1
Pengembangan Wakaf Produktif dan Peranan Sektor Keuangan di Indonesia
Oleh : Muhammad Afdi Nizar Peneliti PKSK
Wakaf merupakan instrumen ekonomi Islam yang unik yang mendasarkan
fungsinya pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan (ukhuwah). Ciri
utama yang menjadikan wakaf itu unik adalah ketika wakaf ditunaikan terjadilah
pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah subhaanahu wa ta’ala. yang
diharapkan abadi dan memberikan manfaat secara berkelanjutan. Melalui wakaf
diharapkan akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari
manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat masyarakat (social benefit).
Upaya mengkaji ulang dan merevitalisasi peranan dan fungsi lembaga wakaf terus
berlangsung di berbagai negara, termasuk Indonesia, agar wakaf menjadi lebih produktif
dan memiliki nilai ekonomis selain nilai ibadah. Revitalisasi ini sekaligus menandakan
terjadinya pergeseran paradigma pengembangan wakaf, yang selama ini lebih banyak
diorientasikan pada sarana ibadah—mesjid dan mushalla (73%), pendidikan (13,3%) dan
sisanya untuk tujuan sosial (makam dan sosial lainnya), menuju upaya pemanfaatan
berbagai barang yang memiliki muatan ekonomi produktif. Dalam tataran praktisnya,
wakaf dikembangkan ke dalam bentuk pemanfaatan alat produksi dan ekonomi, seperti
uang, saham, obligasi (sukuk) dan instrumen lainnya. Pemanfaatan alat produksi dan
ekonomi ini tentu saja memerlukan dukungan dari lembaga keuangan, khususnya lembaga
keuangan syari’ah (LKS) Perubahan paradigma ini menarik untuk diteliti lebih lanjut,
terutama untuk mengetahui, “bagaimana arah pengembangan wakaf produktif” dengan
paradigma baru tersebut? dan “apakah peranan LKS dalam mendorong pengembangan
wakaf produktif tersebut?”.
Studi ini bertujuan untuk : (i) menghitung potensi wakaf produktif, khususnya
wakaf uang di Indonesia, dengan pendekatan spatial (regional); (ii) mengkaji upaya
pengembangan wakaf produktif di Indonesia.; dan (iii) mengkaji peranan sektor
keuangan dalam mendorong pengembangan wakaf produktif di Indonesia.
2
Studi ini menggunakan metode analisis kuantitatif-deskriptif. Pendekatan
kuantitatif digunakan terutama untuk menentukan/menghitung potensi wakaf produktif
(wakaf uang) dengan memperhatikan potensi setiap provinsi di Indonesia.
TINJAUAN LITERATUR
Ada empat peristiwa inspiratif dalam awal-awal sejarah Islam, yang seringkali
dijadikan sebagai landasan untuk pengembangan kerangka hukum wakaf (Sabit, 2006).
Pertama, donasi tanah oleh Nabi Muhammad (saw) untuk membangun Masjid Quba',
setelah hijrah ke Madinah; Kedua, sumbangan rumah (sumur yang dibeli oleh Khalifah
Utsman r.a.), yang digunakan oleh masyarakat, termasuk dirinya sendiri, untuk air minum
dan kebutuhan rumah tangga; Ketiga, donasi kebun oleh Talha kepada kerabatnya setelah
menerima saran dari Nabi Muhammad (saw); dan Keempat, donasi Umar ibn al-Khattab
(r.a) berupa tanah yang paling berharga di Khaybar atas saran dari Nabi Muhammad
(saw) agar menahan tanah itu dan mendedikasikan buah (hasilnya) untuk tujuan amal.
Berdasarkan peristiwa-peristiwa tersebut, para ahli hukum Islam (fuqaha) membangun
teori tentang wakaf. Peristiwa-peristiwa tersebut secara menyeluruh ditafsirkan dengan
menetapkan wakaf untuk tujuan keagamaan, kebutuhan masyarakat, dan perlindungan
keluarga.
Definisi Wakaf
Secara bahasa (etimologis), istilah ‘wakaf’ berasal dari kata waqf, yang bisa
bermakna al-habsu (menahan) atau menghentikan sesuatu atau berdiam di tempat
(Sabiq, 2009 dan al-Kabisi, 2004), sedangkan secara terminologi yang dimaksud dengan
wakaf adalah Tahbisul Ashl wa Tasbiilul Manfa’ah, yang berarti “menahan suatu barang
dan memberikan manfaatnya: (al-Ustaimin, 2005). Sementara secara hukum, para ulama
berbeda pendapat dalam mendefinisikan wakaf. Perbedaan definisi ini terjadi karena
perbedaan mazhab yang dianut, baik dari segi kelaziman dan ketidaklaziman, syarat
pendekatan dalam masalah wakaf maupun posisi pemilik harta wakaf setelah diwakafkan.
Perbedaan juga menyangkut tata cara pelaksanaan wakaf.
