradisi, Dou Mbawa menemukan jalan
keluar alamiah bagi kesunyatan hidup sosial dalam situasi dan konteks
pertarungan kebudayaan tersebut. Hal ini terlihat pada praktik budaya Raju, ritual
doa musim tanam yang melibatkan komunitas Muslim dan Kristen yang berakar
pada pandangan dunia Parafu. Praktik budaya Raju terbentuk dan bersumber dari
moralitas komunalisme serta terejawantah dalam praktik sosial-budaya, yang lalu
diwarisi dan ditransformasikan secara terus-menerus. Praktik ini menjadi locus
hegemoni dan kontestasi dari pelbagai segmentasi masyarakat.
Kajian ini menyingkap makna praktik budaya Raju bagi Dou Mbawa, aspek
yang mengitarinya dalam konteks masyarakat yang plural dan multikultural dan
relasi kuasa yang ada di dalamnya. Praktik budaya Raju sebagai akumulasi
pengetahuan adalah pintu masuk dalam menjelajahi relasi dan pertarungan dari
entitas budaya (yang bermetamorfosa menjadi agama lokal) versus agama
xiv
(universal), di mana yang satu terpinggirkan sementara yang lain dominan. Kajian
ini memperbincangkan praktik budaya Raju yang dimaknai secara kreatif
berdasarkan konteks sosio-historis Dou Mbawa. Secara khusus, permasalahan
mencakup bagaimana praktik budaya Raju lestari di tengah pengikisan tradisi
kecil oleh tradisi besar, dalam hal ini dakwah agama-agama langit, dan bagaimana
praktik itu bekerja sebagai wahana yang dapat menjamin kerekatan sosial. Kajian
ini pada gilirannya memberi sumbangan pemahaman tentang perubahan sosial-
keagamaan seiring dengan pergeseran makna dan bentuk praktik budaya dari
waktu ke waktu, dan memperkaya khazanah praktik bina damai dalam masyarakat
Indonesia yang majemuk.
Kajian ini menggunakan perspektif teori kritis secara eklektik untuk
menyingkap tindakan politik di balik ritual serta mengurai faktor-faktor dan aktor-
aktor dalam selubung hegemoni pada praktik budaya Raju. Data diperoleh dari
fieldwork dalam rentang tahun 2011-2014 yang melibatkan pengamatan,
wawancara, dan dokumentasi. Dengan cara ini dihimpun tiga jenis teks, yaitu
“teks” sosial, “teks” fisik, dan teks (tanpa tanda petik) doa Kasaro yang
dilantunkan dalam puncak praktik budaya Raju. Kajian ini dipandu oleh cara kerja
analisis wacana dalam menemukan ‘kode referensial’ yang dapat menuntun
kepada makna kultural di balik suatu praktik.
Berdasarkan rangkaian fieldwork penulis mengajukan dua argumentasi.
Pertama, praktik budaya Raju adalah akumulasi pengetahuan dan representasi
struktur dan relasi sosial dalam Dou Mbawa, karenanya mengandung dimensi
kultural yakni visi sosial dan kepentingan. Kedua, praktik budaya Raju telah
menjelma menjadi strategi komunikasi, manajemen konflik, dan cara mengatasi
hegemoni. Argumentasi ini bertolak dari peta sosial-keagamaan Dou Mbawa yang
penuh dinamika. Masyarakat yang mendiami kampung di pegunungan sebelah
barat Kota Bima ini telah menjadi locus kontestasi budaya, sejak masuknya orang
luar khususnya melalui praktik penyebaran agama Islam dan Kristen. Kedua
kekuatan agama ini masuk melalui celah citra diri dan konstruksi identitas Dou
Mbawa yang berbeda secara lokalitas, agama, dan etnisitas karena mereka hidup
di pegunungan, menganut kepercayaan Parafu, dan berwarna lain. Mereka
xv
dikatakan terbelakang, ‘kafir’ atau ‘musyrik’, dan sebagai “orang lain” (the
others) dalam hubungan sosial. Atas dasar itu, intervensi diperkenalkan kepada
Dou Mbawa oleh negara dengan ideologi pembangunan berbagai bidang dan oleh
kelompok keagamaan universal Islam dan Kristen.