Jenis Wakaf
Secara umum, wakaf dibagi menjadi dua, yaitu waqf khairi (semata-mata untuk
amal) dan waqf zurri (wakaf keluarga). Waqf khairi dikelompokkan menjadi dua yaitu
wakaf umum untuk tujuan amal tanpa menentukan motif, kondisi (syarat) dan
3
mauquf’alaih-nya (beneficiaries), dan wakaf khusus untuk tujuan amal dengan
menentukan motif, kondisi (syarat) dan mauquf’alaih-nya (beneficiaries). Pada waqf zurri,
manfaat wakaf adalah untuk tujuan keluarga. Namun sejumlah ulama menganggap jenis
ini adalah bid’ah dan tidak sesuai dengan aturan-aturan Shariah (Shakor, 2011).
Disamping itu, wakaf juga bisa dikelompokkan menjadi waqf musytarak dan waqf
irsad. Waqf musytarak adalah wakaf kombinasi antara waqf khairi dan waqf zurri. Artinya,
bagian dari manfaat yang berasal dari wakaf didedikasikan untuk kepentingan keluarga
dan sebagian lain untuk publik. waqf musytarak merupakan bagian dalam waqf istibdal
dan waqf share. Sementara waqf irsad adalah bentuk lain dari wakaf yang dibentuk oleh
otoritas atau pemerintah yang berasal dari sumbangan harta Baitulmal sebagai wakaf,
baik harta bergerak atau tidak bergerak (Shakor, 2011). Ada dua harta yang bisa
diserahkan yaitu yang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan dan yang bergerak,
seperti uang dan saham. Untuk harta tak bergerak, para fuqaha bersepakat tentang
legitimasinya karena memenuhi prinsip-prinsip wakaf, yaitu permanen. Ini didasarkan
pada wakaf yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat (Shakor, 2011).
Karakteristik Wakaf
Dalam pandangan fikih, dengan merujuk pada definisi wakaf, sedikitnya ada tiga
karakteristik utama wakaf yang telah disepakati oleh para fuqaha, yaitu (Sabit, 2005 dan
Ismail, 2011):
1. tidak dapat dibatalkan (irrevocability), berarti bahwa wakaf setelah keluar dari
kepemilikan wakif, tidak dapat dicabut kembali menjadi harta wakif.
2. langgeng, terus-menerus, atau lestari (perpetuity). Istilah langgeng atau selamanya
(perpetuity) dalam bahasa Arab dikenal dengan ta'bid.
3. tidak dapat dicabut (inalienability). Konsep wakaf yang tidak dapat dicabut
(inalienability)
Komponen Wakaf
Menurut hukum fiqh, wakaf memiliki 5 (lima) pilar utama, yaitu :
(i) waqif, yaitu orang yang menyerahkan harta atau uangnya untuk tujuan wakaf (amal);
(ii) kontrak wakaf (waqfieh), yaitu pernyataan wakif tentang penyerahan harta atau dana
sebagai wakaf;
4
(iii) penerima manfaat (mawquf 'alaih), yaitu orang atau daerah yang menjadi tujuan
amal. Dengan kata lain, orang-orang atau daerah lain boleh menerima keuntungan
dari hasil wakaf;
(iv) properti/harta (mawquf), yaitu aset atau dana yang diserahkan sebagai tujuan amal
wakaf; dan
(v) mutawalli, orang atau lembaga yang ditugaskan sebagai perwalian (custodian) hukum
atas mawquf yang bukan miliknya untuk mempertahankan donasi sesuai dengan
kontrak wakaf. Untuk komponen ini di Indonesia lebih dikenal dengan nadzir.
MODEL PEMBIAYAAN WAKAF
Harta wakaf ditahan untuk meningkatkan manfaat dan hasilnya dalam
merealisasikan tujuaan yang ditentukan oleh wakif. Oleh karena itu upaya pemberdayaan
harta wakaf dan investasinya agar lebih produktif dan memberikan manfaat yang lebih
besar bagi umat telah menjadi pemikiran para fuqaha sejak lama1. Dalam literatur wakaf
dikenal dua bentuk pembiayaan wakaf, yakni model pembiayaan harta wakaf tradisional
(klasik) dan model pembiayaan harta wakaf kontemporer.
MODEL PEMBIAYAAN KLASIK
Model pembiayaan klasik pada umumnya dibagi menjadi 5 (lima) cara, yaitu (Qahaf,
2005): (i) wakaf dengan menambah wakaf baru; (ii) pembiayaan wakaf dengan
meminjamkan wakaf; (iii) pembiayaan wakaf dengan menukar wakaf (istibdal); (iv)
pembiayaan wakaf dengan menjual hak monopoli wakaf; dan (v) pembiayaan wakaf
dengan membuat penyewaan ganda harta wakaf (ijaratain fi al-waqf).