Jika pemerintah (negara) melakukan intervensi dengan cara dan modus
pembangunan fisik dan spiritual, maka masyarakat sipil dari kalangan Islam dan
Kristen memperkuatnya, terutama dari segi keagamaan melalui praktik dakwah
dan zending. Awalnya, usaha kalangan Kristen lebih mendapatkan tempat,
meskipun periode Kristenisasi berlangsung belakangan dari Islamisasi yang sudah
berlangsung sejak masa kesultanan. Akibatnya, Dou Mbawa lebih dikenal sebagai
masyarakat Kristen dibanding predikat lamanya sebagai penganut Parafu. Lebih
dari itu, Mbawa dikenal sebagai satu-satunya basis Kristen(isasi) di wilayah Bima
yang mayoritas Islam. Belakangan, Islamisasi masuk kembali (reislamisasi) secara
lebih gencar untuk menebus dakwah masa silam yang lamban dan ‘kekalahan’
atas Kristenisasi. Ini membentuk konfigurasi Dou Mbawa yang penuh pergulatan
dan menjadi locus hidup dan pertarungan berbagai budaya, ideologi, dan
kepentingan.
Hegemoni berupa kepemimpinan moral dan intelektual berlangsung dalam
Dou Mbawa melalui moralitas baru berbentuk ajaran agama universal
menggantikan moralitas berbasis Parafu. Gaya Dou Mbawa merespons moralitas
baru itu mengandung suatu ‘seni menolak diam-diam’ dan ‘seni adaptasi’. ‘Teks’
atau pernyataan diam-diam yang mengisyaratkan hidden transcript (seni melawan
dominasi) antara lain pembongkaran ‘Pohon Wangi’ (penanda lokasi Muslim)
untuk dibangun gereja sementara masjid dibangun di bawah naungan ‘Pohon Bau’
(lokasi non-Muslim). Penyatuan kuburan Muslim dan Kristen tanpa sekat dapat
dibaca sebagai penolakan terhadap pemilahan spasial Dou Mbawa berdasarkan
sekat keagamaan. Masih banyak praktik lain yang mengindikasikan gagasan
penolakan.
Sementara itu, seni menerima dapat dibaca secara semiotis dari beberapa
penampakan lingkungan fisik Uma Ncuhi, rumah adat representasi budaya dan
identitas lokal Dou Mbawa. Masuknya sarangge (teras) yang merupakan unsur
xvi
lain dan baru ke dalam struktur Uma Ncuhi menandai masuknya elemen
modernitas dalam tradisi Mbawa. Demikian juga dengan tegaknya rumah ala
Bima kota persis di samping Uma Ncuhi dan banyaknya perangkat ibadah Kristen
di dalamnya. Dalam praktik budaya Raju sendiri terdapat pertunjukan tari Kalero
yang gerakannya ditengarai mengadopsi posisi dan gerakan sholat kaum Muslim.
Praktik Dewa, pengobatan dengan mantra, juga menyerupai tradisi i’tikaf kaum
Muslim, yakni berdiam diri sambil berzikir (melafalkan potongan kalimat atau
kata dari al-Qur’an) sampai keadaan tertentu. Paling kentara dari semua itu adalah
struktur doa Kasaro pada puncak praktik budaya Raju, di mana mantra-mantra
adat berpadu dengan ungkapan-ungkapan dari tradisi Islam dan Kristen.
Dari paparan di atas dapat dikatakan Dou Mbawa memiliki strategi kultural
dalam merespons tantangan dari luar, yang beroperasi di celah dua tebing
resistensi dan akomodasi. Dalam kelenturan budaya, mereka dayagunakan praktik
Raju sebagai pengelola kepentingan melawan hegemoni dan menyetujuinya. Pada
gilirannya, praktik budaya Raju melampaui fungsi dasarnya sebagai ekspresi
natural keagamaan untuk memasuki fase kultural sebagai ruang publik dan
komunikasi. Dalam fungsinya yang terakhir, praktik budaya Raju menjadi tempat
bertemu berbagai elemen masyarakat untuk kembali menyatu setelah
terperangkap dalam ruang-ruang privat keagamaan. Mereka menggelar ruang
diskursif, berupa ‘Paresa Rawi Rasa’ tempat dan saat dan memecahkan persoalan
sosial tanpa hierarki. Itulah ruang publik ala Mbawa, tempat bertemunya ide,
aspirasi, dan komitmen komunal untuk suatu kondisi masyarakat komunikatif
sebagaimana diandaikan oleh Habermas.
Doa-mantra Kasaro yang dipanjatkan pada puncak pertemuan itu lebih dari
sekedar teks agama atau bahasa ritual. Kasaro adalah ‘perangkat’ tindakan
komunikasi yang berbicara kepada Tuhan, kepada nenek-moyang, nasehat dan
peringatan bagi komunitas, dan ‘speak out’ bagi orang luar. Dalam pembacaan
Kasaro terdapat aspek hierarki pengetahuan yang menggambarkan relasi kuasa
dan distribusi kekuasaan. Terdapat identifikasi diri dalam bait-bait Kasaro yang
menunjukkan identitas, konsolidasi kekuatan internal, dan ‘sinyal’ bagi orang luar
xvii
yang menunjukkan politik. Dengan demikian teks Kasaro adalah perangkat
komunikasi politik ala Mbawa, adalah tindakan komunikasi
Diskursus dalam praktik budaya Raju juga menghasilkan pengetahuan
ontologis sebagai basis doktrin hubungan antaragama. Pengetahuan ontologis itu
tercetus dari praktik Paresa Tua, yaitu perbincangan filosofis di kalangan tetua
mengenai hakekat Tuhan, penciptaan manusia serta ibadah agama-agama, bahkan
mengenai asal-usul agama dan sejarahnya. Doktrin inilah yang menjadi akar dari
keselarasan hubungan sosial yang melahirkan moralitas dan norma kehidupan
sosial bagi Dou Mbawa.
Doktrin ini kait-mengkait dengan tindakan ‘menolak’ dan ‘menerima’ ala
Mbawa sebagaimana disinggung terdahulu. Hal ini menciptakan akumulasi
kearifan komunal yang elemen-elemennya diturunkan menjadi perangkat bina
damai atau mekanisme pencegahan konflik di kalangan Dou Mbawa secara
internal. Kepada kalangan eksternal, kearifan ini melahirkan gaya hubungan sosial
dengan orang luar yang menekankan kesamaan posisi, betapa pun secara
minoritasnya sebuah kelompok.
Dari perbincangan singkat dan pembacaan teks-teks di atas dapat ditangkap
suatu konotasi berupa adanya relasi hegemonik dalam selubung kebudayaan Dou
Mbawa. Dalam relasi penuh dominasi itu praktik budaya Raju menunjukkan
kelenturannya untuk berperan sebagai pemelihara identitas lokal dari gerusan
budaya dominan. Dalam proses adaptasi kultural, unsur-unsur keislaman dan
kekristenan masuk membentuk konfigurasi unik dari praktik budaya Raju
sehingga penuh warna dan dinamis. Dengan karakter seperti itu praktik budaya
Raju dalam salah satu sisi akhirnya menjadi praktik manajemen konflik. Posisi
kultural yang signifikan bagi pluralitas Dou Mbawa itu dapat diidentifikasi dari
tergelarnya ruang diskursif di dalamnya serta potensinya sebagai wahana
komunikasi.
Dari simpulan di atas, penelitian ini memberi rekomendasi reflektif dalam
dua hal. Pertama, intervensi negara dan legitimasi agama resmi di dalamnya tidak
harus menggerus tradisi dan identitas lokal, justru harus berorientasi kepada
penguatan budaya lokal, karena dengan itu oposisi kebudayaan tidak akan
xviii
menghasilkan keretakan. Kedua, manajemen konflik tidak serta-merta bersifat
struktural karena pengetahuan dan kearifan tidak saja milik negara dengan
birokrasi pemerintahannya. Sebuah masyarakat juga memiliki pengetahuan
sehingga mereka bisa meretas mekanisme kulturalnya sendiri dalam mengatasi
masalah internal mereka.