MODEL PEMBIAYAAN KONTEMPORER
Dalam model ini pembiayaan pembangunan/pengembangan wakaf dibagi menjadi
tiga Sabit, 2005; dan Abdul Karim, 2010a.b) : pertama, pembiayaan berbasis utang, (debt-
based financing); kedua pembiayaan berbasis ekuiti (equity-based financing), dan ketiga,
pembiayaan internal (self-financing), yang merupakan pembiayaan yang diajukan oleh
lembaga wakaf dengan cara-cara yang diperbolehkan menurut syari’at Islam.
1 Para fuqaha menyebut upaya ini dengan istilah pembangunan wakaf (imaratul waqf).
Pembangunan wakaf ini juga mencakup pengembangan wakaf dan penambahan modal wakaf.
5
PEMBIAYAAN BERBASIS UTANG (DEBT-BASED FINANCING)
a. Istisna’ / Salam (Forward Sale)
Istisna’ adalah akad jual beli aset berupa obyek pembiayaan antara para pihak
dimana spesifikasi, cara dan jangka waktu penyerahan, serta harga aset tersebut
ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak. Istisna’ hampir sama dengan kontrak
salam, bentuk lain dari penjualan berjangka (forward sale). Namun salam berlaku untuk
komoditi, dimana investor membayar di muka sejumlah harga pembelian untuk komoditi
pertanian yang akan diserahkan di masa akan datang (Chapra, 1998). Ini mungkin berlaku
untuk wakaf tanah jika tanah tersebut digunakan untuk kegiatan pertanian.
b. Ijarah
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang atau jasa itu sendiri. Secara teknis, ada dua konotasi
yang berbeda terkait dengan akad ijarah, yaitu (Ismail & Ahcene, 2008) : (i) upah yang
diberikan sebagai sewa atas jasa seseorang, seperti dokter, pengacara, guru atau orang
yang dapat memberikan layanan/jasa yang berharga dan (ii) ijarah juga terkait dengan
transfer hak pakai hasil dari properti tertentu kepada orang lain dalam suatu pertukaran
dengan sewa yang diambil orang tersebut (Muhammad Ridhwan Ab. Aziz, 2013).
c. Sukuk
Sukuk didefinisikan sebagai sertifikat bernilai sama yang merupakan bukti atas
bagian kepemilikan yang tak terbagi terhadap suatu aset, hak manfaat, dan jasa-jasa, atau
atas kepemilikan suatu proyek atau kegiatan investasi tertentu (AAOIFI). Dengan mengacu
pada Standar Syariah The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial
Institutions (AAOIFI), terdapat 14 jenis akad yang dapat digunakan dalam penerbitan
sukuk, yaitu antara lain : Sukuk Ijarah, Sukuk Murabahah, Sukuk Salam, Sukuk Istishna’,
Sukuk Mudharabah, Sukuk Musyarakah, Sukuk Wakalah, Sukuk Mugharasah, Sukuk
Muzara’ah, dan Sukuk Musaqah.
Adanya karakteristik sukuk yang merepresentasikan kepemilikan aset dan hak
manfaat (usufruct) tersebut sesuai dengan sifat wakaf. Pengenalan instrumen sukuk
dianggap turut membantu untuk lebih mempercepat kemajuan dan perkembangan wakaf.
Dengan demikian, dapat dipahami kenapa di sejumlah negara sukuk dijadikan sebagai
salah satu model dalam pembiayaan pengembangan wakaf, seperti yang terjadi di
Singapura dan Arab Saudi.
6
PEMBIAYAAN BERBASIS EKUITI (EQUITY-BASED FINANCING)
a. Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerjasama (kemitraan) antara dua pihak atau lebih, yaitu
satupihak sebagai penyedia modal (rab al-mal) dan pihak lain sebagai penyedia tenaga
dan keahlian. Keuntungan dari hasil kerjasama tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang
telah disetujui, sedangkan kerugian yang terjadi akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak
penyedia modal, kecuali kerugian disebabkan oleh kelalaian penyedia tenaga dan
keahlian.
b. Kemitraan (Musyarakah)
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk
menggabungkan modal, baik dalam bentuk uang maupun bentuk lainnya, untuk tujuan
memperoleh keuntungan, yang akan dibagikan sesuai dengan nisbah yang telah disetujui,
sedangkan kerugian yang timbul akan ditanggung bersama sesuai dengan jumlah
partisipasi modal masing-masing pihak.
PEMBIAYAAN INTERNAL (SELF-FINANCING)
Pembiayaan internal (self-financing) menunjukkan kontribusi uang tunai atau
tanah/harta yang digunakan sebagai biaya pengembangan wakaf oleh lembaga wakaf. Ada
beberapa metode yang bisa digunakan oleh lembaga wakaf untuk mengurangi biaya
pendanaan, misalnya melalui penggunaan tanah dan sekuritisasi tanah. Disamping itu
lembaga wakaf juga bisa menggunakan wakaf tunai (cash waqf) dan wakaf saham (saham
waqf). Menurut Magda Ismail dan Ahcene, (2008), terdapat sedikitnya 9 (sembilan)
bentuk pembiayaan kontemporer yang bisa digunakan sebagai sarana pembiayaan wakaf,
yaitu sebagai berikut : (i) model saham wakaf; (ii) model takaful wakaf; (iii) model
langsung; (iv) model mobile; (v) model semi-compulsory; (vi) model wakaf tunai korporasi:
(vii) model produk deposito; (viii) model koperasi; dan (ix) model reksadana wakaf.
POTENSI WAKAF PRODUKTIF DI INDONESIA
POTENSI WAKAF HARTA TAK BERGERAK
Perkiraan potensi wakaf harta tak bergerak (tanah) yang sangat besar di Indonesia,
selama ini lebih banyak didasarkan pada hasil perhitungan luas tanah wakaf yang ada dan
7
estimasi harga tanah. BWI, misalnya dengan menggunakan data konsolidasi Kementerian
Agama tahun 2014 memperkirakan potensi wakaf tanah mencapai Rp.2.050 trilun, dengan
asumsi harga tanah senilai Rp500.000 per meter dan luas tanah wakaf sekitar 4.1 miliar
meter per segi. Nilai potensi wakaf yang sangat besar tentunya, yaitu hampir setara
dengan 19,4 persen dari produk domestik bruto (PDB).
POTENSI WAKAF HARTA BERGERAK
Perkiraan potensi wakaf harta bergerak (khususnya uang) yang berkembang dan
disampaikan kepada publik juga bervariasi dengan asumsi dan argumentasi yang beragam
pula.
1. Mustafa Edwin Nasution (2005)
Dengan menggunakan asumsi bahwa jumlah penduduk Muslim kelas menengah di
Indonesia adalah sebanyak 10 juta jiwa, dengan rata-rata penghasilan per bulan antara
Rp500.000 - Rp 10.000.000. Berdasarkan asumsi tersebut, maka potensi wakaf
diperkirakan mencapai Rp250 juta per bulan, atau sebesar Rp3,0 trilun per tahun (Tabel)
Tabel Potensi Wakaf Uang di Indonesia
Tingkat Penghasilan / bulan
Jumlah Muslim
(jiwa)
Tarif Wakaf/bulan (Rp)
Potensi Wakaf Tunai /
bulan (Rp)
Potensi Wakaf Tunai / tahun (Rp)
Rp 500.000 4 juta 5.000 20.000.00
0.000
240.000.000.000
Rp 1 juta –Rp 2 juta
3 juta 10.000 30.000.00
0.000 360.000.000.00
0
Rp 2 juta – Rp 5 juta
2 juta 50.000 100.000.0
00.000 1.200.000.000.0
00
Rp 5 juta- Rp 10 juta
1 juta 100.000 100.000.0
00.000 1.200.000.000.0
00
Total 3.000.000.000.0
00
Sumber : Nasution, 2005 (diolah)
2. Penulis (Peneliti PKSK-BKF)
Untuk menghitung perkiraan potensi wakaf uang, penulis menggunakan beberapa
asumsi.
1. Perkiraan jumlah pnduduk Muslim Indonesia disusun berdasarkan pendekatan
regional (provinsi) dengan harapan mendapatkan gambaran tentang potensi wakaf
per daerah.
8
2. Tingkat pendapatan penduduk yang digunakan sebagai basis perhitungan wakaf tunai
adalah kelompok menengah (middle income) ke atas (high income).
3. Ada 3 (tiga) skenario perhitungan potensi wakaf uang, yaitu : (i) pesimis (asumsi
hanya 10 persen masyarakat Muslim memberikan wakaf Rp10.000 per orang per
bulan; dan (ii) moderat, (asumsi hanya 25 persen masyarakat Muslim memberikan
wakaf Rp10.000 per orang per bulan); dan (iii) optimis (asumsi hanya 50 persen
masyarakat Muslim memberikan wakaf Rp10.000 per orang per bulan);
4. Perhitungan potensi menggunakan data Susenas 2014.
Perkiraan Jumlah Penduduk Muslim
Dengan menggunakan data Susenas 2014, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan
mencapai 251,3 juta jiwa dan sekitar 87,1 persen (sekitar 218,8 juta jiwa) diantaranya
adalah penduduk beragama Islam (Muslim).