xix
GLOSARIUM
bid’ah : Praktik ‘mengada-ngada’ yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah. da’i : Penganjur agama Islam. dakwah : Praktik penganjuran kepada agama Islam. dana : Tanah. dewa : Praktik pengobatan; tabib. dholim : Kesesatan. doro : Gunung. dou : Orang. frater : Calon Pendeta. i’tikaf : Praktik berdiam diri di masjid sambil merenung. hisab : Praktik menghitung bulan untuk menentukan hari ritual. istisqa : Sholat minta hujan. kalero : Nama tarian. kasaro : Doa membaca mantra. katekis : Guru agama Kristen. kenduri : Doa mohon keselamatan. lebe : Imam masjid yang memimpin ritual sholat. madrasah : Sekolah agama Islam. masjid : Tempat ibadah umat Islam. mbojo : Nama lokal bagi Bima. mpisi : Nama tarian. muballigh : Menyampai ajaran agama Islam. muallaf : Orang yang baru masuk agama Islam. musholla : Tempat ibadah umat Islam dengan kapasitas kecil bawah masjid. muslim : Pemeluk Islam laki-laki. muslimah : Pemeluk Islam perempuan. naka : Nama era sebelum era Ncuhi; nama kepala suku. ncuhi : Nama era sebelum kerajaan Bima; nama kepala suku. parafu : Nama kepercayaan lokal. paresa : Diskusi, membahas sesuatu. pastor : Pemimpin gereja Kristen (Protestan). pendeta : Pemimpin gereja Kristen (Katolik). pesantren : Lembaga tradisional pendidikan Islam. qamariah : Perhitungan bulan berdasarkan peredaran bulan. qunut : Doa khusus dalam sholat Shubuh. rafu : Keturunan. rasa : Kampung. rawi : Praktik budaya. ru’yat : Praktik melihat bulan untuk menentukan hari ritual. sando : Dukun. sangaji : Panggilan raja Bima. sarangge : Emperan rumah, balai bambu.
xx
sholawat : Ucapan doa untuk Nabi Muhammad. sholeh : Baik atau bijaksana. so : Padang sabana. sori : Sungai. syahadat : Pengakuan keesaan Allah dan kerasulan Muhammad. syirik : Praktik menyembah selain Allah. tahayyul : Kepercayaan yang bersifat supranatural. tarekat : Praktik ibadah Muslim yang mengenyampingkan dunia. tasawuf : Aspek agama Islam yang menekankan kesucian jiwa. tauhid : Keyakinan pada ke-esa-an Tuhan. tawashul : Praktik berdoa melalui perantara. ulama : Pemimpin atau elit agama Islam. uma : Rumah. ustadz : Guru agama Islam. wura : Bulan. zikir : Praktik berdoa dengan menyebut nama-nama Allah.
xxi
DAFTAR SINGKATAN Alm. : Almarhum (anumerta) API : Angkatan Pemuda Islam DDII : Dewan Dakwah Islam Indonesia DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah FGD : Focused Group Duscussion GPII : Gerakan Pemuda Islam Indonesia G30S : Gerakan 30 September H. : Haji Hj. : Hajjah IAIN : Institut Agama Islam Negeri Kemenag : Kementerian Agama KH : Kiai Haji KUA : Kantor Urusan Agama LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MA : Madrasah Aliyah MI : Madrasah Ibtidaiyah MTs : Madrasah Tsanawiyah MTQ : Musabaqah Tilawatil Qur’an MUI : Majelis Ulama Indonesia NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia NTB : Nusa Tenggara Barat NU : Nahdlatul Ulama NW : Nahdlatul Wathan Ormas : Organisasi Kemasyarakatan Pemda : Pemerintah Daerah Pemilu : Pemilihan Umum Persis : Persatuan Islam PIB : Perhimpunan Islam Bima PTKI : Perguruan Tinggi Keagamaan Islam RI : Republik Indonesia RT : Rukun Tetangga SD : Sekolah Dasar SAW : Sallallahu Alaihi Wasallam (ungkapan doa setelah nama Nabi) Sekber Golkar : Sekretariat Bersama Golongan Karya SMA : Sekolah Menengah Atas SMP : Sekolah Menengah Pertama SWT : Subhanahu Wa Ta’ala TGH : Tuan Guru Haji TPA/TPQ : Taman Pendidikan al-Qur’an
xxii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
PRASYARAT GELAR .......................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................. vi
ABSTRAK ............................................................................................................. xi
ABSTRACT ........................................................................................................... xii
RINGKASAN ...................................................................................................... xiii
GLOSARIUM ...................................................................................................... xix
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xxi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xxii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xxvii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xxviii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 17
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 18
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................. 18
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................. 19
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 19
1.4.1 Manfaat Teoretis .............................................................................. 19
1.4.2 Manfaat Praktis ................................................................................ 20
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN .............................................................................. 21
2.1 Kajian Pustaka ............................................................................................. 21
2.2 Konsep ......................................................................................................... 37
xxiii
2.2.1 Praktik Budaya Raju ........................................................................ 37
2.2.2 Pluralitas .......................................................................................... 40
2.2.3 Dou Mbawa ..................................................................................... 42
2.3 Landasan Teori ............................................................................................ 43
2.3.1 Teori Praktik Bourdieu .................................................................... 44
2.3.2 Teori Hegemoni Gramsci ................................................................. 51
2.3.3 Teori Tindakan Komunikatif Habermas .......................................... 59
2.4 Model Penelitian ......................................................................................... 69
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................... 73
3.1 Rancangan Penelitian .................................................................................. 73
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................... 76
3.3 Jenis dan Sumber Data ................................................................................ 78
3.4 Penentuan Informan .................................................................................... 79
3.5 Instrumen Penelitian .................................................................................... 80
3.6 Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 80
3.6.1 Observasi ......................................................................................... 81
3.6.2 Wawancara ...................................................................................... 81
3.6.3 Dokumentasi dan Kepustakaan ....................................................... 82
3.6.4 Diskusi Kelompok ........................................................................... 83
3.7 Teknik Analisis Data ................................................................................... 84
3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian .............................................................. 85
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN:
SILANG BUDAYA BIMA - MBAWA ............................................................... 86
4.1 Bima: Dana, Dou, dan Rawi Mbojo ............................................................ 86
4.1.1 Dana Mbojo: Pertemuan Tradisi-tradisi ........................................... 87
4.1.2 Dou Mbojo: Outsider ........................................................................ 95
4.1.3 Rawi Mbojo: Supremasi Budaya Islam ......................................... 104
4.2 Persilangan Kebudayaan antara Bima dan Mbawa ................................... 112
4.2.1 Dou Donggo di Persimpangan ...................................................... 112
xxiv
4.2.2 Kontestasi Bima-Sila: Perebutan Pusat dan Dominasi .................. 117
4.2.3 Hegemoni Bima dan Sila atas Donggo (juga Mbawa) .................. 122
4.3 Mbawa: Lokalitas, Etnisitas, dan Religiusitas .......................................... 125
4.3.1 Mbawa: Tanah dan Kampungnya .................................................. 126
4.3.1.1 Mbawa Ese: Pusat Kosmos ............................................. 131
4.3.1.2 Mbawa Awa: Pintu Terbuka ............................................ 138
4.3.2 Dou Mbawa: Asal-usul dan Kosmologi ........................................ 146
4.3.3 Budaya dan Identitas ..................................................................... 152
4.3.4 Religiusitas: Dari Parafu ke Pluralisme Agama ........................... 156
BAB V HABITUS DAN MODAL DALAM RANAH
PRAKTIK BUDAYA DOU MBAWA .............................................................. 161
5.1 Pluralitas Agama dan Identitas .................................................................. 161
5.1.1 Keparafuan: Ideologi dan Elite ...................................................... 165
5.1.1.1 Ideologi: Konservatisme Budaya .................................... 168
5.1.1.2 Elite: Otoritas Ncuhi dan Distribusi Kekuasaan .............. 172
5.1.2 Kekristenan: Ideologi dan Elite ..................................................... 180
5.1.2.1 Ideologi: Pemberdayaan dan Inkulturasi ......................... 183
5.1.2.2 Elite: Otoritas Lokal dan Pastur dari Timur .................... 187
5.1.3 Keislaman: Ideologi dan Elite ....................................................... 189
5.1.3.1 Ideologi: Penyeragaman dan Puritanisme ....................... 191
5.1.3.2 Elite: Pengasuh Masjid dan Pekerja Agama ................... 199
5.2 Dinamika dan Siasat di Tengah Kompetisi ............................................... 202
5.2.1 Dou Mbawa dan Serangan Budaya ............................................... 203
5.2.2 Jejak Konflik dan Ketakutan ......................................................... 209
5.2.3 Nama sebagai Siasat Budaya ......................................................... 212
5.3 Habitus, Modal, dan Ranah dalam Pluralitas ............................................. 218
5.3.1 Budaya Kontestasi sebagai Habitus ............................................... 220