Gambar. Proporsi Penduduk Muslim Indonesia
Sumber : Susenas 2014 (diolah)
Pendapatan Penduduk
Berdasarkan tingkat pendapatan—yang diproksi dengan jumlah pengeluaran untuk
konsumsi—terlihat bahwa :
(i) penduduk berpendapatan rendah (lower income) paling banyak terdapat di Provinsi
Jawa Tengah, yaitu sebanyak 10,6 juta jiwa dan paling sedikit terdapat di Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, yaitu sebanyak 23,3 ribu jiwa;
NAD, 98.2 (2,2)
SUMBAR, 97.4 (2,3)
BENGKULU, 97.3 (0.8)
JABAR 97.0 (20.3)
JATENG 96.7 (14.8)
KALSEL 96.7 (1.7)
GORONTALO 97..8 (0.5)
Penduduk 251,290,655.0
Penduduk Muslim 218,834,143.6
SUMUT, 66.1 (4,1)
RIAU, 88.0 (2,5)
SUMSEL, 96.9 (3.5)
JAMBI, 95.4 (1,5)
BABEL, 89.0 (0,5)
LAMPUNG, 95.5 (3.5)
BANTEN 94.7 (5.0)
DKI 85.4 (3.9)
DIY 92.0 (1.5)
JATIM 96.4 (16.9)
BALI 13.4 (0.3)NTB 96.5 (2.1)
NTB 9.1 (0.2)
KALTENG 96.7 (1.7)
KALBAR 59.2 (1.3) KALTIM
85.4 (1.5)
SULUT 30.9 (0.3)
SULBAR 82.7(0.5)
SULTENG 77.0 (1.0)
SULTENG 77.0 (1.0)SULSEL
89.6 (3.4)
MALUT 74.3 (0.4)
MALUKU 50.6 (0.4)
PAPUA BARAT 38.4 (0.2)
PAPUA 15.9 (0.2)
Angka dlm () = % thd muslim nasional
KEPRI, 79.3 (0,7)
9
(ii) penduduk berpendapatan menengah (middle income) paling banyak terdapat di
Provinsi Jawa Barat, yaitu sebanyak 35,8 juta jiwa dan paling sedikit terdapat di
Provinsi Gorontalo, yaitu sebanyak 685,5 ribu jiwa. Beberapa daerah yang juga
banyak memiliki penduduk dengan pendapatan menengah adalah Provinsi Jawa
Timur (28,3 juta jiwa); Provinsi Jawa Tengah (22,8 juta jiwa); Provinsi Sumatera
Utara (11,8 juta jiwa); Provinsi Banten (10,1 juta jiwa); dan Provinsi DKI Jakarta
(9,3 juta jiwa).
(iii) penduduk berpendapatan tinggi (high income) paling banyak terdapat di Provinsi
DKI Jakarta, yaitu sebanyak 705,8 ribu jiwa dan paling sedikit terdapat di Provinsi
Maluku Utara, yaitu sebanyak 1,45 ribu jiwa. Beberapa daerah yang juga banyak
memiliki penduduk dengan pendapatan tinggi adalah Provinsi Jawa Barat (420,2
ribu jiwa); Provinsi Jawa Timur (163,1 ribu jiwa); dan Provinsi Banten (130,5 ribu
jiwa).
Potensi Wakaf Uang
Penghitungan potensi wakaf uang menurut kelompok pendapatan hanya dilakukan
untuk penduduk berpendapatan menengah dan tinggi.
SKENARIO RENDAH
Dengan asumsi bahwa wakif adalah 10% dari penduduk Muslim yang berpendapatan
menengah dengan besaran wakaf rata-rata Rp10.000/bulan, potensi wakaf uang
diperkirakan mencapai Rp197,0 miliar per bulan atau Rp2,36 triliun per tahun.
SKENARIO MODERAT
Dengan asumsi bahwa wakif adalah 25% dari penduduk Muslim berwakaf rata-rata
Rp10.000/bulan, maka potensi wakaf uang secara keseluruhan dalam skenario moderat
diperkirakan mencapai Rp492,5 miliar per bulan atau sekitar Rp5,91 triliun per tahun
SKENARIO OPTIMIS
Dalam skenario ini diasumsikan bahwa wakif adalah 50% dari penduduk Muslim
berpendapatan menengah yang mengeluarkan wakaf rata-rata Rp10.000/bulan. Dengan
asumsi-asumsi tersebut maka potensi wakaf uang diperkirakan mencapai Rp985,0 miliar
per bulan atau sekitar Rp11,82 triliun per tahun.
10
Gambar Potensi Wakaf Uang : Skenario Rendah Sumber : Susenas 2014 (diolah)
PERANAN LEMBAGA KEUANGAN
Lembaga keuangan memainkan peranan yang sangat penting dalam upaya
mengembangkan dan memberdayakan wakaf produktif di Indonesia. Bahkan peranan
lembaga keuangan tersebut secara eksplisit ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah No.
42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, khususnya
Pasal 48 ayat (1), yang berbunyi : “Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf
uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk LKS dan/atau instrumen
keuangan syari’ah”.
JABAR 35,80M
JATENG22,80M
BANTEN 10.10 M
MIDDLE INCOME : $1.045 < Cons < $12.736Asumsi : - Jlh wakif = 10% Muslim- wakaf : @Rp10.0000/bl
POTENSI WAKAFRp 194,8 M per bulan
DKI9,31 M
NAD 4.11M
SUMBAR, 4.72M
BENGKULU1.48 M
SULTENG 2,22M
SULSEL5.08M
RIAU5,78M
SUMUT11,83M
JAMBI2.85 M
SUMSEL6.00 M
LAMPUNG5,98M
BABEL1.30 M
DIY2,76M
JATIM28,30 M
BALI3,66M
NTB3,27M
NTT2,68M
MALUKU1.35M
MALUT0.94M
SULBAR0.75M
SULTRA1.46M
SULUT1,76M
GORONTALO0.69M
KALSEL 3.51M
KALTENG2,20M
KALBAR 3.70M
KALTIM 3.81M
PAPUA BARAT0.68M
PAPUA2.12M
KEPRI1.82M
HIGH INCOME : Cons > $12.736Asumsi : - Jlh wakif = 10% Muslim- wakaf : @Rp10.0000/bl
POTENSI WAKAFRp 2,18 M per bulan
JABAR 420,92 Jt
JATENG85,27 Jt
BANTEN 130,46 Jt
DKI750,78 Jt
NAD 12.00 Jt
SUMBAR, 30.56 jt
BENGKULU6,41 jt
SULTENG 11.04 jt
SULSEL31.71 jt
RIAU41,73 jt
SUMUT59,47 jt
JAMBI5,92 jt
SUMSEL58,78 Jt
LAMPUNG50.81 jt
BABEL11.81 jt
DIY37,94 jt
JATIM163,15 Jt
BALI65,61 Jt
NTB15,37 jt
NTT2,32 jt
MALUKU4,53 jt
MALUT1.45 jt
SULBAR5.11 jt
SULTRA17.56 jt
SULUT18,74 jt
GORONTALO1.68 jt
KALSEL 26.43 jt
KALTENG16.08 jt
KALBAR 21,35 jt
KALTIM 44.32 jt
PAPUA BARAT12.79 jt
PAPUA9.40 jt
KEPRI45,15 jt
11
Penegasan ini tentu saja menimbulkan implikasi perlu adanya suatu kerjasama yang
tidak bisa ditawar (niscaya), yang harus dibangun antara pihak pengelola wakaf (nazhir)
dengan lembaga-lembaga keuangan syari’ah (LKS). Penting dan niscayanya kerjasama ini
karena substansinya yang bertujuan untuk mengelola dan memanfaatkan harta benda
wakaf (mauquf) agar lebih produktif dan berdaya guna bagi kemaslahatan umat (Sula,
2008). Selain itu, kerjasama nazhir dan pengelola berguna untuk meningkatkan
kepercayaan publik (dalam hal ini wakif) kepada nazhir terkait dengan pengelolaan
mauquf. Kerjasama tersebut tentunya dibangun atas dasar saling memberikan manfaat
antara kedua belah pihak.
Kerjasama dengan LKS juga membuka peluang investasi dengan berbagai skim yang
tentu saja sesuai dengan syariat Islam. Berbagai jenis produk investasi yang dilakukan
oleh LKS, diantaranya dalam bentuk (Amin, 2008) :
a. Investasi mudharabah. Melalui investasi ini LKS dengan memberikan modal usaha
kepada bidang yang telah ditentukan oleh wakif maupun bidang yang dinilai potensial
dalam membangkitkan sektor usaha kecil dan menengah (UKM).
b. Investasi musyarakah. Meskipun invetasi ini pada prinsipnya hampir sama dengan
investasi mudharabah, akan tetapi risiko yang ditanggung oleh LKS lebih sedikit,
karena modal ditanggung secara bersama oleh dua pemilik modal atau lebih. Investasi
ini memberikan peluang bagi LKS untuk menyertakan modalnya pada ektor usaha
kecil dan menengah (UKM).
c. Investasi ijarah, melalui investasi ini LKS dan/atau nazhir yang ditunjuk dapat
mendayagunakan harta benda wakaf yang kurang produktif, baik dalam bentuk tanah
maupun bangunan. Berkaitan dengan itu, LKS menyediakan dana untuk mengelola
harta benda wakaf. Kemudian menyewakannya hingga dapat menutup modal pokok
dan mengambil keuntungan.
d. Investasi murabahah. Dalam investasi ini LKS berperan sebagai pemilik barang yang
membeli peralatan dan material yang diperlukan. Adapun keuntungan dari investasi
ini adalah LKS dapat mengambil keuntungan dari selisih harga pembelian dan
penjualan. Manfaat dari investasi ini adalah membantu pengusaha kecil dalam
memperoleh peralatan produksi usahanya.
Dengan potensi wakaf uang yang terealisasi, katakanlah hanya skenario rendah,
yaitu sekitar Rp197,0 miliar per bulan atau Rp2,36 triliun per tahun, LKS dapat
menginvestasikannya dalam berbagai skim sebagaimana dikemukakan sebelumnya,
seperti saham, asuransi syari’ah (takaful), reksadana syari’ah, sukuk dan instrumen
keuangan syari’ah lainnya.