5.3.2 Mori Sama sebagai Modal Kultural ............................................... 225
5.3.3 Ranah dalam Praktik Budaya ......................................................... 229
5.3.4 Operasi Habitus dan Modal dalam Ranah ....................................... 232
xxv
BAB VI PRAKTIK BUDAYA RAJU SEBAGAI RANAH
HEGEMONI, KONTRA-HEGEMONI, DAN AKOMODASI .......................... 239
6.1 Konteks, Orientasi, dan Prosesi Praktik Budaya Raju .............................. 239
6.1.1 Konteks Praktik Budaya Raju ....................................................... 239
6.1.2 Orientasi Praktik Budaya Raju ....................................................... 247
6.1.3 Prosesi Praktik Budaya Raju ......................................................... 249
6.2 Hegemoni dalam Praktik Budaya Raju ..................................................... 259
6.2.1 Uma Ncuhi dan Simbolisasi Hegemoni Budaya ............................ 259
6.2.2 Representasi Struktur Dominasi dan Relasi Kuasa ....................... 267
6.2.3 Masjid dan Madrasah: Penetrasi dan Penolakannya ..................... 276
6.3 Respons terhadap Hegemoni dalam Praktik Budaya Raju ........................ 282
6.3.1 Varian Praktik Budaya Raju di Tolonggeru: Hegemoni Internal .. 283
6.3.2 Munculnya Otoritas dan Praktik Lain ........................................... 290
6.3.3 Membangun Mekanisme Akomodasi ............................................. 295
6.3.4 Kalero dan Dewa: Wahana Akomodasi Budaya ........................... 297
6.3.5 Kontra-hegemoni dalam Akomodasi ............................................. 300
6.4 Makna Lain Hegemoni dalam Praktik Budaya Raju ................................. 311
BAB VII PRAKTIK BUDAYA RAJU SEBAGAI
TINDAKAN KOMUNIKATIF .......................................................................... 319
7.1 Uma Ncuhi sebagai Wadah Komunikasi ................................................... 319
7.2 Wacana dan Tindakan Komunikatif ........................................................... 325
7.2.1 Paresa Rawi Rasa sebagai Ruang Diskursif ................................. 326
7.2.2 Kasaro sebagai Bahasa Sosial-Politik ........................................... 331
7.2.3.1 Konsolidasi Internal Dou Mbawa .................................... 335
7.2.3.2 Imajinasi Sosial Masyarakat Plural ................................. 339
7.2.3 Paresa Tua: Basis Doktrin Pluralisme Mbawa .............................. 343
7.3 Praktik Budaya Raju sebagai Pintu Dialog ................................................ 347
7.4 Konsensus: Hasil Tindakan Komunikatif di Ruang Publik ....................... 350
7.5 Makna Transformasi dalam Praktik Budaya Raju .................................... 357
xxvi
BAB VIII PENUTUP ........................................................................................ 360
8.1 Simpulan .. .................................................................................................. 361
8.2 Temuan Baru ............................................................................................. 364
8.3 Saran ........................................................................................................... 367
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 369
LAMPIRAN ....................................................................................................... 377
xxvii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1: Data pemeluk agama di Kabupaten Bima .......................................... 111
Tabel 4.2: Komposisi penganut Islam dan Kristen di Mbawa ............................ 159
Tabel 6.1: Perbandingan jumlah tempat ibadah ................................................... 279
xxviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1: Model penelitian ............................................................................... 70
Gambar 4.1: Peta wilayah Bima ............................................................................ 88
Gambar 4.2: Mbawa dalam peta .......................................................................... 127
Gambar 4.3: Denah lokasi Mbawa ...................................................................... 128
Gambar 5.1: Sila dilihat dari Mbawa dan sebaliknya .......................................... 205
Gambar 5.2: Fashion di masjid dan fashion di gereja .......................................... 223
Gambar 6.1: Doa Kasaro di Uma Ncuhi (serambi) ............................................. 256
Gambar 6.2: Doa Kasaro di Uma Ncuhi (lantai atas) .......................................... 258
Gambar 6.3: Uma Ncuhi dan dunia representasi ................................................. 261
Gambar 6.4: Kuburan bersam Muslim-Kristen ................................................... 303
Gambar 6.5: ‘Pohon Wangi’-gereja dan “Pohon Bau’-masjid ............................ 304
Gambar 6.6: Uma Ncuhi bantuan pemerintah lambang intervensi budaya ......... 306
Gambar 6.7: Gerakan Sholat dan gerakan Kalero ............................................... 309
Gambar 6.8: Praktik I’tikaf dan praktik Dewa ..................................................... 310
Gambar 7.1: Postur praktik budaya Raju ............................................................. 358