12
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan analisis yang dikemukakan pada bagian sebelumnya dapat
disampaikan beberapa hal sebagai kesimpulan dari studi ini :
1. Indonesia memiliki potensi wakaf yang besar. Dengan asumsi bahwa 10% saja
penduduk Muslim berwakaf setiap bulan sebesar Rp10.000, maka dana wakaf uang
yang bisa dikumpulkan mencapai Rp197,0 miliar per bulan atau sekitar Rp2,36 triliun
per tahun. Beberapa daerah yang potensial sebagai basis pengembangan wakaf
uang—berdasarkan pendapatan penduduknya—adalah Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, dan
Sulawesi Selatan.
2. Pengembangan wakaf produktif yang berlangsung selama ini memang masih
dihadapkan pada permasalahan database Nazhir dan database harta wakaf yang
berada dalam pengelolaan nazhir.
3. Lembaga keuangan syariah memiliki peranan penting dalam pengembangan dan
pemberdayaan wakaf produktif.
DAFTAR PUSTAKA
AAOIFI. (2005). Shari’a Standards, Accounting and Auditing Organization for Islamic
Financial Institutions.
AAOIFI. Investment Sukuk. The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial
Institutions No. 17.
Abdullah. (2014). Waqf : A Proposed Model for Islamic Finance. Market Forces : College of
Management Sciences, Volume IX (1) – June, pp. 15 – 28.
Abdul Karim, S. (2008). Waqf in Singapore – Contemporary management and development
of Waqf, Contributing to the Religious, Social and Economic development of minority
Muslims in Singapore. Paper presented at International Conference on Waqf and
Islamic Civilization, Isfahan, Iran
Abdul Karim, S. (2010a). Contemporary Shari’a Compliance Structuring for the
Development and Management of Waqf Assets in Singapore. Kyoto Bulletin of Islamic
Area Studies, Volume 3-2 (March), pp. 143–164
Abdul-Karim, S. (2010b), Contemporary Shari’ah Structuring for the Development and
Management of Waqf Assets in Singapore, Durham theses, Durham University,
Available at Durham E-Theses .Online: http://etheses.dur.ac.uk/778/
13
Abdurrahman, S.M. (2008). Traditional and Contemporary modes advocated for revitalizing
Awqaf: a Shari’ah based scrutiny. Paper presented at International Conference on
Waqf and Islamic Civilization, Isfahan, Iran.
Ahmed, U. (2013). Impact of Public Trust on Revival of Waqf Institution in Muslim
Minority Countries: an Empirical study of Uganda. Paper presented at World
Universities of Islamic Philanthropy Conference, Kuala Lumpur.
Ahmed, U., Mustafa, O. M., Ogunbado, A. F. (2015). Examining the Traditional Waqf-Based
Financing Methods and Their Implications on Socio-Economic Development. IOSR
Journal of Business and Management (IOSR-JBM). Volume 17 (2) - February, pp. 119 –
125.
Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. (2004). Ahkam al-Waqf fi al-Syari’ah al-Islamiyah.
Terjemahan Ahrul Sani Faturrahman dkk., (Hukum Wakaf) Jakarta : IIMaN Press.
Amin, A.R. (2008). Peran LKS dalam Pengembangan Wakaf Uang. Al-Awqaf, Volume I (01 –
Desember). Jakarta : Badan Wakaf Indonesia
Baer, G. (1997). The Waqf as a Prop for the Social system (Sixteenth-Twentieth Centuries).
Islamic Law and Society, Volume 4 (3).
Chapra, M. U. (1998). The Major Modes of Islamic Finance, A paper prepared for
presentation at the 6th Intensive Orientation Course on “Islamic Economics, Banking
and Finance” held at the Islamic Foundation,Leicester, U.K., on 17th - 21st
September 1998, p. 22.
Habib, A. (2007). Waqf based Microfinance: Realizing the social role of Islamic Finance.
International Seminar Singapore March 6-7.
Hamat, Z. (2014). Substitutions of Special Waqf ( Istibdal): Case Study at the Religious and
Malay Custom Council of Kelantan ( MAIK).The Macrotheme Review Volume 3 (4).
Hamed, H. and Davoud (2010). Waqf as a Social Entrepreneurship Model in Islam.
International Journal of Business and Management, Volume 5 (7), pp.179 – 186.
Hasan, Z. and Abdullah, M.N. (2008). The Investment of Waqf Land as an Instrument of
Muslims Economic Development in Malaysia. Conference on Endowment Investment,
Dubai, United Arab Emirates, February 2008.
Hasanah, U. (2008). Inovasi Pengembangan Wakaf di Berbagai Negara. Artikel Badan
Wakaf Indonesia (BWI), Selasa, 13 Mei 2008. http://bwi.or.id/index.php/in/
publikasi/artikel/222-inovasi-pengembangan-wakaf-di-berbagai-negara
Hisham, S., Jasiran, H.A. and Jusoff, K. (2013). Substitution of Waqf Properties (Istibdal) in
Malaysia: Statutory Provisions and Implementations, Middle-East Journal of Scientific
Research.
Islam, M. M., Sultana, N., and Bhuiy, A.B., (2014). Role of Cash Waqf In Voluntary Banking
Advances. Environmental Biology, Volume 8(9), pp. 706 – 714.
Kahf, M. (1998). “Financing the development of Waqf property”. International Seminar on
Awqaf and Economic Development of Waqf, Kuala Lumpur Malaysia. [18].
14
Kahf, M. (1999). Towards the Revival of Awqaf: a few fiqhi Issues to reconsider. Presented at
the Harvard forum on Islamic finance and Economics.
Kementerian Keuangan (2010). Tanya Jawab tentang Surat Berharga Syariah Negara
(Sukuk Negara): Instrumen Keuangan Berbasis Syariah. Edisi Kedua. Jakarta :
Direktorat Pembiayaan Syariah Kementerian Keuangan
Khairi, K.F., Aziz, M.R. A., Laili, N. H., Nooh, M.N., Sabri, H., Ali Basah, M.Y. (2014). Human
And Economic Development Through Share WAQF (WAQF Corporate): The Case Of
GLCS In Malaysia. Life Science Journal, Volume 11 (1), pp. 104 – 110.
Mohsin, A. and Sabit, M.T. (2011). Weaknesses of Current Capital Raising, Financing, and
Investment Methods ofAwqaf (Islamic Trusts). IPEDR vol.5
Nafis, M. C. (2009). Wakaf Uang untuk Jaminan Sosial. Al-Awqaf, Volume II (02 – April).
Jakarta : Badan Wakaf Indonesia
Nafis, M. C. (2011). Wakaf Membangun Peradaban. Swaracinta 09/Tahun I/September –
Oktober.
Nasution, M. E. dan Hasanah, U. (Editor, 2005), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam,
Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat. Jakarta: PKTTI-UI.
Obaidullah, M. (2012a). Training Manual on Awqaf Development and Management. Jeddah :
IRTI, Islamic Development Bank.
Obaidullah, M. (2012b). Regulatory Environment for Islamic finance, Financing of Hajj and
Awqaf Development in India. Retrieved from http://sadaqa.in/2012/11/24/
regulatory-environment-for-islamic-finance-financing-of-hajj-and-awqaf-
developmentin-india/
Othman, M.Z. (1983). Origin of Institution of Waqf. Hamdard Islamicus, Volume 6 (2), pp. 3
– 23.
Rosly, S.A. (2005) Critical Issues on Islamic Banking and Financial Markets. Islamic
Economics, Banking and Finance, Investments, Takaful and Financial Planning No. 91,
Kuala Lumpur : Dinamas, pp 88 – 89.
Sabiq, S. (2009). Fiqhus Sunnah. terjemahan Mujahidin Muhayan (Fiqih Sunnah, Buku 4).
Jakarta : Pena Pundi Aksara.
Sabit, M.T. (2004). The Concept And Objective of Waqf. Shariah Law Reports. 10.
Sabit, M.T. (2006) Innovative Modes of Financing: the Development of Waqf Property.
Konvensyen Wakaf Kebangsaan organized by the department of Awqaf, Zakat and
Hajj. Kuala Lumpur
Sabit, M.T., Iman, A.H.M., and Omar, I. (2005). An Ideal Financial Mechanism for the
Development of the Waqf Properties in Malaysia. Pusat Pengurusan Penyelidikan.
Malaysia : Universiti Teknologi Malaysia.
Sadique, M.A. (2010). Development of Dormant Waqf Properties : Application of
Traditional and Contemporary Modes of Financing. IIUM Law Journal, Volume 18
(1), pp. 75 – 102.
15
Shahedur, F. and Faisol (2011). Economics of Cash WAQF Management in Malaysia: A
Proposed Cash WAQF Model for Practitioners and Future Researchers. African
Journal of Business and Management, Volume 5 (30), pp.12155 – 12163.
Shakor, A. ( 2011). Pelaksanaan Pembangunan Wakaf Korporat Johor Corporation Berhad
(JCorp): Satu Tinjauan. International Conference on Humanities.
Sulong, J. (2013). Permissibility of Istibdal in Islamic Law and the Practice in Malaysia.
Journal of US-China Public Administration, Volume 10 (7), pp. 680 – 689.
Tahir (2011). Towards an Islamic Social Waqf Fund. International Journal of Trade,
Economics and Finance, Volume 2 (5), pp.381 – 386.
Usmani, M. T. (2005). An Introduction to Islamic Finance, Pakistan, Maktaba Ma’ariful
Qur’an,
Utsaimin, M.S. (2009). Asy-Syarhul Mumti Kitabul Waqf wal Hibah wal Washiyyah
(terjemahan oleh Abu Hudzaifah). Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Zarqa, M.A. (1994/1415 H). Financing and Investment in Awqāf Projects : A Non-Technical
Introduction. Islamic Economics Studies, Volume 1 (2) – June, p. 55 – 61.